You are on page 1of 66

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Laporan tahunan United

Nations Office on

Drugs and

Crime

(UNODC) 2013 menyebutkan bahwa pada tahun 2011, diperkirakan antara


167 sampai dengan 315 juta orang (3,6-6,9% dari populasi penduduk dunia
yang berumur 15-64 tahun) menggunakan Narkoba minimal sekali dalam
setahun. Dari jenis narkotika, secara global, Narkoba jenis Ganja paling
banyak digunakan.
Indonesia adalah negara berkembang yang secara umum tidak terlepas
dari dampak samping kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berasal
dari negara-negara maju, baik dampak secara positif dan negatif.
Perkembangan masalah NAPZA dari hari ke hari terus meningkat dan
sepertinya semakin sulit untuk di berantas. Masalah NAPZA ini sudah
menjadi masalah nasional bahkan merupakan masalah internasional. Di
Indonesia sendiri peredaran NAPZA sudah menembus ke berbagai segmen
masyarakat, tidak hanya terbatas pada kalangan menengah ke atas tetapi
menembus strata paling bawah masyarakat Indonesia. Banyak usaha yang di
lakukan pemerintah untuk mengatasi masalah peredaran NAPZA namun tidak
ada hasil yang menunjukan perbaikan (Hawari, 2009).

Ketergantungan NAPZA merupakan penyakit mental dan perilaku


yang dapat berdampak pada kondisi kejiwaan yang bersangkutan dan
timbulnya dalam masalah lingkungan sosial. Ditinjau dari sejumlah kasus,
walaupun tidak ada data yang pasti mengenai jumlah kasus penggunaan
NAPZA, namun diperkirakan beberapa tahun terakhir jumlah kasus
penggunaan NAPZA cenderung semakin meningkat, bahkan jumlah yang
sebenarnya diperkirakan sesuai dengan fenomena gunung es (iceberg
phenomena), dimana jumlah kasus yang ada jauh lebih besar daripada kasus
yang dilaporkan atau dikumpulkan. Masyarakat secara umum memandang
masalah gangguan penggunaan NAPZA lebih sebagai masalah moral daripada
masalah kesehatan (Kemenkes RI, 2014).
Menurut hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerja
sama dengan Universitas Indonesia di 10 kota terbesar di Indonesia,
sedikitnya ada 15.000 orang di Indonesia setiap tahun tewas akibat
penggunaan NAPZA. Pada umumnya penggunaan NAPZA mulai memakai
antara usia 13-17 tahun, sebagian besar penggunaan NAPZA ini berumur
antara 13-21 tahun (97%) dan 90% berjenis kelamin laki-laki (Hawari, 2009).
Di Indonesia, untuk penggunaan narkoba pada tingkat pelajar DKI
Jakarta menduduki urutan pertama dengam jumlah kasus penggunaan
sebanyak 491,848 (7%), sedangkan pravalensi ke dua yaitu provinsi
Kepulauan Riau dengan jumlah kasus 44.941 (4,3%), NTB sendiri menduduki

urutan ke 28 dari 33 provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus penggunaan


sebanyak 41.917 (1,2%) (BNN, 2011).
Prevalensi berdasarkan usia, kelompok usia 20-29 tahun paling banyak
terjadi penyalagunaan narkoba yaitu sebesar 1.434.692 (7,2%). Sedangkan
paling sedikit pada kalangan usia 40 tahun keatas yaitu sebesar 586.416
(1,8%). Menurut jenis zatnya, narkoba yang paling sering di salahgunakan di
Indonesia adalah jenis Dextro dengan jumlah penyalagunaan mencapai
45,3%. Sedangkan untuk penyalagunaan shabu, jumlahnya hanya sekitar 6,5%
untuk seluruh provinsi di Indonesia (BNN, 2011).
Tingginya jumlah pengguna narkoba di Indonesia mengalami
peningkatan dari waktu kewaktu. Data penelitian Badan Narkotika Nasional
(BNN), jumlah pengguna narkoba di Indonesia akan terus meningkat. Tahun
2015, angka prevalensi pengguna narkoba mencapai 5,1 juta orang. BNN juga
menyebutkan sebanyak 53% penduduk Indonesia berusia 30 tahun terjerat
kasus narkoba (BNN, 2015).
Jumlah kasus NAPZA menurut penggolongannya pada tahun 20082012 yang termasuk dalam kategori narkotika terus mengalami peningkatan
dalam 5 tahun terakhir yaitu tahun 2008 sebanyak 10.008 kasus, tahun 2009
sebanyak 11.140 kasus, tahun 2010 sebanyak 17.898 kasus, tahun 2011
sebanyak 19.128 kasus, dan pada tahun 2012 sebanyak 19.081 kasus. Jumlah
kasus NAPZA yang termasuk dalam kategori psikotropika tahun 2008

sebanyak 9.783 kasus, pada tahun 2009 sebanyak 8.779 kasus, kemudian pada
tahun 2010 jumlah kasus psikotropika menurun secara signifikan menjadi
1.181 kasus, pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebanyak 1.601 kasus,
dan pada tahun 2012 sebanyak 1.729 kasus. Kemudian untuk jumlah kasus
NAPZA yang termasuk dalam kategori zat adiktif lainnya pada tahun 2008
sebanyak 9.573 kasus, pada tahun 2009 sebanyak 10.964 kasus, pada tahun
2010 sebanyak 7.599 kasus, tahun 2011 sebanyak 9.067 kasus, dan pada tahun
2012 sebanyak 7.917 kasus (Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan data dari BNN, pada tahun 2015 didapatkan barang bukti
shabu sebesar 35.783,36 gram yang berhasil disita. Badan Narkotika Nasional
(BNN) terus optimalisasikan kinerja di seluruh lini dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN).
Langkah-langkah perbaikan, loyalitas, serta dedikasi dilakukan oleh seluruh
anggota BNN dalam rangka pencapaian sasaran-sasaran yang telah ditetapkan.
Hal tersebut berjalan linier dengan adanya penurunan prevalensi pecandu dan
penyalah guna Narkotika yang menurut hasil penelitian pada tahun 2008 oleh
BNN bersama pusat penelitian dan kesehatan (Puslitkes) Universitas
Indonesia, diproyeksikan pada tahun 2015 mencapai angka 2,8%, namun pada
penelitian terbaru pada tahun 2015 tercatat angka prevalensi hanya sekitar
2,2% yang berarti terdapat adanya penurunan sebanyak 0,6% (BNN, 2015).

Berdasarkan dari hasil peneltitan BNN yang bekerjasama dengan


PUSLITKES UI tahun 2015, didapatkan jumlah penyalahguna narkoba di
Provinsi NTB sebesar 55.359 (1,6%) (BNN-PUSLITKES UI, 2015).
Di NTB, untuk jenis zat paling banyak digunakan yaitu jenis Dextro
(46,7%), lalu di urutan ke 2 yaitu jenis Ganja (17,3%) lalu di urutan ke 3 yaitu
shabu (5,3%) (BNN, 2013). Untuk penyalahgunaan berdasarkan usia yaitu,
untuk kasus yang tertinggi adalah usia 21-30 tahun (47%), lalu usia 31-40
tahun (25%), kelompok usia 10-20 tahun (17%), usia 41-50 (8%), usia anakanak (2%) dan kasus yang terendah pada usia 51 tahun keatas (1%) (BNNP
NTB, 2015).
Masalah penggunaan NAPZA menimbulkan komplikasi yang cukup
luas dan kompleks, tidak hanya kondisi fisik seperti, hepatitis, endokarditis,
pleuritis, HIV/AIDS, gangguan mental seperti, depresi, kecemasan, gangguan
kepribadian, bunuh diri. Tetapi juga gangguan sosial keamanan dan ketertiban
masyarakat

seperti,

perkelahian,

disharmoni

keluarga,

pengangguran

penurunan produktifitas produksi dan dampaknya pada ketahanan sosial


(Hawari, 2009).
Seiring dengan memburuknya depresi akibat penggunaan narkoba,
individu akan kehilangan minat terhadap banyak hal dan akhirnya individu
dapat kehilangan minat terhadap makan, minum dan seks, memandang diri

secara inferior, pesimis terhadap masa depan, merasa bersalah berlebihan, dan
pola-pola perilaku yang menghukum. Dalam depresi yang berat, distorsi
kognitif ini mengarah pada membayangkan (ideasi) bunuh diri dan kadang
bahkan pada percobaan bunuh diri (Eleanora, 20011).
Dari hasil penelitian di Provinsi Guandong dan Beijing di Cina, dari
191 orang memiliki riwayat penggunaan polydrug didapatkan sebanyak 86
orang yang mengalami depresi yang diukur dengan menggunakan BDI.
Bedasarkan dosisnya, didapatkan 121 orang yang menggunakan ATS
sebanyak <0,3 g/ hari dan dari 121 orang tersebut didapatkan 31 orang
mengalami depresi. Sedangkan pada pengguna dengan dosis >0,3 g/hari
didapatkan sebanyak 281 orang dengan 138 orangnya mengalami gejala
depresi. Gejala depresi yang umum pada pengguna ATS dan depresi sedang
dan depresi berat (42%). Penelitian ini juga mengemukakan bahwa orang
yang

masih

menggunakan ATS

lebih

beresiko

mengalami

depresi

dibandingkan dengan orang yang telah berhenti menggunakan ATS (Yan-Ping


2013).
Penyebab depresi tidak hanya disebabkan oleh penggunaan napza jenis
shabu saja. Penelitian lain yang dilakukan oleh Adi Tomo (2004),
menggunakan alat ukur Beck Depression Inventory (BDI), mengemukakan
bahwa faktor tingginya perfeksionisme dan rendahnya harga diri seseorang
maupun sebaliknya dapat menyebabkan seseorang mengalami depresi.

Berdasarkan latar belakang, peneliti ingin mengetahui pengaruh


penggunaan NAPZA jenis shabu dengan kejadian depresi di Klinik Pratama
Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Nusa Tenggara Barat.
1.2.

Rumusan Malasah
Dari latar belakang yang telah dijabarkan maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: Adakah pengaruh penggunaan NAPZA jenis
shabu dengan kejadian depresi?

1.3.

Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh penggunaan NAPZA jenis shabu dengan
kejadian depresi.
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik responden.
2. Mengetahui kejadian depresi pada pengguna NAPZA jenis shabu.
3. Mengetahui tingkat depresi pada pengguna NAPZA bukan jenis shabu.

1.4.

Manfaat
a. Manfaat bagi pendidikan
Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan
masukan data dan informasi sejauh mana pengaruh penggunaan NAPZA
jenis shabu dengan kejadian depresi yang dapat digunakan sebagai bahan
pustaka guna pengembangan ilmu kesehatan.

b. Manfaat bagi masyarakat


Dapat melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap faktor-faktor
resiko yang dapat menyebabkan tejadinya depsesi serta penggunaan obatobatan terlarang.
c. Manfaat bagi peneliti
Dapat meningkatkan pengetahuan dan sarana pengembangan teori
yang telah didapat dalam perkuliahan sehingga diperoleh pengalaman
langsung khusus mengenai timbulnya depresi akibat penggunaan NAPZA
jenis shabu yang ditulis dalam bentuk tulisan ilmiah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Depresi
2.1.1.

Pengertian Depresi
Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang

ditandai dengan munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat

terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur, nafsu makan


berukurang dan bertambah, kehilangan energi, dan penurunan konsentrasi
(World Health Organization, 2010).
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan perasaan yang sedih dan gejala penyertanya seperti:
pola tidur terganggu, nafsu makan bertambah atau berkurang, gangguan
psikomotor kelambanan atau peningkatan aktivitas sehari-hari, gangguan
konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa, tidak berdaya, serta
bunuh diri. Gangguan ini biasanya akan menghilang dalam beberapa hari,
tetapi dapat juga berkelanjutan mempengaruhi aktivitas sehari-hari
(Kaplan & Sadock, 2010).

2.1.2. Teori Psikologi tentang Depresi


a. Teori Interpersonal Depresi
Dalam teori ini dibahas mengenai hubungan antara orangorang yang depresi dengan orang lain. Pada individu yang depresi
cenderung memiliki sedikit hubungan sosial dan menganggap

hubungan sosial hanya memberikan sedikit dukungan. Berkurangnya


dukungan sosial dapat melemahkan kemampuan individu untuk
mengatasi berbagai peristiwa hidup yang negatif dan membuatnya
rentan terhadap depresi (Davison, 2006).
Hal yang terpenting dalam teori interpersonal mengenai
depresi adalah fakta bahwa hubungan interpersonal bersifat
bidireksional. Dengan demikian, bila pada individu yang depresi
secara pasti dapat memicu reaksi negatif dari orang yang berinteraksi
dengan penderita depresi, reaksi orang yang berinteraksi dengan
penderita depresi tersebut kemungkinan memberikan dampak negatif
timbal balik pada para individu yang mengalami depresi (Davison,
2006).
b. Teori Kognitif Depresi
Dalam teori ini dibahas mengenai berbagai pola berpikir dan
keyakinan dianggap sebagai faktor utama yang menyebabkan atau
mempengaruhi kondisi emosional. Aaron mengatakan bahwa orangorang yang depresi memiliki perasaan seperti pesimis terhadap diri
sendiri, keyakinan bahwa tidak ada seorang pun yang menyukai
dirinya (Davison, 2006).

10

Adanya gangguan depresi adalah akibat dari cara berpikir


seseorang

terhadap

dirinya.

Penderita

depresi

cenderung

menyalahkan diri sendiri. Hal ini disebabkan karena adanya distorsi


kognitif terhadap diri sendiri dan lingkungan, sehingga dalam
mengevaluasi diri dan menginterpretasi hal-hal yang terjadi mereka
cenderung

mengambil

kesimpulan

yang

tidak

cukup

dan

berpandangan negatif (Lubis, 2009).


2.1.3. Epidemiologi Depresi
Di Amerika Serikat tahun 2010, Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit (CDC) memperlihatkan prevalensi depresi pada
orang dewasa saat ini dari 235.067 orang dewasa, 9% yang mengalami
depresi dan 3,4% yang mengalami depresi berat. Pada perempuan lebih
sering mengalami depresi daripada laki-laki dengan perbandingan 5:2.
Hubungan keluarga ayah, ibu, kakak atau adik dengan kejadian depresi
sebesar 8-18%. Prevalensi depresi mayor pada anak-anak sebesar 0,52,5%, sedangkan pada remaja dan dewasa muda mencapai 3%-4%.
Menurut Epidemiological Catchment Area Study (ECA) bahwa prevalensi
depresi seumur hidup mencapai 4,9%. Sedangkan menurut National
Comorbidity Survey (NCS) prevalensi depresi seumur hidup dan 1 tahun
mencapai 16,6% dan 6,6% dengan episode rata-rata 16 minggu. Kejadian

11

depresi pada anak prapubertas sebesar 1,5-2,5% menjadi 4-5% pada masa
remaja (Ohayon, 2002).
2.1.4. Etiologi Depresi
Kaplan & Saddock pada tahun 2010 menyatakan bahwa sebab
depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: faktor biologi,
faktor genetik, faktor psikologi, dan faktor lingkungan.
a. Faktor Biologi
Penyebabnya adalah gangguan neurotransmiter di otak dan
gangguan hormonal. Neurotransmiter antara lain dopamin, serotonin,
histamin, dan norepinefrin, selain faktor neurotransmitter yang telah
disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain yang dapat
mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino
khususnya

GABA

(Gamma-Aminobutyric

Acid)

dan

regulasi

neurendokrin. Selain itu kelainan lain digambarkan pada pasien


gangguan mood adalah penurunan sekresi hormone melantonin,
(Tisdale, et al, 1990).

b. Faktor Genetik

12

Faktor genetik penting dalam perkembangan gangguan mood,


akan tetapi pewarisan genetik melalui mekanisme yang sangat
kompleks, didukung dengan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Faktor Keluarga
Dari faktor keluarga

ditemukan bahwa sanak keluarga

pertama dari penderita gangguan bipolar I berkemungkinan


mempunyai keturunan untuk menderita gangguan bipolar I
delapan sampai delapan belas kali dan dua sampai sepuluh kali
untuk menderita gangguan depresi berat.
2. Faktor Adopsi Anak
Pada anak yang diadopsi saat masih umur anak-anak masih
belum mengetahui apakah anak kandung atau bukan, tetapi suatu
saat nanti anak tersebut akan mengetahui bahwa dia bukan anak
kandung, disitulah anak mengalami tekanan psikologis yang
begitu tinggi dan tekanan dari tetangga, kerabat maupun teman
itulah sebabnya anak yang diadopsi berisiko untuk terjadi depresi.

c. Faktor Psikologi

13

Saat ini tidak ada sifat atau kepribadian tunggal yang secara
unik mempredisposisikan seseorang mengalami depresi. Pada dasarnya
manusia dapat mengalami depresi dalam keadaan tertentu seperti
gangguan kepribadian: dependen-oral, obsesif-kompulsif, histerikal,
yang akan beresiko yang lebih besar untuk mengalami depresi. Faktor
psikologik lainnya juga berperan untuk terjadinya gangguan depresi.
Kebanyakan gangguan depresi karena faktor psikologik terjadi pada
depresi sedang dan ringan dengan gejala rasa percaya diri yang rendah,
penilaian pesimistik, jika mereka mengalami stres besar, mereka
cenderung akan mengalami gangguan depresi (Kaplan and Saddock,
2010).
d. Faktor Lingkungan Sosial
Faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan psikologik
dan usaha seseorang dalam mengatasi masalah. Faktor sosial
menerangkan, mengapa masalah psikologik kejadiannya lebih sering
muncul pada anggota keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak
dibesarkan dalam suasana pesimistik, dimana dorongan untuk
keberhasilan jarang atau tidak biasa, maka anak itu akan tumbuh dan
berkembang dengan kerentanan tinggi terhadap gangguan depresi.
Selain dari

yang dikemukakan diatas, etiologi depresi dapat juga

dipengaruhi oleh faktor hormon yaitu, kelainan depresi mayor

14

dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan kegagalan menekan


sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason (Kaplan and Saddock,
2010).
2.1.5. Patofisiologi Depresi
Timbulnya

depresi

dihubungkan

dengan

peran

beberapa

neurotransmiter aminergik. Neurotransmiter yang paling banyak diteliti


ialah serotonin. Konduksi impuls dapat terganggu apabila terjadi
kelebihan atau kekurangan neurotransmiter di celah sinaps atau adanya
gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmitter di post sinaps sistem
saraf pusat. Pada depresi telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama
serotonin yaitu reseptor 5HTIA dan 5HT2A. Kedua reseptor inilah yang
terlibat dalam mekanisme biokimiawi depresi dan memberikan respon
pada semua golongan anti depresan.
Terjadinya depresi disebabkan karena menurunnya pelepasan dan
transmisi

serotonin

(menurunnya

kemampuan

neurotransmisi

serotogenik). Selain serotonin terdapat pula sejumlah neurotransmiter lain


yang berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin, asetilkolin dan
dopamin. Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu atau
beberapa neurotransmiter aminergik pada sinaps neuron di otak, terutama
pada sistem limbik. Oleh karena itu, teori biokimia depresi dapat
diterangkan sebagai berikut :

15

1. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya


kemampuan neurotransmisi serotogenik.
2. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya
regulasi aktivitas norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2
adrenoreseptor presinaptik.
3. Menurunnya aktivitas dopamin.
4. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.
Teori tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya
neurotransmisi akibat kekurangan neurotransmitter di celah sinaps.
Ini didukung oleh bukti-bukti klinis yang menunjukkan adanya
perbaikan depresi pada pemberian obat-obat golongan SSRI
(Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan trisiklik yang
menghambat re-uptake dari neurotransmiter atau pemberian obat
MAOI (Mono Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat
katabolisme neurotransmiter oleh enzim monoamin oksidase.
Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai
depresi yang menyebutkan bahwa terjadinya depresi disebabkan
karena adanya aktivitas neurotransmisi serotogenik yang berlebihan
dan bukan hanya kekurangan atau kelebihan serotonin semata.
Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan gangguan pada
sistem serotonergik, jadi depresi timbul karena dijumpai gangguan

16

pada sistem serotogenik yang tidak stabil. Hipotesis yang


belakangan ini dibuktikan dengan pemberian anti depresan
golongan SSRE (Selective Serotonin Re-uptake Enhancer) yang
justru mempercepat re-uptake serotonin dan bukan menghambat.
Dengan demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat
dan sistem neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya
memperbaiki gejala-gejala depresi (Kaplan and Sadock, 1997).
2.1.6. Gejala Klinis Depresi
Menurut DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Major Depressive
Episode. Diagnosis depresi dijabarkan sebagai berikut.
Kriteria untuk Episode Depresi Berat:
A. Lima atau lebih gejala berikut telah ditemukan selama periode dua
minggu yang sama dan mewakili perubahan dan fungsi sebelumnya;
sekurangnya satu dari gejala adalah satu dari mood terdepresi atau
dua hilangnya minat atau kesenangan.
1. Mood terdepresi hampir sepanjang hari, seperti: merasa sedih
atau kosong dan mudah tersinggung.
2. Hilangnya minat atau kesenangan secara jelas dalam melakukan
3.
4.
5.
6.
7.

suatu aktivitas sehari-hari.


Penurunan berat badan atau penambahan berat badan.
Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
Agitasi.
Kelelahan atau hilangnya energi hampir setiap hari.
Perasaan tidak berharga atau rasa yang bersalah yang berlebihan.

17

8. Hilangnya

kemampuan untuk berpikir atau memusatkan

perhatian, dan tidak dapat mengambil keputusan.


9. Mempunyai pikiran untuk bunuh diri.
B. Gejala tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran.
C. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan.
D. Gejala tidak disebabkan langsung oleh sebuah zat (penyalahgunaan
obat, obat-obatan) atau kondisi medis umum (hipotiroid).
E. Gejala tidak timbul setelah seseorang mengalami dukacita, seperti
kehilangan seseorang yang dicintai, gejala menetap lebih dari dua
bulan atau ditandai dengan gangguan fungsional yang jelas,
preokupasi morbid dengan rasa tidak berharga, ide bunuh diri dan
gejela psikotik.

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Depresi Berat, Episode Tunggal:


A. Adanya episode depresi berat tunggal
B. Episode depresi berat tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan
skizoafektif, dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia,
gangguan skizofreniform, gangguan delusional atau gangguan
psikotik YTT.
C. Tidak pernah terdapat episode manik, episode campuran, atau
episode hipomanik.
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan depresi Berat, Rekuren:
A. Adanya episode depresi berat tunggal

18

B. Episode depresi berat tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan


skizoafektif, dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia,
gangguan skizofreniform, gangguan delusional atau gangguan
psikotik YTT.
C. Tidak pernah terdapat episode manik, episode campuran, atau
episode hipomanik.
2.1.7. Kriteria Depresi Menurut PPDGJ III
2.1.7.1.
F32 EPISODE DEPRESIF
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat) :
- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya
keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah

kerja sedikit saja) dan menurunya aktivitas.


Gejala lainnya:
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang;
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang;
c. Gagagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh
diri;
f. Tidur terganggu;
g. Nafsu makan berkurang.
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan
tersebut diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu
untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan

berlangsung cepat.
Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang
(F32.1), dan berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode

19

depresif

tunggal

(yang

pertama).

Episode

depresif

berikutnya harus diklasifikasi di bawah salah satu diagnosis


gangguan depresif berulang (F33,-)
A. F32.0 Episode Depresif Ringan
Pedoman Diagnostik

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi

seperti tersebut diatas;


Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: (a)

sampai dengan (g).


Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya

sekitar 2 minggu.
Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial
yang biasa dilakukannya.
Karakter kelima : F32.00 = Tanpa gejala somatic
F32.01 = Dengan gejala somatik

B. F32.1 Episode Depresif Sedang


Pedoman diagnostik

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi

seperti pada episode depresi ringan (F30.0);


Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari
gejala lainya;
20

Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2

minggu
Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan
sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga.
Karakter kelima : F32.10 = Tanpa gejala somatik
F32.11 = Dengan gejala somatik

C. F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik


Pedoman Diagnostik

Semua 3 gejala utama depresi harus ada.


Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan

beberapa di antaranya harus berintensitas berat.


Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau reterdasi
psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau
atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara
rinci.
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap

episode depresif berat masih dapat dibenarkan.


Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurangkurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan
beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu.

21

Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan


kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali

pada taraf yang sangat terbatas.


D. F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
Pedoman Diagnostik

Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2

tersebut diatas;
Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham
biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau
malapetaka yang mengancam, dan pasien merasa bertanggung
jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya
berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran
atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat
dapat menuju pada stupor.
Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan
sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek (mood-

congruent).
E. F32.8 Episode Depresif Lainnya
F. F32.9 Episode Depresif YTT
2.1.7.2.
F33 GANGGUAN DEPRESIF BERULANG
Pedoman Diagnostik
Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari :
- episode depresi ringan (F32.0)
- episode depresi sedang (F32.1)
- episode depresi berat (F32.2 dan F32.3);

22

Episode masing-masing rata-rata lamanya sekitar 6 bulan,


akan tetapi frekuensinya lebih jarang dibandingkan
dengan gangguan bipolar.

Tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian afek


dan hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania (F30.1 dan
F30.2).
Namun kategori ini tetap harus digunakan jika
ternyata ada episode singkat dari peninggian afek dan
hiperaktivitas ringan yang memenuhi kriteria hipomania
(F30.0) segera sesudah suatu episode depresif (kadangkadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan
depresi).

Pemulihan keadaan biasanya sempurna diantara episode,


namun sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang
akhirnya menetap, terutama pada usia lanjut (untuk keadaan

ini, kategori harus tetap digunakan).


Episode masing-masing, dalam berbagai tingkat keparahan,
seringkali dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh
stres atau trauma mental lain (adanya stres tidak esensial
untuk penegakkan diagnosis).

23

Diagnosis banding : Episode depresif singkat berulang


(F38.1)
A. F33.0 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Ringan
Pedoman Diagnostik

Untuk diagnosis pasti :


(a) kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus
dipenuhi, dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresif ringan (F32.0); dan
(b) sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masingmasing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
Karakter kelima : F33.00 = Tanpa gejala somatik
F33.01 = Dengan gejala somatic

B. F33.1 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Sedang


Pedoman Diagnostik

Untuk diagnosis pasti :


(a) kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus
dipenuhi, dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresif sedang (F32.1); dan

24

(b) sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masingmasing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
Karakter kelima : F33.10 = Tanpa gejala somatik
F33.11 = Dengan gejala somatik

C. F33.2 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat tanpa


Gejala Psikotik
Pedoman Diagnostik

Untuk diagnosis pasti :


(a) kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus
dipenuhi, dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresif berat tanpa gejala psikotik (F32.2); dan
(b) sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masingmasing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa

bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.


D. F33.3 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat dengan
Gejala Psikotik
Pedoman Diagnostik

Untuk diagnosis pasti :

25

(a) kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus


dipenuhi, dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresif berat dengan gejala psikotik (F32.3); dan
(b) sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masingmasing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
E. F33.4 Gangguan Depresif Berulang, Kini dalam Remisi
Pedoman Diagnostik
Untuk diagnosis pasti :
(a) kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus
dipenuhi di masa lampau, tetapi keadaan sekarang seharusnya
tidak memenuhi kriteria untuk episode depresif dengan
derajat keparahan apa pun atau gangguan lain apa pun dalam
F30-F39; dan
(b) sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung
masing-masing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu
beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna
F. F33.8 Gangguan Depresif Berulang Lainnya
G. F33.9 Gangguan Depresif Berulang YTT
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang Depresi
a. Children Depression Inventory (CDI)
Children Depression Inventory (CDI) merupakan suatu skala
penilaian sendiri yang digunakan untuk menilai keparahan simptomsimptom depresi pada anak. Kuisioner ini terdiri atas 27 butir
penilaian, dimana disetiap butir terdapat 3 pilihan keparahan gejala.
Skala penilaian ini cocok digunakan untuk anak-anak dan remaja

26

berusia 7 sampai dengan 17 tahun. CDI sensitif terhadap perubahan


pada simptom-simptom depresif sepanjang waktu dan berguna untuk
menilai keparahan dari sindroma depresif, dan menilai kemajuan dari
pengobatan. Terdapat 5 subskala pada CDI yaitu : mood negatif,
kesulitan interpersonal, harga diri negatif, ineffectiveness, dan
anhedonia. Skala penilaian

ini telah mendapatkan nilai A dari

penelitian-penelitian yang terpublikasi. Skor total terentang 0-54,


(Kovacs M, 2004).
cut-off skornya dari skor total adalah sebesar 25.
Nilai :

0 ------------ Tidak ada simptom


1 ------------ Simptom moderat
2 ------------ Simptom serius/berat

Skor total adalah jumlah skor pada 27 pernyataan. Skor 25 berarti


sindrom depresif (+), sedangkan skor < 25 berarti sindrom depresif (-).
b. Beck Depression Inventory (BDI)
Beck Depression Inventory (BDI) dibuat oleh Dr. Aaron T.
Beck untuk mengukur keparahan dan kedalaman dari gejala-gejala
depresi seperti yang tertera dalam The American Psychiatric
Association's Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
Fourth Edition (DSM-IV) pada pasien dengan depresi klinis. BDI

27

dapat digunakan untuk dewasa ataupun remaja yang berumur 13 tahun


ke atas dan merupakan sebuah ukuran standar dari depresi yang
terutama digunakan dalam penelitian dan untuk mengevaluasi dari
efektivitas pengobatan dan terapi (Arnau, dkk., 2001).
BDI

tidak

dapat

digunakan

sebagai

instrumen

untuk

mendiagnosis, tetapi lebih kepada identifikasi dari adanya depresi dan


tingkat keparahannya sesuai dengan kriteria dari DSM-IV.
Klasifikasi nilainya menurut Arnau dkk (2001) adalah sebagai
berikut:
1. Nilai 0-9 menunjukkan tidak ada gejala depresi.
2. Nilai 10-15 menunjukkan adanya depresi ringan.
3. Nilai 16-23 menunjukkan adanya depresi sedang.
4. Nilai 24-63 menunjukkan adanya depresi berat.
2.1.9. Penatalaksanaan Depresi
Pengobatan

pasien

dengan

gangguan

depresi

harus

diamanahkan pada sejumlah tujuan. Pertama, keamanan pasien harus


terjamin. Kedua, pemeriksaan diagnostik yang lengkap pada pasien
harus dilakukan. Ketiga, suatu rencana pengobatan harus dimulai yang
menjawab bukan hanya gejala sementara tetapi juga kesehatan pasien.
Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi
psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan depresi pada
dasarnya berkembang dari masalah psikodinamika, ambivalensi

28

mengenai kegunaan obat dapat menyebabkan respons yang buruk,


ketidakpatuhan, dan kemungkinan dosis yang tidak adekuat untuk
jangka waktu yang singkat. Sebaliknya, jika dokter mengabaikan
kebutuhan psikososial pasien, hasil dari farmakoterapi mungkin
terganggu (Kaplan and Saddock, 2010).
a. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam
efek farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk
pengamatan bahwa pasien individual mungkin berespons terhadap
antidepresan lainnya. Variasi tersebut juga merupakan dasar untuk
membedakan efek samping yang terlihat pada antidepresan (Kaplan
and Saddock, 2010).
Perbedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada
proses farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang
memiliki efek farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat
ambilan kembali (reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim
monoamine oksidasi bekerja untuk menormalkan neurotransmiter
yang abnormal di otak khususnya epinefrin dan norepinefrin.
Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini sesuai dengan
etiologi dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas
sistem neurotransmiter di otak. Obat antidepresan yang akan dibahas

29

adalah

antidepresi

generasi

pertama

(Trisiklik

dan

MAOIs),

antidepresi golongan kedua (SSRIs) dan antidepresi golongan ketiga


(SRNIs) (Arozal W, 2007).
1. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum
digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk gangguan
depresif berat. Golongan trisiklik ini dapat dibagi menjadi
beberapa golongan, yaitu trisiklik primer, tetrasiklik amin
sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik tersier
(imipramine, amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut,
yang paling sering digunakan adalah tetrasiklik amin sekunder
karena mempunyai efek samping yang lebih minimal (Kaplan and
Saddock, 2010).
2. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)
MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15
tahun yang lalu. Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan
deaminasi oksidatif katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar
epinefrin, noreprinefrin dan 5-HT dalam otak naik (Arozal W,
2007).

30

Obat ini sekarang jarang digunakan sebagai lini pertama


dalam pengobatan depresi karena bersifat sangat toksik bagi
tubuh. Selain karena dapat menyebabkan krisis hipertensif akibat
interaksi dengan

tiramin yang berasal dari makanan-makanan

tertentu seperti keju, anggur dan acar, MAOIs juga dapat


menghambat enzim-enzim di hati terutama sitokrom P450 yang
akhirnya akan mengganggu metabolisme obat di hati (Kaplan and
Saddock, 2010).
3. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan
lini pertama pada gangguan depresif berat selain golongan trisiklik
(Kaplan and Saddock, 2010).
Obat golongan ini mencakup fluoxetine, citalopram dan
sertraline. SSRIs sering dipilih oleh klinisi yang pengalamannya
mendukung data penelitian bahwa SSRIs sama manjurnya dengan
trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh tubuh karena
mempunyai efek samping yang cukup minimal karena kurang
memperlihatkan pengaruh terhadap sistem kolinergik, adrenergik
dan histaminergik (Arozal W, 2007).

31

4. SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors)


Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme
yang hampir sama dengan golongan SSRIs, hanya saja pada
SNRIs juga menghambat dari reuptake norepinefrin (Arozal W,
2007).
2.1.10. Prognosis Depresi
Gangguan depresi cenderung memiliki perjalanan penyakit yang
panjang dan pasien cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresi
yang tidak diobati berlangsung 6 sampai 13 bulan, sementara sebagian
besar episode yang diobati berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan
antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu menyebabkan kembalinya
gejala (Kaplan and Saddock, 2010).
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama
gangguan depresi berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam
tahun pertama. indikator prognostik yang baik adalah episode ringan,
tidak adanya gejala psikotik, fungsi keluarga yang stabil, tidak adanya
gangguan kepribadian, tinggal di rumah sakit dalam waktu yang singkat,
dan tidak lebih dari satu kali perawatan di rumah sakit. Prognosis buruk
dapat

meningkat

oleh

adanya

penyerta

gangguan

distimik,

penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan kecemasan, dan


riwayat lebih dari satu episode sebelumnya (Kaplan and Saddock, 2010).

32

2.2.
2.2.1.

NAPZA
Pengertian NAPZA atau Narkoba
Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang
merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif.
Semua istilah ini, baik narkoba ataupun napza, mengacu pada
kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi
penggunanya (Kemenkes RI, 2010).
Narkoba adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang No.
35 tahun 2009).
NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan
bahan adiktif lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila
dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis, serta
menimbulkan ketergantungan (BNN, 2014).

2.2.2. Narkoba Menurut Para Ahli

33

1. Menurut Kurniawan (2008), Narkoba adalah zat kimia yang dapat


mengubah keadaan psikologi seperti perasaan, pikiran, suasana
hati serta perilaku jika masuk ke dalam tubuh manusia baik dengan
cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena, dan lain
sebagainya.
2. Menurut Jackobus (2005), Narkoba adalah zat atau obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
3. Menurut Ghoodse (2002), Narkoba adalah zat kimia yang
dibutuhkan untuk merawat kesehatan, ketika zat tersebut masuk
kedalam organ tubuh maka terjadi satu atau lebih perubahan fungsi
didalam tubuh. Lalu dilanjutkan lagi ketergantungan secara fisik
dan psikis pada tubuh, sehingga bila zat tersebut dihentikan
pengkonsumsiannya maka akan terjadi gangguan secara fisik dan
psikis.

34

2.2.3. JenisJenis NAPZA


NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika,
dan bahan adiktif lainnya. Tiap jenis dibagi-bagi lagi ke dalam
beberapa kelompok.
1. Narkotika
a. Narkotika golongan I
Contoh : heroin, kokain dan ganja.
b. Narkotika golongan II
Contoh : morfin, petidin, turunan/garam dalam

golongan

tersebut.
c. Narkotika golongan III
Contoh : kodein, garam-garam narkotika dalam golongan
tersebut.
2. Psikotropika
a. Golongan I
Contoh : MDMA, ekstasi, LSD dan ST.
b. Golongan II
Contoh : ATS (Shabu), fensiklidin, sekobarbital, metakualon,
metilfenidat (ritalin).
c. Golongan III
Contoh : pentobarbital, Flunitrazepam.
d. Golongan IV

35

Contoh: diazepam, klobazam, bromazepam, klonazepam,


khlordiazepoxide, nitrazepam (BK,DUM,MG).
3. Zat Adiktif Lainnya
1. Minuman Alkohol
2. Inhalasi
3. Tembakau atau Rokok
2.2.3.1.

Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh

selektif

pada

susunan

syaraf

pusat

yang

menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan


prilaku, digunakan untuk mengobati gangguan jiwa (UndangUndang No. 5 Tahun 1997).
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997,
psikotropika dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yaitu:
a. Golongan I
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan.

36

b. Golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat
digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
c. Golongan III
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan

serta

mempunyai

potensi

sedang

mengakibatkan sindroma ketergantungan.


d. Golongan IV
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindrom ketergantungan.

2.3.

Shabu
2.3.1.

Pengertian Shabu

37

Shabu adalah jenis zat psikotropika yang mengandung methyl


amphetamine, kelompok narkoba yang dibuat secara sintesis dan
akhir-akhir ini menjadi popular di Asia Tenggara. Biasanya bentuknya
berupa Kristal putih, kuning atau cokelat (eleanora, 2011).
Shabu merupakan kombinasi baru yang sedang laris, berbentuk
bubuk mengkilat seperti garam dapur, shabu berisi metapetamin yang
dicampur dengan berbagai psikotropika. Pemakai yang kronis akan
tampak kurus, mata merah, malas mandi, emosi labil, dan loyo.
Beberapa kasus menunjukkan dampak shabu yaitu menyebabkan
orang menjadi ganas, serta meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi
berbuntut tingkah laku yang brutal (Nasution, 2004).
2.3.2.
Sejarah Shabu
Pada jaman perang dunia kedua, tahun 1940an, Pemerintah
Jepang membagikan amfetamin (shabu) kepada pada tentara, pelaut,
pilot, dan para pekerja pabrik untuk memperkuat stamina mereka
menghadapi perang. Pilot-pilot pada saat itu secara rutin menggunakan
obat ini untuk tetap waspada dan terjaga selama perjalanan panjang
untuk misi pengeboman. Setelah tahun 1945, sejumlah besar obat ini
yang semula hanya digunakan oleh militer membanjiri pasar (Nelia,
1998)

38

Pada tahun 1950-1960, di Amerika Serikat, tablet amfetamin


(shabu) yang diproduksi secara legal banyak dipakai oleh mahasiswa,
sopir truk, dan atlet, untuk tujuan meningkatkan stamina, yang
umumnya tidak menjadikan ketergantungan yang berlebihan. Namun
pola ini berubah drastis ketika tahun 1960-an mulai tersedia
metamfetamin injeksi. Dan sejak itu penggunaan amfetamin
meningkat tajam untuk tujuan-tujuan reskreasional. Metamfetamin
jalanan dikenal dengan nama : speed, meth, crank. Selanjutnya muncul
metamfetamin hidroklorid yang berbentuk kristal, yang dapat dihirup,
yang dikenal dengan nama ice, crystal, glass, atau yang
sekarang disebut shabu.
2.3.3.
Cara Kerja Shabu
Cara kerja shabu ini dibagi dalam beberapa tahap (Goleman, 2007),
yaitu :
1. Rush
reaksi pertama yang dirasakan pengguna bila menghisap
shabu. Selama berlangsungnya rush mereka mengalami detak
jantung yang cepat dan melonjaknya metabolisme, tekanan darah
dan denyut nadi. Hal ini dapat berlangsung sampai 30 menit.
2. High
Rush akan diikuti dengan high, Saat itulah mereka merasa
lebih cerdik dan senang berdebat, sering memotong kalimat
orang lain dan menyelesaikan kalimat mereka. Dampak khayalan

39

sering terjadi pada proses ini. High bisa berlangsung selama 4-16
jam.
3. Binge
Binge adalah penggunaan yang tak terkendalikan. Hal ini
disebabkan adanya dorongan untuk selalu high. Binge ini bisa
selama 3-15 hari. Saat itulah penyalahguna menjadi hiperaktif
secara mental dan fisik.
4. Tweaking
Suatu keadaan yang terjadi di akhir dari binge, saat shabu
tidak memberikan rush atau high lagi. Karena tidak bisa
mengatasi kesenduan yang luar biasa yang ditimbulkan oleh
perasaan kosong dan kebutuhan yang besar, pemakai akan
kekehilangan perasaan akan identitas diri. Tak bisa tidur selama
beberapa hari, menyebabkan pengguna sering mengalami
gangguan jiwa, dia berada di dunianya sendiri, halusinasinya
sangat hidup sehingga dirasakan nyata dan hubungannya dengan
kenyataan terputus, dia bersikap bermusuhan dan berbahaya bagi
diri sendiri dan orang lain. Kemungkinan untuk melakukan
mutilasi diri sangat besar.
5. Crash
Bagi penyalahgunaan tingkat binge, crash terjadi pada saat
tubuh pingsan, tidak bisa mengatasi efek yang sedang
berlangsung dalam tubuh sehingga akan tertidur untuk jangka
waktu lama. Penyalahguna yang paling kejam atau paling brutal
sekalipun akan menjadi sangat tak berdaya, dan tidak merupakan
40

ancaman bagi orang lain. Crash ini bisa berlangsung selama satu
sampai dengan tiga hari.
6. Hangover Sabu
Setelah crash, pengguna kembali berada dalam kondisi yang
memburuk, kelaparan, dehidrasi, dan sangat lelah secara fisik,
mental dan perasaan. Tahap ini biasanya berlangsung antara 2
dan 14 hari. Keadaan ini menguatkan perilaku adiksi, karena
2.3.4.

nampaknya menggunakan shabu dapat mengatasi permasalahan.


Shabu Menyebabkan Depresi
Di otak, shabu bekerja dengan cara menghambat transporter

ambilan serotonin, dopamin dan norepinefrin, sehingga kadar ketiga


neurotranmitter ini menjadi demikian tinggi diotak. Dimana ketiganya
ini merupakan

neurotransmitter

yang

paling

berperan

dalam

patofisiologi gangguan mood atau depresi (Shield RO, 1990).


a. Norepinefrin, merupakan

hubungan

yang

dinyatakan

oleh

penelitian ilmiah dasar antara turunnya regulasi reseptor badrenergik dan respon antidepresan secara klinis memungkinkan
indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti
lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik
dalam

depresi,

sejak

reseptor-reseptor

tersebut

diaktifkan

mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan.


Presipnatik

reseptor

adrenergic

juga

berlokasi

di

neuron

serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan.

41

b. Serotonin, yaitu dengan diketahui banyaknya efek spesifik serotin


re uptake inhibator (SSRI). Contoh, fluoxetin dalam pengobatan
depresi, menjadikan serotonin neurotransmitter biogenik amin
yang paling sering dihubungkan dengan depresi.
c. Dopamine, yaitu walaupun norepinefrin dan serotonin adalah
biogenik amin, Dopamine juga sering berhubungan dengan
patofisiologi depresi. Racun shabu menyebabkan kadar dopamin
mengalami penurunan secara signifikan.
d. Faktor neurokimia lainnya :
1. GABA dan neuroaktif peptida (terutama vasopressin dan opiate
endogen) telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood
atau depresi.
2. Faktor neuroendokrin yaitu hipothalamus merupakan pusat
regulasi neuroendokrin dan menerima rangsangan neuronal
yang menggunakan neurotransmitter biogenic amin.
3. Faktor neuroanatomi yaitu beberapa peneliti menyatakan
hipotesisnya, bahwa gangguan mood atau depresi melibatkan
patologik dan sistem limbik, ganglia basalis dan hypothalamus.
Terdapat 3 mekanisme utama yang dapat menyebabkan
kerusakan pada otak, yaitu :
1.

Terjadi perubahan neurotransmitter


secara akut yang disebakan intoksikasi secara berulang.
Transporter seluler menjadi rusak dan reseptornya terganggu.

42

Perubahan biokimiawi revelsibel setelah proses detoksifikasi


2.

selama beberapa minggu hingga bulan.


Perubahan lobus frontal dan nukleus
akumbens.

3.

Kematian fungsi sel otak.


Nukleus

akumbens

juga

mengalami

kerusakan

akibat

penggunaan shabu. Kerusakan nukleus akumbens akibat stimulasi


yang berlebihan menyebabkan hancurnya reseptor dopamin dan
serotonin.

Kehilangan

neurotransmisi

pada

pusat

emosional

menyebabkan kecemasan, depresi (Holley, 2001).

2.3.5.

Dampak Shabu

Dampak shabu dapat dilihat dari 4 dimensi umum, yaitu


dimensi psikologis dan neurologis, dimensi kesehatan, dimensi sosial,
dan dimensi keluarga (Subagyo, 2007).
2.3.5.1. Dampak Shabu Secara Psikologis dan Neurologis
a. Gelisah dan tidak bisa tenang
Shabu memberikan efek energi yang berlebihan
pada pecandunya. Energi yang berlebihan ini kemudian
akan berimbas pada kondisi tubuhnya yang mudah merasa
gelisah dan tidak bisa diam.

43

b. Gangguan Kecemasan Gangguan kecemasan


Merupakan gejala standar yang muncul karena
penggunaan shabu. Hal ini juga merupakan faktor lain
yang membuat pecandunya merasa gelisah dan tidak mau
diam dan tenang.
c. Depresi
Depresi dapat terjadi ketika pecandu narkoba
mengalami sakau dan membutuhkan shabu. Pada saat ini,
efek shabu seperti meledaknya energi dan rasa seperti
terbang seolah tidak ada beban hidup pun mulai
menghilang.
d. Memiliki semangat yang tinggi.
Merupakan efek langsung yang dapat dirasakan
pecandu ketika melakukan kegiatan nyabu. Hal ini
merupakan pengaruh dari amphetamine yang terdapat pada
shabu, sehingga energi akan meledak-ledak, dan memiliki
semangat yang tinggi. Seolah-olah energi yang dimiliki
tidak akan pernah habis dan ada terus.
e. Paranoid
Paranoid adalah ketakutan yang berlebihan akan
suatu hal yang akan terjadi. Hal ini menjadi salah satu efek
dari shabu, sehingga beberapa pecandu sering mengurung
diri, karena takut akan bahaya yang mengancam.
44

f. Delirium
Delirium merupakan perubahan kesadaran yang
terjadi sebagai efek dari kegiatan nyabu. Pecandu akan
merasa tidak sadar akan hal-hal apa saja yang dia lakukan,
serta secara tidak sadar pula dapat melakukan tindakan
kriminalitas.
g. Agresif
Dengan energi yang bertambah dan meledak-ledak,
disertai dengan kondisi tubuh yang sensitive dan mudah
tersinggung,

maka

pecandu

shabu

akan

memiliki

kecenderungan untuk bertindak lebih agresif.


h. Sensitif dan Mudah Tersinggung
Salah satu efek dari kegiatan nyabu adalah
pecandunya

menjadi

sosok

yang

sangat

mudah

tersinggung, dan sensitive. Ibaratnya disenggol sedikit pun,


mungkin mereka bisa membunuh orang.
i. Halusinasi
Merupakan paket yang diperoleh dari pecandu
shabu. Halusinasi merupakan suatu keadaan dimana
pecandu melihat sesuatu atau merasakan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada.

45

2.3.5.2.

Dampak Shabu Terhadap Kesehatan


a. Pupil membesar
Kondisi pupil yang membesar disebabkan oleh aliran

darah yang memiliki tekanan tinggi, sehingga akan


berdampak pada pembesaran pupil, sama seperti ketika
mengonsumsi kafein.
b. Naiknya tekanan darah
Dengan melakukan ritual nyabu maka akan menaikan
tekanan darah pada pecandunya. Naiknya tekanan darah
secara tidak normal ini dapat menyebabkan hal-hal yang
berbahaya.
c. Bertambahnya detak jantung
Bertambahnya detak jantung merupakan efek domino
dari naiknya tekanan darah. Naiknya tekanan darah akan
memaksa jantung untuk bekerja lebih keras lagi, sehingga
akan memompa lebih cepat.
d. Sesak nafas
Merupakan gejala yang ditimbulkan karena gangguan
terhadap paru-paru pecandu. Selain sesak nafas, gejala lain
yang muncul antara lain :
1. Batuk-batuk
2. Infeksi pada paru-paru
3. Kanker paru-paru
e. Sulit berpikir dan berkonsentrasi
Penggunaan shabu akan merusak saraf dan proses
kognisi

seseorang.

Hal

ini

dapat

menyebabkan

menurunnya fungsi berpikir dan penalaran pecandu shabu.


f. Mual dan muntah
46

Mual-mual dan muntah merupakan efek yang dapat


dirasakan sesaat setelah melakukan kegiatan nyabu.
g. Sanggup menahan lapar
Para pecandu shabu biasanya mampu menahan lapar
dalam waktu yang sangat lama, bisa hampir dalam waktu
seminggu.

Hal

ini

akan

membuat

tubuh

mereka

kekurangan nutrisi dan akan terlihat sangat kurus sekali,


seperti anoreksia.
h. Menurunnya imunitas tubuh
dengan asupan nutrisi dan gizi yang sangat cukup,
maka dapat dipastikan imunitas tubuh pun akan berkurang.
Hal ini akan membuat para pecandu terinfeksi berbagai
macam penyakit

dan

virus, dan

akan

mengalami

komplikasi penyakit.
i. Stroke
Stroke merupakan gejala yang muncul karena tingginya
tekanan darah pada pecandu shabu. Hal ini akan sangat
berbahaya, karena stroke dapat menyebabkan kelumpuhan,
hingga menyebabkan kematian.
j. Kematian
Kematian adalah salah satu tempat yang sangat menanti
siapapun dan kapan pun anda bisa mati karena konsumsi
dan menghisap shabu.
2.3.5.3.

Dampak Shabu Terhadap Sosial Masyarakat


a.Dibuang dari lingkungan sosial
b.
Kemampuan sosial yang berkurang

47

c.Naiknya angka kriminalitas seperti pencurian, pembunuhan,

2.3.5.4.

pemerkosaan, dan jenis kejahatan lainnya.


d.
Naiknya angka kekerasan pada pecandu
e.Penjara
Dampak Shabu Terhadap Keluarga
a. Terhadap Orang Tua
1. Hancur hatinya. Tidak ada satupun orang tua yang ingin
melihat anaknya menjadi pecandu shabu. Hal ini sangat
menghancurkan hatinya.
2. Anda tidak ada artinya lagi. Walau tetap mendapat kasih
sayang, sebetulnya orang tua anda akan mengucilkan
anda secara tidak langsung. Mereka tidak ingin masa
depan keluarga berada di tangan anda yang seorang
pecandu.
3. Anda pelaku kejahatan. Orang tua akan mengecap anda
sebagai pelaku kejahatan wahid yang wajib di waspadai.
Mereka sadar pecandu dapat melakukan apa saja.
b. Terhadap Istri/Suami (yang sudah menikah)
1. Kemungkinan besar cerai. Tidak ada peluang hidup
bersama seorang pecandu, jelas itu adalah yang ada
dibenak pasangan anda.

48

2. Tidak harmonis. Siapa yang tahan hidup dengan seorang


pecandu yang setiap saat berpotensi di penjara, mati,
dan masa depan suram.
c. Terhadap Anak
1. Masa depannya suram. Jika anak mengetahui maka
masa depan anak akan ikut suram jika mengikuti jejak
anda.
2. Potensi di bully. Anda tidak sadar bahwa di lingkungan
masyarakat anak anda akan di bully dan akan membuat
dirinya sulit berkembang dan cenderung berbahaya bagi
masa depannya.
3. Ikut jejak anda. Anda ingin anak anda mengikut jejak
anda ? nah kemungkinan ini sangat besar karena ia telah
mengenal dunia ini.
4. Anda akan dicampakkan. Jangan harap anda akan
mendapat tempat dihati anak anda, kemungkinan besar
anda akan dicampakkan.
2.3.6.

Diagnosis Shabu

49

Shabu

dapat

penyalahgunaan

obat

penyalahgunaan

obat

disalahgunakan
yang
yang

tidak
kronik

melalui
rutin

cara

inhaler,

(occasional

abuse),

(chronic

oral

abuse),

penyalahgunaan melalui intravena (intravenous abuse) (Olson, 2007).


Diagnosa biasanya berdasarkan :
1. Riwayat pengguna amfetamine dan gambaran klinik dari intoksikasi
obat simpatomimetik.
2. Pemeriksaan spesifik
Shabu dapat dideteksi melalui urine dan cairan lambung.
Bagaimanapun kadar serum kuantitatif tidak berhubungan dengan
beratnya efek klinis. Amfetamin ditemukan sangat cepat setelah
penggunaan dan dieksresi hanya dalam beberapa hari. Toksisitas
sangat kurang berhubungan dengan kadar dalam serum. Pada
keringat amfetamine dapat dideteksi segera setelah dikonsumsi.
Saliva atau air liur dapat digunakan pula sebagai bahan untuk
mendeteksi amfetamine. Tetapi kadar obatnya jauh lebih rendah
daripada dalam urine, biasanya dapat digunakan pada keadaan toksik
akut.
3. Pemeriksaan lain

50

Kadar elektrolit, glukosa, BUN dan kreatinin, COK,


urinalisis, urine dipstick test untuk memeriksa hemoglobin yang
tersembunyi. EKG dan monitoring EKG, serta CT scan.
2.3.7.

Penatalaksanaan Shabu
Penatalaksanaan terhadap toksisitas dari amfetamine (shabu)

bertujuan untuk menstabilisasi fungsi vital, mencegah absorbsi obat


yang lebih lanjut, mengeliminasi obat yang telah diabsorbsi, mengatasi
gejala toksik spesifik yang ditimbulkan dan disposisi (Kusminarno,
2002).
2.3.7.1. Tindakan Emergensi dan Suportif
1. Mempertahankan fungsi pernafasan
a. Terapi agitasi: Midazolam 0,05-0,1 mg/Kg IV perlahanlahan atau 0,1 -

0,2 mg/kg IM;

Diazepam 0,1-0,2

mg/kg IV perlahan-lahan; Haloperidol 0,1-0,2/kg IM


atau IV perlahan-lahan.
b. Terapi kejang: Diazepam 0,1-0,2 mg/kg BB IV;
Phenitoin 15-20 mg/kg BB infus dengan dosis 25-50
mg/menit; pancuronium dapat digunakan bila kejang
tidak teratasi terutama dengan komplikasi asidosis dan
atau rabdomiolisis
c. Terapi coma : Awasi suhu, tanda vital dan EKG minimal
selama 6 jam

51

2. Terapi spesifik dan antidotum, pada amfetamine tidak ada


antidotum khusus
3. Terapi hipertensi: phentolamine atau nitroprusside
4. Terapi takiaritmia: propanolol atau esmolol
5. Terapi hiperthermia: bila gejala ringan terapi dengan
kompres dingin atau sponging bila suhu lebih dari 400C atau
peningkatan suhu berlangsung sangat cepat terapi lebih
agresif dengan menggunakan selimut dingin atau ice baths.
Bila hal ini gagal dapat digunakan Dantrolene atau
Trimethorfan 0,3-7 mg/menit IV melalui infus .
6. Terapi hipertensi dengan bradikardi atau takikardi bila
ringan biasanya tidak memerlukan obat-obatan. Hipertensi
berat (distolik > 120 mmHg) dapat diberikan terapi infus
nitroprusid atau obat-obat lain seperti propanolol, diazoksid,
khlorpromazine, nifedipin dan fentolamin.
7. Gejala psikosa akut sebaiknya diatasi dengan supportive
environment dan evaluasi cepat secara psikiatri. Gejala yang
lebih berat dapat diberikan sedatif dengan khlorpromazin
atau haloperidol.

52

2.3.7.2.

Dekontaminasi
Dekontaminasi dari saluran cerna setelah penggunaan

amfetamine

(shabu)

tergantung

pada

jenis

obat

yang

digunakan, jarak waktu sejak digunakan, jumlah obat dan


tingkat agitasi dari pasien.
Pada pasien yang mempunyai gejala toksik tetapi
keadaan sadar berikan arang aktif 30-100 gr pada dewasa dan
pada anak-anak 1-2 gr/kg BB diikuti atau ditambah dengan
pemberian katartik seperti sorbitol.
Bila pasien koma lakukan kumbah lambung dengan
menggunakan naso atau orogastric tube diikuti dengan
pemberian arang aktif.

2.4. Kerangka Teori


Faktor internal
1. Kurang rasa percaya diri
2. Merasa lemah
3. Selalu melihat segala sesuatu dari
sisi negative
4. Tertekan dengan kewajiban yang
di lakukan
5. Focus pada kesalahan

Faktor ekternal
1. Faktor biologis
2. Faktor psikologis
3. Lingkungan sosial

53

Penggunaan NAPZA

Narkotika

Psikotropika

Zat Adiktif Lain

Penggunaan Shabu
Dampak Psikologis
dan Neurologis

Dampak pada
Kesehatan

Dampak pada
Sosial Masyarakat

Dampak pada
Keluarga

Depresi
1. Afek depresif
2. Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya
keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah
kerja sedikit saja) dan menurunya aktivitas.

2.5. Kerangka Konsep

Penggunaan Shabu

Depresi

2.6. Hipotesis

54

Ho : Tidak ada pengaruh penggunaan NAPZA jenis shabu dengan kejadian


depresi.
Ha : Ada pengaruh penggunaan NAPZA jenis shabu dengan kejadian
depresi.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang dilakukan bersifat analitik dengan menggunakan
rancangan penelitian cross sectional yaitu penelitian yang dilakukan dengan
pengamatan sesaat atau dalam satu periode tertentu dan setiap subyek studi

55

hanya dilakukan satu kali pengamatan selama penelitian (Notoatmodjo, 2012).


Data yang mencakup variabel tentang penggunaan shabu dengan kejadian
depresi yang akan dikumpulkan satu kali dan dalam penelitian ini bertujuan
untuk mengungkapkan hubungan penggunaan shabu dengan kejadian depresi.

3.2. Variabel dan Definisi Operasional


3.2.1. Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau
ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang
sesuatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2012). Dalam
penelitian ini variabel yang diteliti menjadi 2 kelompok besar, yaitu
variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent
variable).

1. Variabel Bebas (Independent)


Variabel bebas (independent) adalah variabel yang mempengaruhi
(Notoadmojo, 2012). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
penggunaan shabu.
2. Variabel Terikat (Dependent)

56

Variabel terikat (dependent) adalah variabel yang dipengaruhi


(Notoadmojo, 2012). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah
kejadian depresi.
3.2.2. Definisi Operasional
No
1

Variabel
Pengguna
shabu

Definisi Operasional
Alat Ukur
Pengguna shabu adalah 1. Rekam
Medis
seseorang
yang
menggunakan

Hasil Ukur
1. Pengguna

Skala Ukur
Nominal

Shabu
2. Bukan

zat
Pengguna

psikotropika

jenis

shabu
Shabu

yang didapatkan dari data


2

Depresi

BNNP NTB
depresi
gangguan

merupakan 1. BDI (Beck


Depression
mental yang
Inventory)

1. Depresi
2. Tidak

Nominal

Depresi

ditandai dengan beberapa


gejala

yang

diukur

berdasarkan BDI
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang akan diteliti
(Notoatmodjo, 2012). Total populasi yang datang untuk rehabilitasi di
Klinik Pratama BNNP NTB pada tahun 2016 yaitu sebanyak 109 orang.
1. Kriteria Inklusi

57

a. Merupakan pengguna shabu yang sedang menjalani rehabilitasi


di klinik Pratama BNNP NTB.
b. Bersedia jadi untuk menjadi responden.
c. Dapat diajak berkomunikasi secara verbal.
2. Kriteria Eksklusi
a. Pengguna shabu yang mengalami depresi terlebih dahulu.
b. Pengguna shabu yang mengalami penurunan kesadaran.
c. Adanya kelainan jiwa dan dalam keadaan sakit.
d. Pengguna yang tidak bersedia menjadi responden.
3.3.2

Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut, populasi yang besar tidak mungkin
secara keseluruhan dapat diteliti. Karena keterbatasan waktu, tenaga
dan dana maka peneliti menggunakan sampel yang diambil dari
populasi tersebut. Dengan syarat sampel harus benar-benar mewakili
(representative) (Sugiyono, 2012).
Selanjutnya besar sampel ditentukan dengan rumus dan harus
memenuhi kriteria inklusi, dimana kriteria tersebut menentukan dapat
atau tidaknya sampel digunakan.
Rumus Slovin yang digunakan dalam pengambilan
sampel adalah sebagai berikut :

n=

N
N . d 2+1

58

Keterangan :
n = Besar sampel
N = Besar populasi
d2 = Tingkat kepercayaan atau ketetapan yang diizinkan 10%
Dengan menggunakan rumus di atas maka peneliti
dapat menentukan besar sampel sebagai berikut :
N
n=
N . d 2+1

109
n=
109 (0,1)2 +1

n=

109
2.09

n = 52,15 maka n = 53 sampel


Berdasarkan perhitungan dengan rumus diatas maka diperoleh besar
sampel sebanyak 53 sampel.
3.3.3

Tehnik Pengambilan Sampel


Pada penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling.
Pada consecutive sampling semua subjek yang datang dan memenuhi
kriteria pemilihan dimasukan dalam penelitian sampai jumlah subjek
yang diperlukan terpenuhi. Consecutive sampling ini merupakan jenis
59

non probability sampling yang paling baik dan sering merupakan cara
termudah. Sebagian besar penelitian klinis (termaksud uji klinis)
mengunakan

tehnik

ini

untuk

pemilihan

subjeknya.

Dengan

menggunakan tehnik tersebut maka populasi memiliki kesempatan yang


sama untuk dilakukan penelitian yang memenuhi kriteria inklusi
dijadikan sebagai sampel penelitian (sostroasmoro, 2012).

3.4. Instrumen dan Bahan Penelitian


a. Rekam medis
b. Beck Depression Inventory (BDI)
Untuk mengukur keparahan dan kedalaman dari gejala-gejala depresi seperti
yang tertera dalam The American Psychiatric Association's Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition (DSM-IV) dan dapat
digunakan untuk dewasa ataupun remaja yang berumur 13 tahun ke atas
serta merupakan sebuah ukuran standar dari depresi.
Pengklasifikasian Depresi :
1. Nilai 0-9 menunjukkan tidak ada gejala depresi.
2. Nilai 10-15 menunjukkan adanya depresi ringan.
3. Nilai 16-23 menunjukkan adanya depresi sedang.
4. Nilai 24-63 menunjukkan adanya depresi berat.
3.5. Metode Pengumpulan Data

60

3.5.1. Data Primer


Data

primer

diperoleh

dengan

wawancara

dengan

acuan

perntanyaan-pertanyaan yang tercantum dalam BDI yang meliputi 21


pertanyaan.
3.5.2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari hasil pengumpulan pihak BNN, yaitu
untuk mendukung data-data primer. Data sekunder meliputi :
Data responden diperoleh dari data biodata pengguna shabu yang
terdaftar di BNN Provinsi NTB.
Pengguna shabu

Kriteria Eksklusi :

Kriteria Inklusi :

Merupakan pengguna shabu yang sedang menjalani


Pengguna
rehabilitasi
shabu yang
di klinik
mengalami
BNNP. depresi.
Bersedia jadi untuk menjadi responden.
Pengguna shabu yang mengalami penurunan kes
Dapat diajak berkomunikasi secara verbal.
Adanya kelainan jiwa dan dalam keadaan sakit.
Pengguna yang tidak bersedia menjadi responden
3.6. Alur Penelitian
Skema Alur Penelitian.

Sampel

Pengisian Kuesioner dan Pengisian Lembar BDI


61
Analisis Data

3.7. Tempat dan Waktu Penelitian


3.7.1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian akan dilaksanakan di Kantor Badan Narkotika
Nasional (BNN) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
3.7.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan April-Mei 2016.
3.8. Manajemen Data
3.8.1. Teknik Pengolahan Data
Data yang terkumpul dari kuesioner yang telah diisi kemudian diolah
dengan tahap berikut :
1. Editing
62

Pada penelitian ini pemeriksaan data (editing) dilakukan dengan


mengumpulkan semua kuesioner yang telah diisi oleh responden,
jika ada pertanyaan
dikembalikan

dalam

pada responden

kuesioner

belum

untuk

dilengkapi,

diisi

maka

kemudian

dilakukan koreksi terhadap kuesioner tersebut.


2. Coding
Untuk

mempermudah

pengolahan,

variabel

penelitian

diberikode, dilakukan sebelum pengumpulan data dilaksanakan.


3. Scoring
Pemberian skor atau nilai pada setiap jawaban yang diberikan
oleh responden.
4. Entry data
Kegiatan memasukkan data yang telah didapat kedalam program
komputer yang ditetapkan.

3.8.2. Analisis Data


Analisis data dalam hal ini menggunakan teknik sebagai berikut :
1. Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik

masing-masing

variabel,

baik

variabel

bebas

(independent) maupun variabel terikat (dependent). Adapun yang

63

dianalisa adalah variabel bebas (penggunaan shabu) dan variable


terikat (kejadian depresi).
2. Analisis Bivariat
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan pada varibel
bsebas (independent) dan variabel terikat (dependent) yaitu
penggunaan shabu dengan kejadian depresi.
Untuk mengetahui hubungan antar variabel, dimana skalanya
adalah Nominal maka digunakan uji statistik koefisien kontingensi
untuk mengukur keeratan hubungan (asosiasi atau korelasi) antara 2
variabel yang keduanya bertipe data nominal (kategorik). Rumus
koefisien kontingensi sebagai berikut :
C=

X2
N +X2

Keterangan :
C
= Koefisien kontingensi
N
= Jumlah keseluruhan sampel
X2 = Chi kuadrat
Ho = ditolak apabila P value 0,05dan Ho diterima bila
P value > 0,05.

3.9.

Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etika penelitian.
Etika penelitian meliputi:
1. Informen concent (lembar persetujuan)

64

Merupakan lembar persetujuan yang memuat penjelasan tentang maksud


dan tujuan serta manfaat penelitian. Apabila responden telah mengerti dan
bersedia maka responden diminta menandatangani lembar persetujuan
menjadi responden. Namun, apabila responden menolak, peneliti tidak akan
memaksa.

2. Anonymity (tanpa nama)


Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan
nama subyek penelitian. Untuk memudahkan dalam menganalisa identitas,
peneliti memakai simbol pada masing-masing lembar yang hanya diketahui
oleh peneliti.

3. Convidentiality (kerahasiaan)
Peneliti menyimpan data penelitian pada dokumen pribadi penelitian dan
data-data penelitian dilaporkan dalam bentuk kelompok bukan sebagai datadata yang mewakili pribadi sampel penelitian (Sastroasmoro, 2014).

65

66

You might also like