You are on page 1of 46

TUGAS RADIOLOGI

Disusun oleh:
Azka Faza Fadhila (2011730126)

Pembimbing:
Dr. Donny Sulifa, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK STASE RADIOLOGI


RSUD CIANJUR PERIODE 07 SEPTEMBER 11 OKTOBER
PROGRAM STUDI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN
KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015
1

BAB I
PENDAHULUAN

Radiologi adalah ilmu kedokteran untuk melihat bagian rama tubuh manusia
menggunakan pancaran atau radiasi gelombang, baik gelombang elektromagnetik maupun
gelombang mekanik. Pada awalnya frekuensi yang dipakai berbentuk sinar-x (x-ray) namun
kemajuan teknologi modern memakai pemindaian (scanning) gelombang sangat tinggi
(ultrasonic) seperti ultrasonography (USG) dan juga MRI (magnetic resonance imaging).
BNO IVP adalah salah satu pemeriksaan radiografi yaitu dengan cara
menyuntikkan zat kontras melalui pembuluh darah vena. Tujuan pemeriksaan untuk
menggambarkan anatomi dari pelvis renalis dan sistem calyses serta seluruh tractus urinarius
dengan penyuntikan kontras media positif secara intra vena. Pemeriksaan ini dapat diketahui
kemampuan ginjal mengkonsentrasikan bahan kontras tersebut . BNO IVP sangat efektif
sebagai penegakan diagnosis pada penyakit kelainan pada ginjal, sehingga pemeriksaan ini
sering digunakan.
Fungsi ginjal adalah tempatnya membersihkan darah dari berbagai zat hasil
metabolisme tubuh dan racun yang tidak dibutuhkan dalam berntuk air seni. sebagai organ
vital, ginjal harus dirawat sebaik mungkin. Kalau tidak, penyakit gagal ginjal bukanlah suatu
yang mustahil akan menyerang diempunya. Walau kecil, organ ginjal ini tergolong sangat
vital sehingga masyarakat awam menyebutnya juga dengan buah pinggang. Bila fungsi
ginjal manusia terganggu maka zat sisa tersebut tidak dapat di ekskresikan oleh ginjal
sehingga terjadi gagal ginjal.
Penyakit ginjal khususnya penyakit gagal ginjal kronis di dunia sudah menjadi
masalah global. Di Amerika Serikat insiden penyakit GGK diperkirakan 100 kasus per 4 juta
penduduk per tahun dan akan meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Indonesia jumlah
penderita gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10%
setiap tahun. Saat ini belum ada penelitian epidemiologi tentang prevalensi penyakit ginjal
kronik di Indonesia. Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia diperkirakan
prevalensi penyakit ginjal kronik masing-masing berkisar 100 - 150/ 1 juta penduduk.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis ingin membahas pemeriksaan


BNO IVP pada traktus urinarius

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi

BNO merupakan satu istilah medis dari bahasa Belanda yang merupakan
kependekan dari Blass Nier Overzicht (Blass = Kandung Kemih, Nier = Ginjal, Overzicht
= Penelitian). Dalam bahasa Inggris, BNO disebut juga KUB (Kidney Ureter Blass). Jadi,
pengertian BNO adalah suatu pemeriksaan didaerah abdomen / pelvis untuk mengetahui
kelainan-kelainan pada daerah tersebut khususnya pada sistem urinaria.
IVP atau Intra Venous Pyelography merupakan pemeriksaan radiografi pada
sistem urinaria (dari ginjal hingga blass) dengan menyuntikkan zat kontras melalui
pembuluh darah vena. Tujuan pemeriksaan untuk menggambarkan anatomi dari pelvis
renalis dan sistem calyses serta seluruh tractus urinarius dengan penyuntikan kontras
media positif secara intra vena. Pemeriksaan ini dapat diketahui kemampuan ginjal
mengkonsentrasikan bahan kontras tersebut .
2. Anatomi dan fisiologi
Ginjal

Sisi lateralnya berbentuk cembung, sisi medial cekung, sedikir pada permukaan
anterior, sedikit cembung pada permukaan porterior. Ukuran ginjal 11cm x 6cm x 2,5
cm. Ginjal kiri sedikit lebih panjang dari pada ginjal kanan. Letak ginjal yang normal
setinggi columna vertebralis thoracalis XII s.d columna vertebralis lumbalis III
dibelakang peritonium bersinggungan dengan dinding abdomen posterior. Ginjal
kanan lebih rendah dari pada ginjal kiri. Pada bagian yang cekung memiliki hilus
tempat transmisi dari pembuluh-pembuluh darah, limfe, syaraf dan ureter. Hilus
berlanjut membentuk cavitas pusat yang disebut sinus renalis. Lapisan luar dinjal
disebut substansi cortical dan lapisan dalam disebut substansi medular, permukaan luar
ginjal ditutupi oleh lapisan tipis jaringan fibrosus. Substansi medular terdiri dari
sekumpulan tubuli membentuk 8 sampai dengan 15 segmen conus yang disebut
pyramid yang masing-masing puncaknya membentuk sistem calyses.

Ureter
4

Panjang ureter 20-30 cm, terletak pada posterior dari peritoneum dan didepan dari
musculus psoas dan processus transversum columna vertebralis lumbalis. Bagian distal

berhubungan dengan vesica urinaria pada tepi lateral bagian superior.


Vesica Urinaria

Penampungan urine, letaknya postero-superior terhadap sympisis pubis. Bentuk dan


ukurannya bervariasi sesuai banyaknya urine yang ditampung. Kapasitasnya sekitar
700-1000 ml.

Uretra

Merupakan traktus urinarius paling distal, tempat ekskresi urine. Panjangnya kira-kira
2,5 cm-4 cm pada wanita dan 20cm pada pria.
3. Patologi dan indikasi klinis

Hydroneprosis
Hydroneprosis adalah distensi dan dilatasi dari renal pelvic, biasanya disebabkan
oleh terhalangnya aliran urin dari ginjal (Obstruksi), Hydroneprosis biasa disebut
pembesaran ginjal.

Pyelonepritis

Pyelonepritis adalah inflamasi pada pelvis ginjal dan parenkim ginjal yang
disebabkan karena adanya infeksi oleh bakteri infeksi bakteri pada jaringan ginjal
yang dimulai dari saluran kemih bagian bawah terus naik ke ginjal.

Renal Hypertension
Renal Hypertension adalah Sindrom yang terdiri dari tekanan darah tinggi yang
disebabkan oleh penyempitan arteri menyuplai ginjal (stenosis arteri ginjal)
Polyuria
Polyuria adalah fisiologis normal dalam beberapa keadaan, seperti diuresis dingin,
diuresis ketinggian, dan setelah minum cairan dalam jumlah besar.

Neprolithiasis
Neprolithiasis adalah suatu keadaan terdapat satu atau lebih batu di dalam Pelvis
atau Calyces dari ginjal.

Urolithiasis
Urolithiasis adalah suatu keadaan terdapat satu atau lebih batu didalam saluran
ureter.

BPH
BPH (Benigna Prostat Hyperplasi) adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (urethra).

4. Kontra Indikasi

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Alergi terhadap media kontras


Pasien yang mempunyai kelainan atau penyakit jantung
Pasien dengan riwayat atau dalam serangan jantung
Multi myeloma
Neonatus
Diabetes mellitus tidak terkontrol/parah
Pasien yang sedang dalam keadaan kolik
Hasil laboratorium ureum <60mg% dan creatinin <2mg%

5. Efek samping
Efek samping yang ditimbulkan oleh media kontras BNO IVP
Efek samping ringan, seperti mual, gatal-gatal, kulit menjadi merah dan bentol-bentol
Efek samping sedang, seperi edema dimuka/pangkal tenggorokan
Efek samping berat, seperti shock, pingsan, gagal jantung.
Efek samping terjadi pada pasien yang alergi terhadap yodium (makanan laut) dan
kelainan pada jantung.
Pencegahan alergi pada pasien sebelum dimasukan kontras dapat dilakukan sebagai
berikut:
Melakukan skin test. Skin test adalah tes kepekaan kulit terhadap bahan kontras yang
disuntikkan sedikit dipermukaan kulit (subkutan). Bila terjadi reaksi merah atau bentol

diarea itu, segera laporkan radiolog/dokter yang jaga.


Melakukan IntraVena test setelah skin test dinyatakan aman. IV test yaitu dengan
menyuntikan bahan kontras kurang lebih 3-5cc kedalam vena. Segera laporkan dokter
jika terjadi reaksi.
8

Memberikan obat pencegahan alergi seperti antihistamin sebelum pemasukan bahan


kontras (contohnya : diphenhydramine).

Tindakan penyembuhan (yang dilakukan setelah bahan kontras itu masuk tubuh dan
menimbulkan alergi)

Reaksi ringan seperti rasa mual dapat diatasi dengan menginstruksikan pasien untuk
tarik nafas dalam lalu keluarkan melalui mulut.

Reaksi berat diperlukan pengobatan atau pertolongan lainnya atau bila perlu
menghentikan pemeriksaan (sesuai arahan radiolog).

6. Persiapan pemeriksaan
a. Persiapan pasien
Sehari sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien diminta untuk makan-makanan
lunak yang tanpa serat (seperti bubur kecap) maksudnya supaya makanan tersebut
mudah dicerna oleh usus sehingga faeces tidak keras.

Makan terakhir pukul 19.00 (malam sebelum pemeriksaan) supaya tidak ada lagi
sisa makanan diusus, selanjutnya puasa sampai pemeriksaan berakhir.

Malam hari pukul 21.00, pasien diminta untuk minum laksatif (dulcolax)
sebanyak 4 tablet.

8 Jam sebelum pemeriksaan dimulai, pasien tidak diperkenankan minum untuk


menjaga kadar cairan.

Pagi hari sekitar pukul 06.00 (hari pemeriksaan), pasien diminta untuk
memasukkan dulcolax supossitoria melalui anus, supaya usus benar-benar bersih
dari sisa makanan / faeces.

Selama menjalani persiapan, pasien diminta untuk tidak banyak bicara dan tidak
merokok supaya tidak ada intestinal gas (gas disaluran pencernaan)

Tujuan prosedur persiapan pasien tersebut adalah untuk membersihkan usus (gastro
intestinal) dari udara dan faeces yang dapat mengganggu visualisasi dari foto IVP atau
menutupi gambaran ginjal dan saluran-salurannya. Pemeriksaan yang tidak baik
terlihat dari bayangan lucent di usus karena udara dan faeces.
b. Persiapan bahan kontras
Media kontras yang digunakan adalah yang berbahan iodium, dimana jumlahnya
disesuaikan dengan berat badan pasien, yakni 1-2 cc/kg berat badan.
9

Bahan kontras yang disuntikkan melalui vena fossa cubiti akan mengalir ke vena
capilaris, vena subclavia, kemudian ke vena cava superior. Dari VCS bahan
kontras akan masuk ke atrium kanan dari jantung, kemudian ke ventrikel kanan
dan mengalir ke arteri pulmo. Kemudian mengalir ke vena pulmo menuju atrium
kiri kemudian ventrikel kiri dan mengalir ke aorta, serta terus mengalir menuju
aorta desendens kemudian kedalam aorta abdominalis dan masuk kedalam arteri

renalis dan mulai memasuki korteks ginjal.


c. Persiapan alat
1)

Peralatan Steril

Wings needle No. 21 G (1 buah)

Spuit 20 cc (2 buah)

Kapas alcohol atau wipes

2)

Peralatan Un-Steril

Plester

Marker R/L dan marker waktu

Media kontras Iopamiro ( 40 50 cc)

Obat-obatan emergency (antisipasi alergi media kontras)

Baju pasien

Tourniquet

7. Prosedur pemeriksaan
Berikut adalah prosedur pemeriksaan BNO IVP:
a. Pasien diwawancarai untuk mengetahui sejarah klinis dan riwayat alergi.
b. Pasien diminta untuk mengisi informed consent (surat persetujuan tindakan medis
setelah pasien dijelaskan semua prosedur pemeriksaan).
c. Buat plain photo BNO terlebih dahulu dengan tujuan Untuk menilai persiapan yang
dilakukan pasien, untuk melihat keadaan rongga abdomen khususnya tractus urinaria
secara umum.,untuk menentukan faktor eksposi yang tepat untuk pemotretan
berikutnya sehingga tidak terjadi pengulangan foto karena kesalahan faktor eksposi.
d. Jika hasil foto BNO baik, lanjutkan dengan melakukan skin test dan IV test sebelum
dimasukkan bahan kontras melalui vena fossa cubiti
e. Sebelum melakukan penyuntikan, pasien ditensi terlebih dahulu.
10

f. Menyuntikkan bahan kontras secara perlahan-lahan dan menginstruksikan pasien


untuk tarik nafas dalam lalu keluarkan dari mulut guna menminialkan rasa mual yang
mungkin dirasakan pasien
g. Membuat foto 5 menit post injeksi
h. Membuat foto 15 menit post injeksi
i. Membuat foto 30 menit post injeksi
j. Pasien diminta untuk turun dari meja pemeriksaan untuk buang air kecil
(pengosongan blass) kemudian difoto lagi post mixi.
k. Foto IVP bisa saja dibuat sampai interval waktu berjam-jam jika kontras belum turun
8. Kriteria teknik pemeriksaan BNO IVP
a. Plain foto BNO AP (sebelum injeksi)
Menggunakan kaset 30 x 40 (disesuaikan dengan tubuh pasien) yang diletakkan

memanjang
Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan garis tengah tubuh sejajar dengan
garis tengah meja pemeriksaan, kedua tungkai kaki diatur lurus, dan kedua tangan

lurus disamping tubuh.


Aturlah pundak dan pinggul pasien agar tidak terjadi rotasi; Atur long axis tubuh
sejajar dengan long axis film;Aturlah kaset dengan batas atas pada diafragma, dan

batas bawah pada sympisis pubis.


CP : pertengahan film
CR : Vertikal tegak lurus film

b. Foto 5 menit post injeksi


Menggunakan kaset 24 x 30 yang diletakkan melintang.
Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan garis tengah tubuh sejajar dengan
garis tengah meja pemeriksaan, kedua tungkai kaki diatur lurus, dan kedua tangan
lurus disamping tubuh.
11

Aturlah pundak dan pinggul pasien agar tidak terjadi rotasi; Atur long axis tubuh
sejajar dengan long axis film; Aturlah kaset dengan batas atas pada processus

xypoideus dan batas bawah pada crista iliaca/SIAS


CP : pertengahan film
CR : Vertikal tegak lurus film
Gambaran :

Densitas baik

Tidak ada bagian Nefron yang terpotong

Kontras mengisi ginjal/ Calyx sampai ureter proximal

Opasitas mampu menampilkan organ

Fase dimana kontras media memperlihatkan nefron pada ginjal (terisi minimal)
c. Foto 15 menit post injeksi
Menggunakan kaset 30 x 40 (disesuaikan dengan tubuh pasien) yang diletakkan

memanjang.
Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan garis tengah tubuh sejajar dengan
garis tengah meja pemeriksaan, kedua tungkai kaki diatur lurus, dan kedua tangan

lurus disamping tubuh.


Aturlah pundak dan pinggul pasien agar tidak terjadi rotasi; Atur long axis tubuh
sejajar dengan long axis film; Aturlah kaset dengan batas atas pada diafragma, dan

batas bawah pada sympisis pubis.


CP : Umbilikus
CR : Vertikal tegak lurus film
Kontras media memperlihatkan nefron , Pelvis renalis dan ureter proksimal terisi
maksimal ( Fungsi Ekskresi Ginjal yang terbendung )

12

d. Foto 30 menit post injeksi


Menggunakan kaset 30 x 40 (disesuaikan dengan tubuh pasien) yang diletakkan

memanjang.
Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan garis tengah tubuh sejajar dengan
garis tengah meja pemeriksaan, kedua tungkai kaki diatur lurus, dan kedua tangan

lurus disamping tubuh.


Aturlah pundak dan pinggul pasien agar tidak terjadi rotasi; Atur long axis tubuh
sejajar dengan long axis film; Aturlah kaset dengan batas atas pada diafragma, dan

batas bawah pada sympisis pubis.


CP : Umbilikus
CR : Vertikal tegak lurus film
Gambaran:
Densitas baik
Tidak ada bagian ginjal yang terpotong
Kontras mengisi ginjal Calyx sampai ureter distal dan sedikit mengisi
kandung kemih
Opasitas mampu menampilkan organ Tractus Urinarius

13

Kontras media memperlihatkan nefron , Pelvis renalis dan ureter proksimal terisi
maksimal dan ureter distal mulai mengisi kandung kemih ( Fungsi Ekskresi

Ginjal tidak terbendung ).


e. Foto post mixi
Menggunakan kaset 30 x 40 (disesuaikan dengan tubuh pasien) yang diletakkan

memanjang.
Semua foto dikonsultasikan ke dokter spesialis radiologi. Jika dokter meminta
foto post mixi, pasien diminta untuk buang air kecil untuk mengosongkan blass

dari media kontras.


Aturlah pundak dan pinggul pasien agar tidak terjadi rotasi; Atur long axis tubuh
sejajar dengan long axis film;Aturlah kaset dengan batas atas pada diafragma, dan

batas bawah pada sympisis pubis.


CP : Umbilikus
CR : Vertikal tegak lurus film
Gambaran:
o Densitas baik
o Tidak ada bagian Ginjal hingga VU yang terpotong
o Kontras Keluar dari kandung kemih hingga VU dapat terlihat kosong
o Opasitas mampu menampilkan organ
o vesica urinaria terisi penuh kontras media

Kontras media memperlihatkan


kandung kemih dalam keadaan kosong

( Fungsi pengosongan kandung kemih).


9. Kekurangan dan kelebihan pemeriksaan
BNO IVP
a. Kelebihan
o Bersifat invasif.
o IVP

memberikan

gambaran

dan

informasi yang jelas, sehingga dokter


dapat mendiagnosa dan memberikan pengobatan yang tepat mulai dari adanya
batu ginjal hingga kanker tanpa harus melakukan pembedahan
o Diagnosa kelainan tentang kerusakan dan adanya batu pada ginjal dapat
dilakukan.
14

o Radiasi relative rendah


o Relative aman
b. Kekurangan
o Selalu ada kemungkinan terjadinya kanker akibat paparan radiasi yang diperoleh.
o Dosis efektif pemeriksaan IVP adalah 3 mSv, sama dengan rata-rata radiasi yang
diterima dari alam dalam satu tahun.
o Penggunaan media kontras dalam IVP dapat menyebabkan efek alergi pada
pasien, yang menyebabkan pasien harus mendapatkan pengobatan lanjut.
o Tidak dapat dilakukan pada wanita hamil.

BAB III
PENUTUP
BNO IVP merupakan pemeriksaan radiografi pada sistem urinaria (dari ginjal hingga
blass) dengan menyuntikkan zat kontras melalui pembuluh darah vena. Tujuan pemeriksaan
untuk menggambarkan anatomi dari pelvis renalis dan sistem calyses serta seluruh tractus
urinarius dengan penyuntikan kontras media positif secara intra vena. Pemeriksaan ini dapat
diketahui kemampuan ginjal mengkonsentrasikan bahan kontras tersebut .
15

Pemeriksaan BNO IVP dilakukan berdasarkan indikasi dan kontraindikasi yang


tertera. Pemeriksan BNO IVP harus dipersiapkan secara benar agar tidak terjadi pengulangan
pemeriksaan. Prosedur pemeriksaan BNO IVP dilakukan secara urut agar mendapatkan hasil
yang maksimal. Pemeriksaan BNO IVP juga memiliki kekurangan sehingga perlu diperhatikan
sebelum pemeriksaan BNO IVP dilakukan.

GAGAL JANTUNG
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.
Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena

16

semakin bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya terapi


penanganan infark miokard.
Studi Farmingham memberikan gambaran yang cukup jelas tentang gagal jantung. Pada studi ini
disebutkan bahwa, kejadian gagal jantung per tahun pada orang berusia > 45 tahun adalah 7,2
kasus setiap 1000 orang laki-laki dan 4,7 kasus setiap 1000 orang perempuan. Di Amerika
hampir 5 juta orang menderita gagal jantung9.
Prevalensi gagal jantung pada keseluruhan populasi antara 2 sampai 30%. Angka prevalensi
disfungsi ventrikel asimptomatik menyerupai prevalensi gagal jantung, sehingga membuktikan
dalam total populasi prevalensi gagal jantung atau disfungsi ventrikel asimptomatik sekitar 4%.
Angka prevalensi meningkat tajam pada populasi usia 75 tahun, sehingga prevalensi pada
kelompok usia 70-80 tahun sekitar 10-20%.
Secara keseluruhan 50% dari total pasien meninggal dalam kurun waktu empat tahun. Empat
puluh persen yang datang ke rumah sakit dengan diagnosis gagal jantung, meninggal atau
mendapatkan rawat inap kembali dalam waktu satu tahun pertama.
Oleh karena itu perlu ditinjau bagaimana penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan gagal jantung akut dan kronis berdasarkan literatur yang
mutakhir.
1.1. Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung adalah suatu kumpulan gejala kompleks karena adanya kelainan fungsi jantung
berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
dan atau kemempuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri1.
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dengan tampilan gejala nafas yang pendek
saat melakukan istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau kelelahan, tanda-tanda retensi
cairan seperti kongesti paru atau edema pergelangan kaki, adanya bukti obyektif dari gangguan
struktur atau fungsi jantung saat istirahat.
Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung tidak lagi mampu
memompakan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh pada tekanan
pengisian yang normal, padahal aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam keadaan
normal2.

17

I.2. Klasifikasi Gagal Jantung


Pada referat ini yang akan dibahas adalah gagal jantung akut dan gagal jantung kronik.
A. Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat (rapid onset) dari gejala-gejala atau
tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya sakit
jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik,
keadaan irama jantung yang abnormal atau ketidakseimbangan dari preload atau afterload.
Gagal jantung akut dapat berupa acute de novo (serangan baru dari gagal jantung akut, tanpa ada
kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronik.
Klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan manifestasi klinis5:
a. Gagal jantung dekompensasi (Acute decompensated congestive heart failure)
Biasanya ada riwayat perburukan progresif pada pasien yang telah diketahui gagal jantung yang
sedang dalam pengobatan dan bukti adanya bendungan paru dan sistemik.
b. Gagal jantung akut hipertensif (Acute heart failure with hypertension/crisis hypertension)
Tanda dan gejala gagal jantung disertai peningkatan tekanan darah dan biasanya fungsi ventrikel
kiri masih baik. Terdapat bukti peningkatan tonus simpatis dengan takikardi dan vasokonstriksi.
Responnya cepat terhadap terapi yang tepat dan mortaliti rumah sakitnya rendah.
c. Gagal jantung akut dengan edema paru (Acute heart failure with pulmonary edema)
Pasien yang datang dengan distress pernafasan berat, takipnoe, dan ortopnoe, dengan ronki basah
halus seluruh lapangan paru. Saturasi O2 arteri biasanya < 90 pada udara ruangan sebelum
diterapi oksigen.
d. Syok kardiogenik (Cardiogenic shock/ low output syndrome)
Adanya bukti hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah dilakukan koreksi preload dan
aritmia mayor. Bukti hipoperfusi organ dan bendungan paru terjadi dengan cepat.
e. High output failure
Ditandai tingginya curah jantung, umumnya disertai laju jantung yang sangat cepat
(penyebabnya antara lain : aritmia, tirotoksikosis, anemia, penyakit paget, iatrogenik), dengan
perifer hangat, kongesti paru, dan kadang tekanan darah yang rendah seperti pada syok septik.
f. Gagal jantung kanan (Righ-sided acute heart failure)
18

Ditandai oleh sindrom low output dengan peningkatan tekanan vena sentral tanpa disertai
kongesti paru.
g. Sindrom koroner akut dan gagal jantung
Banyak pasien gagal jantung datang dengan gambaran klinis dan bukti laboratoris sindrom
koroner akut. Sekitar 15% pasien dengan sindrom koroner akut memiliki tanda dan gejala gagal
jantung akut.
Ada beberapa klasifikasi lain Gagal Jantung Akut yang biasa dipakai di perawatan intensif, yaitu
klasifikasi Killip yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan foto thoraks, serta klasifikasi Forrester
berdasarkan gambaran klinis dan dan status hemodinaik pada infark miokard akut. Tabel berikut
menggambarkan mengenai klasifikasi gagal jantung pada infark miokard akut3

Tabel 1. Klasifikasi Forrester gagal jantung


Klasifikasi Forrester

Perfusi dan PCWP normal

Hipovolemik (poor perfusion and low PCWP)

Edema paru (near normal perfusion and high PCWP)

Syok kardiogenik (poor perfusion and high PCWP)

Klasifikasi yang lain telah divalidasi pada perawatan kardiomiopati, yang berdasarkan sirkulasi
perifer (perfusion) dan auskultasi paru (congestion), diklasifikasikan menjadi

Kelas I (A)

: kering dan hangat (warm and dry)

Kelas II (B)

: basah dan hangat (wet and warm)

Kelas III (L) : kering dan dingin (dry and cold)

Kelas IV (L) : basah dan dingin (wet and cold)

B. Gagal Jantung Kronik


Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik hampir
tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel.

19

Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang
kompleks yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat
atau aktivitas, edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan isrirahat.
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan abnormalitas struktural jantung (ACC/AHA) atau
berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA)

Gambar 1. Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan abnormalitas struktural jantung


(ACC/AHA) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA)
Tabel 2. Perbandingan antara gagal jantung akut dan gagal jantung kronik
Gagal jantung
akut

Decomp Chronic

Derajat simptom
Edema paru
Edema perifer
Overload
volume

Jelas
Sering
Jarang
Tidak

HF
jelas
Sering
Sering
ada Meningkat jelas

cairan tubuh

perubahan

atau

meningkat ringan
20

Gagal jantung
kronik
Ringan - sedang
Jarang
Sering
Meningkat

Kardiomegali
Jarang
Fungsi
sistolik Hypo,
ventrikel
Wall stress
Aktivasi

Lazim
normo, Menurun

hiperkontraktilitas
Meningkat
sistem Jelas

saraf simpatis
Aktivasi aksis RAA

Sering meningkat

Lazim
Menurun

Meningkat
jelas

Meningkat
Ringan - sedang

jelas

Ringan berat

1.3. Etiologi dan Faktor Presipitasi


Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi penting untuk mengetahui
penyebab gagal jantung, di negara maju penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan
penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah
penyakit katup jantung dan penyakit jantung akibat malnutrisi6.
Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada
perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan
kolesterol HDL dikatakan sebagai factor risiko independent perkembangan gagal jantung.
Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa
penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk
hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri
sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan
untuk terjadinya aritmia. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertropi ventrikel kiri
berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung. Adanya krisis hipertensi dapat
menyebabkan timbulnya gagal jantung akut.
Kardiomiopati merupakan penyakit otot jantung yang bukan disebabkan oleh penyakit koroner,
hipertensi, maupun penyakit jantung congenital, katup ataupun penyakit perikardial.
Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional : dilatasi (kongestif), hipertropik,
restriktif, dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan kelainan dilatasi pada ventrikel kiri
dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit
jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strtrauss dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati
hipertropik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominant) meski secara sporadic
masih memungkinkan. Ditandai adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas
hipertropi septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta
(kardiomiopati hipertropik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta
21

compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi
diastolic (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel7. Kardiomiopati peripartum
menyebabkan gagal jantung akut.
Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung rematik. Penyebab utama terjadinya gagal
jantung adalah regurgutasi mitral dan stenosis aorta. Regurgitasi mitral dan aorta menyebabkan
kelebihan beban (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan
(peningkatan afterload).
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagagl jantung dan dihubungkan dengan kelainan
struktural termasuk hioertropi ventrikel kiri. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan.
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun
gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan
kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkohol). Alkohol menyebabkan gagal jantung 23% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan malnutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-obatan
juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus
seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap
otot jantung.
III.

PATOGENESIS

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi jantung berakibat
jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/ atau
kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (filling
pressure).
Kerja jantung diatur oleh dua sistem yang berbeda. Sistem pertama adalah regulasi secara
intrinsik yang melibatkan respon miokard untuk meregangkan serat otot jantung sebelum proses
kontraksi (inotropik). Hal ini disebut preload dan melibatkan proses pengisian jantung selama
diastolik seperti volume diastolik akhir. Respon miokard untuk meningkatkan kapasitas jantung
setelah kontraksi dimulai disebut afterload. Sistem kedua merupakan regulasi secara ekstrinsik
yang melibatkan respon jantung terhadap kondisi-kondisi seperti stimulasi neural, hormon, obat
dan penyakit. Setiap perubahan pada kedua sistem tersebut menyebabkan gagal jantung. Selain
itu, sirkulasi paru dan perifer juga dapat memperburuk kondisi hemodinamik dari gagal jantung.
22

Gambar 2. Kerja jantung diatur oleh dua mekanisme, yaitu regulasi intrinsik (preload dan
afterload) dan regulasi ekstrinsik yang melibatkan stimulasi neural dan hormon
3.1. Hukum Starling tentang Jantung
Hukum ini pertama kali dicetuskan oleh Frank dan Starling, menyebutkan bahwa pada kondisi
fisiologi normal, tekanan yang dihasilkan oleh otot yang berkontraksi akan lebih besar bila
sebelumnya otot mengalami peregangan. Hal ini mengakibatkan selama diastolik, jika terjadi
pengisian darah yang lebih besar ke dalam ventrikel dapat menyebabkan kontraksi berikutnya
menjadi penuh tekanan.
Menurut hukum Starling, suatu peningkatan pada volume diastolik akhir (preload) menyebabkan
jantung memulai kontraksinya pada tekanan dan volume yang lebih tinggi. Volume sistolik akhir
akan sedikit meningkat namun pada kondisi ini jantung akan bekerja pada volume diastolik akhir
yang lebih besar dan akibatnya akan mengeluarkan volume stroke yang lebih besar juga.
Karena itu jantung mempunyai kemampuan intrinsik sendiri untuk mengontrol volume stroke.
Batas atas pada kontrol ini dicapai jika diperoleh volume diastolik akhir tertentu tercapai,
sehingga menghasilkan panjang jaringan miokard yang optimal8.

23

Gambar 3. Hukum Starling menyatakan bahwa peningkatan pada volume diastolik akhir
(preload) menyebabkan jantung memulai kontraksinya pada tekanan dan volume lebih
tinggi
3.2. Perubahan pada gagal jantung
Pada kasus terjadi gagal jantung sistolik terdapat kontraktilitas ventrikel kiri yang terganggu
sehingga terjadi pengurangan kemampuan meningkatkan volume stroke dengan meningkatkan
preload dan terjadi pergerakan kurva lebih ke sebelah kanan/ bawah dari posisi normal. Jika
kondisi ventrikel kiri memburuk, tekanan volume jantung akan terus meningkat dan
menyebabkan kongesti vena paru. Setiap pengurangan pada preload, dengan peningkatan
afterload atau peningkatan tekanan inotropik atau keduanya akan menyebabkan pengurangan
tekanan pengisian ventrikel dan kerja ventrikel akan membaik.
Pada fase awal gagal jantung terdapat 2 mekanisme yang dapat dilakukan untuk memperbaiki
kontraktilitas miokard, yaitu:
1) mekanisme Starling
2) aktivasi sistem saraf simpatik
Selanjutnya akibat hipertropi miokard, pelemahan sistem saraf simpatik dan pengeluaran peptida
natriuretik atrium mengkompensasi peningkatan tekanan dinding jantung.
Jika penyakit bertambah parah, hipertropi menyebabkan perburukan fungsi jantung dan
menyebabkan abnormalitas aliran koroner, morfologi kapiler, karakteristik mitokondria dan
penghantaran fosfat berenergi tinggi. Selain itu, terjadi iskemia subendokard akibat peningkatan
24

tekanan intraluminal, vasokontriksi akibat norepinefrin dan angiotensin II, dan juga apoptosis
yang menyebabkan fibrosis. Semua ini memperburuk kondisi gagal jantung.
3.3. Disfungsi Diastolik dan Sistolik
Gagal jantung akibat disfungsi sistolik merupakan akibat dari ketidakmampuan jantung untuk
berkontraksi secara normal. Jantung tidak dapat memompa darah jika otot melemah sehingga
menyebabkan penurunan volume darah yang dipompa ke seluruh tubuh dan paru-paru, yang
terutama akan menyebabkan pembesaran ventrikel kiri.
Gagal jantung akibat disfungsi diastolik diperoleh dari dinding jantung yang menebal sehingga
jantung tidak dapat mengisi darah dengan normal, akibatnya akan terjadi penempatan cadangan
darah pada atrium kiri dan pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan kongestif.
3.4. Aktivasi Neurohormonal
Selama ini terdapat pengertian bahwa respon neurohormonal berperan dalam patogenesis gagal
jantung. Respon ini pada awalnya menguntungkan, namun selanjutnya menyebabkan perburukan
pada gagal jantung. Respon ini menghasilkan beberapa perubahan hemodinamik, seperti
vasokontriksi dan retensi volume air. Selain itu, respon ini juga menyebabkan reaksi inflamasi
dan berpengaruh pada pertumbuhan. Aktivasi reaksi neurohormonal dimulai dari aktivasi sistem
saraf simpatik.
Mekanisme

Tabel 3. Respon Neurohormonal


Respon
kompensasi
jangka

Respon

I. Hemodinamik

pendek
Mempertahankan tekanan darah

panjang
Menurunkan curah jantung dan

dan

peningkatan

Vasokonstriksi

curah

jantung

dengan

maladaptif

konsumsi

jangka

energi

meningkatkan afterload

miokard

Retensi caiaran dan elektrolit

Mempertahankan curah jantung

Menyebabkan

Peningkatan efek adrenergik

dengan meningkatkan preload


Mempertahankan curah jantung

kongesti paru
Menyebabkan nekrosis kardiak,

II. Inflamasi

Memberikan

aritmia dan kematian mendadak


Menyebabkan apoptosis kardiak,

III. Pertumbuhan

perlindungan

edema

terhadap mikroorganisme dan zat

kaheksia dan nekrosis

asing
Hipertropi

Hipertropi

akibat

peningkatan

yang

dan

selanjutnya

jumlah sarkomer, menurunkan

menyebabkan

kebutuhan

kebutuhan energi, apoptosis dan

dan

kemampuan

25

peningkatan

menyimpan

energi,

nekrosis jantung

mempertahankan curah jantung

3.3.1. Sistem Saraf Simpatik


Sistem saraf simpatik bekerja melalui reseptor dan adrenergik, yang pada awalnya
memperbaiki curah jantung. Namun aktivitas yang tertahan dari sistem saraf simpatik merubah
gagal jantung kompensasi menjadi gagal jantung simptomatik yang mengakibatkan efek yang
tidak diinginkan, yaitu mempengaruhi kinerja ventrikel.
3.3.2. Sistem Renin-angiotensin-aldosteron (Renin-angiotensin-aldosteron system/ RAAS)
Aktivasi RAAS berperan dalam patogenesis gagal jantung. Sistem ini bertanggung jawab
terhadap respon maladaptif jangka panjang yang mengakibatkan perburukan gagal jantung.
RAAS diaktifkan oleh sistem saraf simpatik, menurunnya tekanan arteri renal, hiponatremi,
diuretik dan vasopresin. Hal ini menyebabkan suatu jalur reaksi proteolitik yang mengakibatkan
pembentukan angiotensin II. Angiotensin II ini yang kemudian mengakibatkan berbagai respon
maladaptif.
Fenomena pelepasan angiotensin
Penghambat ACE menurunkan tekanan darah dengan menurunkan kadar angiotensin II dan
aldosteron. Hal ini terjadi karena penghambatan proses perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II, yang dipengaruhi oleh enzim ACE, sehingga akhirnya merusak sistem RAAS.
Selain dengan mengurangi kadar angiotensin II, efek antihipertensi juga dipengaruhi oleh
penurunan pelepasan norepinefrin pasca sinaptik, penghambatan RAAS pada pusat vasomotor di
medula oblongata dan akumulasi bradikinin. ACEI tidak menghambat produksi angiotensin II
melalui mekanisme non-ACE sehingga kadar angiotensin II tidak dapat ditekan secara total.
Akibatnya, kadar angiotensin II dapat kembali normal. Hal ini disebut fenomena pelepasan
angiotensin.

GLIKOSIDA JANTUNG (DIGOXIN)

26

Gambar 4. Efek Sistem Renin-angiotensin-aldosteron

3.3.3. Jalur Asam Arakidonat


Jalur asam arakidonat menyebabkan peningkatan konsentrasi prostaglandin E2 dan I2, yang
melindungi mikrosirkulasi glomerulus selama vasokonstriksi renal dan menjaga filtrasi
glomerulus melalui dilatasi pembuluh arteri glomerulus aferen.
3.3.4. Sistem Kalikrein-Kinin
Sistem kalikrein-kinin membentuk bradikinin menyebabkan vasodilatasi dan natriuresis, dan
stimulasi produksi prostaglandin. Prostaglandin selain menyebabkan vasodilatasi juga
menghambat agregasi platelet.
3.3.5. Aldosteron
Aldosteron disekresi oleh korteks adrenal. Mekanisme pelepasannya pada gagal jantung
bervariasi dengan angiotensin yang merupakan stimulus terkuat untuk pelepasan aldosteron.
Peningkatan kardar aldosteron dalam serum pada kondisi gagal jantung menyebabkan :

Potensiasi katekolamin

Aritmia ventrikular
27

Fibrosis miokard

Ketidakseimbangan elektrolit

3.3.6. Peptida Natriuretik


Fungsi endokrin dari jantung telah diketahui sejak tahun 1950-an. Pada saat itu ditemukan bahwa
jantung mensekresi peptida natriuretik. Tidak seperti RAAS dan aktivasi sistem saraf simpatik,
peptida ini menahan perkembangan penyakit gagal jantung. Kemajuan ilmu terkini menunjukkan
bahwa peptida natriuretik terus meningkat perannya sebagai molekul dan indikator diagnostik
yang penting dalam terapi gagal jantung11.
Terdapat tiga bentuk peptide natriuretik yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang
luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial natriuretic peptide (ANP) dihasilkan
di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatasi. Pada
manusia Brain Natriuretic peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel,
kerjanya mirip ANP. C-type natriuretic terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf
pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. ANP dan BNP meningkat sebagai
respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap
angiotensin II pada tonus vaskuler,sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.
Karena peningkatan peptide natriuretik pada gagal jantunng, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan
sebagai terapi pada penderita gagal jantung12.

3.3.6. Hormon Antidiuretik


ADH disintesis pada hipotalamus dan disimpan dalam pituitari merupakan vasokonstriktor dan
vasodilator kuat. Dengan berikatan pada resptor V1, vasopresin menyebabkan vasokonstriksi dan
jika berikatan dengan reseptor V2 menyebabkan vasodilatasi. Vasopressin juga meningkatkan
reabsorpsi air melalui duktus pengumpul pada ginjal dan menghambat diuresis. Pada gagal
jantung, pelepasan vasopressin ditentukan oleh pengisian arteri dan kadar angiotensin II.
Peningkatan kadar vasopressin menyebabkan hiponatremia akibat pengenceran.

28

3.3.7. Endotelin
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang
bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin
meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan
pulmonary artery capillary wedge pressure.
3.4. Remodeling Jantung
Modifikasi pada fungsi dan morfologi sel otot jantung
-

Perubahan dalam anatomi sitoskeletal dan hipertropi miosit

Abnormalitas dalam homeostasis kalsium

Proses kontraksi-eksitasi

Kematian Sel

3.5. Abnormalitas lain pada Gagal Jantung


3.5.1. Kaheksia jantung dan miopati otot skelet
Kaheksia jantung merupakan miopati otot skelet atau penyusutan fisik akibat kehilangan massa
otot yang menyebabkan rasa letih akibat kehilangan massa otot yang menyebabkan rasa letih
dengan adanya gagal jantung. Diduga kaheksia jantung terjadi akibat abnormalitas yang
disebabkan oleh peningkatan kadar sitokin. Sitokin ini diproduksi dalam miokardium. Sitokin
terakumulasi dalam miokardium setelah terjadi overloading hemodinamik. Sitokin ini
menimbulkan efek sitotoksik yang menyebabkan miopati.
3.5.2 Perubahan vaskular
Endotelium vaskular yang mengatur denyut nadi dengan melepaskan

factor kontraksi dan

relaksasi pada kondisi normal dan saat beraktivitas. Pada pasien dengan gagal jantung kronis,
trdapat peningkatan

resisten perifer yang berhubungan dengan perubahan kontrol otonom,

meningkatnya denyut saraf simpatik, aktivasi RAS dan penurunan pelepasan nitrit oksid.
IV. DIAGNOSIS GAGAL JANTUNG
29

4.1 Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung


Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara luas. Diagnosis
gagal jantung mensyaratkan minimal dua criteria mayor atau satu kriteria mayor disertai dua
kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima jira kriteria minor tersebut tidak berrhubungan
dengan kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindrom
nefrotik.

Tabel 4. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung


Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan
gagal jantung
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi 120x/menit
4.2. Pemeriksaan Penunjang

30

Sebagai penunjang dari pemeriksaan klinis yang terperinci, pemeriksaan penunjang diagnostik
yang menyeluruh sangat perlu dilakukan pada pasien yang diduga kuat terkena penyakit gagal
jantung.
Pemeriksaan penunjang diagnostik juga sangat membantu pada pasien yang mengalami sedikit
gejala dan juga bermanfaat untuk mendiagnosis penyebab gagal jantung. Ejeksi Fraksi juga
ditentukan dari pemeriksaan penunjang.
5.2.1 Rontgen foto toraks
Rontgen toraks bermanfaat untuk mendiagnosis gagal jantung dan memantau respon pengobatan.
Hal berikut yang dapat ditemukan pada hasil rontgen toraks:
Tabel 5. Kelainan rontgen toraks yang sering ditemukan pada Gagal Jantung
Kelainan
Kardiomegali

Penyebab
Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel

Implikasi Klinis
Ekhokardiografi, doppler

Hipertropi ventrikel

kanan, atria, efusi perikard


Hipertensi,
stenosis
aorta,

Ekhokardiografi, doppler

Kongesti vena paru

kardiomiopati hipertropi
Peningkatan tekanan pengisian

Gagal jantung kiri

Edema interstisial

ventrikel kiri
Peningkatan tekanan pengisian

Gagal jantung kiri

Efusi pleura

ventrikel kiri
Gagal
jantung

Pikirkan diagnosis non kardiak

dengan

peningkatan pengisian tekanan


jika ditemukan bilateral, infeksi
Garis Kerley B

paru, keganasan
Peningkatan tekanan limfatik

Mitral stenosis atau gagal jantung


kronis

4.2.2. Elektrokardiogram
Hasil EKG bersama dengan gejala klinis dapat meningkatkan spesifisitas diagnosis pada pasien
yang dicurigai menderita gagal jantung.
Tabel 6. Kelainan EKG yang sering pada gagal jantung
Kelainan
Sinus takikardi

Sinus bradikardi

Penyebab
Gagal

jantung

yang

Implikasi klinis
Penilaian klinis

terdekompensasi, anemia, infeksi,

Pemeriksaan laboratorium

hipertiroidiesme
Obat bloker, anti aritmia, sick

Evaluasi terapi obat

sinus syndrome, hipotiroidisme

Pemeriksaan laboratorium

31

Atrial takikardi/ flutter/ fibrilasi

Aritmia ventrikel

Hipertiroidisme, infeksi, gagal

Konduksi

jantung terdekompensasi, infark

konversi medical, elektroversi,

Iskemia, infark, kardiomiopati,

ablasi kateter, antikoagulasi


Pemeriksaan laboratorium

miokarditis,

Tes latihan beban

hipokalemiaa,

hipomagnesemi,

overdosis

digitalis

AV

lambat,

Pemeriksaan perfusi
Angiografi koroner
Pemeriksaan

Isekmia/ Infark

yang

elektrofisiologi,

ICD
Ekokardiografi,

Penyakit jantung koroner

angiografi

troponin,
koroner,

Gelombang Q

Infark, kardiomiopati hipertropi,

revascularisasi
Ekokardiografi

Hipertropi ventrikel kiri

LBBB, pre-eksitasi
Hipertensi, penyakit katup aorta,

Angiografi koroner
Ekokardiografi, doppler

Blok AV

kardiomiopati hipertropi
Infark,
intoksikasi

obat,

Evaluasi penggunaan obat, pacu

Mikrovoltage

miokarditis, sarcoidosis
Obesitas,
emfisema,

efusi

jantung, penyakit sistemik


Ekokardiografi

Durasi QRS > 120 msec dengan

perikard, amiloidosis
Disinkroni elektronik

Rontgen trax
Ekokardiografi, CRT-P, CRT-D

morfologi LBBB

4.2.3. Pemeriksaan Laboratorium


Hematologi rutin
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menghilangkan kemungkinan, terutama, anemia pada pasien
gagal jantung lanjut. Anemia juga merupakan penyebab kesulitan bernafas dan gagal jantung
high output.
Urinalisis
Proteinuria biasa terjadi pada pasien gagal jantung yang dapat dilihat pada pemeriksaan urin
rutin.
Elektrolit serum

32

Hiponatremia, hipokalemia, hiperkalemia, dan hipomagnesia mungkin terjadi akibat penggunaan


diuretik. Ketidakseimbangan elektrolit ini dapat memicu aritmia. Hiponatremia juga merupakan
pertanda tingkat keparahan gagal jantung.

Profil Lipid
Meupakan serangkaian pemeriksaan yang menentukan risiko penyakit jantung koroner.
Pemeriksaan ini meliputi kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, dan juga perbandingan HDL/
kolesterol
Tes fungsi hati
Akibat kerusakan pada gagal jantung dapat terjadi peningkatan enzim hati dan penurunan
albumin.
Tes fungsi ginjal
Kadar kreatinin serum dan kadar nitrogen urea pada darah harus dilakukan sebelum memulai
pengobatan gagal jantung. Peningkatan kadar kreatinin serum menandakan :

Pengobatan ACEI

Pengobatan diuretik dosis tinggi

Azotemia pre-renal

Stenosis arteri ginjal

Hormon stimulasi tiroid


Gangguan fungsi tiroid merupakan penyebab gagal jantung high output. Oleh karenanya,
pemeriksaan profil tiroid disarankan pada pasien yang baru didiagnosis gagal jantung.
Peptida natriuretik
Peptida natriuretik merupakan tanda biologis (biomarker) gagal jantung yang dapat digunakan
sebagai pemeriksaan pada keadaan gawat darurat dan rawat jalan. Kelompok peptida natriuretik
terdiri dari peptida natriuretik atrium, peptida natriuretik otak (brain natiuretic peptide, BNP),
33

natriuretik tipe-C dari sistem saraf pusat, urodilatin dari ginjal, dan peptida natriuretik
dendroaspis. BNP dan bagian ujung aminonya dari projormon N-terminal-pro-BNP (NTproBNP) juga penting dalam diagnosis dan pengobatan gagal jantung. BNP berhubungan dengan
tingkat keparahan gagal jantung dan memperkirakan prognosis.
Tabel 7. Kadar peptida natriuretik pada diagnosis gagal jantung
Pemeriksaan BNP dan NT-proBNP dengan indikator nilai untuk diagnosis gagal jantung
Usia (tahun)
Cenderung
bukan Kemungkinan
Kemungkinan

BNP
NT-proBNP

semua
< 50
50-75
>75

gagal jantung

gagal jantung

besar

gagal

<100 pg/mL
<300 pg/mL
<300 pg/mL
<300 pg/mL

100-500 pg/mL
300-450 pg/mL
450-900 pg/mL
900-1800 pg/mL

jantung
>500 pg/mL
>450 pg/mL
>900 pg/mL
>1800 pg/mL

4.2.4. Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan pengujian non invasif yang paling bermanfaat dalam membantu
menilai struktur dan fungsi jantung. Pemeriksaan ini merupakan standar utama (gold standar)
untuk menilai gangguan fungsi sistol ventrikel kiri dan membantu memperkirakan hasil dan
kemampuan bertahan kasus gagal jantung.
4.2.5. Radionuklir
A. MUGA Scan (Multiple Gated Acquisition Scan)
Merupakan pemeriksaan non invasif untuk menilai fungsi jantung. MUGA scan menghasilkan
gambar dari detak jantung yang membantu menentukan kesehatan jantung15.
MUGA scan dilakukan dengan sel berwarna merah yang diberi label Technetium-99m untuk
menilai:
-

Ejeksi fraksi

Kecepatan pengisian sistolik

Kecepatan pengosongan diastolik

Abnormalitas gerakan dinding

Perfusi miokard

34

Daerah iskemia koroner

Stunning miokard

B. Positron Emission Tomography Scanning


Merupakan perangkat diagnostik yang memperlihatkan perkembangann gambaran fisiologis
berdasarkan deteksi radiasi dari emisi positron. Positron adalah partikel penting yang diemisikan
dari senyawa radioaktif yang diamsukkan ke dalam pasien. Gambar yang dihasilkan dapat
membantu mengevaluasi penyakit. PETS jantung membantu menentukan aliran darah dari otot
jantung, dan membantu mengevaluasi penyakit jantung koroner. Scanning ini juga membantu
menentukan daerah yang mengalami penurunan fungsi jantung, yang bermanfaat pada tindakan
seperti angioplasti atau CABG.
4.2.6. Cardiac MRI dan CT
Menilai

fraksi

pengeluaran

dan

gerakan

dinding,

namun

pemeriksaan

ini

jarang

direkomendasikan16.
4.2.7. Pemeriksaan Katerisasi Jantung
Tindakan invasif berikut dapat dilakukan terhadap pasien dengan gagal jantung. Pemeriksaan
kateterisasi jantung : kateterisasi sisi kiri bermanfaat untuk menilai tekanan diastolik akhir dan
kateterisasi sisi kanan bermanfaat untuk menilai kejenuhan oksigen dan tekanan wedge arteri
kapiler.
A. Angiografi koroner
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada pasien yang diduga menderita iskemia jantung bersamaan
dengan gagal jantung. Angiografi juga merupakan cara pemeriksaan yang akurat untuk
menentukan ejeksi fraksi.
B. Biopsi endomiokard
Pemeriksaan ini perlu dilakukan ketika diagnosis mengarah pada kecurigaan adanya
kardiomiopati infiltratif, penyakit perikardia atau miokarditis.

35

4.2.8. Exercise Stress Test


Tes ini dapat dilakukan menggunakan obat seperti dipiridamol dan dobutamin (pharmacological
stress test) atau dengan olahraga (exercise stress test).
Exercise test bermanfaat untuk mengidentifikasi sisa iskemia pada pasien dengan gagal jantung.
Pasien gagal jantung mempunyai kemampuan berolahraga yang rendah; dan konsumsi oksigen
maksomal serta produksi karbondioksida yang berhubungan dengan tingkat keparahan gagal
jantung. Selain itu, konsumsi oksigen maksimal adalah pertanda dari prognosis jangka panjang.
4.2.5. Pemeriksaan Fungsi Paru
Pasien yang dicurigai gagal jantung disarankan melakukan pemeriksaan fungsi paru untuk
menhilangkan dugaan gangguan saluran nafas sebagai penyabab kondisi kesulitan bernafas pada
hasil diagnosis. Pada gagal jantung, mungkin terdapat penurunan puncak kecepatan aliran
ekspirasi dan volume ekspirasi maksimal, namun demikian, ini tidak seberat penyakit saluran
nafas (puncak kecepatan aliran akspirasi < 200 L/menit).
V. TATALAKSANA
Tujuan pengobatan gagal jantung :
a. Menurunkan mortalitas
b. Mempertahankan / meningkatkan kualitas hidup
c. Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresifitas kerusakan miokard, remodelling
miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung dan akumulasi cairan, dan perawatan di rumah
sakit.

A. Tatalaksana Gagal Jantung Kronik


5.1 Tatalaksana Non Farmakologi

36

Perawatan Mandiri
Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat
memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan pasien, kapasitas fungsional, well being,
morbiditi dan prognosis. Perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk
kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan. Topik-topik penting dan perilaku perawatan
mandiri sebagai berikut:

Tabel 8. Topik-topik penting dalam edukasi pasien tentang keterampilan yang diperlukan
dan perilaku perawatan mandiri
Topik Edukasi
Definisi dan etiologi gagal jantung

Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri


Memahami penyebab gagal jantung dan mengana keluhan-

Gejala-gejala

keluhan timbul
Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung

dan

tanda-tanda

gagal jantung

Mencatat berat badan setiap hari


Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan

Terapi farmakologik

Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai anjuran


Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat digunakan

Modifikasi faktor risiko

Mengenal efek samping yang umum obat


berhenti merokok, memantau tekanan darah

Rekomendasi diet
Rekomendasi olah raga
Kepatuhan
Prognosis

Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas


Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi
Melakukan olah raga teratur
mengikuti anjuran pengobatan
Mengerti pentingnya faktor-faktor progmostik
membuat keputusan realistik

37

dan

5.2 Tatalaksana Farmakologik


A. Gagal Jantung Kronik
Sudah diakui bertahun-tahun, obat golongan diuretik dan digoksin digunakan dalam terapi gagal
jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan meningkatkan kualitas hidup, namun belum terbukti
menurunkan angka mortalitas. Setelah ditemukan obat yang dapat mempengaruhi sistem
neurohumoral, RAAS dan sistem saraf simpatik, morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung
membaik13
5.2.1. Angiotensin converting enzyme (ACEI)
Pengobatan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien, menurunkan
angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan
(Kelas rekomendasi I, tingkat bukti A)
Pasien yang harus mendapatkan ACEI :
-

LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.

Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi

Memulai pemberian ACEI :


-

Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.

Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam

Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia

Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara cepat
sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.

5.2.2. Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)


ARB direkomendasikan pada penderita gagal jantung dengan LVEF < 40% yang masih
simptomatik dengan terapi optimal ACEI dan beta bloker serta antagonis aldosteron. Pengobatan
dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien dan menurunkan angka masuk
rumah sakit untuk perburukan gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A). ARB
direkomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang tidak toleran terhadap ACEI (Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti B). ARB menurunkan risiko kematian dengan penyebab
kardiovaskular (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
38

Pasien yang harus mendapatkan ARB :


-

LVEF < 40%

Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional IIIV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.

Atau pada pasien dengan gejala menetap (kelas fungsional II-IV NYHA) walaupun sudah
mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.

Memulai pemberian ARB:


-

periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.

Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia

Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara cepat
sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.

5.2.3. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dan tanda-tanda klinis/ gejala kongesti
(Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
Memulai pemberian diuretik :
-

Periksa fungsi renal dan elektrolit serum

Kebanyakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazide karena efisiensinya


lebih menginduksi diuresis dan natriuresis

Penyesuaian sendiri dosis diuretik berdasarkan penghitungan berat harian dan tanda klinis
lainnya dari retensi cairan.

5.2.4. Antagonis Aldosteron


Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan
meningkatkan survival jika ditambahkan pada terapi yang sudah ada, termasuk dengan ACEI.
Jika tidak ada kontraindikasi, aldosteron antagonis ditambahkan pada keadaan LVEF <35%
dengan gejala gagal jantung yang berat (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :
-

LVEF < 35%

Gejala menengah sampai berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)


39

Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB

Memulai pemberian spironolakton :


-

Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan meningkatkan dosis jika
terjadi pernurukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.

5.2.5. Beta bloker


Beta bloker diberikan pada semua penderita gagal jantung simptomatik dan LVEF<40%
bila tidak ada kontraindikasi. Beta bloker memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup
pasien, menurunkan angka masuk RS untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan
harapan hidup. Terapi beta bloker seharusnya sudah dimulai di RS sebelum pasien dipulangkan
(Kelas rekomendasi I, tingkat bukti A)
Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:
-

Mengurangi detak jantung : memperlambat pengisian diastolik sehingga memperbaiki


perfusi miokard.

Meningkatkan LVEF

Menurunkan pulmonary capillary wedge pressure

Pasien yang harus mendapatkan beta bloker :


-

LVEF <40%

Gejala ringan sampai berat

ACEI/ ARB sudah mencapai tingkat dosis optimal

Pasien harus secara klinis stabil (contoh : tidak ada perubahan terbaru dari dosis diuretik).

Memulai pemberian beta bloker :


-

Beta bloker dapat dimulai sebelum pemulangan dari rumah sakit pada pasien yang
dikompensasi dengan hati-hati.(Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A)

Kunjungan tiap 2-4 minggu untuk meningkatkan dosis beta bloker. Jangan meningkatkan
dosis jika terdapat tanda-tanda perburukan gagal jantung, hipotensi gejala atik (perasaan
melayang) atau bradikardi berat (nadi < 50 x / menit) pada tiap kunjungan.

5.2.6. Glikosida jantung

40

Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan meningkatkan


kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas dalam protein kontraktil,
yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium intrasel akibat penghambatan NaKATPase
dan pengurangan relatif dalam ekspulsi kalsium melalui penggantian Na + Ca2+ akibat peningkatan
natrium intrasel.
Pada penderita gagal jantung simptomatik dengan AF, digoksin diberikan untuk mengontrol
rapid ventricular rate (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C). Pada penderita gagal jantung
dengan irama sinus dan LVEF < 40%, terapi dengan digoksin (sebagai tambahan ACEI)
memperbaiki fungsi ventrikel, mengurangi angka masuk RS karena perburukan gagal jantung
namun tidak berpengaruh terhadap survival (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B). Digoksin
memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
-

Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi ventrikel
kiri.

Menstimulasi baroreseptor jantung

Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan penekanan


sekresi renin dari ginjal.

Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal tone.

Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat > 80x/ menit, dan saat
aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.

Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%) yang
mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta bloker dan antagonis
aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan.

5.2.7 Senyawa amin simpatomimetik


Senyawa amin simpatomimetik seperti dopamin dan dobutamin dapat digunakan dalam
penatalaksanaan gagal jantung. Senyawa ini merupakan agonis beta1 selektif yang dapat
meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel.
-

efek inotropik positif

efek vasodilator yang dapat menurunkan afterload

Efek dopamin sangat tergantung dosis:


41

dosis rendah (0,5-3 ug/kg/menit) menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan diuresis

dosis sedang (3-10 ug/kg/menit) menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dan


detak jantung

dosis tinggi (10-20 ug/kg/menit) menyebabkan vasokonstriksi perifer dan meningkatkan


tekanan darah.

Obat ini harus dihindari penggunaannya pada pasien AMI dan hipotensi14.

5.2.8 Terapi vasodilator


A. Antagonis kalsium
Antagonis kalsium dikontraindikasikan pada gagal jantung karena memiliki efek inotropik
negatif yang dapat memperburuk gejala gagal jantung. Amlodipin merupakan satu-satunya
antagonis kalsium yang dapat menurunkan mortalitas pada gagal jantung.
B. Senyawa nitrat dan donor nitrit oksida
Nitroprusid bekerja menyebabkan relaksasi otot polos secara langsung dan kemudian
mengurangi afterload dan preload. Pengurangan dalam afterload menimbulkan peningkatan
curah jantung17.
Keterbatasan penggunaan nitroprusid yang utama adalah adanya kondisi hipotensi. Karena itu
penggunaannya dikontraindikasikan pada pasien dengan infark miokard akut. Pada saat
memberikan nitroprusid, sebaiknya dilakukan monitoring tekanan darah intra arteri.
C. Hidralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN)
Pengobatan dengan H-ISDN dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko kematian (Kelas
Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B), angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung
(Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B) dan memperbaiki fungsi ventrikel dan kapasitas
latihan (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti A).
Pasien yang seharusnya mendapatkan H-ISDN
-

Pengganti ACEI/ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi

42

Sebagai tambahan terhadap pengobatan dengan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron
tidak dapat ditoleransi atau gejala menetap walaupun sudah mendapatkan terapi ACEI,
ARB, BB, dan antagonis aldosteron.

Memulai pemberian H-ISDN :


Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 2-4 minggu. Jangan meningkatkan dosis pada hipotensi
yang simtomatis.
E. Nitrogliserin intravena
Nitrogliserin bekerja dengan mengurangi preload. Terapi dengan nitrogliserin merupakan terapi
dengan kerja cepat yang efektif dan dapat diprediksi hasilnya dalam mengurangi preload. Data
menunjukkan bahwa nitrogliserin intravena juga dapat mengurangi afterload. Oleh karena itu,
nitrogliserin intravena merupakan terapi tunggal yang baik untuk pasien dengan gagal jantung
dekompensasi berat.
5.2.9 Peptida natriuretik
Peptida natriuretik sebagai senyawa ideal bagi terapi gagal jantung. Senyawa peptida ini bekerja
menyebabkan :
-

Natriuresis.

Diuresis.

Dilatasi vena dan arteri.

Penghambatan sistem saraf simpatis.

Antagonis protein pada rantai RAAS.

Penghambatan kontriksi otot polos vaskular.

5.2.10 Trombolitik
A. Antiplatelet
Penggunaan antiplatelet pada gagal jantung masih diperdebatkan. Aspirin

memperlihatkan

perburukan gagal jantung berdasarkan pada proses penghambatan prostaglandin. Penelitian lain
memperlihatkan bahwa efikasi ACEI dapat menurun jika diberikan bersamaan dengan aspirin18.
43

Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan pada penderita dengan gagal
jantung dengan AF yang permanen, persisten atau paroksismal tanpa kontraindikasi terhadap
antikoagulan. Penyesuaian dosis antikoagulan menurunkan risiko komplikasi tromboemboli
termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
B. Antikoagulan
Antikoagulan seperti warfarin diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan:
-

Fibrilasi atrial

Riwayat tromboembolik

Trombus pada ventrikel kiri

Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan pada penderita dengan gagal
jantung dengan AF yang permanen, persisten atau paroksismal tanpa kontraindikasi terhadap
antikoagulan. Penyesuaian dosis antikoagulan menurunkan risiko komplikasi tromboemboli
termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A). Antikoagulan juga direkomendasikan
pada penderita dengan trombus intrakardiak yang dideteksi dengan imaging atau bukti emboli
sistemik (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C).
Tabel 9. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung
Obat
ACEI
Captopril
Enalapril
Lisinopril
Ramipril
Trandolapril
ARB
Candesartan
Valsartan
Beta bloker
Bisoprolol
Carvedilol
Metoprolol succinat
Nebivolol
Hidralazin ISDN
Hidralazin ISDN
Antagonis aldosteron
Eprlerenone
Spironolakton

Dosis awal

Dosis target

3 x 6,25 mg
2 x 2,5 mg
1 x 2,5 5 mg
1 x 2,5 mg
1 x 0,5 mg

3 x 50-100 mg
2 x 10-20 mg
1 x 10 20 mg
2 x 5 mg
1 x 4 mg

1 x 4 - 8 mg
2 x 40 mg

1 x 32 mg
2 x 160 mg

1 x 1,25 mg
2 x 3,125 mg
1 x 12,5 25 mg
1 x 1,25 mg

1 x 10 mg
25-50 mg
200 mg
1 x 10 mg

3 x 37,

3 x 75-40 mg

1 x 25 mg
1 x 25 mg

1 x 50 mg
1 x 25 50 mg

5.3. Alat dan Pembedahan


44

Prosedur revaskularisasi, pembedahan valvular dan ventricular, jika simtom klinis dari gagal
jantung muncul, kondisi koreksi secara bedah harus dideteksi dan dilakukan jika ada indikasi.
5.3.1. Revaskularisasi pada pasien dengan gagal jantung
CABG atau PCI harus diperimbangkan pada pasien gagal jantung dengan CAD terseleksi.
Keputusan pilihan metode revaskularisasi harus berdasarkan pada evaluasi mendetil terhadap
faktor komorbiditi, risiko prosedur, anatomi koroner dan bukti dari ekstensi miokardium yang
maz viable pada daerah yang akan direvaskularisasi, fungsi ventrikel kiri dan keberadaan dari
penyakit katup.
5.3.2. Operasi katup
Aortik stenosis
Direkomendasikan pada pasien yang sesuai dengan simtom gagal jantung dan aortic stenosis
berat. Durekomendasikan pada psien asimtomatis dengan AS dan perburukan LVEF (<50%).
Dapat dipertimbangkan pada pasien dengan area katup yang tereduksi berat dan disfungsi
ventrikel kiri.
Aortik regurgitasi (AR)
Pembedahan direkomendasikan pada pasien yang sesuai dengan AR berat yang mempunyai
simtom gagal jantung. Direkomendasikan pada pasien asimtomatis dengan AR berat dan
perburukan sedang dari LVEF (<50%)
Mitral regurgitasi
Pembedahan direkomendasikan pada pasien dengan LVEF > 30% (perbaikan katup jika
memungkinkan) Dapat dipertimbangkan pada pasien terseleksi dengan fungsional MR berat dan
fungsi ventrikel kiri terdepresi berat, yang tetap mempunyai simtom walaupun pengobatan
medikal sudah optimal.
Regurgitasi Trikuspid
TR fungsional sangat biasa pada pasien gagal jantung dengan dilatasi biventrikular, disfungsi
sistolik dan hipertensi pulmoner.

45

5.3.3. Cardiac Resynchronization Therapy (CRT)


CRT-P direkomendasikan untuk mengurangi morbiditi dan mortaliti pada pasien NYHA kelas
III-IV yang simptomatik meski dengan terapi medikamentosa optimal, yang memiliki penurunan
fraksi ejeksi (LVEF 35%) dan pemanjangan QRS (lebar QRS 120 ms). CRT dengan fungsi
defibrilator (CRT-D) direkomendasikan untuk mengurangi morbiditi dan mortaliti pada pasien
NYHA kelas III-IV yang simptomatik meski dengan terapi medikamentosa optimal, yang
memiliki penurunan fraksi ejeksi (LVEF 35%) dan pemanjangan QRS.
5.3.4. Implantable cardioverter defibrilator (ICD)
Terapi ICD untuk pencegahan sekunder direkomendasikan pada survivors VF dan juga pasien
dengan VT tak stabil terdokumentasi dan atau VT dengan sinkop, LVEF 40%, dalam terapi
medikamentosa optimal dan dengan harapan hidup dengan status fungsional yang baik lebih dari
1 tahun.
Terapi ICD untuk pencegahan primer direkomendasikan untuk mengurangi mortaliti pada pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri karena memiliki fraksi ejeksi 35%, NYHA II-III, menerima terapi
medikal optimal dan memiliki harapan survival dengan status fungsional yang lebih baik dari 1
tahun.
Terapi ICD untuk pencegahan primer direkomendasikan untuk mengurangi mortaliti pada pasien
kardiomiopati non iskemik dengan LVEF 35%, NYHA II-III, menerima terapi medikal optimal
dan memiliki harapan survival dengan status fungsional yang lebih baik dari 1 tahun.

46

You might also like