Professional Documents
Culture Documents
A. Pendahuluan
Agama dalam suatu struktur sosial kemasyarakatan, tidak
hanya menelurkan berbagai macam bentuk dan corak serta
keberagaman dalam aliran keagamaan dan tata cara beribadah,
tetapi juga memberikan ruang gerak bagi beberapa dimensi lain
untuk saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, agama
juga berhubungan dengan dimensi di luar agama. Agama bisa
bersentuhan dengan urusan dan kepentingan ekonomi, politik, dan
kebudayaan.
Dalam realita kehidupan bermasyarakat, tidak jarang agama
ditarik ke dalam urusan non-agama, atau hal-hal non-agama
dikaitkan dan dipandang melalui perspektif agama, diantaranya
adalah mengenai negara.
Negara atau dalam Islam disebut dengan al daulah, lahir dari
perkembangan sebuah peradaban. Dalam hal ini, negara merupakan
suatu unsur yang fundamental dalam masyarakat. Roger H. Soultau
memberi definisi terhadap negara sebagai alat atau wewenang yang
mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas
nama masyarakat.1
Menurut Ibnu Khaldun, negara timbul dari sifat manusia yang
makhluk sosial. Artinya, manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya
sendiri untuk melangsungkan kehidupan. Oleh karena itu, manusia
memerlukan kerjasama dengan manusia lainnya. Selanjutnya dari
kerjasama tersebut, lahirlah suatu organisasi kemasyarakatan.2
Setelah terbentuknya organisasi kemasyarakatan, maka
masyarakat yang berada dalam organisasi tersebut membutuhkan
sesorang tokoh untuk menjadi penengah dalam mayarakat tersebut.
Hal itu diperlukan untuk menjaga anggota masyarakat dari gangguan
dari masyarakat yang lainnya dalam berbagai hal. Dan hendaknya
orang yang menjadi penengah adalah orang yang berpengaruh,
berwibawa, dan mempunyai otoritas dalam masyarakatnya, sehingga
fungsi sebagai penengah dan pelindung bagi masyarakat bisa
terwujud. Menurut Ibnu Khaldun, sosok itu ada pada diri seorang raja
atau kepala negara.3
1
Pahruroji M. Bukhori. Membebaskan Agama dari Negara; Pemikiran Aburrahman Wahid dan ‘Ali Abd
ar Raziq. Bantul: Pondok Edukasi. 2003. Hal. 9
2
Munawir Sjadzali. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikian. Jakarta: UI-Press. 1993.
Hal. 100
3
Ibid
1
Islam mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam hal
kenegaraan. Sehingga tidak heran jika kemudian muncul istilah
‘negara Islam’ yang pada akhirnya banyak menimbulkan berbagai
spekulasi dari para pemikir islam sendiri. Menurut Prof. Leonard
Binder, Islam tidak dapat dipisahkan dari politik. Islam itu sendiri
adalah agama sekaligus negara.4
Namun, tidak selamanya urusan negara akan bergantung
kepada agama. Bahkan, ide tentang pembentukan negara Islam,
telah menimbulkan benturan-benturan yang serius. Bahkan tidak
jarang pula sebagai akibat benturan pemikiran-pemikiran tersebut,
menimbulkan konflik di negara-negara yang penduduknya mayoritas
muslim, antara yang menghendaki cita-cita negara Islam dan yang
menghendaki nation state yang diklaim sekuler.5
Berbicara mengenai Negara Islam, ada baiknya jika kita kembali
menengok ke belakang, menuju zaman yang akan menjadi cikal bakal
Negara Islam itu sendiri.
Secara historis, Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
dengan Mekkah dan Madinah sebagai sentralnya. Dakwah
penyebaran agama Islam yang dilakukan Nabi SAW adalah titik awal
dari Islam sebagai negara. Karena pada saat itu telah dikenal adanya
kekuasaan Islam, yaitu wilayah-wilayah yang telah diduduki Islam
dengan pemimpin pusat Rasulullah SAW. Setelah wafatnya Nabi SAW,
wilayah kekuasaan Islam meliputi seluruh Jazirah Arab, bahkan sudah
keluar dari wilayah Arab.
Tonggak kepemimpinan Islam kemudian diteruskan oleh
Khulafaur Rasyidin. Mereka juga meneruskan upaya Rasulullah SAW
untuk menyebarkan Islam sampai keluar Arab. Abu Bakar melakukan
ekspansi dan menduduki wilayah Hirah dan Ambar di Mesopotamia
(Irak).6
Selanjutnya pada masa khalifah Umar Bin Khattab, penyebaran
Islam sudah sampai di Sungai Amur Darya di timur dan Mesir di
sebelah barat.7 Kemudian pada masa Ustman Bin Affan, wilayah Islam
semakin meluas meliputi: Khurasan, Armenia, Aserbaijan di sebelah
4
Leonard Binder. The Ideological Revulution In The Middle East. dalam, Manoucher Paydar. Legitimasi
Negara Islam Problem Otoritas Syariah dan Politik Penguasa (Aspect of the Islamic State: Religious
Norm and Political Realities. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. 2003. Hal. 88-89
5
A. Maftuh Abegebriel et al. Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia. Yogjakarta: SR-Ins
Publishing. 2004. Hal. 2
6
Fadil SJ. Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Malang: UIN-MALANG Press. 2008.
Hal. 124
7
Ibid
2
timur dan Tunisia (Afrika Utara), Amuriah dan Cyprus (Laut Tengah) di
sebelah Barat/Utara.8
Demikianlah, setelah masa Khulafaur Rasyidin berakhir, maka
tonggak Islam di pegang oleh Dinasti Umayyah dan Abassiyah.
Adapun system pemerintahan kedua dinasti tersebut telah
sedemikian sempurna dengan wujud Negara Islam seutuhnya.
Lalu, bagaimana konsep negara Islam itu sendiri menurut ulama
dan pemikir Islam?
3
berbeda, membina negara, melindungi jiwa, kekayaan dan
kehormatan warga Negara.
c. Keadilan yang menyeluruh, karena dengan keadilan yang
menyeluruh akan menimbulkan rasa hormat dan ketaatan kepada
pimpinan.
d. Keamanan yang merata, menciptakan ketenangan lahir
maupun batin. Hal ini terjadi karena adanya keadilan yang
merata.
e. Kesuburan tanah yang berkesinambungan.
f. Harapan kelangsungan hidup.
Meskipun demikian, Al Mawardi tetap berhati-hati mengenai
sistem Islam terutama mengenai pengangkatan kepala negara.
Karena menurutnya dari zaman Rasulullah SAW tidak ditemukan
bentuk yang baku dalam sistem ini, sehingga belum bisa dipastikan
yang mana system Islam yang sebenarnya.
Dalam konteks yang sama, yakni negara Islam, Ibnu Khaldun
menyamakan istilah mamlakah, dar al Islam (kerajaan/Negara)
sebagai khilafah atau imamah, yaitu lembaga politik yang
memerintahkan rakyat sesuai dengan peraturan syariah agama untuk
mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat.13
Pada hakikatnya, khalifah adalah sebagai pengganti Rasulullah
SAW dalam menegakkan dan mempertahankan agama serta
menjalankan kepemimpinan dunia. Artinya, di sini Ibnu Khaldun
memahami bahwa eksistensi institusi khilafah merupakan otoritas
dua kepemimpinan, yaitu sebagai pemimpin agama dan pemimpin
umat secara keseluruhan.14
Mengenai masalah kenegaraan ini, Ibnu Khaldun mempunyai
teori ‘Ashabiyah yang berhubungan erat dengan teori siklus Negara.
‘Asyabiyah adalah rasa cinta/fanatisme (nu’rat) seseorang terhadap
keturunannya, keluarga dan golongannya.15 Akan tetapi, yang
dimaksud dengan ‘ashabiyah (solidaritas/fanatisme) oleh Ibnu
Khaldun di sini adalah solidaritas yang didasarkan pada factor-faktor
agama atau factor duniawi yang legal, bukan solidaritas yang
didasarkan pada sikap sombong, takabur, dan keinginan untuk
bergabung hanya dengan suku yang kuat dan terhormat.
Abdul Raziq Al Makki memberikan lima bentuk ‘asyabiyah,
yaitu: 16
13
Syafiuddin. Negara Islam menurut Konsep Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Gama Media. 2007. Hal. 120
14
Ibid. hal 121
15
Ibid.
16
Ibid. hal. 92
4
a. ‘ashabiyah kekerabatan dan keturunan, merupakan ‘ashabiyah
yang paling kuat.
b. ‘ashabiyah persekutuan yang terjadi karena keluarga seseorang
dari garis keturunannya yang semula ke garis keturunan yang
lain.
c. ‘ashabiyah kesetiaan , yang terjadi karena peralihan seseorabg
dari satu garis keturunan dan kekerabatan ke keturunan yang lain
akibat suatu kondisi (timbul dari penggabungan seseorang pada
garis keturunan yang baru).
d. ‘ashabiyah penggabungan, yang terjadi karena larinya
seseorang dari keluarga dan kaumnya, kemudian bergabung
dengan keluarga dan kaum yang lain.
e. ‘ashabiyah perbudakan, yang timbul dari hubungan antara para
budak dan kaum mawali dengan tuan-tuan mereka.
Dalam konteks kekinian, ‘ashabiyah dalam hal kenegaraan, bisa
pula diartikan sebagai nasionalisme atau patriotisme, sehingga tidak
heran jika sangat berpengaruh terhadap eksisitensi Negara itu
sendiri. Teori siklus yang dicetuskan oleh Ibnu Khaldun memberi
gambaran bahwa Negara itu muncul, berkembang, mundur, dan
akhirnya hancur, mempunyai fase-fase yang tertentu dalam rentang
waktu sekitar seratus tahun. Dalam rentang waktu tersebut Negara
mengalami lima fase perkembangan:17
1. Fase penaklukan, dengan cara merebut dan menguasai dari
pemimpin yang sebelumnya. (‘ashabiyah masih kuat)
2. Fase pembinaan, kondisi masyarakat telah berubah dari tradisi
al badawah ke al hadarah dan tunduk kepada penguasa.
Kekuasaan cenderung terpusat pada seorang penguasa.
(‘ashabiyah sudah mulai berkurang kekuatannya).
3. Fase kejayaan, negara mencapai tingkat kemajuan yang tinggi,
dan hidup mewah. (Tahap ini ‘ashabiyah telah melemah, dan tidak
dibutuhkan lagi oleh penguasa karena sudah merasa kuat).
4. Fase kemunduran, para pemimpin pada tahap ini terdiri tas
orang-orang yang kurang kreatif hanya menerima dan mengikuti
penguasa sebelumnya.
5. Fase kehancuran, negara telah memasuki masa tua. Pada masa
ini penguasa suka hidup berfoya-foya dan menghamburkan
kekayaan. Negara telah hancur secara ekonomis dan politis
karena ‘ashabiyah telah sirna dan tidak ada sumber ekonomi yang
kuat.
17
Ibid. hal. 95
5
Namun, Ibnu Khaldun kembali menjelaskan bahwa teorinya
tidak selalu benar. Dalam arti, ada juga Negara yang berumur lebih
dari seratus tahun. Mengenai sebab berdiri, jaya, mundur, lalu
hancur, juga bermacam-macam, tidak hanya karena ‘ashabiyah,
tetapi juga karena ekonomi, kemewahan, kerusakan moral. Selain itu
bisa juga disebabkan hukum alam seperti wabah penyakit atau
bencana alam.18
18
Ibid. hal. 97
19
Muhammad A. Al-Buraey. Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan. Jakarta:Rajawali.
1986. Hal. 153
20
Ibid. hal. 154
21
Ibid. hal. 155
22
Munawir Sjadzali. Islam dan Tata… hal. 166
6
Berdasarkan tiga hal tersebut Al Maududi menentang gagasan
nasionalisme Islam yang merupakan garis perjuangan Liga Muslim. 23
Menurutnya, nasionalisme adalah produk yang diimpor dari system
barat yang pada prinsipnya menganut kedaulatan rakyat bukan
kedaulatan Tuhan, serta cendurung pada sekularisme memisahkan
antara agama dan Negara. Selain itu, nasionalisme berpandangan
sempit, bukan universal sehingga memudahkan perpecahan.24
Selanjutnya dari tiga dasar tersebut muncul pula beberapa
konsepsi Negara Islam menurut Al Maududi:25
1. Sistem kenegaraan tidak dapat disebut demokrasi, tetapi
teokrasi, yaitu kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan oleh umat
Islam atau bias disebut juga kedaulatan rakyat yang terbatas.
2. Pemerintah/eksekutif diangkat dan diberhentikan oleh umat
Islam.
3. Kekuasaan negara dilakukan oleh lembaga-lembaga legislatif,
eksekutif, dan yudikatif.
4. Syarat yang harus dimiliki oleh seseorang yang bias dipilih
sebagai kepala Negara adalah: beragama islam, laki-laki, dewasa,
sehat fisik dan mental, saleh, warga terbaik, dan punya komitmen
yang kuat dalam Islam.
5. Keanggotaan Majelis Syura terdiri dari orang-orang yang
beragama Islam, saleh, dewasa dan laki-laki untuk menafsirkan
syariah dan menyusun undang-undang sesuai dengan Al Qur’an
dan As Sunah.
6. Dalam negara Islam terdapat dua golongan kewarganegaraan,
yaitu warga Negara yang beragama Islam dan yang tidak
beragama Islam.
Pemikiran dan konsep Al Mududi tersebut jauh dengan konsep
Ali Abdul Ar Raziq. Menurut Ali Abdur Raziq dalam bukunya Al Islam
wa Ushul al Hukm, Islam tidak menetapkan suatu rezim tertentu dan
tidak pula memaksakan kepada kaum muslimin suatu system
pemerintahan tertentu. Akan tetapi, islam memberikan kebebasan
mutlak kepada orang muslim untuk mengurus negaranya sesuai
dengan yang diinginkannya.26
Selain itu, Ali Abdur Raziq juga mengatakan bahwa Al Qur’an
dan As Sunah tidak pernah memberikan penjelasan mengenai
khalifah dan system politik apa yang harus dipakai oleh umat Islam.27
23
Ibid. hal. 161
24
Ibid
25
Ibid, hal. 166-169
26
Ma’mun Murod. Menyingkap Pemikiran Politik…. Hal. 7
27
Ibid
7
Dia juga menegaskan bahwa pemerintahan yang dilakukan Nabi SAW
dulu adalah suatu tugas yang terpisah dari da’wah islamiyyah yang
sudah diwahyukan kepadanya. Dengan kata lain, pemerintahan yang
pernah dilakukan oleh Nabi adalah ‘Amaliyah Duniawiyah yang sama
sekali tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulan. Sebab pada
dasarnya risalah bukan kerajaan atau pemerintahan.28
8
Sedangkan Al Maududi terkesan rigid dan sangat ekstrem.
Sehingga, dari penampilan yang kaku tersebut menimbulkan celah-
celah inkonsistensi. Hal ini terlihat dari penolakannya terhadap
system barat, namun dalam konsep kekuasaan Negara, dia menganut
trias politika yaitu, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang notabene
merupakan produk system barat.
Adapun Ali Abdur Raziq sangat bertolak belakang dengan Al
Maududi. Dengan konsepnya, Ali Abdul Raziq memberikan pemisahan
yang signifikan antara agama dan negara, sehingga menganggap
dakwah Islam berdiri sendiri dari pemerintahannya. Padahal tidak.
Penyebaran agama Islam tidak selalu mulus, ada beberapa daerah
yang dikuasai oleh kerajaan dengan sistem pemerintahan yang sudah
maju, seperti Byzantium misalnya, sehingga harus dilawan juga
dengan pemerintahan pula. Dari situ Rasul mempunyai peran ganda,
yaitu sebagai nabi dan panglima perang sekaligus kepala
pemerintahan.
Adapun mengenai hukum mendirikan negara Islam, belum ada
ulama atau pemikir yang memberikan konsep. Akan tetapi,
berdasarkan kajian normatif, yang oleh Al Maududi didasarkan
kepada Surat An Nur:2, maka menegakkan hukum pidana yang
notabene memuat institusi Negara Islam adalah sama halnya
menegakkan hukum Allah, sedangkan menegakkan hukum Allah
adalah wajib bagi setiap orang. Sehingga dari konsep ini, mendirikan
negara Islam adalah wajib.
9
Indonesia tetap berbeda dengan negara-negara yang berlatar
belakang Islam. Jadi, mari kita introspeksi diri, bukan saatnya
merubah ideologi, tapi bagaimana cara membangun negara ini
menjadi negara yang makmur yang berketuhanan yang maha esa.
Hemat penulis, sebuah negara tidak harus bersistem Islam,
tetapi bagaimana sebisa mungkin agama Islam diterapkan dalam
setiap sendi negara tersebut.
10
DAFTAR PUSTAKA
11