You are on page 1of 9

REFERAT

PSIKOFARMAKOTERAPI

Pembimbing: dr. Rusdi Effendi, Sp.KJ

Disusun Oleh:
Tesha Islami Monika
1102012293

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RS JIWA ISLAM KLENDER
2016

KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Dengan mengucapkan puji syukur pada kehadirat Allah SWT atas segala berkah
dan rahmat-Nya sehingga tim penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
"Psikofarmakoterapi" untuk memenuhi syarat kelulusan di Kepaniteraan Klinik di bagian
Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Islam Klender.
Terima kasih tim penulis ucapkan pada semua pihak yang telah banyak membantu
dalam penyusunan proposal penyuluhan ini, khususnya kepada konsulen bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Islam Klender sebagai pembimbing yang telah memberikan
saran, bimbingan serta pengarahan dalam penulisan karya ilmiah ini. Tim penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda sejawat dan semua pihak
yang ikut berkontribusi.
Tim penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu tim penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak guna
menyempurnakan referat ini. Semoga karya ini bisa bermanfaat bagi para pembaca pada
umumnya dan mahasiswa kedokteran pada khususnya.

Sekian dan terima kasih.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.2
DAFTAR ISI3
PSIKOFARMAKOTERAPI4
1. Antipsikotik.4
2. Antidepresan....6
3. Antiansietas..8
4. Antimanik....9
DAFTAR PUSTAKA....10

PSIKOFARMAKOTERAPI
3

1. Antipsikotik
1.1 Klasifikasi
Menurut cara kerjanya obat antipsikotik dibagi menjadi:
A. Antipsikotik tipikal (Dopamine receptor Antagonist)
a. Golongan fenotiazin
Obat-obat berpotensi rendah. Contohnya adalah chlorpromazine
b. Golongan non-fenotiazin
Obat-obat berpotensi tinggi karena hanya memerlukan dosis kecil
untuk memperoleh efek yang setara chlorpromazine 100mg. contohnya
adalah haloperidol
B. Anti Psikotik atipikal (Serotonine Dopamine Antagonist)
Obat-obat SDA makin berkembang dan makin menjadi pilihan karena efek
klinis yang diperoleh setara dengan obat-obat konvensional disertai efek
samping yang jauh lebih ringan. Obat-obat jenis ini antara lain risperidon,
clozapine, olanzapine, quetiapin, ziprazidon, dan aripiprazol.
Klasifikasi yang lebih sederhana, yaitu:
A. Antipsikotik generasi I (APG-I)
Untuk obat-obat golongan antagonis dopamine (DA)
B. Antipsikotik generasi II (APG-II)
Untuk obat-obat golongan serotonin dopamine antagonis (SDA)
1.2 Farmakokinetik
Pemakaian bersama enzyme inducer seperti carbamazepine, phenytoin,
ethambutol, barbiturate, akan mempercepat pemecahan antipsikotik sehingga
diperlukan dosis yang lebih tinggi. Clearence Inhibitors seperti SSRI, TCA, beta
Blocker, akan menghambat ekskresi obat-obat antipsikotik sehingga perlu
dipertimbangkan dosis pemberiannya bila diberikan bersama-sama.
1.3 Farmakodinamik
Obat-obat antipsikotik terutama bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine
dan serotonin di otak, dengan target untuk menurunkan gejala-gejala psikotik
seperti halusinasi, waham, dan lain-lain. Sistem dopamine yang terlibat yaitu
sistem nigrostriatal, sistem mesolimbokortikal, dan sistem tuberoinfundibuler.
Karena kerja yang spesifik ini maka dapat diperkirakan efek samping yang
mungkin timbul yaitu bila sistem-sistem tersebut mengalami hambatan berlebih.

1.4 Efek samping


A. Neurologis
a. Akatisia
4

Suatu kondisi yang secara subyektif dirasakan pasien berupa


perasaan tidak nyaman, gelisah, dan merasa harus selalu menggerakgerakkan tungkai, terutama kaki. Pasien sering menunjukkan kegelisahan
dengan gejala-gejala kecemasan dan atau agitasi. Bila terjadi peningkatan
kegelisahan setelah pemberian antipsikotik tipikal, kita harus selalu
memperhitungkan kemungkinan akatisia.
b. Distonia akut
Terjadi kekakuan dan kontraksi otot secara tiba-tiba, biasanya
mengenai otot leher, lidah, muka, dan punggung. Biasanya pada minggu
pertama pengobatan dengan antipsikotik tipikal.
c. Parkinsonism
Dapat dilihat adanya kumpulan gejala yang terdiri tas bradikinesia,
rigiditas, penomena roda gerigi, tremor, muka topeng, postur tubuh kaku,
gaya jalan seperti robot, dan drooling (tremor kasar tangan seperti
membuat pil)
d. Sindroma Neuroleptik Maligna (SNM)
Merupakan reaksi idiosinkrasi yang sangat serius dengan gejala
utama berupa rigiditas, hiperpiretik, gangguan sistem saraf otonom, dan
delirium, Gejala biasanya berkembang dalam periode waktu beberapa jam
sampai beberapa hari setelah pemberian antipsikotik.
B. Non-neurologis
1.5 Prinsip pengobatan
A. Terapi inisial
Diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan, dan dosis dimulai dari
dosis anjuran dinaikkan perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 1-3
minggu, sampai dicapai dosis optimal yang dapat mengendalikan gejala.
B. Terapi pengawasan
Setelah diperoleh dosis optimal, maka dosis tersebut dipertahankan selama
lebih kurang 8-10 minggu sebelum masuk ke tahap pemeliharaan.
C. Terapi pemeliharaan
Dalam tahap pemeliharaan ini, dosis dapat dipertimbangkan untuk mulai
diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan kekambuhan. Biasanya berlangsung jangka
panjang tergantung perjalanan penyakit, dapat sampai beberapa bulan bahkan
beberapa tahun. Diperoleh konsensus bahwa bila kondisi akut pertama kali
maka terapi diberikan sampai 2 tahun, dan bila sudah berjalan kronis dengan
beberapa kali kekambuhan maka terapi sampai 5 tahun bahkan seumur hidup
bila dijumpai riwayat agresifitas berlebih, baik terhadap diri sendiri maupun
orang lain misalnya bunuh diri atau mencelakakan orang lain.
1.6 Tatalaksana efek samping
5

Bila terjadi efek samping sindroma ekstrapiramidal seperti dystonia akut, akatisia,
atau parkinsonism, biasanya terlebih dahulu dilakukan penurunan dosis dan bila tidak
dapat ditanggulangi diberikan obat-obat antikolinergik seperti triheksifenidil,
benztropin, sulfas atropine, atau dipenhydramin injeksi IM atau IV dengan dosis 10-50
mg/ml. Tersering digunakan Trihexifenidil dengan dosis 3 kali 2 mg per hari. Bila
tetap tidak berhasil mengatasi efek samping tersebut disarankan untuk mengganti jenis
antispikotik yang digunakan ke golongan APG-II yang lebih sedikit kemungkinannya
mengakibatkan efek samping ekstrapiramidal.

2. Antidepresan
2.1 Klasifikasi
A. Derivat trisiklik
a. Imipramin
b. Amitriptilin
B. Derivat tetrasiklik
a. Maproptilin
b. Mianserin
C. Derivat MAOI (Mono Amine Oksidase Inhibitor)
a. Moclobemide
D. Derivat SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
a. Sertralin
b. Fluoxetin
c. Fluvoxamine
d. Paroxetine
e. Escitalopram
E. Derivat SNRI (Serotonin Norepineprin Reuptake Inhibitor)
a. Venlafaxine
b. Desvenlafaxine
c. Duloxetine
2.2 Cara Kerja
Depresi terjadi karena rendahnya kadar serotonin di paska sinap. Secara
umum antidepresan bekerja di sistem neurotransmitter serotonin dengan cara
meningkatkan jumlah serotonin di paska sinap. Golongan trisiklik dan tetrasiklik
bersifat serotonergic dengan menghambat ambilan kembali neurotransmitter yang
dilepaskan di celah sinap tetapi tidak selektif, dengan demikian kemungkinan
muncul berbagai efek samping yang tidak diharapkan dapat terjadi. Sementara
SSRI bekerja dengan cara yang sama dan hambatan bersifat selektif terhadap
hanya neurotransmitter serotonin (5HT2). Kelompok MAOI bekerja di presinap
dengan cara menghambat enzim yang memecah serotonin sehingga jumlah
serotonin yang dilepaskan ke celah sinap bertambah dan dengan demikian yang
diteruskan ke paska sinap juga bertambah. Kelompok SNRI selain bekerja dengan
6

menghambat ambilan kembali serotonin juga menghambat ambilan kembali


neurotransmitter norepineprin.
2.3 Efek samping
Beberapa efek samping yang mungkin terjadi antara lain:
A. Hipotensi (terutama pada usia lanjut)
B. Gangguan jantung (tampak kelainan pada EKG)
C. Gejala gangguan saraf otonom
D. Gejala gangguan susunan saraf pusat
E. Alergi
F. Gejala hematologi
G. Gejala psikis lain
Khusus untuk kelompok MAOI yang klasik, efek samping yang mungkin terjadi
adalah sbb:
A. Hipotensi & hipertensi
B. Gangguan hepar
C. Gangguan otonom
D. Gangguan sistem saraf
E. Edema
F. Gangguan hematologi
G. Gangguan psikologik
H. Krisis hipertensi
2.4 Prinsip pengobatan
Pada prinsipnya pengobatan selalu dimulai dari dosis rendah, ditingkatkan
bertahap sampai mencapai dosis terapeutik. Efek terapi baru akan tampak pada
minggu ke 2-3 sehingga pemberian obat harus memperhatikan hal ini, sehingga
pada minggu-minggu pertama biasanya perlu diberikan benzodiazepine yang
memiliki efek cepat dalam memberikan rasa nyaman sambil menunggu efek terapi
antidepresan. Setelah efek terapi tercapai maka dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan untuk mencapai remisi dan mencegah relaps selama minimal 6
bulan dan bahkan dapat berlangsung sampai 3-5 tahun.

3. Antiansietas
3.1 Klasifikasi
A. Derivat Benzodiazepin
a. Diazepam
b. Bromazepam
c. Lorazepam
d. Alprazolam
e. Clobazam
7

f. Buspiron
B. Derivat Gliserol
a. Meprobamat
C. Derivat Barbiturat
a. Fenobarbital
3.2 Cara kerja
Mayoritas neurotransmitter inhibisi di otak adalah asam amino GABA
(gamma-aminobutyric acid A). Secara selektif reseptor GABA memberikan ion
chlorid masuk ke dalam sel, sehingga terjadi hiperpolarisasi neuron dan
menghambat pelepasan transmisi neuronal. Secara umum obat-obat antiansietas
bekerja di reseptor GABA. Benzodiazepin menghasilkan efek terapi dengan cara
pengikatan spesifik terhadap reseptor GABA.
3.3 Efek samping
Efek samping yang paling utama adalah rasa mengantuk, sakit kepala, disarti,
ataxia, nafsu makan meningkat, mudah terjadi toleransi dan dependensi dalam
pemberian dosis besar dan dalam waktu lama, serta gejala putus zat bila obat
dihentikan secara tiba-tiba.
Untuk meniadakan efek putus zat maka penghentian harus dilakukan dengan cara
bertahap/ tapering off dengan memperhatikan dosis kesetaraan zat yang
digunakan.

4. Antimanik (Mood Stabilizer)


4.1 Klasifikasi
A. Lithium
a. Priadel
b. Theralith
B. Asam Valproat
a. Valproic acid
b. Depakene
C. Karbamazepin
a. Tegretol
D. Natrium Divalproate
a. Depakote
4.2 Cara kerja
8

Dikatakan bahwa lithium memiliki efek akut dan kronis dalam pelepasan
serotonin dan norepinefrin di neuron terminal SSP. Dalam konsentrasi tinggi
berefek juga dalam pompa ion transmembran. Secara teoritis dihipotesiskan 3 cara
kerja Lithium, yaitu hipotesis Inositol Depletion, Regulasi wnt Pathway dan
Synthase Kinase 3beta, serta regulasi lithium terhadap adenylyl cyclase.
Walaupun cara kerjanya tidak dapat dijelaskan dengan tepat, tetap ditemukan
bahwa lithium sangat bermanfaat dalam pengobatan gangguan afektif.
Indikasi utama pemakaian lithium adalah untuk gangguan afektif bipolar
khususnya episode manik, dengan dosis efektif kadar obat dalam plasma berkisar
antara 0,8-1,2 mEq/L (biasanya dimulai dengan dosis 400mg/hr p.o)
4.3 Efek samping
A. Tremor halus
B. Diare & muntah-muntah
C. Rasa lelah & vertigo
D. Ataksia & tremor kasar
E. Penurunan kesadaran
F. Konvulsi
G. Oligouria bahkan dapat terjadi anuria
H. Edema

DAFTAR PUSTAKA
Redayani, P. 2013. Wawancara dan Pemeriksaan Psikiatrik. In: Elvira, SD &
Hadisukanto, G. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Gunawan, S. 2012. Psikofarmako. Farmakologi dan Terapi Edisi kelima.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

You might also like