You are on page 1of 25

Subhanallah!

10 Anak Gubernur Sumatera Barat Semua Hafidz Quran


Sering kita dengar orang bijaksana berungkap, Di balik suksesnya seorang lelaki,
ada wanita hebat dibelakangnya.
Jika ada lelaki yang menjadi pemimpin besar, motivator hebat, tokoh ternama dan
pengusaha sukses, maka pasti ada peran besar di belakangnya, maka beruntung
sekali Irwan Prayitno yang sekarang menjabat sebagai Gubernur Sumatra Barat
periode 2010-2015 (dan kini maju lagi dalam pilgub 2015) ini memiliki seorang istri
yang tangguh. Ini terbukti, istrinya mampu mendorongnya untuk sukses di bidang
yang digelutinya.
Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu
ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan
jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka). Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya
hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala
yang besar. (QS. At Taghaabun: 14-15).
Menurut Wahbah az-Zuhaili, seorang fuqaha Suriah kenamaan, yang dimaksud
musuh di sini adalah permusuhan dalam urusan akhirat, terkait sesuatu yang tidak
bermanfaat bagi kalian. Mereka menyibukkan seorang laki-laki dari kebaikan dan
amal saleh yang berguna bagi kalian di akhirat.
Maka waspadalah agar cinta dan kasih sayang sebagai seorang suami dan ayah
kepada mereka tidak mempengaruhi ketaatan kepada Allah SWT. Kemudian Allah
menganjurkan untuk memberi maaf kepada mereka.
Irwan menikah di usia muda dengan sesama aktivis dalam rangka mempercepat
dakwah Islam. Kedewasaan, dinamika kehidupan dan kesamaan pemikiran
membentuk pasangan muda ini menjadi keluarga yang harmonis dan bahagia.
Sang istri, Hj Nevi Zuairina yang lahir pada 20 September 1965. Irwan dan Nevi
memiliki 10 orang anak, yaitu Jundy Fadhlillah, Waviyatul Ahdi, Dhiyau Syahidah,
Anwar Jundi, Atika, Ibrahim, Shohwatul Ishlah, Farhana, Laili Tanzila dan si bungsu
Taqiya Mafaza.
Kesepuluh anaknya memiliki prestasi tersendiri. Di antaranya ada yang menjadi
juara umum di sekolahnya. Anak-anak Irwan juga semua didik untuk menghafal Al
Quran sejak dini sehingga menjadi hafiz Quran.
Putra pertama mereka Jundy Fadhlillah telah menyelesaikan studi MBA di Boston
Amerika, dan telah bekerja di perusahaan energi di Jakarta.
Putri ke 2 Waviyatul Ahdi telah menyelesaikan studinya di Fakultas Kedokteran Gigi
UI, putri ke 3 Dhiyau Syahidah telah menyelesaikan studinya di Institut Teknologi
Bandung dan sekarang menyelesaikan S2 di Westminster University UK.
1

Putra ke empat mereka Anwar Jundi kuliah di Institut Pertanian Bogor, Atika, putri ke
5 kuliah di FE UI, Ibrahim kuliah di Jurusan Teknik Kimia UI, Shohwah dan Farhana di
SMA 1 Padang. Dua orang lainnya masih sekolah di SMP dan SD.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allh terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(QS. At
Tahrim: 6).
Irwan Prayitno pernah menciptkan sebuah lagu Anakku Penyejuk Hatiku. Lagu ini
menggambarkan betapa anak-anaknya merupakan obat pelepas lelah dalam
menjalani kehidupan yang keras sebagai seorang politisi. Sebuah keluarga yang
sempurna di bawah ridho Ilahi, rahmat dan kasih sayang Allah swt mereka dapati,
alamat badan selamat menempuh kerasnya hidup ini.
Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang
yang bertakwa.(QS. Al-Furqan: 74)

Masih ingat dengan bocah penderita lumpuh otak atau Cerebral Palsy ini? Dia adalah Fajar
Abdurokhim Wahyudiono, 11, yang membuat banyak Syaikh di tanah arab bertasbih dan
bertahmid karena bisa hafal Al-Qur'an 30 juz dengan sangat kuat. Pada musim haji tahun
2015 ini, dia mendapat undangan khusus dari kerajaan Arab Saudi untuk menunaikan
rukun Islam kelima tersebut. Masya Allah.
Berkah Quranul Karim benar-benar menaungi keluarga Fajar. Seperti diberitakan TVOne,
Rabu (29/09/2015), pemerintah Arab Saudi memberikan undangan untuk Fajar, kedua
orang tuanya dan dua orang pengasuh. Tidak hanya itu, Fajar diberi hadiah uang sebesar
200 dolar AS perbulan selama satu tahun.
Banyak jamaah haji dalam rombongan Fajar yang penasaran. Mereka ingin mendengar dan
menyaksikan sendiri kebenaran hafalan Fajar. Beberapa di antara mereka mencoba
melontarkan ayat Al-Qur'an dan meminta Fajar menyambungnya. Hasilnya, bocah tersebut
mampu melanjutkan setiap ayat dengan lancar.
Fajar adalah putra pasangan Heny Sulistiowati dan Joko Wahyudiono yang lahir pada tahun
2

2004 yang lalu. Dia lahir prematur pada usia kandungan 7,5 bulan dengan berat badan
hanya 1,6 kilogram.
Sejak lahir kondisi Fajar sudah memprihatinkan. Katup jantungnya ada yang bocor dan
menderita Cerebral Palsy, yaitu suatu kondisi terganggunya fungsi otak dan jaringan saraf
yang mengendalikan gerakan, laju belajar, pendengaran, penglihatan, kemampuan berpikir.
Penyakit ini menyebabkan seorang anak akan mengalami keterlambatan perkembangan.
Namun Heni dan suaminya bertekad memberikan yang terbaik untuk putranya. Dengan
sabar ayahnya selalu membacakan Al Qur'an setengah juz pada pagi hari dan setengah juz
pada malam hari sejak masih berada di inkubator.
"Kami berusaha untuk memberikan lingkungan yang terbaik untuknya. Di rumah saya dan
suami sepakat memutarkan tilawah 24 jam agar dia selalu mendengar yang baik-baik saja
tanpa terpikir dia akan hafal Al Quran" cerita Heni.
Di usianya yang ketiga, Fajar baru dapat berbicara namun yang keluar dari bibirnya
seringkali berupa potongan-potongan ayat Al Qur'an. Pasangan tersebut lalu memanggil
seorang guru untuk mengajarkan dan membimbing Fajar. Hasilnya Fajar hafal 30 juz Al
Qura'n di usia 4,5 tahun dengan hafalan yang sangat kuat.
"Aku ingin menjadi Imam Masjidil Haram," jawab Fajar ketika ditanya apa cita-citanya. Dia
pun berpesan dan berdoa agar seluruh masyarakat Indonesia semangat untuk menghafal
Al Qur'an

Bukan Keluarga Biasa


Sukses Mendidik 10 Anaknya Hafal Al-Quran
3

-------------------------------------------------------------------------------Redaksi Salam-Online Sabtu, 5 Rajab 1433 H / 26 Mei 2012 18:22


JAKARTA (salam-online.com): Kisah nyata sebuah keluarga Muslim di Indonesia.
Keluarga dakwah. Keluarga yang mampu menjadikan 10 orang buah hati mereka
sebagai anak-anak yang shalih, hafal Al-Quran dan berprestasi.
Keluarga luar biasa itu adalah pasangan suami istri Mutammimul Ula, SH dan Dra
Wirianingsih, Bc.Hk, beserta 10 putra-putri mereka. Yang lebih luar biasa lagi
adalah, kedua orang tua ini tergolong super sibuk dengan berbagai aktivitas
dakwahnya.
Mutammimul Ula adalah mantan anggota DPR RI dari fraksi PKS. Sedangkan
Wirianingsih adalah Ketua Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia dan pernah pula
menjadi Ketua Umum PP Salimah (Persaudaraan Muslimah) yang cabangnya sudah
tersebar di 29 provinsi dan lebih dari 400 daerah di Indonesia.
Anak pertama, Afzalurahman Assalam
Putra pertama. Hafal Al-Quran pada usia 13 tahun. Saat tulisan ini dibuat usianya
23 tahun, semester akhir Teknik Geofisika ITB. Juara I MTQ Putra Pelajar SMU seSolo, Ketua Pembinaan Majelis Taklim Salman ITB dan terpilih sebagai peserta
Pertamina Youth Programme 2007.
Anak kedua, Faris Jihady Hanifah
Putra kedua. Hafal Al-Quran pada usia 10 tahun dengan predikat mumtaz. Saat
tulisan ini disusun usianya 21 tahun dan duduk di semester 7 Fakultas Syariah LIPIA.
Peraih juara I lomba tahfiz Al-Quran yang diselenggarakan oleh kerajaan Saudi di
Jakarta tahun 2003, juara olimpiade IPS tingkat SMA yang diselenggarakan UNJ
tahun 2004, dan sekarang menjadi Sekretaris Umum KAMMI Jakarta.
Anak ketiga, Maryam Qonitat
Hafal Al-Quran sejak usia 16 tahun. Saat tulisan ini dibuat usianya 19 tahun dan
duduk di semester V Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Pelajar
teladan dan lulusan terbaik Pesantren Husnul Khatimah, 2006. Sekarang juga
menghafal hadits dan mendapatkan sanad Rasulullah dari Syaikh Al-Azhar.
Anak keempat, Scientia Afifah Taibah
Putri keempat. Hafal 29 juz sejak SMA. Kini usianya 19 tahun dan duduk di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (UI). Saat SMP menjadi pelajar teladan dan saat SMA
memperoleh juara III lomba Murottal Al-Quran tingkat SMA se-Jakarta Selatan.

Anak kelima, Ahmad Rasikh Ilmi


Putra kelima. Saat tulisan ini dibuat, hafal 15 juz Al-Quran, dan duduk di MA Husnul
Khatimah, Kuningan. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara I Kompetisi English Club
Al-Kahfi dan menjadi musyrif bahasa Arab MA Husnul Khatimah.
Anak keenam, Ismail Ghulam Halim
Putra keenam. Saat tulisan ini dibuat hafal 13 juz Al-Quran, dan duduk di SMAIT AlKahfi Bogor. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara lomba pidato bahasa Arab SMP
se-Jawa Barat, serta santri teladan, santri favorit, juara umum dan tahfiz terbaik
tiga tahun berturut-turut di SMPIT Al-Kahfi.
Anak ketujuh, Yusuf Zaim Hakim
Putra ketujuh. Saat tulisan ini dibuat ia hafal 9 juz Al-Quran dan duduk di SMPIT AlKahfi, Bogor. Prestasinya antara lain: peringkat I di SDIT, peringkat I SMP, juara
harapan I Olimpiade Fisika tingkat Kabupaten Bogor, dan finalis Kompetisi tingkat
Kabupaten Bogor.
Anak kedelapan, Muhammad Syaihul Basyir
Putra kedelapan. Saat tulisan ini dibuat, ia duduk di MTs Darul Quran, Bogor. Yang
sangat istimewa adalah, ia sudah hafal Al-Quran 30 juz pada saat kelas 6 SD.
Anak kesembilan, Hadi Sabila Rosyad
Putra kesembilan. Saat tulisan ini dibuat, ia bersekolah di SDIT Al-Hikmah,
Mampang, Jakarta Selatan dan hafal 2 juz Al-Quran. Di antara prestasinya adalah
juara I lomba membaca puisi.
Anak kesepuluh, Himmaty Muyassarah
Putri kesepuluh. Saat tulisan ini dibuat, ia bersekolah di SDIT Al-Hikmah, Mampang,
Jakarta Selatan dan hafal 2 juz Al-Quran.
Kembali ke keluarga Mutammimul Ula di atas.
Pada akhirnya kita dapat menarik kesimpulan, di balik kesuksesan Kang Tamim
ternyata ada satu sosok wanita yang telah melahirkan sepuluh keturunannya. Siapa
lagi kalau bukan istrinya, Wirianingsih.
Siapa Wirianingsih? Bertitel lengkap Dra. Wirianingsih, Bc.Hk, lahir di Jakarta, 11
September 1962 (hampir 50 tahun). Selain ibu rumah tangga, banyak aktivitas yang
dia lakukan, di antaranya menjadi dosen, kuliah pasca sarjana, dan aktivis
perempuan.
Terkini adalah menjadi anggota Dewan Pertimbangan PP Persaudaraan Muslimah
(Salimah) bersama Ustadzah Nursanita Nasution, dll dimana sebelumnya dia
5

menjadi Ketua Umum. Mereka adalah anggota DPR dari fraksi yang sama saat
Mutammimul Ula menjadi anggota dewan.

Lalu, metode apa yang Kang Tamim dan Mbak Wiwi terapkan dalam mendidik putraputrinya?
Kuncinya adalah keseimbangan proses. Begitu simpulan dari metode pendidikan
anak-anak sebagaimana tertulis dalam buku 10 Bersaudara Bintang Al-Quran.
Walaupun mereka berdua sibuk, mereka telah menetapkan pola hubungan keluarga
yang saling bertanggungjawab dan konsisten satu sama lain. Selepas Magrib jadwal
mereka adalah berinteraksi dengan Al-Quran.
Guna mendukung kesuksesan program ini, mereka mencanangkan kebijakan
sederhana, yakni: menyingkirkan televisi dari rumah, tidak memasang gambargambar selain kaligrafi, tidak membunyikan musik-musik yang melalaikan, dan
tidak ada perkataan kotor di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Hal yang cukup mendasar yang dimiliki keluarga ini sehingga mampu mendidik 10
bersaudara bintang Al-Quran adalah visi dan konsep yang jelas.
Pertama adalah menjadikan putra-putri seluruhnya hafal Al-Quran. Kedua,
pembiasaan dan manajemen waktu. Setelah salat Subuh dan Maghrib adalah waktu
khusus untuk Al-Quran yang tidak boleh dilanggar dalam keluarga ini. Sewaktu
masih balita, Wirianingsih konsisten membaca Al-Quran di dekat mereka,
mengajarkannya, bahkan mendirikan TPQ di rumahnya.
Ketiga, mengomunikasikan tujuan dan memberikan hadiah. Meskipun awalnya
merasa terpaksa, namun saat sudah besar mereka memahami menghafal Al-Quran
sebagai hal yang sangat perlu, penting, bahkan kebutuhan. Komunikasi yang baik
sangat mendukung hal ini. Dan saat anak-anak mampu menghafal Al-Quran,
mereka diberi hadiah. Barangkali semacam reward atas pencapaian mereka.
Mengenai punishment tidak dijelaskan secara rinci.
Penulis buku (10 Bersaudara Bintang Al-Quran) ini membahas urgentitas menjadi
hafiz Al-Quran. Penulis mengklasifikasikannya menjadi dua bagian: keutamaan
dunia dan keutamaan akhirat. Fadhail dunia antara lain: hifzul Al-Quran merupakan
nikmat rabbani, mendatangkan kebaikan, berkah dan rahmat bagi penghafalnya,
hafiz Al-Quran mendapat penghargaan khusus dari Nabi (tasyrif nabawi), dihormati
umat manusia.
Sedangkan fadhail akhirat meliputi: Al-Quran menjadi penolong (syafaat)
penghafalnya, meninggikan derajat di surga, penghafal Al-Quran bersama para
malaikat yang mulia dan taat, diberi tajul karamah (mahkota kemuliaan), kedua
orang tuanya diberi kemuliaan, dan pahala yang melimpah.
6

Sumber: 10 Bersaudara Bintang Al-Quran http://www2.salamonline.com/2012/05/kisah-ibu-sibuk-yang-sukses-mendidik-10-anaknya-hafal-alquran.html

Sukses Mendidik 10 Anaknya Jadi Dokter


Nafisah Ahmad Zen Shahab, Ibu yang Sepuluh Anaknya Jadi Dokter
Berkat Provokasi si Sulung Setiap Mudik Lebaran.
Nafisah Ahmad Shahab barangkali bisa disebut sebagai supermom. Di antara 12
anak hasil pernikahannya dengan almarhum Alwi Idrus Shahab, sepuluh orang
menjadi dokter. Di antara sepuluh dokter itu, tujuh orang bertitel spesialis.
SPESIALISASI tujuh anak Nafisah itu pun tidak ecek-ecek. Si sulung, Dr dr Idrus Alwi
SpPD KKV FECS FACC, meraih spesialisasi di bidang kardiovaskular. Anak pertama
itu juga menjadi satu-satunya yang meraih gelar doktor di antara sepuluh dokter
bersaudara itu. Kemudian, drg Farida Alwi menekuni bidang spesialisasi gigi; dr
Shahabiyah MMR menjadi Dirut RSU Islam Harapan Anda di Tegal; dr Muhammad
Syafiq SpPD, spesialis penyakit dalam; dr Suraiyah SpA (spesialisasi anak); dr
Nouval Shahab SpU, spesialis urologi dan sedang menempuh pendidikan untuk
gelar PhD di Jepang; dan dr Isa An Nagib SpOT mengambil bidang spesialisasi
ortopedi.
Sementara tiga putra Nafisah yang lain masih bergelar dokter umum. Mereka
adalah dr Fatinah yang menjabat wakil direktur RS Ibu dan Anak Permata Hati
Balikpapan; dr Zen Firhan, dokter umum di Balai Pengobatan Depok Medical Service
dan Sawangan Medical Center; dan dr Nur Dalilah, dokter umum di RS Permata
Cibubur.
Dua anak Nafisah yang tidak berprofesi sebagai dokter adalah Durah Kamilia (anak
keempat) dan Zainab (anak ketujuh). Durah menekuni bidang desain, sedangkan
Zainab menggeluti bidang kimia. Dia sedang menempuh pendidikan S-2 kimia di
Universitas Padjadjaran, Bandung.
''Dulu sih sebenarnya mau kuliah dokter juga. Tapi, pas ujian masuk lagi sakit, jadi
keterima di pilihan kedua di jurusan kimia,'' kata Zainab saat ditemui Jawa Pos
bersama Nafisah dan Isa An Nagib (anak kesembilan) di kediaman si sulung di Puri
Sri Wedari, Cibubur, Depok, Jawa Barat, kemarin (23/4).
Sebenarnya keluarga Nafisah bukan keluarga dokter. Pendidikan Nafisah dan Alwi
Idrus juga tidak tinggi-tinggi amat. Nafisah hanya lulusan SMA, sedangkan Alwi
bertitel sarjana muda jurusan ekonomi. Mereka bekerja sebagai pedagang. Tapi,
pasangan itu mampu mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang hebat.

Berkat prestasi langka itu, Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) mengganjar
keluarga asal Palembang, Sumatera Selatan, tersebut dengan gelar Profesi Dokter
Terbanyak dalam Satu Keluarga.
Bagaimana mendidik sepuluh anak menjadi dokter? Menurut Nafisah, semua itu
berkat didikan keras almarhum suaminya, Alwi Idrus Shahab. Awalnya keluarga
tersebut adalah keluarga saudagar. Mereka memiliki toko di kawasan kota
Palembang yang menyediakan kain dan batik. Grosir bisa, eceran oke.
Dagangan kain dan batik itu cukup sukses. Namun, Alwi tidak pernah mendidik
anak-anaknya mengikuti jejak orang tua menjadi saudagar. Dia menginginkan
semua anaknya menempuh pendidikan yang lebih tinggi daripada dirinya.
Keinginan itu muncul, kata Isa An Nagib, karena pengalaman pribadi sang ayah.
Alwi yang lulusan sarjana muda jurusan ekonomi itu merupakan anak lelaki yang
paling tua. Dia mengemban beban berat untuk membantu adik-adiknya. Keinginan
menempuh pendidikan yang lebih tinggi tak kesampaian karena dirinya harus
bekerja keras. ''Beliau tak ingin itu terjadi kepada anak-anaknya,'' katanya.
Karena itu, Alwi mendidik semua anaknya untuk belajar keras. Semua fasilitas yang
berhubungan dengan pendidikan dia penuhi. Mulai buku hingga peralatan sekolah.
''Abah itu dulu, anak-anak pagi minta, sore sudah ada,'' kata Isa mengenang
almarhum sang ayah yang meninggal pada 1996 itu.
Ide untuk ramai-ramai kuliah di kedokteran datang dari si sulung, Idrus Alwi. Dia
adalah orang pertama dalam keluarga yang kuliah di kedokteran. Saat itu dia kuliah
di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Tiap mudik Lebaran,
Idrus bercerita panjang lebar tentang asyiknya kuliah di kedokteran kepada
saudara-saudaranya. Mereka pun tergiur. Sejak saat itu target utama adik-adik Idrus
setelah lulus sekolah hanya satu: kuliah kedokteran. ''Kampusnya boleh di mana
saja. Pokoknya negeri. Soalnya, kuliah dokter kan mahal,'' ujar Isa.
Gayung bersambut. Keinginan itu diamini oleh Alwi. Apalagi, profesi dokter
merupakan jasa yang selalu dibutuhkan masyarakat. Lulusan fakultas kedokteran
tak bakal nganggur.
Menurut Nafisah, membesarkan 12 anak susah-susah gampang. Disiplin harus
ketat. Suaminya, Alwi, kata Nafisah, memberlakukan aturan bahwa seluruh anak
harus pulang setiap Magrib. Apa pun alasannya, tidak ada yang boleh keluar rumah
bablas hingga Isya. ''Kecuali ada undangan yang benar-benar nggak bisa ditunda,''
kata Nafisah.
Aturan itu cukup efektif. Seluruh anaknya menurut. Kalaupun ada acara dengan
teman-temannya, pasti mereka pulang dulu menjelang Magrib. Dengan cara itu,
kata Nafisah, me-manage 12 anak jadi gampang. Setelah Magrib, mereka juga tidak
boleh langsung terus bablas hingga malam. Mereka harus mengaji dan baca-baca
8

buku pelajaran di rumah walau sebentar. ''Lagi pula, kalau ada kondangan atau
acara, kan pasti setelah Isya. Nggak mungkin habis Magrib langsung pergi,''
ujarnya.
Selain itu, keluarga besar tersebut juga sering meluangkan waktu untuk jalan
bareng. Setiap Sabtu dan Minggu, toko keluarga Alwi hanya buka separo hari. Sisa
waktu lainnya digunakan untuk berjalan-jalan ke taman atau kolam renang di
sekitar Kota Palembang. ''Pokoknya ngikutin kemauan anak,'' kata Nafisah.
Kini, 12 bersaudara itu tidak lagi ber-home base di Palembang seperti dulu.
''Markas'' keluarga Shahab itu kini di perumahan Puri Sri Wedari, Cibubur, Depok,
Jawa Barat. Di rumah si sulung. Kebanyakan di antara mereka pun bertempat
tinggal di kawasan pinggiran Jakarta itu. Paling tidak, ada enam anak Nafisah yang
tinggal di sekitar Depok. Beberapa di antara mereka kompak ikut praktik di Rumah
Sakit Permata Cibubur.
Soal rumah sakit itu, si sulung juga yang jadi perintisnya. Pada 2003, bersama
sejumlah kolega dokternya, Idrus mendirikan RS tersebut. Saat itu, kata Isa, daerah
Cibubur masih sepi. Rumah sakit itu bahkan menjadi rumah sakit pertama di daerah
tersebut. Alhasil, beberapa saudara Idrus yang lulus sekolah dokter pun diajak
praktik di sana sekaligus tinggal di sana. ''Lagi-lagi, kakak pertama yang
mengawali,'' ungkapnya.
Nafisah menuturkan, memiliki sepuluh anak dokter tidak selalu mendapat pujian
orang. Malah ada yang mencibir. Apalagi kalau anak perempuan yang jadi dokter.
''Buat apa sekolah lama-lama. Nanti tua, jodohnya sulit,'' kata Nafisah menirukan
komentar orang-orang.
Tapi, Nafisah percaya bahwa jodoh akan ikut dengan aktivitas anak. Perjalanan studi
dokter yang panjang membuat mereka bertemu banyak orang. Karena itu, mitos itu
tidak membuat dia ragu mendorong anak-anaknya menempuh pendidikan yang
lebih tinggi.
Kata Nafisah, upaya menyekolahkan anaknya itu sempat mendapat cobaan ketika
sang kepala keluarga meninggal dunia pada 1996. Saat itu, empat anaknya masih
sekolah. Dua orang di kelas 3 SMA, satu orang di kelas 2 SMA. Sejumlah anak belum
lulus kuliah.
Nafisah sempat sedikit terguncang dengan meninggalnya Alwi. Dia melupakan
guncangan jiwanya itu dengan bekerja di toko. ''Saat sibuk di toko nggak ingat, tapi
pulang di rumah ingat lagi. Sedih rasanya,'' kata nenek 30 cucu itu. Selama dua
tahun, perasaan itu terus dia alami.
Namun, perempuan kelahiran 1 Agustus 1946 itu tak menyerah. Dengan toko dan
warisan suami, pendidikan 12 anaknya terus diperjuangkan. Beberapa anak yang
sudah mentas dan bekerja ikut membantu ongkos sekolah dan kuliah. Beban itu,
9

kata Nafisah, tidak terlalu berat. Sebab, toko mereka juga masih laris. ''Tapi, tanah
dan aset abah dijual semua untuk membiayai anak-anak sekolah,'' ungkap Isa.
Sepuluh tahun setelah sang suami meninggal, Nafisah berhasil mengatar lulus
anak-anaknya. Mereka juga sudah mandiri dan berkeluarga. Sejak saat itu, anakanak melarang Nafisah sibuk di toko. Mereka lantas memboyong Nafisah ke Cibubur
agar dekat dengan anak-anak dan cucu-cucunya.
Kini saat ada waktu luang, anak dan cucunya mengajak dia pelesir ke luar
negeri.''Pokoknya keliling ke mana-mana, sampai lupa negaranya,'' kata Nafisah.
Hari ini Nafisah berencana mengunjungi Nouval Shahab, anaknya yang sedang
mengejar gelar PhD di Jepang. ''Visanya baru keluar hari ini (kemarin), besok (hari
ini) langsung berangkat,'' katanya. (*/c1/ari)
Sumber :
http://esabiwibowo.blogspot.com/2012/03/ibu-yang-meraih-rekor-murikarena.html#axzz223xQY4oA
http://www.indopos.co.id/index.php/berita-indo-rewiew/2138-kisah-suksesperjuangan-ibu-mendidik-anak.html
http://kabarnet.wordpress.com/2010/04/27/nafisah-sang-ibu-yang-10-anaknya-jadidokter/

Mereka Bukan Keluarga Biasa


http://swa.co.id/2009/01/mereka-bukan-keluarga-biasa/
Thursday, January 22nd, 2009
oleh : admin
Siapa sih yang tak ingin mempunyai anak-anak yang sukses? Rasanya tak
akan ada seorang pun yang menggelengkan kepala. Setiap orang ingin
melahirkan generasi atau anak-anak yang kalau bisa semuanya sukses. Arti
sukses di sini, bukan hanya berkontribusi positif, tapi juga menonjol,
berprestasi, dan berkibar di bidang masing-masing. Entah itu sebagai
wirausaha (entrepreneur), profesional, artis, pejabat publik, atau profesi
lainnya.
Namun, tentu saja fakta berbicara lain. Kenyataannya, tidak mudah
menciptakan generasi sukses dalam keluarga. Apalagi, kalau sebagian besar
atau bahkan semua anak dalam keluarga bisa meniti jalur yang moncer di
profesi masing-masing, pasti jauh lebih sulit.
10

Menariknya, di Indonesia ternyata tak sedikit keluarga (orang tua) yang


mampu melahirkan generasi sukses seperti itu, baik di lingkup bisnis
maupun lembaga publik (birokrasi). Di dunia bisnis, misalnya, kita bisa
mendaftar beberapa keluarga.
Antara lain, keluarga Firmansyah, yang memiliki putra-putri: Erry Firmansyah,
Rinaldi Firmansyah dan Evi Firmansyah. Mereka sukses berkarier di BUMN.
Erry kini Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia dan Rinaldi menjabat Dirut
PT Telkom, sedangkan adik perempuan mereka, Evi, menjadiWakil Dirut Bank
Tabungan Negara.

Masih di dunia bisnis, boleh juga menyebut keluarga Wirjawan (pasangan


Wirjawan Djojosoegito dan Paula Warokka). Putranya, antara lain, Gita
Wirjawan, yang sempat menjadi orang nomor satu di JP Morgan Indonesia,
tapi baru saja undur diri untuk mendirikan Ancora Capital. Lalu, Dian
Budiman Wirjawan (mantan Dirut PT Danareksa), Wibowo Suseno Wirjawan
(mantan Dirut PT Jakarta International Container Terminal dan Dirut PT
Terminal Peti Kemas Koja), serta Rianto Ahmadi Djojosoegito yang kini Wakil
Presiden Direktur PT Allianz Life Indonesia.

Kiprah keluarga Satar pun menarik. Emirsyah Satar sudah tak asing, kini
Presdir di PT Garuda Indonesia. Lalu, saudaranya, Rizal Satar, menjabat
Presdir Pricewaterhouse Coopers FAS. Sementara Kemal Satar bergelut
sebagai wirausaha properti.

Di jajaran entrepreneur pun kita juga bisa mengambil contoh beberapa


keluarga yang masing-masing putra (generasi penerus)-nya sukses
menekuni bisnis sendiri. Contoh menarik
keluarga Wanandi. Sofjan Wanandi sukses mengembangkan Grup Gemala,
Biantoro Wanandi mengorbitkan Grup Anugerah (Anugerah Pharmindo
Lestari, dll.), dan Rudy Wanandi membesut bisnis asuransi PT Asuransi
Wahana Tata. Adapun Jusuf Wanandi lebih aktif sebagai intelektual. Jusuf
aktivis dan pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

11

Dari lingkungan keluarga pendidik (dosen), acungan jempol layak ditujukan


ke keluarga Sri Mulyani (putra-putri pasangan Prof. Drs. Satmoko dan Prof. Dr.
Retno Sriningsih). Sri Mulyani adalah satu di antara 10 bersaudara. Yang
menarik, karier 9 saudaranya juga berkembang dengan baik. Sri Mulyani tak
usah dibahas. Dia Menteri Keuangan RI saat ini, dosen Universitas Indonesia,
sempat mengepalai Bappenas dan bekerja di Dana Moneter Internasional
(IMF). Sembilan saudara Sri Mulyani rata-rata juga lulusan S-3 dan S-2.
Contohnya, Agus Pramudiyanto, anak pertama alias kakak tertua Sri Mulyani,
adalah guru besar UI dan pejabat eselon 1 Departemen Kesehatan RI.
Saudaranya yang lain, Asri Purwanti, mengajar di Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Nining Triastuti, arsitek dari Institut Teknologi
Bandung, tapi mengambil S-3 Ekonomi di Fakultas Ekonomi UI dan sekarang
dosen FE UI. Terus, ada lagi Nanang Untung Cahyono, alumni Jurusan Teknik
Kimia ITB yang pernah bekerja di Exxon, Arun dan sekarang profesional di
Pertamina; Atik Umiyatun Hayati, insinyur ITB, kini pejabat eselon 1
Bappenas; Sri Harsi Teteki, alumni FK Undip, kini profesional di Telkom; dan
Sutopo Patria, alumni FK Undip, sekarang mengambil studi jenjang S-3.
Punya 10 putra-putri yang semuanya mendapatkan karier bagus jelas
merupakan prestasi yang luar biasa.

Pada lingkup profesi kedokteran, kita boleh mencatat keluarga drg. Noto
Husodo Widodo sebagai keluarga yang unik sekaligus spektakuler. Dari
keluarga ini, tak kurang dari 18 orang yang berprofesi sebagai dokter gigi.
Drg. Noto sendiri adalah empat bersaudara, dan menjadi dokter gigi
bersama saudaranya, Harjanto Widodo. Uniknya, Noto yang menikah dengan
dr. Lydiana Gunawan dikaruniai tiga anak yang semuanya dokter gigi, yakni
drg. Joyce Niti Widodo,. Drg. Grace Niti Widodo dan drg. Arifo Adhianto
Widodo.
Uniknya lagi, Joyce menikah dengan Felix Hartono Koerniadi yang juga dokter
gigi. Terus, Grace pun menikah dengan dokter gigi, yakni drg. Benny M.
Soegiharto. Mayoritas keponakan drg. Noto juga dokter gigi, atau setidaknya
menikah dengan dokter gigi. Total tak kurang dari 18 dokter gigi di
lingkungan keluarga ini. Ada yang membuka klinik sendiri dan ada yang kerja
untuk rumah sakit besar tertentu.

12

Dari Jawa Tengah, menarik juga melirik keluarga dr. Supandji, dokter penyakit
dalam di Akademi Militer, Magelang. Supandji melahirkan lima putra dan
satu putri yang rata-rata kariernya di atas rata-rata. Anak pertamanya,
Hendarto Supandji, pengajar di FK Undip (pensiun). Lalu, Hendarman
Supandji, sebagian besar sudah mafhum karena dia adalah Jaksa Agung RI.
Seterusnya, Hendardji Supandji, salah satu pejabat di KASAD; Budi Susilo
Supandji, mantan Dekan Fakultas Teknik UI, Direktur Kopertis untuk wilayah
Jakarta, Dirjen Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan dan Keamanan
RI; dan Ongky Supandji, aktif sebagai pengusaha. Jadi, keluarga Supandji ada
yang di birokrasi, dosen dan bisnis.
Pasangan Sutrepti dan Soemarno (Gubernur DKI tahun 1960-an dan Menteri
Keuangan Kabinet Dwikora) pun melahirkan anak-anak cemerlang. Ada Ari H.
Soemarno (kini Dirut PT Pertamina), lalu Rini M. Soemarno (mantan Menteri
Perdagangan, Presdir Grup Astra, dan kini pengusaha otomotif), dan Ongki P.
Soemarno (pengusaha multibisnis, mantan eskekutif Grup Humpuss). Dua
putrinya yang lain memilih menjadi ibu rumah tangga, tapi anak-anaknya
juga sukses meretas karier di luar negeri. Bisa jadi, ada yang menilai pantas
saja mereka sukses karena orang tuanya punya posisi tinggi. Namun,
seharusnya juga diingat, banyak anak pejabat yang jangankan kariernya
tumbuh, sekolah menengah saja tak selesai. Bahkan, anak-anaknya banyak
yang kacau.
Di panggung olah raga, kita bisa mencatat keluarga Radja Nasution yang
secara luar biasa mengantarkan putri-putrinya menjadi atlet-atlet renang
terbaik di negeri ini. Ada Elfira Nasution, Elsa Manora Nasution, Maya Masita
Nasution, Kevin Rose Nasution, dan M. Akbar Nasution. Semuanya
merupakan atlet-atlet renang papan atas negeri ini dan sudah mewakili RI di
berbagai event, seperti SEA Games atau Asian Games.
Di kancah perbulutangkisan, antara lain terdapat keluarga Djumharbey
Anwar yang anak-anaknya pemain bulu tangkis berprestasi. Mulai dari Markis
Kido (pemain nasional peraih emas Olimpiade 2008), Pia Zebaidah Bernadet
(anggota pelatnas, penentu kemenangan Indonesia di SEA Games 2007),
Bona Septano (pemenang Kejuaraan Dunia Mahasiswa di Eropa). Tentu,
selain keluarga Radja Nasution dan Djumharbey Anwar, masih ada keluarga
lain yang bisa jadi juga tak kalah cemerlang.
Lalu, kalau menengok dunia seni, beberapa keluarga juga pantas disebut.
Pasangan A.R. Juwarno dan Agnes Sumiarsih mengorbitkan putra-putra yang
harum di dunia musik. Kita tentu kenal Katon Bagaskara, Nugie (Gusti
13

Nugroho) dan Andre Manika, ketiganya putra pasangan itu. Andre Manika
seorang pencipta lagu, sementara Katon (KLA Project) dan Nugie artis yang
dikenal luas karena beberapa albumnya sukses di pasar.
Demikian juga, pasangan Jopie Item dan Evi Aziz. Mereka sukses mencetak
pelaku-pelaku industri musik. Sebut saja, Paula Alodya Item (Audy), penyanyi
wanita papan atas yang sukses meraih empat penghargaan AMI Award. Lalu,
Stevy Morley Item (gitaris Andra and The Backbone) dan Rinaldi Ramadlan
Item (gitaris Hi Gain dan Audy Band).
Sudah pasti, selain nama-nama di atas, masih banyak keluarga sukses lain di
Indonesia yang putra-putrinya juga berkilau. Entah itu yang berkiprah
sebagai profesional bisnis, wirausaha, olahragawan, seniman, birokrasi
publik, dan profesi lain (bisa dilihat di Tabel). Terlepas dari diskusi siapa saja
yang terbilang keluarga sukses, sesungguhnya yang sangat menarik
mengurai mengapa keluarga itu (orang tuanya) bisa melahirkan generasi
atau anak-anak yang sukses seperti itu. Mengapa ada keluarga yang sangat
sukses seperti itu, tapi di lain tempat banyak keluarga yang sebagian kecil
saja anggotanya yang sukses atau malah tidak ada sama sekali?

Apa gizi yang diberikan?


Sekali lagi, betapapun, meraih prestasi seperti itu pasti bukan pekerjaan
mudah walau semua orang tua menginginkannya. Kita mungkin juga akan
sepakat bahwa kesuksesan keluarga-keluarga itu tak jatuh dari langit alias
bukan sebuah kebetulan. Ada kondisi dan prasyarat yang mengantarkan
mereka ke gerbang sukses bersama-sama. Kalau orang tua saya tidak
mendidik saya dengan baik, tidak mungkin saya bisa sampai seperti ini,
ungkap Erry Firmansyah beberapa hari lalu.
Pernyataan Erry mengungkap hal menarik. Ada elemen-elemen penting di
masa lampau yang mengukir dirinya dan saudaranya hingga kemudian
menjadi modal sukses berkarier di kemudian hari, khususnya di BUMN. Yakni,
faktor pendidikan orang tua. Pernyataan Erry sebenarnya sangat paralel
dengan pendapat Malcolm Gladwell, sebagaimana tertuang dalam buku
terbarunya Outliers (diterbitkan Litte Brown, 2008) yang cukup menjadi
perbincangan publik karena mementahkan paradigma orang sukses yang
selama ini berkembang. Malcolm sebelumnya juga membuat heboh dengan
bukunya, Tipping Point dan Blink.

14

Malcolm tak setuju pada pendapat bahwa orang-orang yang sukses


seungguhnya karena faktor-faktor yang ada dalam dirinya sendiri seperti
kepribadian (personality) dan kecerdasan (intelligence). Paradigma lama
selalu mengatakan driving force sukses adalah pada faktor-faktor individual.
Padahal, menurutnya, kita bisa mencapai kesuksesan yang semakin banyak
dengan cara mencari lingkungan yang memungkinkan orang-orang meraih
kesuksesan. Bisa dari budaya yang ada di sekitarnya dan bagaimana orang
tuanya hidup dan memberi ruang. Successfull people are people who have
made the most of series of gifts that have been given to them by their
culture and their history, Malcolm menjelaskan.
Orang-orang sukses yang dia sebut sebagai para outlier itu memiliki sejarah
dan budaya yang sangat mendukung dan mengantarkannya menjadi orang
atau keluarga sukses. Premis Malcolm, kalau ingin sukses, bukan sematamata mengandalkan intelijensi, tapi juga menciptakan budaya dan
lingkungan yang kondusif, termasuk budaya dan lingkungan keluarga (orang
tua).
Malcolm antara lain mengambil contoh Bill Gates, salah satu orang terkaya
dunia saat ini. Sejarah Bill menunjukkan, wajar dan masuk akal bila dia
sukses berbisnis dan menjadi superjenius komputer. Ketika usianya 13 tahun
(1969), Bill sudah belajar di sebuah private school di Kota Seattle yang
punya ruang komputer dengan mesin ketik jarak jauh dan terhubung dengan
mainframe. Siapa saja bisa mengutak-atik (bermain-main) dengan masin
ketik jarak jauh itu dan bisa melakukan programming secara real-time. Di
saat itu, bahkan 99% universitas di Amerika belum punya alat ini, kata
Malcolm.
Lalu, ketika berusia 15 tahun, Bill dan mitranya Paul Allen mendapati
kenyataan bahwa ada sebuah mesin komputer mainframe di Universitas
Washington yang menganggur setiap pukul 2 dinihari sampai pukul 6 pagi.
Keduanya lalu bangun pada jam fajar itu dan mengutak-atik pemrograman.
Pemuda lain tidak melakukannya karena tidak mendapati fasilitas itu, atau
setidaknya tidak tahu. Jadi, di usia itu Bill sudah rutin belajar programming
empat jam per hari. Tak mengherankan, ketika usianya 20 tahun, dia punya
pengalaman yang jauh lebih banyak ketimbang orang lain sehingga posisi
start-nya jauh lebih bagus ketimbang pelaku lain ketika bisnis komputer
mulai booming.
Kesempatan, lingkungan dan sejarah mengantarkan Bill sebagai jago
programming hingga kemudian lahirlah Microsoft yang membawanya
15

terbang kaya raya. Malcolm hanya ingin menjelaskan, ada faktor sejarah dan
lingkungan termasuk lingkungan keluarga dan orang tua yang menjadi
driving force kesuksesan. Dan tampaknya, pandangan Malcolm itu juga tetap
relevan untuk menjelaskan realitas keluarga-keluarga sukses di Indonesia.
Mungkin bisa mengambil contoh keluarga Sri Mulyani yang 9 saudaranya dan
dia sendiri berkarier dengan baik di bidang masing-masing dan rata-rata
lulus S-2 dan S-3.
Menurut Mbak Ani, demikian Sri Mulyani disapa kolega dekatnya, sejak dini
bapak-ibunya sudah membiasakan anak-anaknya untuk bersuara ,
menceritakan yang mereka alami hari itu. Tiap anak boleh bercerita, bapakibunya pun demikian, bercerita tentang pekerjaan. Jadi, kami terbiasa juga
dengan cerita bapak-ibu tentang rekan-rekannya apabila sedang ada
masalah, atau mahasiswa yang pintar, mahasiswa bego, mahasiswa yang
kurang ajar, dan mahasiswa yang nasibnya perlu dikasihani. Dari cerita itu
muncullah nilai-nilai yang bisa diambil sebagai pelajaran, tutur Sri Mulyani..
Contoh lain, soal kebiasaan membaca. Kebiasaan ini juga ditanamkan dari
kecil dan dijadikan semacam hobi. Kalau pagi di rumah datang koran Suara
Merdeka, kami langsung rebutan membacanya. Demikian juga majalahmajalah seperti Kuncung dan Gadis, katanya. Bahwa kemudian rata-rata
anaknya berkembang menjadi sangat artikulatif (pandai berbicara), itu
karena orang tuanya memang sudah mengondisikannya dari kecil.
Pola seperti itu ada kemiripan dengan keluarga Noto Husodo Widodo. Seperti
dikatakan Joyce, putri drg. Noto yang juga dokter gigi, lingkungan keluarga
yang diciptakan ayahnya sangat mendorong anak-anaknya menjadi dokter
gigi. Tempat tinggal ayahnya sekaligus dijadikan tempat praktik. Anakanaknya semasa kecil biasa menghabiskan waktu di klinik sehingga akrab
dengan peralatan kedokteran gigi. Bahkan, belajar dan mengerjakan PR juga
di klinik.
Belum lagi ayahnya sering menghukum dirinya di dalam klinik. Terus, bila
musim liburan tiba, sering membantu praktik dengan membersihkan
peralatan. Karena sering melihat praktik, dirinya jadi terbiasa. Bahkan, ketika
Joyce kuliah, juga saat ini, obrolan tiap bertemu ayahnya misalnya saat
makan bersama tak jauh-jauh dari dunia dokter gigi. Papa sering
menceritakan kasus-kasus yang dia temukan, kata Joyce.
Pentingnya penciptaan lingkungan yang kondusif seperti itu pun diakui Omar
S. Anwar, Presdir PT Rio Tinto, yang saudara-saudaranya juga sukses
berkarier di lembaga negara dan dunia bisnis. Menurutnya, kondisi sosial
16

(lingkungan keluarga dan sekolah) sangat menentukan perkembangan


dirinya. Dengan punya lingkungan seperti itu, kita akan terekspos. Seharihari mau tak mau menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut, kata putra
Chairul Anwar (alm.), Atase Perindustrian RI di Washington DC 1972-82.
Selain dengan menciptakan kondisi yang mendukung perkembangan anak,
rata-rata keluarga sukses sangat kuat dalam menanamkan nilai-nilai positif
dasar seperti disiplin, tidak malas, berusaha keras, sadar waktu, dan beretika
dalam pergaulan bermasyarakat.
Soal kedisiplinan, sebut saja. Joyce mengakui ayahnya memberlakukan
peraturan yang cukup keras. Sejak kecil diajari berdisiplin. Bila jam pulang
sekolah, harus tiba di rumah tepat waktu. Dalam pergaulan pun demikian.
Joyce tidak seperti remaja lain seusianya yang bebas bergerak ke mana saja.
Kalau teman-teman lain bisa pergi nonton bareng, saya tak diizinkan. Papa
tidak terlalu memberi kebebasan untuk pergi. Ini terutama saat masih SMP,
ujar Joyce yang setelah SMA dan seterusnya tetap dikontrol orang tuanya.
Nilai-nilai senada juga ditanamkan ayahanda Mirta Kartohadiprodjo, Sutan
Takdir Alisjahbana. Mirta teringat, pernah setelah ujian selama seminggu di
masa SMA dia sedikit santai-santai karena merasa agak kelelahan. Dia
mencoba sedikit bermalas-malasan, tapi apa daya, ayahnya memergokinya
lalu menyuruhnya bangun. Dia tanya, Kenapa sih enggak ngapalin vocab
Inggris? Kalau bisa 4-5 kata saja sehari dalam seminggu, kamu sudah dapat
40 kata baru. Perbendaharaan katamu akan banyak! kata Mirta yang
kadang sebal dengan sikap ayahnya yang sangat keras dalam mendidik.
Didikan soal ketekunan dan kesadaran akan waktu juga dirasakan
Hendarman Supandji (Jaksa Agung RI) bersaudara yang kini sudah jadi
orang-orang mapan. Diceritakan Hendardji, Ayah saya sangat tak suka
melihat pemalas. Kalau pukul 5 pagi belum bangun dan anak masih ngolatngolet, ayah saya pasti tidak suka. Pasti langsung disuruh bangun, mandi
dan shalat! Hendardji teringat, pernah ada saudara sepupunya dari Tuban
yang datang ke rumahnya. Melihat saudara tersebut tersebut hanya duduk,
mengopi dan merokok ketika pagi, sang bapak langsung membentaknya
sehingga ia tidak berani datang lagi. Ijih enom kok keset, mat-matan, seru
ayahnya kala itu dalam bahasa Jawa yang artinya, masih muda kok malas,
enak-enakan.
Selain menanamkan nilai sportivitas, keluarga sukses umumnya juga
membiasakan anak-anaknya meraih prestasi sedari kecil. Mereka didorong
menjadi yang terbaik di tempat masing-masing, dan bukan menjadi orang
17

rata-rata. Arwin Rasyid, Presdir CIMB-Niaga yang juga mantan Presdir Bank
Danamon dan PT Telkom, mengisahkan ayahnya yang sangat menekankan
agar anak berprestasi.
Ayahnya sering mengingatkan, Di mana pun berada, carilah prestasi karena
prestasi itu yang membawa ke kemakmuran. Kalau menjadi bankir, jadilah
bankir yang baik! Kalau sukses jadi bankir yang baik, pasti dapat rumah dan
mobil bagus. Jangan berpikir sebaliknya, bekerja di bank untuk mengejar
rumah bagus dan mobil bagus. Yang kita kejar prestasi dulu! demikian
pesan ayah Arwin.
Beberapa keluarga bahkan memacu semangat berprestasi dengan memberi
sanksi. Mirta pernah dikurung ayahnya selama 7 jam gara-gara ada nilai
rapor yang jelek. Sementara Ongki P. Soemarno pernah kena pecut gara-gara
ada nilai merah di rapornya saat kelas 1 SD. Wuuuh bapak saya galak
banget, keras! kata Ongki. Orang tuanya juga tidak pernah memberikan
sesuatu dengan mudah kepada anak-anaknya. Anak-anak diminta untuk
berjuang dulu, tak diberikan begitu saja. Awalnya, kami frustasi. ujar pria
yang menikah di usia 23 tahun itu.
Anak-anak juga didorong agar senang berkompetisi. Orang tua Omar S.
Anwar, misalnya, menyekolahkan Anwar di luar negeri yang iklim
kompetisinya baik. Lingkungan sekolahnya sangat mendukung berkompetisi.
Mereka berkompetisi, berlomba-lomba untuk mendapat nilai yang bagus
sehingga saya juga ikut arus itu, tutur Omar.
Selain itu, sisi pengembangan emosi dan sosial anak juga mulai dibangun.
Arwin mengaku, ayahnya selalu menekankan pentingnya ketenangan jiwa
(hidup), bukan semata-mata kekayaan. Lalu, jangan menilai orang dari
kekayaan, tapi dari strength of the character and the size of the heart. Juga,
harus berpegang teguh pada prinsip yang bersifat universal. Prinsip itu
antara lain konsekuen, menepati janji, jujur, berjiwa besar, tidak mengambil
hak orang, tidak ngomongin orang di belakang dan tidak main sikut.
Juga, jangan minder dan harus menghormati semua orang. Kami harus
punya pendirian dan fair kepada siapa pun, ujar Arwin. Tak mengherankan,
dalam memaknai sukses pun orang tua Arwin agak berbeda. Sukses adalah
apabila kita dapat memperoleh rasa damai pada diri kita sendiri, mencapai
target yang kita tentukan, dan bisa memberikan kontribusi kepada
lingkungan kita, baik keluarga maupun konteks yang lebih luas seperti
saudara yang kurang mampu, Arwin mengungkapkan.

18

Dari sisi gaya hidup, meski sebagian datang dari keluarga mapan, mereka
dididik hidup sederhana. Mereka dibiasakan tak berlebihan dan efisien.
Ongki, Ari dan Rini pun demikian. Mereka dididik mandiri. Bapak saya selalu
menekankan, jangan mudah minta tolong sama orang. Jangan membebani
orang lain. Itu sudah mendarah daging di keluarga kami, kata Ongki. Jadi,
walau bersekolah di Belanda, mereka sudah bekerja sejak SMP. Liburan diisi
dengan bekerja di toko buku atau pabrik permen. Semua anak punya
pengalaman kerja waktu masih muda. Kami punya karakter sama: tidak mau
buang waktu di masa muda, Ongki menjelaskan.
Yang juga tak kalah penting, rata-rata keluarga sukses mencoba
mengalihkan anak-anaknya dari pergaulan yang kurang kondusif dengan
memberi kegiatan ekstra yang positif: berolah raga untuk membangun
sportivitas, kursus, dan sebagainya. Sri Mulyani tak menampik, ketika
menuju dewasa, dia dan saudaranya didorong aktif di sekolah daripada
bergaul dengan lingkungan yang tak kondusif. Kami dibiasakan ikut olah
raga dan kesenian selain belajar di sekolah. Tujuannya, agar energi
tersalurkan melalui kegiatan positif, ujar Sri Mulyani yang biasa ikut
kegiatan bola voli, basket, pramuka, hiking, Palang Merah Remaja dan
paduan suara.
Hal yang sama terjadi di keluarga Supandji. Diceritakan Hendarti Permono
Supandji, di keluarganya tiap anak diharuskan memiliki hobi. Olah raga dan
musik merupakan dua bidang yang diutamakan ayahnya. Pada hari tertentu
kami dibangunkan pukul 5 pagi. Bapak sendiri yang mengendarai jip tentara
membawa kami ke kolam renang di Secang yang jaraknya 30 km dari tempat
tinggal kami di Magelang. Bapak melatih satu per satu anaknya berenang,
katanya.
Lalu, tiap Minggu pagi, ada sopir dari Akademi Militer, Magelang, yang
mengantarkan anak-anak untuk belajar piano dan biola. Jika sopir sedang
berhalangan, kami naik bus dari Magelang ke Jogja, kata Hendarti.
Sebetulnya, ia sempat kesal mengapa tak bisa bebas bermain seperti anakanak lain, tapi kini ia mengerti bahwa langkah ayahnya benar. Manusia tak
hanya dikembangkan dari kecerdasan otak saja, tapi juga kecerdasan lain
seperti bermusik dan motorik. Kita tahu dari ilmu psikologi bahwa terdapat
12 kecerdasan yang semuanya harus dilatih, paparnya.
Tentu saja, orang tua tidak boleh egois. Menuntut anak berprestasi, tapi
mereka tak mau berkorban. Bila diamati, tampaknya keluarga dengan anak-

19

anak yang sukses diawali dari orang tua yang berkomitmen dan siap
berkorban demi mengantar anak-anaknya menggapai masa depan.
Contoh menarik di keluarga Markis Kido, juara ganda Olimpiade Beijing yang
saudara-saudaranya juga atlet nasional bulu tangkis. Markis menceritakan,
pengorbanan orang tuanya sangat besar, sehingga dia dan saudarasaudaranya punya semangat berkobar untuk mencapai prestasi. Setiap mau
latihan, pagi-pagi semua anak sudah dibangunkan, digendong dan
dimasukkan ke mobil satu demi satu. Semangat orang tuanya itu membuat
Markis tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Orang tua saya sampai harus
mengeluarkan biaya sendiri untuk mengikuti berbagai turnamen. Bahkan,
orang tua kami langsung yang mengantar, baik ketika tanding di dalam
maupun luar negeri, katanya.
Kesediaan berkorban juga diwujudkan dengan memberikan dukungan dan
fasilitas, baik materiil seperti peranti pendidikan dan belajar ataupun
nonmateril seperti suasana dan budaya keluarga. Orang sukses rata-rata
lahir dari orang tua yang meyakini paradigma bahwa pendidikan sangat
penting. Keluarga Omar S.Anwar dan Soemarno juga seperti itu.
Ongki P. Soemarno menjelaskan, orang tuanya sangat percaya pentingnya
pendidikan. Bapak saya percaya sekali beliau bisa menjadi gubernur,
sekjen, dan menteri karena pendidikan. Bapak tidak punya tujuan
menjadikan kami sebagai pengusaha karena ambtenar tulen. Bukan materi,
yang penting pendidikan, kata pria yang lulus magna cumlaude dari
Harvard University itu (program MBA). Untuk itu pula, orang tuanya
bersusah-payah membiayai anak-anaknya ke luar negeri.
Yang tak ketinggalan, tampaknya para orang tua tersebut juga terus
menstimulai putra-putrinya untuk berkembang sesuai dengan minat masingmasing alias tidak membiarkan anak tumbuh tanpa arah. Orang tua Arwin
Rasjid gemar mengajarkan kepada anak-anaknya untuk rajin membaca bukubuku biografi orang terkenal dan orang sukses. Arwin pun mengaku sangat
senang dengan kebiasaan itu. Ia menandaskan, dengan membaca biografi
orang-orang besar, juga berbagai artikel yang mendorong pengembangan
kepribadian, kita menjadi banyak belajar. Bagaimana dengan keluarga Anda?
Reportase: Gigin W. Utomo, Husni Mubarak, Kristiana Anissa, Rias Adriati,
Sigit A. Nugroho, Siti Ruslina, Tutut Handayan, dan Wini Angraeni. Riset: Siti
Sumariyati.
Yang Harus Diberikan Orang Tua:
20

Memberi kesempatan berkembang sesuai dengan minat dan bakat


Menciptakan suasana agar anak bisa fun dan enjoy dalam
pengembangan diri
Menanamkan nilai-nilai positif dasar (kerja keras, disiplin, sadar waktu,
dll.)
Membekali anak dengan pendidikan formal memadai
Menumbuhkan keterampilan sosial dan intelektual
Mendorong semangat berkompetisi dan berprestasi
Membiasakan anak berjuang dulu dalam meminta sesuatu
Melatih dengan memberi lebih banyak tanggung jawab
Memberikan pengorbanan (waktu, tenaga, pikiran, perhatian, kasih
sayang, fasilitas belajar, dll.)

Yang Tak Boleh Dilakukan:

Mengarahkan anak tanpa melihat konteks lingkungan dan zamannya


Memaksanakan minat anak sesuai dengan kehendak orang tua
Menuruti semua permintaan anak
Menganggap anak tak berpotensi sehingga lebih banyak mendidik
dengan memerintah
Banyak menuntut kepada anak sementara orang tua tak mengimbangi
dengan pengorbanan

21

Buah Akan Mencerminkan Pohonnya


Buah akan mencerminkan pohonnya. Keberhasilan orangtua akan dinilai dari
bagaimana mereka membesarkan dan mendidik putra-putrinya. Pepatah tersebut
ditulis Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin
Hidayat pada halaman pertama buku biografi Roesmiati Soepandji.
Dalam buku The Long and Winding Road: Sebuah Biografi Roesmiati Soepandji
dalam Memperoleh Kesejahteraan, Ketenteraman, dan Kebahagiaan Hidup yang
Abadi terbitan 2009, Komaruddin menyatakan, dengan formula tersebut, Roesmiati
Soepandji telah membesarkan putra-putrinya menjadi sarjana mandiri,
berintegritas, terpandang dalam pergaulan nasional, dan sangat hormat kepada
kedua orangtua.
Hanya akar dan pohon yang sehat akan melahirkan dedaunan yang rimbun dan
buah yang sehat sehingga memberi berkah bagi lingkungannya, tulis Komaruddin.

Roesmiati dan suaminya, Brigadir Jenderal (Purn) dr Soepandji (alm), termasuk


salah satu keluarga di negeri ini yang melahirkan anak-anak yang sukses.
Tiga dari enam anak mereka menduduki jabatan tertinggi di beberapa lembaga,
yakni Hendarman Soepandji, SH (64), mantan Jaksa Agung; Mayor Jenderal TNI
Hendardji Soepandji (58), mantan Komandan Pusat Polisi Militer TNI dan mantan
Asisten Pengamanan Kepala Staf Angkatan Darat; serta Prof Dr Ir Budi Susilo
Soepandji (56) yang saat ini menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional
(Lemhannas).
Dua anaknya yang lain sukses berkarier dalam bidang pendidikan, yakni dr
Hendarto (66), dosen di Universitas Diponegoro, Semarang;
dan Dra Hendarti (60), dosen Universitas Yayasan Administrasi Indonesia, Jakarta.
Adapun seorang putra lainnya, Ir Bambang Tri Sasongko (48), adalah pengusaha
yang bergerak di berbagai bidang, antara lain batu bara dan pelabuhan.
Bagaimana pasangan Roesmiati dan Soepandji mendidik dan membentuk karakter
putra mereka hingga berhasil dalam studi dan karier? Saat ditemui, awal April 2011
di rumahnya di Magelang, Jawa Tengah, Roesmiati yang September mendatang
genap berusia 87 tahun menuturkan, sejak kecil anak-anaknya dilatih disiplin oleh
ayah mereka. Pukul 04.30 pagi anak-anak sudah dibangunkan dan diajari berenang
oleh bapaknya, ujarnya.
Sementara Roesmiati punya cara tersendiri membesarkan anak-anaknya. Sejak
anak-anaknya masih kecil, setiap malam, sebelum tidur, dia menceritakan dongengdongeng dengan berbagai pesan moral. Kisah yang didongengkan adalah cerita dari
22

kumpulan dongeng Hans Christian Andersen yang diubah menjadi cerita rakyat
dengan cara mengganti nama tokohnya dengan nama-nama Jawa.
Dengan mengganti nama yang lebih akrab dengan telinga mereka, anak-anak
dapat lebih cepat menangkap dan merekam pesan moral dari cerita yang saya
sampaikan. Dari dongeng itulah saya tanamkan kepada mereka agar kelak menjadi
kusuma bangsa, ujarnya seraya mengakui tidak begitu paham cerita rakyat karena
sejak kecil mengenyam pendidikan ala Belanda.
Selain menanamkan nilai kesabaran, kasih sayang, dan kejujuran, sang ibu juga
mendidik anak-anaknya takut akan Tuhan. Saya ingin anak-anak saya menjadi
kekasih Tuhan, ujarnya. Maka, sejak anak-anaknya lahir, doa Roesmiati selalu
mengawal langkah anak- anaknya. Bahkan, demi kesuksesan anak- anaknya, sang
ibu rela melakukan ritual puasa selama tiga hari, sebelum dan sesudah weton (hari
kelahiran sesuai pasaran Jawa) tiap-tiap anak. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga
mereka menamatkan pendidikan sarjana. Sesuai dengan adat kebiasaan wanita
Jawa, hal itu dilakukan sebagai upaya tirakat dan doa agar putra-putrinya dapat
hidup sukses dan bahagia.
Saya selalu pesan, jika jadi dokter sembuhkanlah banyak orang dan jangan cari
uang,
jadi guru jangan kejam, jadi tentara jangan untuk membunuh,
dan jangan pernah korupsi dan memanipulasi dana pembangunan kalau jadi
insinyur, ujarnya.

Pendidikan anak-anak diarahkan


Saat anak-anak mereka lulus SMA, Roesmiati menegaskan, dia dan suaminya
memang mempersiapkan ke mana anak- anak itu harus melanjutkan studi. Kecuali
Hendardji yang sejak kecil bercita-cita menjadi tentara, lima anak pasangan
Roesmiati dan Soepandji diarahkan kuliah dengan disiplin ilmu berbeda-beda.

Putra sulung, dr Hendarto (Nto), mengikuti jejak sang ayah, menjadi dokter
dan kini dosen di Fakultas Kedokteran Undip.

Putra kedua, Hendarman Soepandji (Mamang), yang awalnya ngotot masuk


jurusan teknik, akhirnya mau kuliah di Fakultas Hukum, sebagaimana
keinginan orangtuanya. Hendarman tak hanya menjadi jaksa biasa, tetapi
dalam kariernya dia mencapai jabatan tertinggi di Kejaksaan Agung.

Anak ketiga yang merupakan satu-satunya perempuan, Hendarti (Heni),


diarahkan kuliah di bidang psikologi dan hingga kini menjadi dosen Psikologi
di Kampus YAI Jakarta.
23

Sementara putra keempat, Hendardji (Haji), yang sejak kecil menunjukkan


minat dengan dunia tentara, sejak lulus SMA memantapkan diri masuk
Akademi Militer Magelang. Tak hanya sukses berkarier militer, kini Hendardji
juga dipercaya menjabat Direktur Utama Pusat Pengelolaan Kompleks
Kemayoran (PPKK) Jakarta.

Budi Susilo Soepandji (Usi) yang merupakan anak kelima pasangan Roesmiati
dan Soepandji sejak kecil menunjukkan kemampuan berpikir secara
bijaksana. Budi pun mengenyam pendidikan S-2 dan S-3 di Perancis. Sebelum
dipercaya presiden menjabat Gubernur Lemhannas, Budi pernah menjabat
Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan dan Dekan
Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Berbeda dengan kelima kakaknya, putra bungsu, Bambang Tri Sasongko (48),
memilih berkecimpung di dunia usaha.

Pendidikan karakter yang ditanamkan sejak kecil hingga kini dipegang anak-anak
Roesmiati dan Soepandji. Bahkan, Hendardji dalam buku biografinya mengakui
mendidik anak bukan hanya menjadikan seorang anak menjadi pintar, melainkan
yang jauh lebih penting harus mempunyai karakter. Sehingga sekarang, saat usia
kami sudah tua begini, dongeng itu masih membekas sehingga saya merasa inilah
pendidikan yang paling efektif, demikian pandangan Hendardji tentang sosok
ibunya.
Sebagai perempuan, Roesmiati menyatakan, dia tidak hanya sekadar menjadi ibu
yang melahirkan anak-anak, tetapi juga sebagai pendidik anak yang pertama dan
utama dalam membentuk anak-anak yang berbudi pekerti luhur. Pertama, karena
anak dikandung ibu dan utama karena ibulah yang setiap saat berada di sisi anakanaknya.
Seperti ungkapan dalam sebuah buku, when you educate one man, you educate
one person, but when you educate one women, you educate one generation. Ketika
Anda mendidik satu orang, Anda mendidik satu orang, tetapi ketika Anda mendidik
satu perempuan, Anda mendidik satu generasi.

Sumber :
http://www.swatt-online.com/tag/ir-budi-susilo-soepandji/
http://www.swatt-online.com/tag/dr/
http://rumahpengetahuan.web.id/pendidikan-keluarga-pendidikan-karakter-alakeluarga-soepandji/
http://twitter.com/fathrahman/statuses/63054390558330881
24

25

You might also like