You are on page 1of 58

Jurnal

Manajemen
Pelayanan Kesehatan
The Indonesian Journal of Health Service Management
Volume 09/Nomor 02/Juni/2006

Daftar Isi

Editorial
Mengelola Bencana di Sektor Kesehatan: Membutuhkan Pendekatan Ilmiah 51

Makalah Kebijakan
Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik Kedokteran: Suatu Tinjauan Berdasarkan Undang-
Undang No. 9/2004 tentang Praktik Kedokteran
Hargianti Dini Iswandari 52

Artikel Penelitian
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Penempatan Dokter Spesialis Ikatan Dinas
S. R. Mustikowati, Laksono Trisnantoro, Andreasta Meliala 58

Persepsi dan Pengaruh Sistem Pembagian Jasa Pelayanan terhadap Kinerja Karyawan di
Rumah Sakit Jiwa Madani
Nofrinaldi, Adi Utarini, Andreasta Meliala 65

Analisis Jumlah Kebutuhan Tenaga Pekarya dengan Work Sampling di Unit Layanan Gizi
Pelayanan Kesehatan Sint Carolus Tahun 2005
M. Waseso Suharyono, Wiku B.B Adisasmito 72

Analisis Pekerjaan Pegawai Bagian Teknis Balai Laboratorium Kesehatan Semarang sebagai
Dasar Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan
Retno Wahyu Gayatri, Chriswardani Suryawati, L. Ratna Kartikawulan 80

Sistem Pemberian Insentif yang Berpihak pada Sumber Daya Manusia Kesehatan di Daerah Terpencil:
Studi Kasus Provinsi Lampung
Dumilah Ayuningtyas 87

Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas Melalui Pelatihan Berjenjang pada Dokter
dan Perawat
Iwan Dwiprahasto 94

Resensi Buku
Hard Facts, Dangerous Half-truths & Total Nonsense: Profiting From Evidence-Based Management 102

Korespondensi
Dampak Ekonomi dari Penyakit Avian Influenza (H5n1) di Bali 104

i
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
The Indonesian Journal of Health Service Management

Diterbitkan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 4
kali setahun (triwulan). Jurnal ini didukung oleh Program Pascasarjana UGM Ilmu Kesehatan Masyarakat yang mempunyai
berbagai minat utama dalam manajemen dan kebijakan pelayanan kesehatan. Minat-minat utama yang ada adalah Magis-
ter Manajemen Rumah Sakit, Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan, Magister Manajemen dan Kebijakan
Obat, Magister Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan.
Misi Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan adalah perkembangan menyebarluaskan dan mendiskusikan berbagai
tulisan ilmiah mengenai manajemen dan kebijakan dalam lingkup pelayanan kesehatan.
Jurnal ini ditujukan sebagai media komunikasi bagi kalangan yang mempunyai perhatian terhadap ilmu manajemen dan
kebijakan pelayanan kesehatan antara lain para manajer di organisasi-organisasi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit
pemerintah dan swasta, dinas kesehatan, departemen kesehatan pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat, BKKBN,
pengelola industri obat, dan asuransi kesehatan serta para peneliti, pengajar, dan ilmuwan yang tertarik dengan aplikasi
ilmu manajemen dan kebijakan dalam sektor kesehatan.
Isi jurnal berupa artikel atau hasil penelitian yang berkaitan dengan manajemen rumah sakit, manajemen pelayanan
kesehatan, asuransi, visi, dan masalah-masalah yang relevan dengan manajemen dan kebijakan kesehatan.

Pemimpin Redaksi
Laksono Trisnantoro

Editor
Abdul Razak Thaha Tjahjono Kuntjoro
Bhisma Murti Sri Werdati
Hasbullah Tabrany Yulita Hendrartini
Johana E. Prawitasari Yodi Mahendradhata
I. Riwanto

Mitra Bestari (Peer Reviewer)


A.A.Gde Muninjaya Hari Kusnanto Josef
M. Ahmad Djojosugito Mubasysyir Hasanbasri
Ali Ghufron Mukti Sri Suryawati
Bambang Purwanto Triono Soendoro

Sekretaris Redaksi
Hilaria Lestari Budiningsih

Penerbit
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, FK UGM, Yogyakarta
STT: 2398/SK/DITJEN PPG/STT/1998

Harga langganan untuk satu tahun (4 kali terbit/triwulan)


Pulau Jawa Rp100.000,00
Luar Pulau Jawa Rp125.000,00 (Sudah termasuk ongkos kirim)
Bank BNI 46 Cabang UGM Yogyakarta No Rek.: 0038603369 a.n Laksono Trisnantoro/Seminar
Bukti Transfer mohon di fax sebagai bukti berlangganan

Alamat surat-menyurat menyangkut naskah, langganan keagenan dan pemasangan iklan:


Sekretariat Redaksi Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
d/a Gedung KPTU Lantai 3, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta
Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp/Fax: 0274-547490,547489
Email: hiillary@yahoo.com
Web-site: www.jmpk-online.net

ii
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 51 - 51
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Editorial

MENGELOLA BENCANA DI SEKTOR KESEHATAN:


MEMBUTUHKAN PENDEKATAN ILMIAH

G empa tektonik yang mengguncang Aceh di


akhir tahun 2004 (26 Desember) dan Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY)-Jawa Tengah di
tengah tahun 2006 (27 Mei) menyadarkan kita bahwa
tanpa keterlibatan pihak lain di sektor kesehatan.
Berbagai pelatihan mengenai preparedness emergency
selama ini sebagian besar dilakukan untuk Instalasi
Gawat Darurat (IGD) rumah sakit dan 118, serta Palang
Indonesia merupakan daerah bahaya gempa. Bahaya Merah Indonesia (PMI). Sampai saat ini belum ada
gempa tektonik ini berada dari ujung utara Pulau pelatihan dengan standar nasional untuk manajemen
Sumatera ke selatan, ke pantai barat Sumatera, Selat bencana bagi dinas kesehatan provinsi dan kabupaten
Sunda, pantai selatan Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa kota dan LSM terkait. Tentunya pelatihan manajemen
Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, dan Papua. ini berbeda dengan pelatihan manajemen pada saat
Hampir semua provinsi di Indonesia berada dalam risiko. normal yaitu faktor waktu dan koordinasi tidak begitu
Kapan gempa akan tiba? Semua orang tidak tahu. menjadi masalah.
Gempa bumi di DIY tahun 2006 membuktikan bahwa Kedua, perhatian para ahli manajemen kesehatan
kapan saja gempa bumi dapat terjadi. Dalam keadaan pada bencana masih belum banyak. Saat ini para
ini, pilihan utama adalah melakukan preparedness, ahli manajemen kesehatan cenderung bergerak di
menyiapkan diri sebaik mungkin menghadapi gempa bidang yang normal, seperti manajemen rumah sakit,
yang akan datang setiap saat. manajemen asuransi kesehatan, dan sebagainya.
Pertanyaan penting dalam melakukan persiapan Belum ada doktor ahli manajemen bencana di sektor
menghadapi bencana adalah pendekatannya. Selama kesehatan di Indonesia. Pada saat tsunami di Aceh
ini kita melihat bahwa pendekatan menghadapi bencana dan gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah,
dan mengelola dampaknya dilakukan dengan pendekatan beberapa ahli manajemen pelayanan kesehatan terlibat
semangat dan niat baik. Akan tetapi menjadi pertanyaan langsung dalam masa emergency dan rekonstruksi
apakah semangat dan niat baik cukup? Ataukah perlu dengan pengalaman terbatas.
didukung hal lain, khususnya pendekatan ilmiah. Sebagai Ketiga, perguruan tinggi kesehatan di Indonesia
gambaran ketika terjadi kecelakaan, tindakan penolongan belum menempatkan bencana sebagai salahsatu topik
korban oleh pihak yang tidak menguasai teknik yang dapat didekati secara ilmiah. Mata kuliah mengenai
pertolongan mungkin justru memperparah keadaan. bencana sudah ada diberbagai program studi pendidikan
Dua bencana besar di Aceh dan DIY-Jawa Tengah tenaga kesehatan. Akan tetapi, belum ada pendidikan
menunjukkan bahwa bencana dan akibatnya terhadap resmi atau pelatihan bersertifikat untuk pengelolaan
kesehatan masyarakat merupakan hal serius. Pada saat bencana. Buku-buku dan artikel-artikel penelitian
emergency penderitaan korban dapat dikurangi apabila mengenai bencana belum banyak diterbitkan.
penanganan mediknya baik. Di masa rekonstruksi, Berpijak pada pengalaman ini sudah selayaknya
pembangunan fisik, sistem manajemen, dan peralatan ilmu manajemen dipergunakan untuk penanganan
fasilitas kesehatan yang biasanya didanai oleh donor bencana di sektor kesehatan. Pengembangan ini
sebaiknya dapat direncanakan dengan tepat agar efektif sebaiknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah. Dalam
dan tidak membebani biaya operasional di kelak workshop lesson-learned bencana di Aceh dan DIY
kemudian hari. yang diselenggarakan oleh Pusat Manajemen Pelayanan
Pada intinya penanganan bencana membutuhkan Kesehatan Fakultas Kedokteran, UGM, Yogyakarta
koordinasi yang baik pada masa emergency, masa pada bulan Juni, tepat sebulan setelah bencana di-
transisi, sampai ke masa pemulihan. Sebagai gambar- simpulkan bahwa ilmu manajemen mutlak diperlukan
an dalam bencana diperlukan kecepatan dan mutu dalam penanganan bencana. Sebagai gambaran bahwa
pelayanan yang optimal dalam penanganan medik, manajer bencana perlu mempunyai pelatihan yang baik
kemampuan leadership dalam menangani persiapan, berdasarkan kurikulum tertentu. Dipertimbangkan pula
fase emergency, dan fase recovery, keterampilan dalam sertifikasi khusus untuk para manajer bencana.
informatika dan komunikasi dalam bencana, termasuk Untuk menghasilkan modul pelatihan yang baik,
mengelola NGO dalam negeri dan internasional; pengem- berbagai riset operasional dalam bencana alam perlu
bangan sistem surveillance pascabencana, sampai ke dilakukan. Diperlukan kegiatan untuk meneliti sistem
sistem logistik. Dalam hal ini manfaat ilmu manajemen logistik dalam bencana, sistem telekomunikasi dan
diperlukan dalam preparedness, emergency, dan informatika dalam bencana, leadership dalam bencana,
rekonstruksi bencana. sistem pendanaan dan pembiayaan bencana, sampai
Pengalaman dari Aceh dan DIY menunjukkan ke aspek komunikasi antarpelaku. Lebih lanjut
bahwa ilmu manajemen belum dipergunakan maksimal. diharapkan pengembangan ini sampai pada pendidikan
Mengapa hal ini terjadi? Ada beberapa hal penting. S2 dan penelitian di level S3 dalam manajemen
Pertama masalah bencana di sektor kesehatan sering bencana di sektor kesehatan. (Laksono Trisnantoro,
diidentikkan dengan tim emergency klinik dan 118 saja, trisnantoro@yahoo.com)

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 51


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 52 - 57
Hargianti Dini Iswandari: Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik Kedokteran
Makalah Kebijakan

ASPEK HUKUM PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN:


SUATU TINJAUAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 9/2004
TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN

LEGAL ASPECT OF MEDICAL PRACTICE:


REVIEW BASED ON MEDICAL PRACTICE ACT NO.9/2004

Hargianti Dini Iswandari


Program Magister Hukum Kesehatan
Univesitas Soegiopranoto Semarang, Jawa Tengah

ABSTRACT garaan praktik kedokteran. Peraturan perundang–


The community is not just an object but also as a subject of undangan merupakan salah satu wujud hukum,
health services, therefor, the implementation of public health sementara hukum sendiri mengandung pengertian
services is the responsibility of government and community. A
strategic public policy such as Medical Practice Act No. 29 of yang lebih luas dari sekedar wujud tersebut.
2004, is expected to overcome problems related to health Sekalipun segala hal telah ditata menurut ukuran
services. Two basic issues of this regulation, firstly, to protect perundang-undangan yang baik, di dalam praktiknya
community from an exploitative and unethical of medical practice masih terdapat berbagai kekurangan sehingga
which may decrease community trust toward medical
professions; secondly, to provide a legal certainty and legal diperlukan pemahaman yang memadai dan masih
protection of medical profession against an excessive dimungkinkan pengubahan peraturan perundang-
community litigation. undangan tersebut. Hermien1 menyatakan bahwa
ketentuan dalam Undang-Undang (UU) No.23/1992
Keywords: Medical Practice Act, medical ethic
tentang Kesehatan (UUK) serta peraturan pelak-
ABSTRAK sanaannya, belum mencerminkan hukum kesehat-
Masyarakat bukan hanya menjadi objek melainkan juga subjek an. Selanjutnya Van der Mijn2 menyatakan bahwa
penyelenggaraan kesehatan, oleh karenanya, penyelenggara- ‘Hukum Kesehatan’ meliputi ketentuan yang secara
an pelayanan kesehatan masyarakat merupakan tanggung langsung mengatur masalah kesehatan, penerapan
jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Kebijakan ketentuan hukum pidana, hukum perdata, serta
publik yang strategis seperti Undang-Undang No. 29/2004
tentang Praktik Kedokteran (UUPK), diharapkan dapat meng- hukum administratif yang berhubungan dengan
atasi permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan masalah kesehatan.
praktik kedokteran. Dua permasalahan yang mendasari pe-
nyusunan Undang-Undang tersebut, yang pertama adalah “ ……a body of rules that relates directly to
memberikan perlindungan bagi masyarakat terhadap praktik the case for health as well as to the applica-
kedokteran yang ekploitatif dan tidak memenuhi etika kedokteran tion of general civil, criminal and adminis-
sehingga mengakibatkan penurunan kepercayaan masyarakat trative law“
terhadap profesi medik, yang kedua, memberikan kepastian
dan perlindungan hukum bagi profesi dokter dari gugatan Hukum kedokteran memiliki ruang lingkup
masyarakat yang berlebihan.
seperti di bawah ini:
Kata kunci: UUPK, etika kedokteran a. Peraturan perundang–undangan yang secara
langsung dan tidak langsung mengatur masalah
PENGANTAR bidang kedokteran, contohnya: UUPK
Undang-Undang Praktik Kedokteran (UUPK) b. Penerapan ketentuan hukum administrasi,
sering dipahami sebagai (sama dengan) hukum hukum perdata dan hukum pidana yang tepat
kedokteran atau juga hukum kesehatan (health law/ untuk hal tersebut
medical law). Pandangan tersebut muncul bila c. Kebiasaan yang baik dan diikuti secara terus-
hukum dimaknai ’sebatas peraturan’ untuk meme- menerus dalam bidang kedokteran, perjanjian
nuhi kebutuhan praktis, yaitu untuk menyelesaikan internasional, serta perkembangan ilmu penge-
permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam tahuan dan teknologi yang diterapkan dalam
hubungannya dengan tenaga kesehatan yang inti praktik kedokteran, menjadi sumber hukum
permasalahannya berkaitan dengan penyeleng- dalam bidang kedokteran

52 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

d. Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan f. Melakukan pencatatan terhadap dokter dan
hukum tetap, menjadi sumber hukum dalam dokter gigi yang melanggar etika profesi.
bidang kedokteran.
Keanggotaan KKI meliputi unsur-unsur dari
Uraian di atas menunjukkan bahwa UUPK organisasi profesi, asosiasi terkait, wakil dari peme-
hanya salah satu aspek hukum yang berkaitan rintah (departemen kesehatan dan departemen
dengan penyelenggaraan praktik kedokteran dan pendidikan nasional), serta wakil tokoh masyarakat.7
tidak dapat disebut sebagai hukum kedokteran Selanjutnya, untuk melaksanakan ketentuan dalam
ataupun hukum kesehatan. UUPK, KKI diberi kewenangan untuk menjabar-
kannya dalam peraturan KKI. Dalam hubungannya
UNDANG-UNDANG PRAKTIK KEDOKTERAN dengan penyelenggaraan registrasi dokter dan dokter
(UUPK) gigi, saat ini KKI telah mengeluarkan Peraturan KKI
Pengaturan penyelenggaraan praktik kedok- No. 1/2005 tentang Registrasi Dokter dan Dokter
teran dilandaskan pada asas kenegaraan, keilmuan, Gigi serta Keputusan KKI No. 1/2005 tentang
kemanfaatan, kemanusiaan dan keadilan. 3 Ke- Pedoman Registrasi Dokter dan Dokter Gigi.
beradaan UUPK dimaksudkan untuk: (1) memberikan Dari pengertian dan lingkup hukum kedokteran
perlindungan kepada pasien, (2) mempertahankan sebagaimana diuraikan di atas, berikut ini akan
dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diuraikan aspek hukum administrasi, hukum perdata,
diberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan (3) dan hukum pidana berkaitan dengan penyeleng-
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, garaan praktik kedokteran.
dokter dan dokter gigi.4 Untuk mencapai tujuan
tersebut, diatur pembentukan dua lembaga inde- Aspek Hukum Administrasi dalam Penyeleng-
penden yaitu Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan garaan Praktik Kedokteran
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Setiap dokter/dokter gigi yang telah menyelesai-
(MKDKI), masing-masing dengan fungsi, tugas dan kan pendidikan dan ingin menjalankan praktik
kewenangan yang berbeda. kedokteran dipersyaratkan untuk memiliki izin. Izin
Keberadaan KKI yang terdiri dari Konsil Kedok- menjalankan praktik memiliki dua makna, yaitu: (1)
teran dan Konsil Kedokteran Gigi, dimaksudkan izin dalam arti pemberian kewenangan secara formil
untuk melindungi masyarakat pengguna jasa (formeele bevoegdheid), dan (2) izin dalam arti
pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pemberian kewenangan secara materiil (materieele
pelayanan dokter dan dokter gigi. Fungsi KKI meliputi bevoegdheid). Secara teoretis, izin merupakan
fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, dan pembolehan (khusus) untuk melakukan sesuatu
pembinaan. Sebagai implementasi dari fungsi yang secara umum dilarang.8 Sebagai contoh: dokter
tersebut maka KKI mempunyai tugas5: boleh melakukan pemeriksaan (bagian tubuh yang
a. Melakukan registrasi dokter dan dokter gigi harus dilihat), serta melakukan sesuatu (terhadap
b. Mengesahkan standar pendidikan profesi dokter bagian tubuh yang memerlukan tindakan dengan
dan dokter gigi persetujuan) yang izin semacam itu tidak diberikan
c. Melakukan pembinaan terhadap penyeleng- kepada profesi lain.
garaan praktik kedokteran. Pada hakikatnya, perangkat izin (formal atau
material) menurut hukum administrasi adalah:
Dalam menjalankan tugas tersebut KKI memiliki a. Mengarahkan aktivitas artinya, pemberian izin
kewenangan6 untuk: (formal atau material) dapat memberi kontribusi,
a. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi ditegakkannya penerapan standar profesi dan
dokter dan dokter gigi standar pelayanan yang harus dipenuhi oleh
b. Menerbitkan dan mencabut surat tanda regis- para dokter (dan dokter gigi) dalam pelaksanaan
trasi dokter dan dokter gigi praktiknya
c. Mengesahkan standar kompetensi dokter dan b. Mencegah bahaya yang mungkin timbul dalam
dokter gigi rangka penyelenggaraan praktik kedokteran,
d. Mengesahkan penerapan cabang ilmu kedok- dan mencegah penyelenggaraan praktik
teran dan kedokteran gigi kedokteran oleh orang yang tidak berhak9
e. Melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan c. Mendistribusikan kelangkaan tenaga dokter/
etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi dokter gigi, yang dikaitkan dengan kewenangan
profesi pemerintah daerah atas pembatasan tempat
praktik dan penataan Surat Izin Praktik (SIP)

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 53


Hargianti Dini Iswandari: Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik Kedokteran

d. Melakukan proses seleksi, yakni penilaian ad- consent. Objek, dalam hubungan hukum tersebut
ministratif, serta kemampuan teknis yang harus adalah pelayanan kesehatan kepada pasien.
dipenuhi oleh setiap dokter dan dokter gigi Dikaitkan dengan UUPK, perangkat hukum informed
e. Memberikan perlindungan terhadap warga consent tersebut diarahkan untuk:
masyarakat terhadap praktik yang tidak dilaku- a. Menghormati harkat dan martabat pasien
kan10 oleh orang yang memiliki kompetensi melalui pemberian informasi dan persetujuan
tertentu. atas tindakan yang akan dilakukan
b. Meningkatkan kesadaran, kemauan dan
Dari sudut bentuknya, izin diberikan dalam kemampuan hidup sehat
bentuk tertulis, berdasarkan permohonan tertulis c. Menumbuhkan sikap positif dan iktikad baik,
yang diajukan. Lembaga yang berwenang menge- serta profesionalisme pada peran dokter (dan
luarkan izin juga didasarkan pada kemampuan untuk dokter gigi) mengingat pentingnya harkat dan
melakukan penilaian administratif dan teknis martabat pasien
kedokteran. Pengeluaran izin dilandaskan pada d. Memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan
asas–asas keterbukaan, ketertiban, ketelitian, sesuai standar dan persyaratan yang berlaku.
keputusan yang baik, persamaan hak, kepercayaan,
kepatutan dan keadilan. Selanjutnya apabila syarat- Suatu hubungan hukum dianggap sah apabila
syarat tersebut tidak terpenuhi (lagi) maka izin dapat memenuhi syarat subjektif dan objektif, yaitu
ditarik kembali. kesepakatan untuk saling mengikatkan diri (van
Telah terjadi beberapa perubahan mendasar degeenen die zich verbinden), dan kecakapan untuk
yang berkaitan dengan perizinan di dalam UUPK, saling memberikan prestasi (dengan berbuat atau
yaitu: tidak berbuat) mengenai suatu hal atau suatu sebab
a. Digunakan terminologi Surat Tanda Registrasi yang diperbolehkan (bekwaamheid om eene
(STR) yang diterbitkan oleh KKI11, sebagai verbintenis aan te gaan).15 Dari sudut kecakapan
pengganti terminologi Surat Penugasan (SP) (bekwaam), ketidakseimbangan pengetahuan dan
b. Untuk mendapatkan STR pertama kali dilakukan kemampuan (different of knowledge and ability)
uji kompetensi oleh organisasi profesi (dengan mungkin akan menempatkan pasien pada posisi
sertifikat kompetensi)12 yang ’lemah’. Oleh sebab itu, yang harus diutamakan
c. Surat Tanda Registrasi (STR) diberikan oleh KKI dalam hubungan ini adalah terbentuknya saling
dan berlaku selama lima tahun serta dapat percaya dalam usaha membangun kesederajatan di
diperpanjang melalui uji kompetensi lagi13 antara kedua belah pihak.
d. Masa berlaku SIP sesuai STR. Dengan kata Hak individu di bidang kesehatan bertumpu pada
lain, bila masa berlaku STR sudah habis maka dua prinsip, yaitu: 1) hak atas pemeliharaan kese-
SIP juga habis.14 hatan (right to health care) dan 2) hak untuk menen-
tukan (nasib) sendiri (right to self determination). Hak
Sebagai implementasi dari UUPK, telah yang pertama berorientasi pada nilai sosial dan hak
dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor yang kedua berorientasi pada ciri atau karakteristik
1419/MENKES/PER/X/2005 tentang Penyelengga- individual.16 Hak dan kewajiban yang timbul dalam
raan Praktik Dokter dan Dokter Gigi untuk menata hubungan pasien dengan dokter (dan dokter gigi)
lebih lanjut masalah perizinan, termasuk aturan meliputi penyampaian informasi dan penentuan
peralihan yang bertujuan untuk menyelesaikan tindakan. Pasien wajib memberikan informasi17 yang
permasalahan yang mungkin timbul. berkaitan dengan keluhannya dan berhak menerima
informasi18 yang cukup dari dokter/dokter gigi (right
Aspek Hukum Perdata dalam Penyelenggaraan to information), selanjutnya pasien berhak meng-
Praktik Kedokteran ambil keputusan untuk dirinya sendiri (right to self
Setelah seorang dokter memiliki izin untuk determination). Dokter berhak mendapatkan infor-
menjalankan praktik, muncul ’hubungan hukum’ masi yang cukup dari pasien19 dan wajib memberikan
dalam rangka pelaksanaan praktik kedokteran yang informasi20 yang cukup pula sehubungan dengan
masing-masing pihak (pasien dan dokter) memiliki kondisi ataupun akibat yang akan terjadi. Se-
otonomi (kebebasan, hak dan kewajiban) dalam lanjutnya dokter berhak mengusulkan yang terbaik
menjalin komunikasi dan interaksi dua arah. Hukum sesuai kemampuan dan penilaian profesionalnya
memberikan perlindungan kepada kedua belah pihak (ability and judgement) dan berhak menolak bila
melalui perangkat hukum yang disebut informed permintaan pasien dirasa tidak sesuai dengan

54 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

norma, etika serta kemampuan profesionalnya. pembuktian sepanjang dilakukan dengan benar
Selain hal di atas, dokter wajib melakukan pen- sesuai ketentuan yang berlaku27.
catatan (rekam medik) dengan baik dan benar.21
Secara tegas UUPK telah mengatur materi D. Prinsip perlindungan kepada pasien berupa
muatan: kewajiban dokter menyimpan rahasia pasien
A. Prinsip keahlian dan kewenangan, diwujudkan yang diketahui baik secara langsung maupun
dalam materi pengaturan bahwasanya dokter tidak langsung.28 Sebenarnya masalah rahasia
(dan dokter gigi) harus menjalankan praktik kedokteran telah diatur dalam Peraturan Peme-
sesuai standar profesi, dan merujuk bila kondisi rintah No. 10/1966, jauh sebelum UUPK diundang-
yang terjadi, di luar keahlian dan kewena- kan. Menurut Keneth Mullan29, terdapat tiga
ngannya.22 Terdapat lima unsur standar profesi komponen yang menjadi persyaratan dalam
medik yang meliputi23: penyimpangan dari pengungkapan rahasia,
1. Ketelitian dan kecermatan sebagai berikut:
2. Standar medis
“ … first the information must have the
3. Kemampuan rata–rata necessary quality of confidence about it.
4. Tujuan tindakan Secondly the information must have been
5. Proporsionalitas tindakan. imparted in circumstances importing and
obligation of confidence. And finally, there
must be an unauthorized use of the
Batasan tersebut sangat penting untuk information….”
penilaian terjadinya penyimpangan (atau tidak).
Terminologi lain yang kurang lebih identik Rahasia pasien yang diketahui dokter (dan
dengan standar profesi, menurut Pozgar24 adalah dokter gigi) dapat diungkap (dibuka) bila:
4 D yaitu, apakah dokter (dan dokter gigi) men- 1. Ada izin dari pasien yang dinyatakan secara
jalankan sesuai tugasnya (duty), apakah ada tegas ataupun tidak
penyimpangan terhadap tugasnya (dereliction 2. Didasarkan pada perjanjian pasien, kepada
of duty), apakah ada kerugian (damage), dan siapa rahasia boleh diungkapkan
apakah ada hubungan sebab-akibat antara 3. Kewajiban membuka rahasia didasarkan
tindakan dan kerugian yang ditimbulkan (direct pada kekuatan suatu undang-undang
caution) 4. Pembukaan rahasia atas perintah hakim
5. Individu yang merupakan public figur.30
B. Prinsip otoritas pasien, diwujudkan dengan
pengaturan bahwasanya setiap tindakan E. Berbeda dengan hubungan hukum pada umum-
kedokteran atau kedokteran gigi harus nya, hubungan hukum antara pasien dengan
mendapat persetujuan. Persetujuan pasien baru dokter (dan dokter gigi) tidak diatur secara
dapat diberikan setelah menerima informasi dan khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum
memahami segala sesuatu yang menyangkut Acara Perdata (KUHAP). Pada dasarnya
tindakan tersebut.25 hubungan hukum antara pasien dengan dokter
(dan dokter gigi) adalah upaya maksimal untuk
C. Prinsip pencatatan (rekam medik) 26 yang penyembuhan pasien yang dilakukan dengan
wajib dibuat oleh dokter. Beberapa literatur cermat dan hati-hati (met zorg en inspanning),
menyatakan bahwa rekam medik mempunyai sehingga hubungan hukumnya disebut perikatan
nilai Administration, Legal, Finance, Research, ikhtiar (inspanning verbintenis). Pada awalnya
Education, dan Documentation (ALFRED). hal ini dipahami sebagai konstruksi hukum,
Dalam hukum acara perdata maupun pidana yang kemudian ditinjau kembali oleh Pemerintah
dikenal: alat bukti dengan tulisan, bertolak dari Belanda dengan memasukkan masalah
hal tersebut maka, selama ini rekam medik inspanningverbintenis ke dalam BW baru yang
sebagai catatan yang dibuat dokter (dan dokter menata hubungan hukum dokter dengan pasien.
gigi) dianggap dapat digunakan sebagai: alat Praktik kedokteran diselenggarakan
bukti dengan tulisan, meskipun di dalam berdasarkan kesepakatan antara dokter (atau
perkembangan selanjutnya, pendapat tersebut dokter gigi) dengan pasien dalam upaya untuk
masih mungkin ditinjau kembali. Rekam medik pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
bukan alat bukti menurut undang-undang, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit
meskipun dapat digunakan sebagai petunjuk dan pemulihan kesehatan.31 Terma berdasarkan
kesepakatan menunjukkan bahwa hubungan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 55


Hargianti Dini Iswandari: Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik Kedokteran

hukum antara dokter (dan dokter gigi) dengan perundang-undangan yang ada untuk mencegah
pasien tidak ditekankan pada hasilnya (resultaat kekosongan hukum. Beberapa hal yang sudah (dan
verbintenis) melainkan pada upaya yang harus belum) dilaksanakan, menyertai pelaksanaan UUPK
dilakukan. Meskipun demikian, tersirat batasan adalah sebagai yang disebut di bawah ini:
bahwa ’upaya yang harus dilakukan’ adalah a. Telah dibentuk KKI melalui Keputusan Presiden,
’upaya yang sesuai dengan standar yang selanjutnya KKI dapat mengeluarkan peraturan
berlaku’. pelaksanaan UUPK.
b. Telah diatur mekanisme registrasi supaya
F. Aspek perdata lainnya adalah tuntutan ganti rugi pelayanan dokter dan dokter gigi tetap dapat
berdasarkan perbuatan melanggar hukum berjalan selama masa peralihan.
(onrechtmatige daad).32 Beberapa syarat yang c. Telah diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan
harus dipenuhi untuk penerapan aspek ini No. 1419/MENKES/PER/X/2005 tentang
adalah: 1) adanya perbuatan (berbuat atau tidak Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter
berbuat), 2) perbuatan itu melanggar hukum Gigi, yang berkaitan dengan peralihan SP
(tidak hanya melanggar undang-undang), menjadi STR, SIP yang lama menjadi SIP
kebiasaan dan kesusilaan, 3) ada kerugian, 4) menurut UUPK, serta kejelasan pengaturan tiga
ada hubungan sebab akibat antara perbuatan tempat praktik.
dengan kerugian, serta 5) ada unsur kesalahan. d. Belum tersusun Majelis Kehormatan Disiplin
Ukuran yang digunakan adalah kesesuaian Kedokteran Indonesia yang sangat penting
dengan standar profesi medik, serta kerugian untuk penegakan aturan dan ketentuan
yang ditimbulkan. Pengertian di atas menun- pelayanan oleh dokter atau dokter gigi.
jukkan bahwa sekalipun hubungan hukum
antara dokter (atau dokter gigi) dengan pasien SARAN
adalah ’upaya secara maksimal’, tetapi tidak a. Pencantuman ketentuan pidana di dalam UUPK
tertutup kemungkinan timbulnya tuntutan ganti seyogyanya tidak hanya dipandang dari ’sisi
rugi yang didasarkan pada perbuatan melanggar kepentingan’ dokter (dan dokter gigi) melainkan
lebih kepada upaya menciptakan ketertiban
hukum yang dokter (atau dokter gigi) harus
terhadap ketentuan yang sudah ada dan mem-
mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut
berikan kepastian hukum bagi masyarakat,
dari segi hukum perdata.
seperti yang tertuang dalam tujuan disusunnya
UUPK.
Aspek Hukum Pidana dalam Penyelenggaraan
b. Masih diperlukan ketentuan-ketentuan lain
Praktik Kedokteran
sebagai ’upaya pemaksa’ untuk memenuhi
Penataan hukum pidana dibutuhkan dalam
aspek perlindungan serta aspek administratif,
upaya melindungi masyarakat.Hakikat ketentuan
misalnya:
pidana adalah meminta pertanggungjawaban melalui
1. Kewajiban menyusun dan melaksanakan
tuntutan pidana untuk hal-hal yang telah ditentukan peraturan-peraturan internal rumah sakit
terlebih dahulu29. Dalam Kitab Undang-Undang (hospital bylaws dan medical staff bylaws)
Hukum Pidana (KUHP) telah disebutkan bahwa: dan institusi kesehatan lainnya.
dasar penambahan ketentuan pidana harus dengan 2. Kewajiban melaksanakan audit medik dan
undang-undang. Bertolak dari pengertian di atas audit manajemen secara berkala dengan
maka beberapa ketentuan pidana yang berkaitan baik dan benar pada setiap institusi kese-
dengan penyelenggaraan praktik kedokteran telah hatan, termasuk didalamnya, transparansi
diatur dalam KUHP, namun masih dibutuhkan pertanggungjawaban (accountability)
beberapa penambahan sesuai dengan kemajuan ilmu publik, serta pelaksanaan pelayanan medik
pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran. berdasarkan bukti (evidence based medi-
Oleh sebab itu, beberapa perbuatan yang dapat cine).
dikenai pidana dicantumkan di dalam UUPK.
Sekalipun pada awalnya kewajiban–kewajiban
PENUTUP tersebut akan dirasakan sebagai tekanan bagi
Undang-Undang Praktik Kedokteran (UUPK) profesional kesehatan, tetapi membiasakan dan
akan (dan harus) ditindaklanjuti dengan berbagai meningkatkan perilaku positif akan berdampak positif
peraturan pendukung, misalnya Peraturan Menteri pula bagi masyarakat sebagai pengguna jasa
Kesehatan dan Peraturan KKI. Sebelum diterbitkan maupun bagi profesional sebagai pelayanan
pengaturan lebih lanjut, tetap digunakan peraturan kesehatan.

56 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

KEPUSTAKAAN 17. Pasal 53, Undang-Undang Republik Indonesia


1. Hermien Hadiati Koeswadji, Undang Undang No No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Asas – Asas 18. Pasal 52, Undang-Undang Republik Indonesia
dan Permasalahan Dalam Implementasinya. PT. No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Citra Aditya Bakti, Bandung.1996:13. 19. Pasal 50, Undang-Undang Republik Indonesia
2. Hermien Hadiati Koeswadji, loc cit, halaman 14. No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
3. Pasal 2, Undang-Undang Republik Indonesia No 20. Pasal 51, Undang-Undang Republik Indonesia
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
4. Pasal 3, Undang-Undang Republik Indonesia No 21. Pasal 46, Undang-Undang Republik Indonesia
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
5. Pasal 7, Undang-Undang Republik Indonesia No 22. Pasal 51, Undang-Undang Republik Indonesia
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
6. Pasal 8, Undang-Undang Republik Indonesia No 23. Leenen dalam Gezondheidszorg en Recht,
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Alpheen aan den Rijn, Brussel.1981:36.
7. Pasal 14, Undang-Undang Republik Indonesia 24. George D Pozgar, Legal Aspect of Health Care
No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Administration, Aspen Systems Corporation,
8. Bruggink, Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit London.1979:19-20.
de Rechtstheorie, Deventer, Kluwer. 1993: 72. 25. Pasal 45, Undang-Undang Republik Indonesia
9. Yang bersangkutan tidak memiliki kewenangan No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
secara formil maupun materiil. 26. Pasal 46,47, Undang-Undang Republik
10. Yang bersangkutan tidak memberikan Indonesia No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
pelayanan sesuai standar kompetensi. Kedokteran.
11. Pasal 29 (1,2), Undang-Undang Republik 27. Bambang Purnomo, Hukum Kesehatan,
Indonesia No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Program Pendidikan Pascasarjana Fakultas
Kedokteran. Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Aditya
12. Pasal 29 (3), Undang-Undang Republik Media. Yogyakarta. Tanpa Tahun: 44.
Indonesia No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik 28. Pasal 47, 48, Undang-Undang Republik
Kedokteran. Indonesia No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
13. Pasal 29 (4), Undang-Undang Republik Kedokteran.
Indonesia No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik 29. Kenneth Mullan, Pharmacy Law & Practice,
Kedokteran. Blackstone Press Limited, London. 2000: 316.
14. Pasal 29 (4), Undang-Undang Republik 30. Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran,
Indonesia No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Grafikatama Jaya, Jakarta. 1991: 49.
Kedokteran. 31. Pasal 39, Undang-Undang Republik Indonesia
15. Pasal 1320, Kitab Undang-Undang Hukum No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Perdata, Burgelijk Wetboek, Diindonesiakan 32. Pasal 1365, Kitab Undang-Undang Hukum
oleh: Prof R Subekti SH dan R Tjitrosudibio, PT Perdata, Burgelijk Wetboek, diindonesiakan
Pradnya Paramita, Jakarta.2002;32: 339. oleh: Prof R Subekti SH dan R Tjitrosudibio, PT
16. Leenen, Handboek Gezonheidsrecht, Rechten Pradnya Paramita, Jakarta.2002; 32: 346.
van Mensen in de Gezondheidszorg, Samson
Uitgeverij, Alpheen aan den Rijn, Nederland.
1981: 20.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 57


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 58 - 64
S.R. Mustikowati, dkk: Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Artikel Penelitian

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN


PENEMPATAN DOKTER SPESIALIS IKATAN DINAS

INFLUENCING FACTORS TO THE PLACEMENT


OF CONTRACTED SPECIALIST DOCTORS

S. R. Mustikowati1, Laksono Trisnantoro2, Andreasta Meliala2


1
Biro Kepegawaian, Departemen Kesehatan Republik Indonesia
2
Magister Manajemen Rumahsakit, UGM, Yogyakarta

ABSTRACT Spesialis (PPDS) 7 bidang (4 dasar dan 3 penunjang).


Background: The problem of specialist doctor availability is Walaupun telah terikat kontrak, ada beberapa lulusan spesialis
complicated at present due to limited number of specialist peserta program ikatan dinas yang menolak untuk ditempatkan
doctors and their preference for working in big cities. Some di lokasi yang ditetapkan.
policies have been implemented to spread out specialized Tujuan: Penelitian untuk menggambarkan faktor-faktor yang
services such as providing scholarship for participants of mempengaruhi penempatan dokter spesialis.
specialist doctor’s education program in 7 fields (4 basic and 3 Metode: Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik dengan
supports). Although they have been bound to a contract, some rancangan cross sectional, variabel bebas adalah pre-
refuse to be placed at they specified region after they disposing factor (motivasi, komitmen, keadaan sosial budaya,
graduated. rasa aman dan pengetahuan daerah yang akan ditempati),
Objective: To identify affecting placement of specialist doctors. enabling factor (penerimaan daerah tujuan, sarana di daerah
Methods: The research was an analytical type which used tujuan, reward, karier pascaikatan dinas), reinforcing factor
cross sectional design. Independent variables consisted of (peraturan kebijakan, sanksi). Variabel tergantung adalah
predisposing factors (motivation, commitment, social cultural penempatan dokter spesialis ikatan dinas.
condition, safety and knowledge about region of placement), Subjek penelitian para lulusan PPDS Ikatan Dinas yang terdaftar
enabling factors (revenue and facilities of the specified region, di Biro Kepegawaian Depkes Juli-Desember 2003 yang menolak
reward and post contract career), reinforcing factors (policies, penempatan. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian
sanctions). Dependent variable was the placement of koisoner, wawancara, dan data sekunder. Hasil penelitian
contracted specialist doctors. Subject of the study were adalah dengan menganalisis data kuantitatif dan kualitatif.
graduates of contracted specialist doctor education program Hasil: Sebagian besar responden mempunyai motivasi dan
registered at Personnel Bureau of Ministry of Health from July komitmen rendah karena sarana daerah dalam menunjang
to December 2003 who refused placement. Data were attained pekerjaan tidak memadai, sehingga tidak dapat mengembangkan
through questionnaire, interview and secondary data. Result karir. Reward yang diberikan juga belum sesuai dengan
of the study derived from analysis of both quantitative and harapan. Responden kurang informasi tentang daerah yang
qualitative data. akan dituju, sehingga penerimaan daerah kurang. Responden
Result: result of the study showed that most respondent had tidak keberatan mengembalikan uang pendidikan 6-20 kali asal
low motivation and commitment due to limited facilities of the terlepas dari perjanjian ikatan dinas berarti punishment yang
specified region so that they could not develop their career. diberikan tidak berpengaruh pada subjek.
Reward had not yet been as expected. Respondents lacked Kesimpulan: Sebagian besar dokter spesialis ikatan dinas
information about the specified region so that they lacked menolak untuk penempatan karena komitmen dan motivasi
acceptance of the region. They did not mind paying back the rendah. Dari faktor predisposing, enabling, reinforcing yang
money for their education 6 – 20 folds on condition that they paling dominan adalah faktor predisposing yaitu: komitmen dan
could break the of contract agreement which meant that they motivasi
were unaffected by punishment.
Conclusion: Most contracted specialist doctors refused Kata Kunci: faktor–faktor penerimaan, dokter spesialis ikatan
placement due to low commitment and motivation. Out of factors dinas
of predisposing, enabling and reinforcing, the most dominant
was predisposing, i.e. commitment and motivation. PENGANTAR
Masalah ketersediaan dokter spesialis saat ini
Keywords: acceptance to placement, officially contracted
specialist doctors cukup kompleks. Hal ini disebabkan kurang
tersedianya tenaga dokter spesialis dan adanya
ABSTRACT kecenderungan para dokter spesialis untuk bekerja
Latar Belakang: Masalah ketersediaan dokter spesialis saat di kota-kota besar. Dari data yang ada diketahui
ini dialami cukup kompleks. Hal ini disebabkan oleh kurangnya bahwa 65% dari dokter spesialis menghendaki
ketersediaan tenaga dokter spesialis dan adanya bekerja di Jawa dan Bali. Permasalahan distribusi
kecenderungan para dokter spesialis untuk bekerja di kota-
kota besar. Beberapa kebijakan telah dilaksanakan dalam dokter spesialis terlihat bahwa 29% dari Rumah Sakit
pemerataan pelayanan spesialistik antara lain pemberian (RS) kelas C atau 66 RS dari 229 RS kelas C tidak
bantuan beasiswa bagi peserta Program Pendidikan Dokter mempunyai dokter spesialis 4 dasar. Beberapa

58 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

kebijakan telah dilaksanakan dalam pemerataan kebijakan tentang program pendidikan dokter
pelayanan spesialistik antara lain dengan pemberian spesialis ikatan dinas. Untuk mengetahui strategi
bantuan beasiswa bagi peserta Program Pendidikan atau intervensi apa yang dapat meningkatkan
Dokter Spesialis (PPDS) 7 bidang terdiri dari 4 dasar kepatuhan tenaga spesialis untuk melaksanakan
dan 3 penunjang. tugasnya.
Walaupun telah terikat kontrak, ada beberapa Berdasarkan tujuan penelitian dan kerangka
lulusan spesialis peserta program ikatan dinas yang konsep penelitian di atas maka diajukan pertanyaan
menolak untuk ditempatkan di lokasi yang penelitian sebagai berikut: Apa alasan para dokter
ditetapkan. Saat ini dirasakan penolakan para lulusan spesialis ikatan dinas menolak penempatan atau
dokter spesialis ikatan dinas tersebut cenderung bertugas di lokasi yang ditentukan. Apakah faktor-
meningkat. Mereka menolak dengan berbagai alasan faktor predisposing yang mempengaruhi
antara lain: alasan keluarga, pengembangan karir, penempatan spesialis ikatan dinas. Apakah faktor-
tidak tersedia fasilitas, penolakan oleh daerah dan faktor enabling yang mempengaruhi penempatan
lain-lain. spesialis ikatan dinas. Apakah faktor-faktor reinforcing
Untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah yang mempengaruhi penempatan spesialis ikatan
telah mengeluarkan beberapa rambu-rambu yaitu dinas. Apa faktor-faktor yang paling dominan yang
bagi peserta program dokter spesialis ikatan dinas mempengaruhi penolakan dokter spesialis ikatan
yang telah lulus tetapi tidak melaksanakan tugas dinas untuk ditempatkan di lokasi yang ditentukan.
harus mengembalikan bantuan biaya pendidikan.
Besarnya jumlah biaya yang harus dikembalikan BAHAN DAN CARA PENELITIAN
sebesar enam kali dari yang telah diterimanya. Jenis penelitian yang digunakan adalah
Ternyata bagi para lulusan spesialis terutama empat penelitian survei dengan menggunakan metode
bidang dasar, sanksi mengembalikan enam kali dari kualitatif, deskriptif. Subjek penelitian ini para lulusan
bantuan yang telah diterima kurang bermakna. PPDS Ikatan Dinas yang terdaftar di Biro
Setelah mereka lulus penghasilan yang diperoleh Kepegawaian Depkes tahun 2003, yang menolak
dapat menutupi sanksi tersebut. Agar pendaya- penempatan/bertugas dilokasi yang telah ditentukan.
gunaan tenaga tersebut dapat sesuai sasaran maka
melalui Keputusan Menteri Kesehatan Variabel bebas adalah predisposing factor,
(Kepmemkes) No. 351/Menkes/SK/III/1998 dilakukan enabling factor, dan reinforcing factor. Definisi
beberapa penyesuaian antara lain bagi yang tidak operasional adalah:
melaksanakan tugas jumlah biaya yang harus a. Faktor predisposing yaitu faktor karakteristik
dikembalikan ditingkatkan menjadi dua puluh kali individu yang menjadi dasar bagi perilaku yaitu
dari yang diterimanya. motivasi, komitmen, keadaan sosial ekonomi
Penelitian ini bertujuan untuk: budaya, rasa aman dan pengetahuan tentang
a. Mengidentifikasi alasan para dokter spesialis daerah tujuan.
ikatan dinas menolak penempatan atau ber- b. Faktor enabling yaitu faktor yang diperlukan
tugas di lokasi yang ditentukan. untuk menunjang perilaku kesehatan yaitu
b. Mengidentifikasi faktor predisposing (motivasi, penerimaan daerah tujuan, sarana di daerah
komitmen, keadaan sosial budaya, rasa aman tujuan dan reward.
dan pengetahuan daerah yang akan ditempuh) c. Faktor reinforcing merupakan faktor penyerta
yang mempengaruhi penempatan spesialis perilaku yang mendukung atau menghambat
ikatan dinas. yang berperan menetapkan atau melenyapkan
c. Mengidentifikasi faktor enabling (penerimaan perilaku tersebut yaitu peraturan kebijakan dan
daerah tujuan, sarana di daerah tujuan, reward, punishment.
karir pascaikatan dinas), yang mempengaruhi
penempatan spesialis ikatan dinas. Variabel tergantung adalah penempatan
d. Mengidentifikasi faktor reinforcing (peraturan dokter spesialis ikatan dinas. Definisi operasional
kebijakan, punishment/sanksi) yang penempatan dokter spesialis ikatan dinas adalah
mempengaruhi penempatan spesialis ikatan menempatkan subjek setelah lulus spesialis sesuai
dinas. dengan perjanjian yang telah disepakati. Penem-
patan dokter spesialis ikatan dinas dengan meng-
Bagi Departemen Kesehatan Republik Indonesia gunakan data sekunder dan dari data yang ada
(Depkes RI) hasil penelitian ini dapat digunakan dikoding.
sebagai salah satu masukan untuk menentukan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 59


S.R. Mustikowati, dkk: Faktor-faktor yang Mempengaruhi

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN memadai, lingkungan tidak mendukung, keluarga tidak
Hasil Pengumpulan Data menyetujui dan RS telah terisi spesialis bidang yang
Pengumpulan data dalam sebuah penelitian sama dengan lingkup kerja yang terbatas.
merupakan langkah penting. Langkah yang diguna- Kendala yang membuat responden menolak
kan untuk penelitian ini adalah wawancara dan penempatan ikatan dinas karena waktu ikatan dinas
kuesioner untuk pengumpulan data primer dan telaah lama minimal 4-5 tahun, situasi, kondisi dan
dokumen untuk data sekunder. Responden sebanyak lingkungan tempat kerja tidak sesuai, fasilitas tidak
24 orang baik wawancara maupun kuesioner. memadai, faktor keluarga, ditarik jadi staf pengajar,
Wawancara dilakukan sendiri oleh peneliti dan kurangnya informasi tentang daerah penempatan.
sedangkan pada kuesioner diisi langsung oleh para Menurut sebagian responden, sanksi yang diberi-
lulusan PPDS ikatan dinas yang terdaftar di Biro kan sangat berat dan tidak sesuai dengan beasiswa
Kepegawaian Depkes tahun 2003, sedangkan data yang diberikan sehingga perlu adanya evaluasi
sekunder merupakan informasi dari permohonan tentang kebijakan yang sekarang berlaku.
penempatan 84 dokter spesialis ikatan dinas yang Dalam mengembangkan karir sebagian
perjanjian ikatan dinas yang telah disepakati di tahun responden mengatakan sulit mengembangkan karir
2001-2003. karena kondisi RS yang tidak memungkinkan, di
daerah terpencil, RS yang dituju telah terisi dokter
Hasil Wawancara spesialis yang sama dan pengembangan karir
Berdasarkan hasil wawancara sebagian besar macet. Masalah insentif, menurut sebagian besar
responden ikut PPDS ikatan dinas karena berharap responden belum mengetahui adanya insentif di
dapat mengembangkan karir sebagai dokter tempat daerah yang dituju.
spesialis, tempat kerja layak dan fasilitas terpenuhi. Tanggapan masyarakat dengan adanya penem-
Faktor yang memotivasi para dokter ikut program patan dokter spesialis menurut responden sebagaian
pendidikan dokter spesialis ikatan dinas karena besar mengatakan baik dan sebagian lagi belum
mendapat beasiswa, sehingga mereka tidak perlu dapat menilai tanggapan masyarakat karena
mengeluarkan biaya pendidikan sendiri. responden belum bekerja di tempat yang telah
Sebagian besar responden mengatakan bahwa disepakati
beasiswa yang diberikan tidak setimpal dengan
penempatan yang telah ditetapkan setelah selesai Hasil Kuesioner
pendidikan karena rata-rata daerah penempatan Kuesioner disusun berdasarkan aspek perilaku
ikatan dinas terpencil, tidak diminati dan tempat yang dipengaruhi oleh tiga faktor dari Green1 yaitu:
bekerja tidak menjanjikan nominal secara finansial. predisposing factor (motivasi, komitmen, keadaan
Dari hasil wawancara 11 responden mempunyai sosial budaya, rasa aman dan pengetahuan daerah
komitmen dengan perjanjian ikatan dinas dan tidak ada yang akan ditempati), enabling factor (penerimaan
alasan untuk tidak menepatinya, dan 13 responden tidak daerah tujuan, sarana di daerah tujuan, reward, karir
komitmen dengan yang telah disepakati dengan alasan: pascaikatan dinas), reinforcing factor (peraturan
ada pilihan lain yang lebih menjanjikan, otonomi daerah, kebijakan, sanksi) sebanyak 20 item (Tabel 1).
pengembangan karir kurang, insentif kecil, fasilitas tidak

Tabel 1. Deskripsi Data Penelitian

Nilai Nilai
Variabel Rata-Rata Standar Deviasi
Terendah Tertinggi
Motivasi 4 20 12 3
Komitmen 4 20 14 3
Sosial budaya 2 10 6 1
Penerimaan daerah 3 15 9 2
Sarana daerah 2 10 5 1
Reward 1 5 3 1
Karir 2 10 6 1
Punishment 2 10 7 1

60 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Kategorisasi variabel motivasi, komitmen, sosial kategorisasi tinggi tidak didapatkan dan
budaya, penerimaan daerah, sarana daerah, reward, sebagian besar penerimaan daerah responden
karir, dan punishment, dikelompokkan dalam tiga rendah yaitu 62,5%.
kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah.
Kategorisasi yang digunakan adalah model distribusi Tabel 5. Kategori Variabel Penerimaan Daerah
normal dengan batasan kategori skala berdasarkan
Kategori Rentang Skor Jumlah Frekuensi (%)
mean skor skala (M), deviasi standar dengan (s),
Tinggi 13-15 0 0
skor minimum (Xmin) dan skor maksimum (Xmaks).2 Sedang 10-12 9 37,5
Rendah <9 15 62,5
a. Kategori Variabel Motivasi Jumlah 24 100
Kategorisasi motivasi tergambar pada Tabel 2,
bahwa motivasi dengan kategorisasi tinggi tidak
didapatkan dan sebagian besar motivasi e. Kategori Variabel Sarana Daerah
responden rendah yaitu 91,7%. Kategorisasi sarana daerah tergambar pada
Tabel 6, bahwa sarana daerah dengan kate-
Tabel 2. Kategori Variabel Motivasi gorisasi tinggi tidak didapatkan dan sebagian
besar sarana daerah responden rendah yaitu
Kategori Rentang Skor Jumlah Frekuensi (%) 87,5%.
Tinggi 17-20 0 0
Sedang 14-16 2 8,3 Tabel 6. Kategori Variabel Sarana Daerah
Rendah <13 22 91,7
Jumlah 24 100 Kategori Rentang Skor Jumlah Frekuensi (%)
Tinggi 9-10 0 0
Sedang 7-8 3 12,5
b. Kategori Variabel Komitmen Rendah <6 21 87,5
Kategorisasi komitmen tergambar pada Tabel Jumlah 24 100
3, bahwa komitmen dengan kategorisasi tinggi
tidak didapatkan dan sebagian besar komitmen
f. Kategori Variabel Reward
responden rendah yaitu 58,3%.
Kategorisasi reward tergambar pada Tabel 7,
Tabel 3. Kategori Variabel Komitmen
sebagian besar reward responden sedang yaitu
62,5%.
Kategori Rentang Skor Jumlah Frekuensi (%)
Tabel 7. Kategori Variabel Reward
Tinggi 17-20 0 0
Sedang 14-16 10 41,7 Kategori Rentang Skor Jumlah Frekuensi (%)
Rendah <13 14 58,3
Tinggi 4-5 6 25
Jumlah 24 100
Sedang 2-3 15 62,5
Rendah 1 3 12,5
Jumlah 24 100
c. Kategori Variabel Sosial Budaya
Kategorisasi sosial budaya tergambar pada Tabel
4, bahwa sosial budaya dengan kategorisasi g. Kategori Variabel Karir
tinggi tidak didapatkan dan sebagian besar sosial Kategorisasi karir tergambar pada Tabel 8,
budaya responden rendah yaitu 62,5%: bahwa karir dengan kategorisasi tinggi tidak
didapatkan dan sebagian besar karir responden
Tabel 4. Kategori Variabel Sosial Budaya rendah yaitu 83,3%.
Kategori Rentang Skor Jumlah Frekuensi (%)
Tabel 8. Kategori Variabel Karir
Tinggi 9-10 - -
Sedang 7-8 9 37,5
Kategori Rentang skor Jumlah Frekuensi (%)
Rendah <6 15 62,5
Tinggi 9-10 - -
Jumlah 24 100 Sedang 7-8 4 16,7
Rendah <6 20 83,3
Jumlah 24 100
d. Kategori Variabel Penerimaan Daerah
Kategorisasi penerimaan daerah tergambar
pada Tabel 5, bahwa penerimaan daerah dengan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 61


S.R. Mustikowati, dkk: Faktor-faktor yang Mempengaruhi

h. Kategori Variabel Punishment Motivasi berdasarkan kebutuhan bersifat jenjang


Kategorisasi punishment tergambar pada Tabel dari kebutuhan paling primer sampai kebutuhan
9, bahwa sebagian besar punishment responden sekunder.4 Jenjang kebutuhan motivasi dari Maslow4
sedang yaitu 50% dan rendah yaitu 45,8%: mulai dari yang terendah adalah kebutuhan fisiologis,
rasa aman, cinta dan rasa memiliki, penghargaan
Tabel 9. Kategori Variabel Punishment dan aktualisasi diri. Kebutuhan untuk merealisasi
bakat, potensi dan minat, pertumbuhan, pengem-
Kategori Rentang skor Jumlah Frekuensi (%)
bangan diri sangat berperan dalam diri responden.
Tinggi 9-10 1 4,2
Sedang 7-8 12 50 Hal ini berarti kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta
Rendah <6 11 45,8 dan rasa memiliki bagi responden telah terpenuhi
Jumlah 24 100 sehingga yang dibutuhkan responden saat ini adalah
penghargaan dan aktualisasi diri.
Berdasarkan hasil analisis wawancara dan
Hasil Data Sekunder kuesioner sebagian besar responden mempunyai
Berdasarkan data dari Depkes tentang komitmen rendah. Hal ini sangat mempengaruhi para
permasalahan penempatan dokter spesialis ikatan responden untuk tidak melaksanakan ikatan dinas
dinas tahun 2001 – 2003 bahwa dari 361 orang dokter pada tempat sesuai dengan tempat tujuan yang telah
spesialis peserta program bantuan ikatan dinas yang disepakati. Berbagai penyebab antara lain kurangnya
mengajukan permohonan penempatan, terdapat 84 informasi daerah yang dituju, kondisi lingkungan tidak
orang yang mengajukan permohonan untuk kondusif untuk pengembangan karir, lamanya waktu
ditempatkan di luar tempat tugas sebenarnya (Tabel ikatan dinas, insentif dan fasilitas kurang memadai,
10).

Tabel 10. Data Permasalahan Permohonan Penempatan Dokter Spesialis Ikatan Dinas
Tahun 2001 – 2003

Alasan Jumlah
Faktor individu :
- Orang tua / anak / istri / suami / sakit 12
- Sakit ginjal kronik / jantung 3
- Ikut suami / istri / keluarga 2
- Mengikuti pendidikan lanjutan 1
Faktor daerah tujuan
- Situasi kemanan 1
- RS telah terisi spesialis yang sama 8
- RS yang dituju memerlukan spesialis 8
Faktor kebijakan / program
- Ikut tim kesehatan gabungan / khusus 15
- Disetujui oleh pemerintah daerah setempat / tujuan 18
- Selama pendidikan gaji dibayar oleh Pemerintah daerah tujuan 4
- Masa bakti ikatan dinas terlalu lama 5
- Bersedia mengembalikan uang pendidikan / biaya ikatan dinas 7
Total 84

PEMBAHASAN faktor keluarga, otonomi daerah dan tempat tujuan


Berdasarkan hasil analisis kuesioner me- telah terisi dokter spesialis yang sama. Hasil
nunjukkan motivasi dari responden sangat rendah. penelitian ini tidak selaras dengan pendapat Wiener5
Hal ini berarti adanya proses yang buruk pada berpendapat bahwa dengan dimilikinya komitmen,
seseorang untuk berperilaku dalam rangka mencapai maka Sumber Daya Manusia (SDM) akan rela
tujuan.3 Dengan demikian, motivasi berhubungan erat berkorban demi kemajuan organisasi, bersedia
dengan perilaku dan prestasi kerja. memberikan perhatian yang besar pada perkem-
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa bangan organisasi dan memiliki tekad yang kuat
motivasi para dokter spesialis ikatan dinas rendah untuk menjaga eksistensi organisasi di dalam
karena kekurangan dorongan dari diri mereka untuk lingkungan kerja. Hal ini berarti responden rendah
melaksanakan penempatan ikatan dinas. Hal ini komitmennya terhadap yang telah disepakati
disebabkan karena tempat tujuan pelaksanaan tugas karena tidak mempunyai ikatan psikologis terhadap
bukan merupakan tujuan akhir yang diinginkan oleh organisasi (Depkes, dinas kesehatan dan RS)
mereka.

62 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

dan pada awal perjanjian ikatan dinas tidak yang telah disepakati, terbukti mereka mau
dilaksanakan orientasi, membangun kepecayaan dan mengembalikan biaya pendidikan 6-20 kali lipat biaya
penyelesaian tujuan organisasi atau kejelasan peran. pendidikan yang mereka terima. Punishment
Hasil kuesioner sebagian besar responden tidak sebenarnya belum tentu membuat seseorang patuh
paham akan sosial budaya tempat mereka akan atau takut pada suatu komitmen yang telah
bekerja. Hal ini disebabkan karena kurang informasi disepakati. Punishment yang efektif adalah punishment
tentang daerah yang akan ditempati dalam bekerja. yang harus tepat atau disesuaikan dengan situasi
Demikian juga masalah penerimaan daerah, dan kondisi dari seseorang tersebut. Hasil penelitian
responden merasa tidak dibutuhkan dan tidak ini sejalan dengan hasil penelitian Lekatompessy7
diterima di tempat bekerja nanti. Salah satu bahwa penempatan dokter spesialis belum merata
responden dari hasil wawancara mengatakan: karena tidak ada sanksi yang tegas.
”Untuk bidang spesialis penunjang (anestesi,
radiologi, patologi) masyarakat belum
KESIMPULAN DAN SARAN
memandang perlu” Kesimpulan
Sebagian besar dokter spesialis ikatan dinas
Hal ini berhubungan dengan otonomi daerah menolak untuk penempatan karena motivasi, dan
dalam SDM. Ilyas5, menyatakan bahwa otonomi komitmen rendah. Faktor predisposing yang paling
daerah bukan wacana baru dalam sistem pemerintah dominan berpengaruh pada penempatan dokter
RI, namun kenyataan yang dihadapi sektor spesialis ikatan dinas yaitu komitmen dan motivasi,
kesehatan selama orde baru, yang masih tersisa sedangkan keadaan sosial budaya, pengetahuan
sampai sekarang adalah sentralisasi program tentang daerah tujuan, serta rasa aman pengaruh-
kesehatan, termasuk dalam hal manajemen proyek- nya tidak sebesar komitmen dan motivasi. Faktor
proyek besar yang diharapkan akan memberikan enabling yang paling dominan berpengaruh pada
dampak signifikan bagi kesehatan masyarakat. Hal penempatan dokter spesialis ikatan dinas yaitu
ini berarti responden kurang informasi tentang daerah penerimaan masyarakat di tempat tujuan dan
yang dituju, sehingga mempengaruhi minat responden pengembangan karir, sedangkan reward tidak telalu
untuk bekerja sesuai dengan perjanjian ikatan dinas. berpengaruh. Faktor reinforcing yang paling dominan
Berdasarkan hasil kuesioner sarana daerah adalah kebijakan pengurangan masa bakti untuk
atau fasilitas tidak memadai dirasa menghambat daerah konflik dan punishment untuk mengembalikan
dalam melakukan pekerjaan. Sebenarnya masalah biaya ikatan dinas. Dari faktor prediposing, enabling,
sarana yang kurang memadai karena faktor reinforcing yang paling dominan adalah faktor pre-
kemampuan daerah dan kebutuhan akan dokter disposing yaitu komitmen dan motivasi.
spesialis tertentu belum dibutuhkan di beberapa
daerah. Jadi setiap usaha perencanaan, yang paling Saran
mendesak adalah penyediaan SDM dalam jumlah Pada awal rekrutmen peserta program pendidik-
yang tepat dan dengan kemampuan yang dibutuh- an dokter spesialis ikatan dinas, departemen
kan. Perencanaan SDM adalah proses yang dilaku- kesehatan perlu memperhatikan beberapa hal, di
kan manajemen untuk menentukan bagaimana antaranya penyiapan lokasi sesuai dengan
organisasi harus bergerak dan kondisi SDM saat ini kebutuhan, penyiapan fasilitas penunjang untuk
menuju kondisi yang diinginkan. Perencanaan ini optimasliasi pekerjaan, serta kejelasan informasi
merupakan proses menganalisis kebutuhan SDM tentang situasi keamanan dan sosial budaya daerah
suatu organisasi pada kondisi yang berubah dan
yang akan dituju.
mengembangkan aktivitas yang diperlukan untuk
Rekrutmen peserta program pendidikan dokter
memenuhi kebutuhan ini.
spesialis ikatan dinas dilaksanakan oleh pemerintah
Dari hasil wawancara dan kuesioner ternyata
daerah, pembiayaan bagi daerah yang mampu
responden merasa reward bukan suatu masalah
dibiayai melalui APBD, sedangkan daerah yang
dalam penempatan ikatan dinas. Hasil penelitian ini
kurang mampu dapat bekerjasama dengan peme-
berbeda dengan pendapat Gluek6 bahwa tujuan
rintah pusat. Tujuannya adalah agar para peserta
pemberian reward akan membuat seseorang tertarik
program pendidikan dokter spesialis mempunyai
untuk bekerja dan termotivasi untuk bekerja dengan
ikatan yang lebih nyata.
baik untuk organisasi atau instansi.
Agar dapat diidentifikasi daerah yang mampu
Sebagian besar responden dari hasil kuesioner
dan yang kurang mampu, perlu adanya peta kemam-
merasa bahwa punishment dari Departemen
puan daerah sehingga pemerintah pusat dapat lebih
Kesehatan tidak berpengaruh terhadap kontrak kerja

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 63


S.R. Mustikowati, dkk: Faktor-faktor yang Mempengaruhi

mengkonsentrasikan pada pengembangan daerah- 2. Azwar, S. Sikap Manusia dan Pengukurannya.


daerah yang kurang mampu. Edisi 2. Pusaka Pelajar Yogyakarta. 1999.
Keberhasilan departemen kesehatan untuk 3. Robbin, Steven.P. Perilaku Organisasi. Penerbit
mengisi kekosongan dokter spesialis pada daerah- Gramedia. Jakarta.2003.
daerah konflik, bencana harus terus dijaga. Keber- 4. Maslow, A.H. Motivasi Dan Kepribadian. PT.
hasilan strategi pengisian tenaga spesialis di daerah Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. 1993;
konflik dan bencana, dapat diberlakukan bagi daerah- 1(3).
daerah yang kurang diminati oleh para dokter 5. Ilyas, Y. Desentralisasi Dan Manajemen Tenaga
spesialis. Strategi ini perlu diterapkan bersama Kesehatan. Perencanaan SDM Rumah Sakit,
dengan pemerintah daerah dan institusi pendidikan. Jakarta. 2000.
6. Gluek, W.F. Personnel: a Diagnostic Approach.
KEPUSTAKAAN Plano Tex: Business Publications. 1982.
1. Green, L.W. Health Education Planning, a 7. Lekatompessy, F. Analisis Kebijakan
Diagnostic Approach, Mayfield Publishing Penempatan Dokter Spesialis Empat dan Tiga
Company, California.1980. Penunjang di Depkes RI, Tesis S-2, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.1999.

64 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 65 - 71
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Artikel Penelitian

PERSEPSI DAN PENGARUH SISTEM PEMBAGIAN JASA PELAYANAN


TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI RUMAH SAKIT JIWA MADANI

PERCEPTION AND IMPACT OF AN INCENTIVE SYSTEM


TO STAFF PERFORMANCE AT MADANI MENTAL HOSPITAL

Nofrinaldi1, Andreasta Meliala2, Adi Utarini2,3


1
Rumah Sakit Jiwa Madani, Sulawesi Tengah
2
Minat Manajemen Rumahsakit, UGM, Yogyakarta
3
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta

ABSTRACT menggunakan kuesioner dan dokumen yang tersedia. Analisis


Background: The revised incentive system started in June deskriptif dan uji paired t-test dan product moment correlation
2004 has triggered many complaints, especially from paramedic digunakan dalam analisis data.
and others staff the incentive system it was perceived to be Hasil: Revisi sistem insentif menyebabkan penurunan bermakna
unfair and more benefit for doctors. persepsi keseluruhan terhadap sistem insentif (1,7%) dan
Objective: The objective of the study was to evaluate the peningkatan bermakna dalam kinerja dokter sebesar 6.7%.
impact of revised incentive system at Madani Mental Hospital Persepsi staf berkorelasi bermakna dengan kinerja staf, dengan
and the correlation between staff perception and performance. korelasi tertinggi pada dokter (r 0,88). Pada perawat, revisi
Method: This was a quasi experimental study with pre and sistem insentif tersebut justru menurunkan persepsi mereka
post test design. The subjects were all hospital staff (n=202). terhadap aspek keadilan dan persepsi keseluruhan, serta
The independent variables were the revised incentive system sistem insentif tersebut tidak mempengaruhi kinerjanya.
and staff perception on the incentive system, while the Kesimpulan: Revisi sistem insentif menurunkan persepsi staf,
dependent variables were doctors’ performance (i.e., yang selanjutnya berkorelasi dengan kinerjanya.
attendance, number of patients served, number of visits) and
staff performance (i.e., quality of work and workload, cost Kata Kunci: sistem insentif, persepsi dan kinerja staf
effectiveness and initiatives). Questionnaires and documents
were used. Data were analyzed descriptively and using paired PENGANTAR
t-test and product moment correlation test.
Desentralisasi merupakan tantangan berat bagi
Result: The revised incentive system caused a significant
decrease (1.7%) of the overall perception on the incentive Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk tetap eksis dalam
system and a significant increase (6.7%) of doctors’ memberikan pelayanan kesehatan pada
performance. Staff perception had significant relationship masyarakat. Pasien jiwa umumnya membutuhkan
(0.49) with staff performance, with the highest correlation
perawatan yang panjang dan bahkan sampai seumur
among doctors (0.88). For nurses, the revised incentive system
decreased their perception on fairness and the overall hidup. Dampak ekonomi bagi keluarga sangat berat
perception, and the incentive system did not affect their dan dapat menyebabkan kesulitan pembiayaan
performance. perawatan.
Conclusion: The revised incentive system decreased staff
Rumah Sakit Jiwa Madani (RSJM) mulai
perception which in turn correlated with their performance.
melakukan pengembangan pelayanan. Sejak tahun
Keywords: incentive system, staff performance, perception 2001 RSJM dikembangkan menjadi RSJ “plus”
dengan beberapa tambahan pelayanan seperti: (1)
ABSTRAK pelayanan gawat darurat 24 jam, (2) pelayanan rawat
Latar belakang: Revisi sistem insentif yang diterapkan pada jalan yang terdiri dari pelayanan poliklinik empat
bulan Juni 2004 telah memicu berbagai keluhan, terutama dari
pelayanan dasar spesialistik, poliklinik gigi dan
perawat dan tenaga kesehatan lainnya. Menurut persepsi
mereka, revisi sistem insentif tersebut tidak adil dan cenderung mulut, konsultasi psikologi, serta pelayanan rawat
lebih menguntungkan para dokter. inap dengan kapasitas 120 tempat tidur (tt) dan
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dampak pelayanan penunjang lainnya.
revisi system insentif di Rumah Sakit Jiwa Madani dan korelasi
Bertambahnya jenis pelayanan akan menambah
antara persepsi dan kinerja staf setelah revisi sistem insentif.
Metode: Penelitian kuasi-eksperimental ini menggunakan tenaga dokter terutama dokter spesialis. Dengan
rancangan pre dan post test, tanpa kelompok kontrol. Subjek bertambahnya jumlah ketenagaan dengan berbagai
adalah seluruh staf rumah sakit (n=202). Variabel keahlian, timbul masalah di RS, terutama pada
independennya adalah revisi sistem insentif dan persepsi staf
sistem pembagian jasa pelayanan, seperti adanya
terhadap sistem insentif tersebut, sedangkan variabel
dependennya adalah kinerja dokter (yaitu presensi, jumlah rasa ketidakpuasan dengan apa yang diterima, bila
pasien, jumlah visite) dan kinerja staf (kualitas pekerjaan, beban dibandingkan dengan kontribusinya terhadap RS.
kerja, efektivitas biaya dan inisiatif). Instrumen penelitian

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 65


Nofrinaldi, dkk: Persepsi dan Pengaruh Sistem Pembagian Jasa Pelayanan

Sistem yang diterapkan sejak tahun 1999 kinerja dokter spesialis setelah dilakukan perubahan
adalah sistem pembagian dengan menggunakan insentif. Perubahan insentif pembayaran dokter dari
sistem indeks tertentu. Indeks telah disepakati fee-for-service menjadi sistem kapitasi dapat
bersama. Dengan melihat sistem pembagian seperti menurunkan biaya pengobatan, akan tetapi menurut
di atas, ada kemungkinan seorang pegawai Stearns6, dokter meresponnya dengan meningkat-
struktural akan mendapatkan jasa lebih besar dari kan penggunaan sumber daya agar penghasilannya
yang diterima oleh dokter dan paramedis yang hanya tetap meningkat.
berperan sebagai tenaga fungsional di RS. Padahal Tujuan penelitian ini adalah: a) untuk
di beberapa RS tenaga dokter mendapatkan jasa mengetahui perbedaan antara persepsi dan kinerja
pelayanan lebih besar. Dalam perspektif yang karyawan sebelum dengan sesudah revisi sistem
berkembang, peran dokter sangat menentukan pembagian jasa pelayanan, b) untuk mengetahui
karena pasien datang ke RS untuk mendapatkan perbedaan antara persepsi dan kinerja karyawan
pelayanan dokter, di samping pelayanan tenaga sebelum dengan sesudah revisi sistem pembagian
kesehatan lainnya. jasa pelayanan berdasarkan ciri individu, c) untuk
Di samping rasa ketidakpuasan terhadap sistem mengetahui hubungan antara persepsi karyawan
indeks yang digunakan dalam pembagian jasa terhadap revisi sistem pembagian jasa pelayanan
pelayanan, terdapat beberapa faktor lain yang dengan kinerja karyawan berdasarkan jenis
menyebabkan penolakan dokter terhadap jasa pekerjaan.
pelayanan yang diterima: (1) waktu pembayaran jasa
pelayanan tidak jelas, (2) tidak adanya transparansi BAHAN DAN CARA PENELITIAN
dalam mekanisma pembagian dan penetapan Penelitian kuasi eksperimental ini menggunakan
indeks, (3) ketidakadilan dan ketidaktahuan akan rancangan pre dan post study design without control
sistem pembagian karena dokter spesialis belum group. Subjek penelitian adalah seluruh karyawan
terlibat dalam perumusan sistem pembagian jasa RSJ M (202), terdiri dari: (a) 15 dokter (dokter umum
pelayanan yang telah digunakan sebelumnya. 6 orang, dokter gigi 2 orang, dokter spesialis 7 orang),
Untuk mengatasi masalah tersebut, pada bulan (b) 130 paramedis, (c) 58 karyawan lain.
Juni 2004 pihak RS melakukan revisi sistem Variabel bebasnya adalah: 1) revisi sistem
pembagian jasa pelayanan. Revisi dilakukan dengan pembagian jasa pelayanan, dan 2) persepsi terhadap
menyerahkan secara langsung 60% dari total jasa sistem pembagian jasa pelayanan, meliputi keadilan,
yang berkaitan dengan jasa pemeriksaan, jasa transparansi, waktu pemberian. Variabel terikat
tindakan medis, serta jasa visite kepada dokter adalah: (1) kinerja dokter, meliputi presensi,
bersangkutan. Sisanya, 40%, dibagi bersama kunjungan rawat jalan, serta jumlah visite, (2) kinerja
dengan menggunakan sistem indeks yang berlaku dokter, paramedis, dan karyawan sebelum dan
selama ini, sehingga dokter sebagai karyawan juga setelah revisi sistem jasa pelayanan, meliputi mutu
memperoleh haknya. Revisi sistem pembagian jasa pekerjaan, jumlah pekerjaan, efektivitas pembiayaan,
pelayanan tersebut menimbulkan ketidakpuasan dan inisiatif. Ciri-ciri individu yaitu jenis kelamin, umur,
pada perawat dan karyawan lain karena lebih masa kerja, golongan, dan jenis pekerjaan juga
menguntungkan dokter dan proporsi pembagian jasa dikumpulkan datanya.
pelayanan yang diterimanya berkurang dibandingkan Sumber data menggunakan data primer dan data
sebelum direvisi. sekunder. Data sekunder berasal dari catatan medik
Bila sistem pembagian jasa pelayanan dianggap dan kepegawaian RSJ M untuk mengumpulkan data
bernilai bagi karyawan, maka akan mendatangkan kinerja dokter enam bulan sebelum dan enam bulan
persepsi yang positif terhadap sistem pembagian sesudah revisi sistem jasa pelayanan. Data primer
jasa pelayanan tersebut.1,2 Siagian3 menyebutkan persepsi dan kinerja dokter, paramedis dan karyawan
bahwa apabila persepsi karyawan terhadap imbalan diperoleh melalui kuisioner. Kuisioner terdiri dari tiga
yang diterimanya tidak memadai, maka bagian yaitu ciri karakteristik individu, persepsi
kemungkinan karyawan tersebut akan berusaha karyawan terhadap sistem pembagian jasa
memperoleh imbalan yang lebih besar atau pelayanan dan kinerja seluruh karyawan.
mengurangi intensitas usaha dalam melaksanakan Kuisioner sistem pembagian jasa pelayanan
tanggung jawabnya. Dengan demikian, persepsinya memuat 24 pertanyaan mengenai transparansi,
terhadap insentif dapat berpengaruh terhadap keadilan, dan pertanyaan mengenai waktu pemberian
kinerjanya. jasa pelayanan. Penilaian menggunakan skala in-
Silalahi4 di RS HKBP Balige tidak menemukan terval model Likert, skor penilaian berkisar antara 1
hubungan yang kuat antara insentif dengan kepuasan (sangat tidak setuju) hingga 4 (sangat setuju).
kerja. Akan tetapi, Djaelani5 menemukan peningkatan Kuesioner kinerja dokter dan karyawan mempunyai

66 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

25 item pertanyaan yang mengukur mutu pekerjaan, Perbandingan rata-rata persepsi responden
jumlah pekerjaan, efektivitas, dan inisiasi. terhadap sistem pembagian jasa pelayanan dan
Pertanyaan menggunakan skala likert dengan skala kinerja responden sebelum dan sesudah revisi
1 (tidak pernah melakukan) hingga 5 (selalu sistem pembagian jasa pelayanan diuji dengan uji
melakukan). statistik paired t-test (Tabel 2).
Nilai positif (+) pada kolom selisih berarti
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN penurunan, sedangkan nilai negatif (-) berarti
Responden mempunyai proporsi yang sama peningkatan persepsi setelah revisi sistem
menurut jenis kelamin, berusia muda (<33 tahun) pembagian jasa pelayanan. Perbedaan skor rata-
dengan lama kerja terbanyak <10 tahun dan sebagian rata persepsi tentang sistem pembagian jasa
besar berpendidikan diploma. Golongan I-II pelayanan yang signifikan (p<0,05) terjadi pada
mendominasi karyawan RS. Perawat merupakan aspek transparansi dan keadilan, dengan selisih
proporsi terbesar karyawan RS (hampir mencapai sebesar 0,41 untuk aspek transparansi atau
65%). Rasio tt dengan perawat di RS ini sebesar 1: penurunan persepsi transparansi sebesar 2,5%.
1,8, sedangkan untuk dokter 1: 8,57. (Tabel 1). Penurunan yang lebih besar terdapat pada aspek
keadilan dengan selisih sebesar 0,47 atau 3,3%.
Tabel 1. Karakteristik Responden (n=202) Secara keseluruhan, persepsi juga menurun secara
signifikan (selisih 0,91 atau 1,7%). Artinya revisi
Karakteristik n %
pembagian jasa pelayanan justru dianggap kurang
Jenis Kelamin
101 50,0
transparansi dan adil, sedangkan waktu
· Laki-laki
· Perempuan 101 50,0 pembagiannya tidak ada perbedaan.
Umur Secara total skor kinerja hanya mengalami
· < 33 tahun 103 51,0 penurunan sebesar 0,06% dari rata-rata skor kinerja
· 33 – 45 tahun 78 38,6
21 10,4
sebelum revisi sistem pembagian jasa pelayanan.
· ? 46 tahun
Pendidikan
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada kelompok dokter,
· SD/SMP 20 9,9 terdapat peningkatan persepsi secara keseluruhan
· SLTA 42 20,8 dan keadilan yang bermakna (p<0,05) antara
· Diploma 117 57,9
sebelum dan setelah revisi sistem pembagian jasa
· S1/S2 23 11,4
pelayanan (selisih 3,57 atau meningkat 6,8% pada
Golongan
· Kontrak 52 25,7 persepsi keseluruhan dan selisih 3,50 atau
· I-II 81 40,1 meningkat 6,7% pada aspek keadilan). Kinerja
· III-IV 69 34,2 dokter juga mengalami peningkatan yang signifikan
Jenis Pekerjaan (p<0,05) setelah revisi sistem pembagian jasa
· Dokter 14 6,9
· Paramedis 130 64,4 pelayanan, walaupun hanya pada aspek jumlah kerja
· Karyawan Lain 58 28,7 dan efektivitas biaya serta kinerja keseluruhan. To-
Masa Kerja tal peningkatan kinerja secara keseluruhan sebesar
· < 9 tahun 124 61,4 3,64 atau meningkat sekitar 10%.
· 10 – 10 tahun 64 31,7
· > 20 tahun 14 6,9

Tabel 2. Perbandingan Rata-rata Persepsi dan Kinerja Responden Sebelum


dan Setelah Revisi Sistem Pembagian Jasa Pelayanan

Sebelum (a) Sesudah (b) Selisih


Variabel t-paired P
Rerata SD Rerata SD (a-b)
Persepsi
1. Transparansi 16,05 3,81 15,64 4,11 0,41 2,18 0,03*
2. Keadilan 14,11 2,78 13,64 2,89 0,47 2,56 0,01*
3. Waktu 21,12 3,03 21,10 3,27 0,02 0,17 0,87
Total 51,29 7,65 50,38 7,50 0,91 3,04 0,00*
Kinerja
1. Mutu Pekerjaan 31,33 4,18 31,35 4,45 -0,02 -0,14 0,89
2. Jumlah Pekerjaan 13,12 2,34 13,32 2,37 -0,20 -1,14 0,26
3. Efektivitas Biaya 15,10 2,82 14,93 3,08 0,17 0,99 0,33
4. Inisiatif 23,11 3,54 23,01 3,70 0,10 0,72 0,47
Total 82,66 8,92 82,60 9,68 0,06 0,14 0,89

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 67


Nofrinaldi, dkk: Persepsi dan Pengaruh Sistem Pembagian Jasa Pelayanan

Tabel 3. Perbandingan Rata-rata Persepsi dan Kinerja Dokter dan Paramedis Sebelum
dan Setelah Revisi Sistem Pembagian Jasa Pelayanan

Sebelum (a) Sesudah (b) Selisih


Jenis Pekerjaan t-paired P
Rerata SD Rerata SD (a-b)
Dokter
Persepsi
1. Transparansi 15,57 3,79 15,50 4,49 0,07 0,08 0,94
2. Keadilan 14,86 3,98 18,36 2,13 -3,50 -2,4 0,03*
3. Waktu 22,29 3,19 22,43 2,82 -0,14 -0,17 0,87
Total 52,71 9,14 56,29 4,55 -3,57 -2,22 0,05*
Kinerja
1. Mutu Pekerjaan 32,43 4,36 32,36 4,45 0,07 0,21 0,84
2. Jumlah Pekerjaan 10,43 1,99 15,57 1,45 -5,14 -6,62 0,00*
3. Efektivitas Biaya 13,29 1,38 16,93 1,69 -3,64 -10,20 0,00*
4. Inisiatif 24,93 3,50 24,86 3,82 0,07 0,17 0,87
Total 81,07 9,01 89,71 7,71 -8,64 -8,61 0,00*
Paramedis
Persepsi
1. Transparansi 15,76 3,49 15,31 3,80 0,45 1,78 0,08
2. Keadilan 13,80 2,53 13,01 2,62 0,79 4,45 0,00*
3. Waktu 21,16 2,95 21,05 3,23 0,11 0,64 0,53
Total 50,72 6,93 49,38 7,13 1,35 3,85 0,00*
Kinerja
1. Mutu Pekerjaan 31,47 4,11 31,41 4,54 0,06 0,25 0,80
2. Jumlah Pekerjaan 13,26 2,21 13,19 2,18 0,07 0,40 0,69
3. Efektivitas Biaya 15,20 2,77 14,85 3,16 0,35 1,69 0,09
4. Inisiatif 22,90 3,76 23,00 3,90 -0,10 -0,56 0,58
Total 82,83 8,58 82,45 9,66 0,38 0,83 0,41

Responden paramedis secara bermakna Persepsi dokter tentang transparansi sistem


menurun persepsinya tentang keadilan dan persepsi pembagian jasa pelayanan berkorelasi bermakna
secara keseluruhan sebelum dan setelah revisi dengan mutu pekerjaan (r 0,73) dan kinerja secara
sistem pembagian jasa pelayanan (selisih 1,3462 keseluruhan (r 0,62), sedangkan aspek waktu
atau menurun 2,6%). Kinerja paramedis tidak pembagian berhubungan dengan inisiatif dan kinerja
berbeda bermakna sebelum dan setelah revisi sistem dokter keseluruhan. Persepsi secara keseluruhan
pembagian jasa pelayanan. berhubungan bermakna dengan mutu kerja, inisiatif
Semua hasil uji korelasi (Tabel 4) menunjukan kerja, dan kinerja secara keseluruhan dan korelasi
hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap terhadap mutu dan total kinerja kuat (r >0,8).
sistem pembagian jasa pelayanan dengan kinerja Pada kelompok paramedis, semua persepsi
setelah dilakukan revisi sistem pembagian jasa berkorelasi dengan semua kinerja, meskipun
pelayanan. Namun demikian, korelasinya relatif korelasinya lemah. Persepsi secara keseluruhan
lemah, kecuali pada persepsi dan kinerja berkorelasi cukup kuat dengan kinerja secara
keseluruhan (r 0.49). Tabel 5 menunjukkan korelasi keseluruhan.
pada berbagai latar belakang profesi karyawan.

Tabel 4. Korelasi Persepsi dan Kinerja Responden


Setelah Revisi Sistem Pembagian Jasa Pelayanan (n=202)

Kinerja
Persepsi Mutu Jumlah Kerja Efektivitas Inisiatif Total
r p r p r p r P r P

Transparansi 0,29 0,000* 0,24 0,001* 0,20 0,005* 0,27 0,000* 0,36 0,000*
Keadilan 0,19 0,006* 0,23 0,001* 0,23 0,001* 0,22 0,001* 0,31 0,000*
Waktu Pembagian 0,28 0,000* 0,26 0,000* 0,35 0,000* 0,26 0,000* 0,40 0,000*
Total 0,35 0,000* 0,33 0,000* 0,35 0,000* 0,35 0,000* 0,49 0,000*

68 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Tabel 5. Korelasi Persepsi dan Kinerja Dokter, Paramedis


Setelah Revisi Sistem Pembagian Jasa Pelayanan

Aspek Kinerja
Persepsi Mutu Jumlah Kerja Efektivitas Inisiatif Total Kinerja
r p r p r p r p r p
Dokter (n=14)
Transparansi 0,73 0,003* -0,07 0,810 0,34 0,233 0,29 0,311 0,62 0,017*
Keadilan -0,33 0,248 -0,12 0,682 -0,36 0,212 0,20 0,482 -0,19 0,516
Waktu 0,48 0,080 -0,42 0,134 0,39 0,162 0,58 0,031* 0,57 0,033*
Total 0,86 0,000* -0,39 0,171 0,41 0,141 0,74 0,002* 0,88 0,000*
Paramedis
(n=130)
Transparansi 0,18 0,041* 0,22 0,014* 0,24 0,006* 0,26 0,003* 0,32 0,000*
Keadilan 0,18 0,038* 0,17 0,050 0,22 0,012* 0,22 0,012* 0,28 0,001*
Waktu 0,20 0,022* 0,23 0,009* 0,25 0,003* 0,19 0,027* 0,31 0,000*
Total 0,25 0,004* 0,28 0,001* 0,33 0,000* 0,31 0,000* 0,41 0,000*

PEMBAHASAN jabatan, penilaian hasil kerja, inisiatif, perilaku, dan


Revisi sistem pembagian jasa pelayanan lain-lain.
merupakan upaya manajemen RS untuk Edwards & Klockars (cit Ilyas)7 mengembangkan
meningkatkan kinerja dokter yang dianggap masih teori interaksi simbolik yaitu pengembangan konsep
lemah. Lemahnya kinerja dikarenakan dokter merasa sendiri dan membuat penilaian sendiri berdasarkan
insentif yang diterima tidak sebanding dengan pada keyakinan tentang bagaimana orang lain
besarnya kontribusi mereka. Dokter merasa menilai, memahami dan mengevaluasi diri sendiri,
mempunyai kontribusi terbesar dalam pelayanan sedangkan menurut Ilyas 7 penilaian sendiri
kesehatan, walaupun jumlah dokter hanya kurang dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti faktor
dari 10% dari jumlah seluruh karyawan. Dalam kepribadian, pengalaman, dan pengetahuan, serta
penelitian jumlah sampel dokter juga kecil (n=15). sosio-demografis, seperti suku dan pendidikan. Pada
Secara keseluruhan, dampak revisi kebijakan penilaian sendiri juga akan memungkinkan
tersebut justru menimbulkan kecemburuan pada pemberian skor yang tinggi diberikan oleh karyawan
karyawan lain. Hal tersebut terbukti dengan tersebut untuk menilai pekerjaan mereka sendiri.
penurunan persepsi perawat terhadap sistem Fenomena tersebut terlihat pada hasil penelitian,
pembagian jasa pelayanan. Penurunan tersebut seperti ditemukan adanya penurunan persepsi
terjadi pada persepsi tentang keadilan dan trans- terhadap sistem insentif pada kelompok paramedis
paransi sistem pembagian jasa pelayanan. Perawat dan karyawan lainnya akan tetapi hanya berdampak
dan karyawan secara keseluruhan menganggap pada penurunan kinerja yang relatif kecil. Bias per-
sistem pembagian jasa pelayanan yang direvisi sonal juga memungkinkan terjadinya hasil yang
kurang adil dan kurang transparan. Namun, kinerja berbeda antara penilaian diri sendiri dengan penilaian
mereka relatif tetap karena tidak ada perbedaan yang oleh orang lain, nilai budaya, cemburu dan harapan
signifikan kinerja semua perawat sebelum dengan personal, serta ketidakpahaman individu terhadap
setelah revisi sistem pembagian jasa pelayanan. apa yang dinilai.
Salah satu faktor yang mungkin mempengaruhi Keuntungan penilaian sendiri dengan kuisioner
lemahnya kekuatan hubungan antara persepsi adalah dapat dilakukan dalam waktu singkat dan
terhadap sistem pembagian jasa pelayanan dengan murah, jika dibandingkan dengan penilaian observasi
kinerja adalah teknik atau pendekatan dalam atau penilaian oleh tim. Penelitian dengan
pengukuran kinerja tersebut. Pengukuran kinerja pendekatan observasi tentu tidak dapat dilakukan
yang dilakukan oleh individu bersangkutan adalah untuk mengukur persepsi yang telah lalu.
salah satu dari banyak teknik dalam mengukur Sangat ideal kalau penilaian diri sendiri
kinerja karyawan. Setiap teknik pengukuran dikombinasikan dengan teknik penilaian 360°, serta
mempunyai kelebihan dan kelemahan. Penilaian penilaian hasil kerja secara obyektif. Penilaian 360°
kinerja oleh karyawan sendiri merupakan teknik yang akan memberikan data yang lebih baik dan dapat
sudah lama diterapkan di berbagai perusahaan di dipercaya karena dilakukan penilaian silang oleh
negara industri. 7 Penilaian diri sendiri sering bawahan, mitra dan atasan di organisasi kerja. Data
digunakan pada bidang manajemen SDM, seperti penilaian merupakan kumulasi dari total skor pada
pengukuran kebutuhan pelatihan, analisis peringkat ketiga penilaian yang dilakukan baik itu penilaian

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 69


Nofrinaldi, dkk: Persepsi dan Pengaruh Sistem Pembagian Jasa Pelayanan

diri sendiri, penilaian mitra dan penilian oleh atasan. menganggap revisi tersebut cukup adil. Dokter di
Hasil dari penilaian silang ini akan bisa mengurangi RSJM terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, dan
kemungkinan terjadinya penilaian yang bias atau dokter gigi. Pembagian jasa pelayanan yang
kecenderungan untuk menilai diri sendiri dengan diperoleh diberikan kepada dokter spesialis dan akan
penilaian tinggi. dibagikan ke anggota SMF-nya. Oleh karena itu,
Revisi sistem pembagian jasa pelayanan kinerja dokter justru berhubungan dengan persepsi
berkaitan dengan imbalan yang diterima oleh masing- tentang transparansi dan waktu pembagian serta
masing karyawan di luar gaji. Persepsi tentang persepsi secara keseluruhan. Hal tersebut
ketidakadilan revisi tersebut dikarena revisi tersebut kemungkinan disebabkan pula karena penentuan
lebih menguntungkan sekelompok karyawan, yaitu revisi hanya melibatkan dokter.
dokter. Persepsi individu terhadap imbalan yang Di samping itu, untuk meningkatkan kinerja
diterima berhubungan dengan karakteristik demografi banyak faktor yang mempengaruhinya sistem
seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan, pemberian jasa atau kompensasi hanya merupakan
pendidikan, masa kerja, tingkatan di dalam salah satu faktor yang bisa berpengaruh terhadap
organisasi tempat bekerja.1 kinerja seseorang sesuai dengan pendapat Steers
Berdasarkan jenis pekerjaan, perbandingan skor dan Porter9 yang berpendapat bahwa kompensasi
rata-rata persepsi sebelum dan setelah revisi sistem merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pembagian jasa pelayanan menunjukkan adanya kinerja.
perbedaan hasil uji statistik. Dokter menganggap Bagi paramedis, revisi tersebut hanya
sistem pembagian jasa pelayanan yang direvisi menurunkan persepsinya terhadap keadilan sistem
cukup adil, namun paramedis menganggap revisi pembagian jasa pelayanan, namun tidak
sistem pembagian tersebut tidak adil. Rasa keadilan menyebabkan penurunan kinerja. Semua aspek
pada karyawan perlu diperhatikan. Henderson 1 persepsi berhubungan dengan semua aspek kinerja
berpendapat persepsi tentang keadilan terhadap dalam kelompok ini, namun korelasi tersebut
imbalan atau sistem pembagian jasa pelayanan termasuk kategori lemah. Hal tersebut berarti
yang diterima dapat berpengaruh kepada kepuasan walaupun terjadi penurunan persepsi tidak
dan prestasi kerja karyawan dan akhirnya akan menyebabkan kinerja paramedis menurun secara
mempengaruhi kinerja organisasi. Hal tersebut drastis. Fenomena tersebut bisa disebabkan karena
dikarenakan kinerja organisasi tidak hanya penilaian dilakukan dengan penilaian sendiri,
dipengaruhi oleh kinerja dokter namun dipengaruhi sehingga individu cenderung memberikan penilaian
oleh kinerja seluruh karyawan, baik karyawan yang tinggi.7
paramedis maupun karyawan lainnya. Upah atau imbalan yang langsung terikat
Kepuasan dokter terhadap revisi sistem dengan kinerja dapat memotivasi perbaikan dari
pelayanan telah meningkatkan kinerja dokter kinerja individu karyawan.10 Akan tetapi pemberian
khususnya jumlah pekerjaan dan efektivitas, serta imbalan langsung terkait dengan kinerja juga bisa
kinerja keseluruhan. Jumlah kerja meningkat karena mengakibatkan rusaknya motivasi kerja atau kinerja
revisi tersebut berkaitan dengan jumlah pasien yang karyawan apabila sistem penilaian kinerja tidak adil
dilayani. Jika pasien yang dilayani semakin banyak atau keabsahan cara penilaian kinerja yang tidak
maka insentif yang diterima dokter semakin besar. jelas. Steers dan Porter9 menyatakan bahwa antara
Djaelani5 menemukan peningkatan kinerja dokter usaha dan kinerja tidak selalu mempunyai hubungan
spesialis di RSPKT Bontang setelah dilakukan sebab akibat yang pasti. Artinya kinerja individual
perubahan insentif bagi mereka. Penelitian Lanier, dipengaruhi beberapa faktor, seperti motivasi dan
dkk., 8 menemukan bahwa dokter di Amerika harapan akan usaha yang dikerjakan. Hubungan
meningkat kinerjanya karena besarnya insentif yang antara kinerja dan kepuasan dipengaruhi oleh banyak
memadai. faktor didalamnya. Sistem reward merupakan salah
Hasil uji korelasi product moment antara semua satu faktor yang mempengaruhi kinerja.
aspek persepsi dan aspek kinerja pada seluruh
karyawan menunjukkan hasil yang signifikan. Pada KESIMPULAN DAN SARAN
kelompok dokter secara keseluruhan persepsi Kesimpulan
terhadap sistem pembagian jasa pelayanan Revisi sistem pembagian jasa pelayanan
berhubungan dengan kinerja, kecuali pada aspek menimbulkan penurunan persepsi terhadap sistem
keadilan. Fenomena tersebut kemungkinan pembagian jasa pelayanan secara signifikan,
disebabkan karena belum semua dokter sedangkan kinerja karyawan relatif tetap. Revisi

70 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

sistem pembagian jasa pelayanan telah UCAPAN TERIMA KASIH


meningkatkan kinerja dokter secara signifikan Terima kasih kepada WHO-Alliance for Health
terutama pada aspek jumlah pekerjaan dan efektivitas Policy and Systems Research, Young Researcher
biaya, dan kinerja secara keseluruhan. Persepsi Grants tahun 2004-2005 (YR-21) yang telah
terhadap sistem pembagian jasa pelayanan mendanai penelitian ini.
berhubungan dengan kinerja secara signifikan dan
cukup kuat. Korelasi antara persepsi dengan kinerja KEPUSTAKAAN
pada kelompok dokter sangat kuat, sedangkan pada 1. Henderson, R.I. Compensation Management,
kelompok paramedis kekuatan korelasi antara Rewarding Performance, Prentice Hall, New
persepsi dengan kinerja dalam kategori cukup kuat. Jersey.1994.
2. Schuler, R.S., and Huber, V.L. Personal and
Saran Human Resource Management, St. Paul,
Kepada pihak manajemen rumah sakit Minesota.1993.
disarankan supaya meninjau kembali revisi sistem 3. Siagian, S.P. Manajemen Sumberdaya Manusia,
pembagian jasa pelayanan, terutama peninjauan Bumi aksara, Jakarta.2004.
dalam aspek keadilan dan transparansi dalam sistem 4. Silalahi, H.E. Hubungan Persepsi Mengenai
pembagian jasa pelayanan. Perubahan yang Sistim Pembagian Insentif dan Kepuasan Kerja
dilakukan haruslah dengan melibatkan perwakilan Karyawan di RS HKBP Balige, Tesis, MMR-
setiap kelompok karyawan, serta sebelum UGM, Yogyakarta.1999.
diterapkan harus disosialisasikan terlebih dahulu. 5. Djaelani, M. Pengaruh Sistem Insentif Jasa
Maka dengan demikian akan diharapkan Medik Dokter Residen/Spesialis terhadap
terbentuknya satu persepsi yang sama terhadap Kinerja Rumah Sakit di RS Pupuk Kaltim
sistem pembagian jasa pelayanan pada seluruh Bontang, Tesis, MMR-UGM, Yogyakarta.1999.
karyawan, sehingga tidak akan menimbulkan 6. Stearns, Sally C. Physician Responses to Fee-
masalah dengan sistem pembagian jasa pelayanan for-Service and Capitation Payment, 1992;29:
yang diterapkan. Pihak manajemen perlu melakukan 416-25.
evaluasi secara berkala terhadap sistem pembagian 7. Ilyas, Y. Kinerja, Teori, Penilaian, dan penelitian.
jasa pelayanan yang diterapkan. Hal ini bisa Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI,
dilakukan dengan komunikasi yang aktif dan terbuka Depok. 2002.
dengan semua kelompok karyawan yang ada, 8. Lainer DC, Roland M, Burstin H dan Knottnerus.
dengan begitu akan diketahui diketahui aspek mana Doctor Performance and Public Accountability,
dari ketiga aspek tersebut yang masih relevan atau The Lancent, 2003;362, 1404-1408.
diterima semua karyawan serta akan menjadi acuan 9. Steers, R., and Porter, L.W.Motivation and Work
dalam penentuan kebijakan baru. Dapat dilakukan Behavior, Mc Grawhill Book Company, New
penelitian lebih lanjut dalam hal kinerja dokter dan York. 1996.
paramedis dengan metode penilaian dan instrumen 10. Dessler. Human Resource Management.
lain. Prentice – Hall, Inc.,A Simon & Schuster Com-
pany, New Jersey.1997.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 71


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 72 - 79
M. Waseso Suharyono, Wiku B.B Adisasmito: Analisis Jumlah Kebutuhan Tenaga Pekarya
Artikel Penelitian

ANALISIS JUMLAH KEBUTUHAN TENAGA PEKARYA DENGAN


WORK SAMPLING DI UNIT LAYANAN GIZI PELAYANAN KESEHATAN

ANALYSIS OF THE OPTIMAL NUMBER OF SUPPORT STAFF NEEDED USING


WORK SAMPLING IN THE NUTRITIONAL SERVICES UNIT

M.Waseso Suharyono1, Wiku B.B Adisasmito2


Bagian Pelayanan Kesehatan Sint Carolus, Jakarta
1

2
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta

ABSTRACT shift kerja adalah 43,57 % dan penggunaan waktu produktif


Backgrounds: The most important components in the hospital terhadap total waktu kegiatan dalam satu hari kerja 53,36 %.
services are human resources. Professional management is Kegiatan langsung tenaga pekarya di layanan gizi Pelayanan
needed to determine the type as well as the quality of the Kesehatan Sint Carolus pada waktu pagi hari 24,93%,
human resources to assure the quality productive hospital sedangkan pada waktu kerja sore lebih rendah sebesar
services. This study aimed at finding out of the optimal number 17,94%. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan waktu produktif
of support staff needed in The Nutritional Services Unit at St. tenaga pekarya masih rendah. Berdasarkan penggunaan waktu
Carolus Health Services 2005 produktif dibutuhkan 8 tenaga pekarya, dan berdasarkan
Methods: This was a time motion study with work sampling metode WISN hanya dibutuhkan 7 tenaga pekarya.
method. Samples were all workers (13 people) in The Nutritional Kesimpulan: Jumlah optimal kebutuhan tenaga pekarya yang
Services Unit. Data were collected through observation of dibutuhkan di Unit Layanan Gizi Pelayanan Kesehatan Sint
worker activities in The Nutritional Services Unit in 7 consecutive Carolus sebanyak 7 orang tenaga pekarya. Hal ini menunjukkan
days (9-15 June 2005). The data were analyzed using Workload adanya kelebihan jumlah tenaga pekarya Unit Layanan Gizi
Indicators of Staffing Need (WISN) method. Pelayanan Kesehatan Sint Carolus sebanyak 6 orang.
Results: The analysis showed that using productive time of
the activities time total in one working shift is 53,36% and Kata Kunci: beban kerja, work sampling
using productive time of working hours is 43,57%. 24,93% is
used for direct activities in morning working hours and 17,94%
is used for direct activities in afternoon working hours. It was PENGANTAR
concluded that the productive use of the support was still Layanan jasa Rumah Sakit (RS), merupakan
very low. Based on the use of the productive working hours,
eight people of support staff are needed, and based on the suatu layanan masyarakat yang penting dan
WISN method, only seven people of support staff are needed. dibutuhkan dalam upaya pemenuhan tuntutan
Conclusions: The optimal number of support staff needed in kesehatan. Banyak unsur yang berperan dan men-
The Nutritional Services Unit at St. Carolus Health Services is dukung berfungsinya operasional RS. Salah satu unsur
seven people. This means that there are an excessive number
of support staff i.e. six people. utama pendukung tersebut adalah Sumber Daya
Manusia (SDM) yang padat karya dan berkualitas
Keywords: workload, work sampling tinggi, disertai kesadaran akan penghayatan
pengabdian kepada kepentingan masyarakat
ABSTRAK khususnya dalam pemenuhan kebutuhan layanan
Latar Belakang: Sumber daya manusia merupakan salah satu kesehatan. Unit Layanan Gizi RS yang merupakan
komponen penting dalam pelayanan rumah sakit. Manajemen
profesional sangat dibutuhkan untuk menentukan kualitas
salah satu unit penunjang umum, juga memerlukan
sumber daya manusia dalam memberikan pelayanan rumah SDM yang berkualitas untuk menjamin produksi
sakit yang berkualitas. Penelitian bertujuan untuk mengetahui layanan yang bermutu tinggi. Perencanaan SDM atau
jumlah optimal kebutuhan tenaga pekarya di Unit Layanan Gizi menurut beberapa referensi disebutkan sebagai
Pelayanan Kesehatan Sint Carolus tahun 2005. manajemen personalia,1,2 dikaitkan dengan rencana
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
menggunakan metode work sampling. Sampel penelitian adalah strategis RS, sehingga kajian terhadap jumlah personil
seluruh pekerja (13 orang) di Unit Layanan Gizi Pelayanan pendukung yang diperlukan sejalan dengan arah
Kesehatan Sint Carolus. Pengumpulan data dilakukan melalui perencanaan pengembangan bisnis satuan kerja unit
pengamatan terhadap kegiatan pekerja di Unit Layanan Gizi layanan gizi. Hasil kajian akan didapatkan kuantitas,
Pelayanan Kesehatan Sint Carolus selama 7 hari berturut-turut
(9-15 Juni 2005). Data dianalisis dengan menggunakan metode
kualitas, dan alokasi penempatan personil yang
Workload Indicators of Staffing Need (WISN). diperlukan. Perencanaan ketenagaan tersebut juga
Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa produktifitas atau menganalisis job title, job description, job spesification
penggunaan waktu produktif terhadap waktu kerja dalam satu yang tetap dan optimal. 3

72 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Salah satu temuan saat melaksanakan residensi kerja sore. Dari masing-masing data yang
di Unit Layanan Gizi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus terkelompok tersebut dikalikan lima karena
(PKSC) tersebut pada pertengahan Desember 2004 pengamatan dilakukan setiap lima menit. Akhirnya
sampai dengan akhir Januari 2005 bahwa berdasarkan didapatkan data jumlah waktu dalam menit dari
informasi data wawancara dan penelusuran dokumen, masing-masing pola kegiatan tersebut di atas terbagi
didapatkan jumlah tenaga pelaksana di unit tersebut dalam kelompok waktu kerja pagi dan sore. Segera
dirasakan berlebih. Salah satu kategori tenaga yang didapatkan data jumlah waktu produktif tenaga
dirasakan berlebihan tersebut adalah tenaga pekarya pekarya. Selanjutnya, data waktu kerja produktif
(15,6% dari total jumlah tenaga di unit layanan gizi). bersama dengan data-data sekunder yang telah
Adapun jumlah keseluruhan tenaga penunjang umum disebutkan di atas dimasukkan ke dalam rumus
RS pada kategori tenaga pekarya tersebut termasuk perhitungan jumlah tenaga dari Workload Indicators
didalamnya sebesar 53,31% (tahun 2005). Besarnya of Staffing Need (WISN). 4 Langkah perhitungan
jumlah tenaga penunjang umum ini berdampak kebutuhan tenaga berdasarkan WISN ini meliputi 5
langsung terhadap beban biaya personel yang langkah, yaitu5:
mencapai 47% dari total biaya operasional (tahun 2005). 1. Menetapkan waktu kerja tersedia
Kondisi ini yang mendasari penelitian untuk 2. Menetapkan unit kerja dan kategori SDM yang
mengkaji jumlah optimal kebutuhan tenaga pekarya dihitung
khususnya di unit layanan gizi. Di samping itu,
3. Menyusun standar beban kerja
manajemen PKSC belum pernah melaksanakan
4. Menyusun standar kelonggaran
kajian kebutuhan jumlah tenaga khususnya tenaga
5. Menghitung kebutuhan tenaga perunit kerja.
penunjang umum berdasarkan beban kerja nyata.
Adapun rumus waktu kerja tersedia yaitu:
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif Waktu kerja tersedia = (A – (B+C+D+E)) X F
dengan menggunakan metode work sampling. A = Hari kerja (6 hari kerja/minggu)
Penelitian bertujuan untuk mengetahui jumlah opti- B = Cuti tahunan
mal kebutuhan tenaga pekarya yang sesuai dengan C = Pendidikan dan pelatihan
kegiatan sesungguhnya di Unit Layanan Gizi PKSC D = Hari libur nasional
tahun 2005. E = Ketidakhadiran kerja (sesuai data rata-rata
Penelitian dilakukan selama tujuh hari mulai 9 ketidakhadiran kerja selama kurun waktu satu
Juni – 15 Juni 2005. Sebagai populasi penelitian tahun, karena alasan sakit, tidak masuk kerja
adalah seluruh tenaga pekarya yaitu sebanyak 13 dengan atau tanpa pemberitahuan atau izin).
orang di Unit Layanan Gizi PKSC. Pengumpulan data F = Waktu kerja (waktu kerja dalam satu hari
dibagi menjadi data primer yang dikumpulkan melalui adalah 7 – 8 jam)
pengamatan langsung terhadap kegiatan yang
dilakukan oleh tenaga pekarya selama jam kerja dan Beban kerja masing-masing kategori SDM di
data sekunder yang diperoleh melalui data yang unit kerja RS meliputi:
berasal dari Unit Layanan Gizi PKSC. 1. Kegiatan pokok yang dilaksanakan oleh
Pengamatan kegiatan dilaksanakan oleh tenaga masing-masing kategori tenaga
pengamat yang sudah dilatih sebelumnya. 2. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk
Pencatatan hasil pengamatan yang dilakukan menyelesaikan tiap kegiatan pokok
selama tujuh hari kerja penuh dicatat di dalam 3. Standar beban kerja per satu tahun masing-
instrumen pengumpulan data yaitu formulir pen- masing kategori SDM
catatan kegiatan tenaga pekarya. Pengamatan dan
pencatatan dilakukan setiap lima menit selama Dari hasil perhitungan didapatkan hasil jumlah
waktu kerja dalam satu hari terhadap seluruh tenaga optimal tenaga pekarya yang dibutuhkan. Untuk
pekarya yang bekerja pada hari itu. mempertajam perhitungan jumlah tenaga pekarya
Setiap hari setelah pencatatan selesai, segera tersebut, maka penelitian ini juga menghitung jumlah
dilakukan analisis data. Pertama dengan menge- optimal kebutuhan tenaga berdasarkan pendekatan
penggunaan waktu produktif tenaga pekarya terhadap
lompokkan pola kegiatan atas kegiatan langsung,
jumlah tenaga pekarya yang ada saat ini. 6,7,8
kegiatan tidak langsung, kegiatan lain produktif,
Penggabungan kedua pendekatan perhitungan di atas,
kegiatan lain tidak produktif, dan kegiatan pribadi.
didapatkan jumlah tenaga pekarya yang optimal.
Kemudian rekapitulasi data waktu kegiatan tersebut
dikelompokkan lagi pada waktu kerja pagi dan waktu

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 73


M. Waseso Suharyono, Wiku B.B Adisasmito: Analisis Jumlah Kebutuhan Tenaga Pekarya

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN kegiatan-kegiatan tersebut tetap bermanfaat bagi


1. Jumlah Waktu Setiap Pola Kegiatan pengembangan atau kepentingan tenaga yang
Tenaga Pekarya bersangkutan maupun unit satuan kerja. Penelitian
Pengamatan terhadap penggunaan waktu pada ini, tidak memasukkan penggunaan waktu kegiatan
setiap pola kegiatan tenaga didahului dengan lain yang produktif tersebut ke dalam kelompok
mencermati karakteristik seluruh kegiatan yang kegiatan produktif yang terdiri dari kegiatan langsung
berhasil diamati dan kemudian dikelompokkan ke dan kegiatan tidak langsung, dengan maksud untuk
dalam masing-masing pola kegiatan.9 Banyaknya mendapatkan hasil pengamatan yang lebih tajam
kelompok pola kegiatan tersebut dapat bervariasi dan tentang penggunaan waktu produktif yang
dikombinasikan, sesuai dengan kebutuhan sesungguhnya atau yang berhubungan langsung
ketajaman penelitian yang diperlukan.6 Kelompok dengan proses produksi layanan Rowland 1980.10, 11
kegiatan yang diamati tersebut terdiri dari kegiatan Selanjutnya dengan mendapatkan besaran
langsung, kegiatan tidak langsung, kegiatan waktu kerja produktif tenaga pekarya tersebut, akan
nonproduktif dan kegiatan pribadi.6 Penelitian ini dapat menghitung jumlah kebutuhan optimal tenaga
mengembangkan atau menambahkan satu kelompok pekarya berdasarkan rumus perhitungan WISN.4
kegiatan pengamatan lagi, yaitu kegiatan lain yang Dari hasil penelitian selama tujuh hari di Unit
produktif. Kegiatan lain yang produktif ini, mengamati Layanan Gizi PKSC, didapatkan jumlah waktu setiap
seluruh kegiatan yang dilakukan oleh tenaga pekarya pola kegiatan tenaga pekarya menurut waktu tugas
yang tidak berhubungan langsung atau berdampak seperti dalam Tabel 1.
langsung terhadap proses produksi layanan, tetapi

Tabel 1. Jumlah Waktu Kegiatan Tenaga Pekarya


dalam Tujuh Hari Kerja di Unit Layanan Gizi PKSC Tahun 2005

Hari Kerja
Kegiatan Pagi Sore
f % f %
Langsung
- Menerima bahan makanan mentah 350 2,60 105 0,99
- Membersihkan bahan makanan 1400 10,39 805 7,65
- Mengolah bahan makanan 1610 11,94 980 9,30
Subtotal 3.360 24,93 1.890 17,94
Tidak Langsung
- Mendistribusikan makanan siap olah 770 5,71 840 7,97
- Membersihkan alat masak/ makan 1.610 11,95 1.960 18,60
- Membersihkan ruang kerja 1.050 7,79 805 7,64
- Menempel etiket menu 280 2,08 245 2,33
Subtotal 3.710 27,53 3.850 36,54
Kegiatan lain yang
Produktif
- Diskusi 280 2,07 0 0
- Pembinaan 1.155 8,57 140 1,33
- Membaca buku ilmiah gizi 245 1,82 105 0,99
Subtotal 1.680 12,46 245 2,32
Kegiatan lain yang tidak
Produktif
- Istirahat 1.190 8,83 1.085 10,30
- Mengobrol 1.155 8,57 980 9,30
- Menonton TV 245 1,82 665 6,31
Subtotal 2.590 19,22 2.730 25,91
Kegiatan pribadi
- makan / minum 1.295 9,62 455 4,32
- Sembayang / mandi 840 6,24 1.365 12,97
Subtotal 2.135 15,86 1.820 17,29
TOTAL 13.475 100 10.535 100
f = frekuensi, jumlah kegiatan dalam satuan menit.

74 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa pencucian alat masak/makan serta kegiatan
kegiatan langsung tenaga pekarya di Unit Layanan mendistribusikan bahan makan mentah maupun
Gizi PKSC, terbanyak pada waktu kerja pagi makanan siap saji tidak dapat diselesaikan secara
(24,93%), waktu kerja sore lebih rendah (17,94%). keseluruhan pada waktu kerja pagi, walaupun
Pada waktu kerja pagi kegiatan langsung yang kegiatan pengolahan bahan makanan menjadi siap
dilakukan oleh tenaga pekarya mempunyai kategori saji dapat diselesaikan pada waktu kerja pagi.
yang berkaitan langsung dengan kegiatan pokok unit Kegiatan lain yang porduktif dilakukan tenaga
layanan gizi. Pada waktu kerja pagi, kegiatan pekarya pada waktu kerja sore hari persentasenya
langsung tenaga pekarya mencakup kegiatan jauh lebih rendah daripada waktu kerja pagi hari, yaitu
menerima bahan makanan mentah, membersihkan menjadi sebesar 2,33 %. Hal ini disebabkan karena
bahan makanan, dan mengolah bahan makanan. sebagian besar kategori kegiatan ini sebagian besar
Kegiatan langsung tenaga pekarya pada waktu dialokasikan pada waktu kerja pagi hari berhubung
kerja sore hari secara umum mengalami penurunan tenaga pembimbing atau pembina lebih banyak
persentasenya dibandingkan dengan kegiatan bekerja pada waktu kerja pagi hari.
langsung tenaga pekarya pada waktu kerja pagi hari. Kegiatan lain yang tidak produktif tenaga pekarya
Salah satu alasan sebab penurunan tersebut karena pada waktu kerja sore hari ternyata meningkat
sebagian besar pesanan menu sore dan malam hari persentasenya sebesar 5,40% dari kegiatan yang
sudah disiapkan oleh tenaga pekarya yang bekerja sama pada waktu kerja pagi hari. Hal ini disebabkan,
pada waktu kerja pagi hari. Pada waktu kerja sore, setelah tenaga pekarya dapat menyelesaikan
kegiatan langsung tenaga pekarya meliputi menerima kegiatan sisa pencucian alat masak atau makan,
bahan makanan mentah, membersihkan bahan serta distribusi bahan makan siap saji, maka mereka
makanan dan mengolah bahan makanan. memilki banyak waktu luang sampai jam pulang
Kegiatan tidak langsung tenaga pekarya pada kerja.
waktu kerja sore persentasenya lebih tinggi daripada Bila digambarkan dalam diagram maka kegiatan
waktu kerja pagi, yaitu meningkat sebesar 3,8 %. tenaga pekarya pada pagi hari dan sore hari selama
Hal ini disebabkan karena sebagian besar kegiatan tujuh hari kerja dapat dilihat pada Diagram 1 dan 2.

Kegiatan
4000 Langsung
3500
Kegiatan Tidak
3000 Langsung
2500 3360 3710 Kegiatan Lain
2000 Produktif
1500
1680 2590 2135 Kegiatan Lain
1000 Tidak Produktif
500
Kegiatan Pribadi
0
Jumlah (menit)

Diagram 1. Kegiatan Pagi Hari Tenaga Pekarya dalam Tujuh Hari Kerja
di Unit Layanan Gizi PKSC, Tahun 2005

Kegiatan
4000
Langsung
3500
Kegiatan Tidak
3000
Langsung
2500 3850
Kegiatan Lain
2000 2730 Produktif
1500
1890 1820 Kegiatan Lain
1000 Tidak Produktif
500 Kegiatan Pribadi
245
0
Jumlah (menit)

Diagram 2. Kegiatan Sore Hari Tenaga Pekarya dalam Tujuh Hari Kerja
di Unit Layanan Gizi PKSC, Tahun 2005

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 75


M. Waseso Suharyono, Wiku B.B Adisasmito: Analisis Jumlah Kebutuhan Tenaga Pekarya

Pada waktu kerja pagi terdiri dari kegiatan satu komponen yang harus dihitung lebih dahulu
langsung 24,93%, kegiatan tidak langsung 27,53%, adalah besarnya penggunaan waktu produktif
kegiatan lain produktif 12,46%, kegiatan lain tidak tenaga yang bersangkutan.4 Waktu produktif
produktif 19,22%, dan kegiatan pribadi 15,86%. dipakai untuk menghitung besarnya standar
Pada waktu kerja sore hari, kegiatan langsung beban kerja yaitu dengan membagi waktu kerja
17,94%, kegiatan tidak langsung 36,54%, kegiatan tersedia dengan rata-rata waktu produktif yang
lain produktif 2,32%, kegiatan lain tidak produktif diperlukan untuk menyelesaikan satu satuan
25,91%, dan kegiatan pribadi 17,29%. produk layanan. Selanjutnya untuk menghitung
jumlah tenaga yang dibutuhkan adalah dengan
2. Penggunaan Waktu Produktif mengukur waktu kerja produktif yang harus
Penggunaan waktu produktif tenaga pekarya dilaksanakan12, kemudian dengan mentransfer
pada waktu kerja pagi dan sore sebesar 1.830 menit atau memproyeksikan beban waktu kerja
atau 53,36% dari jumlah keseluruhan waktu kegiatan produktif tersebut kepada jumlah tenaga yang
dalam satu hari kerja, seperti disajikan dalam Dia- nyata/terkini, didapatkan jumlah optimal
gram 3. kebutuhan tenaga.6
Penggunaan waktu produktif/kerja produktif Produktivitas tenaga kerja tidak mungkin
tenaga pekarya dalam satu shift kerja terhadap mencapai 100%, karena adanya faktor kelelahan
waktu kerja tersedia sebesar 43,57%, seperti dan kejenuhan dari tenaga kerja tersebut sebesar
disajikan pada Diagram 4. 15%, sehingga produktivitasnya hanya 85%,12
sedangkan menurut International Labour Orga-

1900
53,36 % Waktu
1800
1830 Produktif
1700
1600 46,64 % Waktu
1600
Kegiatan Lain
1500
1400
Jumlah (menit)

Diagram 3. Penggunaan Waktu Produktif terhadap Total Waktu Kegiatan Tenaga Pekarya
dalam Satu Hari Kerja di Unit Layanan Gizi PKSC, Tahun 2005

200
43,57 % Waktu
Produktif
150
183 160 38,09 % Waktu
100
Kegiatan Lain
77
50 18,34 % Sisa
Waktu Tidak
0 Terpakai
Jumlah (menit)

Diagram 4. Penggunaan Waktu Produktif terhadap Waktu Kerja Tersedia Per Tenaga Pekarya
dalam Satu Shift Kerja di Unit Layanan Gizi PKSC, Tahun 2005

3. Perhitungan Jumlah Kebutuhan Tenaga nization (ILO)13 faktor minimal kelonggaran


Pekarya tenaga kerja yang mencakup keletihan dan
a. Perhitungan jumlah kebutuhan tenaga pekarya kejenuhan, untuk pria mencapai 9% sedangkan
berdasarkan pengamatan terhadap pengguna- untuk wanita 11%. Tenaga kerja dianggap
an waktu produktif. produktif bila mampu menyelesaikan 80% dari
Untuk dapat menghitung jumlah tenaga yang beban tugasnya.6
dibutuhkan dalam suatu unit kerja, maka salah

76 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Penggunaan waktu produktif tenaga pekarya yang sama dengan beberapa penelitian yang telah
terhadap seluruh jumlah waktu kegiatan yang dilakukan sebelumnya10,11,14 Ketiga penelitian
telah dilakukan dalam satu hari kerja adalah tersebut juga mengukur waktu kerja produktif dari
sebesar 53,36%. Kenyataan tenaga pekarya tenaga yang diamati. Yang membedakan dengan
yang sekarang berjumlah 13 orang, sehingga penelitian ini adalah dalam penggunaan rumus
berdasarkan konsep Hellwig12 dibutuhkan tenaga perhitungan jumlah kebutuhan tenaga. Ketiga
pekarya sebanyak 8,1 orang. Berdasarkan penelitian tersebut menggunakan rumus menurut
konsep ILO 13 dibutuhkan tenaga pekarya Gillies (1989), rumus Nina (1990), dan rumus
sebanyak 7,7 orang, sedangkan berdasarkan Lokakarya Depkes RI (1989). Ketiga rumus ter-
konsep Ilyas 6 dibutuhkan tenaga pekarya sebut dirancang khusus untuk menghitung
sebanyak 8,6 orang. Rata-rata kebutuhan kebutuhan tenaga paramedis dan medis, tetapi
tenaga pekarya berdasarkan penggunaan waktu lebih sering untuk pengukuran kebutuhan tenaga
produktif terhadap total waktu kegiatan pekarya perawat, karena pengukuran beban kerja
adalah sebanyak 8,1 orang. berdasarkan asuhan keperawatan yang mereka
Penggunaan waktu produktif bekerja per lakukan lebih jelas batasannya berdasarkan
satu tenaga pekarya terhadap waktu kerja standar operasi prosedur, sehingga hasil peng-
tersedia per satu shift kerja dalam satu hari ukurannya lebih mudah dilakukan, sedangkan
kerja adalah sebesar 43,57 %. Waktu kerja penelitian ini yang menggunakan rumus WISN
produktif satu orang tenaga pekarya per satu menurut Shipp4 harus mengukur volume beban
shift atau satu hari kerja sebesar 1.830 menit kerja dan standar beban kerja tenaga penunjang
dibagi 10 orang tenaga pekarya yang diamati di luar tenaga medis atau paramedis, yaitu dalam
setiap hari pengamatan, yaitu sebesar 183 hal ini tenaga pekarya.
menit. Waktu kerja tersedia bagi tenaga Penelitian lain yang pernah dilakukan dan
pekarya dalam satu hari kerja adalah sebesar mempunyai kemiripan dengan penelitian ini
7 jam atau 420 menit, sehingga rata-rata peng- dalam hal konsep dasar perhitungan beban kerja
gunaan waktu kerja produktif per hari adalah tenaga yang diamati adalah penelitian menurut
Persi.15 Perbedaannya adalah bahwa penelitian
sebesar 43,57 %. Pola kegiatan waktu produktif
Persi15 tersebut menggunakan tehnik time study,
tenaga pekarya hasil penelitian ini dapat
karena mengamati kegiatan tenaga analis yang
dikatakan masih rendah.6,12,13
mempunyai siklus kerja yang pendek dan
Rendahnya tingkat produktivitas tenaga
berulang-ulang, sehingga lebih tepat dalam
pekarya ini dapat juga dikatakan masih lebih
pengamatan waktu kerja tenaga dalam satu
rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian
garis pendek proses produksi layanan secara
Gempari11 di RS Islam Jakarta dengan metode
individual. Penelitian Persi15 tersebut lebih
penelitian yang sama, didapatkan hasil waktu
menggambarkan pengamatan pada tenaga
kegiatan produktif perawat sebesar 60,1%
secara individual bukan secara berkelompok
(kegiatan langsung ditambah kegiatan tidak seperti pada penelitian dengan work sampling,
langsung), kegiatan lain yang produktif 3,9%, sehingga salah satu keunggulan teknik work
kegiatan lain yang tidak produktif 29% dan sampling adalah kemampuan untuk
kegiatan pribadi 7%. mendapatkan informasi atau gambaran umum
Berdasarkan konsep Hellwig12 proyeksi pola kegiatan yang ada secara cepat dan
besaran penggunaan waktu produktif sebesar dengan biaya yang relatif lebih hemat.
43,57% terhadap jumlah tenaga pekarya yang ada Dengan mengetahui besaran penggunaan
sekarang, jumlah optimal kebutuhan tenaga waktu produktif tenaga pekarya dapat disusun/
tersebut hanya sebanyak 6,7 orang. Menurut ILO13 ditetapkan jumlah tenaga pekarya yang
jumlah optimal tenaga yang dibutuhkan hanya 6,2 sesungguhnya yang dibutuhkan 6, 7,16,17 di Unit
orang dan berdasarkan konsep Ilyas6 hanya Layanan Gizi PKSC dalam rangka upaya
dibutuhkan 7,1 orang, sehingga rata-rata jumlah peningkatan efisiensi dan efektivitas pengguna-
kebutuhan optimal tenaga pekarya berdasarkan an SDM, khususnya tenaga pekarya, seperti
kedua pendekatan besaran penggunaan waktu dijelaskan pada Tabel 2.
produktif di atas sebanyak 7,4 atau 8 orang. Berdasarkan pendekatan penggunaan
Penelitian ini menggunakan teknik work waktu produktif tenaga pekarya dalam melak-
sampling, yaitu kajian terhadap pola kegiatan sanakan atau menyelesaikan beban kerjanya,
tenaga yang diamati dan dicatat secara random dibutuhkan delapan orang.
atau acak. Penelitian ini menggunakan teknik

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 77


M. Waseso Suharyono, Wiku B.B Adisasmito: Analisis Jumlah Kebutuhan Tenaga Pekarya

Tabel 2. Kebutuhan Jumlah Tenaga Pekarya Berdasarkan Penggunaan Waktu Produktif


di Unit Layanan Gizi PKSC, Tahun 2005

Penggunaan Jumlah Jumlah Kebutuhan Tenaga


waktu produktif tenaga
Rata-rata
terhadap total saat Hellwig 12 I L O 13 Ilyas 6
waktu kegiatan ini

53,36 % 8,1 7,7 8,6 8,1

Penggunaan
waktu produktif
13 Hellwig ILO Ilyas
terhadap waktu
kerja tersedia

43,57 % 6,7 6,2 7,1 6,7

Rata-Rata Jumlah Kebutuhan Tenaga Pekarya 7,4 atau 8

b. Perhitungan jumlah kebutuhan tenaga pekarya krusial bila dikaitkan dengan realisasi
berdasarkan indikator beban kerja (Metode komponen biaya personel di unit layanan gizi
WISN). tersebut untuk kurun waktu April 2004 sampai
Perhitungan jumlah kebutuhan tenaga ber- dengan Maret 2005 yaitu sebesar 47% dari to-
dasarkan rumus WISN, sesuai dengan tahap- tal biaya untuk kurun waktu yang sama. Tenaga
an langkahnya adalah: pekarya di unit layanan gizi tersebut mempuyai
1. Waktu kerja tersedia dalam satu tahun bagi proporsi sebesar 16% dari total tenaga di unit
tenaga pekarya adalah sebesar 1.820 yang sama, hal ini dapat diargumentasikan
menit/tahun. bahwa tenaga pekarya di unit gizi tersebut
2. Subunit kerja tenaga pekarya adalah unit berkontribusi sebesar 16% terhadap total biaya
layanan gizi PKSC personel di unit yang sama pada kurun waktu
3. Standar beban kerja dalam satu tahun yang sama. Dengan menggunakan jumlah op-
didapatkan sebesar 91.000 porsi makanan/ timal tenaga pekarya di unit layanan gizi sesuai
tahun hasil penelitian yaitu sebesar tujuh orang, maka
4. Gambaran kelonggaran tenaga pekarya dapat diargumentasikan bahwa manajemen
dalam satu tahun didapatkan 0,074 akan melakukan penghematan atau efisiensi
5. Jumlah tenaga yang dibutuhkan adalah biaya sebesar 8%, dalam hal ini, argumentasi
total kuantitas produk layanan yaitu tersebut didasarkan hanya pada analisis biaya
489.203 porsi makanan dalam satu tahun, personel saja, di Unit Layanan Gizi PKSC.
dibagi dengan 91.000 porsi makanan
pertahun, ditambah dengan 0,074, dan KESIMPULAN DAN SARAN
didapatkan hasil sebesar 6 Kesimpulan
Kegiatan langsung tenaga pekarya di Unit
Berdasarkan perhitungan rumus WISN, Layanan Gizi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus
dibutuhkan jumlah optimal tenaga pekarya pada waktu pagi hari 24,93%, sedangkan pada waktu
sebesar 6 orang. Berdasarkan kedua kerja sore lebih rendah sebesar 17,94%.
pendekatan perhitungan yang sudah dijelaskan Produktivitas atau penggunaan waktu produktif
di atas, jumlah optimal kebutuhan tenaga terhadap waktu kerja dalam satu shift kerja adalah
pekarya adalah sebesar 7 orang. 43,57% dan penggunaan waktu produktif terhadap
Saat ini jumlah tenaga pekarya yang total waktu kegiatan dalam satu hari kerja 53,36%.
bertugas di Unit Layanan Gizi PKSC berjumlah Jumlah optimal kebutuhan tenaga pekarya
13 orang, sehingga perlu diupayakan lebih lanjut berdasarkan pendekatan perhitungan penggunaan
mengenai pemindahan dan penempatan waktu kerja produktif dan berdasarkan perhitungan
kelebihan tenaga pekarya tersebut. Inefisiensi rumus WISN adalah sebanyak tujuh orang tenaga
atau pemborosan penggunaan tenaga pekarya pekarya.
di unit layanan gizi tersebut, akan sangat terasa

78 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Saran 7. Martoyo, S. Manajemen Sumber Daya Manusia.


Hasil penelitian dengan metode work sampling, BPPE, Yogyakarta. 2000; 4: 298.
sebaiknya dilakukan ulang secara berkala dan 8. Sinungan, M. Produktivitas Dan Bagaimana.
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan Bumi Aksara, Jakarta. 2003; 5: 154.
gambaran sesungguhnya terhadap pola penggunaan 9. Barnes, R.M. Motion and Time Study Design
waktu kegiatan/kerja tenaga yang diamati dan and Measurement of Work. John Wiley &
meneliti faktor-faktor penyebab rendahnya Sons,Inc. 1980; 7: 659.
produktivitas tenaga pekarya. Untuk mengurangi bias 10. Achmad, K. Analisis Jumlah Kebutuhan
dari hasil pengamatan kegiatan, waktu penelitian Tenaga Keperawatan di Puskesmas dengan
sebaiknya dilakukan lebih dari tujuh hari. Karena Tempat Tidur Perawatan Dinas Kesehatan
mungkin saja ada kegiatan yang tidak terpantau dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung.
tercatat. Tesis.1998: 89.
Dengan didapatkannya hasil perhitungan 11. Gempari, R. Analisis Pola Waktu Kerja
jumlah tenaga pekarya sebanyak tujuh orang, Produktif Pada Unit Rawat Inap RS Islam
sebaiknya dapat dijadikan bahan pertimbangan Jakarta.Tesis. 1993: 89.
manajemen RS untuk segera mengambil kebijakan 12. Hellwig, K. Sepuluh Langkah Menuju
yang sesuai. Pengukuran Hari Kerja Yang Berhasil Dalam
Mengelola Waktu. A.Dale Timpe-PT
KEPUSTAKAAN Elekkomputindo. Jakarta. 1991; 380.
1. Dessler, G. Manajemen Personalia. Ed. 3. 13. International Labour Organization (ILO).
Penerbit Erlangga. 1984; 3: 697. Penelitian Kerja dan Produktifitas. Erlangga,
2. Handoko, H. Manajemen Personalia Dan Jakarta. 1986; 2: 54.
Sumber Daya Manusia. BPFE, Yogyakarta. 14. Sariasih, A. Analisis Jumlah Kebutuhan
1996; 2: 258. Tenaga Keperawatan di Instalasi Rawat Inap
3. Aditama, T.Y. Manajemen Administrasi RS. RS kanker Dharmais. Jakarta. Tesis. 1996.
Ed.2. Universitas Indonesia. Jakarta. 2002: 371. 15. Persi, Faadly. Analisis Kebutuhan Tenaga
4. Shipp, P.J. Workload Indicators of Staffing Need Analis Berdasarkan Beban Kerja di Unit
(WISN). Manual for Implementation. Initiatives. Laboratorium Klinik RS Santo Borromeus
Inc, Boston USA. 1998; 1: 165. Bandung. Tesis. 2000.
5. Departemen Kesehatan RI. Statistik RS di In- 16. Niebel, B.W. Motion And Time Study. Ed. 7.
donesia: Ketenagaan. 2004. Richard D. Irwin Inc, Homewood, Illinois. 1982:
6. Ilyas, Y. Perencanaan Sumber Daya Manusia 756.
Rumah Sakit. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan 17. Ravianto, J. Produktifitas Dan Manusia Indone-
FKM UI. Depok. 2000; 1: 163. sia. Ed. 1. Sarana Informasi Usaha dan
Produktifitas, Jakarta. 1985; 150.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 79


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 80 - 86
Retno Wahyu Gayatri, dkk: Analisis Pekerjaan Pegawai Bagian Teknis
Artikel Penelitian

ANALISIS PEKERJAAN PEGAWAI BAGIAN TEKNIS


BALAI LABORATORIUM KESEHATAN SEMARANG
SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

JOB ANALYSIS OF TECHNICAL OFFICERS AT OFFICE OF HEALTH LABORATORY FOR


DEVELOPING EDUCATION AND TRAINING

Retno Wahyu Gayatri 1, Chriswardani Suryawati 2, L. Ratna Kartikawulan 2

1
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
2
Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro,
Semarang, Jawa Tengah

ABSTRACT 76 orang, 42 orang (56%) adalah tenaga teknis dan 34 orang


Background: Office of Health Laboratory Jawa Tengah (44%) tenaga non teknis (administrasi). Tenaga teknis di BLK
Province in Semarang has 76 employees, which consists of Semarang terdiri dari 4 jenis yaitu Pengawas Kesehatan,
42 (56%) technical officers (health controller, analyst, Pelaksana Analis, Pengawas Farmasi dan Pelaksana
pharmacy controller, and health personnel) and 34 (46%) non- Kesehatan. Selama ini belum pernah dilakukan analisis pekerjaan
technical or administrative officers. According to Local yang menghasilkan deskripsi dan spesifikasi pekerjaan tenaga
Regulation of Central Java Province No. 1/2000, as a functional teknis. Dengan adanya analisis pekerjaan diharapkan setiap
institutions under Office of Ministry of Health Central Java pegawai mendapatkan tugas pokok dan fungsi sesuai
Province, job analysis (job description and job specification) pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki dan dapat direncanakan
should be developed according to identify education and pendidikan dan pelatihan mereka.
training program to promote the technical officers skills. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif.
Methods: This research was descriptive case study in 2003. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam, observasi
The objectives of this study were described characteristics dengan check list dan studi dokumen/data sekunder. Responden
of technical officers based on educational background, penelitian adalah 10 orang tenaga Pengawas Kesehatan, 5
knowledge and proficiency of technical skills in performing orang tenaga Pelaksana Analis, 1 orang tenaga Pengawas
job. Interview and observation was conducted to explore job Farmasi dan 2 orang tenaga Pelaksana Kesehatan. Sebagai
description and job specification of 10 health controller, 5 responden triangulasi adalah Kepala Balai Laboratorium
analyst, 1 pharmacy controller and 2 health personnels. Cross Kesehatan, Kepala Sub Bag TU dan 3 orang Kepala Seksi
The validation of the data was conducted by interviewed head (Kimia, Mikrobiologi dan Patologi).
manager, head of administrative affairs and 3 head of divison Hasil: Pengawas Kesehatan bertugas mengkoordinasikan
(Chemical, Microbilogy and Pathology). semua kegiatan pemeriksaan laboratorium di bidang teknis dan
Results: Health controllers coordinate all laboratory administrasi pada Seksi Patologi, Mikrobiologi dan Kimia.
observation both technical and administrative activities in 3 Pelaksana Analis bertugas melakukan kegiatan pemeriksaan
division. Analyst examines all laboratory tests in 3 divisions. laboratorium pada ketiga seksi dan bertanggung jawab atas
The pharmacy responsible to the validity of laboratory test hasil pemeriksaan laboratorium. Pengawas Farmasi bertugas
result in chemical division. Health personnel’s help analyst to mengkoordinasikan semua kegiatan pemeriksaan laboratorium
perform laboratory test in pathology and chemical division. Job di Seksi Kimia. Pelaksana Kesehatan bertugas membantu
relations in this office were vertical and horizontal approach. Pelaksana Analis dalam melakukan pemeriksaan laboratorium
Technical officers could be injured by hazardous chemical yang berada di Seksi Patologi dan Kimia. Hubungan kerja
and pesticide. Not all of working condition matches to the bersifat vertikal dan horizontal. Risiko kerja yang mungkin terjadi
stipulation. Job description and specification is flexible due to yaitu keracunan bahan kimia dan pestisida. Sebagian kondisi
the situation of the organization. lingkungan kerja masih belum memenuhi persyaratan. Deskripsi
Conclusions: It is recommended to socialized job descriptions dan spesifikasi pekerjaan empat tenaga teknis yang telah
and job specifications towards all technical officers, continuing disusun bersifat fleksibel.
education especially SMAK/SMF/SPK, conducting technical Saran: Deskripsi pekerjaan yang sudah disusun agar
training and improving job safety and standard of job quality. disosialisasikan kepada tenaga teknis untuk pedoman dalam
This research should be completed research of training need menjalankan tugas, perlu peningkatan pendidikan SMAK/SMF/
assessment and technical officer’s job burden analysis. SPK ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, segera dilakukan
pelatihan tenaga teknis yang belum dijalankan, perlu tindak
Keywords: job analysis, job description, job specification, lanjut untuk menangani standar keamanan kerja dan standar
health laboratory. penyelengggaraan pemantapan mutu. Masih diperlukan
penelitian tentang training need assessment tenaga teknis
dan analisis beban kerja tenaga teknis.
ABSTRAK
Latar balakang: Balai Laboratorium Kesehatan Semarang Kata kunci: analisis pekerjaan, deskripsi pekerjaan,
adalah UPT Dinkes Provinsi Jawa Tengah 2002 mengalami spesifikasi pekerjaan, laboratorium kesehatan.
perubahan struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi sesuai
Peraturan Daerah No.1 tahun 2000. Jumlah tenaga sebanyak

80 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

PENGANTAR Unit analisis dalam penelitian ini adalah BLK


Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) Semarang Semarang, dengan populasi penelitian adalah semua
merupakan salah satu institusi pelayanan kesehatan tenaga teknis yang berjumlah 42 orang. Subjek
yang berkewajiban memberikan pelayanan yang penelitian adalah tenaga teknis berjumlah 18 orang
bermutu kepada para pelanggannya. Tugas ini tidak dengan pertimbangan bahwa subjek penelitian
dapat terlaksana dengan sempurna apabila tidak tersebut memiliki kesamaan jenis bidang pekerjaan.
didukung oleh ketersediaan sumber dana, sumber Responden penelitian adalah 10 orang tenaga
daya manusia maupun fasilitas kerja yang memadai. Pengawas Kesehatan, 5 orang tenaga Pelaksana
Sejak diberlakukan desentralisasi, secara Analis, 1 orang tenaga Pengawas Farmasi, dan 2
administratif BLK Semarang berada di bawah orang tenaga Pelaksana Kesehatan. Sebagai
koordinasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah responden triangulasi adalah Kepala Balai Labo-
seperti yang tercantum dalam Peraturan Daerah ratorium Kesehatan, Kepala Subbagian TU dan 3
Gubernur Jawa Tengah No. 1 tahun 2002 tanggal 2 orang Kepala Seksi. Analisis data dilakukan dengan
April 2002 Pasal 179 1 tentang Kedudukan, Tugas mengikuti pola berfikir induktif. Data kualitatif yang
Pokok dan Fungsi BLK. Balai Laboratorium terkumpul diolah sesuai tujuan penelitian dan
Kesehatan (BLK) Semarang adalah UPT dinas selanjutnya diverifikasi serta disajikan dalam bentuk
kesehatan provinsi dengan struktur organisasi terdiri deskripsi. 3
dari satu orang kepala balai, satu orang kepala
subbagian TU dan tiga orang kepala seksi yaitu HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Seksi Mikrobiologi, Patologi dan Kimia. Analisis pekerjaan adalah proses pengumpulan
Tenaga di Balai Lankes Semarang terdiri dari dan pemeriksaan atas aktivitas kerja di dalam sebuah
42 orang tenaga teknis (56%) dan 34 orang tenaga posisi serta kualifikasi (keahlian, kemampuan,
nonteknis (44%). Tenaga teknis mempunyai tugas pengetahuan serta sifat-sifat individu lainnya) yang
memberikan pelayanan langsung kepada diperlukan untuk melaksanakan aktivitas pekerjaan.4
masyarakat di bawah koordinator ketiga seksi yang Perilaku atau tindakan yang dapat diamati dalam
ada, sedangkan tenaga nonteknis yang bekerja di analisis pekerjaan yaitu: elemen pekerjaan, tugas,
bidang administrasi di bawah koordinator Kepala kewajiban, posisi, pekerjaan dan jabatan.5 Analisis
Subbagian Tata Usaha (Kasubag TU). Tenaga teknis pekerjaan mencakup tiga komponen yaitu: desksipsi
yang ada memiliki berbagai latar belakang pekerjaan, spesifikasi pekerjaan dan standar kinerja
pendidikan setingkat SLTA (SMAK/SPK/SMF), D3 pekerjaan. 6 Tujuan analisis pekerjaan adalah
(AAK) serta S1 (dokter, biologi, teknik lingkungan mengumpulkan jawaban atas pertanyaan: apa yang
dan apoteker). Tenaga teknis dibagi menurut bidang dilakukan pekerja, bagaimana ia melakukannya,
pekerjaan, yaitu pengawas kesehatan, pelaksana kapan pekerjaan harus diselesaikan, dimana
analis, pengawas farmasi, dan pelaksana kesehatan. pekerjaan harus dilaksanakan, bantuan/sarana
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan pekerjaan apa yang diperlukan dan apa sajakah
informasi mengenai deskripsi pekerjaan dan persyaratan yang harus dipenuhi.5 Hasil dari analisis
spesifikasi pekerjaan. yang dilakukan melalui pekerjaan adalah deskripsi dan spesifikasi
analisis pekerjaan tenaga teknis pada BLK pekerjaan.
Semarang, sedangkan tujuan khususnya yaitu: Spesifikasi (syarat) pekerjaan antara lain
1. Menyusun deskripsi pekerjaan sesuai dengan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan tertentu
bidang pekerjaan yang berbeda-beda antara pekerjaan yang satu
2. Menyusun spesifikasi pekerjaan sesuai dengan dengan pekerjaan yang lain. Spesifikasi pekerjaan
standar yang ditetapkan adalah uraian kualitas minimum seseorang yang bisa
3. Menyusun rencana pengembangan tenaga diterima agar dapat menjalankan suatu pekerjaan
teknis BLK Semarang dengan pendidikan dan dengan baik dan kompeten, yang meliputi
pelatihan. pengetahuan, keterampilan dan kemampuan
pegawai yang didasarkan pada pendidikan formal
BAHAN DAN CARA PENELITIAN dan pelatihan tambahan yang telah diikuti oleh
Jenis penelitian ini adalah studi kasus yang pegawai tersebut.7
bersifat deskriptif eksploratif 2 dengan pendekatan Proses analisis pekerjaan sebenarnya
kualitatif untuk penyusunan deskripsi pekerjaan merupakan suatu pengumpulan data dan metode
masing-masing pegawai serta rencana pendidikan yang biasa dipergunakan yaitu dengan menggunakan
dan pelatihan untuk pengembangan sumber daya kuesioner, menuliskan cerita singkat, pengamatan
manusia bagian teknis di BLK Semarang.. dan wawancara.8

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 81


Retno Wahyu Gayatri, dkk: Analisis Pekerjaan Pegawai Bagian Teknis

Tahap-tahap analisis pekerjaan yaitu: Mikrobiologi, Seksi Patologi dan Seksi Kimia serta
pengenalan organisasi dan tipe pekerjaan secara 1 orang Kasubag TU. Kepala BLK melaksanakan
umum, identifikasi pekerjaan, penyusunan daftar sebagian tugas teknis Dinas Kesehatan Provinsi
pertanyaan, pengumpulan dan penyempurnaan data, Jawa Tengah dan melaksanakan tugas teknis
penyusunan deskripsi, spesifikasi dan standar operasional laboratorium kesehatan masyarakat dan
pekerjaan serta penerapan hasil dalam sistem laboratorium lingkungan.
informasi SDM.9 Seksi mikrobiologi bertanggung jawab kepada
Berdasarkan Peraturan Daerah Gubernur Jawa Kepala BLK dalam hal menyiapkan bahan, rencana
Tengah No. 1 tanggal 1 April 2002 tentang kegiatan teknis operasional pemeriksaan
Pembentukan, Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi bakteriologi, parasitologi, pemeriksaan BTA yang
dan Susunan Organisasi Unit Pelaksana Teknis berasal dari puskesmas mokroskopis di Jawa
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, susunan Tengah dan melaporkan hasilnya kepada Kepala
Organisasi BLK Semarang terdiri dari jabatan BLK dan memberikan umpan balik kepada
struktural, yaitu: 1 orang Kepala BLK, 1 orang puskesmas serta melakukan bimbingan kepada
Subbagian TU, 3 orang Kepala Seksi (Mikrobiologi, siswa/mahasiswa yang melakukan PKL dan
Kimia dan Patologi), dan jabatan non struktural menerima aporan kegiatan seksi mikrobiologi.
umum yang terdiri dari tenaga teknis dan tenaga Seksi Kimia Klinik bertanggung jawab kepada
nonteknis/administrasi. Kepala BLK dalam hal menyiapkan bahan, rencana
Tenaga teknis di BLK Semarang dibagi menjadi kegiatan teknis operasional pemeriksaan di bidan
empat jabatan (pengawas kesehatan, pelaksana kimia klinik, yaitu: hematologi, serologi dan
analis, pengawas farmasi, dan pelaksana kesehatan) immunologi, menyiapkan materi kegiatan bimbingan
yang bertugas langsung di bagian pemeriksaan teknis kepada laboratorium di puskesmas maupun
laboratorium dengan berbagai latar belakang laboratorium di kabupaten/kota serta pelaporan
pendidikan (analis kesehatan, SMAK, SPK, SMF, kegiatan seksi kimia klinik.
dokter, sarjana biologi, sarjana teknik lingkungan dan Seksi Kimia bertanggungjawab kepada Kepala
apoteker). Tenaga nonteknis/administrasi adalah BLK dalam hal menyiapkan bahan, rencana kegiatan
tenaga/pegawai yang bekerja di bagian TU. teknis operasional pemeriksaan di bidang kimia
klinik, meliputi pemeriksaan air dan toksikologi serta
1. Gambaran Umum Responden Penelitian melakukan bimbingan kepada peserta magan dari
Bila dibandingkan dengan standar persyaratan intitusi pendidikan seperti: FKM, AAK/AAF/
jabatan yang ditetapkan, dari sepuluh orang Akafarma, SMF, SAA dan SMAK serta memberikan
pengawas kesehatan masih ada empat orang yang pelaporan kegiatan di seksi kimia.
belum memenuhi tingkat pendidikannya, satu orang
bertugas di seksi patologis, dua orang di seksi 3. Hubungan Kerja
mikrobiologis dan satu orang di seksi kimia.. Hubungan kerja vertikal dengan atasan langsung
Pendidikan mereka adalah Sekolah Menegah Analis dalam hal konsultasi/bimbingan dalam menjalankan
Kesehatan (SMAK) sementara persyaratannya tugas, sedangkan hubungan horizontal dilakukan
adalah D3 Analis Kesehatan (AAK). Dari lima orang terhadap sesama tenaga teknis dalam wujud kerja
yang bertugas sebagai pelaksana analis, hanya satu sama dalam melaksanakan tugas/pekerjaan.
orang yang memenuhi tingkat pendidikannya yaitu Pertemuan koordinasi dalam seksi biasanya
D3 AKK, yang lainnya berpendidikan SMAK. Satu dilakukan dua minggu sekali.
orang tenaga pengawas farmasi sudah mempunyai
pendidikan yang sesuai yaitu S1 apoteker. Dua or- 4. Risiko Kerja
ang tenaga pelaksana kesehatan juga telah Risiko kerja yang mungkin terjadi pada tenaga
memenuhi tingkat pendidikannya yaitu SMF/SPK/ yang bertugas pada BLK antara lain: keracunan
SMAK. bahan kimia maupun pestisida. Salah satu cara
untuk menghindari bahaya kerja yaitu setiap petugas
2. Tata Kerja harus melakukan pemeriksaan sampel di dalam
Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) Semarang laboratorium diwajibkan memakai sarung tangan dan
dipimpin oleh seorang Kepala Balai dengan dibantu jas laboratorium, serta menjaga kebersihan ruangan
oleh tiga orang Kepala Seksi yaitu: Seksi maupun peralatan yang dipergunakan.

82 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

5. Kondisi Lingkungan Kerja 6. Keadaan Dibandingkan dengan Standar


Berdasarkan pengamatan dengan memakai Pelayanan Blk
pedoman check list disimpulkan bahwa kondisi yang Sebagian besar responden penelitian belum
ada di masing-masing laboratorium (patologi, mengikuti pelatihan baik penjenjangan maupun yang
mikrobiologi dan kimia) secara umum sudah berhubungan dengan tugas pegawai teknis yang
memenuhi syarat luas ruangan serta peralatan dipersyaratkan untuk memangku masing-masing
standar yang seharusnya ada dalam masing-masing tugas teknisnya.
laboratorium, hanya kondisi penataan masih kurang Dalam penelitian ini juga dilakukan pengamatan
rapi (misal almari/rak penyimpanan tabung, dinding dengan check list terhadap standar keamanan kerja,
agak kotor (kena cairan kimia, dekat dengan ruang pengelolaan spesimen, pencatatan dan pelaporan
pencucian alat atau kamar mandi) dan tempat dan standar kemampuan penyelenggaraan
penyimpanan jas lab dan sarung tangan tidak rapi. pemantapan mutu yang semuanya diperbandingkan
Ruang laboratorium kimia belum memakai AC. Selain dengan standar pelayanan BLK. Dari semua item
itu juga petunjuk/prosedur untuk masing-masing yang ada, yang paling banyak belum dilakukan
pemeriksaan tidak semuanya dituliskan. (belum ada) yaitu pada standar keamanan kerja dan
Sebagian besar responden berharap agar kondisi penyelengaraan pemantapan mutu.
lingkungan kerja (fisik) agar ditingkatkan bersama-
sama. Mereka juga mengharapkan adanya 7. Hasil Analisis Pekerjaan Tenaga Teknis BLK
hubungan kerja yang harmonis antara staf dan Berikut ini hasil analisis pekerjaan keempat
pimpinan, serta antara sesama rekan kerja. tenaga teknis di BLK Provinsi Jawa Tengah (Tabel 1).

Tabel 1 Deskripsi Pekerjaan Tenaga Teknis BLK Jawa Tengah di Semarang

Pengawas Kesehatan Pelaksana Analis Pelaksana Kesehatan Pengawas Farmasi

Tanggung 1. Melaksanakan 1. Melaksanakan 1. Membantu 1. Melaksanakan


jawab delegasi tugas dari delegasi tugas dari melaksanakan delegasi tugas dari
kepala seksi Kepala seksi pemeriksaan yang kepala seksi kimia.
2. Membuat laporan 2. Melaksanakan dilakukan oleh 2. Membuat laporan
hasil pemeriksaan pengambilan sampel pelaksana analis pelaksanaan
dengan benar dengan benar 2. Melaksanakan dan delegasi.
3. Melaporkan hasil 3. Menulis data pasien menulis hasil 3. Membimbing
pemeriksaan dan hasil pemeriksaan siswa/ mahasiswa
kepada kepala seksi pemeriksaan dengan dengan benar yg melakukan PKL
4. Mengkoordinasi benar dengan bimbingan di lingkungan seksi
kegiatan 4. Menyusun laporan pelaksana analis kimia dan
pemeriksaan di hasil pemeriksaan 3. Melaporkan hasil melaporkan
masing-masing dan melaporkan kepada Kepala kegiatan kepada
seksi secara teknis kepada kepala seksi Seksi masing- kepala seksi kimia
maupun masing melalui
administrasi pelaksana analis
4. Melaksanakan tugas
lain yang diberikan
oleh kepala seksi

Wewenang 1. Menandatangani 1. Menandatangi hasil 1. Menandatangani 1. Memberi saran dan


hasil pemeriksaan pemeriksaan dengan hasil pemeriksaan masukan secara
2. Memberi saran dan benar dengan benar teknis dan
masukan tentang 2. Memberi saran dan 2. Memberikan administrasi
hal-hal yang teknis masukan mengenai masukan mengenai mengenai hal-hal
maupun hal-hal yang berkaitan hal-hal yang yang berkaitan
administrasi sesuai dg teknis berkaitan dengan dengan bidang
seksinya pemeriksaan bidang pemeriksaan
laboratorium kepada pemeriksaannya kepada kepala
kepala seksi kepada pelaksana seksi Kimia
3. Mengkoordinasikan analis
kegiatan pelaksana
kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 83


Retno Wahyu Gayatri, dkk: Analisis Pekerjaan Pegawai Bagian Teknis

Hasil Kerja 1. Tersusunnya topik 1. Terlaksananya 1. Terlaksananya 1. Tersusunnya topik-


program kerja dan kegiatan kegiatan topik program kerja
rencana pelaksaaan pemeriksaan pemeriksaan secara di seksi kimia
kerja pada masing- secara tepat dan tepat dan benar 2. Terlaksananya
masing seksi benar sesuai sesuai prosedur kegiatan
2. Terlaksananya prosedur pemeriksaan pemeriksaan sesuai
kegiatan pemeriksaan 2. Tersedianya rencana
pemeriksaan sesuai 2. Terlaksananya informasi tentang 3. Tersedianya data
rencana kegiatan hasil pemeriksaan pemeriksaan kimia
3. Tersedianya data pemeriksaan yang dilakukan secara lengkap
pemeriksaan secara sesuai yang 3. Tersusunnya laporan 4. Tersedianya jadwal
lengkap direncanakan untuk semua kegiatan di seksi
4. Terlaksananya 3. Tersedianya pemeriksaan yang kimia
kegiatan bimbingan informasi tentang menjadi 5. Terlaksanya
teknis bagi siswa/ hasil pemeriksaan tanggungjawabnya kegiatan bimbingan
mahasiswa yang yang dilakukan teknis bagi siswa/
melakukan praktik 4. Tersusunnya mahasiswa yang
kerja lapngan (PKL) laporan untuk melalukan PKL
di BLK pemeriksaan yg khususnya di seksi
5. Terlaksananya tugas menjadi tanggung kimia
yang diberikan jawabnya 6. Terkoodinasinya
kepala seksi kegiatan
6. Terkoordinasinya pemeriksaan di
kegiatan seksi kimia
pemeriksaan di
masing-masing
seksi

Bahan Kerja 1. Program kerja 1. Sampel 1. Sampel pemeriksaan 1. Sampel


masing-masing pemeriksaan (darah, urine, pemeriksaan (air,
seksi (darah, faeses,air, udara, makanan,bahan-
2. Jadwal kerja urine,faeses, air, makanan) bahan toksik)
masing-masing udara, makanan) 2. Bahan-bahan kimia 2. Program kerja
seksi 2. Bahan-bahan kimia (reagen) masing-masing
3. Data-data kegiatan (reagen) 3. Arahan dari seksi
masing-masing 3. Arahan pempinan pimpinan, pengawas 3. Jenis kegiatan di
seksi 4. Uraian tugas kesehatan, seksi kimia
4. Data hasil kegiatan Pelaksana pengawas farmasi 4. Jadwal kerja
pemeriksaan Kegiatan dan pelaksana analis masing-masing
laboratorium seksi
5. Sampel 5. Data hasil
peemriksaan (air, pemeriksaan
udara, darah, laboratorium
faeses, urine)
6. Bahan-bahan kimia
(reagen)
7. Jenis kegiatan
pemriksaan di
masing-masing
seksi
8. Data masing-masing
jenis pemeriksaan

Perangkat 1. Standar pelayanan 1. Prosedur 1. Prosedur 1. Standar pelayanan


Kerja laboratorium pemeriksaan untuk pemeriksaan untuk Labkes
kesehatan (labkes) masing-masing masing-masing jenis 2. Kebijakan-kebijakan
2. Kebijakan-masing jenis pemeriksaan pemeriksaan program Balabkes,
program BLK 2. Sarung tangan dan 2. Sarung tangan dan buku dan referensi
3. Petunjuk teknis, peralatan peralatan pendukung
petunjuk laboratorium laboratorium 3. Peralatan
pelaksanaan Labkes pendukung pendukung pemeriksaan
4. Peralatan 3. ATK 3. ATK (tabung gelas,
pemeriksaan 4. Buku, referensi 4. Buku, referensi pipet, gelas ukur
(tabung, gelas, pipet pendukung lainnya pendukung lainnya dan lain-lain)
dan lain-lain) 5. Petunjuk 5. Petunjuk 4. Alat-alat elektronik
5. Alat-alat elektornik pelaksanaan pelaksanaan (juklak) pendukung
pendukung (juklak) dan dan petunjuk teknis pemeriksaan bidang
pemeriksaan. petunjuk teknis (juknis) pemeriksaan kimia
6. Alat tulis kantor (juknis)

84 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Senada dengan penelitian Aziz Ajarat10 dan Deskripsi pekerjaan berisi tentang rumusan
Tugiman11, dalam penelitian ini juga ditemukan tugas, hasil kerja, bahan kerja, perangkat kerja,
bahwa secara umum responden belum mengetahui/ tanggung jawab, wewenang dan kondisi pelaksanaan
memahami secara jelas tugas dan tanggung jawab pekerjaan kerja dengan mempertimbangkan bidang
dalam pekerjaan mereka. Selama ini yang dilakukan pekerjaan yang ada dan dapat ditinjau kembali
oleh atasan langsung (kepala seksi) adalah berusaha sesuai dengan tuntutan organisasi.
membuat uraian tugas dan diusahakan tidak terjadi Spesifikasi pekerjaan yang berisi tentang
overlapping antara pekerjaan yang satu dengan yang persyaratan untuk menduduki jabatan masing-masing
lain, tetapi hal ini sulit dilakukan dan diakui masih tenaga teknis tersebut disesuaikan dengan pendidikan
banyak kelemahannya. formal, pangkat/golongan, jenis pelatihan yang pernah
Pertemuan koordinasi di dalam seksi biasanya diikuti, pengalaman kerja dan persyaratan fisik yang
dilakukan dua minggu sekali untuk membahas harus dimiliki oleh tenaga teknis.
permasalahan yang ada. Supervisi/pembinaan
secara langsung pada pekerjaan tenaga teknis tidak Saran
pernah dilakukan lagi selama tiga bulan terakhir. Deskripsi pekerjaan tenaga teknis yang telah
Permasalahan lain dalam hal pengembangan disusun diharapkan dapat segera disosialisasikan
SDM yaitu: terbatasnya anggaran untuk diklat, untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas
informasi pelatihan yang diterima seringkali sesuai bidang pekerjaannya, perlu tindak lanjut untuk
terlambat, kriteria peserta diklat tidak sesuai dengan menangani standar keamanan kerja dan standar
tenaga yang ada. Diklat SDM khususnya tenaga penyelengggaraan pemantapan mutu, kesempatan
teknis yang telah disusun oleh Kepala BLK untuk tenaga teknis dengan pendidikan SMAK/SMF/SPK
jangka menengah (tiga tahun) menjadi lebih terarah untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan
dengan berhasil disusunnya deskripsi dan spesifikasi segera dilakukan pelatihan tenaga teknis yang belum
pekerjaan ini. dilakukan. Penelitian lebih lanjut yang dapat
dilakukan yaitu penelitian tentang training need as-
8. Identifikasi Kebutuhan Pendidikan dan sessment tenaga teknis dan analisis beban kerja
Pelatihan Tenaga Teknis Blk tenaga teknis.
Pelatihan tenaga teknis BLK Jawa Tengah yang
masih diperlukan untuk waktu mendatang yaitu: KEPUSTAKAAN
a. Seksi Mikrobiologi: pelatihan mikroskopis ma- 1. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No.1
laria, pelatihan mikroskopis pemeriksaan telur tahun 2002, Pembentukan, Kedudukan, Tugas
cacing dan faeses, pelatihan TB, Pokok, Fungsi dan Susunan Organisasi Unit
b. Seksi Kimia: pelatihan penanganan limbah, Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan, Semarang,
penanganan keracunan makanan 2002.
c. Seksi Patologi: pelatihan patologi anatomi, 2. Arikunto, S, Prosedur Penelitian, Edisi Revisi,
otomatisasi kimia klinik dan hematologi. Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
3. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian
Semua tenaga teknis memerlukan tambahan Kualitatif, edisi kedua, Permaja Rosdakarya,
pengetahuan dan ketrampilan sesuai bidang Bandung, 2002.
tugasnya dari berbagai seminar dan workshop yang 4. Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI,
berkaitan dengan bidang pekerjaannya, pelatihan Analisis Jabatan, Pusat pembinaan Pendidikan
manajemen mutu, serta pelatihan penanganan dan Latihan Teknis Fungsional, Jakarta, 1993.
keselamatan kerja di laboratorium. 5. Moekijat, Manajemen Personalia dan Sumber
Daya Manusia, Mandar Maju, Bandung, 1995.
KESIMPULAN DAN SARAN 6. Simamora, Henry, Manajemen Sumber Daya
Kesimpulan Manusia, Edisi kedua, Bagian Penerbitan STIE
Telah dilakukan analisis pekerjaan empat jenis YKPN, Yogyakarta, 1999.
tenaga teknis di BLK Jawa Tengah yaitu: Pengawas 7. Hasibuan, HMSP. Manajemen Sumber Daya
Kesehatan, Pelaksana Analis, Pengawas Farmasi Manusia, Edisi Revisi, Bumi Aksara, Jakarta,
dan Pelaksana Kesehatan. Jabatan Pengawas 2000.
Kesehatan, Pelaksana Analis, Pengawas Farmasi 8. Heidjrahman dan Suad Husnan, Manajemen
dan Pelaksana Kesehatan. Jabatan tenaga teknis Personalia, Edisi keempat cetakan kesembilan,
tersebut ditentukan berdasarkan pangkat, golongan BPFE Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
dan jenjang pendidikan formal. 2000.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 85


Retno Wahyu Gayatri, dkk: Analisis Pekerjaan Pegawai Bagian Teknis

9. Handoko, T. Hani. Manajemen Personalia dan 11. Ajarat, Aziz, Analisis Jabatan Sebagai Dasar
Sumber Daya Manusia, Andi Offset, Yogyakarta, Pengembangan Sumber Daya Manusia di
2000. Akademi Keperawatan Departemen Kesehatan
10. Tugiman, Analisis Jabatan Sebagai Dasar di Ternate, tesis pada Magister Manajemen
Pengembangan Sumber Daya Manusia di Balai Pelayanan Kesehatan (MMPK) Pascasarjana
Pelatihan Kesehatan (Bapelkes) Gombong Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000.
dalam Era Desentralisasi, tesis pada Magister
Manajemen Pelayanan Kesehatan (MMPK)
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2002.

86 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 87 - 93
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Artikel Penelitian

SISTEM PEMBERIAN INSENTIF YANG BERPIHAK PADA SUMBER DAYA


MANUSIA KESEHATAN DI DAERAH TERPENCIL:
Studi Kasus Provinsi Lampung
A PRO WORKER INCENTIVE/PAY SCHEME FOR HEALTH CARE MANPOWER IN REMOTE AREAS:
Case Study in Lampung Province

Dumilah Ayuningtyas
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia,
Jakarta

ABSTRACT terhadap seratus ribu penduduk yang harus dilayani masih


Background: This qualitative study seeks to identify problems kurang dan di bawah rasio nasional. Seperti angka rasio dokter
and their implications on health care manpower in Provinsi 5,6 (nasional 10,73). Informan menyepakati belum terbangun
Lampung by analyzing relevant documents, holding in-depth sistem pemberian insentif. Tidak ada kebijakan pemberian
interviews, FGD, CDMG for decision-makers and key insentif bagi berbagai jenis tenaga kesehatan (bidan, perawat,
stakeholders with the aim of producing a consensus.           dokter umum) di kota dan kabupaten di Provinsi Lampung. Hanya
Method: Primary and secondary data collection as well as ada pemberian insentif yang ditujukan khusus bagi dokter
triangulation of data was carried out in ways that ensure spesialis di Provinsi Lampung Utara sebesar Rp250.000,00/
quality. The study covers provincial, district and municipal health bulan dan Provinsi Lampung Barat Rp1.000.000,00/ bulan.
offices (dinkes provinsi/kabupaten/kota), community health Meski terdapat perbedaan situasi kemampuan antarkabupaten/
centers (puskesmas), hospitals and other health facilities. kota di Provinsi Lampung namun belum ada pembedaan
Result and Conclusions:The study shows that almost all of pemberian insentif yang akomodatif. Pemberian insentif
Provinsi Lampung health offices and work units at district and material dan atau nonmaterial dengan mendasarkan pada
municipality levels experience a shortage of health care karakteristik daerah dan kemampuan pemda muncul sebagai
manpower. The ratio of health workers (medical doctors, strategi implementasi sistem pemberian insentif
dentists, midwives, nurses and others) to every 100,000 people
is below the national figure. The ratio of doctors to the population Kata Kunci: prinsip pemberian insentif, modifikasi insentif,
here is 5.6 (the national figure is 10.73). Informants have pemberian insentif, kemampuan daerah
identified the absence of an adequate system of compensation
for health workers (midwives, nurses, general practitioners) PENGANTAR
in the municipality of and in districts in Provinsi Lampung. A
monthly incentive of Rp250,000,00 and Rp1 million is available
Berbagai permasalahan Sumber Daya
for specialists only in North Provinsi Lampung and West Provinsi Manusia (SDM) kesehatan dijumpai di daerah-
Lampung respectively. There are differences in Provinsi daerah di era desentralisasi, seperti masih rendahnya
Lampung Districts’ financial ability, but there has yet to be a mutu tenaga kesehatan dan kesesuaian antara
scheme that accommodates the differences. The study shows
the possibility of implementing a scheme that covers both
kompetensi dengan tuntutan pekerjaannya, juga
material and in-kind incentives that are based on the region’s kurangnya jumlah SDM kesehatan di daerah
characteristics and the provincial government’s financial ability. pedesaan. Gambaran tersebut dijumpai pula di
Provinsi Lampung. Pelaksanaan otonomi daerah
Keywords: incentive, modification of incentives, the pattern
of incentive and ability of the region
harus dipandang sebagai sebuah kesempatan
kewenangan untuk mengelola SDM kesehatan
ABSTRAK daerah dengan lebih baik.
Latar belakang: Untuk mengidentifikasi permasalahan dan Manajemen SDM kesehatan perlu mendapat
implikasi ketenagaan kesehatan, termasuk sistem insentif, bagi perhatian khusus di Provinsi Lampung mengingat
SDM Kesehatan Provinsi Lampung, studi kualitatif ini
menganalisis dokumen terkait, wawancara mendalam, masih rendahnya status kesehatan masyarakat,
FGD,CDMG di antara para pengambil keputusan, tokoh kunci sementara kualitas SDM kesehatannya pun masih
untuk melahirkan konsensus bersama. harus ditingkatkan. Representasi kualitas dan
Metode: Pengambilan data primer, sekunder dan triangulasi kuantitas SDM kesehatan Provinsi Lampung yang
data dilakukan untuk menjamin kualitas hasil. Studi meliputi
dinkes provinsi/kabupaten dan kota, puskesmas, rumah sakit tercermin dari laporan provinsi memperlihatkan
dan instasi kesehatan lain. bahwa sebagian besar SDM kesehatan masih
Hasil dan Kesimpulan: Studi memperlihatkan hampir di semua memiliki latar belakang pendidikan setingkat SMU.
unit kerja dan dinkes kabupaten/kota di Provinsi Lampung Kebanyakan SDM kesehatan pada unit
kekurangan jumlah SDM kesehatan. Rasio antara jenis tenaga
kesehatan (dokter, dokter gigi, bidan, perawat dan lain-lain) administrasi untuk tingkat provinsi memiliki latar

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 87


Dumilah Ayuningtyas: Sistem Pemberian Insentif yang Berpihak

belakang pendidikan hanya sampai tingkat sekolah organisasi profesi, staf dinkes yang berhubungan
menengah atas dan akademi dengan mayoritas dengan studi ini (kasubbag perencanaan, kasubdin
komposisi sebagai petugas administrasi umum SDK, kabag TU, kasie pendayagunaan nakes, pokja
dibandingkan petugas teknik.1 Oleh karena itu, provinsi, kasubdin, akademisi, bapelkes, pusdiklat,
dilakukan studi dan pengkajian manajemen, pusdiknakes), kepala puskesmas.
pengembangan SDM kesehatan di Provinsi Lampung
dengan tujuan antara lain mengidentifikasi HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
permasalahan dan implikasi ketenagaan kesehatan, Situasi Ketenagaan Kesehatan: Jumlah dan
termasuk pada sistem insentif bagi SDM kesehatan. Jenis SDM Kesehatan
Pada Tabel 1 disajikan peta ketenagaan
BAHAN DAN CARA PENELITIAN berdasarkan tingkat pendidikan di Dinkes Provinsi
Telah dilakukan studi dan pengkajian manajemen Lampung tahun 2002.
dan pengembangan SDM kesehatan di Provinsi Dari Tabel 1, terlihat bahwa 58,41% adalah
Lampung dengan tujuan antara lain mengidentifikasi tenaga kesehatan yang berpendidikan setingkat
permasalahan dan implikasi ketenagaan kesehatan, SLTA, tenaga kesehatan yang berpendidikan DIII
termasuk pada sistem insentif bagi SDM kesehatan. kesehatan sebesar 15,89% dan S1 kesehatan hanya
Studi kualitatif dilakukan untuk mendapatkan 5,43%. Persentase terbesar tingkat pendidikan SDM
deskripsi rinci dan analisis mendalam tentang kesehatan Provinsi Lampung adalah SLTA sebesar
manajemen dan proses pengembangan SDM 67,31%. Persentase pendidikan S2 (2,5%) ternyata
kesehatan Provinsi Lampung. Oleh karena itu, lebih rendah dari persentase pendidikan SD (2,7%).
analisis dokumen terkait, wawancara mendalam, Dari segi jumlah tenaga kesehatan, semua unit
FGD,CDMG di antara para pengambil keputusan, kerja yang dikunjungi menyatakan bahwa jumlah
tokoh kunci, dan stake holder lain untuk melahirkan SDM yang dimiliki kurang. Dari segi jenis tenaga
konsensus bersama dengan dasar “expert judge- berdasarkan pendidikan jumlahnya juga kurang
ment by good intuitive” menjadi bagian penting pada kecuali Dinkes Provinsi Lampung Utara kelebihan
studi ini. Pengambilan data primer, sekunder, untuk tenaga AKL dan ATRO dan Dinkes Bandar Provinsi
kemudian dilakukan triangulasi data dilakukan untuk Lampung kelebihan tenaga perawat dan Bapelkes
menjamin keakuratan dan validitas hasil studi. kelebihan tenaga staf. (Tabel 2).
Pelaksanaan studi meliputi dinas kesehatan Dalam skala provinsi jumlah yang ada dirasakan
(dinkes) provinsi/kabupaten dan kota, puskesmas, masih sangat kurang. Rasio antara jenis tenaga
rumah sakit dan beberapa instasi kesehatan lain kesehatan (dokter, dokter gigi, bidan, perawat dan
yaitu balai pelatihan kesehatan, AKPER dan AKL. lain-lain) terhadap 100.000 penduduk yang dilayani
Informan ditetapkan dengan memperhatikan prinsip masih kurang dan di bawah rasio nasional. Indikator
adequacy dan appropiatness mulai dari kadinkes, ketersediaan tenaga kesehatan yang berperan
kasubdin, kasie, kepala puskesmas, direktur. sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan
Informan dalam studi ini adalah: direktur rumah ditunjukkan oleh angka rasio dokter, bidan, dan
sakit, kadinkes/wakadinkes provinsi dan kabupaten, perawat pada Tabel 3.

Tabel 1. Peta ketenagaan Kesehatan Provinsi Lampung Berdasarkan Komposisi Tahun 2002

Total
Kesehatan Nonkesehatan
Pendidikan Ketenagaan
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
S2 160 2.30 14 0.20 174 2.50
S1 378 5.43 209 3.00 587 8.43
D3 1,107 15.89 22 0.32 1,129 16.21
SLTA 4,069 58.41 620 8.90 4,689 67.31
SLTP 34 0.49 165 2.37 199 2.86
SD - - 188 2.70 188 2.70
Total 5,748 82.52 1,218 17.48 6,966 100.00
Total Nakes: 6,966
Sumber: Bima SDK Dinkes Provinsi Lampung,2003

88 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Tabel 2. Jumlah Tenaga Kesehatan Pada Unit Kerja yang Dikunjungi Tahun 2003

Unit Kerja Jumlah Kekurangan Kelebihan


Nakes Nonkes Total
Dinkes Provinsi 125 162 287 - -
Dinkes Bandar 622 96 718 Tenaga analis (lab), tenaga gizi Tenaga perawat
Provinsi
Lampung
Dinkes Metro 95 54 149 Medis, paramedis, gizi, analis Tidak ada
kesehatan, tenaga statistik,
operator komputer
Dinkes Provinsi 670 72 742 Medis (dokter spesialis, dokter - ATRO
Lampung Utara gigi) - AKL
Paramedis (S1 keperawatan, - Anestesi
bidan, gizi, analis kesehatan,
Asisten Apoteker, perawat gigi
dan fisioterapi)
Dinkes Provinsi 560 38 598 - -
Lampung
Tengah
Dinkes Provinsi 399 - 399 Semua jenis tenaga -
Lampung Timur
Dinkes Provinsi 496 55 551 - -
Lampung
Selatan
Dinkes Tulang 468 6 474 Dr, Drg, Parawat, bidan -
Bawang
RS Dr. Abdul 593 306 899 Spesialis penyakit dalam, mata, Spesialis bedah,
Moeloek THT, kulit, radiologi urologi, obsgin dan
forensik dan dokter umum. kesehatan anak
S1 dan D3 keperawatan,
perawat jiwa
Bapelkes 33 15 48 Widiaiswara, tenaga pramu, sopir Staf
Diknakes 148 142 290 Tenaga struktural dirangkap Tidak ada
tenaga fungsional
Jumlah 4209 946 5155
Sumber : Data primer dari unit kerja yang dikunjungi, tahun 2003

Tabel 3. Rasio tenaga dokter, bidan dan perawat terhadap penduduk


di Provinsi Lampung tahun 1998 – 2002

RASIO 1998 1999 2000 2001 2002

Dokter/100 ribu penduduk 4,03 4,73 7,51 6,53 5,60

Bidan/100 ribu penduduk 40,28 31,12 19,42 - -

Perawat /100 ribu penduduk 40,18 31,25 35,90 - -

Sumber: laporan Kinerja Dinkes Provinsi Lampung Tahun 1998 – 2002

Hasil pengkajian memperlihatkan hampir di populasi atau dengan sarana kesehatan


semua unit kerja dan Dinkes Kabupaten/Kota di dibandingkan dengan standar nasional, kekosongan
Provinsi Lampung masih kekurangan jumlah SDM tenaga kesehatan di sarana pelayanan kesehatan
kesehatan. Rasio antara jenis tenaga kesehatan terutama di daerah yang terpencil atau semi terpencil
(dokter, dokter gigi, bidan, perawat dan lain-lain) terungkap dari temuan di lapangan. Para informan
terhadap 100.000 penduduk yang harus dilayani menyepakati belum terbangun sistem baku
masih sangat kurang bila dibandingkan dengan rasio pemberian insentif. Tidak ada kebijakan pemberian
nasional. Angka rasio tenaga dokter misalnya 5,6 insentif bagi berbagai jenis tenaga kesehatan (bidan,
masih jauh di bawah angka nasional yaitu 10,73. perawat, dokter, dan lain-lain) di seluruh kota dan
Beratnya beban kerja karena harus merangkap kabupaten yang ada di Provinsi Lampung. Hanya
tugas/jabatan, tingginya angka turn over, jauhnya ada pemberian insentif pada saat studi dilakukan di
rasio antara tenaga kesehatan (nakes) dengan tahun 2003, yang ditujukan khusus bagi dokter

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 89


Dumilah Ayuningtyas: Sistem Pemberian Insentif yang Berpihak

spesialis di Provinsi Lampung Utara sebesar serta dapat mengeliminir kekurangan pada kondisi
Rp250.000,00/bulan dan Provinsi Lampung Barat geografi, sarana dan fasilitas, maka insentif tersebut
Rp1.000.000,00/bulan. Meski terdapat perbedaan dapat meningkatkan minat dan motivasi tenaga
situasi kemampuan antar kabupaten/kota di Provinsi kesehatan untuk bekerja di daerah yang kurang
Lampung, namun belum ada pembedaan pemberian diminati, terpencil atau sangat terpencil.5,6,7
insentif yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan
tersebut. Para informan juga menyepakati klasifikasi Berbagai Alternatif Bentuk Insentif
perbedaan kota/kabupaten di Provinsi Lampung Insentif yang diberikan dapat berupa material
sebagai berikut. dan atau nonmaterial. Pemilihan bentuk insentif
1. Dari sisi keterpencilannya didasarkan pada karakteristik daerah dan
Daerah terpencil: Provinsi Lampung Barat, Way kemampuan pemda. Bentuk insentif yang dipilih
Kanan dapat berupa bentuk tunggal atau kombinasi dari
Semi terpencil: Tanggamus, Provinsi Lampung contoh berikut.
Timur, Tulang Bawang. Daerah kategori biasa 1. Material. Beberapa insentif berbentuk material
adalah : kabupaten/ kota sisanya yang diminati tenaga kesehatan:
2. Dari sisi kemampuan pendanaan pemerintah l Uang: tunjangan bulanan, asuransi jiwa,
daerah (miskin atau tidaknya) tunjangan cuti
Kabupaten miskin di Provinsi Lampung adalah l Perumahan: rumah dinas, atau disediakan
Way Kanan, Tulang Bawang, dan Provinsi uang kontrak
Lampung Barat. Pendapatan Asli Daerah (PAD) l Kendaraan: roda dua, roda empat,
teratas adalah Bandar Provinsi Lampung, kendaraan dinas, Kendaraan operasional
Provinsi Lampung Selatan, Provinsi Lampung l Fasilitas komunikasi: telepon, internet
Tengah, dan Metro. l Fasilitas hiburan: televisi, VCD
2. Nonmaterial. Beberapa bentuk insentif
PEMBAHASAN nonmaterial yang paling diminati oleh tenaga
Konsep,Prinsip Pemberian dan Berbagai kesehatan:
Alternatif Bentuk Insentif l Peluang pendidikan lanjutan atas biaya
Insentif adalah penghargaan kepada karyawan pemerintah
atas segala jerih payahnya dalam meningkatkan l Peluang mengikuti pendidikan dan latihan
tugas dalam memberikan pelayanan kepada cus- l Peluang mendapatkan kenaikan pangkat
tomer di luar gaji yang diterima setiap bulan dengan istimewa (untuk PNS)
besaran berubah-ubah sesuai dengan hasil kinerja. l Peluang untuk diangkat menjadi pegawai
Beberapa ahli mengatakan bahwa pemberian gaji negeri atau pegawai tetap
pokok (basic salary) hanya dapat membuat para l Peluang peningkatan karir
pekerja merasa aman, namun tidak mampu 3. Kombinasi. Insentif diberikan dalam bentuk
memberikan motivasi. Upah yang dikaitkan dengan kombinasi antara material dan nonmaterial
kinerja (insentif) dikatakan mampu memberikan sebagai yang paling sering digunakan.
motivasi untuk meningkatkan produktivitas kerja
karyawan.2 ,3 Dasar dan Langkah Penetapan Strategi
Secara resmi telah ada batasan tentang insentif Implementasi Pola Insentif
yang ditetapkan oleh biro kepegawaian departemen 1. Identifikasi masalah
kesehatan. Insentif adalah pemberian imbalan, di luar Identifikasi masalah dimaksudkan untuk
gaji, baik yang bersifat material dan nonmaterial pada menjawab pertanyaan sebagai berikut:
tenaga kesehatan sebagai kompensasi atas a. Daerah mana saja yang kurang diminati
kesediaannya ditempatkan pada suatu daerah, atau tenaga kesehatan
kesediannya melakukan pekerjaan tertentu, atau b. Jenis tenaga apa yang kurang diminati
penghargaan atas pencapaian prestasi kerja dalam c. Pada fasilitas kesehatan apa saja yang
jangka waktu tertentu.4 mereka kurang diminati
Pada prinsipnya pemberian insentif harus Beberapa pertimbangan dasar dalam melakukan
memenuhi kejelasan tujuan dan sasaran, prinsip identifikasi masalah adalah sebagai berikut:
keadilan dan prinsip kompensasi itu sendiri yang 1) Keterpencilan suatu daerah menjadi hal yang
bersifat penghargaan dan keterbukaan, dan prinsip sangat mendasar pada pemberian insentif, dan
kejelasan skala waktu. Bila bentuk insentif sesuai diklasifikasikan berdasarkan daerah biasa, semi
dengan kebutuhan atau harapan tenaga kesehatan, terpencil, terpencil, dan sangat terpencil

90 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

2) Keadaan daerah yang tergolong miskin dan (2) Fasilitas kerja yang tersedia
kaya dan bantuan departemen kesehatan (3) Sarana transportasi dan komunikasi yang
mengenai hal ini tersedia
3) Pertimbangan risiko keamanan dan kerawanan, (4) Sarana hiburan yang tersedia
diklasifikasikan sedang, tinggi, dan amat tinggi (5) Kondisi geografik, iklim, dan jumlah penduduk
4) Peminatan pada daerah yang dituju, diklasifikasi (6) Risiko pekerjaan yang ada
diminati, biasa, dan kurang diminati. Suatu (7) Peraturan tentang ketenagaan yang ada
daerah kurang diminati yaitu suatu daerah, baik Identifikasi semua peraturan baik yang berasal
desa, kecamatan, kabupaten,kota, atau provinsi dari pusat maupun Perda yang berkaitan
tertentu yang kurang diminati oleh jenis tenaga dengan ketenagaan seperti:
kesehatan tertentu (atau semua jenis tenaga - Pengangkatan, penempatan dan pem-
kesehatan). Hal ini ditandai dengan sedikitnya berhentian
permintaan atau lamaran dari tenaga kesehatan - Bentuk ikatan kerja: PNS, honorer, tenaga
untuk bekerja pada daerah tersebut atau kontrak
tingginya permintaan untuk dipindahkan dari - Penggajian
daerah tersebut. - Tunjangan-tunjangan
Beberapa faktor penyebab kurang diminatinya - Hak pegawai: pendidikan, cuti, asuransi
suatu daerah biasanya berkaitan dengan situasi - Kewajiban pegawai
geografi, sosial budaya, adat istiadat, kondisi (8) Kemampuan keuangan dan fasilitas yang dimiliki
ekonomi daerah dan penduduknya, peluang karir, pemda.
kelengkapan sarana, fasilitas transportasi dan - Berapa PAD sekarang
komunikasi, pelayanan administrasi, peluang - Berapa persen atau berapa rupiah dana
mengikuti pendidikan dan pelatihan atau dialokasikan untuk kesehatan
pendidikan lanjutan, lama waktu penugasan, serta - Adakah kemungkinan daerah meningkatkan
citra tentang daerah tersebut. Minat tinggi dapat alokasi anggaran kesehatan
diketahui dari banyaknya permintaan untuk - Adakah upaya terobosan yang mungkin
ditempatkan di kecamatan tersebut, serta dilakukan untuk meningkatkan anggaran
kemudahan untuk menempatkan tenaga. Minat kesehatan
sedang tidak terlalu sulit untuk menempatkan - Apakah daerah masih memiliki aset untuk
tenaga di kecamatan, namun tenaga tersebut tidak perumahan
dapat bertahan lama, atau cukup tingginya - Fasilitas apa saja yang dimiliki daerah yang
permintaan untuk pindah. Minat Kurang ditandai mungkin digunakan sebagai insentif.
dengan sulitnya mendapatkan tenaga yang
bersedia ditempatkan, serta tingginya permintaan 3. Identifikasi hal strategis yang diperlukan
untuk pindah dari kecamatan tersebut. Pada Identifikasi hal-hal yang perlu dilakukan pemda
kecamatan yang kurang diminati kemudian untuk meningkatkan daya tarik suatu daerah/
dilakukan analisis desa-desa yang kurang diminati fasilitas kesehatan. Strategi ini setidaknya
dengan metode analisis yang sama. meliputi:
l Dana yang dibutuhkan serta sumbernya
2. Analisis situasi Hitung perkiraan dana yang dibutuhkan untuk
(1) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi insentif. Identifikasi pula dari mana sumber
minat tenaga kesehatan: dananya dan cara mendapatkannya.
a. Rumah sakit swasta l Fasilitas yang perlu disediakan
b. Kemampuan ekonomi rata-rata Rumuskan jenis dan jumlah serta kondisi
masyarakat fasilitas yang diperlukan untuk insentif.
c. Kemungkinan berpraktik sore Termasuk di dalamnya adalah fasilitas yang
d. Perumahan yang disediakan telah ada dan yang belum ada. Rumuskan
e. Kemungkinan melanjutkan pendidikan pula bagaimana cara untuk mengadakan
dengan biaya pemerintah fasilitas yang belum tersedia.
f. Kemungkinan mengikuti seminar dengan l Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang
biaya pemerintah menjadi prioritas insentif
g. Kemungkinan mengikuti diklat Tentukan jenis dan jumlah tenaga kesehatan
h. Kemungkinan diangkat jadi pegawai yang diprioritaskan untuk mendapat insentif.
negeri/ tetap Jenis tenaga kesehatan ini dapat dilihat dari

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 91


Dumilah Ayuningtyas: Sistem Pemberian Insentif yang Berpihak

analisis minat kerja. Identifikasi pula dari l Penyusunan peraturan daerah


mana jenis tenaga kesehatan tersebut Agar memiliki dasar hukum, paket insentif
didapatkan, apakah dari pasar bebas? Atau ini kemudian dibuatkan Perda-nya. Perda ini
dari daerah tertentu? dapat ditinjau dan diubah sesuai kebutuhan.
l Daerah atau sarana kesehatan yang disiapkan
insentifnya 5. Sosialisasi dengan tujuan adalah agar
Tentukan daerah mana saja (desa, kecamatan, keberadaan Perda diketahui secara luas, dapat
kota), serta fasilitas apa saja yang perlu dilakukan melalui seminar, iklan, dan
disiapkan insentifnya. sebagainya.
l Waktu dan lama pemberian insentif.
Tentukan waktu insentif ini diberikan serta 6. Evaluasi dapat dilakukan pada waktu-waktu
untuk berapa lama insentif tersebut diperlu- tertentu dan kebijkaan insentif perlu dievaluasi
kan. Hal ini penting untuk mengetahui untuk mengetahui keefektifannya.
kemampuan daerah dalam menyediakan
pembiayaannya. Strategi Implementasi Pengembangan Pola
Insentif di Provinsi Lampung
4. Penentuan paket insentif Dengan memperhatikan berbagai alternatif
Setelah strategi pemberian insentif dibuat, bentuk insentif, dasar-dasar serta langkah-langkah
kemudian tentukan paket insentif tersebut. penetapan insentif maka disusun strategi
Paket insentif untuk satu jenis tenaga implementasi pengembangan pola insentif di Provinsi
kesehatan relatif berbeda dengan jenis tenaga Lampung. Pengembangan pola insentif tersebut
kesehatan lainnya. Untuk itu, perlu dirumuskan diharapkan dapat memperbesar minat dan motivasi
paket insentif untuk masing-masing tenaga. serta meningkatkan ‘daya tahan’ SDM kesehatan
Paket insentif ini meliputi: untuk ditempatkan di daerah terpencil. Tentu dituntut
l Sarana dan tujuan paket insentif pula komitmen dari Pemda untuk memberikan
Sebutkan jenis tenaga kesehatan yang dukungan finansial ataupun kepastian hukum agar
berhak mendapat paket ini. Misalnya: paket pola insentif yang telah dibangun dapat diberlakukan
insentif untuk dokter puskesmas; paket dalam mekanisme kompensasi/ reward dan sanksi
insentif untuk bidan desa, dan sebagainya. secara efektif.
Sebutkan pula apa tujuan pemberian insentif Penerapan pola insentif ini diharapkan tak hanya
ini, jenis, besarnya, waktu pemberian insentif berlaku di kabupaten tertentu seperti Provinsi
dan kondisi objektifnya Lampung Selatan dan Utara. Seperti yang ditemui
Contoh di atas adalah matriks untuk insentif di lapangan, namun dapat dicoba diberlakukan di
berbentuk material dan nonmaterial dan cara berbagai kabupaten/kota yang memiliki kemampuan
mengisinya. serupa. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
l Lama masa tugas a. Pemberian insentif di Provinsi Lampung yang
Sebutkan berapa lama jenis tenaga tersebut terdiri dari dua kota dan enam kabupaten,
harus bertugas pada tempat yang ditentukan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek
atau batas minimal yang disyaratkan agar keadaan daerah, yaitu daerah biasa, daerah
berhak mendapat insentif. semi terpencil, daerah terpencil, dan daerah
l Cara pemberian insentif sangat terpencil, seperti: Kabupaten Provinsi
Tentukan cara atau mekanisme pemberian Lampung Barat dan Kabupaten Way Kanan
paket insentif. Termasuk di sini adalah yang tergolong kabupaten terpencil yang
mekanisme administrasi serta teknis mungkin memiliki kemampuan terendah
pelaksanaannya. Sebagai contoh tata cara daripada kabupaten yang lain. Untuk Kabupaten
pemberian insentif berbentuk uang: alokasi Tanggamus, Kabupaten Provinsi Lampung
anggaran di dana alokasi umum, uang di Timur, dan Kabupaten Tulang Bawang yang
transfer ke bank tertentu setiap tanggal 10. merupakan daerah semi terpencil, dalam
l Hal-hal yang membatalkan insentif pemberian insentif juga sangat minim sama
Rumuskan hal-hal apa yang dapat seperti pada daerah terpencil.
membatalkan pemberian suatu insentif. Hal b. Insentif yang diberikan dapat berupa material
ini perlu agar tenaga kesehatan yang dan atau non-material.
bersangkutan mengetahui hak dan Material, beberapa insentif berbentuk material
kewajibannya. yang diminati tenaga kesehatan adalah uang

92 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

(tunjangan bulanan, asuransi jiwa, tunjangan adanya komitmen bersama dari semua pihak untuk
cuti), perumahan (rumah dinas, atau disediakan mewujudkannya. Cita-cita indah seperti ternyatakan
uang kontrak), kendaraan (roda dua, roda dalam visi baru Departemen Kesehatan:
empat, kendaraan dinas, kendaraan "masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat",
operasional), fasilitas komunikasi (telepon, dengan grand strategy: "meningkatkan akses
internet), fasilitas hiburan (televisi, VCD). masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
Nonmaterial, beberapa bentuk insentif berkualitas" dan salah satu inidikatornya adalah di
nonmaterial yang paling diminati oleh tenaga setiap desa tersedia SDM kesehatan yang
kesehatan adalah peluang pendidikan lanjutan berkompeten niscaya akan tetap menjadi mimpi
atas biaya pemerintah, peluang mengikuti diklat, belaka tanpa adanya reformasi dalam manajemen
peluang mendapatkan kenaikan pangkat kesehatan khususnya sistem insentif yang berpihak
istimewa (untuk PNS), peluang untuk diangkat bagi SDM kesehatan yang berada di medan sulit
menjadi PNS atau pegawai tetap. Peluang dan daerah-daerah terpencil.
peningkatan karir atau dapat pula memberikan
insentif dalam bentuk yang paling sering KEPUSTAKAAN
digunakan yaitu kombinasi antara material dan 1. Profil Kesehatan Provinsi Lampung , Tahun
non-material. 2002.
c. Gunakan pola-pola atau format yang telah 2. Finlay, W., Martin, J., Roman, P.M., dan Blum,
dibuat sebagai kesepakatandengan mengacu T.C. Organizational Structure and Job
pada pedoman pemberian insentif, langkah- Satisfaction: Do Bureaucratic Organization
langkah penetapan serta dasar pertimbangan Produce More Satisfied Employees ?. Journal
seperti minat, keterpencilan, srana prasarana of administration and Society. 1995; 27 (3): 427-
dan sebagainya ( format dan pola terlampir) 50.
3. DeSantis, V.S. Comparing Job Satisfaction
PENUTUP Among Public and Private Sector Employee.
Pemberlakuan pola insentif yang memperlihatkan American Review of Public Administration.
apresiasi dan keberpihakan terhadap tenaga 1996; 23 (3): 427-450.
kesehatan yang berada di daerah terpencil akan 4. Dessler, Manajemen Sumber Daya Manusia
menjadi sebuah upaya untuk memenuhi tuntutan jilid II. 1998: 85.
asas keadilan dalam sistem kompensasi. 5. Pedoman Insentif bagi Tenaga Kesehatan. Biro
Penetapan pola insentif tersebut diharapkan dapat Kepegawaian Departemen Kesehatan dan
memperbesar minat dan motivasi serta Kesejahteraan Sosial. Jakarta. 2001
meningkatkan ‘daya tahan’ SDM Kesehatan untuk 6. Schuler, RS. Personal & Human Resource
ditempatkan di daerah terpencil. Tentu dituntut pula Management (5th Ed.), St Paul, Minessota:
komitmen Pemerintah Propinsi dan Kabupaten untuk West Publishing Company, Chapter 9. 1993.
memberikan dukungan kuat. Berbagai deskripsi dan 7. Supardal, Agus. Burhannudin A. Tajibnapis,
temuan lapangan serta prinsip-prinsip dalam dkk. Pedoman Insentif bagi Tenaga Kesehatan.
pemberian insentif yang telah dikemukakan akan Biro Kepegawaian Departemen Kesehatan dan
sekedar menjadi catatan documenter belaka tanpa Kesejahteraan Sosial. Jakarta. 2001.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 93


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 94 - 101
Iwan Dwiprahasto: Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas
Artikel Penelitian

PENINGKATAN MUTU PENGGUNAAN OBAT DI PUSKESMAS MELALUI


PELATIHAN BERJENJANG PADA DOKTER DAN PERAWAT

IMPROVING THE QUALITY OF PRESCRIBING AT PRIMARY HEALTH CENTRES


THROUGH A TRAINING INTERVENTION FOR DOCTORS AND PARAMEDICS

Iwan Dwiprahasto
Bagian Farmakologi & Toksikologi Fakultas Kedokteran
UGM Yogyakarta

ABSTRACT and the use of injection for muscle ache, 6 months after
Background: inappropriate use of drugs for the treatment of intervention.
acute respiratory infections (ARI) has been reported
worldwide. Patients present at health centres are commonly Keywords: inappropriate prescribing, acute respiratory
prescribed with unnecessary antibiotics. Inappropriate infection, primary health centres
prescribing may result in the occurrence of adverse drug
event. ABSTRAK
Objective: this study aims (1) to assess prescribing pattern Latar belakang: berbagai studi menemukan bahwa peng-
for ARI and muscle ache (myalgia) at health centres in 8 gunaan obat untuk infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
districts of West Sumatra Province, and (2) to improve quality cenderung berlebih. Sebagian besar pasien yang datang ke
of prescribing for ARI and muscle ache in health centres. pelayanan kesehatan dengan ISPA cenderung mendapat anti-
Method: A cross sectional study was carried out to address biotika. Berbagai bukti juga menunjukkan bahwa ketidak-
objective (1). Drug use data were collected retrospectively at rasionalan peresepan dapat meningkatkan risiko terjadinya efek
health centres in 8 districts of West Sumatra Province for samping obat.
baseline information on prescribing. To address objective (2) a Tujuan: penelitian ini bertujuan untuk (1) menilai pola peresepan
training intervention on rational use of drugs was carried out, untuk ISPA dan myalgia di puskesmas di 8 kabupaten/kota,
involving primary health care (PHC) physicians and paramedics provinsi Sumatra Barat, dan (2) meningkatkan mutu pengguna-
from 15 randomly selected primary health centres. Training an obat untuk ISPA dan myalgia di puskesmas.
was characterized as motivational, interactive, problem-based Metode: Studi cross sectional dilakukan untuk menjawab
approach for both doctors and paramedics, and on the job tujuan (1). Data peresepan dikumpulkan dari 43 puskesmas
training for paramedics. secara retrospektif sebagai data dasar. Untuk menjawab tujuan
Result: Forty three health centres participated in the study. (2) dilakukan intervensi pelatihan penggunaan obat yang
The average number of drugs prescribed for children with ARI rasional dengan melibatkan dokter dan perawat di 15 puskesmas
was similar to that prescribed by paramedics, i.e. 3.62 and yang dipilih secara acak ciri pelatihan adalah motivasional,
3.69 respectively. Patients present at health centres with muscle interaktif, dan berbasis masalah, baik untuk dokter dan perawat,
ache received an average of 3.24 drugs. Antibiotic prescribing sedangkan khusus untuk perawat, pelaksanaan dilakukan on
in several districts accounted for more than 90%. Only a few the job training.
health centres reported the use of antibiotics of less than Hasil: 43 puskesmas ikut serta dalam penelitian. Jumlah rata-
70%. Six months after training intervention on rational use of rata obat yang diresepkan untuk anak dengan ISPA relative
drugs for PHC physicians and paramedics, the use of drugs sama dengan dewasa, yaitu masing-masing 3.62 dan 3,69.
including antibiotics and injection decreased significantly. The Pasien myalgia mendapat rata-rata 3.24 jenis obat. Di sebagian
average number of drugs for children with ARI decreased besar kabupaten penggunaan antibiotika untuk ISPA mencapai
from 3.74 + 0.58 to 2.47 + 0.67 (p<0.05) (doctor) and from 3.67 lebih dari 90%. Hanya beberapa puskesmas yang meresepkan
+ 0.49 to 2.39 + 0.73 (p<0.05) (paramedics). For adult patients, antibiotika kurang dari 70%. Enam bulan setelah intervensi peng-
the average number of drugs for ARI also decreased gunaan obat yang rasional untuk dokter dan perawat puskesmas,
significantly from 4.11 + 0.63 to 3,21 + 0,71 (p<0.05) (doctor) penggunaan obat termasuk antibiotika dan injeksi menurun
and from 3.78 + 0.51 to 2.37 + 0.57 (paramedics). A significant secara bermakna. Rata-rata jumlah obat untuk ISPA pada anak
reduction in the use of antibiotics for children with ARI was turun dari 3.74 + 0.58 menjadi 2.47 + 0.67 (p<0.05) (dokter)
only detected in paramedics, i.e. from 81.37% to 42.40%. dan dari 3.67 + 0.49 menjadi 2.39 + 0.73 (p<0.05) (perawat).
Proportion of adult patients with ARI who received antibiotics Untuk pasien dewasa juga terjadi penurunan yang bermakna
significantly lower after intervention, i.e from 89.18% to 44.15% dari 4.11 + 0.63 menjadi (p<0.05) (dokter) dan dari 3.78 + 0.51
(p<0.05) (doctor) and from 91.22% to 38.71% (p<0.05) menjadi 2.37 + 0.57 (perawat). Penurunan penggunaan
(paramedics). The training intervention carried out in the study antibiotika pada anak dengan ISPA secara bermakna hanya
could also reduce the use of injection significantly for patients ditemukan pada perawat, dari 81.37% menjadi 42.40%.
with muscle ache, i.e. from 69.11% to 31.89% (p<0.05) (doctor) Proporsi pasien dewasa dengan ISPA yang mendapat
and from 79.56% to 62.91% (p<0.05) (paramedics). antibiotika secara bermakna lebih rendah pascaintervensi, yaitu
Conclusion: the use of drugs for ARI and muscle ache at dari 89.18% menjadi 44.15% (p<0.05) (dokter) dan dari 91.22%
PHC were found to be excessive and mostly multiple menjadi 38.71% (p<0.05) (perawat). Intervensi pelatihan juga
prescribing. The use of injection for muscle ache was also menurunkan penggunaan injeksi secara bermakna pada pasien
high, i.e. more than 40%. Training on rational use of drugs for myalgia, yaitu dari 69.11% menjadi 31.89% (p<0.05) (dokter)
PHC could significantly reduce the use of antibiotics for ARI dan dari 79.56% menjadi 62.91% (p<0.05) (perawat).

94 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Kesimpulan: penggunaan obat untuk ISPA dan myalgia di menjawat tujuan penelitian (2) digunakan desain kuasi
puskesmas cenderung berlebihan dan umumnya dalam bentuk eksperimental dengan jenis rancangan the one group
polifarmasi. Penggunaan injeksi untuk myalgia juga sangat tinggi,
rata-rata lebih dari 40%. Pelatihan penggunaan obat yang pretest-postest design. Unit analisis untuk tujuan
rasional untuk puskesmas dapat secara bermakna menurunkan penelitian (1) adalah resep untuk ISPA dan myalgia,
penggunaan antibiotika pada ISPA dan penggunaan injeksi pada sedangkan untuk tujuan penelitian (2) subyek penelitian
myalgia, enam bulan setelah pelatihan. adalah dokter dan perawat yang memberikan pelayan-
Kata Kunci: penulisan resep yang tidak tepat, infeksi saluran
an pengobatan di puskesmas. Untuk mendapatkan
pernapasan akut, puskesmas gambaran tentang pola peresepan maka secara acak
dipilih 43 puskesmas di 8 kabupaten/kota di Provinsi
PENGANTAR Sumatera Barat, sedangkan untuk keperluan intervensi
Peresepan dan penggunaan obat merupakan pelatihan dipilih 15 puskesmas secara acak di 3 dari 8
salah satu andalan utama pelayanan kesehatan di kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Solok, Pasaman, dan
puskesmas. Mengingat terbatasnya jumlah dokter Payakumbuh.
yang ada, sebagian besar puskesmas di Indonesia, Pengumpulan data penggunaan obat dilakukan
khususnya di daerah pedesaan terpaksa meman- secara retrospektif yaitu selama kurun waktu satu
faatkan pula tenaga perawat untuk memberikan bulan terakhir, sebelum dilakukannya intervensi
pelayanan pengobatan. Akibatnya, variasi peresepan pelatihan. Data penggunaan obat untuk ISPA dan
antar petugas pelayanan kesehatan tidak dapat myalgia dilacak melalui catatan medik atau family
dihindarkan. folder yang terdapat di puskesmas.
Beberapa penelitian menemukan bahwa peng- Selanjutnya, intervensi pelatihan penggunaan
gunaan obat di pusat pelayanan kesehatan cen- obat yang rasional dilaksanakan dalam dua tahap.
derung berlebih. Pada berbagai penyakit yang ringan Pelatihan tahap pertama ditujukan kepada dokter
dan dapat sembuh sendiri seperti misalnya infeksi puskesmas. Pelatihan tahap pertama dilakukan di
saluran pernapasan akut (ISPA) dan diare, peng- tingkat kabupaten dengan melibatkan seluruh dokter
gunaan antibiotika cenderung tinggi. Di samping itu, puskesmas di masing-masing kabupaten. Pelatihan
jenis obat yang diresepkan juga sangat beragam.1 bersifat interaktif, berbasis pada masalah riil
Terdapat dua penyebab utama tingginya puskesmas (problem-based) dan lebih berfokus pada
penggunaan obat di pelayanan kesehatan. Pertama, pembahasan kasus (case-based), serta mengguna-
berkaitan dengan keterbatasan pengetahuan petugas kan pendekatan team building untuk mencapai
profesional kesehatan mengenai bukti-bukti ilmiah kesepakatan di antara para peserta. Pelatihan
terkini, sehingga tidak jarang tetap meresepkan obat bersifat terstruktur, menggunakan modul pelatihan
yang tidak diperlukan (misalnya antibiotika dan ste- yang terdiri dari: (1) pedoman untuk pelatih (trainer’s
roid untuk common cold). Kedua, keyakinan dan guide) dan (2) materi pelatihan, sedangkan lama
perilaku pasien sangat berperan dalam penetapan jenis pelatihan adalah tiga hari (18 jam).
obat yang diberikan.2 Kebiasaan memberikan injeksi Pelatihan tahap ke dua ditujukan untuk perawat
pada pasien dengan gejala pada otot dan sendi adalah yang bertugas di balai pengobatan puskesmas.
salah satu contoh nyata pengaruh pasien terhadap Pelatihan dilakukan dengan metode on the job train-
perilaku pemberian injeksi oleh dokter atau perawat.3 ing yang diikuti oleh perawat yang bertugas di balai
Situasi ini sangat paradoksikal dengan hasil system- pengobatan puskesmas. Pelatihan dilakukan di
atic review yang dilakukan oleh Haynes, et al.4 yang puskesmas masing-masing, dengan metode case-
melaporkan bahwa ketaatan pasien untuk minum obat based, serta memanfaatkan kasus-kasus yang
sangatlah rendah, meskipun obat yang diminum adalah dijumpai sehari-hari di puskesmas. Selain meng-
atas permintaan atau pilihan pasien sendiri. gunakan modul terstruktur untuk pola latihan 18 jam,
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsi- peserta juga mendapat buku Pedoman Pengobatan
kan pola penggunaan obat untuk ISPA dan myalgia di Berdasarkan Gejala. Periode penelitian adalah April
8 kabupaten/kota, Provinsi Sumatera Barat, dan (2) hingga November 1997.
mengukur dampak intervensi pelatihan penggunaan Untuk menilai perubahan pola penggunaan obat
obat yang rasional pada dokter dan perawat puskesmas maka pengumpulan data peresepan dilakukan dua kali
terhadap mutu peresepan pada ISPA dan myalgia. yaitu sebelum periode intervensi (sebagai data dasar)
dan 6 bulan setelah intervensi. Data peresepan diambil
BAHAN DAN CARA PENELITIAN secara acak dari 15 puskesmas yang berada di 3
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sumatera kabupaten yang menjadi area penelitian. Pemilihan
Barat dengan dua desain. Desain cross sectional puskesmas ditetapkan secara acak dengan komposisi
digunakan untuk menjawab tujuan penelitian (1), yaitu masing-masing 2 puskesmas di daerah perkotaan dan
pola penggunaan obat pada ISPA dan myalgia. Untuk 2 puskesmas di daerah pedesaan.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 95


Iwan Dwiprahasto: Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas

Data peresepan dikumpulkan menggunakan a. Rata-rata jumlah item obat per kasus ISPA
formulir indikator peresepan dalam bentuk structured Penelitian ini menemukan bahwa rata-rata
form. Data dikumpulkan dari seluruh puskesmas jumlah item obat yang diberikan pada pasien
induk yang berada dalam wilayah kabupaten terpilih, ISPA balita sebanyak 3.62, sedangkan untuk
menggunakan formulir indikator peresepan untuk ISPA dewasa relatif sama, yaitu 3.69. Di
data dasar. Sumber data adalah buku register harian beberapa kabupaten, balita dengan ISPA
pasien dan lembar resep pasien, serta kartu obat umumnya justru mendapat rata-rata jumlah item
untuk konfirmasi. obat yang lebih tinggi daripada pasien ISPA
Data peresepan yang diambil meliputi dua dewasa. Hal ini terlihat di puskesmas yang
diagnosis, ISPA pada balita dan dewasa, serta terdapat di 5 kabupaten, yaitu Bukit Tinggi,
penyakit jaringan otot (myalgia/rematik). Kabupaten Solok, Kodia Padang, Kabupaten
Pasaman, dan Payakumbuh. Kodia Padang
HASIL PENELITIAN DAN PAMBAHASAN mencatat jumlah item obat per pasien balita
1. Karakteristik Unit Analisis Penelitian terbanyak (4,57) dibandingkan dengan
Data resep obat yang digunakan sebagai data kabupaten yang lain, sedangkan jumlah item
dasar sebelum intervensi berjumlah 3750 resep yang obat terbanyak untuk dewasa dengan ISPA
diambil secara acak sistematik dari 43 puskesmas. ditemukan di Kodia Solok (4,36). Dibandingkan
Sedangkan untuk pascaintervensi data resep yang dengan kabupaten yang lain peresepan obat
dikumpulkan berjumlah 2543. Dari 15 puskesmas tersedikit baik untuk ISPA dewasa maupun
yang dipilih secara acak untuk evaluasi hasil balita ditemukan di Kabupaten Sawahlunto,
intervensi terdapat 15 dokter dan 29 perawat. yaitu masing-masing 3 jenis untuk balita dan
3,42 jenis untuk dewasa.
Tabel 1. Karakteristik unit observasi

Karakteristik frekuensi
b. Rata-rata jumlah item obat per kasus Myalgia
Pada Gambar 2 dipresentasikan rata-rata jumlah
Untuk tujuan penelitian (1)
item obat per kasus Myalgia. Meskipun tidak
- Jumlah kabupaten/kota 8
- Jumlah puskesmas 43 lebih banyak dibandingkan dengan ISPA, namun
- Jumlah resep ISPA 2400 rata-rata jumlah obat lebih dari 4 ditemukan di
- Jumlah resep myalgia 1350 Kabupaten Solok (4,2). Kabupaten Padang
Untuk tujuan penelitian (2)
Panjang mencatat paling sedikit rata-rata jumlah
- Jumlah kabupaten/kota 3
- Jumlah puskesmas 15 item obat yang diresepkan untuk myalgia, yaitu
- Jumlah dokter 15 3,07.
- Jumlah perawat 29
- Jumlah resep
- Preintervensi 1328
- Pascaintervensi 1215

5 4.57
4.36 ISPA Balita ISPA Dewasa
4.31
4.11 4.1 4.31 4.19
3.82 3.84
3.82
4 3.7 3.63 3.65 3.42
3.45
3
3

0
Ting
gi k lok jang an mbu
h
Lunt
o
Solo Pad
ang ia So Pan asam yaku Sawah
Bukit Kab Kod Padang P Pa

Gambar 1. Rata-rata Jumlah Item Obat Per Kasus ISPA pada Balita dan Dewasa di Puskesmas
di 8 Kabupaten, Provinsi Sumatera Barat

96 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

5
4.2
3.94
4 3.54 3.48 3.58 3.51

3.07 3.15

o
g

h
k

nt
an

an

bu
ng
gi

lo
k

Lu
ng

lo

nj
So

m
da

Pa
So

sa

ku
Ti

Pa

ah
a

Pa

ya
di
kit

ng
b

w
Ka

Ko

Pa
Bu

Sa
da
Pa

Gambar 2. Rata-rata Jumlah Item Obat Per Kasus Myalgia di Puskesmas


di 8 Kabupaten, Provinsi Sumatera Barat

c. Penggunaan antibiotika untuk ISPA di Selain kabupaten di atas pemberian antibiotika


puskesmas di delapan kabupaten, Provinsi pada penderita ISPA dewasa kurang dari 85%.
Sumatera Barat Di Kabupaten Sawah Lunto penggunaan
Peresepan antibiotika untuk pasien ISPA antibiotika pada penderita ISPA dewasa
dewasa terlihat tinggi di puskesmas-puskesmas terendah dibanding kabupaten lainnya yaitu
di Kabupaten dan Kotamadia Solok, serta mencapai kurang dari 70% baik untuk balita
Kotamadia Padang, yaitu rata-rata di atas 90%. maupun dewasa.

94.7 94.4
100 92.6
87.5 86.4 86.4
ISPA Balita ISPA Dewasa
79.25
83.19 81.45 83.15 81.75
79.65
80 72.88
69.22 69.22
66.78

60

40

20

Ting
gi k ang lok jang an mbu
h
Lunt
o
Solo Pad ia So Pan asam Payaku Sawah
Bukit Kab Kod P adang P

Gambar 3. Penggunaan Antibiotika untuk ISPA pada Balita dan Dewasa di Puskesmas
di 8 Kabupaten, Provinsi Sumatera Barat

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 97


Iwan Dwiprahasto: Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas

d. Penggunaan injeksi untuk kasus myalgia di DAMPAK INTERVENSI PELATIHAN TERHADAP


puskesmas di delapan kabupaten, Provinsi MUTU PENGGUNAAN OBAT
Sumatera Barat Enam bulan setelah intervensi pelatihan ber-
Kebiasaan memberikan injeksi untuk kasus jenjang, penggunaan obat menurun secara bermakna,
Myalgia tampaknya tidak terhindarkan. Ini pada yang diresepkan oleh dokter maupun oleh
terbukti dari tingginya persentase penggunaan perawat. Untuk balita dengan ISPA penggunaan obat
injeksi untuk keluhan otot dan jaringan ikat. oleh dokter menurun dari rata-rata 3,74 item menjadi
Penggunaan injeksi tertinggi ditemukan di 2,47 item, sedangkan yang diresepkan oleh perawat
kabupaten Pasaman (83.83%), disusul oleh juga menurun, yaitu dari rata-rata 3,67 menjadi 2,39
Padang Panjang (72.1%), dan Kodia Bukit Tinggi item. Penurunan keduanya bermakna secara statistik
(68.4%) (Gambar 4). (p<0,05). Hal yang sama juga terjadi pada penderita
ISPA dewasa yang rata-rata jumlah obat per pasien
menurun secara bermakna pascaintervensi dibanding
sebelum intervensi, baik yang diresepkan oleh dokter
(p=0,041) maupun perawat (p=0,038). (Tabel 2).

83.83
80
72.1
68.4 67.28
64.34
60 59.14

40 39.12 37.89

20

0
gi k g olok jang n uh unto
Ting Solo Padan Kodia S Pan Pasama yakumb awah L
Bukit Kab adang P a S
P
Gambar 4. Penggunaan Injeksi untuk Kasus Myalgia di Puskesmas
di 8 Kabupaten, Provinsi Sumatera Barat

Tabel 2. Penurunan Penggunaan Obat Antibiotika


pada Penderita ISPA Enam Bulan Setelah Intervensi Pelatihan Berjenjang

Indikator Pre intervensi Pascaintervensi p


Jumlah item obat per pasien ISPA balita
ñ Dokter 3,74 + 0,58 2,47 + 0,67 t-test, 0,021
ñ Perawat 3,67 + 0.49 2,39 + 0,73 t-test, 0,045
Jumlah item obat per pasien ISPA dewasa
ñ Dokter 4,11 + 0,63 3,21 + 0,71 t-test, 0,041
ñ Perawat 3,78 + 0,51 2,37 + 0,57 t-test, 0,038
% antibiotika untuk ISPA balita
ñ Dokter 72,75 67,18 X2=0,82
P=0,05
ñ Perawat 81,37 42,40 X2=32,12
P=0,00
% antibiotika untuk ISPA dewasa
ñ Dokter 89,18 44,15 X2=45,45
P=0,00
ñ Perawat 91,22 38,71 X2=61,34
P=0,00
Jumlah item obat per pasien myalgia
ñ Dokter 4,39 + 0,66 2,33 + 0,76
ñ Perawat 4,68 + 0,79 3,18 + 0,47
% injeksi untuk pasien myalgia
ñ Dokter 69,11 31,89 X2=27,38
P=0,00
ñ Perawat 79,56 62,91 X2=2,03
P=0,15

98 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Penurunan penggunaan antibiotika secara Dalam penelitian ini ditemukan bahwa sebagian
bermakna untuk pasien balita dengan ISPA ternyata besar pasien yang datang ke puskesmas dengan
hanya terjadi pada perawat (p<0,05), sedangkan pada diagnosis ISPA, baik balita maupun dewasa
dokter, meskipun juga terjadi perbaikan, tetapi hal cenderung mendapat antibiotika. Berbagai studi
ini tidak bermakna secara statistik (p=0,82). Tidak menunjukkan bahwa ISPA umumnya disebabkan
demikian halnya dengan pasien dewasa dengan oleh virus dan bersifat dapat sembuh sendiri tanpa
ISPA. Pada kelompok ini penggunaan antibiotika oleh terapi medikamentosa (self limiting disease),
dokter turun hingga setengahnya (p<0,05), sedang- sehingga antibiotika tentu tidak diperlukan pada
kan pada perawat penurunan bahkan mencapai sebagian besar ISPA.14,15,16 Penggunaan antibiotika
hingga tinggal sepertiga dari peresepan antibiotika untuk ISPA ini ternyata juga ditemukan tidak saja di
sebelum intervensi (p<0,05). puskesmas dan di negara sedang berkembang saja,
Untuk pengobatan myalgia penurunan rata-rata tetapi juga di praktik swasta dan bahkan di negara-
jumlah item obat juga secara signifikan ditemukan negara maju.15,16,17.
baik pada dokter maupun perawat, meskipun secara Penggunaan injeksi di puskesmas untuk myalgia
faktual perbaikan ini lebih tinggi pada dokter di- ditemukan relatif sangat tinggi dalam penelitian ini.
banding perawat. Hal ini sangat berbeda dengan Secara farmakologi pemberian obat per injeksi
penggunaan injeksi. Kelompok dokter menganti- dimaksudkan untuk beberapa tujuan, antara lain18:
sipasi perbaikan peresepan secara lebih baik dan (1) diperlukan efek yang cepat, (2) obat tidak dapat
bermakna, yaitu dari 61,11% sebelum intervensi diabsorpsi pada pemberian per oral, (3) untuk kondisi
menjadi 31,89% setelah intervensi, sedangkan pada kegawatdaruratan yang tidak memungkinkan
kelokmpok perawat meskipun juga bermakna secara pemberian obat secara oral. Pemberian injeksi untuk
statistik, penurunan penggunaan injeksi untuk myalgia myalgia tentu tidak rasional, karena tidak memenuhi
relatif kecil, yaitu dari 79,56% sebelum intervensi salah satu kaidah farmakologi. Terapi simtomatis
menjadi 62,91% setelah intervensi. untuk myalgia seharusnya cukup diberikan per oral
yang relatif lebih aman.
PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan dalam upaya mening-
Meskipun penelitian ini hanya difokuskan pada katkan mutu penggunaan obat di puskesmas,
dua jenis diagnosis yaitu ISPA dan myalgia, tetapi melalui intervensi pelatihan penggunaan obat yang
hasil studi menggambarkan tingginya tingkat rasional. Sasaran intervensi adalah dokter dan
penggunaan obat yang tidak perlu pada kedua diag- perawat yang bertugas di balai pengobatan
nosis tersebut di puskesmas. Polifarmasi sangat puskesmas. Target dari intervensi adalah
umum dijumpai untuk mengatasi ISPA dan myal- menurunkan penggunaan antibiotika untuk ISPA
gia. Hasil ini tidak berbeda dengan peresepan oleh nonpneumonia serta menurunkan penggunaan
dokter umum praktek swasta, yang juga cenderung injeksi untuk kasus myalgia. Hasil penelitian me-
meresepkan obat dalam bentuk polifarmasi pada nunjukkan bahwa pelatihan yang bersifat motiva-
ISPA.5,6 Berbagai penelitian menemukan bahwa sional, interaktif, berbasis pada masalah, dan meng-
peresepan yang berlebih dan tidak rasional gunakan modul terstruktur dapat menurunkan
cenderung meningkatkan terjadinya adverse drug praktek polifarmasi, serta menurunkan penggunaan
event (ADE). 7,8 Terdapat hubungan linear antara antibiotika pada ISPA nonpneumonia secara
jumlah obat yang diresepkan dengan terjadinya ADE, bermakna. Penggunaan injeksi untuk myalgia, baik
yaitu semakin banyak obat yang diresepkan maka oleh dokter maupun perawat yang bertugas di
semakin tinggi pula risiko untuk terjadinya ADE ini. puskesmas, juga menurun secara bermakna. Inter-
Beberapa peneliti mengemukakan bahwa polifarmasi vensi penggunaan obat di pelayanan kesehatan
umumnya didasarkan pada berbagai faktor, antara dapat dilakukan dalam berbagai cara, antara lain
lain: (1) ketidakyakinan dokter akan diagnosis adalah academic detailing, pelatihan terstruktur,
pasien,9,10 (2) dorongan pasien untuk meresepkan supervisi dan umpan balik, dan kursus terfokus. 19-22
obat lain yang tidak diperlukan,10 (3) persepsi dokter Intervensi pelatihan ternyata mampu
bahwa dari berbagai obat yang diberikan, beberapa memperbaiki pola penggunaan obat di puskesmas
di antaranya pasi akan memberikan efek yang serta menurunkan penggunaan obat dan injeksi yang
diharapkan,10,11 dan (4) kurangnya pengetahuan dokter tidak perlu. Hal ini juga dilaporkan oleh beberapa
terhadap bukti-bukti ilmiah terbaru tentang peneliti sebelumnya.19,21,22 Namun demikian, pene-
penggunaan berbagai jenis obat.11,12,13 litian ini belum dapat menjamin apakah perbaikan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 99


Iwan Dwiprahasto: Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas

peresepan dapat dipertahankan dalam jangka yang KEPUSTAKAAN


lama, karena evaluasi hanya dilakukan sekali, yaitu 1. Dwiprahasto I. Ketersediaan obat di kabupaten
6 bulan pasca intervensi. Selama ini diketahui bahwa dan mutu peresepan di pusat pelayanan
di sebagian besar puskesmas turn-over dokter kesehatan primer. BIKed, 2004;36(2), 89-96.
umumnya tinggi, yaitu rata-rata 3-5 tahun. Keadaan 2. Britten N, Ukoumunne O, Boulton MG. Patients’
ini tentu menjadi kendala tersendiri untuk menjamin attitudes to medicines and expectations for pre-
kesinambungan (sustainability) dari hasil intervensi. scriptions. Health Expectations 2002;5:256–69.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh peneliti 3. Kane A, Lloyd J, Zaffran M, Simonsen L, Kane
lain.21,22 Namun demikian, jika diamati lebih jauh, dari M. Transmission of hepatitis B, hepatitis C and
penelitian ini terlihat bahwa perbaikan mutu peng- human immunodeficiency viruses through
gunaan obat secara konsisten terjadi pada kelompok unsafe injections in the developing world: model-
perawat. Mereka ini umumnya adalah pegawai negeri based regional estimates. Bull WHO
sipil yang bertempat tinggal di sekitar puskesmas, 1999;77(10):801-807.
dengan masa tinggal yang relatif panjang, sehingga 4. Haynes RB, McDonald H, Garg AX, Montague
isu turn-over pun relatif minimal. Pada kelompok P. Interventions for helping patients to follow
inilah perbaikan mutu peresepan di puskesmas dapat prescriptions for medications. The Cochrane
ditargetkan secara berkesinambungan. Database of Systematic Reviews 2002, Issue
Penelitian ini juga menemukan bahwa metode 2. Art. No.: CD000011. DOI: 10.1002/
pelatihan harus dirancang secara spesifik berdasar- 14651858.CD000011.
kan populasi target yang dijadikan sasaran inter- 5. Pavin, M., Nurgozhin, T., Hafner, G. et al.
vensi. Pelatihan yang bersifat interaktif, motivasional, Prescribing practices of rural primary health care
berdasarkan pada masalah (problem-based ap- physicians in Uzbekistan. Tropical Medicine and
proach), dan menggunakan modul terstruktur International Health 8, 2003:182–90.
ternyata paling sesuai untuk memperbaiki mutu 6. Jain, N., Lodha, R. & Kabra, S. Upper respiratory
peresepan pada dokter, sedangkan untuk perawat tract infections. Indian Journal of Pediatrics 68,
yang bertugas di balai pengobatan, pelatihan yang 2001:1135–8.
sifatnya interaktif, berbasis pada masalah riil sehari- 7. Bates DW, Cullen DJ, Laird N. Incidence of
hari, dan dilaksanakan secara on the job training, adverse drug and potential adverse drug events.
tampaknya lebih cocok untuk mengubah perilaku JAMA 1995; 274:29-34.
peresepan yang mungkin sudah berlangsung hingga 8. Gurwitz JH, Field TS, Harrold LR, et al.
puluhan tahun. Namun demikian, perlu pula disadari Incidence and preventability of adverse drug
bahwa intervensi yang hanya dilaksanakan sekali events among older persons in the 2E1, Canada.
tentu belum tentu menjamin kesinambungan per- ambulatory setting. JAMA. 2003; 289 (9): 1107-
baikan peresepan.18 Diperlukan upaya lain yang lebih 16
sistematik, terencana dan terstruktur agar perbaikan 9. Schwartz RK, Soumerai SB, Avorn J. Physician
mutu penggunaan obat di pelayanan kesehatan dapat motivations for nonscientific drug prescribing.
berlangsung secara konsisten, antara lain dengan Soc Sci Med. 1989;28(6):577-82.
mengembangkan mekanisme supervisi dan umpan 10. Hemminki E. Review of literature on the factors
balik serta monitoring yang terus-menerus ke unit- affecting drug prescribing. Soc Sci Med
unit pelayanan kesehatan yang ada. 1975;9:111-5.
11. Stimson GV. Doctor–patient interaction and
KESIMPULAN some problems for prescribing. J R Coll Gen
Penggunaan obat di puskesmas, khususnya Pract. 1976;26(1):88-96.
untuk ISPA dan myalgia cenderung berlebih dan 12. Britten N, Ukoumunne O. The influence of
biasanya dalam bentuk polifarmasi. Intervensi patients’ expectations of receiving prescriptions
pelatihan, baik untuk dokter maupun perawat yang on doctors’ perceptions and the decision to
bertugas di balai pengobatan puskesmas, dapat prescribe. BMJ.1997;315:1506-10.
menurunkan penggunaan antibiotika pada ISPA, 13. Cockburn J, Pit S. Prescribing behaviour in
menurunkan jumlah rata-rata item obat pada ISPA clinical practice: patients’ expectations and
dan myalgia, serta menurunkan penggunaan injeksi doctors’ perceptions of patients’ expectations
pada myalgia. — a questionnaire study. BMJ. 1997;315:520-
3.

100 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

14. Cars, H. & Hakansson, A. To prescribe—or not 19. Zwar N, Wolk J, Sanson-Fisher R, Kehoe L.
to prescribe—antibiotics. District physicians’ Influencing antibiotic prescribing in general
habits vary greatly, and are difficult to change. practice: a trial of prescriber feedback and
Scandinavian Journal of Primary Health Care. management guidelines. Fam Pract,
1995; 13, 3–7. 1999;16:495-500.
15. Pechere, J. (2001). Patients’ interviews and 20. Turnidge J, Zwar N. Minimising inappropriate
misuse of antibiotics. Clinical Infectious prescribing of antibiotics. Med Today, 2000;1:70-
Diseases. 2002; 33, Suppl. 3: S170–3. 81.
16. Macfarlane, J., Holmes, W., Macfarlane, R. et 21. Soumerai SB, Avorn J, Taylor WC, Wessels M,
al. Influence of patients’ expectations on Maher D, Hawley SL. Improving choice of
antibiotic management of acute lower respiratory prescribed antibiotics through concurrent
tract illness in general practice: questionnaire reminders in an educational order form. Med
study. British Medical Journal 315, 1997: 1211– Care. 1993;31:552-8.
4. 22. May FW, Rowett DS, Gilbert AL, McNeece JI,
17. Arroll B, Kenealy T. Antibiotics for the common Hurley E. Outcomes of an educational outreach
cold and acute purulent rhinitis. The Cochrane service for community medical practitioners:
Database of Systematic Reviews 2002, Issue non-steroidal anti-inflammatory drugs. Med J
4. Art. No.: CD000247. DOI: 10.1002/ Aust, 1999;170:471-471.
14651858.CD000247.
18. Dicko M, Oni A-Q Q, Ganivet S, Kone S, Pierre
L, Jacquet B. Safety of immunization injections
in Africa: not simply a problem of logistics.
Bulletin of the World Health Organization. 2000;
78: 163-9.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 101
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 102 - 103

Resensi

Judul buku : Hard facts, dangerous half-truths & total nonsense: profiting from evidence-based man-
agement
Penulis : Jeffrey Pfeffer dan Robert Sutton
Penerbit : Harvard Business School Press
Tahun : 2006
Tebal : 276 halaman

A
pabila pengambilan keputusan para tersebut bersifat kondisional dan sebagaimana setiap
dokter mengikuti pola yang diterap- gagasan mesti ada kelemahan selain kelebihan.
kan para manajer sekarang ini maka Sebagai solusinya Pfeffer dan Sutton menawarkan
jumlah pasien yang meninggal dan tuntutan legal tujuh pertanyaan kritis yang perlu kita ajukan sebelum
akan meningkat drastis. Pernyataan yang mengadopsi suatu gagasan manajerial. Pertanyaan-
provokatif ini digunakan oleh Pfeffer dan Sutton pertanyaan tersebut pada prinsipnya berupaya untuk
dalam buku Hard facts, half truths and total non- mengkritisi asumsi-asumsi yang mendasari gagasan
sense untuk mengilustrasikan masalah yang akan diadopsi.
pemanfaatan evidence dalam pengambilan Di bagian kedua, dangerous half-truths about
keputusan manajerial dewasa ini. Konsep evi- managing people and organizations, Pfeffer dan
dence-based practice tentunya sangat familiar bagi Sutton mendemonstrasikan upaya analisis kritis
pembaca yang berlatar belakang medis karena terhadap beberapa gagasan manajerial yang telah
memang diadopsi dari konsep evidence-based diadopsi banyak organisasi seperti: (1) organisasi
medicine. Kedua penulis juga mengakui bahwa yang terbaik memiliki SDM yang terbaik; (2) insentif
evidence-based management sendiri bukan finansial akan meningkatkan kinerja; (3) pemimpin
sebuah konsep baru, sebelumnya pada tahun 1990 menentukan hidup matinya organisasi, dan (4)
Richard Pascale mengupas hal yang serupa dalam keharusan untuk perubahan. Dalam mengupas per-
buku Managing on the Edge dan pada tahun 2003 ubahan, change or die, kedua penulis menganalisis
Sydney Finkelstein mengupasnya pula dalam Why bukti-bukti dari berbagai inisiatif perubahan seperti:
Smart Executives Fail. Meskipun demikian, lebarnya (1) merger dan akuisisi; (2) adopsi perangkat lunak
kesenjangan antara evidence dan praktik dalam baru; (3) re-engineering; dan (4) perbaikan mutu.
manajemen hingga kini nampaknya mengusik State of Reengineering Report yang disusun oleh
kedua professor dari Universitas Stanford ini untuk CSC Index pada tahun 1994 misalnya menunjukkan
mengangkatnya kembali dalam diskursus
bahwa dari 99 inisiatif reengineering, 67%
manajerial.
menunjukkan hasil yang mediocre, marginal atau
Buku ini terdiri dari tiga bagian. Dalam bagian
gagal. Pencetus konsep reengineering sendiri,
pertama, Setting the stage, kedua penulis menyam-
Michael Hammer, sekarang mengakui bahwa hanya
paikan argumentasi mengapa setiap organisasi
30% dari proyek reengineering yang mencapai
memerlukan evidence-based management dan
tujuannya. Kedua penulis mengakhiri pembahasan
bagaimana organisasi dapat menerapkannya.
bukti-bukti empirik perubahan ini dengan menyajikan
Yang menarik dalam bagian ini diuraikan tiga praktik
delapan pertanyaan kritis yang perlu kita
pengambilan keputusan yang buruk dan paling
pertimbangkan sebelum memulai suatu upaya
sering diumpai di dunia bisnis, yaitu: (1) casual
perubahan.
benchmarking; (2) melakukan apa yang nampak-
nya memadai di masa lalu; dan (3) memberlakukan Bagian ketiga, From Evidence to Action,
suatu konsep (misal: TQM, Re-engineering, Balance nampaknya merupakan bagian yang nampaknya
Score Card) sebagai suatu ideologi yang kemudian akan mengecewakan banyak pembaca. Judul dan
diikuti secara fanatis. Kedua profesor ini penempatan bagian ini mengundang harapan bahwa
menggarisbawahi bahwa sebagian besar konsep kedua penulis dalam klimaks buku ini akan
manajemen merupakan half-truths dalam arti menyajikan usulan-usulan praktis dan brilyan untuk
bahwa meskipun ada benarnya dan bisa dapat mejembatani jurang antara bukti-bukti dan
bermanfaat namun upaya untuk mengadopsi harus praktek manajerial. Dengan ekspetansi yang
lebih hati-hati karena sebagian besar konsep sedemikian tinggi bagian ini terasa terlalu singkat

102 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

meskipun masih menyajikan beberapa gagasan menjadi direktur RS), lebih cenderung
yang menarik. Yang paling menarik adalah menurut mempraktekkan evidence-based management?
Pfeffer dan Sutton pada akhirnya salah satu upaya Kedua, bagaimana dengan hard evidence bahwa
yang dapat menyebarluaskan upaya implementasi penerapan evidence-based management dapat
evidence-based management adalah mengikuti meningkatkan kinerja manajerial? Semoga di antara
pola yang mendasari menyebarluasnya praktik kita ada yang tertarik untuk menulis buku yang dapat
pengambilan keputusan yang tidak berbasis bukti, menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
yakni melalui advokasi para pakar dan konsultan
manajerial terpandang.
Ada dua pertanyaan yang mengusik benak
setelah membaca buku ini. Pertama, apakah Yodi Mahendradhata
manajer yang berlatar belakang medis dan familiar (yodi_mahendradhata@yahoo.co.uk)
dengan evidence based-medicine (misal dokter yang

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 103
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 104 - 105

Korespondensi

Email ditujukan ke hiillary@yahoo.com

Dampak Ekonomi dari Penyakit Avian Influenza (H5n1)


di Bali

Setelah saya membaca tulisan Saudara A.A.I. dianalisis untuk mengidentifikasi urgensi dan
Nirmala Trisna, dari Unit Penelitian dan Latihan pentingnya strategi pencegahan dan pengendalian
Epidemiologi Komunitas, Fakultas Kedokteran AI secara terpadu, sedangkan pada bahan dan cara
Universitas Udayana, Bali, yang berjudul Dampak penelitian, disebutkan bahwa yang dilihat adalah cost
Ekonomi Dari Penyakit Avian Influenza (H5N1) di of illness. ini menunjukkan bahwa bahasan yang
Propinsi Bali dan dimuat di Jurnal Manajemen dikaji masih sangat luas atau umum. Jika dilihat dari
Pelayanan Kesehatan Vol.9/No 01/Maret 2006, maka Latar Belakang, menunjukkan bahwa tulisan ini dikaji
perkenankanlah saya memberikan tanggapan dan secara makroekonomi (dampak AI terhadap industri),
masukan. tetapi pada cara penelitian ternyata lebih ke arah
Judul di atas yang disajikan merupakan tema Mikroekonomi (penghitungan cost/biaya).
menarik untuk dikaji lebih dalam dan merupakan isu Jika penulis ingin mengkaji masalah ini dengan
terkini dalam dunia ekonomi khususnya ekonomi pendekatan ekonomi makro, maka sebaiknya pene-
kesehatan. Beberapa tahun belakangan ini muncul litian ini memilih untuk menggunakan analisis
suatu kejadian luar biasa yang berupa wabah (out- variabel-variabel ekonomi makro, seperti konsumsi
break) dan bencana alam (disaster) yang sering (dampak ekonomi terhadap rumah tangga), investasi
terjadi di negeri kita ini. Banyak peneliti yang men- (dampak ekonomi terhadap industri dan peranan
coba menganalisis kejadian-kejadian tersebut dari perusahaan swasta), pengeluaran pemerintah, atau
sudut pandang keilmuan masing-masing. Ilmu yang netto perdagangan luar negeri atau ekspor-impor
paling umum dikaji untuk meneliti dampak kejadian (dampak ekonomi terhadap pariwisata/wisatawan).
tersebut adalah ilmu ekonomi. Tetapi setelah Tulisan ini sedikit menyinggung masalah ekonomi
membaca lebih teliti judul di atas, maka tanggapan makro, ketika penulis menyajikan gambaran tentang
pertama yang muncul dari pikiran awam dan (apa- dampak AI ini yang dapat menganggu kestabilan
lagi) seorang ekonom adalah bahwa judul tulisan ekonomi baik secara forward linkage maupun back-
tersebut masih sangat luas. ward linkage.2
Ketika berbicara masalah ekonomi, maka yang Tulisan ini dapat menjadi pembahasan yang
terlintas pertama kali adalah pertanyaan sebagai tajam, apabila ditambahkan data tentang berapa
berikut; ekonomi yang mana? Mikro? Makro? persen ketergantungan ekonomi bali (secara umum)
Manajemen? Industri? dan sebagainya, sehingga terhadap sektor perternakan (backward linkage).
judul yang disampaikan harus lebih mendalam dan Bagaimana pola penyebaran AI (kajian secara
detail, tentang suatu hal yang akan dikaji. Ilmu epidemiologi) di Bali? Apakah sudah menyebar
ekonomi sendiri merupakan bidang keilmuan yang secara luas? Apakah sudah menjadi wabah lokal
sangat luas. Pada perkembangannya, kajian ilmu (local outbreak) atau masih terkonsentrasi di daerah
ekonomi berkembang menjadi beberapa tertentu saja, sehingga penghitungan kerugian
subkeilmuan. Baik yang sifatnya pengembangan ke ekonomi tidak bisa di-aggregat dengan hanya
dalam, seperti bisnis manajemen, teori ekonomi menghitung seluruh jumlah unggas di Bali yang
murni, dan akuntansi keuangan moneter, sedangkan (apabila semuanya) terkena AI. Perlu dikaji lebih
pengembangan ke luar, ekonomi telah terintegrasi mendalam untuk melihat secara backward linkage
dengan keilmuan lainnya, seperti ekonomi sosial, ini.
ekonomi politik, ekonomi kesehatan, ekonomi per- Hal serupa juga disampaikan penulis ketika
tanian, ekonomi industri, dan sebagainya.1 Oleh membahas dampaknya melalui pendekatan forward-
sebab itu, sekiranya penulis dapat lebih meng- linkage. Tulisan ini tidak disertai data yang menunjuk-
kerucutkan judul penelitian di atas ke dalam ”sub” kan apakah adanya wabah AI ini cukup signifikan
keilmuan ekonomi yang lebih tepat. yang dibuktikan secara empiris terhadap sektor/
Pada latar belakang dan pendahuluan tulisan industri yang lain, misalnya pengolahan makanan,
tersebut dijelaskan mengenai dampak dari penyakit pariwisata, dan sebagainya. Atau hanya masih
Avian Influenza (AI) yang dirasakan oleh peternakan sebatas wacana. Apakah ada data mengenai berapa
dan industri terkait lainnya. Biaya dari penyakit AI persen penurunan pertumbuhan ekonomi industri-

104 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

industri tersebut Bali akibat wabah ini? Bagaimana yang bersifat hipotesis. Perlu kajian empiris dengan
faktor-faktor yang lain? Disinilah perlu diberikannya data riil dan alat analisis ekonomi yang lebih tepat.
asumsi-asumsi yang relevan terkait dampak ekonomi Saran penelitian yang diajukan masih sebatas sa-
ini untuk melbih menyederhanakan permasalahan ran kebijakan umum, bukan spesifik untuk daerah
yang ada. Teori ekonomi tidak akan bermakna apabila bali dengan karakteristik ekonominya yang spesifik
tidak ada asumsi-asumsi yang menyertainya. pula.
Apabila membaca dari cara penelitian, hasil Pada bagian akhir korespondensi ini, ada
penelitian, dan pembahasan, maka terlihat bahwa beberapa inti masukan yang diharapkan bermanfaat
tulisan tersebut mengarahkan pembaca untuk bagi pengembangan penelitian sejenis:
memahami dampak ekonomi akibat AI secara mikro- ñ Metodologi, alat analisis, data yang digunakan,
ekonomi, yaitu dengan menganalisis cost (biaya) dan asumsi merupakan kerangka utama yang
dan melihat sisi permintaan dan penawaran secara paling penting dalam penelitian empiris
mikroekonomi. Secara umum cost analysis (ter- khususnya penelitian ekonomi.
masuk pula cost of illness) harus memasukkan ñ Batasan permasalahan perlu diperjelas,
landasan teori dasarnya, yaitu teori biaya. Teori biaya mengingat luasnya definisi ekonomi yang
yang paling umum dilakukan misalnya analisis biaya digunakan dalam penelitian ini.
dan manfaat (cost and benefit), analisis efektifitas ñ Spesifik ekonomi daerah dan faktor-faktor
biaya (cost effectiveness), dan lain-lain.3 Hal tersebut penentu pertumbuhan daerah perlu dipertajam
belum terbaca secara eksplisit dalam tulisan ini, dalam analisis dan kesimpulan, sehingga usulan
hanya melihat dampak AI dari sisi biaya langsung kebijakannya tidak bersifat terbuka atau umum
dan tidak langsung yang ditanggung oleh penderita. tetapi lebih terarah untuk spesifik daerah.
Tulisan tersebut sudah mengarah kepada analisis
biaya dan manfaat serta menggunakan konsep biaya KEPUSTAKAAN
oportunitas dan biaya yang hilang. Perlu dipertim- 1. Toddaro, Michael. Economic Development,
bangan untuk menggunakan salah satu konsep Eight Edition, Addison-Wesley, USA. 2002.
tersebut, supaya tulisan menjadi lebih spesifik. 2. Kuntjoro, Mudrajad. Ekonomi Pembangunan,
Pada bagian pembahasan juga disinggung AMP-YKPN, Yogyakarta, 2003.
peran media dalam rangka menghindari atau 3. Parkin, Michael, Bade, Robin. Modern
mengurangi dampak kerugian akibat AI. Hal ini juga Macroeconomic, Sixth Edition, Prentice-Hall,
tidak disebut dalam awal penelitian, sehingga muncul Canada.2004.
suatu opini apakah yang berpengaruh penurunkan
pertumbuhan ekonomi di Bali itu penyakitnya atau
berita atas penyakit AI tersebut. Deni Harbiyanto
Secara umum, kesimpulan juga belum dituliskan Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
secara sistematis penelitian ilmiah, bahkan secara FK UGM, Yogyakarta
awam ada kesan yang mengarah kepada penelitian

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 105
PETUNJUK BAGI PENULIS

Misi Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan adalah untuk menerbitkan, menyebarluaskan, dan
mendiskusikan berbagai tulisan ilmiah mengenai manajemen dan kebijakan dalam lingkup pelayanan
kesehatan, yang membantu pembuat kebijakan, peneliti, dan praktisi agar lebih efektif. Hal tersebut
bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan dalam menerima naskah akan menyaring untuk keaslian,
relevansi penelitian dan praktisi manajemen pelayanan kesehatan. Setelah penyaringan awal naskah
akan dikirimkan kepada reviewer untuk meninjau ulang isi naskah. Editor akan memutuskan penerimaan
naskah dengan mempertimbangkan rekomendasi dari reviewer yang telah ditunjuk. Editor berhak untuk
merubah naskah apabila dipandang perlu, misal dengan memperpendek isi naskah atau menghilangkan
bagan dan tabel. Deskripsi lebih lanjut mengenai jenis-jenis naskah yang dimuat oleh JMPK diuraikan di
bawah.

1. ARTIKEL PENELITIAN 6. ACUAN UMUM


a. Naskah yang memuat hasil penelitian yang a Menyertakan surat pernyataan bahwa
berkaitan dengan manajemen pelayanan naskah yang dikirim belum pernah dan tidak
kesehatan. sedang dalam proses untuk publikasi, serta
b. Naskah tidak lebih dari 3000 kata. tidak akan dipublikasikan di tempat lain dalam
c. Naskah disertai abstrak bahasa Inggris dan bentuk cetakan.
bahasa Indonesia baik tulisan yang b. Karangan berupa ketikan komputer, meng-
berbahasa Inggris maupun tulisan berbahasa gunakan perangkat lunak yang umum (MS-
Indonesia dengan bentuk terstruktur WORD) dan diserahkan dalam bentuk
(backgrounds, methods, results, conclusion), elektronik (melalui email atau disket) maupun
dan disertai kata kunci (key words). Abstrak print out (rangkap 2). Karangan diketik
hendaknya tidak melebihi 200 kata. dengan spasi 1,5 cm pada ukuran kertas
d. Tidak lebih dari 50 referensi kwarto serta tidak bolak-balik (1 kolom).
c. Judul karangan tidak melebihi 14 kata dan
2. MAKALAH KEBIJAKAN harap disertai ringkasan judul untuk kepala
a. Artikel review, pembahasan atau hipotesis. halaman (header).
b. Naskah tidak lebih dari 3000 kata. d. Nama pengarang tidak disertai gelar dan
c. Pada dasarnya sama dengan tata cara harap disertai alamat kerja yang jelas.
penulisan artikel penelitian. Hanya saja, e. Tabel dan ilustrasi harus diberi judul dan kete-
untuk abstrak dapat menggunakan bentuk rangan yang cukup, sehingga tidak ter-
tidak terstruktur. gantung pada teks. Judul tabel diletakkan di
d. Tidak lebih dari 50 referensi atas tabel. Judul gambar diletakkan di bawah
gambar.
3. ROUND TABLES f. Penulisan rujukan memakai sistem nomor
a. Terdiri dari suatu artikel utama (2000 kata) (vancouver style dapat dilihat di www.jmpk-
atas suatu pokok permasalahan manajemen online.net) sesuai dengan urutan penampil-
pelayanan kesehatan yang diikuti dengan an dalam karangan. Misal:
pembahasan (500 kata) oleh pakar-pakar …….sudah pernah dilaporkan1…....…
yang relevan. …….Menurut Sardjito2…....…
…….Winstein and Swartz3 pernah melakukan
4. RESENSI ……oleh Avon et al4…....…
a. Review buku, web-site, cd-rom, yang relevan g. Pernyataan terima kasih diletakkan di atas
dengan permasalahan manajemen pelayan- kepustakaan. Nama-nama yang diutarakan
an kesehatan dalam pernyataan harus disertai dengan
b. Menggunakan 400-850 kata, tanpa referensi gelar, jabatan, dan alamat kerja.
h. Para pengarang diharapkan sedapat
5. KORESPONDENSI mungkin mengikuti Index Medicus dan Index
a Tanggapan atas suatu naskah yang diterbit- of Indonesian Learned Periodicals (PDIN
kan di Jurnal Manajemen Pelayanan 1974) untuk singkatan nama berkala.
Kesehatan pada edisi sebelumnya atau k. Mencantumkan nama, nomor telepon dan HP,
gagasan-gagasan orisinil dari pembaca. alamat instansi yang jelas, dan email.
b. Menggunakan 400-850 kata
c. Maksimal 6 refensi

You might also like