Professional Documents
Culture Documents
Penyakit peri-implan merupakan kasus yang umum ditemui pada praktik klinis
kontemporer. Mombeli dkk. yang melakukan review mengenai kejadian penyakit periimplan pada penelitian-penelitian dengan minimum studi 5 tahun, menunjukkan
bahwa prevalensi peri-implantitis ditemukan pada 10% implan dan dirasakan oleh
20% pasien. Penulis menyebutkan bahwa keberagaman definisi penyakit pada studi
yang digunakan menjadi kesulitan tersendiri dalam menentukan prevalensi periimplantitis. Persoalan lain adalah apakah sampel pada studi klinis tersebut dapat
digunakan untuk meng-generalisasi seluruh populasi pasien yang membutuhkan
perawatan implan. Secara umum, prevalensi mukositis peri-implan lebih tinggi dari
peri-implantitis, yaitu sekitar 50% dan hanya terjadi pada kurang dari 80% pasien.
Penyakit peri-implan secara umum dikatakan sebagai kondisi peradangan sebagai
respon terhadap plak. Faktor lain seperti tingginya gaya kunyah kemungkinan juga
berperan terhadap inisiasi dan atau progresi penyakit peri-implan namun masih belum
diketahui secara pasti. Komposisi biofilm peri-implan mirip dengan bakteri
subgingiva pada periodontitis kronis, yaitu didominasi oleh bakteri gram negatif.
Studi pada umumnya menyebutkan bahwa Porphyromonas gingivalis dan bakteri
kompleks merah lainnya memiliki frekuensi yang lebih tinggi pada area periimplantitis dibandingkan dengan jaringan yang sehat. Pada implan sehat, dengan
kedalaman probing 5mm, flora yang ditemukan umumnya cocci gram positif dan
sedikit spesies gram-negatif.
Karena tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan pilihan perawatan untuk
penyakit peri-implan, diskusi mengenai pemeriksaan dan diagnosis perlu didiskusikan
pula. Dengan terbatasnya paradigma mengenai berbagai perawatan dan
penatalaksanaan penyakit peri-implan, implementasi srategi deteksi dini dan
maintenance implan menjadi sangat penting.
Apakah Implan Ini Sehat?
Pemeriksaan Kondisi Peri-Implan
Alat-alat yang digunakan pada pemeriksaan klinis pemantauan kesehatan jaringan
periodontal gigi asli dapat pula digunakan untuk memantau jaringan peri-implan,
meskipun beberapa pertimbangan harus dibuat mengingat adanya perbedaan
struktural antar keduanya (Gambar 1).
Pemeriksaan peradangan mukosa awalnya dilakukan dengan mengobservasi
perdarahan yang menyertai probing ringan (0,25 N) dari sulkus atau poket implan.
Sama halnya dengan periodontitis, tidak adanya perdarahan yang menyertai probing
memiliki nilai prediksi negatif yang tinggi dan dapat dijadikan sebagai prediktor
kondisi peri-implan yang stabil. Sebuah studi prospektif yang meneliti tentang
penggunaan parameter ini selama fase maintenance implan yang telah direstorasi
menjelaskan bahwa perdarahan saat probing pada area implan yang terjadi pada
50% kunjungan kontrol dalam jangka waktu 2 tahun berkaitan erat dengan progresi
penyakit peri-implan. Supurasi pada poket implan berkaitan dengan infeksi dan reaksi
peradangan yang terjadi pada jaringan peri-implan. Supurasi juga berkaitan dengan
kehilangan tulang di sekitar implan.
Probing periodontal dan perubahan ketinggian perlekatan jaringan mewakili inti dari
proses diagnosis dan pemantauan penyakit peri-implan. Peningkatan kedalaman poket
merupakan tanda klinis yang konsisten dengan temuan peri-implantitis meskipun
tanda ini tidak dapat menentukan diagnosis peri-implantitis jika berdiri sendiri.
Bagaimanapun temuan probing 5 mm harus diperiksa lebih lanjut oleh klinisi,
menggunakan radiograf saat ini dan radiograf sebelumnya. Telah diketahui bahwa
sebagian besar studi epidemiologis mengaitkan definisi peri-implantitis dengan
kedalaman probing (dengan ambang 4 atau 5 mm), kriteria radiografik hilangnya
tulang, dan tanda-tanda inflamasi (perdarahan saat probing atau timbulnya supurasi).
Beberapa studi juga menunjukkan ketakutan tersendiri bahwa probing dapat
menyebabkan kerusakan jangka panjang pada jaringan peri-implan. Mukosa gingiva
pada area sekitar implan gigi berbeda dengan pada gigi asli. Seal perimukosa yang
terbentuk setelah penempatan implan secara bedah dapat berperan sebagai barrier
terhadap invasi bakteri rongga mulut namun kekuatan perlekatannya tidak sebaik pada
gigi asli. Oleh karena itu, probe plastik dengan gaya minimal (0,25 N)
direkomendasikan untuk probing daerah sekitar implan untuk menghindari kerusakan
jangka panjang pada jaringan peri-implan. Etter dkk. menyatakan bahwa
pembentukan kembali seal perimukosa terjadi setelah 5 hari pasca probing ringan.
Pengukuran probing harus dilakukan secara hati-hati. Adanya rekonstruksi prostetik
yang melekat pada implan profil dari abutment atau mahkota dapat meningkatkan
pembacaan kedalaman probing. Interpretasi radiografik digunakan untuk memastikan
atau mengesampingkan diagnosis peri-implantitis apabila terdapat perdarahan atau
peradangan yang disertai peningkatan kedalaman probing. Penggunaan radiograf yang
menyertai probing periodontal akan sangat membantu klinisi dalam
menginterpretasikan kedalaman probing yang besar: contohnya, radiograf yang
menunjukkan lebih banyak suprastruktur implan yang menggantung melebihi implan
harus membuat klinisi mengantisipasi adanya hasil pengukuran kedalaman probing
yang lebih besar.
Mobilitas implan merupakan tanda klinis terminal yang menunjukkan perlunya
pengangkatan implan yang gagal. Implan yang telah mengalami osteointegrasi tidak
memiliki perlekatan serat jaringan ikat antara tulang dan implan. Berkaitan dengan hal
tersebut, mobilitas merupakan temuan mengkhawatirkan yang menandakan tidak
adanya kontak antar tulang dan implan sehingga menyebabkan hilangnya stabilitas
implan. Hingga saat ini hanya terdapat sedikit penelitian tentang perawatan mobilisasi
implan yang menunjukkan hasil terapeutik stabil dalam jangka panjang.
Pemeriksaan radiografik merupakan hal penting dalam mengidentifikasi hilangnya
tulang yang berkaitan dengan peri-implantitis. Sekali lagi, bersamaan dengan
dilakukannya probing, radiograf dapat membantu memberikan gambaran yang baik
akan topografi jaringan tulang di bawah implan yang diduga mengalami periimplantitis (Gambar 3). Dalam perkembangan peri-implantitis, dapat ditemui adanya
lesi tulang yang parah serta defek yang menyerupai kawah (crater-like). Perbandingan
dengan radiograf awal yang diambil pada waktu pemasangan prostetik pada implan
harus dilakukan. Berkaitan dengan hal tersebut, stabilitas implan dapat dievaluasi
dengan radiograf yang diambil secara rutin setiap tahunnya selama tahap maintenance
dan dapat menjadi petunjuk bagi klinisi apakah implan tersebut sehat atau mengalami
mukositis peri-implan.
Mukositis Peri-Implan: Perawatan Non-bedah
Perawatan non-bedah pada kondisi peri-implan berfokus pada penanganan inflamasi
dengan cara kontrol biofilm (Gambar 4). Secara umum, studi menunjukkan efektivitas
debridasi mekanis non-bedah dan kontrol plak dalam penanganan mukositis peri-
implan. Terapi mekanis, baik dalam penanganan mukositis peri-implan ataupun periimplantitis, umumnya melibatkan penggunaan kuret untuk menghilangkan biofilm
supra- dan sub-gingiva. Literatur tentang implan membahas penggunaan kuret
titanium, karbon, atau resin serta tip khusus untuk instrumentasi ultrasonik: prinsip
umumnya adalah bahwa permukaan dari titanium harus dibersihkan dengan alat yang
memiliki kekerasan lebih rendah dari titanium. Alat lain yang digunakan dalam
pendekatan mekanis adalah rubber cup atau polishing brushes serta air powder flow
devices. Sistem air abrasive powder yang awalnya digunakan untuk menghilangkan
biofilm pada gigi kini telah digunakan pula dalam perawatan peri-implantitis. Variasi
dari teknik ini menggunakan air/sodium bikarbonat atau bubuk glycine yang
dihantarkan oleh air dan udara bertekanan tinggi. Angulasi yang sesuai dari tip dengan
arah menjauhi implan, mengelilingi jaringan gingiva merupakan satu hal yang penting
untuk menghindari kerusakan jaringan yang tidak diinginkan. Studi yang telah
dilakukan mengemukakan bahwa hal ini berhasil mengurangi kedalaman probing dan
perdarahan pada daerah implan.
Penggunaan bahan tambahan kemoterapeutik seperti klorheksidin menunjukkan
hanya sedikit/tidak adanya keuntungan tambahan dibandingkan dengan debridasi
mekanis saja. Beberapa studi menunjukkan pasta gigi yang mengandung triclosan
dapat secara efektif mengurangi peradangan pada kasus mukositis peri-implan. Selain
perannya dalam memperbaiki indeks plak dan inflamasi gingiva, pasta gigi yang
mengandung triclosan juga terbukti memiliki efek antimikroba: subjek yang
menggunakan triclosan menunjukkan jumlah bakteri anaerob gram-negatif yang lebih
rendah secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Subjek yang
menggunakan triclosan menunjukkan pengurangan jumlah bakteri P. gingivalis,
Campylobacter rectus, Aggregatibacter actinomycetemcomitans, dan Tannerella
forsythia hingga lebih dari 90%. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa
penggunaan pasta gigi yang mengandung triclosan sebanyak 2x sehari dapat
meningkatkan perawatan implan gigi dan berkontribusi dalam kesuksesan jangka
panjang dari implan. Kontrol plak yang cukup oleh pasien serta keikutsertaan pasien
dalam program maintenance yang dilakukan secara berkala merupakan komponen
kunci dari perawatan penyakit peri-implan. Strategi menjaga kebersihan mulut khusus
(rekomendasi penggunaan sikat gigi khusus dan pembersih interproksimal) harus
mempertimbangkan suprastruktur prostetik dan keterampilan pasien dalam
menggunakan alat tersebut sesuai dengan petunjuknya.
Peri-implantitis: Perawatan Non-bedah
Terapi mekanis yang digunakan dalam perawatan mukositis peri-implan digunakan
pula dalam perawatan peri-implantitis. Sekali lagi, perawatan ini bertujuan untuk
mengurangi kolonisasi bakteri pada permukaan implan: hasil ideal dari perawatan
bedah korektif di masa yang akan datang dipengaruhi oleh lingkungan yang relatif
bebas dari peradangan dan plak. Secara umum, debridasi mekanis non-bedah telah
diteliti dan terbukti tidak efektif dalam perawatan peri-implantitis jangka panjang
apabila dilakukan tanpa perawatan lain. Oleh karena itu, penelitian klinis dilakukan
untuk menyelidiki keuntungan tambahan dari penggunaan kemoterapeutik lokal.
Penggunaan agen antiseptik tambahan seperti klorheksidin telah disarankan sebagai
perawatan penyakit peri-implan. Bagaimanapun, penggunaan klorheksidin sebagai
perawatan tambahan terbukti hanya dapat memberikan perbaikan jangka pendek (6
bulan atau kurang) dan terbatas pada parameter klinis. Pada studi tentang pendekatan
non-bedah dalam terapi peri-implantitis, antimikroba tambahan seperti minocycline