You are on page 1of 18

Kedaruratan Onkologi

Pengantar
Kedaruratan onkologi adalah suatu keadaan kondisi akut yang disebabkan oleh kanker
atau tindakan, yang membutuhkan intervensi cepat untuk menghindari kerusakan permanen
yang parah atau kematian. Secara umum kedaruratan onkologis menunjukkan adanya
keganasan yang telah lanjut, dimana keadaan darurat tersebut terjadi akibat komplikasi dari
tumor metastasenya, dan lebih jarang lagi sebagai akibat tumor primer
Neoplasma ganas dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa yang
membutuhkan diagnosis dan terapi darurat, sehingga assesment yang lengkap dan detail dari
keadaan tumor ataupun metastasenya perlu dilakukan, untuk melakukan managemen secara
komprehensif, sehingga bisa memberikan hasil akhir yang optimal, meskipun hanya untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita. Perawatan pasien kanker dengan berbagai kondisi
darurat menyajikan tantangan yang tidak hanya untuk ahli onkologi, tetapi juga untuk dokter
yang terlibat dalam pengobatan darurat di layanan tingkat primer.
Keadaan darurat pada pasien kanker dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok
yang berbeda: 1. Darurat struktural atau obstruktif disebabkan oleh space-occupying tumor,
2. Metabolisme atau masalah hormonal, 3. Komplikasi sekunder yang timbul dari efek
pengobatan.
1. Darurat struktural atau obstruktif disebabkan oleh space-occupying tumor.
Yang termasuk kelainan ini adalah : sindrom vena kava superior, perikardial
tamponade, kompresi saraf tulang belakang, peningkatan tekanan intrakranial, obstruksi
saluran kemih, obstruksi hemoptysis dan saluran pernapasan.
a) Sindrom Vena Cava Superior
Sindrom vena kava superior (SVCS) terjadi akibat dari obstruksi secara parsial
atau

komplit pada aliran darah melalui vena cava superior ke atrium kanan,

menyebabkan penurunan berat pada vena balik dari kepala, leher dan ekstremitas atas.
Obstruksi mungkin akibat dari suatu

kompresi, invasi, trombosis atau fibrosis

pembuluh. Kondisi yang menybabkan SVCS diantaranya adalah tumor ganas, seperti
kanker paru-paru, limfoma dan tumor metastatik yang bertanggung jawab > 90% dari
semua kasus SVCS. Kanker paru-paru, terutama small-cell dan squamous-cell,
menyumbang hampir 85% dari semua kasus dan penyebab kedua adalah Limfoma
ganas, terutama dari histologi non-Hodgkin. Penyebab non-ganas termasuk struma
1

retrosternal, sarkoidosis, tuberkulosis, postirradiation mediastinum atau fibrosis


idiopatik. Penyebab lain meningkatnya SVCS adalah seringnya penggunaan kateter
vena sentral jangka panjang pada pasien dengan kanker. Di Indonesia belum
didapatkan data yang lengkap mengenai penyebab SVCS.
Diagnosa: edema muka, adanya kongesti vena vena di leher, lengan atas. Jika
SVC terjadi secara perlahan-lahan, seringkali diagnosa lebih sulit ditegakkan, dan
memerlukan pemeriksaan khusus seperti venografi, radioisotop. CT Scan dengan
bantuan kontras, biasanya dapat memastikan lokasi dari obstruksi, dan kira kira
penyebab obstruksi tersebut. Diagnosa histopatologi/ sitologi, didapatkan dari biopsi
lesi yang dicurigai atau metastasenya, sitologi sputum, bronkoscopi, FNA (untuk
limfoma, tumor paru). Bahkan kadang kadang tindakan yang lebih agresif seperti
torakotomi ataupun mediastinoscopi pun dilakukan. Seringkali tindakan untuk
memastikan diagnosa ditunda agar keadaan darurat penderita dapat diatasi terlebih
dahulu.

Dilatasi vena dinding dada pada sindroma vena cava superior


Terapi sangat tergantung dari etiologi SVCS. Dalam keadaan darurat, (adanya
obstruksi trakea), maka diagnosa etiologi ditangguhkan. Radioterapi dengan dosis
harian yang lebih tinggi merupakan terapi pilihan, (biasanya diberikan 4.0 Gy
perhari), sampai mencapai 30 - 50 Gy. Pada keganasan sistemik, maka kemoterapi
bisa menjadi pilihan, pilihan kemoterapi sangat tergantung pada kecurigaan terhadap
data histopatologi / sitologi ataupun kecurigaan kita. Ketika SVCS terkait dengan
kateter vena sentral, pengangkatan kateter harus dikombinasikan dengan antikoagulan
untuk mencegah embolisasi. Jika SVCS terdeteksi dini, dapat diobati dengan terapi
2

fibrinolitik tanpa pengangkatan kateter. Dosis rendah warfarin (1 mg / hari)


mengurangi timbulnya trombosis-kateter terkait. Stenting vena kava superior juga
dapat memberikan sympto- cepat lega matic dalam beberapa hari pada sebagian besar
pasien, meskipun ini stent harus tetap di pertahankan selama sisa hidup pasien.
Stenting juga dapat diindikasikan pada pasien yang telah gagal dengan kemoterapi
radiasi.
Prognosis pada umumnya dubious ad malam oleh karena adanya SVCS
menunjukan keadaan stadium yang telah lanjut.
b) Tamponade Perikardial
Tamponade perikardial terjadi ketika terjadi penumpukan cairan perikardial
yang menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik. Pada pasien kanker, dua
mekanisme yang dapat menyebabkan akumulasi kelebihan cairan di ruang perikardial
adalah: obstruksi drainase limfatik atau sekresi cairan yang berlebihan dari nodul
tumor pada permukaan perikardial.
Dua pertiga pasien tidak menunjukkan gejala. Gejala yang bisa muncul
adalah: batuk, sesak napas, nyeri toraks, ortopnea, palpitasi, anxietas / gelisah, pusing,
fatique. takikardia, hipotensi, distensi vena jugular (eksterna), pembengkakan
gambaran jantung, suara jantung terdengar lemah dan jauh, aritmia, pericardiac
friction rubs. Radiologi : perubahan contour dari jantung, water bottle heart,
C.T scan, Ekokardiografi, Pericardiosentesis (sitologis, terapeutik).
Terapi pada prinsipnya bersifat paliatif, dengan prognosa rata- rata buruk.
Tamponade perikardial akut dengan ketidakstabilan hemodinamik yang mengancam
jiwa membutuhkan drainase segera. Pericardiocentesis dengan pengenalan agen
sclerosing seperti bleomycin atau tetrasiklin, pembuatan jendela perikardial,
pengupasan perikardial lengkap atau kemoterapi sistemik adalah pengobatan yang
efektif. Radioterapi : terutama untuk lymphoma. Pembedahan dengan pemasangan
kateter intra perikard, sampai terjadi simpisis antara perikard dan epikard.
c) Kompresi saraf tulang belakang
Penekanan pada medulla spinalis sering terjadi pada metastase karsinoma
mamma, paru, prostat, mieloma multiple, limfoma. Seringkali metastase tersebut
terdapat pada epidura, ataupun pada corpus vertebrae, yang kemudian tumbuh
menekan pada medula spinalis, ataupun menimbulkan fraktur kompresi pada vertebra,
dan menekan medula spinalis. Kejadian metastase pada pada tulang belakang sekitar 5
3

10 % dari semua keganasan, dimana 70% adalah osteolitik, 10% osteiblastik dan
20% campuran.
Sering kali gejala dan tanda yang muncul bukan sebagai akibat langsung dari
kompresi medulla spinalis, melainkan sebagai akibat dari para - neoplastic
syndrome. Presentasi klinis MSCC bisa bervariasi tergantung pada tingkat
keparahan, lokasi, dan lamanya kompresi. Gejala awal yang paling umum adalah
nyeri punggung, yang terjadi pada sekitar 90% dari kasus. Sakit punggung adalah
gejala yang umum dan memiliki beberapa penyebab sehingga dokter harus selalu
menjadikan MSCC dalam diagnosis diferensial. Hal ini juga penting untuk diingat
bahwa MSCC bisa menjadi presentasi awal keganasan. Nyeri punggung yang
terlokalisir dan nyeri akibat metastasis tulang belakang adalah yang paling umum dan
gejala awal kompresi medula spinalis. Nyeri terutama karena keterlibatan tulang
belakang tapi setelah beberapa waktu itu mungkin disebabkan oleh traksi radikuler
akibat kompresi cord dan memiliki beberapa karakteristik khusus yang harus diakui
oleh ahli klinisi. Nyeri ini dapat meningkatkan dalam semalam, tidak membaik
dengan analgesik yang biasa dan mungkin lebih buruk dengan sikap berbaring atau
dengan manuver meningkatnya tekanan dalam ruang epidural: seperti batuk, bersin
atau mengejan.
Diagnosa ditegakkan dengan : pemeriksaan foto polos x-ray, untuk melihat
proses osteolitik, atau osteoblastik, fraktur kompresi. Foto polos tidak akan
mendeteksi massa paraspinous yang telah memasuki foramen intervertebralis jika
tidak

ada

erosi tulang, dan mereka memiliki tingkat false-negatif 10% sampai 17%, CT Scan,
Myelografi, pemeriksaan dengan bahan radioisotope, standar emas untuk diagnosis
MSCC adalah MRI, dengan sensitivitas 93%, spesifisitas 97%, dan akurasi
keseluruhan 95% Pemeriksaan CSF tergantung ada tidaknya indikasi dan
kontraindikasi.

MRI dengn kompresi tulang belakang


Pengobatan definitif sangat tergantung pada stabilitas tulang belakang, tingkat
kompresi, dan radiosensitivitas tumor. Pemberian Corticosteroid (dosis tinggi :
dexamethasone 4-10 mg / 6 jam), merupakan komponen integral dari terapi awal yang
dapat mengurangi edema peritumoral dan memperbaiki fungsi neurologis.
Pembedahan dekompresi / laminektomi harus dipertimbangkan jika terjadi
ketidakstabilan tulang belakang, biasanya dengan approach posterior, mengingat
penyebabnya adalah kolapsnya corpus vertebrae yang terletak didepan medulla
spinalis. Sehingga pada laminektomi dekompresi pada bagian posterior vertebra akan
lebih mengurangi stabilitas vertebra yang terkena. Pada kompresi didaerah servikal,
maka dekompresi cukup memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya
paralise pada otot otot pernafasan. Pada keadaan dimana tumor primer tidak diketahui,
maka laminektomi dan pengambilan jaringan tumor, dapat bersifat paliatif dan
sekaligus diagnostic. Tujuan dari pengobatan kompresi sumsum tulang belakang
adalah untuk menghilangkan rasa sakit dan untuk mempertahankan atau
mengembalikan fungsi neurologis. Radioterapi bisa dilakukan meskipun hal ini
bersifat paliatif, adapun dasar pemilihan radioterapi adalah pada umumnya tumor
telah bersifat sistemik. Dosis radiasi perhari adalah harus cukup tinggi 3 - 4 Gy.
Apabila diketahui sensitif terhadap kemoterapi, bisa dilakukan sebagai terapi sistemik.
Gabungan dari semua modalitas diatas dilakukan pada keganasan dengan agresifitas
yang tinggi, seperti multiple myeloma, limfoma, dsb.

d) Peningkatan tekanan intrakranial


Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh metastasis otak.
Sekitar seperempat pasien kanker akan mati dengan metastasis intrakranial. Tumor
yang

paling

umum bermetastasis ke otak adalah tumor paru, payudara dan melanoma .


Manifestasi klinis pada pasien dengan metastasis otak adalah sakit kepala,
mual, muntah, kejang, perubahan perilaku dan kadang-kadang perubahan neurologis
fokal. Massa tumor bersama dengan edema sekitarnya mungkin menyebabkan
hidrosefalus dan efek massa sindrom dapat terjadi herniasi tergantung pada lokasi
tumor dalam kranium. Pasien dengan dugaan herniasi otak harus cepat dinilai. Setelah
penilaian klinis, pasien harus dilakukan studi Imaging otak. Meskipun MRI adalah
teknik pemeriksaan yang lebih baik, pemeriksaan pertama umumnya dilakukan
dengan CT scan.
Jika berdasarkan gejala klinis, sudah tejadi gejala-gejala peningkatan tekanan
intrakranial , maka pengobatan harus segera dimulai, bahkan sebelum dilakukan
pemeriksaan CT-Scan. Dalam Keadaan darurat, perawatan untuk mencegah terjadinya
herniasi adalah dengan hiperventilasi, pemberian manitol dan steroid. Manitol adalah
agen hyperosmotic yang efektif dalam beberapa menit dari pemberian intravena dan
dapat berlangsung selama beberapa jam. Steroid diberikan untuk mengontrol edema
vasogenik. Deksametason diberikan secara intravena bolus 16-40 mg, diikuti
kemudian dengan 40-100 mg per hari. Efeknya dimulai dalam hitungan jam dan dapat
berlangsung beberapa hari. Setelah herniasi bisa dikendalikan, keputusan tentang
pengobatan metastase otak harus diambil. Jika beberapa nodul terlihat, iradiasi
seluruh-otak dianggap standar. Namun, untuk metastasis otak tunggal, operasi
ditambah radiasi harus dipertimbangkan. Radiosurgery dapat diindikasikan pada
pasien yang terdapat kurang dari tiga metastasis, masing-masing berukuran <2 cm.
e) Obstruksi saluran kemih
Obstruksi kemih berhubungan dengan keganasan dari rongga abdomen,
retroperitoneal, dan pelvis. Gejala dan tanda tanda yang muncul tergantung dari
tempat obstruksi. Obstruksi pada bladder neck biasanya disebabkan oleh keganasan
prostat (laki laki), Ca cervix (wanita). Obstruksi pada ureter biasanya disebabkan oleh
keganasan yang terletak intra abdominal atau paraaortal, seperti misalnya sarkoma,
limfoma, metastase keganasan pada kelenjar getah bening para - aorta. Obstructive
uropathy pada umumnya disebabkan oleh proses keganasan itu sendiri, meskipun
6

perlu juga dipertimbangkan sebagai akibat keadaan benigna, ataupun komplikasi


terapi terhadap keganasan. Kadang-kadang penyakit metastasis ke panggul dapat
menyebabkan obstruksi saluran kemih, yang menyebabkan hidronefrosis bilateral dan
gagal ginjal. Seorang pasien dengan nyeri pinggang dengan anuria mendadak,
kadang-kadang bergantian dengan poliuria dan kenaikan progresif kreatinin serum
harus dicurigai terdapat obstruksi saluran kemih .
Timbulnya retensi urine, nyeri pada pinggang (flank pain), hematuria,
ataupun infeksi saluran kemih berulang, merupakan tanda tanda adanya obstruksi
saluran kemih. Seringkali obstruksi ini tidak terdiagnosa, sampai terjadinya kegagalan
fungsi ginjal. Terjadinya gangguan pada proses pengosongan kandung kemih akan
menimbulkan gejala hesitancy, urgency, nocturia, frequency dan lemahnya
pancaran miksi.
Adanya gejala oliguria berganti - ganti dengan poliuria, menunjukan adanya
obtruksi partial dari ginjal. Pemeriksaan fisik perlu diperhatikan pembesaran prostat,
retensi kandung kemih, terabanya ginjal. Menurunnya tonus sphincter anus, dan
refleks bulbocavernosus menunjukan kemungkinan suatu neurogenic bladder o.k
metastase.
Tindakan diagnosis yang bisa dilakukan adalah dengan pemeriksaa
laboratorium (creatinine, ureum, elektrolit darah, calcium, asam urat, urin rutin). USG
dari ginjal (USG ginjal adalah cara termudah untuk mendeteksi hidronefrosis bilateral.
CT-Scan sering membantu dalam mendeteksi lokasi yang tepat dari obstruksi,
terutama jika ada retroperitoneal atau massa panggul). BNO-I.V.P, Scintigrafi ginjal
Percutaneous antegrade pyelografi untuk kepentingan diagnostik dan juga
terapeutik. Endoskopi dan retrograde pyelography jika diperlukan.
Retensi urine dapat diatasi dengan kateterisasi, suprapubic sistostomi. Jika
obstruksi terletak pada ureter dan terjadi hidronefrosis, dan pertimbangan tumor dapat
dikontrol dengan modalitas terapi yang ada, maka perlu dipertimbangkan
nephrostomi.

Radioterapi ataupun kemoterapi terhadap kausa / keganasan yang

menekan dengan mempertimbangkan dosis obat terhadap fungsi ginjal. Stent ureter
dapat ditempatkan dengan anestesi lokal dan dapat meringankan obstruksi. Jika hal ini
tidak mungkin, nefrostomi perkutan adalah sebuah pendekatan alternatif. Tentunya
tindakan terapi terhadap keganasan primernya.

f) Obstruksi hemoptysis
Hemoptisis masif didefinisikan sebagai pengeluaran dahak dengan volume
mulai dari satu episode dari 100 ml - 600 ml darah selama 24-48 jam. Ketika terjadi
kesulitan bernapasa, hemoptisis harus diobati segera. Kanker paru-paru menyumbang
sebagian besar pasien mengalami hemoptisis sampai dengan 20% kasus yang bisa
terjadi setiap saat selama perjalanan penyakitnyanya. Endobronkial metastasis dari
tumor karsinoid, payudara, usus besar atau kanker ginjal, melanoma dan sarkoma juga
dapat menyebabkan hempoptysis.
Pendarahan jalan napas yang menyebabkan obstruksi jalan napas bisa
mengancam jiwa, aspirasi, anemia atau syok hipovolemik juga dianggap hemoptisis
masif. Faktanya, perdarahan yang fatal bisa timbul dalam sepertiga pasien dengan
hemoptisis masif dan risiko kematian secara langsung terkait dengan jumlah darah
yang keluar. Hemoptisis pada pasien kanker juga dapat disebabkan oleh kondisi
nonmalignant, seperti infeksi jamur, atau mungkin terkait dengan trombositopenia
atau gangguan koagulasi lainnya. Trombositopenia atau koagulasi kelainan harus
diperbaiki
untuk mengontrol hemoptisis.
g) Obstruksi saluran pernapasan
Obstruksi jalan napas akut melibatkan saluran napas atas dan mungkin
disebabkan oleh kondisi ganas atau non-ganas. Istilah ini mengacu kepada
penyumbatan pada tingkat cabang bronkus utama atau diatas. Ini mungkin akibat dari
pertumbuhan tumor intraluminal atau dari kompresi ekstrinsik jalan napas. Obstruksi
jalan napas dapat disebabkan oleh hampir semua keganasan, tetapi penyebab paling
umum termasuk tumor lidah, orofaring, tiroid, trakea, bronkus, dan paru-paru. Tumor
mediastinum seperti limfoma dan tumor sel germinal juga dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas, lebih umum populasi pada anak. Karsinoma bronkogenik
primer adalah penyebab paling umum dari obstruksi jalan nafas ganas, terjadi sampai
30% dari pasien dengan tumor paru primer. Metastase pada trakea ataupun bronkus
adalah sangat jarang (kurang dari 2%). Obstruksi jalan napas dapat juga terjadi oleh
karena tracheomalacia, stenosis pasca radioterapi. Angioedema juga dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas berat dan mengancam jiwa. Tumor primer paruparu adalah penyebab paling umum dari obstruksi jalan napas yang lebih rendah.
8

Obstruksi cabang utama bronkus pada potongan aksial CT Scan


Manifestasi klinis obstruksi jalan napas ganas tergantung pada tingkat
keparahan dan lokasi obstruksi. Gejala tidak spesifik dan bisa keliru untuk kondisi
yang lebih umum termasuk penyakit eksaserbasi paru obstruktif kronik, asma, atau
bronkitis. Gejala yang paling umum dari obstruksi jalan napas ganas adalah dyspnea.
Dyspnea sering satu-satunya gejala awal obstruksi jalan nafas . Jika dyspnea terjadi
saat olahraga, diameter jalan nafas akan menurun sampai 8 mm, tetapi jika dyspnea
terjadi saat istirahat, diameter jalan nafas biasanya <5 mm dan berhubungan dengan
munculnya stridor. Stridor harus dianggap sebagai tanda yang sangat tidak
menguntungkan. Gejala biasanya memburuk pada malam hari dan saat berbaring
terlentang. Pasien akan sering mengalami batuk produktif dan mengi, disamping
stridor, terutama jika obstruksi ini terletak di trakea atau carina. Dalam kasus ini,
gejala mungkin cukup minimal sampai jalan napas sangat kritis sempit, tapi kemudian
muncul dengan cepat dan menimbulkan situasi yang mengancam jiwa. '' Stenosis
trakea sindrom '' mengacu pada konstelasi gejala yang terdiri dari dispnea, batuk,
mengi, dan stridor, dan terlihat pada sekitar 85% pasien dengan tumor trakea utama.
Hemoptisis dilaporkan hingga 45% pasien dengan neoplasma.
Obstruksi jalan napas perlu dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial dari
pasien dengan riwayat keganasan. Ronki atau fremitus, bersama dengan perluasan
buruknya paru, dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik. Sinar-x thorak harus cepat
9

diperoleh untuk menentukan adanya tumor atau bukti tidak langsung obstruksi seperti
deviasi trakea atau penyempitan saluran napas, meskipun CT scan lebih baik. Untuk
pasien dengan obstruksi jalan napas atas, visualisasi langsung melalui laringoskopi
atau bronkoskopi harus dilakukan, tergantung pada lokasi dari kerusakan, serta
memberikan metode untuk memperoleh jaringan untuk diagnosis dan pengobatan
segera.
Pengobatan yang tepat dapat menyebabkan kualitas hidup membaik, sampai
dengan 95% dari pasien dyspnea dan peningkatan kualitas hidup yang signifikan
setelah perawatan.

Pengobatan pemasangan stent melalui bronkoskopi menjadi

pilihan karena membantu dalam diagnosis dan pengobatan. Stent adalah terapi pilihan
pada pasien dengan obstruksi jalan napas akut karena kompresi tumor ekstrinsik atau
pada pasien dengan fistula trakeoesofageal. Meskipun hal ini tidak memperpanjang
kelangsungan hidup, 95% dari pasien melaporkan bisa mengurangi gejala setelah
penempatan stent. Mirip dengan bronchoplasty, efek cenderung bersifat sementara
dan bentuk lain dari kontrol tumor lebih definitif harus mengikuti, seperti radiasi atau
kemoterapi. Pneumonia Postobstructive menandakan prognosis buruk.
2. Metabolisme atau hormonal.
Keadaan darurat metabolik yang paling umum pada pasien kanker adalah
hiperkalsemia, dan sekresi yang tidak normal dari hormon antidiuretik.
Hiperkalsemia
Hiperkalsemia adalah sindrom paraneoplastic paling sering dan darurat

yang

mengarah ke morbiditas dan mortalitas pada pasien kanker. Terjadi sekitar 10% dari tumor
padat stadium lanjut, paling sering adalah paru, payudara, kepala dan leher dan kanker ginjal,
serta limfoma ganas dan myeloma dapat menyebabkan hiperkalsemia, berbeda seperti pada
kanker prostat, hiperkalsemia jarang terlihat. Mekanisme utama di mana hiperkalsemia
terjadinya metastasis tulang, meningkatnya produksi protein paratiroid yang berhubungan
dengan hormon dan sekresi calcitriol. Berbagai mekanisme yang dapat menjelaskan
terjadinya kalsium meningkat pada pasien kanker: rilis sistemik paratiroid hormon-related
peptide (PTHrP) oleh tumor, yang tidak memerlukan kehadiran metastasis tulang; stimulasi
parakrin lokal osteoklas dengan metastasis ke tulang, yang menyebabkan efek osteolitik; dan
sekresi sistemik vitamin D analog oleh tumor, yang juga tidak memerlukan kehadiran
metastasis tulang.
10

Pada pasien dengan keganasan yang terkait hiperkalsemia, nilai i-PTH akan sangat rendah.
Resorbsi tulang tidak langsung tergantung pada tumor invasi sel tulang, tetapi terkait dengan
produksi beberapa sitokin (tumor necrosis factor, limfotoksin, endotelin, interleukin-1 dan -6)
yang dapat merangsang osteoklas. Sangat jarang, tumor akan memproduksi PTH itu sendiri.
Produksi tumor vitamin D analog adalah etiologi kurang umum dari hiperkalsemia
berbahaya,

limfoma

non-Hodgkin

dan

limfoma

Hodgkin

masing-masing

mampu

menghasilkan tingkat calcitriol tinggi.


Metastase tulang dapat menyebabkan efek parakrin lokal dengan memproduksi
beberapa faktor yang merangsang osteoklas, menyebabkan resorpsi tulang dengan resultan
hiperkalsemia dan kerusakan tulang. Hal ini paling sering terlihat pada kanker payudara
metastatik

dan

multiple

myeloma.

Kanker

prostat,

meskipun

frekuensi

dengan yang bermetastasis ke tulang, jarang menyebabkan hiperkalsemia, menggarisbawahi


bahwa tidak hanya keterlibatan tulang tetapi interaksi tumor tulang tertentu yang menentukan
kalsium pembebasan dari tulang.
Gejala dan tanda-tanda awal hiperkalsemia akan tampak ketika kadar kalsium serum
> 2,6 mmol / l, diantaranya kelelahan, malaise, anoreksia, mual, muntah, kebingungan, nyeri
tulang, polydypsia, poliuria, konstipasi dan kelemahan. Jika serum kalsium naik di atas 3,5
mmol / l, akan terjadi gejala neurologis dan menyebabkan kebingungan, mengantuk, kelesuan
dan koma menyebabkan kematian. Dehidrasi adalah temuan yang sering terjadi pada
hiperkalsemia dan hal itu berkaitan dengan banyak faktor.
Tingkat kematian dalam 30-hari pada pasien kanker yang dirawat di rumah sakit
dengan hiperkalsemia telah terbukti mendekati 50%. Bahkan pada pasien keganasan yang
sudah stadium lanjut upaya untuk menurunkan kalsium tidak terbukti bisa memperpanjang
harapan hidup, tapi hanya bersifat paliatif, sehingga intervensi harus dilakukan seawal
mungkin sebelum terjadi hiperkalsemia berat.
Hidrasi adalah hal terpenting dalam manajemen awal karena hampir semua pasien
dengan hiperkalsemia klinis bermakna ada penurunan volume intravaskular. Koreksi
penurunan volume akan membantu untuk mengembalikan output urine cepat. Jika pasien
memiliki utuh ventrikel kiri fungsi sistolik, normal saline dapat dengan aman diresapi dengan
harga sampai 500 cc / jam sampai hipovolemia telah diselesaikan. Pada saat itu, loop diuretic,
seperti 40 mg furosemide intravena (iv) setiap 12 sampai 24 jam, dapat dimulai untuk
calciuresis. Diuretik thiazide harus dihindari karena mereka meningkatkan kalsium reklamasi
dari urin. Sumber eksogen kalsium dan vitamin D harus dibatasi. Fosfat intravena harus
dihindari karena potensi calciphylaxis ketika produk kalsium-fosfor melebihi 70 mg / dL.
11

Kalsium biasanya menurun dalam waktu 48 sampai 96 jam . Bifosfonat mungkin jarang
menyebabkan osteonekrosis rahang bawah pada pasien dengan gigi yang buruk. Efek
samping yang lebih umum termasuk nyeri tulang akut, radang mata, kelainan elektrolit
seperti hypophosphatemia atau '' overshoot '' hipokalsemia, dan disritmia atrium. Asam
zoledronic dengan dosis 4 mg bisa diberikan lebih cepat dari pada pamidronat 60 sampai 90
mg (15 menit vs 2 jam), namun asam zoledronic relatif kontraindikasi pada pasien dengan
insufisiensi ginjal berat (laju filtrasi glomerulus <30 mL / menit atau kreatinin serum> 3,0 mg
/ dL) karena risiko nekrosis tubular akut. Pamidronat dapat lebih aman diberikan sebagai
infus lagi (4-6 jam) tapi masih membawa risiko nefrotoksisitas melalui focal segmental
glomerulosclerosis.
Administrasi kalsitonin menurunkan kalsium lebih cepat daripada bifosfonat, sering
menghasilkan normocalcemia dalam waktu 12 sampai 24 jam, tetapi dengan cepat kehilangan
efikasi melalui tachyphylaxis. Seharusnya tidak digunakan sebagai agen tunggal karena
rebound hiperkalsemia. Kalsitonin dapat diberikan oleh intramuskular (im) atau rute subkutan
dengan dosis 48 IU / kg setiap 12 jam, tetapi administrasi intranasal tidak efektif untuk
mengobati hiperkalsemia.
Glukokortikoid, seperti 60 mg prednison peroral harian atau 100 mg hidrokortison iv
setiap 6 jam, dapat membantu dalam memediasi pelepasan sitokin dan prostaglandin yang
merangsang osteoklas. Selain efek langsung lympholytic mereka, steroid menghambat
produksi calcitriol oleh makrofag dan lumayan menurunkan tingkat kalsium dalam 3 sampai
5 hari. Durasi penggunaan harus dibatasi untuk meminimalkan toksisitas glukokortikoid.
Galium harus diberikan sebagai infus 5 hari terus menerus dan tidak tingkat respon tinggi
dari bifosfonat untuk hiperkalsemia humoral tapi dengan mengakibatkan lebih besar
nefrotoksisitas. Mitramisin (juga dikenal sebagai Plikamisin) menghambat sintesis RNA dan
osteoklas menurunkan kalsium selama infus sementara yang diberikan sebagai dosis tunggal
lebih dari 4 sampai 6 jam, tetapi secara signifikan memberikan efek samping lebih dari
bifosfonat, termasuk hematologi dan derangements hati. Reseptor aktifator faktor nuklir kB
(RANKL), ditemukan pada permukaan prekursor osteoklas, dan yang ligan (RANKL), yang
disekresikan oleh limfosit dan ditemukan pada permukaan osteoblas dan tulang sumsum sel
stroma, merangsang prekursor osteoklas untuk menyelesaikan diferensiasi mereka dan mulai
tulang resorpsi, membebaskan calcium. PTH dan 1,25 dihydroxyvitamin D3 mendorong
pembentukan osteoklas oleh meningkatkan ekspresi RANKL pada osteoblas dan tulang
stroma sumsum. Denosumab adalah sepenuhnya antibodi monoklonal manusiawi dengan
afinitas tinggi dan spesifisitas untuk RANKL yang telah disetujui untuk digunakan dalam
12

pengelolaan postmenopause osteoporosis serta dalam pencegahan kejadian skeletal dari


metastase tulang, dan memiliki aplikasi potensial dalam hiperkalsemia dari malignancy.
Osteoprotegerin, reseptor umpan RANKL dan inhibitor pematangan osteoklas, telah terbukti
hiperkalsemia yang benar lebih cepat dan tahan lama dibandingkan bifosfonat.
Hemodialisis dapat dilakukan dengan hasil yang lebih cepat tapi lebih berbahaya
ketika mengoreksi hiperkalsemia pada pasien dengan fungsi menurun.
Sekresi hormon antidiuretik yang tidak normal
Sekresi yang tidak normal dari hormon antidiuretik (SIADH) harus selalu
dipertimbangkan keadaan pasien dengan hiponatremia. SIADH disebabkan oleh produksi
arginin vasopressin oleh sel-sel tumor. Hiponatremia dikaitkan dengan plasma hyposmolarity
dan tidak tepat tinggi osmolaritas urin, bersama-sama dengan tingkat tinggi ekskresi natrium
urin tanpa penurunan volume plasma. Penyebab lain hiponatremia, seperti gagal ginjal,
hipotiroidisme atau insufisiensi adrenal. Meskipun SIADH dapat disebabkan oleh beberapa
obat, seperti antidepresan, inhibitor angiotensin-converting enzyme dan agen antineoplastik
seperti siklofosfamid, vincristin, melphalan, cisplatin atau vinorelbine, dan bahkan oleh
beberapa prosedur bedah dan penyakit paru-paru jinak, tumor yang paling sering dikaitkan
dengan sindrom ini adalah kanker paru-paru small-cel . Hiponatremia memberikan prognosis
buruk ketika dikaitkan dengan kanker small-cel paru-paru.
Meskipun sebagian besar pasien dengan SIADH adalah asimtomatik, adanya
manifestasi klinis secara langsung berkaitan dengan keparahan hiponatremia. Perubahan awal
meliputi anoreksia, depresi, mudah marah, lesu, kram otot, kelemahan dan perubahan
perilaku. Tapi ketika kadar natrium plasma jatuh di bawah 110 mEq / l, depresi refleks tendon
dalam, pseudobulbar palsy, kejang dan koma dapat muncul. Jika SIADH disebabkan oleh
tumor, terapi yang optimal adalah terkait untuk pengobatan keganasan yang mendasari.
Dalam kasus kanker small-cel paru-paru, kemoterapi harus dimulai sesegera mungkin untuk
mencoba mengendalikan situasi. Jika terapi tertentu tidak tersedia, atau tumor telah terjadi
resistansi

kemoterapi,

pembatasan

air

dan

administrasi

demeclocycline

harus

dipertimbangkan.
3. Komplikasi sekunder yang timbul dari efek pengobatan.
a. Sindrom lisis Tumor
Sindrom tumor lisis disebabkan oleh penghancuran yang besar jumlah sel tumor
yang aktif berproliferasi sebagai konsekuensinya kemoterapi kanker. Ini adalah yang
13

diakui entitas klinis di mana kombinasi dari beberapa gangguan elektrolit seperti
sebagai hyperuricemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia dan asidosis laktat,
dapat menyebabkan gagal ginjal akut. Sindrom ini pertama kali diketahui pada pasien
dengan limfoma Burkitt yang meninggal beberapa hari setelah menerima pengobatan
dengan
kemoterapi. Penyebab utama kematian pada pasien ini adalah aritmia terkait dengan
elektrolit gangguan, terutama hiperkalemia dan gagal ginjal.
Untuk alasan inilah sehingga penilaian harus hati-hati dari setiap gangguan
cairan dan elektrolit dan koreksi yang cepat sangat penting untuk menghindari
komplikasi serius dari sindrom ini. Tumor sindrom lisis sering diamati pada pasien
dengan tumor yang sangat kemosensitif dan mungkin muncul setelah memulai
kemoterapi pada leukemia akut, Burkitt dan diffuse limfoma agresif. Sindrom ini juga
jarang terlihat pada pasien dengan limfositik kronis leukemia, limfoma tingkat rendah
atau tumor padat. Hal ini telah dilaporkan jarang terjadi setelah perawatan dengan
ovarium, payudara atau sel-kecil kanker paru-paru. Pada beberapa pasien dengan
leukemia limfositik kronis yang menerima pengobatan dengan fludarabine atau 2chlorodeoxyadenosine, sindrom ini mungkin terjadi bahkan 2 minggu setelah
pengobatan.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan tumor lisis sindrom
adalah jenis keganasan, berapa responsif dan beban tumor. Telah ada sebelumnya gagal
ginjal juga dapat berkontribusi. Telah ada sebelumnya hyperuricemia dan serum
pretreatment

tinggi

konsentrasi

laktat

dehidrogenase,

terutama

jika

mereka

lebih tinggi dari 1500 U / l, cenderung berkorelasi dengan beban tumor di banyak
neoplasma hematologi dan tumor padat. Hal ini terutama berlaku di limfoma agresif
dan dapat memprediksi terjadinya gagal ginjal setelah kemoterapi.
Hyperphosphatemia juga disebabkan oleh rilis intraseluler fosfat oleh lisis sel
tumor dan menghasilkan depresi kalsium serum. Hipokalsemia mengakibatkan parah
iritabilitas neuromuskuler dan tetani. kalsium fosfat endapan pada ginjal dan cara
hyperphosphatemia ini juga dapat menyebabkan gagal ginjal. Kalium, sebagai utama
kation intraseluler, juga dibebaskan ke dalam aliran darah ketika sel-sel tumor
dihancurkan. Hiperkalemia menambahkan bahaya yang signifikan untuk sindrom lisis
tumor, terutama di hadirnya gagal ginjal, saat ventrikel yang mengancam jiwa
aritmia dapat terjadi.

14

Diagnosis sindrom lisis tumor membutuhkan kecurigaan tingkat tinggi, karena


gejala awal tidak spesifik. Pengakuan risiko dan pencegahan adalah langkah-langkah
kunci dalam pengelolaannya. Rutin urat asam dan elektrolit pengukuran ditunjukkan
pada pasien dengan beban tumor yang tinggi, terutama jika mereka memiliki leukemia
akut atau limfoma agresif, di mana yang cepat respon terhadap kemoterapi dapat
diprediksi. Pencegahan harus mencakup hidrasi dengan salin sampai normal 3 l / m2 /
hari, untuk mendorong output urin minimal 100 ml / jam dengan atau tanpa
diuretik. Oral natrium bikarbonat harus diberikan untuk menghindari urin asam, jika
tidak ada kontraindikasi, seperti hipertensi berat, yang hadir. Xantin oksidase inhibitor
allopurinol (300 mg / hari) juga dianjurkan untuk mencegah hyperuricemia.
Rasburicase, bentuk rekombinan baru dikembangkan dari urat oksidase, adalah obat
yang sangat aktif dalam mencegah pengembangan hiperurisemia pada pasien berisiko
tinggi mengalami lisis tumor sindroma. Kerjanya oleh katalis oksidasi enzimatik dari
urat
asam allantoin, metabolit yang lima sampai sepuluh kali lebih larut dalam urin dari
asam urat. Senyawa ini telah ditunjukkan menjadi unggul allopurinol dalam
pengendalian hyperuricemia di uji coba secara acak dari pasien anak dengan leukemia
akut
dan limfoma. Dalam serangkaian 100 pasien dewasa dengan limfoma agresif dan risiko
tinggi mengembangkan lisis tumor sindrom, rasburicase diberikan dengan dosis 0,20
mg / kg / hari untuk 3-7 hari, mulai baik hari sebelum atau hari yang sama dengan
kemoterapi. Kebanyakan pasien (95%) menjawab secepat 4 h setelah dosis pertama
rasburicase dan tidak ada pasien memiliki gagal ginjal atau gangguan elektrolit utama
selama terapi. Ketika pasien menyajikan dengan sindrom lisis tumor parah, pendekatan
perawatan intensif dengan pemantauan terus menerus dari hemodinamik, elektrolit dan
perubahan elektrokardiografi harus dimulai. Hidrasi yang memadai, dan rasburicase
natrium bikarbonat jika asidosis hadir, bersama dengan kalsium dan koreksi kalium dan
dialisis jika gagal ginjal terjadi, adalah isu-isu kunci dari manajemen. Dialisis
dianjurkan dalam kasus yang parah hyperphosphatemia (> 10,2 mg / dl) dengan
hipokalsemia simptomatikpersisten hiperkalemia, azotemia, hiperurisemia, oligo /
anuria atau refrakter asidosis atau volume overload.
b. Reaksi anafilaksis yang terkait dengan agen kemoterapi

15

Reaksi anafilaksis yang terkait dengan agen kemoterapi kadang-kadang dapat


membuat kedaruratan medis. Banyak obat antikanker dapat menimbulkan reaksi
anafilaksis. Yang paling umum adalah L-asparaginase, taxanes dan derivatif platinum.
L-asparaginase merupakan enzim asal bakteri digunakan dalam pengobatan leukemia
limfoblastik akut. Reaksi anafilaksis dapat terjadi pada 10% dari pasien yang diobati
dengan obat ini. Faktor risikonya adalah dosis yang tinggi, paparan sebelumnya,
pemberian

intravena

dan

riwayat

alergi.

Pemberian

intramuskular

adalah

direkomendasikan karena terkait dengan penurunan insiden reaksi anafilaksis.


Meskipun reaksi Lasparaginase biasanya berlangsung setelah minggu kedua
pengobatan, mereka harus diantisipasi sejak awal terapi.
Ketika pertama dikembangkan, taxanes (paclitaxel dan docetaxel) terjadi reaksi
hipersensitivitas hampir 30% dari pasien yang diobati dan beberapa terjadi reaksi
ringan sekitar 40%. Reaksi terjadi lebih sering apabila diberikan secara infus dengan
tetesan cepat dan jadwal infus yang dekat. Kebanyakan reaksi terjadi pada pertama atau
lebih biasa setelah

pemberian kedua. Reaksi mulai dalam waktu 2-10 menit dan

sebagian besar 15-20 menit setelah selesai infus.


Angioedema dan urtikaria adalah manifestasi paling umum dari anafilaksis
dan terjadi > 90% dari reaksi alergi terhadap obat. Manifestasi lainnya yang sering
adalah sakit perut, sesak nafas, obstruksi jalan napas bagian atas, bronkospasme dan
hipotensi.
Edema laring diikuti oleh hipotensi adalah penyebab kematian paling sering
berhubungan dengan reaksi alergi.
Cara yang paling berguna untuk mencegah reaksi adalah dengan pemberian
yang lebih lama atau penggunaan obat profilaksis. Misalnya, ketika infus paclitaxel
diberikan dalam infus 96 jam terus menerus, tidak ada reaksi utama yang diamati,
bahkan tanpa tindakan profilaksis. Namun, ketika pemberian infus selama 1-jam, 3-jam
atau 24-jam , profilaksis diindikasikan dengan pemberian kortikosteroid dan
antihistamin.Tiga isu utama dalam mengobati reaksi anafilaksis adalah dengan
pengenalan awal, pemeliharaan jalan napas dan dukungan hemodinamik. Itu
manajemen akut anafilaksis pada orang dewasa,tetapi yang terpenting adalah
menghentikan obat yang dianggap bertanggung jawab. Cairan intravena harus
diberikan, terutama dalam kasus hipotensi. Glukokortikoid dan antihistamin mungkin
juga bisa ditambahkan. Jika hipotensi berlanjut, dibutuhkan manajemen unit perawatan
intensif.
16

DAFTAR PUSTAKA
1. A. Cervantes & I. Chirivella. : Oncological emergencies: Department of Hematology
and

Medical Oncology, University Hospital Valencia, University of Valencia, Spain,

Annals of Oncology 15 (Supplement 4): iv299iv306, 2004


doi:10.1093/annonc/mdh94.
2. MadhuchandaKar.: Haemato-Oncologist,Thakurpukur Cancer Centre, M.G.Road,
Calcutta Oncological Emergencies: Journal of Indian Academy of Clinical Medicine
Vol. 5 No. 1, 32-37.
3. Mark A. Lewis, MD; Andrea Wahner Hendrickson, MD, PhD; Timothy J. Moynihan,
MD. :

Oncologic Emergencies: Pathophysiology, Presentation, Diagnosis, Ana

Treatment Ca Cancer J Clin 2011;61:287314.


4. Meila S. : Kedaruratan Onkologi. Scribd. December 27, 2013.
5. MM Hossen, R Rabbani, M Hasan. : Oncologic Emergencies. Journal of Bangladesh
College of Physicians and Surgeons. Vol. 31, No. 3,July 2013.

17

18

You might also like