You are on page 1of 12

2.2.

2.2.1.

Trauma Basa
Definisi

2.2.2. Etiologi
Trauma kimia biasanya disebabkan bahan-bahan yang tersemprot atau
terpercik pada wajah. Trauma pada mata yang disebabkan oleh bahan kimia
disebabkan oleh 2 macam bahan yaitu bahan kimia yang bersifat asam dan bahan
kimia yang bersifat basa. Bahan kimia dikatakan bersifat asam bila mempunyai
pH < 7 dan dikatakan bersifat basa bila mempunyai pH > 7.

Tabel 2.x Penyebab Trauma Basa (Colby, 2010)

2.2.3.

Patogenesis dan Patofisiologi


Trauma basa menyebabkan kerusakan kornea melalui perubahan pH,

ulserasi, proteolisis, dan defek pada sintesis kolagen. Substansi basa bersifat
lipofilik dan lebih mudah dan lebih cepat menembus jaringan mata dibandingkan
asam. Substansi-substansi basa akan berdisosiasi menjadi ion hidroksil dan ion
kation pada permukaan okuler. Ion hidroksil menimbulkan reaksi saponifikasi
pada membran sel yang mengandung asam lemak, sedangkan kation berinteraksi
dengan kolagen dan glikosaminoglikan stroma. Interaksi ini memfasilitasi
penetrasi yang lebih dalam sampai menembus kornea menuju segmen anterior
mata. Proses yang lebih lanjut pada glikosaminoglikan menyebabkan stroma
kornea berkabut. Proses hidrasi yang lebih lanjut pada kolagen menyebabkan
distorsi dan pemendekan fibril yang akan berujung pada gangguan pada

trabecular meshwork dan meningkatkan tekanan intraokular (Pfister dan Pfister,


2005).
Jaringan yang rusak mensekresikan enzim proteolitik sebagai bagian dari
respon inflamasi yang akan menyebabkan kerusakan yang lebih lanjut. Substansi
basa yang masuk ke segmen anterior mata akan menyebabkan pembentukan
katarak, kerusakan badan siliar, dan kerusakan trabecular meshwork. Kerusakan
pada epitel kornea dan konjungtiva karena trauma kimia dapat terjadi begitu hebat
sehingga dapat menyebabkan kerusaka pada stem cell pluripoten di daerah limbus.
Hal ini menyebabkan defisiensi stem cell limbus. Kerusakan yang parah dan
defisiensi stem cell pada limbus menyebabkan kekeruhan dan neovaskularisasai
pada kornea. Selain karena kerusakan trabecular meshwork, peningkatan tekanan
intraokular dapat terjadi karena kerusakan penciutan serta kontraktur kornea dan
skelra (Pfister dan Pfister, 2005).
Selain karena kerusakan pada trabecular meshwork, peningkatan tekanan
intraokular dalam waktu yang lama dapat terjadi karena penumpukan debris
inflamasi dalam trabecular meshwork. Kerusakan pada konjungtiva dapat
menyebabkan jaringan parut yang ekstensif, iskemia perilimbal, dan kontraktur
forniks. Inflamasi konjungtiva dan hilangnya sel goblet dapat membuat
permukaan okular rentan terhadap kekeringan. Malposisi kelopak mata dapat
terjadi karena pembentukan simblefaron dan dapat menjadi entropion maupun
ekstropion (Singh, et.al, 2013).
Kerusakan mata akibat trauma kimia dapat dibagi menjadi 4 fase:
Immediate, acute, early reparative, dan late reparative (McCulley, 1987.)
2.2.3.1.

Immediate phase (Hari ke-0)


Fase immediate di mulai saat zat kimia berkontak dengan permukaan

okular. Elemen kunci dalam menentukan luas dan prognosis dari trauma kimia
mata adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Total area defek epitel kornea.


Total area defek epitel konjungtiva.
Lama waktu kontak dengan zat kimia.
Luas area dan densitas kekeruhan kornea.
Terdapat peningkatan tekanan intraokular.
Kehilangan kejernihan lensa

2.2.3.2.

Acute Phase (Hari ke-0-7)


Tujuh hari setelah trauma kimia mata, fase akut dari proses penyembuhan

trauma kimia dimulai. Dalam waktu ini, jaringan mata sendiri akan
menghilangkan kontaminan-kontaminan bersamaan dengan membangun kembali
lapisan pelindung superfisial epitel kornea. Epitel bertindak sebagai lapisan
pelindung enzim-enzim dalam air mata yang dapat menyebabkan penipisan
kornea dan progresi sampai perforasi. Hal ini juga memodulasi perbaikan dan
regenerasi stroma kornea. Mekanisme inflamasi yang signifikan mulai terjadi
pada permukaan dan bagian dalam mata. Pada tahap ini, dapat terjadi peningkatan
tekanan intraokular (Singh, et.al, 2013).
Selama minggu pertama, pertumbuhan kembali sel epitel terjadi jika
terdapat stem cell limbus yang tidak rusak yang cukup signifikan untuk
menyediakan sumber sel epitel kornea yang sehat. Usaha pengobatan ditujukan
untuk mendorong pertumbuhan ini dengan mengurangi peradangan dan
menghindari penggunaan obat topikal yang dapat merusak epitel yang masih
rapuh. Aktivasi keratosit dimulai sebagai respon terhadap trauma yang akan
memulai inisasi sintesis kolagen. Sedikit kerusakan atau bahkan tanpa kerusakan
kolagen dapat terjadi pada minggu pertama setelah cedera (American Academy of
Ophthalmology).
2.2.3.3.

Early Reparative Phase (Hari ke-7-21)


Fase ini meurpakan periode transisi dari penyembuhan okular di saat

regenerasi seketika dari epitel permukaan okular dan inflamasi akut berubah
menjadi inflamasi kronik, perbaikan stroma, dan pembentukan jaringan parut.
Pada fase ini, ulserasi kornea sering terjadi. Ulserasi stroma dikaitkan dengan
aktivasi enzim kolagenase, metaloproteinase, dan protease lainnya yang
dilepaskan dari epitel kornea yang beregenerasi dan leukosit polimorfonuklear
(Singh, 2013).
Migrasi epitel berlanjut selama early acute phase. Pada trauma ringan
dapat terjadi epitelisasi sempurna pada fase ini, sedangkan pada traum grade II
defek epitel yang presisten bergantung pada stem cell daerah limbus yang

megalami kerusakan. Pada kasus yang lebih parah, reepitilesasi hanya akan terjadi
sedikit atau bahkan tidak terjadi sama sekali. Mata dengan trauma grade IV
biasanya akan tetap menunjukan tanda iskemi pada fase ini. Inflamasi permukaan
okular akan tetap akan tetap terjadi selama permukaan kornea masih belum terjadi
reepitelisasi. Pengobatan pada fase ini difokuskan memaksimalkan sintesis
kolagen dan meminimalisasi aktivitas kolagenase. (American Academy of
Ophthalmology).
2.2.3.4.

Late Reparative Phase (Setelah Hari ke-21)

Tiga minggu setelah trauma, proses penyembuhan memulai fase late


reparative. Fase ini ditandai dengan penyempurnaan proses penyembuhan dengan
progosis visual baik pada trauma grade I dan II dan komplikasi pada trauma
dengan prognosis visual yang lebih buruk (grade III dan IV). Komplikasi lanjut
dari trauma kimia dapat berupa tajam pandang yang buruk, jaringan parut kornea,
xerophthalmia, mata kering, symblefaron, uveitis, katarak, abnormalitas adneksa
seperti entropion, ektropion, dan trikiasis (Singh, 2013).
2.2.4.

Manifestasi Klinis
Gejala yang biasanya dikeluhkan pasien adalah nyeri yang luar biasa,

sensasi seperti ada benda asing di mata, pandangan kabur, air mata yang
berlebihan, fotofobia, dan mata merah. Sedangkan tanda yang bisa didapatkan
pada pasien dengan trauma kimia pada mata adalah (Ventocilla, 2015) :
1. Penurunan ketajaman visual : dapat tejadi karena defek epitel kornea
kekeruhan kornea, dan peningkatan lakrimasi.
2. Peningkatan tekanan intraokular : peningkatan tekanan intraokular
yang tiba-tiba dapat terjadi karena deformasi dan pemendekan kolagen,
serta penciutan segmen anterior mata.
3. Inflamasi konjungtiva : inflamasi konjungtiva dapat ditandai dengan
hiperemis dan kemosis pada konjungtiva.
4. Partikel pada konjungtiva forniks : partikel-partikel dari bahan kimia
yang menumpuk di forniks, jika tidak dibersihkan akan bertindak
sebgagai reservoir dan akan melanjutkan proses trauma kimia.
5. Iskemia perilimbus.
6. Defek epitel kornea.

7. Pengkabutan stroma.
8. Perforasi kornea.
9. Kerusakan atau parut organ adneksa.
2.2.5. Diagnosis
2.2.5.1.
Anamnesis
Keparahan dari trauma okular bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang
berperan dalam terjadinya kerusakan okular akibat trauma kimia adalah toksisitas
bahan kimia, lama kontak bahan kimia dengan mata, kedalaman penetrasi bahan
kimia pada mata, dan area yang terpengaruh oleh bahan kimia. Sangat penting
untuk mengetahui riwayat terjadinya trauma kimia pada mata. Pasien harus
ditanyakan kapan kejadian terjadi, apakah pasien membilas matanya dengan air
mengalir setelah kejadian, jika iya, berapa lama pasien mengaliri matanya dengan
air, mekanisme trauma yang dialami pasien apakah hanya terpercik atau
tersemprot, tipe bahan kimia yang mengenai mata (produk rumah tangga, air aki,
atau yang lainnya) dan apakah pasien memakai kaca mata pelindung ketika
kejadian (American Academy of Ophthalmology).
2.2.5.2.

Pemeriksaan Fisik

Setelah pemeriksaan mata lengkap, pH kedua mata harus diperiksa. Jika pH


tidak berada dalam batas normal, irigasi harus dilakukan pada mata untuk
menaikkan

atau

menurunkan

pH

ke

dalam

batas

normal

(7-7,2).

Direkomendasikan untuk menunggu paling tidak 5 menit setelah irigasi sebelum


memeriksa ulang pH mata untuk memastikan pH tidak meniningkat atau menurun
karena partikel kimia yang tertinggal pada mata. Pemeriksaan fisik harus
digunakan utuk menilai perluasan dan kedalaman cedera yang disebabkan bahan
kimia, terutama derajat keterlibatan kornea, konjungtiva, dan limbus, yang dapat
digunakan untuk memprediksi kemampuan melihat pasca trauma (Gupta, et.al,
2011).
Robekan palpebra dan konjungtiva forniks harus diperiksa pada
pemeriksaan awal. Robekan palpebra dan forniks dapat menjadi tempat reservoir
partikel kimia yang mungkin tertinggal saat irigasi dan akan melanjurkan proses
kerusakan pada mata jika tidak dibersihkan. Konjungtiva palpebra dan

konjungtiva bulbi harus diperiksa menggunakan fluorescein di bawah lampu


kobalt biru. Pemeriksaan tekanan intraokuler juga harus dilakukan karena trauma
basa dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokular baik secara akut
maupun kronik (Lin, 2012). Terdapat dua klasifikasi yang sering digunakan dalam
trauma kimia mata, klasifikasi Ropper-Hall dan Klasifikasi Dua.
Tabel 2.x Klasifikasi trauma kimia mata Ropper-Hall

Tabel 2.x Klasifikasi trauma kimia mata Dua

Gambar 2.x Trauma kimia grade II

Gambar 2.x Trauma kimia grade III dengan kekeruhan kornea, lama kontak 6 jam

Gambar 2.x Trauma kimia grade IV (Ropper-Hall) atau grade VI (Dua)

2.2.6. Tatalaksana
Irigasi secepat mungkin sangat penting untuk mengurangi durasi kontak
bahan kimia pada mata. Irigasi dapat dilakukan menggunakan IV catheter. Irigasi
dilakukan minimal 2 liter dalam waktu 30 menit. Tujuan dari irigasi adalah untuk
menghilangkan substansi kimia dan mengembalikan pH mata ke keadaan
fisiologis. Ketika irigasi selesai, pH mata harus kembali diperiksa, jika pH sudah
kembali normal, anamnesis kepada pasien dan pemeriksaan mata lanjut dapat
dilakukan. Untuk mengoptimalkan kenyamanan pasien pemberian anestesi topikal
dapat dilakukan. Jika pH belum kembali ke pH normal, irigasi dan pengecekan pH
ulang harus diulangi. Pemeriksaan pH harus diulangi tiap 15-30 menit sekali
untuk memastikan pH mata tetap normal. Nilai pH yang meningkat atau menurun

setelah normalisasi awal menandakan masih ada material kimia yang tersangkut di
dalam mata (American Academy of Ophthalmology).
Setelah bahan kimia yang mengenai mata telah dihilangkan dari
permukaan okular, proses penyembuhan epitel dapat dimulai. Pada fase ini,
penatalaksanaan lebih ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan epitel dan
mencegah inflamasi lanjut dan superinfeksi. Pengobatan yang diberikan
tergantung pada seberapa berat derajat luka yang disebabkan oleh. Berikut adalah
regimen

terapi

yang

direkomendasikan

oleh

American

Academy

of

Ophthalmology:
Tabel 2.x Regimen terapi menurut AAO
Grade

Grade I

Grade II

Grade III
Grade IV

Tatalaksana
Antibiotik topikal (eritromisin) 4 kali
sehari.
Prednisolon asetat 1% 4 kali sehari.
Artificial tears.
Sikloplegik 3 kali sehari.
Antibiotik topikal (fluoroquinolone) 4
kali sehari.
Prednisolon asetat 1% tiap jam selama
terjaga. Bila epitel tidak membaik
pada hari ke 10-14, tappering off
kortikosteroid harus dilakukan atau
pertimbangkan penggunaan steroid
progestasional.
Long acting cycloplegic.
Vitamin C oral 2gram 4 kali sehari
Antibiotik oral (doksisiklin) 100 mg 2
kali sehari.
Sodium askorbat tetes 10% tiap jam
ketika terjaga.
Artificial tears.
Debridement epitel yang nekrotik.
Seperti pada penanganan grade II.
Pertimbangkan transplantasi membran
amnion.
Seperti penanganan grade II dan III.
Operasi segera sangat penting.

Untuk nekrosis yang signifikan,


tenonplasti
dapat
membantu
memulihkan kembali vaskularisasi
limbus.
Transplantasi membran amnion.
Pada grade yang lebih tinggi, tindakan bedah perlu dipertimbangkan. Ada
beberapa jenis pembedahan yang dapat dilakukan dalam penatalaksanaan trauma
kimia pada mata:
1. Debridement jaringan epitel nekrotik
Debridement harus dilakukan secepat mungkin karena jaringan
nekrotik dapat menjadi sumber inflamasi dan dapat menghambat
reepitelisasi. Setelah jaringan nekrotik dibuang, tenonplasti dapat
dilakukan

untuk

mengembalikan

vaskularisasi

limbus

dan

memfasilitasi reepitelisasi (Colby, 2010).


2. Amniotic Membrane Transplantation (AMT)
Tujuan dari AMT adalah untuk mempercepat kembalinya permukaan
konjungtiva dan untuk mengurangi inflamasi limbus dan stroma.
Membran amnion memiliki faktor pertumbuhan yang sangat
bermanfaay untuk proses penyembuhan luka. Selain itu, membran
amnion juga bertindak sebagai antiinflamasi. Keuntungan biologis
yang dimiliki memmbran amnion ini dapat meredakan inflamasi,
mempercepat reepitelisasi, mencegah pembentukan jaringan parut, dan
mencegah neovaskularisasi kornea (Tandon, 2011).
3. Transplantasi Stem Cell Limbus
Sebagian besar kerusakan yang terjadi setelah trauma kimia
disebabkan oleh iskemia limbus dan hilangnya stem cell limbus yang
mampu untuk melakukan reepopulasi epitel kornea. Transplantasi stem
cell limbus dilakukan untuk mengganti sel yang rusak karena trauma
kimia. Autograft limbus dapat diperoleh dari mata kontralateral yang
masih sehat. Apabila kedua mata terkena trauma kimia, transplantasi
dapat dilakukan dari donor yang memiliki hubungan keluarga. Jika
memungkinkan, transplantasi stem cell limbus harus ditunda sampai
proses inflamasi mereda (Huang, 2011).
4. Cultivated Oral Mucosal Epithelial Transplantation (COMET)

COMET juga dapat digunakan untuk merangsang reepitelisasi dan


meredakan inflamasi pada trauma kimia kornea. Jaringan diambil dari
mukosa buccal pasien sendiri sehingga terapi imunosupresif tidak
diperlukan (Ma, 2009).
5. Boston Keratoprosthesis
Trauma kimia yang parah akan menyebabkan inflamasi kronik dan
jaringan parut yang membuat kembalinya kemampuan melihat sulit
untuk pulih. Pada kasus inflamasi yang parah, transplantasi stem cell
limbus dan transplantasi kornea tidak akan bisa hidup. Pada kasus ini,
boston keratoprosthesis dapat digunakan karena tidak bergantung pada
fungsi stem cell (Hemmati dan Colby, 2012).
2.2.7. Komplikasi
2.2.7.1.
Glaukoma
Glaukoma sering terjadi pasca trauma okular dengan kejadian 15%-55%
pada pasien dengan trauma kimia berat. Mekanisme dari glaukoma dipengaruhi
oleh banyak faktor, termasuk kontraksi segmen anterior bola mata akibat dari
reaksi kimia maupun dari proses inflamasi, penumpukan debris inflamasi di
trabecular meshwork, dan kerusakan pada trabecular meshwork itu sendiri. Pada
trauma dengan grade yang lebih tinggi, pengobatan glaukoma jangka panjang atau
bahkan terapi bedah mungkin dibutuhkan (Lin, 20120).

2.2.7.2.

Dry Eye

Trauma kimia dapat merusak sel goblet konjungtiva yang dapat menyebabkan
penurunan atau bahkan menghentikan produksi mukus pada tear film dan
mengganggu dispersi normal tear film. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi
lanjut seperti konjungtivitis sicca (Le, 2011).
2.2.7.3.

Entropion/Ektropion

Trauma kimia langsung pada konjungtiva akan menyebabkan jaringan


parut pada konjungtiva, pemendekan forniks, pembentukan symblefaron, dan
ektropion maupaun entropion (Kheirkhah, 2012).
2.2.7.4.

Complete Globe Atrophy

Complete globe atrophy dapat terjadi apabila penangan yang diberikan tidak
adekuat terutama pada trauma kimia dengan grade tinggi (Ventocilla, 2015).

Gambar 2.x Sikatrik komplit pada bola mata


2.2.8.

Prognosis
Prognosis dari trauma kimia mata bergantung pada jenis bahan kimia yang

mengenai mata, lama kontak dengan bahan kimia, dan grade keparahan dari
trauma kimia.

Colby K. Chemical injuries of the Cornea. Focal Points in American


Academy of Ophthalmology.2010. 28(1): p. 1-14.
Pfister RR, Pfister DA. Alkali injuries of the eye. Fundamentals of Cornea
and External Disease. Cornea. 2005;2:1285-93.
Pfister RR, Pfister DA. Alkali injuries of the eye. Fundamentals of Cornea
and External Disease. Cornea. 2005;2:1277-84.

Singh P, Tyagi M, Kumar Y, Gupta KK, Sharma PD. Ocular chemical injury
and their management. Oman J Ophthalmol. 2013;6(2):83-86.
McCulley JP. Chemical injuries. In: Smolin G, Thoft RA, editors. The
Cornea: Scientific Foundation and Clinical Practice. Boston Mass: Little Brown
and Co; 1987. pp. 52742.
American Academy of Ophthalmology. Stages of ocular surface recovery
following chemical injury.
Ventocilla M. Ophthalmologic approach to chemical burns clinical
presentations. Medscape. 2015.
Gupta N, Kalaivani M, Tandon R. Comparison of prognostic value of
Roper Hall and Dua classification systems in acute ocular burns. The British
journal of ophthalmology, 2011. 95(2): p. 194-8.
Lin, MP. Glaucoma in patients with ocular chemical burns. American
journal of ophthalmology, 2012. 154(3): p. 481-485 e1.
Tandon R. Amniotic membrane transplantation as an adjunct to medical
therapy in acute ocular burns. The British journal of ophthalmology. 2011. 95(2):
p. 199-204.
Huang T. Limbal from living-related donors to treat partial limbal
deficiency secondary to ocular chemical burns. Archives of ophthalmology. 2011.
129(10): p. 1267-73.
Ma DH. Transplantation of cultivated oral mucosal epithelial cells for
severe corneal burn. Eye. 2009. 23(6): p. 1442-50.
Hemmati HD and Colby KA. Treating acute chemical injuries of the
cornea. Eyenet. October 2012: p. 43-45.
Kheirkhah A. A Combined Approach of Amniotic Membrane and Oral
Mucosa Transplantation for Fornix Reconstruction in Severe Symblepharon.
Cornea, 2012.
Le Q. Vision-related quality of life in patients with ocular chemical burns.
Investigative ophthalmology & visual science, 2011. 52(12): p. 8951-6.

You might also like