Professional Documents
Culture Documents
Update : 08/03/12
Jadi secara singkat, teori ini menyatakan bahwa : saraf berdiameter kecil
menghantarkan stimulus nyeri ke otak, sedangkan saraf berdiameter besar,
berusaha menghambat transmisi impuls nyeri dari spinal cord ke otak. Mekanisme
ini terjadi pada sel-sel substancia gelatinosa pada kornu dorsalis di spinal cord.
Zat- zat penghasil nyeri
Pembedahan akan menyebabkan kerusakan sel. Sebagai konsekuensinya, sel-sel
akan mengeluarkan zat- zat kimia bersifat algesik yang berkumpul di sekitarnya
dan dapat menimbulkan nyeri. Zat mediator inflamasi tersebut
diantaranya: bradikinin, histamin, katekolamin, sitokinin, serotonin, lekotrien,
prostaglandin dan substansi-P. Nyeri dapat berlangsung berjam-jam sampai
berhari-hari.
Mekanisme Nyeri Pada Trauma dan Pasca Bedah
Respons Stress (Stress Responds)
Respons tubuh terhadap suatu pembedahan atau nyeri akan menghasilkan reaksi endokrin dan
immonologik, yang secara umum disebut sebagairespons stress. Respons stress ini sangat
merugikan penderita karena selain akan menurunkan cadangan dan daya tahan tubuh, meningkatkan
kebutuhan oksigen otot jantung, mengganggu fungsi respirasi dengan segala konsekuensinya, juga
akan mengundang resiko terjadinya tromboemboli yang pada gilirannya
meningkatkan morbiditas danmortalitas.
Meskipun berbagai tehnik pengelolaan nyeri telah banyak dikembangkan, namun mengontrol nyeri
pascabedah per-se, tidak selalu menjadi jaminan untuk tidak terjadinya respons stress yang turut
berperan dalam prognosis penderita pasca bedah.
Hipersensitifitas dan plastisitas Susunan Saraf.
Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa menyusul suatu trauma atau operasi maka input nyeri
dari perifer ke sentral akan mengubah ambang reseptor nyeri baik di perifer maupun
di sentral (kornu posterior medulla spinalis). Kedua reseptor nyeri tersebut di atas akan menurunkan
ambang nyerinya, sesaat setelah terjadi input nyeri.
Perubahan ini akan menghasilkan suatu keadaan yang disebut sebagaihipersensitifitas baik perifer
maupun sentral. Perubahan ini dalam klinik dapat dilihat, dimana daerah perlukaan dan sekitarnya
akan berubah menjadi hiperalgesia. Daerah tepat pada perlukaan akan berubah menjadiallodini,
artinya dengan stimulasi lemah, yang normal tidak menimbulkan rasa nyeri, kini dapat menimbulkan
rasa nyeri, daerah ini disebut juga sebagai hiperalgesia primer.
Di lain pihak daerah di sekitar perlukaan yang masih nampak normal juga berubah menjadi
hiperalgesia, artinya dengan suatu stimuli yang kuat, untuk cukup menimbulkan rasa nyeri, kini
dirasakan sebagai nyeri yang lebih hebat dan berlangsung lebih lama, daerah ini juga disebut
sebagaihiperalgesia sekunder.
Kedua perubahan tersebut di atas, baik hiperalgesia primer maupunhiperalgesia
sekunder merupakan konsekuensi terjadinyahipersensitifitas perifer dan sentral menyusul suatu
input nyeri akibat suatu trauma atau operasi. Ini berarti bahwa susunan saraf kita, baik susunan saraf
perifer maupun susunan saraf sentral dapat berubah sifatnya menyusul suatu input nyeri yang
kontinyu. Dengan kata lain, susunan saraf kita dapat disamakan sebagai suatu kabel yang kaku (rigid
wire), tapi mampu berubah sesuai dengan fungsinya sebagai alat proteksi.
Kemampuan sususnan saraf kita yang dapat berubah mirip dengan plastik disebut sebagia plastisitas
susunan saraf (plasticity of the nervous system). Analgesia Preemptif (Preemptive
analgesia) Sekali susunan saraf mengalami plastisitas, berarti akan menjadi hipersensitif terhadap
suatu stimuli dan penderita akan mengeluh dengan nyeri yang lebih hebat sehingga dibutuhkan dosis
obat analgesik yang tinggi untuk mengontrolnya.
Atas dasar itulah maka untuk mengurangi keluhan nyeri pasca bedah, dilakukan upaya-upaya untuk
mencegah terjadinya plastisitas susunan saraf. Salah satu cara untuk mengurangi plastisitas tersebut
pada suatu pembedahan elektif adalah dengan menggunakan blok saraf (epidural/spinal), sebab
dengan demikian input nyeri dari perifer akan terblok untuk masuk ke kornu posterior medulla spinal.
Dilain pihak jika trauma terjadi sebelum operasi, maka pemberian opioid secara sistemik dapat
mengembalikan perubahan plastisitas susunan saraf kembali menjadi normal. Upaya-upaya
mencegah terjadinya plastisitas ini disebut sebagai analgesia preemptif (preemptive
analgesia), artinya mengobati nyeri sebelum terjadi (to treat pain before it occurs).
Dengan cara demikian keluhan nyeri pascabedah akan sangat menurun dibandingkan dengan
keluhan nyeri pascabedah penderita yang dioperasi dengan fasilitas anastesi umum. Hal ini telah
banyak dibuktikan melalui penelitian-penelitian klinik. Analgesia Balans (Balanced
Analgesia) Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa konsep analgesia balans adalah
upaya mengintervensi nyeri pada proses perjalanannya yakni pada proses transduksi, transmisi dan
proses modulasi.
Jadi merupakan intervensi nyeri yang bersifat terpadu dan berkelanjutan, yang diilhami oleh konsep
plastisitas dan analgesia preemptif seperti disebutkan di atas.Pengalaman menunjukkan bahwa
dengan menggunakan analgesia preemptif, pada awalnya akan diperoleh hasil yang cukup baik, tapi
cara ini mempunyai keterbatasan waktu. Tidak mungkin analgesia preemptif dapat dipertahankan
beberapa hari sampai proses penyembuhan usai. Selain iti epidural kontinyu dengan menggunakan
anastesi lokal, juga memiliki keterbatasan seperti disebutkan sebelumnya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa analgesia preemptif, walaupun hasilnya sangat baik
terutama dalam mencegah terjadinya plastisitas pada kornu posterior, namun memiliki keterbatasan,
yakni sulitnya dipertahankan selama proses penyembuhan pascabedah. Disinilah keunggulan dari
analgesia balans dimana intervensi nyeri dilakukan secara multimodal dan berkelanjutan. Multimodal,
dimaksudkan bahwa intervensi dilakukan pada ketiga proses perjalanan nyeri yakni pada
proses transduksi dengan menggunakan NSAID, pada proses transmisi dengan anastetik
lokal, dan pada proses modulasi dengan opioid.
Dengan cara ini terjadi penekanan pada proses transduksi dan peningkatan proses modulasi, guna
mencegah terjadinya proses hipersensitivitas baik di perifer maupun di central. Dengan kata lain,
analgesia balans dapat menghasilkan selain pain free juga stress responses free. Dengan regimen
analgesia balans ini akan menghasilkan suatu analgesia pascabedah yang secara rasional akan
menghasilkan analgesia yang optimal bukan saja waktu istirahat, tapi juga dalam keadaan mobilisasi.
1. Berdasarkan kualitasnya,
Berdasarkan kualitasnya, nyeri dapat dibagi menjadi: nyeri ringan, nyeri sedang,
dan nyeri berat. Pada nyeri ringan, biasanya pasien secara obyektif dapat
berkomunikasi dengan baik. Pada nyeri sedang, secara obyektif pasien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik. Pada nyeri berat, secara obyektif pasien terkadang
tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang.
Nyeri memiliki suatu ambang / treshold dan ambang ini dicapai secara berbeda.
Ambang dicapai oleh karena adanya hambatan transmisi impuls nyeri dari spinal
cord ke otak. Mekanisme ini terjadi pada sel-sel substansia gelatinosa pada kornu
dorsalis di spinal cord.
2. Berdasarkan sumbernya
Deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari lapisan dinding
tubuh, seperti ligament, pembuluh darah, tendon dan syaraf, nyeri menyebar dan
lebih lama daripada cutaneus, contoh: sprain sendi.
Visceral (pada organ dalam), stimtlasi reseptor nyeri dalam rongga perut
(abdomen), kepala (cranium) dan dada (thorak). Biasanya terjadi karena spasme
otot, iskemia, regangan jaringan.
3. Berdasarkan penyebab
Fisik, bisa terjadi karena stimulus fisik, contoh : patah tulang paha (fraktur
femur)
Nyeri akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cedera, atau intervensi bedah dan
memiliki mula yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan .
Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya cidera atau
penyakit yang akan datang. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya
intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak.
Nyeri akut biasanya akan berakhir dalam periode singkat sampai dengan kurang dari
6 bulan. Nyeri akut biasanya ditandai dengan tanda-tanda inflamasi, biasanya
berlangsung beberapa hari sampai proses penyembuhan. Tanda-tanda utama
inflamasi adalah: rubor (kemerahan jaringan), kalor (kehangatan jaringan), tumor
(pembengkakan jaringan), dolor (nyeri jaringan), fungsio laesa (kehilangan fungsi
jaringan).
Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk
segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut secara serius mengancam proses
penyembuhan klien, untuk itu harus menjadi prioritas perawatan. Rehabilitasi bisa
tertunda dan hospitalisasi bisa memanjang dengan adanya nyeri yang tidak
terkontrol.
Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu
periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung
lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena
pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa
berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak
seagresif pada nyeri akut.
Seseorang yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala
hilang sebagian atau keseluruhan) daneksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri
ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik dan
psikologis.
Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan
seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik
akan timbul perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan
dirasakannya dari hari ke hari.
Nyeri kanker adalah merupakan kombinasi dari nyeri akut dan nyeri kronis
dimana ada suatu proses inflamasi kemudian nyeri berlangsung terus- menerus
sesuai dengan perkembangan kankernya, bilamana kanker tidak ditangani.
5. Berdasarkan lokasi/letak
Radiating pain, dimana nyeri menyebar dari sumber nyeri ke jaringan di
dekatnya , contoh : nyeri infark miokard.
Referred pain, dimana nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yang
diperkirakan berasal dari jaringan penyebab.
Intractable pain, adalah nyeri yang sangat susah dihilangkan, contoh: nyeri
kanker, keganasan.
Phantom pain, adalah sensasi nyeri dirasakan pada bagian tubuh yang
hilang, contoh bagian tubuh yang diamputasi atau bagian tubuh yang lumpuh karena
injuri medulla spinalis
6. berdasarkan Kecepatan Timbul
Nyeri cepat: bila diberikan stimulus nyeri maka rasa nyeri cepat timbul dalam
waktu kira-kira 0,1 detik. Rasa nyeri cepat juga digambarkan dengan banyak nama
pengganti seperti : rasa nyeri tajam, rasa nyeri tertusuk, rasa nyeri akut, dan rasa
nyeri elektrik
Nyeri lambat: timbul setelah 1 detik atau lebih dan kemudian secara
perlahan bertambah selama beberapa detik dan kadang kala bahkan beberapa
menit. Rasa nyeri lambat juga mempunyai banyak nama tambahan seperti rasa
nyeri terbakar lambat, nyeri pegal, nyeri berdenyut, nyeri mual dan nyeri kronik.
Respon Terhadap Nyeri
1. Respons sistemik
Nyeri akut berhubungan dengan respons neuroendokrin sesuai derajat nyerinya.
Nyeri akan menyebabkan peningkatan hormon katabolik dan penurunan hormon
anabolik. Manifestasi nyeri dapat berupa hipertensi, takikardi, hiperventilasi
(kebutuhan Oksigen dan produksi karbon dioksida meningkat), tonus sfingter saluran
cerna dan saluran air kemih meningkat (ileus, retensi urin)
2. Respon perilaku
Respon perilaku terhadap nyeri antara lain
5. Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang
terjadi atat arti nyeri bagi klien. Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara
lain :
Bahaya atau merusak
Komplikasi seperti infeksi
Penyakit yang berulang
Penyakit baru
Penyakit yang fatal
Peningkatan ketidakmampuan
Kehilangan mobilitas
Menjadi tua
Sembuh
Perlu untuk penyembuhan
Hukuman untuk berdosa
Tantangan
Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
Sesuatu yang harus ditoleransi
Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan,
persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
Fase Pengalaman Nyeri
Meinhart & McCaffery, mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar
tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam
fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka
tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri
juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai
tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus
kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah
merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi
terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri,
sebelum nyeri datang.
Secara sederhana nyeri setelah pembedahan pada pasien sadar dapat langsung
ditanyakan pada yang bersangkutan dan biasanya dikategorikan sebagai: tidak nyeri
(none), nyeri ringan (mild, slight), nyeri sedang (moderate), nyeri berat (severe) dan
sangat nyeri (very severe, intolerable).
Berikut adalah beberapa alat untuk yang biasa digunakan untuk menilai derajat nyeri
:
1) skala intensitas nyeri deskritif
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan
sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun
dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak
terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan. Perawat menunjukkan klien
skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia
rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan
dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah
dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak
mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat
membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala
deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi
juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah
terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri
mengalami penurunan atau peningkatan.