You are on page 1of 2

Abu Yazid Al-Bistami

Abu Yazid Al-Bistami adalah tokoh sufi abad ke-3. Ia lahir pada 804/188H dan wafat pada
875/261H. kakeknya seorang majusi, tetapi kedua orang tuannya adalah penganut islam yang
sholeh dan wara (sederhana dan mementingkan halalnya rezeki). Al-Bistami hampir
sepanjang hidupnya menetap di kota kelahirannya, Bistam (ditenggara laut kaspia, Iran).
Pada masa mudanya ia mendalami Al-Quran dan Hadis. Ia juga menekuni fiqih dan
mendalami tasawuf. Setelah menjalani tasawuf ia dikenal sebagai sufi yang sangat
memperhatikan syariat/keteladanan Nabi Muhammad SAW. Hal ini terlihat dari salah satu
nasehatnya: Kalau anda melihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat, seperti
duduk bersila di udara. Maka janganlah anda terpedaya olehnya. Perhatikanlah apakah ia
melaksanakan suruhan, menjauhi larangan dan menjaga batas-batas syariat
Ajaran yang sudah masyhur (terkenal) di hubungkan kepada Al-Bistami adalah ajaran tentang
fana (kesirnaan), baqa (kekekalan) dan ittihad (bersatu) dengan Tuhan. Ketiganya
merupakan aspek dari satu pengalaman yang terjadi setelah tercapainya marifat.
Yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya kesadaran diri seorang sufi tentang alam ini,
termasuk tentang dirinya sendiri. Al-Bistami pernah mengatakan bahwa ketika ia naik haji
untuk pertama kali, yang ia lihat adalah bangunan Kabah dan diriya. Kemudian ia naik
haji lagi maka selain melihat bangunan Kabah dan dirinya, ia merasakan Tuhan Kabah.
Pada haji yang ke-3, ia tidak merasakan apa-apa lagi kecuali tuhan Kabah.
Al-Bistami dicatat pernah berkata. Hari pertama aku zuhud terhadap dunia dan segala isinya.
Pada hari ke-dua aku zuhud kepada kahirat dan segala isinya. Pada hari ke-tiga aku zuhud
kepada apa saja selain Allah. Pada hari ke-empat tidak ada yang tinggal bagiku kecuali Allah.
Gambaran Al-Bistami tersebut biasanya disebut fana. Kemanapun ia menghadapkan
mukanya, yang terlihat oleh mata hatinya hanya Allah SWT. Matahatinya yang menghadap ke
wilayah gaib terbuka, sedang yang menghadap ke wilayah empiris menjadi tertutup. Hanya
Allah yang berada dalam kesadarannya, sedang yang lainnya lenyap sama sekali dari
kesadarannya. Dalam keadaan fana itulah ia berkata Yang ada dalam jubah ini
hanyalah Allah
Dengan terjadinya fana itu terjadi pulalah Baqa,. Kesadaran tentang selain Allah sirna (fana),
tapi kesadaran tentang Allah semata terus belangsung (baqa).
Kata Al-Bistami Ia telah membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati. Kemudian Ia
membuat aku gila pada diriNya dan aku pun hidup. Aku berkata: gila pada diriku adalah
kehancuran sedang gila padaMu adalah kelanjutan hidup (baqa).
Al-Bistami juga berkata Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, sampai aku hancur, kemudian
aku tahu padaNya melalui diriNya. Maka aku hidup.

Di lihat dari sisi lain apa yang disebut fana dan baqa itu dapat pula disebut ittihad (bersatu)
dengan Tuhan. Ia yang merasa hidup dan tenggelam dalam lautan ketuhanan, akan merasa
seperti besi yang berada dalam lautan api. Ia merasa penuh dengan sifat-sifat ketuhanan.
Keadaan ittihad itu tergambar dalam ungkapan Al-Bistami:Aku adalah Engkau.
Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau konversasi pun terputus kata menjadisatu,
bahkan seluruhnya menjadi satu.
Uangkapan-ungkapan inilah yang dianggap menyeleweng oleh ulama yang bukan sufi.

Referensi: IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: DJambatan, 1992),
hal-47

You might also like