Professional Documents
Culture Documents
A. REFLEKSI TEORITIS
195
Selain itu, keputusan mendirikan Partai Demokrat diambil karena para pendiri
meyakini partai yang akan didirikan nanti memiliki peluang mendapatkan
dukungan dari pemilih pada pemilu 2004. Peluang itu didasarkan pada kinerja
partai lama yang tergabung dalam koalisi partai pemerintah dinilai buruk oleh
sebagian besar masyarakat. Buruk kinerja partai lama ini menimbulkan isu baru
yang memungkinkan menuculnya Partai Demokrat sebagai partai baru untuk
menawarkan diri sebagai alternatif pilihan pemilih saat pemilu. Tavit (2007)
melihat gejala ini (buruknya kinerja partai) sebagai akibat dari banyaknya
permasalahan pelik yang tidak mudah diatasi dalam waktu singkat yang sangat
jamak (lumrah) terjadi di negara yang sedang mengalami transisi demokrasi.
Namun buruk kinerja partai hasil pemilu 1999 di Indonesia lebih disebabkan
oleh pertikaian antar elit dalam merebut kekuasaan dan penyalagunaan kekuasan
yang dilakukan oleh elit politik dalam maraih kentungan untuk partai ataupun
untuk kepentingan pribadi.
Buruknya kinerja partai lama tersebut pada saat yang sama berdampak pada
turunya loyalitas pemilih terhadap partai politik hasil pemilu 1999 secara
signifikan. Hal ini mengindikasikan turunya identitas kepartaian pasca
reformasi lebih bertalian dengan hasil evelausi pemilih terhadap partai
sebagaiamana konsepsi Anthony Down (1957) dan kurang bertalian dengan
perpecahan atau memudarnya sosial cleavages yang menjadi basis dukungan
196
Buruknya kinerja partai lama tersebut diperkuat oleh absennya partai oposisi
yang kuat. Partai Keadilan yang kemudian berganti nama menjadi Partai
Keadilan Sejahtrah merupakan satu satunya partai oposisi pada saat itu.
Namun PK / PKS pada saat itu merupakan partai berhaluan kanan ekstrim.
Kondisi tersebut menyulitkan PK / PKS untuk mendapatkan limpahan suara
masyarakat yang kecewa terhadap kinerja partai lama. Sebab pada umumnya
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang moderat. Melihat hal ini
Partai Demokrat dirancang oleh para pendirinya sebagai partai tengah. Hal ini
dimaksudkan agar Partai Demokrat mendapatkan dukungan masyarakat dari
berbagai kalangan.
197
Meskipun demikian, buruknya kinerja partai lama dan absenya partai oposisi
yang kuat bukanlah variable atau faktor independen yang berpengaruh terhadap
dukungan bagai partai baru. Variable ini sangat tergantung pada keberadaan
tokoh utama partai yang mampu sebagai magenet electoral atau merarik pemilih
yang kecewa terhadap kenerja partai lama.
Pendiri Partai Demokrat meyakini keberadaan SBY sebagai tokoh utama dan
ikon Partai Demokrat akan bisa memikat dan menarik pemilih untuk memilih
Partai Demokrat. Keyakinan itu di dasarkan pada dua hal. Pertama, SBY
merupakan salah satu kandidat calon wakil presiden yang paling populer versi
poling yang dilakukan oleh beberapa media massa pada saat itu.
198
Menurut Harmel dan Robertson (1985) dan Hug (2001), negara yang memiliki
populasi yang lebih beragam dan lebih besar cenderung memiliki kebutuhan
representasi yang lebih kompleks dan dalam banyak hal menghasilkan masalah
baru yang memungkinan masuknya partai baru. Namun konsepsi tersebut tidak
didukung oleh bukti dalam penelitian ini.
199
Elit seringkali mendirikan partai sebagai sarana untuk menduduki kursi presiden
(eksekutif) seperti konsepsi Andreas Ufen (2006) tentang munculnya partai
presiden (presidentialized party) atau partai pribadi (personal party)
sebagaimana konsepsi Koichi Kawamura (2013). Ketika peluang tokoh utama
partai untuk menjadi presiden kecil atau tidak ada, mendirikan bisa dipandang
tidak lagi penting. Pendiri Partai Demokrat dalam kenyataanya tidak hanya
menghitung peluang Partai Demokrat dalam mendapatkan dukungan tetapi juga
peluang SBY dalam mendapatkan dukungan sebagai presiden di pemilu 2004.
Hal ini didasarkan pada tinnginya hasil poling saat SBY menjadi calon wakil
presiden maupun hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Subur
Budisantoso.
Selain itu, potensi SBY sebagai calon presiden alternatif juga karena SBY
memiliki karakter yang dingingkan public dan kepiawaian SBY dan timnya
dalam membagun komunikasi dengan publik. SBY sampai batas tertentu mampu
200
memunculkan diri sebagai sosok yang cerdas, santun dan bersih. Potensi ini
sudah mulai tampak dimata public sejak SBY mencalonkan diri sebagai wakil
presiden. Pada saat yang sama peforma tokoh utama partai lain, utamanya yang
memiliki potensi menjadi capres pada pemilu 2004 memiliki citra yang kurang
baik di mata masyarakat dan memiliki kelemahan dari sisi komunikasi publik.
Faktor ongkos yang murah untuk biaya mendirikan dan operasional partai serta
biaya mengikuti pemilu merupakan faktor penting yang menjadi pertimbangan
didirikanya Partai Demokrat. Hanya saja perhitungan pendiri Partai Demokrat
berbeda dengan hasil studi para peneliti sebelumnya yang mengkaji kemunculan
partai politik dalam rumpun rational choice. Para peneliti sebelumnya seperti
Tavits (2006, 2007) dan Simon Hug (2001) lebih banyak menyoroti penilaian atau
perhitugan aktor terhadap ogkos mendirikan partai dan mengikuti pemilu dari sisi
faktor institusional, seperti pertalian biaya mendirikan partai dengan aturan
mendirikan partai dan aturan pendanaan partai serta hubungan antara biaya
mengikuti pemilu dengan sistem pemilu.
Faktor ketokohan SBY di Partai Demokrat tidak hanya dinilai oleh para pendiri
Partai Demokrat sebagai vote getter tetapi juga sebagai money gatter. Pendiri
Partai Demokrat meyakini Keberadaan SBY di Partai Demokrat akan membuat
masyarakat dari berbagai kalangan bersimpati dan membantu pendanaan Partai
Demokrat. Selain itu, keberadaan SBY juga akan membuat beberapa tokoh
201
Pendiri Partai Demokrat tidak menjadikan aturan pendaftaran partai sebagi basis
dalam menghitung besaran dana dan komponen pembiayaan yang dipersiapkan
untuk mendirikan Partai Demokrat sebab Partai Demokrat didirikan sebelum
Undang Undang Partai Politik dan sistem pemilu disahkan oleh negara.
Besaran pendanaan lebih bertalian dengan kebutuhan eksistensi partai di masa
yang akan datang, seperti pembentukan DPD, DPC dan KTA anggota.
Menurut Cox (1997) jika disiplin kepartaian lebih longgar, maka semakin kecil
munculnya partai baru. Elit politik akan lebih senang bergabung dengan partai
yang sudah mapan untuk mengejar atau mewujudkan kepentingan sendiri dari
pada mendirikan partai baru. Sebab pilihan tersebut dipandang lebih murah dan
menguntungkan. Tesis Gary W Cox tersebut dalam batas tertentu berbeda
dengan kalkulasi orang orang yang terlibat sebagai pendiri Partai Demokrat.
Keputusan mendirikan partai baru untuk mengantarkan SBY menjadi presiden
dinilai lebih murah dibandingkan mengusung SBY lewat partai orang lain
meskipun seandainya peluang mengsung SBY menjadi presiden lewat partai
202
orang lain ada. Sebab partai orang lain tersebut diyakini akan meminta uang
sewa yang lebih tinggi dari ongkos yang dibutukan untuk mendirikan partai
baru.
Pendiri sangat yakin dalam rentang waktu sejak reformasi sampai dengan pemilu
2004 media akan banyak menyorot SBY karena SBY figur besar dan menjadi
pejabat publik. Hal itu dinilai sebagai iklan gratis bagi Partai Demokrat dan
SBY. Hal ini menguatkan konsepsi Carina (2011) bahwa sentiemen positif
media terhadap partai baru bisa mengurangi ongkos biaya kampanye secara
signifikan.
203
Pendiri Partai Demokrat sebagai mana yang telah dinyatakan oleh Sutan
Bhatugana tidak mengelak kalau didalam kekuasaan itu ada beberapa
keuntungan matriilnya, seperti gaji, tunjangan, prestise, subsidi dana partai dari
negara dan sejenisnya. Namun Sutan Bhatugana menekankan, pendiri Partai
Demokrat tidak memiliki tujuan untuk meraih keuntungan lewat cara cara
yang tidak benar sebagaimana yang telah dilakukan oleh kader kader Partai
Demokrat yang tersangkut kasus korupsi.
Keuntungan matriil yang diperoleh oleh partai politik dalam kenyataanya tidak
hanya di dapatkan melalui jalan yang legal. Hal itu bisa terjadi kerena
pemerintah Indonesia memiliki kendali yang sangat besar dalam mengelola
sumberdaya ekonomi yang langkah, seperti lisensi pengelolaan sumber daya
alam. Kasus suap di SKK Migas merupakan salah satu dari sekian banyak
contoh bahwa kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah dan DPR dalam
204
mengelola sumber daya ekonomi tidak diberikan secara gratis kepada pengusaha
yang membutukan. Selain itu, pemerintah juga memiliki berbagai proyek proyek pembangunan dan pengadaan barang dan jasa yang nilai ratusan triliyun
rupiah dalam setiap tahun. Proyek proyek tersebut dalam kenyataanya tidak
diberikan secara cuma cuma kepada pihak kontraktor atau pemenang tender.
Kasus Hambalang dan Wisma Atelit yang melibatkan kader Partai Demokrat
merupakan salah satu contoh dari sekian banyak contoh bahwa proyek
pembangunan dan pengadaan barang dan jasa tidak dilaksanakan secara
transparan dan diperjual-belikan untuk mendanai partai maupun untuk
memperkaya diri sendiri dan kelompok. Dengan demikian keuntungan yang
diperoleh partai politik lewat jalur ilegal ini luar biasa besar dibandingkan lewat
keuntungan yang diperoleh lewat jalur legal.
Sistem pemilu presiden secara langsung dianggap oleh sebagian pendiri Partai
Demokrat sebagai sistem yang cukup menguntungkan untuk mendirikan partai
sebagai sarana untuk mengusung SBY sebagai presiden. Vence mangakui jika
pemilihan presiden secara langsung juga merupakan salah satu alasan penting
didirikanya Partai Demokrat. Sebab tokoh utama Partai Demokrat pada waktu
itu sedang digandrungi oleh masyarakat sehingga peluang Partai Demokrat
dalam mengantarkan Pak SBY menuju istana sangatlah besar. Kalau sistem
pemilihanya seperti tahun 1999, meskipun Popularitas Pak SBY tinggi di mata
masyakat, potensi untuk dikalahkan oleh calon presiden dari partai besar yang
205
telah mapan sangat besar. Perhitungan itu sesuai dengan konsepsi Bollin.
Menurutnya (2007) pemilihan presiden secara langsung memberi kesempatan
yang lebih baik bagi partai baru dalam menapatkan kekuasaan.
Namun faktor ini tidak kuat, sebab sebagian pendiri (Subur Budhisantoso)
menilai Partai Demokrat tetap akan didirikan sebab peluang Partai Demokrat
untuk mengantarkan SBY menjadi presiden dalam sistem pemilihan presiden
lewat anggota MPR tidak otomatis tertutup. Kondisi perpolitikan di Indonesia
menunjukan peluang partai baru dalam mendapatkan kekuasaan di eksekutif
lewat voting di MPR atau lewat pemilu secara langsung sama sama bagus.
Konsepsi dasar Negara Indonesia menurut Undang Undang Dasar 1945 adalah
presidensial tetapi perebutan kekuasaan di Indonesia tidak mengenal istilah the
winner takes all (Pemenang mengusai semua jabatan). Kekuasaan di eksekutif
dan di legislatif didistribusikan secara proporsional ke pada partai politik yang
berhasil mendapatkan kursi di parlemen. Dengan demikian fakta politik di
Indonesia pasca reformasi dalam batas tertentu bertolak belakang dengan tesis
Charles Hauss dan David Rayside (1978). Menurutnya, sistem presidensial
mencegah pembentukan partai baru. Sifat sistem presidensial the winner takes
all (Pemenang mengusai semua) akan mendorong partai politik untuk
berkolaborasi dan merger untuk memenangkan kekuasaan di pemerintahan
daripada mendorong munculnya partai baru.
206
Selain itu temuan dalam tesis ini juga menunjukan gejala negative terhadap
tesisnya Simon Hug. Sebab jika dilihat dari fakta di atas menunjukan bahwa
kondisi perpolitikan di Indonesia tidak terkosentrasi pada satu titik lembaga dan
satu partai politik melainkan menyebar ke beberapa lembaga dan partai politik.
Menurut Konsepsi Hug kondisi tersebut tidak kondusif bagi munculnya partai
baru. Kenyataanya Partai Demokrat dan beberapa partai baru lainya tetap
muncul.
Menurut Margit Tavits (2006) pengaruh kelompok non electoral yang sangat
kuat dalam mempengaruhi kebijakan membuat keuntungan mendirikan menjadi
berkurang. Hal bisa membuat politisi kurang tertarik untuk membentuk partai
207
baru. Namun Carina (2011), kelompok non eletoral terkadang menjadi sumber
dukungan bagi partai politik. Pendiri Partai Demokrat tidak menjadikan
pengaruh kelompok non electoral dalam kebijakan sebagaimana yang
diasumsikan Tavits dan juga tidak menjadikan dukungan kelompok non
electoral sebagai yang di asumsikan Carina S. Bischoff sebagai basis
pertimbangan didirikanya Partai Demokrat.
208
ini karena keuntungan selalu melekat dalam kekuasaan. Kekuasaan bisa menjadi
senjata bagi elit untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dengan kata lain
semakin tinggi peluang untuk memperoleh jabatan, maka otomatis semaking
tinggi potensi keuntungan yang akan diraih. Kondisi ini seperti yang dikatakan
oleh Tavits (2006) jika peluang dukungan cukup besar perhitungan elit terkait
manfaat memegang jabatan menjadi skunder. Sebalinya, jika peluang dukungan
terhadap partai baru kecil pehitungan elit terhadap manfaat memegang jabatan
menjadi perhitungan pokok bagi elit.
B. IMPLIKASI
209
12,4
11,89
15.97
2005
14,7
10,93
17.75
2006
17,2
10,01
16,58
2007
21,0
9,39
15,42
2008
23,6
8,96
14,15
2009
28,8
8.32
13,33
2010
30,4
7,70
12,49
2011
33,3
7,24
11,66
2012
Sumber BPS, dalam Data Dan Informasi Kinerja Pembangunan
2004 -2012 BPS Bapenas 2013 ; 5,13.
Menurut Sutan Bhatugana, jika pada pemilu 2004, kami hanya mengandalkan
figur SBY tetapi setelah itu kami mengandalakan program program, utamanya
dalam peningkatan kesejahtraan masyarakat agar Partai Demokrat dipilih oleh
rakyat.59 Itu artinya peningkatan kesejahtraan yang dilakukan oleh pemerintah
tidak bertumpuh pada sikap alturistik60 tetapi bertumpuh pada self interes atau
dalam terminology Herbert A Simon disebut sebagai reciprocal alturism61. Hal
ini bisa terjadi karena bekerjanya hukum invisible hand. Kebijakan bagi
politisi dan rakyat sama dengan barang konsumsi bagi pedagang dan konsumen.
Perilaku pedagang hanya termotivasi untuk mencari keuntungan sebesar
besarnya bagi dirinya sendiri, namun kemampuan mereka untuk memperoleh
keuntungan bergantung pada kemampuan mereka memproduksi barang-barang
yang lebih murah dan lebih berkualitas dibandingkan para pesaingnya. Begitu
juga dengan politisi, pada umum mereka termotivasi untuk mencari kekuasaan
sebesar besarnya dalam pasar pemilu, namun kemampuan politisi dalam
59
. Wawancara dengan Sutan Bhatugana. Jakarta. 10/10/2013. Pukul 13.47 14. 41 WIB
. Sikap relah berkorban (waktu, tenaga dan sejenis) demi keuntungan orang lain.
61
Menurut Herbert A Simon (1995:55) reciprocal altruism adalah tindakan berkorban demi orang lain
dengan asumsi akan mendapatkan balasan dalam waktu jangka panjang.
60
210
211
Selain BLT dan BLSM pemerintah juga banyak mengeluarkan kebijakan populis
lainya yang bersifat jangkah pendek, seperti beras untuk warga miskin (Raskin),
asuransi kesehatan untuk warga miskin (Askeskin), jaminan kesehatan
masyarakat (Jamkesmas), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), kompor gas gratis, bantuan operasional
sekolah (BOS), bantuan sosial (Bansos). Program program tersebut menjadi
andalan kampanye Partai Demokrat sebagai partai pemerintah. Persaingan dalam
mendapatkan suara yang begitu sengit di dalam sistem multi partai
mengharuskan Partai Demokrat untuk membuat program program populis
sebanyak mungkin agar bisa mendapatkan kekuasaan sebanyak banyaknya.
Pada sisi yang lain perilaku kader Partai Demokrat tidak selamanya selaras
dengan peningkatan kesejahtraan masyarakat. Terungkapnya kasus korupsi
Wisma Atelit dan Hambalang adalah salah satu contoh perilaku kader Partai
Demokrat yang tidak selaras dengan agenda peningkatan pembangunan dan
kesejahtraan rakyat. Itu menunjukan hukum invisible hand dalam praktik
politik sulit terlaksana seratus persen atau sepenuhnya. Hal ini bisa terjadi
karena mereka bergabung dengan partai, berinvestasi, mengeluarkan tenaga,
pikiran dan sejumlah uang. Sebagian besar mereka bukan relawan yang dengan
tulus masuk partai dalam rangkah memperjuangkan cita cita atau ideologi
tertentu. Oleh karena itu, mereka membutukan imbalan dan keuntungan materi
yang riil setelah kekuasaan sudah didapatkan. Mereka tidak hanya sekedar
212
membutukan prestise. Implikasinya, dua kaki partai akan berkerja ke arah yang
berbeda dengan tujuan yang sama atau satu tujuan. Satu kaki partai akan
berkerja untuk memuaskan kepentingan matriil anggota partai. Sedangkan kaki
yang lainya akan berusaha menjalankan fungsi agregasi kepentingan masyarakat
yang lebih luas. Kedua gerakan kaki partai tersebut sama sama untuk
memenuhi self interes anggota partai.
Kader partai tidak jarang mendistorsi atau membajak lembaga demokrasi seperti
DPR, DPRD, Kementrian, dinas, lembaga hukum (MK, MA, Kejaksaan) sebagai
alat untuk untuk memobilisasi dana untuk kepentingan partai sekaligus
memperkaya diri. sebagai contoh, menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah
(Dirjen Otda) Kemendagri Djohermansyah Djohan Kepala daerah yang
ditetapkan tersangka oleh kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
berjumlah 318 orang di Indonesia sejak diterapkan pilkada langsung (Indopos
/15/02/2014).
213
tertinggi atau yang paling dianggap bersih adalah 100 (10,0) sedangkan sampai
dengan tahun 2013 skor Indonesia hanya 32 (3,2).
20
22
24
23
26
28
28
30
2013
32
32
Meskipun kader partai kerap kali mendistorsi lembaga demokrasi namun secara
kuantitatif pemerintah masih berfungsi dengan baik. Itu artinya dalam batas
tertentu perilaku partai politik masih kompatibel dengan kualitas demokrasi. Hal
itu bisa dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel 12 Indek Kualitas Demokasi Indonesia versi the Economist Intelligence Units
Tahun
Proses
Fungsi
Partisipasi
Budaya Kebebasan
Pemilu dan Pemerintah
Politik
Politik
Sipil
Pluralisme
/Warga
2006
6,92
7,14
5,00
6,25
6,76
2008
6,92
6,79
5,00
5,25
6,76
2010
6,92
7,50
5,56
5,63
7,06
2012
6,92
7,50
6,11
5,63
7,65
Sumber; diolah dari laporan the Economist Intelligence Units 2007:4, 2008:5,
2010:4, 2013:5
6,41
6,34
6,53
6,76
Lima ukuran kualitas demokrasi yang dirilis oleh the Economist Intelligence
Units yang paling bersinggungan secara langsung dengan kinerja partai politik
214
adalah fungsi pemerintahan. Fungsi pemerintah mendapatkan skor 7.5 dari 10.
Baiknya indikator fungsi pemerintah ini kemungkinan disebabkan oleh
berkerjanya hukum invisible hand meskipun tidak secara penuh dan adanya
persaingan di antara aktor politik electoral maupun control dari aktor non
electoral.
Aktor akan berusaha dan mencari cara agar berbagai kejahatan yang akan
maupun telah dilakukan tidak sampai didengar, dilihat dan dirasakan oleh
masyarakat luas. Namun tidak selamanya tangan aktor mampu menutupi
kejahatan yang akan atau telah dilakukan. Persaingan electoral yang begitu ketat
di antara berbagai aktor dan control dari berbagai aktor non electoral di alam
demokrasi memungkinkan terkuaknya berbagai kejahatan, termasuk yang
dilakukan oleh aktor yang sedang berkuasa.
Terkuaknya sekandal kasus Century dan kemudian diputus oleh rapat paripurna
DPR sebagai kebijakan yang menyimpang dan direkomendasikan untuk
diselidiki potensi tindak korupsinya oleh lembaga hukum merupakan salah satu
indikasi, bahwa di antara partai politik tidak selalu bekerjasama untuk mencapai
kepentingan ekonomi dan kekuasaan tetapi juga berkompetisi dan saling kontrol.
Sedangkan terkuaknya kasus korupsi Wisma Atelit, Hambalang dan batalnya
rencana renovasi Gedung DPR merupakan buah dari control aktor non electoral.
215
dalam
Kompetisi atau kontrol di antara aktor politik electoral maupun control dari
aktor non electoral akan menjadi informasi penting yang murah bagi pemilih
untuk menilai kinerja partai. Kondisi ini membawa implikasi, jika ada kader
partai yang terlibat kasus korupsi dan sudah diketahui oleh publik, partai politik
akan berusaha melokalisir tindakan koruptif yang dilakukan oleh kader partai
sebagai tindakan pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan kebijakan partai.
216
Kasus korupsi yang ditudukan ke Nazaruddin dan Anas selalu dicoba dilokasir
oleh kader Partai Demokrat lainya sebagai tindakan pribadi. Ini merupakan
bagian dari strategi untuk meminimalisir resiko electoral saat pemilu.
Kompetisi atau tindakan saling kontrol di antara aktor politik electoral dan
control dari aktor non electoral pada kenyataanya hanya menghambat dan tidak
menghentikan langkah koruptif partai. Ketua KPK (Abraham Samad) sering
mengatakan dalam berbagai kesempatan, modus korupsi semakin canggih dan
sulit dicari bukti hukumnya. Sebab korupsi dilakukan oleh orang yang memiliki
kuasa dalam membuat hukum dan keputusan keputusan penting yang sangat
vital. Mereka tahu cela korupsi yang sulit dilacak bukti hukumnya. Tidak
mengherankan jika beberapa kasus korupsi yang melibatkan pejabat tertentu
membutukan waktu bertahun tahun.
C. REKOMENDASI
Kajian tesis ini hanya berhasil membuktikan kemunculan Partai Demokrat saja
dalam prespektif rational choice. Dengan demikian hasil kajian dari tesis ini
belum bisa memastikan apakah kemunculan partai yang lain, termasuk partai
baru yang berhasil mendapatkan kursi di parlemen pasca refomasi bisa didekati
dengan prespektif rational choice.
217
DAFTAR PUSTAKA
218