Professional Documents
Culture Documents
A. Pengantar
Sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh manusia bahwa manusia diciptakan sebagai
individu dan mahkluk sosial. Sebagai individu, manusia diciptakan dengan mempunyai
ciri yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, manusia atau
individu dapat dikenali oleh orang lain dengan mengenal ciri ciri tertentu yang
dimilikinya.
Sebagai mahkluk sosial, manusia merupakan bagian da¬ri masyarakat di sekitarnya.
Bagian lingkungan terkecil yang mempengaruhi pola kehidupan manusia adalah keluarga
(family). Setelah itu, individu tersebut mulai melakukan interaksi dengan lingkungan
yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini mengartikan bahwa
seluruh tingkah laku manusia tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat yang ada di
sekelilingnya. Hal ini meng¬artikan pula bahwa individu tersebut hidup bersama dalam
suatu kelompok masyarakat tertentu.
Dalam keadaan hidup bersama ini masyarakat menciptakan sesuatu yang dapat dijadikan
sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa benda¬-benda (artifak),
peraturan dan nilai nilai yang dipakai secara kolektif. Dengan mempergunakan
kematangan dirinya, maka masyarakat tersebut menciptakan suatu ben¬tuk budaya
tertentu. Spesifikasi budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu akan berbeda dengan
budaya yang dimiliki oleh masyarakat lainnya (Herr, 1999). Dengan demikian, budaya
akan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengenal masyarakat tertentu
(Goldenweiser, 1963; Vontress, 2002).
Pedoman hidup yang telah diciptakan itu dipakai secara bersama sama dan dilakukan
secara turun temurun. Kebersamaan ini dapat dilihat dari serangkaian proses kehidupan
manusia. Manusia lahir ke dunia selalu membutuhkan orang tua untuk dapat bertahan
hidup. Pada usia anak anak, mereka akan mengadopsi nilai nilai yang diajarkan oleh
orang tuanya tanpa ada protes yang berarti. Dalam hal ini, orang tua meletakkan dasar
dasar¬ pergaulan di dalam rumah dan di masyarakat. Setelah dia menginjak masa remaja,
dia mulai mengadopsi nilai nilai yang ada di masyarakat, dan selanjutnya dia akan mulai
belajar untuk hidup mandiri.
Individu dalam berperilaku mengacu pada sesuatu yang diyakini baik dan dianggap benar
oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Keyakinan ini menjadi panutan bagi masyarakat
secara umum. Keyakinan ini dapat bersumber dari agama atau kesepakatan umum.
Keyakinan yang berasal dari agama tidak akan dapat dirubah oleh manusia, artinya
bersifat dogmatis. Tetapi, masyarakat juga menciptakan suatu keyakinan yang lebih
khusus lagi, dimana keyakinan ini menjadi panutan, pedoman hidup dan diagungkan.
Keyakinan yang muncul di masyarakat ini diwujudkan dalam bentuk ide ide/pemikiran
(idea), tujuan tujuan tertentu (goals), serta suatu perilaku yang sifatnya sangat mendasar
dan diyakini kebenarannya oleh individu (spesific behavior). Hal ini lebih dikenal dengan
istilah nilai/value (Kluckhohn, 1962, Albert. 1963. Dalam Biggs, Pulvino & Beck:
19 ... ;Fraenkel, 1977).
Nilai yang dimiliki oleh seseorang akan memberikan arah bagi individu untuk
mengartikan sesuatu hal yang berkenaan dengan perilaku yang akan ditampakkannya.
Selain itu, nilai nilai yang dianutnya akan menjadi suatu gaya hidup individu tersebut.
Dengan demikian, yang diinginkannya untuk masa depannya sudah mulai tergambar
(Weinstock & O'dowd, 1970. Dalam Biggs, Pulvino Beck, 19 ).
Nilai yang dimiliki oleh individu diadopsi dari lingkungan di mana dia berada.
Lingkungan terkecil dan terdekat dengan individu adalah keluarga. Individu akan
menginternalisasi nilai nilai yang ada dalam keluarga. Hal hal apa saja yang dianggap
baik akan diinternalisasi oleh individu tersebut. Lebih luas lagi, in¬dividu juga
mengadopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat. Masyarakat ini merupakan
tempat atau wadah bagi individu untuk melakukan sosialisasi. Adopsi nilai nilai yang
berkembang di masyarakat akan di¬lakukan oleh individu. Selain dua hal tersebut, media
massa (mass media) juga merupakan suatu media yang dapat dipergunakan oleh individu
untuk mengadopsi nilai nilai budaya tertentu.
B. Budaya
Dalam kehidupan sehari hari, tiap individu akan ber¬usaha untuk menunjukkan siapa
sebenarnya dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan pendapat dan perilaku
tertentu, bagaimana bersikap dan mungkin menunjukkan be¬berapa "keanehan" tertentu.
Aktualisasi diri ini bisa ja¬di berbeda dengan apa yang selama ini dianut oleh
masya¬rakat sekitarnya, tetapi seringkali pula (bahkan harus) seorang individu
menampakkan perilaku sesuai dengan apa yang sering dimunculkan oleh masyarakat di
mana dia berada. Kesamaan perilaku, sikap, penampilan, pendapat dan lain sebagainya
itu tercermin dalam keseharian individu. Hal ini ditunjang pula dengan adanya "restu"
dari masyarakat. Sehingga, tampak adanya kesamaan perilaku, sikap, pendapat antara
individu, dengan masyarakat disekitarnya. Bahkan seringkali hal hal yang ditampakkan
oleh individu bisa dijadikan acuan untuk mengenal dari mana individu itu berasal.
Definisi kebudayaan dapat didekati dari beberapa macam pendekatan. Pendekatan
pendekatan itu seperti pendekatan antropologi, psikologi bahkan dari pendidikan. Salah
satu tokoh antropologi yaitu E. B. Tylor (dalam Ahmadi, 1986; Soekanto, 1997)
mendefinisikan budaya sebagai berikut, kebudayaan adalah keseluruhan yang komplek,
yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum
adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia
sebagai anggota masyarakat.
Para ahli antropologi lainnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu bentuk perilaku,
suatu hubungan atau interaksi antara manusia yang di dalamnya terdapat keyakinan, nilai
nilai dan peraturan (Graves, 1986: Rose et all, 1982; Spradley, 1979; McDermot, 1980;
Brislin, 1981; Linton, 1939. Dalam Herr, 1989). Kluckhohn (dalam Rosjidan:1995)
mendefinisikan budaya sebagai berikut:
Budaya terdiri dari berbagai pola tingkah laku, ekspli¬sit dan implisit, dan pola tingkah
laku itu (diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan karya khusus kelompok
kelompok manusia, termasuk penjelmaannya dalam bentuk hasil budi manusia; inti
utama budaya terdiri dari ide ide tradisional, terutama nilai nilai yang me¬lekatnya;
sistem budaya pada satu sisi dapat dipandang sebagai hasil perbuatan, pada sisi lain,
sebagai penga¬ruh yang menentukan perbuatan perbuatan selanjutnya.
Lebih lanjut, tokoh pendidikan nasional kita bapak Ki Haiar Dewantara (1977)
memberikan definisi budaya sebagai berikut:
Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjoa¬ngan manusia terhadap dua
pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti
kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran
didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada
lahirnya bersifat tertib dan damai.
Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang
mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu
bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai
hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan
cipta masyarakat
Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan
masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dengan demikian, Suatu hasil
budaya kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin
lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat tertentu itu memiliki
derajat atau tingkatan yang lebih baik dari "tetangganya".
Nilai selalu berhubungan dengan hal hal yang bersifat baik atau buruk, bagus atau jelek,
positif atau negatif, indah atau buruk. Karena nilai berkaitan erat dengan keyakinan yang
dimiliki oleh individu, maka hal tersebut akan terkait pula dengan bagaimana individu
mengadopsi nilai nilai. Sedangkan apa yang telah diadopsi tersebut akan ditampakkan
dalam wujud perilaku, sikap, ide ide serta penalaran. Dengan demikian, antara individu
yang satu dengan individu yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal
dari latar budaya yang sama.
C. SIFAT BUDAYA
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal (umum) dan budaya yang khas
(unik). Budaya universa! mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang dimiliki oleh
semua lapisan masyarakat. Nilai nilai ini dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Dengan
demikian, secara umum umat manusia yang ada dunia ini memiliki ke¬samaan nilai nilai
tersebut. Contoh dari nilai universal ini antara lain manusia berhak menentukan hidupnya
sendi¬ri, manusia anti dengan peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia
mempunyai kebabasan dan lain lain.
Nilai budaya yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu.
Lebih dari itu, ni¬lai nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku/ etnis tertentu
dimana keunikan ini berbeda dencan kelompok atau bangsa lain. Keunikan nilai ini dapat
meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok tertentu.
Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak
kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat
itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan
panutan dalam menjalani hidup sehari hari. Selain itu, nilai budaya yang diyakini
kebe¬narannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah
yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu
masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasa¬lahan yang
timbul dalam anggota masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, yang multi etnis. Dengan demikian
sangat banyak nilai-nilai unik yang ada di dalam etnis bangsa Indonesia. Tiap daerah
mempunyai nilai nilai khas yang sangat dijunjung tinggi oleh kelompok masyarakatnya.
Kalimat tersebut mengundang suatu pertanyaan yaitu, apakah bangsa Indonesia tidak
mempunyai budaya nasional? Punya!
Setelah kita merdeka dan menyatakan sebagai bangsa yang bersatu, saat itu pulalah mulai
digali nilai nilai yang ada di dalam kelompok etnis bangsa Indonesia. Dalam hal ini,
disusun suatu pola yang dapat mewakili budaya Indonesia secara utuh. Nilai nilai yang
disatukan itu dijadikan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu kesatuan lima sila dalam
Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kema¬nusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia (Rosjidan
1995).
Kebudayaan universal atau lebih dikenal dengan kebudayaan nasional bangsa Indonesia
tidak bersifat dogmatis dan statis. Hal ini memungkinkan terjadi proses penyempurnaan
secara terus menerus. Penyempurnaan ini digali dari budaya yang unik tersebut. Artinya
budaya atau nilai nilai yang khas yang dimiliki oleh suku suku di Indonesia secara terus
menerus memberikan sumbangan untuk sempurnanya budaya nasional ini juga untuk
menjawab tuntut¬an jaman yang terus berkembang dan semakin maju.
Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan lebih lanjut tentang sifat kebudayaan yang tidak
statis tersebut. Kebudayaan mempunyai tujuan untuk memajukan hidup manusia kearah
keadaban. Oleh sebab itu perlu diingat bahwa:
D. SOSIALISASI BUDAYA
1. Peran Keluarga
Proses kepemilikan (sosialisasi) budaya dari generasi ke generasi tidak bersifat herediter.
Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses belajar (Ihrom, 1988). Hal ini
menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua akan sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu
proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai nilai dan pengetahuan
mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan
kedudukannya di situ (Goode, 1991).
Individu akan belajar mengenal keadaan sekitarnya pertama kali melalui orang orang
yang paling dekat dengan dirinya. Orang orang yang paling dekat dengan dirinya tidak
lain adalah keluarga, terutama adalah orang tuanya. Dengan demikian, orang tua
merupakan orang pertama yang mengajarkan budaya kepada anaknya. Nilai nilai ini
diajarkan kepada generasi muda (anak) karena akan menunjukkan kepada mereka tentang
bagaima cara bertindak secara benar dan bisa diterima oleh masyarakat (Fraenkel, 1977).
Orang tua akan mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana bertindak, bersikap,
berpikir dan berkeya¬kinan terhadap sesuatu hal. Disengaia atau tidak, proses belaiar ini
berlangsung terus menerus tanpa henti. Secara sadar. biasanya orang tua langsung
meng¬ajarkan sesuatu kepada anaknya. Secara tidak sadar, orang tua melakukan perilaku
tertentu dan oleh anak. Dengan demikian, orang tua secara tidak sengaja mengajarkan
sesuatu kepada anak. Sebagai salah satu contoh, dalam budaya Jawa orang jawa akan
mengajarkan cara makan kepada anaknya. Seringkali orang jawa mengatakan Nek
mangan ojo karo ngomong mengko dikancani setan" (Kalau makan jangan sambil
berbicara, nanti ditemani setan). Dalam hal ini, orang tua mengaiarkan perilaku tertentu
kepada anaknya, yaitu berperilaku sopan. Hanya saia, penyampaiannya mempergunakan
simbol simbol tertentu.
Dalam tatanan budaya Jawa, anak telah diajarkan tentang nilai nilai (budaya) sejak anak
mereka masih bayi. Hal ini tampak pada saat ibu menggendong bayinya. Bayi akan
digendong oleh ibunya pada posisi pinggang kiri. Dengan digendong pada pinggang kiri
ini, maka tangan kanan anaknya akan dapat bergerak dengan bebas untuk menerima apa
saia yang diberikan oleh ibu atau bapaknya. Secara tidak langsung, orang tua telah
mangajarkan budaya atau nilai nilai kesopanan pada anaknya (Gertz, 1993),
Dari contoh di atas, tampak bahwa orang tua akan berusaha untuk menanamkan nilai nilai
atau norma norma tertentu kepada generasi berikutnya (anak). Sebagai salah satu contoh
apa yang telah diuraikan panjang lebar di atas adalah sebagai berikut:
Semua orang mempunyai kebutuhan untuk makan. Hal ini merupakan insting setiap
manusia. Dimanapun di muka bumi ini pasti orang butuh untuk makan. Tetapi makan ini
bukan suatu budaya. Tetapi bagaimana cara makan, itu yang merupakan budaya. Orang
tua yang akan menga¬jarkan bagaimana cara makan yang baik menurut ukuran keluarga
tersebut.
Orang jawa mengajarkan makan dengan cara memakai tangan (muluk) dan harus
memakai tangan kanan. Ini adalah hal yang dianggap baik. Orang Eropa akan
mengajarkan kepada anaknya makkan dengan mempergunakan garpu dan pisau dan lain
sebagainya.
2. Peran Masyarakat.
Dari peran lingkup sosial yang paling kecil, selanjutnya akan kita bahas peran lingkup
sosial yang berikutnya, yaitu masyarakat. Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari
beberapa keluarga inti yang mempu¬nyai ciri ciri yang hampir sama. Masyarakat ini
pada, umumnya tinggal di suatu daerah yang mempunyai batas dengan dengan daerah
daerah lainnya. Pada masyarakat tertentu, batasan batasan ini biasanya dengan
mempergunakan tembok tembok besar atau tanaman tanaman bambu (Koentjaraningrat,
1988). Pembatasan daerah yang satu dengan daerah lain ini bertujuan agar ketenangan
suatu masyarakat tertentu tidak terusik oleh masyarakat yang lainnya. Pada masa lalu
batasan atau pagar desa ini mempunyai tujuan agar mereka tidak diserang oleh desa atau
masyara¬kat lainnya (Koentjaraningrat, 1988). Lebih daripada itu, pagar desa ini
bertujuan agar mereka dapat meles¬tarikan budaya yang selama ini dianutnya,.
Peran masyarakat dalam proses inkulturasi atau sosialisasi budaya adalah sangat penting.
Dalam pendekatan behaviorisme, dinyatakan bahwa perilaku dan kepribadian seseorang
sangat ditentukan oleh lingkungan dimana dia berada. Lingkungan yang pertama adalah
lingkungan keluarga dan yang berikutnya adalah masya¬rakat sekelilingnya. Masyarakat
mempunyai beberapa peraturan (hasil budaya) yang secara langsung mengikat seseorang
yang menjadi anggota masyarakatnya.
Masyarakat menciptakan hukum adat, dimana hukum adat itu dibuat untuk menjaga tata
tertib dan dijaga sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai suatu ketaatan yang
seolah olah otomatis terhadap adat, dan kalau ada pelanggaran, maka secara otomatis
pula akan timbul reaksi mesyarakat untuk menghukum pelanggar itu (Radclifle & Brown,
dalam Koentjaraningrat:1990). Dengan demikkian, hukum adat itu akan langsung
mengikat anggota masyarakatnya, dan mereka tidak akan lepas dari nilai nilai atau
peraturan yang telah dise¬pakati bersama.
Contoh peraturan yang mengikat anggota masyarakat untuk terus melaksanakan adat atau
budaya bisa kita jumpai dari beberapa suku bangsa kita seper¬ti suku Nias. Pada suku
Nias, terdapat peraturan yang disebut dengan fondrako (Koentjaraningrat, 1998),
peraturan ini dibuat dengan disertai kutukan lekas mati bagi anggota kelompok
masyarakat itu yang berani melanggar. Hukum adat ini ditetapkan dalam suatu sidang
tertentu. Peraturan yang demikian keras ini akan menjadi semacam hukuman atau
punishment bagi mereka yang melanggar.
Dalam masyarakat Jawa juga terlihat peraturan ¬peraturan yang mengikat dan masih
sering dilaksanakan. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi masyarakat Jawa mengikutinya
dengan penuh kesadaran. Masyarakat Jawa dikenal dengan perasaan yang sangat halus,
dengan demikian, ungkapan ungkapan yang bertujuan untuk mela¬rang suatu tindakan
tertentu juga diungkapkan dengan halus pula. Apabila orang jawa mengatakan “saru"
(tabu) atau “ora njawa", biasanya mereka yang melakukan tindakan tertentu (salah) akan
merasa "isin" (malu) dan tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.
Peraturan yang mengikat dari sekelompok Masyarakat tertentu akan membentuk suatu
pola perilaku dari seseorang. Bagaimana dia berperilaku, berpikir, bersikap dan lain
sebagainya akan merefleksikan aturan yang dibuat oleh masyarakat dimana dia tinggal
(Riesman, dalam Herr, 1989). Sehingga akan terbentuk suatu kepribadian dasar (basic
personality) atau kepribadian rata rata (lhrom, 1990).
Generasi muda mempunyai kecenderungan untuk mencontoh apa apa yang dilakukan
oleh generasi sebelumnya. Hal ini memang salah satu proses pemilikan yang dilakukan
oleh kaum muda. Dalam proses peniruan ini terjadi suatu proses belajar yang tidak
disadari. Artinya dari pihak generasi tua tidak mengajarkan budaya tertentu kepada
generasi mudanya secara langsung. Mungkin, apa yang dilakukan oleh generasi tua itu
juga merupakan proses belajar meniru dari generasi sebelumnya.
Bateson (dalam Ihrom, 1983) mengilustrasikan suatu peristiwa yang menunjukkan proses
belajar melalui perilaku meniru dari suku pengayau latmul (lrian jaya) sebagai berikut:
“Seorang yang berkedudukan penting, waktu memasuki gedung upacara, sadar bahwa
mata khalayak ramai sedang memperhatikannya dan reaksinya terhadap hal itu adalah
menunjukkan sikap yang berlebih lebihan. Dia akan memasuki ruangan dengan berbagai
gerak gerik dan men¬coba menarik perhatian orang terhadap kehadirannya dengan
sesuatu ucapan. Kadang kadang dia cenderung untuk bersikap berlagak dan merasa
bangga secara agak berlebih lebihan. Kadang kadang pula reaksinya ialah membadut ...
bertambah tinggi kedudukannya bertambah menyolok tingkah lakunya.
Pada kaum muda, yang belum lagi mempunyai kedu¬dukan, ditemukan sikap lebih
menguasai diri. Mereka akan memasuki gedung upacara dengan tenang, tanpa menarik
perhatian, dan diantara orang orang yang lebih senior dan sedang berlagak itu, mereka
duduk diam diam serta bersungguh sungguh. Tetapi untuk pemuda pemuda ini ada pula
sebuah gedung upacara yang lebih sederhana. Di gedung ini mereka secara miniatur
melakukan upacara seperti yang dilakukan golongan senior, dan dalam upacara di
kalangannya itu mereka meniru sikap orang senior dan menunjukkan sikap angkuh
bercampur ¬membadut".
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan
bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1) latar belakang budaya
yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien, (3)
asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai
yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang
berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi
lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara konselor dan klien sudah
pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri. Konselor akan membawa seperangkat
budaya yang dibawa dari lingkup dimana dia berasal, dan klien alcan membawa
superangkat budaya yang dibawa dari, lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal yang penting dan
tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa tugas perkembangan
masing masing masing. Dan kita ketahui bersama bahwa masing masing tugas
perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah tidak sama. Konselor akan
membawa tugas perkembangannya sesuai dengan usianya. Begitu pula dengan klien, dia
akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan umurnya.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas
budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tem¬pat tinggal,
b) variabel status seperti pendidikan, poli¬tik dan ekonomi, serta variabel etnografi
seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo & Gonsalves, 1980; Canary & Levin dalam
Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991; Pedersens, 1991; Lipton dalam Westbrook &
Sedlacek, 1991).
D. Aplikasi di Sekolah
Dalam proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor sebagai agen
kedua (second agent) akan membantu klien (first agent) dalam memecahkan masalah
yang dihadapi klien. Agar pelaksanaan konseling dapat berjalan dengan baik maka ada
rambu-rambu yang seharusnya disadari oleh konselor. Rambu-rambu ini diwujudkan
dalam bentukpernyataan sebagai konselor lintas budaya yang efektif. Menurut Sue
(dalam Arredondo & Gonsalves, 1980) konselor lintas budaya yang efektif adalah
konselor yang:
1. memahami nilai-nilaipribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia danmengenali
bahwa tiap manusia itu berbeda;
2. sadar bahwa “tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral”;
3. memehami bahwa kekuatan sosiopolitik akan mempengaruhi dan akan menajamkan
perbedaan budaya dalam kelompok;
4. dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup; dan
5. jujur dalam menggunakan konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya
daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
1. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali
bahwa tiap manusia berbeda.
Dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh terhadap nilai
nilai yang dimilikina. Konselor harus sadar bahwa dalam melaksanakan konseling,
konselor tidak akan bisa lepas dari nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia
berada, juga nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembang¬annya. Nilai nilai yang
dibawa dari lingkungan di mana dia berasal adalah nilai nilai yang tidak akan bisa
dilepaskannya, walaupun dia akan berhubungan dengan klien yang berbeda latar
belakangnya.
Menyadari hal tersebut di atas maks konselor sebaiknya juga menyadari bahwa klien
yang dibantunya juga berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan tentunya akan
membawa seperangkat nilai nilai yang berbeda pula. Klien akan membawa seperangkat
nilai-nilai yang berasal di mana klien itu berada dan tentunya nilai nilai klien ini tidak
dapat dihilang¬kan begitu saja. Nilai nilai yang dibawa oleh klien akan menentukan
segenap perilaku klien pada saat berhadapan dengan konselor.
Sebagai seseorang yang mengetahui banyak tentang ilmu jiwa atau psikologi, konselor
tentu memahami adanya tugas tugas perkembangan yang harus dijalani oleh klien. Selain
itu, konselor juga harus mengetahui bahwa masing masing tugas perkembangan yang
dijalani oleh masing masing individu itu berbeda beda sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Dengan demikian, konselor harus memandang individu yang ada secara
berbeda (individual differences).
2.. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral::
Dalam pelaksanaan konseling, konselor harus sadar ¬bahwa teori teori konse!ing yang
diciptakan saat ini adalah suatu teori yang dibuat berdasarkan kepentingan para
penemunya masing masing atau dapat dikatakan bahwa teori konseling yang ada saat ini
tidak akan terlepas dari pengalaman pribadi masing masing penemunya. Oleh karena itu,
teori-teori konseling yang diciptakan ada kemungkinan tidak akan terlepas dari moral
yang dimiliki oleh penemunya. Juga, tidak akan dapat terlepas dari muatan politik dari
penemunya.
Kesadaran akan muatan muatan moral dan politik ini akan menjadikan konselor semakin
tajam dalam melakukan praktik konseling. Sebab dengan mengetahui moral dan muatan
politik yang dimiliki oleh penemu teori konseling tersebut berarti konselor akan semakin
sadar terhadap "arah" teori konseling itu. Dengan demikiam konselor dapat memilah dan
memilih teori mana yang cocok (fit/matching) dengan masalah yang dihadapi oleh klien
yang berbeda pula muatan moral dan politiknya.
3. Memahami bahwa kekuatan susiopolitik akan mempengaruhi dan menajamkan
perbedaan budaya dalam kelompok
Anggota masyarakat suatu kelompok tertentu, seperti yang telah dije!askan pada bab bab
terdahulu pasti mempunyai aturan aturan tertentu yang berbeda dengan aturan anggota
kelompok yang lainnya. Perbedaan ini bisa terimbas dengan adanya keadaan politik suatu
negara. Politik memungkinkan terjadinya permusuhan antar etnis untuk kepentingan
kekuasaan.
Perbedaan sosio budaya dalam suatu negeri bisa meruncing karena adanya intervensi
kekuatan kekuatan politik yang memang memakai isu perbadaan sosio budaya untuk
kepentingannya. Masih teringat dengan jelas di benak kita adanya perbedaan etnis di
Jugoslavia. Pada kurun waktu lima belas tahun yang lalu, etnis Islam masih bisa hidup
berdampingan dengan etnis asli jugoslavia. Tetapi apa yang terjadi kemudian, demi
kepen¬tingan politik tertentu, terjadi usaha pembersihan etnis. Di sini terjadi pergolakan
antar etnis yang pada akhirnya memakan beberapa ribu nyawa manusia dan meruntuhkan
budaya yang dimilikinya.
Konselor sebaiknya melihat fenomena yang terjadi sebagai suatu pangetahuan bahwa
pergolakan yang terjadi antar etnis sangat dimungkinkan akan muncul jika ada
kepentingan politik di dalamnya. Dengan demikian konselor akan sadar, dengan siapa dia
akan berhadapan. Harus muncul pertanyaan dari diri konselor, “Siapakah klien saya?”,
“Berasal dari etnis manakah klien saya?”, “Bagaimana budaya klien saya?”, “Bagaimana
cara saya melayaninya dengan seobyektif mungkin?”
3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus
mempunyai perhatian terhadap lingkungannya.
Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang
berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai
nilai atau norma norma yang dimili¬ki oleh suku suku tertentu. Terlebih lagi, jika konse!
or melakukan praktek konseling di indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia
mempunyai kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang
berbeda.
Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan
memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik. Dengan mengadakan
perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di sekitarnya, diharapkan konselor dapat
mencegah terjadinya kemandegan atau pertentangan selama proses konseling.
4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat
memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor)
Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor
mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan ¬bahwa konselor tidak
boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil
apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh
diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.