You are on page 1of 6

BAB 2

ANEMIA HEMOLITIK
A. Definisi
Anemia hemolitik adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan sel
eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya. 1,2,3,4
B. Klasifikasi
Secara garis besar anemia hemolitik dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu anemia
hemolitik autoimun (AHA/AIHA) dan anemia hemolitik non-autoimun. Kemudian anemia
hemolitik autoimun dibagi lagi yaitu:
I.

II.
III.

Anemia Hemolitik Auto Imun (AIHA)


a. AIHA tipe hangat
1. Idiopatik
2. Sekunder (karena CLL, limfoma, SLE)
b. AIHA tipe dingin
1. Idiopatik
2. Sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan
limforetikuler)
c. Paroxysmal Cold Hemoglobinuri
1. Idiopatik
2. Sekunder (virus, sifilis)
d. AIHA Atipik
1. AIHA tes antiglobulin negative
2. AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
AIHA diinduksi obat
AIHA diinduksi aloantibodi
a. Reaksi hemolitik transfuse
b. Reaksi hemolitik pada bayi baru lahir

Sedangkan anemia hemolitik non-autoimun dibagi menjadi 2 bagian yaitu:


I.

Anemia Hemolisis Herediter


a. Defek enzim/enzimopati
1. Defek jalur Embden Meyerhof
Defisiensi piruvat kinase
Defisiensi glukosa fosfat isomerase
Defisiensi fosfogliserat kinase
2. Defisiensi jalur heksosa monofosfat
Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)
Defisiensi glutation reduktase
b. Hemoglobinopati

II.

1. Thalassemia
2. Anemia Sickle cell
3. Hemoglobinopati lain
c. Defek membrane (membranopati): sferosis herediter
Anemia Hemolisis Didapat
a. Mikroangiopati, misalnya: trombotik trombositopenia purpura (TTP),
Sindroma Uremik Hemolitik (SUH), Koagulasi Intravaskular Diseminata
(KID), preeclampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik
b. Infeksi, misalnya : infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium. 1,2,3
Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipien, anemia hemolisis dapat
dikelompokkan menjadi:
1. Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien tidak dapat bertahan hidup
di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel
normal dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien.
2. Anemia hemolisis ekstrakorpuskuler. Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup di
sirkulasi darah resipien yang kompatibel, tetapi sel eritrosit kompatibel normal

tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien. 1,2,3


C. Etiologi
Etiologi dari hemolisis autoimun belumlah jelas, kemungkinan terjadi karena gangguan
central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.
Sedangkan untuk etiologi dari hemolisis non-autoimun sudah dipaparkan di atas, yaitu:
enzimopati, defek membran, hemoglobinopati,dsb. 1,2,3
D. Patofisiologi
a. Patofisiologi Hemolisis Autoimun
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibody ini terjadi melalui aktivasi
sistem komplemen, aktifasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.
1. Aktivasi sistem komplemen.
Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya
membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang ditandai dengan
hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur
klasik atau alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur
klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab
antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada
suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut agglutinin hangat karena bereaksi
dengan permukaan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh. 1,2,3

2. Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular


Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan
komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi
komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel
retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan eritrosit
yang diperantarai sel. Immunoadherence terutama yang diperantarai IgG-FcR akan
menyebabkan fagositosis. 1,2,3
b. Patofisiologi Hemolisis Non-Autoimun
Hemolisis dapat terjadi intravaskuler dan ekstravaskuler. Hal ini tergantung pada
patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi eritrosit
terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen
dan aktivasi permukaan sel atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi
membran sel eritrosit. Hemolisis ini jarang terjadi. Hemolisis yang lebih sering adalah
hemolisis ekstravaskular. Pada hemolisis ini, destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sel
retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak
dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh
makrofag. 1,2,3
E. Diagnosis
a. Manifestasi Klinis
Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan
fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak.
Pasien juga mungkin mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi.
Riwayat pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serta riawayat keluarga
merupakan informasi penting yang harus ditanyakan saat anamnesis. Pada hemolisis
autoimun yang tipe hangat (sekitar 70% kasus), onset penyakit tersamar, gejala
anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai
perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin
berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. 1,2
b. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa kuning. Splenomegali didapati
pada beberapa anemia hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia dan
aliran murmur pada katup jantung. 1,2
c. Laboratorium

Retikulositosis

merupakan

indikator

terjadinya

hemolisis.

Retikulositosis

mencerminkan adanya hiperplasia eritroid di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum


tulang tidak selalu diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari setelah
penurunan hemoglobin. Diagnosis banding retikulositosis adalah perdarahan aktif,
mielositis, dan perbaikan supresi eritropoiesis. 2,3,4
Anemia pada hemolisis biasanya normositik, meskipun retikulositosis meningkatkan
ukuran mean corpuscular volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya
hemolisis dan penyebabnya. Misalnya sferosit pada sferositosis herediter, anemia
hemolitik autoimun; sel target pada thalassemia, hemoglobinopati, penyakit hati,
schistosit pada mikroangiopati, prosthesis intravascular dan lain-lain. 2,3,4
Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain, peningkatan laktat dehidrogenase (LD)
terutama LDH 2 dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan destruksi eritrosit.
Baik hemolisis intravascular maupun ekstravaskular meningkatkan katabolisme heme
dan pembentukan bilirubin tidak terkonjugasi. Hemoglobin bebas hasil hemolisis
terikat dengan haptoglobin. Hemoglobin-haptoglobin ini segera dibersihkan oleh hati
sehingga kadar haptoglobin menjadi rendah sampai tidak terdeteksi. Pada hemolisis
intravascular kadar hemoglobin bebas dapat melebihi kadar haptoglobin sehingga
hemoglobin bebas difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi oleh tubulus proksimal
dan mengalami metabolisme. Hasil metabolisme di ginjal ini menghasilkan ikatan
antara besi heme dengan simpanan protein (ferritin dan hemosiderin). Selanjutnya
hemosiderin dikeluarkan ke urin dan terdeteksi sebagai hemosiderinuria. Pada
hemolisis intravascular yang massif, ambang kapasitas absorbsi hemoglobin oleh
tubulus proksimal terlewati, sehingga hemoglobin dikeluarkan ke urin dalam bentuk
hemoglobinuria. 2,3,4
Pada hemolisis autoimun, pemeriksaan Coomb direk biasanya positif. Autoantibodi
tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel
eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel
eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada
sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh. 1,3,4
F. Penatalaksanaan
a. Tatalaksana Anemia Hemolisis Autoimun
1. Terapi Anemia Hemolitik Autoimun tipe hangat:

Kortikosteroid: 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan


menunjukkan respon klinis baik (Ht meningkat, retikulosit meningkat, tes
coomb direk positip melemah, tes coomb indirek negatip). Bila ada tanda
respons terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai

dosis 10-20 mg/hari.


Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan

tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi.


Imunosupresi, Azathioprin 50-200 mg/hari (80mg/m2), siklofosfamid 50-

150 mg/hari (60mg/m2)


Terapi lain : Danazol 600-800 mg/hari. Terapi immunoglobulin intravena
(400mg/kgBB/hari selama 5 hari). Mycophenolate mofetil 500 mg perhari

sampai 1000 mg perhari dilaporkan bagus pada AIHA refrakter.


Terapi transfusi : terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak.
Pada kondisi yang mengancam jiwa (missal Hb <3 g/dL) transfusi dapat

diberikan, sambil menunggu steroid dan immunoglobulin berefek. 1,3,4


2. Terapi Anemia Hemolitik Autoimun tipe dingin:
Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis
Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu
Chlorambucil 2-4 mg/hari
Plasmafaresis untuk mengurangi antibody IgM secara teoritis bisa
mengurangi hemolisis, namun secara praktik hal ini sukar dilakukan. 1,5
b. Tatalaksana Anemia Hemolisis Non-Autoimun
1. Terapi defisiensi G6PD :
Bersifat self limited disease sehingga tidak perlu terapi khusus kecuali
terapi untuk infeksi yang mendasari dan hindari obat-obatan atau zat yang
mempresipitasi hemolisis.
Pada episode hemolisis berat mungkin diperlukan transfusi.1,2
2. Terapi defek jalur Embden Meyerhoff :
Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi kecuali pasien dengan
hemolisis berat harus diberikan asam folat 1 mg/hari. Transfusi darah

diperlukan ketika krisis hipoplastik


Splenektomi bermanfaat pada pasien dengan defisiensi piruvat kinase dan

glukosa fosfat isomerase. 1,2


3. Terapi Hemolisis Mikroangiopatik :

Pada TTP (thrombotic thrombocytopenia purpura) dapat diberikan fresh


frozen plasma (FFP) sedangkan pada Hemolytic Uremic Syndrome

(HUS), cukup dengan pemberian cairan dan elektrolit. 1,2


4. Terapi Infeksi Mikroorganisme :
Eradikasi penyebab dengan pemberian antimalaria pada infeksi parasit
malaria, antibiotik kloramfenikol dan tetrasiklin pada bartonellosis, dan

pemberian klindamisin dan kuinin pada babesiosis.


Dapat diberikan asam folat sebagai profilaksis, tapi preparat besi jangan
diberikan sebelum terbukti ada defisiensi zat besi. 1,2

DAFTAR PUSTAKA
1. Parjono, E., Widayati K. 2009. Anemia Hemolitik Autoimun. Dalam: AW Sudoyo, ed,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 5., pp. 1152-1156. Jakarta Pusat:
InternaPublishing.
2. Rinaldi, E., Sudoyo, A.W. 2009. Anemia Hemolitik Non-Autoimun. Dalam: AW Sudoyo,
ed, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 5., pp. 1156-1162. Jakarta Pusat:
InternaPublishing.
3. Luzzatto, L. 2008. Hemolytic Anemias . In AS Fauci, ed., Harrisons Principles of Internal
Medicine, 17th ed., pp. 652662. New York: McGraw-Hill
4. Schick,
P.
2014.
Hemolytic
Anemia.

Terdapat

pada:

http://emedicine.medscape.com/article/201066. Diakses: 20 November 2014


5. Radhakhrisnaan, N. 2013. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com/article/200947. Diakses: 20 November 2014

You might also like