You are on page 1of 243

KUMPULAN ARTIKEL

BEDAH DIGESTIF

DAFTAR ISI
Short Bowel Syndrome

Hernia Inguinalis Lateralis Strangulata

Dumping Syndrome

10

Abdominal Compartemen Syndrome (ACS)

10

Trauma Abdomen

12

Gastrointestinal dan Enterocutaneus Fistula

18

Fistula Ani, Proses Defekasi

23

Prolaps Recti

26

Hemorroid

29

Karsinoma Kolorectal,Colorectal Carsinoma

31

Neoplasma Usus Halus

41

Divertikulum Meckle`s

43

Ileus Obstruksi

44

Hernia

49

Trauma Lien, Trauma Limpa, Trauma Tumpul Abdomen

53

Trauma Pankreas, Trauma Tumpul Abdomen

56

Tumor Pankreas

58

Pankreatiis

62

Kista Pankreas

66

Cholangio Carsinoma

70

Kista Duktus Koledokos, Kista Koledokos

77

Cholangitis

79

Cholelithiasis, Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu

85

Ikterus Obstruksi

93

Trauma Hepar

100

Hepatoceluar Carsinoma (HCC)

107

Abses Hepar

116

Trauma Duodenum, Cedera Pankreaticoduodenale

123

Ulkus Peptikum

135

Tumor Gaster

141

Karsinoma Esofagus, Oesophagus Cancer

147

Akalasia Esofagus

149

Pankreas, Anatomi dan Fisiologi

153

Batu Empedu,Cholelithiasis,Patofisiologi

158

Gastroesofageal Refluks Disease (GERD)

167

Ikterus Obtruksi Kausa Askaris, Definisi, Laporan kasus

173

Colostomi,definisi, Teknik Operasi

175

Kolelithiasis, Batu Empedu, Makalah

179

Kista Hepar

186

Batu Empedu, Patofisiologi, Anatomi

194

Sindrom Malabsorbsi Usus Halus

205

Ileus Obstruksi, Obstruksi Intestinal

211

Ikterus Obtruksi kausa Striktur, Laporan Kasus

219

Ikterus Obstruksi, Makalah

223

Ikterus Obstruksi kausa batu pancreas, Laporan kasus

229

Apendisitis Akut

233

Short Bowel Syndrome


PENDAHULUAN
Short Bowel Syndrome (SBS) atau sindrom usus pendek merupakan gangguan malabsorpsi yang
diakibatkan oleh tindakan pembedahan atau reseksi pada usus halus sehingga usus tersebut
kehilangan fungsi absorpsinya. Short bowel syndrome biasanya terjadi setelah reseksi masif dari
usus halus. Tanda tandanya berupa diare, kekurangan elektrolit dan cairan, dan malnutrisi.
Biasanya reseksi usus sampai 70% masih dapat ditoleransi jika ileum terminal dan valvula
ileosekal masih ada. Tidak adanya Ileum terminal mengakibatkan gangguan pada penyerapan
vitamin B12 dan garam empedu, meskipun hanya 25% dari panjang usus halus direseksi. Reseksi
pada bagian proximal lebih dapat ditoleransi lebih baik dari pada reseksi pada distal. Reseksi
pada jejenum lebih dapat ditolelir daripada reseksi ileum. 1,5,11
INSIDEN
Perkiraan insidens dan prevalensi terjadinya SBS sulit diketahui karena kurangnya studi-studi
prospektif tentang pasien-pasien yang menjalani reseksi usus masif pada suatu tempat. Prevalensi
pasien-pasien yang mengalami short bowel syndrome juga tidak diketahui dan diperkirakan di
AS sekitar 10.000-20.000 pasien telah menerima nutrisi parenteral karena penyakit ini. 1
ETIOLOGI
Penyebab terjadinya Short Bowel Syndrome pada orang dewasa antara lain Crohns disease,
iskemi akut mesenterika, volvulus (obstruksi usus halus), trauma, malignancy serta pembedahan,
.Pada bayi dan anak-anak antara lain enterokolitis nekrotikans, atresia usus halus, iskemik usus
halus dan yang tersering adalah midgut volvulus. 1,5,11
PATOFISIOLOGI
Panjang usus halus pada manusia kira-kira 3-8 meter. Manisfestasi klinik malabsorpsi terjadi jika
50%-80% panjang usus halus direseksi. Konsekuensi mayor dari reseksi masif usus adalah
berkurangnya permukaan absorpsi yang menyebabkan terjadinya malabsorpsi makronutrien,
mikronutrien, air dan elektrolit. Derajat malabsorpsi ditentukan oleh panjang usus yang tersisa.
Panjang usus yang tersisa bukan saja satu-satunya faktor yang berpengaruh, faktor lain adalah (1)
Ada atau tidak adanya colon yang intak karena kolon memiliki kapasitas menyerap air dan
eletrolit, (2) Ada atau tidak adanya katup ileocecal katup ini berfungsi memperlambat transit
makan dari ileum ke kolon sehingga memperpanjang waktu kontak makanan dengan mukosa
usus halus, (3) Usus yang tersisa sehat atau tidak, (4) reseksi jejenum ditoleransi lebih baik dari
pada reseksi ileum sebab ileum mempunyai kapasitas spesifik untuk penyerapan garam-garam
empedu dan vitamin B12.

Usus halus bagian proximal terutama tempat penyerapan zat besi,folat dan kalsium dimana pada
bagian distal untuk penyerapan garam empedu dan vitamin B12. Setelah reseksi akan terjadi
adaptasi berupa pemanjangan villi dan bertambahnya jumlah sel yang akan memperluas
permukaan absorpsi. Proses ini berlangsung dalam beberapa minggu atau beberapa bulan setelah
reseksi usus halus, dengan berjalannya waktu fungsi absorpsi meningkat yang ditandai oleh
berkurangnya kehilangan cairan dan elektrolit pada feses dan meningkatnya absorpsi glukosa
dan vitamin B12. Diare berhubungan dengan hipersekresi gastrik disebabkan oleh (1) Perjalanan
cairan dan elektrolit menjadi singkat, (2) Steatorrhea oleh kegagalan lipolisis oleh lipase
pankreas, (3) Acid enteritis. Reseksi kurang lebih 100 cm ileum menyebabkan banyak garam
empedu masuk ke kolon dan menyebabkan entritis kimiawi, diare tipe ini disebut cholerrheic.
Efek toksik garam empedu pada epitel kolon dua kali lipat yaitu garam empedu menghambat
absorpsi air dan elektrolit, dan merusak sel kolon menyebabkan sekresi air dan elektrolit.
Komplikasi lain berhubungan dengan perubahan siklus enterohepatik garam empedu adalah batu
empedu dan anemia. Insiden batu empedu pada pasien yang mengalami reseksi ileum 3-4 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan populasi normal, pengobatannya dengan pemberian
cholestyramine. Sedangkan anemia makrositik terjadi akibat resorpsi vitamin B12 berkurang,
pengobatannya dengan pemberian vitamin B12 secara periodik parenteral. 1,3,5,9,11,12
MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik pasien dengan short bowel syndrome melalui beberapa tahapan oleh adaptasi
usus secara bertahap. Tahap pertama 1 sampai 2 minggu yang ditandai dengan kehilangan cairan
dan elektrolit akibat diare yang berlebihan. Tahap kedua adalah fase adaptasi usus dengan
dimulainya pemberian intake oral dan ditingkatkan secara bertahap, fase ini berlangsung dari
beberapa bulan bahkan sampai lebih setahun. Selama fase ketiga adaptasi usus sudah maksimal
dan pemberian oral relatif sudah dapat diberikan. Gejala gejalanya berupa : Diare, hipersekresi
gastric, steatorrhea, malabsorpsi protein, karbohidrat, air dan mineral, defisiensi vitamin.
Manifestasi sistemik berupa batu ginjal dan empedu.13
DIAGNOSIS
Diagnosis short bowel syndrome dapat secara langsung ditegakkan sebab pasien-pasien tersebut
telah dilakukan reseksi usus.1
PENATALAKSANAAN
Prinsip penting pada pengobatan short bowel syndrome adalah pencegahan. pengobatan short
bowel syndrome termasuk reseksi usus sependek mungkin pada usus yang viabel dan dilakukan
second look operation 24 sampai 48 jam kemudian untuk mengevaluasi ulang batas iskemi
pada usus. Pengobatannya terbagi atas 2 fase yaitu fase awal dan fase lambat. Pada fase awal
yang utama ialah mengontrol diare, resusitasi cairan dan elektrolit dan pemberian TPN ( total
parenteral nutrition). Kehilangan cairan yang disebabkan oleh diare merupakan masalah yang
berat. Penggunaan obat-obatan (loperamide, codein, lomotil) untuk mengurangi motilitas usus
secara bijaksana mugkin dapat membantu. Penggunaan obat-obatan tersebut secara berlebihan
dapat menyebabkan ileus. Adaptasi usus ditandai dengan meningkatnya absorpsi, volume diare
perlahan-lahan berkurang. Setelah sembuh pada fase akut, pemberian nutrisi enteral harus
5

dimulai, penggunaan diet enteral yang paling banyak digunakan adalah elemental (Vivonex,
Flexical) atau polymeric (isocal, Ensure). Penggunaan diet sebaiknya dimulai dengan konsentrasi
isoosmolar dan dalam jumlah yang kecil (50ml/jam). Kombinasi penggunaan glutamin, growth
hormon dan modifikasi diet oral efektif pada fase ini. Vitamin khususnya yang larut dalam
lemak, kalsium,magnesium dan zinc juga harus tersedia. Penggunaan H2-reseptor antagonis dan
PPI dapat mengurangi diare. Pengobatan operasi secara langsung memperpanjang permukaan
absorpsi atau memperlama waktu transit. Prosedur tapering and lengthening pertama kali
diperkenalkan oleh Bianchi dan yang lebih baru adalah STEP (serial tranverse enteroplasty
prosedure). Prosedur ini bermanfaat pada pasien-pasien tertentu, namun dapat terjadi komplikasi
seperti nekrosis dan kebocoran anastomosis dan prosedur ini ke efektifannya masih tanda
tanya.3,5,9,11,12
PROGNOSIS
Prognosis pasien-pasien dengan short bowel syndrome terutama ditentukan oleh tipe dan
banyaknya usus yang direseksi dan penyakit yang mendasarinya. Hampir 50% sampai 70%
pasien dengan short bowel syndrome yang awalnya memerlukan TPN dapat tidak tergantung
dengan TPN.1,5

Hernia Inguinalis Lateralis Strangulata


PENDAHULUAN
Hernia adalah proptusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari
dinding rongga bersangkutan.1,2,3
Klasifikasi hernia sebagai berikut :
1. Berdasarkan terjadinya :
a. Hernia congenital
Hernia yang terdapat pada waktu lahir yang paling sering hernia inguinal dan umblikalis
b. Hernia akuisita
Hernia yang disebabkan oleh kelemahan dinding abdomen yang disebabkan oleh faktor
predisposisi seperti: batuk kronik, konstipasi, hipertrofi prostat, kegemukan, mengangkat berat.
2. Menurut letaknya
a. Hernia Diafragma

b. Hernia Inguinal : 1. Hernia inguinalis medialis 2. Hernia inguinalis lateralis 3. Hernia


femoralis
c. Hernia Umbilikal
3. Menurut sifatnya
a. Hernia Reponibel
Isi hernia dapat keluar masuk , keluar jika berdiri atau mengejan dan masuk lagi jika berbaring
atau didorong masuk, tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus.
b. Hernia Irreponibel
Bila isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam rongga. Ini biasanya disebabkan oleh
perlekatan isi kantong pada peritonium kantong hernia.
c. Hernia Inkarserata
Isi kantong tertangkap tidak dapat kembali ke dalam rongga perut disertai akibatnya yang berupa
gangguan pasage. Dapat juga diartikan hernia irreponible yang sudah disertai dengan gejala ileus
yaitu tidak dapat flatus. Jadi pada keadaan ini terjadi obstruksi jalan makan.
d. Hernia Strangulata
Hernia irreponible dengan gangguan vaskularisasi mulai dari bendungan sampai nekrosis.
4. Hernia menurut terlihat atau tidaknya
a. Hernia Externa
Hernia yang menonjol keluar melalui dinding perut, pinggang atau perineum.
b. Hernia Interna
Tonjolan usus tanpa kantong hernia melalui suatu lubang dalam rongga perut seperti foramen
winslow, ressesus retrosekalis atau defek dapatan pada mesinterium. Umpamanya setelah
anastomosis usus.4
INSIDEN
Hernia yang sering terjadi adalah hernia inguinalis insidensnya 130/100.000 per tahun, 27% pada
laki-laki dan 3% pada wanita. Dari semua hernia, 25% adalah hernia inguinalis. Dari semua
hernia inguinalis 95% adalah hernia inguinlais lateralis.5,6

ANATOMI
Keberhasilan mengoperasi hernia inguinalis membutuhkan pengetahuan tentang anatomi dinding
abdomen, kanalis inguinalis, dan kanalis femoralis. Lapisan dinding abdomen dari luar ke dalam
adalah kulit, fasia camper, fasia scarpa, aponeurosis dan otot obligus externus, aponeurosis dan
otot obligus internus, fasia transversalis, lemak preperitoneal, dan peritoneum.
Kanalis inguinalis
Kanalis Inguinalis panjangnya sekitar 1,5 inch (4cm) pada orang dewasa dan terbentuk dari
annulus inguinalis internus, suatu lubang pada fascia transversa berjalan turun dan medial sampai
annulus inguinalis externus yang merupakan lubang pada aponeurosis m. obliqus abdominis
externus.
Kanalis inguinalis terletak sejajar dan tepat di atas ligamentum inguinale. Pada neonatus annulus
inguinalis internus hampir tepat posterior terhadap annulus inguinalis externus, sehingga kanalis
inguinalis sangat pendek pada usia ini. Kemudian, sebagai akibat pertumbuhan, annulus
inguinalis internus bergerak ke lateral.
ANULUS INGUINALIS INTERNUS
Merupakan suatu lubang berbentuk oval pada fascia transversalis, terletak sekitar inch (1,3
cm) di atas ligamentum inguinale, pertengahan antara SIAS dan symphisis pubis. Disebelah
medial annulus inguinalis internus terdapat av. Epigastrica inferior, yang berjalan ke atas dari av.
Iliaca externa. Pinggir annulus merupakan origo fascia spermatica interna(atau pembungkus
bagian dalam ligamentum rotundum uteri).
ANULUS INGUINALIS EXTERNUS
Merupakan suatu lubang berbentuk segitiga pada aponeurosis m.obliquus abdominis externus
dan dasarnya dibentuk oleh crista pubica. Pinggir annulus inguinalis externus, yang disebut juga
crura, merupakan origo fascia spermatica externa.
DINDING CANALIS INGUINALIS
Seluruh panjang dinding anterior canalis inguinalis dibentuk oleh aponeurosis m. obliquus
abdominis externus. Dinding anterior ini diperkuat di 1/3 lateral oleh serabut-serabut m. obliquus
abdominis internus. Oleh karena itu dinding ini paling kuat, dimana ia terletak berhadapan
dengan bagian dinding posterior yang paling lemah, yaitu annulus inguinalis internus.
Seluruh panjang dinding posterior canalis inguinalis dibentuk oleh fascia transversalis. Dinding
posterior ini diperkuat di 1/3 medial oleh conjoint tendon, yang merupakan gabungan tendon
insertion m.obliqus abdominis internus dan m. transverses abdominis yang melekat pada crista
pubica dan linea pectinea. Oleh karena itu, dinding ini paling kuat dimana ia berhadapan dengan
bagian dinding anterior yang paling lemah, yaitu annulus inguinalis externus.

Dinding inferior dibentuk oleh aponeurosis m.obliquus abdominis externus yang ujung
inferiornya melipat, yaitu ligamentum inguinale dan pada ujung medialnya, ligamentum
lacunare. Dinding superior dibentuk oleh serabut-serabut terbawah m. obliquus abdominis
internus yang melengkung dan m. transverses abdominis.
ISI CANALIS INGUINALIS
1. Funiculus Spermaticus merupakan gabungan struktur-struktur yang melalui canalis inguinalis
dan berjalan menuju ke dan dari testis. Funiculus spermaticus diliputi oleh tiga lapisan
konsentrik fascia yang berasal dari lapisan-lapisan dinding anterior abdomen.
Funiculus spermaticus mulai pada annulus inguinalis internus yang terletak lateral terhadap a.
Epigastrica inferior dan berakhir pada testis. Struktur-struktur yang berada di dalam funikulus
spermaticus antara lain :
Vas Deferens. Merupakan struktur yang menyerupai tali. Yang dapat diraba antara jari
dan ibu jari pada bagian atas scrotum. Vas deferens merupakan saluran dengan dinding otot yang
tebal, yang mengangkut spermatozoa dari epididymis ke urethra.
Arteria testicularis. Merupakan cabang aorta abdominalis (setinggi vertebra Lumbal II).
Arteri ini panjang dan kecil berjalan turun pada dinding posterior abdomen. Arteri ini melalui
canalis ingunalis dan memperdarahi testis dan epididymis.
Vena Testicularis. Suatu plexus vena yang luas yang disebut plexus pampiniformis, yang
meninggalkan dinding posterior testis. Waktu plexus berjalan naik, ukurannya berkurang
sehingga di sekitar annulus inguinalis internusdibentuk suatu vena testicularis. Vena ini berjalan
keatas pada dinding posterior abdomen dan mengalirkan darahnya ke v. Renalis kiri pada sisi kiri
dank e v. Cava inferior pada sisi kanan.
Pembuluh limfe. Pembuluh limfe testis berjalan ke atas melalui canalis inguinalis dan
berjalan ke atas melaui dinding posterior abdomen untuk mencapai nodi lymphatici lumbales
yang terletak setinggi vertebra lumbalis dan di samping aorta.
Arteria cremasterica yang kecil, suatu cabang a. Epigastrica inferior, yang
memvaskularisasi fascia cremasterica. Arteria kecil yang menuju ke vasdeferens, suatu cabang a.
Vesicalis inferior dan juga terdapat r. Genitalis n. Genitofemorali yang mempersarafi m.
Cremaster.
2. Nervus Ilioinguinalis. Berada di bagian atas dari funiculus spermaticus, yang merupakan
cabang dari plexus lumbalis dan mempersarafi kulit daerah inguinal dan scrotum atau labium
majus.
3. Pada wanita struktur yang melalui canalis inguinalis dari rongga abdomen adalah ligamentum
rotundum uteri dan beberapa pembuluh limfe disamping juga n. ilioinguinalis.
VASCULARISASI
9

1. Arteria Epigastrica Inferior


Arteria epigastrica inferior merupakan cabang a. Iliaca externa tepat di atas ligamentum
inguinale. Ia berjalan ke atas dan medial sepanjang pinggir medial anulus inguinalis internus.
Arteri ini menembus fascia transversa untuk masuk ke vagina m. Rectus abdominis. Arteri ini
berjalan ke atas di belakang m. Rectus abdominis, memvaskularisasi bagian bawah tengah
dinding anterior abdomen dan beranastomosis dengan a. Epigastrica superior.
2. Arteria Circumflexa Ilium Profunda
Merupakan cabang dari a. Ilica externa tepat di atas lingamentum inguinale. Arteri ini berjalan
ke atas dan lateral menuju SIAS dan kemudian terus turun melanjutkan diri sepanjang crista
iliaca. Arteri ini memvaskularisasi bagian lateral bawah dinding abdomen.
INERVASI
1. Nervus Ilioinguinalis
Nervus ini berpusat pada medulla spinalis L1, berada di sebelah ventral dari M. Quadratus
lumborum, berjalan sejajar dengan n. Iliohypogastricus (di sebelah caudalnya), menembus
aponeurosis m. Transversus abdominis, berada di antara m. Transversus abdominis dan m.
Obliquus internus abdominis, menembus otot ini dan berada diantara m. Obliquus internus
abdominis dan m. Obliquus eksternus abdominis. Selanjutnya mengikuti funiculus spermaticus
berjalan di dalam canalis inguinalis dan melanyani kulit pada regio femoris di bagian proksimal
dan medial, radix penis serta scrotum bagian ventral sebagai rami scrotales anteriores pada pria
dan pada wanita mempersarafi mons pubis dan labium majus sebagai rami labiales anteriores.
Saraf ini mempercabangkan serabut motoris untuk m. Obliquus internus abodominis dan m.
Transversus abdominis. Nervus ilioinguinalis kadang-kadang bersatu dengan n. Iliohypogastricus
2. Nervus Iliohypogastricus
Saraf ini berpusat pada medulla spinalis segmen thoracalis XII L1, berjalan di sebelah ventral
m. Quadratus lumborum, menembus aponeurosis m. Transversus abdominis di bagian posterior
di sebelah cranialis crista iliaca. Ketika berada di antara m. Transversus abdominis dan m.
Obliquus internus abdominis saraf ini mempercabangkan ramus cutaneus lateralis dan ramus
cutaneus anterior. Selanjutnya ramus cutaneus anterior berjalan menembus m. Obliquus internus
abdominis, menembus aponeurosis m. Obliquus externus abdominis kurang lebih 2 cm di
sebelah cranial anulus inguinalis externus, melayani kulit pada regio pubica. Saraf ini memberi
cabang motoris untuk m. Obliquus internus abdominis.
3. Ramus genitalis n. Genitofemoralis.
Nervus genitofemoralis berpusat pada medulla spinalis L1-2, berjalan ke caudal, menembus m.
Psoas major setinggi vertebra lumbalis , ditutupi oleh fascia transversa abdominis dan
peritonium, dan di sebelah ventral dari m. Psoas major saraf ini bercabang menjadi dua ramus
yaitu ramus genitalis (n. Spermaticus externus) dan ramus femoralis (n. Lumboinguinalis).
10

N. spermaticus externus berjalan ke distal, di sebelah medial dari nervus lumboinguinalis, masuk
ke dalam anulus inguinalis internus, berjalan melalui canalis inguinalis dan berada di bagian
dorsal funiculus spermaticus (pada wanita mengikuti ligamentum teres uteri). Saraf ini
mempersarafi m. Cremaster dan kulit scrotum.3,7,8,9,10
ETIOLOGI
Etiologi hernia inguinalis dapat kongenital atau didapat. Herniasi dari canalis inguinalis
disebabkan oleh terjadinya obliterasi inkomplit dari prosesus vaginalis. Penyebab lain herniasi
adalah peninggian tekanan intra abdomen, pasien-pasien dengan gangguan connective tissue
seperti pada sindrom Ehlers-Danlons.7,9,10
GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik dapat asimptomatik sampai gejala peritonitis pada hernia strangulata. Rasa
tidak nyaman dan adanya benjolan pada selangkangan atau kemaluan. Benjolan tersebut bisa
mengecil atau menghilang pada waktu tidur dan bila menangis, mengejan atau mengangkat
benda berat atau bila posisi berdiri bisa timbul kembali. Bila telah terjadi komplikasi dapat
ditemukan nyeri dan kolik. Bila benjolan tidak tampak, pasien dapat disuruh mengejan dengan
menutup mulut dalam posisi berdiri bila ada hernia maka akan tampak benjolan. 6,10
DIAGNOSIS
Diagnosis gold standar pada hernia adalah anamnesa dan pemeriksaan klinis yang teliti, sangat
jarang membutuhkan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan hernia seharusnya pasien pada posisi
berdiri agar kantong hernia terisi. Melalui scrotum jari telunjuk dimasukkan ke atas lateral dari
tuberkulum pubikum dan pasien melakukan valsalva manuver. Ikuti fasikulus spermatikus
sampai ke anulus inguinalis internus. Pada keadaan normal jari tangan tidak dapat masuk. Pasien
diminta mengejan dan merasakan apakah ada massa yang menyentuh jari tangan: Bila massa
tersebut menyentuh ujung jari maka itu adalah hernia inguinalis lateralis, sedangkan bila
menyentuh sisi jari maka diagnosisnya adalah hernia inguinalis medialis. 3,5,9
DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1.
2.
3.
4.
5.

HIDROCELE : dibedakan dengan transluminasi tes yang jelas


Varicocele : teraba seperti cacing
ANEURISMA FEMORAL : teraba pulsasi dan terdengar bruit
LIPOMA : ditemukan secara insendential saat operasi hernia
PEMBESARAN KELENJAR INGUINAL : biasanya multipel dan berada dibawah
ligamentum inguinale 2,8

PENANGANAN
Pengobatan hernia adalah operasi. Operasi elektif dilakukan untuk mengurangi gejala dan
mencegah komplikasi seperti inkaserasi dan strangulasi. Pengobatan non operatif
direkomendasikan hanya pada hernia yang asimptomatik. Prinsip utama operasi hernia adalah
11

herniotomy : membuka dan memotong kantong hernia, herniorraphy : memperbaiki dinding


posterior abdomen kanalis inguinalis.
Herniotomy
Insisi 1-2 cm di atas ligamentum inguinale dan aponeurosis obligus eksterna dibuka sepanjang
canalis inguinalis eksterna. Kantong hernia dipisahkan dari musculus cremaster secara hati-hati
sampai ke kanalis inguinalis internus, kantong hernia dibuka, lihat isinya dan kembalikan ke
kavum abdomen kemudian kantong hernia dipotong. Pada anak-anak cukup hanya melakukan
herniotomy dan tidak memerlukan herniorrhaphy.
Herniorrhaphy
Dinding posterior di perkuat dengan menggunakan jahitan atau non-absorbable mesh dengan
tehnik yang berbeda-beda. Meskipun tehnik operasi dapat bermacam-macam tehnik bassini dan
shouldice paling banyak digunakan. Tehnik operasi Liechtenstein dengan menggunakan mesh
diatas defek mempunyai angka rekurensi yang rendah.9
KOMPLIKASI OPERASI HERNIA
Komplikasi pada luka operasi dapat berupa hematoma yang dapat dicegah dengan hemostasis
yang baik, infeksi dapat dicegah dengan pemberian antibiotik, komplikasi pada testis berupa
iskemi dan atrofi pada testis insidensnya 1 % setelah operasi hernia. Iskemi pada testis biasanya
nampak 4 hari setelah operasi berupa bengkak dan nyeri pada testis. Komplikasi pada saraf
iliohypogastrik,ilioinguinal dan geniofemoral dapat terjadi akibat tarikan atau terpotong dengan
gejala berupa nyeri menetap. Kematian sangat jarang pada operasi hernia tapi kematian pada
operasi hernia strangulata dengan reseksi usus cukup signifikan.9.10
HERNIA STRANGULATA
Hernia strangulata merupakan hal yang serius dan dapat mengancam jiwa dimana isinya dapat
mengalami iskemi dan kematian. Masuknya usus dalam kantong hernia dan terjadinya cekikan
pada cincin hernia mengakibatkan kongesti pada vena sehingga terjadi edema pada usus dengan
meningkatnya tekanan sehingga suplai arteri juga tersumbat menyebabkan gangren pada usus.
Pasien dengan hernia strangulata akan nampak toksik, dehidrasi, dan demam. Pada abdomen
terdapat tanda-tanda obstruksi yaitu peningkatan peristaltik, abdomen yang distensi dan muntah.
Pada hernia tampak tegang, tidak dapat dimasukkan, warna kulit kemerahan atau kebiruan, dan
tidak ada bunyi peristaltik pada hernia. Pada keadaan ini perlu dilakukan tindakan yang cepat
yaitu resusitasi cairan dan elektrolit serta memasang pipa nasogastrik. Penderita diberikan
antibiotik segera setelah itu dilakukan operasi untuk melepaskan cekikan dan menilai viabilitas
usus, usus yang gangren dibuang dan yang viabel dilakukan anastomis end to end dan
dimasukkan kedalam kavum abdomen.
Kematian pada hernia strangulata berhubungan dengan lamanya strangulasi dan umur pasien.
Semakin lama terjadinya strangulata semakin meningkatnya kerusakan yang terjadi oleh karena
itu hernia strangulata merupakan bedah emergency. Hernia inkaserata tanpa tanda-tanda
12

strangulasi baik pada pemeriksaan fisis maupun laboratorium sebaiknya dicoba dikembalikan,
jika berhasil operasi dapat ditunda 1 atau 2 hari kemudian. Pemakaian prostetik mesh pada
hernia strangulata sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan resiko terjadinya translokasi
bakteri dan infeksi pada luka.8,9,10

Dumping Syndrome
DEFINISI:
Suatu kumpulan gejala akibat pengosongan lambung yang terlalu cepat. Sering terjadi setelah
operasi gaster ( gastrektomy ). Sebagian pasien dapat beradaptasi, namun sebagian lagi gagal
beradaptasi sehingga muncul komplikasi dumping syndroma.
1. Early Dumping Syndroma.
Muncul dalam beberapa menit ( 1-2 mnt) setelah makan makanan yang banyak mengandung
karbohidrat. Karbohidrat bersifat hiperosmolar, sehingga menarik cairan yeyunum yang
menyebabkan yeyunum dilatasi/meregang Renjatan/Borborigmi. G/: Palpitasi, berkeringat,
wajah merah, dan sinkop akibat reflek autonom akibat distensi yeyunum dan pelepasan hormon
vasoaktif usus yang berlebihan.
1. Late Dumping Syndroma.
Gejala timbul 1-2 jam setelah makan. Tampilan klinis terjadi karena hipoglikemia.Hal ini sering
terjadi setelah makan tinggi karbohidrat. Gula yang terlalu cepat masuk yeyunum akan
menyebabkan hiperglikemia dan merangsang terjadinya hiperinsulinemia. Hipoglikemia yang
terjadi adalah sekunder dari hiperinsulinemia.
Pengobatan dilakukan secara konservatif, dengan menghindari makanan manis dan mengandung
tepung serta menghindari minum saat makan agar makanan lebih kering dan turun dari lambung
lebih perlahan. Gejala makin lama akan makin berkurang dan akhirnya menghilang. Sangat
sedikit yang memerlukan pembedahan ulang.

Abdominal Compartemen Syndrome (ACS)


DEFINISI
Basic Science & Clinical Evidence (2001) Terjadinya TIA akibat edem masif usus &
jaringan sekitar dalam ruang kompartemen abdomen
Ivatury , et al 2000 Sindroma klinik yang ditandai TIA > 2025 cmH20, airway pressure,
hipoksia, kesulitan ventilasi, oliguria atau anuria, keadaan membaik setelah dekompresi.
Morris et al 1993 Abdomen distensi & tegang, peak inspiratory pressure dengan ventilasi
mekanik > 85 cmH2O atau ada oligouria.
Eddy et al , The Nashville experience 1997 Abdomen yang distensi & tegang, elevated peak
airway pressure dan hiperkarbia. Oliguria tidak selalu ditemukan.
13

HIA/IAP (Hipertensi Intra Abdominal/Intra Abdominal Pressure) : Peningkatan tekanan


intra abdomen menjadi 20 25 cmH2O.
ACS (Abdominal Compartemen Syndrome) : HIA yang tidak terkontrol disertai dengan gejala
klinis seperti gangguan ginjal, hati, kardiovaskuler & splanknikus.
FAKTOR PREDISPOSISI ACS.
Trauma Abdomen dan Pelvis yang extensive.
Damage control surgery
-Abdominal packing : Selama maupun setelah packing
-Continuing bleeding
Kontaminasi cavum peritoneal
Transfusions Massive dan crystaloid infusions
Inadequate resuscitation.
hypothermia-coagulopathy-acidosis Munculnya Trias of Death
Penutupan fascia terlalu ketat.
Hemorrhagic pancreatitis
Ileus and intestinal obstruction
Ruptured abdominal aortic aneurysm
Abdominal sepsis especially when associated with septic shock
Intraabdominal disease processes : massive ascites, tension pneumoperitoneum, ovarian masses,
etc.
Loss of abdominal wall compliance : abdominal wall burns, repair of large hernias
MANIFESTASI KLINIS
*Distended Abdomen ( Stone-Hard )
*Peak inspiratory pressures > 85 cm H2O, & CVP
*Hypoxia, Hypercarbia, Oliguria or anuria
*HIA/IAP 25mmHg or 30cmH20/urine
Abdomen
Dinding abdomen aliran darah
*Traktus Gastrointestinal aliran darah mukosa, pH intramukosa, Translokasi bakteri,
>15mmHg blood flow a. Mesenterica Superior.
Hepar aliran darah portal, fungsi mitokondria hepatosit.
Ginjal tekanan vena ginjal, plasma renin dan aldosteron, aliran darah ginjal, filtrasi
glomerulus, produksi urin.
Paru tekanan intratorakal, peak airway pressure, peak inspiratory pressure dan
intrapulmonary shunt, compliance paru
Kardiovaskuler venous return dan cardiac output, False increased of central venous
pressure and pulmonary artery wedge pressure, resistensi vaskuler sistemik dan pulmoner
Sistem Saraf Pusat tekanan intrakranial sekunder venous return, tekanan perfusi
serebral
Splanchnic Blood Flow Promotes gut mucosal acidosis, bowel edema and production of
oxygen free radicals
CARA MENGUKUR TIA/IAP
DIREK Menempatkan kateter/transducer di dalam rongga peritoneum lalu hubungkan dengan
manometer air.
14

INDIREK ( Gaster via NGT, Buli-buli via Kateter, Tek.v.Cava Inferior)


Alat pengukur (kateter/transducer) ditempatkan di dalam suatu organ dalam rongga abdomen
misalnya gaster atau buli-buli
Grade Tekanan Buli Anjuran
I
10 15 mmHg Maintenan normovolemik
II
16 25 mmHg Resusitasi hipervolemik
III
26 35 mmHg Dekompresi
IV
>35 mmHg
Dekompresi dan reeksplorasi
Grade IAP (mmHg/
Clinical
cmH2O)
7.3 11.0 (10-15) None
I
a
11.7 18.3 (16-25) Oliguria, splancnic
II
hypoperfusion
b
19.1 25.7 (26-35) Anuria, ventilation pressure
III
b
>25.7 (>35)
As above & pO2
IV
PENANGANAN DAN PENCEGAHAN.
Penutupan Fascia Sementara bila dicurigai resiko tinggi IAH.
Rawat ICU Monitoring pH mukosa gaster variable keberhasilan resusitasi.
Pengukuran IAP minimal tiap 4-6 jam.
Peningkatan IAP persisten > 20-25 mmHg indikasi Re-explorasi.

Trauma Abdomen
PENDAHULUAN
Respon tubuh manusia pada trauma
Dalam penanggulangan pasien trauma dengan syok, masalah yang perlu diperhatikan adalah
masalah ABC dan D sesuai dengan ATLS (Primary Survey).
Pada kejadian trauma, ada dua hal penting yang terjadi pada tubuh manusia:
1. Biomekanik trauma
Proses trauma-kecelakaan yang akan mengakibatkan benturan pada tubuh manusia dengan
berdampak terjadinya cedera pada tubuh/organ.
2. Respon metabolik terhadap trauma
Tubuh manusia melakukan reaksi terhadap trauma, yang merupakan aksi, dalam bentuk
perubahan metabolisme dan bertujuan untuk mengatasi/menangani stress trauma yang diterima.
BIOMEKANIK TRAUMA
1. Memahami dampak yang diakibatkan oleh trauma itusendiri.
2. Waspada terhadap jenis perlukaan yang ditimbulkan.
3. Membantu memprediksi organ yang mengalami cedera dan seberapa parah cedera yang
terjadi.

15

Mekanisme Trauma :
1. Primary collision
a. Frontal
b. Samping (T-bone)
c. Belakang
d. Terbalik (Roll-over)
2. Secondary collision
Penumpang menabrak bagian dalam mobil atau sabuk pengaman. Arah dan besarnya gaya yang
diterima penderita ini akan menentukan organ apa dan seberapa parah kerusakan yang terjadi
pada organ tersebut.
3. Tertiary collision
Pada keadaan ini organ tubuh penderita yang berada dalam suatu rongga akan melaju sesuai arah
tabrakan / gaya yang diterimanya (hukum Newton 3). Kemungkinan cedera yang dialami organ
ini dapat beruba perlukaan langsung ataupun terlepas/robek dari alat penggantung/ pengikatnya
pada rongga tersebut.
4. Subsidiary collision
Tergantung pada posisi penumpang dalam mobil. Penumpang yang berada di kursi belakang
akan terpental ke depan, atau barang-barang yang di belakang akan terlempar ke depan
membentur penumpang sehingga akan terjadi kerusakan lebih lanjut pada penumpang tersebut.
Pada suatu benturan denan arah gaya dari depan (frontal) dengan penderita tanpa sabuk
pengaman, dapat dibagi menjadi beberapa fase:
a. Fase 1: Bagian bawah penderita akan bergeser ke depan. Untuk penumpang yang
duduk di depan atau pada sopir, lutut akan menabrak dashboard.
b. Fase 2: Tubuh bagian atas penderita akan menyusul bergerak ke depan. Pada fase
ini dada
dan/atau perut akan menghantam setir sehingga harus diwaspadai
kemungkinan
cedera dada atau perut beserta organ di dalamnya. Pada penderita yang
duduk pada kursi
belakang tubunya akan menabrak kursi didepannya atau membentur penumpang yang duduk
di kursi depan sehingga ada kemungkinan menambah parah
cedera yang dialami
penderita yang duduk di kursi depan.
c. Fase 3: Tubuh penderita akan terdorong ke atas. Pada penumpang yang duduk di
depan
atau sopir maka kepala akan menghantam kaca depan menimbulkan cedera
bulls eye
injury atau menabrak bingkai kaca depan. Kemungkinan patah tulang leher
tidak dapat
dihindarkan pada fase ini.
d. Fase 4: Penderita kembali ke posisinya semula. Pada fase ini harus hati-hati
kemungkinan terjadi patah tulang leher. Ini terjadi karena pada waktu gaya yang
diterima oleh penderita sudah habis/berhenti sedangkan mobil masih bergerak sehingga kepala
penderita berikut lehernya akan mengalami hiperekstensi (whiplash injury) jika
kursinya
tidak memakai sandaran kepala yang baik. Kemungkinan yang lebih para pada
fase ini adalah
jika penderita terpental keluar.
Perlukaan organ intra abdomen dapat dibagi menjadi:
1. Perlukaan organ padat seperti hati, limpa, pankreas, ginjal.
2. Perlukaan organ berongga seperti lambung, , jejunum, kolon, buli-buli.
Perlukaan organ-organ ini dapat terjadi melalui beberapa mekanisme:
1. Benturan langsung
Misalnya hepar atau limpa yang menerima benturan langsung sehingga terjadi ruptur atau
16

laserasi, tergantung besarnya gaya yang diterima organ ini.


2. Cedera akselerasi-deselerasi
Cedera ini timbul akibat pada saat penderita telah berhenti melaju namun organ-organ intra
abdomen masih melaju, sehingga terjadi robekan pada penggantungnya, misalnya saja robekan
pada mesenterium, robekan pada pedikel limpa.
3. Efek kantong kertas (paper bag effect)
Efek ini timbul jika kedua ujung organ berongga dalam kondisi tertutup dan mendapat tekanan
dari luar sehingga tekanan didalam mengalami peningkatan secara mendadak yang jika melebihi
kekuatan dinding akan terjadi robekan. Efek kantong kertas ini hanya terjadi pada organ usus
atau paru
4. Perlukaan akibat memakai sabuk pengaman (seat belt)
Sabuk pengaman yang baik adalah tipe lap-shoulder belt yang jika dipakai dengan benar yakni
komponen panggul dai sabuk ini berada tepat di depan tulang panggul bukan di depan perut.
Meskipun begitu perlukaan masih dapat terjadi yakni:
a. Patah tulang selangka
b. Patah tulang iga
c. Perlukaan organ intra abdomen
Penumpang yang duduk di belakang, bila tidak memakai sabuk pengaman dapat terlempar ke
depan dan kepalanya akan membentur kursi di depannya sehingga bisa terjadi cedera servikal,
selain itu penumpang di belakang akibat benturan dengan kursi di depannya akan mendorong
kursi ke depan sehingga penumpang yang duduk di depan akan terjepit antara kursi dan sabuk
pengaman (jika memakai sabuk pengaman), atau terjepit antara kursi dengan setir (jika ia supir).
Pada anak, bila posisi badan dan sabuk pengaman tidak sesuai maka dapat terjadi submarining,
anak merosot ke bawah sehingga sabuk pengaman akan menjerat leher anak dan melukai leher
atau terjadi dekapitasi. Harus lebih diwasapadai lagi pada anak yang duduk dipangku ibunya dan
berada di kursi depan karena akan menerima gaya yang sangat besar dan anak menjadi pelindung
bumper ibunya.
5. Perlukaan pada kantung udara (air bag)
Kantung udara hanya ada pada mobil mewah dan hanya akan mengembang jika terjadi tabrakan
dari arah frontal dan tidak akan mengembang pada tabrakan dari belakang atau samping.
Kantung udara yang mengembang dapat menimbulkan perlukaan seperti patah tulang lengan
bawah, perlukaan mata jika memakai kaca mata. Pada anak kecil kantung udara ini dapat
menyebabkan kematian karena anak terbekap dalam kantung udara tersebut.
RESPON METABOLIK TERHADAP TRAUMA
Trauma pada tubuh manusia akan berdampak lokal maupun sistemik. Setiap stres, apapun
rupanya akan menyebabkan timbulnya respons metabolik. Respons lokal dapat berupa inflamasi
sedangkan secara umum merupakan proteksi tubuh seperti konversi cairan dan mengadakan
energi yang ditujukan untuk reparasi. Resusitasi yang baik akan mengurangi respons tersebut
tetapi tidak dapat menghilangkannya. Respons metabolik dimulai dengan reaksi katabolik yang
bersifat akut lalu diikuti oleh proses metabolik penyembuhan dan perbaikan. Respons metabolik
ini dibagi menjadi fase ebb dan fase flow. Pada fase ebb terjadi depresi aktivitas enzim dan
depresi pemakaian oksigen, curah jantung menurun dibawah normal, suhu inti tubuh dapat
menurun dan terjadi asidosis laktat. Sedangkan pada fase flow mempunyai dua fase:
- Fase katabolik ditandai dengan terjadinya mobilisasi lemak dan protein berkaitan dengan
meningkatnya eksresi nitrogen pada urin dan penurunan berat badan.
17

- Fase anabolik ditandai dengan kembalinya persediaan lemak dan protein serta meningkatnya
berat badan.
Pada fase flow ini terjadi keadaan hipermetabolik, curah jantung dan kebutuhan oksigen
meningkat, demikian juga produksi glukosa meningkat, kadar asam laktat dapat kembali normal.
MEKANISME TRAUMA ABDOMEN
Trauma Tumpul Abdomen
1. Peningkatan tekanan intra-abdomen yang mendadak, memberikan tekanan untuk merusak
organ padat (to burst injury of solid organs) seperti hepar dan limpa, atau rupture dari organ
berongga seperti usus
2. Shearing forces, secara klasik dimulai dengan deselerasi secara cepat pada kecelakaan lalu
lintas, hal ini dapat merobek pedikel vasculer seperti mesentrium, porta hepatis and hilus limpa
3. Compression injury organ viscera terperangkap antara dua kekuatan yang datang didinding
anterior abdomen atau daerah thoraks dengan tulang lumbar (kolumna vertebralis)
Trauma Penetrans Abdomen ( Stab Wound & Gunshot )
1. Luka tusuk: daerah trauma, arah trauma, kekuatan tusukan, panjang dan ukuran tusukan
2. Luka tembak: lebih kompleks, energi kinetik proyektil, proyectil velocity
3. Untuk luka tembak: low velocity proyectil atau high velocity proyectil
4. Low velocity: robekan langsung dan crushing pada jaringan lokal
5. High velocity: chrusing pada jaringan lokal dan cavitasi (terowongan)
Stab wound:
Benda yang menusuk (pisau,tombak, panah, balok kayu, dsb) jangan dicabut di ruang emergensi
karena ada efek tamponade terhadap perdarahan, tapi dilakukan dikamar bedah
GunShot :
Pintasan peluru tidak selalu lurus, bisa cedera organ akibat pantulan peluru
Akibat Blast Effect, luas kerusakan dapat diluar dugaan
Bom teroris: selain Blast effect, luka tembusan pecahan benda/logam kecil tidak terduga dan
susah ditemukan
Luka tembus akibat peluru umumnya harus laparotomi
MIST
M = Mechanism of Injury
I = Injury Sustained
S = Signs & Symptoms
T = Treatment
KRITERIA CURIGA TRAUMA ABDOMEN :
Hemodinamik tak stabil dengan penyebab tak diketahui
Shock hipovolemik dg penyebab tak diketahui
Trauma thoraks berat
Trauma pelvik
Gangguan kesadaran
Base deficit yang jelas
Hematuria
Tanda-tanda objektif abdomen (nyeri tekan,dsb)
Mekanismenya terjadi trauma berat

18

Tanda cedera intra abdominal


Abdomen yang makin distensi
Kenaikan tekanan intraabdominal
Rangsang peritoneal (involuntary guarding)
Udara bebas
PENANGANAN TRAUMA ABDOMEN
Resusitasi awal harus menjamin jalan napas dan oxygen delivery yang baik
Minute ventilation minimal 1,5-2 kali normal
Perdarahan eksterna masif segera hentikan dulu, sebelum resusitasi agresif
Penilaian Respon Resusitasi
1. Rapid Response
2. Transient Response
3. No Response > Tidak ada perbaikan tensi setelah diguyur 2000-3000 ml RL dalam waktu 1015 menit - berarti ada perdarahan masif - Langsung Ke Kamar Bedah !
Pasang NGT
Mungkin baru makan,Gelisah & kesakitan Aerofagia,Dilatasi akut gaster Bahaya,
Aspirasi, Venous return CO,Respirasi terganggu.
Kontra indikasi : Fraktur maxilla tengah dgn fraktur basis kranii
Pasang Kateter Monitor produksi urine, Apa ada hematuria
Kontra indikasi : ruptur urethra
DIAGNOSTIC PERITONEAL LAVAGE (DPL)
Root and Collagnes 1965 Metode pemeriksaan ini cepat, murah, akurat, aman untuk menilai
cedera intraperitonal trauma tumpul maupun trauma tembus abd.
Indikasi DPL
1. Equivocal : Gejala klinik yg meragukan misalnya trauma jaringan lunak lokal disertai dgn
trauma tulang yang gejala kliniknya saling mengaburkan.
2. Unreliable : Kesadaran pasien menurun setelah trauma kepala /intoksikasi.
3. Impractical : Mengantisipasi kemungkinan pasien membutuhkan pemeriksaan yang lama
waktunya seperti angiografi atau anastesi umum yg lama untuk trauma lainnya.
Kontra Indikasi :
Absolute: indikasi yang jelas untuk tindakan laparotomi
Relative: secara teknik sulit dilakukan seperti kegemukan, pembedahan abdominal
sebelumnya, kehamilan lanjut
Kelemahan DPL Tidak bisa evaluasi trauma diaphragma dan retroperitoneal.
Komplikasi DPL Perdarahan sekunder pd injeksi anestesi lokal, insisi kulit atau jaringan
bawah kulit yang akan memberikan false positif. Peritonitis akibat perforasi usus. Robek
kandung kencing, Cidera pada struktur abdomen, Infeksi luka didaerah pencucian (komplikasi
tertunda)
TEHNIK DPL :
1. Teknik terbuka
- Kurangi tekanan vesica urinaria dgn pemasangan kateter. Kurangi tekanan abd (lambung) dgn
pemasangan gastric tube.
19

- Siapkan ventral abd dgn desinfeksi.


- Injeksikan anestesi lokal dgn lidocain dgn campuran epineprin untuk cegah kontaminasi darah
dari kulit, 2 jari dibawah umbilikus sepanjang 5 cm.
- Buat insisi vertikal dikulit dan jaringan bawah kulit sampai facia 3 cm. Klem tepi-tepi fascia,
angkat dan buat jahitan tacbasak pd peritoneum dan insisi pd peritoneum 0,5 cm.
- Masukkan kateter dialisis peritoneal kedalam rongga peritoneum. Setelah kateter dialisis masuk
peritoneum, majukan kateter kedaerah pelvis.
- Hubungkan kateter dialisis dengan sebuah syaring dan disedot. Bila aspirasi, darah (-) (gross
blood) masukkan 1 liter NaCl hangat kedalam peritoneum melalui infus set di dalam kateter
dialisis.
- Guncang abdomen untuk menyalurkan cairan keseluruh rongga peritoneum dan meningkatkan
pencampurannya dgn darah. Jika kondisi stabil, biarkan cairan selama 510 menit sebelum
dialirkan keluar.
- Setelah cairan keluar 350cc, periksa laboratorium untuk penghitungan RBCambil 20 cc &
WBC tanpa diputar. Test positif jika RBC > 100.000/mm3 dan WBC > 500/mm3.
Ingat!!: Hasil negatif tidak berarti tidak ada cedera intra abdominal, bisa retroperitoneum, yaitu
pankreas atau robekan diapragma.
2. Teknik tertutup (Seldinger teknik).
3. Teknik Semi open.
Indikasi CT SCAN Abdomen:
Pasien dengan keadaan umum yang stabil
Delayed presentation gejala muncul lebih dari 24 jam setelah trauma
Hasil DPL yang meragukan
Kecurigaan trauma retroperitoneal seperti adanya hematuria tanpa trauma urethra atau buli-buli
USG FAST ( UltraSonografi- Focused Abdomnial Sonography for Trauma):
More operator dependent
Peningkatan resolusi ultrasound, prosedur lebih cepat, non invasif, murah
USG dapat dengan cepat menunjukan cairan bebas intraperitoneal dan trauma organ padat,
mampu mengevaluasi daerah retroperitonium,
USG kurang mampu untuk mengidentifikasi perforasi organ berongga.
KONSERVATIVE.
Pada pasien hemodinamik stabil
60 70% trauma tumpul organ padat dapat ditangani secara non operatif, angka kesuksesan
lebih dari 90%
Screening pasien dengan CT scan
5 Kasus yang memerlukan tindakan Explorasi Laparotomi Emergency:
1. Peritonitis
2. ileus Obstruktif.
3. Luka Penetrans
4. Abdominal Compartemen Syndrome.
5. Perdarahan Aktif-Anemis.

20

KEUNTUNGAN
Cepat, noninvasif
Cepat, tidak mahal
Sensitive >90% deteksi darah
Complikasi minimal
Cepat, Noninvasif, Mudah, dapat
USG-FAST
dilakukan bed side
Organ specific, informasi
CT-SCAN
retroperitoneal
Penentuan Grading injury
Estimasi jml perdaharan
Dapat u/ Follow Up Serial
LAPAROSKOPI Organ specific
LAPAROTOMI Sangat spesifik
Pem.Klinik
DPL

KERUGIAN
Tidak meyakinkan
Invasif, terlalu sensitif, spesifiknya terbatas
Miss retroperitoneal & diaphragma injury
False (+) pada pelvic fracture
Tergantung operator, tak berguna untuk
trauma hollow viscus
Pasien harus stabil, mahal
Butuh jarak waktu ke ruang CT Scan
Potensial alergi thd kontras
Nyeri, perlu narkose umum
Komplikasi, mahal

Gastrointestinal dan Enterocutaneus Fistula


DEFINISI
Fistel merupakan hubungan abnormal antara suatu saluran dengan saluran lain atau suatu
saluran dengan dunia luar melalui kulit.
Saluran penghubung permukaannya dilapisi epitel
Fistel enterokutaneus hubungan abnormal antara usus dengan kulit
KLASIFIKASI untuk prediksi morbiditas & mortalitas serta kemungkinan terjadinya
spontaneous closure
KLASIFIKASI FISTULA
I. Hubungan
Interna
Externa
II. Derajat
1. Simple
2.Complex

Type 1

III. Arah Fistula

Type 2
3. Obstruction
1. Lateral Fistula

Tanpa Hubungan dengan permukaan Tubuh


Berhubungan dengan permukaan Tubuh.
Short, direct tract,No associated abscess, No other
organ involvement
Morbiditas dan mortalitas tinggi
Spontaneous closure rendah
Associated with abscess, Multiple organ
involvement, Associated with abscess
Multiple organ involvement
Open into base of disrupted wound
There is an obstruction distal to the fistula opening

21

IV. Asal Fistula

V.Vol.Out Put
VI. Etiologi

2. End Fistula
1. Usus Halus

Morbiditas dan mortalitas tinggi

2. Colon

Spontaneous closure rendah


Morbiditas dan mortalitas lebih rendah

3.Pankreas

Spontaneous closure lebih tinggi


1. Low
< 200 ml/24jam

1.Low Out Put


2.High Out Put
1. Congenital
2. Spontan
3.Aquired

2. High
200 ml/24jam
< 500 cc / 24 jam, Berasal dari colon
> 500 cc / 24 jam, asal dari usus halus
Tracheo Oesoph, Duodenocolic fistula
Chrowns, TBC, Divertikel, Abcess, Lokal
perforasi, Radiasi enteritis
TraumaTusuk,Tembakan
OperasiAnastomosis, Drainase Abcess

Faktor yang menghambat terjadinya Spontaneous Closure :


1. Undrained sepsis
2. Distal obstruction
3. Underlying disease (e.q.,Crohns disease, radiation-induced bowel injury and malignancy
4. Other potential factors are separation of the bowel ends
5. A short fistula tract (<2 cm) 6. A foreign body, a bowell defect > 1 cm in diameter and
epithelialization of the tract
PENATALAKSANAAN
Manajemen Umum :
1. Resusitasi cairan
2. Jaga Keseimbangan cairan & elektrolit
3. Support nutrisi
4. Istirahat usus
5. Kontrole drainage fistula yang adekuat.
6. Rawat Luka & Antibiotik
7. Semua faktor penyebab fistula dicari dikoreksi
Ex: Obstruksi distal, Abses disekitarnya, Corpus alienum, eg. Mask, benang, Primary disease :
Chrown, malignancy.
Drainase:
Mencegah akumulasi cairan progresif & perkembangan infeksi
Profilaksis drainase jenis pembedahan & pengalaman ahli bedah
Diletakkan dekat di atas anastomosis digestif & jahitan resiko tinggi
Pada cav. Abdomen bgn atas drain isap tek. Rendah dengan bahan silikon lubang
banyak > disukai,
22

Cairan yang terlokalisir drainase perkutaneus


Kental passif drain, Encer drain isap, Volume cairan yang besar sistem terbuka &
aspirasi kontinu.
Proteksi Cutaneus:
Penggantian cepat elektrolit dan mempertahankan keseimbangan nutrisi
4 kriteria penilaian Optimalisasi perawatan kulit: Asal dari fistula, Kandungan alami dari
effluen, Kondisi dari kulit, Lokasi pintu traktus.
Penggunaan barier kulit Effluent dengan proteolitik, asam & basah yg tinggi
Resusitasi Caiaran & elektrolit
Eksudat Na, K, Cl, Bikarbonat, Proein, dll dehidrasi, hiponatremia, hipokalemia &
asidosis metabolik.
Penting analisa kandungan eksudat & Komposisi eksudat tdk sama dengan komposisi N
pada lokasi anatomisnya
Transfusi darah anemia retikulopenia
Fistula pankreas protein, bikarbonat
Eliminasi intake oral & subtitusi dengan alternatif nutrisi
Pemberian Nutrisi & Istirahat Usus( Parenteral & Enteral Nutrition)
Malnutrisi posisi & output fistula, 3 mekanisme fistula malnutrisi:
1. Hilangnya intake makanan
2. Hilangnya cairan kaya protein & energi
3. Hiperkatabolisme (sepsis)
Intake oral <, stop fistula gaster, duodenum, pankreas atau usus Makanan padat sekresi
getah digestifhalus Low output fistula output energi basal penuh, 1-1,5gr
protein/kgBB/hr, 30% kalori lemak High output 1,5-2 x energi basal + 1,5-2,5gr
protein/kgBB/hr + 2xRDA vitamin &
trace mineral, >10xRDA vit. C & Zn
TPN/EN memperbaiki status nutrisi & mengisirahatkan traktus GI
TPN sekresi traktus GI 30-50%, induksi sintesa protein, mempercepat penutupan.
EN
metode paling aman & efektif, komposisi yang lebih lengkap
Perawatan Luka & Antibiotik.
Kebocoran cairan GIT sepsis lokal & sistemik penutupan spontan <
Penanganan :
1. Pengangkatan jahitan & atau benang
2. Drainase
3. Balutan luka
4. Antibiotik
5. Perawatan stoma
Persiapan usus neomycin & eritromycin + cefalosporin gen. I/II i.v perioperatif
PENATALAKSANAAN
CONSERVATIVE TREATMENT
1. Stabilization.
Pasien fistel enterokutaneus :
Inflamasi,Malnutrisi, Dehidrasi, Defisit volume intravaskuler KU Jelek.
Tujuan tindakan pada fase ini menstabilkan penderita :
Menurunkan intestinal out put, Mengurangi kehilangan cairan & elektrolit sekaligus
23

makes wound and skin care easier


Tindakan pertama segera mengembalikan volume intravaskuler dengan :
Kristaloid, koloid dan darah untuk memperbaiki perfusi jaringan
Bila sepsis kontrol sepsis, Abses drainase
Antibiotik, Berikan H2 antagonis untuk mencegah stress erosion dan menurunkan
sekresi gaster.
2. Investigation.
Investigasi dilakukan bila pasien sudah Teresusitasi, Stabil, Sepsis sudah terkontrol.
Investigasi untuk menentukan :
1. Course & origin of the fistula tract
2. Presence of a persistence abscess
3. Condition of adjecent bowel
4. The presence of distal obstruction or discontinuity
3. Nutrition.
a. Total Parenteral nutrition.
Wolfe ,et al (1972) TPN menurunkan output spontaneous closure
TPN sedini mungkin setelah Koreksi defisit volume & elektrolit,Sepsis sudah terkontrol
TPN :
30 40 kcal/kg/hari dengan ratio kalorinitrogen 150 : 1
0,250,35 gr Nitrogen/kgBB/hari untuk mempertahankan balans nitrogen
positif
Lipid emulsion 3 hari /minggu, Untuk meningkatkan densitas kalori dan untuk
mencegah defisiensi asam lemak esensial
Trace elements, multivitamin dan vitamin K diberikan tiap minggu
b. Enteral Nutrition
Walau TPN EN juga harus diberikan pada selected patients
Tujuan EN untuk mempertahankan balans nitrogen positif
Diet low residual memilki keterbatasan pada fistel GIT proximal (fistel gastro
duodenalis) untuk fistel bag. Distal (fistel pada colon) EN hasil bagus.
Diet low residual (EN) tidak boleh diberikan pada: Pasien sepsis atau peritonitis,
Ileus paralitik, Abses intra abdominal, Obstruksi usus bahagian distal.Route pemberian EN
NG tube, ND tube, Feeding yeyunostomy, Needle catheter yeyunostomy
(elemental diets only)
Diet elemental atau diet low residual yang hyperosmolar diberikan dengan cara infus
perlahan untuk mencegah terjadinya cramping dan dumping
c. Somastostatin 14 (1979, Klempa)
Diberikan untuk menurunkan fistula out put
Kerja somatostatin
Menurunkan sekresi gastrointestinal dengan cara menghambat sekresi gastrin, gastric acid,
biliary flow, pancreatic out put dan intestinal secretion
Menghambat motilitas sistem GI tract, Meningkatkan intestinal transit time
Somatostatin 14 menghambat sekresi eksokrin pankreas, motilitas GI , sekresi
lambung , menghambat sekresi basal menekan stimulasi eksogen stabilisasi
prabedah, penyembuhan fokus infeksi & malnutrisi.
24

Somatostatin 14 + TPN penutupan spontan fistula GI , Rekomendasi T/ fistula GI


tanpa obstruksi mekanis
Output fistula tetap (48 jam post T/ Somatostatin) T/ stop
d. Fibrin Glue.
Menyuntik bahan tertentu kedalam fistula tract obliterasi
Bahan yang disuntik Cyanoacrylate glue, Fibrin glue yang terbaik.
Fibrin glue Menginduksi respons seluler sehingga terbentuk neovaskularisasi dan
proliferasi fibroblast. Dengan endoskopik disuntik melalui internal origin
OPERATIVE/SURGERY TREATMENT
Indikasi:
1. Prognosis buruk u/ konservtif
2. Fistula persisten (30-60 hr)
3. Koreksi anomali mekanis
Pertimbangan memulai terapi pembedahan:
1. Apakah t/ konservatif sdh optimal?
2. Adakah alasan anatomis?
3. Apakah status nutrisi sdh efektif terlaksana?
4. Sudah terkontrolkah sepsis?
5. Apakah psn dlm keadaan fit?
Tujuan operasi :
a. Drainage pus
b. Membuat kompleks fistel menjadi direk
c. Melakukan eksteriorisasi, divert atau bypass
d. Eksisi fistel en block dengan obstruksi distalnya dan melakukan anastomosis end to end.
Macam Operasi :
I. Reseksi Anastomosis, Omentum patch.
II. Pada usus pasca radiasi Bypass, Ekseriorisasi.
III. Keadaan umum jelek Bypass, Ekseriorisasi.
IV. Muscle flap Bila konservatif gagal, Kompleks fistula :
a. Pasca bedah reseksi usus luas
b. Gastrointestinal bleeding
c. Defect dinding abdomen
Petunjuk pelaksanaan pengobatan dari fistel menurut SHELDON Cs
4 phase approach
1. Initial phase :
- Restore blood volume
- Koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
- Perawatan Fistula
- Protect skin
- Monitoring Out put Fistula
- Drain abcess
- Antibiotic
2. Second phase ( up to 3 days )
- Lanjutkan Therapi cairan dan elektrolit
25

- Parenteral nutrisi dimulai


3. Third phase ( up to 5 days )
- Mulai Enteral feeding: Oral, Tube, Jejunostomy
- Investigasi Anatomy of the fistule ( contrast study and fistulography )
4. Fourth phase ( after 5 days ) :
- Lanjutkan therapi nitrisi sampai fitel menutup, if gagal Operasi.
- Operasi untuk menghindari keadaan sepsis.

Fistula Ani, Proses Defekasi


PENDAHULUAN
Fistula adalah hubungan yang abnormal antara suatu saluran dengan saluran lain, atau antara
suatu saluran dengan dunia luar melalui kulit. Yang pertama disebut fistula interen dan yang
kedua fistula eksteren. Fistula anorektal atau fistula ani adalah terowongan abnormal dari anus
atau rektum, biasanya menuju ke kulit di dekat anus, tapi bisa juga ke organ lainnya seperti
vagina.
PATOGENESIS
Ruang supralevator berada diatas levator ani dan di sisi rektum ,dimana ruang ini
menghubungkan bagian posterior yang lainnya. Mayoritas penyakit supurativ anorektal terjadi
karena infeksi dari kelenjar anus (cyptoglandular). Kelenjar ini terdapat melintang di dalam
ruang intersphinteric, dan tidak terdapat pada kripte anal yang berada pada kanalis anal pada
daerah garis dentata.
Diawali kelenjar anus terinfeksi, sebuah abses kecil terbentuk di daerah intersfincter. Abses ini
kemudian membengkak dan fibrosis, termasuk di bagian luar kelenjar anus di garis kripte.
Ketidakmampuan abses untuk keluar dari kelenjar tersebut proses purulen meluas sampai
perineum, anus atau seluruhnya abses perianal atau fistula. Sebagian besar fistula terbentuk
dari sebuah abses, tapi tidak semua abses menjadi fistula. Lubang primer atau interna biasanya
ditemukan dalam salah satu sinus analis. Kebanyakan terletak pada satu sisi garis tengah
posterior. Jika muara kulitnya anterior terhadap garis transversa yang ditarik melalui anus,
maka muara interna adalah pada garis radial langsung ke dalam anal rektum. Jika muara kulit
posterior terhadap garis transversa, muara interna mungkin berada pada garis tengah posterior
(hukum Goodsall). Penyebab di posterior merupakan hasi dari defek fusi pada muskulus
longitudinal dan sfingter eksternal pada garis tengah posterior, oleh karena itu, fistula
transfingter lebih mudah terjadi pada posisi ini, dimana saluran dapat diseksi ke dalam satu atau
kedua-dua fossa ischiorektal.
DIAGNOSIS
Gejala Klinis, Pasien biasanya mengeluhkan beberapa gejala yaitu :
Nyeri pada saat bergerak, defekasi, dan batuk,Ulkus, Keluar cairan purulen
Benjolan (Massa fluktuan), Pruritus ani, Demam, Kemerahan dan iritasi kulit di sekitar anus,
General malaise.
1. Anamnesis
Dari anamnesis biasanya ada riwayat abses perianal residif dengan selang waktu di antaranya,
disertai pengeluaran nanah sedikit sedikit.
2. Pemeriksaan Fisis
26

Di daerah anus, ditemukan 1/lebih fistula atau teraba fistula di bawah permukaan. Pada colok
dubur bidigital fistel dapat diraba antara jari telunjuk di anus (bukan di rectum) & ibu jari di kulit
perineum seperti tali setebal 3 mm .
3. Pemeriksaan Penunjang.
Fistulografi
- Injeksi kontras melalui pembukaan internal, diikuti dengan anteroposterior, lateral dan
gambaran X-ray oblik untuk melihat jalur fistula.
Ultrasound endoanal/ endorektal
- Menggunakan transduser 7 atau 10 MHz ke dalam kanalis ani untuk membantu melihat
differensiasi muskulus intersfingter dari lesi transfingter. Transduser water-filled ballon
membantu evaluasi dinding rectal dari beberapa ekstensi suprasfingter. Modalitas ini tidak
digunakan secara luas untuk evaluasi klinis fistula.
MRI MRI dipilih apabila ingin mengevaluasi fistula kompleks, untuk memperbaiki
rekurensi.
CT- Scan CT Scan memerlukan administrasi kontras oral dan rektal
Barium Enema u/ fistula multiple dapat mendeteksi penyakit inflamasi usus.
Anal Manometri :
Evaluasi tekanan pada mekanisme sfingter berguna pada pasien tertentu.
Menurunkan observasi nada sewaktu evaluasi preoperative
Riwayat fistulotomi sebelumnya.
Riwayat trauma obstetrik
Fistula transfingterik/ suprasfingterik tinggi (jka diketahui)
Jika menurun, bagian operasi pada beberapa portio sfingter harus dielakkan.
Sistem Klasifikasi Parks Parks membagi fistula ani menjadi 4 type:
Intersphinteric fistula
Berawal dalam ruang diantara muskulus sfingter eksterna dan interna dan bermuara berdekatan
dengan lubang anus.
Transphinteric fistula
Berawal dalam ruang diantara muskulus sfingter eksterna dan interna, kemudian melewati
muskulus sfingter eksterna dan bermuara sepanjang 1 atau 2 inchi di luar lubang anus,
membentuk huruf U dalam tubuh, dengan lubang eksternal berada di kedua belah lubang anus
(fistula horseshoe).
Suprasphinteric fistula
Berawal dari ruangan diantara m. sfingter eksterna dan interna dan membelah ke lalu turun
diantara puborektalatas muskulus pubrektalis & m.levator ani lalu muncul 1 atau 2 inchi diluar
anus.
Ekstrasphinteric fistula
Berawal dari rektum atau colon sigmoid dan memanjang ke bawah, melewati muskulus levator
ani dan berakhir di sekitar anus. Fistula ini biasa disebabkan oleh abses appendiceal, abses
diverticular, atau Crohns Disease.
DIAGNOSIS BANDING
Hidranitis supurativa Merupakan radang kelenjar keringat apokrin yang membentuk
fistula multiple subkutan. Predileksi di perineum, perianal, ketiak dan tidak meluas ke struktur
yang lebih dalam.
27

Sinus pilonidalis Terdapat di lipatan sakrokoksigeal, berasal dari rambut dorsal tulang
peradangan dan infeksi akutkoksigeus/ujung os sacrum. Gesekan rambut sampai abses dan
terbentuk fistel setelah abses pecah.
Fistel proktitis Fistel proktitis dapat terjadi pada morbus Crohn, tbc, amubiasis, infeksi
jamur, dan divertikulitis. Kadang disebabkan oleh benda asing atau trauma.
PENATALAKSANAAN
Terapi Konservatif
Medikamentosa dengan pemberian analgetik, antipiretik serta profilaksis antibiotik jangka
panjang untuk mencegah fistula rekuren.
Terapi pembedahan Fistulotomi atau Fistulektomi.
* Fistulotomi Fistel di insisi dari lobang asalnya sampai ke lubang kulit, dibiarkan terbuka
sembuh per sekundam intentionem. Dianjurkan sedapat mungkin dilakukan fistulotomi.
* Fistulektomi Jaringan granulasi harus di eksisi keseluruhannya untuk menyembuhkan
fistula. Terapi terbaik pada fistula ani adalah membiarkannya terbuka.
* Seton Seutas benang atau karet diikatkan malalui saluran fistula dan ditinggalkan untuk
beberapa bulan sehingga terlepas sendiiri.
* Advancement Flapi Menutup lubang dengan dinding usus, tetapi keberhasilannya tidak
terlalu besar.
* Fibrin Glue Menyuntikkan perekat khusus (Anal Fistula Plug/AFP) ke dalam saluran fistula
yang merangsang jaringan alamiah dan diserap oleh tubuh.
PROSES DEFEKASI
Proses defekasi terjadi baik secara disadari (volunter), maupun tidak disadari (involunter) atau
refleks. Gerakan yang mendorong feses ke arah anus terhambat oleh adanya kontraksi tonik dari
sfingter ani interna yang terdiri dari otot polos dan sfingter ani eksterna yang terdiri dari otot
rangka. Sfingter ani eksterna diatur oleh N. Pudendus yang merupakan bagian dari saraf somatik,
sehingga ani eksterna berada di bawah pengaruh kesadaran kita (volunter).
Proses defekasi diawali oleh terjadi refleks defekasi akibat ujung ujung serabut saraf rectum
terangsang ketika dinding rectum teregang oleh massa feses. Sensasi rectum ini berperan penting
pada mekanisme continence dan juga sensasi pengisian rectum merupakan bagian integral
penting pada defekasi normal. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut : pada saat volume
kolon sigmoid menjadi besar, serabut saraf akan memicu kontraksi dengan mengosongkan isinya
ke dalam rectum. Studi statistika tentang fisiologi rectum ini mendeskripsikan tiga tipe dari
kontraksi rectum yaitu : (1) Simple contraction yang terjadi sebanyak 5 10 siklus/menit ; (2)
Slower contractions sebanyak 3 siklus/menit dengan amplitudo diatas 100 cmH2O ; dan (3) Slow
Propagated Contractions dengan frekuensi amplitudo tinggi. Distensi dari rectum menstimulasi
reseptor regang pada dinding rectum, lantai pelvis dan kanalis analis. Bila feses memasuki
rektum, distensi dinding rectum mengirim signal aferent yang menyebar melalui pleksus
mienterikus yang merangsang terjadinya gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon
sigmoid dan rectum sehingga feses terdorong ke anus. Setelah gelombang peristaltik mencapai
anus, sfingter ani interna mengalami relaksasi oleh adanya sinyal yang menghambat dari pleksus
mienterikus; dan sfingter ani eksterna pada saat tersebut mengalami relaksasi secara
volunter,terjadilah defekasi.Pada permulaan defekasi, terjadi peningkatan tekanan
intraabdominal oleh kontraksi otototot kuadratus lumborum, muskulus rectus abdominis,
28

muskulus obliqus interna dan eksterna, muskulus transversus abdominis dan diafraghma.
Muskulus puborektalis yang mengelilingi anorectal junction kemudian akan relaksasi sehingga
sudut anorektal akan menjadi lurus. Perlu diingat bahwa area anorektal membuat sudut 900
antara ampulla rekti dan kanalis analis sehingga akan tertutup. Jadi pada saat lurus, sudut ini
akan meningkat sekitar 1300 1400 sehingga kanalis analis akan menjadi lurus dan feses akan
dievakuasi. Muskulus sfingter ani eksterna kemudian akan berkonstriksi dan memanjang ke
kanalis analis. Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi sfingter ani eksterna yang berada di
bawah pengaruh kesadaran ( volunteer ). Bila defekasi ditahan, sfingter ani interna akan tertutup,
rectum akan mengadakan relaksasi untuk mengakomodasi feses yang terdapat di dalamnya.
Mekanisme volunter dari proses defekasi ini nampaknya diatur oleh susunan saraf pusat. Setelah
proses evakuasi feses selesai, terjadi Closing Reflexes. Muskulus sfingter ani interna dan
muskulus puborektalis akan berkontraksi dan sudut anorektal akan kembali ke posisi
sebelumnya. Ini memungkinkan muskulus sfingter ani interna untuk memulihkan tonus ototnya
dan menutup kanalis analis.

Prolaps Recti
DEFINISI
Prolaps ( Prosidensia/Komplit ) recti adalah keluarnya seluruh tebal dinding rectum melalui
anus.
Factor yang dikatakan sebagai pencetus prolaps rekti:
1. Peningkatan Tekanan intra abdomen (Konstipasi, Diare, BPH, Penyakit Paru
Obstruksi Kronik, Pertusis,dll).
2. Gangguan pada dasar pelvis.
3. Infeksi Parasit ( Amubiasis, Schistosomasis ).
4. Struktur Anatomi ( Cul-de-sac, Kelemahan otot penyangga rektum, redundan
rektosigmoid ).
5. Kelainan neurologis ( Trauma pelvis, sindrom auda ekuina, tomur spinal, multiple
sklerosis )
Prolaps rekti dibagi 3 yaitu:
a. Occult Prolaps Rekti. Prolap mukosa rekti melalui anus Hemoroid.
b. Prolaps rekti parsial ( intusussepsi ). Bila lapisan mukosa dinding rectum yang
keluar
melalui anus yang secara umum di proyeksikan 2-4 cm.
c. Prolaps rekti complit ( Prosidensia ). Bila seluruh lapisan dinding rectum
mengalami protrusi melalui anus sepanjang 12 cm.
DIAGNOSA
Anamnesa.
Nyeri/rasa tidak enak saat defekasi, panggul terasa penuh, selalu ingin defekasi, kadang juga
sulit, sekresi lendir dan darah banyak, kadang diare berkepanjangan, massa keluar dari anus,
adanya sulkus antara rektum dan anus, inkontinensia alvi.
Pemeriksaan Fisik.
Penonjolan rektum dgn lipatan mukosa konsentrik, massa dapat direposisi, inkarserasi atau
strangulasi, ulkus mukosa dengan perdarahan, tampak posisi anus normal (tidak eversi) Colok
dubur : pinggir anus beralur, tonus sfingter lemah.
29

Pemeriksaan Penunjang.
o Laboratorium.
Tidak ada gambaran laboratorium yang spesifik pada prolaps rekti. Kadang peningkatan kadar
leukosit, penurunan hemoglobin.
o Barium Enema.
Evaluasi kolon untuk menyingkirkan kelainan primer pada kolon yang dapat menyebabkan
prolaps.
o Video Defecography ( Colonic Transit Study )
Untuk menentukan prolap internal atau prolap mukosa (parsial/ intusussepsi) bila tidak ada
keluhan atau gejala yang jelas. Material/kontras radiopaque/barium dimasukkan ke dalam
rectum, perhatikan keluarnya kontras saat defekasi.
o Test Manometri.
Menilai beratnya kerusakan fungsi otot-otot sfingter ani. Sering ditemukan penurunan tekanan
sfingter ani internus dan tidak adanya kemampuan reflek penahan dari anorektal. Test ini masih
diperdebatkan dan beberapa ahli tidak merekomendasikan test ini.
o Test Sitz Marker.
Test ini digunakan untuk meyakini patensi kolon yang berguna dalam menentukan apakah
diperlukan tindakan reseksi kolon.
o Rigid Proctosigmoidoscopy.
Untuk menemukan adanya ulkus rectum yang soliter, yang terjadi hampr 10-25%. Jika
ditemukan ulkus tunggal atau multiple pada dinding anterior rectum, daerah ini sebaiknya
diangkat dan sering menimbulkan perdarahan.
PENANGANAN
Konservatif.
Prolaps rekti dini pada anak-anak, prolaps rekti interna ( hemoroid ) dan prolaps rekti mukosa
yang masih dini dapat diberikan obat-obat yang dapat melembutkan feses atau laksansia, diet
tinggi serat. Reposisi manual dilakukan dengan ataupun tanpa sedasi ringan atau local anestesi
menggunakan jelly. Pemberian sukrosa atau gula dapat dilakukan untuk membentuk jaringan
granulasi permukaan mukosa yang diharapkan dapat mengurangi udem. Bila reposisi tidak
berhasil, prolap rekti udem dan tidak viable akibat inkarserata/strangulasi, dilakukan tindakan
reseksi.
Pembedahan.
Pembedahan prolap rekti dilakukan dengan pendekatan abdominal, perineal maupun
laparoscopy. Prosedur abdominal memiliki resiko kekambuhan yang minimal namun morbiditas
tinggi. Pasien usia lanjut ( pasien yang memiliki masa hidup lebih pendek dan keadaan umum
yang buruk ) sebaiknya dilakukan pendekatan perineal karena resiko morbiditas yang rendah,
sedangkan pasien usia muda ( pasien yang memiliki masa hidup lebih panjang dan keadaan
umum baik ) sebaiknya dilakukan pendekatan abdominal.
Pendekatan Perineal.
Tehnik Mukosal Sleeve Resection ( Delome Procedure )
1. Eversi rectum .
Pasien dalam posisi litotomy, rektum di tarik keluar menggunakan forcep Babcock melalui anus
30

secara perlahan-lahan, sampai lapangan operasi jelas.


2. Injeksi local anestesi pada submukosa.
Setelah rectum dieversikan, injeksi lidokain 0,5%, bupivacain 0,25%, dan epinephrine yang
sudah diencerkan secara melingkar/sirkuler (sirkumferensial) sedalam 1-1,5 cm diatas linea
dentate.
3. Insisi mukosa melingkar/sirkuler ( sirkumferensial ).
Insisi mukosa secara melingkar/sirkuler dengan menggunakan cauterisasi, dengan bantuan klamp
di empat posisi untuk memudahkan tindakan.
4. Diseksi/pisahkan mukosa dari otot rektum secara hati-hati dengan menggunakan cauter
dengan bantuan jari yang dimasukkan kedalam rongga rektum untuk memudahkan traksi rektum
dan mencegah diseksi terlalu tebal.
5. Plikasi otot- rektum dengan jahitan sirkuler ke dinding rektum.
6. Reseksi mukosa rektum dan lakukan anastomose mukosa-mukosa, setelah dijahit mukosa akan
kembali ke posisi snatomis secara spontan.
Tehnik Perineal Rektosigmoidektomy.
1. Setelah dieversi dan dilakukan anestesi lokal pada mukosa rektum, mukosa rektum di insisi 11,5 cm dengan cauter pada perbatasan dengan sidmoid dan linea dentata secara melingkar,
sampai tampak lemak perirektal dan mesorektal ( a,b,c ).
2. Mobilisasi rektum dengan menggunakan klamp, ligasi dan pisahkan pembuluh darah dari
mesorektum. Saat redundan rektum dan sigmoid telah dimobilisasi secara adekuat, maka kantong
hernia peritoneum ditutup dan dijahit, kemudian dilakukan reseksi redundan kantong hernia
untuk menghindari intusussepsi anterior.
3. Levatorplasty dilakukan untuk membentuk sudut yang tepat dari otot dasar pelvis untuk
penanganan inkontinensia dan menghindari herniasi sehingga rekurensi dapat dicegah. Tindakan
ini dapat dilakukan dari anterior ke rektum, posterior ke rektum atau kedua-duanya.
4. Transeksi proksimal rektum dan anastomosis. Identifikasi rektum redundan dan mesorektum
yang akan direseksi. Transeksi dimulai dengan membebaskan dinding usus besar dibagian
superior dan menempatkan satu jahitan pada ujung terluar rongga rektum. Transeksi dilanjutkan
pada bagian inferior untuk membentuk menjadi empat area, dan dilakukan jahitan kedua. Dengan
menarik kedua jahitan tersebut, dilakukan jahitan tambahan pada daerah yang tersisa untuk
menandai keempat kuadran.
Pendekatan Transabdominal.
Open Rektopeksi ( Frykman-Goldberg Procedure ).
1. Insisi didaerah midline atau pfannenstiel di bawah umbilikus, ekplorasi bagian pelvis dan
amankan strutur abdomen lainnya.
2. Mobilisasi sigmoid dengan insisi refleksi peritoneum, identifikasi pembuluh darah gonad dan
ureter lalu amankan, kemudian lanjutkan insisi di rektouterina atau rektovesica di kanan dan kiri
rektum.
3. Transeksi kolon sigmoid bagian proksimal dan penempatan stapler anvil. Daerah simoid
kolon descenden dipisahkan dengan jaringan sekitarnya lalu letakkan klemp di proksimal dan
distal sigmoid. Kemudian dilakukan reseksi pada kedua klemp tersebut lalu dijahit dengan
benang prolene 2.0 pada ujung masing-masing klemp.
4. Pemisahan mesenterium sigmoid, dengan preservasi dan ligasi pembuluh darah.

31

5. Mobilisasi rektum dan pemisahan dengan ligamentum.


6. Dilakukan anastomosis colorektal ( rektopeksi prosedure ).
Laparoscopy Rektopeksi.
1. Lakukan penempatan trocar, di infraumbilikus atau supraumbilikus (tehnik open hasson)
untuk penempatan kamera. Dilakukan pneumoperitonium kemudian tambahkan 2 trocar dilateral
abdomen.
2. Mobilisasi sigmoid dan rektum, pisahkan dan amankan pembuluh darah mesenterium.
3. Transeksi intracorporal rektum pada rektosigmoid junction.
4. Transeksi ektracorporal proksimal usus.
5. Anastomose colorektal ( rektopeksi ).
Laparoscopy Mess Rektopeksi.
Invalon Sponge Repair ( Well Procedure ).
Penanganan Post Operatif.
Pasien yang dilakukan pendekatan perineal dengan komplikasi nyeri yang minimal dan waktu
perawatan relative pendek. Pasien dipuasakan 12-24 jam, kemudian diberikan cairan per oral
secara bertahap sampai diet yang teratur. Fungsi usus lebih cepat pulih dan pasien dapat
dipulangkan 24-72 jam setelah operasi. Sedangkan pada pasien dengan pendekatan
transabdominal biasanya memiliki keluhan illeus dan nyeri. Diberikan cairan intravena dan
nutrisi parenteral sampai ada tanda-tanda kembalinya fungsi usus normal, maka diet per oral
dapat diberikan. Pasien yang dilakukan anastomose sebaiknya diberikan makanan rendah serat
selama 2-3 minggu untuk menghindari konstipasi. Pasien yang tidak dilakukan anastomose,
dapat diberikan diet tinggi serat segera mungkin.
KOMPLIKASI
Ulkus mucosal.
Necrosis dinding rektum.
Perdarahan, infeksi, Trauma usus, kebocoran anastomosis.
PROGNOSIS
Reolusi spontan biasanya terjadi pada anak-anak.
Pasien umur 9 bulan 3 tahun hanya membutuhkan penanganan konservatif.

Hemorroid
DEFINISI
Hemorrhoid adanya prolapsus bantalan anus
(Anal Cushion) Dilatasi satu/ lebih segmen vena dalam pleksus hemoroidalis
Nama lain : wasir, ambein, pila, piles
Pria > wanita (2:1) Terutama usia >50 tahun
Posisi primer: jam 3, 7 dan 11.
Kanalis analis berasal dari proktoderm
Panjang sekitar 3 cm Membentuk sudut ke dorsal dgn rektum.
Batas atas : garis anorektal (garis mukokutan, linea pektinata, linea dentata)
Terdapat kripta anus dan muara kelenjar
32

Kolumna Morgagni : lipatan longitudinal mukosa di atas linea dentata. Garis Hilton : lekukan
antar sfingter sirkuler .
Anal cushion: vascular submucosa, connective tissue, Treitz / Park muscle
Teori Hemorrhoid
Teori Varikosse (Jaman Hippocrates) Dilatasi vena
Peninggian tekanan vena
Kelemahan dinding vena
Obstruksi venous dinding rectum, spasme spincter
Teori Hiperplasia Vascular Histologis tidak ditemukan
Teori Sliding Anal Cushion Adanya sliding dari bantalan anus
Mekanisme dasar terjadinya Hemorrhoid adalah
Pembendungan hipertropi bantalan anus interna
Kegagalan pengosongan vena
Bantalan anus Mobile
Terperangkapnya bantalan anus oleh sfingter ani
KLASIFIKASI
1. Hemorrhoid Interna Diatas Linea Dentata.
2. Hemorrhoid Eksterna Dibawah Linea Dentata.
GRADING HEMORRHOID INTERNA
Grade I : Perdarahan merah segar tanpa nyeri waktu defekasi, tidak terdapat prolap.
Anoskopi hemorrhoid membesar dan menonjol.
Grade II: Hemorrhoid menonjol melalui kanalis analis saat mengedan ringan namun dapat
masuk kembali secara spontan.
Grade III: Hemorrhoid menonjol saat mengedan dan harus didorong masuk secara manual
Grade IV: Hemorrhoid menonjol keluar dan tidak dapat didorong masuk kembali
PRINSIP PENANGANAN
1. Kelainan Anorektal yang sering dijumpai dan bisa ditemukan bersama-sama kelainan
anorektal yang maligna.
2. Anal cushion merupakan struktur anatomis fungsional tidak membutuhkan
penanganan kecuali bila sudah timbul gejala-gejala
3. Strategi penanganan sangat tergantung dari banyaknya jaringan yang prolapsus
melewati anal verge.
4. Saat menunggu perbaikan gejala biasanya terjadi setelah 6 minggu penanganan
tambahan untuk memperbaiki gejala-gejala.
PENANGANAN.
A. Penanganan Non Invasive.
1. Pencegahan (Prevention) Hindari konstipasi kronik, Hindari makanan pedas, Diet
Bulk Laxatives , Hindari mengedan saat defeksi, Jangan memakai pencahar.
2. Medikamentosa
Menghentikan perdarahan, gatal, nyeri. Memperbaiki defekasi : suplemen fiber dan pelunak
feces (stool softener).

33

B. Penanganan Invasive.
I. Minimal Invasive (Instrumentasi)
1. Skleroterapi
2. Rubber band ligation
3. Cryosurgery
4. Infra Red Coagulation
5. Stapled
II. Operative Penanganan Irreducible Prolapsed Hemoroid
Prolaps Anal Cushion Fungsi sudah tidak efektif untuk mempertahankan kontinensia
kerusakan fungsi motoris.
Therapi Pembedahan ( Hemmoroidectomy ) :
1. Open Hemmoroidectomy ( Milligan Morgan )
2. Submukosa Hemmoroidectomy ( Parks )
3. Close Hemmoroidectomy ( Ferguson )
4. Whitehead
5. Langenback
Ferguson (Close Hemoroidectomy)
Penanganan nyeri pasca operasi
Pasca operasi hemoroidektomi sangat nyeri.
Metode penanganan nyeri pasca operasi: Berikan anastesi yang baik, Analgesi yang adekwat,
Bulk laxative dan sitz bath, Gunakan diatermi
Penanganan perdarahan pasca operasi
Ditemukan sekitar 3,3% 6,7%
Jarang ditemukan kurang dari 24 jam pasca operasi
Perdarahan sekunder pada hari ke 7 14 pasca operasi
terjadi sepsis pedikel hemoroid atau terjadi robekan luka operasi saat defekasi
Penanganan : Adrenalin anal pack,Baloon catheter tamponade, Injeksi adrenalin 1 :
10.000 submukosa

Karsinoma Kolorektal, Colorectal Carsinoma


FAKTOR FAKTOR RISIKO
1. Usia > 50 thn
2. Riwayat penyakit-penyakit premalignan (Kolitis Ulseratif, Crohns Disease, Poliposis
Familial, polip juvenil, semua jenis polip asli, Lynch Syndrome / Gardner Syndrome).
34

3. Familial colon cancer


4. Sebelumnya sudah ada karsinoma kolon
5. Infeksi kolon yang berlangsung lama (10-20 tahun)
6. Pemakan lemak hewani / kurang konsumsi makanan berserat tinggi
Etiologi
Penyebab dan patogenesis yang pasti sampai sekarang belum jelas
Beberapa faktor dianggap berperan dalam terjadinya karsinoma kolorektal :
a. Polyp-cancer sequence
b. Inflamatory bowel disease :
i. Risiko terjadinya karsinoma kolorektal meningkat > 40% pada pasien dengan colitis
ulseratif.
ii. Pasien dengan Crohns disease memiliki risiko tinggi terjadinya karsinoma kolorektal
pada populasi umum
c. Faktor genetik :
i. Insiden meningkat pada turunan pertama penderita karsinoma kolorektal
ii. FAP (familial adenomatous polyposis) terjadi transimisi genetik
iii. HNPCC (hereditary nonpolyposis colorectal carcinoma) 2 tipe :
1) Lynch syndrome I (site-specific nonpolyposis colorectal carcinoma) :
Autosomal dominant inheritance
Predominance of proximal colon cancer
Increased synchronous colon cancer
Early age of onset (average age is 44 years)
Increased risk of metachronous cancer
2) Lynch syndrome II (cancer family syndrome) adalah Lynch syndrome I
ditambah dengan gejala-gejala :
Incresed incidence of other carcinomas, including endometrium, ovary, breast,
stomach, and lymphoma
Incresed incidence of mucinous or poorly differentiated carcinomas
Increased incidence of skin cancer
3) Tumor suppressor genes APC gene pada kromosom 5 dan p53 gene pada
kromosom 17
iv. Faktor diet Lemak,Serat, Kalsium, Alkohol insiden kanker tinggi.
TERDAPAT 3 KELOMPOK KARSINOMA KOLOREKTAL BERDASARKAN
PERKEMBANGANNYA YAITU :
1. Kelompok yang diturunkan (inherited colorectal cancer) < 10 %. Dilahirkan sudah
dengan mutasi germline (germline mutation) pada salah satu allele dan terjadi mutasi
somatic (somatic mutation) pada allele yang lain. Contohnya adalah Familial
Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Non-Polyposis Colorectal Cancer
(HNPCC). HNPCC terdapat pada sekitar 5 % kanker kolorektal.
2. Kelompok sporadic (sporadic colorectal cancer) 70 %. Kelompok sporadic
membutuhkan 2 mutasi somatic, satu pada masing-masing allele-nya.
3. Kelompok familial (familial colorectal cancer) 20 %.
Kelompok familial tidak sesuai kedalam salah satu dari dominantly inherited syndromes
atas (FAP & HNPCC) dan lebih dari 35 % terjadi pada usia muda. Meskipun kelompok
35

di

familial dari kanker kolorektal dapat terjadi karena kebetulan saja, akan tetapi factor
lingkungan, penetrant mutation yang lemah atau currently germline mutation dapat
berperan.
TERDAPAT 2 MODEL PERJALANAN PERKEMBANGAN KARSINOMA
KOLOREKTAL (KARSINOGENESIS) YAITU :
1. LOH (Loss of Heterozygocity)
Model LOH mencakup mutasi tumor gen supresor yang meliputi gen APC (adenomatous
polyposis coli gene), gen DCC (deleted in colorectal carcinoma gene) dan p53 serta
aktivasi onkogen yaitu K-ras proto-oncogene. Contoh model ini adalah perkembangan
polip
adenoma menjadi karsinoma.
2. RER (Replication Error).
Model RER karena ada mutasi gen hMSH2, hMLH1, hPMS1 dan hPMS2. Contoh model
ini
adalah perkembangan HNPCC menjadi kanker kolorektal. Pada bentuk sporadic, 80
%
berkembang lewat model LOH dan 20 % berkembang lewat model RER.
MAKROSKOPIS
Terdapat 3 tipe makroskopis karsinoma kolon dan rektum :
1. Tipe Polipoid / Vegetative / Fungating Tumbuh menonjol ke lumen usus dan
berbentuk bunga kol. Sering ditemukan disekum dan kolon asendens
2. Tipe Skirus mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi gejala stenosis dan
obstruksi. Ditemukan terutama di kolon desendens, sigmoid dan rektum
3. Tipe Ulseratif terjadi nekrosis sentralis. Ditemukan terutama pada Rektum.
TIPE HISTOLOGIS
Adenokarsinoma
Adenokarsinoma tanpa komponen musinosum,
Adenokarsinoma dengan komponen musinosus < 50%
Adenokarsinoma musinosum ( komponen musinosum > 50%)
Signet ring sel adenocarcinoma
Squamous cell carcinoma
Adeno-squamous carcinoma
Karsinosarkoma
Undifferentiated carcinoma
METASTASIS
Karsinoma kolorektal mulai berkembang pada mukosa dan tumbuh menembus dinding
dan
memperluas secara sirkuler ke arah cephalad dan caudad
Invasi tumor cenderung sirkuler dari pada logitudinal dan cenderung kearah cephalad
daripada caudad
Di daerah kolon, penyebaran caudal tidak pernah melebihi 5-6 cm sedangkan pada
rektum, penyebaran kearah anal jarang melebihi 2 cm.
Penyebaran perkontinuitatum menembus jaringan atau organ sekitarnya
Penyebaran limfogen ke kljr parakolika, mesenterikal & para aortal
Penyebaran hematogen terutama ke hepar sedangkan bila tumor pada 1/3 distal
rektum dapat menyebar ke paru-paru
Ada 5 mekanisme penyebaran sel tumor yaitu :
Lymfogen, Hematogen, Menembus dinding usus (intramural dissemination), Implantasi selama
pembedahan (intraoperative spreading), Melalui rongga peritoneal
36

Langsung
Sirkuler melingkari dinding kolon terutama kolon kiri ( kaliber kecil), sehingga terjadi
anular-konstrikting dinding kolon penyempitan lumen buntu.
Longitudinal melalui limfe submukosa < 5 cm dari tepi tumor.
Menembus dinding kolon dan menginfiltrasi organ terdekat.
Tranversal/Longitudinal/radial penyebaran ke proksimal maupun ke distal. Penting
untuk reseksi reseksi 2-5 cm kea rah distal tumor.
Hematogen
Melalui v. Porta ke hepar tumbuh di hepar. Bisa melalui v.lumbalis dan v. vertebralis menuju
ke paru. Organ yang paling sering metastasis adalah Hepar melalui aliran v. porta, Paru melalui
aliran v. Cava, Tulang vertebra dll. Melalui Pleksus venosus vertebralis.
Limfogen.
Penyebaran biasa terjadi pada tumor yang terlokalisir namun terjadi penyebaran limfogen level
jauh. Adanya blockade aliran limfatik ke segala arah, baik proksimal, distal, maupun lateral
melalui arcade marginal. Penyebaran limfogen dapat melalui limfonodi epicolic, paracolica,
intermediate dan paraaortic (mesenteric). Paling sering metastase ke limf. Paraaortic melalui
limf.regional sesuai perjalanan artei/vena Ok limfonodus harus diangkat saat operasi.
Gravitasi/Transperitoneal.
Bila tumor menembus lapisan serosa karena pengaruh gaya gravitasi, sesuai dengan posisi
tersering tubuh.
Serabut Saraf Terjadi bila sel tumor invasi ke spatium perineural.
GEJALA KLINIK
Gejala klinik tergantung dari lokasi, ukuran dan ekstensi tumor
Gejala dan tanda karsinoma kolorektal tidak ada, umumnya gejala pertama timbul
karena penyulit yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat penyebaran.
Gambaran klinis kolon kiri berbeda dengan kanan.
Karsinoma kolon kiri, sering berbentuk skirus, lumen kolon kiri relatif lebih kecil dari
kanan dan konsistensi feses semi solid (padat) sehingga lebih banyak menimbulkan
gejala obstruksi.
Karsinoma kolon kanan, jarang menimbulkan gejala obstruksi karena lumen kolon kanan
relatif lebih besar dari kiri dan konsistensi feses semi fluid (cair).
Karsinoma kolon kiri dan rektum, sering menyebabkan perubahan pola defekasi (change
bowel habit) seperti konstipasi atau defekasi dengan tenesmus. Makin kedistal letak
tumor feses makin menipis atau berbentuk seperti kotoran kambing atau lebih cair
disertai darah dan lendir.Tenesmus merupakan gejala yang didapat pada karsinoma
rectum. Bila obstruksi, penderita flatus terasa lega diperut. Gambaran klinik tumor
sekum dan kolon asendens tidak khas. Dispepsi, kelemahan umum, penurunan berat
badan dan anemia merupakan gejala umum. Karena itu penderita sering datang dalam
keadaan umum jelek. Nyeri pada kolon kiri lebih nyata daripada kolon kanan
KOLON KANAN
Nyeri perut samar-samar
Diare coklat/ hitam
Anemi
Benjolan perut sisi kanan

KOLON KIRI
gas pain cramps
Darah segar pada kotoran
Tinja kaliber kecil
Perubahan kebiasaan berak,
37

in

REKTUM
Nyeri pada stadium lanjut
Darah segar pada kotoran
Tidak puas setelah berak
Nyeri sewaktu berak dan berak

Diameter Besar
Tipe tumor Lunak, rapuh,
ulseratif,polipoid
Konsistensi feses>cair
Asal dari Midgut
Fungsi sebagai Absorbsi
Klinis sering Kolitis, jarang
obstruksi
Darah dlm Tinja Mikroskospis

butuh pencahar
Tanda sumbatan
Diameter Lebih Kecil
Sirkuler dan sirous

sering

Lunak, cairan sedikit


Hindgut
Penyimpanan/Storage
Obstruksi

Padat cairan minimal


Hindgut
Defekasi
Proktitis

Mikro/makro

Makroskospis

Besar
Infiltrative,polipoid

Terdapat 2 manifestasi Komplikasi Klinis:


Akut(Emergensi) Komplikasi terjadi bila Obstruksi, Perforasi, Perdarahan.
Semakin distal letak tumor semakin besar resiko terjadi komplikasi karena kaliber kolon kiri
lebih sempit dan cairan lebih sedikit dari kolon kanan.
Kronik (Elektif) Tergantung dari lokasi, ekstensi dan stadium tumor. Pembagian
lokalisasi tumor kolon: Kolon kanan mulai sekum sampai 1/3 tengah kolon transversum,
kolon kiri dimulai 1/3 kolon transversum sampai sigmoid, dan rectum.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan Daerah Rektum
i. Colok Dubur
Harus dilakukan pada setiap kelainan kolorektal atau abdomen
Mendeteksi tumor sejauh kurang lebih 10 cm dari anal verge
Tumor konsistensi keras, permukaan rata, mudah berdarah
Harus dinilai ukuran tumor, terfiksasi / tidak, ulserasi / tidak.
Dengan pemeriksaan colok dubur yang baik dan benar, dapat mendiagnosis hampir 40 %
tumor-tumor kolorektal
ii. Proktosigmoidoskopi Rigid dapat menentukan dengan tepat lokasi tumor
iii. Endorectal Ultrasound (Eus) dapat menentukan dalamnya invasi tumor ke dinding
usus.
b) Kolonoskopi disertai biopsi
Untuk melihat tumor daerah kolon
Mendiagnosis hampir 100% karsinoma kolorektal
c) Barium Enema kontras ganda
- Gambaran malignansi pada foto kolon dapat berupa :
- Arrest (Stopping), Stenosis, Filling Defect (Napking Ring deformitas Apple core
lesion, Shoulder sign), Deviasi
- Mendiagnosis hampir 90 % karsinoma kolorektal.
d) Laboratorium (Darah rutin, CEA, LFT)
CEA( Carcino Embrionic Antigen) N,3 unit diambil dari urine / feses.
Kadar < 10 ng/ml Stadium Dini.Kadar > 10 ng/ml Stadium Lanjut.
Tumor marker:
Carbohydrate antigen 19-9 (CA 199) >100 U/ml (normal < 40 U/ ml).
Formula {CA 19-9 + (CEA x 40)} pada PSC akurasi diagnosis sekitar 86 %
Follow up setelah operasi 4 minggu, 3-6 bulan. CEA dapat kembali < 3 (-), tapi dapat
38

residif telah metastase.


e) USG / CT Scan abdomen (evaluasi hepar dan abdomen terhadap metastasis)
KolonoskopyBila Radiologis tidak ada Kelainan, tapi curiga malignitas

STAGING / STADIUM
a) Dukes Classification of Colorectal Cancer Henry Dukes tahun 1932
Stadium A : tumor terbatas pada lapisan mukosa
Stadium B1 : tumor invasi pada lapisan mukosa muskularis
Stadium B2 : tumor invasi pada lapisan propria muskularis
Stadium C1 : Tumor B1 metastase ke KGB dekat tumor primer
Stadium C2 : Tumor B2 metastase ke KGB yang jauh
Stadium D : Metastase jauh.
b) Astler-Coler Modification Staging
CLASSIFICATION
DUKES-1954

ASTLER-COLER-1954

Limited to mucosa, negative lymph nodes


A tumor terbatas pada lapisan mukosa
B1 tumor invasi pd lap. Mukosa muskularis Extension into muscularis propria, lymph
nodes(-)
tumor
invasi
lap.
Propria
muskularis
Extension through entire bowel wall,
B2
lymphnode (-)
Extension into adjacent organs, lymph nodes
B3
(-)
C1 B1 + KGB dekat tumor primer (Lokal) Positive nodes lesion limited to muscularis
propria
Positive nodes lesion through entire bowel
C2 B2 + KGB yg jauh (Regional)
wall
Positive nodes invasion of adjacent organs
C3
D1 Lokal tumor remaining + metastase
regional
D2 metastase jauh
Distant metastatic disease

5 Years
Survival
100 %
65-75 %
60-70 %
55-65 %
40-55 %
25-35 %
02%
median
survival
6-12 hrs

c) Sistem TNM (The American College of Surgeons Commission on Cancer) The American
College of Surgeons Commission on Cancer
DERAJAT KEGANASAN TUMOR
Derajat keganasan ditentukan berdasarkan differensiasi tumor dalam membentuk struktur
kelenjar.
Grade I sel tumor membentuk struktur kelenjar > 95 % dari masa tumor

39

Grade II sel tumor berstruktur kelenjar 50 % 95 % dari masa tumor


Grade III sel tumor berstruktur kelenjar 5 % 50 %, adenoCa musinosum dan signet ring
cell ca.
Grade IV sel tumor berstruktur kelenjar < 5 %
PENANGANAN
A) Kolon Kanan
- Tumor pada kolon kanan dilakukan Hemikolektomi Kanan disertai dengan ligasi arteri
ileokolika, arteri kolika dekstra dan arteri kolika media pada point of origin, dan ileum
distal sepanjang 10 cm untuk mengangkat semua station kelenjar limfe terutama
hilar station pada arteri kolika media
b) Kolon Kiri
Untuk tumor pada kolon desendens, sigmoid dilakukan Hemikolektomi Kiri disertai
dengan ligasi arteri mesenterika inferior pada point of origin
c) Kolon Sigmoid Sigmoid kolektomi atau Reseksi anterior
d) Rektum
Untuk penanganan karsinoma rektum dikenal RULE OF THIRD yaitu :
a) Tumor dg jarak > 12 cm dari anal verge (1/3 proksimal) Reseksi anterior
b) Tumor dg jarak < 12 cm dari anal verge, T1, terjangkau, derajat diferensiasi baik
Dilakukan eksisi local
c) Tumor dengan jarak 6 12 cm dari anal verge (1/3 Tengah):
Stadium I : Reseksi Anterior Rendah + TME (Total Mesorectal Excisison)
Stadium II/III: Terapi kombinasi multiple (MCT)+Reseksi Anterior Rendah+TME
d) Tumor dengan jarak < 6 cm dari anus (1/3 Distal):
Stadium I, derajat diferensiasi baik Reseksi Abdominoperineal (APR) + TME
Stadium II / III : MCT + APR + TME
THERAPI KURATIF Prosedur lebih radikal, tumor diangkat secara en block bersama
pedikel vascular dan struktur limfatik, batas reseksi usus harus adekuat, 10 cm di proksimal
tumor , 5 cm di distal tumor.
THERAPI PALIATIF
Untuk karsinoma kolon / rectum yang inoperable :
Kolostomi pada bagian proksimal dari tumor
Pintasan ileo-kolostomi
TERAPI ADJUVANT
a) Radiasi Diberikan pada karsinoma rekti
b) Kemoterapi
PENYULIT
Obstruksi.
- Obstruksi kolon kiri sering tanda pertama karsinoma kolon
40

- Kolon bisa sangat dilatasi terutama sekum dan kolon asendens tipe Close Loop
Obstruction / Dileptic Obstruction
Perforasi.
- Perforasi terjadi disekitar tumor karena sentral nekrosis dan dipercepat oleh obstruksi
yang
menyebabkan tekanan dalam rongga kolon makin meninggi tipe Perforasi
Dileptik
- Mengakibatkan peritonitis bila tidak cepat ditolong akan fatal
Prognosis.

Dinilai berdasarkan 5-year survival rate. Prognosis ditentukan berdasarkan :

Staging
Derajat histopatologi
Derajat diferensiasi
Ada tidaknya invasi vaskuler atau perineural
Ada tidaknya obstruksi atau perforasi
Aneuploidi sel-sel tumor
Mucin-producing dan signet cell tumors (intercytoplasmic mucin)
Peningkatan kadar CEA
TUMOR GANAS ANUS
1. Karsinoma Planoseluler Anus
Tumor ganas yang paling sering ditemukan pada daerah anus
Awalnya merupakan benjolan yang mudah digerakan lama kelamaan infiltrasi
kedinding anorektum. Metastasis ke kelenjar limfe inguinal
Therapi Bedah.
Eksisi lokal bila tumor lokal dan kecil
Operasi radikal bila tumor invasi tanpa penyebaran diluar daerah lokoregional
2. Karsinoma Basoseluler Anus
Jarang ditemukan, biasanya dipinggir anus
Sifatnya sama dengan ulkus rodensia pada muka
Metastasis hampir tidak pernah ada
Therapi Bedah Eksisi lokal
PROTOKOL KEMOTERAPI PADA KARSINOMA KOLOREKTAL
MAYO
1. 5Fluorouracil (5-FU) : 425 mg/m2 dengan bolus IV setiap hari 5 hari
berturut-turut satu jam sesudah leukovorin (LV).
41

2. Leukovorin (LV) : 20 mg/m2 IV setiap hari untuk 5 hari berturut-turut.


Frekuensi : Ulang setiap 4 sampai 5 minggu.
DE GRAMONT
1. Leukovorin : 200 mg/m2 infus 2 jam diikuti
2. 5-Fluorouracil (5-FU) : 400 mg/m2 IV bolus diikuti
3. 5-Fluorouracil (5-FU) : 600 mg/m2 infus kontinu 22 jam
4. Frekuensi : hari 1 + 2, ulang setiap 21 hari.
CAPECITABINE
Sebagai Monoterapi : 8 Siklus
Nama Obat
Capecitabine

Dosis
2500
mg/m2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Dibagi 2/hari, 30 setelah makan
Istirahat

CAPECITABINE
Dikombinasikan dengan Oxaliplatin : 8 Siklus
Nama Obat
Capecitabine
Oxaliplatin

Dosis
2500
mg/m2
130
mg/m2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Dibagi 2/hari, 30 setelah makan
Istirahat
Istirahat

CAPECITABINE
Dikombinasikan dengan Irinotecan : 8 Siklus
Nama Obat
Capecitabine
Irinotecan

Dosis
2500
mg/m2
250
mg/m2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Dibagi 2/hari, 30 setelah makan
Istirahat
Istirahat

REKOMENDASI
1. Stadium I / Dukes A : tidak diberikan kemoterapi.
2. Stadium IIA / Dukes B1 : dipertimbangkan pemberian kemoterapi.
3. Stadium IIB / Dukes B2 : kemoth/ 5-FU/FA a/ Capecitabine hingga 6 bl.
4. Stadium III / Dukes C : kemoth/ 5-FU/FA a/ Capecitabine hingga 6 bl.
5. Stadium IV / Metastasis : kemoth/ 5-FU/FA a/ Capecitabine hingga 6 bl
+ Oxaliplatin a/ Irinotecan selama 6 bulan.
INDIKASI KHEMOTERAPI :
Untuk menyembuhkan kanker, Memperpanjang hidup & remisi, Mppanjang interval bebas
kanker, Menghentikan progresi kanker, Paliasi symptom, Mengecilkan volume kanker,
Menghilangkan gejala para neoplasma.
KONTRA INDIKASI KHEMOTERAPI :
1. Kontra indikasi absolute
Penyakit stadium terminal, Hamil trisemester pertama, kecuali akan digugurkan,
42

Septicemia, Koma.
2. Kontra indikasi relative
Usia lanjut, Status penampilan yang sangat jelek, Ada gangguan fungsi organ vital yang
berat, Seperti : hati, ginjal, jantung, sumsum tulang. Dementia, Penderita tidak dapat
mengunjungi klinik secara teratur, Penderita tidak kooperatif, Tumor resisten terhadap
obat,
Tidak ada fasilitas penunjang yang memadai.
PEMANTAUAN KHEMOTERAPI :
Sebelum khemoterapi nilai dahulu harus bagaimana status penderita:
1. Fisik penderita terutama status penampilan dan toksisitas
2. Radiologi terutama keadaan paru
3 Laboratorium terutama Hb, Leukosit dan Trombosit.
A. TOKSISITAS KHEMOTERAPI :
Sebelum khemoterapi periksa darah, fungsi hati, fungsi ginjal dan sebagainya. Khemotherapi
diberikan if: Hb 10 mg% ; WBC 4.000 /m3 ; PLT 100.000 /m3.
B. KOMPLIKASI KHEMOTERAPI :
1. Segera ( Shock, Arrhythmia, Nyeri pada tempat suntikan)
2. Dini ( Mual / muntah, Panas, Reaksi hipersensitif.
3. Lambat (beberapa hari) ( Stomatitis, Diarrhoe, Alopecia, Depresi ss. tlg
4. Lambat (beberapa bulan) ( Hiperpigmentasi kulit, Lesi Organ : Adriamycin hati,
Bleomycin,Busulfan paru, Methotrexate hati, Gangguan kapasitas reproduksi
(Amenorhoea,Penurunan knstrasi sperma), Gangguan endocrine ( Feminisasi, Virilisasi), Efek
karsinogen.
Follow Up.
a) Pemeriksaan fisis tidak terlalu bagus untuk menentukan rekurensi dini dari tumor.
b) Kolonoskopi sebaiknya dilakukan 1 tahun setelah operasi untuk mendeteksi adanya polyp
baru :
Jika ditemukan polyp baru polyp dikeluarkan kemudian kolonoskopi diulang
setiap tahun
Jika polyp baru ( ) kolonoskopi diulang setiap 3 5 tahun
c) CEA (Carcino Embryonic Antigen) Tumor marker sensitif untuk mendeteksi
rekurensi karsinoma kolorektal
Diulang setiap 3 bulan selama 2 tahun pertama
Diulang setiap 6 bulan setelah 2 tahun pertama
d) Bila CEA meningkat indikasi untuk melakukan pemeriksaan chest radiography dan
CT scan abdomen
e) Kemoterapi dan radioterapi merupakan terapi paliatif untuk karsinoma kolorektal
nonresectable yang rekuren
METASTASIS COLORECTAL CANCER:
Colorectal cancer Hepar
Synchronus metastase 15 25 %
Metachronus metastase 20 %
Survival rate 31 %, 8%, 2% saat 1, 3 dan 5 tahun
Soliter metastase lebih baik dari multipel
Unilateral lebih baik bilateral
Synchronus metastase lebih agresif

43

Neoplasma Usus Halus


A. NEOPLASMA JINAK USUS HALUS
Lebih dari separuh ditemukan pada ileum
Terbanyak adalah polyp adenomatosus disusul oleh lipoma, leiomioma dan
hemangioma
Tumor jinak yang sering memberikan gejala biasanya adalah leiomioma.
KLINIS
>> tidak memberikan gejala / gejala tidak khas kecuali bila terjadi penyulit
Penyulit perdarahan atau obstruksi, jarang perforasi atau fistel
Therapi Bedah Reseksi segmen usus yang mengandung tumor
B. NEOPLASMA GANAS USUS HALUS
1. LYMPHOMA MALIGNANT
Merupakan tumor ganas yang paling sering ditemukan
Sering pada ileum tapi bisa juga ditemukan pada jejunum bersama-sama dengan celiac disease
Gejala Klinik:
Kolik abdomen, anoreksia, BB menurun, anemia
Bisa ditemukan obstruksi dan invaginasi
Histologis 5 subtipe :
a) Diffuse large or small cell lymphoma
b) Immunoproliferatif Intestinal Disease (IPSID Lymphoma)
c) Mucosa-associated lymphoid tumours (MALT)
d) Multiple lymphoid polyposis
e) Enteropathy-associated T cell lymphoma
Therapi Bedah
Reseksi segmen usus halus yang mengandung tumor diikuti dangan kemoterapi /
radioterapi.
2. ADENOKARSINOMA
Sering ditemukan pada jejunum dan sering tanpa gejala
Tumor sangat invasif dan 80% akan bermetastasis
Terapi Bedah
Reseksi segmen usus dan mesenterium yang mengandung tumor
3. TUMOR KARSINOID
Pertama diperkenalkan oleh OBERNDORFER tahun 1907
Merupakan tumor ganas yang menghasilkan beberapa sekret
Sekret yang terpenting adalah 5-hydroxtryptamine (serotonin) Sekret yang lain
44

berupa vasoactive amine (bradykinin), substance P dan neurotensin


Paling sering ditemukan pada apendiks dan ileum distal
Dapat juga ditemukan pada gaster, jejunum pankreas dan rektum
Gejala Klinik:
Gejala utama diare, Kolik abdomen, borborygmus, sering disertai gejala fibrosis, pemendekan
mesenterium, kinking bisa Obstruksi
TNM STAGING
Tx

Primary tumour not evaluated

T0

No pathologic evidence of primary tumour

Tis

In situ tumour

T1

Tumor invades lamina propria / submucosa

T2

Tumor invades muscularis propria

T3

Tumor invades < 2 cm into sub serosa or into


mesentery or retrperitoneum

T4

Tumour perforates the visceral peritoneum or invades


the adjecent structure > 2 cm

Nx

Regional lymph nodes not evaluated

N0

regional lymphnode nvolvement

N1

Regional lymph nodes metastasis

Mx

Distant sites not evaluated

M0

No distant metastasis

M1

Distant metastasis present

4. LEIOMIOSARKOMA
Leiomiosarkoma dapat terjadi pada semua tempat pada usus halus
Cenderung menyebabkan perdarahan karena central necrosis
Dapat menyebabkan obstruksi
Metastasis utama hematogen
Therapi Bedah
Segmental resection diikuti dengan kemoterapi
45

Divertikulum Meckles
DEFINISI.
Th 1589 Fabricius Hildanus.
Th 1802 Johann Frederich Meckel Divertikulum ini berasal dari sisa duktus
yang
menghubungkan traktus intestinal dengan yolk sac Divertikel Meckel kelainan congenital
akibat kegagalan atau ketidaksempurnaan obliterasi ( Normal minggu ke-7 masa embrio )dari
duktus vetelinus atau duktus omphalomesenterikus.
Persitensi duktus omfalomesenterikus yg menghubungkan yolk sac dgn foregut
primitive. Divertikulum Meckel merupakan divertikel sejati (true diverticel).Jaringan
heterotropik ditemukan pd 50 % divertikulum Meckel dan mukosa gaster dgn sel2 parietal yg
terbanyak (80%).
EMBRIOLOGI.
Awal perkembangan obliterasi dari dinding usus rekanalisasi. Midgut akan berkembang
pada minggu ke 5 kehamilan kavum abdomen hernia kearah umbilical cord. Suplai darah
dr arteri vitelinus kanan yg berasal dr a. mesenterika superior
Apex midgut duktus vitelinus dan yolksac, aksisnya mesenterika superior yang akan
terpisah menjadi dua :
Rami superior daerah superior
Rami inferiordaerah bagian inferior (caecum & 1/3 distal kolon transversum). Minggu 10
kehamilan midgut akan kembali kedalam kavum abdominal.
50%DM mengandung jaringan: Gaster, Pankreas, Jejenum, Colon, Duodenum &
Endometrium, > jaringan heterotropik gaster (60-85%), pankreas (5-16%)
PATHOFISIOLOGI
Mekanisme yang bertanggung jawab bagi anomali ini adalah adalah kegagalan duktus
omfalomesenterikus (vitelinus), yang menghubungkan yolk sac dengan foregut selama
kehidupan embrionik dini untuk menjadi terobliterasi lengkap. Normalnya obliterasi terjadi pada
minggu kelima sampai ketujuh kehamilan kemudian mengalami atrofi. Bila sebagian atau
seluruh duktus omfalomesenterikus dan pembuluh darah penyertanya gagal berobliterasi
(Persistensi duktus vitelinus), maka Kedaan yang terjadi antara lain:
a. Fistel enteroumbilikalis ( ileo-umbilikalis)
b. Fibreus band ( jaringan fibreus) yang menghubungkan antara illeum dengan inner surface dari
umbilikus.
c. Paten sinus vitelino-umbilicalis
d. Penutupan sebagian dari lumen usus
e. Kista duktus vitelinus
MANIFESTASI KLINIS The Rule of Two
2% dari Populasi
2 Kaki (60-70cm) dari valve ileocaecal/Bauhini.
2 Type Heterotopic Mucosa.

46

Usia < 2th.


Panjang 2 inchi.
PENANGANAN
Penanganan divertikulum Meckel terutama ditujukan pd komplikasi serta pd gejala
klinik
yg timbul
Apabila tjd perdarahan yg signifikan transfusi.
Obstruksi intestinal selang nasogastrik
Antibiotik profilaksis divertikulitis, strangulasi atau perforasi.
Pembedahan perdarahan masif, obstruksi dgn strangulasi atau perforasi.
Reseksi baji dari ileum divertikulum yang asimptomatik
Reseksi segmental ileum mengangkat semua jaringan yang rusak dan mengalami inflamasi
serta jaringan ektopik
Pembedahan untuk divertikulum Meckel yg asimptomatik msh kontroversi
Laparoskopi berguna untuk diagnosis & penanganan divertikulum Meckel
Pembedahan dilakukan : perdarahan masif tanda-tanda obstruksi dengan strangulasi maupun
perforasi.
Reseksi baji Divertikulitis sederhana atau obstruksi tanpa strangulasi.
Reseksi Divertikel Meckel dan daerah adjacent ileum perdarahan
anastomose end to end Usus dan divertikel yang direseksi

Ileus Obstruksi
PENDAHULUAN
Ileus obstruksi gangguan pasase isi usus akibat sumbatan sehingga terjadi penumpukan
cairan dan udara di bagian proksimal dari sumbatan tersebut
ANATOMI
Mikroskopis :
Tunika mukosa absorbsi vili >> jejenum
Tela submukosa pblh drh halus, pemblh limfe, neuroplexus Meissner.
Tunika muskularis Stratum longitudinal & str. sirkuler, diantaranya
terdapat plexus myentericus saraf (Auerbach) & saluran limfe
Tunika serosa
Makroskopis :
Usus halus pylorus sampai valva ileocaecalis
Duodenum p 20-30 cm, l 3-5 cm
Jejenum & Ileum 20 kaki (5 m), bervariasi besar karena kontraksi & relaksasi 10 kaki
(2,5 m)
Ketebalan dinding usus semakin ke distal semakin berkurang sedangkan lebarnya semakin ke
distal semakin mengecil obstruksi lebih mudah tjd pada ileum distalis dibanding jejenum
proksimal.
Vaskularisasi :
Hubungan kolateral p.darah arteri :
a. kolika media < a.mesenterika superior dengan a. kolika sinistra < a.Mesenterika
47

inferior. Antara pangkal a.mesenterika inferior melalui lengkung pembuluh (arcus Rioland)
P.darah vena :
v.mesenterika superior bergabung dengan v.lienalis & v.mesenterika inferior v.porta.
ETIOLOGI
Lesi Ekstrinsik
Adhesi (lesi ekstrinsik tersering, tunggal/multipel, setempat/luas, kongenital /
akuisita),
Hernia inkarserata (h.inguinalis, femoralis, umbilikalis, ventralis,
insisional),
Volvulus, Massa ekstraintestinalis abses, pseudokista, neoplasma,
hematom.
Lesi intrinsic
Striktura neoplastik, inflammatory bowel disease, endometriosis peradangan
akibat
radiasi, divertikulitis. Atresia & stenosis usus, kegagalan rekanalisasi pada
waktu janin
usia 6-7 mgg, ggg aliran drh lokal pd sbgn ddg usus akibat desakan,
invaginasi,volvulus, jepitan/perforasi usus semasa janin.
Obstruksi Menutup
Invaginasi atau intususepsi ( Anak idiopatik,umumnya ileocaecal, Dewasa polip atau lesi
intraluminal). Neoplasma intrinsic, Gallstone ileus.
Sumbatan lainnya : fekalith, cacing askaris, barium, bezoar.
INSIDENS
20 % tindakan bedah pd kondisi abdomen yg akut ileus obstruktif
Penyebab obstruksi tersering adhesi, disusul hernia dan neoplasma
Penyebab tersering pada anak : hernia
Penyebab tersering pd usia lebih tua : Ca colorectal & divertikulitis coli.
Angka kematian : 10 %
PATOFISIOLOGI
Obstruksi Sederhana/Simple.
- tidak disertai terjepitnya p.darah, akumulasi cairan & gas dlm jumlah besar pd lumen usus.
- Obstruksi : mula-mula absorbsi , sekresi N 24-48 jam sekresi, absorbsi (-),
edema,eksudasi cairan ke cav peritoneum, kehilangan cairan & elektrolit. CO2 dpt cepat
berdifusi keluar dr lumen usus, sedang N2 tetap tinggal kontributor utama distensi usus.
Obstruksi strangulata
- mencakup volvulus,hernia,invaginasi & adhesi.
- gangguan peredaran darah iskemia, nekrosis, ganggren
- eksudasi plasma dr lap serosa cav.peritoneum
- Iskemikerusakan sawar ddg ususbakteri usus cav peritoneum.
Closed-loop obstruction
- Obstruksi terjadi pd 2 tempat, Penyebab : adhesi,volvulus.
KLASIFIKASI OBSTRUSI INTESTINAL
A. Berdasarkan Penyebab
1. Mekanik

ileus paralitik = ileus adinamik paralise saluran mknan

48

2. Non Mekanik

ileus obstruksi = ileus dinamik

B. Mekanisme Obstruksi
1. Obstruksi Pada Lumen Usus (Intra
Luminer)
2. Kelainan Pada Dinding Usus
(Intramural)Biasanya Kongenital

3. Kelainan Di Luar Usus (Ekstramural)

Polipoid tumor, intususepsi, gallstone ileus,fekolit, bezoar

Bayi
: atresia , stenosis, duplikasi
Dewasa : neoplasma, radang, Crohn disease, post
radiasi, sambungan usus

Adhesi, hernia, neoplasma, abses

C. LOKASI
1. Ileus Obstruksi Letak Tinggi menurut a. Obstruksi Di Atas Pilorus.
letaknya dibedakan menjadi :

Gejala adalah muntah (rasa asam lambung), sering nyeri.


Distensi abdomen kurang
b. Obstruksi Di Bawah Pilorus Sampai Ileocaecal
Junction.
Muntah faeculent (feses), warna kuning seperti tinja,
nyeri perut jarangperut lebih distensi.

Sekum anorektal>> disebabkan oleh tumor ganas

1. Obstruksi Partial ( Incomplete)

Sebagian makanan dan udara masih bisa lewat

2. Obstruksi Complete/Total (Simple )

Seluruh isi usus tidak dapat lewat menumpuk pada


bagian proksimal sumbatan, Belum terjadi gangguan
vaskularisasi

3. Obstruksi Strangulasi

Gangguan pasase isi usus disertai dengan adanya


gangguan vaskularisasi

2. Ileus Obstruksi Letak Rendah


D. GRADASI

DIAGNOSA
Gejala & Tanda
- Colic kejang usus, nyeri tekan, defans muskuler , metallic sound.
Jika nyeri abdomen terlokalisir,parah, menetap dan tanpa remisi
Curiga obstruksi strangulasi, Muntah, Obstipasi dan tidak ada flatus,
Distensi usus

49

- RT : massa tumor atau intususepsi, ampula kolaps obs proksimal, darah


makroskopik lesi intrinsik
Gambaran Laboratorium
- nitrogen urea darah (BUN), Hct, BJ urin.
- kadar Na, K, Cl dlm serum.
-Alkalosis Bikarbonat serum & pH arteri
-Leukosit
Normal, Obstruksi mekanik sederhana 15.000-20.000/mm3
Obstruksi strangulata 30.000- 50.000/mm3
Gambaran Radiologi
- Pem.sinar X posisi tegak gelung usus terdistensi dgn bts udara-cairan dgn pola anak tangga (
Step Ladder )
- Obstruksi mekanik sederhana # gas yg terlihat pd colon.
- Obstruksi colon dgn valva ileocalis kompetendistensi gas dlm colon merupakan gbrn
penting.
- Bila valva ileocalis inkompetenada distensi usus halus maupun colon.
- Obstruksi strangulatadistensi gas pd usus jauh lbh sdkt dibanding pd obstruksi sederhana &
bisa terbatas pd gelung tunggaltanda biji kopi (coffee bean) atau pseudotumor.
- Pemeriksaan Barium enema u/ mengetahui tipe & lokasi obstruksi.
- Enteroskopi
Management : Ada beberapa pertanyaan
1. Apakah ada obstruksi ?
2. Setinggi apa obstruksi ?
3. Penyebab ?
4. Dehydrasi ?
5. Strangulasi ?
6. Penanganan?
1. Cardinal features of bowel obstruction are Pain, Vomiting, Constipation,
Distension.
2. Simptom
a. Pain, Kolik, Ileum paralytik tidak sakit.
b.Vomiting : - Cepat pada obstruksi tinggi, Lambat pada obstruksi rendah
- muntah empedu diatas lig Traitz
- muntah fecal usus halus & colon
c. Constipation :Cepat pada obstruction colon tergantung apakah total / partial.
d. Distensi : Cepat pada obstruksi colon, tidak ada pada obstruksi tinggi
3. Penyebab ? Riwayat sebelumnya ( Pernah operasi abdomen adhesi, Hernia, Berak
atau lendir gangguan pada BAB Ca atau radang.
4. Dehydrasi ? (Tahicardia, Hypotensi, Kulit kering, Mulut kering, Turgor kulit jelek,
Ketiak sudah tidak berkeringat, Urine sedikit,pekat).
5. Strangulasi ada : shock, demam, defans musculer, nyeri seluruh abdm.
6. Prinsip Penanganan :
A. Anamnesa Keluhan Yang Khas
50

darah

Nyeri perut, Mual muntah, Perut kembung, Tidak dapat flatus & BAB.
B. Pemeriksaan Fisik.
Keadaan umum tampak lemah dan gelisah.
Bila strangulasi demam, dehidrasi, bibir kering, turgor menurun, hipotensi,
takikardi dan syok septik.
Abdomen :
Inspeksi : Distensi, darm kontur dan peristaltik usus terutama pada
penderita kurus
Palpasi : Perut distensi, tegang, kadang-kadang nyeri
Perkusi : Nyeri dan terdengar suara timpani.
Auskultasi : Bising usus meninggi (metalic sound), Bila obstruksi
berlangsung lama dan strangulasi bising usus menghilang.
Scar, Hernia, Darm contour, darm steifung, Peristaltik meningkat, metalic
sound Gurgling.
RT: Spingter ani, Mukosa, Ampula Hand schoen, Massa Tu.
C. Penunjang, Lab darah rutin, elektrolit, fungsi ginjal, dll
Radiologi BNO 3 Posisi Gambaran STEP LADDER (anak tangga).
D. Resusitasi.
- IVFD RL/Nacl.
- Pemberian Antibiotik.
- Pasang Nasogastric Tube (Sonde Lambung ) Puasakan Pasien.
- Pasang Kateter Pantau Produksi urine, tanda-tanda dehidrasi.
- Awasi tanda vital.
TERAPI
Terapi konservatif
Terapi operatif
~ Lisis pita lekat atau reposisi hernia
~ Pintas usus
~ Reseksi dgn anastomosis end to end, end to side, side to side.
~ Diversi stoma dgn/ tanpa reseksi.
KOLOSTOMI
adalah pengalihan feses tidak melalui anus.
Macam-macam Kolostomi
Menurut letak
- Cecostomy
- Colostomy transversum
- Colostomi sigmoid
Menurut bentuk
- Double Barel
- Double Lup
- Simple Colostomy
Menurut lama
- Temporer Colostomy
- Permanen Colostomy
51

INDIKASI
1. Ada obstruksi bagian distal ( Rectosigmoid & colon kiri, Radang /
Chrons disease, Colitis ulserosa, Trauma ).
2. Ada volvulus ( Volvulus sigmoid ).
3. Kelainan congenital (Hisphrung).
KOMPLIKASI
Perdarahan, Gangren, Retraksi, Prolaps, Hernia, Abses

Hernia
Pendahuluan
Canalis Ingunalis merupakan saluran oblik yang melewati bagian caudal dinding anterior
abdomen yang dilewati struktur-struktur menuju ke dan dari testis ke cavum abdomen pada pria.
Pada wanita saluran ini dilewati oleh ligamentum rotundum uteri, dari uterus ke labium majus.
Canalis Inguinalis panjangnya sekitar 1,5 Inch (4 Cm) pada orang dewasa dan terbentang dari
anulus inguinalis profundus, suatu lubang pada fascia transversa abdominis berjalan turun
sampai anulus inguinalis superficialis, suatu lubang pada aponeurosis m. obliquus externus
abdominis. Canalis Inguinalis terletak sejajar dan tepat dicraniall ligamentum inguinale.
Pembentukan Canalis inguinalis
Sebelum desensus testis dan ovarium dari tempat asalnya yang terletak tinggi didinding posterior
abdomen (L1), terbentuk diverticulum peritonealis yang dinamakan processus vaginalis.
Processus vaginalis berjalan melalui lapisan-lapisan bagian caudal dinding anterior abdomen,
melalui fascia transversalis pada anulus inguinalis profundus membentuk fascia spermatica
interna. Waktu berjalan melalui bagian caudal m. obliquus internus abdominis, ia membawa
segian serabut bagian caudal yang membentuk m. cremaster. Serabut-serabut tertanam dalam
fascia, dan selubung tubular yang keduanya dikenal sebagai fascia cremasterica.
Processus vaginalis melewati dicaudal serabut-serabut m. tranversus abdominis yang
melengkung, oleh karena itu tidak mendapat selubung dari lapisan-lapisan abdomen. Waktu
mencapai aponeurosis m. obliquus externus abdominis, ia melakukan evaginasi pada aponeurosis
ini dan membentuk anulus inguinalis superficialis dan mendapat selubung fascia fascia tubular
ketiga, fascia spermatica externa. Dengan cara ini terbentuk kanalis inguinalis.
Pada pria testis mengalami desensus melalui pelvis dan canalis inguinalis selama bulan ke tujuh
dan ke delapan kehidupan fetal. Rangsang normal untuk desensus testis adalah testosteron yang
disekresi oleh testis fetus. Testis mengikuti gubernaculum dan mengalami desensus di belakang
peritoneum pada dinding posterior abdomen. Testis kemudian berjalan dibelakang prosessus
vaginalis dan menarik saluran, pembuluh darah dan saraf dan pembuluh limfe kecaudal.
Akhirnya testis terletak pada scrotum yang sedang berkembang menjelang akhir bulan
kedelapan.
Karena testis dan pembuluh-pembuluh, saluran dan sebagainya yang menyertainya mengikuti
jalan yang sebelumnya diambil oleh prosessus vaginalis, mereka mendapat tiga selubung yang
sama waktu mereka berjalan melalui canalis inguinalis. Jadi fuiniculus spermaticus diliputi oleh
tiga lapisan fascia konsentrik, fascia spermatica interna, berasal dari fascia transversalis, fascia
cremasterica, berasal dari m. obliquus internus abdominis, fascia spermatica externa, berasal dari
aponeurosis m. obliquus externus abdominis.
Batas Canalis Inguinalis
52

Batas kanalis inguinalis :


Kraniolateral : anulus inguinalis internus
Kaudomedial : anulus inguinalis eksternus
Atapnya : aponeurosis m.oblikus eksternus
Dasarnya : ligamentum inguinalis
Trigonum Hasselbach
Inferior : ligamentum inguinalis
Lateral : vasa efigastrika inferior
Medial : tepi lateral m.rektus abdominis
Dasar : fasia transversal, m.transversus
Anulus inguinalis superficialis merupakan celah berbentuk segitiga pada aponeurosis m.
obliquus externus abdominis dan dasarnya dibentuk oleh crista pubica. Anulus inguinalis
superficialis dibatasi oleh berkas serabut aponeurosis yang padat, crus medial, crus lateral dan
serabut-serabut intercruralis. Anulus inguinalis profundus suatu lubang berbentuk oval pada
fascia tranversalis, terletak sekitar inch (1,3 cm) dicranial lig.inguinale, pertengahan antara
SIAS dan symphisis pubis. Disebelah medial anulus inguinalis profundus terdapat a.v epigastrica
inferior yang berjalan kecranial. Pinggir anulus merupakan origo fascia spermatica interna.
Anulus inguinalis profunda berasal dari evaginasi fascia transversa yang melanjutkan diri
sebagai fascia spermatica interna, selubung paling profunda dari funiculus spermaticus. Medial
terhadap anulus inguinalis profundus, fascia diperkuat oleh ligamentum interfeveolare.
Seluruh panjang dinding anterior canalis inguinalis dibentuk oleh aponeurosis m. obliquus
externus abdominis. Dinding anterior ini diperkuat di 1/3 lateral oleh serabut-serabut origo m.
obliquus internus abdominis. Oleh karena itu dinding ini paling kuat, di mana ia terletak
berhadapan dengan dinding posterior yang paling lemah yaitu anulus inguinalis profundus.
Setelah aponeurosis m. obliquus externus abdominis dipotong, m. obliquus internus abdomins
dapat dilihat. Sebagian serabut-serabutnya melanjutkan diri mengikuti funiculus spermaticus
sebagai m. cremaster. Serabut serabut lainnya m. cremaster berasal dari ligamentum inguinale.
Seluruh panjang dinding posterior canalis inguinalis dibentuk oleh fascia tranversalis. Dinding
posterior ini diperkuat di 1/3 medial oleh conjoint tendon, gabungan tendo insertio m. obliquus
internus abdominis dan m. tranversus abdominis yang melekat pada crista pubica dan linea
pectenia.
Dinding inferior atau dasar canalis inguinalis dibentuk oleh aponeurosis m. obliqus externus
abdominis yang ujung inferiornya melipat, yaitu ligamentum inguinale dan pada ujung
medialnya ligamentum lacunare.
Dinding superior atau atap canalis inguinalis dibentuk oleh serabut serabut tercaudal m. obliquus
internus abdominis yang melengkung dan m. tranversus abdominis.
Struktur yang melewati canalis inguinalis
Funiculus spermaticus Funiculus spermaticus mulai pada anulus inguinalis profundus yang
terletak lateral terhadap a. epigastrica inferior dan berakhir pada testis.
Vas Deferens Vas deferens merupakan saluran dengan dinding otot yang tebal, yang
mengangkut spermatozoa dari epididymis ke urethra.
Arteri Testicularis Cabang aorta abdominalis setinggi vertebra lumbalis II, dan melayani
testis dan epididymis.
Vena Testicularis
Suatu pleksus vena yang luas, pleksus pampiniformis, meninggalkan pinggir posterior tentis.
Waktu pleksus berjalan naik, ukurannya berkurang sehingga sekitar anulus inguinalis profundus
53

dibentuk satu vena testicularis. Vena ini berjalan kecraniall pada dinding posterior abdomen dan
mengalirkan darahnya ke v. renalis kiri pada sisi kiri dan v. cava inferior pada sisi kanan.
Pembuluh Limfe
Pembuluh limfe testis berjalan ke atas melalui canalis inguinalis dan berjalan ke atas melalui
dinding posterior abdomen untuk mencapai nodi lymphatici lumbales yang terletak setinggi
vertebra lumbalis dan disamping aorta
Processus Vaginalis Sisa processus vaginalis terdapat diprofunda funiculus spermaticus
Saraf yang berhubungan dengan Canalis Inguinalis
N. ilioinguinalis, N. iliohipogastricus dan N. genitofemoralis. N. ilioinguinalis menembus m.
obliquus internus abdominis dan memasuki canalis inguinalis sebagai saraf sensorik murni, lalu
meninggalkan canalis inguinalis melalui cincin inguinal luar dan saraf ini turut mempersarafi
kulit daerah dermatom L1. cabang-cabang akhirnya pada pria mempersarafi kulit sisi depan
scotum dan saraf inilah yang dibius pada irisan di bagian depan scrotum waktu vasektomi.
Cabang-cabang terakhir n. ilioinguinalis pada wanita mempersarafi kulit sisi depan labium
majus. Saraf iliohipogastrikus juga berasal sari saraf spinal L1, merupakan saraf sensoris
sewaktu menembus aponeurosis m. obliquus externus abdominis dicraniall anulus inguinalis
superficialis. Cabanga genital n. genitofemoralis adalah saraf motorik bagi otot cremaster di
profunda canalis inguinalis.
ETIOLOGI
Kongenital
Prosesus vaginalis peritoneum persisten
Terutama bayi dan anak
Didapat
Faktor kausal :
Prosesus vaginalis yang tetap terbuka
Peninggian tekanan intraabdomen
Kelemahan otot dinding perut
KLASIFIKASI

Berdasarkan Terjadinya

JENIS
1. H. Congenital
2. H. Akuisita

H.diafragmatika, H.inguinalis lateralis, dll.

H.femoralis, H.inguinalis medialis,


H.insisional, dll.
letaknya

sifatnya

Inguinalis, Diafragma, Femoral,


Umbilikalis, Lumbalis, dll
H.Reponibilis

Isi kantong dapat keluar masuk

H.Irreponibilis

Isi kantong tidak dapat keluar masuk


Gangguan pasase isi usus +/-

H. Inkarserata
Isi kantong tidak dapat keluar masuk
H. Strangulata
Disertai gangguan pasase isi usus

54

dan gangguan vaskularisasi


Arah Herniasi / Penonjolan

Hernia eksterna

Hernia interna`
H. inguinalis lateralis

Letak di lateral vasa epigastrika inferior

Hernia inguinalis medialis

Jenis

Hernia inguinalis indirect karena


menonjol melalui anulus dan kanalis
inguinalis
Berada dalam m. kremaster dan
letaknya anteromedial terhadap vas
deferens

Letak di medial dari vasa epigastrika


inferior

Hernia inguinalis direct menonjol


langsung melalui trigonum Hesselbach
Cincin lebar, longgar jarang
strangulasi

DIAGNOSIS
Anamnesis Benjolan di lipat paha yang timbul hilang, Muncul bila tekanan Intra abdomen ,
Menghilang saat berbaring / reposisi manual, Nyeri, muntah, gejala sistemik bila sudah
inkarserata atau strangulasi.
Inspeksi Hernia Inguinalis Lateralis benjolan lonjong di inguinal yang berjalan dari
kraniolateral ke kaudomedial. Hernia Inguinalis Medialis benjolan oval/bulat
Palpasi Teraba usus, omentum, ovarium , Sensasi gesekan sutera (silk sign), Untuk
membedakan HIL dan HIM, Tes visibel , Tes Oklusi, Tes taktil
Colok dubur Untuk mengetahui adanya faktor predisposisi, Kemungkinan telah ada
strangulasi
PENATALAKSANAAN.
Pembedahan Indikasi operasi ada begitu D/ ditegakkan
Dewasa Herniorrhapy : herniotomi + hernioplasti . Anak herniotomi
Herniotomi : kantong dibuka, isi didorong ke rongga abdomen, kantong proksimal
dijahit
ikat setinggi mungkin lalu dipotong
Hernioplasti : memperkecil anulus internus dan memperkuat ddg blkg kanalis
inguinalis. Jenis hernioplasti : Bassini, Halstedt, McVay, Shouldice, Fergusson,
Tension Free Hernioplasty
Pendekatan : terbuka atau laparoskopi
Konservatif
Sedatif, kompres es, posisi Trendelenberg hernia anak yang inkarserasi
Tereposisi : operasi elektif Gagal tereposisi : operasi emergensi
55

Trauma Lien, Trauma Limpa, Trauma Tumpul Abdomen


ANATOMI
Limpa dalam perkembangannya berasal dari bagian mesenkim pada dorsal mesogastrium,
terletak pada kuadran kiri atas dorsal di abdomen pada permukaan bawah diafragma, terlindung
oleh iga delapan sampai sebelas dengan dibatasi ginjal kiri pada posterior, diafragma di superior,
fundus dari lambung dan fleksura splenikus dari kolon pada bagian anterior. Berat rata-rata limpa
pada orang dewasa berkisar 75-100 g dengan ukuran 12x7x4 cm. Ligamen penyokong limpa
yaitu ligamen splenophrenic, splenorenal, splenocolic dan gastrosplenic. Ligamen ini bersifat
avaskuler kecuali gastrosplenic yang berisi pembuluh-pembuluh darah kecil dari lambung. Arteri
splenikus berasal dari aksis seliak sementara vena-vena splenikus bergabung dengan vena
mesenterika superior membentuk vena porta.
FISOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Secara fisiologis fungsi limpa sebagai salah satu organ sistem retikuloendotelial dalam tubuh
adalah :
1. Berfungsi sebagai filter. Tempat pembersihan dari eritrosit yang abnormal dan yang telah cukup
umur, leukosit abnormal dan trombosit yang normal dan abnormal
2. Fungsi imunologis. Memproduksi opsonin, membentuk antibodi dan proteksi terhadap infeksi.
3. Fungsi penyimpanan. 1/3 dari trombosit pada tubuh tersimpan pada limpa.

Keadaan patologis dapat terjadi karena 2 faktor utama yaitu peningkatan kemampuan destruksi
terhadap komponen-komponen darah dan produksi antibodi yang terikat langsung terhadap
komponen-komponen darah sehingga meningkatkan proses destruksi berbagai komponen darah.
Hipersplenisme merupakan suatu keadaan dimana terjadi aktivitas yang berlebihan terhadap
fungsi limpa menyebabkan meningkatnya kemampuan eliminasi terhadap seluruh komponen
seluler dan sirkulasi.
Pada limpa kira-kira 20 ml sel darah merah yang tua didestruksi setiap harinya, sedangkan
neutrofil dieliminasi dari sirkulasi dengan waktu paruh 6 jam. Nutropenia dapat terjadi pada
beberapa keadaan hipersplenisme karena meningkatnya sekuestrasi atau kemampuan eliminasi
terhadap granulosit. Trombosit dapat bertahan selama 10 hari dalam sirkulasi. Sepertiga dari total
trombosit disekuestrasi dilimpa dan hampir 80% dapat disekuestrasi jika terjadi hipersplenisme.
Pasien-pasien yang telah menjalani post splenektomi jumlah trombositnya dapat mencapai 1 juta
sel/mm3 yang mana hal ini dapat menyebabkan trombosis intravena. Suatu kelainan imunologik
tanpa hipersplenisme (contoh idiophatic trombositopenia purpura) dapat juga meningkatkan
kemampuan sekuestrasi.

56

TRAUMA LIMPA
Clacification Limpa Injury American Association For The Surgery Of Trauma (Aast)
Grade I

Hematom: subkapsuler, tidak meluas, mencakup kurang


dari 10% permukaan limpa

Laserasi: robekan kapsuler, tanpa perdarahan,


mencakup kurang dari 1 cm dalamnya parenkim
Grade II

Hematom:subkapsuler,intraparenkimal, mencakup 1050% permukaan limpa, diameter kurang dari 5 cm

Laserasi:robekan kapsuler, perdarahan aktif,


mencakup 1-3 cm cm dalamnya parenkim
Grade III

Hematom: subkapsuler, luasnya > 50%


permukaan,ruptursubkapsuler,hematom dengan
perdarahan aktif, hematom intraparenkim > 5 cm atau
meluas

Laserasi: > 3 cm dalamnya parenkim / melibatkan


trabekula
Grade IV

Hematom:rupture intraparenkimal hematom dengan


perdarahan aktif Laserasi: laserasi melibatkan
segmental atau hilus ( melebihi 25% dari limpa)

Grade V

Laserasi: limpa hancur

Vaskuler: trauma vaskuler hilus yang


memvaskularisasi limpa
PENANGANAN
Ada 3 pilihan, yakni nonoperatif, splenic salvage (repair bagian yang cedera atau splenektomi
parsial), atau splenektomi. Splenic salvage tidak dilakukan pada pasien multitrauma dengan
cedera intraabdomen multiple.
Penanganan Cedera Limpa Pada Anak
Penanganan nonoperatif merupakan penanganan primer pada anak. Syaratnya bila hemodinamik
stabil, keperluan transfusi kurang dari 40 mL/kgBB dan tidak ada cedera intraabdomen lain yang
memerlukan eksplorasi.
Penanganan Cedera Limpa Pada Dewasa
57

Kriteria: Bila hemodinamik stabil, keperluan transfusi minimal (kurang dari dua kantong darah),
tidak ada cedera pada organ intraabdomen lain dan kemampuan mengadakan pemeriksaan
abdomen serial. Splenorafi dilakukan pada trauma limpa dengan hemodinamik yang stabil,
adanya cedera intraabdomen lain dan sesuai dengan grading trauma limpa. Grade I dan II
ditangani dengan agen hemostatik topikal yakni dengan koagulator argon beam dan jahitan
matras diatas Teflon. Grade III dan IV memerlukan mobilisasi untuk memaparkan hilus.
Splenektomi parsial dapat diindikasikan pada grading ini. Membungkus limpa dengan mesh
absorbel juga telah sering dilakukan. Total splenektomi juga dilakukan bila terjadi ruptur limpa
grade V, pasien dengan cedera lain yang mengancam jiwa dan bila hemostasis tidak dapat
dijamin setelah splenorafi atau parsial splenektomi.
Cathey dkk. Curiga ruptur limpa segera dioperasi bila ada tanda meliputi hipotensi (Tekanan
darah sistol < 90 mmHg), takikardi (heart rate > 100x/mnt), hematokrit < 30%, protrombin time
>14 detik, cedera multipel dan memerlukan transfusi darah.
KOMPLIKASI

Komplikasi Manajemen Nonoperatif


Komplikasi paru berupa atelektasis, pneumoni dan efusi paru kiri sering terjadi pada penanganan
operatif. Hal ini berhubungan dengan trauma dada-paru penyerta. Pasien usia lanjut sangat
beresiko untuk terjadi tromboemboli paru.
Komplikasi Postoperatif
Atelektasis, pneumoni dan efusi pleura kiri paling sering. Abses subphrenikus terjadi 3-13% bila
disertai trauma usus dan pemasangan drain. Perdarahan. Akibat kesalahan teknis dalam mengikat
a. gastrica brevis atau pembuluh darah pada hilus. Perdarahan lambat dapat terjadi hingga 45 hari
setelah operasi. Diatasi dengan transfusi, operasi ulang maupun keduanya. Pankreatitis dapat
terjadi karena trauma operasi maupun trauma awal. Trombositosis biasanya terjadi pada hari ke
2-10 dan menjadi normal kembali pada minggu ke 2 12. Dapat meningkatkan resiko trombosis
vena dalam dan emboli paru. Infeksi serius pasca operasi limpa berkisar 8%. Usia pasien,
semakin parahnya trauma penyerta, adanya cedera pankreas, kolon, SSP dan tulang
meningkatkan komplikasi ini. Kista postraumatik (pseudokista), kista yang kecil-asimptomatik
(< 5cm) akan hilang sendiri namun yang besar (>5cm) berpotensi ruptur.
PROFILAKSIS POST SPELENEKTOMI
Overwhelming post splenektomi Infection (OPSI) ditandai oleh onset akut mual, muntah dan
kebingungan hingga koma dan pasien biasanya meninggal dalam beberapa jam bila tidak
ditangani dengan baik. Penyebab tersering adalah Streptococcus pneumonia, Meningococcus,
Escherichia coli, Haemophilus influenzae dan Staphylococcus. Hipoglikemi berat, Gangguan
elektrolit dan DIC sering dijumpai pada kasus ini. Insidens post splenektomi sepsis hanya
berkisar 0,03-0,8% namun mortalitas mencapai 70%.

58

Post splenektomi sebaiknya diberi Pneumovax, Meningovax, dan vaksin HIB dalam 48 jam
sebelum operasi dan antibiotik profilaksis berupa amoksisilin 250 mg sekali sehari atau penisilin
250 mg dua kali sehari atau eritromisin 250 mg sekali sehari atau 1,2 juta unit Bicillin / injeksi
setiap bulan selama 2-5 tahun.
DIAGNOSTIC PERITONEAL LAVAGE (DPL)
-

Root dkk. (1965)

DPL (+) jika teraspirasi 10 mL darah atau dengan mikroskop didapatkan eritrosit
>100.000/mm3 atau leukosit >500/mm3
-

DPL (+) = 30-40 mL darah dalam rongga peritoneum

DPL cukup sensitif namun tidak spesifik

USG sensitif terhadap akumulasi darah min. 300 mL

Trauma Pankreas, Trauma Tumpul Abdomen


ETIOLOGI
1. Trauma Tumpul Kebanyakan terjadi akibat kecelakaan
2. Trauma Tajam Biasanya akibat luka tembak, tergantung pada jenis, bentuk dan
kecepatan peluru
MEKANISME TRAUMA
Akibat akselerasi & deselerasi :
Daya kinetik yang kompleks : bentuk luka dapat remuk, terpotong atau pecah
Akibat Pukulan ke epigastrium menyebabkan kompresi antara vertebra krn
hentakan dengan benda yg di trauma pankreas
Akibat Luka Tembak : Tipe dan kecepatan peluru, Jarak tembak
DIAGNOSA
Anamnesis :
- Riwayat post trauma pada abdomen bag atas (daerah epigastrium) e.c benturan
langsung, trauma tajam, trauma tembus,
- Perhatikan MIST :
1. Mechanism of injury
2. Injury sustain
3. Symptom
4. Treatment
Pemeriksaan Fisik :
- Status hemodinamik : TD, N, R, S
- Jejas atau kontusio jaringan pada daerah abdomen atas (daerah epigastrium)
- Waspada bila ada fraktur iga 9-12, tanda2 peritonitis
59

- Pemeriksaan cedera terkait abdomen, pelvis, ekstremitas dan thoraks


Pemeriksaan Laboratorium :
- Pemeriksaan Amylase serum
- Pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, kreatin, amylase, dan lipase
- Pemeriksaan Urinalisa
- Fungsi pankreas dari pemeriksaan kadar asam bikarbonat dan produksi enzim
pankreas
Prinsip penatalaksanaan trauma pankreas :
- Ada atau tidak adanya cedera pada saluran pankreas mayor (cedera duktus)
- Lokasi anatomi pankreas yang mengalami trauma
Keberhasilan terapi ditentukan oleh :
- Diagnosis dini, Beratnya trauma dan tingkat keparahan, kemungkinan komplikasi setelah
operasi, Tindakan bedah segera (cyto laparotomy) dengan, tujuan untuk menghentikan
perdarahan, Mencegah infeksi (kontaminasi bakteri), Untuk menentukan anatomi/lokasi trauma,
Reseksi jaringan yang sudah mati (nekrosis), Sedapat mungkin menyisakan 20% jaringan
pancreas, Drainase eksternal yang adekuat.
CEDERA PANKREOTIKODUODENAL
Feliciano dkk mengusulkan :
Grade I, II tanpa cedera duktus pankreatikus perbaikan primer & drainase
Grade III, melibatkan pankreas:
reseksi ke 2 organ, eksklusi pylorus, gastroyeyunostomi, penutupan stump
Grade IV & V Pankratikoduodenektomi
Cedera ekstensi lokal intraduodenal/duktus biliaris intrahepatik pankreatikoduodenektomi.
Cedera lokal kurang ekstensif stenting intraluminal,spincteroplasty dab reimplantasi ampulla
vater
DIVERTIKULASI DUODENUM
Pertama kali diperkenalkan oleh Berne dkk (1968) pada kasus cedera pankreatikoduodenal
Tujuannya:
mengeksklusi duodenum yang sedang diperbaiki dan menjadi jalan dari isi gaster
PENATALAKSANAAN
GRADE I dan GRADE II
Non Operatif : Hanya membutuhkan observasi dan drainase
GRADE III
Dilakukan reseksi pankreatik (Distal Pankreatectomy) Dengan atau tanpa splenectomy
GRADE IV
Dilakukan Simple Eksternal Drainase Roux-en-Y Pancreaticojejunostomy(side to side)
anastomosis
GRADE V
Management yang Optimal masih dirembungkan
Pancreaticoduodenostomy (Whipple Procedure)
60

KOMPLIKASI
Fistula
Output drain yg terukur dengan kadar Amylase serum 3x lebih tinggi dari normal
Terjadi krn cedera duktus pankreastikus
Komplikasi terbanyak >>>
Persentase 7%-20%
Abses
Insiden : 10%-25%
Dekompreasi perkutaneus atau operasi dini evakuasi sangat penting
Ditangani dgn drainase dan debridement
Drainase perkutaneus dpt membedakan antara abses dengan pseudocyst
Mortalitas 25%
Pankreatitis :
Ditandai dengan nyeri abdomen transient dan peningkatan amylase serum
Ditangani dengan : dekompresi nasogastrik, istirahatkan usus dan nutrisi
Komplikasi jarang < 2%
Mortalitas 80% penanganan tidak efektif
Pseudocyst :
Biasanya terjadi pd penangan non operatif
Tergantung dengan ada atau tidak adanya cedera pada duktus
- Bila duktus intak : drainase perkutaneus
- Bila duktus cedera : ERCP dilakukan sebelum drainase perkutaneus
1. Eksplorasi ulang dan reseksi kel. parsial
2. Drainase Roux-en-Y internal pada kel. Distal
3. Endoscopic Transpapillary Stenting
Dekompresi Bila ukuran > 10 cm

Tumor Pankreas
Definisi
Ca. pankreas adalah tumor maligna (ganas) yang terdapat pada pankreas.
Insidensi
Ditemukan sekitar 3-5% dari semua karsinoma dan mencapai 17% dari seluruh karsinoma di
saluran pencernaan. Pada beberapa penelitian di RSU Dr. Hasan Sadikin misalnya didapatkan
0,19 % pasien dengan perbandingan antara pria dan wanita adalah 1,6 : 1, dengan distribusi umur
terbanyak 50-59 tahun.
Etiologi.
Penyebab pasti belum diketahui, namun beberapa faktor risiko eksogen dan endogen diduga
dapat merupakan timbulnya karsinoma pankreas ini.
1. faktor risiko eksogen
beberapa faktor resiko eksogen diantaranya ; kebiasaan makan tinggi lemak dan kolesterol,
pecandu alkohol, kebiasaan merokok, kebiasaan minum kopi, dan beberapa zat karsinogenik.
2. Faktor resiko endogen
Beberapa faktor risiko endogen yang disebut-sebut, antara lain; genetik, penyakit diabetes
melitus, pankreatitis kronik, kalsifikasi pankreas, dan pankreatolitis.
61

Lokalisasi
Karsinoma pankreas banyak ditemukan di kaput kurang lebih 70%, selanjutnya di korpus kurang
lebih 20%, dan sisanya kurang lebih 10% dikauda.
Patologi
Beberapa tumor ditemukan sangat besar dan sulit direseksi. Secara histologi merupakan
adenokarsinoma, sebagian besar asal sel duktal 81,6%, sebagian kecil asal sel asiner 13,4% dan
sisanya 5% tidak dapat dideterminasi.
Penyebaran tumor dapat langsung ke organ disekitarnya, atau melalui pembuluh darah kelenjar
getah bening. Metastasis lebih sering ke hati, ke kelenjar getah bening sekitarnya, peritoneum
dan paru. Metastasis yang agak jarang ke adrenal, ginjal, lambung duodenum, usus halus,
kandung empedu, limpa, pleura, dan diafragma. Karsinoma di kaput pankreas lebih sering
menimbulkan sumbatan pada saluran empedu sehingga menjadi kolestatis ekstrahepatal. Di
samping itu akan mendesak dan menginfiltrasi pada duodenum, yang dapat menimbulkan
perdarahan di duodenum. Karsinoma yang letaknya di korpus dan kauda, lebih sering mengalami
metastase ke hati. Khususnya untuk karsinoma di kauda selain metastase ke hati, juga dapat
menyebabkan metastase ke limpa.
Gejala klinis
Pada stadium dini umumnya tidak memberikan gejala/keluhan atau samar-samar, misalnya mualmuntah, kembung, tidak enak pada ulu hati seperti gejala panyakit lambung. Pada umumnya
keluhan timbul pada stadium lanjut, dan tergantung pada lokalisasinya. Pada karsinoma kaput
biasanya timbul ikterus koletatik ekstrahepatik (75-90%), yang makin lama makin bertambah
kuning, berat badan turun secara cepat. Karsinoma pada korpus dan kauda gejala/keluhannya
juga samar-samar seperti sakit lambung yang berlangsung berbulan-bulan, semakin lama
bertambah parah dengan keluhan bertambah berat, mual muntah dan badan mengurus. Secara
umum gejala/ keluhan yang timbul biasa berupa; berat badan yang turun, nyeri perut, kehilangan
nafsu makan, ikterus, mual, kelemahan, malaise, muntah, diare, gangguan pencernaan, nyeri
punggung, pucat, dan nampak depresi. Perasaan nyeri seperti ditusuk-tusuk ini akan berkurang
bila penderita duduk sambil membungkukkan badan. Kadang ditemukan obstruksi
pilorus/duodenum karena tekanan dari luar, tromboplebitis migrans, timbul perdarahan
gastrointestinal, berupa perdarahan tersembunyi atau melena. Perdarahan tersebut terjadi karena
erosi duodenum yang disebabkan oleh tumor pankreas, steatore karena obstruksi duktus
pankreatikus, dan dibetes melitus.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan teraba massa tumor didaerah epigastrium. Letak pankreas
pada retroperitoneal, berarti kalau teraba tumor didaerah ulu hati, tumornya sudah sangat besar,
dan kadang-kadang teraba pembesaran kandung empedu (tanda Courvoisier positif). Bila
ditemukan asites berarti sudah terjadi invasi kedalam peritoneum, dan biasanya cairannya
hemoragis, kalau ditemukan hepatomegali yang keras irreguler berarti sudah metastase ke hati.
Terjadi thromboflebitis yang berpindah (Trousseau Sign) & trombosis vena.
Klasifikasi
Secara histologi karsinoma pankreas diklasifikasikan dalam 5 macam yaitu; adenocarcinoma,
squamous cell carcinoma, cystadenocarsinoma, acinar cell carcinoma, dan undifferentiated
carcinoma.

62

Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin umumnya masih dalam batas normal, hanya LED yang meningkat.
Sering memperlihatkan tanda-tanda anemi, dengan penurunan kadar hb dan hematokrit. Selain
itu kadar gula darah kadang meningkat. Serum amilase dan lipase mengalami peningkatan.
Namun kadar lipase lebih sering meningkat dibandingkan serum amilase. Karsinoma pankreas
terutama di kaput sering menyebabkan sumbatan di saluran empedu, karena itu perlu di lakukan
pemeriksaan faal hati. Dapat ditemukan kenaikan kadar serum bilirubin terutama bilirubin
konjugugasi ( direk), alkali fosfatase, dan kadar kolesterol sedangkan serum transaminase yaitu
SGOT dan SGPT sedikit naik.
Pemeriksaan serologis terhadap petanda tumor (tumor marker) perlu dilakukan antara lain
terhadap CEA (carcino embryonic antigen), kadang-kadang terdapat kenaikan. Petanda tumor
yang lain yaitu CA 19-9 (carbohydrate antigen determinant 19-9) merupakan antibodi
monoklonal yang mempunyai sensitifitas tinggi untuk adenokarsinoma saluran cerna termasuk
karsinoma pankreas. Beberapa petanda tumor yang lain adalah POA (pancreatic oncofetal
antigen), AFP (alfa feto protein), dan CA 242.
Radiologi.
Ultrasonografi
Dikenal dua tanda pokok dari karsinoma pankreas, yaitu :
1. Tanda primer
- pembesaran lokal dari pankreas yang ireguler
- densitas gema dari massa yang tampak rendah homogen atau heterogen
- pelebaran saluran pankreas yang sebagian besar disebabkan oleh kanker dibagian kaput
pankreas.
2. Tanda sekunder
Sebagai akibat pembesaran massa di pankreas, yaitu; stasis bilier, pelebaran saluran empedu intra
dan ekstrahepatal serta pembesaran kandung empedu.
Computed tomography
Untuk karsinoma yang letaknya di kaput akan tampak pembesaran kaput yang ireguler, disertai
pelebaran duktus koledokus dan duktus pankreatikus.
Pancreatic biopsi
Dituntun oleh USG atau CT-scan dengan menggunakan aspirasi jarum skinny needle.
Pembedahan
Sebelum terapi bedah dilakukan, keadaan umum diperbaiki dengan mengoreksi nutrisi, anemi,
dan dehidrasi. Pada ikterus obstruksi total, dilakukan penyaluran empedu transhepatik
(percutaneus transhepatic biliary drainage = PTBD) sekitar satu minggu pra bedah. Tindakan ini
bermanfaat memperbaiki fungsi hati.
Operasi standar untuk lesi pada cauda atau corpus pankreas adalah parsial pankreatektomi.
Sedangkan lesi di kaput dilakukan pankreatikoduodenostomi atau prosedur Whipple. Operasi
Whipple ini dilakukan untuk tumor yang masih terlokalisir yaitu pada karsinoma sekitar ampula
vater, duodenum, dan duktus koledokus distal. Pada karsinoma pankreas yang sudah tidak dapat
direseksi lagi karena invasi keluar hulu pankreas atau metastasis limfe, dilakukan prosedur
paliatif.

63

Radioterapi
Terapi radiasi biasanya banyak digunakan pada keadaan setelah pembedahan, namun secara
umum ketentuan dilakukannya penyinaran ini yaitu;
1. Sebagai kelanjutan dari tindakan pembedahan yang tanpa penyakit sisa, tetapi berpotensi
tinggi terjadinya rekurensi.
2. Baik secara makroskopis atau mikroskopis keadaan penyakit ini memiliki sisa yang
ditinggalkan setelah operasi.
3. Tumor ini dibertimbangkan untuk dilakukan reseksi atau masih sulit dilakukan reseksi lokal
dan belum bermetastasis jauh.
Penyinaran yang dilakukan ini biasanya menggunakan cobalt. Namun belakangan ini digunakan
penyinaran dengan tegangan tinggi misalnya; neutron aselator, generator betatron, atau siklotron
yang lebih baik dari cobalt.
Kemoterapi
Pemberian kemoterapi pada carcinoma pankreas yang dianjurkan ialah kepada mereka yang
dilakukan terapi paliatif atau terapi dekompresi. Obat kemoterapi yang yang diberikan yaitu; 5fluorourasil (26% respon), mitomycin (27% respon), streptozotocin (11% respon), lomustine
(15% respon), dan doksorubisin (8% respon), dalam pengobatan dengan kemoterapi ini, untuk
meningkatkan respon keberhasilan dilakukan kombinasi dari masing-masing obat tersebut.
Trimodalitas terapi
Pengobatan melalui kombinasi dari pembedahan, radiasi dan kemoterapi ini, untuk pasien
karsinoma pankreas sedikit menjanjikan.
Pengobatan yang dilakukan berupa pembedahan yang dilanjutkan radiasi 45-48 Gy dengan 5fluorourasil yang diberikan bersama infus setelah dilakukan bolus intavena. Selain itu
kemoterapi dan radiasi dilakukan sebagai lokal kontrol sebelum dilakukan pembedahan pada
tumor yang sulit untuk direseksi.
Paliatif
Pengobatan paliatif yang dilakukan diantaranya tindakan bedah yang pada prinsipnya
menghilangkan sumbatan yang menyebabkan ikterus atau sumbatan pada duodenum, berupa
biliary enteric bypass atau gastroenteric bypass dengan koledoko-yeyunostomi maupun gastroyeyunostomi.
Pengobatan paliatif yang lain yaitu menghilangkan rasa nyeri dengan analgetik farmakoterapi
atau dilakukan celiac pleksus blocks yang lebih efektif. Terapi radiasi juga digunakan dalam
membantu mengurangi rasa nyeri dan sering digunakan dalam menghilangkan gejala metastasis
yang ditimbulkan.
Prognosis
Pada umumnya pasien karsinoma pankreas yang datang berobat sudah berada dalam fase lanjut
dan sudah berkomplikasi, sehingga tidak mungkin dilakukan tindakan pembedahan atau tindakan
yang lain hidupnya diperkirakan kurang dari 1 tahun.
Sedangkan pasien dengan karsinoma pankreas yang bisa dilakukan reseksi atau tindakan
pembedahan yang dilanjutkan dengan kemoterapi dan radiasi, pada beberapa pasien memiliki
kemungkinan kesembuhan atau masa hidup pasien dapat ditingkatkan kurang lebih 5 0%.\

64

Pankreatitis
Pankreatitis adalah radang pankreas yang bukan disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus akan
tetapi akibat autodigesti oleh enzim pankreas yang keluar dari saluran pankreas. Faktor sumbatan
saluran pankreas yang menyebabkan refluks diduga kuat sebagai penyebab sebagian besar
pankreatitis.
Pankreatitis akut adalah suatu proses peradangan akut yang mengenai pankreas dan ditandai
dengan adanya edema, perdarahan dan nekrosis pada sel-sel asinus serta pembuluh darah. Secara
patologi ditemukan empat jenis kelainan pada pankreatitis akut yaitu pankreatitis udematosa,
pankreatitis infiltratif, pankreatitis hemoragika dan pankreatitis nekrotikans.
Patogenesis
Pada sepertiga sampai duapertiga pasien, pankreatitis disertai dengan adanya batu empedu
(kolelitiasis) yang diduga menyebabkan trauma sewaktu pasase batu, atau menyebabkan
sumbatan di daerah papila Vater. Pengobatan bedah terhadap batu empedu seringkali
menghilangkan gejala pankreatitis berulang, ini mendukung peranan kausal batu di duktus tadi.
Garam empedu yang terdekonyugasi dan lisolesitin juga merupakan faktor kausal pankreatitis
akibat terjadinya refluks cairan empedu ke dalam saluran pankreas yang dapat merusak dinding
saluran. Kerusakan dinding ini dapat merupakan awal terjadinya autodigesti. Faktor lain adalah
penggunaan alkohol berlebihan, trauma operasi tanpa atau dengan pipa T penyalir di duktus
koledokus, hiperparatiroid, berbagai racun dan obat, virus tertentu dan cedera dari luar. Alkohol
menambah konsentrasi protein dalam cairan pankreas dan mengakibatkan endapan yang
merupakan inti untuk terjadinya kalsifikasi yang selanjutnya menyebabkan tekanan intraduktal
lebih tinggi. Pankreatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh lengan lintang pipa penyalir T yang
terlalu panjang melewati sfingter Oddi, operasi gastrektomi, dan cedera saluran pankreas atau
pembuluh darah sewaktu operasi.
Kadang ditemukan hubungan antara penyakit hiperparatiroid dengan pankreatitis. Pada
hiperparatiroid terjadi peningkatan kadar hormon paratiroid, peningkatan hormon ini akan
menyebabkan sintesis 1,25 (OH)2D3 / 1,25 dihidroksi-kalsiferol yaitu suatu bahan yang
diperlukan pada sintesis vitamin D pada ginjal juga akan meningkat. Hal ini secara tidak
langsung mempengaruhi peningkatan absorbsi kalsium pada sistem gastrointestinal. Jika terjadi
peningkatan kadar kalsium pada darah, akan mengakibatkan kerusakan pada sel-sel epitel pada
organ gastrointestinal, termasuk sel-sel pada lambung dan pankreas, menyebabkan kedua organ
ini terinflamasi dan nyeri sehingga terjadi ulkus dan pankreatitis akut. Spasme dari sumbatan
pembuluh darah daerah arteriol juga dapat menjadi faktor pencetus terjadinya pankreatitis.
Penyakit parotitis epidemik akibat virus kadang disertai amilase yang meninggi dan gejala
pankreatitis. Demikian juga virus Coxsackie dapat menyebabkan pankreatitis. Trauma kadang
dapat mencetuskan terjadinya pankreatitis. Tindakan diagnostik secara endoskopi atau pungsi
juga dapat menyebabkan pankreatitis.
Etiologi.
Penyakit batu kandung empedu
Alkoholisme kronik.
Infeksi, seperti : Mumps, Virus Coxsackie, Typhoid.
Hiperkalsemia, (ex:Hiperparatiroidisme), Hiperlipidemia, Hipotermia.
65

Trauma, iatrogenik
Obat-obatan, seperti : Kortikosteroid, Kontrasepsi yang mengandung estrogen, Azatioprin,
Diuretik Tiazid.
Penyakit vaskular, seperti : Syok, Poliarteritis nodosa, Gigitan kalajengking
Iatrogenik, misalnya setelah ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio-Pancreatography)
Clinical Scoring to Assess Severity of Acute Pancreatitis
Ranson criteria

Imrie (Glasgow) criteria

02 = mild, 35 = moderately severe, >5 = very severe


Age >55 years

Age >55 years

WBC 16,000

WBC >15,000

Blood glucose >200 mg/dL

Blood glucose >10 nmol/L

LDH >300 IU/L

Serum urea >16 mmol/L (no response to IV


fluids)

SGOT >250 mm/dL


Arterial oxygen saturation (PaO2) <60mmHg
During initial 48 hours
During initial 48 h
Hematocrit fall >10%
Serum calcium <2 mmol/L
Arterial oxygen saturation (PaO2) <60mmHg
Serum albumin <32 g/L
BUN rise >5 mg/dL
LDH >600 m/L
Serum Ca++ <8 mg/dL
Aspartateaminotransferase/alanine
aminotransferase >100 mm/L

Fluid sequestration >6000mL

DIAGNOSA
GEJALA KLINIS
Serangan ringan : nyeri perut akut, tanda perut : ringan atau selama beberapa hari, gejala dan
tanda sistemik : kurang
Serangan sedang :
nyeri perut : akut atau hebat
tanda perut : kembung atau distensi, nyeri tekan, defans muskuler ringan atau
sedang, peristaltik tidak ada atau ileus paralitik, Takikardia.
Serangan berat :
nyeri perut : akut atau berat sekali.
tanda perut : peritonitis umum berupa perut kembung, nyeri tekan umum, defans
muskuler umum, peristaltik tidak ada atau ileus paralitik hebat.
gejala dan tanda sistemik : syok dalam, toksemia berat, sindrom distres paru akut
66

(Acute Respiratory Distress Syndrome, ARDS).


Biasanya berupa nyeri perut pada pertengahan epigastrium, menjalar tembus kebelakang yang
timbul secara tiba-tiba atau perlahan setelah makan kenyang atau setelah mengkonsumsi alcohol.
Nyeri berkurang bila pasien duduk membungkuk dan bertambah bila terlentang.
Tetani bisa ditemukan bila sudah terjadi hipokalsemia.
Muntah tanpa mual terlebih dahulu, kadang muntah terjadi saat lambung kosong.Kira-kira 90%
disertai demam, Syok terjadi bila banyak cairan dan darah hilang di daerah retroperitoneum
apalagi bila banyak muntah
Umumnya ditemukan tanda-tanda ileus paralitik dan gangguan fungsi ginjal akut dapat pula
ditemukan. Mungkin pula ditemukan ikterus obstruksi
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik didapatkan perut tegang dan sakit terutama bila ditekan. Bunyi usus
berkurang, kira-kira 90% disertai demam, takikardi, dan leukositosis. Syok dapat terjadi bila
banyak cairan dan darah hilang di daerah retroperitoneum atau intraperitoneum apalagi bila
disertai muntah. Rangsangan cairan pankreas dapat menyebar ke perut bawah atau ke rongga
dada kiri sehingga terjadi efusi pleura kiri. Umumnya tampak tanda ileus paralitik, gangguan
fungsi ginjal akut dapat pula ditemukan.
Mungkin pula ditemukan ikterus akibat pembengkakan caput pankreas atau hemolisis sel darah
merah yang sering rapuh pada pankreatitis akut. Tetani dapat pula timbul bila terjadi
hipokalsemia. Tanda Gray-Turner yaitu perubahan warna di daerah perut samping berupa bercak
darah, atau tanda Cullen yang berupa bercak darah di daerah pusar, jarang terjadi. Tanda ini
menunjukkan luasnya perdarahan retroperitoneal dan subkutis. Nyeri perut, gejala dan tanda
perut lainnya serta gejala dan tanda sistemik dinilai dan dipisahkan menurut berat ringannya
serangan pankreatitis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium.
Leukositosis (10.000 30.000 /L), proteinuria, glikosuria (pada 10 20 % kasus),
hiperglikemia dan peningkatan serum bilirubin. Blood Urea Nitrogen (BUN) dan serum alkali
fosfatase bisa meningkat dan tes koagulasi abnormal. Penurunan kalsium serum mengakibatkan
terjadinya saponifikasi dan erat kaitannya dengan beratnya penyakit. Kadar kalsium serum yang
kurang dari 7 mg/dL (bila albumin serum normal) dikaitkan dengan tetanus dan prognosisnya
buruk. Kadar ALT (Alanin Transaminase) serum lebih dari 80 unit/L menunjukkan pankreatitis
bilier. Kadar amilase dan lipase serum meningkat, biasanya lebih dari tiga kali dari batas normal
dalam 24 jam pada 90% kasus. Pada pasien dengan ascites dan efusi pleura kiri, kadar amilase
meningkat. Peningkatan konsentrasi C-Reactive Protein setelah 48 jam menunjukkan pankreatitis
nekrosis.
b. Radiografi.
Pada pemeriksaan foto polos abdomen, dapat ditemukan distensi yeyenum karena paralisis
segmen, distensi duodenum seperti huruf C, gambaran kolon transversum yang gembung tibatiba menyempit karena spasme setempat walaupun tidak spesifik dan juga hilangnya gambaran
m.iliopsoas karena adanya cairan retroperitoneum.
c. CT Scan. Pada pemeriksaan CT Scan abdomen ditemukan pembengkakan karena udem
pankreas jelas, pelebaran duktus, cairan sekitar pankreas, dan mungkin batu empedu.
d. USG. Ultrasonografi bisa memperlihatkan batu empedu pada pasien yang menderita
67

pankreatitis batu empedu.


DIAGNOSIS BANDING.
Peningkatan kadar amilase serum bisa timbul bersama keadaan abdomen akut yang lain, seperti :
kolesistitis gangrenosa, ulkus peptikum perforata, infark mesenterika dan obstruksi usus halus.
PENATALAKSANAAN.
Kebanyakan pankreatitis akut dapat dikelola secara konservatif. Yang sangat penting pada
pengobatan pankreatitis akut ialah pemberian cairan dan elektrolit yang memadai yang
dievaluasi melalui pemantauan diuresis, hematokrit, volume darah, dan tekanan vena sentral.
Transfusi darah diperlukan pada pankreatitis hemoragik. Pasien harus dipuasakan untuk
mengistirahatkan pankreas dan menghindarkan refleks gastropankreatik yang menyebabkan
pelepasan gastrin. Pemasangan pipa nasogastrik penting untuk mengeluarkan cairan lambung,
mencegah distensinya dan dekompresi ileus paralitik usus.
Pemberian insulin dosis rendah diperlukan bila ada hiperglikemia, demikian juga kalsium
glukonat bila kadar kalsium serum menurun. Sedangkan manfaat obat seperti glukagon, atropin
dan inhibitor tripsin seperti trasilol diragukan karena hasilnya tidak memuaskan.
Antibiotik diberikan sebab ada kemungkinan terjadi sepsis atau abses pankreas terutama pada
pankreatitis yang berat. Untuk menghilangkan nyeri dapat digunakan obat analgesik golongan
meperedin karena morfin atau opium menyebabkan spasme sfingter Oddi yang dapat
memperberat pankreatitis.
Pengambilan batu pada saluran empedu melalui koledokotomi atau papilotomi endoskopik
sangat berguna pada pankreatitis yang disebabkan oleh batu empedu.
Pembedahan juga diperlukan kalau ada indikasi yaitu apabila terdapat peritonitis umum, abses
pankreas atau pada keraguan diagnosis dalam diagnosis banding dengan keadaan gawat abdomen
lain yang memerlukan pembedahan segera. Tindak bedah yang diperlukan sering cukup berupa
debrideman terbatas di jaringan pankreas dan sekitarnya yang nekrotik serta membuka semua
kantung atau rongga di sekitar pankreas, mencuci dan membilas sebersih mungkin rongga
peritoneum dari cairan pankreas disertai pemasangan penyalir beberapa buah.
KOMPLIKASI
Komplikasi pankreatitis akut ini sangat bergantung pada perjalanan gambaran klinik. Yang
paling sering terjadi ialah syok dan kegagalan fungsi ginjal. Hal ini terjadi selain oleh karena
pengeluaran enzim proteolitik yang bersifat vasoaktif dan menyebabkan perubahan
kardiovaskuler disertai perubahan sirkulasi ginjal, juga disebabkan oleh adanya sekuestrasi
cairan dalam rongga retroperitoneum dan intraperitoneum terutama pada pankreatitis hemoragika
dan nekrotikans.
Kegagalan fungsi paru akibat pankreatitis akut kadang terjadi dan menimbulkan prognosis yang
buruk. Hal ini terjadi akibat adanya toksin yang merusak jaringan paru yang secara klinis
dicurigai bila ada tanda hipoksia ringan sampai udem paru yang berat berupa sindrom distres
paru akut (Adult Respiratory Distress Syndrome, ARDS). Fungsi paru juga menurun akibat efusi
pleura yang biasanya terjadi di sebelah kiri. Pergerakan diafragma sering terbatas akibat proses
intraperitoneum.
Nekrosis yang kemudian menjadi abses dapat terjadi dalam perjalanan pankreatitis akut. Proses
lipolitik dan proteolitik menyebabkan trombosis dan nekrosis iskemik sekunder sehingga mulamula timbul massa radang atau flegmon atau abses yang steril. Invasi sekunder akan
menimbulkan abses bakterial yang dapat menyebabkan syok septik.
Komplikasi berupa perdarahan, terutama pada pankreatitis nekrotikans dapat menyebabkan
68

kematian pasien. Sumber perdarahan dapat disebabkan oleh timbulnya tukak peptik dan erosi
pembuluh darah sekitar pankreas disertai trombosis vena lienalis dan vena porta.
PROGNOSIS.
Prognosis pankreatitis akut dapat diramalkan berdasarkan tanda pada waktu pemeriksaan
pertama dan 48 jam kemudian menurut kriteria Ranson. Dengan tabel kriteria Ranson dapat
dipastikan derajat kegawatan pankreatitis akut.
Kriteria pankreatitis akut menurut Ranson :
Pemeriksaan pertama :
- umur > 55 tahun
- sel leukosit > 15.000/mm3
- kadar glukosa > 200 mg/dl
- LDH (lakto dehidrogenase) > 35 U/I
- SGOT > 250 unit/dl
Pemeriksaan setelah 48 jam :
- hematokrit turun > 10%
- ureum darah > 5 mg/dl
- kalsium < 8 mg/dl
- saturasi darah arteri O2 turun
- defisit basa > 4 meq/l
- sekuestrasi cairan > 6 l
Mortalitas pankreatitis akut sangat bergantung pada gambaran klinik dan berkisar antara 1
sampai 75 persen. Pada setiap kriteria Ranson diberikan angka 1. Angka kematian untuk pasien
yang negatif pada tiga kriteria kira-kira 5 persen, sedangkan pasien dengan lima atau lebih
kriteria positif adalah di atas 50 persen. Dengan mengenal stadium permulaan dari perjalanan
serangan pankreatitis berat akan dapat dilakukan pengelolaan yang rasional dalam pengobatan
pankreatitis tersebut.

Kista Pankreas
PATOGENESIS
Patogenesis pseudokista pankreas berawal dari adanya gangguan pada duktus pankreatikus, bisa
oleh proses inflamasi yang akut maupun kronik dan trauma. Perbedaan antara kista sejati dan
pseudokista pada pankreas adalah kista sejati dibatasi oleh dinding epitel sebaliknya pseudokista
tidak dibatasi oleh epitel melainkan hanya oleh jaringan ikat.
Pada pankreatitis akut, terjadi gangguan pada duktus akibat dari nekrosis pada sebagian sel-sel di
pankreas dan kebocoran duktus ( postnecrotic pseudocyst ). Akibatnya, terjadi ekstravasasi
enzim-enzim pankreas termasuk enzim pencernaan dari sel-sel asinus. Normalnya sel-sel
tersebut melepaskan enzim-enzim pencernaaan ke dalam duktus pengumpul yang kemudian
mengalirkan ke duktus pankreatikus menuju ke lumen duodenum. Ekstravasasi enzim-enzim ini
dapat menyebabkan terjadinya autodigesti pada jaringan pankreas. Edema dengan cepat terjadi
kemudian disusul dengan terjadinya nekrosis pankreas, oklusi pembuluh darah dan respon

69

inflamasi. Ini menjelaskan kandungan kista yang terdiri dari cairan pankreas yang kadang
bercampur darah atau sisa jaringan nekrotik.
Terkumpulnya sekresi pankreas selanjutnya menyebabkan terjadinya pembentukan dinding
(walling-off) oleh jaringan granulasi sehingga terbentuklah suatu kista pankreas tanpa lapisan
epitel pada dindingnya yang disebut pseudokista. Pada pasien dengan pankreatitis kronik, terjadi
peningkatan tekanan pada duktus pankreatikus akibat dari striktur, batu pada duktus,
penumpukan protein dan lain-lain sehingga terjadi ruptur pada duktus.
Pada trauma pankreas, pseudokista terjadi disebabkan oleh gangguan pada duktus yang biasanya
akibat dari trauma tumpul. Terjadi perlukaan pada duktus biasanya yang berdekatan dengan
kolum vertebra sehingga akhirnya terbentuklah pseudokista pada pankreas.
GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS
Tidak ada gejala yang khas untuk pseudokista pankreas dan setiap individu dapat memberikan
gejala yang berbeda. Namun secara umum, diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang
baik, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang lain.
1. Anamnesis :
Pseudokista pankreas harus dicurigai pada pasien dengan riwayat pankratitis atau trauma
pankreas 2 atau 3 minggu sebelumnya. Dari anamnesa diperoleh informasi seperti : pasien
mengeluhkan nyeri yang menetap pada daerah pertengahan epigastrium dan menjalar tembus
sampai ke punggung, demam, dan sering merasa mual dan muntah. Menurut Crass and Becker,
nyeri pada epigastrium dikeluhkan hampir 90% dari penderita. Anoreksia terdapat pada sekitar
20% penderita.
2. Pemeriksaan Fisis :
Dari pemeriksaan fisis didapatkan pada 50-75 % penderita teraba massa kistik di epigastrium.
Massa ini kadang mudah digerakkan atau agak terfiksasi tergantung dari hebatnya radang dan
perlengketan pada jaringan sekitarnya. Kadang massa ini dapat berubah menjadi besar atau
mengecil, bergantung pada adanya patensi saluran pankreas.
Dapat terjadi pendarahan varises esofagus akibat bendungan pada vena porta oleh pseudokista
tersebut. Tekanan pada duktus koledokus dapat menimbulkan ikterus ringan sampai berat
tergantung hebatnya tekanan.
3. Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan laboratorium :
1. Darah Rutin :

70

Didapatkan peningkatan kadar amilase serta leukositosis pada sebagian dari penderita
pseudokista pankreas.
Bilirubin dan LFT meningkat jika cabang duktus biliaris ikut terlibat

1. Analisis cairan kista ; dapat membantu dalam membedakan pseudokista dengan tumor

Kadar tumor marker CEA (Carcino Embryogenic Antigen ) dan CEA-125 rendah pada pseudokista
dan tinggi pada tumor
Viskositas cairan rendah pada pseudokista dan tinggi pada tumor
Kadar amilase yang tinggi pada pseudokista dan rendah pada tumor
Pemeriksaan sitologi dapat membantu dalam mendiagnosis tumor tetapi hasil sitologi yang
negatif tidak menyingkirkan kemungkinan adanya tumor.

Pemeriksaan radiografi :
1.
2.
3.
4.

Ultrasonografi (USG) Abdomen


CT-scan Abdomen
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)

DIAGNOSIS BANDING
1. Tumor kista, contohnya mucinous cystadenoma, serous cystadenoma, cystadenocarcinoma.
2. Abses pankreas, biasanya disertai tanda-tanda infeksi seperti demam, lekositosis dan takikardi.
3. Karsinoma pankreas, dengan gejala yang sama dengan pseudokista yaitu penurunan berat
badan, ikterus, dan perabaan massa ( berkemungkinan kantong empedu). Ini bisa dibedakan
melalui pemeriksaan CT-scan abdomen.
4. Pankreatitis akut. Pasien mengalami nyeri hebat pada epigastrium yang berkurang bila duduk,
disertai muntah hebat.
5. Pankreatitis kronik, merupakan suatu episode berulang dari pankreatitis akut. Pankreas menjadi
kecil, berindurasi, nodular dengan asini dan pulau-pulau yang dikelilingi oleh jaringan fibrosa.

PENANGANAN
Pembedahan merupakan pilihan utama.
Tujuan pembedahan mencegah komplikasi infeksi, perdarahan sekunder, ruptur
pseudokista atau kista terus membesar.
Pembedahan berupa

Bila kista kecil :

Ekstirpasi kista
Drainase transfingterik melalui ampula Vater secara endoskopik

Bila kista besar :


71

Drainase interna

Merupakan pilihan terbaik


Sistogastrostomi atau sistoyeyunostomi

Drainase eksterna ==== marsupialisasi

Pseudokista yang membesar, atau yang ada selama lebih dari 6 minggu, harus diterapi. Kista
harus dibiarkan matang, biasanya memakan waktu 6 minggu. Yang paling efektif adalah drainase
interna, biasanya melalui sistogastrostomi, tetapi sistojejunotomi, sistoduodenostomi dan
pankreatektomi distal merupakan pilihan lain. Drainase eksterna hanya diindikasikan untuk kista
tipis yang sangat halus atau kista sejati.
1. Pankreatektomi distal
Pankreatektomi distal merupakan suatu penatalaksanaan definitif terhadap pseudokista kronis
yang terjadi pada kaudal pankreas. Prosedur ini juga dianjurkan untuk dilakukan pada
pseudokista yang sebelumnya terjadi trauma dengan syarat korpus dan kaudanya masih normal.
Pada prosedur ini cairan kista didrainase bisa secara internal atau eksternal.
2. Drainase eksternal
Drainase eksterna paling baik dilakukan pada pasien yang sakit berat atau apabila dinding kista
belum cukup matang sehingga tidak bisa dilakukan anastomose ke organ lain. Drainase eksterna
dapat berkomplikasi menjadi fistula pankreatikus sehingga perlu dilakukan drainase surgikal. 7080% fistula yang menutup secara spontan setelah beberapa bulan.
3. Drainase internal
Sistojejunostomi yaitu anastomosis kista dengan jejunum yang dilakukan secara Roux-en-Y.
Sistogastrostomi yaitu anastomosis kista dengan dinding posterior gaster, dan Sistoduodenostomi
yaitu anastomosis kista dengan duodenum. Sistogastrostomi dilakukan pada kista yang terletak di
belakang dan melengket pada gaster. Roux-en-Y sistojejunostomi memberikan fungsi drainase
yang lebih baik dan dianjurkan terhadap kista yang letaknya sulit dicapai. Sistoduodenostomi
diindikasikan untuk kista yang berada di kaput pankreas dan melengket pada dinding medial
duodenum, yang menjadikan lesi ini sulit untuk didrainase menggunakan teknik lain.
4. Drainase perkutaneus (drainase non-surgical)

Drainase perkutaneus dianjurkan pada pseudokista yang terinfeksi dan pada pseudokista yang
ukurannya sangat besar, karena secara teknik, sulit untuk melakukan drainase internal ke dalam
organ lain. Drainase perkutaneus dapat dilakukan dengan cara memasukkan kateter ke dalam
kista dengan dimonitor oleh CT-scan, USG atau fluoroskopi. Drainase percutaneus dilakukan
dengan cara memasukkan jarum yang dimonitor oleh imej (image-guided needle) ke dalam
pseudokista. Kemudian suatu selang (guidewire) dimasukkan melalui jarum tadi ke dalam kista
dan seterusnya kateter pigtail diameter 7F 12F dimasukkan mengikuti guidewire tadi sampai
72

ke dalam kista. Komplikasi yang bisa terjadi adalah pembentukan fistula pankreatikus eksternal
setelah pelepasan kateter, yang mengambil tempat letaknya kateter. (2,12)

CholangioCarsinoma
ETIOLOGI
- Penyakit batu empedu/kolelithiasis (gallstones diseases), Iritasi mukosa vesika fellea
menahun, Hepatolithiasis, Kolitis ulcerative, Cystic dilatation (Caroli disease), Kista duktus
koledokus, Primary sclerosing cholangitis (PSC), Kalsifikasi dinding vesika fellea, Anomali
duktus pankreatikobiliaris
- Paparan bahan-bahan racun: Thorium dioxide (thorotrast), Radionuklida,
Karsinogen (arsenic, dioksin, nitrosamine, befenil poliklorinat )
- Fibrosis hepatic kongenital, Polikistik hati, Infeksi parasit (Clonorchis sinensis dan opistorchis
viverrini) terbanyak menyebabkan kolangiokarsinoma, Chronic typhoid carier.
Mutasi Genetik :
a. K-ras, C-myc,C-neu,c-erb-b2 dan c-met
b. Gen suppressor tumor adalah p53 dan bcl-2
KLASIFIKASI
A. Tumor pada Saluran Empedu (Duktus Biliaris)
Tumor jinak saluran empedu
1. Adenoma neoplastik pada epitel duktus
2. Kistadenoma & tumor sel granuler
3. Papiloma lesi multiple papiler mukosa duktus

Tumor ganas saluran empedu (kolangiokarsinoma)

73

Kolangiokarsinoma intrahepatik berasal dari saluran-saluran yang kecil (duktules) dan timbul
sebagai massa intrahepatik dan biasanya didiagnosa banding dengan tumor intrahepatik yang lain
seperti hepatoma.
Kolangiokarsinoma ekstrahepatik berasal dari saluran empedu yang besar dan biasanya
menimbulkan obstruksi saluran empedu.
Tumor Duktus Biliaris Proksimal (perihilar, hilar, dan Klatskins).
Tumor Duktus Biliaris Distal
Bismuth membagi menjadi empat tipe sesuai letak timbulnya tumor pada duktus biliaris
ekstrahepatik.
KLASIFIKASI BISMUTH
-

Tipe I

: Terletak di duktus hepatis kommunis

Tipe II : Mencapai cabang duktus hepatis, tetapi belum memasuki salah

satu percabangan duktus hepatis (Klatskins tumor)


-

Tipe IIIa : Meluas ke duktus hepatikus kanan

Tipe IIIb : Meluas ke duktus hepatikus kiri

Tipe IV : Meluas ke duktus hepatikus kanan maupun duktus hepatikus kiri

American Joint Committee on Cancer TNM Clinical Classification of Extrahepatic Bile Duct Cancer

Tumor (T)

NODUL (N)

T1

Tumor confined to bile duct histologically

T2

Tumor invades beyond wall of bile duct

T3

Tumor invades liver, gallbladder, pancreas, or unilateral branches of portal vein


or hepatic artery

T4

Tumor invades any of the following: main portal vein or branches bilaterally,
coronary artery, or other adjacent structures (e.g. colon, stomach, duodenum,
or abdominal wall)

N0

No regional lymph node metastasis

74

N1

Regional lymph node metastasis

M0 No distant metastasis
Metastasis (M)
M1 Distant metastasis
American Joint Committee on Cancer Staging System for
Extrahepatic Bile Duct Cancer
Stage

Tis

IA

T1

N0

M0

IB

T2

N0

M0

II A

T3

N0

Mo

II B

T1, T2, T3

N1

M0

III

T4

Any N

M0

IV

Any T

Any N

M1

Patologi
Ada tiga bentuk histopatologi adenokarsinoma.
1. Schirus ( Striktur). Adanya reaksi desmoplastik hebat yang melibatkan duktus biliaris. Sering
pada percabangan duktus hepatikus (Klatskins tumor). Bentuknya annular, tipis, berwarna abuabu dengan batas yang jelas.
2. Noduler difus.Tumor yang cepat tumbuhnya, sangat virulen, yang meluas ke saluran empedu
ekstrahepatik.
3. Papiler. Jarang ditemukan. Tumor ini terdiri atas jaringan neoplastik vaskuler yang rapuh dan
mengisi lumen saluran empedu.
Kolangiokarsinoma ekstrahepatik terbagi menjadi tiga tipe yaitu
1. Polipoid atau massa nodular; 2. Sklerosis ; 3. Infiltrat difus.

Patogenesis

75

Trauma kronik yang disertai inflamasi yang berkepanjangan merupakan faktor pencetus
pembentukan tumor pada duktus biliaris.
Organisme parasit menyebabkan perubahan DNA dan mutasi melalui produksi karsinogen dan
radikal bebas dan menstimulasi ploriferasi sel epitel biliar yang akhirnya terbentuk sel kanker.
Induksi bakteri, endogenous, karsinogen-derifat garam empedu seperti litokolat, juga terlibat
dalam patogenesis terjadinya tumor.
Titik mutasi terletak pada K-ras onkogen kodon 12 yang ditemukan pada kolangiokarsinoma.

Karsinoma Ampulla Vateri


Karsinoma ampulla vateri merupakan keganasan yang jarang terjadi. Lebih dianggap sebagai
tumor duktus biliaris yang cenderung menyebabkan gejala dini dan menyebar lokal dengan
metastasis distal yang lambat.
B. Tumor pada Vesika fellea (Gall Bladder)
Tumor Jinak pada Vesika fellea
Bentuk tumor ini terdiri atas polip, hiperplasia adenomatosa, adenoma, papiloma, mioma,
lipoma, dan fibroma.
Tumor Ganas pada Vesika fellea
Tumor ganas vesika fellea adalah adenokarsinoma. Oleh karena itu, penyebaran dapat invasif
langsung ke dalam hati dan porta hati. Metastasis terjadi ke kelenjar getah bening regional dan
struktur-struktur yang berdekatan seperti misalnya lambung, duodenum dan pankreas.
Patologi
Ada tiga bentuk adenokarsinoma antara lain : skirus, papiler, dan musinosa. Karsinoma musin
paling sering ditemukan dan cepat menyebar ke hati. Karsinoma papiler merupakan pertumbuhan
yang lebih lambat dan tampak sebagai cacat pengisian polipoid. Sedangkan jenis skirus jarang
ditemukan.
American Joint Committee on Cancer TNM Clinical Classification of Gallblader Cancer

Tumor (T)

Tx

Primary tumor cannot be assessed

T0

No evidence of primary tumor

Tis

Carcinoma in situ

T1

Tumor invades lamina propria or muscle layer


a Tumor invades lamina propria

76

b Tumor invades muscle layer


T2

Tumor invades perimuscular connective tissue

T3

Tumor perforates serosa (visceral peritoneum) or

directly invades one adjacent organ (< 2 cm into liver)


T4

Tumor extends > 2 cm into liver or invades 2 adjacent organs

(ex:duodenum, colon, pancreas, or extrahepatic bile ducts)


Nodul (N)

N0

No regional lymph node metastasis

N1

Metastasis in cystic duct, pericholedochal, or

hilar lymph nodes (in hepatoduodenal ligament)


N2

Metastasis in peripancreatic (head only),

periduodenal, periportal, celiac, or mesenteric lymph nodes


Metastasis M0
M1

No distant metastasis
Distant metastasis

American Joint Committee on Cancer


Staging System for Gallblader Cancer
Stage

Tis

N0

M0

IA

T1

N0

M0

II

T2

N0

M0

III

T1, T2,T3

N0, N1

Mo

IV A

T4

N0, N1

M0

IV B

Any T

N2

M0

Any T

Any N

M1

GEJALA KLINIS
Tumor Saluran Empedu (Duktus Biliaris)
77

Keluhan utama ialah ikterus obstruktif yang progresif secara lambat, bila hanya satu duktus
hepatikus yang terlibat, karena lobus hati yang tidak terlibat melakukan kompensasi, pruritus,
nyeri epigastrik ringan, kadang gejala kolangitis seperti febris, kolik bilier, dan menggigil, Diare,
anoreksia dan penurunan berat badan. Jika tumor timbul pada bagian distal duktus biliaris,
distended gall bladder dapat terjadi. Jika pertumbuhan tumor hanya pada satu duktus, maka akan
terjadi pembesaran unilobar hepar.
Tumor Kandung Empedu (Vesika fellea)
Nyeri di perut kuadran kanan atas, kolik bilier,mual, muntah, dan anoreksia, penurunan berat
badan, ikterus, hepatomegali dan teraba massa atau ascites, ikterus obstruksi dan kolangitis.
DIAGNOSIS
Tumor Duktus Biliaris (saluran empedu).
Keluhkan pasien adalah perasaan tidak enak pada perut kuadran kanan atas, pruritus, diare,
anoreksia, nyeri epigastrik ringan dan penurunan berat badan.
Pada pemeriksaan fisis, jika terjadi distensi kandung empedu, akan mudah diraba, sedangkan
tumornya sendiri tidak pernah dapat diraba. Trias Courvisier ( Ikterik,Nyeri perut & Teraba
Massa perut kanan atas). Laboratorium : Ikterus obstruksi ( bilirubin direk > 50% dari bilirubin
total, serum alkalifosfatase dan gamma glutamil transferase meningkat). Pemeriksaaan
ultrasonografi umumnya dapat mendeteksi pelebaran saluran empedu intrahepatik.
Kolangiopankreatikografi endoskopik retrograd (ERCP), kolangiopankreatografi resonansi
magnetik (MRCP) dan kolangiografi transhepatik perkutan (PTC) dapat menentukan lokasi
tumor secara jelas.
Tumor Kandung Empedu (Vesika fellea)
Keluhan berupa nyeri menetap di kuadran kanan atas, mirip kolik bilier, mual, muntah,
anoreksia, penurunan berat badan, hepatomegali, teraba massa atau asites, ikterus obstruksi jika
tumor besar dan melakukan penekanan pada duktus koledokus atau meluas sampai ke duktus
koledokus (Syndrom Mirizzi).
Pada pemeriksaan fisik, dapat diraba massa di daerah vesika fellea. Massa ini tidak akan
disangka tumor apabila disertai tanda kolesistitis akut. Apabila gejala klinisnya hanya kolangitis
dan kandung empedu teraba membesar, harus dicurigai kemungkinan keganasan kandung
empedu, karena keadaan ini tidak biasa ditemukan pada koledokolithiasis.
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan peningkatan kadar bilirubin dan alkalifosfatase. Pada
level darah, CEA atau CA 19-9 (protein dalam sirkulasi darah yang ditemukan jika terdapat jenis
kanker tertentu dalam tubuh) dan tumor marker yang lain, juga dapat mengalami peningkatan.
Tetapi hal ini tidak mutlak digunakan untuk menegakkan diagnosa oleh karena mungkin terdapat
kasus yang lain.

78

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ultrasonografi (USG)
Tampak duktus intrahepatik berdilatasi, tumor kandung empedu akan tampak sebagai bentuk
hiperechoik.
Computed Tomography (CT)
Dilatasi intrahepatik dan atrofi lobar, Ukuran atau sejauh mana tumor telah menyumbat duktus
bilier dan gall bladder, dapat mendeteksi organ sekitar kandung empedu, seperti kelenjar limfe
dan organ lain,adanya proses kalsifikasi.
Kolangiopankretikografi Retrograd Endoskopi (ERCP)
Opafikasi dari batang saluran empedu dengan kanulasi endoskopi ampulla Vateri dan suntikan
retrograd zat kontras, maka sumbatan pada duktus biliaris akan terlihat jelas.
Kolangiografi Transhepatik Perkutan (PTC)
Merupakan pungsi transhepatik perkutan pada susunan duktus biliaris intrahepatik yang
menggunakan jarum Chiba kecil (ukuran 21) dan suntikan prograd zat kontras.
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Macam teknik yang digunakan seperti sphinkterektomi, pemasangan ballon dilatation pada
daerah striktur, dan pemasangan stent (pintas saluran empedu- usus). Jenis stent yang digunakan
tebuat dari metal seperti Metal-Palmas, Strcker, Gianturco Z stent, dan Wall stent. Namun, dapat
terjadi komplikasi berupa perdarahan dan kebocoran duktus. Kemoterapi & Radioterapi tidak
bermakna (iridium (Ir 192), radium atau kobalt (Co 60). Radioimunoterapi menggunakan sodium
iodida (I 131) anti-CEA.
Pembedahan
Prosedur Whipple, yaitu pankreatiko-duodenektomi. yaitu Eksisi tumor secara radikal en
bloc (Kaput & Korpus Kankreas, Duodenum, Pilorus, distal lambung, distal duktus koledokus)
+ Cholesistektomi + Rekonstruksi ( pankreatikoyeyunostomi, koledokoyeyunostomi dan
gastroyeyunostomi).
Tumor proksimal (Klatskin tumor) berdasarkan lokasi dapat dilakukan:
Pasien dengan tumor perihilar (Bismuth klasifikasi I dan II), tanpa adanya invasi vaskuler,
dapat dilakukan lokal eksisi. Tetapi jika batas tumor tidak jelas, maka eksisi lokal tidak dapat
dilakukan. Maka reseksi lobus dapat dilakukan.
79

Tipe III dilakukan dengan lobektomi (lobus kanan atau kiri). Reseksi dapat dilakukan
sampai lobus kaudatus untuk memastikan batas bebas tumor.
Tumor klatskin juga dapat ditanggulangi dengan eksisi dan hepatoyeyunostomi dengan
anastomosis Roux-en-Y (koledokoyeyunostomi Roux-en-Y dan yeyunoyeyunostomi Roux-en-Y)
PROGNOSIS
Prognosis jangka panjang adalah buruk, angka kelangsungan hidup 5 tahun < 5%. Prognosis
tumor duktus biliaris tergantung pada lokasi tumor dan perluasan dari penyakit. Meskipun
kelangsungan hidup lima tahun jarang bagi pasien dengan lesi hilus atau proksimal,
kelangsungan hidup lima tahun lebih dari 30% pada pasien dengan tumor duktus biliaris distal.

Kista Duktus Koledokus, Kista Koledokus


PENDAHULUAN
Kista koledokus adalah anomali kongenital dari saluran empedu. Kista koledokus terdiri atas
dilatasi kistik saluran empedu ekstra-hepatik, saluran empedu intra-hepatik, atau keduanya.
Sejumlah teori telah diajukan untuk menjelaskan patogenesa kista koledokus. Anomali
Persambungan Saluran Pankreatikobiliaris (APSPB) diduga sebagai penyebab sebagian besar
kista koledokus. APSPB menyebabkan sekresi dan enzim pancreas refluks ke dalam common
bile duct, sehingga ditemukan sedikit kondisi alkalis pada common bile duct dan proenzim
pancreas dapat menjadi teraktivasi, Keadaan ini menyebabkan inflamasi dan kelemahan dari
dinding ductus biliaris. Kerusakan yang lebih berat dapat mengakibatkan kerusakan dari mukosa
common bile duct. Secara kongenital, defeknya terjadi pada saat epitealisasi dan rekanalisasi
selama perkembangan ductus biliaris pada saat organogenesis dan juga terdapat kelemahan
kongenital dari dindingnya. Hasilnya akan terbentuk kista koledokus.
Morbiditas dari kista koledokus tergantung dari usia. Infant dan anak-anak sering terjadi
pankreatitis, kolangitis dan kerusakan hepatoselular beserta peradangannya berdasarkan bukti
histologis. Komplikasi yang paling mengkhawatirkan dari kista koledokus adalah
kolangiokarsinoma yang angka kejadiannya berkisar 9 -28 %. Perbandingan antara perempuan
dan laki-laki sekitar 3 4 : 1, dan pada kasus orang dewasa, penyakit ini lebih mudah dikenali
daripada pada anak-anak usia dibawah 10 tahun. Beberapa laporan belakangan ini menekankan
bahwa penyakit ini juga terjadi pada orang dewasa. Pada populasi dewasa, kista koledokus
kemungkinan tak terdiagnosis dan tidak dilaporkan.
KLASIFIKASI KISTA CHOLEDOCHUS
80

Pelebaran sistik dari system bilier dapat terjadi pada traktus bilier ekstra dan intrahepatik. Tipe
kista koledokus yang paling sering timbul terdapat pada traktus bilier ekstrahepatik, tepat
dibawah percabangan duktus hepatik kanan dan kiri dan meluas sampai didekat parenkim
pankreas. Cirinya, duktus sistikus memasuki kista koledokus dan kandung empedu tetap pada
ukuran normalnya.
Kelainan anatomi yang berhubungan dengan kista koledokus didasarkan atas Klasifikasi Todani
yang dipublikasikan tahun 1977 :

Tipe I : Pelebaran traktus bilier ekstrahepatis : Ia-sistik, Ib-fokal, Ic-fusiform


Tipe II : Divertikula sakulus pada duktus biliaris ekstrahepatik.
Tipe III : Pelebaran CBD dalam duodenum, koledokokel
Tipe IVa : Pelebaran traktus bilier ekstra dan intrahepatis
Tipe IVb : Kista ekstrahepatis multiple
Tipe V : Pelebaran duktus intrahepatis (penyakit Caroli).

GEJALA KLINIK
Manifestasi Klinis umum dari Jaundice : Ikterik, Urine seperti teh, feses acholic , massa kuadran
kanan atas abdomen, kadang hepatomegali, kolik intermiten, mual muntah, demam. Trias klasik
Couvisier dari kista koledokus adalah ikterus, massa pada kuadran kanan atas dan nyeri
abdomen.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: Tidak ada yg spesifik. Bilirubin 2 dan Total meningkat ( bila ada obstruksi).
USG

Dilatasi duktus, acuustic shadow, kistik, dll.

CT-Scan Menggambarkan dengan jelas ukuran, lokasi dan perluasan dari dilatasi biliar ekstra
dan intrahepatik pada pasien dengan kista koledokus
ERCP
Dapat menggambarkan anatomi bagian bawah duktus, (ACDPDJ= Anomalous
choledochopancreatography duct junction).
MRI dan MRCP.
PRINSIP PENANGANAN
TERAPI BEDAH
1. Eksisi kista koledokus.
Disertai rekonstruksi anastomosis entero-bilier Roux-en-Y, kecuali pada kista koledokus tipe III
intraduodenum (koledokokel), dan Caroli Disease.

81

2. Drainase Eksterna atau Interna (Cystocholedocoyeyunostomi,dll) Bila hanya drainase saja


tanpa eksisi, bahayanya :
a. Tempat anastomosis pada dinding kista sering menyertakan mukosa yang abnormal dengan
inflamasi dan fibrosis.
b. Risiko berkembangnya keganasan pada struktur duktus yang dibiarkan berdilatasi diyakini
sangat tinggi.
Koledokokel (kista tipe III) telah diterapi secara efektif dengan sfingterektomi transduodenal
atau sfingterotomi. Mayoritas kista pada traktus bilier pilihan utama terapinya adalah eksisi
radikal. Pada pasien dengan kista III (koledokokel), sfingteroplasti transduodenal atau
sfingterotomi endoskopik bisa dipertimbangkan sebagai terapi yang tepat.

Cholangitis
ETIOLOGI
Kholangitis Akuta adalah inflamasi pada sistem bilier akibat adanya infeksi dan hambatan
aliran empedu. Penyebab Kholangitis tersering adalah batu primer pada ductus choledochus yang
disebabkan oleh infeksi, stasis empedu, striktur dan parasit (recurrent pyogenic cholangitis).
Etiologi Kholangitis:
Choledocholithiasis
Striktur sistem bilier
Neoplasma pada sistem bilier
Komplikasi iatrogenik akibat manipulasi CBD (Common Bile Duct)
Parasit : cacing Ascaris, Clonorchis sinensis
Pankreatitis kronis
Pseudokista atau tumor pankreas
Stenosis ampulla
Kista Choledochus kongenital atau penyakit Caroli
82

Sindroma Mirizzi atau Varian Sindroma Mirizzi


Diverticulum Duodenum
Batu saluran empedu adalah penyebab terbanyak (hampir 90%), yang kemudian disusul oleh
striktur sistem bilier dan tumor pada sistem bilier.

PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak mengalami hambatan
sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kholangitis terjadi akibat adanya stasis atau
obstruksi di sistem bilier yang disertai oleh bakteria yang mengalami multiplikasi. Obstruksi
terutama disebabkan oleh batu CBD , striktur, stenosis, atau tumor , serta manipulasi
endoskopik CBD. Dengan demikian pasase empedu menjadi lambat sehingga bakteri dapat
berkembang biak setelah mengalami migrasi ke sistem bilier melalui vena porta, sistem limfatik
porta ataupun langsung dari duodenum. Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara asenderen
menuju duktus hepatikus, yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier yang
tinggi dan melampaui batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik empedu yang
berakibat terjadinya infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatika dan limfatik perihepatik,
sehingga pada gilirannya akan terjadi bakteriemia yang bisa berlanjut menjadi sepsis (25-40%).
Apa bila pada keadaan tersebut disertai dengan pembentukan pus maka terjadilah Kholangitis
supurativa.
Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kholangitis yaitu :
1. Kholangitis dengan cholecystitis Tidak ditemukan obstruksi pada sistem bilier, maupun
pelebaran dari duktus intra maupun ekstra hepatal. Keadaan ini sering disebabkan oleh batu
CBD yang kecil, kompresi oleh vesica felea / kelenjar getah bening / inflamasi pankreas,
edema/spasme sphincter Oddi, edema mukosa CBD, atau hepatitis.
2. Acute Non Suppurative Cholangitis : Terdapat baktibilia tanpa pus pada sistem bilier yang
biasanya disebabkan oleh obstruksi parsial.
3. cute suppurative cholangitis: CBD berisi pus dan terdapat bakteria, namun tidak terdapat
obstruksi total sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis.
4. Obstructive Acute Suppurative Cholangitis : Terjadi obstruksi total sistem bilier sehingga
melampaui tekanan normal pada sistem bilier yaitu melebihi 250 mm H20 sehingga terjadi
bakterimia akibat reflluk cairan empedu yang disertai influs bakteri ke sistem limfatik dan vena
hepatika.

Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu sepsis berlarut, syok
septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal ginjal yang disebabkan oleh
sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering multipel) dan bahkan peritonitis. Jika sudah
terdapat komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Beberapa kondisi yang
memperburuk prognosis adalah Umur, Febris, Lekositosis, Syok Septik, Kultur darah (+),
Gangguan sistem phagositosis, Immunosuppresi, Adanya Neoplasma hepar, Obstruksi
intrahepatal multiple, Penyakit hepar kronis, Abses hepar.

83

Bakteriologi
Tabel: Bakteriologi Kholangitis Akut
EMPEDU
Cholecystitis (%)

Cholangitis (%)

Keduanya(%)

Darah(%)

Escherichia coli

31

26

44

26

Enterococcus

18

11

13

Klebsiella spp

15

12

11

14

Pseudomonas.spp
Enterobacter
sppStaphylococcus

Bacteriodes spp

0.3

Clostridium.spp

0.3

Faktor-faktor prediktor terjadinya baktibilia.

Umur > 60 tahun


Febris > 37.30 C
Bilirubin Total > mol/L8.6
Lekositosis > 14.000/mm3
Episode cholecystitis akuta atau Kholangitis yang baru lalu
Kanulasi bilier atau prosedur by pass
Diabetes mellitus
Hyperamylasemia
Obesitas

DIAGNOSIS:
Diagnosis kholangitis akuta dapat ditegakkan secara klinis yaitu dengan ditemukannya
Charcots Triad yang terdiri dari nyeri di kuadran kanan atas, ikterus dan febris yang
dengan/tanpa menggigil. Namun demikian, kurang dari 50 % kasus ditemukan ketiganya secara
bersamaan. Adapun frekuensi gejala-gejala dan tanda-tanda yang dapat ditemukan adalah :
Febris > 38 C

: 87 90 %

Nyeri abdomen

: 40 %
84

Ikterus

: 65 %

Tidak ditemukannya ketiga tanda tersebut secara bersamaan terutama disebabkan oleh obstruksi
saluran empedu yang tidak komplit. Apabila keadaan penyakit menjadi lebih berat yaitu disertai
oleh sepsis atau syok maka akan ditemukan Reynolds Pentad yang ditandai oleh Charcots
triad ditambah dengan Mental confusion / Lethargy dan syok. Perubahan tersebut disebabkan
oleh obstruksi total saluran empedu sehingga tekanan yang meningkat menyebabkan refluks
aliran empedu sehingga bakteri dapat mencapai sistem pebuluh darah sistemik dan terjadi sepsis.
Oleh karena itu pada keadaan ini perlu segera dilakukan drainase untuk mengadakan dekompresi
dan pengendalian terhadap sumber infeksi.
Penunjang

Laboratorium, menunjukkan perubahan-perubahan sebagai berikut :


3
o Leukositosis > 10.000 / mm : 33-80%
o Serum bilirubin 2-10 mg / dl : 68-76 %
o Alkali phosphatase 2-3x normal pada 90%
o C-reactive protein : Biasanya ditemukan peningkatan
USG hepatobilier dan pankreas :
o Dapat diemukan CBD yang berdilatasi.
o Kemungkinan disertai dengan batu CBD.
CT.Scan lebih sensitif dan spesifik dari pada USG dan memberikan gambaran :
o Batu CBD.
o Tumor sistem bilier atau pankreas
o Batu pada sistem bilier intrahepatal
o Adanya atrofi pada hepar
o Abscess pada hepar (biasanya multipel bila penyebab batu)
MRI Cholangiografi : Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik, serta akurat, yaitu masingmasing 91.6 %,: 100 %, dan 96.8 %. Kelebihan alat ini adalah non invasif, dapat dilakukan
hampir semua usia dan dapat membedakan jenis batu cholesterol dari jenis lainnya secara jelas.
Cholangiography : Menimbulkan morbiditas 1-7 % dan mortalitas 0,25%, oleh karena itu
sebaiknya dihindari, kecuali disertai oleh tindakan dekompresi yang dilakukan bersama-sama.
Dapat dilakukan secara ERCP (Endoscopic Retrograde Choalngio Pancreatography) ataupun PTC
(Percutanues Transhepatic Cholangiography).
Cholescintigraphy dengan HIDA :

Menunjukkan Liver uptake

Non visualisasi kandung empedu, CBD, & usus halus karena obstruksi total.

PENATALAKSANAAN :
Mengingat mortalitas yang tinggi jika terapi bedah dilakukan pada saat emergensi, maka langkah
awal adalah sebagai berikut :

Perbaikan keadaan umum :


o Pasien dipuasakan
85

o
o
o
o

Dekompressi dengan NGT (Naso Gastric Tube)


Pemasangan infus dan dilakukan rehidrasi
Dilakukan koreksi kelainan elektrolit
Pemberian antibiotika parenteral

Dengan melakukan tindakan tersebut, 80-85 % pasien akan mengalami perbaikan, sehingga
dalam periode berikutnya (dalam 48 72 jam) dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis penyebabnya dan menentukan jenis operasi definitifnya. Namun, bila
pasien datang dengan shock dan hipoperfusi jaringan yang berat maka diperlukan :

Invasive monitoring
Analgesik non narkotik , namun jika telah ada konfirmasi diagnostik, Meperidine atau Fentanyl
dapat diberikan.

Bila terapi medikamentosa tidak berhasil, maka tindakan dekompresi emergensi segera
dilakukan dengan cara :

Pembedahan terbuka, Drainase secara endoskopik, Drainase perkutan sistem bilier

Setelah terapi medikamentosa dan suportif lainnya berhasil memperbaiki keadaan umum, maka
tindakan bedah untuk dekompresi dapat dilakukan secara elektif dan pada umumnya yang
dilakukan adalah :
Cholecystectomy + Eksplorasi CBD +/- Drainase T-tube , +/- choledochoenterostomy
Mortalitas pada berbagai tindakan baik bedah maupun non bedah adalah sebagai berikut :

Terapi konservatif tanpa drainase angka mortalitas antara 40-100 %.


Tindakan dekompresi secara bedah secara keseluruhan akan menunjukkan angka mortalitas
antara 2 13 % dan morbiditasnya adalah 12 21 %.
Drainase secara endoskopik akan disertai oleh tingkat mortalitas antara 1 13 %, dan
morbiditas 4 24 %.
Terapi invasif minimal dengan teknik Percutaneus Transhepatic Cholangiography Drainage
(PTCD) menunjukkan mortalitas yang rendah yaitu 0.05 7.00 %, namun morbiditasnya sangat
bervariasi yaitu 4 80 %.
Jika penyebabnya adalah neoplasma maligna primer maka :

Angka mortalitas tindakan pembedahan adalah sampai dengan 40 %, namun jika sudah terdapat
metastasis yang ekstensif maka akan meningkat menjadi 59 %.
Drainase endoskopik akan memberikan tingkat mortalitas sampai dengan 46 %.
Tabel. Jenis antibiotika parenteral pilihan secara empirik .
Jenis Antibiotik

86

- Aminoglikosida penicillin
Cholecystitis Akuta

- Penicillin spektrum luas


- Cephalosporin generasi III
Penicillin spektrum luas

Aminoglikosida penicillin
Kholangitis Akuta :

Cephalosporin generasi ke-tiga


Imipenem-cilastatin
Cephalosporin generasi ke-dua

Prophylaxis :

Cephalosporin generasi ke-dua

Penicillin spektrum luas


Cephalosporin generasi III (Cefotaxime, Ceftriaxone, & Ceftizoxine) merupakan antibiotik
spektrum luas yang kuat terhadap Eschericia coli, Klebsiela, enterococci & bakteri anaerob
seperti Bacteroides yang sering ditemukan dalam cairan empedu dan menyebabkan pembentukan
batu pada sistem bilier. Ceftriaxone merupakan pilihan terbaik, beberapa keuntungan:
1. Penetrasi jaringan 24 jam dan konsentrasi bilier cukup tinggi.
2. Proteksi 24 jam dengan dosis 1 gram sekali pemberian /hari.
3. Dual Excretion yaitu pada renal dan hepar, menambah keamanan.
4. Aktifitas bakterisidal cukup luas.
5. Keuntungan farmakoekonomik dari segi biaya & beban kerja staf rumah sakit.
6. Efek samping yang rendah.
7. Dosis 1 kali sehari terbukti efektif secara klinis.
Bila bilirubin yang > 5.0 mg/dl, Aminoglikosida harus dihindari karena resiko nephrotoksik yang
semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh sensitasi ginjal oleh karena perfusi ginjal yang
menurun, peningkatan bilirubin dan garam empedu lainnya, dan adanya endotoksemia bakteri
gram negatif. Baktibilia dapat tetap bertahan walaupun obstruksi telah berhasil di atasi. Keadaan
ini dapat disebabkan oleh bakteri jenis anaerob, bakteri yang resisten terhadap antibiotika,
bakteri gram negatif, dan jamur.

87

Cholelithiasis, Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu


Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu
Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada umumnya merupakan satu
proses yang bersifat multifaktorial.10 Kolelitiasis merupakan istilah dasar yang merangkum tiga
proses litogenesis empedu utama berdasarkan lokasi batu terkait:
1.Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu)
2.Koledokolitiasis
(litogenesis
yang
terlokalisir
di
duktus
koledokus)
3.Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal percabangan duktus
hepatikus kanan dan kiri)
Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe berpigmen pada
dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme yang berbeda sehingga patofisiologi
batu empedu turut terbagi atas:
1.

Patofisiologi batu kolesterol

2.

Patofisiologi batu berpigmen

A. Patofisiologi Batu Kolesterol


Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama yang dapat
terjadi secara berurutan atau bersamaan:
1.
2.
3.
4.

Supersaturasi kolesterol empedu.


Hipomotilitas kantung empedu.
Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol.
Hipersekresi mukus di kantung empedu

1. Supersaturasi Kolesterol Empedu


Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada metabolisme kolesterol
yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh komponen empedu
yang memiliki aktivitas detergenik seperti garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin).
Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan
vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah,
kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti
senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel dan tersusun berbatasan dengan fase
berair sementara komponen rantaian hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel. Semakin
meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang akan ditemukan terdiri
atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali
88

lipat lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid dwilapisan tanpa mengandung garam
empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel dan
berbatasan dengan fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik
membentuk bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam
bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi
vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk
beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal. Small dkk (1968)
menggambarkan batas solubilitas kolesterol empedu sebagai faktor yang terkait dengan kadar
fosfolipid dan garam empedu dalam bentuk diagram segitiga keseimbangan fase (Diagram 5).
Berdasarkan diagram 5, titik P mewakili empedu dengan komposisi 80% garam empedu, 5%
kolesterol dan 15% lesitin. Garis ABC mewakili solubilitas maksimal kolesterol dalam berbagai
campuran komposisi garam empedu dan lesitin. Oleh karena titik P berada di bawah garis ABC
serta berada dalam zona yang terdiri atas fase tunggal cairan misel maka empedu disifatkan
sebagai tidak tersaturasi dengan kolesterol. Empedu dengan campuran komposisi yang berada
atas garis ABC akan mengandung konsentrasi kolesterol yang melampau dalam sehingga
empedu disebut sebagai mengalami supersaturasi kolesterol. Empedu yang tersupersaturasi
dengan kolesterol akan wujud dalam keadaan lebih daripada satu fase yaitu dapat dalam bentuk
campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan cenderung mengalami presipitasi membentuk
kristal yang selanjutnya akan berkembang menjadi batu empedu. Dalam arti kata lain, diagram
keseimbangan fase turut memudahkan prediksi komposisi kolesterol dalam empedu (fase misel,
vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal).
Selain itu, diagram keseimbangan turut menfasilitasi penentuan indeks saturasi kolesterol (CSI)
sebagai indikator tingkat saturasi kolesterol dalam empedu. CSI didefinisikan sebagai rasio
konsentrasi sebenar kolesterol bilier dibanding konsentrasi maksimal yang wujud dalam bentuk
terlarut pada fase keseimbangan pada model empedu. Pada CSI >1.0, empedu dianggap
tersupersaturasi dengan kolesterol yaitu keadaan di mana peningkatan konsentrasi kolesterol
bebas yang melampaui kapasitas solubilitas empedu.
Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk vesikel
unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga membentuk
vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan
akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada
saat ini mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor
utama yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu. Tingkat
supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang menentukan litogenisitas
empedu. Berdasarkan diagram fase, faktor-faktor yang mendukung supersaturasi kolesterol
empedu termasuk: a. Hipersekresi kolesterol.
b.Hiposintesis garam empedu/perubahan komposisi relatif cadangan
asam empedu.
c. Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid
a. Hipersekresi kolesterol.
89

Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supersaturasi kolesterol empedu.


Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh:
i.

peningkatan uptake kolesterol hepatik

ii.

peningkatan sintesis kolesterol

iii.

penurunan sintesis garam empedu hepatik

iv. penurunan sintesis ester kolestril hepatik


Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki aktivitas koenzim A
reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih tinggi dibanding kontrol. Aktivitas
HMG-CoA yang tinggi akan memacu biosintesis kolesterol hepatik yang menyebabkan
hipersekresi kolesterol empedu. Konsentrasi kolesterol yang tinggi dalam empedu
supersaturasi kolesterol pembentukan kristal kolesterol.
b. Hiposintesis garam empedu / perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu.
Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan perannya sebagai
pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya pada keadaan mutasi pada
molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi asam empedu ke dalam kanalikulus (disebut
protein ABCB11) akan menfasilitasi supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis
empedu. Komposisi dasar garam empedu merupakan asam empedu di mana terdapat tiga
kelompok asam empedu utama yakni:
i. Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik.
ii. Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik.
iii. Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik.
Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid pool) dan masingmasing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat hidrofobisitas yang berbeda ini akan
mempengaruhi litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar
kemampuannya untuk menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu.
Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang membentuk cadangan asam empedu tubuh akan
mempengaruhi CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda. Asam empedu primer dan
tertier bersifat hidrofilik sementara asam empedu sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu
empedu umumnya mempunyai cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik
yang lebih besar. Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI dengan
meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi. Sebaliknya, asam
ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam empedu hidrofilik yang berperan
mencegah pembentukan batu kolesterol dengan mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam
ursodeoksikolik turut menurunkan CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara
melemahkan aktivitas protein pronukleasi dalam empedu.
90

c. Defek sekresi dan hiposinstesis fosfolipid


95% daripada fosfolipid empedu terdiri atas lesitin. Sebagai komponen utama fosfolipid empedu,
lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi kolesterol. Mutasi pada molekul protein
transpor fosfolipid (disebut protein ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul fosfolipid
(termasuk lesitin) ke dalam empedu terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan
dewasa muda.
2. Hipomotilitas kantung empedu
Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang mencegah litogenesis dengan
memastikan evakuasi empedu dari kantung empedu ke dalam usus sebelum terjadinya proses
litogenik. Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus
proses absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa lebih cepat dari evakuasi empedu
peningkatan konsentrasi empedu proses litogenesis empedu.
Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat.
a. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi:

Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK), meningkatnya


somatostatin dan estrogen.
Perubahan kontrol neural (tonus vagus).

b. Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.


Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada batu empedu masih
belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat
efek toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang
menganggu transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan
membran sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis, penderita batu empedu dengan defek pada
motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola makan terutamanya
penurunan selera makan serta sering ditemukan volume residual kantung empedu yang lebih
besar. Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu.
Stasis merupakan faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi
sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan gangguan aliran
empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi enterohepatik.
Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian
supersaturasi. Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpur bilier (biliary
sludge) terutamanya pada penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk
periode lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan
mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini
terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium
bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan
batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi berterusan

91

untuk membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam
litogenesis batu empedu.
3 Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol
Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami proses nukleasi.
Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan kristal kolesterol
monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada empedu supersaturasi.
Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi
dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu, faktor
pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi berinteraksi
dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling penting termasuk
glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang terbukti menginduksi
pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah
hidrofobik yang mampu mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang
kaya dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses
nukleasi. Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem empedu termasuk
imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein asam -1.
Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali
H. pylori) menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh
adanya mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik. Faktor antinukleasi termasuk
protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA II. Mekanisme fisiologik yang
mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini masih belum dapat dipastikan.
Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi
yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu
empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu
nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis
empedu.
4 Hipersekresi mukus di kantung empedu
Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor yang universal
pada beberapa penelitian menggunakan model empedu hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi
pembentukan konkresi kolesterol makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini
berperan dalam memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu
dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama
yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi
batu empedu. Saat ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan
namun prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.
B. Patofisiologi batu berpigmen
Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam dan batu berpigmen
coklat melibatkan dua proses yang berbeda.
1. Patofisiologi batu berpigmen hitam
92

Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin terkonjugat (khususnya
monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin
terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin terkonjugat
selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase- endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat.
Pada waktu yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang
dinding mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas buffering asam sialik dan
komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat
yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan empedu dengan ph yang lebih rendah.
Supersaturasi berlanjut dengan pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan
bilirubin tak terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan
berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam.
2. Patofisiologi batu berpigmen coklat
Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai dengan penemuaan
sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu. Infeksi traktus bilier oleh bakteri
Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies Streptococcus atau parasit cacing seperti Ascaris
lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung pembentukan batu
berpigmen.
Sebagaimana yang ditampilkan pada diagram 7, patofisiologi batu diawali oleh infeksi
bakteri/parasit di empedu. Mikroorganisma enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim
glukuronidase-, fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim
tersebut didapatkan seperti berikut:
i.
Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan pembentukan
bilirubin tak terkonjugat.
ii.
Fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan asam
palmitik).
iii.

Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.

Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa kalsium dan
membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu berkristalisasi sehingga
terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis empedu dan
konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga
dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu,
seperti fungsi pada musin endogenik.
Patofisiologi Batu Intra Hepatal ( Hepatolithiasis ):

Terbentuk batu empedu dalam saluran empedu intrahepatal


Perubahan empedu karena infeksi
Hidrolisis bil.glukoronidase oleh aktivitas -dekloronidasebilirubin bebas
Dekonyugasi bilirubin dan kalsium Ca. bilirubinat insoluble mikrokalculi
93

Infeksi berulang mikrokalkuli nidus kristalisasi batu empedu

Penanganan Intrahepatal Stone :


Evakuasi batu dengan scoop atau forcep melalui ductus choledokus dan dilanjutkan irigrasi
laruran NaCl
koledokotomi luas dan dilakukan irigasi dengan NaCl dan pasang T-Tube
Reseksi hepar
Kombinasi litotomi transhepatik dan koledokotomi
Transhepatik litotomi
EPIDEMIOLOGI
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Female
Fat

Forty
Fertile
Food
Flatulen

wanita : pria dengan perbandingan 2 : 1.


Lebih sering pada orang banyak yang gemuk.
Bertambah dengan tambahnya usia.
Lebih banyak pada multipara.
orang dengan diet tinggi kalori dan obat-obatan tertentu.
Sering memberi gejala-gejala saluran cerna.

DIAGNOSIS
Penyakit batu empedu memiliki 4 tahap:
1. Tahap litogenik , pada kondisi ini mulai terbentuk batu empedu.
2. Tahap asimptomatik, pada tahap ini pasien tidak mengeluh akan sesuatu sehingga tidak
memerlukan penanganan medis. Karena banyak terjadi, batu empedu biasanya muncul bersama
dengan keluhan gastroitestinal lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan batu empedu
menyebabkan nyeri abdomen kronik, heartburn, distress postprandial, rasa kembung, serta
adanya gas dalam abdomen, konstipasi dan diare. Dispepsia yang terjadi karena makan
makanan berlemak sering salah dikaitkan dengan batu empedu, dimana irritable bowel
syndrome atau refluks gastroesofageal merupakan penyebab utamanya.
3. Tahap Kolik bilier, episode dari kolik bilier bersifat sporadik dan tidak dapat diperkirakan. Nyeri
terlokalisir pada epigastrium atau kuadran kanan atas dan dirasakan sampai ke daerah ujung
scapula kanan. Dari onset nyeri, nyeri akan meningkat stabil sekitar 10 menit dan cenderung
meningkat selama beberapa jam sebelum mulai mereda. Nyeri bersifat konstan dan tidak
berkurang dengan emesis, antasida, defekasi atau perubahan posisi. Nyeri mungkin juga
bersamaan dengan mual dan muntah, muncul biasanya setelah makan ( Kolik pasca Prandial)
4. Komplikasi kolelitiasis, terjadi ketika batu persisten masuk ke dalam duktus biliar sehingga
menyebabkan kantung empedu menjadi distended dan mengalami inflamasi progresif. Sebagian
besar (90-95%) kasus kolesistitis akut disertai kolelithiasis dan keadaan timbul akibat obstruksi
duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut. Respon peradangan dapat
dicetuskan 3 faktor:
94

a) Inflamasi mekanik yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan intra lumen dan distensi
menyebabkan iskemia mokusa dan dinding kandung empedu.
b) Inflamasi kimiawi akibat pelepasan lesitin dan faktor jaringan lokal lainnya.
c) Inflamasi bakteri yang memegang peran pada sebagian besar pasien dengan kolesistitis akut.
Manifestasi Klinis
Kurang lebih 10% penderita batu empedu asimtomatik. Gejala yang dapat timbul:
1. Nyeri (60%). Bersifat kolik, mulai daerah epigastrium atau hipokondrium kanan dan menjalar ke
bahu kanan. Nyeri ini sering timbul karena makanan berlemak. Bila terjadi penyumbatan duktus
sistikus atau kolesistits dijumpai nyeri tekan hipokondrium kanan, terutama pada waktu
penderita menarik napas dalam (MURPHYS SIGN).
2. Demam. Timbul peradangan. Sering disertai menggigil.
3. Ikterus. Ikterus obstruksi terjadi bila ada batu yang menyumbat saluran empedu utama (duktus
hepatikus / koledokus).
4. Trias Charcot, if ada infeksi (Demam, Nyeri didaerah hati, Ikterus.
5. Hydrops vesica felea ( Couvousier Law ) : Teraba Vesica felea.
6. Pruritus. Kulit Gatal-gatal.

Laboratorium
Pada ikterus obstruksi terjadi:
Bilirubin direk dan total , Kolesterol , Alkali fosfatase 2-3 kali, Gama glukuronil transferase
, Bilirubinuria ( Ada bilirubin dalam Urine, urine seperti teh ), Tinja akolis ( Tinja berwarna
keputihan seperti dempul)
Pencitraan
1. Ultrasonografi
2. Kolesistografi oral
3. Pemeriksaan Khusus pada ikterus obatruksi :

- Kolangiografi perkutan transhepatik (PTC)


- Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreatography (ERCP)
- Computerized tomography scanning (CT-Scan)
Penatalaksanaan.
-

Batu kantong empedu : Kolesistektemi (ICOPIM 5.511)


95

Disertai batu saluran empedu : kolesistektomi + koledokolitotomi (ICOPIM 5.513) +


antibiotika profilaksis : ampisilin 1 g i v + aminoglikosida 60 mg i v (1x) atau sefalosporin
generasi III 1 g i. v. (1x), kombinasi dengan metronodazol 0,5 gr i.v. (drip dalam 30 menit)
Disertai keradangan (kolesistitis / kolangitis) + antibiotika kombinasi terapi : tripel
antibiotika
- ampisilin 31 g/hari i.v.
- aminoglikosida 36 mg/hari i.v.
- metronidazol 3x 0,5 g i.v. (drip dlm 30 mnt) atau
- antibiotika ganda : sefalosporin gen.III 31 g/hari i.v. + metronidazol 31
g/hari i.v

Ikterus Obstruktif
PATOFISIOLOGI
Sumbatan dari aliran empedu disebut juga Kolestasis. Dapat terjadi intrahepatik dan
ekstrahepatik. Kolestasis intrahepatik biasanya terjadi pada tingkat hepatosit atau membran
kanalikuli bilier, sedangkan kolestasis extrahepatik biasanya disebabkan adanya sumbatan aliran
empedu dari hati ke usus. Sumbatan bisa saja terjadi dimana saja dari pertemuan ductus
hepaticus dextra dan sinistra sampai pertemuan ductus choledochus di duodenum. Obstruksi dari
ductus extrahepatik menghasilkan kenaikan serum bilirubin, terutama tipe direct sehingga
menimbulkan penampakan bilirubin di urine dan feses berwarna pucat.
Terjadinya peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam darah karena pengeluaran bilirubin tersebut
tidak berlangsung dengan baik akibat sumbatan yang ada sehingga bilirubin terkonjugasi akan
kembali masuk ke dalam aliran darah. Karena sifatnya yang larut dalam air, maka bilirubin ini
akan diekskresikan melalui urin. Terjadi bilirubinuria dan akibatnya urin akan berwarna gelap.
Hal sebaliknya terjadi pada feses, karena bilirubin terkonjugasi gagal diekskresikan ke dalam
empedu secara baik, otomatis bilirubin yang masuk ke dalam usus pun boleh dikatakan sedikit
sekali (tergantung derajat obstruksinya). Akibatnya terbentuklah feses berwarna pucat seperti
dempul. Selain itu, urobilinogen tidak ditemukan dalam urine.
ETIOLOGI DAN LETAK OBSTRUKSI
Etiologi dan letak obstruksi bisa terjadi dimana saja pada semua traktus biliaris yang
menyebabkan empedu tersumbat dan tidak bisa dialirkan ke duodenum.
Etiologi & Letak Ikterus Obstruksif

96

Benyamin, 1983 menganjurkan klasifikasi yang terdiri dari 4 kategori obstruksi biliaris, yaitu :
Tipe I :
Obstruksi komplit, menimbulkan ikterus. Biasanya disebabkan oleh tumor, terutama pada kaput
pancreas, ligasi duktus biliaris komunis, kalangio karsinoma, dan tumor-tumor parenkim hati
primer maupun sekunder.
Tipe II :
Obstrusi intermitten, yang meimbulkan gejala-gejala dan perubahan biokimia yang khas, tetapi
dapat disertai seranga ikterus secara klinis. Keadaan ini sering dijumpai pada koledokolithiasis,
tumor-tumor preampularis, divertikel duodeni, papiloma duktus biliaris, kista koledokus,
penyakit hati polikistik, parasit intrabilier dan hemobilia.
Tipe III :
Obstruksi inkomplit kronis, dengan atau tanpa ejala klasik atau obsservasi perubahan biokimia,
yang akhirnyameimbulkan perubaha patologis ada duktus biliari komunis yang secra congenital,
traumatic dan post radioterapi.
Tipe IV :
Obstruksi segmental, dimana satu atau lebih segmen anatomis biliaris intrahepatik yang
mengalami obstruksi.
OBSTRUKSI SALURAN EMPEDU INTRAHEPATIK
Sirosis hepatis. Adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada
hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel-sel hati sehingga
timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati
Abses hati. Penyebabnya adalah Entamoeba histolytica yang terbawa aliran v. porta ke hepar.
Akibat infeksi amuba tersebut terjadi reaksi radang dan akhirnya menyebabkan nekrosis jaringan
hepar. Kebanyakan abses hati ini bersifat soliter dan terletak di lobus kanan dekat kubah
diafragma.
Hepatokolangitis. Merupakan suatu sindrom gejala dimana terjadi proses peradangan yang
progresif pada saluran empedu sehingga terjadi obliterasi jaringan ikat. Penyebabnya tidak
diketahui pasti, tetapi sering disebabkan oleh kelainan autoimun yang dihubungkan dengan
colitis ulserativa (75% dari kasus). Penyakit ini menyebabkan berkurangnya/menghilangnya
jumlah ductus intrahepatik sehingga menyebabkan kolestasis.
Tumor Maligna Primer atau Sekunder. Tumor ganas hati primer (Karsinoma Hepatoseluler)
biasanya berhubungan dengan sirosis hepatis. Frekwensi laki-laki dan perempuan = 3:1.
Merupakan 80% dari semua karsinoma hati primer. Tumor yang bermetastase ke hati biasanya
97

melalui sirkulasi v. porta dan biasanya berasal dari lambung, colon, payudara, paru, pancreas,
ovarium dan uterus.
Obat-obatan.Obat-obatan yang diketahui dapat menyebabkan Kolestasis antara lain:
chlorpromazine, thiazide, estrogen, anabolic steroids, methimazole
OBSTRUKSI SALURAN EMPEDU EXTRAHEPATIK
A. Intraduktal

Batu. Merupakan penyebab terbanyak pada kasus ikterus obstruktif. Kegemukan, peningkatan
jumlah kolesterol dan empedu, usia dewasa tua dan terutama pada wanita. Dikenal 2 jenis batu
empedu, yaitu:

- Batu kolesterol ( 80%)


Mengandung paling sedikit 70% kristal kolesterol dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium
palmitat dan kalsium bilirubinat, berupa batu soliter/multiple, permukaannya licin atau
multifacet, bulat, berduri seperti buah murbei dengan diameter 2-40 mm.
- Batu pigmen
Berbentuk tidak teratur, kecil-kecil dengan diameter 2-5 mm, multiple, warnanya bervariasi
antara coklat, kemerahan sampai hitam dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh.

Askariasis

Infestasi dari cacing Ascaris lumbricoides banyak diasosiasikan dengan terjadinya striktur ductus
choledochus.

Atresia bawaan

Atresia saluran empedu merupakan kelainan kongenital yang tidak diketahui etiologinya. Pada
keadaan ini saluran empedu mengalami fibrosis dan proses ini berjalan terus setelah bayi lahir
sehingga prognosis umumnya buruk.

Striktur saluran empedu

Striktur ductus cystikus terjadi akibat proses fibrosis yang menyusul proses inflamasi dan infeksi
berulang akibat iritasi dan trauma yang timbul sewaktu terjadi pasase batu empedu. Striktur
ductus cystikus menyebabkan kolesistitis akut, kronik dan hidrops kandung empedu.

Tumor saluran empedu

98

Tumor ganas primer saluran empedu bisa terjadi pada penderita dengan kolelitiasis dan tanpa
kolelitiasis. Jenis tumor yang sering adalah adenokarsinoma pada ductus hepaticus atau ductus
choledochus. Tumor yang terletak di bifurcatio ductus hepaticus disebut Tumor Klatskin.
B. Ekstraduktal
Tumor Pancreas. 60 % dari tumor pancreas terletak pada caput pancreas. Secara patologi, 80%
merupakan adenokarsinoma.
Pancreatits. Adalah radang pancreas yang disebabkan autodigesti oleh enzim pancreas yang
keluar dari saluran pancreas. Pada pemeriksaan, terjadi pelebaran ductus pancreaticus akibat
inflamasi fibrosis atau pseudokista.
Tumor metastase. Biasanya berasal dari traktus gastrointestinal
Mirrizi syndrome.
Penekanan duktus choledochus oleh batu yang terperangkap di dalam collum ductus cysticus
sehingga kandung empedu membentuk kantong yang besar disebut Kantong Hartmann sehingga
menyebabkan obstruksi.
DIAGNOSIS
Ditegakkan dengan anamnesis, klinis, pemeriksaan laboratoris, dan radiologis Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan keluhan; mata dan tubuh menjadi kuning, badan gatal-gatal,
kencing berwarna seperti teh, tinja berwarna seperti dempul dan nyeri/kolik pada perut kanan
atas.
Hal-hal
yang
perlu
ditanyakan
- perjalanan penyakit akut/kronis

lebih

lanjut

kepada

- riwayat keluarga
- nyeri atau tidak; ikterus tanpa nyeri biasanya disebabkan karena keganansan
- riwayat minum obat sebelumnya
- kelainan gastrointestinal, seperti nyeri epigastrium, mual, muntah
- demam, nafsu makan menurun; lebih cenderung ke hepatitis
- anemia ada atau tidak

99

pasien

adalah:

Klinis
Pada Inspeksi, ditemukan ikterus pada sklera dan kulit. Bila terdapat spider angioma, biasanya
terjadi pada cirrhosis. Juga terdapat bekas-bekas garukan karena pruritus. Pada palpasi, hepar
teraba membesar. Bila teraba kandung empedu, biasanya dihubungkan dengan malignancy dari
distal ductus choledochus sesuai dengan hukum Courvoisier. Diperiksa juga apakah ada tandatanda ascites. Bila timbul kolangitis bakterial non piogenik, biasanya timbul gejala-gejala
demam, nyeri di daerah hati, dan ikterus yang disebut Trias Charcot. Apabila terjadi kolangitis
bakterial piogenik, akan timbul 3 gejala Trias Charcot ditambah dengan syok dan penurunan
kesadaran sampai koma, disebut Pentade Reynold.
Laboratoris
Meliputi pemeriksaan:
A. Darah rutin : anemia/tidak, lekositosis/tidak
- Urine

: bilirubin , urobilin (+)

- Tinja

: pucat

B. Test Faal Hati


1. Bilirubin total : meningkat
2. SGOT, SGPT : meningkat
Merupakan enzim yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan
dalam aktivitas serum sering menunjukkan kelainan saluran hati.
3. Alkali fosfatase : meningkat
Merupakan enzim yang disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Pada obstruksi aktivitas
serum meningkat karena saluran ductus meningkatkan sintesis ini.
4. Kadar kolesterol

: meningkat

5. Protrombin time

: meningkat.

Radiologis
1. Ultrasonografi (USG)
USG ditetapkan sebagai tes penyaring awal bagi pasien ikterus karena cepat dan tidak invasif
serta tanpa pemaparan radiologis dalam menentukan dilatasi ductus biliaris ekstra- dan intrahepatik serta kelainan lain dalam parenkim hati/pancreas (seperti massa/tumor). Jika tidak
100

didapatkan dilatasi ductus, maka ini menggambarkan kolestasis intrahepatik. Ketepatan USG
dalam membedakan antara kolestasis intra dan ekstrahepatik tergantung dari derajat dan lama
obstruksi saluran empedu, tetapi jelas melebihi 90%. Pemeriksaan USG perlu memperhatikan:
1. Besar, bentuk dan tebal tipisnya dinding kandung empedu.
2. Diameter Saluran empedu. Normal diameter 3 mm. > 5mm Dilatasi
3. Ada tidaknya massa padat dalam lumen.

2. CT Scan
Sebagai pemeriksaan pelengkap untuk menyediakan informasi tentang sifat, luas dan lokasi
dilatasi ductus biliaris dan adanya massa di dalam dan disekitar traktus biliaris dan pancreas.
3. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatografi (ERCP)
Tes invasif ini melibatkan oposifikasi langsung batang saluran empedu dengan kanulasi
endoskopi ampulla vateri dan suntikan zat kontras. Disamping kelainan pancreas, ERCP
digunakan pada ikterus ringan atau bila lesi tidak menyumbat seperti batu ductus choledochus,
kolangitis sklerotikans dan anomali kongenital dicurigai. Terapi pemasangan stent biliaris
retrograde atau endoprotesa melintasi striktur biliaris dan sfingterotomi endoskopi dapat
dilakukan serentak untuk memungkinkan lewatnya batu secara spontan atau untuk
memungkinkan pembuangan batu dengan instrumentasi retrograde ductus biliaris.
4. Percutaneus Transhepatic Cholangiography (PTC)
Merupakan tindakan invasive yang melibatkan pungsi transhepatik perkutis pada susunan ductus
biliaris intrahepatik dengan menggunakan jarum Chiba ukuran 21 dan suntikan zat kontras.
Penggunaan primernya adalah dalam menentukan tempat dan etiologi ikterus obstruksi dalam
persiapan bagi intervensi bedah.
5. Skintigrafi Biliaris
Pemberian intravena salah satu kelompok teknetium-99m yang dilabel dengan asam memberikan
informasi spesifik dari kolestitis akut.
6. Koledokoskopi inspeksi langsung dan visualisasi sistem biliaris. Tes ini bermanfaat untuk
mengevaluasi pasien dengan striktur ductus biliaris atau tumor.
PENATALAKSANAAN
Prinsip Penanganan:
1. Menghilangkan Obstruksi.
1. 1. Mengalirkan cairan bilier.

101

2. Mencegah Rekurensi.
PENANGANAN KONSERVATIF
A. Medikamentosa Dan Supportif
Pada penderita yang menolak operasi atau penderita yang penanganan bedah tidak dapat
dilakukan.

Litolisis sistemik/Oral.

Terapi asam empedu oral yang dianjurkan adalah kombinasi antara chenodeoxy cholicacid
(CDCA) & ursodeoxycholic acid (UDCA). Mekanisme kerja UDCA adalah mengurangi
penyerapan kolesterol intestinal sedangkan CDCA mengurangi sintetis kolesterol hepatik.
Kombinasi CDCA 8-10 mg/kg/hari danUDCA 8-10 mg/kg/hari menurunkan kadar kolesterol
empedu secara bermakna tanpa gejala samping. Syarat terapi litolisis oral meliputi kepatuhan
untuk berobat selama 2 tahun, batu tipe kolesterol, kandung empedu harus berfungsi pada
kolesistograpi oral dan batu tidak terlalu besar.

Litolisis lokal

Methil ter-butyl ether (MTBE) adalah eter alkil yang berbentuk liquid pada suhu badan dan
mempunyai kapasitas tinggi untuk melarutkan batu kolesterol. Pemberian MTBE dapat
dilakukan melelui kateter 5 FR yang dimasukkan melalui hati ke kandung empedu dengan
bibimbingan ultrasound atau CT. MTBE diberikan sebanyak 3-7 cc untuk meliputi batu dan
biasanya batu akan larut dalam 4-16 jam.

Antihistamin untuk mengurangi rasa gatal dan penenang dimalam hari.


Rifampicin Penurunan flora usus, memperlambat konversi asama empedu, menekan kadar
bilirubin serum, level alkali fosfatase dan pruritus.
Anti inflamasi non steroid menekan inflamasi dengan acara menghambat pelepasan
prostaglandin sehingga proses inflamasi menjadi tenang.
Extra corporeal shock wave lithotripsy (ESWL).

Dapat dilakukan secara bersaman dengan pemberian obat pelarut batu. Dengan hancurnya batu,
rasio luas permukaan batu akan mengecil sehingga mempecepat proses larutnya batu. Kontra
indikasi ESWL antara lain kolestitis, koledokokolelithiasis, pankreatiti bilier, kehamilan dan
penderita koagulopati dan sedang mendapat terapi antikoagulan.

Sfingterotomi endoscopic

Dilakukan pada koledokolitiasis di papilla Vater yang memungkinkan batu keluar secara spontan
dengan menggunakan kateter Fogarty atau basket.
PENANGANAN OPERATIF
1. Kolesistektomi.
102

Saat ini kolesistektomi dini selama serangan akut dianggap pendekatan yang lebih disukai.
Kolesistektomi hanya dilakukan setelah memperoleh bukti-bukti yang objektif yang diperlukan
untuk mendiagnosa batu empedu (seperti USG) atau obstruksi ductus cystikus. Bila pasien telah
dihidrasi adekuat dan antibiotik parenteral telah diberikan, maka kolesistektomi baru dilakukan
dalam waktu 72 jam pertama setelah mulainya serangan. Bisa dilakukan secara terbuka dan
laparoskopik.
2. Koledokolitotomi
Indikasi membuka ductus choledochus adalah jelas bila ada kolangitis, teraba batu atau ada batu
pada foto. Indikasi relatif adalah bila ikterus dengan pelebaran ductus choledochus. Indikasi
absolut dilakukan kolangiogram sewaktu pembedahan.
3. Koledokoduodenostomi/Koledokojejunostomi Roux-en y
Tindakan ini dilakukan bila ada striktur di ductus choledochus distal atau di papilla Vater yang
terlalu panjang untuk dilakukan sfingterotomi.
4. Pancreatiko-duodenektomi (Whipple)
Dilakukan pada Tumor Caput Pancreas:
1. Dikeluarkan tumor secara radikal en bloc, yaitu caput pancreas, corpus, duodenum, pylorus dan
bagian distal lambung
2. Dilakukan kolesistektomi
3. Dilakukan rekonstruksi pancreatikojejunostomi, koledokojejunostomi dan gastrojejunostomi

5. Hepatojejunostomi Roux-en y
Dilakukan pada Tumor Klatskin.
Sindrom post kolesistektomi biasanya terjadi pada pasien yang mengalami kolik bilier dan
diagnosa preoperatif yang kurang tepat, biasanya gejala yang timbul antara lain dispepsi dan
nyeri. Penyebab organik gejala tersebut cenderung ditemukan dengan nyeri yang bersifat
episodik daripada keluhan yang lain. Kelainan fungsi hati, ikterus, dan kolangitis adalah
manifestasi lain yang mengindikasi penyakit billier residual. Pasien dengan gejala tersebut bisa
diperiksa dengan ERCP atau THC. Koledokolitiasis, stricture biliar dan pankeratitis kronik
adalah penyebeb paling banyak dari gejala ini. Ada juga bukti yang mengatakan dismotilitas
sfingter Oddi merupakan penyebab pada beberapa pasien. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
manometri billar, tapi masih disangsikan. Sfingrektomi endoskopik dapat menghilangkan sedikit
nyeri.(4

Trauma Hepar, Trauma Hati, Trauma Tumpul Abdomen


ETIOPATOGENESIS

103

Berdasarkan mekanisme traumanya, trauma hepar terbagi menjadi trauma tajam dan trauma
tumpul. Mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada trauma tumpul adalah efek
kompresi dan deselerasi. Trauma kompresi pada hemithorax kanan dapat menjalar melalui
diafragma, dan menyebabkan kontusio pada puncak lobus kanan hepar. Trauma deselerasi
menghasilkan kekuatan yang dapat merobek lobus hepar satu sama lain dan sering melibatkan
vena cava inferior dan vena-vena hepatik. Trauma tajam terjadi akibat tusukan senjata tajam atau
oleh peluru. Berat ringannya kerusakan tergantung pada jenis trauma, penyebab, kekuatan, dan
arah trauma. Karena ukurannya yang relatif lebih besar dan letaknya lebih dekat pada tulang
costa, maka lobus kanan hepar lebih sering terkena cidera daripada lobus kiri. Sebagian besar
trauma hepar juga mengenai segmen hepar VI,VII, dan VIII. Tipe trauma ini dipercaya
merupakan akibat dari kompresi terhadap tulang costa, tulang belakang atau dinding posterior
abdomen. Adanya trauma tumpul langsung pada daerah kanan atas abdomen atau di daerah
kanan bawah dari tulang costa, umumnya mengakibatkan pecahan bentuk stellata pada
permukaan superior dari lobus kanan. Trauma tidak langsung atau contra coup biasanya
disebabkan oleh jatuh dari ketinggian dengan bagian kaki atau bokong yang pertama kali
mendarat. Jenis trauma ini menyebabkan efek pecahan pada penampang sagital hepar dan
kadang-kadang terjadi pemisahan fragmen hepar. Gambaran trauma hepar mungkin dapat seperti
(1) subcapsular atau intrahepatic hematom, (2) laserasi, (3) kerusakan pembuluh darah hepar,
dan (4) perlukaan saluran empedu. Saat ruptur hepar mengenai kapsul Glissoni maka akan terjadi
ekstravasasi darah dan empedu ke dalam cavum peritoneal. Bila kapsul tetap utuh, pengumpulan
darah di antara kapsul dan parenkim biasanya ditemukan pada permukaan superior dari hepar.
Ruptur sentral meliputi kerusakan parenkim hepar.
DIAGNOSA
Penegakkan diagnosis suatu trauma hepar berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis (tanda
dan gejala klinik), pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinisnya tergantung dari tipe kerusakannya. Pada ruptur kapsul Glissoni, tanda dan
gejalanya dikaitkan dengan tanda-tanda syok, iritasi peritoneum dan nyeri pada epigastrium
kanan. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik yaitu hipotensi, takikardi, penurunan jumlah urine,
tekanan vena sentral yang rendah, dan adanya distensi abdomen memberikan gambaran suatu
trauma hepar. Tanda-tanda iritasi peritoneum akibat peritonitis biliar dari kebocoran saluran
empedu, selain nyeri dan adanya rigiditas abdomen, juga disertai mual dan muntah.
Pemeriksaan Laboratorium
Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hepar akan diikuti dengan penurunan kadar
hemoglobin dan hematokrit. Ditemukan leukositosis lebih dari 15.000/ul, biasanya setelah ruptur
hepar akibat trauma tumpul. Kadar enzim hati yang meningkat dalam serum darah menunjukkan
bahwa terdapat cidera pada hepar, meskipun juga dapat disebabkan oleh suatu perlemakan hati
ataupun penyakit-penyakit hepar lainnya. Peningkatan serum bilirubin jarang, dapat ditemukan
pada hari ke-3 sampai hari ke-4 setelah trauma.

104

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan CT-scan tetap merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien dengan trauma tumpul
abdomen dan sering dianjurkan sebagai sarana diagnostik utama. CT-scan bersifat sensitif dan
spesifik pada pasien yang dicurigai suatu trauma tumpul hepar dengan keadaan hemodinamik
yang stabil. Penanganan non operatif menjadi penanganan standar pasien trauma tumpul
abdomen dengan hemodinamik stabil. Pemeriksaan CT-scan akurat dalam menentukan lokasi
dan luas trauma hepar, menilai derajat hemoperitoneum, memperlihatkan organ intraabdomen
lain yang mungkin ikut cidera, identifikasi komplikasi yang terjadi setelah trauma hepar yang
memerlukan penanganan segera terutama pada pasien dengan trauma hepar berat, dan digunakan
untuk monitor kesembuhan. Penggunaan CT-scan terbukti sangat bermanfaat dalam diagnosis
dan penentuan penanganan trauma hepar. Dengan CT-scan menurunkan jumlah laparatomi pada
70% pasien atau menyebabkan pergeseran dari penanganan rutin bedah menjadi penanganan non
operastif dari kasus trauma hepar.
Grd

Type

Description

AIS

Hematoma

Subcapsular,nonexpanding,<10% surface area

Laceration

Capsular tear, nonbleding,< 1 cm parenchymal depth

Hematoma
II

Subcapsular, nonexpanding,10-15% surface area; intraparenchymal,

nonexpanding,< 2 cm in diameter
Laceration

Capsular tear,active bleding;1-3 cm deepinto parencymal,< 10 cm long


Subcapsular,> 50% surface area or expanding; rupture subcapsular

Hematom
III

hematom with active bleeding; intraparaencymal hematoma > 2 cm


or
expanding

Laceration

> 3 cm deep into the parencymal

Hematom

Ruptur intraparenchymal hematom with active bleeding

Laceration

Parenchymal disruption involving > 50% of hepatic lobe

Laceration

Parenchymal disruption involving > 50% of hepatic lobe

Vascular

Juxtahepatic venous injuries;ie,retrohepatic vena cava or major hepatic vein

Vascular

Hepatic avulsion

IV
5

V
VI

PENANGANAN
Resusitasi
105

Jalan nafas yang adekuat haruslah diusahakan dan dipertahankan. Kontrol perdarahan dan syok
sebelum dilakukan upaya diagnostik/terapaetik haruslah diupayakan sekuat tenaga. Sedikitnya 2
buah kateter intravena yang besar harus dipasang pada ekstremitas atas. Penempatan kateter vena
sentralis atau gauss kateter ke dalam vene subclavia hendaknya dipasang setelah pasien stabil
atau kondisi cukup baik dibawah pengawasan. Jika akses vena tambahan diperlukan maka
diusahakan pemasangan kateter besar pada jugular externa atau vena femoral. Infus 2000 ml
cairan kristaloid (Ringer Lactat) secara cepat seringkali mengembalikan atau menjaga tekanan
darah normal pasien jika kehilangan darah hanya sebatas < 15% volume darah tubuh total tanpa
perdarahan lanjut yang signifikan. Jika kehilangan darah > 15% volume darah atau jika
perdarahan masif tetap berlangsung tekanan darah biasanya meningkat hampir mencapai normal
kemudian jatuh atau turun dengan cepat. Hindari resusitasi dengan Larutan onkotik aktif (dextran
dan hydroxyethyl) pada pasien yang dicurigai trauma hati.
Penatalaksanaan Non-Operatif
Pasien dengan trauma tumpul hati yang stabil secara hemodinamik tanpa adanya indikasi lain
untuk operasi lebih baik ditangani secara konservatif (80% pada dewasa, 97% pada anakanak).Beberapa kriteria klasik untuk penatalaksan non operatif adalah: Hemodinamik stabil
setelah resusitasi, Status mental normal dan Tidak ada indikasi lain untuk laparatomi.
Pasien yang ditangani secara non operatif harus dipantau secara cermat di lingkungan gawat
darurat. Monitoring klinis untuk vital sign dan abdomen, pemeriksaan hematokrit serial dan
pemeriksaan CT/USG akan menentukan penatalaksanaan. Setelah 48 jam, dapat dipindahkan ke
ruang intermediate care unit dan dapat mulai diet oral tetapi masih harus istrahat ditemapt tidur
sampai 5 hari. Embolisasi angiografi juga dimasukkan ke dalam protokol penanganan non
operatif trauma hati pada beberapa situasi dalam upaya menurunkan kebutuhan transfusi darah
dan jumlah operasi. Jika pemeriksaan hematokrit serial (setelah resusitasi) normal pasien dapat
dipulangkan dengan pembatasan aktifitas. Aktifitas fisik ditingkatkan secara perlahan sampai 6-8
minggu. Waktu untuk penyembuhan perlukaan hepar berdasarkan bukti CT-Scan antara 18-88
hari dengan rata-rata 57 hari.
Penatalaksaan Operatif
Prinsip fundamental yang diperlukan di dalam penatalaksanaan operatif pada trauma hati adalah:
1. Kontrol perdarahan yang adekuat
2. Pembersihan seluruh jaringan hati yang telah mati (devitalized liver)
3. Drainase yang adekwat dari lapangan operasi

A. Tehnik Untuk Kontrol Perdarahan Temporer/Sementara


Dilakukan untuk dua alasan;
1. Memberikan waktu kepada ahli anestesi untuk mengembalikan volume sirkulasi sebelum
kehilangan darah lebih lanjut terjadi.

106

2. Memberikan waktu kepada ahli bedah untuk memperbaiki trauma lain terlebih dahulu apabila
trauma tersebut lebih membutuhkan tindakan segera dibandingkan dengan trauma hati
tersebut.

Tehnik yang paling berguna dalam mengontrol perdarahan sementara adalah


Kompresi Manual, pembalutan perihepatik (perihepatic packing), dan parasat pringle. Kompresi
manual secara periodik dengan tambahan bantalan laparatomi (Laparatomy pads) berguna dalam
penatalaksanaan trauma hati kompleks dalam menyediakan waktu untuk resusitasi. Bantalan
tambahan dapat ditempatkan diantara hati dan diafragma dan diantara hati dengan dinding dada
sampai perdarahan telah terkontrol. 10 hingga 15 bantalan dibutuhkan untuk mengontrol
perdarahan yang berasal dari lobus kanan. Pembalutan tidaklah berguna pada trauma lobus kiri,
karena ketika abdomen dibuka, dinding dada dan abdomen depan tidaklah cukup menutup lobus
kiri hati untuk menciptakan tekanan yang adekwat. Untungnya, perdarahan dari lobus kiri hati ini
dapat dikontrol dengan memisahkan ligamentum triangular kiri dan ligamentum coronarius
kemudian menekan lobus tersebut diantara kedua tangan.
Parasat Pringle ( Pringle Manuver) sering kali digunakan untuk membantu pembalutan
/packing dalam mengontrol perdarahan sementara. Prasat Pringle adalah suatu tehnik untuk
menciptakan oklusi sementara vena porta dan arteri hepatika yang dilakukan dengan menekan
ligamentum gastrohepatik (portal triad). Penekanan ini dapat dilakukan dengan jari atau dengan
menggunakan klem vaskuler atraumatik. Tehnik ini merupakan tehnik yang sangat membantu
dalam mengevaluasi trauma hati grade IV dan V. Biasanya, pengkleman pada portal triad
direalese setiap 15-20 menit selama 5 menit untuk memberikan perfusi hepatik secara
intermitten. Bukti terbaru, dengan memberikan komplet oklusi sekitar satu jam tidak
memberikan kerusakan iskemik pada hepar.
Perut kemudian ditutup, dan pasien dipindahkan ke ICU untuk resusitasi dan koreksi kekacauan
metabolik. Dalam 24 jam, pasien dikembalikan ke ruang operasi untuk pengankatan balut itu
kembali. Tindakan ini diindikasikan untuk trauma grade IV- V dan pasien dengan trauma yang
kurang parah tetapi menderita koagulopati yang disebabkan oleh trauma yang menyertai.
Trauma vena juxtahepatik sering kali berakibat kematian. Prosedur kompleks dibutuhkan untuk mengontrol
sementara perdarahan dari vena besar ini. Prosedur yang paling penting dilakukan adalah isolasi vascular hepatik
dengan klem, shunt atrium kava, dan dengan penggunaan balon Moore-Pilcher, serta dengan melakukan pintas
venovena.

B.Tehnik Tehnik Dalam Penatalaksanaan Definitif Trauma Hati


Tehnik yang dapat digunakan sebagai terapi definitif pada trauma hati berkisar dari kompresi
manual hingga transplantasi hati. Laserasi parenkim hati grade 1 atau 2 dapat secara umum
diatasi dengan kompresi manual. Apabila dengan tehnik ini tidak berhasil, seringkali trauma
seperti ini diatasi dengan tindakan hemostatik topikal. Tindakan yang paling sederhana adalah
dengan elektrokauterisasi, yang seringkali dapat mengatasi perdarahan dari pembuluh darah kecil
yang dekat dengan permukaan hati. Perdarahan tidak berespon dengan elektrokauter mungkin
dapat berespon dengan argon beam koagulator. Kolagen mikrokristalin bentuk bubuk juga
107

berguna dalam situasi seperti ini. Bubuk tersebut ditempatkan dalam sponge bersih ukuran 4 x 4
kemudian digunakan langsung pada permukaan yang mengeluarkan darah dengan menekan
bagian tersebut dan dipertahankan selama 5 hingga 10 menit. Lem fibrin (fibrin glue) telah
digunakan dalam pengobatan laserasi superfisial dan laserasi yang dalam dan tampil sebagai
agen topikal yang paling efektif. Lem fibrin ini pula dapat diinjeksikan secara dalam pada
perdarahan akibat luka tembak dan luka tikam untuk mencegah diseksi luas dan kehilangan
darah. Lem fibrin ini dibuat dengan mencampur fibrin konsentrat manusia (cryopresipitat)
dengan larutan yang mengandung trombin bovine dan kalsium.
Perihepatik mesh yang merupakan absorbe mesh yang terdiri polyglactin oleh Brunet dkk, telah
digunakan untuk perlukaan hepar grade II-V. Dilaporkan dengan cara ini tidak terbentuk
hemobilia dan absces. Dengan penggunaan mesh sejak awal perdarahan dalam jumlah yang
besar dapat dikurangi.
Meskipun beberapa laserasi grade III dan IV berespon terhadap tindakan topikal yang disebutkan
sebelumnnya, tetapi pada kebanyakan kasus tidaklah demikian. Pada keadaan ini, satu satunya
pilihan adalah dengan menjahit parenkim hati. Meskipun dikatakan sebagai penyebab nekrosis,
akan tetapi tindakan ini masih sering digunakan. Menjahit parenkim hati seringkali dilakukan
untuk mengatasi perdarahan persisten akibat laserasi dengan kedalaman kurang dari 3 cm.
Bersama dengan hepatotomi dan ligasi selektif, tindakan ini juga merupakan alternatif yang
cocok pada laserasi yang lebih dalam jika pasien tidak dapat mentoleransi perdarahan lebih
lanjut. Material yang diperlukan adalah catgut chromic atau vicryl 0 atau 2.0 dan jarum kurva
ujung tumpul. Untuk laserasi yang dangkal jahitan terus menerus sederhana (simple continuous
suture) dapat digunakan untuk mendekatkan tepi luka. Untuk laserasi yang dalam , jahitan matras
horizontal terputus (interrupted horizontal mattres suture) dapat ditempatkan secara pararel pada
tepi luka. Ketika mengikat jahitan, satu yang harus dipastikan bahwa ketegangan yang adekuat
telah tercapai apabila perdarahan telah berhenti.
Hepatotomi dengan ligasi selektif pembuluh darah yang mengalami perdarahan adalah tehnik
penting yang lazim dipakai untuk luka tembus yang dalam atau luka tembus transhepatik. Tehnik
finger frakture digunakan untuk memperluas panjang dan dalamnya laserasi hingga pembuluh
darah yang mengalami perdarahan dapat diidentifikasi dan dikontrol.
Hepatotomi yang meliputi a) Finger fracture, b) pemisahan pembuluh darah atau duktus,
c) memperbaiki kerusakan pada pembuluh darah.
Tindakan tambahan dalam penjahitan parenkimal atau hepatotomy adalah penggunaan omentum
untuk mengisi defek luas pada hati sekaligus sebagai penopang jahitan. Alasan penggunaan
omentum ini adalah bahwa omentum menyediakan sumber makrofag yang unggul dan mengisi
ruang mati potensial dengan jaringan hidup, mengurangi terbentuknya absces, dan sebagai
tamponade bagi perdarahan.
Omentum pack
Ligasi arteri hepatik mungkin cocok untuk pasien dengan perdarahan arteri dari dalam organ
hati. Meskipun demikian tindakan ini hanya sedikit berperan pada keseluruhan penatalaksanaan
108

trauma hati. Hal ini disebabkan karena tindakan ini tidak menghentikan perdarahan yang berasal
dari sistem vena potra dan vena hepatika. Peranan primer tindakan ini adalah dalam
penatalaksanaan trauma lobus yang dalam ketika penggunaan parasat pringle berhasil dalam
menghentikan perdarahan arteri.
Debridemen reseksi diindikasikan pada parenkim hati bagian perifer yang mati (nonviable).
Jumlah dari jaringan yang dibuang tidaklah melebihi 25% keseluruhan organ hati. Tindakan ini
dilakukan dengan tehnik finger fracture atau elektrokogulasi dan cocok pada pasien trauma hati
grade III hingga grade V.
Alternatif akhir untuk pasien dengan trauma unilobar yang luas adalah reseksi hepar anatomis.
Dalam keadaan elektif, lobektomi anatomis dapat dilakukan dengan hasil yang sangat
memuaskan. Reseksi anatomik pada trauma dibatasi pada lobektomi kanan, lobektomi kiri, dan
segmentektomi lateral kiri. Jenis dan luasnya reseksi biasanya ditentukan dari sifat trauma.
Untuk melakukan reseksi hati, hati harus dimobilisasi terlebih dahulu dengan memotong
perlekatan ligamentumnya.
Mobilisasi Hepar
Untuk melakukan lobektomi kanan, kedua daun ligamentum koronarius harus dipotong. Jalur ke
reseksi lobus kiri dipermudah dengan pemotongan ligamentum triangularis. Setelah kapsule hati
diinsisi, parenkim hati mudah didiseksi dengan gagang pisau scalpel yang tumpul. Kehilangan
darah dikurangi dengan kompresi hati oleh tangan asisten. Pembuluh darah dan saluran empedu
yang ditemukan dapat diligasi sendiri-sendiri dengan benang atau klip. Segmentomi lateral kiri
terdiri dari reseksi hati yang terletah di bagian kiri ligamentum falsiformis. Harus berhati hati
untuk tidak meligasi pembuluh darah yang mungkin memasok segmen medial (segmen 4) lobus
kiri. Setelah reseksi permukaan yang terbuka dapat ditutupi dengan memobilisasi ligamentum
falsiformis dan memindahkannya ke daerah yang terbuka. Jika segmen medial lobus kiri
(segmen 4) mengalami kerusakan yang parah, lobektomi hati kiri diindikasikan. Garis resksi
untuk lobektomi kiri harus dilakukan ke bagian kiri fossa kandung empedu. Mutlak perlu untuk
mengidentifikasi vena hepatik medial selama reseksi karena ia mengalirkan segmen superior
lobus kanan dan sering mengalir ke vena hepatik kiri. Vena hepatik kiri harus diligasi dan
dipotong prioksimal dari persambungan dengan vena hepatik medial. Vena porta kiri tidak boleh
diligasi sampai terpapar dengan baik di dalam hilum karena ia mungkin memiliki cabang ke
segmen anterior lobus kanan. Harus berhati-hati saat memotong saluran hepatik kiri karena
saluran hepatik segmental dari kanan seringkali menyeberangi fisura segmental untuk mengalir
ke saluran hepatik kiri. Arteri hepatik kiri hanya mempedarahi sisi kiri dan dapat diligasi dengan
mudah.
Dalam melakukan lobektomi hati kanan, garis reseksi harus dibawa ke bagian kiri fossa kandung
empedu. Vena hepatik medial harus diidentifikasi, dan diseksi harus dilakukan menuju vena kava
ke bagian kanan vena hepatik medial. Arteri hepatik kanan dan vena porta dapat didiseksi pada
awal reseksi dan diligasi untuk mengurangi kehilangan darah. Harus berhati-hati untuk
menghindari kerusakan pada cabang arteri hepatik kanan yang kadang kadang ada, yang
mungkin memperdarahi segemen medial lobus kiri.

109

Jika kerusakan parenkim yang masif terjadi akibat trauma hati atau pada mereka yang
memerlukan reseksi hati total, maka transplantasi hati dapat mejadi pilihan penatalaksanaan
selanjutnya dan telah berhasil dilakukan. Jika transplantari sedang dipertimbangakan untuk
penatalaksanaan selanjutnya, maka pasien hendaknya dirujuk ke pusat transplantasi secepatnya
karena ketersediaan organ tidak dapat diramalkan.
KOMPLIKASI
Sebagian besar pasien dengan trauma hepar berat mempunyai komplikasi, khususnya jika
tindakan operasi dilakukan. Knudson dkk, mencatat komplikasi terjadi pada 52% pasien trauma
hepar Grade IV-V merupaka hasil dari trauma tajam.
Komplikasi signifikan setelah trauma hati termasuk adalah perdarahan post operatif,
koagulopati, fistula bilier, hemobilia, dan pembentukan abses. Perdarahan post operasi terjadi
sebanyak < 10% pasien. Hal ini terjadi mungkin karena hemostasis yang tidak adekuat,
koagulopati post operatif atau karena keduanya. Jika pasien tidak dalam keadaan hipotermi,
koagulopati atau asidosis, maka tindakan eksplorasi ulang haruslah dilaksanakan. Pembuluh
darah yang tampak mengalami perdarahan harus secara langsung di visualisasi dan ligasi,
meskipun kerusakan lebih luas diperlukan untuk eksplorasi yang adekuat

HepatoCelularCarcinoma (HCC), Kanker Hati


INSIDENS
Di Eropa Utara, Inggris dan Amerika, tumor ganas ini relatif jarang ditemukan, berkisar 1-2 per
100.000 penduduk. Insidens tertinggi di benua Afrika, terutama diselatan gurun Sahara.
Insidensnya mencapai 98 kasus per 100.000 penduduk. Negara asia tenggara khususnya Cina,
Korea dan Jepang juga memiliki insidens cukup tinggi, mencapai lebih dari 20 kasus per 100.000
penduduk.
Rerata usia tersering dinegara barat pada usia 55-65 tahun, India 35-40 tahun dan di
Mozambique 25-30 tahun, lebih sering pada pria dibanding wanita dengan insidens 4:1 dan
mencapai 8:1 pada daerah insidens tinggi.
ETIOLOGI
Hepatoseluler karsinoma hampir selalu disertai dengan penyakit hati kronis, terutama infeksi
hepatitis B dan C. Ada hubungan kausal yang erat antara sirosis hati dan infeksi virus hepatitis B
maupun C dengan terjadinya karsinoma hepatoseluler. Infeksi akut virus hepatitis B maupun C
dapat menjadi kronik dan berkembang menjadi sirosis. Hepatitis kronik dan sirosis merupakan
faktor onkogenik bagi sel hati sehingga berubah menjadi ganas. Sirosis oleh karena alkohol
merupakan penyebab tersering di Amerika Serikat dan Eropa barat. Dalam studi eksperimen
disebutkan aflatoksin (Mycotoxin) merupakan bahan karsinogenik yang poten. Makanan yang
banyak mengandung aflatoksin adalah oncom yang diproduksi oleh jamur Aspergillus flavus dan
Aspergillus fumigatus. Semua kacang-kacangan dan biji-bijian berikut produknya seperti kacang
110

kedele, beras, gandum, jagung dan jamu tradisional mudah ditumbuhi jamur ini terutama bila
lembab.
Karsinoma ini juga dilaporkan berhubungan dengan beberapa kelainan metabolik seperti
Hemokromatosis, Wilson`s disease, Tirosinemia herediter, Glikogen Storage Disease tipe 1,
Familial Polyposis kolon, Defisiensi alpha 1 antitrypsin dan Sindrom Bucc-Chiari. Bahan kimia
seperti nitrit, hidrokarbon dan polyklorin juga merupakan karsinogenik hepar.
PATOLOGI
90% keganasan pada hepar terdiri atas karsinoma hepatoseluler, 5% atas kolangiokarsinoma dan
sisanya terdiri atas karsinoma lain yakni gabungan hepatoseluler-kolangiokarsinoma dan non
diferensiasi. Gambaran makroskopis karsinoma hepatoseluler dibagi menjadi 3 macam, yaitu
bentuk massif unifokal, noduler multifokal dan bentuk difus dengan pertumbuhan infiltratif.
Jenis noduler multifokal paling sering ditemukan. Bentuk ini menunjukkan gambaran dungkul
berwarna keruh kekuningan dan tersebar di hepar dan biasanya terdapat satu nodul yang lebih
besar dari yang lain. Bentuk massif unifokal berupa tumor berukuran besar menempati salah satu
lobus. Bentuk difus jarang ditemukan dan amat sulit dibedakan dengan gambaran sirosis.
Gambaran mikroskopik kebanyakan berbentuk trabekuler atau sinusoid. Bentuk lain seperti
pseudoglanduler atau asiner jarang ditemukan. Bentuk fibrolamelar biasanya ditemukan pada
penderita muda.
Tumor menyebar melalui 4 jalur, yakni:
1. Pertumbuhan sentrifugal, yang mengindikasikan ekspansi nodul yang akan menekan jaringan
hepar sekitar tumor.
2. Perluasan parasinusoidal, yang menunjukkan invasi tumor ke parenkim sekitar, baik ke ruang
parasinusoid atau ke sinusoid sendiri.
3. Penyebaran melalui vena atau cabang kecil sistem portal secara retrograde ke cabang yang lebih
besar dan akhirnya ke vena porta. .
4. Metastasis jauh, sebagai hasil invasi melalui saluran limfatik dan sistem vaskuler.

Predileksi metastasis tersering adalah pada pulmo, limfonodus, organ organ intraperitoneal,
peritoneum, kelenjar adrenal, tulang dan otak.
GEJALA KLINIK
Pasien hepatoseluler karsinoma stadium awal biasanya hanya mempunyai sedikit keluhan.
Dengan bertambah besarnya tumor maka kemudian timbul gejala lain. Umumnya penderita
datang dalam keadaan penyakit sudah lanjut. 6
Keluhan yang timbul dapat berupa:

111

Rasa tidak nyaman-nyeri yang sifatnya tumpul namun persisten sekitar perut atas, tembus
kebelakang bahkan dapat menjalar ke bahu. Nyeri meningkat bila penderita bernapas dalam
karena rangsangan peritoneum pada permukaan benjolan
-

Massa pada perut kanan atas

Rasa lelah

Anoreksia

Kehilangan berat badan secara cepat

Ascites (50-75% pasien)

Gejala hipertensi portal

Ikterus (20-58% pasien)

Pada pemeriksaan fisik umumnya ditemukan pembesaran hepar yang berbenjol, keras dan
kadang nyeri tekan. Karena karsinoma ini kebanyakan berhubungan dengan sirosis maka sering
pada penderita ini didapatkan pula tanda sirosis misal caput medusae, spider nevi, splenomegali,
eritema palmaris dan ginekomasti.
Auskultasi diatas benjolan kadang menemukan suara bising aliran darah (bruit) karena
hipervaskularisasi tumor. Gejala ini menunjukan fase tumor sudah lanjut.
Nyeri perut, kehilangan berat badan serta massa pada perut merupakan tanda yang paling sering
ditemukan. Pada lebih dari separuh pasien anak, tanda awal adalah tumor abdomen.
Adanya nyeri mendadak, hemoperitoneum dan/atau syok tanpa adanya riwayat trauma
mengindikasikan ruptur tumor. 3-5% pasien datang dengan tanda-tanda peritonitis oleh karena
tumor ruptur secara spontan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan gangguan tes fungsi hepar berupa peningkatan
bilirubin serum, alkali fosfatase dan gamma glutamyltranspeptidase. SGOT dan SGOT bahkan
meningkat 2-3 kali di atas normal. Rata-rata pasien datang dengan anemia. Jika terdapat nekrosis
tumor dan demam, leukosit akan mengalami peningkatan.
Alfa fetoprotein (AFP) dan Protein Induced by Absence of Vitamin K or by antagonist II
(PIVKA-II) merupakan tumor marker spesifik untuk hepatoseluler karsinoma.

112

AFP merupakan protein yang diproduksi hepar, memiliki berat molekul 65.000 dengan susunan
asam amino yang mirip dengan albumin. Protein ini dulunya berperan penting dalam pengaturan
tekanan koloid osmotik janin dan sebagai pengikat estrogen. Protein ini normal ada pada fetus
namun menghilang beberapa minggu setelah lahir. Pada orang dewasa normal, kadar AFP
normalnya kurang dari 10-20 ng/ml. Pasien dengan hepatoseluler karsinoma berukuran kecil
biasanya hanya mengalami sedikit ataupun tidak ada peningkatan kadar AFP. Peningkatan kadar
lebih 400 ng/ml biasanya ditemukan pada tumor-tumor yang besar atau tumor yang pesat
pertumbuhannya dan kadar yang besarnya lebih dari 3000 ng/ml hampir selalu dapat memastikan
diagnosis tumor ini. Kenaikan kadar AFP yang ringan ditemukan pada penderita sirosis tanpa
keganasan. Peningkatan sementara AFP juga ditemukan pada pasien dengan penyakit hepar atau
sirosis. Pengukuran kadar AFP digunakan dalam memonitor rekurensi tumor sebab kadarnya
seharusnya menurun setelah reseksi tumor. Studi terakhir juga menunjukkan adanya korelasi
antara peningkatan kadar AFP, stadium tumor dan prognosis. Pada orang dewasa, kadar AFP
yang tinggi (> 500 ng/ml) juga dapat ditemukan pada keadaan:
-

Germ cell tumor (Ca testis dan ovarium)

Karsinoma yang metastasis pada hepar

Wanita hamil terutama dengan janin yang memiliki kelainan defek saluran neural

Sensitifitas AFP untuk karsinoma hepatoseluler adalah berkisar 60%, kepustakaan lain menyebut
angka 65-75%. Sensitifitas PIVKA-II berkisar 55-62%. Pengukuran kadar AFP dan PIVKA-II
saling melengkapi satu sama lain dalam menegakkan diagnosis hepatoseluler karsinoma.
Tumor marker lain yang sedang diselidiki kaitannya dengan tumor ini adalah des-gammacarboxyprothrombin (DCP) yang merupakan varian enzim gamma-glutamyltransferase dan
varian enzim lainnya, misal alpha-L-fucosidase.
RADIOLOGI
ULTRASONOGRAFI
USG merupakan pemeriksaan penunjang diagnosis yang tidak mahal, non invasif dan paling
sering digunakan. Lewat USG, tumor tampak hipoekoik dan kapsula fibrosa menghasilkan
acoustic shadow. Pada seorang yang ahli, USG sangat akurat, lesi yang berukuran kurang dari 1
cm dapat terdeteksi. USG juga sangat berguna dalam menentukan stadium tumor khususnya
dalam menentukan keterlibatan tumor dengan struktur vaskuler. Kemampuan USG dalam
menampakkan tumor dalam berbagai arah sesuai penempatan transducer membuat alat ini
mampu melokalisir tumor dengan akurat khususnya dalam hubungan tumor dengan pembuluh
darah. USG memiliki sensitifitas dan spesifitas sebanding dengan CT Scan dalam mendeteksi
lesi kecil namun lebih unggul dalam skrining pada daerah insidens tinggi.
CT SCAN

113

CT scan dapat menentukan ukuran tumor, perluasan tumor dan mampu mendeteksi tumor
berukuran kecil. Ia memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi, non-operator dependen dan
merupakan pemeriksaan penunjang pilihan dalam mendeteksi karsinoma hepatoseluler.
MRI
MRI memiliki sensitivitas tinggi dan juga dapat menampilkan hubungan tumor dan pembuluh
darah besar. MRI sangat berguna dalam membedakan karsinoma hepatoseluler dengan tumor
lain bahkan pada pasien dengan sirosis hepatis, misalnya haemangioma dan nodul regenerative.

ANGIOGRAFI
Angiografi dulunya merupakan metode paling akurat dalam mendiagnosis hepatoseluler
karsinoma namun saat ini perannya sudah terganti oleh pemeriksaan penunjang non invasif. Saat
ini angiografi sering dikombinasi dengan CT Scan atau sebagai penunjang dalam transcatheter
arterial embolisation (TACE).
GRADING Ca. HCC American Joint Commite on Cancer (AJCC) 1998:
Tumor primer (T):
Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada bukti adanya tumor
T1 Tumor soliter 2 cm tanpa invasi vaskuler
T2 Tumor tunggal 2 cm dengan invasi vaskuler; atau tumor multiple 2 cm, terbatas pada
satu lobus tanpa invasi vaskuler; atau tumor tunggal >2 cm, tanpa invasi vaskuler
T3 Tumor tunggal >2 cm dengan invasi vaskuler; atau tumor multiple > 2 cm, terbatas pada satu
lobus dengan/tanpa invasi vaskuler
T4 Tumor multiple pada lebih dari satu lobus; atau tumor pada cabang besar vena porta/hepatica
Limfonodus regional (N)
Nx

Limfonodus regional tidak dapat dinilai

N0

Tidak ada metastasis pada limfonodus regional

N1

Metastasis limfonodus regional

Metastasis jauh (M)

114

Mx

Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0

Tidak ada metastasis jauh

M1

Ditemukan metastasis jauh

Stadium I

T1 N0 M0Pengelompokan stadium:

Stadium II

T2 N0 M0

Stadium IIIa

T3 N0 M0

Stadium IIIb

T1-3 N1 M0

Stadium IVa T4 any N M0


Stadium IVb T4 anyN M1
PENANGANAN
Penanganan Non Bedah
Transcatheter Arterial Chemoembolisation (Tae / Tace)
Teknik ini merupakan kombinasi kemoterapi intraarterial dan oklusi arteri hepatica dengan
materi embolisasi dengan tujuan memperpanjang waktu kontak antara tumor dengan agen dan
untuk menginduksi nekrosis massif dari tumor secara iskemik. Pertama kali diperkenalkan oleh
Goldstein dan dikembangkan oleh Yamada. Agen kemoterapi dapat diinfus ke hepar sebelum
atau sesudah hepar diembolisasi dengan bubuk busa gelatin. Penggunaan CO2 microbubbleangiosonography dapat membantu melokalisir vaskuler tumor. TACE tidak diindikasikan pada
pasien dengan kadar total bilirubin melebihi 3 mg/dl. Jika kadar bilirubin total melebihi 2 mg/dl,
area hepar yang akan diembolisasi tidak boleh melebihi 1-2 level Couinaud. Komplikasi post
TACE atau yang lebih dikenal sebagai Post Embolisation Syndrome dapat berupa nyeri perut
(59%), demam (47%), ulkus gaster-duodenum, pankreatitis dan kolesistitis. Hal ini dapat diatasi
dengan dipyrone atau hidrokortison.
Kemoembolisasi pada karsinoma hepatoseluler
PERCUTANEOUS ETHANOL INJECTION (PEI / PEIT)
Prinsip PEI adalah dengan efek degeneratif protein dan efek trombotik dapat menginduksi
nekrosis tumor. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Shinigawa pada tahun 1985. Dengan
anestesi lokal pada kulit dinding abdomen dan kapsul hepar, jarum Chiba ukuran 22 dimasukkan
perkutaneus ke tumor dibawah bimbingan USG. Alkohol absolute (99,5%) diinjeksi perlahan.

115

Kontraindikasi penggunaannya adalah bila pasien tidak kooperatif dan adanya kelainan
pembekuan darah.
PENANGANAN BEDAH
Terapi definitive bagi HCC yang resektabel adalah operasi. Bila tumor resektabel, penentuan
seberapa besar hepar dapat direseksi bergantung lokasi, ukuran tumor, jumlah nodul, kedekatan
tumor dengan struktur pembuluh darah dan keparahan penyakit hepar penyerta. Ahli bedah
berpendapat batas 1 cm diluar tumor sudah cukup adekuat. Beberapa tipe reseksi untuk tumor ini
adalah reseksi baji, segmentektomi, lobektomi dan trisegmentektomi. Kriteria tumor
unresektabel adalah:
-

Adanya kelainan ekstrahepatik

Adanya disfungsi hepar

Ekstensi tumor hanya sedikit hepar yang dapat disisakan setelah reseksi

Terbukti adanya metastasis/ekstensi ekstrahepatik

Tumor melibatkan vena hepatica-vena porta.

Pada pasien dengan sirosis hepatis, reseksi akan mempengaruhi survival karena:

regenerasi sisa hepar tidak adekuat pada pasien dengan sirosis hepatic

rekurensi tumor pada sisa hepar

kelainan pembekuan darah yang abnormal

reservasi hepar yang jelek

Komplikasi post reseksi adalah:


Komplikasi metabolik seperti hipoglikemia, hipoalbuminemia, koagulopati dan
hiperbilirubinemia
-

Perdarahan

Sepsis

Ulkus peptik

TRANSPLANTASI HEPAR

116

Penanganan HCC dengan cara transplantasi telah diperdebatkan oleh karena kemampuan
viabilitas organ donor dan rekurensinya setelah ransplantasi yang diduga akibat sel-sel tumor
yang bersirkulasi yang kemudian merusak donor. Pasien sebelum transplantasi harus menjalani
pemeriksaan lengkap khususnya CT Scan dan USG abdomen untuk mengeksklude metastasis
atau adanya limfonodus yang terkena. Gugenheim dkk melaporkan rerata rekurensi post
transplantasi hepar pada tumor ukuran diameter < 5cm dan jumlah tumor 3 nodul 11,1%
namun ukuran diameter > 5cm dan jumlah tumor 3 nodul mencapai 100%.
KEMOTERAPI
Kemoterapi sistemik baik tunggal maupun kombinasi hanya memiliki sedikit efek terapi.
Kemoterapi sistemik yang pertama digunakan adalah fluorouracil yang berespon 0-10% dan
median survival 3-5 bln. Fluorouracil ini kemudian dikombinasi dengan asam folat dosis tinggi
namun tetap tidak mempengaruhi hasil terapi. Respon lebih baik dengan penggunaan Epirubicin
dan Cisplatin. Obat kemoterapi yang diyakini paling aktif adalah doxorubicin dengan rerata
respons 19%. (3-32%). Indikasi pemberian kemoterapi untuk tumor ini adalah:
-

Adanya kelainan ekstrahepatik

Tidak dapat dilakukan penanganan lain

Adanya trombosis vena porta

Status performans yang baik (Karnoffsky 70 ke atas)

Fungsi hepar yang baik

Saat ini beragam kemoterapi regional diuji terutama melalui infus intra arteri hepatika setelah
sebelumnya dilakukan laparotomy atau angiography. Agen dapat diberi sekali, infus kontinu
lewat syringe pump atau dengan kateter port untuk injeksi jangka panjang. Alasan pemberian
intraarteri adalah:
Suplai darah untuk karsinoma hepatoseluler melalui arteri hepatika sehingga konsentrasi
tinggi obat langsung ke tumor
-

Toksisitas sistemik yang lebih rendah

Obat-obat ini dimetabolisme di hepar

KRIOTERAPI
Terapi ini berupa pembekuan tumor pada batas 1 cm dari jaringan hepar yang sehat dengan
menggunakan nitrogen cair yang diinjeksi melalui cryopobe vakum dibawah bimbingan USG
atau selama laparoskopi atau laparotomi. Hanya ada data terbatas dalam penggunaannya. Zhou
dan Tang dkk melaporkan 37,9 % 5 year survival rate pada 191 pasien dan 53,1% pada 56 pasien
dengan tumor lebih kecil dari 5 cm. Terapi lanjut dengan ablasi alkohol setelah krioterapi dapat
117

digunakan dalam penanganan sisa tumor dan mengontrol rekurensi. Komplikasi lanjut adalah
kerusakan struktur berdekatan, terutama vena porta dan vena hepatica, paru serta dapat terjadi
gagal hepar.
TERAPI IMUN
Agen imunologi secara teori berguna dalam penanganan tumor ini. Interferon yang diketahui
memegang peranan dalam reproduksi virus misal hepatitis B/C dan aktifitas sel-sel lymphokine
activated killer (LAK) berkurang pada pasien dengan tumor ini. Saat ini, imunoterapi dilaporkan
belum menunjukkan dampak signifikan pada survival dan beberapa komplikasi berat telah
dilaporkan. Agen yang telah dipelajari adalah interferon- (IFN- ) dan dikombinasi dengan
doxorubicin atau fluorouracil.
TERAPI HORMONAL
Terapi sistemik lain adalah dengan manipulasi endokrin. Penelitian dengan terapi hormonal
misal dengan antiestrogen dan antiandrogen dilaporkan terus menunjukkan hasil menjanjikan.
Saat ini terapi hormonal yang paling sering digunakan adalah tamoxifen. Terapi hormonal
dilakukan berdasarkan penyelidikan:
- Jaringan tumor mengandung reseptor estrogen dan androgen
- Predominansi tumor pada pria
- Kesuksesan dengan terapi hormonal pada tumor lain
RADIOTERAPI
Radioterapi eksternal memiliki keterbatasan dalam penanganan HCC. Dosis aman untuk hepar
mendekati 30 Gy. Radioterapi dapat berguna dari segi paliatif dan untuk menghilangkan gejala.
Sebagai alternatif lain, sejumlah radiasi lokal dapat diberi dengan memberi infus Lipiodol
intraarteri atau dengan antibodi antiferritin yang diperkuat dengan yodium radioaktif.
TERAPI LAINNYA
Pilihan terapi lain adalah terapi gen, termoterapi, intra-arterial radiotherapy dan yttrium-90
Proton therapy. Retinoic acid, flavinoid quercitin, octreotide dan herbal medicine Inchin-ko-to
juga dilaporkan memiliki efek pada tumor.
PROGNOSIS
Prognosis tumor ini adalah buruk karena sifat tumor yang sangat ganas dan kebanyakan pasien
datang dengan stadium lanjut sewaktu diagnosis ditetapkan. Prognosis yang lebih disukai yakni
jika pasien usia muda, jenis kelamin wanita, kadar AFP rendah, stadium awal, tidak disertai
sirosis, diameter tumor lebih kecil dari 5 cm, tindakan dan jika tumor soliter.

118

Mortalitas intraoperatif saat ini dilaporkan kurang dari 5% bahkan di Hongkong dilaporkan 0%.
Pada pasien non sirosis, hepatektomi parsial dihubungkan dengan 5 year survival 30% dan
bahkan pernah dilaporkan mencapai 68%. Pada pasien sirosis, 5 year survival mendekati 25-30%
bahkan ada peneliti yang melaporkan 0%. Rekurensi tumor post reseksi dilaporkan bervariasi
antara 20-70% dalam 2 tahun dan mendekati 83% dalam 5 tahun. Rekurensi tumor amat
ditentukan oleh ukuran, jumlah dan batas positif reseksi tumor. Resiko rekurensi tumor besar (>5
cm) dilaporkan hampir dua kali dari tumor kecil.

Abses Hepar
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Abses hepar adalah rongga patologis berisi jaringan nekrotik yang biasanya timbul dalam
jaringan hati akibat infeksi banal atau Amoeba Hystolitica. Ada 2 bentuk abses hepar, yaitu:
1. Abses hepar piogenik
2. Abses hepar amuba
Abses piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari vena porta yaitu infeksi pelvis atau
gastrointestinal yang bisa menyebabkan peradangan pada v.porta atau emboli septik, infeksi pada
saluran empedu yang mengalami obstruksi naik ke cabang saluran empedu intrahepatik
menyebabkan kolangitis dengan akibat abses multiple, trauma tajam atau tumpul dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan nekrosis jaringan hati. Sebelum era antibiotik, sespsi
intraabdomen, terutama apendisitis, divertikulitis, disentri basiler, infeksi daerah pelvik,
hemoroid yang terinfeksi dan abses perirektal, merupakan penyebab utama abses hati piogenik.
Abses hati dapat tejadi akibat penyebaran langsung infeksi dari struktur yang berdekatan, seperti
empiema kandung empedu, peluritis, ataupun perinefrik. Dibandingkan dengan abses pyogenik,
abses amuba hepar sering terletak pada lobus kanan dan sering superfisial serta tunggal. Data
terakhir menunjukkan 70% sampai 90% kasus pada lobus kanan hepar, terutama bagian belakang
dari kubah, kebanyakan abses hepar bersifat soliter, steril. Kavitas tersebut berisi cairan
kecoklatan (hasil proses lisis sel hepar), debris granuler, dan beberapa sel-sel inflamasi. Bila
abses ini tidak diterapi akan pecah. Dari hati, abses dapat menembus ruang sub diafragma masuk
ke paru-paru, dan kadang-kadang dari paru ini, menyebabkan emboli ke jaringan otak
ABSES AMUBA
Insidens
Abses hati amuba adalah suatu penyakit yang menyerang usia dewasa paruh baya dan
predominasi pada pria dengan ratio 9:1, tidak ada pengaruh ras. Infeksi amuba ini umumnya
terjadi pada daerah dengan sanitasi yang buruk yang hal ini dapat dilihat pada negara-negara
berkembang dengan suplai air yang terkontaminasi dan higiene perorangan yang jelek. Daerah
endemic penyakit ini terletak pada daerah tropis dan subtropis dari belahan bumi, khususnya di
daerah Afrika, Amerika Latin, Asia Tenggara dan India.
Etiologi
Dari semua spesies amuba, hanya Entamoeba Hystolitica yang patogen terhadap manusia.
Infeksi dari organisme ini biasanya terjadi setelah menelan air atau sayuran yang terkontaminasi,
selain itu transmisi seksual juga dapat terjadi. Kista adalah bentuk infektif dari organisme ini
yang dapat bertahan hidup di feses, tanah atau air yang sudah diberi klor.
119

Patofisiologi
E. histolitika dapat ditemukan dalam 2 stadium. Stadium kista adalah bentuk infektifnya dan
stadium troposoit yang berperan dalam proses invasif. Bentuk kistanya tahan terhadap asam
lambung, tetapi dindingnya dapat dihancurkan oleh tripsin saat melewati usus halus. Pada saat
itu troposoit dilepaskan dan membentuk koloni di daerah caecum. Untuk memulai infeksi yang
simtomatis maka troposoit yang ada di lumen harus mengadakan penetrasi ke lapisan mukosa
dan melekat pada lapisan submukosa. Dari sini lalu parasit ini masuk ke vena-vena mesenterika.
Amuba mencapai hati melalui system vena porta melalui focus-fokus ulserasi pada dinding usus
tadi. Lesi pada hepar biasanya berupa suatu abses yang besar, soliter dan mengandung strukturstruktur berbentuk cair dengan karakteristik cairan merah kecoklatan seperti anchovy paste.
Lesi ini kebanyakan terjadi pada lobus dekstra, dekat pada kubah atau pada permukaan inferior
di fleksura hepatis. Tebal dindingnya hanya beberapa milimeter saja yang terdiri dari jaringan
granulasi dengan atau tanpa sedikit jaringan fibrotik. Secara mikroskopis dapat dilihat 3 zona,
yaitu necrotic centre, zona tengah dengan destruksi dari sel-sel parenkim dan zona luar dengan
sel-sel hati yang relative normal. Pada zona luar inilah banyak ditemukan amuba. Abses amuba
tidak seperti abses piogenik dimana pada abses amuba cairannya steril dan tidak berbau.
Gejala Klinis
Gejala dari abses hati amuba perjalanannya lambat dan biasanya baru muncul dalam beberapa
hari atau minggu. Gejala-gejala tersebut dapat berupa :
- Demam, mengigil, berkeringat.
- nyeri abdomen (pada kwadran kanan atas, dapat berupa nyeri yang terus menerus atau tertusuktusuk, dapat nyeri yang ringan sampai berat)
- perasaan tidak enak pada seluruh tubuh, gelisah dan malaise
- anoreksia, BB menurun, diare (jarang), jaundice.
- nyeri pada persendian.
Abses pada permukaan superior dari hepar dapat memberi nyeri yang menjalar ke bahu kanan,
sedangkan abses yang terdapat pada bare area yaitu daerah yang tidak mempunyai kontak
dengan organ serosa maka nyeri kadang-kadang tidak terdeteksi. Abses pada lobus sinistra dapat
memberi gambaran sebagai nyeri epigastrium.
Tabel 1. Manifestasi klinik abses amuba pada orang dewasa
% Abses Amuba
GEJALA
Nyeri 90
Demam 87
Nausea & muntah 85
Anoreksia 50
BB menurun 45
Malaise 25
Diare 25
Batuk & rangsang pleura 25
Pruritus <1
TANDA-TANDA
Hepatomegali 85
Nyeri kwadran kanan atas 84
120

Efusi pleura 40
Massa pada kwadran kanan atas 12
Asites 10
Jaundice 5
LABORATORIUM
Alkali fosfatase 80
Leukosit > 10.000/mm3 70
Hematokrit <36 % 49
Albumin < 3 g/dl 44
Bilirubin > 2 g/dl 10
MANIFESTASI KLINIS
Biasanya abses amuba munculnya lebih akut dibandingkan piogenik. Penderita biasanya
mempunyai riwayat diare sebelumnya. Abses amuba biasanya juga lebih nyeri, ada gejala
pulmoner dan lebih sering ditemukan hepatomegali. (1)
Tabel 2. Perbedaan karakterisrik klinis abses hepar
Amuba Piogenik
Usia < 50 th Usia > 50 th
Pria : wanita = 10:1 Pria = wanita
Ras Hispanic Predisposisi etnis (-)
Riwayat berkunjung ke daerah endemik Keganasan
Disfungsi pulmoner Demam tinggi
Nyeri abdomen Pruritus
Diare Jaundice
Nyeri tekan abdomen Syok septik
Hepatomegali Teraba massa
LABORATORIUM
Leukositosis ditemukan pada 70 % penderita, sedangkan anemia ditemukan pada 50 % penderita.
Tes fungsi hati kurang berperan dalam penentuan diagnosis. Pada analisa feses hanya 15 50 %
kasus ditemukan bentuk kista atau troposoit. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan aspirasi
langsung pada rongga abses, adanya gambaran anchovy paste dari aspirat dianggap
patognomonik.
RADIOLOGI
Abses amuba umumnya soliter dan besar, jarang ditemukan kelainan intraabdomen lain seperti
pada abses piogenik.
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan pilihan dengan sensitivitas 70 80 % dibanding CT scan
dengan sensitivitas 88 95 %. Gambaran abses amuba seperti homogenitas lesi, gambaran echo
parenkim hati yang menurun dan dinding abses yang tipis.
Foto polos abdomen dan toraks tampak elevasi dan gerakan yang terbatas dari diafragma kanan,
efusi pleura kanan dan gambaran udara di dalam rongga abses.
CT scan dilakukan bila pada USG tidak ditemukan lesi pada hepar sedangkan gambaran klinik
dari abses hepar tetap ada. Pada CT scan dapat dilihat gambaran berupa lesi yang melingkar
dengan densitas rendah dan bentuk teratur, tampak pula struktur internal lesi yang non homogen.
MRI cukup sensitif akan tetapi penemuannya tidak spesifik.
Tm99 berguna untuk membedakan abses amuba dan piogenik. Dimana abses amuba tidak
mengandung leukosit sehingga tampak sebagai cold lessions dengan hot halo
121

disekelilingnya, sedangkan abses piogenik mengandung banyak leukosit sehingga tampak


sebagai hot lessions pada scanning.Pemeriksaan lain seperti Gallium scanning dan hepatic
angiography dinilai kurang bermanfaat.
Serologi
Biasanya sangat sulit untuk membedakan abses amuba dengan piogenik berdasarkan kriteria
klinis, laboratorium dan radiologi. Disini prosedur pemeriksaan serologi penting untuk
memastikan adanya infeksi amuba.
Saat ini tes-tes serologi yang biasa digunakan antara lain Indirect Hemaglutination (IHA), Gel
Diffusion Precipitin (GDP),The Enzim-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), Counterimmun
electrophoresis, Indirect Immunofluorescent dan Complement Fixation. Yang paling sering dan
umum digunakan adalah IHA dan GDP. IHA merupakan tes yang paling sensitif, dengan hasil
positif mencapai 90 100 % pada penderita dengan abses amuba. Hasil positif dapat bertahan
sampai 20 tahun setelah penyakit sembuh.
GDP dapat mendeteksi 95 % penderita abses amuba, juga dapat mendeteksi kolitis amuba
noninvasif. Jadi tes ini sensitif tetapi idak spesifik untuk abses hepar amuba.
DIAGNOSIS
Abses amuba dan piogenik mempunyai gambaran klinik dan laboratorium yang hampir mirip,
oleh karena penanganan pada abses amuba tidak terlalu invasif maka kita perlu menetapkan
diagnosis yang tepat.
PENANGANAN
Dengan dikenalnya Metronidasol pada tahun 1960an, maka drainase operatif dari abses amuba
sudah jarang dilakukan. Aspirasi perkutaneus atau drainase operatif hanya dilakukan bila masih
diragukan suatu abses amuba atau abses dengan komplikasi.
Antibiotik
Antibiotik Imidasol, termasuk Metronidasol, Tinidasol dan Niridasol akan membunuh amuba
pada saluran cerna dan hepar. Dengan dosis oral Metronidasol 3 x 750 mg /hari selama 10 hari
dapat menyembuhkan 95 % dari penderita abses amuba. Dapat pula diberikan secara intravena
dengan efektifitas yang sama pada penderita-penderita dengan nausea atau sakit berat. Efek
samping dari obat ini berupa nausea, sakit kepala, metallic taste, kejang perut, muntah diare
dan pusing. Warna urin jadi lebih gelap akibat metabolisme obat ini.
Emetin, dehidroemetin dan klorokuin. Kombinasi klorokuin ditambah dengan dosis rendah
emetin pada kasus-kasus dimana amuba resisten terhadap metronidasol dapat mencapai angka
kesembuhan 90 100 %.
Penggunaan amubisidal intraluminer seperti diloxanide furoate, iodoquinol dan paromomycin
dianjurkan pemakaiannya untuk membunuh carrier amuba setelah penyembuhan suatu abses
amuba.
Prosedur Operatif
Aspirasi terapeutik dari abses hepar amuba harus dipertimbangkan pada keadaan :
1. resiko tinggi abses akan ruptur (ukuran cavitas > 5 cm)
2. abses pada lobus sinistra (komplikasi berupa ruptur ke perikardium)
3. tidak ada respon dengan pengobatan setelah 5 7 hari.
Prosedur pilihan adalah aspirasi dengan jarum atau kateter yang dituntun dengan USG. Drainase
operatif sebaiknya dihindari, tetapi dapat dilakukan pada keadaan-keadaan seperti bila abses
tidak dapat dicapai dengan aspirasi jarum atau tidak ada respon terhadap terapi setelah 4 5 hari.
Indikasi lain dari drainase operatif (laparotomi):
- Perdarahan yang mengancam nyawa (dengan atau tanpa rupturnya abses)
122

- abses menginfiltrasi organ viskus disekitarnya


- septikemia (akibat dari infeksi sekunder).
Komplikasi
Terjadi 10 %, namun tidak fatal dan dapat ditangani secara konservatif. Komplikasi yang
paling sering adalah rupturnya abses ke peritoneum atau rongga toraks. Yang paling sering
terkena bila suatu abses amuba pecah adalah sistem pleuropulmoner dan Peritonitis.
Pola penjalaran rupturnya abses hepar.
PROGNOSIS
Penyembuhan klinis yang cepat terjadi dalam waktu < 1 minggu dengan pengobatan obat anti
amuba saja.Hal-hal yang mempengaruhi tingginya angka kematian antara lain :
Kadar Bilirubin > 3,5 Mg/Dl, Ensefalopati,Volume Rongga Abses > 500 Ml, Serum Albumin <
2 G/Dl, Hb < 8 G/Dl, Abses Multipel.
ABSES PIOGENIK
ETIOLOGI
Abses hepar piogenik umumnya polimikrobial. Sebagian besar kuman penyebabnya ditemukan
dalam saluran cerna, seperti :
- E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Bacteroides sp, Enterococcus, Anaerobic sreptococcus sp,
Streptococcus milleri group
Kuman lain yang dapat menyebabkan abses piogenik yang tidak berasal dari saluran cerna
adalah staphylococcus sp dan haemolytic streptococcus sp.
INSIDENS
Sejak ditemukannya antibiotika maka prevalensi umur bergeser dari dekade ke 3-4 menjadi usia
ke 70an. Secara historis abses hepar piogenik lebih banyak menyerang pria daripada wanita.
PATOFISIOLOGI
Hati menerima darah dari sirkulasi sistemik dan sistem porta. Adanya infeksi dari organ-organ
lain di tubuh akan meningkatkan pemaparan hati terhadap bakteri. Tetapi hati mempunyai sel-sel
Kuppfer yang terlatak sepanjang sinusoid-sinusoidnya yang berfungsi sebagai pembunuh bakteri,
jadi akan sulit untuk terjadi infeksi. Ada banyak faktor yang berperan sampai dapat terjadinya
abses pada hati. Abses piogenik pada hepar merupakan akibat dari :
1. asending dari infeksi biliaris
2. penyebaran hematogen lewat sistem portal
3. septikemia generalisata yang melibatkan hepar lewat sirkulasi arteri hepatika
4. penyebaran langsung dari infeksi organ-organ intraperitoneal
5. sebab lainnya, disini termasuk trauma pada hepar.
Penyakit traktus biliaris (kolangitis, kolesistitis) merupakan penyebab tersering dari abses hepar
(60 % kasus). Tersumbatnya aliran empedu menyebabkan proliferasi dari bakteri. Penyebab
tersering yang kedua adalah septikemia generalisata, diikuti oleh appendisitis akut/perforasi dan
divertikulitis.
Trauma tajam dengan penetrasi ke hepar dapat langsung memasukkan bakteri ke parenkim hepar
dan menyebabkan abses. Sedangkan trauma tumpul pada hepar dapat meyebabkan nekrosis
jaringan hepar, perdarahan intrahepatik dan keluarnya asam empedu akibat robekan dari
kanalikuli. Lesi yang terjadi pada kasus seperti ini biasanya soliter.
Abses dapat bersifat multipel atau soliter, biasanya yang berasal dari infeksi organ lain yang
lewat aliran darah akan menjadi abses yang multipel. Lesi akan memberikan gambaran jaringan
123

hati yang pucat. Ukuran rongga abses biasanya bermacam-macam dan umumnya bergabung,
pada kasus-kasus yang lanjut akan tampak gambaran honeycomb yang mengandung sel-sel
PMN dan jaringan hati yang nekrosis. Kebanyakan lesi akan terjadi pada lobus dekstra dari
hepar.
Abses piogenik (rongga berisi pus) Abses piogenik multipel
akibat trauma/infeksi
Patogenesis abses piogenik berdasarkan etiologi
Etiologi Sumber Infeksi Penyebaran Mikroorganisme
Sistem biliaris kolangitis, obstruksi bilier ke2 lobus, multipel spesies tunggal, aerob &
anaerob gr (-) E. Coli.
Sirkulasi portal infeksi intraabdominal lobus kanan > kiri, polimikrobial, aerob & an
multipel /soliter aerob dari usus, E faecalis,
E.coli, B.fragilis
metastasis hepar area metastasis sp tunggal, B.fragilis anaerob
Sirkulasi arteri bakteremia, infeksi sistemik ke2lobus, multipel sp tunggal, aerob gram (+)
S.aureus, S.piogenes
Trauma langsung, nekrosis area trauma sp tunggal, aerob gram (+)
S.aureus, S.piogenes
Penyebaran lgs kolesistitis, peforasi ulkus area berdekatan sp tunggal, aerob gram (-)
E. coli
Kriptogenik tidak diketahui lobus kanan > kiri sp tunggal, B. Fragilis anaerob
Diagnosis
Sering terjadi keterlambatan diagnosis karena penyakit ini jarang dan panampakan klinisnya
tidak spesifik. Lebih kurang 1/3 dari penderita abses hepar piogenik akan mengalami
keterlambatan diagnosis dan terapi, maka jika sudah dicurigai akan adanya penyakit ini
sebaiknya pengobatan tidak ditunda menunggu hasil pemeriksaan penunjang.
Gejala klinik
Gejala yang umum terjadi antara lain :
1. demam (terus menerus atau spiking.
2. anoreksia
3. nausea
4. BB menurun
5. malaise
6. nyeri pada kwadran kanan atas
7. jaundice (pada kasus-kasus yang lanjut).
Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis dengan shift to the left terjadi pada 2/3 penderita, anemia dan hipoalbuminemia
juga sering ditemukan. Abnormalitas dari tes fungsi hati terjadi pada hampir semua penderita dan
hal ini merupakan penanda yang cukup sensitif untuk penyakit ini. Kenaikan kadar alkali
fosfatase dan gamma-glutamil transpeptidase terjadi pada 90 % kasus. Hiperbilirubinemia terjadi
jika sumber infeksi berasal dari traktus biliaris. Pada kasus-kasus abses hepar piogenik sebaiknya
dilakukan kultur darah tepi, hal ini penting untuk diagnostik, penanganan dan prognosis dari
penderita.
Radiologi
USG adalah pemeriksaan pertama yang dilakukan jika dicurigai adanya space occupying
124

lession pada hepar, sensitivitasnya terhadap abses hepar 80 95 %. Lesi hanya dapat terlihat
jika mempunyai > 2 cm. Abses terlihat sebagai massa hypoechoic dengan batas yang tidak
teratur, tampak cavitas-cavitas/septum di dalam rongga abses.
Foto toraks tampak atelektasis, elevasi dari hemidiafragma kanan, dan efusi pleura kanan (50 %
kasus).
MRI (dapat mendeteksi abses hepar dengan 0,3 cm), skening dengan Tm99 dan gallium
(sensitivitas 50 90 %).
CT scan sensitivitas 95 100 %. Dengan CT juga dapat terlihat kelainan intraabdomen lain yang
menyertai abses hepar piogenik seperti massa pada pankreas, Ca colon, divertikulitis,
appendisitis, dan abses intraperitoneal.
Gambaran CT scan abses hepar piogenik
Penanganan
Prinsip utama penanganan abses piogenik adalah pemberian antibiotik dan drainase dari abses.
Sekarang ini cara drainase operatif perannya sudah banyak diganti oleh drainase perkutaneus
yang lebih aman dan angka keberhasilannya cukup tinggi.
Antibiotik
Antibiotik yang diberikan adalah yang spektrum luas seperti golongan penisilin (ampicillin),
aminoglikosida (gentamisin atau tobramisin) dan metronidasol.
Pada penderita-penderita usia tua dengan gangguan ginjal dapat diberikan penisilin (amoxicillin),
sefalosporin (cefotaxime atau cefuroxime) dan juga metronidasol.
Amphotericin B dan flukonasol diberikan pada penderita-penderita dengan kecurigaan adanya
infeksi oleh jamur.
Antibiotik diberikan secara intravena dan lama pemberian bervariasi antara 2 4 minggu atau
lebih tergantung respon klinik dan jumlah absesnya.
Drainase perkutaneus
Sekarang ini banyak penulis yang menganjurkan drainase perkutaneus sebagai penanganan awal
pada semua abses hepar piogenik, terutama pada penderita-penderita dengan sakit berat yang
tidak dapat menjalani operasi.
Drainase perkutaneus dapat dilakukan dengan tehnik Seldinger atau trocar, dengan bantuan CT
atau USG. Angka keberhasilan berkisar antara 70 93 %, angka kematian antara 1 11 %.
Indikasi tindakan ini adalah abses soliter dan sederhana dengan akses drainase yang baik, tetapi
beberapa penulis melaporkan bahwa tindakan ini juga dapat dilakukan pada abses yang multipel.
Kontra indikasi tindakan ini antara lain koagulopati, abses sulit dicapai, multilobus, dan abses
dengan dinding yang tebal dan pus yang kental.
Drainase operatif
Bila penyebab dari abses hepar piogenik adalah akibat penyebaran infeksi dari organ
intraabdomen, maka laparotomi eksplorasi merupakan prosedur pilihan, karena dapat menangani
abses dan sumbernya. Indikasi lain prosedur ini adalah abses yang berlobus dan multipel, abses
yang tidak dapat dicapai dengan drainase perkutaneus, abses yang mengenai seluruh lobus hepar,
dan adanya kelainan pada traktus biliaris (batu atau striktur).
Pendekatan standar yang dipakai saat ini adalah transperitoneal. Dilakukan dengan insisi midline
untuk mempermudah evaluasi dan eksplorasi organ-organ intraabdomen. Setelah sumber infeksi
ditemukan maka dilakukan drainase dari abses. Abses diisolasi dari lapangan operasi, diaspirasi
untuk kultur lalu dibuka dengan kauter. Setelah dilakukan irigasi dari abses lalu diletakkan drai
hisap pada rongga abses tersebut.
Untuk abses yang terletak di posterior dan diatas kubah maka lebih mudah dipakai pendekatan
125

transtorasik (transpleural). Pada penderita-penderita dengan infeksi sekunder akibat keganasan


pada hepar, hemobilia, dan penyakit granulomatosa kronik dilakukan reseksi hepar.
Drainase transtorasik
A. insisi di posterior di atas kosta XII
B. tampak M. Lattisimus dorsi
C. insisi pada periosteum kosta XII
D. kosta XII disingkirkan lalu dasarnya diinsisi
E. diafragma dibebaskan lalu tampak peritoneum pada dasar diafragma
F. posisi drain secara skematik
Komplikasi
Terjadi pada 40 % penderita, berupa sepsis, efusi pleura, empiema, pneumonia dan peritonitis
(bila abses ruptur ke rongga abdomen). (1,6)
Prognosis
Dengan tehnik diagnosis yang moderen, antibiotik dan drainase perkutaneus yang cepat maka
angka kesembuhan mencapai 80 90 %.
Banyak faktor yang mempengaruhi jeleknya prognosis. Antara lain diagnosis yang terlambat,
tidak dilakukan drainase, infeksi primer tidak ditangani, penderita usia tua, keadaan-keadaan
dimana status imunitas penderita rendah, multipel abses, polimikrobial, kadar Hb < 11 g/dl,
bilirubin > 1,5 mg/dl, leukosit > 15.000/mm3, dan albumin < 2,5 g/dl.

Trauma Duodenum, Trauma Tumpul Abdomen,


Cidera Pankreaticoduodenale
MEKANISME TRAUMA
Trauma abdomen terjadi sebagai hasil dari trauma akselerasi-deselerasi dan trauma akibat luka
tembak. Kebanyakkan trauma abdomen apakah karena kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh,
pukulan langsung ke abdomen disebabkan oleh cedera akselerasi dan deselerasi. Pada saat tubuh
dalam keadaaan melaju/akselerasi dan tiba-tiba berhenti mendadak maka organ-organ
intraabdominal yang dalam keaadan terisi dengan cairan dapat robek dan mengalami avulsi
sehingga dapat menyebabkan robekkan mesenterium, perdarahan, ruptur lien dan avulsi pedikel
ginjal. Mayoritas cedera di duodenum adalah disebabkan oleh trauma tembus dan cedera ini
kebanyakkan di akibatkan oleh luka tembak (75 %) dan sisanya akibat luka tikaman (20%).
Cedera akibat tikaman pisau biasanya menyebabkan laserasi pada dinding duodenum,
sedangkan proyektil menghasilkan luka dengan derajat kerusakan jaringan yang berbeda-beda.
Trauma pada duodenum jarang terjadi, hanya kira-kira 5 % dari cedera yang terjadi pada
abdomen. Trauma pada duodenum dapat disebabkan oleh trauma tumpul dan trauma tembus.
Trauma tumpul biasanya disebabkan oleh karena kecelakaan lalulintas, jatuh atau dipukul.
Trauma tembus disebabkan oleh luka tikam atau luka tembak. Insiden bervariasi pada lokasi
anatomis dari duodenum dimana bagian yang paling sering terkena adalah bagian kedua (33%),
bagian ketiga dan bagian keempat (20%), bagian pertama (15%). Trauma tembus bisa terjadi
diseluruh bagian duodenum sedang pada trauma tumpul, mayoritasnya terjadi pada bagian kedua
dan ketiga.
126

Trauma proyektil memiliki tipe kecepatan yaitu kecepatan rendah dan kecepatan tinggi. Luka
akibat peluru dengan kecepatan rendah terbatas pada jalan peluru, namun tidak tertutup
kemungkinan arahnya akan melenceng di dalam abdomen. Luka peluru dengan kecepatan tinggi
mempunyai lubang masuk yang kecil dan lubang keluar yang besar. Kerusakan jaringan
tergantung jarak tembak. Jarak tembak yang dekat menyebabkan kerusakan jaringan yang luas,
sedangkan jarak tembak yang jauh menyebabkan kerusakan ringan kecuali langsung mengenai
organ atau pembuluh darah.
Daya kinetik yang kompleks pada trauma tumpul duodenum dapat menyebabkan bentuk luka
remuk, terpotong atau pecah. Bentuk cedera yang remuk terjadi akibat pukulan langsung ke
dinding anterior abdomen yang mengenai doudenum yang terfiksir terhadap kolumna vertebralis
yang rigid. Pukulan yang terlokalisir akan ditransmisikan ke duodenum yang teregang dapat
menyebabkan cedera tipe blow out. Pada kecelakaan lalulintas dengan laju kecepatan tinggi
mengalami mekanisme akselerasi /deselerasi yang cepat maka akan terjadi luka robek. Cedera
abdominal yang paling spesifik akibat penggunaaan sabuk pengaman adalah terjadinya Chances
fractur: fraktur di lumbal atas vertebra, paling sering adalah L-1, bersamaan dengan perforasi
usus halus (yang paling sering adalah yeyunum). Tetapi cedera abdomen karena sabuk
pengaman dapat menyebabkan laserasi kolon, usus besar, hepar & lien.
EVALUASI TRAUMA ABDOMEN
Pasien Yang Tidak Sadar
Jika pasien tidak sadar dengan trauma multipel, harus disimpulkan bahwa telah terjadi cedera
intraabdominal sehingga dapat disingkirkan dengan pemeriksaan yang spesifik. Cara tercepat
untuk menentukan cedera intraabdominal adalah dengan diagnostic peritoneal lavage (DPL)
setelah mengosongkan kandung kemih dengan kateter. Teknik yang dipilih adalah teknik terbuka
(open technique). Dilakukan insisi kecil di infraumbilikus dan diteruskan ke peritonium,
kemudian pegang menggunakan forsep dan buka melalui penglihatan langsung. Kemudian
kateter lavage dimasukkan. Jika tidak ada darah ditemukan, 1 liter cairan saline dimasukkan ke
dalam kavitas peritoneum dan kemudian dikeluarkan kembali. Hasil positif jika ada: 1) secara
makroskopik terdapat darah ; 2) adanya lebih dari 100.000 sel darah merah / mL; dan/atau 3)
mengandung cairan empedu, feses atau bakteri. Jika pasien tidak sadar dengan trauma multipel
yang stabil hemodinamikanya, terutama jika dicurigai dengan cedera organ abdominal,
pemeriksaan CT abdomen dipilih karena cedera lien atau hepar dapat dilihat.
Pasien Yang Sadar
Dengan pengetahuan tentang tanda dan gejala pada pasien yang sadar sangat membantu setiap
dokter. Pasien mungkin mengeluh adanya nyeri abdomen dan/atau mungkin menunjukkan tandatanda iritasi peritoneal yang jelas. Ukuran lingkaran abdomen yang meningkat secara terus
menunjukkan indikasi bagi perdarahan intraabdominal yang berat. Jika tidak ada tanda-tanda
peritonitis, belum tentu tidak terjadi cedera pada organ intra abdomen intraabdominal.Pada
pasien dengan hemodinamika yang stabil sebaiknya diamati tanda dan gejala pada abdomen
dengan pemeriksaan abdomen secara serial. Jika pasien yang memerlukan terapi operatif,
sebaiknya terlebih dahulu dilakukan peritoneal dialisis sebelum dilanjutkan tindakan bedah.
127

MORTALITAS
Dilaporkan bahwa cedera pada duodenum menunjukkan angka mortalitas yang bervariasi dari 5
25 % ( 15 %). Kebanyakan mortalitas pada pasien dengan cedera duodenum disebabkan
oleh cedera-cedera penyerta dari organ lain.Cedera tunggal pada duodenum merupakan
penyebab kematian pada minoritas kasus (6-12%). Kematian pada saat awal setelah suatu cedera
duodenum biasanya berhubungan dengan adanya cedera pada pembuluh darah besar. Dilaporkan
bahwa sebagian besar pasien yang meninggal menunjukkan gejala syok. Angka mortalitas juga
dipengaruhi oleh mekanisme trauma yang menunjukkan bahwa angka mortalitas pada trauma
tumpul sedikit lebih tinggi dibandingkan pada trauma tembus (20% versus 15 %).
Adanya cedera pada duktus bilier dan organ-organ utama yang berhubungan dengan pankreas
mempunyai resiko mortalitas 2 kali lebih tinggi di bandingkan cedera tunggal
duodenum.Keterlambatan dalam mendiagnosa cedera duodenum melebihi 24 jam akan
meningkatkan angka mortalitas samapi 40%.
DIAGNOSIS
Trauma Tembus
Diagnosis trauma tembus duodenum biasanya ditegakkan diatas meja operasi. Alur masuknya
pisau atau tembakan yang melewati duodenum membutuhkan visualisasi yang teliti dan perlu
eksplorasi yang menyeluruh dari duodenum untuk menyingkirkan kemungkinan cedera organ
lain.
Trauma Tumpul
Diagnosis trauma tumpul duodenum lebih sulit dibandingkan dengan trauma tembus. Dilaporkan
bahwa diagnosis sering terlambat di tegakkan sehingga pasien dengan kecurigaan trauma ini
memerlukan penanganan dan monitor oleh seorang ahli bedah yang berpengalaman. Trauma
tumpul duodenum jarang terjadi dan sangat sukar di diagnosis dibandingkan trauma tembus dan
dapat berdiri sendiri atau bersamaan dengan trauma pada pancreas. Keadaan kompresi pada
duodenum biasanya terjadi karena hentakkan antara tulang belakang dan setir, dashboard mobil
atau lainnya yang terletak di depan abdomen. Beberapa cedera yang berhubungan dengan
fraktur flexi atau distraksi pada vertebara L1-L2 (Chances fracture). Biasanya trauma
duodenum terjadi akibat tendangan atau pukulan pada epigastrium. Yang jarang terjadi adalah
akibat deselerasi yang bila terjadi biasanya menyebabkan robekkan pada perbatasan antara
bagian ke tiga dan ke empat duodenum, dan bahkan pernah di laporkan robekan terjadi pada
duodenum bagian pertama dan kedua.Trauma ini terjadi pada perbatasan bagian duodenum yang
bebas (intraperitoneal) dan bagian yang terfiksir (retroperitoneal).Bila ada kecurigaan maka
dasar untuk menegakan diagnosa adalah perlu diketahui mekanisme trauma serta permeriksaan
jasmani.
Perubahan klinis yang pada awal terjadi cedera tidak terlihat jelas dan akan tampak bila keaadan
memberat dan berkembang menjadi peritonitis dan mengancam nyawa. Pada perforasi
retroperitoneal yang masif, keluhan yang muncul hanyalah kekakuan pada abdomen bagian atas
128

dengan peningkatan suhu yang progresif, takikardi, dan terkadang terdapat keluhan mual.
Setalah beberapa jam isi duodenum akan mengalami ekstravasasi kedalam kavum peritoneum
dan berkembang menjadi peritonitis. Bila isi tumpah kedalam kantong yang lebih kecil, biasanya
akan terbungkus dan terlokalisasi, walaupun terkadang dapat bocor kedalam cavum peritonium
melalui foramen Winslowi dan akhirnya timbul peritonitis generalisata.
Secara teori, perforasi duodenum dihubungkan dengan kebocoran amilase dan enzim pencernaan
lainnya, dan telah di kemukakan bahwa penentuan konsentrasi serum amilase dapat membantu
dalam diagnosis. Pada cedera duodenum, akibat kebocoran konsentrasi amilase bervariasi dan
konsentrasi amilase seringkali membutuhkan waktu beberapa jam sampai hari untuk meningkat
setelah cedera. Pemeriksaa serial terhadap kadar serum amilase sensitivitasnya masih lemah
tetapi penting dilakukan karena turut mempengaruhi penanganan.
Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosa.Tanda radiologi cedera
duodenum. Foto polos abdomen dapat memperlihatkan udara di sepanjang ginjal kanan atau
sepanjang tepi muskulus psoas kanan atau anterior sampai ke tulang belakang bagian atas dan
udara bebas intraperitoneal, gas dalam saluran empedu (walaupun jarang terlihat). Hilangnya
garis psoas kanan disertai udara retroperitoneal yang sering susah dibedakan dengan udara pada
colon transversum atau fraktur processus tranversus pada vertebra lumbalis merupakan indikasi
adanya trauma retroperitoneal. Pemeriksaan serial dengan Meglumine ( Gastrografin, Schering,
Berlin, Germany) material yang larut air melalui NGT dibawah kontrol fluoroskopi dengan
posisi pasien lateral kanan, memberikan hasil yang positif pada 50 %. Bila tidak ada kelainan,
dilanjutkan dengan posisi supine dan posisi lateral kiri. Bila hasil gastrografin negatif, harus
diikuti dengan kontras barium, karena dapat dengan mudah mendeteksi perforasi yang kecil.
Pemeriksaan saluran cerna bagian atas dengan media kontras juga dapat diindikasikan pada
pasien dengan kecurigaan hematom duodenum, karena dapat memperlihatkan gambaran coiled
spring sebagai obstruksi total oleh hematom.
CT scan di tambahkan sebagai alat diagnostik untuk cedera duodenum. Kecurigaan ruptur
duodenum retroperitoneal paling baik dikonfirmasi dengan CT-scan abdomen dengan kontras.
CT sangat sensitif dengan adanya sejumlah kecil udara pada retroperitoneal, darah atau zat
kontras yang mengalami ekstravasasi. Adanya penebalan dinding periduodenal atau hematoma
tanpa ekstravasasi kontras harus di periksa dengan pemeriksaan gastrografin dan pemeriksaan
kontras barium jika hasil pemeriksaan awal negatif atau normal. Para peneliti menekankan
bahwa gambaran trauma duodenum yang tidak khas / samar pada CT abdomen sebaiknya
diindikasikan untuk tindakkan laparotomi.
DPL tidak dapat dipercaya dalam mendeteksi trauma duodenum ( isolated injury) dan trauma
retroperitoneal lainnya. Tapi DPL (40%) berguna untuk mendeteksi cedera penyerta
intraabdominal. Penemuan amilase atau empedu pada DPL menunjukan indikator spesifik akan
kemungkinan cedera duodenum.
Laparoskopik diagnostik tidak memberikan perkembangan yang berarti dalam mendiagnosis
cedera duodenum dan karena letak anatomi dan laparoskopik diagnostik memiliki modalitas
yang kurang baik untuk mengevaluasi cedera organ tersebut. Eksplorasi laparotomi masih

129

menjadi tes diagnostik yang paling baik untuk kecurigaan adanya suatu trauma duodenum
walaupun gambaran radiologinya normal.
KLASIFIKASI TRAUMA DUODENUM (AAST)
Grade
I

Deskripsi cedera
Hematoma
Laserasi

II

III

melibatkan satu segmen duodenum


laserasi sebagian ketebalan dinding, tidak ada perforasi

Hematoma

melibatkan lebih dari satu segmen duodenum

Laserasi

laserasi < 50% sirkumferensi

Laserasi

laserasi 50 sampai 75% sirkumferensi D2


50 sampai 100% sirkumferensi segmen D1,D3,D4

IV

Laserasi

laserasi >75% sirkumferensi D2


Melibatkan ampulla vater atau distal saluran empedu

Laserasi
Vaskular

laserasi luas dari kompleks duodenumpankreatico


devaskularisasi duodenum

TERAPI
Penanganan trauma duodenum ditentukan melalui beratnya trauma dan kemungkinan komplikasi
setelah operasi. Sekitar 70- 80 % cedera duodenum dapat dijahit primer dan sekitar 20-30 %
merupakan cedera berat yang memerlukan prosedur yang kompleks. Cedera duodenum yang
ringan dan tanpa cedera pada pankreas dapat dijahit primer sedangkan cedera duodenum yang
berat memerlukan strategi yang lebih kompleks. Ada 5 faktor yang berhubungan dengan
keparahan cedera duodenum dan morbiditas dan mortalitas. Dan terdapat faktor keenam yaitu
adanya cedera pada pankreas.
DETERMINAN KEPARAHAN CEDERA DUODENUM
American Association for the Surgery of Trauma (AAST) Organ Injury Scaling Committee.
Cedera duodenum dibagi atas 4 grade. Penjahitan primer dapat dilakukan pada cedera grade I
dan II, sedangkan cedera grade III-V memerlukan strategi yang lebih kompleks.
NO

DERAJAT

Determinant keparahan Cedera Duodenum

130

RINGAN

BERAT

Agent

Luka Tusuk

Tumpul / Peluru

Ukuran

< 75% Diameter

>75% Diameter

Lokasi Duodenum

Pars III, IV

Pars I, II

Waktu cedera-Operasi

< 24 Jam

> 24 Jam

Cedera Penyerta

Tidak ada

Ada ( Pankreas, CBD, dll

Prognosis : Mortalitas

0%

6%

Mobiditas

6%

14 %

Hal yang perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan pertimbangan anatomis dan fisiologinya
adalah lokasi duodenum dan pembagiannya, Hubungan anatomis dengan ampula vater,
Karakteristik cedera (laserasi simpel, destruksi dinding duodenum), Keterlibatan sirkumferensial
duodenum, Adanya cedera traktus biliaris, pankreas dan pembuluh darah besar. Perhitungan
waktu dimulainya operasi sangat penting karena angka kematian meningkat dari 11 ke 40% bila
interval waktu operasi lebih dari 24 jam. Sebaiknya yang paling awal dilakukan adalah
memastikan letak proksimal dan distal dari Aorta serta distal dari vena cava inferior sebagai
kontrol. Awalnya manuver Kocher di lakukan dengan memisahkan perlengketan peritoneum
lateral dari duodenum dan memobilisasi bagian kedua dan ketiga duodenum ke medial dengan
kombinasi diseksi tajam dan tumpul. Cara masuk kedalam kandung empedu melalui ligamentum
gastrokolika akan mencapai ke aspek posterior dari bagian proksimal bagian pertama duodenum
dan aspek medial bagian kedua duodenum. Inspeksi yang lebih baik untuk bagian ke tiga dan
keempat duodenum, dengan mobilisasai lig.Treitz dan melakukan manuver Cattell dan
Braasch, dengan mobilisasi kolon kanan (termasuk flexura hepatika) dari kanan ke kiri sehingga
kolon kanan dan usus halus dapat dilihat, dengan insisi secara hati-hati pada perlekatan di
retroperitoneal dari kuadran kanan ke lig.Treitz.
Bila hasil eksplorasi negatif, tetapi masih terdapat kecurigaan akan cedera duodenum, Brotman
dkk merekomendasikan pemberian metilen blue melalui NGT. Bila terlihat berwarna (+),dapat
dipastikan lokasi cedera.
Secara sederhana duodenum dapat dibagi menjadi bagian atas yang termasuk bagian I dan II
serta bagian bawah yaitu bagian III dan IV. Bagian atas memiliki struktur anatomis yang
kompleks (termasuk duktus biliaris dan spincter) dan pilorus. Hal ini membutuhkan manuver
langsung untuk mendiagnosa cedera tersebut (cholangiogram, inspeksi visual secara langsung)
dan teknik yang kompleks untuk memperbaiki defek. Bagian I dan II duodenum memiliki
vaskularisasi yang padat dan aliran darahnya bergantung pada kaput pankreas, sehingga
diagnosis dan penanganan setiap cedera sangat kompleks. Bagian bawah relatif simpel untuk
ditangani sama seperti penanganan cedera pada usus halus,termasuk debridement, reseksi dan
reanastomosis. Cedera transeksi duodenum yang komplit, debridemant tepi mukosa dan
131

penjahitan primer harus dilakukan . Jika mobilisasi dari kedua ujung duodenum tidak mungkin
dilakukan, atau cedera sangat dekat dengan ampulla dan mobilisasi kedua ujung duodenum dapat
membahayakan saluran empedu, maka Roux-en-Y jejenum anastomose merupakan pilihan yang
cocok.
Hematom intramural (grade I)
Cedera duodenum yang jarang, lebih banyak terjadi pada anak-anak yang mengalami trauma
pada abdomen bagian atas, oleh karena fleksibilitas dan kelenturan otot dinding perut anak.
Cedera ini dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah dalam lapisan submukosa dan
subserosa dinding duodenum, yang memperlihatkan bentuk seperti sosis dan dapat menimbulkan
obstruksi duodenum parsial atau komplit. Foto polos abdomen akan memperlihatkan bayangan
massa tak jelas pada kuadran kanan atas dan obliterasi bayangan psoas kanan. Pemeriksaan
serial traktus gastrointestinal atas memperlihatkan dilatasi lumen duodenum seperti gulungan
kumparan pada bagian kedua dan ketiga duodenum yang berhubungan dengan banyaknya
valvula koniventes. Diagnosis dapat dibuat dengan CT-scan double kontras atau pemeriksaan
saluran cerna bagian atas dengan menggunakan kontras (meglumine diatrizoate), diikuti dengan
pemeriksaan barium untuk mendeteksi tanda coiled- spring sign atau stacked coin sign. Tanda ini
adalah karakteristik untuk hematom duodenum intramural.
Cedera ini biasanya ditangani tanpa pembedahan dan hasil terbaik biasanya diperoleh melalui
pengobatan konservatif, apabila cedera yang lain dapat dikesampingkan. Setelah penanganan
konservatif selama 3 minggu dengan aspirasi NGT secara kontinyu dan nutrisi parenteral total.
Bila tanda obstruksi tidak meredah/ sembuh spontan, pasien kembali dievaluasi dengan
pemeriksaan kontras saluran cerna bagian atas dengan interval 5-7 hari. USG dapat juga
dilakukan untuk follow up resolusi hematom duodenum. Bila tidak ada perkembangan maka
disarankan tindakkan laparotomi untuk menyingkirkan adanya perforasi duodenum atau cedera
kaput pankreas (pada sekitar 20% pasien) yang juga dapat menjadi penyebab alternatif untuk
terjadinya obstruksi duodenum. Pada penelitian 6 kasus hematom duodenum dan yeyunum
akibat trauma tumpul, hematom mengalami resolusi tanpa tindakan operasi sebanyak 5 kasus,
durasi lama rawat rat-rata 16 hari ( antara 10- 23 hari) dan durasi nutrisi parenteral total rata-rata
9 hari ( antara 4-16 hari). Pada kasus ke 6 pemeriksaan serial abdomen bagian atas
mempelihatkan adanya obstruksi yang gagal mengalami resolusi setelah penanganan konservatif
selama 18 hari dan pada saat dilakukan laparotomi ditemukan striktur pada yeyunum dan kolon
karena terbentuk fibrosis, tetapi akhirnya dapat direseksi dengan sukses.
Hematom intramural yang besar yang melibatkan dua atau lebih segmen jarang sembuh secara
spontan. Penanganan hematom intramural ditemukan pada laparotomi kontroversial. Salah satu
pilihan yaitu dengan melakukan insisi longitudinal sepanjang serosa kebatas antemesenterika,
membuka serosa, mengevakuasi hematom dan serosa yang melekat ke lapisan muskular tanpa
merusak mukosa dan dengan hati-hati memperbaiki dinding usus dengan melakukan penjahitan
menggunakan jahitan interuptus 4-0. Perlu diperhatikan bahwa hal ini dapat menimbulkan sedikit
robekan bahkan sampai robekan yang tebal pada dinding duodenum. Bila hal itu terjadi maka
diperlukan dekompresi gastrik yang lama bahkan feeding yeyunostomi sebaiknya di buat. Pada
kasus ini drainase tidak diperlukan. Pilihan lain adalah dengan hati-hati mengeksplorasi

132

duodenum untuk menyingkirkan perforasi. Drainase perkutaneus terhadap hematom duodenum


sudah pernah dilaporkan.
Perforasi Duodenum (grade II)
Sebagian besar perforasi duodenum dapat ditangani dengan prosedur operasi yang sederhana,
terutama untuk kasus trauma tembus dimana interval waktu antara trauma dan operasi harus
singkat. Metoda perbaikan cedera duodenum dan prosedur supportif untuk pencegahan dehisensi
akan di jelaskan berikut ini.
Laserasi berat duodenum ditutup secara primerdebridement minimal. Lapisan dalam ditutup dengan
jahitan absorbel 4-0. Diikuti jahitan seromuskular nonabsorbel interuptus 4-0. Luka obliq atau
longitudinal ditutup sesuai arah cedera dengan jahitan sekaligus lapisan serosa,muscular dan
submukosa. . Laserasi simpel pada duodenum dapat ditutup primer. Laserasi sepanjang axis duodenum
dapat dijahit longitudinal atau transverse. Penjahitan secara transverse lebih disukai oleh karena bisa
terjadi penyempitan lumen apabila penjahitan secara longitudinal.

Repair Perforasi
Kebanyakkan cedera duodenum dapat diperbaiki dengan repair primer satu atau dua lapis.
Penutupan dapat dilakukan secara tranversal, jika memungkinkan hindari kontak dengan lumen
dan dalam penjahitan hindari juga inversi yang berlebihan. Duodenotomi longitudinal dapat
menyerupai tranversal bila panjang cedera duodenum <50% lingkar duodenum. Bila penutupan
primer dapat merusak lumen duodenum, maka ada beberapa pilihan yang direkomendasikan.
Pedicled mucosal graft menggunakan segmen yeyunum atau dengan flap gastric island dari
corpus gastricum yang dianjurkan untuk defek duodenum yang lebar. Kemungkinan lain adalah
menggunakan tambahan dari serosa yeyunum untuk menutup defek duodenum. Walaupun cukup
memuaskan dalam penelitian, aplikasi klinik kedua metoda ini sangat terbatas dan pernah
dilaporkan terjadi kebocoran pada garis sutura duodenum. Meletakan loop yeyunum diatas
daerah yang cedera seperti serosa yeyunum untuk melapisi duodenum juga bisa disarankan.
Laserasi dan Transeksi Duodenum (grade III)
Pada transeksi duodenum komplit, metoda perbaikan yang lebih di sukai adalah anastomosis
primer. Anastomosis primer dapat dilakukan setelah tepi mukosa dapat di debridement,
duodenum dapat dimobilisasi, selain itu bila kehilangan jaringan minimal, bila ampula tidak
terlibat dan efek dapat ditutup tanpa tension. Perforasi duodenum sederhana ditutup dengan
jahitan simpul kontinyu dengan benang 3-0 yang dapat diserap, melalui seluruh lapisan dinding,
diikuti pada lapisan luar dengan jahitan matras terputus dengan benang yang tidak dapat diserap
pada lapisan seromuskular. Cara ini biasanya dilakukan untuk kasus cedera duodenum pars I,III
dan IV dimana teknik mobilisasinya tidak sulit.
Grade III. Transeksi pada duodenum diterapi dengan debridement dan

133

penjahitan end to end

a.Pada cedera dengan transeksi lengkap dari D1,D2 dan D3 dapat diperbaiki dengan anastomosis
primer end to end.
b.Anastomosis 2 lapis dilakukan dengan menjahit dinding posterior dengan jahitan seromuskular
interuptus
c.Jepit duodenum dengan klem usus untuk menghindari tumpahnya isi usus sewaktu penjahitan
lapisan dalam
d.Penjahitan seromuskular pada dinding anterior menggunakan jahitan matras horizontal atau
teknik Lambert
Namun demikian apabila terdapat sejumlah besar kehilangan jaringan dan aproksimasi ujung
duodenum tidak bisa di lakukan karena kemunginan terjadi tension dan bila kasus transeksi
komplit ini terjadi pada bagian pertama duodenum maka dilakukan anterectomi dengan
penutupan stump duodenum dan gastroyeyunostomi (Billroth II).
Apabila mobilisasi tidak adekuat sehingga bisa menyebabkan cedera pada CBD dan bila trauma
dekat dengan ampulla Vater ,maka pilihan yang paling mungkin adalah penutupan duodenum
distal dan anastomose Roux-en-Y duodenoyeyunal dapat dilakukan. Mobilisasi bagian kedua
duodenum terbatas oleh adanya pembagian asupan darah dengan caput pankreas. Anastomosis
direk ke loop Roux-en-Y diatas defek duodenum secara end to side merupakan cara terpilih. Hal
ini dapat juga di lakukan sebagai metoda alternatif penanganan operasi pada defek ekstensif pada
bagian lain duodenum saat anastomosis primer tidak dapat dilakukan.
Pada transeksi yang luas dengan udem atau inflamasi, loop Roux-en-Y pada yeyunum dapat
digunakan untuk menutup defek
Ruptur duodenum yang extensive dapat diterapi dengan reseksi dan end to end Roux-en-Y
duodenojejunostomy.
Alternatif lain adalah dengan mengunakan patch dari yeyunum untuk menutupi defek yang besar
sebagai graft serosa. Patch repair dengan mukosa yeyunum (mucosal jejunal patch repair) jarang
dilakukan.
Cedera duodenum yang tidak dapat direpair secara primer tanpa mengakibatkan penyempitan
dari lumen dapat direpair dengan tehnik serosa patch. Serosa dari jejenum dijahit pada tepi defek
duodenum. Studi experimental memperlihatkan bahwa serosa yang terekspose ke dalam lumen
duodenum akan ditutupi oleh epitel.
Alternatif penggunaan serosa patch pada cedera duodenum yang berat dengan menggunakan
pedicle graft (A sampai D). Graft dapat diambil dari corpus gaster atau dari jejenum. Defek
duodenum yang besar dapat ditutup seperti pada gambar E. Segment jejenum direpair secara end
to end anastomosis. Pankreotikoduodenektomi hanya dilakukan pada trauma duodenum bila
terjadi perdarahan pankreas yang tidak terkontrol atau bila trauma duodenum bersama-sama
dengan trauma CBD distal atau duktus pankreatikus. Drainase external juga sangat diperlukan
134

karena mampu mendeteksi dan mengontrol adanya fistula duodeni. Drain sebaiknya sederhana
dari karet silikon lunak, sistim tertutup dan diletakan dekat dengan lokasi defek yang diperbaiki.
CEDERA PANKREATIKODUODENAL
Cedera hebat pada pancreas dan duodenum jarang terjadi. Pada suatu studi yang dilaporkan
antara tahun 1981-1990 hanya 48 (3%) dari 1404 pasien yang dilakukan tindakan
pancreaticoduodenectomi.Trauma gabungan ini paling sering disebabakan oleh trauma tembus
dan terjadinya di hubungkan dengan trauma multipel pada abdomen.
Cedera pancreatikoduodenal dihubungkan dengan tingginya angka mortalitas. Dilaporkan bahwa
angka mortalitas pada kasus cedera pankreatikoduodenal adalah sebanyak 30-35%. Cedera ini
sering dikaitkan dengan cedera hebat pada vaskularisasi mayor dari kaput pancreas, perdarahan
dan syok dimana cedera pada vaskular merupakan penyebab kematian tersering. Bahkan cedera
ringan pada pankreas meningkatakan angka morbiditas dalam hubungannya dengan cedera pada
duodenum. Beberapa penulis melaporkan beberapa teknik simpel yang banyak digunakan untuk
penatalaksanaan trauma tersebut adalah penjahitan duodenum dan kapsul pankreas dengan
drainase luas, beberapa prosedure tambahan seperti divertikulasi duodenal dan eksklusi pilorik.
Hal penting dalam penatalaksanaan cedera kombinasi pankreatikoduodenal adalah perlu
diketahui keadaan pankreas dan duktus biliaris. Adanya cedera pada duktus biliaris dapat di
identifikasi dengan chlolangiografi, dilanjutkan dengan choledochotomi atau melalui duktus
sistikus setelah cholecystectomi. Penilaian terhadap keadaan dari duktus pankreatikus adalah
sangat sulit. Pada saat lokasi cedera pada duodenum ditemukan dengan kecurigaan adanya
cedera pada duktus pankreatikus, kanulasi pada duktus ke defek di duodenum dan
pankreatografi retrograde dapat dengan mudah dikerjakan. Pada kasus-kasus dimana duodenum
intak dan adanya kecurigaan terdapatnya cedera pada duktus pankreatikus, maka dilakukan
retrograde pancreatography dilanjutkan dengan pertimbangan dilakukannya duodenotomy atau
antegrade pancreatography setelah amputasi cauda pankreas dapat di usulkan. Cedera
pankreatikoduodenal yang mengakibatkan kerusakkan pada duktus pankreatikus di caput
pankreas merupaka masalah yang sulit. Cedera ini sering menimbulkan syok akibat cedera pada
vaskuler atau adanya feses akibat cedera pada kolon. Banyak penulis mengindikasikan tindakan
pankreatikoduodenektomi untuk kasus-kasus cedera berat tersebut.
Penatalaksanaan
Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, hyponatremia, koagulopati dan asidosis ,
yang pertama dilakukan adalah kontrol perdarahan, berikutnya kontrol dan penanganan terhadap
saluran cerna dan kontaminasi bakteri dan yang terakhir adalah identifikasi lokasi cedera.
Resusitasi selanjutnya dilakukan di ICU dan bila stabil direncanakan untuk tindakan defenitif
berupa rekonstruksi dan anastomosis( umumnya 24-48 jam kemudian).
Cedera pada pankreas dan duodenum yang terjadi bersamaan harus ditangani secara
terpisah.Beberapa cedera yang berat membutuhkan prosedur yang rumit. Feliciano dkk
melaporkan pengalaman pada cedera pankreas dan duodenum dan mengusulkan bahwa :

135

1. Cedera duodenum yang simpel tanpa cedera duktus pankreatikus (grade I & II) ditangani dengan
perbaikan primer dan drainase
2. Grade III, cedera duodenum dan pankreas, paling baik di tangani dengan reseksi kedua organ,
eksklusi pylorus, gastroyeyunostomi, dan penutupan
3. Grade IV & V,cedera duodenum dan pankreas paling baik di tangani dengan
pancreaticiduodenectomi

Pilihan terapi terbaik diberikan kepada pasien yang ditentukan oleh integritas dari distal CBD
dan ampulla sesuai beratnya trauma pada duodenum. Untuk alasan ini, maka setiap pasien
dengan kombinasi cedera pancreas dan duodenum dilakukan cholangiography, pancreatography
dan evaluasi ampulla. Jika CBD dan ampulla intak, duodenum dapat ditutup secara primer.
Apabila status dari duktus pankreatikus tidak dapat dinilai selama intraoperatif dilakukan
drainase external luas pada caput pankreas dan pemasangan drain hisap dari pada tindakan total
pankreatektomi, diikuti dengan tindakan ERCP atau MRP segera setelah postoperasi. Cedera
ekstensif lokal intraduodenal atau duktus biliaris intrahepatik mengharuskan tindakan
pankreatikodudenektomi. Cedera lokal yang kurang ektensif dapat ditangani dengan tindakan
stenting intraluminal, spincteroplasty atau reimplantasi ampula Vater.
Pankreatikoduodenektomi merupakan prosedur operasi besar yang harus dilatih dalam situasi
trauma, jka tidak ada alternatif lain. Rekonstruksi dapat dilakukan dalam 48 jam saat pasien
sudah stabil. Indikasi untuk melakukan pankreatioduodenektomi adalah terdapatnya kerusakan
hebat dari kompleks pankreatikoduodenal, devaskularisasi duodenum dan terkadang adanya
cedera ekstensif pada bagian ke dua dari duodenum yang melibatkan ampulla dan bagian distal
duktus biliaris.
Peranan pankreatikodudenektomi di gambarkan oleh Walt ; pada akhirnya apakah Whipple atau
bukan Whipple menjadi pertanyaan. Pada lesi destruktif masif yang melibatkan pankreas,
duodenum dan duktus biliaris, keputusan untuk melakukan pankreatikoduodenektomi tidak
dapat dilakukan. Dan faktanya adalah banyak keputusan harus diambil cepat, dan faktor
psikologi pasien menjadi penentu dalam pengambilan keputusan.
Divertikulasi Duodenum
Pertama kali diperkenalkan oleh Berne dkk pada tahun 1968, sebagai terapi tambahan yang
digunakan dalam kasus cedera duodenum yang berat atau cedera kombinasi antara pankreas dan
duodenum. Teknik ini diciptakan untuk mengeksklusi duodenum yang sedang diperbaiki dan
menjadi jalan dari isi gaster. Operasi kombinasi ini terdiri dari antrektomi gaster(Gastrektomi
Billroth II distal) , penutupan bagian pertama dari duodenum, gastroyeyunostomy, vagotomy dan
tube duodenostomy. Tube duodenostomy dipasang untuk mengurangi kemungkinan gangguan
pada garis jahitan duodenum. Dalam kasus cedera kandung empedu ,dilakukan juga tube
choledocostomy. Drainase eksterna juga dilakukan dengan menempatkan selang pada bagian
yang di perbaiki.Laporan susulan (follow up) oleh Berne dkk mendokumentasiakan angka
mortalitas 16 % pada pasien yang dilakukan terapi ini. Secara teori, kelebihan divertikulasi
adalah terbentuknya end fistula yang akan tertutup dengan sendirinya. Kekurangan dari
divertikulasi duodenum adalah tidak boleh dilakukan pada pasien trauma dengan hemodinamik
yang tidak stabil atau pasien dengan cedera multipel.
Cedera duodenum dan panceoticoduodenal sering membutuhkan diversi dari isi gaster menjauhi
136

daerah yang telah direpair. Hal ini dapat dicapai secara permanen dengan apa yang disebut
sebagai duodenal diverticulation. Hal ini meliputi antrectomy dengan gastrojejunostomy, truncal
vagotomy, tube duodenostomy,dan drainase external dari bagian duodenum yang telah direpair.
Tube choledochostomy dapat ditambahkan apabila cedera duodenum terjadi pada bagian
ampulla.
Eksklusi Pylorus
Teknik eksklusi pylorus dilaporkan oleh Vaugan dkk pada tahun 1977 sebagai metoda untuk
mendapat hasil yang sama dengan teknik divertikulasi dengan lebih mudah. Eksklusi pylorus
disarankan sebagai alternatif dari teknik divertikulasi dengan keuntungan waktunya lebih
pendek dan prosedur yang reversibel. Setelah perbaikan luka duodenum, dan penempatan selang
dekompresi ,gastrotomi dibuat di antrum sepanjang curvatura mayor.Cincin pylorus yang kuat
mencengkram dinvaginasi keluar gaster selama gastrotomy dan pylorus dijahit kuat dari dalam
dengan menggunakan benang nonabsorable dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya
ulcerogenic retained antrum syndrome. Dan sebagai alternatif dapat juga ditutup dengan barisan
stepler yang dapat ditempatkan secara melintang atau di bawah pylorus dengan alat stapling.
Kemudian dilakukan loop gastroyeyunostomy. Vagotomy tambahan masih kontroversial.
Penutupan cincin pylorus akan rusak dalam beberapa minggu dan kontuinitas gastrointestinal
akan kembali baik. Perhatian tidak perlu ditujukan pada tindakan penutupan pylorus apakah
dengan benang atau dengan stapler tetapi pada potensi terjadinya suatu ulcerogenic pada
tindakan eksklusi pylorus. Walaupun tindakan ini ulcerogenik, namun insiden ulserasi marginal
pada pasien yang di rawat adalah rendah dilaporkan pada 10 % kasus. Fistula duodenum dapat
tetap ada setelah eksklusi pylorus dan perlu diperhatikan bahwa spincter yang terbuka spontan
akan memberikan efek negatif terhadap penutupan fistula.
Eksklusi pylorus adalah teknik yang mudah, kurang radikal dan lebih cepat dari divertikulasi
duodenum dan tampak efektif untuk melindungi duodenum yang telah di perbaiki. Dari foto
kontras gastrointestinal menunjukan bahwa pylorus terbuka kembali setelah beberap minggu.
Suatu teknik yang menarik untuk kontrol terbukanya kembali pylorus setelah eksklusi pylorus
dilaporakan oleh Fang dkk. Penggunaan octrectide dalam melindungi garis suture pada
pancreatikoduodenektomi terlihat cukup menguntungkan. Penggunaanya setelah trauma
duodenum untuk proteksi luka duodenum di sarankan oleh Mullins dkk.
Prosedur yang sangat berguna pada cedera duodenum dan pankreotikoduodenal adalah eksklusi
pylorus. Melalui suatu gastrostomy pda daerah distal gaster, pylorus dijahit dengan benang
nonabsorbel. Alternatif lain, dapat digunakan stapler pada duodenum distal dari pylorus.
Kemudian dilakukan gastrojejunostomi.
DIVERSI DUODENUM
Trauma duodenum dengan resiko tinggi, setelah repair akan dikuti oleh insidensi terjadinya
dehisensi.Untuk melindungi luka post repair,isi saluran cerna dengan enzim proteolitiknya dapat
dialihkan,praktis dan memudahkan penanganan fistula duodenum.

137

Dekompresi Duodenum
Dekompresi intraluminal duodenum tube adalah teknik tertua yang digunakan untuk dekompresi
duodenum dan diversi isi duodenum untuk mempertahankan integritas duodenografi.
Diperkenalkan untuk trauma oleh Stone & Geroni sebagai Triple ostomy yaitu tube gastrotomy
untuk decompresi gaster, yeyunostomi untuk dekompresi duodenum dan antegrad yeyunostomy
untuk nutrisi pasien. Yeyunostomy feeding pada cedera duodenum dan trauma abdomen yang
luas ( index trauma abdomen >25) sangat disarankan.
Cedera duodenum yang berat dan telah dilakukan anastomosis sering memerlukan prosedur
tambahan untuk memproteksi anastomosis. Cara yang paling sederhana ialah dengan
menggunakan duodenostomy tube.
Terapi pada cedera duodenum yang berat adalah repair primer, gastostomy, retrograde
duodenostomy,dan feeding jejunostomy. Dengan terapi seperti ini insidens fistula sangat rendah

Ulkus Peptikum
DEFINISI
Disebut tukak robekan mukosa berdiameter 5 mm kedalaman sampai submukosa dan
muskularis mukosa atau secara klinis tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan lebih
dalam dengan diameter 5 mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis. Robekan
mukosa < 5 mm disebut erosi dimana nekrosis tidak sampai ke muskularis mukosa dan
submukosa.
ETIOPATOGENESIS
Terjadinya oleh karena ketidakseimbangan antara faktor agresif yang dapat merusak mukosa dan
faktor defensif yang memelihara keutuhan mukosa lambung dan duodenum.
1. Infeksi Helicobacter Pylori
Sekitar 90% dari tukak duodenum dan 75 % dari tukak lambung berhubungan dengan infeksi
Helicobacter pylori.Helicobacter Pylori,adalah bakteri gram (-),hidup dalam suasana asam pada
lambung /duodenum,bentuk kurva S,ukuran panjang sekitar 3m dan diameter 0,5m, punya 1
flagel pada salah satu ujungnya, terdapat hanya pada lapisan mucus permukaan epitel antrum
lambung, karena pada epithelium lambung terdapat reseptor adherens in vivo yang dikenali oleh
H.Pylori, dan dapat menembus sel epitel/antar epitel. Tiga mekanisme terjadinya tukak peptik
adalah :

Memproduksi toksik local tissue injury

- Sitotoksin(vacuolating cytotoxinVac A Gen) rusak mukosa gastroduodenal.


- Enzim(urease, protease, lipase dan fospolipase) Merusak sel epitel.
138

Urease memecahkan urea menjadi amonia sel epitel rusak.


Protease & fospolipasemenekan sekresi mukus daya tahan mukosa menurun asam
lambung berdifusi balik nekrosis tukak peptik.
N-Histamin methyltranferase Enzim ini menghasilkan N-methylhistamin,yang
menstimulasi sekresi asam lambung dan pepsin permeabilitas kapiler terhadap protein
Mukosa edema dan ptotein plasma menghilang perdarahan interstitial. Diduga kadar asam
yang rendah pada analisis lambung akibat meningkatnya difusi balik bukan karena berkurangnya
produksi.

Menginduksi respon imun lokal pada mukosa.

Terjadi kegagalan respon inflamasi dan reaksi imun untuk mengeliminasi bakteri ini melalui
mobilisasi melalui mediator inflamasi & sel-sel limfosit/PMN.

Meningkatkan level gastrin meningkatkan sekresi asam.

Kerusakan sel D yang mengeluarkan somatostatin,untuk mengerem produksi gastrin produksi


gastrin meningkat rangsang sel parietal mengeluarkan >> asam lambung masuk duodenum
Tukak Duodenum.
2. Sekresi Asam Lambung
Normal kira-kira 20 mEq/jam. Pasien tukak duodenum dapat mencapai 40 mEq/jam. Pasien
tukak duodenum memiliki dalam Basal Acid Output dan Maximal Acid Output.
3. Pertahanan Mukosal Lambung
Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS),alkohol,garam empedu,dan zat-zat lain dapat
menimbulkan kerusakan pada mukosa lambung Difusi balik asam klorida kerusakan
jaringan,khususnya pembuluh darah.
Penggunaan OAINS, menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam
arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin. Kerusakan mukosa akibat hambatan
produksi prostaglandin pada penggunaan OAINS melalui 4 tahap yaitu :
Menurunkan sekresi mukus dan bikarbonat yang dihasilkan oleh sel epitel pada lambung dan
duodenumpertahanan lambung dan duodenum
Terganggunya sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa.
Berkurangnya aliran darah mukosa.Hambatan COX-1 akan menimbulkan vasokonstriksi
sehingga aliran darah menurun dan terjadi nekrosis sel epitel.

139

Kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh kerjasama platelet dan mekanisme koagulasi.
Hambatan pada COX-2 peningkatan perlekatan leukosit PMN pada endotel vaskuler
gastroduodenal dan mesentrik, dimulai dengan pelepasan protease,radikal bebas oksigen
kerusakan epitel & endotel statis aliran mikrovaskular iskemia tukak peptik.
Tukak lambung memiliki beberapa tipe,yaitu :

Tipe 1,yang paling sering terjadi.Terletak pada kurvatura minor atau proximal insisura,dekat
dengan junction mukosa onsitik dan antral.
Tipe 2, lokasi yang sama dengan tipe 1 tapi berhubungan dengan tukak duodenum
Tipe 3,terletak pada 2 cm dari pilorus (pyloric channel ulcer)
Tipe 4,terletak pada proksimal abdomen atau pada cardia

DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Sekitar 90% dari penderita mengeluh nyeri pada epigastrium, seperti terbakar disertai mual,
muntah, perut kembung, berat badan, Hematemesis, Melena dan anemia.
Pemeriksaan Penunjang
Gold Standar adalah pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas ( UGIE-Upper
Gastrointestinal Endoscopy) + biopsi lambung (untuk deteksi kuman H.Pylori, massa
tumor?,kondisi mukosa lambung?
1. Pemeriksaan Radiologi.
Barium Meal Kontras Ganda dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis tukak peptik
berupa kawah, batas jelas disertai lipatan mukosa teratur dari pinggiran tukak dan niche.
Filling defect curiga ganas tepi tukak tidak teratur.
2. Pemeriksaan Endoskopi
Berupa luka terbuka dengan pinggiran teratur,mukosa licin dan normal disertai lipatan yang
teratur yang keluar dari pinggiran tukak.Gambaran tukak akibat keganasan adalah : BoormanI/polipoid, B-II/ulcerative, B-III/infiltrative, B-IV/linitis plastika (scirrhus). Dianjurkan untuk
biopsi & endoskopi ulang 8-12 minggu setelah terapi eradikasi. Keunggulan endoskopi
dibanding radiologi adalah : dapat mendeteksi lesi kecil diameter < 0,5 cm, dapat melihat lesi
yang tertutupi darah dengan penyemprotan air,dapat memastikan suatu tukak ganas atau jinak,
dapat menentukan adanya kuman H.Pylori sebagai penyebab tukak.
3. Invasive Test :

Rapid Urea Test : Tes kemampuan H.pylori untuk menghidrolisis urea. Enzim urea katalase
menguraikan urea menjadi amonia bikarbonat,membuat suasana menjadi basa,yang diukur
140

dengan indikator pH. Spesimen biopsi dari mukosa lambung diletakkan pada tempat yang berisi
cairan atau medium padat yang mengandung urea dan pH indikator, jika terdapat H.Pylori pada
spesimen tersebut maka akan diubah menjadi ammonia,terjadi perubahan pH dan perubahan
warna.
Histologi: Biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak min.4 sampel untuk 2 kuadran, bila
ukuran tukak besar diambil sampel dari 3 kuadran dari dasar,pinggir dan sekitar tukak (min. 6
sampel).
Kultur : Untuk kultur tidak biasa dilakukan pada pemeriksaan rutin

4. Non Invasive Test.

Urea Breath Test: Mendeteksi adanya infeksi H.pylori dengan keberadaan urea yang dihasilkan
H.pylori, labeled karbondioksida (isotop berat,C-13,C-14) produksi dalam perut,diabsorpsi dalam
pembuluh darah,menyebar dalam paru-paru dan akhirnya dikeluarkan lewat pernapasan.
Stool antigen test : Test ini juga mengidentifikasi adanya infeksi H.Pylori melalui mendeteksi
keadaan antigen H.Pylori dalam faeces.

TERAPI
1. Terapi non medikamentosa

Istirahat: Dianjurkan rawat jalan, bila gagal/ada komplikasi rawat inap.


Diet: Air jeruk yang asam,coca cola,bir,kopi,tidak mempunyai pengaruh userogenik pada mukosa
lambung tapi dapat menambah sekresi asam lambung.
Stop Merokok ok ganggu penyembuhan tukak gaster kronik, menghambat sekresi bikarbonat
pancreas,menambah keasaman bulbus dudeni,menambah refluks duodenogastrik akibat
relaksasi sfingter pylorus sekaligus meningkatkan kekambuhan tukak.

2. Terapi medikamentosa

Antasida: Antasida mengurangi keasaman lambung, bereaksi dengan asam


hidroklorik,membentuk garam dan air untuk menghambat aktivitas peptik dengan
meningkatkan pH.
Antagonis Reseptor H2/ARH2.

Struktur homolog dengan histamine Mekanisme kerjanya memblokir efek histaminsel parietal
tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung.Inhibisi bersifat reversible. Dosis
terapeutik :

Simetidin : 2 x 400 mg/800 mg malam hari,dosis maintenance 400 mg


Ranitidine : 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg
Nizatidine : 1 x 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg
Famotidine : 1 x 40 mg malam hari
Roksatidine : 2 x 75 mg / 150 mg malam hari,dosis maintenance 75 mg malam hari.
Proton Pump Inhibitor/PPI: mekanisme kerja adalah memblokir kerja enzim K+H+ATPase yang
akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCL
dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung
141

dari sel kanalikuli,menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktifitas
faktor agresif pepsin dengan pH >4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh regimen triple drugs.
Dosis : Omeprazol 2 x 20 mg atau 1 x 40 mg, Lansprazol/pantoprazol 2 x 40 mg atau 1 x 60 mg.
Koloid Bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/CBS dan Bismuth Subsalisilat/BSS)

Membentuk lapisan penangkal bersama protein pada dasar tukak dan melindunginya terhadap
pengaruh asam dan pepsin dan efek bakterisidal terhadap H.Pylori.

Sukralfat: Mekanisme kerja berupa pelepasan kutub alumunium hidroksida yang berikatan
dengan kutub positif melekul proteinlapisan fisikokemikal pada dasar tukakmelindungi tukak
dari asam dan pepsin. Membantu sintesa prostaglandin, kerjasama dengan EGF ,menambah
sekresi bikarbonat &mukus,daya pertahanan dan perbaikan mukosal.
Prostagandin: Mengurangi sekresi asam lambung, sekresi mukus, bikarbonat, aliran darah
mukosa, pertahanan dan perbaikan mukosa. Digunakan pada tukak lambung akibat komsumsi
OAINS.
Penatalaksanaan Infeksi H.Pylori.

Tujuan Eradikasi H.Pylori adalah untuk mengurangi keluhan, penyembuhan tukak dan mencegah
kekambuhan.

Terapi dual antara PPI/ARH2 dengan salah satu antibiotik tidak dianjurkan karena efek eradikasi
minimal dan cepat menimbulkan resisten kuman
Terapi triple,yang banyak digunakan saat ini adalah :
o PPI 2 x1 + Amoksisilin 2 x 1000 + Klaritromisin 2 x 500 (regimen terbaik )
o PPI 2 x 1 + Metronidazol 3 x 500 + Klaritromisin 2x 500 (if alergi penisilin)
o PPI 2 x 1 + Metronidazol 3 x 500 + Amoksisilin 2 x 1000
o PPI 21+ Metro 3500+Tetrasiklin4x500(if alergi amok & Klaritromisin)

Lama pengobatan eradikasi H.Pylori adalah 2 minggu,untuk kesembuhan tukak,bisa dilanjutkan


pemberian PPI selama 3 4 minggu lagi.

Terapi Kuadrupel; jika gagal dengan terapi triple maka dianjurkan dengan terapi kuadrupel yaitu
PPI 2 x sehari,Bismuth subsalisilat 4 x 2 tab,MNZ 4 x 250 mg,Tetrasiklin 4 x 500 mg.Pada
resistensi dapat dianjurkan PPI,Amoksisilin,dan Rifabutin selama 10 hari.Pada tukak refrakter
bisa sembuh bila dosis PPI ditingkatkan/dosis ganda Omeprazol 40 mg,lansoprazole 60 mg,bila
gagal maka dilakukan operasi elektif.

3. Tindakan Operasi.
Indikasi: Terapi medik gagal atau ada komplikasi (perdarahan, perforasi, obstruksi).Hal ini dapat
dilakukan dengan :

Vagotomy

- Vagotomi trunkus (truncal vagotomy): Pemotongan cabang saraf vagus yang menuju
lambungmenghilangkan fase sefalik sekresi lambung tidak hanya mengurangi sekresi asam

142

lambung, tapi juga mengurangi pergerakan dan pengosongan lambung perlu drainase untuk
cegah retensi lambung (gastrojejunustomi atau piloroplasti).
- Vagotomi selektifhanya potong cabang saraf vagus yang menuju lambung, kekambuhan
berkurang dan komplikasi pasca vagotomi minimal.
- Vagotomi superselektif (high selective vagotomy / parietal cell vagotomy /proximal gastric
vagotomy) hanya potong saraf bagian lambung yang mensekresi asam, cabang saraf antrum
tetap berfungsi tidak perlu drainase lambung.

Antrektomi adalah pembuangan seluruh antrum lambung,jadi menghilangkan fase hormonal


atau fase gastric lambung sekresi lambung
Vagotomi dan Antrektomi,menghilangkan fase sefalik dan gastric sekresi lambung.Jadi
perangsangan saraf diputuskan,drainase diperbesar,dan tempat utama pembentukan gastrin
dibuang
Gastrektomi Parsial/distal gastrektomi,merupakan pembuangan 50-75% bagian distal lambung
dibuang,jadi membuang sebagian besar mukosa yang mensekresi asam dan pepsin.Setelah
reseksi lambung,kontinuitas lambung lambung-usus diperbaiki dengan melakukan anastomosis
sisa lambung dengan duodenum (gastroduodenostomi atau operasi Billroth I) atau dengan
jejunum (gastrojejunostomi atau operasi Billroth II)

KOMPLIKASI

Intraktibilitas/tukak yang membandel ; yang berarti bahwa terapi medik telah gagal mengatasi
gejala-gejala tukak peptik secara secara adekuat.Teknik operasi yang menjadi pilihan pada
intraktibilitas adalah high selective vagotomy.
Perdarahan ; Perdarahan adalah komplikasi tersering pada tukak peptik,perdarahan yang
tersering adalah pada dinding posterior bulbus duodenum,karena pada tempat ini dapat terjadi
erosi arteria pankreatikaduodenalis atau arteria gastroduodenalis. Indikasi operasi pada
perdarahan adalah perdarahan masif dan transfusi yang membutuhkan darah lebih dari 4 -6
kantong pada saat pemeriksaan endoskopi.Teknik operasi yang paling bagus untuk perdarahan
pada lambung adalah distal gastrektomi
Perforasi Peritonitis. Diagnosis dipastikan melalui adanya udara bebas dalam rongga
peritoneal, dinyatakan sebagai bulan sabit translusen antara bayangan hati dan
diafragma.Untuk perforasi lambung paling baik dioperasi dengan teknik distal
gastrektomi.Sedangkan untuk tukak peptik tipe II dan III dengan vagotomi
Obstruksi ; Tukak prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan gastric outlet obstruction melalui
terbentuknya fibrosis/oedem dan spasme.Mual,kembung setelah makan merupakan gejalagejala yang sering timbul.Apabila obstruksi bertambah berat dapat timbul nyeri dan
muntah.Operasi yang paling sering dilakukan pada obstruksi tukak peptik adalah vagotomi dan
antrektomi.

DIAGNOSIS BANDING
1.Dispepsia non ulcer atau dispepsia idiopatik adalah dispepsia kronis atau berulang berlangsung
lebih dari 1 bulan dan sedikitnya selama 25 % dalam kurun waktu tersebut gejala dispepsia
muncul,tidak ditemukan penyakit organik yang bisa menerangkan gejala tersebut secara
143

klinis,biokimia,endoskopi (tidak ada ulkus,tidak ada oesofagitis dan tidak ada keganasan) atau
radiografi.
2. Gastritis,merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang dapat bersifat akut,kronik,difus
atau loka,.Gejala-gejalanya tidak khas dapat berupa nyeri dan panas pada uluhati diserta mual
dan muntah.Diagnosa ditegakkan dengan endoskopi.Didapatkan mukosa memerah,edematosa
ditutpi oleh mukus yang melekat.
PROGNOSIS
Apabila penyebab yang mendasari dari tukak peptik ini diatasi maka akan memberikan prognosa
yang bagus.Kebanyakan penderita sembuh dengan terapi untuk infeksi H.Pylori,menghindari
OAINS dan meminum obat antisekretorus pada lambung.

Tumor Gaster, Tumor Lambung


Insiden

> Orang tua (50-70 tahun), Perbandingan laki-laki : wanita = 2:1. Pasien dengan umur muda (<
30 tahun) tumornya lebih agresif dengan prognosis lebih buruk.
Setelah tahun 1950, lokasi tumor berpindah dari yang awalnya banyak ditemukan di antrum ke
korpus dan fundus. Dan pada tahun 1976 mulai banyak ditemukan di kardia dan
esophagogastric junction.
50% tumor terletak di antrum (kurvatura minor), 30% di corpus dan fundus, 25% di cardia, dan
5% mengenai seluruh organ.
Diagnosa kanker lambung dini sangat jarang (80% tidak ada keluhan/asimptomatik). Pada
umumnya, penderita didiagnosis sudah dalam stadium lanjut dan sulit disembuhkan.

I. TUMOR JINAK LAMBUNG


1. Tumor jinak epitel Berbentuk polip ( Bertangkai).
a. Adenoma. b. Adenoma Hiperplastik. c.Adenoma Heterotropik

1. 2. Tumor jinak non epitel


1. Tumor Neurogenik. b. Leiomioma. c. Fibroma. d.Lipoma

II. TUMOR GANAS/KARSINOMA LAMBUNG.


Etiologi.
Penyebab kanker lambung adalah multi faktor. Hurst (1929) dan Konjentzky (1936),orang yang
pertama kali melakukan penyelidikan bahwa adanya perubahan mukosa yaitu proses perubahan
144

transisi dari gastritis menjadi gastritis atropimetaplasiadisplasiakanker. Beberapa faktor yang


mempengaruhi proses ini :
Makanan yang mengandung nitrat (makanan yang diasamkan, diasinkan, diasapkan)
didalam lambung dirubah menjadi nitrit, kemudian bereaksi sekunder dan tertier membentuk
senyawa nitrosamin yang merupakan zat karsinogen. Makanan: sayur/buah yang asam, ikan dan
daging asin, dan makanan diasap.
Hypo/achlorhydria : terjadi pada gastritis atrofi dan meningkatkan kolonisasi bakteri
lambung. Hal ini menyebabkan formasi nitrit meningkat pada lambung.
Infeksi Helicobacter pylori yang berkepanjangan menyebabkan gastritis kronik atrofi.
Keadaan ini menyebabkan hypchloridria dan meningkatkan resiko 6 kali perkembangan suatu
kanker lambung.
Radiasi: orang-orang yang selamat akibat bom atom di Jepang kebanyakan menderita
kanker lambung.
-

Infeksi Virus Ebstein-Barr pada sel epitel gaster

Merokok : perokok 30 batang per hari 5 kali beresiko untuk mendapatkan kanker lambung.

Genetik : familial adenomatous polyposis, Non-Polyposis Hereditary Colon Cancer


(NPHCC), golongan darah A.
-

Anemia pernisiosa.

Adenoma lambung

Secara makroskopis karsinoma lambung diklasifikasikan berdasarkan tipe morfologisnya :


1.
2.
3.
4.

Karsinoma tipe polipoid atau fungating.


Karsinoma tipe ulseratif.
Karsinoma Campuran ( Ulcerating-Infiltratif).
Karsinoma difus infiltratif (tipe linitis plastika)

KLASIFIKASI
Dapat dibagi atas 2 golongan besar , yaitu:

Early Gastric cancer (Karsioma Lambung Dini)


Advanced gastric cancer (Karsinoma Lambung Lanjut)

1. 1. Karsinoma lambung dini (Early Gastric Cancer= EGC)

145

Istilah EGC ini meliputi semua karsinoma yang tidak invasif kedalam lapisan muskularis dan
masih terbatas pada mukosa dan submukosa. EGC dapat berupa penonjolan dari fokus kecil dan
kadang secara diam-diam meluas, sehingga mengesankan kemungkinan dari gabungan beberapa
fokus (multicentris). Klasifikasi karsinoma lambung menurut Japan Gastroenterological
Endoscopy Society (1962), terbagi atas:

Tipe I. Protruted Type

Polipoid karsinoma yang menyerupai Borrman I, dimana invasi dari sel-sel karsinoma hanya
terbatas pada mukosa, submukosa. Mempunyai bentuk ireguler, permukaan tak rata, dan adanya
perdarahan, dengan atau tanpa adanya ulserasi pada permukaan.

Tipe II. Superficial Type Yang masih dapat dibagi atas 3 Subtype, yaitu:
o IIa. Elevated type

Terlihat sedikit elevasi dari mukosa lambung. Kriteria gastroskopi hampir serupa dengan tipe I,
terdapat sedikit elevasi tapi lebih meluas atau melebar

IIb. Flat type

Tak terlihat elevasi atau depresi pada mukosa, hanya terdapat perubahan warna dari mukosa.

II.c Depressed type

Dijumpai tepi yang ireguler, begitu pula permukaan yang ireguler. Adanya clubbing atau
terpotongnya mukosa folds, tepi yang hiperemik atau hemoragik, mukus yang adherent dengan
lapisan yang kotor, residue yang seperti pulau-pulau (island like residue)

Tipe III. Excavated Type

Suatu ulkus karsnomatosa yang menyerupai Borrman II dari karsinoma lambung lanjut.
1. 2. Karsinoma lambung lanjut (Advanced Gastric Cancer= AGCr)

Pada tipe lanjut, sel-sel kanker sudah terjadi perluasan pada lapisan mukosa, submukosa,
muskularis, kadang-kadang sampai lapisan propria dan serosa. Bahkan sering terjadi infiltrasi
atau metastase ke kelenjar limfe atau organ lainnya. Banyak sekali yang membuat klasifikasi dari
tumor ganas ini, diantaranya:
a. Stout 1969, membuat klasifikasi dari kanker lambung sebagai berikut:
1. Polypod type; mempunyai bentuk seperti polip yang sangat besar
2. Fungating type; elevasi di permukaan mukosa yang kadang-kadang terjadi ulserasi
3. Penetrating type, suatu ulkus karsinomatous dengan mukosa yang hiperemis dan noduler
146

4. Spreading type; Kanker ini tumbuh di seluruh dinding lambung


5. Uncalsified type; Tumor yang tak dapat dimasukkan dalam golongan tersebut diatas
b. Borrman, 1926
1. Borrmann I
Polypoid Carcinoma; Mukosa disekitar tumor ini biasanya atrofik dan ireguler
2.Borrmann II
Non infiltrating carcinomatous ulcer; Tepi ulkus dengan mukosa sekitarnya yang menonjol yang
sering noduler
3. Borrmann III
Infiltrating Carcinomatous ulcer; ulserasi di sini mempunyai dinding, tepi dindingnya hanya
terlihat pada sepihak dan terlihat infiltrasi progresif dan difus dari mukosa di sekitarnya.
4. Borrmann IV
Diffuse infiltrating Type; Tak terlihat batas tegas pada dinding, karena sebagian besar sudah
terinfiltrer. Terjadi infiltrasi yang diffuse pada seluruh lambung.
Klasifikasi lain oleh Lauren, membagi karsinoma lambung menjadi 2, menurut gambaran
histologinya yaitu karsinoma difus (infiltratif) dan karsinoma tipe intestinal. Pada tipe
intestinal, sel-sel tumor mempunyai kecenderungan untuk membentuk struktur kelenjar
mengadakan penyebaran, kadang-kadang dengan bentukan papiler atau lembaran padat. Sel
kolumner yang anaplastik mengandung vakuole kecil berisi musin. Karsinoma tipe infiltratif
tidak mempunyai daya kohesi antar sel, yang menonjol desmoplastik dari stromanya, dimana
di dalamnya terdapat sel-sel infiltratif dengan banyak mensekresi mucin, kadang-kadang
mengisi penuh sel dan mendesak inti ke samping yang dikenal sebagai signet ring cells.
Salah satu klasifikasi membagi karsinoma lambung menurut bentuk morfologi makroskopisnya
adalah :
1. eksofitik
2. pendataran atau depresi
3. ekskavasi

Ada beberapa tipe dan subtipe dari early gastric cancer, yaitu:
1. Tipe I : protrusi
2. Tipe IIa : a.Elevasi. b. Datar. c. Depresi
3. Tipe III : ekskavasi
147

DIAGNOSA
Diagnosa berdasarkan anamnesis, faktor resiko, pemeriksaan fisis yang cermat, pemeriksaan
laboratorium, radiologi, gastroskopi, sitologi, dan biopsi.

Status hemodinamik : tekanan darah, nadi, akral dan pernafasan


Berat badan kurang, kaheksia, konjungtiva kadang kadang anemis
Pemeriksaan Abdomen daerah epigastrium dapat teraba massa, nyeri epigastrium. Pada
keganasan dapat ditemukan hepatomegali, asites.
Bila ada keluhan melena, lakukan pemeriksaan colok dubur.
Keganasan cari pembesaran kelenjar supraklavikula (Virchows node), kelenjar aksila kiri
(Irishs node), ke umbilikus (Sister Mary Josephs node), teraba tumor daerah pelvis cul-de-sac
pada pemeriksaan colok dobur (Blumers shelf), pembesaran ovarium (Krukenbergs tumor).
Pemeriksaan endoskopi lokasi, bentuk, ukuran, ekstensi, kelainan lain biopsi dan
pemeriksaan kultur kuman H Pylori.

Pemeriksaan Laboratorium
Anemia (30%) dan tes darah positif pada feses dapat ditemukan akibat perlukaan pada dinding
lambung. LED meningkat. Fractional test meal ada aklorhidria pada 2/3 kasus kanker lambung.
Elektrolit darah dan tes fungsi hati kemungkinan metastase ke hati.
Radiologi

Foto thorax : dipakai untuk melihat metastase Paru.


o Barium Meal Double-contrastadditional defect, iregularitas mukosa tumor primer
atau penyebaran tumor ke esofagus/ duodenum.
o Ultrasonografi abdomen untuk mendeteksi metastase hati.
o CT scan atau MRI pada thorax, abdomen, dan pelvis lihat ekstensi tumor transmural,
invasi keorgan dan jaringan sekitar, metastasis kelenjar, asites. Untuk menilai proses
penyebaran tumor seperti : menilai keterlibatan serosa, pembesaran KGB dan
metastase ke hati dan ovarium.

CT Staging pada karsinoma lambung


Stage I : Massa intra luminal tanpa penebalan dinding
Stage II : Penebalan dinding lebih dari 1 cm
Stage III : Invasi langsung ke struktur sekitarnya
Stage IV : Penyakit telah bermetastase.
Endoskopi dan Biopsi

Sebagai Gold Standar pemeriksaan malignitas gaster.

148

Ultrasound Endoskopi kedalaman infiltrasi tumor & melihat pembesaran limf.selika dan
perigastrik (> 5mm).

Laparoskopi dan Peritoneal Sitologi


Lavase peritoneal dapat memberikan hasil sitologi positif sekitar 40%. Pemeriksaan ini juga
berguna apabila pada pemeriksaan radiologi sebelum operasi tidak ditemukan kelainan.
Positron Emission Tomography Scanning (Nuclear Medicine)
Sel-sel tumor cenderung utnuk berakumulasi dengan positron-emiting 18F (fluorodeoxyglucose).
Hal ini berguna untuk mengetahui metastase jauh dari kanker lambung. Juga dapat menjadi
pertimbangan tindakan bedah pada pasien dengan resiko tinggi atau dengan multiple komorbid.
Indium ln 111-labeled monoclonal antibody juga digunakan dalam intraoperatif
untuk mendeteksi metastasis ke nodul-nodul sekitar tumor.
JENIS TINDAKAN/TEKNIK OPERASI

Laparotomi eksplorasi jika metastasis tak dapat dinilai, biopsy tidak terbukti.
Surgical explorations : Ivor-Lewis, Torakoabdominal atau Transhiatal untuk tumor yang
mengenai esofagus.
Reseksi kuratif margin minimal 5 7 cm. Reseksi En block meliputi: pankreas, lien, kolon
transfersum, hepar.
Reseksi gaster dan limfadenektomi.
Rekonstruksi: Billroth II dengan Roux-en-Y atau Loop gastroyeyenostomi.
Prosedur paliatif: By pass gastroenterostomi untuk mencegah obstruksi, perdarahan, perforasi,
nyeri karena ulserasi mukosa gaster.

Terapi pembedahan kuratif adalah dengan reseksi seluruh tumor disertai limfedenektomy
adekuat. Dilakukan reseksi paling kurang 5 cm dari sisi-sisi tumor dan dilakukan frozen
section untuk mengkonfirmasinya. Bebasnya sisa tumor dari hasil reseksi sangat penting bagi
operasi kuratif namun tidaklah berarti bagi operasi paliatif. Reseksi tumor primer kadang disertai
juga dengan pengangkatan pankreas, colon transversa, dan lien.
Gastrektomi total (with jejunal pouch-esophageal anastomosis) tidak dianjurkan, kecuali bila
diperlukan reseksi yang adekuat di seluruh area lambung. Dari beberapa penelitian, gastrektomi
total dan gastrektomi subtotal memberikan hasil yang sama dalam hal ketahanan hidup pasien.
Namun, komplikasi pada gastrektomi total cukup berat. Reseksi dengan bantuan Endoskopi
dilakukan pada early gastric cancer dengan ukuran < 3 cm, tidak ada ulserasi, dan invasi
limfatik.
KEMOTERAPI DAN RADIASI

149

Terapi adjuvan dengan kemoterapi digunakan obat-obatan: 5-fluorouracil, leucoxorin, cisplatin,


doxorubicin, dan methotrexate memperlihatkan aktivitas melawan sel tumor. Di samping itu,
dilakukan pula penyinaran 4500 cGy.
METALLIC STENT
Pada kanker lambung inoperable obstruksi dapat diterapi dengan memasang metallic stent.
Tindakan ini juga bermanfaat pada tumor rekuren (post gastrektomi total) yang menyumbat
anastomosis gastrojejenum. Komplikasinya: migrasi stent, obstruksi, perforasi, dan perdarahan.
TIMING OPERASI
Segera bila telah ditegakkan diagnosis dan ditentukan stadium, Tidak ada indikasi kontra, Bila
ada tanda obstruksi, perdarahan, perforasi emergency.
Problem Prabedah Malnutrisi, Ggn. elektrolit, dehidrasi, bila obstruksi.
Problem Intrabedah Perdarahan,Cidera pankreas,duodenum,perlengketan .
Problem Pascabedah Perdarahan, Kebocoran anastomosis, Realimentasi, Infeksi, Gangguan
elektrolit.
FOLLOW UP
Pemeriksaan fisik ada tanda-tanda metastasis?, Pemeriksaan laboraturium terutama CEA,
Foto toraks, USG abdomen mencari metastasis.

Pemeriksaan endoskopi tiap tahun, terutama pada gastritis atrofik disertai polip hiperplastik
yang berhubungan dengan adenokarsinoma gaster.

Karsinoma Esofagus, Oesophagus Cancer


Gambaran Klinis.
Ada beberapa gejala klinis yang sering ditemukan pada karsinoma esofagus :
1. Dysfagia
: gejala yang paling sering, dari yang ringan sampai progresif.
2. Regurgitasi : gejala kedua terbanyak menunjukkan suatu obstruksi berupa ketidaklancaran
aliran makanan dari esofagus ke lambung.
3. Penurunan berat badan : Takut makan keadaan gizinya memburuk.
4. Hematemesis melena : adanya perdarahan pada tumor esofagus.
5. Anemia : Karena perdarahan atau defisiensi esofagus nutrisi.
6. Gejala-gejala lain seperti : nyeri dan suara parau.

Insiden.
150

Adenocarsinoma esofagus adalah sekitar 5-10% dari carcinoma esofagus, bahkan di Asia
dilaporkan sekitar 15% dari seluruh carcinoma esofagus dan di negara-negara barat merupakan
50% dari carcinoma esofagus merupakan jenis adenocarsinoma.
Patogenesis Dan Patologi
Penyebaran tumor pada esofagus dimulai dari subepiteliel dan dapat muncul sebagai suatu flag
submucosa yang besar atau ulcer. Penyebaran submucosa dapat melebihi 5 cm dari masa tumor
primer. Penyebaran selanjutnya dari tumor adalah infiltrasi langsung ke organ lain yang
berdekatan dengan esofagus melalui saluran limfe ke kelenjar limfe regional dan melalui
pembuluh darah.
Adenocarsinoma esofagus terjadi pada mukosa esofagus yang abnormal dimana pada reaksi
terhadap refluks gastroesofageal yang kronik terjadi metaplastik dari epitel squamous pada
esofagus bagian distal menjadi suatu epitel kolumner yang mengandung sel goblet yang disebut
epitel Barret. Selanjutnya epitel tersebut mengalami dysplasia mulai dari Lao grade dysplasia
sampai high grade dysplasia dan terakhir menjadi carsinoma. Adenocarsinoma esofagus lebih
banyak terjadi pada bagian bawah dari esofagus terutama pada gastroesofageal junction.
Perubahan yang terjadi pada squamous epithel sampai terjadinya adenocarsinoma adalah sebagai
berikut :
Squamous epithel Esofagitis Metaplasia Displasia Adenocarsinoma
(Barretts esofagus)
Secara mikroskopis dapat ditemukan berupa intestinal type, diffuse sign ring cells (gastric type)
dan poorby differentiated small cell type.
Gastroesofageal Reflux Disease (GERD) merupakan factor yang sangat penting dalam
perkembangan epitel Barret. Sekitar 10% pasien GERD akan mengalami Barriet Esofagus.
Faktor resiko lain dari terjadinya adenocasinoma adalah alcohol dan tembakau, bahkan helicon
bacter pylori diduga juga suatu factor resiko bagi terjadinya adenocarsinoma.
Staging karsinoma esofagus system TNM dari Union International Contre Le Cancer
(UICC) yaitu:
T(Tumor)

: Tis : Carsinoma in situ

T1

: Tumor invasi pada lamina propria atau submucosa

T2

: Tumor invasi pada muskularis

T3

: Tumor invasi pada lapisan adventitia

T4

: Tumor invasi pada organ lain

151

N(Nodul)
N1

: N0

: Tidak ada pembesaran kelenjar limfe

: Ada pembesaran kelenjar limfe regional

M(Metastase) : M0 : Tidak ada metastase


M1 : Ada metastase

Akalasia Esofagus
Akalasia diterjemahkan dari bahasa Yunani dan berarti kurang mengendor Penyakit
esofagus di mana sfingter esofagus bawah gagal berelaksasi. Dikenalkan oleh Thomas Willis
(1672).
Akalasia (Esophageal aperistaltis, megaesofagus) adalah gangguan atau hilangnya peristaltik
esofagus dan kegagalan sfingter kardioesofagus untuk relaksasi sehingga makanan tertahan di
esofagus hambatan makanan masuk ke dalam lambung sehingga dilatasi esofagus menjadi
megaesofagus.
Definisi : Gangguan motorik primer pada esofagus akibat Gangguan/hilangnya peristaltik
esofagus, Ketidakmampuan sfingter bawah esofagus untuk melemas dan membuka pada
proses menelan
EPIDEMIOLOGI
Ditemukan pada semua golongan usia, rata-rata pada rentang usia 30-60 tahun dengan puncak
insidens pada usia 40 tahun. Perbandingan pria dan wanita yang menderita 1:1 dan 5% kasus
ditemukan pada anak-anak.
ETIOLOGI
Penyebab akalasia masih belum diketahui dengan jelas. Namun ada beberapa teori tentang
etiologi akalasia yang masih bertahan yaitu: teori familial, autoimun dan infeksi. > 1% kasus
akalasia bersifat familial, yang menunjukkan diturunkan secara resesif autosomal. Adanya sel T
di sel ganglion esofagus mendukung proses autoimun sebagai penyebab akalasia. Terdapat
hubungan antara akalasia dan class II histocompatibility antigen Dqw1.
Kesamaan antara akalasia dan penyakit Chagas yang disebabkan oleh Trypanosoma cruzi
meunjukkan adanya kemungkinan infeksi sebagai penyebab.
PATOFISIOLOGI
Akalasia memiliki karakteristik tekanan tinggi pada eofagus, sfingter bawah esofagus yang tidak
dapat berelaksasi dan esofagus yang mengalami dilatasi dan tidak memiliki peristaltik. Secara
patologi, esofagus hanya menunjukkan dilatasi minimal pada awalnya, namun lama kelamaan
152

dapat menjadi seluas 16 cm. Secara histologis, abnormalitas utama berupa hilangnya sel ganglion
di pleksus mienterikus (pleksus Auerbach) pada esofagus distal. Beberapa lesi neuropatik lain
juga dapat ditemukan, antara lain: a). Inflamasi atau fibrosis pleksus myenterikus pada awal
penyakit, b). Penurunan varikosa serabut saraf pleksus myenterikus, c). Degenerasi n. Vagus, d).
Perubahan di dorsal nukleus motoris n. Vagus dan f). Inklusi intrasitoplasma yang jarang pada
dorsal motor nukleus vagus dan pleksus myenterikus. Segmen esofagus di atas sfingter
esofagogaster (LES) yang panjangnya berkisar antara 2-8 cm menyempit dan tidak mampu
berelaksasi. Esofagus bagian proksimal dari penyempitan tersebut mengalami dilatasi dan
perpanjangan sehingga akhirnya menjadi megaesofagus yang berkelok-kelok. Bentuk esofagus
sangat bergantung pada lamanya proses, bisa berbentuk botol, fusiform, samapai berbentuk
sigmoid dengan hipertrofi jaringan sirkuler dan longitudinal. Mukosa dapat mengalami
peradangan akibat rangsangan retensi makanan.
GAMBARAN KLINIS
Gejala utama akalasia adalah disfagia, regurgitasi, rasa nyeri (chest pain) atau tidak enak di
daerah retrosternal dan penurunan berat badan. Disfagia, merupakan gejala paling umum pada
penderita akalasia, baik makanan padat ataupun cair berakibat disfagia meskipun makanan
padatlah yang paling sering dikeluhkan pasien menimbulkan disfagia.
Disfagi : Rasa penuh/mengganjal (hilang timbul / makin lama makin berat) Makan perlahan,
minum banyak, Makanan hangat dingin Makanan padat cair, Makanan dingin lebih sulit
lewat cairan > sulit dari padat
Regurgitasi : Regurgitasi setelah terjadi mega-esofagusAspirasi pneumoni Saat baring (pada
malam hari pasien terbangun)
Kompresi : Sudah dilatasi hebat, Rasa rasa tidak enak di substernum, Sesak napas. Predisposisi
karsinoma esofagus
Sekitar 25-50% pasien disfagia melaporkan adanya episode nyeri dada yang sering dipicu saat
sedang makan.nyerinya khas yaitu di aerah retrosternal, gejala ini lebih sering dijumpai pada
pasien awal atau yang di sebut vigorous achalasia. Seiring perjalanan penyakit, aspirasi akan
semakin sering, akibatnya beberapa pasien akan datang dengan gejala pneumonia atau
pneumonitis. Abses paru, bronkiektasis dan hemoptisis termasuk penyakit paru berat yang
dihubungkan dengan aspirasi akibat akalasia. Keadaan gizi pada penderita akalasia biasanya baik
pada awalnya dan kemudian mundur pada tahap lanjut.
Beda Akalasia:

Striktur: Pada endoskopi, mukosa menyempit dan alat tidak bisa melewati daerah striktur.
Tumor: Pada endoskopi, tampak massa tumor, dan sering terjadi perdarahan.
Type of Achalasia Motility

153

1. Primer Achalasia

sel ganglion Plexus Auerbach/Mienterikus (-)


Tidak ada peristaltik esofagus & relaksasi LES.
Beak-like appearance pd esofagografi.
Onset dysfagia sejak usia dini.

2. Secondary Achalasia

Tidak ada peristaltik tumor, inflamasi/infeksi gastoresofial junction.


Beak-like appearance dg dilatasi esofagus
Onset dysfagia < 6 bl dimulai saat Dewasa/Tua (>60th).
Berat badan sering menurun

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto thorax Dilatasi esofaghus di belakang jantung, Gelembung udara di esofagus dapat
terlihat kecil atau tidak ada.
2. Barium meal dilakukan sebelum endoskopi untuk identifikasi, dimana disfagia pada
keganasan mudah terjadi perforasi karena alat endoskopi. Esofagus berdilatasi dan material
kontras masuk ke dalam lambung secara perlahan-lahan bagian distal menyempit gambaran
paruh burung (birds beak), ini berbeda dengan rat tail appearance karsinoma esofagus.
3. Endoskopi untuk menyingkirkan keganasan sehingga harus dilakukan pada pasien akalasia
Rat Tail Appearance. Pada Striktur, alat kemungkinan tidak bisa melewati daerah striktur.
4. Manometri Gold Standart diagnosis akalasia. Pada akalasia didapatkan tekanan istirahat
sfingter kardia yang tinggi, relaksasi yang tidak sepenuhnya pada saat menelan dan tidak adanya
peristaltik di esofagus distal, simultaneous, amplitudo rendah, single-peaked, kontraksi
peristaltik yang luas dan tekanan positif gastroesofageal yang tajam.
5. Monitoring PH esofagus bagian bawah, diperlukan untuk menyingkirkan gastroesophageal
reflux disease (GERD). Jika ditemukan ada GERD, maka kontra indikasi penatalaksanaan dilatasi
pneumatik.
6. CT scan dengan tambahan kontras dapat mendemonstrasikan gambaran kasar abnormalitas
esofagus yang berhubungan dengan akalasia.

DIAGNOSIS BANDING
Striktur benigna pada esofagus bawah dan karsinoma di dekat sambungan gastroesofagus harus
dibedakan dari akalasia. Esofagoskopi, pada tumor ditemukan Infiltrasi karsinoma intramural
(massa Tumor), pada striktur kemungkinan alat endoskopi tidak bisa melewati daerah striktur.
Kondisi yang mirip akalasia ditemukan pada komplikasi dari penyakit Chagas (American
trypanosomiasis). Pada kondisi ini tidak ditemukan segmen aganglionik, atau pada akalasia
yang berhubungan dengan diabetes dan keganasan tertentu.
PENATALAKSANAAN
154

Terapi Konservatif (oral, dilatasi pneumatik, injeksi toksin botulinum) dan Terapi Bedah
(miotomi Heller).
Konservatif:

Terapi oral (kapsul atau pil) :

Untuk mengendorkan sfingter esofagus dan diberikan sebelum makan. Bersifat sementara dan
tidak memperbaiki gejela secara bermakna. Efek samping, sakit kepala, hipotensi dan edema
kaki. Indikasi: tahap awal, tidak ada rencana operasi, dan injeksi toksin botulinum. Ca channel
blocker (verapamil,nifedipine), agen antikolinergik (cimetropum bromide), nitrat (isosorbid
dinitrat) dan opioid (loperamide).

Toksin botulinum :

Disuntikkan ke LES saat endoskopi, bekerja menghambat pelepasan asetilkolin di sfingter bawah
esofagus relaksasi otot sfingtermakanan mudah masuk ke lambung.
Dilatasi pneumatik (balloning) :
Memasukkan balon ke esofagus untuk meregangkan sfingter, dengan Anestesi lokal.
Operatif:

Esofagomiotomi :

Terapi yang optimal yang dilakukan pertama kali oleh Earnest Heler (1913). Prosedur ini dapat
membedakan dengan tepat otot sirkuler dan longitudinal pada esofagus bawah, dan memperbaiki
obstruksi fungsi esofagus bawah. Dilakukan secara transtorakal atau minimal invasif
laparoskopi.
Kontra indikasi: pasien dengan penyakit kardiopulmoner berat atau pun keadaan lain yang
beresiko untuk tindakan pembiusan. Pilihan terapi untuk pasien tersebut adalah Terapi
Konservatif.
Teknik Operasi
Cara tradisional dalam miotomi Heller yaitu melakukan torakotomi kiri pada ruang interkostal
VII. Esofagus distal dan proksimal dimobilisasi. Otot sirkuler dan longitudinal diinsisi dari
inferior v. Pulmonalis menyilang dengan persambungan gastroesofagus melengkapi miotomi
dengan jarak yang bervariasi ke dalam lambung. Otot dipisahkan dari lapisan mukosa sehingga
memungkinkan lapisan mukosa yang kuat menonjol. Miotomi yang panjang memungkinkan
gangguan pada sfingter esofagus bawah memulihkan disfagia namun meningkatkan resiko
refluks. Untuk mengoptimalkan hasilnya, banyak ahli bedah menambahkan funduplikasi parsial
pada miotomi yang panjang. Dada ditutup setelah itu di pasang chest tube dan pasien dirawat 4
hingga 7 hari.
155

Laparoskopi miotomi Heller saat ini merupakan prosedur yang optimal, hasilnya sangat baik dan
hanya sedikit morbiditas yang ditimbulkan. Prosedur ini harus dilakukan oleh ahli bedah dengan
kemampuan laparoskopik yang baik dan berpengalaman. Prosedur ini dilakukan dengan
pembiusan total, dan memerlukan 5 trokar laparoskopi. Peritonium di atas esofagus distal
dipisahkan dan esofagus anterior akan terlihat setelah memasuki pneumoperitoneum. N. Vagus
anterior diidentifikasi dan diamankan. Dengan pembesaran laparoskopis, otot longitudinal dan
sirkular dipisahkan secara hati-hati untuk membuat lapisan mukosa nampak. Setelah itu miotomi
diperluas ke proksimal 6 cm dari sambungan gastroesofagus dan ke distal sepanjang 1 cm
kedalam lambung bagian proksimal. Pemisahan otot dari mukosa memungkinkan mukosa
mengalami penonjolan. Endokopi fleksibel intraoperatif kemudian dilakukan untuk memastikan
tidak adanya obstruksi distal lebih lanjut. Miotomi dapat dengan mudah diperluas jika
dibutuhkan hingga LES diablasi. Udara kemudian dimasukkan ke esofagus untuk menyelidiki
ada atau tidaknya perforasi. Setelah proses miotomi selesai dilanjutkan dengan prosedur
antirefluks yaitu fundoplikasi parsial. Setelah trokar di lepaskan , 0,5-1 cm insisi tersebut dijahit
dengan benang yang dapat diabsorpsi. Pemasangan NGT tidak diperlukan, dan malamnya pasien
dapat memulai makan makanan cair. Nyeri postoperatif, pemulihan dan kembalinya pasien
bekerja sama seperti setelah prosedur kolesistektomi laparoskopi.
KOMPLIKASI
- Akalasia yang tidak ditangani inhalasi material dari esofagus pada malam hari (nokturnal)
dan pneumonia aspirasi.
- Penanganan akalasia mengakibatkan perforasi dan refluks gastroesofagus.
- Kronis Karsinoma esofagus (2-7 % pasien).
PROGNOSIS
Perbaikan gejala obstruksi dapat diperoleh pada prosedur dilatasi dan operasi sekurangkurangnya 85-90% pasien. Prosedur Heller dapat mengatasi obstruksi namun juga dapat
berakibat pada timbulnya refluks gaastroesofagus. Akan lebih baik jika dilakukan esofagoskopi
secara berkala pada semua pasien karena terapi yang berhasil pun tidak mengurangi resiko
kanker esofagus pada pasien akalasia.

Pankreas, Anatomi dan Fisiologi


Teknik penggambaran anatomi pankreas pada saat ini sudah sangat berkembang, dengan
kemampuan dalam manipulasi operasi pankreas baik dengan endoskopi ataupun perkutaneus
membuat kita perlu untuk mengetahui lebih jauh mengenai anatomi pankreas. Anatomi pankreas
dapat dengan mudah didapatkan melalui buku-buku, namun fungsi dan terapi yang berhubungan
dengan anatominya masih sangat kurang diketahui.
Penyakit-penyakit pankreas lebih sulit diatasi baik dengan obat-obatan maupun operasi
dibanding dengan organ abdomen lainnya. Pankreas terletak tersembunyi di dalam rongga
retroperitoneum abdomen bagian atas, dilindungi oleh tulang iga pada bagian anterior, dan
156

tertutup oleh hampir seluruh kolon tranversum dan mesokolon transversum. Pada laparatomi,
pankreas tidak dapat langsung terlihat ataupun dipalpasi tanpa mengadakan diseksi luas,
mobilisasi maupun retraksi dari organ di sekitarnya.(1)
EMBRIOLOGI
Pankreas mulai dibentuk pada kehidupan mudigah, 3 mm dengan terbentuknya kantung
endodermal pada dinding dorsal bakal duodenum. Beberapa saat kemudian juga terbentuk
sebuah kantung dibagian ventral duodenum dan terletak di sudut yang di bentuk antara
duodenum dan pertumbuhan tonjolan bakal hati, sangat berdekatan dengan muara bakal saluran
empedu. Kantung ini membentuk bagian pankreas ventral. Keduanya mulai terlihat pada umur
kehamilan 4 minggu. Bagian dorsal Pankreas tumbuh lebih cepat dari pada bagian ventralnya,
dan terletak di kranial pankreas ventral. Rotasi pars descendens duodenum pada sumbu
panjangnya, menyebabkan pankreas ventral dan duktus biliaris berpindah ke posterior pankreas
dorsal dan bersatu pada minggu ke 7 8 kehamilan. Suatu segmen penghubung mempersatukan
duktus pankreatikus dorsal dan ventralis yang terbentuk pada minggu ke-6 kehamilan, sementara
ujung duodenal dari duktus pankreatikus dorsalis mengalami atropi, pada sekitar 44 % populasi
duktus pankreatikus asessorius akan kehilangan hubungannya dengan duodenum, tapi pada
sekitar 10 % populasi, duktus pankreatikus asessorius akan bermuara ke dalam duodenum cukup
besar sehingga dapat menggantikan seandainya duktus pankreatikus utama terjadi obstruksi,
pada sekitar 9 % populasi, duktus pankreatikus utama tidak berhubungan dengan duktus kaput
pankreas yang disebut juga pankreas divisum.(2,3,4,5)
Secara mikroskopik pankreas merupakan kelenjar ganda yang terdiri dari bagian yaitu bagian
eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin untuk pencernaan terdiri dari kelenjar asiner, sel-sel
asinus pankreas (sel-sel eksokrin pankreas) dan granula-granula zimogen terbentuk selama bulan
ketiga (minggu ke 12 kehamilan) dan berkembang dengan cepat dalam 2 bulan. Sedang sel-sel
endokrin pankreas (sel islet langerhans) berupa massa pulau kecil, berkembang selama minggu
ke-9 kehamilan dan dapat diidentifikasi pada bulan ke-3. Kebanyakan sel islet berkembang pada
bagian kaudal dan dorsal pankreas. Sel yang pertama kali terbentuk adalah sel alpha, dan segera
diikuti sel beta dan sel delta. Pematangan dari seluruh kelenjar pankreas terjadi pada akhir dari
masa kehamilan.(1,2,4).
ANATOMI PANKREAS
Pankreas merupakan organ lunak dengan permukaan berlobus-lobus dengan panjang sekitar 12 20 cm, terletak melintang di bagian atas abdomen daerah epigastrium dan hipokondrium kiri, di
belakang gaster dalam ruang retroperitoneal. Di bagi atas, kaput dengan prosessus uncinatus,
kolum, korpus dan kauda. Kaput pankreas terletak setinggi vertebra L2 dekat midline.
Sedangkan kauda pankreas terletak setinggi vertebrata L1 bagian atas kaput pankreas
dihubungkan dengan korpus pankreas oleh kolum pankreas yaitu bagian pankreas yang lebarnya
biasanya tidak lebih dari 4 cm. Bagian superior pankreas berhubungan dengan foramen
gastroepiploicum yang ditutupi oleh omentum minus dan struktur-struktur yang mengisi di
dalam omentum tersebut. Di bagian anterior, pars superior duodenum menutupi bagian superior
kaput pankreas dan dibawahnya, mesokolon tranversa terletak melintang. (2,4,5,6)
Adapun batas-batas dari bagian pankreas adalah sebagai berikut :

157

1. Kaput Pankreas meluas ke kanan sampai pada lengkungan duodenum, terletak sebelah anterior
dari vena cava inferior dan vena renalis kiri.
2. Processus uncinatus yang merupakan bagian dari kaput pankreas terletak di bawah vena
mesenterika superior.
3. Kolum pankreas yang merupakan hubungan antara korpus dan kaput pankreas terletak di atas
pembuluh darah mesentrika superior dan vena porta.
4. Korpus pankreas berbentuk segitiga dan meluas hingga ke hilus ginjal kiri. Terletak di atas
aorta, vena renalis kiri, pembuluh darah limpa dan pangkal vena mesenterika inferior.
5. Kauda pankreas terletak pada ligamentum lienorenal dan berakhir pada hilus limpa.(6)
Sistem Saluran Pankreas
Saluran pankreas utama (Wirsungi) dimulai dari kauda pankreas sampai ke hulu pankreas
berjalan bersisian dengan saluran empedu beberapa millimeter sebelum akhirnya bergabung
dengan saluran empedu di ampula hepatiko-pankreatika dan bermuara pada papilla vater (papilla
mayor) ke dalam duodenum sepanjang 1,5 cm. Saluran pankreas minor (Santorini) atau duktus
pankreatikus asessorius di papilla minor terletak 2 cm di kranial papilla vater. Diameter saluran
pankreas yang awalnya pada dewasa muda sebesar 3 4 mm.
Pada pangkal ampula hepatiko-pankreatika terdapat sfingter Oddi. Sfingter Oddi merupakan otot
yang berkembang dari otot duodenum, mengelilingi saluran utama tempat bermuara saluran
empedu dan saluran pankreas pada ampulla vater. Sebagian otot dari sfingter ini akan
membentuk sfingter choledochal dan sfingter duktus pankreas, yang berfungsi untuk mencegah
refluks cairan empedu ke dalam pankreas ataupun sekresi pankreas ke dalam sistem biliar.(1,2,4)
Peredaran Darah Pankreas
Pankreas cukup kaya dengan pasokan darah yang berasal dari trunkus seliakus dan arteri
mesenterika superior. Umumnya (dari 90 % orang), trunkus seliakus mempercabangkan arteri
hepatika kommunis, splenika dan gastrika sinistra. Arteri hepatika kommunis akan
mempercabangkan a. gastroduodenalis yang berikutnya akan mempercabangkan arteri anterior
dan posterosuperior pankreatikoduodenalis dan memperdarahi bagian kaput pankreas. Dan
membentuk kolateral dengan arteri anterior dan posterior inferior pankreatikaduodenale yang
berasal dari arteri mesenterika superior. Arteri dorsalis pankreas yang berasal dari a. splenika
akan menyuplai daerah kaput dan a. transversalis pankreatika akan memperdarahi korpus dan
kauda pankreas. Beberapa cabang dari arteri splenika akan beranastomose dengan arteri
tranversalis yang juga mensuplai darah untuk korpus dan kauda pankreas.
Kaput pankreas dialiri oleh vena yang paralel dengan arterinya yang pada bagian anterior dari
kaput akan bermuara pada mesenterika superior dan bagian posterior bermuara pada vena porta.
Sehingga pada reseksi kaput pankreas, vena-vena tersebut harus diligasi dengan hati-hati, sedang
aliran vena dari korpus dan kauda pankreas akan bermuara langsung pada vena splenika melalui
vena pankreatika inferior ke vena mesenterika inferior dan superior.(1,5)
Aliran limfe dan saraf
Aliran limfatik dari pankreas sangatlah kaya dan mengikuti aliran dari vena-vena pankreas.
Nodus superior terletak sepanjang permukaan superior dari pankreas, mengumpulkan cairan
158

limfe dari setengah kelenjar pankreas bagian anterior dan superior. Nodus inferior terletak pada
bagian inferior pankreas dari kaput dan korpus, mengaliri setengah kelenjar pankreas di bagian
anterior dan posterior bawah. Keduanya terletak dekat dengan pylorus, sebelah anterior di antara
pankreas dan duodenum dan distal mesenterium dari kolon tranversum. Nodus posterior
mengaliri permukaan posterior kaput pankreas dan terletak di bagian posterior di antara pankreas
dan duodenum, sepanjang duktus biliaris empedu, aorta setinggi pangkal dari trunkus seliakus
dan pangkal dari arteri mesenterika superior. Sedang nodus splenika mengalir pada kauda
pankreas. Aliran limfe ini penting diketahui untuk mengetahui penyebaran dari karsinoma
pankreas, yang kebanyak berasal dari kaput pankreas.
Pankreas menerima persarafan dari simpatis melalui nervus splanikus dan parasimpatis melaui
nervus vagus. Umumnya nervus mengikuti perjalanan pembuluh darah dan duktus pankreas
dalam perjalanannya menuju ke sel asini pankreas. Nervus splanikus membawa serat afferen
nyeri visera melalui pleksus dan ganglia seliakus.(5,8)
FISIOLOGI PANKREAS
Telah dijelaskan di atas bahwa pankreas merupakan kelenjar ganda yang terdiri dari eksokrin dan
endokrin, 99% dari kelenjar merupakan eksokrin yang terdiri atas sel-sel asinus pankreas dan
duktus pankreas dan 1 % lainnya merupakan endokrin oleh sel islet Langerhans.
Sekresi Eksokrin
Sekresi Pankreas mengandung enzim untuk mencernakan 3 jenis makanan utama : Protein
(tripsin, kimotripsin, karboksi polipeptidase), karbohidrat (amilase pankreas), dan lemak (lipase
pankreas). Disintesis oleh sel asinus pankreas dan kemudian dikeluarkan melalui duktus
pankreatikus. Sel eksokrin pankreas mengeluarkan cairan elektrolit dan enzim sebanyak 15002500 ml. Sehari dengan pH 8 sampai 8,3. Sekresi eksokrin pankreas diatur oleh mekanisme
humoral dan neural dalam tiga fase yaitu fase sefalik melalui asetilkolin yang dibebaskan ujung
n. vagus merangsang sekresi enzim pencernaan pankreas. Pada fase gastrik, dengan adanya
protein dalam makanan akan merangsang keluarnya gastrin yang juga merangsang keluarnya
enzim pencernaan ke dalam duodenum, dan ketika kimus yang bersifat asam memasuki
duodenum pada fase intestinal, membran mukosa duodenum menghasilkan hormon peptida
sekretin ke aliran darah. Hormon ini kemudian akan menstimulasi sekresi pankreas yang
mengandung ion bikarbonat dalam konsentrasi tinggi. Ion ini berguna untuk menetralisir asam
pada kimus dan menciptakan suasana yang memungkinkan kerja dari enzim pencernaan.
Hormon kolesistokinin juga merupakan perangsang yang sangat kuat terhadap sekresi enzim
terutama dengan adanya protein dan lemak dalam kimus. Seperti halnya sekretin kolesistokinin
juga dikeluarkan melalui pembuluh darah yang merangsang keluarnya cairan pankreas yang
mengandung enzim pencernaan dalam konsentrasi tinggi.(2,8,10,11)
Pada saat disintesa enzim-enzim proteolitik berada dalam bentuk tidak aktif,sedangkan enzim
amylase dan lipase sudah dalam bentuk aktif. Enzim-enzim ini tersimpan dalam granula zimogen
sampai terdapat rangsangan untuk melakukan sekresi dan enzim dikeluarkan dengan proses
eksostosis, dan kemudian diaktifkan di dalam lumen intestinal.(12)
Sekresi Endokrin
Sekresi hormon dihasilkan oleh sel islet dari Langerhans. Setiap pulau berdiameter 75 sampai
150 makron.Berjumlah sekitar 1 2 juta, dan dikelilingi oleh sel-sel asinus pankreas,
159

disekelilingnya terdapat kapiler darah khusus dengan pori-pori yang besar. Sel-sel islet pankreas
mempunyai tiga tipe sel mayor, yang masing-masing memproduksi endokrin yang berbeda yaitu
sel alfa (20 %) terletak di perifer dan memproduksi glukagon, sel beta (75 %) terletak di sentral
memproduksi hormon insulin,sel delta (5 %) yang mensekresi hormon somotostatin, dan sisanya
yang memproduksi pankreas polipeptida.(13)
Insulin
Pengeluaran insulin oleh sel B dirangsang oleh kenaikan glukosa dalam darah yang ditangkap
oleh reseptor glukosa pada sitoplasma permukaan sel B yang akan merangsang pengeluaran ion
kalsium dalam sel. Ion kalsium akan meningkatkan eksostosis dari vesikel seksresi yang berisi
insulin dan meningkatkan jumlah insulin dalam beberapa detik. Jika keadaan hiperglikemia
masih bertahan maka mRNA akan dibentuk dalam nukleus dan berpindah ke sitoplasma untuk
selanjutnya meningkatkan sintesis dari rantai polipeptida tunggal (proinsulin) di dalam RE. Dan
selama pembentukan dalam apparatus golgi, proinsulin ini akan diikat oleh 2 disulfida yang oleh
enzim protease akan diubah menjadi insulin dan disimpan dalam vesikel sekresi yang jika
dibutuhkan akan dikeluarkan melalui proses eksostosis.
Insulin bekerja dengan jalan terikat dengan reseptor insulin yang terdapat pada membran sel
target. Mekanisme kerja insulin dapat berlangsung segera dalam beberapa detik, dalam beberapa
menit, atau dalam beberapa jam.
Oleh karena efeknya yang menonjol pada metabolisme karbohidrat dan oleh karena efeknya
terhadap metabolisme karbohidrat yang pertama kali ditemukan, maka awalnya insulin dikatakan
sebagai hormon yang mengatur metabolisme karbohidrat. Tetapi, ternyata insulin juga
memainkan peranan yang penting dalam metabolisme lemak dan protein. Jadi fungsi utama
insulin adalah menyimpan energi pada hati,otot dan jaringan lemak.
Glukagon
Glukagon mempunyai fungsi yang berlawanan dengan hormon insulin yaitu meningkatkan
konsentrasi glukosa
Efek fisiologis terjadi melalui mekanisme kerjanya pada reseptor glukagon yang terdapat pada
membran sel.
Efek glukagon pada metabolisme glukosa adalah :
1. Pemecahan glikogen di hati(glikogenolisis).
2. Meningkatkan glukoneogenesis pada hati.
Glukagon juga meningkatkan lipolisis,menghambat penyimpanan trigliserida dan efek ketogenik.
Selain itu glukagon konsentrasi tinggi mempunyai efek inotropik pada jantung, juga
meningkatkan sekresi empedu dan menghambat sekresi asam lambung.
Somatostatin
Somatostatin merupakan polipeptida dengan 14 asam amino dan berat molekul 1640 yang
dihasilkan di sel-sel D langerhans. Hormon ini juga berhasil diisolasi di hypothalamus, bagian
otak lainnya dan saluran cerna. Sekresi somotostatin ditingkatkan oleh :
1. meningkatnya konsentrasi gula darah.
2. meningkatnya konsentrasi asam amino,
3. meningkatnya konsentrasi asam lemak, dan
160

4. Meningkatnya konsentrasi beberapa hormon saluran cerna yang dilepaskan pada saat makan
Somatostatin mempunyai efek inhibisi terhadap sekresi insulin dan glukagon. Hormon ini juga
mengurangi motilitas lambung, duodenum dan kandung empedu. Sekresi dan absorbsi saluran
cerna juga dihambat. Selain itu somatostatin menghambat sekresi hormon pertumbuhan yang
dihasilkan hipofise anterior
Pankreas polipeptida
Hormon ini terdiri dari 36 asam amino dengan berat molekul 4200. Sampai saat ini proses
sintesanya belum jelas. Sekresinya dipengaruhi oleh hormon kolinergik, dimana konsentrasinya
dalam plasma menurun setelah pemberian atropine. Sekresi juga menurun pada pemberian
somatostatin dan glukosa intravena. Sekresinya meningkat pada pemberian protein, puasa,
latihan fisik dan keadaan hipoglikemia akut.(2,10,14,15,16).

Batu Empedu, Cholelithiasis, patofisiologi


PENDAHULUAN
Batu empedu terjadi pada 10-20 % populasi dewasa di Negara berkembang , di Amerika Serikat
lebih dari 20 juta orang menderita penyakit ini dan ditemukan 1 juta pasien baru setiap tahunnya.
Kebanyakan (> 80%) gejala batu empedu tidak nampak, batu empedu sudah dikenal sejak lama
ini dibuktikan dengan hasil otopsi wanita muda mesir hasil penggalian arkeologi yang berusia
2000 tahun dimana terdapat batu empedu.(1-4)
Batu empedu merupakan hasil pengendapan dari cairan empedu. Komponen utama dari cairan
empedu adalah bilirubin, garam empedu, fosfolipid, dan kolestrol. Batu empedu dapat
diklasifikasikan atas batu kolestrol, batu pigmen, dan mixed. Batu pigmen dapat di klasifikasikan
lagi menjadi batu pigmen coklat dan batu pigmen hitam(1,3,4)
Beberapa faktor yang berpengaruh pada perkembangan batu empedu adalah faktor etnik-geografi
; umur dan jenis kelamin, pada usia < 40 tahun penderita mencapai < 5%, sedangkan > 40 tahun
penderita meningkat sampai 30%; faktor lingkungan, kehamilan & pemakaian kontrasepsi oral
juga obesitas & penurunan berat badan secara drastis; faktor penyakit dapatan, misalnya berbagai
gangguan gastrointestinal; dan faktor herediter.5
Tujuan dari makalah ini untuk mengatahui proses patogenesis pembentukan batu empedu baik
itu batu kolestrol, batu pigmen, atau pun mixed. Selain itu dapat diketahui juga faktor faktor
apa yang berpengaruh pada proses patogenesis pembentukan batu empedu baik yang kolestrol
maupun batu pigmen.
ANATOMI KANDUNG EMPEDU
EMBRIOLOGI
Perkembangan saluran bilier berasal dari saluran cerna primitif yaitu distal foregut dan menjadi
sakulasi pada bagian ventral. Muncul pada awal minggu ke-5 masa gestasi atau pada saat
panjang embrio 3 mm. sakulasi ini bertumbuh dan berkembang ke dalam mesenterial ventral dan
menjadi dua bagian yaitu pucuk kranial dan pucuk kaudal . Pucuk kranial berkembang menjadi
161

hati dan duktus biliaris intrahepatik sedangkan pucuk kaudal berkembang menjadi duktus
sistikus dan kandung empedu. Pada minggu ke-7 masa gestasi dalam kandung empedu
vakuolisasi dimulai dan menjadi suatu lumen terbuka yang lengkap(1,6,7)
MAKROSKOPIS
Kandung empedu merupakan suatu kantong berbentuk seperti buah pir dan berada pada fossa
vesika fellea sepanjang permukaan inferior hati yang secara anatomi membagi hati menjadi lobus
kanan dan lobus kiri. Pada orang dewasa panjangnya sekitar 7-10 cm dan mempunyai kapasitas
30 mL.(1,6-8)
GAMBAR. 1 (5)
Kandung empedu melengket pada hati oleh jaringan ikat longgar yang berisi vena-vena kecil dan
saluran limfatik yang menghubungkan hati dan kandung empedu. Organ ini dapat di bagi
menjadi 4 area anatomi yaitu : Fundus, Korpus, Infundibulum, dan kollum. (1,6-8)
VASKULARISASI
Pembuluh darah arteri kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistikus yang merupakan
cabang dari arteri hepatik dekstra yang berjalan transversal melewati Triangle Calot, di bagi
menjadi dua cabang. Satu cabang berjalan sepanjang permukaan peritoneal kandung empedu dan
cabang lainnya berjalan di antara fossa vesica fellea dan hati(1,6-8)
GAMBAR. 2(5)
sedangkan vena sistikus berjumlah banyak yang berasal dari permukaan hati melewati fossa
vesika fellea dan masuk ke dalam lobus quadratrus. Vena yang berada di bawah permukaan
peritoneum dapat mencapai kollum kandung empedu dan masuk ke dalam lobus quadratus secara
langsung atau berjalan bersama pleksus disekeliling duktus biliaris, kemudian vena-vena tersebut
bergabung bersama vena hepatik ,tapi bukan ke vena porta. Vena yang berasal dari bagian bawah
duktus biliaris komunis yang mengalir ke dalam vena porta.(1,6-8)
INNERVASI
Kandung empedu dipersarafi oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang keduanya melalui
pleksus seliakus. Saraf simpatis preganglionik berasal darti level T8 dan T9 sedangkan saraf
parasimpatis postganglionik berada pada pleksus seliakus dan berjalan sepanjang arteri hepatis
dan vena porta menuju kandung empedu. Saraf parasimpatis berasal dari trunkus vagal, tidak
seperti cabang posteriornya yang melewati pleksus seliakus, cabang anteriornya mencapai
kandung empedu melewati ligamentum gastrohepatis.(6-8)
DRAINASE LIMFATIK
Limfe dari kandung empedu melewati nodus hepatikus via nodus sistikus dekat dengan kollum
kandung empedu, alirannya menuju limfonodus seliakus.7
FISIOLOGI EMPEDU
Empedu diproduksi secara terus menerus oleh hati sebanyak 500 sampai 1000 mL setiap hari dan
volume maksimal dari kandung empedu hanya 30-60 ml. Namun ,umumnya sekresi empedu
selama 12 jam dapat disimpan didalam kandung empedu karena air , natrium, klorida dan
162

kebanyakan dari elektrolit kecil lainnya secara kontinu di absorbsi oleh mukosa kandung
empedu, mengkonsentrasikan konstituen empedu lainnya termasuk garam-garam empedu,
kolestrol, lesitin, dan bilirubin. Sebagian besar absorbsi ini disebabkan oleh transport aktif dari
natrium melalui epitel kandung empedu . Empedu normalnya di konsentrasikan lima kali lipat ,
tetapi dapat dikonsentrasikan sampai maksimal 12 18 kali lebih besar. Sekresi empedu
dipengaruhi oleh faktor neurogenik, humoral, dan rangsangan kimia. Rangsangan vagal
mempengaruhi peningkatan sekresi empedu sedangkan saraf splannikus mempengaruhi
penurunan sekresi empedu. Asam hidroklorik, sebagian digesti protein dan asam lemak yang ada
di duodenum merangsang peningkatan sekresi empedu. Hormon kolesistokinin(CCK) dari
mukosa usus halus yang disekresi karena pengaruh makanan berlemak atau produksi lipolitik
dapat merangsang nervus vagus.(1,8,10)
Gambar.35
Komposisi cairan empedu. Tabel dibawah ini menunjukkan komposisi cairan empedu ketika
disekresi pertama kali oleh hati dan kemudian sesudah dikonsentrasikan dalam kandung empedu.
Komponen
Empedu Hati Empedu GB
Air
97,5 g%
92 g%
Garam-garam Empedu
1,1 g%
6 g%
Bilirubin
0,04 g%
0,3 g%
Kolestrol
0,1 g%
0,3-0,9 g%
Asam Lemak
0,12 g%
0,3-1,2 g%
Lesitin
0,04 g%
0,3 g%
Na+
145 mEq/l 130 mEq/l
K+
5 mEq/l
12 mEq/l
Ca+
5 mEq/l
23 mEq/l
Cl100 mEq/l
25 mEq/l
HCO328 mEq/l
10 mEq/l
Dari tabel diatas memperlihatkan bahwa substansi yang terbanyak disekresi pada empedu adalah
garam-garam empedu, yang merupakan setengah dari total solut empedu, namun yang juga
disekresi dan diekskresi oleh dalam konsentrasi besar adalah bilirubin, kolestrol, lesitin dan
elektrolit plasma.8
Sel hati membentuk sekitar 0,5 gram garam-garam empedu setiap harinya dan prekursor dari
garam-garam empedu adalah kolestrol , baik yang dipasok dari diet atau yang disintesis pada selsel hati selama berlangsungnya metabolisme lemak dan kemudian diubah menjadi asam kolik
atau asam senodeoksikolik dalam jumlah yang setara. Asam-asam ini selanjutnya berkombinasi
dengan glisin dan Taurin untuk membentuk Gliko- dan konyugasi tauro- asam empedu.garam
dari asam ini akan disekresi dalam empedu.8
Garam-garam empedu mempunyai dua aksi penting pada traktus intestinalis. Pertama, garamgaram ini mempunyai aksi deterjen pada partikel lemak dalam makanan, yang mengurangi
ketegangan permukaan dari partikel dan memungkinkan agitasi dari traktus intestinalis untuk
mencegah globulus lemak menjadi potongan kecil. Proses ini disebut emulsifikasi atau fungsi
deterjen dari garam-garam empedu. Kedua, membantu absorbsi asam lemak, monogliserida,
kolestrol dan lipid lain dalam traktus intestinalis. Garam empedu melakukan fungsi ini dengan
membentuk kompleks-kompleks kecil dengan lipid; kompleks ini disebut micelle dan sangat
163

mudah larut karena muatan listrik dari garam empedu .(8,11)


EPIDEMIOLOGI
Batu empedu dapat diklasifikasikan menjadi batu kolestrol , batu pigmen, dan batu mixed. Pada
Negara barat lebih 75 % persen adalah tipe batu kolestrol. prevalensi batu empedu sangat
bervariasi di tiap Negara bahkan tiap suku dan ras di Negara yang sama. Menurut epidemiologi
dan penelitian pada hewan, faktor genetiklah penyebab bervariasinya kejadian ini, juga dikatakan
faktor cara hidup seperti makanan, obesitas, turunnya berat badan dan rendahnya aktifitas fisik
turut berperan terbentuknya batu empedu. Prevalensi batu empedu juga meningkat seiring
dengan bertambahnya umur dan lebih sering pada wanita11
Etnik yang paling tinggi kejadian pembentukan batu empedu adalah Indian pima di Amerika
utara, Chilli, Kaukasia di Amerika serikat, Swedia, Jerman, Austria, Selandia baru, Inggris,
Norwegia, Irlandia dan Yunani, sedangkan di Asia termasuk kejadian yang rendah yaitu
Singapura dan Thailand. Di Asia dan Afrika kejadian batu kolestrol sangat rendah tetapi batu
pigmen lebih banyak.10,12
ETIOLOGI & PATOGENESIS
PATOGENESIS BATU KOLESTROL
Total bodi kolestrol disuplai oleh sintetis secara de novo dari Acylcoenzim A( acyl-CoA) dan
absorbsi makanan. Kebanyakan kolestrol ini dilarutkan dan diubah menjadi asam empedu.
Diperkirakan sebanyak 20 % kolestrol biliar berasal dari hati, komponen yang penting pada
kelompok ini adalah hidrolisis cadangan ester kolestrol, sumber-sumber diet seperti kilomikron,
sistesis hepatis dan ekstrahepatis dari Lipoprotein High-density (HDL), Low-density lipoprotein
(LDL), serta Very low-density lipoprotein (VLDL). Hubungan antara batu empedu dengan level
serum kolestrol tidak begitu jelas walaupun batu umpedu dapat dihubungkan dengan
menurunnya kadar HDL dan meningkatnya kadar serum trigliserida tetapi tidak ditemukan
hubungan dengan kadar total serum kolestrol.(9,11)
Beberapa mekanisme yang berperan pada hipersekresi kolestrol biliaris antara lain pada individu
non-obes mempunyai kadar total kolestrol dan kolestrol bebas intraseluler yang lebih tinggi .
kondisi lain yang dihubungkan dengan sekresi kolestrol yang meningkat adalah obesitas, umur,
efek obat, dan terapi hormonal.9,11
Pada percobaan penelitian pada tikus ditemukan gen-gen yang berhubungan dengan
terbentuknya batu empedu yaitu HMG CoAreduktase, Canalicular multispesific organic anion
transporter (Cmoat), intracellular lipid transportes (Pctp dan Fabp6),lipase lipoprotein, dan
lechitin-cholestrol acyltransferase, walaupun pada manusia gen-gen tersebut masih di teliti, tapi
genotip ApoE4 telah diketahui mempunyai peranan dalam peningkatan insiden batu empedu
kolestrol pada manusia.ApoE merupakan suatu lemak transfer protein dilaporkan mempunyai
hubungan dengan batu mengandung kolesterol tinggi, disolusi yang lebih cepat pada saat
pengobatan dengan asam ursodeoksikolat dan kecepatan rekurensi yang lebih tinggi setelah
litotripsi. ApoE mempunyai peranan dalam regulasi sekresi kolesterol biliar.11
Gambar.45
Mekanisme yang lain adalah supersaturasi biliaris dapat terjadi dengan hiposekresi asam empedu
relative. Penurunan asam empedu dan kecepatan sekresi mungkin diakibatkan oleh penurunan
dan kehilangan produksi intestinal yang sangat besar. Pada pasien non-obese dengan batu
kolestrol, asam deoksikolat dan asam senodeoksikolat menurun , dan biasanya asam deoksikolat
164

meningkat dalam empedu. Konversi asam kolat menjadi asam deoksikolat kemungkinannya
terjadi di usus halus oleh bakteri koloni, dengan meningkatnya asam deoksikolat dalam empedu
maka sekresi kolesterol akan meningkat .(2,3,11)
Solubilisasi Kolesterol dan Nukleasi kristal kolestrol
Kolesterol bebas biasanya tidak larut dalam larutan cairan. Asam empedu merupakan zat
ampifatik yang dapat melarutkan kolesterol, fosfolipid, dan campuran micelles. Fase diagram
keseimbangan karakteristik kelarutan kolesterol dapat dibentuk dalam lingkungan berbagai
konsenterasi lemak, dengan menggunakan data tersebut , indeks saturasi kolesterol (CSI) dapat
dihitung. CSI merupakan rasio jumlah kolesterol sesungguhnya dan kapasitas maksimal
kolesterol yang dapat dibawa dan ditentukan secara in vitro. Empedu yang mempunyau rasio CSI
> 1 dipertimbangkan sebagai supersaturasi, empedu yang tidak membentuk kristal kolesterol
disebut metastable. 11
Sebagai tambahan pada kompleks micelle, kolesterol dapat dilarutkan dengan fosfolipid
(prinsipnya adalah Fosfatidilkolin) sebagai vesikel unilamelar dengan ukuran 40 400 nm.
Vesikel mengandung dua lapisan fosfolipid yang saling interdigitasi dengan kolesterol tanpa
berikatan dengan asam empedu. Sebagian vesikel berkumpul dalam hepatosit dan kemudian
dialirkan menuju kanalikuli biliaris. Vesikel dapat menjadi sistem pembawa yang terpisah dan
berbeda, kemungkinannya dapat memunculkan bentuk kolesterol yang mengalir dari
hepatosit.(3,11)
Gambar.55
Sekresi asam empedu merupakan pencetus sekresi kolesterol dan fosfolipid, sebagaimana sekresi
asam-asam empedu secara aktif melawan gradien kedalam kanalikuli, juga merangsang sekresi
vesikel kolesterol dan fosfolipid kedalam empedu. Asam-asam empedu hidrofobik lebih efektif
dalam merangsang sekresi lemak, walaupun kecepatan maksimum sekresi lemak biliar sama
untuk semua asam-asam empedu. Dalam kanalikuli, konsentrasi asam-asam empedu meningkat
mencapai konsenterasi micellar dan menyebabkan konversi menjadi karier micellar
campuran.perubahan ini berlanjut sebagai suatu cara dinamik dalam duktulus, duktus, dan
kandung empedu. Persentase kolesterol relatif dialirkan kedalam fraksi micellar, begantung pada
kondisi fisiologis misalnya, pada kecepatan sekresi asam empedu menurun (puasa) , maka
bentuk yang predominan muncul adalah vesikel. Semakin tinggi konsenterasi asam empedu
dalam kandung empedu semakin banyak pembentukan micelle.(3,11)

Batu kolesterol
Solubilitas kolestrol tergantung pada konsentrasi garam-garam empedu, fosfolipid, dan kolestrol
empedu. Lesitin merupakan kolestrol predominan pada empedu dan walaupun bersifat insoluble
dalam larutan cair tapi dapat di pecahkan oleh garam-garam empedu menjadi micelle. Kolestrol
yang bersifat insolubel pada larutan cair tetapi dapat menjadi solubel jika bergabung menjadi
kompleks micellar,lecitin- garam empedu. Admirall & Sand mengemukakan konsep bahwa jika
kadar kolestrol relatif dalam cairan empedu melebihi konstanta kelarutannya, maka lemak yang
165

berlebih itu akan memadat dan memulai terjadinya pembentukan batu. Pembentukan cairan
empedu yang kaya akan kolestrol secara teoritis dapat berasal dari peningkatan kolestrol ataupun
penurunan sekresi fosfolipid atau garam empedu oleh hepar. Hubungan segitiga antara kadar
kolestrol, garam empedu, dan fosfolipid dalam cairan empedu biasanya digambarkan secara
grafis dengan koordinat segitiga.
Kelarutan tiga komponen besar cairan empedu (garam empedu, lesitin, dan kolestrol)
ditempatkan dalam bentuk koordinat segitiga . Titik P menunjukkan cairan empedu yang terdiri
atas garam empedu 80 %,kolestrol 5 %, dan lesitin 15 %. Garis ABC menunjukkan kelarutan
kolestrol maksimal sebagai fungsi dari konsentrasi lesitin dan garam empedu yang bervariasi.
Bila kombinasi garam empedu, kolestrol, dan lesitin turun hingga dibawah garis ABC, maka
cairan empedu akan berwujud sebagai cairan micelle fase tunggal. Bila kandungan di atas berada
diatas garis ABC , terjadi supersaturasi kolestrol dan pembentukan kristal kolestrol.12
Batas cairan micellar dimana empedu kurang dari saturasi dengan koleastrol mungkin dapat
ditentukan diatas batas tersebut, empedu merupakan cairan supersaturasi atau system 2 fase
cairan empedu dan kristal padat kolestrol.
Mungkin tidak lebih 30 % kolestrol biliar di ubah menjadi micellar, dan utamanya berbentuk
vesicular. Vesicular-vesikular tersebut terdiri dari dua lapisan lemak yang mirip lapisan
membran sel. Vesikel-vesikel tersebut dapat melarutkan lebih banyak kolestrol daripada
micellar, stabilitas struktur tersebut di percaya sebagai kunci untuk menentukan saturasi kolestrol
dan presipitasi. Teori terbaru yang menyatakan terdapat persamaan antara fase physicochemical
dari vesikel-vesikel tersebut yang menentukan cairan kristal yang mungkin dapat membentuk
batu empedu, jika kristal kristal mencapai ukuran makroskopis selama periode penjebakan di
dalam kandung empedu, maka batu empedu akan terbentuk(1).
Langkah awal pembentukan batu kolesterol adalah nukleasi yaitu timbulnya kolesterol solid
dalam empedu saturasi. Fusi vesikuler dan agregasi sangat penting untuk generasi kristal.
Nukleasi kristal menyebabkan penyusutan kolesterol vesikuler tanpa efek pada kolesterol
micellar. 11
kandung empedu cukup berperan pada nukleasi; sedangkan vesikel pada empedu hepatis lebih
resisten pada nukleasi. Ketidaksesuaian tersebut menyebabkan perbedaan relatif kandungan
kolestrol dan fosfolipid, dimana vesikel yang mempunyai rasio yang lebih tinggi berpotensi
beragregasi, fusi dan nukleasi lebih baik. Konsentrasi asam empedu dalam kandung empedu
menyebabkan mengalirnya vesikuler fosfolipid melebihi kolestrol selama pergeseran dinamik
menjadi fase micellar. Vesikel yang sisa, kaya akan kolestrol dan berlanjut menjadi nukleasi.3,11
Nukleasi merupakan proses dimana kristal monohidrat kolestrol terbentuk dan menyatu, waktu
yang dibutuhkan untuk nukleasi lebih singkat pada pasien penderita baru empedu dibandingkan
dengan orang tanpa batu empedu. Glikoprotein dengan panas yang labil dalam kolestrol saturasi
empedu memicu agregasi dan konsekuensi pembentukan batu. Faktor faktor yang berperan
pada pembentukan batu dan presipitasi adalah kolestrol termasuk elemen-elemen pokok, bakteri,
jamur, refluks cairan pankreas dan cairan intestinal, hormon, dan stasis empedu. Observasi
tersebut menyatakan terdapat faktor-faktor tambahan lain pada supersaturasi kolesterol yang
terlibat pada nukleasi. Pertimbangan dilakukan untuk menilai faktor-faktor nukleasi spesifik.
Protein-protein empedu lebih diperhatikan, sebagai isi total protein empedu meningkat dalam
empedu dengan kristal-kristal kolesterol dibanding tanpa kristal-kristal. (1-3,11)
Burnstein dan koleganya memberikan bukti agen pronukleasi yang potensial dalam empedu,
yaitu suatu glikoprotein dengan berat molekul kecil dalam empedu yang berikatan dengan
concanavalin A dan meningkatakan kemampuan promosi, Empedu hepatis yang berasal dari
166

pasien dengan batu kolestrol mengandung protein-protein yang berkaitan dengan vesikel, pada
saat dimurnikan vesikel-vesikel tersebut mempunyai potensi aktifitas nukleasi kolestrol. Suatu
protein anionik (berukuran kecil dan berkaitan dengan pigmen) muncul dan menjadi penting
dalam regulasi garam-garam empedu pada presipitasi kolestrol dalam empedu, pronukleator
yang diduga adalah 1-asam glikoprotein, Aminopeptidase N, Ig M & Ig G, haptoglobulin,
fibronektin , dan 1-antikimotripsin, namun peranan protein-protein tersebut masih
kontroversial. Di lain pihak fraksi protein biliar yang lain seperti Apolipoprotein AI dan AII,
yaitu suatu glikoprotein biliar heterodimer, dan Ig A menghambat uji nukleasi secara in
vitro.(3,11)
Penelitian lain di fokuskan pada peranan musin kandung empedu, yaitu suatu glikoprotein
dengan berat molekul tinggi yang merupakan unsure organik utama pada mukus kandung
empedu. Terdiri dari inti polipeptida dengan rantai sampaing multipel oligosakarida. Peptidapeptida tersebut mengandung unsur hidrofobik yang dapat mengikat pigmen, kolestrol,
fosfolipid, vesikel yang terperangkap, dan micelles dalam suatu ikatan. Pada kontak yang dekat
membrane fusi dan gabungan dapat terjadi dengan terbentuknya multiple vesikel . bergabungnya
musin pada empedu supersaturasi akam berubah dengan cepat menjadi nukleasi kristal kolestrol.
Musin dapat bergabung dalam inti perkembangan batu empedu dan akhirnya berkembang
menjadi kristal dan pembentukan batu.musin dapat bertindak sebagai pronukleator. Rangsangan
pada hipersekresi musin belum jelas walaupun prostaglandin mungkin mempunyai peranan
terbentuknya batu pigmen. Pada empedu pasien dengan batu pigmen telah di identifikasi
oxysterol, sedangkan zat ini juga dapat mempengaruhi sekresi musin.(3,11)
Kompleks kalsium yang penting, muncul pada inti matriks batu kolestrol, dimana kalsium dapat
bekerja sebagai potensial nidus untuk kristalisasi kolestrol. Kalsium mampu mengikat micelles
campuran dan micelles simple secara in vitro, juga dapat menjelaskan peranan kalsium pada
nukleasi kristal kolestrol. Kalsium juga dapat mengatur sekresi elektrolit dan glikoprotein.(3,11)
Soluble forms transitional forms crystalline forms
Concentration
Keterangan : mixed micelle
unilamellar vesicle
agregation fusion
multilamellar liposome
solid monohydrate crystal
Gambar.811
PERANAN KANDUNG EMPEDU
Pentingnya kandung empedu dalam patogenesis batu empedu harus diketahui. Kolisistektomi
dilakukan untuk menghindari rekurensi pembentukan batu kolestrol. Fungsi mukosa kandung
empedu mempunyai peranan yang penting pada proses patogenesis ini. Kandung empedu dapat
mengabsorbsi air dan elektrolit yang berlebihan serta konsentrasi empedu, selain itu juga
mempunyai fungsi sekresi ion-ion hidrogen dan mucin. (3,11)
Peningkatan metabolisme lemak dalam epitel kandung empedu dapat meningkatkan kandungan
kolesterol. Aktivitas Hydroxymethilglutary-CoA reduktase mempengaruhi sintesis kolesterol
lebih rendah dalam mukosa kandung empedu dibandingkan dengan jaringan hati dan aktifitas
167

Acyl CoA; Cholesterol acyltransferase (ACAT) mengkatalisasi esterifikasi kolesterol lebih


sering dibanding dalam hati. suatu penelitian yang menyatakan kandung empedu manusia normal
dapat menyerap kolestrol dan fosfolipid secara in vitro sehingga litogenik berkurang. Dilain
pihak kandung empedu pasien dengan batu empedu kurang mampu menyerap kolestrol dan
fosfolipid sehingga meningkatkan potensi litogenik empedu. Kurangnya kemampuan absorbsi
lipid dapat menjadi faktor tambahan patogenesis batu empedu. Sebagai tambahan, motilitas
kandung empedu juga sangat berperan . stasis kandung empedu yang terjadi dapat menjadi faktor
resiko, dimana jeli mucin dapat terakumulasi dengan cadangan empedu yang lama sehingga jeli
tersebut dapat mempengaruhi pengosongan mekanik.11
Meningkatnya nukleasi kolestrol dan pertumbuhan kristal dari hidrolisis enzimatik dan
nonenzimatik dari konyugasi bilirubin dapat mengendapkan kalsium.
Peningkatan kontraktilitas kandung empedu sebelum pembentukan batu kolesterol dapat terlihat
pada hewan coba. Sedangkan pada manusia total nutrisi parenteral dapat menyebabkan
hipomotilitas dan stasis kandung empedu sehingga berpotensi terbentuknya Lumpur empedu
(Biliary sludge) yang nantinya akan membentuk batu, selain itu cedera spinal tinggi, kehamilan,
kontrasepsi oral, obesitas, diabetes mellitus juga dihubungkan dengan kegagalan pengosongon
kandung empedu dan kolelitiasis.11
BILIARY SLUDGE
Presipitasi dalam empedu disebut dalam nama antara lain biliary sludge, mikrolitiasis, dan
pseudolitiasis. Sludge dapat didiagnosa baik dengan pemeriksaan mikroskop dengan sampel
empedu yang segar. Sludge juga dapat terlihat dengan ultrasonografi yang memakai lowamplitude echoe tanpa postakustik shadow.3,11
Secara biokimi sludge disusun oleh granula kalsium bilirubinat dan kristal-kristal kolestrol
monohidrat yang melekat dalam jeli mucus. Kalsium-kalsium tersebut mengendap bersama
kristal kolestrol yang mempunyai diameter 50m menghasilkan karakteristik ultrasonik.3,11
PATOGENESIS BATU PIGMEN
Batu pigmen empedu dapat diklasifikasikan menjadi batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat ,
kedua batu tersebut mempunyai perbedaan menurut morfologi, patogenesis dan hubungan
klinis.3

Karakreristik
Warna
ukuran
konsistensi
lokasi anatomi

Pigmen Hitam
Hitam
0,3 0,6 cm
Tak berbentuk,seperti bubuk,
solid
Kandung empedu

168

Pigmen coklat
Coklat, jingga, kuning
0,5 2 cm
Lunak, berlapis, berlumpur
Kandung empedu & duktus
biliaris

geografi
Diet
Hubungannya dgn penyakit
Kultur empedu
Rekurensi batu
Kalsifikasi radiology
Komponen utama
Etiologi
pigmen empedu-bentuk
utama total
kalsium
garam kalsium
- karbonat
- fosfat
palmitat + stearat
kolesterol unesterifikasi
matriks
organic(glikoprotein,
musin, karbohidrat)

Barat & Asia


Makanan tinggi protein
Hemolisi,sirosis
Biasanya steril
Jarang
Difus(70% radio-opaq)
Pigmen polimer,kalsium
fosfat,Kalsium karbonat
Peningkatan ekskresi atau
hidrolisis bilirubin konyugasi

Kebanyakan Asia
Makanan rendah protein
Kolangitis, parasit
Infeksi
Sering
Radiolusen, kalsifikasi
kolesterol,asam lemak,
Kalsium bikarbonat
Hidrolisis bakteri dari bilirubin
konyugasi dan unkonyugasi

40(10-90)polimer insoluble

50(28-79) kalsium bilirubinat

15 (3-40)

5 (3-9)

13 (0-= 65)
5 (0- 32)
1 (0-3)
3 (1-13)
24 (10-73)

Tidak ada
<1
23 (11-67)
10 (2-28 )
12 (0-30)

Berbeda dengan batu kolesterol, faktor etnik tidak terlalu berperan pada batu pigmen. Batu
pigmen dapat terjadi pada orang tanpa faktor presdiposisi, di USA batu pigmen hitam ditemukan
dalam kandung empedu tanpa ada infeksi sebelumnya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada pembentukan batu pigmen hitam adalah hemolisis kronis
(misalnya : sickle cell disease), thalasemia, protesis katup jantung, usia tua, nutrisi parenteral
yang lama, dan sirosis. Batu pigmen hitam dapat timbul bersamaan dengan batu kolesterol
didalam kandung empedu. Protein pengatur kalsium yang mengatur presipitasi kalsium telah di
isolasi dari batu pigmen.3,11
Di Asia , batu pigmen coklat sering ditemukan dalam duktus biliaris dan erat kaitannya dengan
infeksi bakteri. Terdapat insiden yang tinggi infeksi dari Escherichia coli bahkan kadang-kadang
bakteri ada di dalam batu. Sekresi biliar Ig A menurun. Infeksi empedu menunjukkan adanya
aktifitas bakteri -glucoronidase yang tinggi, biasanya selalu hubungkan dengan divertikulum
jukstapapilari duodenal.3
DEKONYUGASI BILIRUBIN
Bilirubin merupakan suatu kolesterol tetrapirol yang tak dapat larut dalam air. Setelah
glukoronidase , bilirubin disekresi kebanyakan adalam bentuk diglukoronida (75% 80%) atau
monoglukoronida (20%) dengan sejumlah kecil bilirubin unkonyugasi (3%), batu pigmen hitam
dan coklat mengandung garam-garam kalsium-bilirubin sebagai bukti pada patogenesis batu
pigmen terjadi dekonnyugasi dan presipitasi bilirubin.2,3,11
Pada Pasien dengan hemolitik kronis terdapat peningkatan sebanyak sepuluh kali lipat ekskresi
169

bilirubin konyugasi dalam biliaris hepatis. Hewan percobaan yang dilakukan reseksi ileum,
sirkulasi enterohepatik bilirubin selama periode awal setelah pembedahan dengan peningkatan
molekul bilrubin pada level biliaris.
Pasien dengan ileitis Chron atau telah direseksi ileum sebelumnya konsentrasi bilirubin
konyugasi dan unkonyugasi lebih meningkat dibandingkan dengan penderita colitis ulserative
dan colitis chron. Berdasarkan penelitian tersebut diduga bilirubin unkonyugasi diabsorbsi pada
kolon dari penderita gangguan di ileum, dari dugaan tersebut dapat dijelaskan peningkatan
insiden batu pigmen pada pasien dengan gangguan ileum. Micelles campuran asam empedu dan
lingkungan yang asam memicu solubilisasi bilirubin . peranan - glukoronidase dalam
patogenesis batu empedu pigmen masih kontroversial. Penelitian dengan memakai teknik biologi
molekuler menyatakan infeksi bakteri dalam produksi batu pigmen coklat. Diduga hidrolisis
bakteri - glukoronidase dari bilirubin konyugasi kedalam bilirubin yang tak larut menyebabkan
adanya hubungan antara infeksi dan batu pigmen coklat, namun hipotesisi ini tidak relevan
dengan batu pigmen hitam. Aktifitas - glukoronidase dalam empedu yang tidak terinfeksi di uji
, diketahui bawa enzim tersebut juga berasal dari epithelium. Penelitian yang mendukung hal
tersebut yaitu empedu pada kandung empedu yang berasal dari pasien dengan batu kolesterol,
batu pigmen atau batu campuran mempunyai kadar bilirubin monoglukoronida lebih tinggi dari
pasien tanpa batu. Namun demikian Faktor resiko yang lain yaitu stasis kandung empedu
biasanya terjadi untuk pengendapan kalsium bilirubinat. Stasis kandung empedu sama dengan
nukleasi kolesterol pada patogenesis pembentukan batu kolesterol, yang dapat memberikan
kesempatan untuk hidrolisis nonenzimatik dari bilirubin diglukoronidase dan akan menyebabkan
pengendapan, total nutrisi parenteral yang lama, stasis kandung empedu dapat menyebabkan
pembentukan sludge dan batu pigmen hitam.2,3,11
Kandung empedu mempunyai peranan dalam pembentukan batu empedu dengan cara yang lain,
homeostasis kalsium berhubungan erat dengn batu pigmen hitam dan coklat, karena keduanya
dominan mengandung kalsium karbonat, Supersaturasi empedu hepatis dengan kalsium
karbonat. Epitel kandung empedu dapat mengasamkan empedu, meningkatkan solubilitas
kalsium karbonat. Ketidakmampuam kandung empedu yang mengalami inflamasi
mengasamkankan empedu sangat berperan pada pembentukan batu pigmen. Epitel kandung
empedu mengeluarkan mukus glikoprotein kedalam empedu dan mengikat bilirubin dan lemak
hidrofobik lainnya dan zat tersebut terdapat pada batu pigmen hitam dan coklat.3,11
Hipotesa kerja dapat dibuat untuk pembentukan batu pigmen, ekskresi bilirubuin yang
meningkat, stasis kandung empedu, dan infeksi empedu memungkinkan terjadinya hidrolisis
bilirubin diglukoronidase menjadi bentuk yang kurang melarut. Ketidakmampuuan mukosa
kandung empedu yang mengalami inflamasi untuk mengasamkan empedu mengganggu
kelarutan kalsium dan bilirubin. Sekresi mucus oleh epitel kandung empedu menghalangi ion-ion
hydrogen dan menurunkan keasaman kalsium karbonat, fosfat, dan bilirubin untuk presipitasi.11

Gastro Esofageal Refluks Disease (GERD)


PENDAHULUAN
Penyakit Gastroesofageal refluks (Gastroesophageal refluks disease/GERD) adalah suatu
keadaan patologis sebagai akibat refluks cairan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai
gejala yang timbul akibat keterlibatan esophagus, faring, laring, dan saluran nafas yang dapat
menimbulkan berbagai gejala di esophagus maupun ekstra esophagus, dari ringan sampai berat.
170

GEJALA KLINIS.
Keluhan rasa terbakar dan nyeri dada di bagian tengah, yang kemudian disusul dengan timbulnya
rasa seperti muntah dengan mulut masam (regurgitasi). Rasa terbakar tersebut dirasakan terutama
pada waktu makan, dan dirasakan sepanjang hari. Selain keluhan tersebut juga timbul rasa panas
dan pedih di ulu hati, mual, bahkan sering disusul dengan muntah. Walaupun demikian ada tiga
keluhan utama yang sering diajukan pada panderita, yaitu : rasa panas dan pedih di dada bagian
tengah, regurgitasi, dan disfagia. Penyebab dari keluhan tersebut di atas adalah sebagai akibat
dari gangguan motilitas di esophagus, dan di lambung. Gangguan motilitas di esophagus
biasanya terjadi karena tonus sfingter bagian distal esophagus menurun. Sedangkan gangguan
motilitas di lambung karena berkurangnya peristaltik terutama di antrum dan pylorus sehingga
waktu pengosongan lambung menurun.
Sfingter esophagus bagian distal berperanan penting sebagai mekanisme anti refluks pada kardia.
Jadi, berkurangnya tonus sfingter esophagus bagian distal, maka peristaltik di kardia akan
terganggu atau lambat membuka, sehingga makanan / minuman terasa lambat turunnya, bahkan
dapat menyebabkan timbulnya refluks. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan berkurangnya
tonus esophagus bagian distal adalah : makan yang berlemak, merokok, obat obatan
diantaranya : antikholinergik, aminofilin, benzodiazepine, nitrate.
Pada penderita dengan keluhan GER, tidak hanya terjadi sebagai akibat berkurangnya tonus
sfingter esophagus bagian distal, tetapi juga disertai berkurangnya peristaltik di antrum dan
pylorus, sehingga waktu pengosongan lambung menjadi lambat. Faktor esophagus dan lambung
mempunyai peran penting dalam terjadinya GER. Oleh karena itu selain timbulnya keluhan rasa
terbakar atau rasa panas dan pedih di dada bagian tengah terutama waktu makan atau minum,
juga timbul keluhan lain yaitu merasa panas dan pedih di hati, mual, muntah, mulut terasa
masam atau pahit, dan merasa cepat kenyang. Kadang kadang GER dapat menimbulkan
keluhan rasa nyeri di dada yang disertai rasa seperti kejang yang menjalar ke tengkuk, bahu atau
lengan sehinga menyerupai keluhan seperti angina pektoris. Keluhan ini timbul sebagai akibat
rangsangan kemoreseptor pada mukosa. Mungkin juga rasa nyeri di dada tersebut disebabkan
oleh dua mekanisme yaitu adanya gangguan motor esophageal dan esophagus yang hipersensitif.
Oleh karena itu kondisi demikian terdapat pada esophagus yang sensitif mekanik. Yang jelas
bahwa esophagus hanya sensitif pada satu faktor saja, yaitu pengaruh asam atau rangsangan
mekanik.
PATOGENESIS
Ada 4 faktor yang berperanan untuk terjadinya GER dan esofagitis refluks :
1. Anti-Refluks Barrier
Esophagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi
lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan
kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd
yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES
hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg). Peran terbesar
pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES menyebabkan refluks retrograd
pada saat terjadinya peningkatan tekanan intra abdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata
mempunyai tonus LES yang normal. Faktor faktor yang menurunkan tonus LES yaitu adanya
hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat obatan
(antikolinergik, beta-adrenergik, theofilin, opiat, dan lain lain), faktor hormonal.
Pada pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasuskasus GERD dengan tonus LES yang
171

normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation
(TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan yang berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa
didahului proses menelan.
Hubungan antara hernia hiatus dan GER masih controversial, meskipun 5060% penderita
dengan hiatus hernia menunjukkan tanda esofagitis secara endoskopik, sekitar 90 % esofagitis
disertai dengan hiatus hernia. Ini menunjukkan bahwa hiatus hernia merupakan faktor penunjang
terjadinya GER karena kantong hernia mengganggu fungsi LES, terutama pada waktu mengejan.
Dewasa ini LES terbukti memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya GER. Namun
harus diingat bahwa refluks bisa saja terjadi pada tekanan SED yang normal. Ini yang dinamakan
Inappropriate, atau Transient Sphincter Relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi
di luar proses telan.
- Hernia hiatus LES inkompeten Erosif GERD
- Hiatus hernia TLESRs lebih sering terjadi.
Faktor hormonal (cholecystokinin, secretin) dapat menurunkan tekanan LES seperti yang terjadi
setelah makan hidangan yang berlemak. Pada kehamilan dan pada penderita yang menggunakan
pil KB yang mengandung progesteron/-estrogen, tekanan LES juga turun.
2. Isi lambung dan pengosongannya
GER lebih sering terjadi sewaktu habis makan daripada keadaan puasa, oleh karena isi lambung
merupakan faktor penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung lebih sering terjadi
refluks. Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan menambah kemungkinan refluks
tadi.
3. Daya perusak bahan refluks
Asam pepsin dan mungkin juga asam empedu/lysolecithin yang ada dalam bahan refluks
mempunyai daya perusak terhadap mukosa esophagus.
4. Esophageal Clearing
Bahan refluks dialirkan kembali ke lambung oleh kontraksi peristaltik esophagus dan pengaruh
gaya gravitasi. Proses membersihkan esophagus dari asam (esophageal acid clearance) ini
sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap. Mula mula peristaltik esophagus primer yang timbul
pada waktu menelan dengan cepat mengosongkan isi esophagus, kemudian air liur yang dibentuk
sebanyak 0,5 ml/menit menetralkan asam yang masih tersisa.
Pemeriksaan penunjang
1. Kontras media barium
Pada pemeriksaan ini diberikan kontras media barium. Perlu diamati secara fluroskopi jalannya
barium di dalam esofagus perlu diperhatikan peristaltik terutama di bagian distal (sfingter
esofagus bagian distal = SED). Bila ditemukan refluks barium dari lambung kembali ke esofagus
maka dapat dinyatakan adanya GER. Kelainan struktur dari esophagus tersebut sebaiknya
dilanjutkan dengan pemeriksaan endoskopi dan biopsi. Sebaliknya bila ditemukan ada dugaan
kelainan motilitas, sebaiknya dilakukan manometri esofagus, selanjutnya baru dilakukan
pemeriksaan endoskopi.
2. Endoskopi.
Pemeriksaan endoskopi untuk menentukan ada tidaknya kelainan di esophagus, misalnya
esofagitis, tukak esophagus, akhalasia, striktura, tumor esophagus, varises di esophagus.
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan Gold Standart untuk diagnosis
GER dengan ditemukannya mucosal break di esophagus.
ABC
172

Ket: A. esophagus normal; B. esophagus dengan erosive refluks esofagitis; C. eosinofil


esofagitis.
Klasifikasi Los-Angeles
3. Pengukuran pH 24 jam dan tekanan esophagus.
Pengukuran pH dari esophagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya RGE, pH dibawah
4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk GER. Pemeriksaan distribusi normal
pH di dalam esophagus telah menunjukkan bahwa pH esophagus jarang turun di bawah 4 atau
naik di atas 7. Cara lain adalah menggunakan alat yang mencatat secara terus menerus selama
24 jam pH intra esophagus dan tekanan manometrik esophagus. Selama rekaman penderita dapat
memberi tanda serangan dada yang dialaminya, sehingga dapat dilihat hubungan antara serangan
dan pH esophagus / gangguan motorik esophagus.
4. Manometri esophagus
Tes manometri akan memberi manfaat yang berarti jjika pada pasien pasien dengan gejala
nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata di dapatkan esofagografi barium dan endoskopi
yang normal. Manometri esophagus dilakukan dengan kateter yang berisi air, melalui sisstem
mikrokapiler pneumohidrolik dengan kelenturan rendah, yang secara progresif ditarik dai
esophagus.
Terapi
Tujuan pengobatan adalah untuk menyembuhkan lesi esophagus, mengurangi/menghilangkan
terjadinya refluks, menetralisir bahan refluks, memperbaiki tekanan LES, mempercepat
pembersihan esophagus, menghilangkan keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas
hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi. Ada 2 macam pengobatan GERD, yaitu:
Konservatif : Terapi medikamentosa dan perubahan pola makan.
Operatif : Terapi pembedahan
1. Pengelolaan konservatif.
Setelah makan jangan cepat berbaring, Hindari mengangkat barang berat, Hindari pakaian yang
ketat, terutama di daerah pinggang, Penderita yang gemuk, perlu diturunkan berat badan,
Biasakan tidur dengan lambung yang tidak diisi penuh, Tempat tidur di bagian kepala
ditinggikan, Sebelum tidur jangan makan terlalu kenyang, Hindari makanan berlemak, Kurangi
atau hentikan minum kopi, alkohol, coklat, Jangan merokok.
Terapi medikamentosa.
Antasida
Untuk menghilangkan rasa nyeri dan menetralisir asam lambung. Antasida kurang memuaskan
karena waktu kerjanya singkat dan tidak dapat diandalkan untuk menetralisir sekresi asam tengah
malam. Ada resiko terjadinya sekresi asam yang melambung kembali (rebound acid secretion),
dan menimbulkan efek samping diare atau konstipasi. Terbatas pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal. Dosis:41 sendok makan sehari.
Antagonis Reseptor H2
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta
tanpa komplikasi.
Dosis pemberian :
- Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg
- Ranitidin : 4 x 150 mg
- Famotidin : 2 x 20 mg
173

- Nizatidin : 2 x 150 mg
Penghambat Pompa Proton (PPI)
- Drug of choice dalam pengobatan GERD
- Bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase
yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
- Sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada
esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2.
- Dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh :
* omeprazole : 2 x 20 mg * pantoprazole : 2 x 40 mg
* lanzoprazole : 2 x 30 mg * esomeprazole : 2 x 40 mg
Obat obat prokinetik
Obat prokinetik mempunyai sifat memperbaiki motilitas dan mempercepat peristaltik saluran
makan, di samping meninggikan tekanan LES.
- Betanechol : mempunyai sifat menigkatkan tonus LES, dan kontraksi lambung. Tetapi pada
stasis lambung tidak mempercepat pengosongan lambung, bahkan dapat menyebabkan kejang
abdomen meningkatkan frekuensi buang air kecil karena mengurangi kapasitas kendung kemih
dan menambah peristaltik ureter.
- Metoclopramid : merupakan senyawa golongan benzamid. Mekanismenya di saluran cerna
yaitu untuk potensiasi efek kolinergik, memberi efek langsung pada otot polos, dan menghambat
dopamin. Secara farmakodinamik, obat ini memperkuat tonus LES dan meningkatkan amplitude
kontraksi esofagus. Di lambung, memperbaiki koordinasi kontraksi antrum dan duodenum,
sehingga mempercepat pengosongan lambung. Dosis : 3 x 10 mg
- Domperidon : adalah derivate benzimidazol, dan merupakan antagonis dopamin perifer yang
merangsang motilitas saluran makan serta mempunyai khasiat anti muntah. Obat ini berkhasiat
untuk pengobatan refluks gastroesofageal, sindroma dyspepsia, gastroparesis, anoreksia nervosa.
Pemberian domperidon akan meningkatkan tonus LES. Di samping itu akan meningkatkan
koordinasi antro-duodenal, yaitu dengan jalan meningkatkan kontraktilitas serta menghambat
relaksasi lambung, sehingga pengosongan lambung lebih dipercepat. Efek samping domperidon
lebih rendah daripada metoclopramid karena tidak memperngaruhi reseptor saraf pusat. Dosis : 3
x 10 20 mg sehari
- Cisapride : merupakan derivate benzinamid, dan tergolong obat prokinetik baru yang
memperbaiki gangguan motilitas seluruh saluran makan. Jadi obat ini mempunyai spektrum luas.
Dosis : 3 x 10 mg sehari
Sukralfat (aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer
terhadap HCL di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini
cukup aman diberikan karena diberikan secara topikal (sitoprotektif). Dosis : 4 x 1 gram
KEUNTUNGAN KERUGIAN
STEP DOWN Gejala cepat hilang Potensial Over Treatment
Kegagalan Therapi Rendah
Mengurangi biaya Biaya awal tinggi
STEP UP Mencegah Over Threatmen Ada Keluhan Potensial
Biaya awal rendah
2. Terapi pembedahan
Indikasi:
174

1. Terapi medis gagal.


2. Adanya pembentukan striktur yang masih dini atau pembentukan cincin Schatzki merupakan
pernyataan adanya refluks jangka panjang dan mengharuskan suatu prosedur antirefluks.
3. Adanya metaplasia kolumnar pada esophagus distal, atau esophagus Barrett, mencerminkan
keadaan premalignan dengan dugaan etiologi akibat GERD yang mungkin juga mengharuskan
terapi operatif.
Fundoplikasi baik melalui laparotomi atau torakotomi kini merupakan cara yang banyak
digunakan sampai sekarang karena memberikan hasil yang lebih baik lebih kurang 85% dan
angka kekambuhan refluks kecil (<10%), terdiri atas:
Mobilisasi esophagus untuk menempatkannya kembali ke dalam abdomen.
Memfiksasi dinding lambung sekitar esophagus distal (duplikasi).
Menyempitkan hiatus esophagus.
Abdomen di eksplorasi melalui insisi di garis tengah, mobilisasi lobus kiri hati dengan
memotong lig. Triangularis, lig.gastrohepatik untuk mobilisasi lengkap esofagus distal dan
melihat hiatus esofagus.
Ligasi pembuluh darah gastrik yang pendek biasanya harus dihindari, karena terjadi
peningkatan insidensi splenektomisekunder karena cedera iatrogenik akibat prosedur ini.
Selanjutnya dilakukan traksi lambung secara berhati hati dan mobilisasi esophagus secara
tumpul dilakukan dari atas ligamentum gastrohepatik yang dipotong dalam suatu bidang anterior
dari ligamentum akuata medial. Sebuah drain Penrose harus digunakan untuk mempertahankan
retraksi dan reduksi persambungan gastroesofagus ke dalam rongga abdomen.
Pada saat tersebut diseksi harus menemukan krura hiatus esofagus dan memungkinkan
mobilisasi posterior fundus lambung. Selanjutnya dilakukan pemasangan dilator Maloney ukuran
40 42 sebelum aproksimasi krura dilakukan sampai hanya ujung jari telunjuk ahli bedah dapat
dimasukkan bersama dilator ke dalam reparasi hiatus. Tangan kanan ahli bedah digunakan untuk
memasukkan fundus lambung ke belakang esophagus sampai dapat diraih oleh klem Babcock.
Aproksimasi selubung fundus dilakukan dengan jahitan gastrik seromuskuler sutera 2-0
sepanjang kira kira 4 cm. Jahitan yang paling kaudal juga harus mengenai permukaan medial
persmabungan esofagogstrik ke jahitan terbawah dari selubung fundus harus menghalangi
migrasi lambung distal ke sefalad dan mencegah terbentuknya kantung lambung suprafundus.
Saraf fagus harus dikenali, dilindungi, dan biasanya dimasukkan ke dalam selubung fundus.
Setelah selesainya fundoplikasi, dilator dilepas dan diganti dengan selang nasogastrik untuk
mendapatkan dekompresi pascaoperasi yang terus menerus. Fundoplikasi juga harus
memungkinkan dimasukkannya jari ahli bedah ke dalam selubung untuk menjamin bahwa
selubung tidak terlalu sempit dan tidak bertindak sebagai obstruksi esophagus iatrogenik.
Fundoplikasi melalui pendekatan transtorakalis mengikuti cara yang sama sepert pendekatan
abdominal kecuali bahwa selubung fundus diselesaikan sebelum reparas krura. Pertimbangan
utama dilakukannya pendekatan torakalis adalah ditujukan pada pasien dengan esofagus distal
yang imotil atau esofagus yang pendek.
Diagnosis Banding
Angina pektoris : suatu gejala klinik yang disebabkan oleh iskemia miokard yang sementara.
Ini adalah akibat dari tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan oksigen miokard dengan dan
kemampuan pembuluh dara hkoroner menyediakan oksigen secukupnya untuk kokntraksi
mmiokard. Gejalanya adalah sakit dada sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah
satu atau kedua tangan, leher atau punggung.
Angina pektolris di jadikan diagnosis banding karena GER dapat menimbulkan keluhan rasa
175

nyeri di dada yang kadang kadang disertai rasa seperti kejang yang menjalar ke tengkuk, bahu
atau lengan sehinga menyerupai keluhan seperti angina pektoris. Keluhan ini timbul sebagai
akibat rangsangan kemoreseptor pada mukosa. Mungkin juga rasa nyeri di dada tersebut
disebabkan oleh dua mekanisme yaitu adanya gangguan motor esophageal dan esophagus yang
hipersensitif.
Komplikasi
Barret esophagus
Merupakan penyakit GERD stadium akhir. Kondisi ini ditemukan pada 7 sampai 10 persen
pasien dengan GERD. Gangguan parah fungsi korpus esofagus, da npeningkatan jelas
pemaparan asam esovagus. Penyulit tipikal pada pasien Barrets adalah ulseerasi pada segmen
yang dilapisi epitel kolumnar, pembentukan striktur, dan displasia kanker.

Ikterus Obstruksi, Kausa Askaris, Definisi,


Laporan Kasus
ABSTRACT
Introduction & Objectives : obstructive jaundice as a cause of ascaris lumbricoides is not rarely
found in the world especially in endemic area such as Asia,Africa and south Emerica. In
Indonesia this case is very rare published by institution.
Material & methods : Obstrctive jaundice of a woman 60 years old has been reported in Stella
Maris Hospital. Laboratory examination: increase of direct and indirect billirubin. On ultrasound
examination found thickeningof gall bladder wall and non acoustic mass in gall bladder.
Result : Cholecystectomy was performed and four ascaris worms were found.
Key words : Obstructive jaundice, ascaris.
Pendahuluan
Ikterus obstruksi terjadi bila duktus biliaris intra dan atau ekstra hepatis mengalami obstruksi dan
empedu yang diproduksi oleh sel hati normal tidak dapat di ekskresi.
Penyebab obstruksi dapat terjadi karena kelainan pada lumen dan dinding saluran empedu.
Diantara penyebab obstruksi, batu dan tumor kaput pankreas menduduki tempat teratas disusul
infeksi dan cacing. Askaris di dalam saluran biliaris sebagai penyebab ikterus obstruksi di
Indonesia masih jarang dipublikasikan.
Di seluruh dunia kira-kira 1,5 milyar penduduk terserang askaris lumbrikoides pada saluran
cerna. Asia, Afrika, Amerika tengah dan Amerika selatan masih merupakan daerah endemik.
(2,3) Askaris pada kantong empedu lebih jarang ditemukan daripada askaris didalam duktus
biliaris. (2)
Pengobatan terpilih untuk ikterus obstruksi ini adalah pembedahan baik itu bedah konvensional
maupun endoskopi laparoskopi. Maka diagnosis harus cepat dan tepat,sebab keterlambatan
membuat diagnosis akan menimbulkan peninggian morbiditas dan mortalitas.
Berikut kami laporkan satu kasus ikterus obstruksi kausa askaris.
LAPORAN KASUS
Ny. R. perempuan, umur 60 tahun, suku makassar, pekerjaan ibu rumah tangga, masuk rumah
176

sakit Stella Maris Makassar, 6 Oktober 1999, dengan keluhan sakit perut yang dirasakan 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Disertai dengan kembung dan tidak buang air besar selama 5 hari.
Mual dan muntah, riwayat gangguan buang air besar sebelumnya tidak jelas. Demam tidak ada.
Keluhan saluran kemih tidak ada Pemeriksaan fisis sakit sedang, gizi baik, sadar. tekanan darah
160/90 mmHg, nadi 96 kali/menit reguler berisi, pernapasan 28 kali/menit torakal, suhu aksiler
37.5 0 C. Konjunktiva tidak anemis, sklera tidak ikterus. Paru dan jantung tidak ada kelainan.
Abdomen kembung, kontour usus dan gerakan usus ada, defans dinding perut tidak ada,
peristaltis meningkat, metalic sound ada Pemeriksaan laboratorium rutin Hb 10.5 gr%, leukosit
9900 mm 3, trombosit 196 mm 3, LED 36/59
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis ditegakan diagnosis sebagai ileus obstruksi curiga
tumor kolon, dilakukan tindakan resusitasi untuk persiapan operasi. Selama observasi pra operasi
timbul ikterus sehingga operasi ditunda dan dilakukan evaluasi ulang. Pemeriksaan Kimia darah
: Protein total 5,76 g/dl, albumin 3,19, Bilirubin total 6,59 mg/dl, bilirubin direk 3,71 mg/dl
bilirubin indirek 2,88 mg/dl, alkali fosfatase.68 U/l, SGOT 19.00 U/l, SGPT 68 00U/l Gamma
GT 33,00 U/l, GDS 110 mg/dl, ureum 74,90 mg/dl, creatinin 1,31 mg/dl.
Foto polos abdomen usus tampak dilatasi dengan penebalan mukosa, tidak tampak udara bebas,
kesan ileus obstruksi, DD akut toksik dilatasi.
USG abdomen : tampak adanya cairan bebas ekstra lumen disertai debris yang reflektif, tumor
pada kolon sulit dinilai karena banyak udara, hepar, lien, kedua ginjal baik. GB, tampak
didinding tebal ada massa non akustik didalamnya mungkin suatu polip kesimpulan kolesistitis
dengan polip.
Berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan laboratorium dan USG abdomen didiagnosis sebagai
ikterus obstruksi. Tindakan operasi pada tanggal 8 oktober 1999 dan didapatkan perlengketan
usus pada kantong empedu dan benjolan pada duktus koledokus. Dilakukan kolesistektomi dan
eksplorasi duktus koledokus ditemukan 4 ekor cacing yang sudah mati dan terpotong-potong.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi, kolesistitis akuta, Ascaris lumbricoides dalam kantong
empedu, tidak ditemukan tanda ganas.
Kontrol laboratorium tanggal 14 oktober 1999. Bilirubin total 2,07 mg/dl, bilirubin direk 1,35
mg/dl, Bilirubin indirek 0,72 mg/dl .
Penderita dipulangkan hari ke 20 paska operasi dengan keadaan baik.
PEMBAHASAN
Askaris didalam saluran biliaris merupakan salah satu tipe dari infeksi askaris. (3,9) Di Indonesia
belum ada angka insidens yang pasti. Suzantra, dkk di Bandung, tahun 1992-1994 dari 95 kasus
ikterus obstruksi hanya mendapatkan 3 kasus ikterus obstruksi akibat askaris. (7)
Di Kashmir, India, askaris biliaris merupakan penyebab umum dari penyakit duktus biliaris pada
orang dewasa. Javid, selama oktober 92- juni 98 dari 1300 pasien askaris pada saluran
hepatobiliaris mendapatkan 56 kasus askaris pada kantong empedu. (2)
Askaris biliaris diklasifikasikan atas askaris biliaris tanpa komplikasi dan askaris biliaris dengan
komplikasi. Komplikasi dini berupa, kolangitis supuratif akut, kolesistitis akut, abses hepar,
hemobilia, pankreatitis akut Komplikasi lanjut berupa striktur granulomatous dari duktus biliaris,
batu empedu, granuloma hepatik. (3) Cacing askaris dewasa yang hidup didalam usus halus akan
bermigrasi ke duodenum kemudian masuk melalui ampulla Vateri. (3,5)
Penampakan gejala klinis tergantung dari komplikasi yang diakibatkan oleh askaris didalam
saluran biliaris, dapat berupa : nyeri abdomen akut, muntah, ikterus dari yang ringan sampai
berat sesuai dengan beratnya obstruksi. (5) Ini sesuai dengan gejala pada kasus kami dimana
177

ikterus yang timbul belakangan disertai dengan peninggian kadar bilirubin total, bilirubin direk
dan indirek.
Sonografi merupakan pemeriksaan yang representatif dan dapat dipercaya dalam pendekatan
diagnostik untuk ascaris pada saluran biliaris. (5,8) Ferreyra di Brasil,dari 38 kasus infeksi
askaris yang didiagnosis dengan sonografi mendapatkan 37 pasien dengan komplikasi berupa
obstruksi usus, dilatasi duktus intra dan ekstra hepatis, kolesistitis akut, pankreatitis akut. (1)
USG memperlihatkan echo non shadowing images, berupa garis tunggal atau multipel.
Visualisasi pada saluran cerna, cacing memberikan gambaran anekoik inner tube atau fragmen
yang amorf. dapat dikonfirmasi dengan Retrogad endskopi kolangiopankreatikografi (1,4) Pada
kasus kami, USG memperlihatkan gambaran massa yang non akustik dan penebalan kantong
empedu. CT. MRI ke masa depan mungkin sangat berguna untuk mendiagnosis askaris biliaris .
(6)
Diagnosis ikterus obstruksi ditegakan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisis,
laboratorium, gambaran USG. Tetapi ada juga kasus yang didiagnosis intra operatif. (2) Kasus
kami didiagnosis intra operatif.
Pilihan terapi dapat berupa pemberian obat cacing,ekstraksi lewat endoskopi, dan ekstraksi
bedah. Bedah laporoskopi sangat efektif untuk kasus askaris biliaris dengan batu empedu (9)
Pada kasus kami dilakukan tindakan laparotomi dan kolesistektomi serta eksplorasi duktus
koledokus. Hasil pemeriksaan patologi anatomi suatu kolesistitis akuta yang merupakan
komplikasi dini (3), serta didapatkan cacing askaris didalam kantong empedu.
KESIMPULAN
Kasus ikterus obstruksi kausa askaris tidak jarang ditemukan terutama pada daerah endemik.
USG abdomen merupakan pemeriksaan yang terpecaya untuk diagnosis. Tindakan tergantung
dari komplikasi yang timbul akibat askaris didalam saluran biliaris.

Colostomy, Kolostomi, Definisi, Teknik Operasi


PENDAHULUAN
Kolostomi (colostomy) berasal dari kata colon dan stomy. Colon (kolon) merupakan bagian
dari usus besar yang memanjang dari sekum sampai rektum dan stomy (dalam bahasa Yunani
stoma berarti mulut). Kolostomi dapat diartikan sebagai suatu pembedahan dimana suatu
pembukaan dilakukan dari kolon (atau usus besar) ke luar dari abdomen. Feses keluar melalui
saluran usus yang akan keluar di sebuah kantung yang diletakkan pada abdomen.1,2
Kolostomi merupakan prosedur pembedahan yang membawa porsio dari usus besar melewati
dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Kolostomi adalah kolokutaneostomi yang disebut
juga anus preternaturalis yang dibuat untuk sementara atau menetap.3
Pembedahan kolostomi biasanya memakan waktu dua hingga empat jam, tergantung dari tingkat
kesulitan, adanya infeksi, atau beratnya trauma misalnya apabila penyebabnya adalah trauma
kolon.4
178

Kolostomi dapat dibuat sementara ataupun permanen. Kolostomi sementara dapat digunakan
ketika bagian kolon perlu diperbaiki/disembuhkan, misalnya setelah trauma atau pembedahan.
Setelah kolon membaik/sembuh, kolostomi dapat ditutup, dan fungsi usus dapat kembali normal.
Kolostomi permanen (disebut juga end colostomy) biasanya diperlukan pada beberapa kondisi
tertentu, termasuk sekitar 15% kasus kanker kolon. Jenis kolostomi ini biasanya digunakan saat
rektum perlu diangkat akibat suatu penyakit ataupun kanker.1
Tindakan kolostomi dilakukan untuk mengalirkan feses dari kolon ke kantung kolostomi.
Sebagian besar feses akan lebih lunak dan lebih encer dibandingkan feses yang keluar secara
normal lewat anus. Konsistensi feses tergantung dari letak segmen usus yang dipakai pada
tindakan kolostomi.2
Letak kolostomi pada abdomen bisa dimana saja sepanjang letak kolon, namun biasanya
dilakukan pada bagian kiri bawah, di daerah kolon sigmoid. Namun dapat pula dibuat dilokasi
kolon asendens, transversum, dan desendens. Letak kolostomi sebaiknya dipilih dengan hati-hati
sebelum tindakan operasi. Sebaiknya hindari lokasi yang memiliki jaringan lemak yang tebal dan
terdapat skar.5,6
ANATOMI DAN FISIOLOGI
Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m)
yang mulai sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar dari usus
kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus diameternya semakin
kecil.7
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens,
transversum, desenden dan sigmoid. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari
usus besar. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri
atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai
setinggi Krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk-S, lekukan bagian bawah
membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, yang menjelaskan alasan
anatomis meletakkan penderita pada sisi kiri bila diberi enema. Bagian utama usus besar yang
terakhir dinamakan rektum dan terbentang dari kolon sigmoid sampai anus (muara ke bagian
luar). Panjang rektum dan kanalis ani sekitar 5,9 inci (15 cm).7
Usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti juga bagian usus lainnya. Akan tetapi, ada
beberapa gambaran yang khas pada usus besar saja. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak
sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga pita yang dinamakan taenia koli. Lapisan mukosa usus
besar jauh lebih tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae.
Kriptus Lieberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel
goblet dari pada usus halus.7
Gambar 1. Usus Besar
Dikutip dari kepustakaan 8
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah yang
diterima. Arteria mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan (sekum, kolon
asendens dan dua pertiga proksimal kolon transversum), dan arteria mesenterika inferior
memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens dan sigmoid,
dan bagian proksimal rectum). Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena
mesenterika superior dan inferior dan vena hemoroidalis superior.9
179

Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna
yang berada di bawah kontrol volunter. Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan
sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan perangsangan parasimpatis
mempunyai efek yang berlawanan.7
Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus.
Fungsi usus besar yang paling penting adalah mengabsorbsi air dan elektrolit, yang sudah hampir
lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung
massa feses yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung.7
Kolon mengabsorpsi sekitar 600 ml air per hari, bandingkan dengan usus halus yang
mengabsorpsi sekitar 8.000 ml. Kapasitas absorpsi usus besar adalah sekitar 2.000 ml/hari.
Sedikitnya pencernaan yang terjadi di usus besar terutama diakibatkan oleh bakteri dan bukan
karena kerja enzim.7
TUJUAN KOLOSTOMI
Umumnya kolostomi dilakukan pada pembedahan kanker, namun kadang-kadang diperlukan
pada penyakit infeksi usus dan penyakit divertikulum, dan pada pembedahan yang darurat untuk
perforasi atau obstruksi pada usus.10,11
Indikasi kolostomi ialah dekompresi usus pada obstruksi, stoma sementara untuk bedah reseksi
usus pada radang, atau perforasi, dan sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk melindungi
anastomosis distal. 3
Gambar 2. Konstruksi cara pembuatan kolostomi
Dikutip dari kepustakaan 6
Konstruksi atau cara pembuatan kolostomi untuk dekompresi usus:6,12
Sayatan dilakukan pada lokasi usus yang diinginkan. Sayatan yang dibuat sekitar 5-6 cm.
Setelah peritoneum ditemukan, identifikasi segmen usus. Usus ditutupi oleh omentum, namun
beberapa pasien memiliki omentum yang cukup tipis sehingga kolon dapat terlihat. Kemudian
dilakukan aspirasi pada kolon.
Dilakukan penjahitan seromuskular dan peritoneal.
Kolon dibuka dengan insisi 5-6 cm sepanjang dinding kolon, biasanya lebih dipilih untuk
melakukan sayatan pada taenia. Kemudian dilakukan aspirasi yang adekuat pada usus.
Selanjutnya lapangan operasi di irigasi dengan 0,1 % kanamycin solution.
Penjahitan kemudian dilakukan antara fasia dan lapisan neuromuskular dari dinding usus.
Stoma selesai dengan menjahit dinding usus dan kulit.
Pembuatan stoma selesai
Gambar 3. Konstruksi cara pembuatan kolostomi
Dikutip dari kepustakaan 6
Konstruksi atau cara pembuatan loop kolostomi:6
Memilih lokasi untuk membuat kolostomi. Sayatan yang dibuat sekitar 5-6 cm.
Identifikasi segmen usus. Usus ditarik keluar dari tempat insisi.
Dibuat jahitan pada fasia sehingga usus akan tertahan diluar dinding abdomen. Kemudian
diikuti dengan penjahitan kulit dinding abdomen.
Dibuat insisi pada kolon. Selanjutnya fiksasi dengan menjahit dinding usus pada kulit..
180

PEMBAGIAN KOLOSTOMI
A. Berdasarkan Penggunaannya1,3,10
Kolostomi Permanen
Kolostomi permanen diperlukan ketika tidak terdapat lagi segmen usus bagian distal setelah
dilakukan reseksi atau untuk alasan tertentu usus tidak dapat disambung lagi. Kolostomi dibuat
untuk menggantikan fungsi anus bila anus dan rectum harus diangkat.
Kolostomi permanen harus hati-hati ditempatkan untuk memudahkan dalam penganganan jangka
panjang. Kolostomi permanen biasanya dibuat pada kolon kiri pada fossa iliaka kiri.
Kolostomi permanen dilakukan pada beberapa kondisi tertentu, termasuk sekitar 15% oleh
karena kasus kanker kolon. Kolostomi ini biasanya digunakan saat rektum perlu diangkat akibat
suatu penyakit ataupun kanker.
Kolostomi Sementara
Kolostomi sementara sering dilakukan untuk mengalihkan aliran feses dari daerah distal usus.
Setelah masalah pada usus bagian distal telah teratasi, maka kolostomi dapat ditutup kembali.
Kolostomi sementara berguna untuk:
1. Mengatasi obstruksi pada operasi elektif maupun tindakan darurat. Kolostomi dilakukan untuk
mencegah obstruksi komplit usus besar bagian distal yang menyebabkan dilatasi bagian
proksimal.
2. Melakukan proteksi terhadap anastomosis kolon setelah reseksi. Kolostomi sementara dibuat,
misalnya pada penderita gawat abdomen dengan peritonitis yang telah dilakukan reseksi
sebagian kolon. Pada keadaan demikian, membebani anastomosis baru dengan pasase feses
merupakan tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, untuk
pengamanan anastomosis, aliran feses dialihkan sementara melalui kolostomi dua stoma yang
disebut stoma double barrel. Dengan cara Hartman, pembuatan anastomosis ditunda sampai
radang di perut telah reda.
3. Kolostomi sementara dapat berguna untuk mengistirahatkan segmen usus bagian distal yang
terlibat pada proses inflamasi misalnya abses perikolik, fistula anorektal.
B. Tipe Kolostomi11,13
1. Kolostomi loop
Jenis kolostomi ini didesain sehingga baik segmen distal maupun proksimal usus terdapat pada
permukaan kulit.
Gambar 4. Loop kolon yang terbuka dan terdapat pada dinding abdomen.
Dikutip dari kepustakaan 6
2. Kolostomi double barrel
Pada kolostomi double barrel, dibuat dua stoma yang terpisah pada dinding abdomen. Stoma
bagian proksimal berhubungan dengan traktus gastrointestinal yang lebih atas dan akan menjadi
saluran pengeluaran feses. Stoma bagian distal berhubungan dengan rectum. Kolostomi double
barrel termasuk jenis kolostomi sementara. Kolostomi double barrel mudah dan aman digunakan
pada neonatus dan bayi.
3. Kolostomi devided
Kolostomi ini sering dibuat pada sigmoid pada karsinoma rektum yang tak dapat diangkat,
sehingga karsinoma tersebut tidak teriritasi oleh tinja.
181

4. Kolostomi terminal
Tipe ini dilakukan bila diperlukan untuk membuang kolon karena terlalu membahayakan bila
dilakukan anastomosis yang memudahkan timbulnya sepsis. Kontinuitas dapat diperbaiki
kemudian hari bila sepsis telah dapat diatasi dan kondisi penderita lebih baik.
5. Sekostomi dengan pipa (tube)
Sekostomi merupakan kolostomi sementara. Berguna untuk dekompresi gas dalam usus.
Sekostomi tidak cocok untuk diversi aliran feses. Saat ini sekostomi jarang digunakan karena
stoma sering tersumbat oleh feses dan seringkali diperlukan irigasi untuk kembali melancarkan.
Gambar 5. Konstruksi sekostomi dengan pipa (tube)
Dikutip dari kepustakaan 6
KOMPLIKASI3,9,10,11
1. Nekrosis kolostomi.
Hal ini diakibatkan tidak adekuatnya suplai darah. Komplikasi ini biasanya terlihat 12-24 jam
setelah pembedahan dan biasa diperlukan pembedahan tambahan untuk menanganinya.
2. Kolostomi retraksi.
Disebabkan karena tidak cukupnya panjang stoma. Komplikasi ini dapat ditangani dengan
menyediakan kantong khusus. Memperbaiki stoma dapat pula menjadi pilihan penanganan.
3. Parastomal hernia.
Keadaan ini dapat timbul akibat letak stoma pada dinding abdomen yang lemah atau dibuat
terbuka terlalu besar pada dinding abdomen.
4. Prolaps.
Keadaan ini sering diakibatkan pembukaan yang terlalu besar pada dinding abdomen atau fiksasi
usus yang tidak cukup kuat pada dinding abdomen. Pembedahan ulang untuk mengatasi prolaps
dengan mengambil vaskularisasi yang melampaui segmen usus yang disuplai.
5. Obstruksi
Obstruksi dapat terjadi akibat udem ataupun timbunan feses.
Teknik Irigasi Dalam Penanganan Kolostomi
Beberapa pasien yang menggunakan kolostomi memilih untuk mengeluarkan feses ke kantong
stoma dengan menggunakan teknik irigasi kolon. Beberapa hari sekali, pasien mengalirkan
sekitar satu liter air melewati kolostomi dengan saluran/pipa khusus, dan air akan lewat keluar
dengan tujuan untuk mengosongkan dan membersihkan kolon.10
Pada kolostomi sigmoid biasanya pola defekasi sama dengan semula. Banyak penderita
mengadakan pembilasan sekali sehari sehingga mereka tidak terganggu oleh pengeluaran feses
dari stomanya. Kolostoma pada kolon tranversum mengeluarkan isi usus beberapa kali sehari
karena isi kolon transversum tidak padat, sehingga lebih sulit diatur.3

Kolelithiasis, Batu Empedu, Makalah


A. Defenisi Kolelitiasis
Kolelitiasis disebut juga Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung
empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang
182

terbentuk di dalam kandung empedu.5


B. Etiologi Kolelitiasis
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam chenodeoxycholic),
22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin.2 Etiologi batu empedu
masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling penting adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi
kandung empedu.3 Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang
biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka
kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu.6
C. Faktor Risiko Kolelitiasis
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak
faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis.
Faktor resiko tersebut antara lain : (6,7,8)
1. Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)
2. Usia lebih dari 40 tahun .
3. Kegemukan (obesitas).
4. Faktor keturunan
5. Aktivitas fisik
6. Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)
7. Hiperlipidemia
8. Diet tinggi lemak dan rendah serat
9. Pengosongan lambung yang memanjang
10. Nutrisi intravena jangka lama
11. Dismotilitas kandung empedu
12. Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)
13. Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati, pankreatitis dan kanker
kandung empedu) dan penyakit ileus (kekurangan garam empedu)
14. Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit putih, baru orang
Afrika)
D. Anatomi
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak tepat
dibawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke
saluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu
membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus
hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus
hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus. Pada
banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula Vateri
sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampla dikelilingi oleh
serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter Oddi.3
Gambar 1. Batu dalam kandung empedu (5)
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu. Kandung empedu
mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati. Empedu yang dihasilkan hati
tidak langsung masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu
masuk ke duktus sistikus dan disimpan di kandung empedu. Pembuluh limfe dan pembuluh
183

darah mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik dalam kandung empedu sehingga cairan
empedu dalam kandung empedu akan lebih pekat 10 kali lipat daripada cairan empedu hati.
Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui
kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter Oddi. Rangsang normal kontraksi dan
pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum. Adanya lemak
dalam makanan merupakan rangsangan terkuat untuk menimbulkan kontraksi. Hormone CCK
juga memperantarai kontraksi.3
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah pembentukan batu
(kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis). Dua keadaan ini biasa timbul sendirisendiri, atau timbul bersamaan.9
E. Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang
supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya
pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan
semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila
perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah
harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu
dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral
kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi
kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin,
merupakan keadaan yang litogenik.10
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol.
Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu
nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin
bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk
dipakai sebagai benih pengkristalan. 10
F. Klasifikasi Kolelitiasis
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3
(tiga) golongan:1,11
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol. Lebih dari
90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol). Untuk
terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
a. Supersaturasi kolesterol
b. Hipomotilitas kandung empedu
c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20% kolesterol.
Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat
sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi
saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi
bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim Bglukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam
184

glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari
penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan
terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran
empedu dalam empedu yang terinfeksi.
b. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat
hitam yang tak terekstraksi.1 Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada
pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari
derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu
pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.1,11
3. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol.
Gambar 2. Klasifikasi batu dalam kandung empedu12
G. Manifestasi Klinis
Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut
ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian atas, terutama ditengah
epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu kanan (Murphy sign). Pasien dapat
berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi.
Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat kembali terulang. 3
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri dan tanda-tanda
fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau
flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang
dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi.
Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada
duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan
permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan
peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung
empedu. 3
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis : 3
1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier
4. Kolesistitis akut
5. Perikolesistitis
6. Peradangan pankreas (pankreatitis)-angga
7. Perforasi
8. Kolesistitis kronis
9. Hidrop kandung empedu
10. Empiema kandung empedu
11. Fistel kolesistoenterik
12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu
muncul lagi) angga
13. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
185

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan menghasilkan kontraksi
kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat
menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi
duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi
maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi
oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal.
Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh
atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat
membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang
berakibat terjadinya peritonitis generalisata.3
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari
kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap
asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus
juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.3
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.3
I. Diagnosa
a. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang mungkin
timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang
simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau
perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15
menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan
perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.3
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan
muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah
menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada
waktu menarik nafas dalam.3
b. Pemeriksaan Fisik
i. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut
dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau
pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak
anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu
penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari
tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.3
ii. Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hatidan sklera
ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak
jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.3
c. Pemeriksaan Penunjang
i. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila
terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan
186

duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di
dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.3
ii. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 1015% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung
cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut
dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai
massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di
fleksura hepatika.3
Gambar 3. Foto rongent pada kolelitiasis 13
iii. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu
kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan
USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang
diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus
distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum
maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan
palpasi biasa. 1
Gambar 4. FotoUSG pada kolelitiasis 14
iv. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan
ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun
serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut
kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian
fungsi kandung empedu.3
J. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul
bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak. 3
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan
perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu
(kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan
setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan. 3
Pilihan penatalaksanaan antara lain : 10
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis simtomatik.
Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi
pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut. 10
187

2. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90%
kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan
cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi
normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru.2 Kandung empedu diangkat
melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. 10
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena
semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada
pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi
perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri
menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari
prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi. 10
Gambar 5. Kolesistektomi laparaskopi 15
3. Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan
yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk
batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah
mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat
ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.10 Kurang dari 10% batu empedu
dilakukan cara ini an sukses.2 Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi criteria terapi non
operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi
kandung empedu baik dan duktus sistik paten. 2
4. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (Metil-Ter-Butil-Eter
(MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat
efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan
kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun). 10
5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad saat ini
memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. 10
Gambar 6. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) 16,17
6. Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur
pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya
kritis.10
7. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke dalam
usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di
dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu
yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil
188

dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7%
mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut.
ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang
kandung empedunya telah diangkat.18

Kista Hepar
I. PENDAHULUAN
Istilah kista berasal dari bahasa Yunani kustis yang berarti kantong yang merupakan suatu
abnormalitas pada pertumbuhan jaringan. Dalam pengertian secara histopatologi, kista adalah
rongga yang dilapisi oleh sel epitel. Pada kista terdapat duktus yang terdilatasi yang biasanya
disebabkan oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi berlebihan dan distorsi struktural. Sebagian
kista timbul dari sisa-sisa epitel ektopik atau sebagai hasil nekrosis di tengah-tengah massa
epitel. Cairan kista biasanya bening dan tidak berwarna namun dapat juga viskuos atau
mengandung kristal kolesterol sebagai hasil dari nekrosis jaringan. True cysts atau kista
sesungguhnya harus dibedakan dari false cysts atau pseudokista dimana pseudokista ini
merupakan timbunan cairan yang terkandung dalam kavitas yang tidak mempunyai lapisan
epitelium. Kista seperti ini biasanya berasal dari suatu proses inflamasi atau degeneratif.1,2
Penyakit kista hepar dapat berasal dari kelainan kongenital atau didapat. Manifestasinya bisa
dalam bentuk kista soliter atau polikistik. Penyakit kista hepar kongenital diperkirakan
diakibatkan oleh kegagalan pertumbuhan sistem duktus intrahepatik, sedangkan kista hepar
didapat terjadi karena proses inflamasi, trauma, dan neoplasia. Dengan kemajuan sarana
pencitraan diagnostik, pasien kista hepar lebih sering dijumpai. Beberapa kelainan kista hepar
mempunyai resiko keganasan sehingga perlu dipantau secara teratur. Berkembangnya teknik
operasi dan transplantasi hepar menyebabkan banyak kasus kista hepar dapat ditangani.3
II. EPIDEMIOLOGI
Insidens kista hepar non parasitik yang pasti tidak diketahui karena biasanya penderita
asimptomatik dan tidak menunjukkan gejala hingga terjadi komplikasi. Namun diestimasikan
kista hepar diderita pada 5% dari populasi umum. Tidak lebih dari 10-15% dari jumlah penderita
ini mengalami gejala klinis. Kista hepar biasanya dijumpai secara tidak sengaja pada
pemeriksaan radiologik abdominal atau pada prosedur laparotomi untuk kelainan lain yang
dialami penderita dan tidak berkaitan dengan gangguan fungsi hepar.4
Kista hepar lebih banyak dijumpai pada kaum wanita dibanding laki-laki, dengan rasio 4-10:1,
pada range umur 50-60 tahun. Gejala klinis terjadi akibat pembesaran secara progresif kista, atau
karena komplikasi yang timbul akibat kista tersebut. Komplikasi yang bisa terjadi termasuk
perdarahan intrakistik, torsi, infeksi pada kista, transformasi kista ke arah proses malignansi,
kompresi pada organ-organ sekitar yang juga dapat menyebabkan jaundice obstruktif, kista
ruptur spontan serta reaksi alergi akibat kebocoran cairan kista.5
Kista hidatid bersifat endemik di negara-negara berkembang maupun negara maju seperti negara
Mediteranian, Amerika Selatan, Iceland, Australia dan New Zealand. Insidens penyakit kista
hidatid di kawasan endemik berkisar dari 1-220 kasus per 100.000 orang penduduk. Tidak
terdapat predileksi pada jenis kelamin, namun biasanya kista hidatid terjadi pada umur antara 3040 tahun.6,7

189

III. ANATOMI HEPAR 2,8


Hati merupakan organ abdomen yang paling besar dan kelenjar terbesar dalam tubuh dengan
berat sekitar 1,5 kg. Organ ini terletak pada kuadran kanan atas dan menempati paling luas pada
regio hipokondrium kanan kemudian meluas ke hipokondrium kiri dan regio epigastrika. Hati
memiliki permukaan superior yang cembung dan terletak dibawah kubah kanan diafragma dan
sebagian kubah kiri. Bagian bawah hati berbentuk cekung dan merupakan atap dari ginjal kanan,
lambung, pankreas dan usus.
Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi dua segmen
anterior dan posterior oleh fissura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri
dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis yang terlihat dari luar.
Segmen lobus kanan yang lebih kecil adalah lobus quadratus, pada permukaan inferiornya dan
lobus caudatus pada permukaan posterior. Lobus kanan dan kiri dipisahkan di anterior oleh
lipatan peritoneum yang dinamai ligamentum falsiforme, di inferior oleh fissura untuk
ligamentum teres serta di posterior oleh fissura untuk ligamentum venosum.
Ligamentum falsiformis berjalan dari hati ke diafragma dan dinding abdomen. Permukaan hati
diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat
langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan peritoneum membantu
menyokong hati. Di bawah peritoneum terdapat jaringan ikat padat yang disebut sebagai kapsula
glissoni, yang meliputi permukaan seluruh organ, bagian paling tebal kapsula ini terdapat pada
porta hepatis, membentuk rangka untuk cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu.
Porta hepatis adalah fissura pada hati tempat masuknya vena porta dan arteri hepatika serta
tempat keluarnya duktus hepatika.
Gambar 1 : Anatomi Hepar, bagian-bagian diaphragma tetap dipertahankan untuk
memperlihatkan bersatunya hati dan diaphragma. Dikutip dari kepustakaan 8
Gambar 2 : Anatomi Hepar, porta hepatis. Dikutip dari kepustakaan 8
Secara keseluruhan, hepar dibagi menjadi VIII segmen. Permukaan posterolateral kanan terdiri
atas segmen VI di bagian anterior dan segmen VII di bagian posterior. Permukaan anterolateral
kanan terdiri atas segmen V di anterior dan segmen VIII di posterior. Permukaan anterior kiri
dibagi oleh fissura umbilikalis ke dalam segmen IV di bagian anterior dari lobus quadratus dan
segmen III, yang merupakan bagian anterior dari lobus kiri. Permukaan posterior adalah segmen
II. Segmen I terletak dibagian dorsal, yang memiliki vaskularisasi bebas dari porta hepatis dan 3
vena hepatik utama.
Gambar 3 : Segmen-segmen lobus hati. Dikutip dari kepustakaan 9
Hati memiliki dua sumber suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika,
dan dari aorta melalui arteri hepatika. Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah arteri dan
dua pertiganya adalah darah vena dari vena porta. Volume total darah yang melewati hati setiap
menitnya adalah 1.500 ml dan dialirkan melalui vena hepatika kanan dan kiri, yang selanjutnya
bermuara pada vena kava inferior.
Vena porta bersifat unik karena terletak diantara dua daerah kapiler, yang satu terletak dalam hati
dan yang lainnya dalam saluran cerna. Saat mencapai hati, vena porta bercabang-cabang dan
menempel melingkari lobulus hati. Cabang-cabang ini kemudian mempercabangkan vena-vena
interlobularis yang berjalan diantara lobulus-lobulus. Vena-vena ini selanjutnya membentuk
190

sinusoid yang berjalan di antara lempengan hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. Vena
sentralis dari beberapa lobulus membentuk vena sublobularis yang selanjutnya menyatu dan
membentuk vena hepatika. Cabang-cabang terhalus arteria hepatika juga mengalirkan darahnya
ke dalam sinusoid, sehingga terjadi campuran darah arteri dari arteria hepatika dan darah vena
dari vena porta. Tekanan yang meningkat dalam sistem portal adalah manifestasi lazim gangguan
hati dengan akibat serius yang melibatkan pembuluh-pembuluh tempat darah portal berasal.
Gambar 4 : Anatomi Vena Hepatika. Dikutip dari kepustakaan 9
Hepar mendapatkan innervasi dari:
a. Nn. Splanchnici : innervasi ini bersifat simpatis untuk pembuluh darah di dalam hepar.
Diperoleh melalui plexus coeliacus dan merupakan serabut-serabut postganglioner.
b. Nn. Vagus dextra et sinistra : bersifat parasimpatis, berasal dari chorda anterior dan chorda
posterior nervivagi.
Chorda anterior (dari N. Vagus sinistra), mengikuti a. Gastrica dexter masuk ke dalam
ligamentum hepatoduodenale, mencapai porta hepatis, memberi cabang-cabang yang disebut
rami hepatici.
Chorda posterior (dari N. Vagus dextra) setelah mempersarafi gaster lalu masuk ke plexus
coeliacus, lalu mengikuti ligamentum hepatoduodenale menuju ke porta hepatis.
c. Nn. Phrenicus dextra : setelah masuk ke dalam cavum abdominalis, selanjutnya menuju ke
plexus coeliacus, mengikuti ligamentum hepatoduodenale, mencapai porta hepatis.
IV. ETIOLOGI
Penyebab kista hepar dapat digolongkan atas kelainan kongenital dan didapat. Kista hepar
kongenital diperkirakan diakibatkan kegagalan pembentukan sistem duktus intrahepatik.
Kegagalan involusi duktus biliaris yang terbentuk berlebihan mengakibatkan terbentuknya kista
hepar. Kista hepar soliter juga dapat berasal dari kelainan kongenital dan didapat. Kista hepar
hidatid disebabkan Echinococcus granulosus dan Echinococcus vogeli berupa kista hepar soliter
dan polikistik. Penyebab tersering kista hidatid adalah Echinococcus granulosus dan duapertiga
dari semua kista hidatid terjadi di hepar. Parasit ini biasanya ditemukan diseluruh dunia di
tempat-tempat peternakan domba. Kista hidatid membentuk lapisan luar pada jaringan inflamasi
dan membran dalam germinal yang memproduksi kista-kista kecil.3,6
Kista hepar polikistik pada orang dewasa adalah kongenital dan biasanya berhubungan dengan
penyakit ginjal polikistik autosomal dominan. Pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik,
kista ginjal biasanya mendahului kista di hepar. Penyakit ginjal polikistik selalu menyebabkan
gagal ginjal, tetapi kista hepar jarang menyebabkan fibrosis hepar dan kegagalan fungsi
hepar.3,7
Kista traumatik jarang terjadi dan biasanya terbentuk setelah resolusi tidak lengkap hematoma
subkapsular atau intrahepatik. Kista biasanya tunggal dengan kandungan yang berwarna empedu
pekat. Karena kista traumatik dibentuk dari kerusakan parenkim dan saluran, kista tersebut tidak
memiliki lapisan epitel. Tidak jarang terjadi resolusi spontan.7
V. PATOFISIOLOGI 2,7,10,11
Penyebab pasti simple cyst ini tidak diketahui, namun diduga bersifat kongenital. Kista ini
dilapisi oleh epitel yang persis seperti epitel sistem biliaris dan mungkin terjadi akibat dilatasi
progresif dari microhamartoma dari traktus biliaris. Namun demikian, kista ini jarang sekali
mengandung empedu, dan hipotesis terbaru menyebutkan bahwa kista terjadi karena
191

mikrohamartoma gagal untuk menyatu dengan traktus biliaris. Secara umum, cairan di dalam
kista mempunyai komposisi elektrolit yang sama dengan plasma. Tidak terdapat empedu,
amilase maupun sel darah putih. Cairan pada kista secara terus-menerus dihasilkan oleh epitel
yang melapisi kista tersebut sehingga penanganan dengan aspirasi jarum pada kista hepar soliter
tidak bersifat kuratif.
Polycystic liver disease (PCLD) atau penyakit hepar polikistik pada orang dewasa adalah
kongenital dan biasanya berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik autosomal dominan
(PKP-AD). Pada pasien-pasien ini telah dikenal pasti abnormalitas pada gen PKD1 dan PKD2.
Kadang-kadang PCLD dijumpai tanpa PKD. Pada pasien-pasien ini, telah dikenal pasti gen yang
ketiga yaitu protein kinase C substrate 8OK-H (PRKCSH). Walaupun berbeda secara genotip,
pasien dengan PCLD sama secara fenotip. Pada pasien dengan PKD, kista di ginjal biasanya
mendahului kista di hepar. PKD sering berakhir dengan gagal ginjal sedangkan kista hepar
jarang dikaitkan dengan fibrosis hepar dan gagal fungsi hepar.
Tumor hepar dengan nekrosis sentralis yang dilihat pada pemeriksaan pencitraan sering di salah
diagnosis sebagai kista hepar. Penyebab pasti kistadenoma dan kistadenokarsinoma tidak
diketahui, namun diduga merupakan akibat proliferasi abnormal dari analog embrionik dari
kandung empedu atau epitel biliaris. Tumor kistik ini dilapisi dengan sel kuboid atau kolumnar
tipe biliaris dan dikelilingi oleh stroma persis seperti stroma pada ovarium. Kistadenoma adalah
lesi premalignan dengan transformasi neoplastik menjadi kistadenokarsinoma yang dikenal pasti
dengan adanya struktur tubulopapillari dan invasi pada membrana basalis pada pemeriksaan
histopatologi.
Kista hidatid disebabkan oleh infestasi dari parasit Echinoccus granulosus. Parasit ini dijumpai di
seluruh dunia tapi lebih sering di kawasan peternakan kambing dan sapi. Cacing pita dewasa
hidup di traktus digestif hewan karnivora seperti anjing. Telur dari induk dilepaskan dalam feses
dan dimakan oleh host perantara seperti kambing, sapi, atau manusia. Larva dari telur
menginvasi dinding usus dan pembuluh darah mesenterika dan sampai di hepar lewat sirkulasi.
Di dalam hepar, larva membesar dan menjadi kistik. Kista hidatid ini menghasilkan lapisan
jaringan inflamatori di luar dan lapisan germinal di dalam yang menghasilkan kista anak
(daughter cyst). Apabila karnivora memakan hepar dari host perantara ini, skoliks dari kista anak
dilepaskan di dalam usus kecil dimana ia akan berkembang menjadi cacing dewasa dan
melengkapi daur kehidupannya.
Abses hepar berasal dari sumber amebik atau bakteri. Entamoeba histolytica adalah agen
penyebab pada abses hepar amebic dan menular melalui makanan atau air yang dikontaminasi
oleh fase kista dari parasit ini. Amebiasis secara umumnya hanya melibatkan usus tapi dapat
melewati pembuluh darah mesenterika dan menghasilkan abses hepar. Manusia adalah satusatunya host parasit ini. Abses piogenik bisa merupakan akibat instrumentasi pada rongga tubuh
namun paling sering disebabkan oleh kolangitis ascendens. Mikroorganisme yang diisolasi
biasanya merupakan flora normal usus. Jalur kontaminasi lain termasuk secara hematogen
melalui vena porta dan arteri hepatika. Pasien dengan infeksi infra abdominal mungkin
mengalami abses hepar karena perkembangan bakteri melalui sistem vena porta. Penularan lewat
hematogen melalui arteri hepatikum pada pasien dengan septikemia sangat jarang terjadi.
VI. GEJALA KLINIS 7,9,11,12
Sebagian besar dari kista hepar bersifat asimptomatik dan dikelo1a secara konservatif, karena
risiko terjadi komplikasi pada pengobatan operatif dan kemungkinan terjadinya regresi spontan.
Gambaran klinik yang sering didapatkan pada pasien adalah nyeri epigastrik, mual, muntah dan
192

perasaan penuh di lambung. Dengan bervariasinya klasifikasi serta etiologi kista hepar, gejala
klinik bervariasi berdasarkan penyebab, tempat dan ukuran. Nyeri mungkin merupakan keluhan
utama pada kista yang membesar. Nyeri sering terjadi sekunder akibat komplikasi yang timbul
dari kista tersebut. Antara lain bisa terjadi perdarahan atau infeksi, yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakistik. Nyeri juga dialami apabila terjadi ruptur kista atau terjadi torsi
pada kista, dimana pada keadaan ini pasien datang dengan gejala akut abdomen.
Kebanyakan kista hidatid bersifat asimptomatik, walaupun telah berkembang lanjut. Jumlah
parasit, lokalisasi dan ukuran kista menentukan derajat keparahan symptom. Dalam hepar, efek
dari penekanan kista bisa menimbulkan gejala ikterus obstruktif dan nyeri perut. Komplikasi
sekunder bisa terjadi sebagai akibat infeksi pada kista dan ruptur atau kebocoran kista.
Kebocoran kecil menimbulkan nyeri yang bertambah dan reaksi alergik yang ringan yang
ditandai oleh urtikaria. Reaksi alergi ini terjadi karena cairan dari kista yang bersifat
merangsang. Ruptur yang besar menyebabkan reaksi anafilaktik yang bisa bersifat fatal jika tidak
ditangani dengan cepat. Infeksi pada kista bisa terjadi sebagai infeksi primer atau infeksi
sekunder setelah terjadi kebocoran kista ke traktus biliaris. Gejala yang dialami dapat dimulai
dari demam ringan hingga sepsis.
Pada abses hepar baik abses hepar piogenik maupun amoebik, gejala klinik yang dialami hampir
pada semua penderita adalah demam yang bersifat akut atau subakut disertai nyeri abdomen
kuadran kanan atas, disamping gejala non spesifik lain seperti malaise, mual dan muntah.
Gambar 5 : Polikistik Hepar dan kista hidatid. Dikutip dari kepustakaan 13
VII. DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisis 3,4,6,7
Pada polikistik hepar didapatkan gejala nyeri hebat dan kronik didaerah epigastrium, mual,
muntah serta ikterus. Gejala berkembang lambat pada perjalanan penyakit alami PHP dan
berhubungan dengan peningkatan volume hepar dan kompresi organ viseral didekatnya. Keluhan
yang paling sering adalah bertambahnya ukuran abdomen, nyeri tumpul abdomen kronis, cepat
kenyang, penurunan berat badan, gangguan pernapasan, kecacatan fisik dan desensus. Asites
dapat menonjol, walaupun gejala yang lain dari penyakit hati kronis jarang ditemukan. Pada
penyakit caroli terdapat keluhan berupa epigastralgia yang diikuti dengan demam, kelemahan
umum, penurunan berat badan dan pada pemeriksaan fisis dapat dijumpai adanya hepatomegali.
Pada kista hepar soliter kebanyakan asimtomatik. Kista sederhana secara umum tidak bergejala
tetapi dapat menimbulkan rasa nyeri jika ukurannya bertambah. Gejala-gejala yang timbul pada
pasien kista hepar yang sederhana yang pernah dilaporkan yaitu perut kembung dan cepat merasa
kenyang. Kadang-kadang, kista yang cukup besar dapat terlihat adanya massa pada abdomen
yang dapat diraba. Pasien dengan kista hidatid sering tidak bergejala sama dengan kista hepar
sederhana. Tetapi nyeri dapat bertambah seiring dengan pertumbuhan kista. Lesi yang luas dapat
menyebabkan nyeri dan lebih banyak menimbulkan komplikasi dibandingkan kista hepar
sederhana.
Pada kista traumatik biasanya terjadi di lobus kanan dan sering disertai keluhan didapatkan
adanya keluhan nyeri perut dan distensi, yang dapat dirasakan segera setelah trauma berat pada
abdomen. Kista traumatik biasanya sekunder akibat perdarahan intrahepatik dan mengandung
bekuan darah serta empedu. Keluhan kista hepar akibat tumor berupa nyeri kuadran kanan atas,
perasaan penuh di perut, kadang-kadang dapat teraba massa atau hepatomegali.
Pada kista hidatid tiga perempat pasien adalah asimptomatik. manifestasi klinis utama yaitu nyeri
193

abdomen, hepatomegali, penurunan berat badan, anemia, demam, hemoptisis, dan teraba massa
di abdomen. Gejala yang kadang-kadang ditemukan adalah kolik biliaris, ikterus sementara atau
kolangitis yang terjadi dengan rupturnya kista ke dalam saluran empedu. Kadang-kadang pasien
datang dengan abdomen akut akibat ruptur kista intraperitoneum atau dengan batuk produktif
atau bronkobiliaris dari ruptur pleura atau bronkus.
Pemeriksaan laboratorium 4,6,7,11
Evaluasi pasien dengan kista hepar memerlukan anamnesis yang teliti dan melakukan
pemeriksaan fisis serta pemeriksaan penunjang radiografik seperti CT-Scan abdominal untuk
mengetahui lokasi dan ukuran dari kista tersebut. Pasien dengan kista hepar memerlukan
pemeriksaan laboratorium yang tidak banyak. Hasil pemeriksaan faal hati seperti transaminase
atau alkali fosfatase mungkin sedikit abnormal, namun kadar bilirubin, prothrombin time (PT)
dan activated prothrombin time (APTT) biasanya berada dalam batas normal.
Pada PCLD dapat dijumpai abnormalitas yang lebih banyak pada pemeriksaan fungsi faal hati,
namun gagal fungsi hati jarang dijumpai. Test fungsi ginjal termasuk kadar urea dan kreatinin
darah biasanya abnormal. Pada tumor kistik hepar, test fungsi hati juga normal seperti pada
simple cyst namun bisa terdapat abnormalitas pada sebagian pasien. Terdapat peningkatan kadar
Carbohydrate antigen (CA)19-9 pada sebagian pasien. Cairan kista dapat diambil untuk
pemeriksaan CA 19-9 pada saat pembedahan sebagai pemeriksaan marker untuk kistadenoma
dan kistadenokarsinoma. Pasien dengan abses hepar dapat dikenal pasti dari gejala klinis. Pada
pemeriksaan darah sering ditemukan leukositosis. Jika terdapat kista hidatid, dijumpai eosinofilia
pada sekitar 40 pasien, dan titer antibodi Echinococcal positif pada hampir 80% pasien.
Pemeriksaan immunoassay enzim (enzyme immunoassay, EIA) dapat digunakan untuk
mendeteksi antibodi spesifik untuk Entamoeba histolytica.
Pemeriksaan histologik dari kista dilakukan dengan tujuan untuk menyingkirkan kemungkinan
suatu keganasan, seperti kistadenokarsinoma. Secara histopatologik kista hepar yang benigna
mengandung cairan yang bersifat serosa dan dindingnya terdiri dari selapis sel epitel kuboidal
dan stroma fibrosa yang tipis.
Pemeriksaan radiologik 4,7,11
Sebelum persediaan secara meluas modalitas teknik pencitraan abdominal termasuk
ultrasonografi (USG) dan computed tomography scanning (CT-Scan), kista hepar didiagnosa
hanya apabila sudah sangat membesar dan bisa dilihat sebagai massa di abdomen atau sebagai
penemuan tidak sengaja saat melakukan laparatomi. Saat ini, pemeriksaan radiologik sering
menemukan lesi yang asimptomatik secara tidak sengaja. Terdapat beberapa pilihan pemeriksaan
radiologik pada pasien dengan kista hepar seperti USG yang bersifat non invasif namun cukup
sensitif untuk mendeteksi kista hepar. CT-Scan juga sensitif dalam mendeteksi kista hepar dan
hasilnya lebih mudah untuk diinterpretasikan dibanding dengan USG. MRI (nuclear medicine
scanning dan angiografi hepatik mempunyai penggunaan yang terbatas dalam mengevaluasi kista
hepar.
Secara umum, simple cysts mempunyai gambaran radiologik yang tipikal yaitu mempunyai
dinding yang tipis dengan cairan yang berdensitas rendah dan homogenous. PCKD harus
dikonfirmasi dengan USG atau CT-Scan dengan menemukan kista-kista multiple pada saat
evaluasi.
Kista hidatid bisa diidentifikasi dengan ditemukan daughter cyst yang terkandung dalam satu
rongga utama yang berdinding tebal. Kistadenoma dan kistadenokarsinoma umumnya terlihat
194

multilokulasi dan mempunyai septasi internal, densitas yang heterogeneus dan dinding kista yang
irregular. Tidak seperti tumor lain pada umumnya, jarang dijumpai kalsifikasi pada kistadenoma
dan kistadenokarsinoma. Satu masalah yang sering ditemui dalam mengevaluasi pasien dengan
lesi kistik pada hepar adalah untuk mendiferensiasi kista neoplasma dan simple cyst. Namun
secara umum, neoplasma kistik mempunyai dinding yang tebal, irregular dan hipervaskular
sedangkan dinding kista pada simple cyst tipis dan uniform. Simple cyst bertendensi untuk
mempunyai bagian interior yang homogenous dan berdensitas rendah sedangkan neoplasma
kistik biasanya mempunyai bagian interior yang heterogenous dengan septasi-septasi.
Gambar 6 : CT-Scan abses hepar dan kista hidatid. Dikutip dari kepustakaan 9
VIII. PENATALAKSANAAN
Penanganan Medikamentosa 4,6,7,
Pengobatan secara medikamentosa untuk kista hepar non parasitik maupun kista parasitik
mempunyai manfaat yang terbatas. Tidak ada terapi konservatif yang ditemukan berhasil untuk
menangani kista hepar secara tuntas.
Aspirasi perkutaneous dengan dibantu oleh USG atau CT-Scan secara teknis mudah untuk
dilaksanakan namun sudah ditinggalkan karena mempunyai kadar rekurensi hampir 100%.
Tindakan aspirasi yang dikombinasikan dengan sklerosis dengan menggunakan alkohol atau
bahan sklerosant lain berhasil pada sebagian pasien namun mempunyai tingkat kegagalan dan
kadar rekurensi yang tinggi. Sklerosis akan berhasil hanya jika terjadi dekompresi sempurna dan
aposisi dari dinding kista. Hal ini tidak mungkin terjadi jika dinding kista menebal atau pada
kista yang sangat besar. Tidak terdapat pengobatan medikamentosa untuk PCLD dan
kistadenokarsinoma.
Kista hidatid dapat diobati dengan agen antihidatid yaitu albendazole dan mebendazole namun
biasanya tidak efektif. Obat-obatan ini digunakan sebagai terapi adjuvant dan tidak dapat
menggantikan peran penanganan bedah atau pengobatan perkutaneus dengan teknik PAIR
(puncture, aspiration, injection, reaspiration). Pengobatan medikamentosa dimulai 4 hari sebelum
pembedahan dan dilanjutkan 1 hingga 3 bulan setelah operasi sesuai panduan dari Organisasi
Kesehatan Dunia. (World Health Organization, WHO)
Penanganan operatif
Secara umum, tujuan terapi operatif adalah untuk mengeluarkan seluruh lapisan epitel kista
karena dengan adanya sisa epitel akan menyebabkan terjadinya rekurensi. Secara ideal, kista di
diseksi keluar secara utuh tanpa melubangi kavitas kista tersebut. Jika ini terjadi, kista akan
kollaps dan ditemukan kesukaran untuk mengenal pasti dan mengeluarkan lapisan epitel.1
1. Teknik PAIR (puncture, aspiration, injection, reaspiration) 6
Teknik PAIR untuk penanganan kista hepar dilakukan dengan dibantu oleh USG atau CT scan
yang melibatkan aspirasi isi kista via satu kanula yang khusus, diikuti dengan injeksi agen yang
bersifat skolisidal selama 15 menit, kemudian isi kista direaspirasi lagi. Proses ini diulang hingga
hasil aspirasi jernih. Kista kemudian diisi dengan solusi natrium klorida yang isotonik. Tindakan
ini harus disertai dengan pengobatan perioperatif dengan obat benzimodazole 4 hari sebelum
tindakan hingga 1-3 bulan setelah tindakan.
a. Indikasi PAIR :
- Lesi nonechoik diameter 5 cm
195

- Kista dengan kerusakan membrane


- Kista multiple
- Kista yang terinfeksi
- Pasien yang menolak pembedahan
- Kista yang berulang setelah dilakukan operasi
- Pasien yang kontraindikasi dengan operasi
- Anak-anak yang kurang dari 3 tahun
- Wanita hamil
b. Kontraindikasi PAIR :
- Pasien yang tidak kooperatif
- Kista pada tulang belakang, otak atau jantung
- Lesi inaktif atau terjadi kalsifikasi
2. Marsupialisasi (dekapitasi) 1,4,14,15
Dekapitasi atau unroofing kista dilakukan dengan cara mengeksisi bagian dari dinding kista
yang melewati hingga permukaan hepar. Eksisi seperti ini menghasilkan permukaan kista yang
lebih dangkal pada bagian kista yang tertinggal hingga cairan yang disekresi oleh epitel yang
masih tertinggal merembes kedalam rongga peritoneum dimana kista di absorbsi. Sisa epitel
dapat juga diablasi dengan menggunakan sinar koagulator argon atau elektrokauter. Sebelumnya
penanganan kista seperti ini memerlukan tindakan laparatomi (open unroofing) namun seiring
dengan perkembangan alat dan teknik, bisa dilakukan secara laparoskopik. Terdapat juga berapa
modifikasi dari teknik marsupialisasi yang dilaporkan seperti teknik open partial cystectomy
yang dilaporkan oleh Filipppou dkk untuk penanganan kista hidatid hepar.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa unroofing kista secara laparoskopik
mempunyai tingkat morbiditas yang rendah, waktu reokupasi yang lebih singkat dan bisa
kembali ke aktivitas normal lebih cepat dibanding open unroofing secara laparatomi. Faktorfaktor yang mungkin mempengaruhi terjadinya rekurensi dengan teknik ini adalah luas deroofing
yang adekuat, kista yang terletak dalam atau berada di segmen posterior dari hepar, penggunaan
sinar argon untuk sisa epitel dinding kista, tindakan omentoplasti untuk kavitas residual, dan
tindakan laparoskopi atau laparatomi yang pernah dilakukan sebelumnya yang menyebabkan
timbulnya jaringan fibrosis di hepar.
3. Reseksi hepar dan tranplantasi hati 2,4,7,13,14
Prosedur yang lebih radikal seperti reseksi hepar dan transplantasi hati telah digunakan dalam
penanganan kista hepar non parasitik. Walaupun prosedur ini bisa mendapatkan hasil terbaik dari
segi tingkat rekurensi yang sangat rendah, namun mempunyai kadar morbiditas yang tinggi, yang
mungkin tidak dapat dilakukan untuk suatu penyakit yang benigna. Contohnya, penelitian Martin
dkk menemukan tingkat morbiditas 50% pada 16 pasien yang menjalani prosedur reseksi hepar
untuk penanganan kista hepar non parasitik. Komplikasi yang terjadi pada tindakan reseksi hepar
seperti infeksi paru-paru, efusi pleura, infeksi pada luka operasi, drainase cairan peritoneal dan
empedu yang lama serta hematoma subphrenik.
Tranplantasi hepar diindikasikan untuk penyakit polikistik dengan gejala yang menetap setelah
pendekatan terapi medikamentosa dan operatif yang lain gagal, atau pada keadaan gagal ginjal.
Reseksi hepar layak untuk diaplikasikan pada pasien dengan kista multipel yang rekuren atau
terdapat kemungkinan suatu tumor kistik hepar. Anatomi segmental hepar yang pertama
dijelaskan oleh Couinaud pada tahun 1957 membagi hepar terdiri atas delapan segmen dimana
setiap segmen mempunyai cabang arteri hepatikum, vena porta dan traktus biliaris yang
196

tersendiri. Hal ini memungkinkan untuk mereseksi setiap segmen ini secara individual apabila
diperlukan, dan mengurangi pemotongan tidak perlu dari jaringan hepar yang normal. Telah
dikembangkan teknik operasi untuk membagi parenkim hepar dengan memakai klem atau
diseksi ultrasonik, juga membolehkan pembuluh vaskular dan biliaris untuk diligasi secara
individual. Kehilangan darah bisa dikurangi dengan teknik oklusi vaskular (manoeuvre Pringle)
IX. PROGNOSIS
Pasien dengan kista non parasitik yang menjalani teknik dekapitasi kista secara laparoskopik
untuk kista hepar benigna mengalami tingkat penyembuhan lebih dari 90%, sementara pada
pasien dengan PKLD mempunyai tingkat penyembuhan yang lebih rendah dengan teknik yang
sama. Penanganan yang paling efisien untuk PKLD dan kista neoplastik adalah dengan reseksi
hepar. Sedangkan efisiensi penanganan kista hidatid dengan teknik PAIR dibanding penanganan
operatif lain masih kontroversial. Prognosis pada penyakit polikistik hepar biasanya ditentukan
oleh beratnya kelainan pada ginjal. Dengan adanya kemajuan dialisis dan transplantasi ginjal
maka pasien dapat bertahan lebih lama. Komplikasi hepar sebagai penyebab kematian tidak lebih
dari 10%. 3,4,12,13
Pada penanganan kista hepar hidatid, walaupun penggunaan teknik PAIR memberi angka
keberhasilan yang tinggi, harus diingat bahwa teknik ini masih mempunyai kelemahan.
Kebocoran cairan kista serta rekurensi bisa memberi kesan buruk yang mengancam nyawa.
Aspirasi sempurna seluruh isi kista, terutama yang multivesikular merupakan tindakan yang
sulit. Jika agen sklerosant memasuki traktus biliaris, bisa terjadi kerusakan pada hepar, dan selain
itu bisa juga terjadi vasikulasi eksogenous. 12

Batu Empedu, Patofisiologi, Anatomi


PENDAHULUAN
Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam
saluran empedu atau pada kedua-duanya. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa
unsur dari cairan empedu yang mengendap dan membentuk suatu material mirip batu di dalam
kandung empedu atau saluran empedu. Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin,
garam empedu, fosfolipid dan kolestrol. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu bisa
berupa batu kolestrol, batu pigmen yaitu pigmen coklat atau pigmen hitam, atau batu campuran.
(1,2)
Batu empedu merupakan penyakit gastrointestinal yang sering ditemukan di negara barat. Batu
kandung empedu telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu hal ini dibuktikan dengan hasil
penggalian arkeologi yang berusia 2000 tahun, hasil otopsi wanita mesir itu didapatkan batu
empedu dan pada abad ke-17 telah dicurigai sebagai penyebab penyakit pada manusia. Batu
empedu terjadi pada 10-20% populasi dewasa di Negara berkembang, di Amerika Serikat lebih

197

dari 20 juta orang menderita penyakit ini dan ditemukan 1 juta pasien baru setiap tahunnya.
Lebih dari 80% gejala batu empedu adalah tidak tampak (asimptomatik). (3)
INSIDENS & EPIDERMIOLOGI
Insidens dan prevalensi dari kolelithiasis dapat dipengaruhi oleh banyak faktor antaranya berupa
faktor umur, jenis kelamin, etnik, genetic dan lain-lain. Di Amerika Serikat, kasus batu empedu
terjadi kurang lebih pada 20 juta orang (10-20% pada orang dewasa), dimana insidens pada
wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria dengan perbandingan 2,5:1, dan terjadi peningkatan
prevalensi seiring dengan bertambahnya umur yaitu setelah umur 60 tahun, 10-15% pada pria
dan 20-40% pada wanita. Jumlah batu juga bervariasi pada tiap pasien dari 1 26 000. (3,4,5,6)
Batu empedu biasanya tidak ditemukan pada anak-anak. Dimulai pada masa pubertas, terjadi
peningkatan konsentrasi kolestrol pada empedu. Setelah umur 15 tahun, prevalensi betu empedu
pada wanita meningkat kurang lebih 1% per tahun dan pada pria 0,5% per tahun. (7)
Faktor resiko pada orang Kaukasian adalah sebesar 50% pada wanita dan 30% pada pria.
Prevalensi yang sama terdapat pada orang meksiko Amerika dan penduduk asli Amerika,
sedangkan pada orang Afrika Amerika mempunyai faktor resiko yang sedikit lebih rendah.
Prevalensi kolestrol kolelithiasis pada Negara barat lainnya sama seperti Amerika Serikat, namun
sedikit lebih rendah pada orang afrika dan asia. (4,7)
Pada penelitian di Itali, ditemukan 20% wanita dan 14% pria yang memiliki batu empedu. Pada
penelitian Danish, prevalensi batu empedu pada usia 30 tahun adalah sebesar 1,8% untuk pria
dan 4,8% untuk wanita. Prevalensi batu empedu pada usia 60 tahun sebesar 12,9% untuk pria
dan 22,4% untuk wanita. (3)
ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO
Etiologi Kolelitiasis
Batu kandung empedu atau dikenal juga sebagai gallstones, biliary calculus merupakan
gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu (1,3,4)
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam chenodeoxycholic),
22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin.2 Etiologi batu empedu
masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling penting adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi
kandung empedu.3 Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang
biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka
kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu.(1,6)
Faktor Resiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak
faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis.
Faktor resiko tersebut antara lain : (7,8)
1. Jenis Kelamin. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu.
198

2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang
degan usia yang lebih muda.
3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingkann dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktifitas fisik. Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu
tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
ANATOMI
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak tepat
dibawah lobus kanan hepar. Pada orang dewasa panjangnya sekitar 7-10 cm, yang berfungsi
untuk menyimpan empedu dengan kapasitas 45 ml. Empedu yang disekresi secara terus
menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil di dalam hepar. Saluran empedu yang
kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan
bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus
hepatikus komunis. (8,9,10)
Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.
Pada banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampulla
Vateri (bagian duktus yang melebar pada tempat menyatu) sebelum bermuara ke duodenum.
Bagian terminal dari kedua saluran dan ampla dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal
sebagai sfingter Oddi.(8,9)
A. Duktus Bilier Intrahepatik
Hujung atau bagian hulu dari biliaris intrahepatik berpangkal dari saluran paling kecil yang
disebut kanalikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus
interlobaris ke duktus lobaris, dan selanjutnya ke duktus hepatikus di hilus.
Duktus hepatikus kiri mengaliri 3 segmen hepat kiri (segmen II, III, IV). Duktus hepatikus kiri
berasal dari hepar dan berakhir di duktus hepatikus kommunis. Setelah melakukan bifurkasio
pada duktus hepatikus kanan-kiri, duktus epatikus kiri akan turun ke fissure umbilikalis
sepanjang permukaan bawah segmen IVb di atas dan samping cabang kiri vena porta. Beberapa
cabang arteri kecil dari lobus quadratus (segmen IV) dan lobus kaudatus (segmen I) masuk ke
duktus kiri pada daerah ini. Duktus hepatikus kiri membentuk fissure umbilikalis oleh cabang
segmen III (lateral) dan bagian IVb (medial) duktus. Segmen II dan IVa membentuk cabang
setelah berjalan mengikuti fissure umbilicalis ventrikal ke arah bawah menuju ligamentum
falciform.(8,9,10,11)
199

B. Duktus Bilier Ekstrahepatik


Sisem bilier ekstrahepatik berisi bifurkasi dari duktus hepatik kiri dan kanan, duktus hepatik
kommunis dan duktus bilier, duktus sistikus dan kantung empedu. Duktus hepatik kiri dibentuk
oleh drainase duktus segmen II, III dan IV dari hepar. Berjalan horizontal sepanjang basis
segmen IV dengan panjang 2 cm atau lebih. Duktus hepatik kanan dibentuk oleh bagian posterior
kanan duktus hepatik (segmen VI dan VII) dan anterior kanan (segmen V dan VIII) dan
merupakan bagian ekstrahepatik yang terpendek. Duktus hepatik kommunis terletak di sebelah
anterior dari ligamentum ekstrahepatik dan gabungan duktus sistikus. (8,9,10,11)
I. Duktus Biliaris Kommunis / Duktus Choledocus(9,10)
Duktus biliaris kommunis memiliki panjang 5-9 cm, dan dibagi atas tiga segmen :
a. Segmen supra duodenal
Terletak pada tepi bebas ligamentum hepatoduodenal, sedikit di sebelah dextro-anterior a.
hepatica communis dan vena porta.
b. Segmen retroduodenal
Berada di sebelah dorsal pars superior duodeni, di luar ligamentum hepatoduodenale, berjalan
sejajar dengan vena portae dan tetap berada di sebelah dextra vena portae.
c. Segmen intrapankreatik
Terletak di bagian dorsal caput pankreas, di sebelah ventral vena renalis sinistra dan vena cava
inferior.
Duktus sistikus sebagai pintu masuk ke duktus hepatik kommunis menjadi awal dari duktus
biliaris kommunis, yang akan berjalan inferior ke arah duodenum pada tepi bebas omentum ke
sebelah kanan arteri hepatic dan anterior vena porta. Duktus biliaris kommunis berjalan melewati
samping dari bagian pertama duodenum. Mukosanya berupa epitel kuboid, dan dindingnya
dibentuk oleh jaringan fibrosa dengan otot polos yang sedikit jumlahnya.
II. Duktus Sistikus (9,10)
Merupakan lanjutan dari fesica fellea, terletak pada porta hepatic. Duktus sistikus berasal dari
infundibulum kandung empedu dan bejalan medial dan inferior dan bergabung menjadi duktus
hepatikus kommunis. Duktus sistikus mempunyai diameter 1-3 mm dan panjang antara 1 mm
sampai 6 mm. Duktus ini menghubungkan kandung empedu dengan duktus biliaris kommunis
dan katup berbentuk spiral Heiser yang mensuplai aliran keluar.
Kandung empedu divaskularisasi oleh arteri sistikus yang merupakan percabangan arteri hepatik
dekstra, sedangkan vena sistikus berasal dari permukaan hati melawati vesika vellea dan masuk
ke lobus quadratus. Sistem persarafan kandung empedu oleh sistem simpatis dan parasimpatis
yang keduanya melalui pleksus seliakus. Saraf simpatis preganglionik berasal dari level T8 dan
T9 sedangkan saraf parasimpatis postganglionik berada pada pleksus seliakus dan berjalan
sepanjang arteri hepatis dan vena porta menuju kandung empedu. Drainase limfatik kendung
empedu melewati nodus hepatikus melalui nodus sistikus dekat dengan kollum kandung empedu
dimana alirannya menuju limfonodus seliakus. (8,9,10,11)
FISIOLOGI
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu. Kandung empedu
mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati. Empedu yang dihasilkan hati
setiap hari sekitar 500 1000 ml, tidak langsung masuk ke duodenum, akan tetapi setelah
melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan disimpan di kandung empedu.
200

Pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik dalam
kandung empedu sehingga cairan empedu dalam kandung empedu akan lebih pekat 10 kali lipat
daripada cairan empedu hati. (9,12,13)
Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui
kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter Oddi. Rangsang normal kontraksi dan
pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum. Pengosongan
tersebut dipengaruhi oleh faktor neural, humoral dan rangsang kimiawi. Rangsang vagal
meningkatkan sekresi empadu, sedangkan saraf splennikus menurunkan sekresi empedu.
Hormon kolesistikinin (CCK) juga memperantarai kontraksi, hormon ini disekresi oleh mukosa
usus halus akibat pengaruh makanan berlemak atau produksi lipolitik dapat merangsang nervus
vagus. Asam hidroklorik, sebagai digesti protein dan asam lemak yang ada di duodenum
merangsang peningkatan sekresi empedu.(9,12,13)
Substansi terbanyak yang disekresi pada empedu adalah garam-garam empedu, yang merupakan
setengah dari total solut empedu, juga disekresi dan diekskresi dalam konsentrasi besar adalah
bilirubin, kolesterol, lesitin dan elektrolit plasma. (9)
Fungsi empedu yang lain adalah membuang limbah tubuh tertentu (terutama pigmen hasil
pemecahan sel darah merah dan kelebihan kolesterol) serta membantu proses pencernaan dan
penyerapan lemak. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan
vitamin larut lemak, sehingga membantu penyerapan dari usus. Hemoglobin yang berasal dari
penghancuran sel darah merah dirubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan
dibuang ke dalam empedu. Berbagai protein yang memegang peranan penting dalam fungsi
empedu juga disekresi dalam empedu. (9,12)
PATOFISIOLOGI BATU EMPEDU
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu campuran. Lebih dari 90% batu
empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung >50% kolesterol) atau batu campuran (batu
yang mengandung 20-50% kolesterol). 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung <20 kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah
keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan
konsentrasi kalsium dalam kandung empedu (13).
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam
menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh
substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus
untuk pembentukan batu. Kristal yang terbentuk dalam kandung empedu, kemudian lamakelamaan tersebut bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas
kandung empedu dan biliary stasis merupakan predisposisi pembentukan batu empedu (3,13).
6.1. Batu kolesterol (3,13,14)
Batu kolestrol yang berbentuk oval, multifocal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Proses pembentukan terjadi dalam 4 tahap, yaitu:
i. Supersaturasi empedu dengan kolesterol, derajat penjenuhan empedu oleh kolesterol dapat
dihitung melewati kapasitas daya larut. Keadaan ini dapat disebabkan oleh bertambahnya sekresi
kolesterol atau penurunan relatif asam empedu atau fosfolipid. Peningkatan ekskresi kolesterol
empedu antara lain dapat terjadi pada keadaan obesitas, diet tinggi kalori dan kolesterol serta
201

penggunaan obat yang mengandung estrogen atau klofibrat.


ii. Pembentukan nidus, nidus dapat berasal dari pigmen empedu, mukoprotein, lendir protein
lain, bakteri atau benda asing.
iii. Klistalisasi / presipitasi, penjenuhan kolesterol yang berlebihan tidak dapat membentuk batu,
kecuali bila ada nidus dan ada proses lain yang menimbulkan kristalisasi.
iv. Pertumbuhan batu oleh agregasi atau presipitasi lamellar kolesterol dan senyawa lain yang
membentuk matriks batu. Pertumbuhan batu terjadi karena pengendapan Kristal kolesterol di atas
organik inorganik dan kecepatannya ditentukan oleh kecepatan pelarut dan pengendapan.
6.2. Batu pigmen (3,12,13,14)
Batu pigmen merupakan 10% dari total kasus batu empedu, mengandung <20% kolesterol. Batu
pigmen dapat dibagi kepada 2, yaitu :
a. Batu kalsium bilirunat (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat
sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi
saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi
bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim Bglukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam
glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari
penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan
terbentuknya batu pigmen coklat. Baik enzim -glukoronidase endogen maupun yang berasal
dari bakteri ternyata mempunyai peran penting dalam pembentukan batu pigmen ini. Umumnya
batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.
b. Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat
hitam yang tak terekstraksi.Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada
pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari
derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu
pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril. Hal yang
berpengaruh terhadap terbentuknya batu berpigmen coklat seperti kolonisasi bakteri di kantong
empedu dan statis intraduktal (1,9).
6.3. Batu campuran (2,3,13)
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol.
Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Di
dalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran
empedu secara parsial ataupun komplit sehingga menimbulkan gejala kolik bilier. Pasase
berulang batu empedu melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan
perlukaan sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus dan striktur. Apabila batu
berhenti di dalam duktus sistikus dikarenakan diameter batu yang terlalu besar atau pun karena
adanya striktur, batu akan tetap berada di sana sebagai batu duktus sistikus (3,13).
Kolelitiasis asimtomatis biasanya diketahui secara kebetulan, sewaktu pemeriksaan
ultrasonografi, foto polos abdomen, atau perabaan saat operasi. Pada pemeriksaan fisik atau
laboratorium biasanya tidak ditemukan kelainan (2,3).
Pembentukan batu empedu dapat dibagi menjadi empat tahap: (1) pembentukan empedu yang
supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, (3) Klistalisasi / presipitasi dan (4)
202

berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang


terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan
kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan
kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang
mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang
mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan
lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi
sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.(3,12)
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol.
Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu
nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin
bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk
dipakai sebagai benih pengkristalan. (3,14)
Admirall & Sand mengemukakan konsep bahwa jika kadar kolesterol relative dalam cairan
empedu melebihi konstanta kelarutannya, maka lemak yang berlebihan itu akan memadat dan
memulai terjadinya pembentukan batu. Pembentukan cairan empedu yang kaya akan kolesterol
secara teoritis dapat berasal dari peningkatan kolesterol ataupun penurunan sekresi fosfolipid
atau garam empedu oleh hepar. Hubungan segitiga antara kadar kolesterol, garam empedu, dan
fosfolipid dalam cairan empedu biasanya digambarkan secara grafis dengan koordinat segitiga.
(3,13,14)
Kelarutan tiga komponen besar cairan empedu (garam empedu, lesitin, dan kolesterol)
ditempatkan dalam koordinat segitiga. Titik P menunjukkan cairan empedu yang terdiri atas
garam empedu 80%, kolesterol 5%, dan lesitin 15%. Garis ABC menunjukkan kelarutan
kolesterol maksimal sebagai fungsi dari konsentrasi lesitin dan garam empedu yang bervariasi.
Bila kombinasi garam empedu, kolesterol dan leseitin turun di bawah garis ABC, maka cairan
empedu akan berwujud sebagai cairan micelle fase tunggal. Bila kandungan di atas berada garis
ABC, terjadi supersaturasi kolesterol dan pembentukan Kristal kolesterol. (3,13,14,15)
GEJALA KLINIS
Penyakit batu empedu memiliki 4 tahap : (3,16,17)
1. Tahap litogenik , pada kondisi ini mulai terbentuk batu empedu.
2. Batu empedu asimptomatik, pada tahap ini pasien tidak mengeluh akan sesuatu sehingga tidak
memerlukan penanganan medis. Karena banyak terjadi, batu empedu biasanya muncul bersama
dengan keluhan gastroitestinal lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan batu empedu
menyebabkan nyeri abdomen kronik, heartburn, distress postprandial, rasa kembung, serta
adanya gas dalam abdomen, konstipasi dan diare. Dispepsia yang terjadi karena makan makanan
berlemak sering salah dikaitkan dengan batu empedu, dimana irritable bowel syndrome atau
refluks gastroesofageal merupakan penyebab utamanya.
3. Kolik bilier, episode dari kolik bilier bersifat sporadik dan tidak dapat diperkirakan. Pasien
menunjukan nyeri terlokalisir pada epigastrium atau kuadran kanan atas dan akan
menggambarkan nyeri dirasakan sampai ke daerah ujung scapula kanan. Dari onset nyeri, nyeri
akan meningkat stabil sekitar 10 menit dan cenderung meningkat selama beberapa jam sebelum
mulai mereda. Nyeri bersifat konstan dan tidak berkurang dengan emesis, antasida, defekasi atau
perubahan posisi. Nyeri mungkin juga bersamaan dengan mual dan muntah.

203

4. Komplikasi kolelitiasis, terjadi ketika batu persisten masuk ke dalam duktus biliar sehingga
menyebabkan kantung empedu menjadi distended dan mengalami inflamasi progresif.
Sebagian besar (90-95%) kasus kolesistitis akut disertai kolelithiasis dan keadaan timbul akibat
obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut. Respon peradangan
dapat dicetuskan 3 faktor: (3,16,17)
a) Inflamasi mekanik yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan intra lumen dan distensi
menyebabkan iskemia mokusa dan dinding kandung empedu.
b) Inflamasi kimiawi akibat pelepasan lesitin dan faktor jaringan lokal lainnya.
c) Inflamasi bakteri yang memegang peran pada sebagian besar pasien dengan kolesistitis akut.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang mungkin
timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang
simtomatis, Pasien biasanya datang dengan keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium
atau nyeri/kolik pada perut kanan atas atau perikondrium yang mungkin berlangsung lebih dari
15 menit, dan kadang beberapa jam. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada
30% kasus timbul tiba-tiba. Kadang pasien dating dengan mata dan tubuh menjadi kuning, badan
gatal-gatal, kencing berwarna seperti teh, tinja berwarna seperti dempul dan (3,16,17)
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan
muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah
menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada
waktu menarik nafas dalam (3,17,18).
Hal-hal yang perlu ditanyakan lebih lanjut kepada pasien adalah:
- perjalanan penyakit akut/kronis
- riwayat keluarga
- nyeri atau tidak; ikterus tanpa nyeri biasanya disebabkan karena keganansan
- riwayat minum obat sebelumnya
- kelainan gastrointestinal, seperti nyeri epigastrium, mual, muntah
- demam, nafsu makan menurun; lebih cenderung ke hepatitis
- anemia ada atau tidak(1,3)
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis
Pasien dengan stadium litogenik atau batu asimptomatik tidak memiliki kelainan dalam
pemeriksaan fisis.
Selama serangan kolik bilier, terutama pada saat kolesistitis akut, pasien akan mengalami nyeri
palpasi / nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu.
Diketahui dengan adanya tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita
menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Riwayat ikterik maupun ikterik cutaneus dan
sklera dan bisa teraba hepar. (3,16,17).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Meliputi pemeriksaan: (3,16,18)
204

A. Darah rutin : anemia/tidak, lekositosis/tidak


Urine : bilirubin , urobilin (+)
Tinja : pucat
B. Test Faal Hati
1. Bilirubin total : meningkat
2. SGOT, SGPT : meningkat
Merupakan enzim yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan
dalam aktivitas serum sering menunjukkan kelainan saluran hati.
3. Alkali fosfatase : meningkat
Merupakan enzim yang disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Pada obstruksi aktivitas
serum meningkat karena saluran ductus meningkatkan sintesis ini.
4. Kadar kolesterol : meningkat
5. Protrombin time : meningkat(7)
Pasien dengan kolelitiasis tanpa komplikasi atau tipe kolik bilier simple memiliki nilai
laboratorium yang normal.
Kolelitiasis akut berhubungan dengan leukositosis PMN, serta bisa disertai dengan peningkatan
enzim hati .
Koledokolitiasis dengan obstruksi duktus biliar akut akan menyebabkan peningkatan akut
jumlah SGOT dan SGPT serta peningkatan alkali fosfatase dan serum bilirubin tetap dalam
beberapa hari. (3,16,18)
2. Pemeriksaan radiologis
Foto polos Abdomen
Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier sebab nilai diagnosisnya
rendah dan tidak memberikan gambaran yang khas. Foto polos kadang-kadang dapat bermanfaat,
tetapi tidak bisa mengenal kebanyakan patologi saluran empedu. Hanya 15% batu empedu
mengandung cairan empedu berkadar kalsium untuk memungkinkan identifikasi pasti. Jarang
terjadi kalsifikasi yang hebat pada dinding vesica billiaris (Vesica billiaris porselen) atau empedu
susu kalsium dapat dilihat dengan foto polos karena bersifat radioopak. (3,16,17,18).
Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatika (3,16,17,18).
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu
kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan
USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang
diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus
distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum
maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan
palpasi biasa (3,16). merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan merupakan
pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan mencapai 95%. Kriteria batu
kandung empedu pada USG yaitu dengan acoustic shodowing dari gambaran opasitas dalam
kandung empedu. Walaupun demikian ,manfaat US untuk mendignosis BSE relatif rendah.
Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan
205

ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun
serum diatas 2 mg/dl, kehamilan, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Cara ini memerlukan lebih banyak waktu dan
persiapan dibandingkan ultrasonografi Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu (1,3).
Penataan hati dengan HIDA
Metode ini bermanfaat untuk menentukan adanya obstruksi di duktus sistikus misalnya karena
batu. Juga dapat berguna untuk membedakan batu empedu dengan beberapa nyeri abdomen akut.
HIDA normalnya akan diabsorpsi di hati dan kemudian akan disekresi ke kantong empedu dan
dapat dideteksi dengan kamera gamma. Kegagalan dalam mengisi kantong empedu menandakan
adanya batu sementara HIDA terisi ke dalam duodenum.(1,5)
Computed Tomografi (CT)
CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya batu
empedu, Pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun demikian, teknik ini jauh
lebih mahal dibanding USG.(5,6)
Percutaneus Transhepatic Cholangiographi (PTC) Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP).
PTC dan ERCP merupakan metoda kolangiografi direk yang amat bermanfaat untuk menentukan
adanya obstruksi bilier dan penyebab obstruksinya seperti koledokolitiasis. Selain untuk
diagnosis ERCP juga dapat di gunakan untuk terapi dengan melakukan sfingterotomi ampula
vateri diikuti ekstraksi batu. Tes invasif ini melibatkan opasifikasi langsung batang saluran
empedu dengan kanulasi endoskopi ampulla Vateri dan suntikan retograd zat kontras. Resiko
ERCP pada hakekatnya dari endoskopi dan mencakup sedikit penambahan insidens kolangitis
dalam batang saluran empedu yang tersumbat sebagian. (2,5,6)
PENATALAKSANAAN
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul
bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak. (1,3,16)
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan
perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu
(kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan
setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan. (1,3,16)
Pilihan penatalaksanaan antara lain :
1. Kolesistektomi terbuka (1,3,10,19,20,23,25)
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis simtomatik.
Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi
pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut.
2. Kolesistektomi laparaskopi (1,3,10,19,20,24,25)
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90%
kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan
cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi
206

normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru.2 Kandung empedu diangkat
melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. 10
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena
semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada
pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi
perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri
menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari
prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.
3. Disolusi medis (1,3,10,19,20)
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan
yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk
batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah
mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat
ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. Kurang dari 10% batu empedu
dilakukan cara ini adalah sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi criteria terapi non
operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi
kandung empedu baik dan duktus sistik paten.
4. Disolusi kontak (3,20,21)
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (Metil-Ter-Butil-Eter
(MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat
efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan
kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).
5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) (1,3,20,21,25)
Sangat populer digunakan beberapa tahun belakang ini, analisis biaya-manfaat pad saat ini
memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
6. Kolesistotomi (3,21,25)
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur
pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya
kritis.
7. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) (1,3,10,19,20,24,25)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke dalam
usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di
dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu
yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil
dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7%
mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut.
ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang
kandung empedunya telah diangkat.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis : (3,4,13)
1. Obstruksi duktus sistikus
2. Kolik bilier
207

3. Kolesistitis akut
4. Perikolesistitis
5. Peradangan pankreas (pankreatitis)-angga
6. Perforasi
7. Kolesistitis kronis
8. Hidrop kandung empedu
9. Empiema kandung empedu
10. Fistel kolesistoenterik
11. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu
muncul lagi) angga
12. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
-Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/
menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu
terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi.
Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel,
bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu
dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu
fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis
akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi
kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata (3,4,13).
-Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari
kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap
asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus
juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis (3,4,13).
-Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi (3).
PROGNOSIS
Batu empedu asimptomatik yang berubah menjadi simptomatik yaitu rata-rata 2% per tahun.
Gejala pada umumnya kolik bilier kemudian menjadi komplikasi biliar mayor. Bila gejala bilier
dimulai, keluhan nyeri muncul pada 20-40% pasien per tahun, 1-2% pasien pertahun terjadi
komplikasi berupa kolesistitis, koledokolithiasis, kolangitis, dan pancreatitis batu empedu. Setiap
tahun di Amerika Serikat sekitar 500.00 orang dengan perkembangan gejala atau komplikasi
batu empedu memerlukan cholecystecomy. Penyakit batu empedu menyebabkan 10.000
kematian tiap tahun. Sekitar 7.000 kematian diakibatkan oleh komplikasi batu empedu akut
seperti pancreatitis akut. Sekitar 2.000 sampai 3.000 kematian disebabkan oleh kanker batu
empedu (80% terjadi pada penyakit batu empedu dengan kolesistitis kronik). (22)

Sindrom Malabsorbsi Usus Halus


PENDAHULUAN
Absorbsi adalah pemindahan hasil-hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak dan protein serta
208

air, elektrolit dan vitamin melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan
oleh sel-sel tubuh. Malabsorbsi merupakan suatu keadaan dimana terdapat gangguan absorbsi
mukosa usus terhadap satu atau beberapa zat gizi, yang mengakibatkan ekskresi zat-zat tersebut
ke dalam feses. Berbeda dengan malabsorbsi, maldigesti merupakan kegagalan mengabsorbsi
satu zat gizi atau lebih akibat pencernaan yang tidak adekuat. (1)
Pencernaan makanan dan penyerapan nutrisi terjadi dalam usus halus, bagian sistem pencernaan
ini terletak antara pylorus dan katup ileocecal. Manusia dapat bertahan hidup dengan adanya
nutrisi parenteral oleh kerja usus halus, proses pertumbuhan dan kesehatan tergantung pada
fungsi normal organ ini. (2)
Sindrom malabsorbsi meliputi beberapa gambaran klinis yang mengakibatkan diare kronik,
distensi abdomen dan kegagalan pertumbuhan. Gambaran klinis sindrom malabsorbsi bisa
sampai mencapai tahap berat dalam keadaan yang berbeda-beda, kelainan kongenital dan
kelainan yang didapat, berpengaruh terhadap satu atau beberapa tahap dalam proses hidrolisis
dan transport nutrisi di usus halus. (3)
Sindrom malabsorbsi telah banyak diketahui sejak pertama kali dilaporkan oleh Cross dan
kawan-kawan pada tahun 1953. Malabsorbsi selain berpengaruh terhadap ketiga energi yang
dibawa melalui makanan, yaitu lemak, protein dan karbohidrat, juga zat besi, vitamin, kalsium,
magnesium dan zinc. (4,5)
Sindrom malabsorbsi dapat dikategorikan dalam tiga penyebab utama, pertama oleh karena
adanya gangguan proses pencernaan dalam lumen usus, kedua oleh karena adanya proses
patologi yang melibatkan dinding usus, dan ketiga karena adanya faktor sistemik dan
konstitusional yang terlibat didalamnya.(5)
ANATOMI
Usus halus merupakan saluran mulai dari pylorus sampai ke ileocecal junction, panjangnya
kurang lebih 6 meter dan terbagi dalam : (6)
a. Duodenum : 25 cm
b. Jejenum : 240 cm
c. Ileum : 360 cm
Duodenum berjalan di sepanjang kaput pankreas mulai dari pilorus sampai jejenum. Pemisahan
duodenum dan jejenum ditandai oleh ligamentum Treitz, suatu pita muskulofibrosa yang
berorigo pada kurs dekstra diafragma dekat hiatus esofagus dan berinsersio pada perbatasan
duodenum dan jejenum, yang berfungsi sebagai ligamentum suspensorium. (1,7,8)
Jejenum adalah bagian tengah dari usus halus, terletak di regio abdominalis bawah kanan.
Sekitar duaperlima dari sisa usus halus adalah jejenum dan tigaperlima bagian terminalnya
adalah ileum. Perbatasan antara jejenum dan ileum tidak jelas dari luar, dinding jejunum lebih
tebal dan lumen ileum lebih sempit. (1,7,9)
Seluruh usus halus diperdarahi oleh arteri mesenterika superior yang dicabangkan dari aorta tepat
di bawah arteri seliak, kecuali sebagian proksimal duodenum yang diperdarahi oleh arteri
gastroduodenalis dan cabang arteri pankreatikoduodenalis superior. Darah dikembalikan melalui
vena mesenterika superior yang menyatu dengan vena lienalis membentuk vena porta. (1,2)
Inervasi usus halus diperoleh dari cabang-cabang kedua sistem saraf simpatis dan parasimpatis.
Inervasi simpatis diperoleh dari nervus splanchnic, sedangkan inervasi parasimpatis diperoleh
dari nervus vagus. (1,2,8)

209

HISTOLOGI
Dinding usus halus terdiri dari 4 lapis, yaitu : (6)
a. Tunika Mukosa
Struktur-struktur yang terdapat pada mukosa usus halus adalah :
1. Vili, terdapat pada permukaan lumen sepanjang usus halus berupa lipatan mukosa berbentuk
seperti jari-jari atau tonjolan gepeng.
2. Kripti Lieberkuhn, merupakan kelenjar invaginasi diantara vili yang meluas sampai
muskularis mukosa.
3. Plika sirkularis Kerckringi, merupakan lipatan yang berbentuk sirkuler, dimana submukosa
ikut membentuk lipatan ini, dan bersifat permanen.
Sel-sel yang membentuk epitel mukosa usus halus adalah :
1. Sel Absorbtif, terbentuk mikrovili yang berfungsi untuk memperluas permukaan absorbsi.
2. Sel Goblet, menghasilkan mukus yang berfungsi menutupi mukosa dan sebagai pelindung
terhadap isi sitolitik dalam lumen.
3. Sel Argentafin, menghasilkan hormon serotonin, sekretin dan kolesistokinin.
4. Sel Paneth, terdapat granula asidofil yang mengandung lisosim berfungsi menghidrolisir
dinding sel bakteri.
5. Sel Kolumnair Primitif, merupakan kelompok stem sel yang selalu membelah dan
berdiferensiasi menjadi sel absorbtif, sel goblet, sel argentafin dan sel paneth.
Lamina Propria, terletak di bawah epitel dan membran basalis, yang terdiri dari sel limfosit,
makrofag, sel plasma dan eosinofil serta arteriol, pleksus kapiler, venule, kapiler limfe yang
berujung buntu yang disebut lakteal dan nodulus limfatikus.
Muskularis Mukosa
b. Submukosa
Lapisan ini terdapat di bawah muskularis mukosa, dibentuk oleh jaringan ikat padat disertai
pleksus Meisneri dan kelenjar Brunneri.
c. Tunika Muskularis
Terdiri dari 2 lapisan otot polos dimana lapisan dalam berjalan sirkuler dan lapisan luar berjalan
longitudinal, diantara kedua lapisan tersebut terdapat jaringan ikat longgar yang di dalamnya
mengandung pleksus Auerbachi.
d. Tunika Serosa
Terdiri dari anyaman penyambung jarang yang dilapisi oleh mesotel pada bagian luarnya.
FISIOLOGI
Fungsi utama usus halus adalah sebagai organ pencernaan dan absorbsi bahan-bahan nutrisi dan
air, namun secara umum fungsi usus halus antara lain : (6,7)
1. Membawa secara perlahan-lahan makanan yang sudah dicerna oleh gerakan peristaltik.
2. Mensekresi cairan usus.
3. Menyelesaikan proses cerna secara kimiawi dari karbohidrat, protein dan lemak di dalam
enterosit vili.
4. Sebagai pelindung dari infeksi yang disebabkan oleh mikroba yang dapat bertahan terhadap
asam hidroklorik di lambung.
5. Menghasilkan hormon serotonin, sekretin dan kolesistokinin.
6. Absorbsi hasil pencernaan.
Usus halus memiliki 2 pergerakan, yaitu kontraksi segmental dan gelombang peristaltik.
Kontraksi segmental terjadi setelah usus halus mengembang akibat terisi oleh kimus, dan proses
210

ini terjadi secara bergantian, yaitu kontraksi berhenti kemudian disusul oleh kontraksi berikut
secara terus-menerus, hanya berfungsi untuk mencampur isi usus halus dengan sekret yang
berasal dari usus halus, pankreas dan hepar. Gerakan peristaltik merupakan gelombang kontraksi
teratur dimana terjadi kontraksi dan relaksasi secara bergantian untuk mendorong kimus ke arah
distal. (6)
Setiap hari 8 hingga 9 liter cairan akan melalui usus halus. Sebagian besar jumlah ini terdiri dari
sekresi saliva, lambung, empedu, pankreas dan usus halus. Dalam keadaan normal, usus halus
akan menyarap lebih dari 80% dari seluruh jumlah cairan, dan akan meninggalkan sekitar 1,5
liter yang akan masuk ke kolon. Hampir semua bahan makanan diabsorbsi dalam jejenum,
kecuali vitamin B12 dan asam empedu yang diserap dalam ileum terminale. (8,9)
Pencernaan Karbohidrat
Pencernaan karbohidrat dimulai dari kerja amilase kelenjar saliva, namun pencernaan hingga
menjadi monosakarida terjadi di usus halus melalui kerja amilase kelenjar pankreas dan enzimenzim yang dihasilkan oleh brush border di usus. (2,7,8)
Pencernaan Lemak
Lemak dipecah oleh enzim lipase menjadi asam lemak dan gliserol. Untuk membantu kerja
enzim lipase, garam-garam empedu mengemulsi lemak dengan mereduksi globulus suhingga
memperbesar luas permukaan lemak. Sebagian besar lemak dicerna dan diabsorbsi pada separuh
bagian proksimal dari jejenum. (7,8)
Pencernaan Protein
Protein mulai dicerna di lambung melalui kerja pepsin. Pencernaan dilanjutkan di duodenum
oleh kerja enzim pankreas yaitu tripsin dan kimotripsin. Enzim-enzim ini memecah polipeptida
menjadi tripeptida, dipeptida dan asam amino. (2,8)
Absorbsi Nutrisi
Penyerapan nutrisi terjadi melalui 2 proses : (7)
1. Difusi
Monosakarida, asam amino, asam lemak dan gliserol mengalami difusi lambat melalui enterosit
di dalam lumen usus halus.
2. Transport aktif
Monosakarida, asam amino, asam lemak dan gliserol mengalami transport aktif melalui vili yang
perlangsungannya lebih cepat dibandingkan proses difusi. Disakarida, dipeptida dan tripeptida
juga mengalami transport aktif melalui enterosit, dimana pencernaannya telah selesai sebelum
ditransfer melalui kapiler oleh vili.
Absorbsi Vitamin
Awalnya vitamin berikatan dengan protein R yang berasal dari saliva. Dalam duodenum, protein
R dihidrolisis oleh enzim-enzim pankreas, melalui kobalamin bebas yang terikat pada faktor
intrinsik sel parietal lambung. Kompleks kobalamin-faktor intrinsik, dapat dihidrolisis oleh
enzim-enzim pankreas sehingga mudah mencapai ileum terminal dan kobalamin diabsorbsi. (8)
Absorbsi Elektrolit
Sodium diserap melalui kedua mekanisme aktif dan pasif. Sodium dibentuk oleh ikatan klorida
211

dan nutrient seperti glukosa di dalam jejenum dan garam empedu dalam ileum terminal.
Absorbsi air secara pasif membentuk keseimbangan osmolalitas. Mekanisme transport ikatan
sodium-glukosa memungkinkan absorbsi klorida melalui suatu jalur paraseluler. Potassium
diabsorbsi ketika terjadi perubahan hydrogen. Absorbsi kalsium terbentuk melalui vitamin D dan
1,2,5-dihydroxyvitamin D, hormon paratiroid, kalsitonin dan sejumlah kalsium yang memiliki
ikatan dengan protein. (2)
ETIOLOGI
Malabsorbsi dapat terjadi baik oleh karena kelainan yang berhubungan langsung dengan
pencernaan makanan, maupun karena kelainan yang secara langsung mempengaruhi proses
penyerapan makanan, seperti : (1,10,11)
1. Insufisiensi pancreas
2. Pengangkatan sebagian usus
3. Gastrektomi
4. Penyakit Crohn
5. Penyakit Seliak
6. Kekurangan enzim-enzim tertentu di usus
7. Penyakit hati
8. Penyumbatan saluran empedu
9. Infeksi usus
10. Aliran darah ke usus yang tidak adekuat
11. Obat-obatan
PATOGENESIS
Malabsorbsi lemak terjadi karena kurangnya komponen garam empedu sehingga pembentukan
micelles menjadi tidak normal, sehingga terjadi kehilangan berat badan akibat kurangnya
komponen kalori tertinggi dalam makanan. Secara tidak langsung menyebabkan terjadinya
malabsorbsi vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E dan K). Terjadinya defisiensi vitamin K
dapat mempengaruhi pembentukan faktor-faktor pembekuan di hepar sehingga mudah terjadi
perdarahan. (3,4)
Malabsorbsi protein dapat terjadi pada seseorang yang telah mengalami gastrektomi/reseksi
gaster. Selain itu, bila terjadi insufisiensi pankreas, enzim yang dibutuhkan tidak dapat memecah
protein menjadi asam amino, sehingga menjadi penyebab utama terjadinya atrofi otot dan
penurunan berat badan yang mengakibatkan terjadinya hipoproteinemia dan kemudian akan
menimbulkan edema. (3,4)
Malabsorbsi karbohidrat dapat terjadi pada keadaan dimana amilase enzim pankreas berkurang
dan glukosamilase yang dihasilkan oleh brush border terbatas. Dalam malabsorbsi karbohidrat,
adanya pengurangan absorbsi natrium pada usus halus bagian atas, akan menjadi penyebab
terjadinya pengurangan absorbsi air. Aktivitas osmotik pada keadaan dimana karbohidrat tidak
terserap biasanya merupakan akibat dari berlebihnya sekresi air. (3,4,11)
Malabsorbsi vitamin B12 dan folat terjadi pada keadaan dimana seseorang telah mengalami
reseksi ileum karena penyerapan vitamin B12 terjadi di ileum. (3,8)
Malabsorbsi Pasca Gastrektomi
Malabsorbsi dan penurunan berat badan sering ditemukan pasca gastrektomi. Hampir dapat
dipastikan malabsorbsi akan terjadi setelah gastrektomi total, meningkatnya kehilangan lemak
212

dari feses terjadi pada sebagian besar penderita setelah tindakan Billroth II. Penyebab utama
steatore akibat pencampuran makanan dengan enzim-enzim berlangsung kurang sempurna oleh
sebab pengosongan isi lambung yang terlalu cepat, pengurangan sekresi pankreas akibat pintas
duodenum dan kurangnya perangsangan oleh kimus asam untuk mengeluarkan sekretin dan
CCK, stasis isi usus pada lengkung aferen mengakibatkan proliferasi bakteri yang abnormal yang
dapat memakai habis vitamin B12 serta menyebabkan dekonyugasi garam-garam empedu, dan
hilangnya fungsi lambung sebagai reservoir mengakibatkan waktu transit makanan di usus
berjalan lebih cepat sehingga mengakibatkan diare. (1)
GAMBARAN KLINIS
Penderita sindrom malabsorbsi usus halus biasanya mengalami penurunan berat badan. Jika
lemak tidak diserap sebagaimana mestinya, tinja akan berwarna terang, lunak, berminyak, berbau
busuk dan jumlahnya sangat banyak, yang disebut sebagai steatorrhea. (1,10,12)
Jika terjadi kekurangan enzim laktase, mungkin akan mengalami diare, perut kembung dan
flatulen, karena kurangnya absorbsi air dan karbohidrat serta iritasi usus oleh asam lemak yang
tidak larut. (1,3,10,12)
Penyumbatan saluran empedu dapat diketahui dengan adanya ikterus. Kekurangan protein dapat
memberikan gambaran berupa edema. Anemia dapat terjadi karena gangguan absorbsi zat besi,
asam folat dan vitamin B12. Lemah dan mudah lelah dapat terjadi karena anemia dan
hipokalemia. Kekurangan vitamin C dan vitamin K menyebabkan gusi berdarah, mudah
mengalami perdarahan. Kekurangan vitamin D dan kalsium dapat mengakibatkan terjadinya
nyeri tulang. (1,3,10,12)
DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada tahap awal, diagnosis dan identifikasi sindrom malabsorbsi usus halus dapat diperoleh
melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik, yang akan disesuaikan dengan hasil pemeriksaan
laboratorium dan radiologi. (12)
Diduga telah terjadi sindrom malabsorbsi pada seseorang yang mengalami penurunan berat
badan, diare serta kekurangan zat gizi meskipun makanannya baik. Pemeriksaan lemak dalam
tinja dapat membantu memperkuat diagnosis, dimana kadar lemaknya berlebihan. (1,10)
Bila timbul ikterus, tinja dengan kadar lemak berlebihan, dapat menunjukkan adanya kelainan di
sistem empedu. Gumpalan lemak dan serat makanan yang tidak dicerna, yang ditemukan pada
pemeriksaan mikroskopik, menunjukkan bahwa pankreas tidak berfungsi secara normal.
Penemuan parasit atau telurnya dalam tinja, menunjukkan bahwa malabsorbsi ini disebabkan
oleh infeksi parasit. (10)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sampel darah meliputi : (1,12)
1. Serum kolesterol, dapat rendah karena terjadi penurunan absorbsi lemak.
2. Serum sodium, potassium dan klorida, mungkin juga rendah oleh karena kehilangan elektrolit
melalui diare.
3. Serum kalsium, dapat rendah kekurangan vitamin D dan malabsorbsi asam amino.
4. Serum protein dan albumin, dapat rendah karena kehilangan protein.
5. Serum vitamin A dan karotin, dapat rendah akibat defisiensi garam empedu.
6. Tes D-xylose, bila kadar dalam darah kurang dari 30 mg/100 ml menunjukkan malabsorbsi.
7. Tes Schilling, untuk mengetahui malabsorbsi vitamin B12.
213

Foto polos abdomen jarang mempermudah penegakan diagnosis, meskipun kadang dapat
menunjukkan kemungkinan penyebabnya. Foto yang diambil setelah pasien minum barium, akan
menunjukkan pola yang tidak normal dari penyebaran barium di usus halus, yang khas untuk
malabsorbsi. (10)
Tes yang paling spesifik untuk mendiagnosis Sprue adalah biopsi mukosa usus halus, yang
menunjukkan adanya atrofi vili. (1,10)
Tes fungsi pankreas sering dilakukan karena kelainan fungsi pankreas sering merupakan
penyebab yang ditemukan pada keadaan malabsorbsi. (10)
PENATALAKSAAN
Medical Care (3)
Karena penyembuhan di usus berlangsung lambat, maka diare kronis mungkin membutuhkan
masa penyembuhan yang lebih lama. Penatalaksanaan diare dengan gentamisin oral atau
antibiotik spektrum luas (metronidazole) untuk menghambat berkembangbiaknya bakteri. Pada
anak-anak yang mengalami diare kronik sekunder karena malabsorbsi asam empedu, dapat
digunakan kolestiramin untuk mengurangi asam empedu yang dapat membantu mengurangi
timbulnya diare.
Banyaknya enzim pankreas yang hilang dapat diganti melalui suplemen oral enzim pankreas.
Pengobatan dengan imusupresif dapat digunakan untuk mengontrol enteropati autoimun.
Untuk mengurangi terjadinya malabsorbsi pada pasien dengan penyakit seliak diharuskan
untuk melakukan diet secara lengkap dengan mengurangi daging dan gandum.
Penatalaksanaan Malabsorbsi Pasca Gastrektomi
Pengobatan tergantung dari identifikasi mekanisme malabsorbsi. Antibiotik spektrum luas
diberikan bila penyebabnya adalah pertumbuhan bakteri yang berlebihan. Makan sedikit, rendah
karbohidrat dan dimakan tanpa menggunakan cairan dapat membantu memperlambat
pengosongan lambung yang berlangsung terlalu cepat. (1)
PROGNOSIS
Sangat sulit untuk memastikan tindakan yang dapat dilakukan pada seseorang yang mengalami
sindrom malabsorbsi karena terdapat beberapa faktor yang berpengaruh. Gejala yang timbulnya
perlahan-lahan sulit untuk didiagnosa secara pasti. Pengobatan mungkin membutuhkan waktu
yang lama, kompleks dan berubah-ubah untuk menghasilkan efek yang optimal. (12)
Beberapa keadaan sindrom malabsorbsi tidak berlangsung terus-menerus dan biasanya hanya
membutuhkan pola diet yang sederhana. Banyak kerusakan yang timbul akibat malabsorbsi
sekunder bersifat progresif dan diakibatkan oleh suatu komplikasi sistemik. Sebagai contoh,
pasien dengan lipoproteinemia bisa meninggal pada usia muda karena kelainan jantung,
sedangkan pasien dengan enteropati autoimun berat atau penyakit inklusi mikrovilus dapat
mengalami prognosis yang buruk. (3)

Ileus Obstruksi, Obstruksi Intestinal


PENDAHULUAN
Obstruksi Intestinal (Ileus) adalah gangguan pasase dari isi usus akibat sumbatan sehingga terjadi
penumpukkan cairan dan udara di bagian proksimal dari sumbatan tersebut. (1,2,4)
Akibat sumbatan tersebut, terjadi peningkatan tekanan intraluminer dan terjadi gangguan
214

resorbsi usus serta meningkatnya sekresi usus. Ditambah adanya muntah akibat suatu refluks
obstruksi maupun karena regurgitasi dari lambung yang penuh mengakibatkan terjadi dehidrasi,
febris dan syok.(2,4,7)
Beberapa laporan lama (Gibson, 1888-1898) menunjukkan perubahan penyebab Ileus Obstruktif
menunjukkan perbedaan yang menyolok bila dibandingkan dengan laporan yang lebih baru
(Ellis, 1962-1980), dimana pada laporan pertama menunjukkan bahwa sebagai penyebab utama
Ileus Obstruktif adalah Hernia, sedangkan laporan yang kedua adalah perlekatan sebagai
penyebab utamanya .(3,6,7)
Mortalitas yang semakin sedikit adalah sebagai akibat kemajuan dibidang terapi, baik itu terapi
pembedahan maupun terapi dibidang keseimbangan air dan elektrolit, antibiotika, perawatan
intensif dan lain-lain. (7,9)
INSIDEN
Perlekatan usus sebagai penyebab dari Ileus saat ini menempati urutan pertama. Maingot
melaporkan bahwa sekitar 70% penyebab dari Ileus adalah perlekatan. Survey Ileus Obstruksi di
RSUD DR. Soetomo pada tahun 2001 mendapatkan 50% dari penyebabnya adalah perlekatan
usus, kemudian diikuti Hernia 33,3%, keganasan 15%, Volvulus 1,7%.(5,10)
ETIOLOGI
Berdasarkan mekanisme terjadinya obstruksi, maka obstruksi mekanik dapat dibagi menjadi :
(1,3,7)
A. Obstruksi pada lumen usus (Intra luminer)
- Polipoid tumor
- Intussusception
- Gaelstone Ileus
- Feces, meconium bezoar (pada bayi)
B. Kelainan pada dinding usus (Intra mural), kebanyakan kongenital
Pada bayi : Atresia
- Stenosis
- Duplikasi
Pada penderita dewasa : Neoplasma
- Keradangan
- Crohn disease
- Post radiasi
- Sambungan usus
C. Kelainan di luar usus (Extra luminer)
- Adhesion (perlengketan)
- Hernia eksterna
- Neoplasma
- Abses
Obstruksi mekanik, menurut lokalisasinya dibagi menjadi : (2,3,5,6,12)
1. Obstruksi mekanik rendah
Obstruksi mulai dari caecum sampai anorektal. Obstruksi ini paling banyak disebabkan oleh
tumor ganas, penyebab lainnya adalah :
- Volvulus

215

- Scibala
- Paralise colon distal (pseudoparalise)
2. Obstruksi mekanik tinggi
Menurut letaknya dapat dibedakan menjadi :
a. Obstruksi diatas pylorus, dapat disebabkan :
- Stenosis pylorus
- Strictur
- Obstruksi oleh karena keganasan
- Bezoar
Pada obstruksi ini gejalanya yang menonjol adalah : muntah-muntah dimana muntahannya dapat
dirasakan seperti asam lambung, serangan rasa nyeri lebih sering, distensi abdomen agak kurang.
b. Obstruksi dibawah pylorus. Obstruksi terjadi mulai dari pylorus sampai ileocaecal junction,
obstruksi ini sering ditemukan pada :
- Adhesion (perlengketan)
- Hernia interna
- Volvulus
- Gumpalan Ascaris
Pada obstruksi ini muntahannya faeculent (feces) warna kuning seperti tinja. Serangan nyeri
perut agak jarang, tetapi perut lebih distensi.
PATOFISIOLOGI
1. Menurut berat ringannya obstruksi dapat dibagi menjadi : (3,6,7,10,13)
A. Obstruksi Intestinal Partial (In Complete)
Sebagian sisa makanan dan udara masih dapat melintasi tempat obstruksi
B. Obstruksi Intestinal Complete (Total)
Terdapat gangguan pasase isi usus akibat sumbatan. Akibat sumbatan ini, sisa makanan dan
udara akan menumpuk di bagian proximal dari sumbatan.
Pada obstruksi yang simple ini belum terjadi kerusakan dari vaskularisasi usus. Penimbunan
cairan/sisa makanan dan udara dalam lumen usus mengakibatkan meningkatnya tekanan
intraluminer. Meningkatnya gas dalam lumen usus berasal dari udara yang ditelan, CO2 berasal
dari netralisasi bikarbonat, O2 yang berasal dari fermentasi bakteri. Dengan adanya gangguan
resorbsi dan meningkatnya sekresi usus, maka akan terjadi dilatasi usus. Muntah-muntah dapat
terjadi akibat regurgitasi dari lambung yang penuh. Akibat muntah tadi akan terjadi dehidrasi,
hipovolemik.
Pada obstruksi proximal, kehilangan cairan disertai oleh kehilangan ion hydrogen (H+), kalium
dan klorida, sehingga terjadi metabolik alkalosis.
Pada obstruksi yang lebih distal, cairan yang hilang hampir sama tetapi tidak disertai oleh
kehilangan elektrolit yang bermakna.
C. Obstruksi Intestinal Strangulasi
Terdapat gangguan pasase isi usus disertai adanya gangguan vaskularisasi dari segmen usus.
Pada strangulasi isi usus, selain terdapat gejala seperti obstruksi intestinal yang komplit juga
terdapat gejala : rangsangan peritoneum, febris, lekositosis dan rasa nyeri yang konstan,
gangguan elektrolit yang sifatnya tergantung dari jenis obstruksinya, partial, komplit, lamanya
dan lokalisasi dari ligamentum Treitz.
Metabolik asidosis dapat disertai oleh respiratory asidosis, yang terjadi karena berkurangnya
216

pergerakan pernafasan, akibat menyempitnya rongga dada oleh desakan usus yang dilatasi.
Selanjutnya metabolik asidosis dapat diperburuk oleh hipovolemik yang berhubungan dengan
hipoperfusi.
Hipovolemik yang hebat dan berlangsung lama akan menyebabkan terjadinya Akut Renal
Failure. Akibat kerusakan vili usus karena obstruksi intestinal, maka akan terjadi translokasi
bakteri, terjadi sepsis dan dapat menimbulkan kematian
2. Kelainan obstruksi lumen (2,6,10,12)
A. Usus Halus
Adhesi (penempelan)
Ileus karena adhesi tidak disertai strangulasi dan berasal dari rangsangan peritoneum akibat
peritonitis setempat atau umum atau pasca operasi. Sering ditemukan dalam bentuk pita, pada
operasi perlengketan dilepas dan pita dipotong agar pasase usus pulih kembali.
Hernia Eksternal (inkarserata)
Adalah istilah yang menunjukkan suatu keadaan dimana isi kantong hernia tidak dapat masuk
kembali ke rongga peritoneal akibat terjepit di anulus inguinalis. Proses yang langsung terjadi
ialah gangguan aliran darah dan pasase segmen usus yang terjepit (kalau usus yang masuk)
sehingga dapat juga disebut hernia strangulasi.
Neoplasma
- Tumor Jinak
Lebih dari sepuluh tumor jinak ditemukan di ileum sisanya di duodenum dan jejenum. Polip
adenomatosa menduduki tempat nomor satu disusul lipoma, leimioma dan hemangioma. Tumor
jinak yang sering memberi gejala biasanya adalah leimioma
- Tumor Ganas
Hampir sama dengan tumor jinak dan sering ditemukan di ileum dengan penurunan berat badan
dan nyeri perut. Jenis yang ditemukan adalah lymfoma ganas, karsinoid dan adenokarsinoid.
Ascariasis
Paling sering pada anak-anak dan kebanyakan hidup di usus halus bagian jejenum biasanya ada
puluhan hingga ratusan.
Obstruksi umumnya disebabkan oleh suatu gumpalan padat yang terdiri dari sisa-sisa makanan
dan puluhan atau ratusan ekor cacing yang mati akibat pemberian obat cacing.
B. Usus Besar
a. Karsinoma Kolon
Obstruksi kolon yang akut dan mendadak kadang-kadang disebabkan oleh karsinoma.
Karsinoma colon merupakan penyebab angka kematian yang tertinggi dari pada bentuk kanker
yang lain. Faktor predisposisi yang dikenal adalah poliposis multiple, biasanya terdapat tandatanda yang mendahului antara lain penyimpangan buang kotoran, keluarnya darah pererktal dan
colon akan mengalami distensi hebat dalam waktu yang cepat.
b. Divertikel
Divertikel saluran cerna paling sering ditemukan di kolon khususnya di sigmoid. Divertikel
colon adalah divertikel palsu karena terdiri dari mukosa yang menonjol melalui lapisan otot
seperti hernia kecil. Komplikasi penyakit divertikula merupakan akibat dari divertikulitis akut
atau kronik, dapat bermanifestasi sebagai perdarahan, perforasi, peritonitis, abses dan
pembentukan fistula atau obstruksi usus akibat striktur.
c. Volvulus
Volvulus merupakan proses memutarnya usus (biasanya sekum atau kolon sigmoid) pada
217

mesokolonnya sehingga menyebabkan obstruksi lumen dan disertai gangguan sirkulasi.


Volvulus sekum diakibatkan karena fiksasi embriologi kolon yang tidak sempurna karena sekum
dan ileum terminal terputar bersama-sama.
Volvulus sigmoid diakibatkan karena pemanjangan sigmoid pada mereka yang lanjut usia atau
yang sakit mental.
d. Intususepsi/Invaginasi
Suatu keadaan masuknya suatu segmen usus ke segmen bagian distal yang umumnya akan
berakhir dengan obstruksi usus strangulasi. Invaginasi diduga oleh karena perubahan dinding
usus khususnya ileum yang disebabkan oleh hiperplasia jaringan lymphoid submukosa ileum
terminal akibat peradangan, dengan abdominal kolik. Keluarnya darah dari rectum serta massa
yang berbentuk sosis sepanjang kolon yang merupakan tanda khas.
GEJALA KLINIK
A. Obstruksi Usus Halus (2,3,6,7,10)
Keluhan yang timbul pada penderita dengan obstruksi intestinal yang khas adalah
- Nyeri perut, muntah-muntah, obstipasi, abdominal distensi, tidak flatus dan tidak buang air
besar.
- Nyeri kram ini dapat berulang dengan interval 4-5 menit pada obstruksi intestinal bagian
proximal. Pada obstruksi intestinal bagian distal frekwensinya bertambah jarang.
- Setelah beberapa lama mengalami obstruksi rasa nyeri kram ini akan berkurang atau
menghilang sebab usus yang distensi gerakannya akan berkurang atau setelah terjadi strangulasi
dengan peritonitis, nyeri perut menjadi hebat dan terus menerus.
- Pada obstruksi intestinal proximal terjadi muntah-muntah yang profuse dengan distensi yang
ringan.
- Pada obstruksi intestinal distal, muntahannya jarang dengan isi muntahan feses, tetapi
distensinya lebih hebat.`
- Meningkatnya lingkaran abdomen terjadi oleh karena pemindahan cairan dan gas dalam lumen
usus akibat obstruksi di bagian distal dari usus dan colon atau pada paralitik ileus.
Pemeriksaan Fisik (3,6,14)
Keadaan umum : penderita tampak lemah, gelisah, sesak nafas dengan perut kembung dan
tegang.
Kalau obstruksi berlangsung lama dan terjadi strangulasi, maka akan terjadi demam, penderita
dehidrasi, bibir kering, turgor kulit menurun, hipotensi, takikardi dan syok septik.
Abdomen : (3,6,13)
Inspeksi : Terlihat distensi, tampak gambaran usus (darm contour), tampak gerakan usus (darm
steifung), terutama pada penderita kurus.
Auskultasi : Terdengar suara usus meninggi (metallic sound) terutama pada permulaan terjadinya
obstruksi dan terdengarnya sangat jelas pada saat serangan kolik. Kalau obstruksi berlangsung
lama dan telah terjadi strangulasi serta peritonitis, maka bising usus akan menghilang.
Palpasi : Pada obstruksi intestinal yang simple berbeda dengan obstruksi intestinal strangulasi.
Pada obstruksi intestinal strangulasi akan terjadi rangsangan peritoneum akibat terjadinya
peritonitis, akan terdapat tanda-tanda : perut distensi tegang, nyeri tekan, nyeri lepas, nyeri
kejang otot (defance muscular)
Perkusi : Seluruh dinding abdomen nyeri ketok dan terdengar suara tympani.
Pemeriksaan Laboratorium :
218

Darah rutin (Hb dan leukosit). Untuk mengetahui gangguan elektrolit akibat muntah-muntah
perlu diperiksa kadar Na, K, Cl, HCO3, dan Ca. Untuk mengetahui fungsi ginjal diperiksa kadar
ureum darah dan serum kreatinin.
Pemeriksaan colok dubur :
Untuk mengetahui apakah ada massa dalam rectum. Adanya feces harus diperhatikan, apakah
ada darah samar, sebab adanya darah dalam feces kemungkinan adanya lesi dari mukosa atau
adanya intussusepsi.
Radiologi (2,3,10)
Penderita yang suspek obstruksi intestinal perlu dibuat foto thorax dan foto polos abdomen
dalam posisi :
- Berbaring telentang
- Tegak / berdiri
- Miring ke kiri (Left lateral decubitus)
Foto thorax PA untuk mengetahui adanya udara bebas yang terletak di bawah diafragma kanan.
Bila ditemukan udara bebas menunjukkan adanya perforasi usus.
a. Obstruksi non mekanik
Terlihat dilatsai usus berisi udara merata, baik di dalam colon maupun di dalam usus halus
b. Obstruksi mekanik
- Terlihat dilatasi usus dan berisi udara yang distribusinya tidak merata. Ditemukan batas cairan
dan udara (step ladder) sedangkan usus atau colon dibagian distalnya kolaps. Kalau belum terjadi
perforasi lapisan lemak preperitoneal terlihat baik. Pada obstruksi tinggi/atas yang terlihat diatas
pylorus tampak bayangan lambung dilatasi. Pada obstruksi partial bagian distal pylorus masih
terlihat sedikit udara. Sedangkan pada obstruksi total bagian distal pylorus tidak terlihat
bayangan udara atau bayangan intestinal.
- Pada obstruksi tinggi dibawah pylorus, adalah obstruksi yang paling sering ditemukan. Bila
ditemukan bayangan gelembung ganda (double bubble) menunjukkan adanya obstruksi di
duodenum. Bila ditemukan bayangan gelembung multiple kurang dari lima buah (multiple
bubble) menunjukkan adanya obstruksi di jejenum. Kalau terdapat bayangan gelembung lebih
dari lima menunjukkan adanya obstruksi di ileum.
Obstruksi usus halus secara radiology dapat dibedakan antara jejenum dan ileum. Dinding
jejenum menunjukkan garis-garis tipis melintang seperti bulu (Feather like) sedangkan dinding
ileum seperti tabung.
B. Obstruksi Usus Besar (1,2,3,5,6)
Keluhan :
Penderita dengan obstruksi usus besar mempunyai keluhan yang hampir sama dengan obstruksi
usus halus seperti nyeri perut, nausea, vomiting, konstipasi dan diare. Obstruksi usus besar yang
disebabkan oleh keganasan disamping keluhan seperti diatas juga ada keluhan berak darah,
penambahan kebiasaan buang air besar. Ada keluhan sukar buang air besar, tinjanya seperti
kotoran kambing kecil-kecil. Berat badan penderita turun dengan drastis.
Pemeriksaan Fisik : (3,10,11)
Keadaan umum penderita tampak lemah, gelisah, sesak nafas, anemia, perut kembung, dehidrasi,
febris dan ada gejala-gejala syok (peritonitis)
Abdomen :
Tampak distensi dengan bising usus mula-mula tinggi kemudian menurun dan akhirnya
menghilang. Perut nyeri tekan dan nyeri ketok.
Pemeriksaan Colok Dubur :
219

Pemeriksaan ini perlu dilakukan terutama pada kecurigaan adanya obstruksi usus besar
(anorectal) yang disebabkan oleh keganasan. Tumor yang letaknya 7-11 cm dapat diraba dengan
jari dan dapat ditemtukan bentuk dari tumornya.
Adanya darah dalam sarung tangan sangat membantu diagnosa apakah ada lesi dari mukosa atau
tumor atau adanya intussusepsi yang panjang sampai ke anus.
Laboratorium :
Pemriksaan laboratorium perlu untuk mengetahui apakah ada kelainan sistemik, kelainan
metabolisme yang harus dikoreksi :
- Darah rutin
- Elektrolit
- Urinalisis
- Serum Amilase
- Bilirubin
Radiologi :
1. Foto thorax PA
2. Foto polos abdomen dalam posisi berbaring telentang, tegak/berdiri dan miring ke kiri (left
lateral decubitus)
3. Barium enema
4. CT Scan
5. Endoskopi
- Foto thorax PA : untuk mengetahui adanya udara bebas yang terletak di bawah diafragma
kanan. Kalau ditemukan udara bebas menunjukkan adanya perforasi
- Foto polos abdomen : Tampak dilatasi colon dengan gambaran haustrae yang spesifik. Kalau
obstruksi lebih dari 24 jam akan tampak gambaran seperti anak tangga.
Pada volvulus dapat dilihat adanya gambaran dilatasi tertutup (closed loop dilatation) atau tanda
U terbalik (inverted U sign). Hal ini khas pada volvulus.
PENATALAKSANAAN
a. Pre-operatif
Dasar pengobatan obstruksi usus meliputi :
1. Penggantian kehilangan cairan dan elektrolit ke dalam lumen usus sampai pencapaian tingkat
normal hidrasi dan konsentrasi elektrolit bisa dipantau dengan mengamati pengeluaran urin
(melalui kateter), tanda vital, tekanan vena sentral dan pemeriksaan laboratorium berurutan.
2. Dekompressi tractus gastrointestinal dengan sonde yang ditempatkan intralumen dengan
tujuan untuk dekompressi lambung sehingga memperkecil kesempatan aspirasi isi usus, dan
membatasi masuknya udara yang ditelan ke dalam saluran pencernaan, sehingga mengurangi
distensi usus yang bisa menyebabkan peningkatan tekanan intalumen.
3. Pemberian antibiotika untuk pencegahan pertumbuhan bakteri berlebihan bersama dengan
produk endotoksin dan eksotoksin.
b. Operatif
Tergantung dari etiologi masing-masing :
Adhesi
Pada operasi, perlengketan dilepaskan dan pita dipotong agar pasase usus pulih kembali.
Hernia inkarserata
Dapat dilakukan Herniotomi untuk membebaskan usus dari jepitan.
220

Neoplasma
Operasi berupa pengangkatan tumor. Pada tumor jinak pasase usus harus dipulihkan kembali,
sedangkan pada tumor ganas sedapat mungkin dilakukan reseksi radikal.
Askariasis
Jika terdapat obstruksi lengkap, atau jika pengobatan konservatif tidak berhasil dapat dilakukan
operasi dengan jalan enterotomi untuk mengeluarkan cacing, tapi apabila usus sudah robek, atau
mengalami ganggren dilakukan reseksi bagian usus yang bersangkutan.
Carsinoma Colon
Operasi dengan jalan reseksi luas pada lesi dan limfatik regionalnya. Apabila obstruksi mekanik
jelas terjadi, maka diperlukan persiapan Colostomi atau Sekostomi.
Divertikel
Reseksi bagian colon yang mengandung divertikel dapat dikerjakan secara elektif setelah
divertikulitis menyembuh. Dapat dianjurkan untuk menempatkan colostomy serendah mungkin,
lebih disukai dalam colon desendens, atau colon sigmoideum. Untuk memungkinkan evaluasi
melalui colostomy dan mencegah peradangan lebih lanjut pada tempat abses
Reseksi sigmoid biasanya dilakukan dengan cara Hartman dengan colostomy sementara. Cara
ini, dipilih untuk menghindari resiko tinggi gangguan penyembuhan luka anastomosis yang
dibuat primer dilingkungan radang. Prosedur Hartman jauh lebih aman karena anastomosis baru
dikerjakan setelah rongga perut dan lapangan bedah bebas kontaminasi dan randang.
Volvulus
Pada volvulus sekum dilakukan tindakan operatif yaitu melepaskan volvulus yang terpelintir
dengan melakukan dekompresi dengan sekostomi temporer, yang juga berefek fiksasi terhadap
sekum dengan cara adhesi. Jika sekum dapat hidup dan tidak terdistensi tegang, maka detorsi dan
fiksasi sekum di qudran bawah bisa dicapai.
Pada volvulus sigmoid jika tidak terdapat strangulasi, dapat dilakukan reposisi sigmoidoskopi.
Cara ini sering meniadakan volvulus dini yang diikuti oleh keluarnya flatus. Reposisi
sigmoidodkopi yang berhasil pada volvulus dapat dicapai sekitar 80% pasien. Jika strangulasi
ditemukan saat laparatomi, maka reseksi gelung sigmoideum yang gangrenous yang disertai
dengan colostomi double barrel atau coloctomi ujung bersama penutup tunggal rectum (kantong
Hartman) harus dilakukan.
Intusussepsi
Sebelum dilakukan tindakan operasi, dilakukan terlebih dahulu dengan reduksi barium enema,
jika tidak ada tanda obstruksi lanjut atau perforasi usus halus.
Bila reduksi dengan enema tidak dapat dilaksanakan maka dilakukan operasi berupa eksplorai
abdomen melalui suatu insisi transversal pada quadran kanan bawah. Intusussepsi tersebut
kemudian direduksi dengan kompressi retrograde dari intusussepsi secara hati-hati. Reseksi usus
diindikasikan bila usus tersebut tidak dapat direduksi atau usus tersebut ganggren.
PROGNOSIS
Obstruksi yang tak mengakibatkan strangulasi mempunyai angka kematian sekitar 5%.
Kebanyakan yang meninggal adalah pasien yang sudah lanjut usia. Obstruksi yang disertai
dengan strangulasi mempunyai angka kematian 8%. Kalau operasi dilakukan dalam jangka
waktu 36 jam sesudah timbulnya gejala yang bersangkutan.

221

Ikterus Obstruksi, Kausa Striktur, Laporan Kasus


Abstrak
Ikterus Obstruksi penyebab striktur duktus koledokus jarang ditemukan. Dilaporkan seorang
wanita umur 60 tahun masuk dengan Ikterus Obstruksi. Pada USG dan CT Scan hanya nampak
dilatasi pada duktus intrahepatik.
Dilakukan laparotomi eksplorasi didapat penyempitan sepanjang duktus kholedokus
ekstahepatis, selanjutnya dilakukan hepaticoduodenostomi hasilnya tanda-tanda ikterus obstruksi
menghilang.
Keyword : Ikterus Obstruksi, hepaticoduodenostomi
Tinjauan Kepustakaan
Ikterus disebabkan oleh akumulasi pigmen empedu di dalam darah dan jaringan, pigmen ini
terdiri dari bilirubin dan bilirubin diglucoronide. Sebagian besar bilirubin terbentuk di dalam
sistem retikuloendotelial sebagai produk pemecahan hemoglobin. Ikterus dapat dideteksi pada
sklera, kulit atau urine yang menjadi gelap, bila kadar bilirubin dalam serum lebih dari 2 mg/100
ml. (2,7,16).
Ikterus dapat ditimbulkan oleh kelainan prehepatik misalnya, bila terjadi hemolisis, glibert
deseases, kelainan hepatik misalnya pada viral hepatis, sirosis hepatis, keracunan obat-obatan
dan penyakit kehamilan. Sedangkan pada kelainan post hepatik ikterus dapat timbul misalnya
pada obstruksi karena tumor, batu, striktur dan skleroting kholangitis. (1,2).
Ikterus obstruksi merupakan gejala klinis yang paling sering ditemukan pada gangguan sistim
hepaticobilier Suhendro N, Grinn H., Berger B. (14) melaporkan 537 kasus ikterus obstruksi,
perempuan 1,5 kali lebih banyak dari pada laki-laki, usia rata-rata 68 tahun. Wals D.B.,
Eckhouser F.E., Cronenwett J.L. (15) menemukan ikterus obstruksi pada keganasan ampula
vatcri pada 82 % kasus dan Flanigan D.P., (5) menemukan ikterus obstruksi pada kista biliaris 64
% kasus. Samsundaran (13) melaporkan ikterus 60% dari 25 kasus kista koledokus, Coulter (4)
melaporkan 15 kasus kista adenoma duktus biliaris komonis yang dapat memberikan gejala
ikterus intermitten.
Lokalisasi obstruksi bilier yang dievaluasi berdasarkan pemeriksaan ERCP oleh Suhendro (15)
tersering ditemukan pada duktus biliaris sepertiga distal 55 % kasus duktus biliaris sepertiga
tengah 19 % kasus dan duktus biliaris sepertiga proximal dan intrahepatis 18 % kasus, obstruksi
bilier oleh metastase tumor paling sering terdapat di duktus intrahepatis dan duktus biliaris
sepertiga proximal yang ditemukan sekitar 5 % kasus.
Jeng K.S. Yang F., Ohta I. (6) melaporkan ikterus yang disebabkan oleh striktur lebih sering
ditemukan di sisi kanan 84,2 % kasus dari pada di sisi kiri 12,3 % kasus duktus hepatikus.
Benjamin 1983 (2) menganjurkan klasifikasi yang terdiri dari 4 kategori obstruksi biliaris yaitu :
Tipe I. Obstruksi komplit menimbulkan ikterus, biasanya disebabkan oleh tumor,
terutama pada caput pancreas, ligasi duktus biliaris komonis, batu pankreas, tumor-tumor
parenkim hati primer atau sekunder.
Tipe II. Obstruksi intermitten yang menimbulkan gejala-gejala dan perubahan biokimia yang
khas tetapi dapat disertai serangan ikterus secara klinis sering dijumpai koledokolithiasis,
divertikel duadeni, penyakit hati polikistik.
Tipe III. Obstruksi inkomplit kronis dengan atau tanpa gejala klasik atau observasi perubahan
biokimia yang akhirnya menimbulkan perubahan patologis pada duktus biliaris dan hati.
Biasanya ditemukan pada keadaan berikut ini: Striktur biliaris komonis yang terjadi secara
kongenital, traumatik (iatrogenik), sklerosing kholangitis dan post radioterapi, stenosis
222

anastomosis biliogligestive, stenosis sfingter oddi, pankreatitis kronis, fibrosis kistik dan
diskinesia.
Tipe IV. Obstruksi segmental, dimana satu atau lebih segmen anastomisis biliaris intra hepatis
mengalami obstruksi, bisa ditemukan pada trauma dan lain-lain.
Diagnosis ikterus obstruksi berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang. Ikterus yang terjadi bergantung pada derajat sumbatan pada duktus kholedokus,
distensibilitas kandung empedu dan duktus biliaris serta kapasitas absorbsi dari kandung
empedu. Gejala lain yang menyertai tergantung penyebab ikterus. Bila disebabkan oleh batu
maka penderita mengalami kolik bilier yang hebat dan tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Pada
proses keganasan, nyeri bersifat konstan dan progresif disertai dengan ikterus, sekitar 50% nyeri
dirasakan pada abdomen bagian atas dan ditemukan pembesaran hati dengan pinggir yang
tumpul dan kandungan melebar (9,11).
Pemeriksaan laboratorium berupa tes fungsi hati didapat peningkatan kadar serum terutama
bilirubin direk dan alkali phosphatase, SGOT, SGPT dan serum gamma globulin perlu juga
diperiksa.
Pemeriksaan USG (ultrasound) 96 % akurat sangat cepat dan non invasif. Cocok untuk pasien
yang alergi dengan bahan kontras, bermanfaat dalam mengidentifikasi dilatasi biliaris
intrahepatik, pemeriksaan tomografi komputer memberikan informasi biliaris dan adanya massa
di dalam dan di sekitar duktus biliaris dan pankreas, pemeriksaan kholangiografi transhepatik
perkutaneus (PTC) bermanfaat bagi pasien dengan masalah biliaris kompleks mencakup strikture
dan tumor. Pemeriksaan kholangio pankreatografi retrograd endoskopi (ERCP) keuntungannya
adalah visualisasi langsung dari daerah ampula dan jalur langsung ke duktus biliaris distal
bermanfaat untuk pasien dengan panyakit duktus kholedokus jinak dan ganas.(5,9).
Penanganan kasus ikterus obstruksi bertujuan menjamin kelancaran aliran empedu ke duodenum
dengan menghilangkan sumbatan dengan cara pembedahan seperti, pengangkatan batu, reseksi
tumor, atau tindakan endoskop laparoskopi. Bila penyebab sumbatan tidak dapat diatasi maka
aliran empedu dapat dialihkan dengan drainase eksterna atau drainase interna dapat dilakukan
dengan jalan membuat pintasan biliodigestive atau bypass, misalnya kholesisto jejunostomi,
kholedoko-jejunostomi, hepatiko- jejunostomi. (3,9).
LAPORAN KASUS
Seorang wanita Ny. L. umur 60 tahun, suku Toraja, pekerjaan ibu rumah tangga masuk Rumah
Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar 18 April 2001 dengan keluhan mata dan kulit disertai
dengan seluruh badan gatal-gatal dialami sejak 2 bulan lalu, mual dan muntah tidak ada.
Riwayat trauma perut tidak ada, buang air besar kotoran warna seperti dempul, kencing warna
teh tua. Penurunan berat badan tidak ada, sebelumnya 7 bulan yang lalu penderita ada riwayat
keluhan yang sama disertai demam dan sakit perut, dirawat, dan diberikan antibiotik, injeksi
cefoperazone 1 gr (cefobid), keluhan berkurang tapi tidak sampai menghilang. Kemudian
keluhan bertambah dan dirawat dilakukan operasi kolesistektomi kira-kira 3 bulan yang lalu,
setelah operasi, keluhan sempat berkurang, kemudian kembali kambuh seperti sekarang ini.
Pemeriksaan fisis penderita nampak sakit berat, gizi cukup, kesadaran baik, tekanan darah
100/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, reguler berisi, pernapasan 20 kali/menit thorakal, suhu
37,6oC rectal, 37oC axiller. Konjungtiva tidak anemis, sklera ikterus, paru dan jantung tidak
ditemukan kelainan. Pada abdomen, warna kulit agak kuning hepar tidak teraba, limpa tidak
teraba, massa tumor tidak teraba asites tidak ada, peristaltik usus normal.
Pemeriksaan colok dubur tidak ditemukan adanya kelainan, anggota gerak tidak ada kelainan.
223

Pemeriksaan laboratorium tgl. 27 Maret 2001.


Darah rutin : Hemoglobin : 10,9 gr/dl
Lekosit 12.600/mm3.
LED : 120 jam I.
Urine : Warna kuning tua
Lekosit 20 25/Lpb
Eritasit 1 2/Lpb
Kimia darah : Glukosa sewatu : 94 mg/dl
Total bilirubin 18,20 mg/dl
Direk bilirubin 14.80 mg/dl
SGOT 110 U/L
SGPT 417 U/L
Urenum 43 mg/dl
Kreatinim 1,0 mg/dl
Tgl. 30 April 2001
Darah rutin: Hemoglobin 10,2 gr%
Lekosit 15.730/mm3
Trombosit 242.000/mm3
Waktu bekuan : 1400
Waktu perdarahan : 200
Kimia darah: Bilirubin total 22,70 mg/dl
Bilirubin Direk 21,53 mg/dl
Alkali Phaspatase 1118 mg/d
Tgl. 13 Desember 2000, pemeriksaan CT Scan: Kesan : Saluran empedu intrahepatik dilatasi.
Tgl. 19 April 2001 Foto thorax : dalam batas normal
USG abdomen : kesan obstruksi duktus koledokus. dan dilatasi duktus hepatikus intrahepatis.
Tgl. 28 April 2001 CT Scan abdomen: Saluran empedu intrahepatis dilatasi, tidak ditemukan
batu atau tumor.
Berdasarkan riwayat penyakit pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang laboratorium, USG
dan CT Scan. Penderita didiagnosa ikterus obstruksi kausa curiga suatu striktur duktus
koledokus.
Direncanakan dilakukan operasi laparotomi eksplorasi. Pada saat eksplorasi nampak duodenum
mengalami perlengketan ke hepar, perlengketan dibebaskan, kandung empedu tidak ada karena
sudah diangkat waktu operasi 3 bulan yang lalu. Identifikasi duktus koledokus kesan menyempit
(striktur) hampir sepanjang duktus kaledokus ekstrahepatis, explorasi lanjut tidak ada tumor dan
tidak teraba batu.
Kemudian insisi hepar dekat duktus intrahepatis nampak duktus dilatasi. Kemudian diputuskan
untuk dilakukan anastomose bilodigestive yaitu hepaticoduodenastomi.
Kontrol laboratorium post operasi.
Tgl. 11 Mei 2001
Bilirubin total 7,1 mg/dl
Bilirubin direk 7,20 mg/dl
Alkali phasphatase 289 mg/dl
SGOT 86 U/L
SGPT 43 U/L
224

Tgl. 17 Mei 2001


Past operasi hari ke 16
Keluhan mata kuning dan gatal-gatal menghilang
Kontrol laboratorium
HG 9,6 gr %
Bilirubin total 5,8 mg/dl
Bilirubin direk 5,8 mg/dl
PEMBAHASAN
Ikterus obstruksi penyebab striktur jarang ditemukan, sedangkan penyebab striktur sendiri bisa
kongenital, traumatik, sclerosing cholangitis, post radioterapi, stenosis anastomosis
biliodigestive, stenosis sfinggter oddi, pancreatitis kronis, fibrosis kistik dan diskinesia (1, 2, 15).
Pada penderita ini dari anamnesis ditemukan mata dan kulit kuning disertai dengan gatal-gatal
seluruh badan, feses liat, kencing warna teh tua, riwayat demam dan sakit perut kanan atas pada
awal keluhan kurang lebih dirasakan 7 bulan yang lalu, dari pemeriksaan fisis hanya didapat
sklera warna kuning kehijauan, kulit agak kuning, abdomen tidak nyeri tidak teraba masa tumor,
hepar tidak teraba, dari pemeriksaan penunjang ditemukan lekosit 15.730 /mm3, bilirubin total
22,70 mg/dl, bilirubin direct 21,53 mg/dl, alkali phosphatase 1.118 mg/dl, SGOT 110 U/L dan
SGPT 417 U/L. Pemeriksaan USG dan CT Scan hanya didapat dilatasi saluran empedu
intrahepatis, maka diagnosis mengarah ke ikterus obstruktif dengan fungsi hepar sudah
terganggu. Adanya riwayat demam dan sakit perut kanan atas dengan pemberian antibiotik
keluhan berkurang dan dari pemeriksaan penunjang hanya dilatasi saluran empedu intrahepatis
maka diagnosis diarahkan sebagai ikterus obstruksi curiga kausa cholangitis.
Untuk lebih jelasnya, penyebab dari suatu ikterus obstruksi tidak cukup dengan hanya
pemeriksaan penunjang tersebut di atas, maka dengan pemeriksaan Percutaneus Transhepatic
Cholangeography (PTC) atau Endoscopic Retrograd Cholangeo Pancreatography (ERCP) dapat
mengetahui kausa striktur atau tumor atau melihat langsung kausa tersebut (5, 9).
Oleh karena kedua pemeriksaan tambahan tersebut di atas tidak bisa dilakukan di center kami
maka tindakan Laparotomi Eksplorasi dilakukan untuk sekaligus mengetahui akibat sumbatan
saluran empedu ekstrahepatis tersebut. Ternyata setelah dilakukan eksplorasi ditemukan
penyempitan sepanjang duktus hepatikus komonis sampai duktus koledokus, tidak teraba tumor,
batu atau penekanan sepanjang duktus yang menyempit tersebut, maka diagnosa sebagai ikterus
obstruktif kausa striktur duktus biliaris ekstrahepatis. Oleh karena keadaan umum penderita
kurang baik dan duodenum agak melengket di hepar maka diputuskan dilakukan drainase interna
melalui hepaticoduodenostomi.
Setelah operasi gejala-gejala ikterus berkurang, kontrol bilirubin total dari 22,70 mg/dl turun
menjadi 5,8 mg/dl, bilirubin direk dari 21,53 mg/dl turun menjadi 5,8 mg/dl dan alakli
phospatase dari 1.118 mg/dl turun menjadi normal yaitu 289 mg/dl dan SGOT dari 110 U/L
turun menjadi 86 U/L dan SGPT dari 417 U/L menjadi 43 U/L. Ini menandakan bahwa drainase
cairan empedu sudah mulai lancar dan fungsi hepar mengalami perbaikan.
KESIMPULAN
Diagnosa dan penanganan yang cepat dari ikterus obstruksi sangat penting untuk mencegah
kerusakan hepar. Walaupun penanganan operasi dengan hepaticoduodenostomi pada pasien ini
hasilnya cukup baik tapi masih perlu dicari cara penyaliran empedu yang terbaik pada pasien ini.

225

Ikterus Obstruksi, Makalah


PENDAHULUAN
Ikterus (icterus) berasal dari bahasa Greek yang berarti kuning. Nama lain ikterus adalah
jaundice yang berasal dari bahasa Perancis jaune yang juga berarti kuning. Dalam hal ini
menunjukan peningkatan pigmen empedu pada jaringan dan serum. Jadi ikterus adalah warna
kuning pada sclera, mukosa dan kulit yang disebabkan oleh akumulasi pigmen empedu di dalam
darah dan jaringan (> 2 mg / 100 ml serum).
Ada 3 tipe ikterus yaitu ikterus pre hepatika (hemolitik), ikterus hepatika (parenkimatosa) dan
ikterus post hepatika (obstruksi).
Ikterus obstruksi (post hepatika) adalah ikterus yang disebabkan oleh gangguan aliran empedu
antara hati dan duodenum yang terjadi akibat adanya sumbatan (obstruksi) pada saluran empedu
ekstra hepatika. Ikterus obstruksi disebut juga ikterus kolestasis dimana terjadi stasis sebagian
atau seluruh cairan empedu dan bilirubin ke dalam duodenum.
Ada 2 bentuk ikterus obstruksi yaitu obstruksi intra hepatal dan ekstra hepatal. Ikterus obstruksi
intra hepatal dimana terjadi kelainan di dalam parenkim hati, kanalikuli atau kolangiola yang
menyebabkan tanda-tanda stasis empedu sedangkan sedangkan ikterus obstruksi ekstra hepatal
terjadi kelainan diluar parenkim hati (saluran empedu di luar hati) yang menyebabkan tandatanda stasis empedu . Yang merupakan kasus bedah adalah ikterus obstruksi ekstra hepatal
sehingga sering juga disebut sebagai surgical jaundice dimana morbiditas dan mortalitas
sangat tergantung dari diagnosis dini dan tepat.
ETIOLOGI
Etiologi obstruksi ekstra hepatal dapat berasal dari intra luminer, intra mural dan ekstra luminer.
Sumbatan intra luminer karena kelainan yang terletak dalam lumen saluran empedu . Yang
paling sering menyebabkan obstruksi adalah batu empedu. Pada beberapa kepustakaan
menyebutkan selain batu dapat juga sumbatan akibat cacing ascaris.
Sumbatan intra mural karena kelainan terletak pada dinding saluran empedu seperti kista duktus
koledokus, tumor Klatskin, stenosis atau striktur koledokus atau striktur sfingter papilla vater.
Sumbatan ekstra luminer karena kelainan terletak diluar saluran empedu yang menekan saluran
tersebut dari luar sehingga menimbulkan gangguan aliran empedu. Beberapa keadaan yang dapat
m,enimbulkan hal ini antara lain pankreatitis, tumor kaput pancreas, tumor vesika fellea atau
metastasis tumor di daerah ligamentum hepatoduodenale.
Pada beberapa kepustakaan disebutkan bahwa etiologi ikterus obstruksi terbanyak oleh
keganasan. Hatfield et al, melaporkan bahwa etiologi ikterus obstruksi terbanyak adalah 70%
oleh karsinoma kaput pankreas diikuti oleh 8% batu CBD (common bile duct) dan 2% karsinoma
kandung empedu sedangkan Little, juga melaporkan hal yang sama dimana etiologi ikterus
obstruksi 50% oleh keganasan, 17% oleh batu dan 11% oleh trauma.
FISIOLOGI METABOLISME BILIRUBIN
Bilirubiin merupakan pigmen tetrapirol yang larut dalam lemak yang berasal dari pemecahan selsel eritrosit tua dalam sistem monosit makrofag. Masa hidup rata-rata eritrosit adalah 120 hari.
Setiap hari sekitar 50 cc darah dihancurkan menghasilkan 200 250 mg bilirubin. Kini diketahui
juga bahwa pigmen empedu sebagian juga berasal dari destruksi eritrosit matang dalam sum-sum
tulang dan dari hemoprotein lain terutama hati.
226

Sebagian besar bilirubin berasal dari pemecahan hemoglobin di dalam sel-sel fagosit
mononuclear dari sistem retikulo-endotelial terutama dalam lien. Cincin hem setelah dibebaskan
dari Fe dan globin diubah menjadi biliverdin yang berwarna hijau oleh enzim heme oksigenase.
Enzim reduktase akan merubah biliverdin menjadi bilirubin yang berwarna kuning. Bilirubin ini
akan berikatan dengan protein sitosolik spesifik membentuk kompleks protein-pigmen dan
ditransportasikan melalui darah ke dalam sel hati. Bilirubin ini dikenal sebagai bilirubin yang
belum dikonyugasi (bilirubin I) atau bilirubin indirek berdasarkan reaksi diazo Van den Berg.
Bilirubin indirek ini tidak larut dalam air dan tidak diekskresi melalui urine.
Di dalam sel hati albumin dipisahkan dan bilirubin dikonyugasi dengan asam glukoronik dan
dikeluarkan ke saluran empedu. Bilirubin ini disebut bilirubin terkonyugasi (bilirubin II) yang
larut dalam air atau bilirubin direk yang memberikan reaksi langsung dengan diazo Van den
Berg. Didalam hati kira-kira 80% bilirubin terdapat dalam bentuk bilirubin direk (terkonyugasi
atau bilirubin II).
Melalui saluran empedu, bilirubin direk akan masuk ke usus halus sampai ke kolon. Oleh
aktivitas enzim-enzim bakteri dalam kolon glukoronid akan pecah dan bilirubin dirubah menjadi
mesobilirubinogen, stercobilinogen dan urobilinogen yang sebagian besar diekskresikan ke
dalam feses. Urobilinogen akan dioksidasi menjadi urobilin yang memberi warna feses. Bila
terjadi obstruksi total saluran empedu maka tidak akan terjadi pembentukan urobilinogen dalam
kolon sehingga warna feses seperti dempul (acholic). Urobilinogen yang terbentuk akan
direabsorbsi dari usus , dikembalikan ke hepar yang kemudian langsung diekskresikan ke dalam
empedu. Sejumlah kecil yang terlepas dari ekskresi hepar mencapai ginjal dan diekskresi melalui
urine.
PATOGENESIS
Hiperbilirubinemia adalah tanda nyata dari ikterus. Kadar normal bilirubin dalam serum berkisar
antara 0,3 1,0 mg/dl dan dipertahankan dalam batasan ini oleh keseimbangan antara produksi
bilirubin dengan penyerapan oleh hepar, konyugasi dan ekskresi empedu.
Bila kadar bilirubin sudah mencapai 2 2,5 mg/dl maka sudah telihat warna kuning pada sklera
dan mukosa sedangkan bila sudah mencapai > 5 mg/dl maka kulit tampak berwarna kuning .
Ikterus obstruksi terjadi bila :
1.Terjadinya gangguan ekskresi bilirubin dari sel-sel parenkim hepar ke sinusoid.
Hal ini disebut ikterus obstruksi intra hepatal. Biasanya tidak disertai dengan
dilatasi saluran empedu. Obstruksi ini bukan merupakan kasus bedah.
2.Terjadi sumbatan pada saluran empedu ekstra hepatal.
Hal ini disebut sebagai ikterus obstruksi ekstra hepatal. Oleh karena adanya
sumbatan maka akan terjadi dilatasi pada saluran empedu .
Karena adanya obstruksi pada saluran empedu maka terjadi refluks bilirubin direk (bilirubin
terkonyugasi atau bilirubi II) dari saluran empedu ke dalam darah sehingga menyebabkan
terjadinya peningkatan kadar bilirubin direk dalam darah.
Bilirubin direk larut dalam air, tidak toksik dan hanya terikat lemah pada albumin. Oleh karena
kelarutan dan ikatan yang lemah pada albumin maka bilirubin direk dapat diekskresikan melalui
ginjal ke dalam urine yang menyebabkan warna urine gelap seperti teh pekat. Urobilin feses
berkurang sehingga feses berwarna pucat seperti dempul (akholis) . Karena terjadi peningkatan
kadar garam-garam empedu maka kulit terasa gatal-gatal (pruritus).

227

KLASIFIKASI
Menurut Benjamin IS 1988 (####), klasifikasi ikterus obstruksi terbagi atas 4 tipe yaitu :
Tipe I : Obstruksi komplit.
Obstruksi ini memberikan gambaran ikterus. Biasanya terjadi karena tumor kaput pancreas,
ligasi duktus biliaris komunis, kolangiokarsinoma, tumor parenkim hati primer atau sekunder.
Tipe II : Obstruksi intermiten.
Obstruksi ini memberikan gejala-gejala dan perubahan biokimia yang khas serta dapat disertai
atau tidak dengan serangan ikterus secara klinik.
Obstruksi dapat disebabkan oleh karena koledokolitiasis, tumor periampularis, divertikel
duodeni, papiloma duktus biliaris, kista koledokus, penyakit hati polikistik, parasit intra bilier,
hemobilia.
Tipe III : Obstruksi inkomplit kronis.
Dapat disertai atau tidak dengan gejala-gejala klasik atau perubahan biokimia yang pada
akhirnya menyebabkan terjadinya perobahan patologi pada duktus bilier atau hepar.
Obstruksi ini dapat disebabkan oleh karena striktur duktus biliaris komunis ( kongenital,
traumatik, kolangitis sklerosing atau post radiotherapy ), stenosis anastomosis bilio-enterik,
stenosis sfingter Oddi, pankreatitis kronis, fibrosis kistik, diskinesia.
Tipe IV : Obstruksi segmental.
Obstruksi ini terjadi bila satu atau lebih segmen anatomis cabang biliaris mengalami obstruksi.
Obstruksi segmentalini dapat berbentuk obstruksi komplit, obstruksi intermiten atau obstruksi
inkomplit kronis.
Dapat disebabkan oleh trauma (termasuk iatrogenik), hepatodokolitiasis, kolangitis sklerosing,
kolangiokarsinoma.
GAMBARAN KLINIS
1 . ANAMNESIS
Mata, badan menjadi kuning, kencing berwarna pekat seperti air teh, badan terasa gatal
(pruritus), disertai atau tanpa kenaikan suhu badan, disertai atau tanpa kolik diperut kanan atas.
Kadang-kadang feses berwarna keputih-putihan seperti dempul.
Tergantung kausa ikterus obstruksi yaitu :
A. Bila kausa oleh karena batu.
Penderita mengalami kolik hebat secara tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Keluhan nyeri perut di
kanan atas dan menusuk ke belakang. Penderita tampak gelisah dan kemudian ada ikterus
disertai pruritus. Riwayat ikterus biasanya berulang. Riwayat mual ada, perut kembung,
gangguan nafsu makan disertai diare. Warna feses seperti dempul dan urine pekat seperti air teh.
B. Bila kausa oleh karena tumor.
Gejalanya antara lain : penderita mengalami ikterus secara tiba-tiba, tidak ada keluhan
sebelumnya, Biasa penderita berusia diatas 40 tahun. Terjadi penurunan berat badan, kaheksia
berat, anoreksia dan anemis memberi kesan adanya proses keganasan.
2 . PEMERIKSAAN FISIS
Ikterus pada sklera atau kulit, , terdapat bekas garukan di badan, febris / afebril. Bila obstruksi
karena batu, penderita tampak gelisah, nyeri tekan perut kanan atas, kadang-kadang disertai
defans muscular dan Murphy Sign positif, hepatomegali disertai / tanpa disertai terabanya
kandung empedu.
Bila ikterus obstruksi karena tumor maka tidak ada rasa nyeri tekan. Ditemukan Courvoisier
sign positif , splenomegali, occult blood (biasanya ditemukan pada karsinoma ampula dan
228

karsinoma pankreas).
3 . PEMERIKSAAN LABORATORIUM
3.1. PEMERIKSAAN RUTIN
Darah : perlu diperhatikan jumlah leukosit, bila ada leukositosis berarti ada
Infeksi.
Urine : urobilin positif satu, bilirubin positif dua.
Feses : berwarna seperti dempul (acholis).
3.2. TES FAAL HATI
Serum bilirubin meninggi terutama bilirubin direk (terkonyugasi).
Alkali fosfatase meningkat 2 3 kali diatas nilai normal.
Serum transaminase ( SGOT, SGPT), Gamma GT sedikit meninggi.
Kadar kolesterol meninggi.
4 . PEMERIKSAAN USG
Pemeriksaan USG perlu dilakukan untuk menentukan penyebab obstruksi. Yang perlu
diperhatikan adalah :
a. Besar, bentuk dan ketebalan dinding kandung empedu. Bentuk kandung empedu yang normal
adalah lonjong dengan ukuran 2 3 X 6 cm, dengan ketebalan sekitar 3 mm.
b. Saluran empedu yang normal mempunyai diameter 3 mm. Bila diameter saluran empedu lebih
dari 5 mm berarti ada dilatasi. Bila ditemukan dilatasi duktus koledokus dan saluran empedu
intra hepatal disertai pembesaran kandung empedu menunjukan ikterus obstrusi ekstra hepatal
bagian distal. Sedangkan bila hanya ditemukan pelebaran saluran empedu intra hepatal saja tanpa
disertai pembesaran kandung empedu menunjukan ikterus obstruksi ekstra hepatal bagian
proksimal artinya kelainan tersebut di bagian proksimal duktus sistikus.
c. Ada tidaknya massa padat di dalam lumen yang mempunyai densitas tinggi disertai bayangan
akustik (acustic shadow), dan ikut bergerak pada perubahan posisi, hal ini menunjukan adanya
batu empedu. Pada tumor akan terlihat massa padat pada ujung saluran empedu dengan densitas
rendah dan heterogen.
d. Bila tidak ditemukan tanda-tanda dilatasi saluran empedu berarti menunjukan adanya ikterus
obstruksi intra hepatal.
5 . PEMERIKSAAN CT SCAN
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya dilatasi duktus intra hepatic yang disebabkan
oleh oklusi ekstra hepatic dan duktus koledokus akibat kolelitiasis atau tumor pankreas.
6 . PTC (PERCUTANEUS TRANSHEPATIC CHOLANGIOGRAPHY)
Tujuan pemeriksaan PTC ini untuk melihat saluran bilier serta untuk menentukan letak penyebab
sumbatan. Dengan pemeriksaan ini dapat diperoleh gambaran saluran empedu di proksimal
sumbatan.
Bila kolestasis karena batu akan memperlihatkan pelebaran pada duktus koledokus dengan di
dalamnya tampak batu radiolusen.
Bila kolestasis karena tumor akan tampak pelebaran saluran empedu utama (common bile duct)
dan saluran intra hepatal dan dibagian distal duktus koledokus terlihat ireguler oleh tumor.
7 . DUODENOGRAPHY HIPOTONIK (DH )
Pada pemeriksaan ini dapat terlihat pendesakan duodenum ke medial oleh karena pembesaran
duodenum. Atau bila terlihat pembesaran papilla Vater yang ireguler atau dinding medial
duodenum yang ireguler (gambaran gigi gergaji / duri mawar) menunjukan keganasan pada
ampula Vater atau kaput pancreas sebagai penyebab ikterus obstruksi.
8 . PEMERIKSAAN ENDOSKOPI
229

Endoskopi saluran makan bagian atas (gastrointestinal endoskopi) untuk melihat :


8.1. Ada tidaknya kelainan di ampula Vateri, misalnya :
8.1.1. Karsinoma di ampula Vater akan tampak membesar ireguler
8.1.2. Batu akan tampak edema di ampula Vater
8.2. Tanda pendesakan di antrum, bulbus duodeni dinding posterior didapatkan
pada tumor pankreas.
Sebaiknya pemeriksaan endoskopi dilanjutkan dengan pemeriksaan ERCP.
9 . ERCP ( ENDOSCOPIC RETROGRADE CHOLANGIO PANCREATOGRAPHY )
Pemeriksaan ERCP dilakukan untuk menentukan penyebab dan letak sumbatan antara lain :
9.1. Koledokolitiasis, akan terlihat defek pengisian (filling defect) dengan batas tegas pada
duktus koledokus disertai dilatasi saluran empedu.
9.2. Striktur atau stenosis dapat disebabkan oleh kelainan di luar saluran empedu (ekstra duktal)
yang menekan misalnya oleh kelainan jinak atau ganas.
Striktur atau stenosis umumnya disebabkan oleh fibrosis akibat peradangan lama , infeksi kronis,
iritasi oleh parasit, iritasi oleh batu maupun trauma operasi. Contoh yang ekstrim pada kolangitis
oriental atau kolangitis piogenik rekuren dimana pada saluran-saluran empedu intra hepatic dan
ekstra hepatic ada bagian-bagian yang striktur dan ada bagian-bagian yang dilatasi atau ekstasia
akibat obstruksi kronis disertai timbulnya batu, batu empedu akibat kolestasis dan infeksi bakteri.
Striktur akibat keganasan saluran empedu seperti adenokarsinoma dan kolangio-karsinoma
bersifat progresif sampai menimbulkan obstruksi total.
Kelainan jinak ekstra duktal akan terlihat gambaran kompresi duktus koledokus yang berbentuk
simetris.
Tumor ganas akan mengadakan kompresi pada duktus koledokus yang berbentuk ireguler.
9.3. Tumor ganas intra duktal akan terlihat penyumbatan lengkap berbentuk ireguler dan dan
menyebabkan pelebaran saluran empedu bagian proksimal. Gambaran semacam ini akan tampak
lebih jelas pada PTC, sedangkan pada ERCP akan tampak penyempitan saluran empedu sebelah
distal tumor.
9.4. Tumor kaput pankreas akan terlihat pelebaran saluran pankreas . Pada daerah obstruksi
tampak dinding yang ireguler.
Pada ikterus obstruksi ekstra hepatal dimana dari hasil ERCP sudah dapat memastikan penyebab
obstruksi dimana bila :
a. Penyebabnya adalah batu (koledokolitiasis) sebaiknya dilakukan papilotomi untuk
mengeluarkan batunya.
b. Penyebabya adalah tumor, perlu dilakukan tindakan pembedahan.
Bila pada pemeriksaan USG tidak ditemukan dilatasi saluran empedu dan hasil pemeriksaan
ERCP tidak menunjang kelainan ekstra hepatal maka ini merupakan ikterus obstruksi intra
hepatal.
DIAGNOSIS
Diagnosis ikerus obstruksi beserta penyebabnya dapat ditegakan berdasarkan anamnesis,
gambaran klinis, pemeriksaan fisis, laboratorium dan pemeriksaan penunjang diagnostik invasive
maupun non invasive.
PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya penatalaksanaan penderita ikterus obstruksi bertujuan untuk menghilangkan
penyebab obstruksi atau mengalihkan aliran empedu. Bila penyebabnya adalah batu, dilakukan
230

tindakan pengangkatan batu dengan cara operasi laparotomi atau papilotomi dengan endoskopi /
laparoskopi.
Bila penyebabnya adalah tumor dan tindakan bedah tidak dapat menghilangkan penyebab
obstruksi karena tumor tersebut maka dilakukan tindakan drainase untuk mengalihkan aliran
empedu tersebut. Ada 2 macam tindakan drainase yaitu drainase ke luar tubuh (drainase
eksterna) dan drainase interna (pintasan bilio-digestif).
Drainase eksterna dilakukan dengan mengalihkan aliran empedu ke luar tubuh misalnya dengan
pemasangan pipa naso bilier atau pipa T pada duktus koledokus atau kolesistostomi.
Drainase interna dapat dilakukan dengan membuat pintasan bilio-digestif antara lain hepatikojejunostomi, koledoko-duodenostomi atau kolesisto-jejunostomi. Drainase interna pertama kali
dilaporkan oleh Pareiras et al (####) dan Burchart pada tahun 1978 (###), dan presentase
munculnya kembali ikterus obstruksi setelah dilakukan pintasan adalah 0 15 % tergantung dari
tehnik operasi yang digunakan.
1 . PEMBEDAHAN TERHADAP BATU
Setiap penderita dengan kolestasis ekstra hepatal merupakan indikasi pembedahan. Sewaktu
melakukan pembedahan sebaiknya dibuat kolangiografi intra operatif pada saat awal
pembedahan untuk lebih memastikan letak batu. Lebih baik lagi bila sebelum operasi telah
dilakukan pemeriksaan ERCP.
Pembedahan terhadap batu sebagai penyebab obstruksi, yang dapat dilakukan antara lain :
1.1.KOLESISTEKTOMI
Adalah mengangkat kandung empedu beserta seluruh batu. Bila ditemukan dilatasi duktus
koledokus lebih dari 5 mm dilakukan eksplorasi duktus koledokus. Eksplorasi ke saluran empedu
dapat menggunakan probe, forseps batu atau skoop, selain itu kalau memungkinkan dibantu
dengan alat endoskop saluran empedu yang rigid atau fleksibel. Semua batu dibuang sebersih
mungkin. Kalau ada rongga abses dibuka dan dibersihkan.
Usaha selanjutnya ialah mencegah batu rekuren dengan menghilangkan sumber pembentuk batu
antara lain dengan cara diet rendah kolesterol menghindari penggunaan obat-obatan yang
meningkatkan kolesterol, mencegah infeksi saluran empedu.
1.2.SFINGTEROTOMI / PAPILOTOMI
Bila letak batu sudah pasti hanya dalam duktus koledokus, dapat dilakukan sfingterotomi /
papilotomi untuk mengeluarkan batunya. Cara ini dapat digunakan setelah ERCP kemudian
dilanjutkan dengan papilotomi. Tindakan ini digolongkan sebagai Surgical Endoscopy
Treatment (SET).
2 . PEMBEDAHAN TERHADAP STRIKTUR / STENOSIS
Striktur atau stenosis dapat terjadi dimana saja dalam sistem saluran empedu, apakah itu intra
hepatik atau ekstra hepatik. Tindakan yang dilakukan yaitu :
2.1.Mengoreksi striktur atau stenosis dengan cara dilatasi atau sfingterotomi.
2.2.Dapat juga dilakukan tindakan dilatasi secara endoskopi (Endoscopic Treatment) setelah
dilakukan ERCP.
2.3.Bila cara-cara di atas tidak dapat dilaksanakan maka dapat dilakukan tindakan untuk
memperbaiki drainase misalnya dengan melakukan operasi rekonstruksi atau operasi biliodigestif (by-pass).
3 . PEMBEDAHAN TERHADAP TUMOR
Bila tumor sebagai penyebab obstruksi maka perlu dievaluasi lebih dahulu apakah tumor tersebut
dapat atau tidak dapat direseksi.
3.1.Bila tumor tersebut dapat direseksi perlu dilakukan reseksi kuratif. Hasil reseksi perlu
231

dilakukan pemeriksaan PA.


3.2.Bila tumor tersebut tidak dapat direseksi maka perlu dilakukan pembedahan paliatif saja
yaitu terutama untuk memperbaiki drainase saluran empedu misalnya dengan anastomosis bilodigestif atau operasi by-pass.
PROGNOSIS
Bahaya akut dari ikterus obstruksi adalah terjadinya infeksi saluran empedu (kolangitis akut),
terutama apabila terdapat nanah di dalam saluran empedu dengan tekanan tinggi seperti
kolangitis piogenik akut atau kolangitis supuratifa. Kematian terjadi akibat syok septic dan
kegagalan berbagai organ.
Selain itu sebagai akibat obstruksi kronis dan atau kolangitis kronis yang berlarut-larut pada
akhirnya akan terjadi kegagalan faal hati akibat sirosis biliaris. Ikterus obstruksi yang tidak dapat
dikoreksi baik secara medis kuratif maupun tindakan pembedahan mempumnyai prognosis yang
jelek diantaranya akan timbul sirosis biliaris. Bila penyebabnya adalah tumor ganas mempunyai
prognosis jelek.
Penyebab morbiditas dan mortalitas adalah :
a. Sepsis khususnya kolangitis yang menghancurkan parenkim hati.
b. Hepatic failure akibat obstruksi kronis saluran empedu.
c. Renal failure.
d. Perdarahan gastro intestinal.

Ikterus Obstruksi, Kausa Batu Pankreas, Laporan Kasus


ABSTRAK
We have perform management of men 50 y/d with obstructive icterus.
Physical examination reveal a mass tumour of epigastrium area, with hard consistensi, imobile.
Laboratorium : Total bilirubin : 12,13
Alkali phospatase : 331
CT scan abdomen : Microcytic adenoma pancreas
USG Abdomen : Choledokolithiasis with obstructive on biiary system
extra and intra hepatic
MD Foto : In Pancreas Stone
Diagnosis of working : Obstructive icterus eaused by stone on pancreas
We have conduced operation and found multiple stone on pancreas. We have done
cholesistektomy and choledokoyeyeno-yeyenostomy roux en-y.
Pendahuluan
Salah satu komplikasi dari batu pankreas ialah terjadinya pankreatitis kronik yang menyebabkan
striktur biliaris dan akhirnya dapat menyebabkan ikterus obstruksi, sehingga memberikan gejala232

gejala seakan ada karsinoma kaput pankreas, karsinoma ductus biliaris distal atau ampula vater.
(6)
Pada penderita dengan ikterus harus segera dilakukan pemeriksaan untuk menentukan
penyebabnya supaya penanganan yang akan diberikan sesuai dengan penyebabnya. (2)
Ikterus dapat ditimbulkan oleh kelainan prehepatik misalnya bila terjadi hemolisis, gilberts
desease. Kelainan hepatik misalnya pada viral hepatik, sirosis hepatis, keracunan obat dan
kehamilan. Sedangkan pada kelainan post hepatik ikterus dapat timbul misalnya pada obstruksi
karena tumor, batu, strictur dan sklerosing kholangitis. (1,2)
Evaluasi gambaran klinis ikterus dengan memperhatikan riwayat penyakit, pemeriksaan feses
dan test faal hati serta dibantu dengan pemeriksaan ultrasonografi/radiologis merupakan cara
untuk menentukan adanya ikterus obstruksi. Akhir-akhir ini telah berkembang teknik
pemeriksaan yang lebih maju sehingga penyebab ikterus dapat dipastikan yaitu dengan
pemeriksaan ultrasonografi (USG), Percutaneus transhepatic cholangiografi, Endoscopie
retrograde cholangio Pancreatografi (ERCP), dan Peritoneoscopi. (4)
Ikterus disebabkan oleh akumulasi pigmen empedu di dalam darah dan jaringan, pigmen ini
terdiri dari bilirubin dan biilrubin diglucaranide. Sebagian besar bilirubin terbentuk disistem
retikuloendeteal sebagai produk pemecahan Haemoglobin. (2)
Pengobatan terpilih untuk ikterus obstruksi ini adalah pembedahan, baik itu pembedahan
konvensional, laparoskopi, endoskopi atau kombinasi cara-cara tersebut, maka diagnosanya
harus tepat dan cepat, sebab keterlambatan menimbulkan peninggian morbiditas dam mortalitas.
(5,6)
Insidens
Ikterus obstruksi merupakan gejala klinis yang laing sering ditemukan apda gangguan sistem
hepatobilier. Soehendra et al (5) melaporkan 537 kasus ikterus obtruksi, perempuan 1,5 kali lebih
banyak daripada laki-laki, usia rata-rata 69 tahun. (7)
Lokasi obstruksi bilier yang dievaluasi berdasarkan pemeriksaan ERCP oleh Soehendra tersering
ditemukan pada duktus biliaris sepertiga distal pada 55% kasus, duktus biliaris sepertiga tengah
pada 19% kasus dan duktus biliaris proksimal dan intrehepatis pada 18% kasus. (5)
Etiologi
Penyebab obstruksi yang paling sering adalah karsinoma kaput pankreas, disusul kanker duktus
biliaris, batu extra hepatik, striktur dan pankreatitis, sedangkan kelainan intrahepatik biasanya
disebabkan oleh adanya penekanan produksi empedu karena kerusakan hepatosit. (2)
Benyamin 1983 (2) menyusun klasifikasi yang terdiri dari 4 kategori obstruksi biliaris yaitu :
Tipe I : Obstruksi komplit, menimbulkan ikterus. Biasanya disebabkan oleh
Tumor, terutama pada kaput pankreas, batu pankreas dan tumor-tumor
parenkim hati prime atau sekunder.
Tipe II : Obstruksi interniten, yang menimbulkan gejala-gejala dan perubahan
biokimia yang kahs, tetapi dapat disertai serangan ikterus secara klinis
sering dijumpai koledokolithiasis, divertikel duodeni penyakit hati
polikistik dan lain-lain.
Tipe III : Obstruksi ini komplit kronis, dengan atau tanpa gejala Klasik. Bisa
ditemukan pada striktur duktus biliaris komunis yang terjadi secara
konginetal dan lain-lain.
Tipe IV : Obstruksi segmental, dimana satu atau lebih segmen anatomis biliaris
233

intrahepatis mengalami obstruksi, bisa ditemukan pada traumatik, dan lain-lain.


Tujuan tulisan ini untuk melaporkan satu kasus ikterus obstruksi yang disebabkan oleh adanya
batu dalam pankreas, dan mengingatkan kita bahwa ikterus obstruksi selain disebabkan oleh batu
empedu, proses kegananasan saluran empedu atau kaput pankreas, dapat juga disebabkan sebagai
kompliksi dari adanya batu dalam pankreas.
Laporan kasus :
Tuan N. P laki-laki 50 tahun, suku Bugis Makassar, pekerjaan tani. Masuk Rumah Sakit Wahidin
Sudirohusodo Makassar 31 Mei 2000. Penderita datang diantar oleh keluarganya ke poliklinik
dengan keluhan seluruh badan berwarna kuning dan juga mengalami gatal-gatal seluruh badan
yang dialami sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit, sering mengelurkan sakit pada daerah
uluhati tembus ke belakang, mual (+), muntah (+), riwayat demam tidak ada, riwayat trauma
abdomen tdiak ada, feses aholik, urin : the tua, anoreksia, berat badan menurun, riwayat berak
darah tidak ada. Pemeriksaan fisis penderita nampak sakit verat, kesadaran baik, gizi kurang,
tekanan darah 100/60 mm Hb. Nadi 68 x/menit, reguler berisi, pernapasan 28 kali/menit torakal,
suhu 370 C.
Kongjungtiva tidak anemis, sklera ikterus paru dan jantung tidak ditemukan kelainan. Pada
abdomen di daerah uluhati didapatkan tumor keras sub hepatis sebesar buah peer. Hepar tak
teraba, limpa tak teraba, asites tidak ada, peristaltik usus normal, colok dubur tidak ditemukan
adanya kelaianan, anggota gerak tidak ada kelainan.
Hasil pemeriksaan laboratorium :
Tgl 30 Mei 2000 : Hb : 9,5 gr%, lekosit : 8400/mm3
Urin : warna kuning tua
PH : 6,0
Bilirubin : III
Urobilinogen : III
Lekosit : 3 5
Pemeriksaan kimia darah : Bilirubin Total : 12,13
Biilrubin direk : 9,79
Alkali phospatase : 331
Gula darah sewaktu : 137 m/
Tgl 13 Juni 2000
Hb : 10,8 gram% Bilirubin : 23,20
GDS : 181 Bilirubin direk : 22,71
Ureum : 25,6 Alkali phospatase : 210
Creatin : 0,36 SGOT : 67
SGPT : 68
Pemeriksaan Foto MD : tampak adanya bayangan radioopak pada daerah pancreas, tampak
seperti batu dalam pankreas, USG Abdomen : menunjukkan choledokolithiasis dengan adanya
bendungan ystem bilaris extra dan intra hepatic CT scan abdomen : mycrocytic adenoma
pancreas.
Berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium dan hasil MD Foto,
diagnosa ikterus obstruksi oleh batu pankreas.
Direncanakan operasi menurut roux en-y pada tanggal 12 6 2000 dilakukan laparotomi. Pada
eksplorasi ditemukan kandung empedu tidak membesar, (masih dalam batas normal), duktus
koledokus dilatasi ukuran 1,6 cm, ditemukan adanya kumpulan batu dalam pankreas, warna
putih dan keras, sebagian batu dikeluarkan untuk analisa batu. Karena tidak memungkinkan
234

untuk batu dikeluarkan secara keseluruhan, karena ternyata mengisi seluruh pankreas dan
berlokus-lokus.
Dilakukan kolesistektomi dan Koledoko yeyeno yeyenostomy Toux en-y.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi :
Makro : Terkirim jaringan ukuran 10 x 3 x 11/2 cm berongga isi cairan kuning
kecoklatan, tak jelas masa tumor.
Mikro : Kedua sediaan jaringan lebih cenderung sebagai suatu gall bladder yang
ada bagian mucosa atropi, juga terdapat infiltrasi radang limfosit pada
mucosa dan muscularis.
Diagnosa : Cholesytitis
Hasil pemeriksaan analisa batu :
Batu terdiri dari unsur : Ca oxalat dan struvit
Penderita dipulangkan pada hari ke 14 pasca operasi, dengan luka operasi sudah kering dan
sembuh.
Pembahasan
Ikterus obstruksi akibat causa batu dalam pancreas adalah sangat jarang Batu dalam pancreas
kemungkinan penyebab terjadinya pancreatitis kronis yang menyebabkan terjadinya striktur
duktus biliaris. (2)
Etiologi ikterus obstruksi paling banyak disebabkan oleh karsinoma kaput pankreas, penyebab
yang lain pancreatitis kronis, abtu, dan kanker duktus biliaris. (4)
Gejala-gejala klinik ikterus obstruksi akibat batu dalam pankreas dengan sakit perut dengan
penetran smapai ke belakang yang paling sering, hampir mirip dengan gejala akibat pancreatitis
kronis. Pada kasus ini didaptkan ikterus berat. Gejala-gejala yang lain, berat badan yang
menurun, dan gatal-gatal. (1,3,6)
Foto MD dapat membenatu diagnosa dengan ditemukannya gambaran radioopak pada daerah
pankreas.
USG abdomen dan CT scan abdomen dapat memperlihatkan adanya gambaran yang tidak khas
untuk batu pankreas. Pad kasus ini gambaran USG abdomen merupakan suatu choledakolithiasis
dengan adanya bendungan system biliarias extra dan intrahepatis.
Diagnosa adanya ikterus obstruksi hanya batu pankreas berdasrakan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisis, laboratorium, dan foto MD. Sebagian diagnosa dibuat durante operasionum
dengan operasi kolisistektomi dan koledoko yeyeno yeyenostomi Raux en-y.
Gambaran analisa batu dari pankreas berupa : Ca oxalat dan struvit.
Prinsip tindakan operasi pada ikterus obstruksi lama batu pankreas ialah menghilangkan ikterus
dan mencegah terjadinya sirosis biliaris. Pilihan operasi dilakukan yaitu kaledokoyeyenoyeyenostomi raux en-y. dipilih teknik ini karena lebih simpel dna cepat.
Kolesistektomi dianjurkan untuk dikerjakan oleh karena tendens statis kandung empedu dan
pembentukan batu.
Kesimpulan
Diagnosa dan pengoabtan yang cepat dari ikterus obstruksi causa batu pankreas sangat penting
untuk mencegah terjadinya kerusakan hepar dengan akibat-akibatnya.
Ikterus obstruksi hanya batu pankreas adalah kasus yang sangat jarang. Telah dilaporkan satu
kasus ikterus obstruksi causa batu pankreas serta tinjauan kepustakaan.

235

Penyakit Apendisitis Akut, Definisi, Insiden,


Patogenesis, Diagnosis, Penatalaksanaan,
Definisi
Apendisitis akut merupakan peradangan pada apendiks yang diawali oleh proses obstruksi
penyumbatan lumen apendiks oleh mucus, fekalit, atau benda asing yang diikuti oleh proses
inflamasi dan infeksi bakteri. 1,2,11
Insidens
Apendisitis akut merupakan salah satu penyakit yang paling sering ditemukan dari seluruh kasus
abdomen akut. Dapat terjadi pada semua tingkat usia dan paling sering menyerang pada usia
dekade kedua dan ketiga. Jarang dijumpai pada bayi, mungkin disebabkan oleh kemungkinan
konfigurasi dari organ itu sendiri yang tidak memungkinkan untuk terjadinya obstruksi
lumen.).15,16,17
Terdapat hubungan antara banyaknya jaringan limfoid pada apendiks dengan kejadian kasus
apendisitis akut, selain itu Faktor diet dan genetik juga memegang peranan 1,2,4
Di Amerika sekitar 7% penduduk menjalani apendektomi dengan insidens 1,1/ 1000 penduduk
pertahun,sedang di Negara Negara barat sekitar 16%. Di Afrika dan asia prevalensinya lebih
rendah akan tetapi cenderung meningkat oleh karena pola dietnya yang mengikuti orang
barat.18,19,20
Komplikasi peritonitis dari apenditis akut tertinggi pada anak dan orang tua. Pada umumnya
insidens pada laki laki sedikit lebih tinggi dibanding wanita. Di Indonesia insidens apendisitis
akut jarang dilaporkan Ruchiyat dkk. (1983) mendapatkan insidens apendisitis akut pada pria
242 sedang pada wanita 218 dari keseluruhan 460 kasus. Di Swedia Anderson dkk. (1994)
menemukan jumlah kasus pada laki- laki lebih rendah sedangkan John dkk (1993) melaporkan
64 wanita dan 47 wanita denga umur rata rata 28 tahun menderita apenditis akut dengan
menggunakan USG sebagai alat diagnostik.2,3,15,16,21
Etiopatogenesis
Apendisitis disebabkan oleh obstruksi pada luman apendiks oleh hyperplasia limfoid, infeksi,
stasis feses (fekalith), parasit ataupun kadang oleh neoplasma ataupun benda asing. Hiperplasia
limfoid berhubungan dengan penyakit crohn, mononukleosis infeksiosa, measless, dan infeksi
pada traktus digestivus dan respiratorius. Adanya obstruksi ini akan meningkatkan tekanan
dalam lumen dan terus meningkat karena adanya produksi mukus mukosa. kemudian akan terjadi
multiplikasi bakteri yang akan menyebabkanterjadinya lekositosis dan pembentukan pus.22,23
Proses obstruksi ini akan mengikuti closed loop obstruction yang menimbulkan sumbatan di
bagian proksimal. Sekresi 0,5 ml mucus akan menyebabkan kenaikan intra lumen hingga 60 cm
H2O.1,12,15
Peninggian tekanan akan menyebabkan hambatan aliran limfe yang menyebabkan timbulnya
edema, yang disertai dengan hambatan aliran vena dan arteri keadaan ini menyebabkan
timbulnya iskemia dan nekrose hingga kemungkinan terjadinya perforasi jika proses terus
berlanjut. Perforasi terjadi pada daerah yang gangrene sehingga pus dan produksi infeksi akan
mengalir ke rongga abdomen dan menimbulkan peritonitis menyeluruh dan bahkan abses
sekunder. Perforasi dapat terjadi dalam 6 jam sejak mulai timbulnya gejala tetapi biasanya jarang
236

terjadi sebelum 24 jam. 24,25,25


Mekanisme pertahanan tubuh akan berusaha melokalisir tempat infeksi dan omentum akan
membungkus daerah tersebut (walling off) . Pembungkusan ini tidak jarang melibatkan lengkung
lengkung usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga terjadi suatu gumpalan massa
phlegmon yang melekat erat dan sukar dipisahkan dan dibedakan dari struktur asalnya. Keadaan
ini akan menyebabkan keadaan yang disebut sebagai periapendikuler infiltrat dimana mekanisme
pertahanan tubuh dianggap berhasil melokalisir daerah infeksi. 2,27
Periapendikuler infiltrate berupa massa phlegmon yang terdiri dari apendiks, usus, omentum, dan
peritoneum dengan sedikit atau tanpa penggumpalan nanah. Apabila usaha tubuh untuk
melokalisir infeksi dengan walling off belum sempurna oleh karena infeksi yang berjalan terlalu
cepat atau kondisi penderita yang kurang baik misal pada anak,orang tua, ataupun wanita hamil
maka terbentuklah apendikuler yang masih bebas. Pada saat ini perlekatan yang terjadi belum
erat dan masih dapat dibebaskan secara tumpul. Perforasi merupakan stadium terminal
apendisitis yang masih mungkin terjadi walling off. Pada walling off sempurna akan terbentuk
abses primer sedang yang tidak sempurna akan terjadi abses sekunder yaitu abses yang terbentuk
tidak pada tempat peradangan tersebut. Sesungguhnya sukar untuk membedakan secara klinis
apakah massa yang teraba terfikser merupakan suatu periapendikuler infiltrat atau abses primer
apendiks.15,29,30
Kriteria Patologi
Pada permulaan apendisitis, infeksi hanya terbatas pada mukosa dan disebut sebagai apendisitis
inkomplit atau apendisitis mukosa. Apabila infeksi meluas lebih dalam hingga ke lapisan otot
dan serosa disebut apenditis komplit yang meliputi apendisitis phlegmonosa, apendisitis
supuratif, dan apendisitis gangrenosa 15,18
Apendisitis mukosa merupakan peradangan atau ulserasi yang terbatas pada mukosa. Secara
mikroskopis tampak sebukan lekosit polimorfonuklear pada lapisan stroma. Apendisitis
phlegmonosa tampak apendiks membengkak, kongestif dan sedikit fibrin pada permukaanya bila
apendiks dipotong cairan purulen akan keluar dari lumen apendiks.17,19,22,26
Apendisitis supuratif berdasarkan gambaran makroskopis tampak udem, hiperemis, terdapat pus
pada lumen dan dinding apendiks. Mikroskopis terdapat ulserasi pada mukosa, sub mukosa dan
muskularis ditemukan lekosit polimorfonuklear dan tidak ada folikel limfoid. Lapisan serosa
tampak sembab pembuluh darah melebar dan ditemukan adanya thrombosis. Apendisitis
gangrenosa ,gambaran makroskopisnya berupa jaringan gangrene berwarna kehitaman dan
sembab pada bagian tertentu. Mikroskopis terdapat ulserasi luas pada mukosa, sebukan lekosit
polimorfonuklear yang masif pada sub mukosa, tidak ada folikel limfoid dan pada serosa dan
muskularis di daerah yang gangrene ditemukan ulserasi, pembuluh darah nekrotik dan berisi
thrombus. 30,32
Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan gejala gejala klinis dan pemerksaan fisis saja.
Sedangkan pemeriksaan laboratorium dan radiologi berperan sebagai
penunjang.1,2,15,16,22,23,27
Gejala Klinis
Kebanyakan gejala- gejala apendisitis akut berupa nyeri abdomen terutama pada epigastrium
atau sekitar umbilikus setelah periode 2-12 jam biasanya antara 4-6 jam nyeri berpindah ke
237

posisi kanan dan akhirnya menetap di kuadran kanan bawah. Anoreksia hampir selalu menyertai
apendisitis meskipun jarang dikeluhkan oleh anak anak. Kebanyakan penderita mengeluh
adanya riwayat obstipasi sebelum timbulnya nyeri dan defekasi dapat mengurangi rasa nyeri
abdomen. Kadang kadang dapat terjadi diare pada anak-anak. 1,15,23
Lokalisasi rasa sakit tergantung pada posisi apendiks, hilangnya nafsu makan dan muntah
muntah adalah ciri khas. Secara tipikal dimulai dalam waktu singkat segera setelah timbul rasa
sakit. Jika penderita mengeluh riwayat muntah sebelum adanya rasa sakit maka keadaan itu
bukan apendisitis.
Pemeriksaan fisis
Temperatur tubuh dan denyut nadi akan membuktikan adanya demam dan takikardi. Selain itu
kadang didapatkan gejala foetor oris, lidah berselaput kotor dan penderita berkeringat. Sikap dan
posisi penderita sudah menunjukkan kecurigaan, kalau disuruh bergerak penderita akan
melakukannya dengan sangat hati hati karena sakit. Penderita umumnya akan memfleksikan
pangkal pahanya, karena otot otot dinding perut akan melemas sehingga rasa sakit akan
berkurang.
Dengan palpasi akan ditemukan tanda nyeri tekan, nyeri lepas, nyeri ketok dan tanda defans
lokal. untuk apendiks yang letaknya retrosekal dengan ujung dekat otot psoas maka dengan
hiperfleksi pangkal paha akan menyebabkan rasa sakit bertambah akibat ketegangan otot tersebut
(psoas sign).
Apendiks letak pelvinal tegantung lokasinya dengan otot obturator internus, rasa sakit akan
bertambah dengan rotasi sendi panggul yang dikenal sebagai obturator sign. pemeriksaan
colok dubur untuk mengetahui situasi rongga pelvis penting dalam membuat diagnosis
apendisitis akut terutama untuk menyingkirkan kelainan lain dalam rongga panggul.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan lekosit dan netrofil merupakan pemeriksaan rutin untuk apendisitis akut karena
mudah dilakukan, harga murah, dalam waktu singkat dapat diperoleh hasilnya dan sebagai
petanda sensitif proses inflamasi akut. Hardison (dalam Law WY) menyatakan bahwa 95%
populasi normal dengan usia di atas 15 tahun jumlah lekosit total 5000 10000/mm3, sedangkan
nilai hitung jenis netrofil < 75%.(6,7) Apabila telah ditegakkan diagnosis apendisitis akut,
menurut hasil penelitian Kim-Choy (2002) di Taiwan sebaiknya dilakukan pemeriksaan netrofil.
Jika ada peningkatan jumlah netrofil, kemungkinan apendisitis akut meningkat secara signifikan.
Pemeriksaan netrofil merupakan parameter diagnosis apendisitis yang baik. (6) Pada prakteknya
lekositosis berarti meningkatnya jumlah lekosit netrofil sehingga melebihi 60% jumlah seluruh
lekosit. Jumlahnya bisa sampai 80% dari seluruh lekosit. Lekositosis terjadi bila ada jaringan
cedera atau infeksi, sehingga pada tempat cedera atau radang tersebut dapat terkumpul banyak
lekosit untuk turut membendung infeksi. Sel-sel netrofil terutama aktif pada radang mendadak.
Fungsi utamanya adalah sebagai fagositosis. (17) Jumlah netrofil lebih dari 75 % umumnya
digunakan untuk memastikan diagnosis.(18,19,20) Peningkatan jumlah lekosit yang fisiologis
terjadi selama dan segera setelah latihan otot yang berat, stress emosional dan kecemasan.
Peningkatan jumlah lekosit juga ditemukan pada keadaan dehidrasi, perubahan suhu tubuh yang
mendadak dan pada saat menstruasi, kehamilan bulan terakhir serta setelah melahirkan.19
Komposisi Leukosit Dalam Darah Pertahanan tubuh melawan infeksi adalah peran utama
leukosit. Batas normal jumlah leukosit berkisar 4000 hingga 10.000/mm3. Lima jenis leukosit
yang telah di identifikasi dalam darah perifer adalah : neutrofil, eosinofil, basofil, monosit dan
238

limposit. 7,12 Neutrofil, eosinofil, dan basofil disebut juga granulosit artinya sel dengan granula
dalam sitoplasmanya diameter granulosit berkisar 10-14 um identifikasi tergantung pada afinitas
zat tersebut terhadap zat warna tertentu. Sel yang granulanya memiliki afinitas eosin berwarna
merah hingga merah jingga, disebut eosinofil. Sedangkan sel yang memiliki zat warna biru atau
basa disebut basofil. Granula neutrofil yang juga disebut neutrofil segmen atau leukosit PMN
mempunyai afinitas sedikit terhadap zat warna basa atau eosin dan memberi warna biru atau
merah muda pucat yang dikelilingi oleh sitoplasma yang berwarna merah muda. Ketiga jenis
granulosit berasal dari sel induk pluripotensial dalam sumsum tulang. 7,12 Walaupun semua
mekanisme regulator untuk diferensiasi dan pematangan leukosit serta sel turunannya belum
sepenuhnya dimengerti tetapi identifikasi beberapa faktor perangsang koloni (CSF) atau faktor
pertumbuhan hemapoetik telah menjelaskan faktor tersebut. CSF adalah glikoprotein yang
berasal dari sel yang tergolong dalam kelompok regulator leukosit yang lebih besar yang
dinamakan sitokin. CSF secara terus menerus disintesis oleh berbagai macam sel yang terpenting
adalah sistim limfosit-makrofag, fibroblast, dan sel endotel yang ditemukan dalam sumsum
tulang. CSF telah dideteksi (Bondurant,Kourey 1999) dalam berbagai jaringan tubuh serum, dan
urine manusia. Kadar CSF yang dapat dideteksi ditemukan dalam serum selama masa
peradangan, infeksi virus, dan stress. Tampaknya terus ada peningkatan produksi setelah
stimulasi oleh berbagai antigen dan mikroorganisme serta produk produknya seperti
endotoksin (Bondurant,Kourey 1999) .7,21 CSF dipercaya bekerja ditempatnya dihasilkan atau
bersirkulasi dan melekatkan diri pada reseptor tertentu di permukaan sel dari prekursor
hematopoetik , bekerja untuk diferensiasi (pada leukosit) yaitu granulosit, monosit, dan garis sel
limfatik. 12 Sel sel mengalami suatu fase proliferasi (pembelahan ) mitotik, diikuti oleh fase
pematangan. Waktu yang diperlukan bervariasi untuk leukosit yang berbeda dan bervariasi dari 9
hari untuk eosinofil sampai 12 hari untuk neutrofil. Semua fase ini akan mengalami pertambahan
kecepatan selama terjadi infeksi. Di dalam sumsum tulang, setelah sel menjadi berbentuk bulat
atau oval dan memiliki dua sampai lima lobus, dikelilingi oleh sitoplasma yang mengandung
granula halus yang tersebar merata. Granula ini mengandung enzim-enzim (seperti
mieloperoksidase, muramidase, dan kation protein anti bakteri) yang pada degranulasi sel-sel
darah putih, membunuh dan mencernakan bakteri. 21 Sumsum tulang memiliki tempat
penyimpanan cadangan yang tetap, kapasitasnya sekitar sepuluh kali jumlah neutrofil yang
dihasilkan setiap hari. Bila timbul infeksi, neutrofil cadangan ini dimobilisasi dan dilepaskan ke
dalam sirkulasi, di sana sel-sel tersebut tersimpan selama 6 sampai 8 jam kemudian ke jaringan.
Neutrofil dalam sirkulasi dibagi antara kelompok sirkulasi dan kelompok marginal (sel-sel darah
putih yag terletak sepanjang dinding kapiler). Dengan gerakan seperti amuba, neutrofil bergerak
dengan cara diapedesis dari kelompok marginal masuk ke dalam jaringan dan membran mukosa.
Neutrofil merupakan sistem pertahanan tubuh pimer melawan infeksi bakteri; metode
pertahanannya adalah proses fagositosis. Kelompok granulosit konstan dipertahankan,
dipengaruhi oleh interaksi sel ke sel, dan hormon pertumbuhan serta sitokin yang dilepaskan dari
sel inflamasi. 7 Limfosit adalah leukosit mononuklear lain (monomorfonuklear) dalam darah,
yang memiliki inti bulat atau oval yang dikelilingi oleh pinggiran sitoplasma sempit bewarna
biru yang mengandung sedikit granula. Bentik kromatin inti sarat dengan jala-jala yang
berhubungan di dalam. Limfosit bervariasi dalam ukuran dari kecil (7 sampai 10 m) sampai
besar, seukuran granulosit dan tampaknya berasal dari sel induk pluripotensial di dalam sumsum
tulang dan bermigrasi ke jaringan limfoid lain termasuk kelenjar getah bening, lien, timus, dan
permukaan mukosa traktus gastrointestinal dan traktus respiratorius. 7 Terdapat dua jenis
limfosit mencakup limfosit T- bergantung timus, berumur panjang, dibentuk dalam timus, dan
239

limfosit B- tidak bergantung timus. Limfosit T bermigrasi dari kelenjar timus ke jaringan limfoid
lain. Sel-sel ini secara khas ditemukan pada parakorteks kelenjar getah bening dan lembaran
limfoid periarteriola dari pulpa putih lien. Limfosit B tersebar dalam folikel-folikel kelenjar
getah bening, lien dan pita-pita medula kelenjar getah bening. Limfosit T bertanggung jawab atas
respon kekebalan selular melalui pembentukan sel yang reaktif antigen, sedangkan limfosit B,
jika dirangsang dengan semestinya, berdiferensiasi menjadi sel-sel plasma yang menghasilkan
imunoglobulin, sel-sel ini bertanggung jawab atas respon kekebalan humoral. 12 Limfosit
memiliki banyak reseptor pada membran sel, reseptor alfa dan beta adrenoreseptor,
dopamin,histamin, reseptor kolinergik, dan reseptor kinin. Regulasi respon inflamasi diatur oleh
sitokin dan kemokin reseptor. 21 Limfosit terus menerus memasuki sistim sirkulasi bersama
dengan pengaliran limfe dari nodus limfe dan jaringan limfoid lain. Setelah beberapa jam
limfosit berjalan kembali ke jaringan dengan cara diapedesis dan selanjutnya kembali memasuki
limfe dan kembali ke jaringan limfoid atau ke sirkulasi darah kembali, demikian seterusnya
sehingga terjadi sirkulasi limfoid yang terus menerus diseluruh tubuh. Limfosit memiliki masa
hidup berminggu minggu, bulan, bahkan tahun tetapi hal ini tergantung kebutuhan tubuh akan
sel tersebut.12,21 Lekosit di dalam darah perifer dewasa normal terdiri dari beberapa jenis
dengan persentase seperti tampak pada tabel berikut ini. 21
Nilai Lekosit Normal Orang Dewasa
______________________________________________________________
Jenis Sel Persentase Relatif Jumlah Absolut Range Rata-rata Range Rata-rata Netrofil batang 0
5 3 0 500 250 Netrofilsegmen 50 70 60 2500 -7000 4500 Eosinofil 1 5 3 50 500 200
Basofil 0 1 0.5 0 100 40 Lymfosit 20 40 30 1000 4000 3000 Monosit 1 6 4 50 600
300
Netrofil bentuk batang umumnya kurang dari 5 % dari jumlah lekosit. Sekitar 60 % darah perifer
mengandung netrofil bentuk segmen. 21 Distribusi rata-rata netrofil pada pemeriksaan darah tepi
sesuai dengan jumlah lobus nucleus yang mengikuti pola sebagai berikut : satu lobus, 5 %; 2
lobus 30 %; 3 lobus 45 %; dan 4 lobus 18 %; 5 lobus 2 %. Netrofil dengan 6 lobus atau lebih
jarang ditemukan. 12,21 Jumlah sel leukosit dan persentase yang bervariasi untuk memenuhi
kebutuhan pertahanan tubuh yang selalu berubah ubah dimana zat zat perantara kimiawi yang
berasal dari jaringan yang terinvasi atau rusak atau dari leukosit aktif itu sendiri yang akan
menentukan kecepatan produksi berbagai jenis leukosit. 12,21 Pada penyakit yang ditandai
dengan peningkatan lekosit netrofil, tampak peningkatan sel-sel imatur (promielosit) dan
berkurangnya jumlah netrofil bentuk segmen. Keadaan ini disebut dengan Shift to the Left. 21
Penyebab terbanyak netrofilia lekositosis adalah infeksi oleh bakteri piogenik, yaitu basil
staphylokokus, streptokokus, gonokokus dan beberapa jenis basil kolon. Bakteri lain yang sering
ditemukan yang meningkatkan respon netrofilia termasuk Proteus vulgaris, Aerobacter
aerogenes, Shigella dysenteriae dan Corynebacterium diphteriae. 12 Reaksi netrofilia terjadi
segera setelah bakteri pathogen masuk ke dalam tubuh.Pada saat penderita mulai memiliki gejala
dan tanda infeksi bakteri seperti demam dan nyeri, terjadi peningkatan jumlah lekosit total
dengan peningkatan jumlah absolute dan relative netrofil. 12 Semua jenis lekosit keluar dari
pembuluh darah dan masuk ke daerah inflamasi. Jumlah total lekosit dalam darah tidak
berkurang setelah masuk ke jaringan, oleh karena ada substansi yang mengalirkan lekosit dari
area inflamasi kembali ke sirkulasi. Substansi tersebut yakni leukotoksin memiliki efek
240

kemotaksis menarik lekosit dari jaringan ke dalam sirkulasi. 21 Jumlah lekosit yang kembali ke
sirkulasi lebih besar dari jumlah yang hilang di daerah inflamasi, sehingga jumlahnya di dalam
darah meningkat. Peningkatan jumlah lekosit biasanya berkisar 10000 15000 dan persentase
netrofil berkisar 70 % 85 % dalam beberapa jam.6,7,21 Pertumbuhan kuman dan substansi
eksudat jaringan nekrotik menstimulasi secara selektif proliferasi sel-sel netrofil baru dalam
jumlah besar di sumsum tulang. Pada infeksi yang lebih hebat, peningkatan jumlah netrofil lebih
cepat daripada peningkatan jumlah lekosit. Pada pasien dengan apendisitis gangrenosa dan
peritonitis lokal, jumlah lekosit dapat mencapai 15000 20000 per mm3 dengan jumlah
persentase netrofil 90 % 95 %. 6,21 Mikroba lain yang dapat menyebabkan netrofil lekositosis
termasuk spirochaeta dan jamur. Tuberkulosis dalam berbagai bentuk terbukti menyebabkan
leukopeni dan neutropeni, namun pada keadaan aktif dan progresif dimana terdapat nekrosis
jaringan dapat meningkatkan jumlah netrofil. 7 Lesi lain yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan dan nekrosis dapat menimbulkan netrofil lekositosis. Respon netrofilik terjadi setelah
adanya luka bakar, crush injuries, operasi, gangren, hernia strangulate atau torsio
viscera.Trombosis dengan pembentukan infark juga menyebabkan peningkatan jumlah lekosit
dan netrofil. 6,7 2.5.3. Pemeriksaan Histopatologi Sejak saat dilakukan tindakan pembedahan
apendektomi, maka secara makroskopis sudah dapat ditentukan ada tidaknya kelainan organ
apendiks seperti : 1. Apendiks normal tanpa ada kelainan organ lain dalam rongga abdomen. 2.
Apendiks kronis tanpa ada tanda-tanda peradangan akut 3. Apendiks normal tapi ditemukan
kelainan organ lainnya dalam rongga abomen yang bisa merupakan kasus bedah atau non bedah.
20,26 Secara makroskopis pada radang apendisitis akut akan terlihat adanya fibrin atau pus yang
menutupi permukaan serosa disertai dengan adanya kerusakan pembuluh darah. Ulserasi
permukaan mukosa dengan latar belakang yang hiperemis.(22) Obstruksi lumen oleh karena
fekalit ataupun benda asing lainnya dijumpai pada seperempat sampai sepertiga kasus.(23)
Secara mikroskopis perubahan-perubahan kelainannya bergantung pada interval waktu
timbulnya gejala dengan saat tindakan operasi dilakukan. Pada stadium awal, netrofil didapatkan
di dasar epitelium. Setelah proses peradangan mencapai submukosa, terjadi penyebaran yang
cepat di seluruh lapisan apendiks.Pada stadium lanjut dijumpai dinding yang nekrotik.
Trombosis pembuluh darah didapat pada seperempat kasus.Pembuktian kelainan apendiks
dilakukan dengan pemeriksaan histopatologi dari puntung apendiks. (15,23) Nowie seorang ahli
patologi dari Glasgow menentukan kriteria apendisitis akut sebagai berikut : (22) 1. Adanya
lekosit polimorfonuklear di dalam lumen apendiks 2. Adanya fokus peradangan bagaimanapun
kecilnya di dalam mukosa apendiks 3. Adanya ulserasi mukosa di atas fokus peradangan tersebut
atau adanya kelompok sel-sel radang polimofonuklear yang menembus permukaan mukosa. 2.6.
Diagnosis Banding Diagnosis banding apendisitis akut tergantung pada 3 faktor utama, yaitu :
lokasi anatomi organ yang meradang, stadium proses peradangannya serta umur dan jenis
kelamin penderita. (1) Pada anak-anak apendisitis akut paling sering dibedakan dari
gastroenteritis akut,mesenterik limfadenitis, pielitis, Mekels diverkulitis, intussusseption,
Enteric Duplication, Henoch Scholein purpura dan peritonitis primer.(11) Apendisitis jarang
dijumpai pada anak usia kurang dari 2 tahun. Pada Intussusseption dapat teraba massa seperti
sosis, tidak ada demam dan biasanya dijumpai darah dan lendir pada pemeriksaan colok dubur.
Pada penderita laki-laki dewasa apendisitis akut perlu dibedakan dengan enteritis regional akut,
Batu ginjal dan ureter kanan, torsio testis dan epididimitis akut.(11) Pada penderita perempuan
perlu dipikirkan kemungkinan menderita kelainan-kelainan pada ovarium dan tuba, kelainan
ektopik terganggu, Mittleschmerz , endometriosis dan salpingitis. Mittleschmerz
dikarakteristikkan dengan adanya nyeri dipertengahan siklus menstruasi dan berkurang setelah
241

beberapa jam.(11,14,25) Pada orang tua harus dipikirkan kemungkinan terjadinya divertikulitis,
duodenum perforasi, ulkus gaster, kolesistitis akut dan karsinoma sekum.(26) 2.7. Sistem Skor
Apendisitis Akut 18,20 Kalesaran,dkk (1995), telah menemukan 7 item ( mual, muntah, demam,
nyeri batuk, nyeri ketok, defans lokal, dan jumlah lekosit ) yang merupakan variabel yang
bermakna untuk menentukan diagnosis apendisitis akut. 18
Sistem skor Kalesaran
Mual ya = 7 tidak = -10
Muntah ya =11 tidak = -5
Demam ya = 7 tidak = -27
Nyeri Batuk ya = 15 tidak = -20
Nyeri Ketok ya = 5 tidak = -23
Defans Lokal ya = 10 tidak = -13
Lekosit >10.000= 15 <10.000 = -11
Berdasarkan ke 7 item tersebut, Kalesaran membuat sistem skor apendisitis akut dan menentukan
titik batas ( cut of point ). Jika nilainya di atas +20 harus segera di operasi karena titik batas
tersebut mempunyai sensifitas dan spesifitas yang tinggi. Kalesaran,dkk menganjurkan kasus
dengan skor di bawah nilai -49 tidak operasi, sedangkan kasus yang mempunyai skor -49 sampai
+20 tidak perlu segera di operasi, hendaknya diobservasi saja untuk melihat perkembangan
selanjutnya. 18
Penatalaksanaan
Tidak ada cara yang dapat mencegah perkembangan lanjut terjadinya apendisitis akut.
Operasi apendektomi emergensi merupakan satu-satunya tindakan yang harus dilakukan untuk
dapat mengurangi morbiditas dan mencegah mortalitas penderita. Dalam 24 jam pertama
timbulnya gejala, dapat terjadi perforasi sebanyak kurang dari 20%, tapi meningkat cepat
menjadi lebih 70% setelah 48 jam .(26)
Pada penderita yang tidak dapat segera dilakukan tindakan operasi, penanganannya dilakukan
dengan perawatan konservatif, penderita diobservasi ketat, istirahat total di tempat tidur, diet
makanan yang tidak merangsang peristaltik dan pemberian antibiotik broad spektrum. Pasang
drain bila terjadi abses. (27,28)
Ada 3 prinsip utama pola pemberian antibiotik pada penderita yang di diagnosis dengan
apendisitis akut, yaitu : (1)
1. Antibiotik diberikan preoperatif bila diduga telah terjadi perforasi.
2. Antibiotik diberikan preoperatif, dan terus dilanjutkan bila dijumpai apendiks perforasi atau
gangren .
3. Antibiotik diberikan preoperatif pada semua penderita dengan ap\endisitis akut dan
dilanjutkan hingga 3-5 hari .
Selain tindakan apendektomi yang biasa dilakukan, dapat pula dikerjakan apendektomi
laparoskopik. Tindakan ini terutama dilakukan pada penderita dengan riwayat dan pemeriksaan
fisik yang tidak jelas serta pada perempuan dengan kemungkinan menderita kelainan ginekologi.
(1,13,14,29)

242

You might also like