You are on page 1of 2

ABU AYYUB AL- ANSHARI

Ketika Rasulullah memasuki kota Madinah, unta yang beliau tunggangi


bersimpuh di depan rumah Bani Malik bin Najjar. Maka beliau pun turun dari atasnya
dengan penuh harapan dan kegembiraan.
Salah seorang Muslim tampil dengan wajah berseri-seri karena kegembiraan yang
membuncah. Ia maju lalu membawa barang muatan dan memasukkannya, kemudian
mempersilakan Rasulullah masuk ke dalam ruma. Nabi SAW pun mengikuti sang
pemilik rumah.
Siapakah orang beruntung yang dipilih sebagai tempat persinggahan Rasulullah
dalam hijrahnya ke Madinah ini, di saat semua penduduk mengharapkan Nabi mampir
dan singgah di rumah-rumah mereka? Dialah Abu Ayub Al-Anshari Khalid bin Zaid,
cucu Malik bin Najjar.
Pertemuan ini bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya, sewaktu utusan Madinah
pergi ke Makkah untuk berbaiat dalam baiat Aqabah Kedua, Abu Ayub Al-Anshari
termasuk di antara 70 orang Mukmin yang mengulurkan tangan kanan mereka ke
tangan kanan Rasulullah serta menjabatnya dengan kuat, berjanji setia dan siap
menjadi pembela.
Dan kini, ketika Rasulullah bermukim di Madinah dan menjadikan kota itu sebagai
pusat agama Allah, maka nasib mujur yang sebesar-besarnya telah terlimpahkan
kepada Abu Ayub, karena rumahnya dijadikan tempat pertama yang didiami
Rasulullah. Beliau akan tinggal di rumah itu hingga selesainya pembangunan masjid
dan bilik beliau di sampingnya.
Sejak orang-orang Quraisy bermaksud jahat terhadap Islam dan berencana
menyerang Madinah, sejak itu pula Abu Ayub mengalihkan aktifitasnya dengan
berjihad di jalan Allah. Ia turut bertempur dalam Perang Badar, Uhud dan Khandaq.
Pendek kata, hampir di tiap medan tempur, ia tampil sebagai pahlawan yang siap
mengorbankan nyawa dan harta bendanya.
Semboyan yang selalu diulang-ulangnya, baik malam ataupun siang, dengan suara
keras atau perlahan adalah firman Allah SWT,"Berjuanglah kalian, baik di waktu

lapang, maupun waktu sempit..." (QS At-Taubah: 41).


Sewaktu terjadi pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Abu Ayub berdiri di pihak Ali
tanpa sedikit pun keraguan. Dan kala Khalifah Ali bin Abi Thalib syahid, dan khilafah
berpindah kepada Muawiyah, Abu Ayub menyendiri dalam kezuhudan. Tak ada yang

diharapkannya dari dunia selain tersedianya suatu tempat yang lowong untuk
berjuang dalam barisan kaum Muslimin.
Demikianlah, ketika diketahuinya balatentara Islam tengah bergerak ke arah
Konstantinopel, ia segera memegang kuda dan membawa pedangnya, memburu syahid
yang sejak lama ia dambakan.
Dalam pertempuran inilah ia menderita luka berat. Ketika komandannya datang
menjenguk, nafasnya tengah berlomba dengan keinginannya menghadap Ilahi. Maka
bertanyalah panglima pasukan waktu itu, Yazid bin Muawiyah, "Apakah keinginan
anda wahai Abu Ayub?"
Abu Ayub meminta kepada Yazid, bila ia telah meninggal agar jasadnya dibawa
dengan kudanya sejauh jarak yang dapat ditempuh ke arah musuh, dan di sanalah ia
akan dikebumikan. Kemudian hendaklah Yazid berangkat dengan balatentaranya
sepanjang jalan itu, sehingga terdengar olehnya bunyi telapak kuda Muslimin di atas
kuburnya, dan diketahuinya bahwa mereka telah berhasil mencapai kemenangan.
Dan sungguh, wasiat Abu Ayub itu telah dilaksanakan oleh Yazid. Di jantung kota
Konstantinopel yang sekarang yang sekarang bernama Istanbul, di sanalah terdapat
pekuburan laki-laki besar.
Hingga sebelum tempat itu dikuasai orang-orang Islam, orang Romawi dan penduduk
Konstantinopel memandang Abu Ayub di makamnya itu sebagai orang suci. Dan yang
mencengangkan, para ahli sejarah yang mencatat peristiwa-peristiwa itu berkata,
"Orang-orang Romawi sering berkunjung dan berziarah ke kuburnya dan meminta
hujan dengan perantaraannya, bila mereka mengalami kekeringan."
Jasad Abu Ayub Al-Anshari masih terkubur di sana, namun ringkikan kuda dan
gemerincing pedang tak terdengar lagi. Waktu telah berlalu, dan kapal telah
berlabuh di tempat tujuan. Abu Ayub telah menghadap Ilahi di tempat yang ia
dambakan.

You might also like