You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Dampak keberhasilan ini sejalan dengan tujuan pembangunan nasional bidang kesehatan

yang tertuang dalam undang-undang No 23 Tahun 1992 yakni tercapainya derajat kesehatan
individu atau masyarakat secara optimal. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pada
saat ini berdampak pada keberhasilan pembangunan kesehatan, terutama pada meningkatnya
umur harapan hidup yang mana menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia.1 Hasil
Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan
jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni mencapai 18,1 juta jiwa pada tahun 2010
atau 9,6 persen dari jumlah penduduk. Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMN) Kemkes tahun 2014, Umur Harapan Hidup (UHH) manusia Indonesia semakin
meningkat dimana diharapkan terjadi peningkatan UHH dari 70,6 tahun pada tahun 2010
menjadi 72 tahun pada tahun 2014 yang akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur usia
penduduk. Dengan meningkatnya jumlah Lansia maka akan membutuhkan penanganan yang
serius karena secara alamiah Lansia itu mengalami kemunduran, baik secara fisik, biologi,
maupun psikologis. Menurunnya fungsi berbagai organ tubuh akan membuat Lansia menjadi
rentan terhadap penyakit yang bersifat akut atau kronis, keadaan ini akan membuat
meningkatnya presentase keterbatasan fisik pada lanjut usia, Selain itu masih banyak Lansia
yang mengalami ketergantungan fisik, tidak dapat lagi melakukan aktivitas sehari-hari sendiri
oleh karena adanya penyakit. Berdasarkan data Riskedas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007.
Penyebab kematian pada usia lanjut bergeser ke penyakit degeneratif.1,2
Penuaan penduduk dunia di negara berkembang dan negara maju sebenarnya merupakan
indikator meningkatnya kesehatan global. Jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia pada tahun
1990 sebesar 11,3 juta jiwa (6,4%) meningkat menjadi 15,3 juta (7,4%) pada tahun 2000.
Kemudian pada tahun 2012, persentase penduduk lansia adalah 7,56%. Pada tahun 2020
diperkirakan jumlah lansia akan meningkat menjadi 28,8 juta atau 11,34% dari total jumlah
penduduk.2

Stroke adalah disfungsi neurologis yang umum dan timbul secara mendadak sebagai
akibat dari adanya gangguan suplai darah ke otak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah
otak yang terganggu (WHO, 1989).3
1.2.

Tujuan
Dengan adanya program kunjungan ke pasien, diharapkan Puskesmas dapat mengetahui

lebih banyak dan mendalam mengenai setiap pasien yang selama ini menggunakan layanan
pengobatan di Puskesmas. Dengan demikian pula Puskesmas dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien-pasien yang termasuk dalam ruang lingkup daerah kerja Puskesmas. Sehingga tujuan
kerja Puskesmas sebagai lembaga pelayanan kesehatan menjadi semakin terpenuhi.
1.3.

Metode
Program ini dilaksanakan dengan metode observasi dan survey, dikarenakan program ini

melakukan pendekatan langsung ke pasien dan mengadakan kunjungan ke rumah pasien yang
bersangkutan, serta memberikan beberapa pertanyaan yang menyangkut dengan kesehatan pasien
dan keluarganya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Stroke adalah disfungsi neurologis yang umum dan timbul secara mendadak sebagai akibat dari
adanya gangguan suplai darah ke otak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah otak yang
terganggu (WHO, 1989).3
2.2. Etiologi
Penyebab stroke antara lain adalah aterosklerosis (trombosis), embolisme, hipertensi yang
menimbulkan perdarahan intraserebral dan ruptur aneurisme sakular. Stroke biasanya disertai
satu atau beberapa penyakit lain seperti hipertensi, penyakit jantung, peningkatan lemak dalam
darah, diabetes mellitus atau penyakit vascular perifer.3
2.3. Klasifikasi
Klasifikasi Berdasarkan Penyebab:
o Stroke Iskemik
Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis atau bekuan darah yang
telah menyumbat suatu pembuluh darah.. Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di
sepanjang jalur arteri yang menuju ke otak. Misalnya suatu ateroma (endapan lemak) bisa
terbentuk di dalam arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini
sangat serius karena setiap arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian
besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah,
kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil.
o Stroke Hemoragik
Pendarahan di antara bagian dalam dan luar lapisan pada jaringan yang melindungi otak
(subarachnoid hemorrhage). Terdapat dua jenis utama pada stroke yang mengeluarkan darah :
(intracerebral hemorrhage dan (subarachnoid hemorrhage. Gangguan lain yang meliputi
pendarahan di dalam tengkorak termasuk epidural dan hematomas subdural, yang biasanya
disebabkan oleh luka kepala. Gangguan ini menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak
dipertimbangkan sebagai stroke.3
3

2.4. Faktor Risiko3


Hipertensi. Kenaikan tekanan darah 10 mmHg saja dapat meningkatkan resiko terkena

stroke sebanyak 30%. Merupakan faktor yang dapat diintervensi.


Arteriosklerosis, hiperlipidemia, merokok, obesitas, diabetes melitus, usia lanjut,

penyakit jantung, penyakit pembuluh darah tepi, hematokrit tinggi, dan lain-lain.
Obat-obatan yang dapat menimbulkan addiksi (heroin, kokain, amfetamin) dan obatobatan kontrasepsi, dan obat-obatan hormonal yang lain, terutama pada wanita perokok

atau dengan hipertensi.


Kelainan-kelainan hemoreologi darah, seperti anemia berat, polisitemia, kelainan

koagulopati, dan kelainan darah lainnya.


Beberapa penyakit infeksi, misalnya lues, rematik (SLE), herpes zooster, juga dapat
merupakan faktor resiko walaupun tidak terlalu tinggi frekuensinya.

2.5. Patofisiologi
Trombosis (penyakit trombo oklusif) merupakan penyebab stroke yang paling sering.
Arteriosclerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama
trombosis selebral. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi, sakit kepala adalah awitan
yang tidak umum. Beberapa pasien mengalami pusing, perubahan kognitif atau kejang
dan beberapa awitan umum lainnya. Secara umum trombosis serebral tidak terjadi secara
tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia atau parestesia pada setengah

tubuh dapat mendahului awitan paralysis berat pada beberapa jam atau hari.3
Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada pada lapisan intima arteria besar.
Bagian intima arteria sereberi menjadi tipis dan berserabut , sedangkan sel sel ototnya
menghilang. Lamina elastika interna robek dan berjumbai, sehingga lumen pembuluh
sebagian terisi oleh materi sklerotik tersebut. Plak cenderung terbentuk pada percabangan
atau tempat tempat yang melengkung. Trombi juga dikaitkan dengan tempat tempat
khusus tersebut. Pembuluh pembuluh darah yang mempunyai resiko dalam urutan yang
makin jarang adalah sebagai berikut : arteria karotis interna, vertebralis bagian atas dan
basilaris bawah. Hilangnya intima akan membuat jaringan ikat terpapar. Trombosit
menempel pada permukaan yang terbuka sehingga permukaan dinding pembuluh darah
menjadi kasar. Trombosit akan melepasakan enzim, adenosin difosfat yang mengawali
mekanisme koagulasi. Sumbat fibrinotrombosit dapat terlepas dan membentuk emboli,
atau dapat tetap tinggal di tempat dan akhirnya seluruh arteria itu akan tersumbat dengan
4

sempurna.3
Embolisme. Penderita embolisme biasanya lebih muda dibanding dengan penderita
trombosis. Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu trombus dalam jantung,
sehingga masalah yang dihadapi sebenarnya adalah perwujudan dari penyakit jantung.
Setiap bagian otak dapat mengalami embolisme, tetapi embolus biasanya embolus akan
menyumbat bagian bagian yang sempit.. tempat yang paling sering terserang embolus

sereberi adalah arteria sereberi media, terutama bagian atas.3


Perdarahan serebri: perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab
utama kasus GPDO (Gangguan Pembuluh Darah Otak) dan merupakan sepersepuluh dari
semua kasus penyakit ini. Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan oleh ruptura arteri
serebri. Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan /atau subaraknoid, sehingga
jaringan yang terletak di dekatnya akan tergeser dan tertekan. Darah ini mengiritasi
jaringan otak, sehingga mengakibatkan vasospasme pada arteria di sekitar perdarahan.
Spasme ini dapat menyebar ke seluruh hemisper otak dan sirkulus wilisi. Bekuan darah
yang semula lunak menyerupai selai merah akhirnya akan larut dan mengecil. Dipandang
dari sudut histologis otak yang terletak di sekitar tempat bekuan dapat membengkak dan
mengalami nekrosis.3

2.6. Diagnosis
Stroke adalah suatu keadaan emergensi medis. Setiap orang yang diduga mengalami
stroke seharusnya segera dibawa ke fasilitas medis untuk evaluasi dan terapi. Pertama-tama,
dokter akan menanyakan riwayat medis pasien jika terdapat tanda-tanda bahaya sebelumnya dan
melakukan pemeriksaan fisik. Jika seseorang telah diperiksa seorang dokter tertentu, akan
menjadi ideal jika dokter tersebut ikut berpartisipasi dalam penilaian. Pengetahuan sebelumnya
tentang pasien tersebut dapat meningkatkan ketepatan penilaian.3
Hanya karena seseorang mempunyai gangguan bicara atau kelemahan pada satu sisi
tubuh tidaklah sinyal kejadian stroke. Terdapat banyak kemungkinan lain yang mungkin
bertanggung jawab untuk gejala ini. Kondisi lain yang dapat serupa stroke meliputi: Tumor otak,
abses otak (kumpulan nanah di dalam otak karena bakteri atau jamur), sakit kepala migraine,
perdarahan otak baik secara spontan atau karena trauma, meningitis atau encephalitis, overdosis
karena obat tertentu, ketidakseimbangan calcium atau glukosa dalam tubuh dapat juga
menyebabkan perubahan sistem saraf yang serupa dengan stroke.
5

Pada evaluasi stroke akut, banyak hal akan terjadi pada waktu yang sama. Pada saat
dokter mencari informasi riwayat pasien dan melakukan pemeriksaan fisik, perawat akan mulai
memonitor tanda-tanda vital pasien, melakukan tes darah dan melakukan pemeriksaan EKG
( elektrokardiogram).
Bagian dari pemeriksaan fisik yang menjadi standar adalah penggunaan skala stroke. The
American Heart Association telah mempublikasikan suatu pedoman pemeriksaan sistem saraf
untuk membantu penyedia perawatan menentukan berat ringannya stroke dan apakah intervensi
agresif mungkin diperlukan.
2.7. Penatalaksanaan
a. Stadium Hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan tindakan
resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada
stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian
cairan dekstrosa atau salin dalam H2O.3
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap
dan jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk
elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah.
Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan mental kepada pasien
serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap tenang.
b. Stadium Akut
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktorfaktor etiologik maupun penyulit. Juga
dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis serta telaah sosial untuk
membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut
dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang dapat
dilakukan keluarga.3

Stroke Iskemik
Terapi umum:3

Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu bidang; ubah posisi
6

tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil.
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil
analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan
antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan

(sebaiknya dengan kateter intermiten).


Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL dan
elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik.
Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan

menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui selang nasogastrik.


Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg%
dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula
darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv

sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya.


Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala.
Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik 220 mmHg,
diastolik 120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) 130 mmHg (pada 2 kali
pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal
jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan
obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat

ACE, atau antagonis kalsium.


Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mm Hg, diastolik 70 mmHg, diberi
NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama
8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah
sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 g/kg/menit sampai tekanan darah

sistolik 110 mmHg.


Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelanpelan selama 3 menit, maksimal 100 mg
per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika
kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan

peroral jangka panjang.


Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25
sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum
memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus
dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif,
7

dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.3


Terapi khusus:
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan anti koagulan, atau
yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant tissue Plasminogen Activator). Dapat
juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam (jika didapatkan afasia).3
Stroke Hemoragik
Terapi umum:3

Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 mL,
perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung

memburuk.
Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila
tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume
hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera diturunkan
dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam
10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-

25 mg per oral.
Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi kepala dinaikkan 300, posisi
kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik),

dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg).


Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak lambung diatasi dengan
antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton; komplikasi saluran napas
dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas.3

Terapi khusus:3

Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah


mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian
memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat
perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar
>60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi.
8

Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau


tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya
adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM).

Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi wicara, dan bladder
training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan
penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan tujuan kemandirian pasien,
mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif primer dan sekunder.3
Terapi fase subakut:
Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya.
Penatalaksanaan komplikasi,
Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi wicara, terapi
kognitif, dan terapi okupasi,
Prevensi sekunder
Edukasi keluarga dan Discharge Planning
2.8. Pencegahan
Pencegahan yang dimaksud mencakup pencegahan primer, sekunder, dan tersier,
pencegahan primer dilakukan pada lansia sehat, terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit, dan
promosi kesehatan. Jenis pelayanan pencegahan primer adalah program imunisasi (seperti
influenza), konseling untuk berhenti merokok dan minum alkohol, dukungan nutrisi, kegiatan
fisik ringan yang sesuai, keamanan di dalam dan sekitar rumah, manajemen stress, dan
penggunaan medikasi yang tepat.
Kemudian pencegahan sekunder meliputi pemeriksaan terhadap penderita yang belum
menunjukkan gejala klinis dan memiliki faktor risiko. Jenis pelayanan pencegahan sekunder
antara lain kontrol hipertensi, deteksi dini dan terapi kanker, dan skrining terdiri dari
pemeriksaan rektal, mamogram, papsmear, dan sebagainya.
Dan pencegahan tersier adalah pencegahan yang dilakukan kepada penderita yang sudah
menunjukkan gejala penyakit atau kecacatan. Tujuannya dalah mencegah bertambahnya
kecacatan, ketergantungan, dan menyediakan sarana perawatan bertahap dimulai dari perawatan
di rumah sakit, rehabilitasi di rawat jalan, dan pelayanan perawatan jangka panjang.

BAB III
MATERI
Puskesmas

: Cikampek

Nomor Register Pasien

: 342

Data Riwayat Keluarga:


I.

Identitas Pasien:
a. Nama
b. Umur
c. Jenis Kelamin

: Ny. J
: 74 tahun
: Perempuan
10

d. Pekerjaan
e. Pendidikan
f. Alamat
II.

III.

IV.

V.

VI.

: Ibu Rumah Tangga


: SMP
: Jl. Rawa Bahagia III, RT5/RW02

Riwayat Biologis Keluarga


a. Keadaan kesehatan sekarang
b. Kebersihan perorangan
c. Penyakit yang sering diderita
d. Penyakit keturunan
e. Penyakit kronis/menular
f. Kecacatan anggota keluarga
g. Pola makan
h. Pola istirahat
i. Jumlah anggota keluarga
Psikologis Keluarga
a. Kebiasaan buruk
b. Pengambilan keputusan
c. Ketergantungan obat
d. Tempat mencari pelayanan kesehatan
e. Pola rekreasi
Keadaan Rumah/ Lingkungan
a. Jenis bangunan
b. Lantai rumah
c. Luas rumah
d. Penerangan
e. Kebersihan
f. Ventilasi
g. Dapur
h. Jamban keluarga
i. Sumber air minum
j. Sumber pencemaran air
k. Pemanfaatan pekarangan
l. Sistem pembuangan air limbah
m. Tempat pembuangan sampah
n. Sanitasi lingkungan
Spiritual Keluarga
a. Ketaatan beribadah
b. Keyakinan tentang kesehatan

: buruk
: baik
: pegal-pegal
: hipertensi
: tidak ada
: tidak ada
: baik
: baik
: 3 orang

: tidak ada
: keluarga (secara musyawarah)
: tidak ada
: Puskesmas, Alternatif,
: Kurang
: Permanen
: keramik di kamar ,dapur dan ruang tamu
: 35 m2 (1 tingkat)
: Baik (4 lampu)
: cukup
: cukup
: ada, cukup baik
: ada
: air gallon isi ulang
: tidak ada
: tidak ada
: ada
: ada
: cukup baik

: baik
: kurang (malas ke puskesmas/ RS)

Keadaan Sosial Keluarga


11

a.
b.
c.
d.
e.
VII.

VIII.

Tingkat pendidikan
Hubungan antar anggota keluarga
Hubungan dengan orang lain
Kegiatan organisasi sosial
Keadaan ekonomi

: sedang
: baik
: baik
: baik
: sedang

Kultural Keluarga
a. Adat yang berpengaruh
b. Lain-lain

: Sunda
:-

Daftar Anggota Keluarga


Status
No Nama

Hubungan

Umur

L/P Pernikaha
n

IX.
X.
XI.

Totok

2
3
4

Julehah
Saeful
Rizki

Kepala
Keluarga
Istri
Anak 1
Anak 2

Pendidika
n

Pekerjaan

75 th

Menikah

D3

Pensiunan

74 th
47 th
39 th

P
L
P

Menikah
Menikah
Menikah

SMP
D3
S1

I.R.T.
karyawan
karyawan

Keluhan Utama

: Tubuh sebelah kiri sulit digerakkan sejak 2 tahun lalu

Keluhan Tambahan

: Nafsu makan menurun, aktifitas menurun

Riwayat Penyakit Dahulu :

OS terkena stroke 2 tahun lalu, lumpuh pada seluruh tubuh bagian kiri, tangan dan kaki sulit
digerakkan, bicara sudah mulai membaik, namun aktifitas menjadi terhambat, memerlukan
bantuan orang lain dalam aktifitas sehari-hari. Tidak minum obat teratur.
XII.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Hipertensi (+), DM(-)


XIII.

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum

:
: Tampak lemas

Kesadaran

: Compos mentis

Berat badan

: 40 kg
12

Tinggi badan

: 149 cm

Tanda vital :
Tekanan darah

: 160/100 mmHg

Nadi

: 78x/mnt

Frekuensi nafas

: 20x/mnt

Suhu

: 36.9oC

Pemeriksaan Fisik :
Kepala : Normocephali
Mata : Pupil isokor diameter 4mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak
langsung (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-)
THT : dalam batas normal
Leher : KGB tidak membesar, Tiroid tidak membesar, JVP 5+3 cm
Thorax : cor: BJ I/II murni regular m(-) g(-)
Pulmo : SN Vesikuler wh(-/-) Rh (-/-)
Abdomen: Bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas:
Inspeksi : ekstrimitas kiri tampak lebih kurus daripada kanan
Palpasi : nyeri tekan -/-, Motorik lengan dan tungkai kiri
Perkusi : reflex fisiologis (+/+) reflex patologis (-/-)
XIV.
XV.
XVI.

Diagnosis Penyakit
:
Hemiparesis Sinistra e.c. Post Stroke
Diagnosis Keluarga

XVII.
a.
b.
c.
d.
XVIII.

Pemeriksaan Penunjang
:
Diusulkan pemeriksaan kadar gula darah, pemeriksaan kadar lipid

: Tidak Ada

Anjuran Penatalaksanaan Penyakit:


Promotif
: Hidup sehat demi meningkatan daya tahan tubuh,
Preventif
: Rutin mengikuti posyandu Lansia untuk timbang dan tensi
Tetap beraktivitas fisik ringan dan bersosialisasi
Makan secara teratur dan bergizi
Kuratif
: Berobat ke Puskesmas
Rehabilitatif
: Mengikuti rehabilitasi fisik di rumah sakit

Prognosis:
a. Penyakit
b. Keluarga
c. Masyarakat

: Dubia Ad malam
: Dubia Ad Bonam
: Dubia Ad Bonam
13

XIX.

Resume :
Ny.J, 74 tahun, dengen keluhan utama tubuh sebelah kiri sulit digerakkan sejak 2 tahun lalu,
dan keluhan tambahan nafsu makan menurun, aktifitas menurun. OS terkena stroke 2 tahun
lalu, lumpuh pada seluruh tubuh bagian kiri, tangan dan kaki sulit digerakkan, bicara sudah
mulai membaik, namun aktifitas menjadi terhambat, memerlukan bantuan orang lain dalam
aktifitas sehari-hari. Tidak minum obat teratur. Terdapat riawayat keluarga hipertensi (+).
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah 160/100 mmHg, dan pada pemeriksaan
ekstrimitas terlihay ekstrimitas kiri tampak lebih kurus daripada kanan, nyeri tekan -/-,
motorik lengan dan tungkai kiri .

BAB IV
PEMBAHASAN & PENYELESAIAN MASALAH
4.1 Anjuran Penatalaksanaan Penyakit
Sesuai dengan pendekatan dokter keluarga, maka penatalaksaan terbagi atas promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif
14

Pada tingkat promotif, petugas kesehatan Puskesmas bisa memberikan pasien


pengetahuan tentang penyakit degeneratif menggunakan metode penyuluhan perorangan
ataupun kelompok serta melibatkan kader posyandu lansia. Tujuan promotif ialah
memperlengkapi pasien dengan informasi kesehatan walau dengan keterbatasan tingkat
pendidikan, keterbatasan ekonomi, & sarana kesehatan.
Pada tingkat preventif, seorang dokter keluarga harus mendorong dan mengajak keluarga
pasien ikut serta dalam menjaga kesehatan. Dalam hal ini dengan mendorong dan membawa
pasien ke Posyandu Lansia untuk mengikuti program pencatatan, pemeriksaan tensi dan berat
badan setiap bulan, kegiatan olah raga bersama, serta kegiatan kebersamaan lainnya. Dengan
terpantaunya keadaan umum dan tanda-tanda vital lansia, serta terjaganya aktivitas dan
produktivitas lansia, diharapkan kesehatan dan kualitas hidup lansia bisa tetap dipertahankan
serta memberi semangat hidup menikmati masa tua bersama-sama lansia lainnya.
Pada tingkat kuratif dilaksanakan apabila terdeteksi faktor risiko seperti tanda-tanda
hipertensi atau tanda-tanda diabetes dari hasil pemeriksaan di posyandu lansia atau dari keluhan
langsung yang membawa lansia tersebut memeriksakan diri ke puskesmas setempat. Pemberian
terapi yang sesuai, baik medikamentosa ataupun non medikamentosa diberikan sesuai dengan
diagnosis klinis.
Pada tahap rehabilitatif, dilakukan terutama bagi lansia yang sudah mengalami penyakit
yang menurunkan aktivitas maupun kemandiriannya. Seperti stroke, yang sering meninggalkan
gejala sisa seperti kelumpuhan anggota badan, harus di rehabilitasi dengan latihan fisik yang
sesuai untuk menjaga dan melatih otot agar dapat digerakkan seperti sebelumnya. Pelayanan
rehabilitatif juga sangat penting untuk lansia yang tidak bisa bangkit dari tempat tidur, baik
karena depresi ataupun kelumpuhan akibat penyakit organik lainnya. Tujuannya adalah
mencegah dekubitus yang seringkali menyebabkan penyakit baru yang semakin memperburuk
keadaan umum lansia tersebut.
4.2 Penyelesaian Masalah
Pasien sudah mengalami penurunan aktifitas sehingga tidak dapat hidup mandiri. Hal ini
terjadi karena pasien tidak menjalani fisioterapi yang membuat gejala sisa dari stroke yang
pernah dialami masih menetap. Oleh sebab itu, pasien perlu dimotivasi untuk kembali ke dalam
program rehabilitasi, baik dengan cara merujuk pasien ke rumah sakit terdekat atau
menganjurkan pasien pergi ke pusat rehabilitasi tertentu yang dapat dijangkau oleh pasien.

15

Edukasi kepada pasien dan keluarga bahwa kelemahan pada ekstrimitas merupakan sisa dari
stroke perlu ditekankan supaya baik pasien ataupun keluarga memiliki kesadaran bahwa
kondisi yang dialami merupakan sisa dari penyakit dan dapat dikurangi efek sampingnya.
Pasien juga harus tetap dimotivasi untuk menambah semangat hidup dengan cara rutin
mengikuti posyandu lansia untuk memiliki kesempatan bersosialisasi dengan teman sebaya.
Rutin mengikuti posyandu lansia juga membantu memantau kondisi kesehatan pasien seperti
tekanan darah, gula darah, dan berat badan setiap bulannya supaya penyakit degeneratif dapat
terdeteksi sejak dini dan mencegah berulangnya serangan stroke.
Pasien ini tidak rutin control dan tidak meminum obat teratur, sehingga disarankan agar
pasien melakukan pemeriksaan kesehatan lengkap dan kembali mengkonsumsi obat sesuai
dengan penyakit degenerative yang diderita pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Puskesmas Santun Lanjut Usia bagi petugas Kesehatan. Direktorat bina kesehatan
komunitas ditjen bina kesehatan masyarakat kementrian kesehatan RI. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI. 2010.
16

2. Depkes RI. Buku Pedoman Pelayanan Kesehatan Usila tahun 2000. Jakarta: Direktorat Jiwa
Depkes RI. 2000.
3. American Heart Association. Stroke. Journal of The American Heart Association.:
2011;42:517-584. Dipublikasi online pada tanggal: 2 Desember 2010. Diunduh dari:
http://stroke.ahajournals.org/content/42/2/517. Pada tanggal 1 September 2014.

LAMPIRAN

17

You might also like