Professional Documents
Culture Documents
HELLP SYNDROME
HUBUNGAN HPV DENGAN SERVIKS
PERSALINAN LETAK SUNGSANG
130112140678
Tugas Dokter Muda Departemen Obstetri dan Ginekologi
Periode 18 Agustus 16 Oktober 2015
Definisi
Penyakit trofoblas gestasional atau Gestational trophoblastic disease (GTD) merupakan sebuah spektrum tumor-tumor
plasenta terkait kehamilan, termasuk mola hidatidosa, mola invasif, placental-site trophoblastic tumor dan koriokarsinoma, yang
memiliki berbagai variasi lokal invasi dan metastasis
2.
Kriteria Diagnosis
Menurut The International Federation of Gynecology and Oncology (FIGO) menetapkan beberapa kriteria yang dapat
Menetapnya kadar Beta HCG pada empat kali penilaian dalam 3 minggu atau lebih (misalnya hari 1,7, 14 dan 21)
Kadar Beta HGC meningkat >10% pada tiga pengukuran berturut-turut setiap minggu atau lebih (misalnya hari 1,7 dan
3.
4.
14)
Tetap terdeteksinya kadar Beta HCG sampai 6 bulan atau lebih
Kriteria histologist untuk korioarsinoma
Secara histopatologis pembakuan istilah yang dianjurkan WHO adalah sebagai berikut: 2
1.
2.
3.
4.
Stadium III
Stadium IV
Ada beberapa sistem yang digunakan untuk mengkategorikan penyakit trofoblas ganas. Semua sistem mengkorelasikan
antar gejala klinik pasien dan risiko kegagalan pada kemoterapi. Sistem Skoring FIGO tahun 2000 merupakan modifikasi sistem
skoring WHO. Perhitungang faktor prognostic dengan skor 0-6 dianggap sebagai pasien dengan resiko rendah, sedangkan dengan
skor >7 maka dianggap sebagai beresiko tinggi
Tabel II : Skoring faktor risiko menurut FIGO (WHO) dengan staging FIGO
Skor faktor risiko menurut FIGO 0
< 40
Kehamilan sebelumnya
Mola
>=40
<4
Abortus
4-6
Aterm
7-12
>12
< 103
103-104
3-4
uterus
Lokasi metastasis, termasuk uterus Paru-paru
>104-105
> 5 cm
>105
-
Otak, hepar
gastrointestinal
Jumlah metastasis yang
diidentifikasi
Kegagalan kemoterapi sebelumnya -
3.
1-4
5-8
>8
Agen tunggal
Agen multipel
Patologi
Kehamilan mola dan neoplasma trofoblastik gestasional semuanya berasal dari trofoblas plasenta. Trofoblas normal
tersusun dari sitotrofoblas, sinsitiotrofoblas, dan trofoblas intermediet. Sinsitiotrofoblas menginvasi stroma endometrium dengan
implantasi dari blastokista dan merupakan sebuah tipe sel yang memproduksi human chorionic gonadotropin (hCG). Fungsi
sitotrofoblas adalah untuk menyuplai sinsitium dengan sel-sel sebagai tambahan untuk pembentukan kantong luar yang menjadi
vili korion sebagai pelindung kantung korion. Vili korion berbatasan dengan endometrium dan lamina basalis dari endometrium
membentuk plasenta fungsional untuk nutrisi fetal-maternal dan membuang sisa-sisa metabolisme. Trofoblas intermediet terletak
di dalam vili, tempat implantasi, dan kantong korion. Semua tipe dari trofoblas dapat mengakibatkan penyakit trofoblas
gestasional ketika mereka berproliferasi.
Gambaran Klinikopatologi Dari Penyakit Trofoblastik Gestasional
Penyakit trofoblas
Gambaran Patologi
Gambaran Klinis
gestasional
Mola
hidatidosa
komplit
Fetus/Embrio (-)
komplikasi medis
XXX)
Fetus/Embrio abnormal
Mola
hidatidosa
parsial
Khoriokarsinoma
PSTT
Vili membengkak
Trofoblast hiperplasia
Hiperplasia
dan
anaplasia
trofoblast abnormal
jauh_ paru/otak/liver
Vili (-)
Penyakit ganas
Sangat jarang
myometrium
melalui
invasi
vascular/limfatik
sebagai indikator
Kemoresistensi relatif
Kurang perdarahan/nekrosis
Pengobatan : pembedahan
A.
Mola Hidatidosa
Mola hidatidosa mengacu pada kehamilan abnormal yang ditandai dengan berbagai tingkat proliferasi trofoblas
(sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas) dan pembengkakan vesikuler dari vili plasenta yang berhubungan dengan ketidakadaan atau
abnormalitas fetus/embrio.
Mola hidatidosa komplit menjalani pembesaran hidatidosa awal yang seragam dari vili dengan tidak adanya fetus atau
embrio yang pasti, trofoblas secara konsisten hiperplastik dengan berbagai tingkat atipia, dan vili kapiler tidak ada. Hampir 90%
dari mola hidatidosa komplit adalah 46, XX, berasal dari duplikasi kromosom dari sperma haploid setelah fertilisasi telur dimana
kromosom maternal inaktif atau absen.
10% dari mola hidatidosa adalah 46, XY, atau 46, XX, sebagai hasil dari fertilisasi ovum kosong oleh 2 sperma
(dispermi). Neoplasia trofoblastik (mola invasif atau koriokarsinoma) mengikuti mola hidatidosa komplit pada 15-20% kasus.
Mola hidatidosa parsial menunjukkan jaringan fetal atau embrionik yang teridentifikasi, vili korion dengan edema fokal yang
bervariasi dalam bentuk dan ukuran, scalloping dan inklusi stroma trofoblastik yang menonjol, sirkulasi vili yang berfungsi,
sebagaimana hiperplasia trofoblastik fokal dengan hanya atipia ringan
Sebagian mola parsial memiliki kariotipe triplet (biasanya 69, XXY), sebagai hasil dari fertilisasi ovum normal oleh 2
sperma. Kurang dari 5% mola parsial akan berkembang menjadi postmola GTN; metastasis jarang terjadi dan diagnosis
histopatologi dari koriokarsinoma belum pernah dikonfirmasi setelah mola parsial.
B.
Mola Invasif
Merupakan tumor jinak yang timbul dari invasi myometrial terhadap mola hidatidosa melalui perluasan langsung
menembus jaringan atau saluran vena. Mola invasif lebih sering didiagnosis secara klinis daripada patologi berdasarkan kenaikan
hCG yang menetap setelah evakuasi mola dan lebih sering diobati dengan kemoterapi tanpa diagnosis histopatologi
C.
Koriokarsinoma
Merupakan suatu penyakit keganasan yang ditandai dengan hiperplasia trofoblastik abnormal dan anaplasia,
ketidakadaan vili korion, perdarahan, dan nekrosis, dengan invasi langsung ke miometrium dan invasi vaskular yang
mengakibatkan penyebaran ke tempat-tempat yang jauh, paling sering ke paru, otak, hati, pelvis dan vagina, ginjal, usus, dan
limpa. Koriokarsinoma telah dilaporkan berhubungan dengan setiap kejadian kehamilan,
D.
trofoblas mononuklear intermediet tanpa infiltrasi vili korion di dalam lembaran-lembaran atau tali-tali antara serat-serat
myometrial. PSTT berhubungan dengan invasi vaskular yang kurang, nekrosis, dan perdarahan yang lebih dari koriokarsinoma,
dan memiliki kecenderungan untuk bermetastase ke sistem limfatik. Pewarnaan imunohistokimia memperlihatkan adanya
sitokeratin yang difus dan laktogen plasenta manusia, dimana hCG hanyalah fokal.
E.
morfologi dan histokimia, kelihatannya ini berkembang dari transformasi neoplastik trofoblas intermediet tipe korionik. Sebagian
besar ETT timbul beberapa tahun setelah persalinan aterm.
4.
Presentasi Klinis
A.
gestasi. Gejala dan tanda klinis klasik lain seperti pembesaran uterus lebih dari usia gestasi yang diperkirakan, hiperemesis, dan
hipertensi yang diinduksi kehamilan pada trimester pertama dan kedua. Pembesaran kista teka lutein ovarium bilateral terjadi pada
sekitar 15% kasus, kadar hCG sering > 100.000 mIU/mL, dan detak jantung fetus tidak ada. Selain itu tanda dan gejala dari
hipertiroidisme dapat muncul akibat stimulasi kelenjar tiroid oleh kadar sirkulasi hCG atau oleh substansi penstimulasi tiroid
(seperti, tirotropin) yang tinggi yang diproduksi oleh trofoblas.
B.
Mola parsial
Lebih dari 90% pasien dengan mola parsial mempunyai gejala seperti abortus inkomplit atau missed abortion, dan
diagnosis dibuat setelah pemeriksaan histologi post kuretase. Gejala utama mola parsial adalah perdarahan pervaginam.
Pembesaran uterus berlebihan, hiperemesis, hipertensi yang diinduksi kehamilan, hipertiroidisme, dan yang jarang adalah adanya
kista teka lutein. Kadar hCG peevakuasi mola >100.000mIU/mL pada <10% pasien dengan mola parsial.
C.
ireguler setelah evakuasi mola hidatidosa. Tanda yang menunjukkan neoplasia trofoblas gestasional postmolar adalah pembesaran
ireguler uterus dan pembesaran ovarium bilateral persisten. Lesi metastasis ke vagina dapat terlihat saat evakuasi, kerusakan lesi
tersebut dapat menyebabkan perdarahan yang tak terkontrol.
Korioarsinoma yang berhubungan dengan kehamilan non mola tidak mempunyai karakteristik gejala dan tanda, dimana
hal ini berhubungan dengan invasi tumor ke uterus atau tempat metastasis. Perdarahan karena perforasi uterus atau lesi metastasis
dapat menyebabkan nyeri abdomen, hemoptisis, melena, atau adanya peningkatan tekanan intracranial dari perdarahan
intraserebral menyebabkabkan sakit kepala, kejang atau hemiplegia. Pasien mungkin juga dapat menunjukkan gejala pulmonal
seperti dipsnea, batuk, dan nyeri dada, yang disebabkan metastasis ke paru.
PSST dan ETT hampir selalu menyebabkan perdarahan uterus ireguler sering jauh dari kehamilan mola sebelumnya, dan
jarang virilisasi dan sindrom nefrotik. Uterus biasanya membesar secara simetris, dan kadar hCG serum hanya sedikit meningkat
5.
Diagnosis
6.
Ultrasonografi
Human Chorionic Gonadotropin
Diagnosis patologi
Penatalaksanaan Gestastional Trophoblastic Neoplasia / Gestastional Trophoblastic Tumor
Manajemen optimal GTT memerlukan evaluasi menyeluruh dari luasnya penyakit sebelum pengobatan. Penyelidikan
Metastasis harus mencakup roentgenogram dada, ultrasonografi dari perut dan panggul, dan computed tomography (CT) atau
magnetic resonance imaging (MRI) kepala
HELLP SYNDROME
1.
Pendahuluan
Sindrom Hemolysis Elevated Liver enzymes Low Platelets (HELLP) merupakan suatu komplikasi obstetri yang dapat
membahayakan nyawa. Sindrom HELLP biasanya dihubungkan dengan kondisi pre eklampsia.
Manifestasi klinis pasien dengan sindrom HELLP sangat bervariasi. Secara umum terjadi pada kehamilan multipara,
wanita kulit putih, dengan usia kehamilan minimal 35 minggu. Sebanyak 20% kasus tidak disertai hipertensi, 30% disertai
hipertensi sedang, dan 50% kasus disertai hipertensi berat. Gejala lainnya adalah nyeri kepala, pandangan kabur, malaise,
mual/muntah, nyeri di sekitar perut atas, dan parestesia. Kadang-kadang bisa juga disertai edema
Kriteria sindrom HELLP adalah Hemolytic Anemia, Elevated Liver enzymes, Low Platelet count. Komplikasi yang dapat
menyertai adalah terlepasnya plasenta (abruption), edema paru-paru, acute respiratory distress syndrome (ARDS), hematom pada
hati dan pecah, gagal ginjal akut, disseminated intravascular coagulation (DIC), eklampsia, perdarahan intraserebral, dan
kematian maternal.
2.
kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sindrom ini merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan
kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi
trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel
Aktivasi platelet akan menyebabkan pelepasan tromboksan A dan serotonin, dan menyebabkan terjadinya vasospasme,
aglutinasi, agregasi platelet, serta kerusakan endotelial lebih lanjut. Kaskade ini hanya bisa dihentikan dengan terminasi kehamil
Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemi hemolitik mikroangiopati merupakan tanda khas. Sel darah merah
terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah tepi
ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular cells dan burr cells.
Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid.
Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom
subkapsular atau ruptur hati. Nekrosis periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang paling sering
ditemukan.
Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan/atau destruksi trombosit.
3.
Faktor Risiko
4.
Manifestasi Klinis
Pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual
dan muntah (50%), yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat malaise selama
beberapa hari sebelum timbul tanda lain.
Mual dan/atau muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat
oleh deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan
udem menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160 mmHg, diastolik 110 mmHg) tidak selalu
ditemukan.
5.
Klasifikasi
6.
Diagnosis
7.
Penatalaksanaan
Human Papillomavirus
Human papillomavirus (HPV) merupakan double-stranded DNA virus yang meninfeksi jaringan epitel mukosa dan
Pathophysiology
Papillomaviruses are nonenveloped viruses of icosahedral symmetry with 72 capsomeres that surround a genome containing
double-stranded circular DNA with approximately 8000 base pairs. Their genome is divided into the following 3 major functional
regions:
The early (E) region codes for 6 nonstructural genes, several of which are associated with cellular transformation.
The late (L) region codes for 2 structural proteins, L1 and L2, that form the capsid
The long control region is a noncoding region that regulates replication and gene function
Papillomaviruses are highly species-specific and do not infect other species, even under laboratory conditions. Humans are
the only known reservoir for HPV. Papillomaviruses have never been grown in vitro but have been characterized by molecular
methods. These viruses are classified by the molecular similarity of their genetic material and are assigned a genotype number.
Although some overlap exists, most papillomaviruses have distinct anatomic predilections, infecting only certain epidermal
sites, such as skin or genital mucosa. The virus has the potential to integrate into host DNA, frequently with the loss of the early
regulatory function.
HPV infects the basal keratinocyte of the epidermis, presumably through disruptions of the skin or mucosal surface. At this
location, the virus remains latent in the cell as a circular episome in low copy numbers. Autoinoculation of virus into opposed
lesions is common. Spread of HPV infection is usually through skin-associated virus and not blood-borne infection. Cell-mediated
immunity (CMI) probably plays a significant role in wart regression; patients with CMI deficiency are particularly susceptible to
HPV infection and are notoriously difficult to treat.
Papillomaviruses are thought to have 2 modes of replication:
As the epidermal cells differentiate and migrate to the surface, the virus is triggered to undergo replication and maturation,
and at the keratitic layer, the virus is present in high copy numbers and is shed in the exfoliation cells. The process of virus
replication alters the character of the epidermis, resulting in cutaneous or mucosal excrescences known as warts.
Note the figures below detailing the mechanisms of action for HPV.
Although all cells of a lesion contain the viral genome, the expression of viral genes is tightly linked to the state of
cellular differentiation. Most viral genes are not activated until the infected keratinocyte leaves the basal layer. Production of virus
particles can occur only in highly differentiated keratinocytes; therefore, virus production occurs only at the epithelial surface
where the cells are ultimately sloughed into the environment.
HPV infections have not been shown to be cytolytic; rather, viral particles are released as a result of degeneration of
desquamating cells. The HPV virus can survive for many months and at low temperatures without a host; therefore, an individual
with plantar warts can spread the virus by walking barefoot.
Viral multiplication is confined to the nucleus. Consequently, infected cells exhibit a high degree of nuclear atypia.
Koilocytosis (from Greek koilos empty) describes a combination of perinuclear clearing (halo) with a pyknotic or shrunken
(raisinoid) nucleus and is a characteristic feature of productive papillomavirus infection.
Numerous viral genotypes have the potential to transform cells and are associated with epidermal malignancies. In benign or lowrisk HPV lesions, such as those typically associated with HPV types 6 and 11, the HPV genome exists as a circular episomal DNA
separate from the host cell nucleus. In malignant lesions, the genomes of high-risk HPV types 16 and 18 are typically integrated
into the host cell DNA. Integration of the viral genome into the host cell genome is considered a hallmark of malignant
transformation. Infection with HPV is the primary cause of cervical cancer. As the CIN lesions become more severe, the
koilocytes disappear, the HPV copy numbers decrease, and the capsid antigen disappears, indicating that the virus is not capable
of reproducing in less differentiated cells. Instead, portions of the HPV DNA become integrated into the host cell. Integration of
the transcriptionally active DNA into the host cell appears to be essential for malignant transformation
HPV proteins E6 and E7 of high-risk serotypes have been shown to inactivate the hosts tumor suppressor proteins p53
and Rb, thereby resulting in unregulated host cell proliferation and malignant transformation.
3.
The concept of cervical intraepithelial neoplasia (CIN) was introduced in 1968, when Richart suggested that dysplasias
have the potential for progression. Most untreated CIN 1 and some CIN 2 lesions regress spontaneously; nevertheless, high-grade
CIN refers to a lesion that may progress to invasive carcinoma when left untreated. Proliferating metaplasia without mitotic
activity should not be called dysplasia or CIN because it does not progress to invasive cancer
The criteria for the diagnosis of intraepithelial neoplasia may vary according to the pathologist, but the significant
features are cellular immaturity, cellular disorganization, nuclear abnormality, and increased mitotic activity. The extent of the
mitotic activity, immature cellular proliferation, and nuclear atypia identifies the degree of neoplasia. If the presence of mitoses
and immature cells is limited to the lower third of the epithelium, the lesion usually is designated as CIN 1. Involvement of the
middle and upper thirds is diagnosed as CIN 2 and CIN 3, respectively.
4.
to fill with glycogen. Lactobacilli act on the glycogen to lower the pH, stimulating the subcolumnar reserve cells to undergo
metaplasia.
Metaplasia advances from the original SCJ inward, toward the external os and over the columnar villi. This process
establishes an area called the transformation zone. The transformation zone extends from the original SCJ to the physiologically
active SCJ, as demarcated by the squamocolumnar junction. In most cases, CIN is believed to originate as a single focus in
thectransformation zone at the advancing SCJ. The anterior lip of the cervix is twice as likely to develop CIN as the posterior
lip, and CIN rarely originates in the lateral angles. CIN is most likely to begin either during menarche or after pregnancy,
when metaplasia is most active. Conversely, after menopause a woman undergoes little metaplasia and is at a lower risk of
developing CIN from de novo human papillomavirus (HPV) infection
1.1.
LETAK SUNGSANG
A)
DEFENISI
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang / membujur dengan kepala di fundus uteri dan
2.
3.
Presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (incomplete or footlink) : 10 - 30 %.
Gambar 1.
Berbagai Posisi
Letak Sungsang
2.
A.
PENATALAKSANAAN
Dalam Kehamilan
Pada umur kehamilan 28 30 minggu, mencari kausa daripada letak sungsang yakni dengan USG, seperti plasenta previa,
kelainan congenital, kehamilan ganda, kelainan uterus, dan lain-lain. Jika tidak ada kelainan pada hasil USG, maka dilakukan
knee chest position atau dengan versi luar (jika tidak ada kontraindikasi)
Versi luar sebaiknya dilakukan pada kehamilan 34-38 minggu. Pada umumnya versi luar sebelum minggu 34 belum perlu
dilakukan karena kemungkinan besar janin dapat memutar sendiri, sedangkan setelah minggu ke 38 versi luar sulit dilakukan
karena janin sudah besar dan jumlah air ketuban relative telah berkurang. Sebelum melakukan versi luar diagnosis letak janin
harus pasti sedangkan denyut jantung janin harus dalam keadaan baik.
Panggul sempit
2.
Perdarahan antepartum
3.
Hipertensi
4.
Hamil kembar
5.
Plasenta previa.
Keberhasilan versi luar 35-86% (rata-rata 58%). Peningkatan keberhasilan terjadi pada multiparitas, usia kehamilan, frank
breech, letak lintang. Newman membuat prediksi keberhasilan versi luar berdasarkan penilaian Bhisop skor (Bhisop-like score).
Pembukaan serviks
1-2
3-4
5+
Panjang serviks
Station
-3
-2
-1
+1, +2
Kaku
Sedang
Lunak
Konsistensi
Position
Posterior
Mid
Anterior
Artinya : keberhasilan 0% jika nilai < 2 dan 100% jika nilai > 9.
Kalau versi gagal karena penderita menegangkan otot-otot dinding perut, penggunaan narkosis dapat dipertimbangkan, tetapi
kerugiannya antara lain :
1.
2.
3.
2.
Pelvimetri,
3.
4.
5.
Tidak ada riwayat seksia sesaria dengan indikasi CPD (Cephalo-Pelvic Disproportion),
6.
Kepala fleksi.
Persalinan bokong
a.
b.
Setelah trochanter belakang mencapat dasar panggul, terjadi putaran paksi dalam sehingga trochanter depan berada di
bawah simphisis, (Gambar 2A)
c.
Penurunan bokong dengan trochanter belakangnya berlanjut, sehingga distansia bitrochanterica janin berada di PBP.
(GAmbar 2B)
d.
e.
Setelah trochanter belakang lahir, terjadi fleksi lateral janin untuk persalinan trochanter depan, sehingga seluruh bokong
janin lahir, (Gambar 2C)
f.
Terjadi putaran paksi luar, yang menempatkan punggung bayi ke arah perut ibu,
g.
Penurunan bokong berkelanjutan sampai kedua tungkai bawah lahir. (Gambar 2D)
(A)
(B)
(C)
(D)
Gambar 2. Mekanisme persalinan bokong
2.
3.
Persalinan bahu
a.
b.
c.
Terjadi putaran paksi dalam yang menempatkan bahu depan di bawah symphisis dan bertindak sebagai hipomoklion,
d.
e.
Penurunan dan persalinan bahu depan diikuti lengan dan tangan depan sehingga seluruh bahu janin lahir,
f.
g.
Persalinan kepala
a.
Kepala janin masuk PAP dalam keadaan fleksi dengan posisi dagu berada di bagian posterior,
b.
Setelah dagu mencapai dasar panggul, dan kepala bagian belakang tertahan oleh synphisis, kemudian terjadi putaran paksi
dalam dan menempatkan suboksiput sebagai hipomoklion,
c.
Persalinan kepala berturut-turut lahir : dagu, mulut, hidung, mata, dahi dan muka seluruhnya,
d.
Setelah muka lahir, badan bayi akan tergantung sehingga seluruh kepala bayi dapat lahir,
e.
Setelah bayi lahir dilakukan resusitasi sehingga jalan napas bebas dari lender dan mekoneum untuk memperlancar
pernapasan.
Perawatan tali pusat seperti biasa. Persalinan ini berlangsung tidak boleh lebih dari 8 (delapan) menit.
3.
A.
Persalinan Pervaginam
Berdasarkan tenaga yang dipakai dalam melahirkan janin pervaginam, persalinan pervaginam dibagi menjadi 3, yaitu :
1.
Persalinan Spontan,
2.
Manual Aid,
3.
Ekstraksi Sungsang.
1. Persalinan Spontan
Persalinan spontan (spontaneous breech), janin dilahirkan dengan kekuatan dan tenaga ibu sendiri. Cara ini lazim disebut
Cara Bracht.
Tahapan :
1.
Tahap pertama : fase lambat, yaitu mulai melahirkan bokong sampai pusat (scapula depan).
2.
Tahapan kedua : fase cepat, yaitu mulai dari lahirnya pusat sampai lahirnya mulut.
3.
Tahapan ketiga : fase lambat, yaitu mulai dari lahirnya mulut sampai seluruh kepala lahir.
Teknik :
1.
Sebelum melakukan pimpinan persalinan, penolong harus memperhatikan sekali lagi persiapan untuk ibu, janin, maupun
penolong. Pada persiapan kelahiran, janin harus selalu disediakan Cunam Piper.
2.
Ibu tidur dalam posisi litotomi, sedangkan penolong berada di depan vulva. Ketika timbul His, ibu disuruh mengejan dan
merangkul kedua pangkal paha. Pada saat bokong mulai membuka vulva (crowning) disuntikkan 2 - 5 unit Oksitosin i.m.
3.
Episiotomy dikerjakan saat bokong membuka vulva. Segera setelah bokong lahir, bokong dicengkram secara Bracht, yaitu
kedua ibu jari penolong sejajar sumbu panjang paha, sedangkan jari-jari lain memegang panggul.
4.
Pada setiap His, ibu disuruh mengejan. Pada waktu tali pusat lahir dan tampak teregang, tali pusat dikendorkan. Kemudian
penolong melakukan hiperlordosis pada badan janin guna mengikuti gerakan rotasi anterior, yaitu punggung janin didekatkan
ke punggung ibu. Penolong hanya mengikuti gerakan ini tanpa melakukan tarikan, sehingga gerakan tersebut disesuaikan
dengan gaya berat badan janin. Bersamaan dengan dilakukannya hiperlordosis, seorang asisten melakukan ekspresi Kristeller
pada fundus uteri sesuai dengan sumbu panggul. Dengan gerakan hiperlordosis ini, berturut-turut lahir pusar, perut, badan,
lengan, dagu, mulut dan akhirnya kepala. (Gambar 3)
5.
Janin yang baru lahir segera diletakkan di perut ibu. Bersihkan jalan napas dan rawat tali pusat.
Keuntungan :
Dapat mengurangi terjadinya bahaya infeksi oleh karena tangan penolong tidak ikut masuk ke dalam jalam lahir. Dan cara ini
yang paling mendekati persalinan fisiologik, sehingga mengurangi trauma pada janin.
Kerugian :
Dapat mengalami kegagalan sehingga tidak semua persalinan letak sungsang dapat dipimpin secara Bracht. Terutama terjadi pada
keadaan panggul sempit, janin besar, jalan lahir kaku seperti pada primigravida, adanya lengan mengungkit atau menunjuk.
Tahap pertama : lahirnya bokong sampai pusar yang dilahirkan dengan kekuatan dan tenaga ibu sendiri.
2.
Tahap kedua : lahirnya bahu dan lengan yang memakai tenaga penolong.
Cara / teknik untuk melahirkan bahu dan lengan ialah secara :
3.
a.
Klasik (Deventer)
b.
Mueller
c.
Lovset
d.
Bickenbach
b.
Najouks
c.
d.
Parague terbalik
e.
Cunam Piper
Teknik :
Tahap pertama persalinan secara Bracht sampai tali pusar lahir. Tahap kedua melahirkan bahu dan lengan oleh penolong :
1. Cara Klasik
Prinsip : melahirkan lengan belakang terlebih dahulu, karena lengan belakang berada di ruang yang luas (sacrum), kemudian
melahirkan lengan depan yang berada di bawah symphisis.
Kedua kaki janin dipegang dengan tangan kanan penolong pada pergelangan kakinya dan dielevasi ke atas sejauh
mungkin sehingga perut janin mendekati perut ibu. Bersamaan dengan itu tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam jalan
lahir dan dengan jari tengah dan telunjuk menelusuri bahu janin sampai fossa cubiti kemudian lengan bawah dilahirkan dengan
gerakan seolah-olah lengan bawah mengusap muka janin.
Untuk melahirkan lengan depan, pergelangan kaki janin diganti dengan tangan kanan penolong dan ditarik cunam ke
bwah sehingga punggung janin mendekati punggung ibu.
Dengan cara yang sama lengan depan dilahirkan. Keuntungan cara klasik adalah pada umumnya dapat dilakukan pada
semua persalinan letak sungsang, tetapi kerugiannya lengan janin janin relatif tinggi di dalam panggunl, sehingga jari
penolong harus masuk ke dalam jalan lahir yang dapat menimbulkan infeksi.
Tangan penolong yang sesuai dengan muka janin dimasukkan ke dalam jalan lahir. Jari tengah dimasukkan ke dalam
mulut dan jari telunjuk, sementara jari keempat mencengkram leher. Badan anak diletakkan diatas lengan bawah penolong
seolah-olah janin menunggang kuda. Jari telunjuk dan jari ketiga penolong yang lain mencengkram leher janin dari punggung.
Kedua tangan penolong menarik kepala janin curam ke bawah sambil seorang asisten melakukan ekspresi kristeller. Tenaga
tarikan terutama dilakukan oleh penolong yang mencengkram leher janin dari arah punggung. Bila suboksiput tampak dibawah
symphisis, kepala dielevasi keatas dengan suboksiput sebagai hipomoklion sehingga berturut-turut dagu, mulut, hidung, mata,
dahi, ubun-ubun besar dan akhirnya seluruh kepala janin lahir.
0
Primi
Tidak
Nilai
1
Multi
1x
2
2x
TBBJ
Usia kehamilan
Penurunan
Pembukaan serviks
> 3650 gr
> 39 minggu
< -3
2 cm
< 3176 gr
< 37 minggu
-1 atau >
4 cm
Keterangan :
persalinan perabdominal.
evaluasi kembali secara cermat, khususnya BBJ, bila nilai tetap dapat dilahirkan pervaginam
>5
dilahirkan pervaginam.
Menimbulkan kecacatan pada otot rahim yang merupakan lokus minoris resistensi.
Terjadi infeksi
Perdarahan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Kenny
L,
Seckl
JM.
Treatments
for
gestational
trophoblastic
disease.
Diunduh
dari
:
http://medscape.com/viewarticle/718375 , 2 Mei 2010
Cunnigham F.G, Gant N.F, Leveno K.J, Gilstrap III L.C, Hauth J.C, Wenstrom KD. Williams Obstetrics 23 rd ed. 2010.
USA : The McGraw-Hill Companies.
Bangun TP, Agus S, editor. Ilmu kandungan sarwono prawirohardjo. Edisi ke-2. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo;2009.
Hernandez E. Gestational trophoblastic neoplasia. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/279116overview, 7 Oktober 2013.
Berkowits RS, Goldstein DP. Gestational trophoblastic disease. Diunduh dari: www.scribd.com, 1 Oktober 2013.
Lurain JR. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology, pathology, clinical presentation and diagnosis of
gestational trophoblastic disease, and management of hydatidiform mole. Diunduh dari: www.scribd.com, 29 September
2013.
Moore LE, Huh KW. Mola Hidatidiform. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/254657overview#showall, 30 Januari 2012.
Maulydia, Rahardjo. Sindrom HELLP, Eklampsia, dan Perdarahan Intrakranial. Majalah Kedokteran Terapi Intensif.
2012. Surabaya
Rambulangi. Sindrom HELLP. Cermin Dunia Kedokteran No.151. 2006
Emil Novak, Jonathan S Berek. Berek & Novak's gynecology. 15th ed: Lippincott Williams & Wilkins; 2014.
Kampono, Nugroho, dkk. 2008. Persalinan Sungsang. Available from : http://Geocities.com/abudims/cklobpt9.hmtl.
(Accessed : 10 Agustus 2012).
Manuaba, I.B. 1995. Persalinan Sungsang, dalam : Operasi Kebidanan Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Dokter
Umum. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 174-201.
Bari Saifuddin, Abdul, dkk. 2009. Malpresentasi dan Malposisi, dalam Ilmu kebidanan Sarsono Prawirahardjo, edisi
keempat, cetakan kedua. Jakarta : BT. Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo, 581-597.
Mochtar, Rustam. 1998. Letak Sungsang, dalam Sinopsis Obstetri, edisi kedua, jilid 1. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 350-365.