You are on page 1of 27

LAPORAN KASUS

OS PTERIGIUM GRADE III


OD PTERIGIUM GRADE II
ODS PRESBIOPIA
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Mata
RST dr. Soedjono Tingkat II Magelang

Pembimbing :
dr. Dwidjo Pratiknjo, Sp.M
dr. Hari Trilunggono, Sp.M
Disusun Oleh :
Masagus Mohammad Edsel Qasswara (141.0211.056)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAKARTA
2015

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS

OS PTERIGIUM GRADE III


OD PTERIGIUM GRADE II
ODS PRESBIOPIA

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik

di

Bagian Ilmu Penyakit Mata RST Tingkat II 04.05.01


dr. Soedjono Magelang

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal : 18 Agustus 2015

Disusun oleh :
Masagus Mohammad Edsel Qasswara (141.0211.056)
Mengetahui dan Menyetujui,
Pembimbing,

(dr. YB. Hari Trilunggono, Sp.M)

( dr. Dwidjo Pratiknjo, Sp.M )

BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari
arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pterigium tumbuh berbentuk sayap
pada konjungtiva bulbi. Asal kata pterigium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya
sayap.
Pada umumnya pterigium tidak bertumbuh ataupun membesar, namun kelainan bisa terjadi
hingga pterigium menutupi bagian kornea mata. penyebabnya sampai saat ini belum begitu jelas.
namun secara statistik, penyakit ini banyak menimpa para pekerja out door yang banyak
melakukan aktivitas di luar ruangan, hingga lebih sering terkena sinar matahari, angin dan debu.
Oleh karena itu penyakit ini lebih banyak dijumpai di daerah tropis.
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya.
Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o
lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36 o. Sebuah hubungan terdapat antara
peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis
lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan
relatif angka kejadian di lintang bawah. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium.
Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden
tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterigium rekuren sering terjadi pada umur muda
dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan
berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar
rumah.
Mengingat Indonesia merupakan Negara tropis sehingga angka kejadin pterigium cukup
banyak. Selain perasaan tidak nyaman dan terasa seperti menganjal, pterigium juga dapat
menyebabkan gangguan penglihatan serta dapat menyebabkan gangguan pada otot-otot
pergerakan bola mata. Untuk menghindari komplikasi dari penyakit tersebut, maka pterigium
harus dilepaskan atau ekstirpasi. Tindakan operatif pada pterigium tidak memerlukan operasi
besar di kamar operasi tetapi dapat dilakukan dengan anestesi lokal.

BAB II
STATUS PASIEN
1. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. H

Umur

: 45 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Mertoyudan

Pekerjaan

: Tenaga Kerja Wanita

Status

: Menikah

Tanggal masuk poli

: 10 Agustus 2015

2. ANAMNESIS
a. Keluhan utama
Pasien melihat terdapat bercak kuning pada mata kiri dan kanan pasien
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poli mata RST Soedjono dengan keluhan terdapat bercak di mata
kanan dan kiri. Bercak pada mata kiri diketahui oleh pasien semenjak 1 tahun yang lalu saat
pasien sedang berkaca berwarna merah. Pasien tidak merasakan adanya gangguan
penglihatan akibat bercak tersebut. Bercak pada mata kanan diketahui oleh pasien semenjak
tahun yang lalu dan berwarna merah. Pasien tidak merasakan adanya gangguan
penglihatan akibat bercak tersebut. Selain itu pasien juga mengatakan tidak dapat membaca
tulisan dari dekat sehingga pasien lebih nyaman membaca tulisan lebih jauh. Pengelihatan
jauh pasien tidak terganggu. Keluhan penglihatan tersebut dirasakan sejak 2 tahun yang lalu,
lebih dulu daripada bercak. Pasien sebelumnya tidak menggunakan kacamata.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami penyakit serupa. Riwayat penyakit DM dan hipertensi
disangkal.

d. Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal serupa.
e. Riwayat pengobatan
Pasien sebelumnya belum pernah mendapatkan pengobatan.
f. Riwayat sosial ekonomi
Pasien berkerja sebagai pegawai di restoran pinggir jalan. Pasien mengaku sering
terpapar oleh sinar matahari, debu, dan asap saat berada di dapur. Kesan ekonomi cukup.
Pasien merupakan pasien umum.

3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Umum
-

Kesadaran

: Compos mentis

Aktivitas

: Normoaktif

Kooperatif

: Kooperatif

Status gizi

: Baik

b. Vital Sign
-

TD

: 120/80 mmHg

Nadi

: 85 x/menit

RR

: 16 x/menit

Suhu

: 36,50
Status Ophthalmicus

No
Pemeriksaan
1 Visus
Visus Koreksi
Bulbus okuli
Gerak bola mata
2 Enoftalmus
Eksoftalmus
Strabismus
3
Suprasilia

Oculus Dexter
6/6

Oculus Sinister
6/6
Add + 1.25

Baik ke segala arah


Normal

Baik ke segala arah


Normal

Palpebra Superior :
Vulnus laceratum
Edema
Hematom
Hiperemia
Entropion
Ektropion
Silia
Ptosis
Palpebra Inferior :
Edema
Hematom
Hiperemia
Entropion
Ektropion
Silia
Konjungtiva :
Hiperemi
Injeksi konjungtiva
Injeksi siliar
Sekret
Benjolan
Jaringan
Fibrovaskular

Kornea :
Kejernihan
Mengkilat
Edema
Lakrimasi
Infiltrat
Keratik presipitat
Ulkus
Sikatrik
Jaringan
Fibrovaskular
COA :
Kedalaman
Hifema
Hipopion
Efek tyndall

Trikiasis ( - )
-

Trikiasis ( - )
-

Trikiasis ( - )

Trikiasis ( - )

+
(selaput pada mata pada
daerah nasal hingga + 1
mm dari limbus,
berbentuk segitiga,
hiperemis)

+
(selaput pada mata
pada daerah nasal
hingga + 2-3 mm dari
limbus, berbentuk
segitiga, hiperemis)

Jernih
+
(1 mm dari limbus di sisi
nasal)

Jernih
+
(2-3 mm dari limbus di
sisi nasal)

Dalam
-

Dalam
-

10

11
12
13
14

Iris :
Kripta
Edema
Sinekia
Atrofi
Pupil :
Bentuk
Diameter
Reflek pupil
Sinekia
Lensa:
Kejernihan
Iris shadow
Fundus Refleks
Funduskopi
TIO

Normal
-

Normal
-

Bulat
3mm
-

Bulat
3mm
-

Jernih
Normal
Normal
Normal

Jernih
Normal
Normal
Normal

Gambar ilustrasi

4. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding OS Pterigium Grade III
a. OS Pterigium Grade III
1. Dipertahankan karena dari anamnesa terdapat selaput yang menutupi bagian hitam
mata, pekerjaan pasien sebagai pegawai restoran yang terpapar matahari, debu, dan
asap. Dari pemeriksaan status opthalmologi terdapat lapisan berbentuk segitiga

dengan puncak mengarah ke kornea, terlihat sebagai jaringan fibrovaskular,


berwarna kemerahan, dan meliputi kornea hingga 2-3 mm tetapi tidak menutupi
pupil
b. OS Pterigium Grade II
1. Disingkirkan karena pada grade III pterigium telah melewati limbus sejauh > 2 mm
ke arah pupil
c. OS Pseudopterigium
1. Disingkirkan karena tidak didapatkan adanya riwayat trauma pada kornea dan tidak
ada perlekatan antara konjungtiva dan kornea akibat ulkus di kornea yang menahun.
d. OS Pingekuela
1. Disingkirkan karena pada pingekuela bentuknya kecil, meninggi, masa kekuningan
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra. Pingekuela
merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa. Sedangkan pada kasus berbentuk
segitiga dan hiperemis.
Diagnosis banding OD Pterigium Grade II
e. OD Pterigium Grade II,
1. Dipertahankan karena dari anamnesa terdapat selaput yang menutupi bagian hitam
mata, pekerjaan pasien sebagai pegawai restoran yang terpapar matahari, debu, dan
asap. Dari pemeriksaan status opthalmologi terdapat lapisan berbentuk segitiga
dengan puncak mengarah ke kornea, terlihat sebagai jaringan fibrovaskular,
berwarna kemerahan, dan meliputi kornea hingga 1 mm.
f. OD Pterigium Grade I
1. Disingkirkan karena pada grade II pterigium telah melewati limbus sejauh < 2 mm
ke arah pupil dan pada grade I pterigium tidak melewati limbus
g. OD Pseudopterigium
1. Disingkirkan karena tidak didapatkan adanya riwayat trauma pada kornea dan tidak
ada perlekatan antara konjungtiva dan kornea akibat ulkus di kornea yang menahun.
h. OD Pingekuela
1. Disingkirkan karena pada pingekuela bentuknya kecil, meninggi, masa kekuningan
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra. Pingekuela

merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa. Sedangkan pada kasus berbentuk


segitiga dan hiperemis.
Diagnosis ODS Presbiopia
a. ODS Presbiopia
a. Dipertahankan karena lebih nyaman melihat benda jauh dibandingkan dekat, pasien
tidak mengalami gangguan penglihatan jauh, dan penglihatan menjadi setelah jelas
dikoreksi dengan lensa positif.
b. ODS Hipermetropia
a. Disingkirkan karena pasien tidak mengalami pandangan kabur saat melihat jauh
c. ODS Astigmatisme
a. Disingkirkan karena pasien tidak mengeluhkan pandangan berbayang saat melihat
jauh

5. DIAGNOSIS KERJA
OS Pterigium stadium III
OD Pterigium stadium II
ODS Presbiopia
6. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak diberikan
7. TERAPI
a. OS Pterigium Grade III

Terapi Non-medikamentosa
a. Menggunakan kacamata, masker, dan topi untuk menghindari paparan iritan terhadap
mata

Terapi Medikamentosa
a. Oral

: Tidak diberikan

b. Topikal

: Kloramfenikol (salep) 3x1 sehari

c. Parenteral : Tidak diberikan


d. Operatif

: Bare sclera + Graft Konjungtiva


i. Desinefksi daerah operasi
ii. Tutup daerah dengan doek steril
iii. Pasang eye speculum, irigasi dengan larutan RL + Betadine
iv. Injeksi pehacain sub pterigium
v. Kapsul pterigium dibebaskan
vi. Potong jaringan pterigium
vii. Rawat perdahan
viii. Ukur daerah konjungtiva yang akan di graft
ix. Injeksi pehacain sub konjungtiva superotemporal
x. Ambil sebgaian konjungtiva superior sesuai ukuran untuk graft
xi. Atasi perdarahan
xii. Tempatkan potongan graft di bagian nasal
xiii. Jahit menggunakan vicryl 8.0
xiv. Potong sisa konjungtiva yang masih menempel di kornea
xv. Tekan dengan cotton bud yang dioles betadine
xvi. Irigasi mata dengan menggunakan RL
xvii. Berikan salep chloramfenikol
xviii. Tutup luka operasi dengan perban
xix. Operasi selesai

b. OD Pterigium Grade II

Terapi Non-medikamentosa
a. Menggunakan kacamata, masker, dan topi untuk menghindari paparan iritan terhadap
mata

Terapi Medikamentosa
a. Oral

: Tidak diberikan

b. Topikal

: Tidak diberikan

c. Parenteral : Tidak diberikan


d. Operatif

: Tidak dilakukan

c. ODS Presbiopia

Terapi Non-medikamentosa
a. Menggunakan kacamata +1.5, diteruskan pada umur 50 menjadi +2.00, diteruskan
pada umur 55 menjadi +2.50, dan umur 60 menjadi +3.00

Terapi Medikamentosa
a. Oral

: Tidak diberikan

b. Topikal

: Tidak diberikan

c. Parenteral : Tidak diberikan


d. Operatif

: Tidak dilakukan

8. EDUKASI
a. Untuk Pterigium
i. Pasien sebaiknya menggunakan topi, kacamata, dan masker saat berkerja,
beraktivitas di luar rumah, dan berpergian untuk mengurangi pajanan
terhadap sinar matahari, debu, dan angina yang merupakan salah satu
factor risiko pterigium
ii. Memotiviasi pasien untuk dilakukan ekstirpasi pterigium, terutama untuk
mata kiri pasien
iii. Memberitahu pasien jika pterigium dapat sembuh setelah di ekstirpasi
namun bisa kembali berulang
iv. Menyarankan pasien untuk menggunakan obat tetes sesuai anjuran yang
diberikan dokter
b. Untuk Presbiopia
i. Menjelaskan bahwa penurunan tajam penglihatan pada pasien disebabkan
oleh melemahnya otot mata karena usia tua
ii. Menjelaskan bahwa jika terjadi penurunan tajam penglihatan yang terjadi
dapat diperbaiki dengan kacamata baca
iii. Menjelaskan bahwa penurunan tajam penglihatan dapat terjadi perubahan
secara terus menerus sehingga pasien harus sering control dan

menyesuaikan ukuran kacamata baca pasien sesuai dengan pertambahan


usia
iv. Mengingatkan pasien untuk memperhatikan sumber pencahayaan saat
membaca, terutama pada malam hari
9. PROGNOSIS
Prognosis

Oculus Dexter

Oculus sinister

Quo ad visam

Ad Bonam

Dubia ad malam

Quo ad sanam

Dubia Ad Bonam

Dubia ad Bonam

Quo ad functionam

Ad Bonam

Ad Bonam

Quo ad komesticam

Dubia Ad Bonam

Dubia Ad Bonam

Ad Bonam

Ad Bonam

Quo ad vitam

10. KOMPLIKASI
a. Komplikasi dari pterigium meliputi :
i. Gangguan penglihatan (Astigmatisme)
ii. Mata kemerahan
iii. Iritasi
iv. Gangguan pergerakan bola mata
v. Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
b. Komplikasi post-operatif :
i. Infeksi
ii. Ulkus kornea
iii. Graft konjungtiva terbuka
iv. Diplopia
v. Adanya jaringan parut di kornea

11. RUJUKAN

Dalam kasus ini tidak dilakukan rujukan ke Disiplin Ilmu Kedokteran Lainnya karena
dari pemeriksaan klinis tidak ditemukan kelainan yang berkaitan dengan Disipilin Ilmu
Kedokteran lainnya.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pterigium
1. Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya sayap (wing). Pterigium
didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh
menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga
dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada
cantus.
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari
arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pterigium tumbuh berbentuk sayap
pada konjungtiva bulbi. Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya sayap
(wing). Pterigium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada subkonjungtiva
dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya
berbentuk segitiga dengan kepala atau apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap
lipatan semilunar pada cantus.
2. Epidemiologi
Pterigium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dan memiliki resiko 4 kali lebih
besar dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar
lingkungan di luar rumah. Pterigium jarang sekali orang menderita pterigium umurnya di bawah
20 tahun. Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering
pada umur muda daripada umur tua.
Pada pasien dengan umur diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan
pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterigium yang paling tinggi.
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi
adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 370 Lintang Utara dan Selatan

dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada
daerah yang terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterigium cukup tinggi di Indonesia yang
terletak di daerah ekuator, yaitu 13%.
3. Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet
sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
a) Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterigium adalah terpapar
sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan
sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga
merupakan faktor penting.
b) Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan berdasarkan
penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan
diturunkan autosom dominan.
c) Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini
merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma
kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterigium.
d) Usia
Prevalensi pterigium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa
tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterigium terbanyak pada usia
dekade dua dan tiga.
e) Pekerjaan
Pertumbuhan pterigium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV.
f) Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterigium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini
meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir
menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterigium yang lebih
tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya

pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterigium 36 kali lebih besar
dibandingkan daerah yang lebih selatan.
4. Patogenesis
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering pada orang
yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang paling diterima tentang hal
tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari
(ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya.
Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan
pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada
daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell.
Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan
menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan
subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan
kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman
oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat
normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal
stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari
defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet
terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan phenotype,
pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah
dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun
menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterigium menunjukkan matrix
metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak,

penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterigium cenderung terus
tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi
5. Klasifikasi pterigium
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:
a. Berdasarkan Tipe
-

Tipe I

Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya
saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada
epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami
inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
-

Tipe II

Disebut pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik.
Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea
sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan
menimbulkan astigmat.
-

Tipe III

Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan bentuk pterigium
yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi
mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus
rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan
biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.
b. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
-

Stadium I

Stadium II :

jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea


jika pterigium sudah melewati limbus dan belum

mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.


-

Stadium III :

jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi

tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal


(diameter pupil sekitar 3-4 mm).

Stadium IV :

jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil

sehingga mengganggu penglihatan.


c. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:
- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
- Pterigium regresif

: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya

menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.


d. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium
-

T1 (atrofi)

pembuluh darah episkleral jelas terlihat

T2 (intermediet)

T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

6.

: pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

Gambaran klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tidak ada keluhan

sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain :
-

Mata sering berair dan tampak merah

Merasa seperti ada benda asing

Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut, biasanya
astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga mengganggu
penglihatan

Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4), bisa menutupi pupil dan aksis visual sehingga
tajam penglihatan juga menurun.

Pemeriksaan fisik : pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi
ada juga pterigium yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva
nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah
temporal.
7. Diagnosa Banding

Pterigium harus dapat dibedakan dengan pseudopterigium. Pseudopterigium terjadi akibat


pembentukan jaringan parut pada konjungtiva yang berbeda dengan pterigium, dimana pada
pseudopterigium terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik dengan kornea dan sklera.
Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera kimiawi dan termal. Pseudopterigium
menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda. Penanganan pseudopterigium adalah dengan
melisiskan adhesi, eksisi jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sklera dengan
graft konjungtiva yang berasal dari aspek temporal.
Selain itu pterigium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang merupakan lesi
kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak seperti
penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada
umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.
8. Tatalaksana
a. Konservatif
Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif seperti
penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar ultraviolet dengan
menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.
b. Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu:
Menurut Ziegler :
-

Mengganggu visus

Mengganggu pergerakan bola mata

Berkembang progresif

Mendahului suatu operasi intraokuler

Kosmetik

Menurut Guilermo Pico :


-

Progresif, resiko rekurensi > luas

Mengganggu visus

Mengganggu pergerakan bola mata

Masalah kosmeti

Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone

Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat

Terjadi kongesti (klinis) secara periodik


Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan operasi. Ada berbagai

macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterigium di antaranya adalah:
a. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sklera.
Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat
mencapai 40-75%.
b. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman teknik ini
dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
c. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan
dilakukannya penempatan flap.
d. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk
membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
e. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi
bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau
difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield,
Illionis)
9. Komplikasi
Komplikasi pterigium meliputi sebagai berikut:
a. Pra-operatif:
-

Astigmat. Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterigium adalah astigmat
karena pterigium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya
mekanisme penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran daripada meridian
horizontal pada kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme
pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat tear meniscus antara
puncak kornea dan peninggian pterigium. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterigium
adalah astigmat with the rule dan iireguler astigmat.

Kemerahan

Iritasi

Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea

Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan


menyebabkan diplopia.

b. Intra-operatif:
Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning), dan
perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan conjunctival
autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara dan tidak
mengancam penglihatan.
c. Pasca-operatif:
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
-

Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft konjungtiva
longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.

Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis


sklera dan kornea

Pterigium rekuren.

10. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat
beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan
eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.
B. Presbiopia
a) Definisi
Presbiopia merukan kondisi mata dimana lensa kristalin kehilangan fleksibilitasnya
sehingga membuatnya tidak dapat fokus pada benda yang dekat. Presbiopia adalah suatu
bentuk gangguan refraksi, dimana makin berkurangnya kemampuan akomodasi mata
sesuai dengan makin meningkatnya umur. Daya akomodasi adalah kemampuan lensa
mata mencembung dan memipih. Biasanya terjadi diatas usia 40 tahun, dan setelah umur
itu umumnya seseorang akan membutuhkan kaca mata baca untuk mengkoreksi
presbiopnya. Presbiopia merupakan bagian alami dari penuaan mata. Presbiopia ini bukan
merupakan penyakit dan tidak dapat dicegah.

b) Etiologi
i) Terjadi gangguan akomodasi lensa pada usia lanjut
ii) Kelemahan otot-otot akomodasi
iii) Lensa mata menjadi tidak kenyal, atau berkurang elastisitasnya akibat kekakuan
(sklerosis) lensa.
c) Patofisiologi
Pada mekanisme akomodasi yang normal terjadi peningkatan daya refraksi mata karena
adanya perubahan keseimbangan antara elastisitas matriks lensa dan kapsul sehingga
lensa menjadi cembung. Dengan meningkatnya umur maka lensa menjadi lebih keras
(sklerosis) dan kehilangan elastisitasnya untuk menjadi cembung. Dengan demikian
kemampuan melihat dekat makin berkurang.
d) Klasifikasi
i) Presbiopi Insipien, tahap awal perkembangan presbiopi. Dari anamnesa didapati
pasien memerlukan kaca mata untuk membaca dekat, tapi tidak tampak kelainan bila
dilakukan tes, dan pasien biasanya akan menolak preskripsi kacamata baca.
ii) Presbiopia Fungsional, amplitudo akomodasi yang semakin menurun dan akan
didapatkan kelainan ketika diperiksa.
iii) Presbiopi Absolut, peningkatan derajat presbiopi dari presbiopi fungsional, dimana
proses akomodasi sudah tidak terjadi sama sekali.
iv) Presbiopi Prematur, presbiopi yang terjadi dini sebelum usia 40 tahun dan biasanya
berhubungan dengan lingkungan, nutrisi, penyakit, atau obat-obatan.
v) Presbiopi Nokturnal, kesulitan untuk membaca jarak dekat pada kondisi gelap,
disebabkan oleh peningkatan diameter pupil.
e) Diagnosis

i) Anamnesis
(1) Kesulitan membaca tulisan dengan cetakan huruf yang halus/kecil
(2) Setelah membaca, mata menjadi merah, berair, dan sering terasa pedih. Bisa juga
disertai kelelahan mata dan sakit kepala jika membaca terlalu lama.
(3) Membaca dengan menjauhkan kertas yang dibaca atau menegakkan punggungnya
karena tulisan tampak kabur pada jarak baca yang biasa (titik dekat mata makin
menjauh).
(4) Sukar mengerjakan pekerjaan dengan melihat dekat, terutama di malam hari.
(5) Memerlukan sinar yang lebih terang untuk membaca.
(6) Sulit membedakan warna.
ii) Pemeriksaan Oftalmologi
(1) Visus, pemeriksaan dasar untuk mengevaluasi presbiopi dengan menggunakan
Snellen Chart.
(2) Refraksi, periksa mata satu persatu, mulai dengan mata kanan. Pasien diminta
untuk memperhatikan kartu Jaeger dan menentukan kalimat terkecil yang bisa
dibaca pada kartu. Target koreksi pada huruf sebesar 20/30.
f) Diagnosis Banding
Diagnosis banding presbiopia adalah hipermetropia dan low vision jika hipermetropi
lebih dari 3 dioptri.
g) Penatalaksanaan
i) Digunakan lensa positif untuk koreksi presbiopia. Tujuan koreksi adalah untuk
mengkompensasi ketidakmampuan mata untuk memfokuskan objek-objek yang
dekat.

ii) Kekuatan lensa mata yang berkurang ditambahkan dengan lensa positif yang sesuai
usia, dan hasil pemeriksaan subjektif sehingga pasien mampu membaca tulisan pada
kartu Jaeger.
iii) Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi +3,00 D saat umur 60 tahun adalah
lensa positif terkuat yang dapat diberikan pada pasien. Pada kekuatan ini, mata tidak
melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm, karena tulisan yang dibaca
terletak pada titik fokus lensa +3,00 D.

iv)

Usia (Tahun)
Kekuatan Lensa Positif yang Dibutuhkan
40 tahun
+1,00 D
40-45 tahun
+1,25 D
45 tahun
+1,50 D
45-50 tahun
+1,75 D
50 tahun
+2,00D
50-55 tahun
+2,25 D
55 tahun
+2,50 D
55-60 tahun
+2,75 D
60 tahun
+3,00 D
Selain kaca mata untuk kelainan presbiopi, ada beberapa jenis lensa lain yang
digunakan untuk mengkoreksi berbagai kelainan refraksi yang ada bersamaan
dengan presbiopinya. Ini termasuk :
1. Bifokal, untuk mengkoreksi penglihatan jauh dan dekat. Bisa yang mempunyai
garis horizontal atau yang progresif.
2. Trifokal, untuk mengkoreksi penglihatan dekat, sedang dan jauh, bisa yang
mempunyai garis horizontal atau yang progresif.
3. Bifokal kontak, untuk mengkoreksi penglihatan jauh dan dekat, bagian bawah
adalah untuk membaca. Sulit dipasang dan kurang memuaskan hasil
koreksinya.
4. Monovision kontak, lensa kontak untuk melihat jauh di mata dominan, dan
lensa kontak untuk melihat dekat pada mata non dominan. Mata yang dominan
umumnya adalah mata yang digunakan untuk fokus pada kamera untuk
mengambil foto.
5. Monovision modified, lensa kontak bifokal pada mata non dominan, dan lensa
kontak untuk melihat pada mata dominan. Kedua mata digunakan untuk
melihat jauh dan satu mata digunakan untuk membaca.
6. Pembedahan refraktif seperti keratoplasti konduktif, LASIK, LASEK, dan
keratektomi fotorefraktif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of Pterigium.
Opthalmic Pearls.2010
2. Caldwell, M. Pterigium. [online]. 2011 [cited 2013 Januari 17]. Available from :
www.eyewiki.aao.org/Pterigium
3. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asburys Oftalmologi Umum: edisi 17.
Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
4. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.p.2-7,117.
5. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.
6. Jerome P Fisher, Pterigium. [online]. 2011
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

[cited

2013

January

17]

7. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2013 January 17]. Available from :
http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi
8. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2013 January 17] Available from :
http://www.dokter-online.org/index.php.htm .

You might also like