You are on page 1of 18

Makalah Kebutuhan Dasar Manusia II

Anastesi Spinal

Disusun Oleh
1.
2.
3.
4.
5.

Adela Sari
Alvin Galih Anugra
Dita Rinasairi Siregar Siagian
Maftuhati
Riki Pratama

Tingkat
Dosen

: I.A
: Hj. Ismar Agustin, S.Kep., M.Kes.

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBNG
JURUSAN DIV KEPERAWATAN
2014-2015

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........ii
I PENDAHULUAN
1.1.
1.2.
1.3.

LATAR BELAKANG1
RUMUSAN MASALAH...1
TUJUAN MASALAH2

II PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN ANESTESI SPINAL.....................3
2.2. RUTE ANATOMI ANESTESI SPINAL............3
2.3. OBAT YANG DIMASUKKAN PADA ANESTESI SPINAL.............4
2.4. PERSIAPAN ANESTESI SPINAL.......................................................6
2.5. TEKNIK ANESTESI SPINAL..............................................................6
2.6. KOMPLIKASI ANESTESI SPINAL...................................................9

III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN......................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..16

I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Anestesi adalah suatu tindakan menahan rasa sakit ketika meelakukan pem

bedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Istilah anestesi pertama kali di gunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes
Sr pada tahun1846.
Ada beberapa anestesi yang menyebabkan hilangnya kesadaran sedangkan
jenis yang lain hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemaka
ianya tetap sadar. Dan pembiusan lokal adalah suatu jenis anestesi yang hanya
melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilang
an kesadaran. Obat bius ini bila digunakan dalam operasi tidak membuat lama
waktu penyembuhkan oprasi. Anestesi hanya di lakukan oleh dokter spesialis
anestesi atau anestesiologis. .
Dalam bidang keperawatan ini merupakan salah satu rute pemasukan obat
yang harus diketahui dan dipahami oleh perawat. Oleh sebab itu perawat harus
mengetahui tentang pengertian, obat yang dimasukkan, teknik maupun komplikasi
yang disebbabkan oleh anastesi ini terhadap respon pasien yang dilakukan
tindakan anastesi.
1.2.

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud anestesi spinal itu?
2. Bagaimana rute anatomi dari anestesi spinal?
3. Apakah obat yang biasa dimasukkan dalam anestesi spinal ini?
4. Bagaimana pesiapan untuk melakukan tindakan anestesi spinal?
5. Bagaimana teknik melakukan tindakan anestesi spinal?
6. Apa komplikasi yang terjadi dari tindakan anestesi spinal?

1.3.

Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami pengertian anestesi spinal.
2. Memahami rute anatomi dari anestesi spinal.
3. Mengetahui obat-obat yang biasa digunakan untuk anestesi spinal.
4.

Mampu mengetahui pesiapan untuk melakukan tindakan anestesi


spinal.

5. Memahami teknik melakukan tindakan anestesi spinal.


6. Mengetahui dan memahami komplikasi yang terjadi dari tindakan
anestesi spinal.

II
PEMBAHASAN
2.1. Pengetian Anestesi Spinal
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/
subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal.
Spinal Anestesi adalah pembiusan dengan memasukan obat berupa
suntikan jarum halus melalui tulang belakang (tulang punggung) sehingga pasien
tidak mengalami rasa nyeri ketika di sayat dengan pisau, namun pasien tetap sadar
dan bisa bicara dengan petugas dan mengetahui bahwa dia sedang menjalani
operasi.
Spinal anestesi mudah untuk dilakukan dan memiliki potensi untuk
memberikan kondisi operasi yang sangat baik untuk operasi di bawah umbilikus.
Spinal anestesi dianjurkan untuk operasi di bawah umbilikus misalnya hernia,
ginekologi dan operasi urologis dan setiap operasi pada perineum atau alat
kelamin. Semua operasi pada kaki, tapi amputasi meskipun tidak sakit, mungkin
merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien yang dalam
kondisi terjaga. Dalam situasi ini dapat menggabungkan tehnik spinal anestesi
dengan anestesi umum.
2.2. Anatomi Rute Anastesi Spinal
Anatomi rute ini meliputi sebagai berikut:
Tulang punggung (columna vertebralis) Terdiri dari :
- 7 vertebra servikal
- 12 vertebra thorakal
- 5 vertebra lumbal
- 5 vertebra sacral ( menyatu pada dewasa )
- 4 vertebra kogsigeal ( menyatu pada dewasa )

Medula spinalis diperadarahi oleh spinalis anterior dan spinalis posteror.


Tulang belakang biasanya bentuk-bentuk ganda C, yang cembung anterior
di daerah leher dan lumbal. Unsur ligamen memberikan dukungan struktural dan
bersama-sama dengan otot pendukung membantu menjaga bentuk yang unik.
Secara ventral, corpus vertebra dan disk intervertebralis terhubung dan didukung
oleh ligamen longitudinal anterior dan posterior. Dorsal, ligamentum flavum,
ligamen interspinous, dan ligamentum supraspinata memberikan tambahan
stabilitas. Dengan menggunakan teknik median, jarum melewati ketiga dorsal
ligamen dan melalui ruang oval antara tulang lamina dan proses spinosus vertebra
yang berdekatan .Untuk mencapai cairan cerebro spinal, maka jarum suntik akan
menembus : kulit, subkutis, ligament supraspinosum, ligament interspinosum,
ligament flavum, ruang epidural, durameter, ruang subarahnoid.

Gambar 2.
Lapisan Columna Vertebralis
2.3. Obat yang Dimasukan Pada Anastesi Spinal
Anestetik local yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis
20-100 mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.003, sifat hyperbaric, dose 20-50 mg (1-2 ml)

3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric,
dosis 5-20 mg
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml)
Bupivacaine
Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain, tetrakain,
lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran
obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat
lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat
ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari
area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang
sama di tempat penyuntikan.
Bupivacaine adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan
amino amida. Bupivacaine di indikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk
anestesi infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal.
Bupiivacaine kadang diberikan pada injeksi epidural sebelum melakukan operasi
athroplasty pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi
untuk mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi.
Bupivacaine dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk
memperpanjang durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil
untuk analgesi epidural. Kontraindikasi untuk pemberian bupivacaine adalah
anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan
adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut.
Bupivacaine bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan
natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah
terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri
mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka
bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai
selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.

2.4. Persiapan Anastesi Spinal


Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk
sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu
diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent

: tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui

anesthesia spinal
2. Pemeriksaan fisik

: tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan

tulang punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

: Hb, ht,pt,ptt

Peralatan analgesia spinal :


1. Peralatan monitor: tekanan darah, pulse oximetri, ekg
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam(ujung bamboo runcing, quinckebacock)
atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).
2.5. Teknik analgesia spinal
A. Posisis Duduk
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,


misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko
trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan (Bupivacain 20 mg)
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya
ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (QuinckeBabcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu
pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk
menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri
kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum
spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90
biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan
kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa 6cm. Posisi:
a. Posisi Duduk
b. Pasien duduk di atas meja operasi
c. Dagu di dada
d. Tangan istirahat di lutut

B.

Posisi Lateral:
1. Bahu sejajar dengan meja operasi
2. Posisikan pinggul di pinggir meja operasi
3. Memeluk bantal/knee chest position

Faktor yang mempengaruhi tinggi blok analgesia spinal:


1. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
2. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik.
4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml
larutan.
5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
7. Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik
8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan
posisi pasien.

2.6. Komplikasi Anastesi Spinal


Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi
delayed.
A. Komplikasi tindakan :
1. Hipotensi berat yang pada dewasa dicegah dengan memberikan infus
cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia : Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi
akibat blok sampai T-2
3. Hipoventilasi : Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat
kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
B. Komplikasi pasca tindakan:
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis
C. Komplikasi intraoperatif:
1). Komplikasi kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi
terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi

penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat
hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return.
Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang
sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin.
Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat
dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena
terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang
stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama
dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi
dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit
segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin
intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-4menit sampai mencapai tekanan darah
yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang
atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.
2). Blok spinal tinggi atau total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa
muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis
motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok
simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena,
hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal
ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak
dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke
serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada
anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan
kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas
saraf phrenik biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi,

sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik


miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti
jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya
keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan
pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang,
pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak
ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi
dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
3.) Komplikasi respirasi
1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paruparu normal.
2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tandatanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan
buatan.
D. Komplikasi postoperative:
1). Komplikasi gastrointestinal
Nausea

dan

berlebihan,pemakaian

muntah
obat

karena

hipotensi,hipoksia,tonus

narkotik,reflek

karena

traksi

parasimpatis
pada

traktus

gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala pasca pungsi lumbal


merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi
dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi
lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat.
2). Nyeri kepala
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala.
Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada

anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti
ukuran jarum yang digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko
untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah
tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan
biasanya muncul dalam 6 48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala
yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retro orbital,
dan sering disertai dengan tanda meningismus, diplopia, mual, dan muntah.
Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin
bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke
posisi duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi
konservatif dalam waktu 24 48 jam harus di coba terlebih dahulu seperti tirah
baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang
kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi
perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan
kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika
terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin kedalam
epidural untuk menghentikan kebocoran.
3). Nyeri punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari
tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur
ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat
dari trauma suntikan jarum dapat di obati secara simptomatik dan akan
menghilang dalam beberapa waktu yang singkat sahaja.
4). Komplikasi neurologik
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah.
Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini
muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam,
rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan
simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam beberapa hari.

Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom
ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah
beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area
perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit
motorik pada ekstremitas bawah.
Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif.
Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal
dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada
tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari
meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal.
Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial
yang lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran
darah ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma
tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan
solution anestesi lokal intraneural adalah jarang, tapi tetap berlaku.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang
berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang
subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah
besar di area lumbar yang menyebar ke ruang subaraknoid dari akar saraf.
Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah jarang. Tanda
utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3
anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya tidak merata dan
adalah sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya
akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab
terjadinya sindrom spinal-arteri : kekurangan bekalan darah ke arteri spinal
anterior karena terjadi gangguan bekalan darah dari arteri-arteri yang diganggu
oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi yang berlebihan,
dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan
terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi
spinal menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi

kemungkinan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal


anterior atau pembuluh darah yang memberikan bekalan darah.
Hipotensi

yang

kadang

timbul

setelah

anestesi

regional

dapat

menyebabkan kekurangan aliran darah. Infeksi dari spinal adalah sangat jarang
kecuali dari penyebaran bacteria secara hematogen yang berasal dari fokal infeksi
ditempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada pasien yang mengalami
bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran ke bakteri ke spinal. Oleh
yang demikian, penggunaan anestesi spinal pada pasien dengan bakteremia
merupakan kontra indikasi relatif. Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid,
akan menyebabkan araknoiditis. Tanda dan symptom yang paling prominen pada
komplikasi ini adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal, demam,
leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh itu, adalah tidak benar jika menggunakan
anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi kulit loka pada area lumbar
atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan
pemberian antibiotik dan drenase jika perlu.
5). Retentio urine / Disfungsi kandung kemih
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun
regional.

Fungsi kandung kencing merupakan

bagian yang

fungsinya

kembalipaling akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam.


Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.

III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Spinal Anestesi adalah pembiusan dengan memasukan obat berupa
suntikan jarum halus melalui tulang belakang (tulang punggung) sehingga pasien
tidak mengalami rasa nyeri ketika di sayat dengan pisau, namun pasien tetap sadar
dan bisa bicara dengan petugas dan mengetahui bahwa dia sedang menjalani
operasi.
Spinal anestesi dianjurkan untuk operasi di bawah umbilikus misalnya
hernia, ginekologi dan operasi urologis dan setiap operasi pada perineum atau alat
kelamin. Semua operasi pada kaki, tapi amputasi meskipun tidak sakit, mungkin
merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien yang dalam
kondisi terjaga.

DAFTAR PUSTAKA
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40151/4/Chapter%20II.pdf
http://eprints.undip.ac.id/18973/1/ismar.pdf
http://robinperdana.blogspot.com/2013/10/spinal-anestesi.html
http://dokterkwok.blog.com/ilmu-anestesi/anestesi-spinal/
https://www.facebook.com/permalink.php?
story_fbid=555927607805100&id=555265667871294
http://kotakmedis.blogspot.com/2012/12/anestesi-spinal.html
http://omanruhila.blogspot.com/2014/02/menggigil-sebagai-efek-pascapemberian.html

You might also like