Professional Documents
Culture Documents
PERSALINAN NORMAL
1.1. Mekanisme Persalinan
Melahirkan adalah periode dari awal uterus kontraksi sampai
pengeluaran plasenta. Proses di mana ini biasanya terjadi disebut labor
istilah yang dalam konteks obstetrik diambil beberapa konotasi dari
bahasa Inggris. Menurut New Shorter Oxford English Dictionary (1993),
kerja keras, kesulitan, penderitaan, tenaga tubuh, terutama ketika
menyakitkan, dan hasil kerja semua karakteristik persalinan dan dengan
demikian terlibat dalam proses persalinan.
Pada awal persalinan, posisi janin terhadap jalan lahir sangat
penting untuk rute pelahiran. Sebagai contoh, jika pada saat persalinan,
janin melintang pada jalan lahir, pilihan tepat agar dapat melahirkan bayi
yang viable adalah seksio sesaria atau versi podalik untuk mengubah
letak lintang menjadi letak memanjang. Jadi, sangat penting untuk
mengetahui posisi janin dalam rongga uterus pada awitan persalinan.
1.1.1. Letak janin, presentasi, sikap, dan posisi
Gambar Presentasi kepala, perbedaan posisi tubuh janin (a) vertex, (b)
sinciput, (c) brow, (d) muka
B. Presentasi bokong
Bila janin menunjukkan presentasi bokong, terdapat tiga konfigurasi
umum yang dapat terjadi. Apabila paha berada dalam posisi fleksi dan
tungkai bawah ekstensi di depan badan, hal ini disebut presentasi
bokong murni (frank breech). Jika paha fleksi di abdomen dan tungkai
bawah terletak di atas paha, keadaan ini disebut presentasi bokong
sempurna (complete breech). Bila salah satu atau kedua lutut,
merupakan bagian terbawah, hal ini disebut presentasi bokong tidak
sempurna (incomplete breech), atau presentasi bokong kaki (footling
breech).
Oksiput,
dagu
(mentum),
dan
sacrum
janin
masing-masing
harus
diperhatikan.
Karena
terdapat
dua
posisi,
sebagai
konsekuensinya terdapat tiga variasi untuk tiap posisi (kanan atau kiri) dan
enam variasi untuk tiap presentasi tersebut (tiga kanan dan tiga kiri).
Karena bagian terbawah dapat berada pada posisi kanan atau kiri,
terdapat oksiput kanan dan kiri, mentum kanan dan kiri, dan sacrum
kanan dan kiri, yang masing-masing disingkat LO dan RO, LM dan RM,
dan LS dan RS. Karena bagian terbawah pada masing-masing posisi
tersebut dapat mengarah ke anterior (A), melintang (T), atau ke posterior
(P), terdapat enam variasi pada setiap presentasi tersebut. Jadi pada
Manuver
pertama,
setelah
memperhatikan
kontur
uterus
and
3)
ditemukan.
Diferensiasi
vertex,
wajah,
dan
bokong
posisi
di
bagian
terbawah
janin
ini
10
wanita nulipara, kepala janin dapat bebas bergerak di atas pintu atas
panggul pada awitan persalinan. Dalan keaadaan ini, kepala kadangkala
disebut mengambang. Kepala yang berukuran normal biasanya tidak
melakukan engagement dengan sutura sagitalisnya mengarah ke
anteroposterior. Melainkan, kepala janin biasanya memasuki pintu atas
panggul pada diameter transversal atau salah satu dari diameter obliknya.
Asynclitism. Meskipun kepala janin cenderung berakomodasi
terhadap sumbu lintang pintu atas panggul, sutura sagitalis sambil tetap
sejajar dengan sumbu tersebut mungkin tidak terletak tepat di tengah
antara simfisis dan promontorium sacrum. Sutura sagitalis sering kali
mengalami defleksi posterior ke arah promontorium atau defleksi anterior
ke arah simfisis. Defleksi lateral kepala seperti itu ke posisi lebih anterior
atau posterior di dalam panggul tersebut disebut asinklitismus. Jika sutura
sagitalis mendekati promontorium sacrum, akan lebih banyak bagian dari
tulang parietal anterior yang teraba oleh jari-jari pemeriksa dan kondisi ini
disebut asinklitismus anterior. Tetapi bila sutura sagitalis terletak dekat
simfisis, lebih banyak tulang parietal posterior yang teraba, dan kondisi ini
disebut asinklitismus posterior. Pada keadaan asinklitismus posterior yang
ekstrem, disebut juga kemiringan Litzmann, telinga posterior dapat diraba
dengan mudah.
Asinklitismus derajat sedang pasti terjadi pada persalinan normal,
tetapi kalau berat, gerakan ini dapat menimbulkan disproporsi sefalopelvik
pada panggul yang berukuran normal sekalipun. Perubahan yang
berturut-turut dari asinklitismus posterior ke anterior mempermudah
desensus
dengan
memungkinkan
kepala
mengambil
kesempatan
11
12
13
14
16
dependen, pada posisi LOT hal ini ditemukan pada bagian atas dan
posterior tulang parietal kanan, dan pada posisi ROT di atas daerah
serupa di tulang parietal kiri. Dipercaya bahwa setelah persalinan, posisi
awal sering dapat diketahui dengan memperhatikan lokasi kaput
succedaneumnya.
perubahan
bentuk
kepala
janin
akibat
gaya
dan
pemanjangan
diameter
mentovertikal.
Perubahan-
17
18
Persalinan
fase
aktif
secara
bersamaan
menggambarkan
penurunan janin dan dilatasi serviks. Penurunan dimulai pada fase akhir
19
20
berkolaborasi dalam
Tabel Rasio perawat berbanding pasien yang direkomendasikan pada saat persalinan
21
dengan orang-orang dari 2.697 wanita yang disajikan dalam fase laten.
Ibu mengaku selama persalinan laten fase memiliki lebih banyak fase
istirahat
aktif,
kebutuhan
stimulasi
oksitosin
persalinan,
dan
23
24
26
27
negara
bagian,
misalnya
Texas,
sekarang
melakukan
pemeriksaan rutin untuk sifilis, hepatitis B, dan HIV pada semua wanita
yang masuk ke unit persalinan dan kelahiran.
1.3.2. Penatalaksanaan partus kala I
Pemeriksaan fisik umum yang belum dilakukan harus diselesaikan
sesegera mungkin setelah pasien masuk rawat inap. Yang paling baik,
seorang dokter dapat membuat kesimpulan tentang normalnya kehamilan
tersebut apabila semua pemeriksaan, termasuk tinjauan ulang rekam
medis dan laboratorium, sudah dilaksanakan. Sebuah rencana yang
rasional
untuk
memantau
persalinan
kemudian
dapat
ditegakkan
berdasarkan kepentingan janin dan ibunya. Bila tidak ada kelainan yang
ditemukan atau diduga, si ibu harus diyakinkan bahwa semuanya beres.
Meskipun durasi rata-rata persalinan kala satu pada wanita nulipara
adalah sekitar 7 jam dan wanita para sekitar 4 jam, terdapat variasi
28
29
sampai
analgesia
diberikan.
Sistem
infus
intravena
30
natrium, dan air untuk wanita yang sedang berpuasa dengan kecepatan
60 sampai 120 ml per jam, efektif untuk mencegah dehidrasi dan asidosis.
1.3.2.7. Posisi ibu selama persalinan
Ibu yang dalam proses bersalin tidak perlu terus berbaring di
tempat tidur pada awal persalinan. Sebuah kursi yang nyaman mungkin
lebih bermanfaat secara psikologis dan mungkin juga secara fisologis. Di
tempat tidur, ibu hendaknya diperbolehkan mengambil posisi yang
dirasanya enak, paling sering adalah berbaring miring. Ibu tidak harus
ditahan pada posisi terlentang. Bloom dkk (1998) melakukan percobaan
acak untuk berjalan selama persalinan pada 1000 wanita dengan
kehamilan risiko rendah. Mereka menemukan bahwa berjalan tidak
mempercepat atau mengganggu persalinan aktif dan tidak berbahaya.
Analgesi paling sering mulai diberikan berdasarkan rasa nyeri pada
wanita yang bersangkutan. Jenis analgesia, jumlahnya dan frekuensi
pemberian hendaknya didasarkan pada kebutuhan untuk menghilangkan
nyeri di satu pihak, dan kemungkinan melahirkan bayi yang sakit di lain
pihak.
1.3.2.8. Amniotomi
Bila selaput ketuban masih utuh, ada dorongan yang besar, bahkan
pada persalinan normal sekalipun, untuk melakukan amniotomi. Manfaat
yang diperkirakan adalah persalinan bertambah cepat, deteksi dini kasus
pencemaran mekonium pada cairan amnion, dan kesempatan untuk
memasang elektroda ke janin serta memasukkan pressure catheter ke
dalam rongga uterus. Jika amniotomi dilakukan, yang harus diupayakan
menggunakan teknik aseptik. Yang penting, kepala janin harus tetap
berada di serviks dan tidak dikeluarkan dari panggul selama prosedur,
karena tindakan seperti itu akan menyebabkan prolaps tali pusat.
31
kandung
kemih
harus
dihindarkan
karena
dapat
kakinya
pada
alas.
Hendaknya
diinstruksikan
untuk
32
33
34
sengit
mengenai
episiotomi
harus
dilakukan.
Kami
manuver
memungkinkan
membantu
Ritgen,
dokter
ekstensi
atau
modifikasi
mengendalikan
sehingga
kepala
Ritgen.
Manuver
kelahiran
kepala
dilahirkan
dengan
dan
ini
juga
diameter
35
36
sementara
atau
mungkin
permanen.
Selanjutnya,
traksi
37
cukup longgar, dilepaskan dari kepala bayi. Kalau lilitan mencengkik erat
di leher sehingga susah dilepaskan dari kepala, hendaknya dipotong di
antara dua klem dan bayi dilahirkan secara cepat.
Tali pusat dipotong di antara dua klem seperti yang dipasang 4 atau
5 cm dari abdomen janin, dan kemudian satu klem tali pusat dipasang 2
atau 3 cm dari abdomen janin.
Saat yang tepat mengklem tali pusat
Jika setelah lahir, bayi ditempatkan setinggi introitus vagina atau di
bawahnya selama 3 menit dan sirkulasi fetoplasental tidak segera
disumbat dengan klem tali pusat, sekitar 80 mL darah dapat berpindah
dari plasenta ke janin (Yao dan Lind, 1974). Satu keuntungan dari
transfuse plasenta tersebut adalah fakta bahwa hemoglobin pada 80 mL
darah palsenta yang berpindah ke bayi tersebut memberikan 50 mg besi
sebagai simpanan bayi dan tentu saja mengurangi frekuensi anemia
defisiensi besi pada masa bayi.
Pada percepatan perusakan eritrosit, seperti yang terjadi pada
alloimunisasi ibu, bilirubin yang terbentuk dari eritrosit tambahan tersebut
ikut mempererat bahaya hiperbilirubinemia. Meskipun secara teori resiko
beban
sirkulasi
yang
berlebihan
akibat
hipervolemia
berat
38
kami
adalah
mengklem
tali
pusat
setelah
39
Gambar: Kiri: Plasenta dikeluarkan dari vagina dengan mengangkat tali pusat.
Kanan: Selaput yang melekat pada lapisan uterus dilepaskan perlahan dengan
forsep.
1.3.5.3. Pengeluaran plasenta manual
41
papila
persalinan juga
42
mencegah
perdarahan
kala
tiga.
Syntometrine
merupakan
43
regimen dosis tinggi dibandingkan dengan kelompok dosis rendah (19 dan
39 persen).
1.3.6.4. Prostaglandin
Analog
prostaglandin
tidak
digunakan
secara
rutin
untuk
manajemen persalinan kala tiga. Villar dkk pada tahun 2002 mengamati
penggunaan profilaktik misoprostol untuk mencegah perdarahan post
partum dan menyimpulkan bahwa sediaan oksitosin atau oksitosin-ergot
lebih efektif. Prostaglandin lain seperti 15-metil prostaglandin F 2
digunakan untuk penanganan atonia uteri dengan perdarahan.
1.3.7. Kala Empat Persalinan
Plasenta, selaput, dan tali pusat harus diperiksa lengkap atau tidak,
dan apakah terdapat kelainan atau tidak. Setelah melahirkan merupakan
waktu yang kritis, dan disebut kala empat persalinan. Meskipun oksitosin
telah diberikan, perdarahan post partum karena atonia uteri lebih mungkin
terjadi pada masa ini. Sehingga, uterus dan perineum harus sering
dievaluasi. American Academy of Pediatrics dan American College of
Obstetricians and Gynecologists pada tahun 2007 merekomendasikan
tekanan darah dan nadi ibu diperiksa segera setelah melahirkan dan tiap
15 menit pada satu jam pertama.
1.3.8. Laserasi jalan lahir
Laserasi vagina dan perineum diklasifikasikan menjadi laserasi
derajat satu hingga empat. Laserasi derajat satu mengenai fourchette,
kulit perineal, dan membran mukosa vagina tapi tidak mengenai otot dan
fascia di bawahnya. Ini termasuk laserasi periurethral yang dapat
mengeluarkan darah dalam jumlah banyak. Laserasi derajat dua
mengenai fascia dan otot perineal tapi tidak mengenai sfingter ani.
Robekan ini biasanya meluas ke atas pada satu atau kedua sisi vagina,
berbentuk segitiga ireguler. Laserasi derajat tiga mengenai sfingter ani.
44
Gambar: Klasifikasi laserasi perineum. Atas Kiri: Laserasi derajat satu, robekan
superfisial yang mengenai mukosa vagina dan/atau kulit perineal. Atas Kanan:
Laserasi derajat dua, meluas ke fascia dan otot yang mengelilingi vagina. Bawah
Kiri: Laserasi derajat tiga, meluas ke otot sfingter ani eksterna. Bawah Kanan:
Laserasi derajat empat, meluas ke lumen anorektal dan mengenai sfingter ani
eksterna dan interna.
45
dinding
menunjukkan
vagina
bahwa
dan
episiotomi
inkontinensia).
berhubungan
Sejumlah
penelitian
dengan peningkatan
46
dan
menyebabkan
inkontinensia
sfingter
ani
dengan
meningkatkan risiko robekan derajat tiga dan empat. Signorello dkk pada
tahun 2000 melaporkan bahwa inkontinensia alvi dan flatus meningkat
empat sampai enam kali lipat pada ibu dengan episiotomi dibandingkan
dengan kelompok ibu yang melahirkan dengan perineum intak. Bahkan
jika dibandingkan dengan laserasi spontan, episiotomi meningkatkan
risiko inkontinensia alvi tiga kali lipat dan inkontinensia flatus dua kali lipat.
Episiotomi tanpa perluasan tidak menurunkan risiko-risiko tersebut.
Terlepas dari perbaikan perluasan derajat tiga, 30 sampai 40 persen ibu
mengalami inkontinensia ani jangka panjang. Alperin dkk pada tahun 2008
melaporkan bahwa episiotomi yang dilakukan pada persalinan pertama
berisiko lima kali lipat menyebabkan laserasi derajat dua atau lebih
dibandingkan dengan persalinan kedua.
Karena alasan-alasan tersebut, American College of Obstetricians
and Gynecologists pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa pembatasan
tindakan episiotomi lebih disukai daripada dilakukan secara rutin.
Prosedur harus dilakukan secara selektif untuk indikasi yang tepat. Hal ini
termasuk indikasi janin seperti distosia bahu dan persalinan sungsang,
persalinan dengan vakum atau ekstraksi forsep, posisi oksiput posterior,
dan kondisi lain di mana kegagalan dalam melakukan episiotomi akan
mengakibatkan ruptur perineum.
1.3.9.2. Waktu episiotomi
Jika dilakukan terlalu awal, perdarahan dari episiotomi dapat
menjadi signifikan selama jangka waktu antara insisi dan persalinan. Jika
terlambat dilakukan, laserasi tidak dapat dicegah. Biasanya episiotomi
dilakukan ketika kepala terlihat selama kontraksi dengan diameter 3
sampai 4 cm. Ketika dilakukan pada persalinan dengan forsep, sebagian
besar episiotomi dilakukan setelah pemasangan forsep.
47
Gambar: Episiotomi medial. Dua jari diposisikan di antara perineum dan kepala
janin, kemudian episiotomi dilakukan dengan memotong ke bawah secara
vertikal.
Episiotomi Medial
Episiotomi Medilateral
Perbaikan pembedahan
Mudah
Lebih sulit
Gangguan penyembuhan
Jarang
Lebih sering
Minimal
Sering
Baik
Kadang buruk
Perdarahan
Sedikit
Lebih banyak
Dyspareunia
Jarang
Kadang
Perluasan
Sering
Jarang
Hasil anatomis
medial
dengan
persalinan
pervaginam
operatif
karena
dengan
metode
apapun.
Analgesia
adekuat
sangat
dilaporkan
dapat
menurunkan
nyeri
pasca
pembedahan.
perbaikan
dengan
metode
kontinyu
dan
interuptus
49
Gambar: Perbaikan episiotomi medial. Atas Kiri: Disrupsi cincin hymen dan m.
bulbocavernosus dan m. perineal transverse superfisial terlihat pada insisi
berbentuk wajik setelah episiotomi. Atas Kanan: Benang jahit ukuran 2-0 atau 3-0
yang dapat diabsorbsi digunakan untuk menutup mukosa dan submukosa vagina
dengan metode kontinyu. Bawah Kiri: Setelah menutup insisi vagina dan
mendekatkan kembali tepi robekan cincin hymen, jarum dan benang diposisikan
untuk menutup insisi perineum. Bawah Tengah: Metode kontinyu dengan benang
ukuran 2-0 atau 3-0 yang dapat diabsorbsi digunakan untuk menutup fascia dan
otot perineum yang diinsisi. Bawah Kanan: Benang kemudian diarahkan ke atas
secara subkutis. Simpul diikat proksimal dari cincin hymen.
50
51
Gambar: Perbaikan lapisan laserasi perineum derajat empat. Atas Kiri: Mukosa
dan submukosa anorektal dirapatkan menggunakan benang kromik atau Vicryl
yang dapat diabsorbsi berukuran 3-0 atau 4-0. Selama penjahitan ini, lapisan
atas dari laserasi anus anterior dapat terlihat, dan benang ditempatkan melalui
submukosa anorektum dengan jarak sekitar 0,5 cm di bawah tepi anus. Atas
Kanan: Lapisan kedua ditempatkan melalui otot rektum menggunakan benang
Vicryl ukuran 3-0. Lapisan ini harus menyatukan tepi robekan sfingter ani interna,
yang dikenali sebagai penebalan lapisan otot polos sirkuler 2 sampai 3 cm distal
dari anal canal, struktur fibrous putih mengkilat terletak di antara submukosa anal
canal dan sabut sfingter ani eksterna. Bawah: Sfingter ani eksterna dirapatkan
dengan metode tradisional ujung-ke-ujung, benang ditempatkan melalui otot
sfingter ani eksterna, menggunakan benang Vicryl ukuran 2-0 atau 3-0 sebanyak
4 sampai 6 jahitan interuptus sederhana pada posisi jam 3, 6, 6, dan 12 melalui
kapsul jaringan ikat otot sfingter ani eksterna. Benang melalui bagian inferior dan
52
posterior sfingter ditempatkan pertama dan diikat terakhir. Bawah Kiri: Jahitan
melalui dinding posterior kapsul sfingter ani eksterna. Bawah Tengah: Jahitan
melalui sfingter ani eksterna (benang biru) dan dinding kapsul inferior. Bawah
Kanan: Jahitan untuk merapatkan dinding anterior dan superior kapsul sfingter
ani eksterna. Sisa perbaikan sama seperti episiotomi medial.
ice
pack
membantu
mengurangi
bengkak
dan
53
54
BAB 2
INTRAPARTUM ASSESSMENT
Sejak tahun 1958, telah dikembangkan pemantauan denyut jantung
janin secara elektronik dan kontinyu (continuous electronic fetal
monitoring/ EFM) dan pertama kali diperkenalkan di dunia obstetri pada
tahun 1960. Sebelum tahun-tahun tersebut, pemantauan surveilans
intrapartum janin dan dugaan terhadap adanya fetal distress dinilai
dengan auskultasi janin periodik dengan fetoskop. Kini persepsi tentang
gawat janin tidak lagi terbatas dari bunyi jantung, melainkan adanya
gambaran kontinyu frekuensi denyut jantung yang terpampang di kertas
grafik juga memiliki potensi diagnostik untuk menilai proses-proses
patofisiologis yang mempengaruhi janin. Saat itu sangat diharapkan:
1. Pemantauan
frekuensi
denyut
jantung
janin
secara
elektronik
55
dan
dimasukkan
ke
dalam
suatu
kardiotakometer
baru.
Pada
kontraksi
atrial
prematur
(premature
atrial
56
Gambar Rekaman denyut jantung ibu (m=maternal) yang terdeteksi pada kertas grafik
57
terdiri
atas
sebuah
transuder
yang
mengeluarkan
di
tempat
penempelan
karena
udara
kurang
dapat
58
59
Sistem
sistem
simpatis
menimbulkan
parasimpatis
adalah
pengaruh
faktor
akselerator,
deselerator
yang
Hipoksia
meningkatnya
kadar
yang
laktat
parah
darah
dan
dan
berkepanjangan,
asidemia
metabolik
disertai
berat
60
61
basal
merupakan
indeks
penting
untuk
fungsi
jangka
panjang
digunakan
untuk
menjelaskan
sebagai
satu
kesatuan.
Namun,
wokshop
tersebut
62
terjadi
pada
asidemia
janin.
Hipoksemia
juga
dapat
dan
berbagai
obat
depresan
juga
sering
dijumpai
63
penurunan variabilitas (4,2 dpm atau kurang) yang menetap selama 1 jam
bersifat diagnostik untuk asidemia dan ancaman kematian jainin.
Sebagai kesimpulan, variabilitas denyut-demi-denyut dipengaruhi
beragam mekanisme patologis dan fisiologis. Variabilitas memiliki arti yang
cukup
berbeda-beda
bergantung
pada
sitauasi
klinis.
Penurunan
Gambar Variabilitas denyut jantung basal janin. (1) tidak ada variabilitas,
(2) variabilitas minimal 5 dpm, (3) variabilitas sedang (normal) 6-25 dpm,
(4) variabilitas bermakna >25 dpm
2.1.3.4. Aritmia jantung
Temuan-temuan pada pemantauan elektronik yang menimbulkan
kecurigaan kuat adanya aritmia jantung janin adalah bradikardia basal,
takikardia, atau terutama pembentukan gelombang taji basal mendadak
64
yang
tampak
sebagai
hidrops
fetalis.
Banyak
aritmia
serta
ekokardiografi
mungkin
bermanfaat.
Beberapa
dokter
definisinya
yang
masih
beragam.
Tampaknya
terdapat
mekanisme
umpan
balik
baroreseptor/kemoreseptor
untuk
mengontrol sirkulasi.
kompresi
kepala,
deselerasi
lambat
disebut
insufisiensi
variabel.
Mekanisme
yang
diperkirakan
menyebabkan
67
68
menyebabkan
kandungan
peningkatan
oksigen
kemoreseptor
dan
arteri
afterload,
janin.
baroreseptor,
Hal
atau
hipertensi,
ini
dan
penurunan
menyebabkan
keduanya
yang
aktivitas
kemudian
akselerasi dan deselerasi yang rekuren dan cepat sehingga terjadi osilasi
yang relatif besar pada frekuensi denyut jantung janin basal. Tanpa ada
kelainan frekuensi denyut jantung janin lainnya, pola saltatorik ini tidak
mencerminkan gangguan janin.
berkepanjangan
didefinisikan
sebagai
deselerasi
tersendiri yang berlangsung 2 menit atau lebih, tetapi kurang dari 10 menit
dari awitan untuk kembali ke basal. Deselerasi berkepanjangan sulit
diinterpretasikan karena dijumpai pada banyak situasi klinis. Beberapa
kausa yang relatif sering dijumpai antara lain pemeriksaan serviks,
hiperaktivitas uterus, lilitan tali pusat, dan hipotensi ibu pada posisi
terlentang. Analgesia epidural, spinal atau paraservikal juga sering
menjadi penyebab deselerasi berkepanjangan frekuensi denyut jantung
janin. Kausa lain deselerasi berkepanjangan adalah hipoperfusi atau
hipoksia ibu apapun sebabnya, solusio plasenta, simpul atau prolaps tali
pusat, kejang ibu termasuk eklamsia dan epilepsi, aplikasi elektrode di
kulit kepala janin, menjelang persalinan, atau bahkan saat valsava
manuver pada ibu.
2.1.3.8. Pola frekuensi denyut jantung janin pada persalinan kala dua
Pada persalinan kala kedua, deselerasi frekuensi denyut jantung
janin lebih sering dijumpai. Baik penekanan tali pusat maupun penekanan
kepala janin diperkirakan menyebabkan deselerasi dan bradikardia basal
selama persalinan kala dua. Spong dkk (1998) menganalisis karakteristik
71
deselerasi variabel frekuensi denyut jantung janin kala dua pada 250
persalinan dan mendapatkan bahwa dengan meningkatnya jumlah total
deselerasi yang kurang dari 70 dpm, skor APGAR menit ke-5 menurun.
Dengan kata lain, semakin lama janin mengalami deselerasi variabel,
semakin rendah skor Apgar menit ke-5 nya. Picquard dkk (1988)
menganalisis pola frekuensi denyut jantung janin selama kala dua pada
234 wanita dalam upaya mengidentifikasi pola-pola spesifik untuk
mendiagnosis gangguan janin. Hilangnya variabilitas denyut-demi-denyut
dan frekuensi denyut jantung janin basal yang kurang dari 90 dpm bersifat
prediktif untuk asidemia janin. Krebs dan rekan (1981) juga mendapatkan
bahwa bradikardia basal yang persisten atau progresif, sama halnya
dengan takikardia basal, menyertai skor APGAR yang rendah. Gull dan
rekan (1996) mengamati bahwa deselerasi mendadak yang menyebabkan
frekuensi denyut jantung janin menjadi kurang dari 100 dpm, dan yang
disertai hilangnya variabilitas denyut-demi-denyut selama 4 menit atau
lebih, bersifat prediktif untuk asidemia janin. Dengan demikian, kelainan
frekuensi denyut jantung basal, baik bradikardia atau takikardia, tidak
adanya
variabilitas
denyut-demi-denyut,
atau
keduanya,
disertai
72
pada
orang
dewasa,
dikembangkan
peralatan
yang
75
pemeriksaan
penunjang
pada
pemantauan
janin
secara
menyebabkan
reassuring
munculnya
(meyakinkan)
atau
istilah-istilah
nonreassuring
deskriptif
misalnya
(meragukan,
tidak
pola
ketidakmampuan
tertentu,
kita
sedangkan
menghilangkan
reassuring
keraguan.
mengisyaratkan
Pola-pola
selama
76
2.3.1. Patofisiologi
Mengapa diagnosis gawat janin yang didasarkan pada pola
frekuensi denyut jantung sangat lemah? Salah satu penjelasannya adalah
bahwa pola-pola ini lebih merupakan cerminan fisiologi daripada patologi
janin. Pengendalian frekuensi denyut jantung secara fisiologis terdiri atas
beragam mekanisme yang saling berkaitan dan bergantung pada aliran
darah serta oksigenasi. Selain itu, aktivitas mekanisme-mekanisme
pengendali ini dipengaruhi keadaan oksigenasi janin sebelumnya, seperti
tampak pada insufisiensi plasenta kronik, sebagai contoh. Yang juga
penting, janin tertambat ke tali pusat, tempat aliran darah terus menerus
mengalami gangguan, sehingga janin harus memiliki strategi untuk dapat
bertahan hidup. Selain itu, persalinan normal adalah suatu proses yang
menyebabkan janin mengalami asidemia yang semakin meningkat
(Rogers dkk, 1998). Dengan demikian, persalinan normal adalah suatu
proses
saat
janin
mengalami
serangan
hipoksia
berulang
yang
dan
rekan
(1999)
meneliti
kesepakatan
77
yang
parah,
atau
bradikardia
atau
takikardia
yang
jantung
janin
intrapartum
pada
898
kehamilan
dengan
sebagai
normal,
stres,
atau
gawat.
Gawat
janin
78
dalam gawat janin antara lain tidak variabilitas plus deselerasi lambat atau
deserasi variabel sedang sampai parah atau denyut basal kurang dari 110
dpm selama 5 menit atau lebih. Hasil akhir seperti seksio sesarea,
asidemia janin, dan rawat inap di ruang perawatan intensif bermakna dan
berkaitan dengan pola frekuensi denyut jantung janin. Para penulis ini
menyimpulkan bahwa sistem klasifikasi mereka secara akurat dapat
memprediksi hasil akhir normal bagi janin serta membedakan gawat janin
yang sesungguhnya.
2.3.2.2. Interpretasi status ritme detak jantung janin
Singkatnya lebih 40 tahun pengalaman dengan interpretasi pola
frekuensi denyut jantung janin, akhirnya ditemukan bahwa beberapa
kombinasi pola frekuensi denyut jantung janin dapat digunakan untuk
mengidentifikasi janin normal dan abnormal. Pola gawat janin yang sejati
tampaknya berupa tidak adanya variabilitas denyut-demi-denyut disertai
deselerasi berat atau perubahan frekuensi basal per sistem atau
keduanya. Salah satu penjelasan mengapa manfaat pemantauan
frekuensi denyut jantung sulit dibuktikan secara ilmiah adalah gawat janin
semacam itu jarang terjadi sehingga sulit dilakukan uji klinis yang sahih
(Hornbuckle dkk, 2000).
2.3.3. Mekonium dalam cairan amnion
Pendidikan obstetri sepanjang abad ini mengajarkan konsep bahwa
keluarnya mekonium kemungkinan merupakan peringatan adanya asfiksia
janin. J Whitridge Williams mengamati pada tahun 1930 bahwa tanda
khas ancaman asfiksia adalah keluarnya mekonium. Ia menyatakan
bahwa keluarnya mekonium disebabkan oleh relaksasi otot sfingter ani
yang dipicu oleh kurangnya aerasi darah (janin). Namun, para ahli
kebidanan juga telah lama menyadari bahwa deteksi mekonium selama
persalinan menimbulkan masalah dalam memprediksi asfiksia atau gawat
janin. Dalam kajian mereka, Katz dan Bowes (1992) menekankan nilai
prognostik mekonium yang bersifat tidak pasti dengan menyebut topik ini
79
manusia
dipersulit
oleh
mekonium,
hanya
sedikit
yang
80
81
82
dengan
menghalangi
aliran
darah
aorta
induk.
Hal
ini
83
menggunakan
janin
domba,
Matsuda,
dkk
(1999)
secara
akut
sehingga
menumbulkan
hipotensi
dan
84
85
beberapa
asumsi
yang
keliru
di
balik
harapan
86
kematian atau kecacatan neonatus dapat dicegah. Paree dan King (2000)
mengkaji alasan-alasan mengapa hasil pemantauan frekuensi denyut
jantung janin tidak sesuai dengan harapan. Harapan-harapan yang tanpa
bukti ini sangat mendorong terjadinya penuntutan malpraktik di bidang
obstetri. Memang, Symonds (1994) melaporkan bahwa 70% klaim
liabilitas yang berkaitan dengan kerusakan otak didasarkan pada temuan
yang dianggap kelainan pada rekaman pemantauan janin secara
elektronik.
Sangat banyak janin yang memperlihatkan kelainan frekuensi
denyut jantung selama persalinan sehingga deteksi yang akurat terhadap
janin yang benar-benar mengalami gangguan sulit dilakukan. Memang,
sebagian besar gawat janin tidak mencerminkan janin yang benar-benar
mengalami gangguan. Masih terjadi perdebatan mengenai interpretasi
berbagai pola frekuensi denyut jantung janin. Sebagai contoh, Keith, dkk
(1995) meminta 17 pakar untuk memeriksa 50 rekaman pada dua kali
kesempatan, yang masing-masing terpisah paling tidak 1 bulan. Sekitar
20% mengubah interpretasi mereka sendiri, dan sekitar 25% tidak setuju
dengan interpretasi kolega mereka.
Pada akhir tahun 1970an, pertanyaan mengenai efektivitas,
keamanan, dan biaya pemantauan elektronik mulai disuarakan oleh Office
Technology Assesment, Kongres Amerika Serikat, dan Centers for
Disease Control and Prevention. Banta dan Thacker (1979) menganalisis
158 laporan dan menyimpulkjan bahwa kemajuan teknik yang dibutuhkan
untuk membuktikan bahwa kita dapat membuat perekaman yang andal
tampaknya telah membutakan sebagian besar pengamat atas kenyataan
bahwa informasi tambahan ini tidak selalu menyebabkan hasil akhir
menjadi lebih baik. Mereka memperkirakan bahwa kurangnya manfaat
tersebut disebabkan oleh kurang akuratnya alat pemantau elektronik
dalam mengidentifikasi keadaan gawat janin. Selain itu, peningkatan
penggunaan monitor disertai peningkatan angka seksio sesarea. Mereka
memperkirakan bahwa biaya tambahan melahirkan di Amerika Serikat,
87
sebuah
gugus
tugas
untuk
mempelajari
kekhawatiran-
NICHD
Fetal
Monitoring
Workshop
(1997)
kembali
perjanjian
pada
level
nasional
tentang
interpretasi
dan
manajemen.
2.3.6.1. Pemantauan selektif dan universal
Pada bulan Juli 1982, di Parkland Hospital dimulai suatu penelitian
untuk memastikan apakah semua wanita dalam persalinan perlu
menjalani pemantauan elektronik (Leveno, dkk. 1986). Pemantauan
elektronik universal dilakukan secara bergantian dengan pemantauan
frekuensi denyut jantung selektif setiap bulannya, yaitu praktik yang biasa
88
universal.
Dengan
demikian,
peningkatan
pemakaian
89
benar
terjadi
persalinan
atau
tidak
hanya
berdasarkan
90
pelopor-pelopor
yang
telah
membuat
banyak
untuk
mungkin
akan
menimbulkan
rasa
tidak
nyaman
karena
peregangan uterus, serviks, dan jalan lahir biasanya diduga memicu rasa
tidak nyaman.
Uterus diharapkan tetap melemas selama kehamilan, berkontraksi
secara efektif tetapi intermiten selama persalinan, dan kemudian berada
dalam keadaan kontraksi yang hampir konstan selama beberapa jam
pascapartum. Kontraksi uterus setelah janin lahir serupa dengan kontaksi
yang menyebabkan kelahiran bayi. Pola aktivitas uterus bersifat menyurut
secara bertahap atau kebalikannya yang berakhir dengan kelahiran.
92
ke
seluruh
uterus
dengan
kecepatan
cm/detik
dan
kurang dari 4 menit. Aktivitas uterus yang lebih kecil terdapat pada
terhentinya persalinan. Diagnosis prospektif persalinan hipotonik tidak
dapat ditegakkan hanya berdasarkan analisis terhadap beberapa rekaman
tekanan uterus.
DAFTAR PUSTAKA
-
Wiknjosastro
H, editor. Ilmu
cetakan pertama.Jakarta:
Kebidanan. Edisi
Yayasan
Bina
Pustaka
keempat,
Sarwono
Prawirohardjo, 2009
94