You are on page 1of 94

BAB 1

PERSALINAN NORMAL
1.1. Mekanisme Persalinan
Melahirkan adalah periode dari awal uterus kontraksi sampai
pengeluaran plasenta. Proses di mana ini biasanya terjadi disebut labor
istilah yang dalam konteks obstetrik diambil beberapa konotasi dari
bahasa Inggris. Menurut New Shorter Oxford English Dictionary (1993),
kerja keras, kesulitan, penderitaan, tenaga tubuh, terutama ketika
menyakitkan, dan hasil kerja semua karakteristik persalinan dan dengan
demikian terlibat dalam proses persalinan.
Pada awal persalinan, posisi janin terhadap jalan lahir sangat
penting untuk rute pelahiran. Sebagai contoh, jika pada saat persalinan,
janin melintang pada jalan lahir, pilihan tepat agar dapat melahirkan bayi
yang viable adalah seksio sesaria atau versi podalik untuk mengubah
letak lintang menjadi letak memanjang. Jadi, sangat penting untuk
mengetahui posisi janin dalam rongga uterus pada awitan persalinan.
1.1.1. Letak janin, presentasi, sikap, dan posisi

Orientasi janin digambarkan menurut letak, presentasi, sikap dan


posisi. Hal ini dapat ditentukan secara klinis dengan melakukan palpasi
abdomen, pemeriksaan vagina, auskultasi, atau secara teknis dengan
menggunakan USG atau sinar X. Pemeriksaan klinis kurang akurat, atau
bahkan terkadang tidak mungkin dilakukan dan diinterpretasi pada wanita
obese.
1.1.1.1. Letak janin
Hubungan antara sumbu panjang janin dengan sumbu panjang ibu
disebut letak janin dan dapat memanjang atau melintang. Kadang-kadang,
sumbu janin dan ibu dapat bersilangan dengan sudut 45 derajat,
membentuk letak oblique, yang tidak stabil dan selalu berubah-ubah
menjadi memanjang atau melintang selama proses persalinan. Letak

memanjang terjadi pada lebih dari 99 persen persalinan aterm. Faktor


predisposisi untuk letak lintang adalah multiparitas, plasenta previa,
hidramnion, dan anomali uterus.
1.1.1.2. Presentasi janin
Bagian terbawah janin adalah bagian tubuh janin yang berada
paling depan di dalam jalan lahir atau berada paling dekat dengannya.
Bagian bawah janin dapat diraba melalui serviks pada pemeriksaan
vagina. Bagian terbawah janin menentukan presentasi. Karena itu, pada
letak memanjang bagian terbawah janin adalah kepala janin atau bokong.
Jika janin terletak pada sumbu panjang melintang, bahu merupakan
bagian terbawahnya. Jadi, presentasinya bahu teraba melalui serviks
pada pemeriksaan vagina.
A. Presentasi kepala
Presentasi tersebut diklasifikasikan menurut hubungan antara kepala
dan badan janin. Biasanya kepala mengalami fleksi maksimal sehingga
dagu menempel pada dada. Pada keaadaan ini, ubun-ubun kecil
(fontanela oksipitalis) merupakan bagian terbawah janin, meskipun
presentasi seperti itu biasanya disebut sebagai presentasi puncak
kepala (vertex) atau oksiput. Sesungguhnya vertex terletak tepat di
depan ubun-ubun kecil, dan oksiput terletak tepat di belakangnya. Jauh
lebih jarang leher janin dapat mengalami hiperekstensi sehingga
oksiput dan punggung saling menempel dan wajah menjadi bagian
terdepan di jalan lahir (presentasi muka). Kepala janin dapat
mengambil posisi di antara kedua keaadaan ini, pada beberapa kasus
fleksi parsial, dengan bagian presentasi yaitu fontanela anterior (ubunubun besar), atau bregma (presentasi sinsiput), atau mengalami
ekstensi partial pada kasus lainnya, dengan dahi sebagai bagian
terbawah (presentasi dahi). Kedua presentasi itu biasanya bersifat
sementara. Ketika persalinan maju, presentasi sinsiput atau dahi
hampir selalu berubah menjadi presentasi vertex atau muka karena
masing-masing akan mengalami fleksi atau ekstensi.

Gambar Presentasi kepala, perbedaan posisi tubuh janin (a) vertex, (b)
sinciput, (c) brow, (d) muka
B. Presentasi bokong
Bila janin menunjukkan presentasi bokong, terdapat tiga konfigurasi
umum yang dapat terjadi. Apabila paha berada dalam posisi fleksi dan
tungkai bawah ekstensi di depan badan, hal ini disebut presentasi
bokong murni (frank breech). Jika paha fleksi di abdomen dan tungkai
bawah terletak di atas paha, keadaan ini disebut presentasi bokong
sempurna (complete breech). Bila salah satu atau kedua lutut,
merupakan bagian terbawah, hal ini disebut presentasi bokong tidak
sempurna (incomplete breech), atau presentasi bokong kaki (footling
breech).

Gambar Letak longitudinal presentasi bokong

Gambar Letak transversal


1.1.1.3. Posisi janin
Posisi janin adalah hubungan antara titik yang ditentukan sebagai
acuan kepada bagian terbawah janin, dan sisi kanan atau kiri jalan lahir
ibu. Karena itu, pada setiap presentasi terdapat dua posisi, kanan atau
kiri.

Oksiput,

dagu

(mentum),

dan

sacrum

janin

masing-masing

merupakan titik penentu pada presentasi vertex, muka dan bokong.


1.1.1.4. Variasi presentasi dan posisi
Untuk menentukan orientasi yang lebih akurat, hubungan antara
titik bagian terbawah janin dan sisi depan, lintang atau belakang panggul
ibu

harus

diperhatikan.

Karena

terdapat

dua

posisi,

sebagai

konsekuensinya terdapat tiga variasi untuk tiap posisi (kanan atau kiri) dan
enam variasi untuk tiap presentasi tersebut (tiga kanan dan tiga kiri).
Karena bagian terbawah dapat berada pada posisi kanan atau kiri,
terdapat oksiput kanan dan kiri, mentum kanan dan kiri, dan sacrum
kanan dan kiri, yang masing-masing disingkat LO dan RO, LM dan RM,
dan LS dan RS. Karena bagian terbawah pada masing-masing posisi
tersebut dapat mengarah ke anterior (A), melintang (T), atau ke posterior
(P), terdapat enam variasi pada setiap presentasi tersebut. Jadi pada

presentasi oksiput, presentasi, posisi, dan variasinya dapat disingkat


dengan membentuk arah jarum jam sebagai berikut:

Gambar Variasi presentasi oksiput


Pada presentasi bahu, acromion (scapula) merupakan bagian janin
yang dipilih sebagai titik acuan terhadap panggul ibu. Akromion atau
punggung janin dapat mengarah ke posterior atau ke arah anterior dan ke
superior atau ke inferior. Karena tidak mungkin dilakukan pembedaan
secara tepat terhadap beberapa variasi presentasi bahu ini melalui
pemeriksaan klinis, dan karena pembedaan itu tidak mempunyai manfaat
praktis, biasanya semua janin letak lintang hanya disebut sebagai
presentasi bahu. Istilah lain yang digunakan adalah letak lintang dengan
punggung di atas atau di bawah.
1.1.2. Diagnosis presentasi dan posisi janin
Beberapa metode dapat digunakan untuk mendiagnosa presentasi
janin dan posisi. Ini termasuk palpasi perut, pemeriksaan vagina,
auskultasi, dan pada kasus tertentu yang meragukan dapat menggunakan
pencitraan seperti USG, CT-Scan, atau MRI.
1.1.2.1. Palpasi abdomen-manuver Leopold
Pemeriksaan abdomen sebaiknya dikerjakan secara sistematis
dengan menerapkan empat manuver yang dianjurkan oleh Leopold dan
Sporlin pada tahun 1894. Ibu sebaiknya berbaring terlentang dan berada

pada posisi yang nyaman dengan bagian abdomen dibiarkan terbuka.


Pada tiga manuver pertama, pemeriksa berdiri di samping tempat tidur
dan menghadap ke wajah pasien, pemeriksa mengubah posisi ini
menghadap ke kaki pasien pada manuver terakhir. Manuver-maneuver ini
mungkin sulit atau hampir tidak mungkin dilakukan dan diinterpretasikan
bila pasiennya obese atau jika plasenta berimplantasi di anterior.
1)

Manuver

pertama,

setelah

memperhatikan

kontur

uterus

and

menentukan seberapa dekatnya fundus dengan kartilago xifoid,


pemeriksa dengan lembut mempalpasi fundus dengan ujung-ujung jari
kedua tangannya untuk menentukan kutub janin yang berada di
fundus. Bokong janin memberikan perabaan masa nodular yang
besar, sementara kepala terasa keras dan lebih bebas digerakkan
2)

serta dapat digoyang-goyangkan (ballottable).


Setelah menentukan kutub janin yang terletak di fundus, telapak
tangan pemeriksa ditempatkan pada kedua sisi abdomen, dan
dilakukan penekanan yang lembut tetapi dalam. Di satu sisi teraba
struktur yang keras dan resisten, yaitu punggung, dan di sisi yang lain,
terdapat bagian-bagian kecil yang tidak teratur dan dapat digerakkan
yaitu ekstremitas janin. Pada wanita dengan dinding abdomen yang
tipis, ekstremitas janin dapat dibedakan dengan mudah, tetapi pada
wanita yang lebih berat, yang dapat diraba hanya nodulasi ireguler.
Bila terdapat obesitas atau cairan amnion yang banyak, punggung
akan lebih mudah teraba dengan menekan dalam-dalam dengan satu
tangan sambil mempalpasi sisi seberangnya dengan tangan lainnya.
Dengan memperhatikan apakah punggung mengarah ke anterior,
melintang, atau ke posterior, akan didapatkan gambaran yang lebih

3)

tepat mengenai orientasi janin.


Dengan menggunakan ibu jari dan jari-jari satu tangan, bagian bawah
abdomen ibu dipegang tepat di atas simpisis pubis. Bila bagian
terbawah janin belum cakap (engaged), akan teraba bagian tubuh
yang mudah digerakkan, biasanya kepala janin. Pembedaan antara
kepala dan bokong dilakukan seperti pada manuver pertama. Jika
bagian terbawah janin belum cakap, yang harus ditetapkan adalah
6

sikap kepala. Jika dengan palapasi yang cermat dapat diketahui


bahwa tonjolan kepala berada di sisi yang sama dengan bagian
bagian-bagian kecil, kepala janin pasti berada dalam keadaan fleksi,
dan oleh karenanya bagian terbawah janin pasti vertex. Bila tonjolan
kepala janin ada di sisi yang sama dengan punggung, kepala pasti
ekstensi. Namun bila bagian terbawah janin sudah sangat cakap,
temuan pada manuver ini hanya menunjukkan bahwa kutub bawah
4)

janin terfiksasi di dalam panggul.


Pemeriksa menghadap kaki ibu dan dengan ujung jari telunjuk, jari
tengah dan jari manis kedua tangan, menekan dalam-dalam ke arah
sumbu pintu atas panggul. Bila bagian terbawah adalah kepala, satu
tangan akan lebih cepat tertahan daripada tangan yang lainnya oleh
suatu benda bulat (tonjolan kepala), sementara tangan lainnya turun
lebih jauh ke dalam panggul. Pada presentasi vertex, bagian yang
menonjol tersebut berada di sisi yang sama dengan bagian-bagian
kecil, dan pada presentasi muka, pada sisi yang sama dengan
punggung. Mudahnya meraba tonjolan tersebut merupakan petunjuk
seberapa jauh terjadinya penurunan kepala. Pada banyak kasus, jika
kepala janin sudah turun ke dalam panggul, bahu depan janin dapat
dikenali dengan mudah melalui manuver ketiga. Pada presentasi
bokong, informasi yang diperoleh dari manuver ini kurang tepat.

Gambar Manuver Leopold


1.1.2.2. Pemeriksaan vagina
Sebelum kerja, diagnosis presentasi janin dan posisi dengan
pemeriksaan vagina sering tidak meyakinkan karena bagian terbawah
janin harus diraba melalui serviks yang tertutup dan segmen bawah
uterus. Dengan terjadinya persalinan dan setelah dilatasi serviks,
informasi penting dapat diperoleh. Presentasi vertex, posisi dan variasi
dapat diketahui dengan membedakan berbagai sutura dan ubun-ubun.
Presentasi muka diidentifikasi dengan membedakan bagian-bagian wajah.

Presentasi bokong diidentifikasi dengan meraba sacrum dan tuberositas


ischii ibu.
Dalam upaya untuk menentukan presentasi dan posisi dengan
pemeriksaan vagina, disarankan untuk melakukan manuver rutin yang
pasti, yang terdiri dari empat gerakan:
1) Pemeriksa memasukkan dua jari ke dalam vagina dan bagian
presentasi

ditemukan.

Diferensiasi

vertex,

wajah,

dan

bokong

kemudian dicapai dengan mudah.


2) Jika presentasinya vertex, jari-jari mengarah ke posterior dan kemudian
menyapu ke depan di atas kepala janin ke arah simfisis ibu (Gambar
17-9). selama melakukan gerakan ini, jari-jari pemeriksa pasti
menyeberangi sutura sagitalis.
3) Posisi kedua ubun ubun tersebut kemudian di pastikan. Jari jari
pemeriksa di arahkan ke ujung anterior sutura sagitalis, dan ubun
ubun yang di temukan disana di periksa dengan teliti dan di identifikasi
kemudian dengan gerakan sirkuler, jari jari di lewatkan di sekeliling
sisi kepala sampai ubun ubun lain teraba dan dapat di bedakan.
4) Stasiun, atau sejauh mana janin telah turun ke dalam panggul dapat di
tentukan pada saat ini juga.
1.1.2.3. Sonografi dan Radiografi

Teknik sonografi dapat membantu identifikasi posisi janin, terutama


pada wanita obesitas atau pada wanita dengan dinding perut kaku.
Pemeriksaan sonografi dapat memberikan informasi untuk memecahkan
banyak masalah diagnostik dan menghasilkan pengenalan dini adanya
presentasi bokong atau bahu yang mungkin dapat luput dalam
pengamatan sampai stadium lanjut persalinan. Dengan menggunakan
ultrasonografi, kepala dan badan janin dapat di tentukan tempatnya tanpa
adanya bahaya potensial radiasi.

1.1.3. Mekanisme persalinan dengan presentasi oksiput anterior

Dalam kebanyakan kasus, vertex memasuki panggul dengan


sutura sagitalis pada diameter transversal panggul. Janin memasuki
panggul dengan posisi oksiput kiri lintang (LOT) pada 40 persen
persalinan, dibandingkan dengan posisi oksiput kanan lintang (ROT) pada
20 persen persalinan. Pada posisi oksiput anterior (LOA atau ROA)
kepala dapat memasuki panggul dengan oksiput berotasi 45 derajat ke
anterior dari posisi lintang atau berikutnya baru berputar. Mekanisme
persalinan biasanya sangat mirip dengan pada posisi oksiput lintang.
Perubahan-perubahan

posisi

di

bagian

terbawah

janin

ini

merupakan mekanisme persalinan. Gerakan-gerakan pokok persalinan


adalah engagement, desensus (penurunan kepala), fleksi, rotasi interna
(putaran paksi dalam), ekstensi, rotasi eksterna (putaran paksi luar), dan
ekspulsi.
Pada kenyataannya, mekanisme persalinan terdiri dari suatu
gabungan gerakan-gerakan yang berlangsung pada saat yang sama.
Misalnya, sebagai bagian dari engagement, terjadi fleksi dan penurunan
kepala. Gerakan-gerakan tersebut tidak mungkin diselesaikan bila bagian
terbawah janin tidak turun secara bersamaan. Seiring dengan itu,
kontraksi uterus menghasilkan modifikasi penting pada sikap, atau habitus
janin, terutama setelah kepala turun ke dalam panggul. Perubahanperubahan ini terutama terdiri dari pelusuran janin, dengan menghilangkan
kecembungan dorsalnya dan semakin mendekatnya ekstremitas dan
bagian-bagian kecil ke badan. Akibatnya, bentuk ovoid janin berubah
menjadi sebuah silinder dengan potongan melintang sekecil mungkin yang
biasanya dapat melewati jalan lahir.
1.1.3.1. Engagement
Mekanisme yang digunakan oleh diameter biparietal, diameter
terbesar kepala janin pada posisi oksiput, untuk melewati pintu atas
panggul disebut sebagai engagement. Fenomena ini dapat terjadi pada
minggu-minggu terakhir kehamilan atau mungkin tidak terjadi sampai
dimulainya persalinan. Pada banyak wanita multipara dan beberapa

10

wanita nulipara, kepala janin dapat bebas bergerak di atas pintu atas
panggul pada awitan persalinan. Dalan keaadaan ini, kepala kadangkala
disebut mengambang. Kepala yang berukuran normal biasanya tidak
melakukan engagement dengan sutura sagitalisnya mengarah ke
anteroposterior. Melainkan, kepala janin biasanya memasuki pintu atas
panggul pada diameter transversal atau salah satu dari diameter obliknya.
Asynclitism. Meskipun kepala janin cenderung berakomodasi
terhadap sumbu lintang pintu atas panggul, sutura sagitalis sambil tetap
sejajar dengan sumbu tersebut mungkin tidak terletak tepat di tengah
antara simfisis dan promontorium sacrum. Sutura sagitalis sering kali
mengalami defleksi posterior ke arah promontorium atau defleksi anterior
ke arah simfisis. Defleksi lateral kepala seperti itu ke posisi lebih anterior
atau posterior di dalam panggul tersebut disebut asinklitismus. Jika sutura
sagitalis mendekati promontorium sacrum, akan lebih banyak bagian dari
tulang parietal anterior yang teraba oleh jari-jari pemeriksa dan kondisi ini
disebut asinklitismus anterior. Tetapi bila sutura sagitalis terletak dekat
simfisis, lebih banyak tulang parietal posterior yang teraba, dan kondisi ini
disebut asinklitismus posterior. Pada keadaan asinklitismus posterior yang
ekstrem, disebut juga kemiringan Litzmann, telinga posterior dapat diraba
dengan mudah.
Asinklitismus derajat sedang pasti terjadi pada persalinan normal,
tetapi kalau berat, gerakan ini dapat menimbulkan disproporsi sefalopelvik
pada panggul yang berukuran normal sekalipun. Perubahan yang
berturut-turut dari asinklitismus posterior ke anterior mempermudah
desensus

dengan

memungkinkan

kepala

mengambil

kesempatan

memanfaatkan daerah-daerah yang paling luas di rongga panggul.

11

Gambar Sinklitismus dan asinklitismus


1.1.3.2. Desensus
Hal ini merupakan syarat utama kelahiran bayi. Pada wanita
nulipara, engagement dapat terjadi sebelum awitan persalinan, dan
desensus lebih lanjut mungkin belum terjadi sampai dimulainya persalinan
kala dua. Pada wanita multipara, desensus biasanya mulai bersamaan
dengan engagement. Desensus terjadi akibat satu atau lebih dari empat
gaya: (1) tekanan dari cairan amnion, (2) tekanan langsung fundus pada
bokong dengan kontraksi, (3) upaya mengejan dari otot-otot perut ibu, dan
(4 ) ekstensi dan pelurusan badan janin.
1.1.3.3. Fleksi
Begitu desensus mengalami tahanan, baik dari serviks, dinding
panggul, atau dasar panggul, biasanya terjadi fleksi kepala. Pada gerakan
ini, dagu mendekat ke dada janin, dan diameter suboksipitobregmatika
yang lebih pendek menggantikan diameter oksipitofrontal yang lebih
panjang.
1.1.3.4. Rotasi interna
Gerakan ini adalah pemutaran kepala dengan suatu cara sehingga
oksiput perlahan-lahan bergerak dari posisi asalnya ke anterior menuju
simfisis pubis, atau, yang lebih jarang, ke posterior menuju sakrum. Rotasi

12

interna penting untuk penyelesaian persalinan, kecuali kalau janinnya luar


biasa kecil.
1.1.3.5. Ekstensi
Setelah rotasi internal, kepala yang telah terfleksi maksimal
mencapai vulva dan mengalami ekstensi. Gerakan ini membawa dasar
oksiput berkontak langsung dengan margo inferior simfisis pubis. Karena
pintu keluar vulva mengarah ke atas dan ke depan, ekstensi harus terjadi
sebelum kepala dapat melewatinya. Jika kepala yang telah terfleksi
maksimal saat mencapai dasar terdorong ke bawah, kepala ini akan
mengenai bagian posterior perineum dan akhirnya akan terdorong ke
jaringan perineum. Tetapi, pada saat kepala menekan lorong panggul, ada
dua kekuatan yang bekerja. Pertama, yang diberikan uterus, bekerja lebih
ke posterior, dan kedua, yang ditimbulkan oleh dasar panggul yang
resisten dan simfisis, bekerja lebih ke anterior. Resultan gayanya
mengarah ke muara vulva, dan dengan demikian menyebabkan ekstensi.
Dengan bertambahnya distensi perineum dan muara vagina,
secara berangsur-angsur akan semakin banyak bagian oksiput yang
terlihat. Kepala dilahirkan melalui ekstensi lebih lanjut ketika oksiput,
bregma, dahi, hidung, mulut, dan akhirnya dagu berhasil melewati tepi
anterior perineum. Segera setelah seluruh kepala lahir, kepala jatuh ke
bawah sehingga dagu terletak di atas daerah anus.
1.1.3.6. Rotasi eksternal
Kepala yang sudah dilahirkan selanjutnya mengalami pemulihan.
Jika oksiput pada mulanya mengarah ke kiri, bagian ini akan berotasi ke
arah tuberositas ischii kiri, bila asalnya mengarah ke kanan, oksiput akan
berotasi ke kanan. Kembalinya kepala ke posisi oblique diikuti dengan
diselesaikannya rotasi eksterna ke posisi lintang, suatu gerakan yang
sesuai dengan rotasi badan janin, yang berfungsi membawa diameter
biakromionnya berhimpit dengan diameter anteroposterior pintu bawah
panggul. Dengan demikian, satu bahu akan terletak anterior di belakang

13

simfisis dan yang lainnya di posterior. Gerakan ini tampaknya dihasilkan


oleh faktor-faktor panggul yang sama seperti yang menyebabkan rotasi
interna kepala.
1.1.3.7. Ekspulsi
Hampir segera setelah rotasi eksternal, bahu depan akan tampak di
bawah simfisis pubis, dan perineum segera teregang oleh bahu belakang.
Setelah kedua bahu tersebut lahir, sisa badan bayi lainnya akan segera
terdorong keluar.

14

Gambar Mekanisme persalinan dengan presentasi kepala anterior kiri


1.1.4. Mekanisme persalinan dengan posisi oksiput posterior
Pada sebagian besar persalinan dengan posisi oksiput posterior,
mekanisme persalinannya identik dengan ditemukan pada posisi oksiput
lintang dan anterior, kecuali bahwa oksiput harus berotasi ke arah simfisis
pubis sebesar 135 derajat, sedangkan pada kedua jenis peresentasi yang
15

disebut belakangan hanya masing-masing hanya mengalami rotasi


sebesar 90 derajat dan 45 derajat.
Dengan kontraksi yang efektif, fleksi kepala yang adekuat, dan
janin dengan ukuran rata-rata, sebagian besar oksiput yang posisinya
posterior akan berotasi segera setelah mencapai dasar panggul, dan
persalinan tidak begitu bertambah panjang. Tetapi pada kira-kira 5 sampai
10 persen kasus, keadaan yang menguntungkan ini tidak terjadi. Sebagai
contoh, dengan kontraksi yang buruk atau fleksi kepala yang salah, atau
keduanya, rotasi tidak sempurna atau mungkin tidak terjadi sama sekali,
khususnya jika janinnya besar. Analgesi epidural, yang mengurangi daya
dorong otot-otot abdomen dan melemaskan otot dasar panggul, juga
merupakan faktor predisposisi untuk rotasi yang tidak sempurna. Bila
rotasi tidak sempurna, akan terjadi macet pada posisi lintang (transverse
arrest). Jika rotasi ke arah simfisis tidak terjadi, oksiput dapat berotasi ke
posisi oksiput posterior lurus, suatu keadaan yang dikenal sebagai oksiput
posterior persisten. Baik transverse arrest maupun oksiput posterior
persisten menggambarkan penyimpangan dari mekanisme persalinan
normal.
1.1.5. Perubahan bentuk kepala janin
1.1.5.1. Kaput succedaneum
Dalam presentasi vertex, kepala janin mengalami perubahan
bentuk karakteristik yang penting sebagai akibat dari tekanan yang
diterimanya selama persalinan. Pada persalinan yang memanjang
sebelum dilatasi serviks lengkap, bagian kulit kepala janin tepat di atas os
servikalis menjadi edematosa, membentuk benjolan yang dikenal sebagai
kaput succedaneum. Biasanya kaput ini mencapai ketebalan hanya
beberapa millimeter, tetapi pada persalinan lama kaput ini mungkin cukup
luas sehingga menyulitkan untuk membedakan berbagai sutura dan ubunubun. Lebih sering, kaput terbentuk saat kepala berada di bagian bawah
jalan lahir dan sering kali terjadi setelah ditemukan tahanan dari muara
vagina yang kaku. Karena terjadi pada bagian kepala yang paling

16

dependen, pada posisi LOT hal ini ditemukan pada bagian atas dan
posterior tulang parietal kanan, dan pada posisi ROT di atas daerah
serupa di tulang parietal kiri. Dipercaya bahwa setelah persalinan, posisi
awal sering dapat diketahui dengan memperhatikan lokasi kaput
succedaneumnya.

Gambar Formasi caput succedaneum


1.1.5.2. Moulage
Merupakan

perubahan

bentuk

kepala

janin

akibat

gaya

komprehensif eksternal. Beberapa moulage timbul sebelum persalinan,


kemungkinan berkaitan dengan kontraksi Braxton-Hicks.
Moulage dikaitkan dengan pemendekan diameter suboksipito
bregmatika

dan

pemanjangan

diameter

mentovertikal.

Perubahan-

perubahan ini memainkan peranan penting pada panggul sempit atau


presentasi asinklitik. Pada keadaan ini, derajat moulage yang dialami
kepala dapat membuat perbedaan antara perlahiran per vaginam spontan
atau seksio sesarea. Karena banyaknya faktor yang saling berkaitan,
misalnya, persalinan memanjang dengan sepsis janin dan asidosis,
tidaklah mungkin untuk mengukur efek moulage dengan dugaan sekuele
neurologis pada neonatus atau janin.

17

1.2. Karakteristik Persalinan Normal


1.2.1. Kala I Persalinan

Friedman mengembangkan konsep pembagian persalinan menjadi tiga:


1. Persiapan. Selama fase ini, serviks mengalami dilatasi. Meskipun
sedikit, tetapi komponen jaringan ikatnya berubah secara signifikan.
Sedasi dan konduksi analgesia dapat menahan fase ini.
2. Dilatasi, di mana dilatasi berlangsung sangat cepat, tidak terpengaruh
sedasi atau konduksi analgesia.
3. Pelvic, bersamaan dengan fase deselerasi dilatasi serviks. Mekanisme
persalinan yang melibatkan gerakan janin yang penting pada
presentasi kepalaengagement, fleksi, descent, rotasi internal,
ekstensi, dan rotasi eksternalterjadi pada fase ini.
Dilatasi serviks dibagi menjadi dua fase, fase laten yang sama
seperti fase persiapan, dan fase aktif yang sama seperti fase dilatasi.
Friedman membagi fase aktif menjadi fase akselerasi, fase dilatasi
maksimal, dan fase deselerasi.

18

1.2.1.1. Fase Laten


Onset persalinan laten ditandai dengan ibu merasakan kontraksi
yang teratur. Fase laten bagi sebagian besar ibu berakhir antara dilatasi 3
sampai 5 cm.
Fase Laten Memanjang
Didefinisikan sebagai fase laten yang melebihi 20 jam pada
nullipara dan 14 jam pada multipara. Faktor yang mempengaruhi lamanya
fase laten antara lain sedasi yang berlebihan atau analgesia epidural,
kondisi serviks yang tidak baik, yaitu tebal, tidak menipis, atau tidak
mengalami dilatasi.
1.2.1.2. Persalinan aktif
Dilatasi serviks 3 sampai 5 cm atau lebih, dengan adanya kontraksi
uterus.

Persalinan

fase

aktif

secara

bersamaan

menggambarkan

penurunan janin dan dilatasi serviks. Penurunan dimulai pada fase akhir

19

dilatasi aktif, dimulai pada 7 sampai 8 cm pada nullipara dan menjadi


sangat cepat setelah 8 cm.
Kelainan Fase Aktif
Friedman membagi masalah-masalah dalam fase aktif menjadi
kelainan protraksi dan arrest disorder. Protraksi didefinisikan sebagai
dilatasi serviks atau penurunan yang lambat, pada nullipara dilatasi
kurang dari 1,2 cm per jam atau penurunan kurang dari 1 cm per jam,
untuk multipara, dilatasi kurang dari 1,5 cm per jam atau penurunan
kurang dari 2 cm per jam. Arrest yaitu berhentinya dilatasi atau
penurunan. Arrest pada dilatasi didefinisikan sebagai 2 jam tanpa
perubahan serviks, dan arrest pada penurunan yaitu 1 jam tanpa
penurunan janin.
Faktor-faktor yang menyebabkan protraksi dan arrest disorder
antara lain sedasi berlebihan, analgesia epidural, dan kelainan letak/posisi
janin.
1.2.2. Persalinan Kala II
Fase ini dimulai ketika dilatasi serviks sudah lengkap dan berakhir
dengan lahirnya bayi. Median durasi sekitar 50 menit pada nullipara dan
sekitar 20 menit pada multipara, tetapi hal ini sangat bervariasi. Pada ibu
dengan paritas yang lebih tinggi dengan vagina dan perineum yang sudah
mengalami dilatasi sebelumnya, dua atau tiga kali mengejan setelah
dilatasi serviks lengkap cukup untuk melahirkan bayi. Sebaliknya, pada
ibu dengan kontraktur pelvis, bayi besar, atau dengan tenaga mengejan
yang terganggu akibat konduksi analgesia atau sedasi, kala dua dapat
memanjang.
1.3. Manajemen Persalinan Normal
Idealnya penanganan persalinan dan kelahiran normal perlu dua
akomodasi yang potensial berlawanan pada sisi penyedia layanan
obstetrik. Pertama kelahiran harus diketahui sebagai proses kelahiran
yang fisiologis atau normal yang dialami sebagian besar wanita tanpa

20

adanya komplikasi. Kedua, komplikasi pada intrapartum sering meningkat


secara cepat dan tidak diduga harus diantisipasi. Jadi penyedia layanan
harus dapat membuat sang ibu dan pendukungnya merasa nyaman,
sekaligus memastikan keselamatan ibu dan bayi bila tiba-tiba terjadi
penyulit. American Academy of Pediatrics dan American College of
Obstetricians and

Gynecologist (1997) telah

berkolaborasi dalam

pembuatan Panduan Perawatan Perinatal. Panduan ini memberikan


informasi secara rinci mengenai perawatan intrapartum yang tepat
termasuk fasilitas dan tenaga yang dibutuhkan.
Tabel Dimensi ruang bersalin yang direkomendasikan

Tabel Rasio perawat berbanding pasien yang direkomendasikan pada saat persalinan

1.3.1. Prosedur awal rawat inap


Wanita hamil harus segera melapor pada awal persalinan, tidak
menunda-nunda pelaporan sampai waktu melahirkan sudah dekat karena
dikhawatirkan mengalami persalinan palsu. Apabila selama perawatan
antepartum ibu dan janin atau keduanya telah diketahui mempunyai risiko

21

tinggi, sangatlah penting untuk segera memasukkan ibu ke ruang bersalin


dan melahirkan.
1.3.1.1. Identifikasi persalinan
Meskipun membedakan antara false labor dan true labor sulit
ditentukan, diagnosis biasanya dapat dijelaskan dengan frekuensi
kontraksi dan intensitas dari dilatasi serviks. Studi lain menunjukkan
bahwa pendekatan formal untuk penilaian persalianan telah meningkatkan
kepuasan pasien dengan sedikit efek pada hasil kehamilan (Hodnett dan
rekan kerja, 2008).
Tabel Karakteristik true dan false labor

Pada keadaan-keadaan ketika diagnosis persalinan tidak dapat


ditegakkan dengan pasti, sebaiknya kita mengobservasi ibu tersebut
dalam jangka waktu yang lebih lama. Dari studi Pate dan rekan (2007)
memberikan rekomendasi umum kepada wanita hamil bahwa, dengan
tidak adanya ruptur membran atau perdarahan, kontraksi uterus 5 menit
lebih terpisah selama 1 jam,

12 kontraksi dalam 1 jam mungkin

menandakan onset persalinan. Di antara 768 perempuan yang diteliti di


Rumah Sakit Park persalinan aktif didefinisikan sebagai dilatasi serviks 4
cm didiagnosis dalam waktu 24 jam dalam tiga perempat wanita dengan
12 atau lebih kontraksi per jam. Hasil kerja Bailit dan rekan (2005)
membandingkan dari 6121 wanita yang disajikan dalam persalinan aktif
didefinisikan sebagai kontraksi uterus ditambah dilatasi serviks 4 cm
22

dengan orang-orang dari 2.697 wanita yang disajikan dalam fase laten.
Ibu mengaku selama persalinan laten fase memiliki lebih banyak fase
istirahat

aktif,

kebutuhan

stimulasi

oksitosin

persalinan,

dan

korioamnionitis. Disimpulkan bahwa intervensi dokter pada wanita yang


muncul pada fase laten mungkin menjadi penyebab kelainan kerja
berikutnya.
1.3.1.2. Pengujian secara elektronik waktu masuk
Beberapa peneliti menyarankan untuk melakukan ujii nonstres
(NST) atau uji stres kontraksi (CST) pada seluruh wanita yang datang ke
unit bersalin dan melahirkan, tes ini disebut pemeriksaan janin waktu
masuk (Ingermarson dkk. 1986). Surveilans janin seperti ini dalam
kenyataannya adalah suatu penilaian ada atau tidaknya akselerasi denyut
jantung janin dengan gerakan janin (NST); atau suatu penilaian frekuensi
denyut jantung janin sebelum, selama dan setelah kontraksi uterus jika
pasien telah inpartu (CST) (Freeman, dkk. 1991). Variabilitas frekuensi
denyut jantung janin dan deselerasi variabel juga dinilai dalam evaluasi ini.
Telah dinyatakan bahwa pemeriksaan kesejahteraan janin seperti itu, baik
yang dilakukan tersendiri maupun dalam kombinasi dengan stimulasi
akustik janin, akan mengungkap kasus gawat janin yang tak terduga.
(Ingemarssson, dkk. 1988; Sarno, dkk. 1990). Tentu saja, jika sang ibu
akan dipulangkan dari unit bersalin sebelum melahirkan, tindakan
pemeriksaan di atas sangat beralasan untuk meyakinkan seyakin mungkin
bahwa tidak terdapat hal yang membahayakan janin saat itu.
1.3.1.3. Tanda vital dan tinjauan ulang catatan kehamilan
Tekanan darah, suhu, denyut nadi, dan frekuensi napas ibu
diperiksa untuk mencari adanya kelainan dan hasilnya dicatat. Catatan
kehamilan ditinjau untuk mengidentifikasi penyulit. Berbagai masalah yang
ditemukan pada masa antepartum, dan yang sudah diantisipasi,
hendaknya dicatat secara jelas dalam pencatatan kehamilan.

23

1.3.1.4. Pemeriksaan vagina


Pemeriksaan vagina paling sering dilakukan, kecuali jika sudah ada
perdarahan bloody show yang berlebihan. Daerah anus harus dihindari
dan jangan ditarik dari vagina sampai pemeriksaan selesai. Kekerapan
pemeriksaan vagina selama masa persalinan berhubungan dengan
morbiditas infeksi, khususnya pada kasus ketuban pecah dini.

Gambar Pemeriksaan vagina


1.3.1.5. Deteksi pecahnya selaput ketuban
Ibu hamil hendaknya diinstruksikan untuk mengenali cairan yang
keluar dari vagina selama masa antepartum dan segera melaporkan
kejadian tersebut. Pecahnya selaput ketuban merupakan hal yang
signifikan karena tiga alasan. Pertama, bila bagian terbawa janin tidak
terfiksasi di panggul, kemungkinan terjainya prolaps dan kompresi tali
pusat sangat meningkat. Kedua, persalinan kemungkinan akan segera
terjadi jika kehamilannya telah atau mendekati aterm. Ketiga, bila
kelahiran ditunda selama 24 jam atau lebih setelah pecahnya selaput
ketuban, terdapat peningkatan kemungkinan terjadinya infeksi intrauterin
yang serius.

24

Suatu diagnosis pasti pecahnya selaput ketuban dibuat apabila


cairan amnion terlihat berada di forniks posterior atau cairan jernih
mengalir dari kanalis servisis (American College of Obstetricians and
Gynecologists, 2000). Meskipun beberapa uji diagnostik untuk mengetahui
pecahnya selaput ketuban telah direkomendasikan, tidak ada satupun
yang dapat diandalkan sepenuhnya. Jika diagnosis tetap tidak pasti,
metode lain yang dapat digunakan adalah pengujian pH cairan vagina.
pH secret vagina normalnya berkisar antara 4.5 dan 5.5, sementara cairan
amnion biasanya 7,0 sampai 7,5. Penggunaan indikator nitrazin untuk
diagnosis pecahnya selaput ketuban, pertama kali disarankan oleh Baptisi
(1938), merupakan metode yang sederhana dan cukup dapat dipercaya.
Metode ini menggunakan swab steril untuk mengumpulkan cairan dari
fornix posterior dan mengujinya dengan kertas nitrazin (phenaphthazine).
Jika cairan tersebut merupakan cairan amnion maka kertas nitrazin akan
berubah menjadi biru, yang menunjukkan pH alkalis (7,0-7,25). Hasil uji
positif palsu terjadi bila terdapat darah, semen, atau vaginosis bakterialis.
Hasil negatif palsu terjadi bila hanya terdapat sedikit cairan (American
College of Obstetricians and Gynecologists, 2000).

Gambar Alat Nitrazine


Uji lain telah digunakan sebagai indikator pecahnya selaput
ketuban. Arborisasi atau ferning (pembentukan pola daun pakis) pada
cairan vagina menandakan adanya cairan amnion daripada cairan serviks.
Cairan dari fornix posterior diletakkan pada slide dan keringkan pada
udara kering. Cairan amnion akan berubah menjadi bentuk bekuan dari
kristalisasi. Gambaran ferning ini terjadi karena kristalisasi elektrolit
25

terutama NaCl dalam cairan amnion karena pengaruh dari hormon


estrogen. Hasil false positif dapat terjadi bila sampel terkontaminasi
dengan semen dan mucus cervical. Deteksi alfa fetoprotein pada forniks
vagina telah digunakan untuk mengidentifikasi cairan amnion (Yamada,
dkk. 1998). Kadar alfafetoprotein yang beredar sangat rendah pada orang
dewasa, kecuali pada kehamilan, di mana didapat dari sirkulasi fetus yang
menyebabkan peningkatan signifikan. AFP adalah protein yang dihasilkan
oleh bayi yang belum lahir saat tumbuh di dalam rahim. Sejumlah AFP
ditemukan dalam cairan ketuban. Kadar plasmanya berkurang secara
cepat setelah kelahiran. Kadar AFP yang abnormal dapat menunjukkan
cacat otak, janin kembar, hari perkiraan lahir salah perhitungan atau
kelainan kromosom. Identifikasi pasti diketahui dengan menyuntikkan
berbagai macam zat warna antara lain, Evans blue, metilen blue, indigo
carmine, atau fluoresein, ke dalam rongga amnion melalui amniosintesis.
Penyuntikan larutan encer dari zat warna carmine evans blue atau nila.
Hal ini dilakukan setelah pemindaian cairan ketuban untuk pengujian
fisiologis. Jatuh tempo, analisis untuk sel darah putih atau bakteri dan
mungkin kultur dan uji sensivitas. Setelah 15-30 menit pada dry pad
perineum pasien akan menunjukkan pewarnaan biru jika ketuban pecah.

Gambar Hasil tes Ferning dengan bentuk bekuan kristalisasi


1.3.1.6. Pemeriksaan serviks
Derajat pendataran serviks biasanya dinyatakan dengan panjang
kanalis servisis berbanding dengan panjang yang belum mendatar. Ketika
panjang serviks berkurang separuh, dikatakan 50 persen mendatar, bila

26

serviks menjadi setipis segmen uterus bawah di dekatnya, serviks


dikatakan telah mendatar penuh atau 100 persen.
Dilatasi serviks ditentukan dengan memperkirakan diameter ratarata bukaan serviks di satu sisi ke sisi yang berlawanan, dan diameter
yang dilintasi dinyatakan dalam sentimeter. Serviks dinyatakan membuka
penuh bila diameternya 10 cm, karena bagian terbawah ukuran bayi aterm
biasanya dapat melewati serviks yang membuka lebar.
Posisi serviks ditentukan dengan menentukan hubungan antara os
serviks dengan kepala janin dikategorikan sebagai posterior, posisi
tengah, atau anterior. Posisi posterior mengesankan persalinan preterm.
Ketinggian bagian terbawah janin di jalan lahir digambarkan dalam
hubungannya dengan spina ischiadica yang terletak di tengah-tengah
antara pintu atas panggul dan pintu bawah panggul. Jika bagian terbawah
janin terletak setinggi spina ischiadica, keadaan ini disebut sebagai station
nol (0). Dahulu, sumbu panjang jalan lahir di atas spina ischiadica dibagi
menjadi tiga. Pada tahun 1988, American College of Obstetricians and
Gynecologists mulai menggunakan suatu klasifikasi station yang membagi
panggul di atas dan di bawah spina menjadi lima bagian. Pembagian ini
menggambarkan ukuran (cm) di atas dan di bawah spina. Jadi saat
bagian terbawah janin turun dari pintu atas panggul menuju spina
ischiadica, disebut sebagai station +1, +2, +3, +4, dan +5 untuk lahir.
Station +5 cm setara dengan kepala janin yang terlihat di introitus.
Jika bagian terbawah kepala janin berada di station 0 atau lebih ke
bawah lagi, engangement kepala sering kali terjadi, yaitu bidang biparietal
kepala janin telah melewati pintu atas panggul. Jika kepala mengalami
moulage berat, atau jika terjadi pembentukan kaput yang besar, atau
keduanya, engangement mungkin belum terjadi walaupun kepala
tampaknya sudah berada di station 0.
1.3.1.7. Pemeriksaan laboratorium
Ketika sorang wanita dirawat di rumah sakit untuk bersalin,
seringkali pemeriksaan hematokrit dan kadar haemoglobin harus diulang.

27

Hematokrit dapat diukur dengan mudah dan cepat. Darah dapat


dimasukkan ke dalam sebuah tabung kapiler yang berisi heparin. Dengan
menggunakan alat pemusing mikrohematokrit (sentrifuge) yang terdapat di
laboratorium ruang bersalin, nilai dapat diperoleh dalam 3 menit. Sebuah
tabung darah yang diberi label dibiarkan membeku dan tetap disimpan
untuk penentuan dan penapisan golongan darah, kalau diperlukan, dan
tabung yang lain digunakan untuk serologi rutin. Pada beberapa unit,
sebuah spesimen urin yang diekskresikan, sedapat mungkin bebas dari
debris, diperiksa kadar protein dan glukosanya. Kami mengambil
spesimen urin untuk analisis protein hanya pada ibu hamil dengan
hipertensi. Pasien yang tidak menjalani perawatan prenatal harus
dianggap mempunyai risiko untuk sifilis, hepatitis B dan HIV (American
Academy of Pediatrics and the American College of Obstetricians and
Gynecologists, 1997). Pada pasien yang tidak terdaftar, pemeriksaan
laboratorium tersebut juga harus dilakukan begitu pula pemeriksaan
golongan darah, Rh, dan penapisan antibodi untuk antibodi atipikal.
Beberapa

negara

bagian,

misalnya

Texas,

sekarang

melakukan

pemeriksaan rutin untuk sifilis, hepatitis B, dan HIV pada semua wanita
yang masuk ke unit persalinan dan kelahiran.
1.3.2. Penatalaksanaan partus kala I
Pemeriksaan fisik umum yang belum dilakukan harus diselesaikan
sesegera mungkin setelah pasien masuk rawat inap. Yang paling baik,
seorang dokter dapat membuat kesimpulan tentang normalnya kehamilan
tersebut apabila semua pemeriksaan, termasuk tinjauan ulang rekam
medis dan laboratorium, sudah dilaksanakan. Sebuah rencana yang
rasional

untuk

memantau

persalinan

kemudian

dapat

ditegakkan

berdasarkan kepentingan janin dan ibunya. Bila tidak ada kelainan yang
ditemukan atau diduga, si ibu harus diyakinkan bahwa semuanya beres.
Meskipun durasi rata-rata persalinan kala satu pada wanita nulipara
adalah sekitar 7 jam dan wanita para sekitar 4 jam, terdapat variasi

28

individual yang besar. Oleh karena itu, pernyataan pasti lamanya


persalinan tidaklah bijaksana.
1.3.2.1. Pemantauan kesejahteraan janin selama persalinan
American Academy of Pediatrics and the American College of
Obstetricians and Gynecologists (1997) merekomendasikan bahwa
selama persalinan kala I, bila tidak ditemukan adanya kelaianan, jantung
janin harus diperiksa segera setelah kontraksi setidaknya setiap 30 menit,
kemudian setiap 15 menit pada persalinan kala II. Jika digunakan
pemantauan elektronik kontinyu, grafik dinilai sekurangnya setiap 30 menit
selama persalinan kala I dan setidaknya setiap 15 menit selama
persalinan kala II. Untuk ibu hamil yang berisiko, auskultasi dilakukan
setiap 15 menit selama persalinan kala I dan setiap 5 menit selama
persalinan kala II. Pemantauan elektronik kontinyu dapat digunakan
dengan penilaian grafik setiap 15 menit selama persalinan kala I dan
setiap 5 menit selama persalinan kala II.
1.3.2.2. Kontraksi uterus
Dengan melakukan penekanan ringan oleh telapak tangan di atas
uterus, pemeriksa dapat menentukan waktu dimulainya kontraksi.
Intensitas kontraksi diukur berdasarkan derajat ketegangan yang dicapai
uterus. Selanjutnya, dicatat waktu ketika kontraksi uterus. Yang paling baik
adalah mengukur kontraksi uterus dengan menyebut derajat ketegangan
atau resistensi terhadap indentasi.
1.3.2.3. Pemantauan dan penatalaksanaan ibu selama persalinan
Suhu, denyut nadi, tekanan darah ibu dievaluasi setidaknya setiap
4 jam. Jika selaput ketuban telah pecah lama sebelum awitan persalinan,
atau jika terjadi kenaikan suhu ambang, suhu diperiksa tiap jam. Selain
itu, bila terjadi pecah ketuban yang lama, lebih dari 18 jam, disarankan
untuk memberikan antibiotik profilaksis terhadap infeksi streptokokkus
grup B (American College of Obstetricians and Gynecologists, 1996).

29

1.3.2.4. Pemeriksaan vagina selanjutnya


Pada persalinan kala I, perlunya pemeriksaan vagina selanjutnya
untuk mengetahui status serviks dan station serta posisi bagian terbawah
akan sangat bervariasi. Bila selaput ketuban pecah pemeriksaan
hendaknya diulang secara cepat jika pada pemeriksaan sebelumnya
kepala janin belum cakap (engaged). Frekuensi denyut jantung janin
harus diperiksa segera dan pada kontraksi uterus berikutnya untuk
mendeteksi kompresi tali pusat yang tidak diketahui. Di Parkland Hospital,
pemeriksaan panggul sering dilakukan secara periodik dengan interval 2-3
jam untuk menilai kemajuan persalinan.
1.3.2.5. Asupan oral

Makanan harus ditunda pemberiannya selama proses persalinan


aktif. Waktu pengosongan lambung memanjang secara nyata saat proses
persalinan berlangsung dan diberikan obat analgesik. Sebagai akibatnya
makanan dan sebagian besar obat yang dimakan tetap berada di lambung
dan tidak diabsorbsi, melainkan dapat dimuntahkan dan teraspirasi.
Terdapat kecenderungan memberikan cairan dengan jumlah yang terbatas
untuk wanita in partu. Guyton dan Gibbs (1994) mengadakan suatu
penelitian mengenai pemberian cairan sebanyak 150 ml per oral per 2 jam
sebelum pembedahan elektif. Insiden aspirasi tidak terpengaruh. Belum
jelas apakah penelitian ini dapat diterapkan pada wanita in partu, yang
beresiko menjalani seksio sesarea segera setiap saat.
1.3.2.6. Cairan intravena
Meskipun telah menjadi kebiasaan di banyak rumah sakit untuk
memasang sistem infus intravena secara rutin pada awal persalinan,
jarang ada ibu hamil normal yang benar-benar memerlukannya,
setidaknya

sampai

analgesia

diberikan.

Sistem

infus

intravena

menguntungkan selama masa nifas dini untuk memberikan oksitosin


profilaksis dan seringkali bersifat terapeutik ketika terjadi atonia uteri.
Selain itu dengan persalinan yang lebih lama, pemberian glukosa,

30

natrium, dan air untuk wanita yang sedang berpuasa dengan kecepatan
60 sampai 120 ml per jam, efektif untuk mencegah dehidrasi dan asidosis.
1.3.2.7. Posisi ibu selama persalinan
Ibu yang dalam proses bersalin tidak perlu terus berbaring di
tempat tidur pada awal persalinan. Sebuah kursi yang nyaman mungkin
lebih bermanfaat secara psikologis dan mungkin juga secara fisologis. Di
tempat tidur, ibu hendaknya diperbolehkan mengambil posisi yang
dirasanya enak, paling sering adalah berbaring miring. Ibu tidak harus
ditahan pada posisi terlentang. Bloom dkk (1998) melakukan percobaan
acak untuk berjalan selama persalinan pada 1000 wanita dengan
kehamilan risiko rendah. Mereka menemukan bahwa berjalan tidak
mempercepat atau mengganggu persalinan aktif dan tidak berbahaya.
Analgesi paling sering mulai diberikan berdasarkan rasa nyeri pada
wanita yang bersangkutan. Jenis analgesia, jumlahnya dan frekuensi
pemberian hendaknya didasarkan pada kebutuhan untuk menghilangkan
nyeri di satu pihak, dan kemungkinan melahirkan bayi yang sakit di lain
pihak.
1.3.2.8. Amniotomi
Bila selaput ketuban masih utuh, ada dorongan yang besar, bahkan
pada persalinan normal sekalipun, untuk melakukan amniotomi. Manfaat
yang diperkirakan adalah persalinan bertambah cepat, deteksi dini kasus
pencemaran mekonium pada cairan amnion, dan kesempatan untuk
memasang elektroda ke janin serta memasukkan pressure catheter ke
dalam rongga uterus. Jika amniotomi dilakukan, yang harus diupayakan
menggunakan teknik aseptik. Yang penting, kepala janin harus tetap
berada di serviks dan tidak dikeluarkan dari panggul selama prosedur,
karena tindakan seperti itu akan menyebabkan prolaps tali pusat.

31

1.3.2.9. Fungsi kandung kemih


Distensi

kandung

kemih

harus

dihindarkan

karena

dapat

mengakibatkan persalinan macet dan selanjutnya menimbulkan hipotonia


serta infeksi kandung kemih. Setiap melakukan pemeriksaan abdomen,
daerah suprapubik hendaknya diinspeksi dan dipalpasi untuk mendeteksi
pengisian kandung kemih. Jika kandung kemih dengan mudah dapat
dilihat dan dipalpasi di atas simpisi, wanita tersebut dianjurkan untuk
berkemih. Sewaktu-waktu ibu boleh diperbolehkan untuk berjalan dengan
bantuan ke toilet dan berhasil berkemih, sekalipun ibu tidak dapat
berkemih di tempat tidur. Jika kandung kencing terdistensi dan tidak dapat
berkemih, diindikasikan kateterisasi intermiten.
1.3.3. Penatalaksanaan partus kala II
Setelah dilatasi serviks lengkap, yang menandai awitan persalinan
kala dua, ibu akan mulai mengejan, dan seiring dengan turunnya bagian
terbawah janin, timbul keinginan ibu untuk berdefekasi. Kontraksi uterus
dan daya dorong yang menyertainya dapat berlangsung selama 1 menit
dan terjadi kembali setelah suatu fase istirahat miometrium yang lamanya
tidak lebih dari semenit.
1.3.3.1. Daya ekspulsif ibu
Pada sebagian besar kasus, mengejan merupakan refleks dan
spontan timbul pada persalinan kala dua, tetapi kadang kala ibu tidak
mengerahkan daya ekspulsifnya dengan baik dan memerlukan bimbingan.
Tungkai sebaiknya berada posisi setengah fleksi sehingga ibu dapat
menolakkan

kakinya

pada

alas.

Hendaknya

diinstruksikan

untuk

mengambil nafas dalam segera setelah kontraksi uterus berikutnya


dimulai dan sambil menahan napas, mengejan kuat ke bawah persis
seperti ketika ibu sedang mengeluarkan tinja. Ibu sebaiknya tidak
dianjurkan untuk mendorong setelah kontraksi uterus selesai. Sebaliknya
ibu dan janin seharusnya dibiarkan beristirahat dan memulihkan diri dari
efek-efek gabungan kontraksi uterus, menahan nafas dan upaya fisik yang

32

besar. Gardosi, dkk (1989) telah merekomendasikan suatu posisi jongkok


atau setengah jongkok dengan menggunakan bantal khusus. Mereka
mengatakan dengan cara ini dapat mempersingkat waktu persalinan kala
dua melalui peningkatan daya ekspulsif dan diameter pintu bawah
panggul. Eason, dkk (2000) melakukan suatu tinjauan yang ekstensif
terhadap posisi dan efeknya pada insiden trauma perineum. Mereka
menemukan bahwa posisi tegak dengan menopang tidak mempunyai
kelebihan dibandingkan posisi berbaring.
Biasanya, mengejan menyebabkan penonjolan perineum, yaitu
akibat semakin turunnya kepala janin. Ibu hendaknya diberitahu tentang
kemajuan itu, karena dukungan moral pada kala ini sangat penting. Pada
masa mengejan aktif ini, frekuensi denyut jantung janin yang diauskultasi
dengan segera setelah kontraksi mungkin lambat, tetapi pulih kembali ke
tingkat normal sebelum daya ekspulsif berikutnya.
Ketika kepala menuruni panggul, ibu sering mengeluarkan feses.
Saat kepala turun lebih jauh, perenium mulai menonjol dan kulit yang
menutupinya menjadi tegang dan mengkilat. Sekarang kepala janin dapat
terlihat melalui lubang vulva. Pada saat ini yaitu saat tahanan perineum
terhadap dorongan sudah rendah, wanita tersebut dan janinnya
dipersiapkan untuk persalinan.
1.3.3.2. Persiapan persalinan
Kelahiran janin sebenarnya dapat diselesaikan dengan ibu berada
dengan berbagai posisi. Yang paling banyak digunakan dan dan paling
sering memuaskan adalah posisi litotomi dorsal yang dimaksudkan untuk
meningkatkan diameter pintu bawah panggul. Di sebagian besar kamar
bersalin, persalinan dilakukan dengan membaringkan si ibu secara rata di
tempat tidur. Untuk mendapatkan lapang pandang pandang yang baik,
digunakan penyangga kaki. Saat meletakkan kaki ke penyangga, juga
menjadi berhati-hatilah untuk tidak merenggangkan kaki terlalu lebar atau
meletakkan satu kaki lebih tinggi dari yang lainnya karena hal tersebut
akan meningkatkan daya dorong pada perineum yang secara mudah

33

mungkin dapat menimbulkan robekan spontan atau tindakan episiotomi


yang semakin melebar menjadi robekan derajat empat. Region poplitea
hendaknya disandarkan dengan nyaman di bagian proksimal dan tumit
berada di bagian distal penyangga kaki. Tungkai tidak boleh dipaksa untuk
menyesuaikan dengan setelan yang sudah ada. Tungkai tidak diikat ke
penyangga, dengan demikian apabila terjadi distosia bahu, paha dapat
difleksikan secara tepat ke arah abdomen. Kram kaki dapat terjadi pada
persalinan kala dua sebagian karena tekanan oleh kepala janin pada
saraf-saraf panggul. Kram semacam itu dapat dihilangkan dengan
mengubah posisi tungkai atau dengan pijatan singkat, tetapi kram tungkai
hendaknya jangan pernah diabaikan.
Persiapan untuk kelahiran memerlukan pembersihan vulva dan
perineum. Jika diinginkan, penutup steril dapat diletakkan di sekitar
daerah vulva. Di masa lalu, alasan utama untuk menggosok, memakai
penutup dan memakai sarung tangan adalah melindungi ibu dalam
persalinan dari infeksi agen infeksius. Meskipun alasan di atas masih
valid, perlindungan untuk penyedia layanan kesehatan juga menjadi
perhatian akhir-akhir ini karena ancaman terpapar dengan virus HIV.
1.3.4. Kelahiran spontan
1.3.4.1. Kelahiran kepala
Pada setiap kontraksi, perineum menonjol semakin besar dan
bukaan vulvovagina menjadi semakin lebar oleh kepala janin, perlahanlahan berbentuk oval dan akhirnya berbentuk hampir melingkar. Setiap
kontraksi berhenti, bukaan tersebut menjadi lebih kecil karena kepala
mundur. Ketika kepala menjadi semakin terlihat, bukaan vagina dan vulva
teregang lebih jauh sampai akhirnya melingkari diameter terbesar kepala
bayi. Diameter terbesar kepala janin yang dilingkari oleh cincin vulva ini
dikenal sebagai crowning.
Kecuali kalau episiotomi sudah dilakukan, perineum sekarang
menjadi sangat tipis, dan khususnya pada wanita nulipara, dapat
mengalami laserasi spontan. Pada saat yang bersamaan anus menjadi

34

sangat teregang dan menonjol, serta dinding anterior rektum dengan


mudah terlihat melalui lubang anus. Selama beberapa tahun telah terjadi
perdebatan

sengit

mengenai

episiotomi

harus

dilakukan.

Kami

menyarankan untuk individualisasi dan jangan melakukan episiotomi


secara rutin. Sekarang telah diketahui secara jelas bahwa episiotomi
meningkatkan risiko robek spingter anus eksternus dan/atau rektum.
Sebaliknya, robekan anterior yang mengenai urethra dan labia kerap
terjadi pada wanita yang tidak diepisiotomi.

Gambar Kelahiran kepala


Manuver Ritgen
Pada waktu kepala meregangkan vulva dan perineum (selama
kontraksi) sehingga cukup untuk membuka introitus vagina hingga
diameter sekitar 5 cm, tangan yang menggunakan sarung tangan serta
terbungkus handuk dapat digunakan untuk memberikan penekanan ke
depan pada dagu janin melalui perineum tepat di depan koksigis. Pada
saat yang bersamaan, tangan lainnya memberikan penekanan ke atas
pada oksiput. Meskipun manuver ini lebih sederhana daripada yang
diuraikan pertama kali oleh Ritgen (1855), biasanya manuver ini disebut
sebagai

manuver

memungkinkan
membantu

Ritgen,

dokter

ekstensi

atau

modifikasi

mengendalikan

sehingga

kepala

Ritgen.

Manuver

kelahiran

kepala

dilahirkan

dengan

dan

ini
juga

diameter

terkecilnya melewati introitus dan perineum. Kepala dilahirkan secara


perlahan dengan basis oksiput berputar di tepi bawah simfisis pubis

35

sebagai titik tumpu, sementara bregma (fontanela anterior), dahi dan


wajah berturut terlihat di perineum.

Gambar Manuver Ritgen


1.3.4.2. Kelahiran bahu
Setelah lahir, kepala jatuh ke posterior, sehingga wajah hampir
menempel ke anus. Oksiput segera memutar ke arah salah satu paha
ibunya sehingga kepala mengambil posisi melintang. Gerakan-gerakan
selanjutnya (rotasi eksterna) menunjukkan bahwa diameter biakromion
(diameter transversal dada) telah memutar menyesuaikan dengan
diameter anteroposterior panggul.

Gambar Kelahiran bahu

36

Paling sering, bahu terlihat di vulva tepat setelah rotasi eksternal


dan lahir spontan. Kadangkala, terjadi perlambatan dan tampaknya perlu
dianjurkan ekstraksi segera. Pada keadaan tersebut, sisi kepala dipegang
dengan kedua tangan dan dilakukan traksi ke arah bawah secara
perlahan, dilakukan sampai bahu anterior terlihat di bawah arkus pubis.
Beberapa praktisi lebih memilih melahirkan bahu anterior sebelum
menghisap nasofaring atau memeriksa tali pusat untuk menghindari
distosisa bahu. Lalu dengan gerakan ke atas, bahu posterior dilahirkan.
Sisa badan hampir selalu mengikuti bahu tanpa kesulitan, tetapi
pada kasus persalinan yang berkepanjangan, kelahiran badan dapat
dipercepat dengan tarikan sedang pada kepala dan tekanan sedang pada
fundus uteri. Mengaitkan jari-jari di aksila hendaknya dihindari, karena
akan mencederai saraf ekstremitas superior sehingga menimbulkan
paralisis

sementara

atau

mungkin

permanen.

Selanjutnya,

traksi

hendaknya hanya dikerjakan searah sumbu panjang bayi karena kalau


ditarik miring dapat menyebabkan tertekuknya leher dan peregangan
berlebihan pleksus brakialis.
Segera setelah lahirnya bayi, biasanya ada semburan cairan
amnion, yang sering berwarna darah, tetapi tidak seluruhnya mengandung
darah.
1.3.4.3. Membersihkan nasofaring
Untuk meminimalisir kemungkinan aspirasi debris cairan amnion
dan darah yang mungkin terjadi setelah dada lahir dan bayi dapat menarik
nafas, wajah cepat-cepat diusap dan lubang hidung serta mulut bayi
diaspirasi.
1.3.4.4. Lilitan tali pusat di leher
Setelah bahu anterior lahir, jari harus dimasukkan menuju leher
janin untuk memastikan apakah lilitan tali pusat sekali atau lebih. Lilitan
terjadi pada sekitar 25 persen kasus dan biasanya tidak berbahaya. Kalau
dirasakan ada lilitan, lilitan hendaknya ditarik di antara jari-jari dan kalau

37

cukup longgar, dilepaskan dari kepala bayi. Kalau lilitan mencengkik erat
di leher sehingga susah dilepaskan dari kepala, hendaknya dipotong di
antara dua klem dan bayi dilahirkan secara cepat.

Gambar Identifikasi tali pusat yang melingkari leher


1.3.4.5. Pemotongan tali pusat

Tali pusat dipotong di antara dua klem seperti yang dipasang 4 atau
5 cm dari abdomen janin, dan kemudian satu klem tali pusat dipasang 2
atau 3 cm dari abdomen janin.
Saat yang tepat mengklem tali pusat
Jika setelah lahir, bayi ditempatkan setinggi introitus vagina atau di
bawahnya selama 3 menit dan sirkulasi fetoplasental tidak segera
disumbat dengan klem tali pusat, sekitar 80 mL darah dapat berpindah
dari plasenta ke janin (Yao dan Lind, 1974). Satu keuntungan dari
transfuse plasenta tersebut adalah fakta bahwa hemoglobin pada 80 mL
darah palsenta yang berpindah ke bayi tersebut memberikan 50 mg besi
sebagai simpanan bayi dan tentu saja mengurangi frekuensi anemia
defisiensi besi pada masa bayi.
Pada percepatan perusakan eritrosit, seperti yang terjadi pada
alloimunisasi ibu, bilirubin yang terbentuk dari eritrosit tambahan tersebut
ikut mempererat bahaya hiperbilirubinemia. Meskipun secara teori resiko
beban

sirkulasi

yang

berlebihan

akibat

hipervolemia

berat

mengkhawatirkan, terutama pada bayi prematur dan pertumbuhan

38

terhambat, tambahan darah plasenta ke dalam sirkulasi bayi tersebut


biasanya tidak menimbulkan kesulitan.
Kebijaksanaan

kami

adalah

mengklem

tali

pusat

setelah

pembersihan saluran nafas bayi pertama kali selesai yang biasanya


memerlukan waktu sekitar 30 detik. Bayi tidak dinaikkan di atas introitus
pada persalinan pervaginam, juga tidak terlalu tinggi di atas dinding
abdomen ibu pada seksio sesaria.
1.3.5. Penatalaksanaan persalinan kala III
Segera setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan pada fundus uteri
untuk menentukan ukuran dan konsistensinya. Jika uterus tetap teraba
keras dan tidak ada perdarahan abnormal, ditunggu hingga plasenta
lepas. Massase tidak selalu dilakukan, tetapi fundus harus sering dipalpasi
untuk memastikan tidak terjadi atonia dan terisi darah dari terlepasnya
plasenta.
1.3.5.1. Tanda-tanda pelepasan plasenta
Usaha untuk mengeluarkan plasenta sebelum waktunya dapat
menjadi berbahaya, sehingga klinisi harus mewaspadai tanda-tanda
lepasnya plasenta, yaitu:
1. Uterus menjadi bulat dan lebih keras
2. Sering disertai keluarnya darah secara tiba-tiba
3. Uterus naik ke abdomen karena plasenta yang sudah terlepas, turun
ke segmen bawah rahim dan vagina, sehingga mendorong uterus ke
atas
4. Tali pusat menonjol keluar dari vagina, menandakan bahwa plasenta
sudah turun
Tanda-tanda tersebut kadang muncul 1-5 menit setelah bayi lahir.
Saat plasenta sudah terlepas, uterus harus dipastikan tetap berkontraksi.
Ibu dapat diminta untuk mengejan, dan tekanan intraabdomen cukup
untuk mengeluarkan plasenta. Jika tidak berhasil atau jika pengeluaran
spontan tidak memungkinkan karena anestesia, setelah memastikan

39

uterus berkontraksi, fundus diberi tekanan dengan tangan untuk


mendorong plasenta yang sudah terlepas ke vagina. Tindakan ini disebut
dengan manajemen fisiologis kala tiga.

Gambar: Pengeluaran plasenta. Tangan tidak mendorong fundus uteri melalui


jalan lahir. Saat plasenta melewati uterus dan masuk ke vagina, uterus didorong
ke atas dengan tangan pada perut ibu dan tali pusat ditahan pada posisinya. Ibu
dapat membantu pengeluaran plasenta dengan mengejan. Saat plasenta
mencapai perineum, tali pusat diangkat sehingga plasenta keluar dari vagina.
1.3.5.2. Pengeluaran plasenta

Pengeluaran plasenta secara paksa tidak boleh dilakukan sebelum


plasenta terlepas agar tidak terjadi inversio uteri. Penarikan tali pusat tidak
boleh dilakukan untuk menarik plasenta keluar dari uterus. Inversio uteri
merupakan salah satu komplikasi yang berbahaya berkaitan dengan
persalinan, dan memerlukan perhatian segera. Tekanan pada corpus uteri
menyebabkan tali pusat tetap menegang. Uterus kemudian didorong ke
atas dengan tangan yang berada pada perut ibu.
Manuver ini diulang hingga plasenta mencapai introitus. Saat
plasenta melewati introitus, tekanan pada uterus dihentikan. Plasenta
kemudian diangkat perlahan menjauhi introitus. Hal ini dilakukan untuk
mencegah robeknya selaput dan tertinggal di dalam. Jika robek, selaput
ditahan dengan klem dan dikeluarkan perlahan. Permukaan maternal
40

plasenta diperiksa untuk memastikan tidak ada fragmen plasenta


tertinggal di dalam uterus.

Gambar: Kiri: Plasenta dikeluarkan dari vagina dengan mengangkat tali pusat.
Kanan: Selaput yang melekat pada lapisan uterus dilepaskan perlahan dengan
forsep.
1.3.5.3. Pengeluaran plasenta manual

Kadang-kadang, plasenta tidak terlepas sekaligus. Hal ini terutama


terjadi pada kasus persalinan prematur. Jika terdapat risiko perdarahan
dan plasenta tidak bisa dikeluarkan dengan cara seperti di atas,
diindikasikan untuk dilakukan pengeluaran plasenta secara manual. Jika
induksi analgesia masih utuh, beberapa dokter obstetri melakukan
pengeluaran manual plasenta yang masih belum terlepas spontan setelah
selesai melahirkan bayi dan melakukan perawatan tali pusat. Manfaat dari
tindakan ini masih belum terbukti dan sebagian besar dokter obstetri
menunggu lepasnya plasenta secara spontan kecuali terjadi perdarahan
yang berlebihan.
1.3.6. Penatalaksanaan aktif kala III
Massase uterus yang diikuti dengan pengeluaran plasenta
direkomendasikan untuk mencegah perdarahan post partum. Oksitosin,
ergonovin, dan metilergonovin digunakan pada kala tiga persalinan
normal, tapi waktu pemberiannya berbeda-beda pada berbagai institusi.
Oksitosin, dan terutama ergonovin, yang diberikan sebelum lahirnya

41

plasenta akan menurunkan kehilangan darah. Jika diberikan sebelum


lahirnya plasenta, dapat menahan bayi kembar kedua yang belum
terdiagnosa dan belum lahir.
1.3.6.1. Oksitosin
Tiap mililiter injeksi oksitosin mengandung 10 unit. Waktu paruh
oksitosin infus intravena sekitar 3 menit. Sebelum persalinan, uterus
biasanya sensitif terhadap oksitosin dan dosis biasanya dititrasi untuk
mendapatkan kontraksi yang adekuat. Setelah bayi lahir, efek ini
menghilang dan dosis yang tetap dapat diberikan.
1.3.6.2. Efek kardiovaskuler
Lebih dari 30 tahun lalu, dilaporkan bahwa pada ibu yang sehat,
pemberian 10 unit oksitosin bolus intravena menyebabkan penurunan
tekanan darah dan peningkatan cardiac output. Perubahan hemodinamik
ini dapat berbahaya bagi ibu dengan hipovolemia karena perdarahan atau
yang mempunyai penyakit jantung. Sehingga oksitosin tidak boleh
diberikan secara bolus intravena. Sebaiknya diberikan sebagai larutan
dengan infus intravena atau injeksi IM dengan dosis 10 unit. Pada kasus
perdarahan post partum, injeksi langsung ke dalam uterus, baik
transvaginal maupun transabdominal, setelah persalinan pervaginam atau
SC terbukti efektif.
Stimulasi

papila

mammae pada kala tiga

persalinan juga

menunjukkan peningkatan tekanan uterus dan mengurangi durasi kala


tiga dan kehilangan darah. Hasil yang serupa juga diperoleh dengan
menggunakan kombinasi oksitosin (5 unit) dan ergometrin (0,5 mg).
Intoksikasi air
Efek antidiuretik oksitosin dapat menyebabkan intoksikasi air.
Oksitosin dosis tinggi memungkinkan untuk menyebabkan intoksikasi air
jika diberikan dalam sejumlah besar larutan dekstrosa.

42

1.3.6.3. Ergonovin dan Metilergonovin


Merupakan alkaloid ergot dengan kadar aktivitas yang sama di
miometrium. Metilergonovin juga disebut ergometrin dan ergostetrin.
Diberikan intravena, intramuskular ataupun per oral, kedua bahan ini
merupakan stimulan poten untuk kontraksi miometrium, yang efeknya
bertahan selama berjam-jam. Pada ibu hamil, dosis intravena 0,1 mg atau
per oral 0,25 mg menyebabkan kontraksi uterus yang sifatnya tetanik.
Efek terlihat segera setelah injeksi intravena dan dalam beberapa menit
setelah pemberian secara intramuskular atau oral. Respon dipertahankan
dengan sedikit kecenderungan relaksasi, sehingga berbahaya bagi fetus
dan ibu sebelum persalinan.
Pemberian alkaloid ergot secara parenteral, terutama intravena,
kadang menyebabkan hipertensi. Hal ini dapat menjadi lebih berat pada
ibu dengan hipertensi gestasional atau yang mudah mengalami hipertensi.
Juga ditemukan adanya vasokonstriksi karena pemberian obat ini secara
intravena sehingga semua nadi perifer menghilang dan diperlukan natrium
nitroprusside untuk mengembalikan perfusi. Tetapi ibu tetap mengalami
jejas akibat iskemia hipoksia otak.
Studi tentang Oksitosin dan Alkaloid Ergot
Choy dkk pada tahun 2002 secara acak memberikan oksitosin
secara intravena atau syntometrine secara intramuskular pada 991 ibu
untuk

mencegah

perdarahan

kala

tiga.

Syntometrine

merupakan

kombinasi oksitosin dan ergonovin. Hasilnya, oksitosin lebih disukai


karena syntometrine menyebabkan hipertensi pada 3 persen ibu. Pada
penelitian yang sama oleh Orji dkk tahun 2008 pada 600 ibu juga
melaporkan tidak ada perbedaan kecuali peningkatan mual, muntah dan
hipertensi pada kelompok syntometrine.
Munn dkk pada tahun 2001 membandingkan dua regimen dosis
oksitosin untuk pencegahan atonia uteri pada persalinan SC. 10 unit dan
80 unit oksitosin dalam 500 mL cairan infus RL diberikan selama 30 menit
setelah bayi lahir. Tingkat atonia uteri lebih rendah pada kelompok

43

regimen dosis tinggi dibandingkan dengan kelompok dosis rendah (19 dan
39 persen).
1.3.6.4. Prostaglandin
Analog

prostaglandin

tidak

digunakan

secara

rutin

untuk

manajemen persalinan kala tiga. Villar dkk pada tahun 2002 mengamati
penggunaan profilaktik misoprostol untuk mencegah perdarahan post
partum dan menyimpulkan bahwa sediaan oksitosin atau oksitosin-ergot
lebih efektif. Prostaglandin lain seperti 15-metil prostaglandin F 2
digunakan untuk penanganan atonia uteri dengan perdarahan.
1.3.7. Kala Empat Persalinan
Plasenta, selaput, dan tali pusat harus diperiksa lengkap atau tidak,
dan apakah terdapat kelainan atau tidak. Setelah melahirkan merupakan
waktu yang kritis, dan disebut kala empat persalinan. Meskipun oksitosin
telah diberikan, perdarahan post partum karena atonia uteri lebih mungkin
terjadi pada masa ini. Sehingga, uterus dan perineum harus sering
dievaluasi. American Academy of Pediatrics dan American College of
Obstetricians and Gynecologists pada tahun 2007 merekomendasikan
tekanan darah dan nadi ibu diperiksa segera setelah melahirkan dan tiap
15 menit pada satu jam pertama.
1.3.8. Laserasi jalan lahir
Laserasi vagina dan perineum diklasifikasikan menjadi laserasi
derajat satu hingga empat. Laserasi derajat satu mengenai fourchette,
kulit perineal, dan membran mukosa vagina tapi tidak mengenai otot dan
fascia di bawahnya. Ini termasuk laserasi periurethral yang dapat
mengeluarkan darah dalam jumlah banyak. Laserasi derajat dua
mengenai fascia dan otot perineal tapi tidak mengenai sfingter ani.
Robekan ini biasanya meluas ke atas pada satu atau kedua sisi vagina,
berbentuk segitiga ireguler. Laserasi derajat tiga mengenai sfingter ani.

44

Laserasi derajat empat meluas melewati mukosa rektum sehingga


lumennya terpapar.

Gambar: Klasifikasi laserasi perineum. Atas Kiri: Laserasi derajat satu, robekan
superfisial yang mengenai mukosa vagina dan/atau kulit perineal. Atas Kanan:
Laserasi derajat dua, meluas ke fascia dan otot yang mengelilingi vagina. Bawah
Kiri: Laserasi derajat tiga, meluas ke otot sfingter ani eksterna. Bawah Kanan:
Laserasi derajat empat, meluas ke lumen anorektal dan mengenai sfingter ani
eksterna dan interna.

Risiko dan Morbiditas Laserasi


Robekan perineal dapat terjadi setelah persalinan pervaginam,
tetapi terdapat faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko
laserasi derajat tiga dan empat, yaitu episiotomi medial, nullipara,
persalinan kala dua memanjang, posisi oksiput posterior yang menetap,
forsep rendah atau sedang, penggunaan anestesia lokal, dan ras Asia.

45

Tingkat morbiditas meningkat sesuai dengan peningkatan derajat


laserasi. Meskipun pemberian 2 g cefazolin intravena perioperatif
mengurangi tingkat morbiditas, tetapi tidak sepenuhnya tereliminasi.
Karena perbaikan laserasi perineum sama seperti insisi episiotomi,
meskipun kadang kurang memuaskan karena ketidakteraturan robekan,
teknik perbaikan laserasi dilakukan dengan perbaikan episiotomi.
1.3.9. Episiotomi
Insisi dapat dilakukan pada midline, disebut episiotomi medial. Juga
bisa diawali dari midline tapi mengarah ke lateral bawah menjauhi rektum,
disebut episiotomi mediolateral.
1.3.9.1. Tujuan episiotomi
Meskipun masih merupakan prosedur obstetrik umum, tindakan
episiotomi banyak berkurang selama lebih dari 25 tahun. Selama tahun
1970an, episiotomi sering dilakukan pada hampir semua ibu yang baru
pertama kali melahirkan karena dapat menggantikan insisi pembedahan
lurus yang lebih mudah untuk diperbaiki karena laserasi ireguler yang
dapat terjadi. Kepercayaan bahwa tindakan post operatif lebih tidak
menimbulkan nyeri dan proses penyembuhan lebih baik dengan
episiotomi dibandingkan dengan robekan jalan lahir, tidak sepenuhnya
benar.
Manfaat lain episiotomi yang sering diungkapkan tapi belum
terbukti yaitu bahwa episiotomi mencegah komplikasi dasar panggul
(kelainan

dinding

menunjukkan

vagina

bahwa

dan

episiotomi

inkontinensia).
berhubungan

Sejumlah

penelitian

dengan peningkatan

insidensi robekan sfingter ani dan rektum.


Berdasarkan register percobaan pada Cochrane Pregnancy and
Childbirth Group, Carroli dan Mignini pada tahun 2009 menemukan bahwa
tingkat trauma perineal posterior, perbaikan pembedahan, dan komplikasi
penyembuhan yang lebih rendah pada kelompok dengan tindakan

46

episiotomi yang dibatasi. Sedangkan, insidensi trauma perineal anterior


lebih rendah pada kelompok dengan tindakan episiotomi rutin.
Penemuan ini menunjukkan bahwa episiotomi tidak melindungi
perineum

dan

menyebabkan

inkontinensia

sfingter

ani

dengan

meningkatkan risiko robekan derajat tiga dan empat. Signorello dkk pada
tahun 2000 melaporkan bahwa inkontinensia alvi dan flatus meningkat
empat sampai enam kali lipat pada ibu dengan episiotomi dibandingkan
dengan kelompok ibu yang melahirkan dengan perineum intak. Bahkan
jika dibandingkan dengan laserasi spontan, episiotomi meningkatkan
risiko inkontinensia alvi tiga kali lipat dan inkontinensia flatus dua kali lipat.
Episiotomi tanpa perluasan tidak menurunkan risiko-risiko tersebut.
Terlepas dari perbaikan perluasan derajat tiga, 30 sampai 40 persen ibu
mengalami inkontinensia ani jangka panjang. Alperin dkk pada tahun 2008
melaporkan bahwa episiotomi yang dilakukan pada persalinan pertama
berisiko lima kali lipat menyebabkan laserasi derajat dua atau lebih
dibandingkan dengan persalinan kedua.
Karena alasan-alasan tersebut, American College of Obstetricians
and Gynecologists pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa pembatasan
tindakan episiotomi lebih disukai daripada dilakukan secara rutin.
Prosedur harus dilakukan secara selektif untuk indikasi yang tepat. Hal ini
termasuk indikasi janin seperti distosia bahu dan persalinan sungsang,
persalinan dengan vakum atau ekstraksi forsep, posisi oksiput posterior,
dan kondisi lain di mana kegagalan dalam melakukan episiotomi akan
mengakibatkan ruptur perineum.
1.3.9.2. Waktu episiotomi
Jika dilakukan terlalu awal, perdarahan dari episiotomi dapat
menjadi signifikan selama jangka waktu antara insisi dan persalinan. Jika
terlambat dilakukan, laserasi tidak dapat dicegah. Biasanya episiotomi
dilakukan ketika kepala terlihat selama kontraksi dengan diameter 3
sampai 4 cm. Ketika dilakukan pada persalinan dengan forsep, sebagian
besar episiotomi dilakukan setelah pemasangan forsep.

47

Gambar: Episiotomi medial. Dua jari diposisikan di antara perineum dan kepala
janin, kemudian episiotomi dilakukan dengan memotong ke bawah secara
vertikal.

1.3.9.3. Episiotomi medial dan mediolateral


Tabel Perbedaan Episiotomi Medial dan Mediolateral
Karakteristik

Episiotomi Medial

Episiotomi Medilateral

Perbaikan pembedahan

Mudah

Lebih sulit

Gangguan penyembuhan

Jarang

Lebih sering

Nyeri post operatif

Minimal

Sering

Baik

Kadang buruk

Perdarahan

Sedikit

Lebih banyak

Dyspareunia

Jarang

Kadang

Perluasan

Sering

Jarang

Hasil anatomis

Episiotomi medial lebih baik, kecuali untuk perluasan derajat tiga


dan empat. Pemilihan kasus yang tepat dapat meminimalkan terjadinya
hal ini. Kudish dkk pada tahun 2006 tidak menyarankan melakukan
episiotomi

medial

dengan

persalinan

pervaginam

operatif

karena

peningkatan insidensi robekan sfingter ani.


1.3.9.4. Perbaikan episiotomi
Biasanya, perbaikan episiotomi ditunda hingga plasenta lahir.
Kebijakan ini memungkinkan perhatian yang tidak terpecah terhadap
tanda-tanda lepas dan lahirnya plasenta. Keuntungan lainnya adalah
48

perbaikan episiotomi tidak terganggu oleh lahirnya plasenta, terutama jka


harus dilakukan pengeluaran secara manual. Kerugiannya adalah
perdarahan terus terjadi hingga perbaikan selesai dikerjakan.
Teknik
Banyak cara untuk menutup insisi episiotomi, tapi pengembalian
hemostasis dan anatomis tanpa penjahitan yang berlebihan penting untuk
keberhasilan

dengan

metode

apapun.

Analgesia

adekuat

sangat

diperlukan. Ibu tanpa analgesia regional dapat mengalami nyeri yang


berat selama penjahitan perineum. Benang jahit yang biasanya dipakai
adalah catgut kromik ukuran 2-0 atau derivat asam poliglikolat. Bahan
sintetik

dilaporkan

dapat

menurunkan

nyeri

pasca

pembedahan.

Penutupan robekan dengan bahan-bahan tersebut kadang membutuhkan


angkat jahitan karena nyeri atau dyspareunia. Kettle dkk tahun 2002
secara acak pada 1542 ibu dengan laserasi perineum atau episiotomi
dilakukan

perbaikan

dengan

metode

kontinyu

dan

interuptus

menggunakan benang poliglaktin 910 yang cepat diabsorbsi (Vicryl Rapid,


Ethicon) dan benang poliglaktin 910 standar. Yang pertama diabsorbsi
dalam waktu 42 hari dan yang kedua sekitar 90 hari. Metode kontinyu
dikaitkan dengan nyeri perineum yang lebih ringan. Bahan yang cepat
diabsorbsi dihubungkan dengan tingkat angkat jahitan yang lebih rendah
dibandingkan dengan benang poliglaktin standar (3 dan 13 persen). Pada
penelitian acak lain yang membandingkan metode kontinyu dan
interuptus, Valenzuela tahun 2009 dan Kindberg tahun 2008 tidak
menemukan perbedaan teknik.

49

Gambar: Perbaikan episiotomi medial. Atas Kiri: Disrupsi cincin hymen dan m.
bulbocavernosus dan m. perineal transverse superfisial terlihat pada insisi
berbentuk wajik setelah episiotomi. Atas Kanan: Benang jahit ukuran 2-0 atau 3-0
yang dapat diabsorbsi digunakan untuk menutup mukosa dan submukosa vagina
dengan metode kontinyu. Bawah Kiri: Setelah menutup insisi vagina dan
mendekatkan kembali tepi robekan cincin hymen, jarum dan benang diposisikan
untuk menutup insisi perineum. Bawah Tengah: Metode kontinyu dengan benang
ukuran 2-0 atau 3-0 yang dapat diabsorbsi digunakan untuk menutup fascia dan
otot perineum yang diinsisi. Bawah Kanan: Benang kemudian diarahkan ke atas
secara subkutis. Simpul diikat proksimal dari cincin hymen.

50

Perbaikan laserasi derajat empat


Pada perbaikan laserasi derajat empat dipakai teknik ujung-keujung ataupun teknik lain. Tepi mukosa rektum yang robek dirapatkan
dengan benang jahit yang ditempatkan pada otot rektum dengan jarak
sekitar 0,5 cm. Lapisan otot ini kemudian ditutup dengan lapisan fascia.
Ujung robekan sfingter ani ditutup, dirapatkan, dan dijahit bersama
dengan 3 atau 4 simpul interuptus. Sisa perbaikan sama seperti
episiotomi.
Teknik overlap merupakan metode alternatif untuk merapatkan
sfingter ani eksterna. Meskipun hasil awalnya menjanjikan dengan teknik
ini, lebih banyak data dari RCT tidak mendukung bahwa metode ini
memberikan hasil anatomis dan fungsional yang lebih baik dibandingkan
dengan teknik tradisional ujung-ke-ujung. Sehingga, lebih ditekankan pada
pencegahan laserasi sfingter ani. Setelah perbaikan, stool softener
diberikan selama satu minggu dan hindari pemberian enema. Antibiotik
profilaktik dapat dipertimbangkan. Fungsi normal tidak selalu dapat
dipastikan meskipun dengan perbaikan pembedahan yang benar dan
tuntas. Beberapa ibu dapat mengalami inkontinensia alvi kontinyu yang
disebabkan oleh jejas pada inervasi otot dasar panggul.

51

Gambar: Perbaikan lapisan laserasi perineum derajat empat. Atas Kiri: Mukosa
dan submukosa anorektal dirapatkan menggunakan benang kromik atau Vicryl
yang dapat diabsorbsi berukuran 3-0 atau 4-0. Selama penjahitan ini, lapisan
atas dari laserasi anus anterior dapat terlihat, dan benang ditempatkan melalui
submukosa anorektum dengan jarak sekitar 0,5 cm di bawah tepi anus. Atas
Kanan: Lapisan kedua ditempatkan melalui otot rektum menggunakan benang
Vicryl ukuran 3-0. Lapisan ini harus menyatukan tepi robekan sfingter ani interna,
yang dikenali sebagai penebalan lapisan otot polos sirkuler 2 sampai 3 cm distal
dari anal canal, struktur fibrous putih mengkilat terletak di antara submukosa anal
canal dan sabut sfingter ani eksterna. Bawah: Sfingter ani eksterna dirapatkan
dengan metode tradisional ujung-ke-ujung, benang ditempatkan melalui otot
sfingter ani eksterna, menggunakan benang Vicryl ukuran 2-0 atau 3-0 sebanyak
4 sampai 6 jahitan interuptus sederhana pada posisi jam 3, 6, 6, dan 12 melalui
kapsul jaringan ikat otot sfingter ani eksterna. Benang melalui bagian inferior dan

52

posterior sfingter ditempatkan pertama dan diikat terakhir. Bawah Kiri: Jahitan
melalui dinding posterior kapsul sfingter ani eksterna. Bawah Tengah: Jahitan
melalui sfingter ani eksterna (benang biru) dan dinding kapsul inferior. Bawah
Kanan: Jahitan untuk merapatkan dinding anterior dan superior kapsul sfingter
ani eksterna. Sisa perbaikan sama seperti episiotomi medial.

1.3.9.5. Nyeri setelah episiotomi


Analgesia membantu meredakan nyeri perineum post operatif.
Penggunaan

ice

pack

membantu

mengurangi

bengkak

dan

ketidaknyamanan karena nyeri. Analgesik seperti kodein meredakan nyeri


secara signifikan. Karena nyeri dapat menjadi tanda hematoma vulva,
paravagina, atau ischiorectal yang besar ataupun selulitis perianal,
penting untuk memeriksa daerah-daerah tersebut dengan seksama jika
nyerinya hebat atau menetap.

1.4. Protokol Manajemen Persalinan


1.4.1. Manajemen Aktif Persalinan
Persalinan didiagnosa ketika kontraksi yang terasa nyeri disertai
dengan penipisan serviks lengkap, keluarnya lendir darah, atau pecahnya
selaput ketuban. Ibu dengan tanda-tanda tersebut diperkirakan akan
melahirkan dalam 12 jam. Pemeriksaan panggul dilakukan tiap jam
selama 3 jam berikutnya, dan selang 2 jam setelahnya. Jika dilatasi tidak
bertambah paling sedikit 1 cm/jam, dilakukan amniotomi. Kemajuan dinilai
lagi pada 2 jam dan infus oksitosin dosis tinggi dimulai kecuali dilatasi
paling sedikit 1 cm/jam.
Jika selaput ketuban pecah sebelum masuk rumah sakit, oksitosin
dimulai jika tidak ada kemajuan dalam waktu 1 jam. Larutan mengandung
10 unit oksitosin dalam 1 L dekstrosa. Dosis total tidak boleh melebihi 10
unit, dan kecepatan infus tidak boleh melebihi 30 sampai 40 mU/menit.
1.4.2. Partogram WHO

53

Partogram WHO dipakai di negara-negara berkembang. Persalinan


dibagi menjadi fase laten, yang tidak boleh melebihi 8 jam, dan fase aktif.
Fase aktif dimulai saat dilatasi 3 cm, dan kemajuan tidak boleh kurang dari
1 cm/jam. Ketika fase aktif lambat, direkomendasikan menunggu 4 jam
sebelum intervensi.

54

BAB 2
INTRAPARTUM ASSESSMENT
Sejak tahun 1958, telah dikembangkan pemantauan denyut jantung
janin secara elektronik dan kontinyu (continuous electronic fetal
monitoring/ EFM) dan pertama kali diperkenalkan di dunia obstetri pada
tahun 1960. Sebelum tahun-tahun tersebut, pemantauan surveilans
intrapartum janin dan dugaan terhadap adanya fetal distress dinilai
dengan auskultasi janin periodik dengan fetoskop. Kini persepsi tentang
gawat janin tidak lagi terbatas dari bunyi jantung, melainkan adanya
gambaran kontinyu frekuensi denyut jantung yang terpampang di kertas
grafik juga memiliki potensi diagnostik untuk menilai proses-proses
patofisiologis yang mempengaruhi janin. Saat itu sangat diharapkan:
1. Pemantauan

frekuensi

denyut

jantung

janin

secara

elektronik

memberikan informasi yang akurat


2. Informasinya bermanfaat untuk mendiagnosis gawat janin
3. Dapat dilakukan intervensi untuk mencegah kematian atau morbiditas
janin
4. Pemantauan frekuensi denyut jantung janin secara elektronik lebih
superior daripada metode-metode intermiten
Metode EFM pertama kali digunakan untuk kehamilan dengan
komplikasi, namun kini hampir digunakan pada semua kehamilan. Di
Amerika, pada tahun 1978, EFM digunakan pada hampir dua pertiga ibu
hamil, dan meningkat pada tahun 2002 hingga hampir 85% dari total
jumlah kelahiran hidup. Kini, pemantuan janin merupakan prosedur
obstetrik yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat.
2.1. Electronic Fetal Monitoring
2.1.1. Internal Electronic Monitoring
Frekuensi denyut jantung janin dapat diukur dengan menempelkan
sebuah elektrode spiral bipolar langsung ke janin. Elektrode kawat
tersebut menembus kulit kepala janin dan kutub kedua adalah lempeng
logam pada elektrode. Cairan vagina menciptakan suatu jembatan larutan

55

salin listrik yang melengkapi sirkuit dan memungkinkan kita mengukur


perbedaan tegangan (voltase) antara kedua kutub. Sinyal listrik jantung
janin gelombang P, kompleks QRS, dan gelombang T mengalami
penguatan

dan

dimasukkan

ke

dalam

suatu

kardiotakometer

(cardiotachometer) untuk menghitung frekuensi denyut jantung janin.


Kedua kawat elektrode bipolar disambungkan ke suatu elektrode rujukan
di paha ibu untuk menghilangkan interferensi listrik. Voltase puncak
gelombang R adalah bagian elektrokardiogram janin yang paling mudah
dideteksi.

Gambar Internal heart monitoring


Waktu (t) dalam milidetik dihitung antara kedua gelombang R,
dimasukkan ke dalam suatu kardiotakometer, dengan terciptanya setiap
frekuensi denyut jantung janin yang baru seiring datangnya gelombang R
yang

baru.

Pada

kontraksi

atrial

prematur

(premature

atrial

contraction/PAC), terjadi akselerasi frekuensi denyut jantung karena


interval (t2) lebih singkat daripada interval sebelumnya (t 1). Fenomena
komputasi denyut jantung janin gelombang R ke gelombang R yang
kontinyu dikenal sebagai variabilitas denyut-demi-denyut (beat-to-beat
variability). Namun, peristiwa fisiologis yang digambarkan bukanlah
peristiwa mekanis yang selaras dengan denyut jantung, tetapi lebih
merupakan suatu peristiwa elektris.

56

Gambaran premature atrial contraction


Kompleks listrik jantung yang terdeteksi oleh elektrode mencakup
kompleks yang dihasilkan oleh ibu. Walaupun sinyal elektrokardiogram
(EKG) ibu sekitar lima kali lebih kuat daripada EKG janin, namun
amplitudo sinyal tersebut menurun saat direkam melalui elektrode kulit
kepala janin. Pada janin hidup, sinyal EKG ibu yang rendah ini akan
terdeteksi tetapi tertutupi oleh EKG janin. Apabila janin meninggal, sinyal
ibu yang lebih lemah akan mengalami penguatan oleh kumpulan sirkuit
pengendali otomatis di monitor janin dan diperlihatkan sebagai frekuensi
denyut jantung janin. Apabila janin meninggal, gelombang R ibu tetap
terdeteksi oleh elektrode kulit kepala dan dihitung oleh kardiotakometer
sebagai sinyal terbaik berikutnya.

Gambar Rekaman denyut jantung ibu (m=maternal) yang terdeteksi pada kertas grafik

2.1.2. External (Indirect) Electronic Monitoring


Pemecahan selaput ketuban dan melakukan invasi ke uterus dapat
dihindari dengan menggunakan detektor eksternal untuk memantau kerja

57

jantung janin dan aktivitas uterus. Namun ketepatan pengukuran frekuensi


denyut jantung atau kuantifikasi tekanan uterus yang dihasilkan tidak
sebaik yang dihasilkan pemantauan internal.
Frekuensi denyut jantung janin dideteksi melalui dinding perut ibu
dengan memanfaatkan prinsip ultrasonik Doppler. Gelombang ultrasonik
mengalami pergeseran frekuensi sewaktu dipantulkkan oleh katup-katup
jantung janin yang bergerak, dan oleh darah yang disemprotkan sewaktu
sistole.

Gambar Ultrasound Doppler


Alatnya

terdiri

atas

sebuah

transuder

yang

mengeluarkan

gelombang ultrasonik dan sebuah sensor untuk mendeteksi pergeseran


frekuensi gelombang suara yang dipantulkan. Transuder diletakkan di
perut ibu di tempat kerja jantung janin paling jelas terdeteksi. Gel harus
dioleskan

di

tempat

penempelan

karena

udara

kurang

dapat

menghantarkan gelombang ultrasonik. Alat dilekatkan di tempatnya


dengan bantuan sabuk. Perlu diperhatikan bahwa denyut aorta ibu jangan
dikacaukan dengan gerakan jantung janin.
Sinyal ultrasonik Doppler diedit secara elektronis sebelum data
frekuensi denyut jantung janin tercetak di kertas rekaman monitor. Sinyal
ultrasonik yang dipantulkan oleh katub-katub jantung janin yang bergerak
dimasukkan ke suatu mikroprosesor yang membandingkan sinyal datang
dengan sinyal sebelumnya yang paling akhir. Proses ini disebut auto-

58

korelasi, didasarkan pada anggapan bahwa frekuensi denyut jantung janin


memiliki keteraturan sedangkan kebisingan bersifat acak dan tanpa
keteraturan. Beberapa gerakan jantung janin harus dianggap layak secara
elektronis oleh mikroprosesor sebelum frekuensi denyut jantung janin
dicetak. Pengeditan secara elektronis ini sangat meningkatkan kualitas
rekaman frekuensi denyut jantung janin yang dipantau secara eksternal.
2.1.3. Pola frekuensi denyut jantung janin
Interpretasi pola frekuensi denyut jantung janin dapat menimbulkan
masalah akibat tidak adanya kesepakatan mengenai definisi dan tata
namanya. Berdasarkan Fetal Monitoring Workshop yang diselenggarakan
oleh National Institute of Child Health and Human Development (NICHD)
pada tahun 1997, telah diajukan beberapa definisi-definisi standar yang
tidak membingungkan guna interpretasi pola frekuensi denyut jantung
janin selama persalinan. Perlu diketahui bahwa interpretasi data frekuensi
denyut jantung janin yang dipantau secara elektronik didasarkan pada
pola visual frekuensi denyut jantung seperti terekam pada kertas grafik.
Dengan demikian, pemilihan skala vertikal dan horizontal sangat
mempengaruhi tampilan frekuensi denyut jantung janin. Faktor skala yang
dianjurkan berdasarkan workshop tersebut adalah 30 dpm per cm vertikal
(antara 30 sampai 240 dpm) dan kecepatan kertas rekaman adalah 3 cm/
menit. Variasi frekuensi denyut jantung janin palsu akan tampak apabila
kecepatan kertas rekaman hanya 1 cm/menit dibandingkan dengan
gambaran rekaman basal yang tampak mulus pada kecepatan 3 cm/
menit.
2.1.3.1. Aktivitas basal jantung janin
Aktivitas basal jantung janin (baseline fetal heart activity) yang
dimaksud adalah karakteristik modus yang menonjol selain akselerasi dan
deselerasi periodik yang menyertai kontraksi uterus. Karakteristik
deskriptif aktivitas jantung janin mencakup kecepatan, variabilitas, denyut-

59

demi-denyut, aritmia janin, dan pola-pola tersendiri, misalnya frekuensi


denyut jantung janin sinusoid atau saltatorik.
2.1.3.2. Kecepatan
Semakin matang janin, frekuensi denyut jantung akan semakin
menurun. Hal ini berlangsung hingga setelah lahir sehingga kecepatan
rata-rata pada anak usia 8 tahun adalah 90 denyut per menit. Pillai dan
James mempelajari karakteristik frekuensi denyut jantung janin secara
longitudinal pada 43 kehamilan normal. Frekuensi denyut jantung basal
janin menurun rata-rata 24 dpm antara minggu ke 16 hingga masa aterm,
atau sekitar 1 dpm/minggu. Pada usia 16 minggu, kecepatan basal ratarata adalah 160 dpm, yang menurun menjadi 150 dpm pada usia 40
minggu. Dibuatlah suatu dalil yang menyatakan bahwa perlambatan
normal bertahap frekuensi denyut jantung janin ini sesuai dengan
pematangan pengendalian jantung oleh sistem parasimpatis.
Frekuensi denyut jantung basal janin merupakan hasil dari rerata
yang dibulatkan dalam interval 5 dpm selama 10 menit segmen
perekaman. Dalam setiap rentang 10 menit, durasi denyut basal yang
dapat diinterpretasi haruslah paling sedikit 2 menit. Frekuensi denyut
jantung basal janin yang kurang dari 110 dpm disebut bradikardi dan yang
lebih dari 160 dpm disebut takikardia.
Frekuensi denyut jantung dipengaruhi oleh sistem simpatis dan
parasimpatis.
sedangkan

Sistem
sistem

simpatis

menimbulkan

parasimpatis

adalah

pengaruh

faktor

akselerator,

deselerator

yang

diperantarai melalui saraf vagus dan menyebabkan frekuensi denyut


jantung melambat.
Frekuensi denyut jantung juga dipengaruhi oleh kemoreseptor arteri
sedemikian sehingga hipoksia dan hiperkapnia dapat memodulasi
kecepatan.

Hipoksia

meningkatnya

kadar

yang
laktat

parah
darah

dan
dan

berkepanjangan,
asidemia

metabolik

disertai
berat

menimbulkan penurunan frekuensi denyut jantung yang berkepanjangan


akibat efek langusng pada miokardium.

60

BRADIKARDIA. Selama trimester ketiga, rerata frekuensi denyut


jantung basal janin yang dianggap normal adalah 120 hingga 160 dpm.
Batas normal bawah masih diperdebatkan karena sebagian peneliti
menganjurkan 110 dpm. Secara pragmatis, kecepatan antara 100 dan 119
dpm, tanpa adanya perubahan lain biasanya tidak dianggap sebagai
gambaran gangguan janin. Frekuensi denyut jantung janin yang lambat
tetapi secara potensial normal juga diperkirakan disebabkan oleh
penekanan kepala akibat posisi melintang atau oksiput posterior, terutama
pada kala dua persalinan.
Bradikardia ringan didefinisikan sebagai frekuensi denyut jantung
janin antara 100-110 dpm. Bradikardia sedang didefinisikan sebagai
frekuensi 80 sampai 100 dpm, dan bradikardia berat adalah kurang dari
80 dpm, selama 3 menit atau lebih.
Kausa lain bradikardia janin antara lain blok jantung kongenital,
solusio plasenta, hipotermia dan pielonefritis berat pada ibu.
TAKIKARDIA. Takikardia oleh sebagian besar penulis dianggap
ringan apabila frekuensi denyut jantung basal adalah antara 161 hingga
180 dpm serta dianggap berat apabila 181 atau lebih. Penyebab takikardia
janin tersering adalah demam ibu akibat amionisitis walaupun demam oleh
sebab apapun dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung basal janin.
Takikardia yang disebabkan oleh infeksi ibu biasanya tidak disertai
gangguan janin, kecuali apabila terjadi perubahan frekuensi denyut
jantung janin berkala atau sepsis janin.
Kausa lain antara lain gangguan janin, aritmia jantung, dan
pemberian obat parasimpatis (atropin) atau simpatomimetik (terbutalin)
kepada ibu. Gambaran kunci untuk membedakan gangguan janin yang
disertai takikardia adalah terjadinya deselerasi frekuensi denyut jantung
secara bersamaan. Hilangnya penyebab secara segera, misalnya koreksi
hipotensi pada ibu akibat analgesia epidural, dapat menyebabkan
pulihnya janin.

61

2.1.3.3. Variabilitas denyut demi denyut


Variabilitas

basal

merupakan

indeks

penting

untuk

fungsi

kardiovaskular dan tampaknya dikendalikan terutama oleh sistem saraf


otonom. Yaitu melalui nodus sinoatrial yang memperantarai osilasi saatdemi-saat atau denyut-demi-denyut frekuensi denyut jantung basal.
Iregularitas frekuensi dneyut jantung ini disebut sebagai variabilitas basal,
yang dibagi menjadi jangka pendek dan jangka panjang.
Variabilitas jangka pendek mencerminkan perubahan mendadak
frekuensi denyut jantung janin dari satu denyutan (gelombang R) ke
denyutan selanjutnya. Variabilitas ini merupakan pengukuran interval
waktu antara dua sistole jantung. Variabilitas ini dapat dipastikan normal
hanya apabila siklus elektrokardiak diukur secara langsung dengan
elektrode kulit kepala.
Variabilitas

jangka

panjang

digunakan

untuk

menjelaskan

perubahan osilatorik yang terjadi selama 1 menit dan menyebabkan


rekaman variabilitas basal membentuk gelombang. Frekuensi normal
gelombang ini adalah tiga sampai lima siklus per menit. Analisis kuantitaif
yang tepat terhadap variabilitas jangka pendek dan panjang sampai saat
ini terkendala faktor teknis dan skala. Berdasarkan NICHD Fetal
Monitoring Workshop, variabilitas jangka pendek dan variabilitas jangka
panjang tidak dibedakan karena dalam praktik di lapangan keduanya
dianggap

sebagai

satu

kesatuan.

Namun,

wokshop

tersebut

mendefinisikan sebagai varibilitas basal sebagai fluktuasi basal sebesar


dua siklus per menit atau lebih. Variabilitas denyut-demi-denyut jantung
dianggap normal antara 6 sampai 25 dpm.
Beberapa proses fisiologis dan patologis dapat mempengaruhi atau
mengganggu variabilitas denyut-demi-denyut. Dawes dkk melaporkan
peningkatan variabilitas selama janin bernafas. Pada bayi sehat,
variabilitas jangka pendek disebabkan oleh aritmia sinus respiratorik.
Gerakan tubuh janin juga mempengaruhi variabilitas. Pillai dan James
melaporkan peningkatan variabilitas basal seiring kemajuan gestasi.
Sampai usia 30 minggu, karakteristik basal serupa baik saat janin

62

beristirahat maupun aktif. Setelah minggu ke-30, inaktivitas janin disertai


berkurangnya variabilitas basal, dan sebaliknya, variabilitas meningkat
selama janin beraktivitas. Jenis kelamin tidak mempengaruhi variabilitas
frekuensi denyut jantung janin.
Perlu diketahui bahwa frekuensi denyut jantung basal janin menjadi
lebih stabil secara fisiologis apabila kecepatan meningkat. Sebaliknya,
pada frekuensi denyut jantung yang rendah, instabilitas atau variabilitas
basal lebih tinggi. Fenomena ini diperkirakan mencerminkan bahwa
seiring dengan meningkatnya frekuensi denyut jantung, penyimpangan
kardiovaskular fisiologis yang digambarkan oleh pemendekan interval
antar denyut akan berkurang.
Berkurangnya variabilitas didefinisikan sebagai penyimpangan
sebesar 5 dpm atau kurang dari basal. Berkurangnya variabilitas denyutdemi-denyut dapat menjadi pertanda buruk adanya gangguan serius pada
janin. Paul dkk melaporkan bahwa hilangnya variabilitas disertai
deselerasi

terjadi

pada

asidemia

janin.

Hipoksemia

juga

dapat

menyebabkan berkurangnya variabiltas denyut-demi-denyut janin, namun


mekanismenya belum sepenuhnya diketahui. Dawes (1985) menyatakan,
penurunan variabilitas mungkin disebabkan oleh asidemia metabolik yang
menyebabkan depresi batang otak janin atau jantung janin itu sendiri.
Dengan demikian, penurunan variabilitas denyut-demi-denyut, apabila
merupakan gambaran suatu keadaan janin yang terganggu, lebih besar
kemungkinannya mencerminkan asidemia daripada hipoksia.
Pemberian obat-obatan juga dapat menyebabkan penurunan
variabilitas denyut-demi-denyut. Pemberian obat analgesia selama
persalinan,

dan

berbagai

obat

depresan

juga

sering

dijumpai

menyebabkan penurunan variabilitas denyut-demi-denyut. Obat-obatan


tersebut antara lain golongan narkotika, barbiturat, fenotiazin, obat
penenang, dan anestesia umum.
Secara umum dianggap bahwa penurunan variabilitas frekuensi
denyut jantung basal adalah satu-satunya tanda adanya gangguan janin
yang paling dapat diandalkan. Smith

dkk (1988) mengamati bahwa

63

penurunan variabilitas (4,2 dpm atau kurang) yang menetap selama 1 jam
bersifat diagnostik untuk asidemia dan ancaman kematian jainin.
Sebagai kesimpulan, variabilitas denyut-demi-denyut dipengaruhi
beragam mekanisme patologis dan fisiologis. Variabilitas memiliki arti yang
cukup

berbeda-beda

bergantung

pada

sitauasi

klinis.

Penurunan

variabilitas tanpa adanya deselerasi kecil kemungkinannya disebabkan


oleh hipoksia janin.

Gambar Variabilitas denyut jantung basal janin. (1) tidak ada variabilitas,
(2) variabilitas minimal 5 dpm, (3) variabilitas sedang (normal) 6-25 dpm,
(4) variabilitas bermakna >25 dpm
2.1.3.4. Aritmia jantung
Temuan-temuan pada pemantauan elektronik yang menimbulkan
kecurigaan kuat adanya aritmia jantung janin adalah bradikardia basal,
takikardia, atau terutama pembentukan gelombang taji basal mendadak

64

(abrupt baseline skiping). Bradikardia basal intermiten sering disebabkan


oleh blok jantung kongenital. Sebagian besar aritmia supraventrikel tidak
terlalu bermakna selama persalinan, kecuali apabila terdapat juga gagal
jantung

yang

tampak

sebagai

hidrops

fetalis.

Banyak

aritmia

supraventrikel yang menghilang pada periode neonatus dini, walaupun


sebagian disertai defek struktural jantung. Obat-obat yang digunakan
untuk mengendalikan aritmia janin biasanya berupa digoksin, verapamil,
dan fluecalnide. Walaupun sebagian besar aritmia janin kurang bermakna
selama persalinan apabila tidak terdapat tanda-tanda hidrops fetalis,
aritmia semacam ini mengganggu interpretasi perekaman frekuensi
denyut jantung intrapartum. Pemeriksaan ultrasonik terhadap anatomi
janin

serta

ekokardiografi

mungkin

bermanfaat.

Beberapa

dokter

menggunakan sampel kulit kepala janin sebagai tambahan. Secara


umum, tanpa adanya hidrops fetalis, hasil akhir janin tidak secara
bermakna meningkat dengan intervensi kehamilan. Di Parkland Hospital,
aritmia jantung janin intrapartum dengan air ketuban jernih ditangani
secara konservatif.
2.1.3.5. Frekuensi denyut jantung janin sinusoidal
Pola sinusoidal sejati mungkin dijumpai pada anemia janin yang
serius, baik akibat isoimunisasi-D, ruptur vasa previa, perdarahan
fetomaternal, maupun transfusi antar janin kembar. Pola sinusoidal yang
tidak signifikan pernah dilaporkan setelah pemberian meperidin, morfin,
alfaprodin, dan butorfanol, juga pernah dijumpai pada aminonitis, gawat
janin, dan oklusi tali pusat.
Mondalou dan Freeman (1982), berdasarkan pengkajian mereka
yang luas, mengajukan penerapan definisi yang ketat:
1. Frekuensi denyut jantung basal yang stabil adalah 120 sampai 160
2.
3.
4.
5.
6.

dpm dengan osilasi reguler.


Amplitudo 5 sampai 15 dpm (jarang lebih).
Frekuensi variabilitas jangka panjang 2 sampai 5 siklus/menit.
Variabilitas jangka pendek tetap atau datar.
Osilasi bentuk gelombang sinusoid di atas atau di bawah garis basal.
Tidak adanya akselerasi.
65

Peneliti lain mengajukan suatu klasifikasi untuk pola frekuensi


denyut jantung sinusoidal menjadi ringan (amplitudo 5 sampai 15 dpm),
sedang (16 sampai 24 dpm) dan mayor (25 dpm atau lebih) untuk menilai
risiko janin.
Beberapa peneliti mendefinisikan variasi basal mirip gelombang
sinus intrapartum disertai periode-periode akselerasi sebagai pseudosinusoidal. Pola pseudosinusoidal ringan dilaporkan muncul pada
pemakaian meperidin dan analgesia epidural. Pola pseudosinusoidal
sedang timbul pada pengisapan oleh janin atau serangan hipoksia janin
sesaat akibat penekanan tali pusat.
Patofisiologi pola sinusoidal masih belum diketahui jelas, sebagian
karena

definisinya

yang

masih

beragam.

Tampaknya

terdapat

kesepakatan umum bahwa undulasi basal gelombang sinus anterpatum


menandakan bahwa anemia janin yang parah, namun, janin yang
mengalami isoimunisasi D hanya sedikit yang memperlihatkan pola ini.
Pola sinusoidal dilaporkan timbul atau menghilang setelah transfusi janin.
Ikeda dkk (1999) menyatakan, berdasarkan penelitian pada janin domba,
bahwa pola sinusoidal frekuensi denyut jantung janin berkaitan dengan
gelombang-gelombang tekanan darah arteri, yang mencerminkan osilasi
pada

mekanisme

umpan

balik

baroreseptor/kemoreseptor

untuk

mengontrol sirkulasi.

Gambar Denyut jantung janin sinusoidal


66

2.1.3.6. Frekuensi denyut jantung janin periodik


Frekuensi denyut jantung janin periodik (periodic fetal heart rate)
merujuk pada penyimpangan dari basal yang menyertai kontraksi uterus.
Akselerasi merujuk pada meningkatnya frekuensi denyut jantung janin
melebih basal dan deselerasi adalah menurunnya frekuensi denyut
jantung janin di bawah basal. Sistem yang paling umum digunakan di
Amerika Serikat didasarkan pada waktu deselerasi saat kontraksi, yaitu
awitan dini, lambat atau variabel. Pada deselerasi dini dan lambat,
kemiringan perubahan frekuensi denyut jantung janin bersifat gradual
sehingga membentuk gelombang kurviliner dan uniform atau simetris.
Pada deselerasi variabel, kemiringan perubahan frekuensi denyut jantung
janin bersifat curam dan tidak beraturan, sehingga bentuk gelombang
bergerigi. Telah dinyatakan bahwa deselerasi seyogyanya disebut rekuren
apabila terjadi pada 50 persen kontraksi atau lebih pada setiap periode 20
menit.
Sistem lain, yang

sekarang lebih jarang digunakan untuk

menjelaskan deselerasi, didasarkan pada proses patofisiologis yang


kemungkinan menyebabkan pola tersebut. Pada sistem ini, deselerasi dini
disebut

kompresi

kepala,

deselerasi

lambat

disebut

insufisiensi

uteroplasenta, dan deselerasi variabel disebut pola kompresi tali pusat.


Akselerasi adalah peningkatan mendadak (didefinisikan sebagai
awitan akselerasi yang mencapai puncak dalam <30 detik) frekuensi
denyut jantung basal janin. Menurut Freeman dkk (1991), akselerasi
paling sering terjadi antepartum, pada awal persalinan, dan disertai
deselerasi

variabel.

Mekanisme

yang

diperkirakan

menyebabkan

akselerasi intrapartum antara lain gerakan janin, stimulasi oleh kontraksi


uterus, oklusi tali pusat, dan stimulasi janin selama pemeriksaan dalam.
Pengambilan sampel darah melalui kulit kepala janin dan stimulasi akustik
juga memicu akselerasi frekuensi denyut jantung janin. Akselerasi dapat
terjadi selama persalinan tanpa rangsangan yang jelas. Akselerasi hampir
selalu disertai gerakan janin, dan memastikan bahwa janin tidak

67

mengalami asidemia saat itu. Adanya akselerasi jantung selama 30 menit


pertama dan/atau terakhir selama persalinan merupakan pertanda baik
kesejahteraan janin.
Deselerasi dini pada frekuensi denyut jantung janin adalah
penurunan dan pemulihan bertahap yang menyertai kontraksi. Hon (1958)
pertama kali menjelaskan bahwa penurunan frekuensi denyut jantung saat
kontraksi uterus dan bahwa hal ini berkaitan dengan pembukaan serviks,
hal ini dianggap fisiologis. Freeman dkk (1991) mendefinisikan deselerasi
dini sebagai deselerasi yang umumnya tampak pada persalinan akitf
dengan dilatasi antara 4 sampai 7 cm. Derajat deselerasi umumnya
proporsional dengan kekuatan kontraksi dan jarang turun di bawah 100
sampai 110 dpm atau 20 sampai 30 dpm di bawah basal. Deselerasi
semacam ini jarang terjadi pada persalinan aktif dan tidak disertai
perubahan basal. Deselerasi dini tidak terjadi pada hipoksia janin,
asidemia janin, atau skor Apgar yang rendah.

Gambar Deselerasi dini (skematik)


Deselerasi lambat adalah penurunan frekuensi denyut jantung janin
yang mulus, gradual, dan simetris yang dimulai pada saat atau setelah
puncak kontraksi dan kembali ke basal hanya setelah kontraksi berakhir.
Pada sebagian kasus, awitan, nadir, dan pemulihan deselerasi masingmasing terjadi setelah permulaan, puncak, dan akhir kontraksi. Derajat

68

deselerasi lambat jarang melebihi 30 sampai 40 dpm di bawah garis basal


dan biasanya intensitasnya tidak lebih dari 10 sampai 20 dpm. Deselerasi
lambat biasanya tidak disertai akselerasi.
Murata dkk (1982) memperlihatkan bahwa deselerasi lambat
merupakan konsekuensi pertama terjadinya hipoksia uteroplasenta
terhadap frekuensi denyut jantung janin. Banyak situasi klinis yang dapat
menyebabkan deselerasi lambat. Secara umum, setiap proses yang
menyebabkan hipotensi ibu, aktivitas uterus berlebihan, atau disfungsi
plasenta dapat memicu deselerasi lambat. Dua kausa tersering adalah
hipotensi akibat analgesia epidural dan hiperaktivitas uterus akibat
stimulasi oksitosin. Penyakit ibu seperti hipertensi, diabetes dan penyakit
kolagen vaskuler dapat menyebabkan disfungsi plasenta kronik. Kausa
yang jarang adalah anemia ibu yang berat dan kronik tanpa hipovolemia.
Solusio plasenta dapat menyebabkan deselerasi lambat yang akut dan
parah.

Gambar Deselerasi lambat (skematik)


Deselerasi variabel frekuensi denyut jantung janin didefinisikan
sebagai penurunan kecepatan yang mendadak dan jelas secara visual.
Pola deselerasi yang paling sering dijumpai selama persalinan adalah
deselerasi variabel yang disebabkan oleh oklusi tali pusat. Awitan
deselerasi umumnya bervariasi dengan kontraksi berikutnya. Durasinya
kurang dari 2 menit. Bentuk gambaran deselerasi variabel bervariasi dan
diduga akibat derajat oklusi tali pusat. Oklusi tali pusat parsial atau total
69

menyebabkan
kandungan

peningkatan

oksigen

kemoreseptor

dan

arteri

afterload,
janin.

baroreseptor,

Hal
atau

hipertensi,
ini

dan

penurunan

menyebabkan

keduanya

yang

aktivitas
kemudian

menyebabkan aktivasi vagus sehingga terjadi deselerasi. Dengan


demikian, deselerasi variabel merupakan refleks frekuensi denyut jantung
janin yang mencerminkan perubahan tekanan darah akibat gangguan
aliran darah umbilikus atau perubahan oksigenasi. Kemungkinan sebagian
besar janin mengalami serangan-serangan hipoksia yang singkat tetapi
berulang akibat penekanan tali pusat selama gestasi. Oklusi tali pusat
yang tidak dapat dihindari dan sering terjadi jelas menyebabkan janin
mengembangkan mekanisme-mekanisme fisiologis untuk mengatasi hal
tersebut.

Gambaran skematik hubungan antara oklusi korda umbilikalis parsial dan


total terhadap detak jantung janin
The American College of Obstetricians and Gynecologists (1995)
mendefinisikan deselerasi variabel patologis sebagai deselerasi yang
turun sampai kurang dari 70 dpm dan berlangsung selama lebih dari 60
detik. Pola frekuensi denyut jantung janin lain yang juga dilaporkan
bersesuaian dengan penekanan tali pusat yaitu frekuensi denyut jantung
basal saltatorik. Pola ini diperkirakan disebabkan oleh pasangan
70

akselerasi dan deselerasi yang rekuren dan cepat sehingga terjadi osilasi
yang relatif besar pada frekuensi denyut jantung janin basal. Tanpa ada
kelainan frekuensi denyut jantung janin lainnya, pola saltatorik ini tidak
mencerminkan gangguan janin.

Gambar Deselerasi variabel (skematik)


2.1.3.7. Prolonged Deceleration
Deselerasi

berkepanjangan

didefinisikan

sebagai

deselerasi

tersendiri yang berlangsung 2 menit atau lebih, tetapi kurang dari 10 menit
dari awitan untuk kembali ke basal. Deselerasi berkepanjangan sulit
diinterpretasikan karena dijumpai pada banyak situasi klinis. Beberapa
kausa yang relatif sering dijumpai antara lain pemeriksaan serviks,
hiperaktivitas uterus, lilitan tali pusat, dan hipotensi ibu pada posisi
terlentang. Analgesia epidural, spinal atau paraservikal juga sering
menjadi penyebab deselerasi berkepanjangan frekuensi denyut jantung
janin. Kausa lain deselerasi berkepanjangan adalah hipoperfusi atau
hipoksia ibu apapun sebabnya, solusio plasenta, simpul atau prolaps tali
pusat, kejang ibu termasuk eklamsia dan epilepsi, aplikasi elektrode di
kulit kepala janin, menjelang persalinan, atau bahkan saat valsava
manuver pada ibu.
2.1.3.8. Pola frekuensi denyut jantung janin pada persalinan kala dua
Pada persalinan kala kedua, deselerasi frekuensi denyut jantung
janin lebih sering dijumpai. Baik penekanan tali pusat maupun penekanan
kepala janin diperkirakan menyebabkan deselerasi dan bradikardia basal
selama persalinan kala dua. Spong dkk (1998) menganalisis karakteristik
71

deselerasi variabel frekuensi denyut jantung janin kala dua pada 250
persalinan dan mendapatkan bahwa dengan meningkatnya jumlah total
deselerasi yang kurang dari 70 dpm, skor APGAR menit ke-5 menurun.
Dengan kata lain, semakin lama janin mengalami deselerasi variabel,
semakin rendah skor Apgar menit ke-5 nya. Picquard dkk (1988)
menganalisis pola frekuensi denyut jantung janin selama kala dua pada
234 wanita dalam upaya mengidentifikasi pola-pola spesifik untuk
mendiagnosis gangguan janin. Hilangnya variabilitas denyut-demi-denyut
dan frekuensi denyut jantung janin basal yang kurang dari 90 dpm bersifat
prediktif untuk asidemia janin. Krebs dan rekan (1981) juga mendapatkan
bahwa bradikardia basal yang persisten atau progresif, sama halnya
dengan takikardia basal, menyertai skor APGAR yang rendah. Gull dan
rekan (1996) mengamati bahwa deselerasi mendadak yang menyebabkan
frekuensi denyut jantung janin menjadi kurang dari 100 dpm, dan yang
disertai hilangnya variabilitas denyut-demi-denyut selama 4 menit atau
lebih, bersifat prediktif untuk asidemia janin. Dengan demikian, kelainan
frekuensi denyut jantung basal, baik bradikardia atau takikardia, tidak
adanya

variabilitas

denyut-demi-denyut,

atau

keduanya,

disertai

deselerasi kala dua mencermikan adanya suatu gangguan pada janin.


2.2. Pemeriksaan Intrapartum Lainnya
2.2.1. Pengambilan sampel darah kulit kepala janin
Menurut The American College of Obstetricians and Gynecologists
(1995), pengukuran pH di darah kapiler kulit kepala dapat membantu
mengidentifikasi janin yang berada dalam keadaan gawat janin berat.
Akan tetapi, teknik ini sudah jarang digunakan sekarang.
2.2.1.1. Teknik
Sebuah endoskop yang memiliki lampu iluminasi dimasukkan
melalui serviks yang sudah mengalami dilatasi setelah selaput ketuban
pecah sehingga alat ini menekan kulit kepala janin. Kulit dibersihkan
dengan kapas dan dilapisi dengan gel silikon sehingga darah terkumpul

72

sebagai globulus-globulus terpisah. Dibuat insisi melalui kulit dengan


kedalaman 2 mm menggunakan sebuah mata pisau khusus bertangkai
panjang. Darah yang menetes di permukaannya langsung ditampung di
tabung kapiler kaca yang mengandung heparin dan segera dilakukan
pemeriksaan pH darah.
2.2.1.2. Interpretasi
pH darah kapiler kulit kepala janin biasanya lebih rendah daripada
darah vena umbilikalis dan mendekati pH darah arteri umbilikalis. Zalar
dan Quiligan (1979) menganjurkan protokol berikut sebagai upaya
memastikan gawat janin. Apabila pH lebih besar dari 7.25, maka
persalinan berlangsung dalam observasi. Apabila pH antara 7.20 dan
7.25, pengukuran pH diulang dalam 30 menit. Apabila pH kurang dari
7.20, segera lakukan kembali pengambilan sampel darah kulit kepala dan
ibu dibawa ke kamar operasi serta dipersiapkan untuk pembedahan.
Apabila terbukti pH memang rendah, bayi segera dilahirkan. Apabila tidak,
persalinan dapat dibiarkan berlanjut dan dilakukan pengambilan sampel
darah kulit kepala secara berkala.

Gambar Pengambilan sampel darah kulit kepala janin


2.2.2. Stimulasi kulit kepala
Clark dan rekannya (1984) mengemukakan bahwa stimulasi kulit
kepala merupakan alternatif pengambilan sampel darah kulit kepala janin.
Digunakan sebuah klem Allis untuk menjepit kulit kepala janin tepat
73

sebelum dilakukan pengambilan darah kulit kepala untuk pengukuran pH.


Akselerasi frekuensi denyut jantung sebagai respon terhadap penjepitan
hampir selalu disertai pH darah kulit kepala yang normal. Sebaliknya, tidak
terjadinya akselerasi tidak selalu mengisyaratkan asidemia janin.
2.2.3. Stimulasi vibroakustik
Akselerasi frekuensi denyut jantung janin sebagi respon terhadap
stimulasi vibroakustik pernah direkomendasikan sebagai pengganti
pengambilan sampel darah kulit kepala. Teknik ini berupa pemakaian
sebuah laring buatan elektronik yang diletakkan sekitar satu sentimeter
dari atau secara langsung ke abdomen ibu. Respon terhadap stimulasi
vibroakustik dianggap normal apabila akselerasi frekuensi denyut jantung
janin paling sedikit 15 dmp selama paling kurang 15 detik dan terjadi
dalam 15 detik setelah stimulasi disertai gerakan janin.
2.2.4. Oksimetri denyut janin (pulse oximetry)
Dengan menggunakan teknologi yang serupa dengan oksimetri
denyut

pada

orang

dewasa,

dikembangkan

peralatan

yang

memungkinkan kita memperkirakan saturasi oksihemoglobin janin setelah


selaput ketuban pecah. Sebuah sensor unik berbentuk lempeng (Nellcor
Puritan Bennet) yang dimasukkan melalui serviks dan diletakkan
menghadap wajah janin tempat alat tersebut ditahan di tempatnya oleh
dinding uterus. Seperti diteliti oleh Yam dkk. (2000), alat ini telah
digunakan secara luas oleh banyak peneliti dan dilaporkan dapat secara
handal mengukur saturasi oksigen janin pada 70-95% wanita sepanjang
50-88% persalinan mereka. Saturasi oksigen janin normalnya bervariasi
antara sekitar 30-70% sepanjang persalinan.
Garite dkk (2000) memilih secara acak 1010 wanita yang hamil
aterm dan memperlihatkan pola abnormal frekuensi denyut jantung janin
untuk menjalani pemantauan janin konvensional saja atau pemantauan
janin ditambah oksimetri denyut janin. Seksio sesarea atas indikasi gawat
janin dilakukan apabila angka oksimetri denyut tetap di bawah 30%
sepanjang interval antara dua kontraksi atau pola frekuensi denyut jantung
74

janin sesuai dengan patokan tertentu yang sudah ditentukan. Pemakaian


oksimetri denyut secara signifikan mengurangi angka seksio sesarea atas
indikasi status janin yang tidak meyakinkan dari 10,2% menjadi 4,5%.
Sementara itu, angka seksio sesarea atas indikasi distosia secara
bermakna meningkat dari 9% menjadi 19% pada pemakaian oksimetri
denyut. Tidak dijumpai manfaat dan efek samping bagi neonatus akibat
penggunaan oksimetri denyut janin. Pada bulan Januari 2000, the
Obstetrics and Gynecology Devices Panel dari the Medical Devices
Advisory Committee of the Food and Drug Administration, berdasarkan
studi teracak ini, merekomendasikan pemasaran Nellcor N-400 Fetal
Oxygen Monitoring System. Teknik tersebut saat ini sedang dievaluasi
oleh NICHD Maternal-Fetal Medicine Units Network.

Gambar Diagram skematik peletakan sensor oksimetri denyut janin


2.2.5. Elektrokardiografi janin
Karena seiring memburuknya hipoksia janin terjadi perubahan
segmen ST dan interval PR pada EKG janin, beberapa peneliti berupaya
menilai manfaat analisis hal-hal tersebut sebagai adjuvan pemantauan
janin konvensional. Westgate dkk (1993) meneliti manfaat pemantauan
perubahan segmen ST dalam sebuah uji klinis teracak terhadap 2400
kehamilan. Hasil pada janin tidak berubah dibandingkan dengan
pemakaian pemantauan janin konvensional saja walaupun terjadi
penurunan seksio sesarea atas indikasi gawat janin. Demikian juga,

75

Strachan dkk (2000) tidak mendapatkan adanya manfaat penambahan


analisis interval PR pada pemantauan konvensional.
2.2.6. Velosimetri doppler intrapartum
Analisis Doppler atas arteri umbilikalis juga diteliti sebagai salah
satu

pemeriksaan

penunjang

pada

pemantauan

janin

secara

konvensional. Kelainan bentuk gelombang Doppler, apabila dijumpai


mungkin menunjukkan adanya resistensi pembuluh umbilikus-plasenta
patologis. Farrell dkk (1999) mengulas literatur tentang pemakaian
velosimetri Doppler intrapartum dan menyimpulkan bahwa teknik ini
kurang dapat memperkirakan adanya gangguan perinatal. Mereka
menyimpulkan bahwa velosimetri Doppler hampir tidak memiliki peran
dalam surveilans kesejahteraan janin selama persalinan.
2.3. Gawat Janin
Istilah gawat janin (fetal distress) terlalu luas dan kurang tepat
menggambarkan situasi klinis. Ketidakpastian dalam diagnosis gawat
janin yang didasarkan pada interpretasi pola frekuensi denyut jantung
janin

menyebabkan

reassuring

munculnya

(meyakinkan)

atau

istilah-istilah
nonreassuring

deskriptif

misalnya

(meragukan,

tidak

meyakinkan). Reassuring mengisyaratkan pulihnya keyakinan oleh


adanya

pola

ketidakmampuan

tertentu,
kita

sedangkan

menghilangkan

reassuring
keraguan.

mengisyaratkan
Pola-pola

selama

persalinan ini bersifat dinamik, yaitu pola-pola tersebut dapat berubah


cepat dari meyakinkan menjadi meragukan, demikian sebaliknya. Dalam
situasi ini, para ahli kebidanan pada dasarnya terombang-ambing dalam
keyakinan sekaligus keragu-raguan. Dengan kata lain, sebagian besar
diagnosis gawat janin yang didasarkan pada pola frekuensi denyut jantung
terjadi saat ahli obstetrik tidak yakin atau tidak dapat meredakan keraguan
mengenai kondisi janin. Penilaian janin ini adalah penilaian klinis yang
sama sekali subyektif dan pastilah memiliki kelemahan dan harus diakui
demikian.

76

2.3.1. Patofisiologi
Mengapa diagnosis gawat janin yang didasarkan pada pola
frekuensi denyut jantung sangat lemah? Salah satu penjelasannya adalah
bahwa pola-pola ini lebih merupakan cerminan fisiologi daripada patologi
janin. Pengendalian frekuensi denyut jantung secara fisiologis terdiri atas
beragam mekanisme yang saling berkaitan dan bergantung pada aliran
darah serta oksigenasi. Selain itu, aktivitas mekanisme-mekanisme
pengendali ini dipengaruhi keadaan oksigenasi janin sebelumnya, seperti
tampak pada insufisiensi plasenta kronik, sebagai contoh. Yang juga
penting, janin tertambat ke tali pusat, tempat aliran darah terus menerus
mengalami gangguan, sehingga janin harus memiliki strategi untuk dapat
bertahan hidup. Selain itu, persalinan normal adalah suatu proses yang
menyebabkan janin mengalami asidemia yang semakin meningkat
(Rogers dkk, 1998). Dengan demikian, persalinan normal adalah suatu
proses

saat

janin

mengalami

serangan

hipoksia

berulang

yang

menyebabkan asidemia tak dapat terelakkan. Dengan kata lain, dan


dengan beranggapan bahwa asfiksia dapat didefinisikan sebagai hipoksia
yang menyebabkan asidemia, persalinan normal adalah suatu proses
yang menyebabkan janin mengalami asfiksia.
2.3.2. Diagnosis
Identifikasi gawat janin yang didasarkan pola frekuensi denyut
jantung janin kurang tepat dan menimbulkan silang pendapat para pakar
dalam interpretasi pola-pola ini sering berbeda pendapat sehingga salah
satu panitia di The NICHD Fetal Monitoring Workshop (1997) secara
berkelakar membandingkan para pakar yang hadir dengan iguana laut di
kepulauan Galapagos Semua berada di pantai yang sama, tetapi
menghadap ke arah yang berbeda dan saling meludahi satu sama lain.
(Parer, 1997)
Ayres-de-Campos

dan

rekan

(1999)

meneliti

kesepakatan

pengamat (inter-observer agreement) mengenai interpretasi pola frekuensi

77

denyut jantung janin dan mendapatkan bahwa kesepakatan atau


sebaliknya, pertentangan timbul pada penentuan apakah pola itu normal,
mencurigakan, patologis. Secara spesifik, para pakar setuju pada 62
persen pola normal, 42 persen pola yang mencurigakan dan hanya 25
persen pola patologis. Memang, beberapa kesepakatan telah dicapai,
tetapi hanya mengenai definisi frekuensi denyut jantung dengan pola
normal dan abnormal yang ekstrem.
2.3.2.1. Evaluasi dari sistem klasifikasi
Baru-baru ini telah dilakukan berbagai upaya riset guna menguji
kegunaan sistem klasifikasi frekuensi denyut jantung janin yang
definisinya sudah ditentukan pasti. Berkus dkk (1999) secara retrospektif
menganalisis pola frekuensi denyut jantung janin selama 30 menit terakhir
persalinan pada 1859 persalinan aterm. Studi ini dirancang untuk
menentukan apakah pola spesifik, atau kombinasi pola dapat memprediksi
hasil akhir pada neonatus. Kombinasi pola frekuensi denyut jantung janin
yang menunjukkan tidak adanya akselerasi plus deselerasi lambat atau
variabel

yang

parah,

atau

bradikardia

atau

takikardia

yang

berkepanjangan, menyertai peningkatan insiden pada bayi. Low dkk


(1999) menganalisis pola frekuensi denyut jantung pada bayi aterm yang
lahir dengan asidemia metabolik yang signifikan (defisit basa arteri
umbilikasi > 16 mmol/liter). Asidemia macam ini jarang dijumpai, terjadi
hanya pada 71 di antara 23.000 kelahiran. Pola tanpa variabilitas basal
merupakan pola paling sepesifik, tetapi hanya teridentifikasi pada 17
persen (positif sejati), dan spesifitasnya 98 persen (negatif sejati).
Dellinger dkk (2000) secara retrospektif menganalisis pola frekuensi
denyut

jantung

janin

intrapartum

pada

898

kehamilan

dengan

menggunakan suatu sistem klasifikasi yang mereka rancang sendiri. Pola


frekuensi denyut jantung janin selama persalinan sebelum persalinan
diklasifikasikan

sebagai

normal,

stres,

atau

gawat.

Gawat

janin

didiagnosis pada 8 (1%) rekaman dan 70% diklasifikasikan sebagai


normal. Sepertiga pola adalah pola intermediet. Yang digolongkan ke

78

dalam gawat janin antara lain tidak variabilitas plus deselerasi lambat atau
deserasi variabel sedang sampai parah atau denyut basal kurang dari 110
dpm selama 5 menit atau lebih. Hasil akhir seperti seksio sesarea,
asidemia janin, dan rawat inap di ruang perawatan intensif bermakna dan
berkaitan dengan pola frekuensi denyut jantung janin. Para penulis ini
menyimpulkan bahwa sistem klasifikasi mereka secara akurat dapat
memprediksi hasil akhir normal bagi janin serta membedakan gawat janin
yang sesungguhnya.
2.3.2.2. Interpretasi status ritme detak jantung janin
Singkatnya lebih 40 tahun pengalaman dengan interpretasi pola
frekuensi denyut jantung janin, akhirnya ditemukan bahwa beberapa
kombinasi pola frekuensi denyut jantung janin dapat digunakan untuk
mengidentifikasi janin normal dan abnormal. Pola gawat janin yang sejati
tampaknya berupa tidak adanya variabilitas denyut-demi-denyut disertai
deselerasi berat atau perubahan frekuensi basal per sistem atau
keduanya. Salah satu penjelasan mengapa manfaat pemantauan
frekuensi denyut jantung sulit dibuktikan secara ilmiah adalah gawat janin
semacam itu jarang terjadi sehingga sulit dilakukan uji klinis yang sahih
(Hornbuckle dkk, 2000).
2.3.3. Mekonium dalam cairan amnion
Pendidikan obstetri sepanjang abad ini mengajarkan konsep bahwa
keluarnya mekonium kemungkinan merupakan peringatan adanya asfiksia
janin. J Whitridge Williams mengamati pada tahun 1930 bahwa tanda
khas ancaman asfiksia adalah keluarnya mekonium. Ia menyatakan
bahwa keluarnya mekonium disebabkan oleh relaksasi otot sfingter ani
yang dipicu oleh kurangnya aerasi darah (janin). Namun, para ahli
kebidanan juga telah lama menyadari bahwa deteksi mekonium selama
persalinan menimbulkan masalah dalam memprediksi asfiksia atau gawat
janin. Dalam kajian mereka, Katz dan Bowes (1992) menekankan nilai
prognostik mekonium yang bersifat tidak pasti dengan menyebut topik ini

79

sebagai ikhwal yang kelam. Memang, walaupun 12%-22% persalinan


pada

manusia

dipersulit

oleh

mekonium,

hanya

sedikit

yang

mengakibatkan kematian bayi. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini di


Parkland Hospital, mekonium terbukti sebagai bahaya obstetrik risiko
rendah karena angka kematian perinatal yang disebabkan oleh
mekonium adalah 1 kematian per 1000 kelahiran hidup (Nathan, dkk,
1994).
Tiga teori diajukan untuk menjelaskan keluarnya mekonium dari
janin dan mungkin, sebagian menjelaskan korelasi yang lemah antara
deteksi mekonium dan mortalitas bayi. Penjelasan patologis menyatakan
bahwa janin mengeluarkan mekonium sebagai respons terhadap hipoksia,
dengan demikian mekonium merupakan tanda gangguan janin (Walker,
1953). Penjelasan lain, keluarnya mekonium in utero mungkin merupakan
pematangan normal saluran cerna di bawah kontrol saraf (Mathews dan
Warshaw, 1979). Ketiga, keluarnya mekonium juga terjadi setelah
stimulasi vagus akibat terjepitnya tali pusat yang sering terjadi tetapi
berlangsung singkat dan menyebabkan peningkatan peristaltis (Hon et al,
1996). Dengan demikian, pengeluaran mekonium oleh janin juga mungkin
mencerminkan proses fisiologis.
Ramin dan rekan (1996) mempelajari hampir 8.000 persalinan yang
air ketubannya tercemar dengan mekonium di Parkland Hospital. Sindrom
aspirasi mekonium secara bermakna berhubungan dengan asidemia janin
saat lahir. Hal-hal lain yang secara bermakna berkaitan dengan aspirasi
antara lain seksio sesarea, pemakaian forceps untuk mempercepat
pelahiran, kelainan frekuensi denyut jantung intrapartum, penurunan skor
APGAR, dan perlunya bantuan ventilasi saat lahir. Analisis jenis asidemia
janin berdasarkan gas darah tali pusat menunjukkan bahwa gangguan
janin yang menyertai sindrom aspirasi mekonium merupakan suatu
kejadian yang akut karena sebagian besar janin asidemik lebih
memperlihatkan peningkatan abnormal pCO 2 daripada asidemia metabolik
murni.

80

Yang menarik, hiperkarbia pada janin domba memicu janin


tersengal-sengal (gasping) dan menyebabkan peningkatan inhalasi cairan
amnion (Dawes dkk, 1972). Jovanovic dan Nguyen (1989) mengamati
bahwa mekonium yang terhirup ke dalam paru menyebabkan sindrom
aspirasi hanya pada janin hewan yang mengalami asfiksia. Ramin dan
rekan (1996) berhipotesis bahwa patofisiologi sindrom aspirasi mekonium
melibatkan, tetapi tidak terbatas pada hiperkarbia janin yang merangsang
respirasi janin sehingga terjadi aspirasi mekonium ke dalam alveolus, dan
kerusakan parenkim paru akibat asidemia yang memicu kerusakan sel
alveolus. Dalam skenario patofisiologi ini, mekonium dalam cairan amnion
lebih merupakan suatu bahaya potensial yang terdapat di lingkungan janin
daripada menjadi penanda sudah terjadinya suatu gangguan. Rangkaian
proses patofisiologi yang dihipotesiskan ini tidak bersifat menyeluruh,
karena tidak memperhitungkan sekitar separuh kasus sindrom aspirasi
mekonium dengan janin yang tidak mengalami asidemia saat lahir.
Disimpulkan bahwa tingginya insiden ditemukannya mekonium dalam
cairan amnion selama persalinan sering mencerminkan pengeluaran isi
saluran cerna janin yang merupakan proses fisiologis normal. Namun,
mekonium ini dapat menjadi suatu bahaya potensial lingkungan apabila
disertai asidemia janin. Asidemia janin tersebut terjadi secara akut
sehingga aspirasi mekonium tidak dapat diperkirakan dan besar
kemungkinannya tidak dapat dicegah.
2.3.4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan klinis perubahan pola frekuensi denyut jantung
janin yang signifikan adalah memperbaiki gangguan pada janin.
Mengubah posisi ibu menjadi posisi lateral, memperbaiki hipotensi ibu
akibat analgesia regional dan menghentikan oksitosin, berfungsi untuk
memperbaiki perfusi uteroplasenta. Pemeriksaan untuk menyingkirkan
prolaps tali pusat atau persalinan iminens mungkin bermanfaat.
2.3.4.1. Tokolisis

81

Suntikan dosis tunggal 0,25 mg terbutalin sulfat intravena atau


subkutan yang diberikan untuk melemaskan uterus dilaporkan dapat
digunakan sebagai tindakan sementara dalam penatalaksanaan pola
frekuensi denyut jantung janin yang tidak meyakinkan selama persalinan.
Alasan tindakan ini adalah bahwa inhibisi kontraksi uterus dapat
memperbaiki oksigenasi janin sehingga terjadi resusitasi in utero. Cook
dan Spinnato (1994) melaporkan pengalaman mereka dengan tokolisis
terbutalin untuk resusitasi janin pada 368 kehamilan selama periode 10
tahun. Tindakan resusitasi ini memperbaiki angka pH darah kulit kepala
janin walaupun semua wanita ini melahirkan melalui seksio sesarea.
Dalam kajian mereka, para peneliti berkesimpulan bahwa walaupun studi
yang ada sedikit dan jarang berupa studi acak, namun sebagian besar
melaporkan bahwa tokolisis terbutalin untuk pola yang meragukan
memberi hasil baik. Nitrogliserin intravena dalam dosis kecil (60-180 mg)
juga dilaporkan bermanfaat (Mercier dkk, 1997).
2.3.5. Pola frekuensi denyut jantung janin dan kerusakan otak
Usaha-usaha untuk mengkorelasikan pola frekuensi denyut jantung
janin dengan kerusakan otak terutama didasarkan pada berbagai
penelitian terhadap bayi yang teridentifikasi sebagai akibat proses
medikolegal. Sebagai contoh, Rosen dan Dickinson (1992) menganalisis
pola frekuensi denyut jantung janin intrapartum pada 55 kasus semacam
itu dan tidak mendapatkan adanya pola khusus yang berkaitan dengan
cedera saraf.
Shields dan Schifrin (1988) serta Schifrin dan rekan (1994)
melaporkan sesuatu yang mereka anggap sebagai pola frekuensi denyut
jantung janin yang unik sebagai karakterisktik kerusakan otak janin. Pola
ini terdiri atas frekuensi denyut jantung basal yang normal tanpa disertai
variabilitas dan terdapat deselerasi variabel ringan disertai over shoot.
Pola ini juga sering didapatkan berkaitan erat dengan apa yang disebut
sebagai uji non stress reaktif (reactive non stress test). Temuan lain antara
lain post maturitas, pencemaran oleh mekonium disertai pertumbuhan

82

janin terhambat, dan berkurangnya cairan ketuban. Mereka menyimpulkan


bahwa pola tersebut paling sering mencerminkan penekanan tali pusat
yang kronik dan intermitten akibat oligohidramnion serta menyebabkan
iskemia berulang susunan saraf pusat antepartum. Studi-studi lanjutan
memperlihatkan tingginya insiden retardasi mental, mikrosefalus, dan
aktivitas kejang, selain cerebral palsy. Phelan dan Ahn (1994) melaporkan
bahwa di antara 48 janin yang kemudian didapatkan mengalami gangguan
neurologis, 70% janin sudah memperlihatkan rekaman frekuensi denyut
jantung yang non reaktif persisten pada saat ibunya dirawat; mereka
menyimpulkan bahwa cedera saraf janin sebagian besar terjadi sebelum
pasien tiba di rumah sakit. Saat mereka meneliti secara retrospektif pola
frekuensi denyut jantung pada 209 bayi dengan kerusakan otak, hanya
separuh yang nonreaktif pada saat datang (Ahn dkk, 1996). Mereka
menyimpulkan bahwa tidak terdapat satupun pola khas yang menyertai
cedera saraf janin. Westgate, dkk (1999) mendapatkan bahwa lebih dari
separuh janin aterm dengan ensefalopati neonatal akibat asidemia janin
disebabkan oleh kejadian-kejadian yang berada di luar jangkauan
pengendalian dokter kebidanan.
2.3.5.1. Bukti eksperimental
Pola kelainan frekuensi denyut jantung janin yang biasa timbul
pada kerusakan otak perinatal telah diteliti pada hewan percobaan. Myers
(1972) menjelaskan efek asfiksia total dan parsial pada monyet rhesus
dalam penelitian tentang kerusakan otak akibat asfiksia perinatal. Asfiksia
menyeluruh ditimbulkan oleh oklusi total aliran darah tali pusat
menyebabkan terjadinya deselerasi berkepanjangan. pH arteri janin baru
mencapai 7.0 setelah 8 menit setelah penghentian total oksigenasi dan
aliran darah tali pusat. Diperlukan deselerasi setidaknya selama 10 menit
sebelum didapatkan kerusakan otak pada janin yang bertahan hidup.
Myers (1972) juga menimbulkan asfiksia parsial pada monyet
rhesus

dengan

menghalangi

aliran

darah

aorta

induk.

Hal

ini

menyebabkan terjadinya deselerasi lambat akibat hipoperfusi uterus dan

83

plasenta. Ia mengamati bahwa deselerasi lambat selama beberapa jam


tidak merusak otak janin kecuali apabila pH turun di bawah 7.0, Adamsons
dan Myers (1977) kemudian melaporkan bahwa deselerasi lambat
merupakan penanda asfiksia parsial jauh sebelum terjadinya kerusakan
otak.
Pada hewan percobaan pola frekuensi denyut jantung janin yang
paling sering dijumpai selama persalinan akibat oklusi tali pusat,
memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mempengaruhi janin
secara bermakna. Watanabe, dkk (1992) memperlihatkan bahwa oklusi
tali pusat total sekuensial selama 40 detik diikuti oleh 80 detik
pembebasan selama 30 menit pada domba hanya menyebabkan
asidemia sedang pada janin. Demikian juga Clapp dkk (1988) menyumbat
tali pusat secara parsial selama 1 menit setiap 3 menit pada janin domba
dan mengamati terjadinya kerusakan setelah 2 jam. Ikeda dkk (1998,
2000) mempelajari oklusi parsial tali pusat yang menyebabkan pH menjadi
kurang dari 6,9 selama 90 menit pada janin domba. Asfiksia yang berat
semacam ini menimbulkan kerusakan multiorgan dan kerusakan otak
dengan derajat bervariasi. Durasi yang lebih singkat, yaitu oklusi total tali
pusat selama 10, 15, atau 20 menit, tidak menimbulkan kerusakan otak
pada janin domba (Keunen, dkk. 1997).
Dengan

menggunakan

janin

domba,

Matsuda,

dkk

(1999)

memperlihatkan bahwa cedera otak serupa terjadi pada perdarahan janin


akut. Para peneliti ini mengeluarkan sekitar sepertiga volume darah
uteroplasenta

secara

akut

sehingga

menumbulkan

hipotensi

dan

kemudian menyebabkan perubahan-perubahan pada substansia alba


periventrikel.
Bukti pada manusia
Kontribusi proses-proses intrapartum terhadap terjadinya kelainan
neurologis di kemudian hari selama ini diperkirakan secara berlebihan.
Nelson dan Grether (1998) melakukan sebuah studi populasi terhadap
anak dengan cerebral palsy spastik dengan catatan intrapartum anak-

84

anak ini membandingkan dengan kelompok kontrol sepadan. Kelainan


frekuensi denyut jantung janin intrapartum tidak menunjukan perbedaan
antara anak dengan cerebral palsy dan kontrol normal. Badawi, dkk
(1998) juga melakukan studi populasi kasus-kontrol (case control) pada
bayi dengan cerebral palsy di Australia Barat. Hanya 5% bayi dengan
keusakan otak yang memiliki faktor intrapartum, sehingga mereka
menyimpulkan bahwa sebagian besar kasus cerebral palsy tidak berkaitan
dengan proses persalinan.
Low, dkk (1989) membagi kerusakan otak perinatal menjadi tiga
kategori berdasarkan temuan mikroskopik:
1. Dari 18 sampai 48 jam nekrosis saraf disertai piknosis atau lisis inti
sel dalam sel eosinofilik yang melisut.
2. Dari 48 sampai 72 jam nekrosis saraf yang lebih intens disertai
respons makrofag.
3. Lebih dari 3 hari dua poin di atas ditambah respons astrosit disertai
gliosis dan, pada sebagian kavitasi dini.
Histopatologi otak yang abnormal tidak dijumpai pada asfiksia akut
yang letal. Selain itu, 43% episode kerusakan otak terjadi sebelum
persalinan dan 25% dalam masa neonatus. Demikian juga, pada
penelitian lain, Low, dkk (1984) memperkirakan bahwa diperlukan lebih
dari 1 jam asfiksia janin ditambah dengan asidemia metabolik yang parah
(pH kurang dari 7.0) sebelum kelainan neurologis dapat didiagnosis pada
usia 6-12 bulan. Low, dkk (1988) menelusuri 37 bayi aterm dengan
asidemia metabolik berat saat lahir sampai usia 1 tahun dan menemukan
defek neurologis mayor pada 13% bayi. Defisit minor terdiagnosa pada 10
bayi, dan 60% sisanya normal. Para peneliti ini lebih lanjut mengamati
bahwa asfiksia janin intrapartum disertai asidemia metabolik saat janin
lahir, baik pada kehamilan aterm maupun prematur, ditandai oleh penyulit
yang parah tidak saja pada susunan saraf pusat tetapi juga pada sistem
pernapasan dan ginjal (Low, dkk. 1994, 1995).
Pengamatan-pengamatan ini semakin memperkuat posisi American
College of Obstetricians and Gynecologists (1996) mengenai asfiksia lahir

85

dan cerebral palsy. Dalam memperkirakan kemungkinan hubungan antara


asfiksia perinatal dan defisit neurologis pada seorang pasien, semua
kriteria berikut harus terpenuhi sebelum dapat dibuat keterkaitan yang
masuk akal:
1. Asidemia metabolik atau campuran yang parah pada arteri umbilikalis
(pH kurang dari 7.0)
2. Menetapnya skor APGAR 0-3 selama lebih dari 5 menit
3. Sekuele neurologis pada masa neonatus (kejang, koma, atau
hipotonia)
4. Disfungsi multiorgan (kardiovaskular, gastrointestinal, hematologis,
paru, atau ginjal).
Korst, dkk (1999) mendebat konsep ini.
Untuk terjadi kerusakan otak, janin mengalami hipoksia yang cukup
lama. Selain itu, hipoksia harus menyebabkan asidemia metabolik parah
yang hampir fatal. Pola frekuensi denyut jantung janin yang sesuai dengan
kondisi subletal ini jarang dijumpai.
2.3.6. Manfaat pemantauan frekuensi DJJ secara elektronik
Terdapat

beberapa

asumsi

yang

keliru

di

balik

harapan

membaiknya hasil akhir perinatal dengan pemantauan elektronik. Salah


satu asumsi tersebut adalah bahwa gawat janin merupakan suatu
fenomena yang berkembang perlahan dan bahwa pemantauan secara
elektronik memungkinkan kita mendeteksi secara dini janin yang
mengalami gangguan tersebut. Anggapan lain adalah bahwa semua
kerusakan pada janin terjadi di rumah sakit. Baru-baru ini saja perhatian
diarahkan pada realitas bahwa sebagian besar janin yang menderita
kelainan sudah mengalami gangguan sebelum tiba di kamar bersalin.
Istilah monitor janin mengisyaratkan bahwa teknologi benda mati ini
sedikit banyak memantau. Dibuat asumsi bahwa apabila janin yang mati
atau cacat lahir, kertas rekaman seharusnya berisi petunjuk karena alat ini
memantau keadaan janin. Semua asumsi di atas menyebabkan timbulnya
harapan yang terlalu besar dan mendrong anggapan bahwa semua

86

kematian atau kecacatan neonatus dapat dicegah. Paree dan King (2000)
mengkaji alasan-alasan mengapa hasil pemantauan frekuensi denyut
jantung janin tidak sesuai dengan harapan. Harapan-harapan yang tanpa
bukti ini sangat mendorong terjadinya penuntutan malpraktik di bidang
obstetri. Memang, Symonds (1994) melaporkan bahwa 70% klaim
liabilitas yang berkaitan dengan kerusakan otak didasarkan pada temuan
yang dianggap kelainan pada rekaman pemantauan janin secara
elektronik.
Sangat banyak janin yang memperlihatkan kelainan frekuensi
denyut jantung selama persalinan sehingga deteksi yang akurat terhadap
janin yang benar-benar mengalami gangguan sulit dilakukan. Memang,
sebagian besar gawat janin tidak mencerminkan janin yang benar-benar
mengalami gangguan. Masih terjadi perdebatan mengenai interpretasi
berbagai pola frekuensi denyut jantung janin. Sebagai contoh, Keith, dkk
(1995) meminta 17 pakar untuk memeriksa 50 rekaman pada dua kali
kesempatan, yang masing-masing terpisah paling tidak 1 bulan. Sekitar
20% mengubah interpretasi mereka sendiri, dan sekitar 25% tidak setuju
dengan interpretasi kolega mereka.
Pada akhir tahun 1970an, pertanyaan mengenai efektivitas,
keamanan, dan biaya pemantauan elektronik mulai disuarakan oleh Office
Technology Assesment, Kongres Amerika Serikat, dan Centers for
Disease Control and Prevention. Banta dan Thacker (1979) menganalisis
158 laporan dan menyimpulkjan bahwa kemajuan teknik yang dibutuhkan
untuk membuktikan bahwa kita dapat membuat perekaman yang andal
tampaknya telah membutakan sebagian besar pengamat atas kenyataan
bahwa informasi tambahan ini tidak selalu menyebabkan hasil akhir
menjadi lebih baik. Mereka memperkirakan bahwa kurangnya manfaat
tersebut disebabkan oleh kurang akuratnya alat pemantau elektronik
dalam mengidentifikasi keadaan gawat janin. Selain itu, peningkatan
penggunaan monitor disertai peningkatan angka seksio sesarea. Mereka
memperkirakan bahwa biaya tambahan melahirkan di Amerika Serikat,

87

apabila separuh dari persalinan menjalani pemantauan elektronik, adalah


sekitar 400 juta US$ per tahun dalam dolar tahun 1979.
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD)
menunjuk

sebuah

gugus

tugas

untuk

mempelajari

kekhawatiran-

kekhawatiran ini, dan sebuah laporan konsensus dipublikasikan pada


tahun 1979. Setelah pengkajian yang melelahkan terhadap kepustakaan
mengenai pemantauan elektronik, gugus tugas tersebut menyimpulkan
bahwa bukti hanya mengisyaratkan adanya kecenderungan ke arah
perbaikan keadaan bayi pada kehamilan dengan penyulit. Mereka
menekankan bahwa penelitian-penelitian ilmiah untuk mengkaji manfaat
perinatal pemantauan elektronik masih terbatas. Hampir 20 tahun
kemudian

NICHD

Fetal

Monitoring

Workshop

(1997)

kembali

memformulasikan rekomendasi riset yang ditujukan untuk menilai


kehandalan dan kesahihan pola frekuensi denyut jantung janin dalam
mencegah kerusakan otak akibat asfiksia.
Pada akhir tahun 1970an, berbagai pertanyaan tentang efikasi,
keamanan, dan pembiayaan pemantauan secara elektronik disuarakan
oleh Office of Technology Assesment, dari Kongres Amerika Serikat dan
Centers for Disease Control and Prevention. Banta dan Thacker (2002)
melaporkan selama 25 tahun dalam kontroversi pada manfaat, dan teori,
dan pemantauan janin secara elektronik. Pareer (2003) menegaskan
kontroversi berlanjut pada ...untuk memutuskan penggunaan Electronic
Fetal Monitoring, kita perlu menunjukan keadilan. Kita harus membuat
sebuah

perjanjian

pada

level

nasional

tentang

interpretasi

dan

manajemen.
2.3.6.1. Pemantauan selektif dan universal
Pada bulan Juli 1982, di Parkland Hospital dimulai suatu penelitian
untuk memastikan apakah semua wanita dalam persalinan perlu
menjalani pemantauan elektronik (Leveno, dkk. 1986). Pemantauan
elektronik universal dilakukan secara bergantian dengan pemantauan
frekuensi denyut jantung selektif setiap bulannya, yaitu praktik yang biasa

88

dilakukan. Selama 3 tahun penelitian, 17.410 persalinan menjalani


pemantauan elektronik universal. Tidak ditemukan perbedaan yang
bermakna dalam hasil akhir pada bayi. Terdapat peningkatan kecil yang
signifikan dalam angka seksio sesarea atas indikasi gawat janin pada
pemantauan

universal.

Dengan

demikian,

peningkatan

pemakaian

pemantauan elektronik di Parkland Hospital tidak memperbaiki hasil akhir


perinatal, tetapi meningkatkan frekuensi seksio sesarea atas indikasi
gawat janin.
Ringkasan studi-studi acak
Thacker, dkk (1995) mengidentifikasi 12 makalah mengenai uji
klinis acak pemantauan janin secara elektronik dari tahun 1966 sampai
1994. Jumlah kehamilan total yang tercakup dalam penelitian-penelitian
tersebut adalah 58.624. mereka menyimpulkan bahwa menfaat yang
semula diklaim untuk pemantauan elektronik jelas lebih kecil daripada
yang dibayangkan, dan tampaknya terutama dalam mencegah kejang
neonatus. Namun, dampak jangka panjang hasil akhir ini tampaknya tidak
terlau serius dibandingkan dengan yang sebelumnya diperkirakan.
Konsekuensi kelainan neurologis tidak secara konsisten lebih tinggi pada
anak yang dipantau dengan auskultasi dibandingkan dengan yang
dipantau secara elektronik. Mereka setuju dengan posisi yang sekarang
diambil oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (1995)
mengenai surveilans janin intrapartum.
2.3.7. Rekomendasi yang sekarang berlaku
Metode-metode yang paling sering digunakan untuk pemantauan
elektronik frekuensi denyut jantung janin antara lain auskultasi dengan
stetoskop janin atau alat ultrasonografi Doppler, atau pemantauan
kontinyu frekuensi denyut jantung dan kontraksi uterus secara elektronik.
Belum ada bukti ilmiah yang dapat menentukan metode paling efektif,
termasuk frekuensi dan durasi surveilans janin, yang menjamin hasil
optimal. Auskultasi intermitten atau pemantauan elektronik kontinyu

89

dianggap sebagai metode surveilans intrapartum yang layak digunakan


baik pada kehamilan berisiko rendah atau tinggi. Namun, interval yang
lebih lama dianjurkan untuk memeriksa frekuensi denyut jantung pada
kehamilan tanpa penyulit. Apabila digunakan auskultasi, dianjurkan
auskultasi dilakukan setelah kontraksi dan selama 60 detik. Juga apabila
digunakan auskultasi, rasio pasien banding perawat dianjurkan 1 banding
1.
2.4. Pemantauan Aktivitas Uterus Intrapartum
Analisis terhadap aktivitas uterus yang diukur secara elektronis
memungkinkan kita membuat beberapa generalisasi mengenai hubungan
pola kontraksi tertentu dengan hasil persalinan. Namun terdapat variasi
normal yang cukup besar dan kita harus berhati-hati dalam menilai
apakah

benar

terjadi

persalinan

atau

tidak

hanya

berdasarkan

pemeriksaan rekaman monitor. Efisiensi otot uterus untuk menimbulkan


persalinan sangat bervariasi.
2.4.1. Pemantauan tekanan uterus internal
Tekanan cairan amnion diukur antara dan selama kontraksi oleh
sebuah kateter plastik berisi cairan dengan ujung distal terletak di bawah
bagian terbawah janin. Kateter dihubungkan ke sebuah sensor pengukur
tekanan yang diatur sesuai dengan ketinggian ujung kateter di uterus.
Sinyal listrik (yang telah diperkuat) yang terbentuk di pengukur tekanan
akibat variasi tekanan di dalam sistem cairan direkam di atas kertas
berskala yang bergerak, bersamaan dengan rekaman frekuensi denyut
jantung janin. Sekarang sudah tersedia kateter tekanan intrauterus yang
memiliki sensor tekanan di ujung kateter sehingga kolom cairan tidak lagi
diperlukan.
2.4.2. Pemantauan eksternal
Kontraksi uterus dapat diukur oleh tranduser pemindah yang
tombolnya ditekan ke dinding abdomen. Sewaktu uterus berkontraksi,

90

tombol tertekan sesuai dengan kekuatan kontraksi. Gerakan ini diubah


menjadi sinyal listrik terukur yang menunjukkan intensitas kontraksi relatif,
sinyal ini tidak memberikan ukuran intensitas yang akurat. Pemantauan
eksternal dapat memberikan petunjuk yang baik tentang onset, puncak,
dan akhir dari kontraksi.
2.4.3. Pola aktivitas uterus
Caldeyro-Barcia dan Poseiro (1960) dari Montevideo, Uruguay,
merupakan

pelopor-pelopor

yang

telah

membuat

banyak

untuk

mengungkapkan pola-pola aktivitas spontan uterus sepanjang kehamilan.


Gerakan kontraktil aktivitas uterus biasanya diukur menggunakan kateter
tekanan intra-amnion. Tetapi, pada awal penelitian mereka menggunakan
empat balon mikro intramiometrium sekaligus untuk merekam tekanan
uterus. Mereka juga memperkenalkan konsep satuan Montevideo
(Montevideo units) untuk menggambarkan aktivitas uterus. Berdasarkan
definisi ini, kinerja uterus adalah hasil kali intensitas, suatu kontraksi
dalam mmHg dengan frekuensi kontraksi per 10 menit, masing-masing
dengan intensitas 50 mmHg, sama dengan 150 satuan Montevideo.
Selama 30 minggu pertama, aktivitas uterus relatif tenang.
Intensitas kontraksi jarang melebihi 20 mmHg dan kontraksi ini dianggap
sama dengan kontraksi yang diterangkan oleh Braxton Hicks pada tahun
1872. Aktivitas uterus meningkat secara bertahap setelah 30 minggu dan
penting diketahui bahwa kontraksi Braxton Hicks ini juga meningkat
intensitas dan frekuensinya. Peningkatan aktivitas uterus lebih lanjut
merupakan hal yang khas pada minggu-minggu terakhir kehamilan, yang
disebut prapersalinan (prelabor). Selama fase ini, serviks menjadi matang,
mungkin akibat meningkatnya kontraksi uterus.
Menurut Caldeyro-Barcia dan Poseiro (1960), secara klinis
persalinan biasanya dimulai apabila aktivitas uterus mencapai nilai antara
80 dan 120 unit Montevideo. Nilai ini berarti 3 kontraksi 40 mmHg setiap
10 menit, atau 120 unit Montevideo. Tidak ada perbedaan yang jelas
antara prapersalinan dan persalinan, tetapi yang terjadi adalah transisi
bertahap dan progresif.
91

Selama persalinan kala satu, intensitas kontraksi uterus meningkat


secara progresif dari sekitar 25 mmHg pada permulaan persalinan
menjadi 50 mmHg pada akhir kala satu. Pada saat yang sama, frekuensi
meningkat dari 3 menjadi 5 kontraksi per 10 menit, dan tonus basal uterus
dari 8 menjadi 12 mmHg. Aktivitas uterus semakin meningkat selama
persalinan kala dua, dibantu oleh tekanan yang ditimbulkan oleh ibu yang
mengejan. Kontraksi biasanya memiliki intensitas 80-100 mmHg dan
terjadi dengan frekuensi 5 sampai 6 kali per 10 menit. Yang menarik,
durasi kontraksi uterus, 60 sampai 80 detik, tidak meningkat secara
bermakna sejak awal persalinan aktif sampai sepanjang kala dua.
Diperkirakan menetapnya durasi ini memiliki fungsi dalam pertukaran gas
pernafasan janin. Yaitu, kemampuan janin menahan nafas secara
fungsional selama kontraksi uterus, yang menyebabkan terisolasinya
ruang antar vilus tempat terjadinya pertukaran gas-gas pernafasan,
adalah 60 sampai 80 detik dan hal ini relatif konstan.
Caldeyro-Barcia dan Poseiro (1960) juga mengamati secara
empiris bahwa kontraksi uterus secara klinis dapat diraba hanya setelah
intensitasnya melebihi 10 mmHg. Selain itu, sebelum intensitas kontraksi
mencapai 40 mmHg, dinding uterus masih mudah ditekan dengan jari
tangan. Pada intensitas yang lebih besar, dinding uterus menjadi keras
sehingga sulit ditekan. Kontraksi uterus biasanya tidak menimbulkan nyeri
sampai intensitasnya lebih besar dari 15 mmHg, mungkin karena ini
adalah tekanan minimum yang diperlukan untuk meregangkan segmen
uterus bawah dan serviks. Kontraksi Braxton Hicks yang melebihi 15
mmHg

mungkin

akan

menimbulkan

rasa

tidak

nyaman

karena

peregangan uterus, serviks, dan jalan lahir biasanya diduga memicu rasa
tidak nyaman.
Uterus diharapkan tetap melemas selama kehamilan, berkontraksi
secara efektif tetapi intermiten selama persalinan, dan kemudian berada
dalam keadaan kontraksi yang hampir konstan selama beberapa jam
pascapartum. Kontraksi uterus setelah janin lahir serupa dengan kontaksi
yang menyebabkan kelahiran bayi. Pola aktivitas uterus bersifat menyurut
secara bertahap atau kebalikannya yang berakhir dengan kelahiran.
92

Dengan demikian tidaklah mengejutkan bahwa uterus yang kinerjanya


buruk sebelum janin keluar juga rentan terhadap atoni dan perdarahan
masa nifas.
2.4.3.1. Asal dari penjalaran kontraksi
Dari aspek mekanisme fungsi fisiologis nonhormonalnya, uterus
memang belum banyak diteliti. Gelombang kontraktil normal pada
persalinan berawal dari dekat bagian salah satu tuba falopi yang melekat
ke uterus; karena itu bagian ini berfungsi sebagai pemicu (pacemaker).
Pemicu kanan biasanya lebih dominan daripada yang kiri dan memulai
sebagian besar gelombang kontraktil. Kontraksi menyebar dari daerah
pemicu

ke

seluruh

uterus

dengan

kecepatan

cm/detik

dan

mendepolarisasi organ keseluruhan dalam waktu 15 detik. Gelombang


depolarisasi ini menjalar ke bawah menuju serviks. Intensitasnya paling
besar di fundus dan semakin berkurang menuju serviks. Fenomena ini
diduga menggambarkan penurunan ketebalan miometrium dari fundus ke
serviks. Diperkirakan penurunan gradien tekanan ini berfungsi untuk
mengarahkan turunnya janin melalui serviks serta mendatarkan serviks.
Semua bagian uterus tersinkronisasi dan mencapai tekanan puncak
hampir bersamaan sehingga menghasilkan bentuk gelombang kurvilinear.
Teori pemicu (pacemaker theory) ini juga dapat menjelaskan
perbedaan intensitas kontraksi-kontraksi berganda yang berdekatan. Oleh
Caldeyro-Barcia dan Poseiro (1960), penggandaan (coupling) ini disebut
inkoordinasi. Sebuah gelombang kontraktil berawal di satu regio kornu
pemicu, tetapi tidak secara sinkron mendepolarisasikan seluruh uterus.
Akibatnya, timbul kontraksi lain di pemicu kontralateral yang menghasilkan
gelombang kontraktil kedua dari pasangan kontraksi. Kontraksi-kontraksi
kecil yang berselang-seling dengan kontraksi besar ini tampaknya khas
pada awal persalinan. Persalinan tetap dapat maju dengan aktivitas uterus
seperti ini, walaupun lebih lambat. Mereka juga mengamati bahwa
persalinan akan maju secara lambat apabila kontraksi reguler bersifat
hipotonik, yaitu intensitas kontraksi kurang dari 25 mmHg atau frekuensi
kurang dari 2 per 10 menit. Persalinan normal ditandai oleh minimal 3
kontraksi yang rata-rata lebih dari 25 mmHg dan interval antarkontraksi
93

kurang dari 4 menit. Aktivitas uterus yang lebih kecil terdapat pada
terhentinya persalinan. Diagnosis prospektif persalinan hipotonik tidak
dapat ditegakkan hanya berdasarkan analisis terhadap beberapa rekaman
tekanan uterus.

DAFTAR PUSTAKA
-

Cunningham, F Gary. et all. 2010. Obstetri Williams 23rd ed. USA :


The McGraw-Hill Companies, Inc.

Wiknjosastro

H, editor. Ilmu

cetakan pertama.Jakarta:

Kebidanan. Edisi

Yayasan

Bina

Pustaka

keempat,
Sarwono

Prawirohardjo, 2009

94

You might also like

  • Jiwa
    Jiwa
    Document31 pages
    Jiwa
    StanleyHaryono
    No ratings yet
  • Iol
    Iol
    Document13 pages
    Iol
    StanleyHaryono
    100% (1)
  • Ukp TB
    Ukp TB
    Document105 pages
    Ukp TB
    StanleyHaryono
    No ratings yet
  • IOL
    IOL
    Document19 pages
    IOL
    StanleyHaryono
    No ratings yet
  • Kasus Striktur Uretra
    Kasus Striktur Uretra
    Document12 pages
    Kasus Striktur Uretra
    Cha 'cayYank' TemAnd
    No ratings yet
  • Dcs
    Dcs
    Document11 pages
    Dcs
    StanleyHaryono
    No ratings yet
  • Soal Bimbingan UKDI
    Soal Bimbingan UKDI
    Document28 pages
    Soal Bimbingan UKDI
    StanleyHaryono
    No ratings yet
  • Responsi Autis
    Responsi Autis
    Document23 pages
    Responsi Autis
    StanleyHaryono
    No ratings yet