Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Fibrilasi atrium (atrial fibrillation, AF) adalah takikardia supraventrikuler
dengan karakteristik aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi, suatu aritmia yang
ditandai oleh gangguan koordinasi dari depolarisasi atrium. AF adalah gangguan
irama yang paling sering ditemukan. AF sering terjadi pada pria dibandingkan
wanita.1,2 Di Amerika Serikat diperkirakan 2,3 juta penduduk mengalami AF
dengan >10% berusia diatas 50 tahun dan diperkirakan akan terus bertambah
menjadi 4,78 juta pada tahun 2035.2 Angka kejadian fibilasi atrium dipastikan
akan terus meningkat terkait dengan usia harapan hidup yang meningkat,
perbaikan dalam manajemen penyakit jantung koroner maupun penyakit jantung
kronis lainnya, serta sebagai konsekuensi dari semakin baiknya alat monitoring
diagnosis.2
Literatur menyebutkan atrial brilasi (AF) merupakan salah satu kondisi
aritmia yang paling umum terjadi pada usia diatas 75 tahun. Kejadian atrial
brilasi meningkat dengan bertambahnya usia. Pada abad ke-21 ini semakin
meningkat jumlah pasien dengan diagnosa atrial brilasi. Pada tahun 2001, jumlah
pasien dengan atrial brilasi mencapai 2,3 juta di Amerika dan 4, 5 juta pasien di
Eropa. Dan diperkirakan kejadian atrial brilasi akan terus meningkat 0,1%
setiap tahunnya pada populasi umur 40 tahun ke atas, 1,5% pada wanita, dan2%
pada lansia dengan umur lebih dari 80 tahun. 2 Angka kejadian atrial brilasidi
dunia pada tahun 2010 diperkirakan 2,66 miliar dan pada tahun 2050 diperkirakan
sejumlah 12 miliar jiwa. Dalam dua dekade ini angka kematian akibat
atrial brilasi meningkat 3.
AF dapat menyebabkan gagal jantung kongestif terutama pada pasien yang
frekuensi ventrikelnya tidak dapat dikontrol. Adanya gagal jantung dihubungkan
dengan prognosis yang lebih buruk. Studi terbaru menemukan adanya 10-30% AF
pada pasien gagal jantung yang simptomatik, dengan peningkatan kematian 34%
bila dibandingkan dengan gagal jantung itu sendiri. AF juga menurunkan status
kesehatan, kapasitas jantung dan kualitas hidup seseorang.
Dalam dua dekade terakhir telah terjadi peningkatan angka rawat di rumah
sakit akibat gangguan listrik jantung. Fungsi ventrikel kiri juga terganggu dengan
adanya irama tidak teratur dan cepat, yang menyebabkan hilangnya fungsi
kontraksi atrium dan meningkatnya tekanan pengisian pada saat akhir diastolik
ventrikel kiri.3
Deteksi dini AF masih sangat sulit dilakukan sebab riwayat perjalanan
penyakit AF sering tidak ditemukan (silent natural history). Sekitar sepertiga
pasien dengan AF bersifat asimptomatik (AF asimptomatik) 1. Tujuan utama dari
terapi AF adalah untuk mengurangi gejala kardiovaskular, morbiditas dan
mortalitas.4
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Atrial fibrilasi (AF) adalah aritmia jantung menetap yang paling umum
Epidemiologi
Atrial fibrilasi (AF) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam
meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0%
(2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013).5,6
Atrial fibrilasi menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas,
termasuk stroke, gagal jantung serta penurunan kualitashidup. Pasien dengan AF
memiliki risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih
tinggi dibanding pasien tanpa AF.6 Stroke merupakan salah satu komplikasi AF
yang paling dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan oleh AF mempunyai
risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Selain itu, stroke akibat AF ini
mengakibatkan kematian dua kali lipat dan biaya perawatan 1,5 kali lipat.7
Atrial fibrilasi juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain
seperti hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes
melitus, obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium,
kardiomiopati, penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Gagal jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart
Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien AF, namun
sebaliknya AF dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung
dari penyebab dari gagal jantung itu sendiri. Atrial fibrilasi dapat menyebabkan
gagal jantung melalui mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban
volume jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis.
Distensi pada atrium kiri dapat menyebabkan AF seperti yang terjadi pada pasien
penyakit katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15 % pada defek
septal atrium. Sekitar 20% populasi pasien AF mengalami penyakit jantung
koroner meskipun keterkaitan antara AF itu sendiri dengan perfusi koroner masih
belum jelas.2
2.3
Etiologi
Pada dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi menjadi
- Kardiomiopati
- Hipertensi pulmo (chronic obstructive purmonary disease dan cor pulmonary
chronic)
- Tumor intracardiac
b. Proses Infiltratif dan Inflamasi
- Pericarditis atau miocarditis
- Amiloidosis dan sarcoidosis
- Faktor peningkatan usia
c. Proses Infeksi
Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
Hipertiroid, Feokromotisoma
e. Neurogenik
Stroke, Perdarahan Subarachnoid
f. Iskemik Atrium
Infark miocardial
g. Obat-obatan
Alkohol, Kafein
h. Keturunan atau Genetik
2.4.
Elektrofisiologi Jantung
Melalui studi elektrofisiologi diketahui ada tiga jenis kumpulan sel-sel
jantung yang dapat membangkitkan arus listrik, yakni; (1) sel-sel pacemaker
(nodus SA, nodus AV), (2) jaringan konduksi khusus (serat-serat purkinje), dan
(3) sel-sel otot ventrikel dan atrium. Stimulasi listrik atau potensial aksi yang
terjadi pada ketiga sel-sel khusus ini dihasilkan oleh interaksi ionik
transmembran, yaitu berupa transport berbagai ion utama melalui kanal-kanal
khusus yang melewati membran sarcolema (suatu membran bilayer fosfolipid).
2.5
aktivasi fokal dan multiple wavelet reentry. Pada proses aktivasi fokal bisa
melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses
aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis
superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava
superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik
yang dapat mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial
aksi yang dicetuskan oleh nodus sino-atrial (SA).7
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang
berulang dan melibatkan sirkuit atau jalur depolarisasi. Mekanisme multiple
wavelet reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses
aktivasi fokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang
mempengaruhi
depolarisasi.
Timbulnya
gelombang
yang
menetap
dari
depolarisasi atrial atau wavelet yang dipicu oleh depolarisasi atrial prematur atau
aktivas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat. Pada multiple wavelet
reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode
refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa
dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan
pemendekan periode refractory dan terjadi penurunan kecepatan konduksi. Ketiga
faktor tersebut yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan
peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya atrial fibrilasi.7
atrium
akibat
lesi katup
jantung yang
mencegah
atrium
2.6 Klasifikasi
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu
presentasi dan durasinya, yaitu:6
1.
FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang
pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang durasi
atau berat ringannya gejala yang muncul.
2.
3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau
FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
10
11
sebaiknya
lakukan
pengawasan
dengan
Holter
24
jam
untuk
Pemeriksaan tambahan
Satu atau beberapa
berikut perlu dilakukan
pemeriksaan
Frekuensi,
durasi,
faktor
Jika efektifitas terapi rate
pemicu dan cara berakhirnya
control pada AF permanen
AF
masih dipertanyakan
Respon terhadap obat yang
Untuk mencari tahu adanya AF
diberikan
yang dipicui oleh latihan
Adanya penyakit jantung yang 3. Holter monitoring
Jika tipe aritmia masih
mendasari atau kondisi lain
seperti
hipertiroid
atau
dipertanyakan
konsumsi alkohol
Sebagai alat untuk evaluasi
2. EKG, untuk identifikasi
terapi rate control
Ritme (memastikan AF)
4. Foto thoraks, untuk evaluasi
Hipertrofi ventrikel kiri
Bila
penemuan
klinis
mengarah
kepada
abnormalitas
Durasi
dan
morfologi
parenkim paru dan pembuluh
gelombang P
darah paru
Preeksitasi
Bundle branch block
MI
Aritmia atrial lainnya
Mengukur interval R-R, QRS
dan QT sebagai evaluasi
terhadap terapi antiaritmia
3. Ekokardiografi, untuk identifikasi
Penyakit katup jantung
Ukuran atrium kanan dan kiri
Ukuran dan fungsi ventrikel
kiri
Tekanan
ventrikel
kanan
(hipertensi pulmonal)
Hipertrofi ventrikel kiri
Thrombus
atrium
kiri
(sensitivitas rendah)
Penyakit perikardium
4. Pemeriksaan tiroid, ginjal dan
fungsi hati
Pada first episode AF dengan
denyut jantung sulit dikontrol
14
tinggi risiko stroke, dalam hal ini skor 0 dikelompokkan sebagai risiko rendah,
skor 1-2 risiko sedang dan skor >2 adalah risiko tinggi.7
3. Kontrol irama
Merubah AF ke irama sinus dilakukan bila pasien masih terdapat gejala
simtomatik dengan pendekatan kontrol laju. Harus diingat bahwa pendekatan
kontrol irama belum menunjukkan hasil yang lebih baik dalam hal penurunan
mortalitas atau kejadian tromboemboli dibandingkan dengan pendekatan kontrol
laju. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan kontrol irama hanya bila pasien
masih simtomatik.7
Kontrol irama atau kardioversi mengacu pada upaya reversi dan
mempertahankan irama sinus dalam waktu panjang. Kontrol irama dapat dicapai
secara farmakologis dengan menggunakan agen anti-aritmia maupun dengan
kardioversielektrik. Kardioversi secara farmakologis kurang efektif jika
dibandingkan dengan kardioversi elektrik bifasik. Namun metode kardioversi
manapun akan membawa risiko tromboemboli, terutama jika aritmia telah
berlangsung > 48jam, kecuali jika profilaksis dengan antikoagulan telah diberikan
sebelumnya.2 Agen farmakologik yang dapat dipakai adalah flecainide, dofetilide,
propafenone, dan ibutilide. Amiodaron masih merupakan obat dengan efektifitas
yang paling baik untuk control irama.7 Sebaiknya kardioversi farmakologik
dimulai kurang dari 7 hari setelah onset fibrilasi atrium agar efektivitasnya lebih
baik. Panduan dari NICE (National Institute for Health and Clinical Exellence)
menganjurkan strategi kontrol laju sebagai pilihan pertama pada pasien dengan
fibrilasi atrium persisten dengan karakteristik sebagai berikut; berusia > 65 tahun,
dengan penyakit jantung koroner, kontraindikasi terhadap agen antiaritmia,tanpa
adanya gagal jantung kongestif, dan tidak cocok untuk kardioversi. Sedangkan
strategi rhythm control selayaknya menjadi pilihan pertama pada fibrilasi atrium
persisten yang bergejala, usia pasien lebih muda, tampil pertama kali sebagai
fibrilasi atrium ataupun paroksismal terhadap suatu presipitan.2
16
BAB III
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
: Tn. SB
: 52 tahun
: Laki-laki
17
No. CM
Alamat
Tgl. Masuk RS
Tgl. Pemeriksaan
: 0-82-07-79
: Dusun Lamteh
: 13 Juni 2015
: 15 Juni 2015
2. Anamnesis
Keluhan utama
: Sesak nafas
18
4. Pemeriksaan Fisik
Kepala
: normocephali
Mata
: konjungtiva palpebral inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga
: normotia, serumen (-/-)
Hidung
: NCH (-), sekret (-)
Mulut
: sianosis (-), mukosa bibir lembab (+)
Leher
: pembesaran KGB (-), JVP R-2 cmH2O
Thorax
:
Inspeksi
: simetris, retraksi SS, IC dan epigastrium (-)
Palpasi
: nyeri tekan (-), SF kanan = SF kiri
Perkusi
: sonor (+/+) di seluruh lapangan paru
Auskultasi
: ves (+/+), rh (-/-) basah halus, wh (-/-)
Cor
:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas:
Ekstremitas superior : sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(-/-), akral dingin (-/-)
Ekstremitas inferior : sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(-/-), akral dingin(-/-)
CRT <2
5. Pemeriksaan Penunjang
19
Interpretasi :
Ritme
: Atrial Fibrilasi
Rate
: 110 bpm
Axis
: normoaxis
Interval PR
: sulit dinilai
Gel P
: sulit dinilai
ST Elevasi
: negatif
ST Depresi
: negatif
T inverted
Q patologis
: negative
RSR
: negative
Kesan
20
Ritme
: Atrial Fibrilasi
Rate
: 90 bpm
Axis
: normoaxis
Interval PR
: sulit dinilai
Gel P
: sulit dinilai
ST Elevasi
: negatif
ST Depresi
: negatif
T inverted
Q patologis
: negative
RSR
: negative
Kesan
Hasil
Nilai Normal
16,3 gr/dl
46 %
11.700 /mm3
5,7 x 106 /L
176.000 / mm3
12-15 gr/dl
37-47 %
4.500-10.500/mm3
4,2-5,4 jt/ L
150.000-450.000/mm3
1
0
0
46
45
8
0-6
0-2
0-1
50-70
20-40
2-8
143 mmol/L
2,5 mmol/L
96 mmol/L
135-145 mmol/L
3,5-4,5 mmol/L
90-110 mmol/L
Diabetes
Glukosa Darah Sewaktu
295
<200 mg/dl
Ginjal-Hipertensi
Ureum
30
13-43 mg/dl
Darah Rutin
Hb
Ht
Leukosit
Eritrosit
Trombosit
Hitung Jenis
Eosinofil
Basofil
Netrofil batang
Netrofil segmen
Limfosit
Monosit
Elektrolit
Natrium (Na)
Kalium (K)
Klorida (Cl)
21
Kreatinin
Jantung
Troponin I
CK-MB
0,70
0,51-0,95 mg/dl
< 0,10
27
Hasil
Nilai Normal
141 mmol/L
3,6 mmol/L
99 mmol/L
135-145 mmol/L
3,5-4,5 mmol/L
90-110 mmol/L
233
<200 mg/dl
26
0,60
13-43 mg/dl
0,51-0,95 mg/dl
7,30
< 6,5 %
Diabetes
Glukosa Darah Sewaktu
Ginjal-Hipertensi
Ureum
Kreatinin
Diabetes
HbA1c
22
Kesimpulan :
TR mild, MR mild, EF 25,26%, disfungsi diastolic, LV wall motion hipokinetik
segmen anteroseptal.
6. Diagnosis Kerja
Atrial fibrilasi normo respon + DM tipe 2 + Vertigo.
7. Penatalaksanaan
7.7.1 Non-Medikamentosa
- Bed rest
- Kurangi asupan lemak
- Meningkatkan konsumsi buah dan sayur.
7.7.2 Medikamentosa
Bisoprolol 2 x 2,5 mg
Aspilet 1 x 80 mg
Clopidogrel 1x 75 mg
Esvat 1x 20 mg (malam)
Aspar k 3x1
SC novomix 24-0-20 IU
Vastigo 3x1
8. Planning Diagnostik
-
9. Prognosis
Quo ad Vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad Functionam
: Dubia ad malam
23
24
BAB IV
ANALISA KASUS
Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis pasien didapatkan keluhan sesak nafas
dan berdebar-debar yang hilang sendiri dengan beristirahat. Hasil pemeriksaan
EKG ditemukan irama asinus, dengan normo aksis, sementara gelombang P sulit
dinilai dan interval P-R sulit dinilai, sehingga disimpulkan adanya suatu atrial
fibrilasi.
Gambaran EKG pada AF terdapat irama yang tidak teratur dengan frekuensi
laju jantung bervariasi (bisa normal/lambat/cepat). Jika laju jantung <60
kali/menit disebut AF dengan respon ventrikel lambat, jika laju jantung 60-100
kali/menit disebut AF respon ventrikel normal, sedangkan jika laju jantung >100
kali/menit disebut AF dengan respon ventrikel cepat.
AF terjadi karena tidak terorganisirnya sinyal listrik dibagian atrium,
sehingga menyebabkan kontraksi yang tidak teratur. Akibat dari hal ini, darah
terkumpul diatrium dan tidak benar-benar dipompa ke ventrikel, sehingga heart
rate pasien berfluktuasi, dan gelombang P didalam EKG tidak dapat dilihat (sulit
dinilai).
Pada anamnesis pasien mengeluhkan jantung yang berdebar-debar,
gambaran EKG yang menunjukkan tidak adanya gelombang P, interval R-R yang
tidak teratur atau irama yang ireguler, dan tidak didapati interval PR, dengan
durasi QRS normal. Gambaran EKG tanggal 15 Juni 2015, HR: 110x/menit, Dari
Anamnesis dan gambaran EKG pasien didiagnosis dengan atrial fibrilasi rapid
respon.
Pasien datang dengan keluhan merasa cepat lelah, yang dirasakan pada
saat beraktivitas, berdebar-debar. Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurang
pada atrial fibrilasi akan menurunkan curah jantung dan berisiko menyebabkan
gagal jantung kongestif.6 AF dapat mempermudah perkembangan dan perburukan
gagal jantung dengan beberapa cara seperti peningkatan laju jantung istirahat,
respon laju jantung yang berlebihan terhadap latihan dapat menyebabkan
menurunnya waktu pengisian diastolik dan penurunan curah jantung.7
25
Pada dasarnya AF tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada
perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan atau
perlambatan denyut jantung, ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan
hemodinamik. Disamping itu AF juga memberikan gejala lain yang disebabkan
oleh penurunan oksigenisasi darah kejaringan, seperti pusing, kelemahan,
kelelahan, sesak, dan nyeri dada. Tetapi 90% episode dari AF tidak memberikan
gejala tersebut.
Pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu. Hipertensi
dapat menyebabkan kerusakan organ target termasuk jantung. Hipertensi yang
berkepanjangan dan tidak terkendali dapat mengubah struktur miokard, pembuluh
darah dan sistem konduksi jantung. Perubahan ini dapat menyebabkan hipertrofi
ventrikel kiri, dilatasi atrium kiri, disfungsi sistolik dan diastolik. Hal ini
mempermudah terjadinya aritmia.
Tujuan yang ingin dicapai pada pengobatan AF adalah mengembalikan ke
irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan tromboemboli. 7
Pada kasus ini diberikan Bisoprolol 2 x 2,5 mg, Aspilet 1 x 80 mg, Clopidogrel 1x
75 mg, Esvat 1x 20 mg (malam), Aspar k 3x1.
Pemilihan antitrombotik harus didasarkan ada tidaknya faktor risiko stroke
dan tromboemboli, pengelompokan menggunak skor CHADS 2. CHADS2 yang
merupakan singkatan dari Cardiac failure, Hypertension, Age (>75 tahun),
Diabetes Mellitus dan riwayat Stroke atau TIA masing-masing diberi skor 1
kecuali riwayat stroke mendapat skor 2. Makin tinggi skor CHADS2, maka makin
tinggi risiko stroke, dalam hal ini skor 0 dikelompokkan sebagai risiko rendah,
skor 1-2 risiko sedang dan skor >2 adalah risiko tinggi.7 Pasien pada kasus
memiliki pasien hipertensi memiliki skor CHADS2 2 yang artinya risiko sedang
maka diberkan Heparin sebagai antikoagulan.
Tatalaksan selanjutnya untuk AF adalah menurunkan laju ventrikel. Pada
pasien gambaran EKG adalah atrial fibrilasi dengan rapid ventrikular response
sehingga dapat diberikan digitalis (digoxin). Target terapi adalah laju ventrikel
antara 60-80 kali saat istirahat dan 90-115 kpm saat beraktivitas sedang.. Tujuan
dari penurunan laju ventrikel atau laju kontrol adalah memperbaiki pengisian
diastolik, perfusi koroner, menurunkan kebutuhan energi miokardium dan
mencegah kardiomiopati yang diperantarai oleh takikardi.6
26
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
27
28