You are on page 1of 23

dr.

Sani Rachman's House


Konsep hidup sederhana nan mulia yaitu beramal, berilmu dan beriman..
Cedera Kepala
SRS

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Menurut Dawodu (2002) dan Sutantoro (2003), cedera kepala adalah trauma yang
mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana
kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif / non-kongenital, yang disebabkan oleh
gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta
berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.
2.2. PATOFISIOLOGI
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun
otak hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20 % dari
curah jantung. Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen tersebut
dikonsumsi oleh substansi kelabu.
Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses
lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan
nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya
oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak
menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin
bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak
terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak
akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium,
foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum.

Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik
sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan
kematian (3).

Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :


1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek
pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya
duramater, laserasi, kontusio).
2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas
kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya
tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim
otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK
yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat
fatal pada tingkat seluler.
Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak
mengakibatkan edema sitotoksik kerusakan seluler yang makin parah
(irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi,
hipoksia, hipertermi, kejang, dll.
3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis
Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat,
aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino
Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan
edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi
(klinis kejang-kejang).
4. Kerusakan Membran Sel
Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan

kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui
rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan
pada sintesa fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut).
Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang
menghasilkan radikal bebas yang berlebih.
5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies
terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel
akan mengkerut (shrinkage).
Dalam penelitian ternyata program bunuh diri ini merupakan suatu proses yang
dapat dihentikan.
2.3. PATOLOGI
Dari gambarannya (neuropatologi), kerusakan otak dapat digolongkan menjadi fokal
dan difus, walaupun terkadang kedua tipe tersebut muncul bersamaan. Alternatif
yang lain menggolongkan kerusakan otak menjadi primer (terjadi sebagai dampak)
dan sekunder (munculnya kerusakan neuronal yang menetap, hematoma,
pembengkakan otak, iskemia, atau infeksi).
2.3.1. KERUSAKAN FOKAL
2.3.1.1. Kontusio kortikal dan laserasi
Kontusio kortikal dan laserasi bisa terjadi di bawah atau berlawanan (counter-coup)
pada sisi yang terkena, tapi kebanyakan melibatkan lobus frontal dan temporal.
Kontusio biasanya terjadi multiple dan bilateral. Kontusio multiple tidak depresi
pada tingkat kesadaran, tapi hal ini dapat terjadi ketika perdarahan akibat kontusio
memproduksi ruang yang menyebabkan hematoma.
2.3.1.2. Hematoma intracranial
Perdarahan intracranial dapat terjadi baik di luar (ekstradural) maupun di dalam
dura (intradural). Lesi intradural biasanya terdiri dari campuran dari hematoma
subdural dan intraserebral, walaupun subdural murni juga terjadi. Kerusakan otak
bisa disebabkan direk atau indirek akibat herniasi tentorial atau tonsilar.
2.3.1.3. Intraserebral (Burst lobe)
Kontusio di lobus frontal dan temporal sering mengarah pada perdarahan di dalam
substansia otak, biasanya dihubungkan dengan hematoma subdural yang hebat.
Burst Lobe adalah definisi yang biasanya digunakan untuk menerangkan
penampakan dari hematoma intraserebral bercampur dengan jaringan otak yang
nekrotik, ruptur keluar ke ruang subdural.
2.3.1.4. Subdural
Pada beberapa pasien, dampaknya bisa mengakibatkan ruptur hubungan vena-vena
dari permukaan kortikal dengan sinus venosus, memproduksi hematoma subdural
murni dengan tidak adanya bukti mendasar adanya kontusio kortikal atau laserasi.

2.3.1.5. Ekstradural
Fraktur cranii merobek pembuluh darah meningeal tengah, mengalir ke dalam
ruang ekstradural. Hal ini biasanya terjadi pada regio temporal atau
temporoparietal. Kadang-kadang hematoma ekstradural terjadi akibat kerusakan
sinus sagital atau transvesal.
2.3.1.6. Herniasi tentorial/tonsillar (sinonim: cone)
Tidak seperti tekanan intrakranial tinggi yang secara direk merusak jaringan
neuronal, tapi kerusakan otak terjadi sebagai akibat herniasi tentorial atau tonsillar.
Peningkatan tekanan intrakranial yang progresif karena hematoma supratentorial,
menyebabkan pergeseran garis tengah (mid line). Herniasi dari lobus temporal
medial sampai hiatus tentorial juga terjadi (herniasi tentorial lateral), menyebabkan
kompresi dan kerusakan otak tengah..
Herniasi tentorial lateral yang tidak terkontrol atau pembengkakan hemispheric
bilateral difus akan mengakibatkan herniasi tentrorial central.
Herniasi dari tonsil serebellar melalui foramen magnum (herniasi tonsillar) dan
berikut kompresi batang otak bawah bisa diikuti herniasi tentorial central atau yang
jarang terjadi, yaitu traumatik posterior dari fossa hematoma.
2.3.2. KERUSAKAN DIFUS
2.3.2.1. Diffused Axonal Injury (DAI)
4, dapat memainkan peranan dalam hal ini. Tergantung dari tingkat keparahan dari
luka, efek dapat bervariasi dari koma ringan sampai kematian.Tekanan yang
berkurang menyebabkan kerusakan mekanik akson secara cepat. Lebih dari 48 jam,
kerusakan lebih lanjut terjadi melalui pelepasan neurotransmiter eksitotoksik yang
menyebabkan influs Ca 2+ ke dalam sel dan memacu kaskade fosfolipid.
Kemungkinan genetik diketahui dengan adanya gen APOE
DAI terjadi pada 10-15% CKB. 60% DAI berakhir dengan kecacatan menetap dan
vegetative state, 35-50% berakhir dengan kematian. Dalam proses biomekanis, DAI
terjadi karena adanya proses deselerasi yang menyebabkan syringe trauma
(tergunting) karena adanya gaya yang simpang siur.
2.3.2.2. Iskemia serebral
Iskemia serebral umumnya terjadi setelah cedera kepala berat dan disebabkan baik
karena hipoksia atau perfusi serebral yang terganggu/rusak. Pada orang normal,
tekanan darah yang rendah tidak mengakibatkan rendahnya perfusi serebral karena
adanya autoregulasi, terbukti adanya vasodilatasi serebral.
Setelah cedera kepala, bagaimanapun juga sistem autoregulasi sering tidak
sempurna/cacat dan hipotensi bisa menyebabkan efek yang drastis. Kelebihan
glutamat dan akumulasi radikal bebas juga bisa mengkontribusikan kerusakan
neuronal. Penyebab lain iskemia serebral adalah lesi massa yang menyebabkan
herniasi tentorial, traksi atau perforasi pembuluh darah, spasme arterial, dan
kenaikan TIK karena edema otak.
Lokasi iskemia dapat terjadi pada korteks, hipokampus, ganglion basalis dan batang
otak. (4,5,6)

2.4. GAMBARAN KLINIS


Assesment dan klasifikasi pasien-pasien yang diduga mengalami cedera kepala,
harus dipandu secara primer menggunakan Glasgow Coma Scale versi untuk
dewasa dan anak-anak dan ini diturunkan dari Glasgow Coma Score.
Glasgow Coma Scale bernilai antara 3 dan 15, 3 adalah yang paling buruk dan 15
adalah yang terbaik. Terdiri dari tiga parameter: Respon mata terbaik, respon verbal
terbaik, dan respon motor terbaik.
Glasgow Coma Scale (Dewasa)
Respon Mata Terbaik (4)
4. Mata membuka spontan
3. Mata membuka dengan perintah verbal
2. Mata membuka dengan rangsang nyeri
1. Mata tidak membuka
Respon Verbal Terbaik (5)
5. Terorientasi baik
4. Bingung / disorientasi
3. Kata-kata tidak tepat
2. Suara-suara yang tidak bisa dipahami
1. Tidak ada respon verbal
Respon Motorik Terbaik (6)
6. Mematuhi perintah
5. Melokalisasi rasa nyeri
4. Menghindari nyeri
3. Fleksi terhadap nyeri
2. Ekstensi terhadap nyeri
1. Tidak ada respon motorik
Glasgow Coma Scale (Pediatric)
Respon Mata Terbaik (4)
4. Mata membuka spontan
3. Mata membuka dengan perintah verbal
2. Mata membuka dengan rangsang nyeri
1. Mata tidak membuka
Respon Verbal Terbaik (5)
5. Terjaga, mengoceh, kata/kalimat biasanya sesuai kemampuan.
4. Kurang dari kemampuan biasa dan/atau menangis irritable spontan
3. Menangis tidak tepat
2. Kadang-kadang merengek dan/atau merintih
1. Tidak ada respon vokal

Komunikasi dengan infant atau anak-anak diperlukan perhatian yang seksama


untuk menentukan respon verbal terbaik yang sesuai. Grimace adalah alternatif
dari respon verbal, harus digunakan untuk pre-verbal atau pasien-pasien intubasi.
Grimace Response (5)
5. Facial normal spontan/aktifitas oro-motor
4. Kurang dari kemampuan spontan biasa atau hanya respon untuk menyentuh
stimuli
3. Menyeringai dengan semangat pada nyeri
2. Menyeringai ringan pada nyeri
1. Tidak ada respon pada nyeri
Respon Motor Terbaik (6)
6. Mematuhi perintah atau menunjuukan gerakan spontan normal
5. Melokalisasi rangsang nyeri atau menghindari untuk menyentuh
4. Menghindari rangsang nyeri
3. Fleksi abnormal pada nyeri (decorticate)
2. Ekstensi abnormal pada nyeri (decerebrate)
1. Tidak ada respon pada nyeri
Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera otak
kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Tingkat yang
paling ringan ialah pada penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran yang
berlangsung hanya beberapa menit saja. Atas dasar ini trauma kepala dapat
digolongkan menjadi ringan bila derajat koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS)
total adalah 13-15, sedang bila 9-12, dan berat bila 3-8. lokasi cedera otak primer
dapat ditentukan pada pemeriksaan klinik (7).
2.5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan
morfologi cedera.
a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramter.
* Trauma tumpul : - kecepatan tinggi (tabrakan).
- kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
* Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
b. Keparahan cedera.
* Ringan : skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) 14-15
* Sedang : GCS 9-13
* Berat : GCS 3-8
c. Morfologi
Fraktur tengkorak kraniium linear/stelatum; depresi/non depresi;

terbuka/tertutup
basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan/tanpa kelumpuhan
nervus VII
Lesi intracranial fokal epidural, subdural, intraserebral.
difus konkusi ringan, konkusi klasik, cedera
aksonal difus (2).
2.6. DIAGNOSIS
2.6.1. Anamnesis
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua
dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di
kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan
pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti
urutan kejadiannya, jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih
dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis lebih rinci tentang:
a. Sifat kecelakaan.
b. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
c. Ada tidaknya benturan kepala langsung.
d. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat
diperiksa. Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak
sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui
kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya
tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang / turun
kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung / disorientasi (kesadaran berubah)
2.6.2. Indikasi Rawat Inap :
1. Perubahan kesadaran saat diperiksa.
2. Fraktur tulang tengkorak.
3. Terdapat defisit neurologik.
4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-anak, riwayat minum
alkohol, pasien tidak kooperatif.
5. Adanya faktor sosial seperti :
a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.
b. Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga.
c. Sulitnya transportasi ke rumah sakit.
Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar segera kembali ke rumah
sakit bila timbul gejala sebagai berikut :
1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan. Penderita harus dibangunkan tiap 2 jam
selama periode tidur.
2. Disorientasi, kacau, perubahan tingkah laku
3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam.

4. Rasa lemah atau rasa baal pada lengan atau tungkai, kelumpuhan, penglihatan
kabur.
5. Kejang, pingsan.
6. Keluar darah/cairan dari hidung atau telinga
7. Salah satu pupil lebih besar dari yang lain, gerakan-gerakan aneh bola mata,
melihat dobel, atau gangguan penglihatan lain
8. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak
biasa
Rawat inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantauan) dan perawatan.
Observasi ialah usaha untuk menemukan sedini mungkin kemungkinan terjadinya
penyulit atau kelainan lain yang tidak segera memberi tanda atau gejala.
Pada penderita yang tidak sadar, perawatan merupakan bagian terpenting dari
penatalaksanaan. Tindakan pembebasan jalan nafas dan pernapasan mendapat
prioritas utama untuk diperhatikan. Penderita harus diletakkan dalam posisi
berbaring yang aman (4,5).
2.7. PEMERIKSAAN
2.7.1. Pemeriksaan Fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai bahkan mendahului trias adalah status
fungsi vital dan status kesadaran pasien.
Status fungsi vital
Yang dinilai dalam status fungsi vital adalah:
Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu
segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi
leher harus berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury).
Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes, Biot
/ hiperventilasi, atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin buruknya
tingkat kesadaran.
Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga
adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma
thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah
yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal
peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh
hematoma epidural.
Status kesadaran pasien
Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow;
cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan
balk oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini pula, perkembangan/perubahan
kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat. Yang dinilai adalah
respon membuka mata, respon verbal dan respon motorik.
Status neurologis

Pemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk


mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan
fokal, dalam hal ini perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah : anisokori,
paresis / paralisis, dan refleks patologis..
Selain trauma kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di tempat
lain seperti trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang anggota gerak
harus selalu dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin
2.7.2. Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen tengkorak (AP Lateral) biasanya dilakukan pada keadaan: defisit
neurologik fokal, liquorrhoe, dugaan trauma tembus/fraktur impresi, hematoma luas
di daerah kepala.
Perdarahan intrakranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan arterografi karotis atau
CT Scan kepala yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih sederhana dan tidak
invasif, dan hasilnya lebih akurat. Meskipun demikian pemeriksaan ini tidak dapat
dilakukan di setiap rumah sakit. CT Scan juga dapat dilakukan pada keadaan:
perburukan kesadaran, dugaan fraktur basis kranii dan kejang.
2.8. PENANGGULANGAN PERAWATAN
Setelah ditentukan fungsi vital, kesadaran, dan status neurologis harus diperhatikan
kesembilan aspek sebagai berikut.
1. Pemberian cairan dan elektrolit disesuaikan dengan kebutuhan. Harus dicegah
terjadinya hidrasi berlebih dan hiponatremia yang akan memperberat edem otak.
2. Pemasangan kateter kandung kemih diperlukan untuk memantau keseimbangan
cairan.
3. Pencegahan terhadapa pneumonia hipostatik dilakukan dengan fisioterapi paru,
mengubah secara berkala posisi berbaring, dan mengisap timbunan sekret.
4. Kulit diusahakan tetap tetap bersih dan kering untuk mencegah dekubitus.
5. Anggota gerak digerakkan secara pasif untuk mencegah kontraktur dan hipotrofi.
6. Kornea harus terus menerus dibasahi dengan larutan asam borat 2 % untuk
mencegah keratitis.
7. Keadaan gelisah dapat disebabkan oleh perkembangan massa didalam
tengkorak, kandung kemih yang penuh, atau nyeri. Setelah ketiga hal tersebut
dapat dipastikan dan diatasi, baru boleh diberikan sedatif. Mengikat penderita
hanya akan menambah kegelisahan, yang justru akan menaikkan tekanan
intrakranial.
8. Kejang-kejang harus segera diatasi karena akan menyebabkna hipoksia otak dan
kenaikan tekanan darah serta memperberat edem otak.
Hipernatremi dapat timbul pada hari pertama pasca trauma, karena gangguan pada
hipotalamus, batang otak, atau dehidrasi. Kenaikan suhu badan setelah hari kedua
dapat disebabkan oleh dehidrasi, infeksi paru, infeksi saluran kemih, atau infeksi
luka. Reaksi tranfusi dapat juga menimbulkan demam. Pemakaian antibiotik yang
berlebihan dapat menyebabkan tumbuhnya kuman yang resisten, mengakibatkan

kolitis pseudomembranosa, dan mengundang terjadinya sepsis. (3)


2.9. PENATALAKSANAAN
Pedoman resusitasi dan penilaian awal:
1. Menilai jalan napas : bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan
gigi palsu, pertahankan tulang servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jioka
cedera orofasial mengganggu jalan napas, maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika
tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki
dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks, hemopneumotoraks,
pneumotoraks tensif.
3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera
intraabdominal atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jatung dan tekanan
darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena yang
besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum,
elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan
larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi
edem otak pasca cedera kepala.
4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala. Mula-mula
berikan diazepam 10 mg iv perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila
masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan iv
perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5. Menilai tingkat keparahan
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)
Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang.
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematom kulit kepala.
Tidak ada criteria cedera kepala sedang-berat.
b. Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)
Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
Konkusi
Amnesia pasca-trauma
Muntah
Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum,
otorea, atau rinorea cairan serebrospinal)
Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)
Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)

Penurunan derajat kesadaran secara progresif


Tanda neurologist fokal
Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.
Pedoman umum penatalaksanaan:
1. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang
belakang servikal, kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh
tulang servikal C1-C7 normal.
2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur :
- pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan
Ringer Laktet : cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler
daripada cairan hipotonis, dan cairan ii tidak menambah edem serebri.
- Lakukan pemeriksaan hamatokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia
darah : glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin
parsial, skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu.

2.10. PENGOBATAN
1. Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital (ingat ABC)
2. Mengurangi edema otak dengan cara:
Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan PO2darah sehingga men-cegah
vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat
membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, PO2dipertahankan > 100 mmHg dan
PCO2di antara 2530 mmHg.
Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk
"menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian
dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol
harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan
0,51 g/kgBB dalam 1030 menit.
Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak
beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa
kortikosteroid tidak / kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya
berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.
Barbiturat digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat
ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun;
karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan
kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat
digunakan dengan pengawasan yang ketat.
Pada 2448 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 15002000 ml/24 jam
agar tidak memperberat edema jaringan.
3. Obat-obatan neuroprotectan seperti piritinol, piracetam dan citicholine dikatakan
dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada

keadaan koma.
4. Perawatan luka da pencegahan dekubitus harus dilakukan sejak dini
5. Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat
dengan fungsi pembekuan normal. Perdarahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya
dengan hemostatik.
6. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus
kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat
diberikan dengan dosis awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti
dengan 250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi- kan 3 dd
100 mg/hari per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi
kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan karena efek sampingnya berupa penurunan
kesadaran dan depresi pernapasan
2.11. PROGNOSIS
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan
beratnya kerusakan otak yang terjadi.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami
kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk
menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.
Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat
mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran.
Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan
penderita akan pulih kembali.
Penderita bisa mengalami sindroma pasca konkusio, dimana sakit kepala terus
menerus dirasakan dan terjadi gangguan ingatan.
Status vegetatif kronis merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu yang
lama, yang disertai dengan siklus bangun dan tidur yang mendekati normal.
Keadaan ini merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang non-fatal.
Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian atas dari otak (yang mengendalikan
fungsi mental), sedangkan talamus dan batang otak (yang mengatur siklus tidur,
suhu tubuh, pernafasan dan denyut jantung) tetap utuh. Jika status vegetatif terus
berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, maka kemungkinan untuk sadar
kembali sangat kecil.
2.12. KEGAWATDARURATAN CEDERA KEPALA
2.12.1. KOMOSIO SEREBRI
Komosio serebri atau gegar otak adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak
lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan
otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin mutah, tampak
pucat.

Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya
pusat-pusat dalam batang otak.
Pada komosio serebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya
ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini
timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian antaranya di daerah lobus temporalis.
Pemeriksaan yang selalu dibuat adalah: foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori.
Terapinya simptomatis dengan mobilisasi secepatnya setelah keluhan-keluhan
menghilang. (8)
2.12.2. EDEMA SEREBRI TRAUMATIK
Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis
terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini pingsan berlangsung lebih dari 10
menit dan pada pemeriksaan neurologik tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan
jaringan otak. Pasien mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah. Pada
pemeriksaan cairan otak mungkin hanya dijumpai tekanan yang agak meingkat.
Pada petinju mungkin terjadi keadaan grogi dengan kesadaran yang menurun
ringan, tampak seperti linglung, gerakan tidak teratur, tidak efisien, kurang cepat,
keseimbangan sedikit terganggu, mungkin hanay mengeluh sedikit nyeri kepala dan
pusing. Keadaan demikian dapat berlangsung sebebntar atau hingga berhari-hari.
Pada keadaan ini batang otak mengalami edema. Setelah membaik, penderita tidak
ingat dengan baik apa yang telah dialaminya.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan yang diperlukan sama dengan komosio
serebri, bila mungkin ditambah dengan CT-Scan kepala. Terapi hanya istirahat dan
simptomatis. (8)
2.12.3. KONTUSIO SEREBRI
Pada kontusio serebri atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuronneuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada trauma yang membentur dahi,
kontusio terjadi di daerah otak yang mengalami benturan. Pada benturan di daerah
parietal, temporalis dan occipital selain ditempat benturan dapat pula terjadi
kontusio pada sisi yang bertentangan pada jalan garis benturan.
Lesi kedua ini disebu lesi kontra benturan (contra-coup). Perdarahan mungkin pula
terjadi di sepanjang garis gaya benturan ini, dan ada permukaan bagian otak yang
menggeser karena gerakan akibat benturan ini.
Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai kelainan
neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri
dengan penurunan kesadaran yang berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan
dapat atau dijumpai defisit neurologik. Pada kontusio serebri yang berlangsung 6
jam penurunan kesadarannya, biasanya selalu dijumpai defisit neurologik
neurologik yang jelas. Gejala-gejalanya bergantung pada lokasi dan luasnya daerah
lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di
dalam jaringan otak, sering pula disertai perdarahan subarakhnoidal atau kontusio
pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak jarang berat dan

menyebabkan meningkatnya tekanan intra kranial.


Tekanan intra kranial yang meninggi menimbulakan gangguan mikrosirkulasi otak
dengan akibat menghebatnya edema. Dengan demikian timbullah lingkaran setan
yang erakhir dengan kematian bila tidak diputus.
Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon, pernapasan biasa atau bersifat
Cheyne-Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik. Mungkin terjadi rigiditas
dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku
dalam sikap fleksi pada sendi siku.
Pada gangguan di daerah mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun
hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat,
tidak teratur, pernapasan hiperventilasi, motorik menunjukkan rigidiras deserebrasi
dengan keempa ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi.
Pada lesi pons bagian bawah bila nuklei vestibularis terganggu bilateral, gerakan
kompensasi bola mata pada gerakan kepala menghilang. Pernapasan tidak teratur.
Bila medulla oblongata terganggu, pernapasan melambat tak teratur, tersengalsengal menjelang kematian.
Pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan adalah: foto Rontgen polos, bila
mungkin CT-Scan, EEG, pungsi lumbal.
Terapi:
Tindakan yang diambil pada keadaan kontusio berat ditujukan untuk mencegah
menigginya tekanan intra kranial.
a. usahakan jalan napas yang lapang dengan:
- membersihkan hidung dan mulut dari darah dan muntahan
- melonggarkan pakaian yang ketat
- menghisap lendir dari mulut, tenggorok dan hidung
- untuk amannya gigi palsu perlu dikeluarkan
- bila perlu pasang pipa endotrakeal atau lakukan trakeotomi
- O2 diberikan bila tidak ada hiperventilasi
b. hentikan perdarahan
c. bila ada fraktur pasang bidai untuk fiksasi
d. letakkan pasien dalam posisi miring hingga bila muntah dapat bebas keluar dan
tidak mengganggu jalan napas
e. berikan profilaksis antibiotik bila ada luka-luka yang berat
f. bila ada syok, infus dipasang untuk memberikan cairan yang sesuai. Bila tidak ada
syok, pemasangan infus tidak perlu dilakukan dengan segera dan dapat menunggu
hingga keesokan harinya.
Pada hari I pemberian infus diberikan 1,5 liter cairan / hari, yang 0,5 liter adalah
NaCl 0.9%. Bila digunakan glukosa, pakailah yang 1% untuk mencegah
menghebatnya edema otak dan kemungkinan timbulk=nya edem pulmonum.
Setelah hari ke IV jumlah cairan perlu ditambah hingga 2,5 liter / 24 jam. Bila bising
usus sudah terdengar, dapat diberi makanan cair per sonde.
g. Pada keadaan edema otak yang hebat diberikan mannitol 20% dalam infus
sebanyak 250cc dalam waktu 30 menit yang dapat diulang tiap 12-24 jam.

h. Furosemid intramuskular 20mg per 24 jam, selain meningkatkan diuresis


berkhasiat juga mengurangi pembentukan cairan otak.
i. Untuk menghambat pembentukan edema serebri diberikan deksametason dalam
rangkaian pengobatan sebagai berikut:
Hari I : 10mg iv diikuti 5mg tiap 4 jam
Hari II : 5mg iv tiap 6 jam
Hari III: 5mg iv tiap 8 jam
Hari IV: 5mg im tiap 12 jam
Hari V : 5mg im
j. Pemantauan keadaan penderita selain keadaan umumnya perlu diperiksa secara
teratur PCO2 dan PO2 darah. Keadaan yang normal ialah PCO2 sekitar 42mmHg dan
PO2 diatas 70mmHg.
Selanjutnya ialah perawatan dalam keadaan koma. (8,9)
2.12.4. EPIDURAL HEMATOMA
Pada hematom epidural terjadi perdarahan diantara tengkorak dan duramater
akibat robeknya arteri meningea media atau cabang-cabangnya. Arteri terletak
diantara meningens dan tulang tengkorak. Darah di dalam arteri memiliki tekanan
lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar.
Kelainan pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setelah
hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan
tekanan intra kranial. Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah
dan diikuti oleh penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting adalah
pupil mata anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada sisi kontra lateral dari
benturan timbul gejala-gejala terganggunya traktus kortikospinalis, misalnya reflek
tendo tinggi, reflek patologis positif dan hemiparese. Terjadi pula kenaikan tekanan
darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma yang
dalam, pupil kontra lateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil
tidak menunjukkanreaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Ciri khas pada epidural hematoma murni adalah terdapatnya interval bebas antara
dua penurunan kesadaran yang disebut lucid interval. Jika epidural hematoma
disertai cedera otak seperti memar otak, lucid interval tidak akan terlihat
sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergency dalam bedah saraf
karena progresifitasnya yang cepat. Duramater melekat erat pada sutura sehingga
langsung mendesak ke parenkim otak yang memudahkan terjadinya herniasi trans
dan infra tentorial, sehingga jika penanganan terlambat maka pasien dapat
meninggal.
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto
Rontgen kepala. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis epidural hematoma bila
sisi fraktur yang terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar. Garis fraktur juga
dapat menunjukkan lokasi hematoma. Bila memungkinkan dapat dilakukan CT-Scan.

Penanganan untuk epidural hematoma:


a. Penanganan darurat: dengan trepanasi sederhana (boor hole) atau kraniotomi
untuk mengevakuasi hematoma
b. Indikasi operasi dibidang bedah saraf: untuk life-saving dan untuk functional
saving. Indikasi life-saving adalah jika lesi desak ruang bervolume >5cc (desak
ruang thalamus), >10cc (desak ruang infra tentorial) dan >25cc (desak ruang supra
tentorial).
c. Indikasi evakuasi: efek massa yang signifikan yaitu penurunan klinis, efek massa
dengan volume >20cc dengan midline shift >5mm dengan penurunan klinis yang
progresif atau jika tebal EDH >1cm dengan midline shift >5mm dengan penurunan
klinis yang progresif (3,5,8,10)
2.12.5. SUBDURAL HEMATOMA
Subdural hematoma disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan robeknya
vena dalam ruang subarakhnoid. Pembesaran hematoma kerana robeknya vena
akan memerlukan waktu yang lama, sehari sampai beberapa minggu.
Subdural hematoma dibagi menjadi hematoma subdural akut bila gejala timbul
pada hari pertama sampai ketiga, subakut bila timbula antara hari ketiga hingga
minggu ketiga, dan kronis apabila timbul sesudah minggu ketiga.
Subdural hematoma akut secara klinis sukaar dibedakan dengan epidural
hematoma yang berkembang lambat. Subdural hematoma akut dan kronik memberi
gambaran klinis suatu proses desak ruang yang progresif sehingga tidak jarang
dianggap sebagai neoplasma atau dementia.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan
ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan.
Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah:
- sakit kepala yang menetap
- rasa mengantuk yang hilang-timbul
- linglung
- perubahan ingatan
- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Subdural hematoma yang besar memberi gejala seperti hematom epidural. Pada
perdarahan yang ringan memberi gejala permulaan yang ringan dan setelah
beberapa waktu secara perlahan gejala menjadi berat dan sifatnya progresif.
- Nyeri kepala hebat, muntah.
- Gangguan penglihatan karena edem dari papil N II.
- Pada sisi kontralateral hematom terdapat gangguan traktus piramidalis.

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan yaitu dengan Rontgen tengkorak APLateral dengan sisi daerah trauma pada film. Jika memungkinkan dapat dilakukan
CT-Scan dan EEG. Pada CT-Scan akan terlihat gambaran hiperdens berbentuk bulan
sabit. Jika disertai kontusio serebri akan tampak pula bercak-bercak hiperdens di
parenkim otak (salt and pepper). Pungsi lumbal tidak dilakukan karena tekanan
intra kranial yang tinggi dapat menimbulkan herniasi tentorial.
Penanggulangan terdiri dari trepanasi dan evakuasi hematoma.
Karena subdural hematoma sering disertai cedera otak berat lain, maka
dibandingkan dengan epidural hematoma, prognosisnya lebih jelek. (5,11)

2.12.6. SUBARAKHNOID HEMATOMA


Perdarahan terjadi di rongga subarachnoid, sering menyertai kontusio serebri. Pada
pungsi lumbal ditemukan cairan serebrospinal berdarah. Cairan serebrospinal yang
berdarah tersebut dapat merangsang selaput otak sehingga timbul kaku kuduk.
Penatalaksanaan seperti pada kontusio serebri. (2,3,5,12)
2.12.7. KERUSAKAN PADA BAGIAN OTAK TERTENTU
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri) biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang.
Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku
tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang
terjadi.

2.12.7.1. Kerusakan Lobus Frontalis


Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik
(misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus
frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan.
Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor
tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran
dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai
satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata,
meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan pada lobus frontalis dapat mengakibatkan kelainan yang berhubungan
dengan hal ikhwal tingkah laku (kurang kontrol, agresif, anti-sosial), dementia,
gerakan halus yang kurang lancar, gerakan yang kurang ritmis, dan afasia.
2.12.7.2. Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur
dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan

matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini.


Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan
merasakan posisi dari bagian tubuhnya.
Kerusakan pada lobus parietalis dapat mengakibatkan apraksia, agnosia,
disorientasi, gangguan body image, emiparesis, hemihipestesia dan hemianopsia.
2.12.7.3. Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami
suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta
menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya
ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri
menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari
dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan
mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan
agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.(8)

2.13. KELAINAN-KELAINAN AKIBAT CEDERA KEPALA


2.13.1. EPILEPSI PASCA TRAUMA
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu
setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang merupakan
respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.
Kejang terjadi padda sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kepala hebat
tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki
luka tembus di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian
setelah terjadinya cedera.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya
dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada
seseorang yang mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya
kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai
waktu yang tak terhingga.
2.13.2. AFASIA
fasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya
cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau
mengekspresikan kata-kata.

Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah
kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari
area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi
beberapa aspek dari fungsi bahasa.
Gangguan bahasa bisa berupa:
- Aleksia, hilangnya kemampuan untuk memahami kata-kata yang tertulis
- Anomia, hilangnya kemampuan untuk mengingat atau mengucapkan nama-nama
benda. Beberapa penderita anomia tidak dapat mengingat kata-kata yang tepat,
sedangkan penderita yang lainnya dapat mengingat kata-kata dalam fikirannya,
tetapi tidak mampu mengucapkannya.
Disartria merupakan ketidakmampuan untuk mengartikulasikan kata-kata dengan
tepat. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian otak yang mengendalikan otototot yang digunakan untuk menghasilkan suara atau mengatur gerakan dari alatalat vokal.
Afasia Wernicke merupakan suatu keadaan yang terjadi setelah adanya kerusakan
pada lobus temporalis. Penderita tampaknya lancar berbicara, tetapi kalimat yang
keluar kacau (disebut juga gado-gado kata). Penderita menjawab pertanyaan
dengan ragu-ragu tetapi masuk akal.
Pertanyaan : Ini gambar apa? (anjing mengonggong)
Jawaban : A-a-an-j-j-, eh bukan, a-a..aduh..b-b-bin, ya binatang, binatang..bb..berisik
Pada afasia Broca (afasi ekspresif), penderita memahami arti kata-kata dan
mengetahui bagaimana mereka ingin memberikan jawaban, tetapi mengalami
kesulitan dalam mengucapkan kata-kata. Kata-kata keluar dengan perlahan dan
diucapkan sekuat tenaga, seringkali diselingi oleh ungkapan yang tidak memiliki
arti. Penderita menjawab pertanyaan dengan lancar, tetapi tidak masuk akal.
Pertanyaan : Bagaimana kabarmu hari ini?
Jawaban : Kapan? Mudah sekali untuk melakukannya tapi semua tidak terjadi ketika
matahari terbenam.
Tabel: Jenis Afasia
Penetapan berdasarkan kemampuan
Bicara spontan Pengertian berbahasa Pengulangan kata / kalimat Penyebutan nama
benda
Wernicle
Broca
Konduksi
Global
Anomi Lancar
Tak lancar

Lancar
Tak lancar
Lancar Buruk
Baik
Baik
Buruk
Baik Buruk
Buruk
Buruk
Buruk
Baik Buruk
Buruk
Baik
Buruk
Buruk

Dasar lancar dan tak lancar ialah


Anterior (Broca) Posterior (Wernicle)
Laju curahan
Upaya
Aliran wicara
Isi
Panjang frase
Parafasia Berkurang
Meningkat
Berkurang
Substantif
Pendek
Jarang ada Normal / meningkat
Normal
Meningkat (logorea)
Gramatikal
Panjang
Ada: ketiga tipe
2.13.3. APRAKSIA
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan
ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya
disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis.
Ingatan akan serangkaian gerakan yang diperlukan untuk melakukan tugas yang
rumit hilang; lengan atau tungkai tidak memiliki kelainan fisik yang bisa
menjelaskan mengapa tugas tersebut tidak dapat dilakukan.

Jenis-jenis apraksia ada 5 yaitu apraksia ideal, apraksia ideomotorik, apraksia


kinetik, dressing apraksia, dan apraksia konstruksi.
Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah
menyebabkan kelainan fungsi otak.
2.13.4. AGNOSIA
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan
sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi
normal dari benda tersebut, atau dengan kata lain ketidakmampuan untuk
mengenal dan menginterpretasi rangsang indera.
Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik
atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat
melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut.
Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana
ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali
terjadi segera setelah cedera kepala atau stroke.
Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara
spontan.
2.13.5. AMNESIA
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat
peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu.
Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti.
Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi
sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang
terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma).
Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam
(tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya.
Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat menetap.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari memori
terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus temporalis.
Amnesia menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan
orang, yang terjadi secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu
kali seumur hidup, atau bisa juga berulang. Serangan berlangsung selama 30 menit
sampai 12 jam atau lebih.
Arteri kecil di otak mungkin mengalami penyumbatan sementara sebagai akibat
dari aterosklerosis. Pada penderita muda, sakit kepala migren (yang untuk
sementara waktu menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak) bisa
menyebabkan anemia menyeluruh sekejap. Peminum alkohol atau pemakai obat
penenang dalam jumlah yang berlebihan (misalnya barbiturat dan benzodiazepin),
juga bisa mengalami serangan ini.
Penderita bisa mengalami kehilangan orientasi ruang dan waktu secara total serta
ingatan akan peristiwa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya.
Setelah suatu serangan, kebingungan biasanya akan segera menghilang dan
penderita sembuh total.

Alkoholik dan penderita kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang
disebut sindroma Wernicke-Korsakoff. Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut
(sejenis ensefalopati) dan amnesia yang berlangsung lama. Kedua hal tersebut
terjadi karena kelainan fungsi otak akibat kekurang vitamin B1 (tiamin).
Mengkonsumsi sejumlah besar alkohol tanpa memakan makanan yang
mengandung tiamin menyebabkan berkurangnya pasokan vitamin ini ke otak.
Penderita kekurangan gizi yang mengkonsumsi sejumlah besar cairan lainnya atau
sejumlah besar cairan infus setelah pembedahan, juga bisa mengalami ensefalopati
Wernicke.
Penderita ensefalopai Wernicke akut mengalami kelainan mata (misalnya
kelumpuhan pergerakan mata, penglihatan ganda atau nistagmus), tatapan
matanya kosong, linglung dan mengantuk. Untuk mengatasi masalah ini biasanya
diberikan infus tiamin. Jika tidak diobati bisa berakibat fatal.
Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Jika serangan
ensefalopati terjadi berulang dan berat atau jika terjadi gejala putus alkohol, maka
amnesia Korsakoff bisa bersifat menetap. Hilangnya ingatan yang berat disertai
dengan agitasi dan delirium.
Penderita mampu mengadakan interaksi sosial dan mengadakan perbincangan
yang masuk akal meskipun tidak mampu mengingat peristiwa yang terjadi
beberapa hari, bulan atau tahun, bahkan beberapa menit sebelumnya.
Amnesia Korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arrest
atau ensefalitis akut. Pemberian tiamin kepada alkoholik kadang bisa memperbaiki
ensefalopati Wernicke, tetapi tidak selalu dapat memperbaiki amnesi Korsakoff. Jika
pemakaian alkohol dihentikan atau penyakit yang mendasarinya diobati, kadang
kelainan ini menghilang dengan sendirinya. (8
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim._____. Cedera Kepala: Penatalaksanaan Fase Akut.
http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/16PenatalaksanaanFaseAkut077.pdf/16Pe
natalaksanaanFaseAkut077.html
2. Arif, et al, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta.
3. Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC,
Jakarta.
4. Basuki, Endro, Sp.BS,dr; 2003, Materi Pelatihan GELS (General Emergency Life
Support), Tim Brigade Siaga Bencana (BSB), Jogjakarta.
5. Sari, et al. 2005. Chirurgica Re-Package+ Edition. Jogjakarta, Tosca Enterprise.
6. http://www.fleshandbones.com/readingroom/pdf/883.pdf
7. http://www.boa.ac.uk/PDF%20files/NICE/NICE%20head%20injury
%20guidelines.pdf
8. Harsono, 2000. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta, Gajah Mada University Press.
9. Morales, D. 2005. Brain Contusion. www.emedicine.com
10. McDonald, D.K., 2006. Epidural Hematoma. www.emedicine.com

11. Wagner, A.L., 2005. Subdural Hematoma. www.emedicine.com


12. Gershon, A. 2005. Subarachnoid Hematoma. www.emedicine.com
Sani Rachman
Soleman

dr. Sani Rachman's House Bloggerized by FalconHive | Wordpress Templates


Sponsored by Blogger Styles

You might also like