Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh belahan
dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada anak-anak
baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga
berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi
baik indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di
Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan sekitar
6,5% pada usia sekolah menengah pertama.
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal tahun 60-an,
bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an berkembang
menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi juga disertai
adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada tatalaksana
asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma.
Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan
pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi. Pada saat ini
upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga harus dapat mencegah
terjadinya remodelling.
Di Indonesia Unit Kerja Koordinasi (UKK) Pulmonologi dan Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) telah membuat suatu Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA).
Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat serangan asma
(eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang (aspek kronis).
Pengetahuan mengenai definisi, cara mendiagnosis, pencetus, patogenesis dan
tatalaksana yang tepat dapat mengurangi kesalahan berupa underdiagnosis dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Asma
Penyakit asma berasal dari kata "asthma" dari bahasa Yunani yang berarti
"sukar bernafas". Menurut Scadding dan Godfrey, asma merupakan penyakit
yang ditandai dengan variasi luas dalam waktu yang pendek terhambatnya aliran
udara dalam saluran nafas paru yang bermanifestasi sebagai serangan batuk
berulang atau mengi (wheezing) dan sesak nafas biasanya terjadi di malam hari.1
Asma adalah kondisi peradangan pada saluran nafas yang mengakibatkan
obstruksi atau penyumbatan saluran nafas secara episodik. Peradangan kronis ini
menyebabkan hiperesponsif dari saluran nafas terhadap paparan yang bersifat
merangsang (alergen). Keadaan histopatologis pada saluran nafas yang terjadi
pada pasien asma sendiri meliputi kerusakan jaringan epitel, deposisi jaringan
kolagen pada subepitel dengan penebalan pada basal membran dan kelenjar
mukus serta hipertrofi pada otot polos. Kondisi patologis inilah yang berkaitan
dengan inflamasi, obstruksi serta hiperresponsif pada saluran nafas.2
GINA (Global Initiative for Asthma) mengeluarkan batasan asma yang
lengkap, yang menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme
terjadinya asma. Asma ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan
banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada
orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak
napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas
namun bervariasi, sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun
bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan
mukus yang disekresi oleh sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu
yang kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang
hidung. Sedangkan, partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk
kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan
mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan
dibawahnya yang kaya dengan pembuluh darah, sehingga bila udara mencapai
faring hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembapannya
mencapai 100%. 4
Gambar
2.1
Anatomi sistem pernapasan
Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan
antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring. Laring merupakan saluran
udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian faring
sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya. Laring
merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan
mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang merupakan
pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah.4
Trakea dibentuk dari 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan dan diantara
kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa dan di bagian
sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar (sel bersilia) yang
hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan bendabenda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari
jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa.4
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea dan terdapat dua cabang yang
terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Sedangkan, tempat dimana
trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina
memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang
kuat jika batuk dirangsang. Bronkus utama kanan lebih pendek, lebih besar dan
lebih vertikal dari yang kiri yang terdiri dari 6-8 cincin dan mempunyai tiga
cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang, lebih kecil, terdiri dari 9-12 cincin
serta mempunyai dua cabang.4
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak
mengandung alveoli dan memiliki garis tengah 1 mm. Seluruh saluran udara
mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar
udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitelium yang
mengandung lebih banyak sel goblet dan otot polos. Setelah bronkiolus
terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru yaitu tempat
pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan
sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru.4
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu
pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas dibagi
menjadi 3 proses. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar
masuknya udara melalui cabang-cabang trakeobronkial sehingga oksigen sampai
pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya
perbedaan tekanan antara udara luar dengan di dalam paru-paru. Proses kedua
adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran
alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggi
tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen
dalam alveoli mempunyai tekanan parsial yang lebih tinggi dari oksigen yang
berada didalam darah. Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan parsialnya dari
pada karbondioksida di alveoli. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses
penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan melalui transpor aliran darah.4
2.3
Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang banyak diderita oleh anak dan
dewasa baik di negara maju maupun di negara berkembang. Sekitar 300 juta
manusia di dunia menderita asma dan diperkirakan akan terus meningkat hingga
mencapai 400 juta pada tahun 2025. Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi
dan penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kekerapan asma semakin
meningkat terutama di negara maju. Studi di Australia, New Zealand dan Inggris
menunjukkan bahwa Prevalens asma anak meningkat dua kali lipat pada dua
dekade terakhir.5
Penelitian ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in
Childhood) tahap pertama yang dilakukan di 56 negara mendapatkan angka
prevalens yang sangat bervariasi berkisar antara 2,1% hingga 32,2% pada
kelompok 13-14 tahun dan 4,1% hingga 32,1% pada kelompok 6-7 tahun. Angka
kekerapan yang tinggi terutama pada negara yang berbahasa Inggris , Australia
dan New Zealand, sedangkan prevalens asma rendah pada negara berkembang
seperti China, India, Meksiko dan Indonesia.5
Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penybab
kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995,
prevalens asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis
kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/1000. Meskipun belum ada survei asma
secara nasional di Indonesia, dari penelitian yang ada menyimpulkan bahwa
prevalens asma di daerah rural (4,3%) lebih rendah daripada di daerah urban
(6,5%) dan yang tertinggi adalah di kota besar seperti di Jakarta (16,4%).5
2.4
Patofisiologi Asma
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang
timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan.
Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus,
sehingga pengobatan utama asma adalah untuk mengatasi bronkospasme.3
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang
khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran
udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya
inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan
sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini
terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.3
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada
populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita
asma anak dan dewasa.3
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada
awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel
plasma. IgE melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila
ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat
(immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan
mediator-mediator seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2
(PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan
spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas
kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul
adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali serangan
asma hilang dengan pengobatan.3
(dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari yang tersensitisasi,
iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas
fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkan obstruksi
saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara
spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung
obstruksi saluran napas adalah edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi
mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami
volume penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan,
pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah
karakteristik anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil
terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran
napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan
otot polos saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya
saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus.4
2.5
Faktor Resiko5,6
Faktor Pejamu
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi
berkembangnya
asma
Alergen di dalam ruangan
Prediposisi genetik
Mite domestik
Atopi
Hiperesponsif jalan Alergen binatang
Alergen kecoa
napas
Jenis kelamin (L:Pr Jamur (fungi, molds,
yeasts)
= 1,5-2 : 1)
Alergen di luar ruangan
Tepung sari bunga
Jamur (fungi, molds,
yeasts)
Bahan di lingkungan kerja
Asap rokok
Perokok aktif
Faktor Lingkungan
Mencetuskan
eksaserbasi
2.6
Perokok pasif
Infeksi pernapasan
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Diet dan obat
Obesitas
Gejala Klinis
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan
beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik
sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh
gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat
di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup
untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan fisik dan
pengukuran faal paru,akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.6
Riwayat penyakit / gejala :6
Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
2.7
Klasifikasi
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah, derajat gejala
eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari
derajat sebelumnya.7
2.7.1
terutama dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit
dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.7
2.7.2
yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan
persisten berat.7
2.7.3
Asma Episodik
Jarang
Asma Episodik
Sering
Asma Episodik
persisten
< 1x/bulan
< 1 minggu
> 1x/bulan
1 minggu
Intensitas serangan
Diantara serangan
Tidur dan aktivitas
Pemeriksaan Fisik diluar
serangan
Obat pengendali
(antiinflamasi)
Uji Faal Paru (diluar
serangan)
Variabilitas faal paru (bila
ada serangan)
Biasanya ringan
Tanpa gejala
Tidak terganggu
Normal (tidak
ditemukan kelainan)
Tidak perlu
Biasanya sedang
Sering ada gejala
Sering terganggu
Mungkin terganggu
(ditemukan kelainan)
Perlu
Sering
Hampir sepanjang
tahun, tidak ada remisi
Biasanya berat
Gejala siang dan malam
Sangat terganggu
Tidak pernah normal
PEF/FEV1 >80%
PEF/FEV1 60-80%
Variabilitas >15 %
Variabilitas >30%
Perlu
PEF/FEV1 <60%
Variabilitas 20-30%
Variabilitas >50%
Ringan
Sedang
Berat
Berjalan
Bayi : Menangis
Keras
Istirahat
Bayi : tidak mau
makan/minum
Bicara
Posisi
Kalimat
Bisa berbaring
Bicara
Bayi: tangis pendek
dan lemah,
kesulitan makan
dan minum
Penggal kata
Lebih suka duduk
Kesadaran
Mungkin Irritable
Biasanya irritable
Kata-kata
Duduk bertopang
lengan
Biasanya irritable
Sianosis
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Ancaman
Henti Nafas
Bingung dan
mengantuk
Nyata/jelas
Mengi (Wheezing)
Laju nafas
Laju nadi
Pulsus paradoksus
Sedang, sering
hanya pada akhir
ekspirasi
Minimal
Biasanya tidak
Dangkal,
rektraksi
intercostal
Meningkat
Normal
Tidak ada
Nyaring, sepanjang
ekspirasi
inspirasi
Sedang
Biasanya ya
Sedang, ditambah
retraksi
suprastrenal
Meningkat
Takikardi
Ada
Sangat nyaring,
terdengar tanpa
stetoskop
Berat
Ya
Dalam, ditambah
nafas cuping
hidung
Meningkat
Takikardi
Ada
SaO2 %
PaO2
PaCO2
>95%
Normal
<45 mmHg
91-95%
>60 mmHg
<45 mmHg
91%
<60 mmHg
>45 mmHg
Sesak nafas
Obat bantu nafas
Retraksi
2.8
Sulit/tidak
terdengar
Dangkal/hilang
Menurun
Bradikardi
Tidak ada, tanda
kelelahan otot
nafas
Diagnosis
Wheezing berulang dan / atau batuk kronik berulang merupakan titik awal
untuk
menegakkan
diagnosis.
Termasuk
yang
perlu
dipertimbangkan
2.9
Diagnosis diferensial
Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma.
Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma meliputi
rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan silentdisease pada anak, sedangkan pada anak dengan sinusitis kronik tidak memiliki
gejala yang khas seperti dewasa dengn adanya nyeri tekan local pada daerah
sinus yang terkena. Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit komorbid
yang sering pada asama, sehingga membuat terapi spesifik pada asma tidak
diberikan dengan tepat.3
Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi pada
keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan napas congenital,
fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan, mengi
biasanya ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan kelainan jantung
dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkan oleh
respiratory syncitial virus merupakan penyebab mengi yang umum.pada anak
yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi pita suara. Selain
itu, batuk berulang juga dapat ditemukan pada tuberculosis terutama pada daerah
dengan penyebaran tinggi Tuberculosis.3
Berikut ini diagnosis banding dari asma:3,8
1. Rinosinusitis
2. Refluks gastroesofageal
3. Infeksi respiratorik bawah viral berulang
4. bronkiolitis
5. Displasia bronkopulmoner
6. Tuberkulosis
7. Malformasi
kongenital
yang
menyebabkan
penyempitan
saluran
respiratorik
8. Intratorakal
9. Aspirasi benda asing
10. Penyakit jantung bawaan
2.10
Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.7
2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal
paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara
yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal,
dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif
(spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding
PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk
diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran
napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik,
APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat
melakukan pemeriksaan FEV1.7
3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak
disebabkan asma.7
4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan
adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong
anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak
selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi
Terapi
Beberapa hal yang menjadi tujuan terapi asma pada anak, yaitu:2,7,8
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup
meningkat
2. Mempertahankan aktivitas normal pada anak termasuk latihan jasmani dan
3.
4.
5.
6.
7.
aktivitas lainnya
Mencegah eksaserbasi akut dan meminimalkan kunjngan ke gawat darurat
Mencegah terjadinya gejala asma menjadi lebih berat.
Mempertahankan dan meningkatkan fungsi faal paru tetap normal
Mengurangi efek samping obat.
Mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi genetiknya.
National
Asthma
Education
and
Prevention
Program
(NAEPP),
Penilaian monitor rutin pada asma, mengontrol faktor pencetus terjadinya asma,
farmakoterapi dan edukasi.
2.11.1 Penilaian dan Monitoring rutin
Terapi asma akan lebih optimal melalui kontrol terapi setiap 2-4 minggu
sekali hingga kontrol keadaan asma terbaik sudah tercapai. 2-4 kali
kunjungan pertahun direkomendasikan untuk mempertahankan kondisi
asma terkontrol. Selama proses check-up, pengontrolan asma dapat dinilai
malalui: 1) frekuensi serangan asma per hari, malam dan saat aktivitas fisik,
2) frekuensi perbaikan klinis setelah penggunaan obat short-acting agonis ,
3) seberapa banyak dan tingkat keparahan asma yang kambuh setelah
kunjungan terakhir, 4) partisipasi anak pada kegiatan sekolah serta aktivitas
fisik lainnya.2
2.11.2 Menghindari Faktor Pencetus
Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang
cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap salur an respiratorik yang
berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi.
Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan
terhadap saluran respiratorik.2
2.11.3 Terapi Farmakologi
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda ada yang
menyebutnya pelega, atau obat serangan. Obat kelompok ini digunakan
untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila
serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat ini tidak
digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang sering
disebut sebagai obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan
untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respitorik kronik.
Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu
yang relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan responsnya terhadap
pengobatan/penanggulangan.3
2.11.3.1
yang
dapat
menyebabkan
pengobatan/tindakan.3
Gambar 2.5 Tatalaksana Asma Akut
keterlambatan
dalam
2.11.3.2
penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8
minggu, maka derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up).
Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya
beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid
hirupan dihentikan penggunaannya.3
Sebelum
melakukan
step-up,
perlu
dievaluasi
pelaksanaan
penatalaksanaan
rintis
dan
sinusitis
secara
optimal
dapat
yang
baik,
diperlukan
terapi
alternatif
pengganti
yaitu
Prognosis
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing
tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok
tersebut berkisar antara 45 hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe
studi kohort, dan lamanya pemantauan. Adanya asma pada orang tua dan
dermatitis atopik pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator
penting untuk terjadinya asma dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal
tersebut maka kemungkinan menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu di
atas disertai dengan 2 dari 3 keadaan berikut yaitu eosinofia, rinitis alergika, dan
wheezing yang menetap pada keadaan bukan flu.3
BAB 3
TINJAUAN KASUS
3.1
Identitas Pasien
Nama
: An. H
Usia
: 7 tahun
: Pojok, Mojoroto
Nama ayah
: Tn. R
: Ny. Y
Keluhan Utama
Sesak
3.2.2
Anak sesak sejak 1 hari yang lalu, sesak hilang timbul. Sebelumnya
anak sempat memakan coklat dan ciki, lalu saat sore hari saat anak
hilang.
Dalam sebulan ini anak sudah 2 kali kambuh, saat sesak anak hanya
dapat mengucapkan kata-kata, dan lebih senang posisi duduk
bertopang lengan.
Pilek (+) sejak 3 hari yang lalu, batuk (+) dan muntah (+) 2 kali hari
ini dan demam (-). BAB dan BAK dalam batas normal.
Setiap harinya anak kejang > 10 kali perhari mulai saat bangun tidur,
durasi kejang 15-30 detik, saat kejang anak tampak melamun, mata
terbuka sambil melihat keatas. Lalu tersadar seketika dan anak
berkedip. Diantara kejang anak sadar.
3.2.3
mg dan dexametason.
Epilepsi sejak usia 2 tahun, sebelumnya saat usia 1-1,5 tahun anak
pernah jatuh dari kursi, kepala belakang terbentur. Anak rutin kontrol
ke Poli saraf dan mengkonsumsi obat epilepsi rutin, tetapi kejang
sering kambuh bahkan setiap hari. Saat kejang anak membuka mata
3.2.4
3.2.5
Riwayat Sosial
Ayah dan ibu pasien bekerja sebagai wiraswasta. Pasien tinggal di rumah
permanen bersama ayah, ibu dan kakak pasien. Hingga usianya 7 tahun,
pasien lebih senang bermain dengan teman yang usianya dibawah pasien,
dan pasien belum bersekolah.
3.2.6
Riwayat Imunisasi
Imunisasi lengkap
3.2.7
3.3
Pemeriksaan
Keadaan umum
Kesadaran
Vital sign
Hasil
Tampak sakit sedang
Compos Mentis
TD : 100/70 mmHg, N : 130 x/menit, t :
Kepala/Leher
36,90C, RR : 40 x/menit, BB : 26 Kg
Anemis (+), icteric (-), sianosis (-),
dyspneu (+).
Nafas cuping hidung (+), pembesaran
KGB (-), Tonsil hiperemi (-), edema
Thorak
+ +
+ +
+ +
Cor : S1S2 tunggal, bising (-).
Bentuk normal, meteorismus (-)
Abdomen
Ekstremitas
sianosis (-)
3.4
Pemeriksaan Penunjang
3.4.1
Laboratorium
Hasil Lab
HGB
RBC
WBC
HCT
PLT
11.6 gr/dl
3.89 x 106/uL
14.18
33.4 %
298 x 103/Ul
Parameter
11.0 16.5
3.80 6.00
4.0 10.0
35 50
150 450
3.4.2
Radiologi
3.5
Problem List
1.
2.
3.
4.
5.
6.
3.6
Diagnosis Kerja
1. Status asmatikus
2. Epilepsi petit mal (Absence)
3.7
Diagnosis Diferensial
1.1 Bronkitis akut
3.8
Planning
3.8.1
Diagnosis
3.8.2
Terapi
Follow Up
Subjektif
30/07/15
(00.45)
+
+
+
+
+
30/07/15
(04.00)
+
+
+
+
+
Tanggal
31/07/15
01/08/15
02/08/15
+ (berkurang)
+
+
+
+ (berkurang)
+
+
(+) berkurang
+
+
Suhu
RR
Nadi
Tensi
Objektif
36.9
40
130
110/70
36.5
36
92
110/70
36.5
30
100
100/70
36.2
28
90
100/60
36.3
22
94
110/70
Anemis
Dispneu
Nafas cuping hidung
Retraksi intercostal
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Sesak
Batuk
Pilek
Muntah
Kejang
Vital sign
Retraksi suprasternal
Ronkhi
Wheezing
Terapi
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+(berkurang)
+
Infus N2
Salbutamol Nebul
Drip Aminofilin
Dexametason Injeksi
Salbutamol tablet
Ambroksol tablet
Asam Valproat
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
aff
+
+
+
+
+
BAB 4
PEMBAHASAN
Telah diajukan sebuah kasus, seorang anak usia 7 tahun, laki-laki dengan
diagnosis status asmatikus dan epilepsi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
adanya sesak berulang, sesak yang lebih dari 15 menit, adanya batuk dan pilek berwarna
bening, muntah 2 kali dan adanya riwayat asma pada anak serta keluarganya. Dalam
sebulan ini anak sudah 2 kali kambuh, saat sesak anak hanya dapat mengucapkan katakata, dan lebih senang posisi duduk bertopang lengan. 1 hari sebelum MRS anak sempat
sesak dan mendapatkan nebulizer dan sesak reda, lalu anak pulang. Saat sore sebelum
MRS anak sesak kembali dan tidak berespon dengan nebul di UGD.
Selain sesak, anak juga sering kejang setiap harinya. Kejang dimulai saat anak
bangun tidur, saat kejang anak membuka mata, tampak melamun sekitar 15-30 detik,
setiap hari anak kejang lebih dari 10 kali, riwayat kejang dalam keluarga disangkal,
namun anak pernah terjatuh saat usia 1 tahun, jatuh dari kursi dan kepala belakang
terbentur. Sejak usia 2 tahun anak mulai mengalami kejang seperti itu.
Berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan adanya anemis dan dispneu, nafas
cuping hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, serta pada auskultasi thorak
didapatkan ronkhi dan wheezing. Dari pemeriksaan laboratorium darah rutin terdapat
leukositosis, dan hasil foto thorax terkesan keradangan paru. Berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan diatas dapat disimpulkan anak mengalami serangan asma berat dan
epilepsi tipe petit mal (absence), dengan diferensial diagnosis berupa asma disertai
bronkhitis akut dan epilepsi tipe petit mal (absence). Pemeriksaan penunjang yang lain
seperti uji faal paru tidak dilakukan saat serangan akut karena dapat menyebabkan
keterlambatan dalam pengobatan fase akut.
Untuk terapi jangka panjang pada anak dengan asma, perlu diberikan secara per
inhalasi, karena berdasarkan anamnesis bahwa dalam 1 bulan ini anak sudah 2 kali
mengalami kekambuhan dan masuk rumah sakit karena serangan asmanya. Obat yang
digunakan yaitu berupa kombinasi 2 agonis dan steroid. Kontrol terhadap kepatuhan
penggunaan obat dan pengendalian faktor resiko pada tahap awal perlu dilakukan setiap
2-4 minggu sekali, hingga kondisi asma terkontrol dapat tercapai. Selain itu, kontrol
untuk epilepsinya juga perlu dilakukan di poli saraf setiap bulannya.
Karena anak memiliki 2 penyakit kronis secara bersamaan, maka edukasi kepada
orang tua juga perlu dilakukan dalam memantau tumbuh kembang anak sesuai dengan
potensi genetisnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Oemiati,R; Sihombing,M; Qomariah. Faktor Faktor yang Berhubungan dengan
Penyakit Asma di Indonesia. Media Litbang Kesehatan Indonesia. Vol. 20, no I.
2010.
2. Liu,A; Spahn J; Donald. Dalam Bab Chilhood Asthma. Nelson Textbook of
Pediatric. Edisi 17. USA:2003
3. Setiawati,L; Makmuri. Tatalaksana Jangka Panjang pada Asma Anak. Jurnal
Simposium Asma Anak IDAI.2013
4. Yunita,E. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Pada Anak. SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSU dr. Soedarso. Pontianak:2011
5. Ratnawati. Epidemiologi Asma pada Anak. Jurnal Respirologi Indonesia. Vol 31, no
4. 2011.
6. Supriatno,H. Diagnosis dan Petanalaksanaan Asma Terkini pada Anak. Majalah
Kedokteran Indonesia. Vol 55, no 3. 2005
7. Rengganis, I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia. Vol 58, no 11. 2008
8. Pedoman Pengendalian Asma Departemen Kesehatan RI 2009
LAMPIRAN
Fungsi
Nama generik
Sediaan
Keterangan
Obat Pereda
Obat Pengendali
Nama dagang
Fenoterol
Berotec
Salbutamol
Ventolin
Terbutalin
Bricasma
Golongan antikolinergik
Ipratropium
Atrovent
bromide
Golongan steroid
Budesonide
Pulmicort
Flutikason
Flixotide
Golongan - agonis + antikolinergik
Salbutamol
+ Combivent UDV
ipratropium
Sediaan
Dosis nebulisasi
Solution 0,1 %
Nebule 2,5 mg
Respule 2,5 mg
5 10 tetes
1 nebule
1 respule
Solution 0,025 %
> 6 tahun : 8 20
tetes
< 6 tahun: 4 10
tetes
Respules
Nebules
Unit Dose Vial
- 1 vial
Nama generik
MetilPrednisolon
Nama dagang
Medixon
Prednison
m.prednisolon
suksinat inj
Medixon
Hidrokortison
suksinat inj
Deksametason inj
Kalmetason
Betametason inj
Sediaan
Tablet 4 mg
Dosis
0,5
1
mg/kgBB/hari tiap
6 jam
Tablet 5 mg
0,5
1
mg/kgBB/hari tiap
6 jam
Vial 125 mg, vial 30 mg dalam 30
500 mg
mnt (dosis tinggi)
tiap 6 jam
Vial 100 mg
4
mg/kgBB/kali
tiap 6 jam
Ampul
0,5 1 mg/kgBB
bolus, dilanjutkan 1
mg/kgBB/hari
diberikan tiap 6 -8
jam
Ampul
0,05 0,1 mg/kgBB
tiap 6 jam