Professional Documents
Culture Documents
Berbagai penemuan dari studi klinis dan preklinis menunjukkan bahwa sistem neurotransmitter
asam amino berhubungan dengan patofisiologi dan pengobatan dari mood disorders. Beberapa
studi yang menggunakan magnetic resonance spektroskopi in vivo serta pengukuran secara
periferal dan postmortem telah menunjukkan bukti bahwa terdapat perubahan fungsi
glutamatergik pada pasien depresi. Sesuai dengan hasil observasi ini, modulator glutamat
seperti riluzol, ketamin, dan lamotrigine telah menunjukkan efek antidepresif dan antianxietas
pada hewan percobaan dan studi- studi klinis. Studi yang menunjukkan abnormalitas sel glia
yang signifikan pada beberapa regio otak dari pasien yang mengalami gangguan emosi dapat
menjadi petunjuk dari hubungan patofisiologi antara fungsi glutamatergik yang abnormal pada
gangguan emosi.
Introduction
Telah banyak yang mencoba mempelajari efek glutamat dalam patofisiologi dan pengobatan dari
penderita gangguan emosi. Hal ini dilakukan karena sebagian besar pasien depresi gagal
mencapai remisi penuh dengan pengobatan antidepresan yang ada sekarang, seperti monoamine
oxidase inhibitors, tricyclics, dan selective serotonin reuptake inhibitors. Ditambah lagi, biasanya
efek terapi dari obat- obatan jenis ini lambat, sehingga diperlukan 5 minggu pengobatan teratur.
Beberapa bukti menunjukan bahwa disregulasi sistem glutamatergik mempengaruhi patofisiologi
dan pengobatan pasien depresi berat dan gangguan mood lainnya. Artikel ini mereview studistudi yang menyelidiki efek sistem glutamatergik dalam patofisiologi gangguan mood dan
memeriksa efesiensi dari glutamate modulating agents pada pasien dengan gangguan mood. Pada
akhirnya, sebuah model patofisiologi dari depresi berat berdasarkan pada data yang ada
ditampilkan sebagai usaha untuk membuktikan bahwa glutamatergik berpengaruh pada gangguan
mood.
dari glutamat extraseluler,yang penting dalam mencegah keracunan, dan dalam mempertahankan
fungsi- fungsi fisiologis.
Synaps glutamat diambil oleh transporter glutamat afinitas tinggi, biasa dikenal sebagai
excitatory amino acid transporters (EAATs). EAAT subtipe 1 dan 2 terdapat pada sel glia dan
memindahkan sebagian besar glutamat dari synaps, sementara EAAT subtipe 3 dan 4 terdapat
pada sel neuronal, dan di regio spesifik otak, yang juga berfungsi membersihkan glutamat.
Glutamat yang diambil oleh EAAT 1 / 2 ke sel glia dikonvert menjadi glutamine oleh glutamine
sintetitase. Glutamine kemudian dilepaskan oleh glia dan dibawa menuju terminal neuronal lalu
dikonversikan kembali menjadi glutamat dan disimpan di vesikel. Proses ini, yang disebut
glutamat/glutamine cycle berhubungan dengan konsumsi energi di otak.
NMDA, termasuk ligands glutamat, glycine, polyamine, bivalent cation, dan ionophore
recognition sites, mempunyai sifat antidepresan dan anxiolitik pada tikus dan mencit(tabel 1).
Terlebih lagi, studi preklinik lain menunjukkan banyak kelas antidepresan yang memodulasi
aktivitas reseptor NMDA. Sehingga, walaupun pada antidepresan klasik, mungkin efek pada
reseptor NMDA berkontribusi terhadap mekanisme antidepresan.
immobilitas yang berkurang. Riluzole yang juga dipercaya mempunyai efek glutamate- release
inhibitor telah terlihat mempunyai efek pada sintesis faktor neurotropik. Pada sebuah studi,
riluzole mengantagonis efek anxiogenik dari -carboline derivative FG7142, yang merupakan
inverse agonis dari reseptor ionophore GABA-benzodiazepine-chloride. Sebagai tambahan,
sebuah studi baru menunjukan bahwa ceftriaxone, golongan beta laktam yang meningkatkan
penyerapan glutamat mempunyai efek antidepresan pada mencit.
There appears to be a trend showing elevated plasma and cerebrospinal fluid glutamate levels in
depressed patients, but this is difficult to disentangle from the treatment effects.59 In vivo
measures of excitatory amino acids in the brain can be made with the use of proton magnetic
resonance spectroscopy (1H-MRS). However, using standard clinical field strength magnets, the
visibility of these metabolites is limited by several factors that make it extremely difficult to
assign unequivocal resonance peaks. This has led to the use of a combined measure, termed Glx,
including glutamate, glutamine, and GABA, of which the greatest proportion reflects the
glutamate concentration. In a unique study, Cousins and Harper60 used this methodology to
demonstrate temporary decreases in Glx levels coinciding with a patients transient experience of
suicidal depression following paclitaxel and filgrastim chemotherapy. A preliminary study also
showed a similar decrease in baseline anterior cingulate Glx levels that later increased following
treatment with ECT.61 Reduced glutamate content was also recently reported in the ventral
medial and dorsal medial prefrontal cortex.62
Elevated levels of Glx were found in both the frontal lobe and basal ganglia of depressed bipolar
children compared to a control group.63 A recently completed 1H-MRS study of 29 depressed
subjects and 28 healthy comparison subjects demonstrated significantly increased cortical
glutamate levels in the occipital region of depressed subjects. Similar to findings of reduced
GABA concentrations, the increased glutamate concentrations appeared especially evident in the
subgroup of melancholic subjects.64
In summary, studies strongly suggest that abnormalities exist within the glutamatergic system of
MDD patients; however, the extent and direction of the changes are still to be determined.
Glutamate-Release Inhibitors
Lamotrigine, sebuah agen antikonvulsi, direkomendasikan guidelines tahun 2002 dari American
psychiatric association sebagai terapi lini pertama pada depresi bipolar akut dan sebagai salah
satu opsi terapi maintenance. Lamotrigine dipercaya menginhibisi pelepasan berlebihan glutamat
dengan cara inhibisi channel Na, channel calsium tipe P dan N, dan channel potasium. Beberapa
studi yang lebih baru mengusulkan penggunaan riluzone, yang dipercaya dapat mengurangi
pelepasan glutamat sekaligus memfasilitasi penyerapan glutamat, yang mempunyai efek
antidepresan dan anxiolotik (tabel 3)
Kesimpulan
Banyak bukti yang menghubungkan sistem AANt pada patofisiologi gangguan mood dan
mekanisme aksi antidepresan. Studi preklinik menunjukkan efek stress dari neurotransmisi
glutamat dapat berkontribusi terhadap patogenesis dan patofisiologi dari gangguan mood. Studi
preklinik lain menunjukan kemampuan dari agen glutamatergik dalam mengubah respon tingkah
laku dalam beberapa mencit yang digunakan untuk memeriksa aktivitas obat antidepresan dan
anxiolytic. Pada manusia, penemuan dari efek mood-stabilizer dari lamotrigine ditambah dengan
penemuan abnormalitas glutamat pada otak dan jaringan perifer pada pasien dengan gangguan
mood telah menstimulasi ketertarikan akan kemungkinan penggunaan agen glutamanergis pada
pengobatan gangguan mood. Studi awal dengan riluzol dan ketamin mendukung teori ini.
Namun, perlu dilakukan riset lebih mendalam sebelum efek klinis yang sebenarnya dari
pengobatan dengan agen glutamanergis ini bisa benar benar ditentukan.