You are on page 1of 8

Alergi Pada Bayi

DETEKSI DAN PENCEGAHAN ALERGI SEJAK BAYI

Dr Widodo Judarwanto SpA

CHILDREN ALLERGY CENTER


Rumah Sakit Bunda Jakarta, Jl Teuku cikditiro 28 Jakarta Pusat
PICKY EATERS CLINIC (KLINIK KESULITAN MAKAN)
JL Rawasari Selatan 50 Jakarta Pusat. Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 – 4264126 – 31922005
email : wido25@hotmail.com , http://alergianak.bravehost.com

PENDAHULUAN

Alergi termasuk gangguan yang menjadi permasalahan kesehatan penting pada usia anak. Gangguan ini ternyata
dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai
bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan
komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita
termasuk gangguan fungsi otak. Gangguan fungsi otak itulah maka timbul gangguan perkembangan dan
perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi
hingga memperberat gejala penderita Autism dan ADHD.

Melihat demikian luas dan banyaknya pengaruh alergi yang mungkin bisa terjadi, maka deteksi dan pencegahan
alergi sejak dini sebaiknya dilakukan. Gejala serta faktor resiko alergi dapat dideteksi sejak lahir, bahkan
mungkin sejak dalam kandungan. Alergi makanan tidak terjadi pada semua orang, tetapi sebagian besar orang
mempunyai potensi menjadi alergi. Tampaknya sebagian besar orang bila dicermati pernah mengalami reaksi
alergi. Namun sebagian lainnya tidak pernah mengalami reaksi alergi. Terdapat 3 faktor penyebab terjadinya
alergi makanan, yaitu faktor genetik, imaturitas usus, pajanan alergi yang kadang memerlukan faktor pencetus.

Alergi makanan dapat diturunkan dari orang tua atau kakek dan nenek pada penderita. Bila ada orang tua
menderita alergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah satu orang tua yang
menúerita gejala alergi maka dapat menurunkan resiko pada anak sekitar 20 – 40%, ke dua orang tua alergi
resiko meningkat menjadi 40 - 80%. Sedangtkan bila tidak ada riwayat alergi pada kedua orang tua maka
resikonya adalah 5 – 15%. Pada kasus terakhir ini bisa saja terjadi bila nenek, kakek atau saudara dekat orang
tuanya mengalami alergi.

DETEKSI SEJAK DALAM KANDUNGAN


Secara teori deteksi dini penderita alergi dapat dilakukan sejak dalam kandungan. Meskipun hingga saat ini
belum ada cara yang optimal, praktis, aman dan murah untuk mengetahui gejala dini alergi sejak dalam
kandungan.. Pajanan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik sudah dapat terjadi sejak bayi dalam
kandungan. Diketahui adanya IgE spesifik pada janin terhadap penisilin, gandum, telur dan susu.

Faktor lingkungan dapat bekerja sebelum dan sesudah lahir. Faktor lingkungan sebelum lahir dapat
mempengaruhi diferensiasi sel T yang allergen spesifik menjadi fenotipe Th2, sehingga alergi atopi sudah
bekerja sebelum lahir. Kehamilan yang berhasil ditandai dengan pergeseran Th1 ke Th2 di fase antar
fetomaternal untuk mengurangi reaktifitas sistem imun maternal terhadap allograft janin. Hingga saat ini deteksi
dini alergi sejak dalam kandungan belum dilakukan secara mendalam dan hanya dilakukan sebatas penelitian.
Penulis telah melakukan pengamatan bahwa gerakan refluk osephagus atau gerakan hiccups (cegukan) pada
janin dan gerakan janin di dalam perut yang sangat meningkat terutama saat malam hari hingga pagi hari adalah
faktor prediktif yang kuat sebagai bayi yang beresiko alergi. Terlalu kuatnya tendangan tersebut, biasanya
disertai rasa sakit di ulu hati si Ibu. Dalam penelitian awal yang terbatas penulis mendapatkan hasil yang cukup
penting. Dilakukan pengamatan pada 25 ibu hamil dengan gerakan janin yang berlebihan dan gerakan refluks
osephagus (hiccups/cegukan) pada janin saat kehamilan terutama malam hari. Setelah dilakukan eliminasi
makanan tertentu tampak secara signifikan gerakan janin tersebut jauh berkurang.

Sensitisasi dalam kandungan sudah terjadi hal ini dapat dilihat bahwa terdapat reaksi alergi susu sapi pada
neonatus. IgE ibu tidak dapat melalui sawar plasenta, jadi yang terjadi adalah partikel protein susu sapi yang
beredar dalam darah ibu melewati plasenta. Hal ini dapat dibuktikan bahwa terdapat proliferasi lomfosit pada
tali pusat neonatus. Bayi baru lahir sudah tersentisisasi sejak dalam kehamilan bila kadar IgE spesifik tali pusat
> 0,35 kU/l.

Resiko dan gejala alergi bisa diketahui dan di deteksi sejak dalam kandungan dan sejak lahir, sehingga
pencegahan gejala alergi dapat dilakukan sedini mungkin kalau perlu sejak dalam kandungan. Resiko terjadinya
komplikasi, gangguan organ tubuh dan gangguan perilaku pada anak diharapkan dapat dikurangi atau dihindari.

DETEKSI DINI MANIFESTASI KLINIS SEJAK BAYI

Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan
proses inflamasi kronis yang kompleks dipengaruhi faktor genetik, lingkungan dan pengontrol internal.
Berbagai sel mast, basofil, eosinofil, limfosit dan molekul seperti IgE, mediator sitokin, kemokin merupakan
komponen yang berperanan inflamasi. Gejala klinis terjadi karena reaksi imunologik melalui pelepasan
beberapa mediator tersebut dapat mengganggu organ tertentu yang disebut organ sasaran. Ahli alergi modern
berpendapat serangan alergi atas dasar target organ (organ sasaran). Organ sasaran tersebut misalnya paru-paru
maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau asma. Bila sasarannya kulit akan terlihat sebagai gatal dan bercak
merah di kulit. Bila organ sasarannya saluran pencernaan maka gejalanya adalah diare dan sebagainya. Sistem
Susunan Saraf Pusat atau otak juga dapat sebagai organ sasaran, apalagi otak adalah merupakan organ tubuh
yang sensitif dan lemah. Sistem susunan saraf pusat adalah merupakan pusat koordinasi tubuh dan fungsi luhur.
Maka bisa dibayangkan kalau otak terganggu maka banyak kemungkinan manifestasi klinik ditimbulkannya
termasuk gangguan perilaku pada anak. Apalagi pada alergi sering terjadi proses inflamasi kronis yang
kompleks.
.

Tabel 1. Manifestasi klinis yang sering dikaitkan dan diperberat karena reaksi alergi pada bayi.
• GANGGUAN SALURAN CERNA : Gastrooesephageal Refluks, sering muntah, gumoh,
kembung,“cegukan”, sering buang angin, sering “ngeden /mulet”, sering rewel, gelisah dan kolik terutama
malam hari. Sering buang air besar (> 3 kali perhari), tidak BAB tiap hari. Kotoran berwarna hijau, gelap dan
berbau tajam. Hernia Umbilikalis (pusar menonjol), Scrotalis, inguinalis (benjolan di selangkangan, daerah
buah zakar atau pusar atau “turun berok”) karena sering ngeden sehingga tekanan di dalam perut meningkat.
Lidah sering timbul putih (seperti jamur) dan air liur berlebihan (drooling atau ngiler). Bibir tampak kering
mengelupas.
• Kulit sensitif, sering timbul bintik atau bisul kemerahan terutama di pipi, telinga dan daerah yang tertutup
popok. Kerak di daerah rambut.Timbul bekas hitam seperti tergigit nyamuk. Mata, telinga dan daerah sekitar
rambut sering gatal, disertai pembesaran kelenjar di kepala belakang. Kotoran telinga berlebihan kadang sedikit
berbau.
• Napas grok-grok, kadang disertai batuk sesekali terutama malam dan pagi hari siang hari hilang. Sesak bayi
baru lahir disertai kelenjar thimus membesar (TRDN/TTNB)
• Sering bersin, pilek, kotoran hidung banyak, kepala sering miring ke salah satu sisi (Sehingga beresiko kepala
“peyang”) karena hidung buntu. Mata sering berair atau sering timbul kotoran mata (belekan) salah satu
sisi/kedua sisi.
• Sering berkeringat (berlebihan). Kepala, telapak tangan atau telapak kaki sering teraba sumer/hangat.
• Karena minum yang berlebihan atau sering minta minum berakibat berat badan lebih dan kegemukan (umur
<1tahun). Sebaliknya terjadi berat badan turun setelah usia 4-6 bulan, karena makan dan minum berkurang
• Mempengaruhi gangguan hormonal : keputihan/keluar darah dari vagina, timbul bintil merah bernanah,
pembesaran payudara, rambut rontok, timbul banyak bintil kemerahan dengan cairan putih (eritema toksikum)
atau papula warna putih
• PROBLEM MINUM ASI : sering menangis (karena perut tidak nyaman) seperti minta minum sehingga berat
badan lebih karena minum berlebihan. Sering menangis belum tentu karena haus atau bukan karena ASI kurang.
Sering menggigit puting (agresif) sehingga luka. Minum ASI sering tersedak, karena hidung buntu & napas
dengan mulut. Minum ASI lebih sebentar pada satu sisi, karena satu sisi hidung buntu, jangka panjang bisa
berakibat payudara besar sebelah.

Tabel 2. Beberapa gangguan perilaku yang sering dikaitkan dan diperberat oleh reaksi alergi pada bayi.
• GANGGUAN NEUROLOGIS RINGAN : Mudah kaget bila ada suara yang mengganggu. Gerakan tangan,
kaki dan bibir sering gemetar. Kaki sering dijulurkan lurus dan kaku. Breath Holding spell : bila menangis
napas berhenti beberapa detik kadang disertai sikter bibir biru dan tangan kaku. Mata sering juling (strabismus
fisiologis). Kejang tanpa disertai ganggguan EEG atau serangan kejang bukan epilepsi (EEG normal)
• GERAKAN MOTORIK BERLEBIHAN
Usia kurang dari 1 bulan sudah bisa miring atau membalikkan badan.
Usia kurang dari 6 bulan: mata/kepala bayi sering melihat ke atas. Tangan dan kaki bergerak berlebihan, tidak
bisa diselimuti (“dibedong”). Kepala sering digerakkan secara kaku ke belakang, sehingga posisi badan bayi
“mlengkung” ke luar. Bila digendomg tidak senang dalam posisi tidur, tetapi lebih suka posisi berdiri. Sering
bergerak, sering menggerakkan kepala dan badan atas ke belakang, memukul dan membentur benturkan kepala.
Kadang timbul kepala sering bergoyang atau mengeleng-gelengkan kepala. Sering jatuh dari tempat tidur.
• GANGGUAN TIDUR (biasanya malam hari) gelisah,bolak-balik ujung ke ujung; bila tidur posisi “nungging”
atau tengkurap; berbicara, tertawa, berteriak dalam tidur; sulit tidur atau mata sering terbuka pada malam hari
tetapi siang hari tidur terus; usia lebih 9 bulan malam sering terbangun atau tiba-tiba duduk dan tidur lagi,
• AGRESIF DAN EMOSI MENINGKAT, sering menangis, berteriak dan bila minta minum susu sering
terburu-buru tidak sabaran. Pada usia lebih 6 bulan sering memukul muka atau menarik rambut orang yang
menggendong. Sering menggigit, menjilat tangan atau punggung orang yang menggendong. Sering menggigit
puting susu ibu bagi bayi yang minum ASI, Setelah usia 4 bulan sering secara berlebihan memasukkan sesuatu
ke mulut. Tampak anak sering memasukkan ke dua tangan atau kaki ke dalam mulut.
• GANGGUAN KONSENTRASI : cepat bosan terhadap mainan dan bila diberi cerita bergambar sering tidak
bisa memperhatikan. Tidak kerasan dalam ruangan yang sempit seperti box bayi dan ruangan sempit. Sering
minta keluar ke tempat yang luas atau luar rumah.
• GANGGUAN MOTORIK DAN KOORDINASI :
Pada pola perkembangan motorik normal adalah bolak-balik, duduk, merangkak dan berjalan. Pada gangguan
keterlambatan motorik biasanya bolak balik pada usia lebih 5 bulan, usia 6 – 8 bulan tidak duduk dan
merangkak, setelah usia 8 bulan langsung berdiri dan berjalan. Gangguan mengunyah atau menelan, tidak mau
makan berserat seperti sayur dan daging atau terlambat kemampuan makan nasi tim (normal usia 9 bulan).
• KETERLAMBATAN BICARA: Tidak mengeluarkan kata umur < 15 bulan, , kemampuan bicara atau
ngoceh-ngoceh hilang dari yang sebelumnya bisa. Bila tidak ada gangguan kontak mata, gangguan
pendengaran, dan gangguan intelektual biasanya usia lebih 2 tahun membaik.
• IMPULSIF : banyak tersenyum dan tertawa berlebihan, lebih dominan berteriak daripada mengoceh.
• Jangka panjang akan memperberat gangguan perilaku tertentu bila anak mengalami bakat genetik seperti
ADHD (hiperaktif) dan AUTISME (hiperaktif, keterlambatan bicara, gangguan sosialisasi)

Beberapa manifestasi klinik tersebut sangat sering dijumpai pada usia bayi, atau mungkin dialami lebih dari
50% anak. Sehingga banyak pendapat baik dari awam bahkan sebagian klinisi yang mengatakan bahwa
gangguan tersebut adalah normal terjadi pada semua bayi nanti juga juga membaik. Tetapi bila kita cermat
mengamati sebenarnya hal ini tidak terjadi pada semua bayi. Tampak jelas bila orang tua mempunyai anak lebih
dari satu. Akan terlihat jelas kalau beberapa anaknya berbeda dalam mengalami gangguan-gangguan tersebut.
Gangguan ringan yang terjadi pada bayi ini mungkin dapat dijadikan prediksi untuk gangguan alergi
dikemudian hari. Gangguan sesak pada bayi baru lahir atau TRDN beresiko terjadi astma pada usia sebelum
sekolah. Gejala hipersekresi bronkus atau suara napas ”grok-grok” yang terjadi pada usia bayi, ke depan anak
seperti ini akan beresiko mengalami gangguan sensitif pada saluran napasnya. Anak akan beresiko mudah
batuk, dan bila terkena Infeksi Saluran napas gejala batuknya lebih berat, sesak dan lebih lama sembuh. Anak
yang mengalami gangguan saluran cerna seperti malam sering rewel atau kolik. Di kemudian hari anak akan
beresiko sensitif gangguan mengalami gangguan saluran cerna misalnya sering sakit perut, sulit BAB, sulit
makan atau berat badan yang sulit naik. Sedangkan bayi yang mengalami gangguan motorik yang berlebihan
dan mudah bosan terhadap mainan dan ruangan sempit maka dikemudian haru beresiko terjadi gangguan
konsentrasi. Gangguan ini dapat mengganggu prestasi sekolah anak.
Banyak gangguan pada usia bayi tersebut, dikemudian hari akan mengakibatkan resiko terjadinya gangguan
alergi dan gangguan perilaku lainnya dikemudian hari. Gangguan yang dapat terjadi di kemudian hari adalah
astma, sinusitis, Iritabel Bowel Disease (gangguan saluran cerna), migrain dan sebagainya. Sedangkan
gangguan perilaku yang bisa terjadi dikemudian hari adalah keterlambatan bicara, sulit tidur, gangguan
konsentrasi, emosi meningkat, gangguan belajar, gangguan motorik kasar seperti mudah jatuh dan tersandung,
gangguan proses mengunyah dan lain sebagainya. Bahkan anak yang mempunyai bakat genetik ADHD dan
Autis yang disertai alergi mungkin dapat diminimalkan gangguannnya sejak dini.
Gangguan pada bayi yang sering dianggap normal ini memang ringan dan tampaknya tidak berbahaya. Dalam
keadaan seperti ini sebenarnya bisa dilakukan pencegahan dan intervensi sejak dini. Sehingga gangguan organ
tubuh dan gangguan perilaku yang terjadi dikemudian hari bisa dicegah atau paling tidak diminimalkan sejak
dini. Bila sudah divonis normal dan dianggap biasa maka upaya pencegahan yang seharusnya bisa dilakukan
menjadi terabaikan

PENYEBAB ALERGI MAKANAN PADA BAYI


Alergi makanan lebih sering terjadi pada usia bayi atau anak dibandingkan pada usia dewasa. Hal itu terjadi
karena belum sempurnanya saluran cerna pada anak. Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik
merupakan pelindung masuknya alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan
menyebabkan denaturasi allergen. Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina
propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur sistem pertahanan tubuh tersebut
masih lemah dan gagal berfungsi sehingga memudahkan alergen, virus dan bakteri masuk ke dalam tubuh.
Dengan pertambahan usia, ketidakmatangan saluran cerna tersebut semakin membaik. Biasanya setelah 2 tahun
saluran cerna tersebut berangsur membaik. Hal ini juga yang mengakibatkan penderita alergi sering sakit pada
usia sebelum 2 tahun. Fenomena tersebut juga menunjukkan bahwa sewaktu bayi atau usia anak mengalami
alergi makanan tetapi dalam pertambahan usia membaik.
Gejala dan tanda karena reaksi alergi pada anak dapat ditimbulkan oleh adanya alergen dari beberapa makanan
tertentu yang dikonsumsi bayi. Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau polipeptida
dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan ensim proteolitik. Sebagian besar alergen
pada makanan adalah glikoprotein dan berkisar antara 14.000 sampai 40.000 dalton. Molekul-molekul kecil
lainnya juga dapat menimbulkan kepekaan (sensitisasi) baik secara langsung atau melalui mekanisme hapten-
carrier.
Susu sapi dianggap sebagai penyebab alergi makanan pada bayi yang paling sering. Beberapa penelitian di
beberapa negara di dunia prevalensi alergi susu sapi pada anak dalam tahun pertama kehidupan sekitar 2%.
Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan system tubuh yang
ditimbulkan oleh alergi terhadap susu sapi. Reaksi hipersensitif terhadap protein susu sapi dengan keterlibatan
mekanisme sistem imun. Reaksi simpang makanan yang tidak melibatkan mekanisme sistem imun dikenal
sebagai intoleransi susu. Sekitar 1-7% bayi pada umumnya menderita alergi terhadap protein yang terdapat
dalam susu sapi. Sedangkan sekitar 80% susu formula bayi yang beredar di pasaran ternyata menggunakan
bahan dasar susu sapi. Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan system
tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap susu sapi. Reaksi hipersensitif terhadap protein susu sapi dengan
keterlibatan mekanisme sistem imun. Alergi terhadap protein susu sapi atau alergi terhadap susu formula yang
mengandung protein susu sapi merupakan suatu keadaan dimana seseorang memiliki sistem reaksi kekebalan
tubuh yang abnormal terhadap protein yang terdapat dalam susu sapi. Sistem kekebalan tubuh bayi akan
melawan protein yang terdapat dalam susu sapi sehingga gejala-gejala reaksi alergi pun akan muncul.
Pada bayi yang hanya mendapatkan ASI eksklusif maka diet yang dikonsumsi ibu sangat berpotensi
menimbulkan gangguan alergi. Diet ibu yang sangat berpotensi menimbulkan gangguan pada bayi yang paling
sering adalah ikan laut (terutama yang kecil seperti udang, kerang, cumi dan sebagainya), kacang tanah dan
buah-buahan (tomat, melon, semangka).
Saat pemberian makanan tambahan usia 4-6 bulan, gejala alergi pada bayi sering timbal. Jenis makanan yang
sering diberikan dan menimbulkan gangguan adalah pemberian buah-buahan (jeruk, dan pisang), bubur susu
(kacang hijau), nasi tim (tomat, ayam, telor, ikan laut (udang, cumi,teri), keju, dan sebagainya. Sehingga
penundaan pemberian makanan tertentu dapat mengurangi resiko gangguan alergi pada anak. Menurut beberapa
penelitian pemberian multivitamin pada bayi beresiko alergi ternyata meningkatkan gangguan penyakit alergi di
kemudian hari.

PENANGANAN
Penanganan alergi yang terbaik pada bayi adalah menghindari penyebab alergi tersebut. Pada alergi makanan
gejala alergi akan berkurang atau hilang bila makanan sebagai penyebabnya dihindarkan. Hanya saja secara
praktis agak rumit untuk mencari penyebab pasti penyebabnya karena pemeriksaan alergi (tes alergi) tidak dapat
memastikan penyebab alergi tersebut. Sehingga cara yang dianggap paling murah dan sederhana yang dapat
memastikan penyebab alergi adalah dengan cara eliminasi terbuka sederhana. Bila timbul keluhan dicatat
penyebab alergi terbut, meskipun alergi terhadap jenis makanan tertentu tidak berlangsung seterusnya. Dengan
semakin meningkatnya usia anak alergi makanan tertentu akan menghilang, kecuali makanan kacang tanah dan
beberapa ikan laut biasanya daopat menetap hingga usia dewasa.
Penanganan alergi pada bayi haruslah dilakukan secara benar, paripurna dan berkesinambungan. Pemberian
obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam penanganan alergi, tetapi yang paling ideal adalah menghindari
penyebab yang bisa menimbulkan keluhan alergi tersebut. Penghindaran penyebab alergi ini harus disertai
edukasi yang baik terhadap orang tua atau orang lain di lingkungan anak. Pemberian obat-obatan pencegahan
alergi dan obat lainnya adalah bentuk kegagalan dalam mengidentifikasi dan penghindaran penyebab alergi.
Obat-obatan simtomatis, anti histamine (AHi dan AH2), ketotifen, kortikosteroid (baik topikal maupun oral),
serta inhibitor sintesase prostaglandin hanya dapat mengurangi gejala sementara, tetapi umumnya mempunyai
efisiensi rendah dan sudah mulai banyak ditinggalkan..

PENCEGAHAN ALERGI SEJAK DINI


Bila terdapat riwayat keluarga baik saudara kandung, orangtua, kakek, nenek atau saudara dekat lainnya yang
alergi atau asma. Dan bila anak sudah terdapat ciri-ciri alergi sejak lahir atau bahkan bila mungkin deteksi sejak
kehamilan maka harus dilakukan pencegahan sejak dini. Resiko alergi pada anak dikemudian hari dapat
dihindarkan bila kita dapat mendeteksi dan mencegah sejak dini.
Pencegahan alergi makanan terbagi menjadi 3 tahap, yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier.
1. Pencegahan Primer , bertujuan menghambat sesitisasi imunologi oleh makanan terutama mencegah
terbentuknya Imunoglobulin E (IgE).. Pencegahan ini dilakukan sebelum terjadi sensitisasi atau terpapar dengan
penyebab alergi. Hal ini dapat dilakukan sejak saat kehamilan.
2. Pencegahan sekunder, bertujuan untuk mensupresi (menekan) timbulnya penyakit setelah sensitisasi.
Pencegahan ini dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi manifestasi penyakit alergi belum muncul. Keadaan
sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan IgE spesifik dalam serum darah, darah tali pusat atau uji kulit.
Saat tindakan yang optimal adalah usia 0 hingga 3 tahun.
3. Pencegahan tersier, bertujuan untuk mencegah dampak lanjutan setelah timbulnya alergi. Dilakukan pada
anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan manifestasi penyakit yang masih dini tetap[i belum
menunjukkan gejala penyakit alergi yang lebih berat. Saat tindakan yang optimal adalah usia 6 bulan hingga 4
tahun.

Kontak dengan antigen harus dihindari selama periode rentan pada bulan-bulan awal kehidupan, saat limfosit T
belum matang dan mukosa usus kecil dapat ditembus oleh protein makanan. Ada beberapa upaya pencegahan
yang perlu diperhatikan supaya anak terhindar dari keluhan alergi yang lebih berat dan berkepanjangan
dikemudian hari :
• Hindari atau minimalkan penyebab alergi sejak dalam kandungan, dalam hal ini oleh ibu. Bila ibu hamil
didapatkan gerakan atau tendangan janin yang keras dan berlebihan pada kandungan disertai gerakan denyutan
keras (hiccups/cegukan) terutama malam atau pagi hari, maka sebaiknya ibu harus mulai menghindari penyebab
alergi sedini mungkin. Committes on Nutrition AAP menganjurkan elinasi diet jenis kacang-kacangan untuk
pencegahan alergi sejak dalam kehamilan.
• Pemberian makanan padat dini dapat meningkatkan resiko timbulnya alergi. Bayi yang mendapat makanan
pada usia 6 bulan mempunyai angka kejadian dermatitis alergi yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi
yang mulai mendapat makanan tambahan pada usia 3 bulan.
• Hindari paparan debu di lingkungan seperti pemakaian karpet, korden tebal, kasur kapuk, tumpukan baju atau
buku. Hindari pencetus binatang (bulu binatang piaraan kucing dsb, kecoak, tungau pada kasur kapuk).
• Tunda pemberian makanan penyebab alergi, seperti ayam di atas 1 tahun, telor, kacang tanah di atas usia 2
tahun dan ikan laut di atas usia 3 tahun.
• Bila membeli makanan dibiasakan untuk mengetahui komposisi makanan atau membaca label komposisi di
produk makanan tersebut.
• Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah resiko alergi pada bayi . Bila bayi minum ASI, ibu
juga hindari makanan penyebab alergi. Makanan yang dikonsumsi oleh ibu dapat masuk ke bayi melalui ASI.
Terutama kacang-kacangan, dan dipertimbangkan menunda telur, susu sapi dan ikan. Meskipun masih terdapat
beberapa penelitian yang bertolak belakang tentang hal ini.
• Committes on Nutrition AAP menganjurkan pemberian suplemen kalsium dan vitamin selama menyusui.
• Bila ASI tidak memungkinkan atau kalau perlu kurang gunakan susu hipoalergenik formula untuk pencegahan
terutama usia di bawah 6 bulan.Bila dicurigai alergi terhadap susu sapi bisa menggunakan susu protein
hidrolisat. Penggunaan susu soya harus tetap diwaspadai karena 30 – 50% bayi masih mengalami alergi
terhadap soya.
• Bila timbul gejala alergi, identifikasi pencetusnya dan hindari.

Pemberian ASI atau Susu protein hidrolisa selama bulan pertama. yang terbukti sangat kuat secara ilmiah.
Sedangkan yang terbukti kuat lainnya adalah eliminasi tungau debu rumah pada awal kehidupan, eliminasi
penyebab alergi pada usia > 4 – 6 bulan dan pemakaian Prebiotik. Pencegahan dengan menunda makanan padat
masih belum banyak penelitian yang mengungkapkan. Sedangkan pencegahan dengan Penambahan PUFA
omega 3, penambahan nutrisi lain (Zn, Ca, Fe, nukleotida) dan imunoterapi masih diragukan dan perlu
penelitian lebih jauh. Pemberian obat-obatan antihistamin dan ketotifen dengan efek antiinflamasi sebagai
pencegahan tidak terbukti secara klinis dan sudah mulai ditinggalkan sebagai upaya pencegahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Crittenden RG, Bennett LE..Cow's milk allergy: a complex disorder. J Am Coll Nutr. 2005 Dec;24(6
Suppl):582S-91S.
2. Tokodi I, Maj C, Gabor S. Cycle vomiting syndrome as a clinical appearance of eosinophilic gastroenteritis.
Orv Hetil. 2005 Oct 30;146(44):2265-9. Hungarian..
3. Oldak E. The incidence and clinical manifestation of food allergy in unselected Polish infants: follow-up
from birth to one year of age. Rocz Akad Med Bialymst. 1997;42(1):196-204.
4. Julge K, Vasar M, Bjorksten B. The development of atopic sensitization in Estonian infants.
Acta Paediatr. 1997 Nov;86(11):1188-94.
5. Cantani A, Gagliesi D..Severe reactions to cow's milk in very young infants at risk of atopy.
Allergy Asthma Proc. 1996 Jul-Aug;17(4):205-8.
6. Iacono G, Cavataio F, Montalto G, Soresi M, Notarbartolo A, Carroccio A..Persistent cow's milk protein
intolerance in infants: the changing faces of the same disease.
Clin Exp Allergy. 1998 Jul;28(7):817-23.
7. Paajanen L, Korpela R, Tuure T, Honkanen J, Jarvela I, Ilonen J, Knip M, Vaarala O, Kokkonen J..Cow milk
is not responsible for most gastrointestinal immune-like syndromes--evidence from a population-based study.
Am J Clin Nutr. 2005 Dec;82(6):1327-35.
8. Kaczmarski M, Wasilewska J, Lasota M..Hypersensitivity to hydrolyzed cow's milk protein formula in
infants and young children with atopic eczema/dermatitis syndrome with cow's milk protein allergy. Rocz Akad
Med Bialymst. 2005;50:274-8..
9. Kim KH, Hwang JH, Park KC.Periauricular eczematization in childhood atopic dermatitis.
Pediatr Dermatol. 1996 Jul-Aug;13(4):278-80.
10. Stogmann W, Kurz H. Atopic dermatitis and food allergy in infancy and childhood.
Wien Med Wochenschr. 1996;146(15):411-4. Review. German.
11. Bock SA: Evaluation of IgE-mediated food hypersensitivities. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000; 30 Suppl:
S20-7.
12. Carroccio A, Montalto G, Custro N, et al: Evidence of very delayed clinical reactions to cow's milk in cow's
milk-intolerant patients. Allergy 2000 Jun; 55(6): 574-9..
13. Dupont C, Heyman M: Food protein-induced enterocolitis syndrome: laboratory perspectives. J Pediatr
Gastroenterol Nutr 2000; 30 Suppl: S50-7.
14. Hill DJ, Heine RG, Cameron DJ: The natural history of intolerance to soy and extensively hydrolyzed
formula in infants with multiple food protein intolerance. J Pediatr 1999 Jul; 135(1): 118-21.
15. Host A, Halken S, Jacobsen HP, et al: Clinical course of cow's milk protein allergy/intolerance and atopic
diseases in childhood. Pediatr Allergy Immunol 2002; 13 Suppl 15: 23-8.
16. Kelly KJ: Eosinophilic gastroenteritis. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000; 30 Suppl: S28-35.
17. Kelly KJ, Lazenby AJ, Rowe PC: Eosinophilic esophagitis attributed to gastroesophageal reflux:
improvement with an amino acid-based formula. Gastroenterology 1995 Nov; 109(5): 1503-12.
18. Lake AM: Food-induced eosinophilic proctocolitis. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000; 30 Suppl: S58-60.
19. Lake AM, Whitington PF, Hamilton SR: Dietary protein-induced colitis in breast-fed infants. J Pediatr 1982
Dec; 101(6): 906-10.
20. Lindberg T: Infantile colic: aetiology and prognosis. Acta Paediatr 2000 Jan; 89(1): 1-2.
21. Novembre E, Vierucci A: Milk allergy/intolerance and atopic dermatitis in infancy and childhood. Allergy
2001; 56 Suppl 67: 105-8.
22. Sampson HA, Anderson JA: Summary and recommendations: Classification of gastrointestinal
manifestations due to immunologic reactions to foods in infants and young children. J Pediatr Gastroenterol
Nutr 2000; 30 Suppl: S87-94.
23. Vandenplas Y, Hauser B, Van den Borre C, Clybouw C, Mahler T, Hachimi-Idrissi S, Deraeve L, Malfroot
A, Dab I.. The long-term effect of a partial whey hydrolysate formula on the prophylaxis of atopic disease.Eur J
Pediatr. 1995 Jun;154(6):488-94.
24. Egger, J et al. Controlled trial of oligoantigenic treatment in the hyperkinetic syndrome. Lancet (1) 1985:
540-5
25. Overview Allergy Hormone. htpp://www.allergycenter/allergy Hormone.
26. Allergy induced Behaviour Problems in chlidren . htpp://www.allergies/wkm/behaviour.
27. Brain allergic in Children.htpp://www.allergycenter/UCK/allergy.
28. William H., Md Philpott, Dwight K., Phd Kalita, Dwight K. Kalita PhD, Linus Pauling PhD, Linus. Pauling,
William H. Philpott MD. Brain Allergies: The Psychonutrient and Magnetic Connections.
29. Ray C, Wunderlich, Susan PPrwscott. Allergy, Brains, and Children Coping. London.2003
30. Hall K. Allergy of the nervous system : a reviewAnn Allergy 1976 Jan;36(1):49-64.
31. Goyal RK, Hirano I. The enteric nervous system. N Engl J Med 1996;334:1106-1115.

You might also like