Professional Documents
Culture Documents
Putra ke empat mereka Anwar Jundi kuliah di Institut Pertanian Bogor, Atika, putri ke
5 kuliah di FE UI, Ibrahim kuliah di Jurusan Teknik Kimia UI, Shohwah dan Farhana di
SMA 1 Padang. Dua orang lainnya masih sekolah di SMP dan SD.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allh terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(QS. At
Tahrim: 6).
Irwan Prayitno pernah menciptkan sebuah lagu Anakku Penyejuk Hatiku. Lagu ini
menggambarkan betapa anak-anaknya merupakan obat pelepas lelah dalam
menjalani kehidupan yang keras sebagai seorang politisi. Sebuah keluarga yang
sempurna di bawah ridho Ilahi, rahmat dan kasih sayang Allah swt mereka dapati,
alamat badan selamat menempuh kerasnya hidup ini.
Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang
yang bertakwa.(QS. Al-Furqan: 74)
Masih ingat dengan bocah penderita lumpuh otak atau Cerebral Palsy ini? Dia adalah Fajar
Abdurokhim Wahyudiono, 11, yang membuat banyak Syaikh di tanah arab bertasbih dan
bertahmid karena bisa hafal Al-Qur'an 30 juz dengan sangat kuat. Pada musim haji tahun
2015 ini, dia mendapat undangan khusus dari kerajaan Arab Saudi untuk menunaikan
rukun Islam kelima tersebut. Masya Allah.
Berkah Quranul Karim benar-benar menaungi keluarga Fajar. Seperti diberitakan TVOne,
Rabu (29/09/2015), pemerintah Arab Saudi memberikan undangan untuk Fajar, kedua
orang tuanya dan dua orang pengasuh. Tidak hanya itu, Fajar diberi hadiah uang sebesar
200 dolar AS perbulan selama satu tahun.
Banyak jamaah haji dalam rombongan Fajar yang penasaran. Mereka ingin mendengar dan
menyaksikan sendiri kebenaran hafalan Fajar. Beberapa di antara mereka mencoba
melontarkan ayat Al-Qur'an dan meminta Fajar menyambungnya. Hasilnya, bocah tersebut
mampu melanjutkan setiap ayat dengan lancar.
Fajar adalah putra pasangan Heny Sulistiowati dan Joko Wahyudiono yang lahir pada tahun
2
2004 yang lalu. Dia lahir prematur pada usia kandungan 7,5 bulan dengan berat badan
hanya 1,6 kilogram.
Sejak lahir kondisi Fajar sudah memprihatinkan. Katup jantungnya ada yang bocor dan
menderita Cerebral Palsy, yaitu suatu kondisi terganggunya fungsi otak dan jaringan saraf
yang mengendalikan gerakan, laju belajar, pendengaran, penglihatan, kemampuan berpikir.
Penyakit ini menyebabkan seorang anak akan mengalami keterlambatan perkembangan.
Namun Heni dan suaminya bertekad memberikan yang terbaik untuk putranya. Dengan
sabar ayahnya selalu membacakan Al Qur'an setengah juz pada pagi hari dan setengah juz
pada malam hari sejak masih berada di inkubator.
"Kami berusaha untuk memberikan lingkungan yang terbaik untuknya. Di rumah saya dan
suami sepakat memutarkan tilawah 24 jam agar dia selalu mendengar yang baik-baik saja
tanpa terpikir dia akan hafal Al Quran" cerita Heni.
Di usianya yang ketiga, Fajar baru dapat berbicara namun yang keluar dari bibirnya
seringkali berupa potongan-potongan ayat Al Qur'an. Pasangan tersebut lalu memanggil
seorang guru untuk mengajarkan dan membimbing Fajar. Hasilnya Fajar hafal 30 juz Al
Qura'n di usia 4,5 tahun dengan hafalan yang sangat kuat.
"Aku ingin menjadi Imam Masjidil Haram," jawab Fajar ketika ditanya apa cita-citanya. Dia
pun berpesan dan berdoa agar seluruh masyarakat Indonesia semangat untuk menghafal
Al Qur'an
menjadi Ketua Umum. Mereka adalah anggota DPR dari fraksi yang sama saat
Mutammimul Ula menjadi anggota dewan.
Lalu, metode apa yang Kang Tamim dan Mbak Wiwi terapkan dalam mendidik putraputrinya?
Kuncinya adalah keseimbangan proses. Begitu simpulan dari metode pendidikan
anak-anak sebagaimana tertulis dalam buku 10 Bersaudara Bintang Al-Quran.
Walaupun mereka berdua sibuk, mereka telah menetapkan pola hubungan keluarga
yang saling bertanggungjawab dan konsisten satu sama lain. Selepas Magrib jadwal
mereka adalah berinteraksi dengan Al-Quran.
Guna mendukung kesuksesan program ini, mereka mencanangkan kebijakan
sederhana, yakni: menyingkirkan televisi dari rumah, tidak memasang gambargambar selain kaligrafi, tidak membunyikan musik-musik yang melalaikan, dan
tidak ada perkataan kotor di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Hal yang cukup mendasar yang dimiliki keluarga ini sehingga mampu mendidik 10
bersaudara bintang Al-Quran adalah visi dan konsep yang jelas.
Pertama adalah menjadikan putra-putri seluruhnya hafal Al-Quran. Kedua,
pembiasaan dan manajemen waktu. Setelah salat Subuh dan Maghrib adalah waktu
khusus untuk Al-Quran yang tidak boleh dilanggar dalam keluarga ini. Sewaktu
masih balita, Wirianingsih konsisten membaca Al-Quran di dekat mereka,
mengajarkannya, bahkan mendirikan TPQ di rumahnya.
Ketiga, mengomunikasikan tujuan dan memberikan hadiah. Meskipun awalnya
merasa terpaksa, namun saat sudah besar mereka memahami menghafal Al-Quran
sebagai hal yang sangat perlu, penting, bahkan kebutuhan. Komunikasi yang baik
sangat mendukung hal ini. Dan saat anak-anak mampu menghafal Al-Quran,
mereka diberi hadiah. Barangkali semacam reward atas pencapaian mereka.
Mengenai punishment tidak dijelaskan secara rinci.
Penulis buku (10 Bersaudara Bintang Al-Quran) ini membahas urgentitas menjadi
hafiz Al-Quran. Penulis mengklasifikasikannya menjadi dua bagian: keutamaan
dunia dan keutamaan akhirat. Fadhail dunia antara lain: hifzul Al-Quran merupakan
nikmat rabbani, mendatangkan kebaikan, berkah dan rahmat bagi penghafalnya,
hafiz Al-Quran mendapat penghargaan khusus dari Nabi (tasyrif nabawi), dihormati
umat manusia.
Sedangkan fadhail akhirat meliputi: Al-Quran menjadi penolong (syafaat)
penghafalnya, meninggikan derajat di surga, penghafal Al-Quran bersama para
malaikat yang mulia dan taat, diberi tajul karamah (mahkota kemuliaan), kedua
orang tuanya diberi kemuliaan, dan pahala yang melimpah.
6
Berkat prestasi langka itu, Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) mengganjar
keluarga asal Palembang, Sumatera Selatan, tersebut dengan gelar Profesi Dokter
Terbanyak dalam Satu Keluarga.
Bagaimana mendidik sepuluh anak menjadi dokter? Menurut Nafisah, semua itu
berkat didikan keras almarhum suaminya, Alwi Idrus Shahab. Awalnya keluarga
tersebut adalah keluarga saudagar. Mereka memiliki toko di kawasan kota
Palembang yang menyediakan kain dan batik. Grosir bisa, eceran oke.
Dagangan kain dan batik itu cukup sukses. Namun, Alwi tidak pernah mendidik
anak-anaknya mengikuti jejak orang tua menjadi saudagar. Dia menginginkan
semua anaknya menempuh pendidikan yang lebih tinggi daripada dirinya.
Keinginan itu muncul, kata Isa An Nagib, karena pengalaman pribadi sang ayah.
Alwi yang lulusan sarjana muda jurusan ekonomi itu merupakan anak lelaki yang
paling tua. Dia mengemban beban berat untuk membantu adik-adiknya. Keinginan
menempuh pendidikan yang lebih tinggi tak kesampaian karena dirinya harus
bekerja keras. ''Beliau tak ingin itu terjadi kepada anak-anaknya,'' katanya.
Karena itu, Alwi mendidik semua anaknya untuk belajar keras. Semua fasilitas yang
berhubungan dengan pendidikan dia penuhi. Mulai buku hingga peralatan sekolah.
''Abah itu dulu, anak-anak pagi minta, sore sudah ada,'' kata Isa mengenang
almarhum sang ayah yang meninggal pada 1996 itu.
Ide untuk ramai-ramai kuliah di kedokteran datang dari si sulung, Idrus Alwi. Dia
adalah orang pertama dalam keluarga yang kuliah di kedokteran. Saat itu dia kuliah
di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Tiap mudik Lebaran,
Idrus bercerita panjang lebar tentang asyiknya kuliah di kedokteran kepada
saudara-saudaranya. Mereka pun tergiur. Sejak saat itu target utama adik-adik Idrus
setelah lulus sekolah hanya satu: kuliah kedokteran. ''Kampusnya boleh di mana
saja. Pokoknya negeri. Soalnya, kuliah dokter kan mahal,'' ujar Isa.
Gayung bersambut. Keinginan itu diamini oleh Alwi. Apalagi, profesi dokter
merupakan jasa yang selalu dibutuhkan masyarakat. Lulusan fakultas kedokteran
tak bakal nganggur.
Menurut Nafisah, membesarkan 12 anak susah-susah gampang. Disiplin harus
ketat. Suaminya, Alwi, kata Nafisah, memberlakukan aturan bahwa seluruh anak
harus pulang setiap Magrib. Apa pun alasannya, tidak ada yang boleh keluar rumah
bablas hingga Isya. ''Kecuali ada undangan yang benar-benar nggak bisa ditunda,''
kata Nafisah.
Aturan itu cukup efektif. Seluruh anaknya menurut. Kalaupun ada acara dengan
teman-temannya, pasti mereka pulang dulu menjelang Magrib. Dengan cara itu,
kata Nafisah, me-manage 12 anak jadi gampang. Setelah Magrib, mereka juga tidak
boleh langsung terus bablas hingga malam. Mereka harus mengaji dan baca-baca
8
buku pelajaran di rumah walau sebentar. ''Lagi pula, kalau ada kondangan atau
acara, kan pasti setelah Isya. Nggak mungkin habis Magrib langsung pergi,''
ujarnya.
Selain itu, keluarga besar tersebut juga sering meluangkan waktu untuk jalan
bareng. Setiap Sabtu dan Minggu, toko keluarga Alwi hanya buka separo hari. Sisa
waktu lainnya digunakan untuk berjalan-jalan ke taman atau kolam renang di
sekitar Kota Palembang. ''Pokoknya ngikutin kemauan anak,'' kata Nafisah.
Kini, 12 bersaudara itu tidak lagi ber-home base di Palembang seperti dulu.
''Markas'' keluarga Shahab itu kini di perumahan Puri Sri Wedari, Cibubur, Depok,
Jawa Barat. Di rumah si sulung. Kebanyakan di antara mereka pun bertempat
tinggal di kawasan pinggiran Jakarta itu. Paling tidak, ada enam anak Nafisah yang
tinggal di sekitar Depok. Beberapa di antara mereka kompak ikut praktik di Rumah
Sakit Permata Cibubur.
Soal rumah sakit itu, si sulung juga yang jadi perintisnya. Pada 2003, bersama
sejumlah kolega dokternya, Idrus mendirikan RS tersebut. Saat itu, kata Isa, daerah
Cibubur masih sepi. Rumah sakit itu bahkan menjadi rumah sakit pertama di daerah
tersebut. Alhasil, beberapa saudara Idrus yang lulus sekolah dokter pun diajak
praktik di sana sekaligus tinggal di sana. ''Lagi-lagi, kakak pertama yang
mengawali,'' ungkapnya.
Nafisah menuturkan, memiliki sepuluh anak dokter tidak selalu mendapat pujian
orang. Malah ada yang mencibir. Apalagi kalau anak perempuan yang jadi dokter.
''Buat apa sekolah lama-lama. Nanti tua, jodohnya sulit,'' kata Nafisah menirukan
komentar orang-orang.
Tapi, Nafisah percaya bahwa jodoh akan ikut dengan aktivitas anak. Perjalanan studi
dokter yang panjang membuat mereka bertemu banyak orang. Karena itu, mitos itu
tidak membuat dia ragu mendorong anak-anaknya menempuh pendidikan yang
lebih tinggi.
Kata Nafisah, upaya menyekolahkan anaknya itu sempat mendapat cobaan ketika
sang kepala keluarga meninggal dunia pada 1996. Saat itu, empat anaknya masih
sekolah. Dua orang di kelas 3 SMA, satu orang di kelas 2 SMA. Sejumlah anak belum
lulus kuliah.
Nafisah sempat sedikit terguncang dengan meninggalnya Alwi. Dia melupakan
guncangan jiwanya itu dengan bekerja di toko. ''Saat sibuk di toko nggak ingat, tapi
pulang di rumah ingat lagi. Sedih rasanya,'' kata nenek 30 cucu itu. Selama dua
tahun, perasaan itu terus dia alami.
Namun, perempuan kelahiran 1 Agustus 1946 itu tak menyerah. Dengan toko dan
warisan suami, pendidikan 12 anaknya terus diperjuangkan. Beberapa anak yang
sudah mentas dan bekerja ikut membantu ongkos sekolah dan kuliah. Beban itu,
9
kata Nafisah, tidak terlalu berat. Sebab, toko mereka juga masih laris. ''Tapi, tanah
dan aset abah dijual semua untuk membiayai anak-anak sekolah,'' ungkap Isa.
Sepuluh tahun setelah sang suami meninggal, Nafisah berhasil mengatar lulus
anak-anaknya. Mereka juga sudah mandiri dan berkeluarga. Sejak saat itu, anakanak melarang Nafisah sibuk di toko. Mereka lantas memboyong Nafisah ke Cibubur
agar dekat dengan anak-anak dan cucu-cucunya.
Kini saat ada waktu luang, anak dan cucunya mengajak dia pelesir ke luar
negeri.''Pokoknya keliling ke mana-mana, sampai lupa negaranya,'' kata Nafisah.
Hari ini Nafisah berencana mengunjungi Nouval Shahab, anaknya yang sedang
mengejar gelar PhD di Jepang. ''Visanya baru keluar hari ini (kemarin), besok (hari
ini) langsung berangkat,'' katanya. (*/c1/ari)
Sumber :
http://esabiwibowo.blogspot.com/2012/03/ibu-yang-meraih-rekor-murikarena.html#axzz223xQY4oA
http://www.indopos.co.id/index.php/berita-indo-rewiew/2138-kisah-suksesperjuangan-ibu-mendidik-anak.html
http://kabarnet.wordpress.com/2010/04/27/nafisah-sang-ibu-yang-10-anaknya-jadidokter/
Kiprah keluarga Satar pun menarik. Emirsyah Satar sudah tak asing, kini
Presdir di PT Garuda Indonesia. Lalu, saudaranya, Rizal Satar, menjabat
Presdir Pricewaterhouse Coopers FAS. Sementara Kemal Satar bergelut
sebagai wirausaha properti.
11
Pada lingkup profesi kedokteran, kita boleh mencatat keluarga drg. Noto
Husodo Widodo sebagai keluarga yang unik sekaligus spektakuler. Dari
keluarga ini, tak kurang dari 18 orang yang berprofesi sebagai dokter gigi.
Drg. Noto sendiri adalah empat bersaudara, dan menjadi dokter gigi
bersama saudaranya, Harjanto Widodo. Uniknya, Noto yang menikah dengan
dr. Lydiana Gunawan dikaruniai tiga anak yang semuanya dokter gigi, yakni
drg. Joyce Niti Widodo,. Drg. Grace Niti Widodo dan drg. Arifo Adhianto
Widodo.
Uniknya lagi, Joyce menikah dengan Felix Hartono Koerniadi yang juga dokter
gigi. Terus, Grace pun menikah dengan dokter gigi, yakni drg. Benny M.
Soegiharto. Mayoritas keponakan drg. Noto juga dokter gigi, atau setidaknya
menikah dengan dokter gigi. Total tak kurang dari 18 dokter gigi di
lingkungan keluarga ini. Ada yang membuka klinik sendiri dan ada yang kerja
untuk rumah sakit besar tertentu.
12
Dari Jawa Tengah, menarik juga melirik keluarga dr. Supandji, dokter penyakit
dalam di Akademi Militer, Magelang. Supandji melahirkan lima putra dan
satu putri yang rata-rata kariernya di atas rata-rata. Anak pertamanya,
Hendarto Supandji, pengajar di FK Undip (pensiun). Lalu, Hendarman
Supandji, sebagian besar sudah mafhum karena dia adalah Jaksa Agung RI.
Seterusnya, Hendardji Supandji, salah satu pejabat di KASAD; Budi Susilo
Supandji, mantan Dekan Fakultas Teknik UI, Direktur Kopertis untuk wilayah
Jakarta, Dirjen Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan dan Keamanan
RI; dan Ongky Supandji, aktif sebagai pengusaha. Jadi, keluarga Supandji ada
yang di birokrasi, dosen dan bisnis.
Pasangan Sutrepti dan Soemarno (Gubernur DKI tahun 1960-an dan Menteri
Keuangan Kabinet Dwikora) pun melahirkan anak-anak cemerlang. Ada Ari H.
Soemarno (kini Dirut PT Pertamina), lalu Rini M. Soemarno (mantan Menteri
Perdagangan, Presdir Grup Astra, dan kini pengusaha otomotif), dan Ongki P.
Soemarno (pengusaha multibisnis, mantan eskekutif Grup Humpuss). Dua
putrinya yang lain memilih menjadi ibu rumah tangga, tapi anak-anaknya
juga sukses meretas karier di luar negeri. Bisa jadi, ada yang menilai pantas
saja mereka sukses karena orang tuanya punya posisi tinggi. Namun,
seharusnya juga diingat, banyak anak pejabat yang jangankan kariernya
tumbuh, sekolah menengah saja tak selesai. Bahkan, anak-anaknya banyak
yang kacau.
Di panggung olah raga, kita bisa mencatat keluarga Radja Nasution yang
secara luar biasa mengantarkan putri-putrinya menjadi atlet-atlet renang
terbaik di negeri ini. Ada Elfira Nasution, Elsa Manora Nasution, Maya Masita
Nasution, Kevin Rose Nasution, dan M. Akbar Nasution. Semuanya
merupakan atlet-atlet renang papan atas negeri ini dan sudah mewakili RI di
berbagai event, seperti SEA Games atau Asian Games.
Di kancah perbulutangkisan, antara lain terdapat keluarga Djumharbey
Anwar yang anak-anaknya pemain bulu tangkis berprestasi. Mulai dari Markis
Kido (pemain nasional peraih emas Olimpiade 2008), Pia Zebaidah Bernadet
(anggota pelatnas, penentu kemenangan Indonesia di SEA Games 2007),
Bona Septano (pemenang Kejuaraan Dunia Mahasiswa di Eropa). Tentu,
selain keluarga Radja Nasution dan Djumharbey Anwar, masih ada keluarga
lain yang bisa jadi juga tak kalah cemerlang.
Lalu, kalau menengok dunia seni, beberapa keluarga juga pantas disebut.
Pasangan A.R. Juwarno dan Agnes Sumiarsih mengorbitkan putra-putra yang
harum di dunia musik. Kita tentu kenal Katon Bagaskara, Nugie (Gusti
13
Nugroho) dan Andre Manika, ketiganya putra pasangan itu. Andre Manika
seorang pencipta lagu, sementara Katon (KLA Project) dan Nugie artis yang
dikenal luas karena beberapa albumnya sukses di pasar.
Demikian juga, pasangan Jopie Item dan Evi Aziz. Mereka sukses mencetak
pelaku-pelaku industri musik. Sebut saja, Paula Alodya Item (Audy), penyanyi
wanita papan atas yang sukses meraih empat penghargaan AMI Award. Lalu,
Stevy Morley Item (gitaris Andra and The Backbone) dan Rinaldi Ramadlan
Item (gitaris Hi Gain dan Audy Band).
Sudah pasti, selain nama-nama di atas, masih banyak keluarga sukses lain di
Indonesia yang putra-putrinya juga berkilau. Entah itu yang berkiprah
sebagai profesional bisnis, wirausaha, olahragawan, seniman, birokrasi
publik, dan profesi lain (bisa dilihat di Tabel). Terlepas dari diskusi siapa saja
yang terbilang keluarga sukses, sesungguhnya yang sangat menarik
mengurai mengapa keluarga itu (orang tuanya) bisa melahirkan generasi
atau anak-anak yang sukses seperti itu. Mengapa ada keluarga yang sangat
sukses seperti itu, tapi di lain tempat banyak keluarga yang sebagian kecil
saja anggotanya yang sukses atau malah tidak ada sama sekali?
14
terbang kaya raya. Malcolm hanya ingin menjelaskan, ada faktor sejarah dan
lingkungan termasuk lingkungan keluarga dan orang tua yang menjadi
driving force kesuksesan. Dan tampaknya, pandangan Malcolm itu juga tetap
relevan untuk menjelaskan realitas keluarga-keluarga sukses di Indonesia.
Mungkin bisa mengambil contoh keluarga Sri Mulyani yang 9 saudaranya dan
dia sendiri berkarier dengan baik di bidang masing-masing dan rata-rata
lulus S-2 dan S-3.
Menurut Mbak Ani, demikian Sri Mulyani disapa kolega dekatnya, sejak dini
bapak-ibunya sudah membiasakan anak-anaknya untuk bersuara ,
menceritakan yang mereka alami hari itu. Tiap anak boleh bercerita, bapakibunya pun demikian, bercerita tentang pekerjaan. Jadi, kami terbiasa juga
dengan cerita bapak-ibu tentang rekan-rekannya apabila sedang ada
masalah, atau mahasiswa yang pintar, mahasiswa bego, mahasiswa yang
kurang ajar, dan mahasiswa yang nasibnya perlu dikasihani. Dari cerita itu
muncullah nilai-nilai yang bisa diambil sebagai pelajaran, tutur Sri Mulyani..
Contoh lain, soal kebiasaan membaca. Kebiasaan ini juga ditanamkan dari
kecil dan dijadikan semacam hobi. Kalau pagi di rumah datang koran Suara
Merdeka, kami langsung rebutan membacanya. Demikian juga majalahmajalah seperti Kuncung dan Gadis, katanya. Bahwa kemudian rata-rata
anaknya berkembang menjadi sangat artikulatif (pandai berbicara), itu
karena orang tuanya memang sudah mengondisikannya dari kecil.
Pola seperti itu ada kemiripan dengan keluarga Noto Husodo Widodo. Seperti
dikatakan Joyce, putri drg. Noto yang juga dokter gigi, lingkungan keluarga
yang diciptakan ayahnya sangat mendorong anak-anaknya menjadi dokter
gigi. Tempat tinggal ayahnya sekaligus dijadikan tempat praktik. Anakanaknya semasa kecil biasa menghabiskan waktu di klinik sehingga akrab
dengan peralatan kedokteran gigi. Bahkan, belajar dan mengerjakan PR juga
di klinik.
Belum lagi ayahnya sering menghukum dirinya di dalam klinik. Terus, bila
musim liburan tiba, sering membantu praktik dengan membersihkan
peralatan. Karena sering melihat praktik, dirinya jadi terbiasa. Bahkan, ketika
Joyce kuliah, juga saat ini, obrolan tiap bertemu ayahnya misalnya saat
makan bersama tak jauh-jauh dari dunia dokter gigi. Papa sering
menceritakan kasus-kasus yang dia temukan, kata Joyce.
Pentingnya penciptaan lingkungan yang kondusif seperti itu pun diakui Omar
S. Anwar, Presdir PT Rio Tinto, yang saudara-saudaranya juga sukses
berkarier di lembaga negara dan dunia bisnis. Menurutnya, kondisi sosial
16
rata-rata. Arwin Rasyid, Presdir CIMB-Niaga yang juga mantan Presdir Bank
Danamon dan PT Telkom, mengisahkan ayahnya yang sangat menekankan
agar anak berprestasi.
Ayahnya sering mengingatkan, Di mana pun berada, carilah prestasi karena
prestasi itu yang membawa ke kemakmuran. Kalau menjadi bankir, jadilah
bankir yang baik! Kalau sukses jadi bankir yang baik, pasti dapat rumah dan
mobil bagus. Jangan berpikir sebaliknya, bekerja di bank untuk mengejar
rumah bagus dan mobil bagus. Yang kita kejar prestasi dulu! demikian
pesan ayah Arwin.
Beberapa keluarga bahkan memacu semangat berprestasi dengan memberi
sanksi. Mirta pernah dikurung ayahnya selama 7 jam gara-gara ada nilai
rapor yang jelek. Sementara Ongki P. Soemarno pernah kena pecut gara-gara
ada nilai merah di rapornya saat kelas 1 SD. Wuuuh bapak saya galak
banget, keras! kata Ongki. Orang tuanya juga tidak pernah memberikan
sesuatu dengan mudah kepada anak-anaknya. Anak-anak diminta untuk
berjuang dulu, tak diberikan begitu saja. Awalnya, kami frustasi. ujar pria
yang menikah di usia 23 tahun itu.
Anak-anak juga didorong agar senang berkompetisi. Orang tua Omar S.
Anwar, misalnya, menyekolahkan Anwar di luar negeri yang iklim
kompetisinya baik. Lingkungan sekolahnya sangat mendukung berkompetisi.
Mereka berkompetisi, berlomba-lomba untuk mendapat nilai yang bagus
sehingga saya juga ikut arus itu, tutur Omar.
Selain itu, sisi pengembangan emosi dan sosial anak juga mulai dibangun.
Arwin mengaku, ayahnya selalu menekankan pentingnya ketenangan jiwa
(hidup), bukan semata-mata kekayaan. Lalu, jangan menilai orang dari
kekayaan, tapi dari strength of the character and the size of the heart. Juga,
harus berpegang teguh pada prinsip yang bersifat universal. Prinsip itu
antara lain konsekuen, menepati janji, jujur, berjiwa besar, tidak mengambil
hak orang, tidak ngomongin orang di belakang dan tidak main sikut.
Juga, jangan minder dan harus menghormati semua orang. Kami harus
punya pendirian dan fair kepada siapa pun, ujar Arwin. Tak mengherankan,
dalam memaknai sukses pun orang tua Arwin agak berbeda. Sukses adalah
apabila kita dapat memperoleh rasa damai pada diri kita sendiri, mencapai
target yang kita tentukan, dan bisa memberikan kontribusi kepada
lingkungan kita, baik keluarga maupun konteks yang lebih luas seperti
saudara yang kurang mampu, Arwin mengungkapkan.
18
Dari sisi gaya hidup, meski sebagian datang dari keluarga mapan, mereka
dididik hidup sederhana. Mereka dibiasakan tak berlebihan dan efisien.
Ongki, Ari dan Rini pun demikian. Mereka dididik mandiri. Bapak saya selalu
menekankan, jangan mudah minta tolong sama orang. Jangan membebani
orang lain. Itu sudah mendarah daging di keluarga kami, kata Ongki. Jadi,
walau bersekolah di Belanda, mereka sudah bekerja sejak SMP. Liburan diisi
dengan bekerja di toko buku atau pabrik permen. Semua anak punya
pengalaman kerja waktu masih muda. Kami punya karakter sama: tidak mau
buang waktu di masa muda, Ongki menjelaskan.
Yang juga tak kalah penting, rata-rata keluarga sukses mencoba
mengalihkan anak-anaknya dari pergaulan yang kurang kondusif dengan
memberi kegiatan ekstra yang positif: berolah raga untuk membangun
sportivitas, kursus, dan sebagainya. Sri Mulyani tak menampik, ketika
menuju dewasa, dia dan saudaranya didorong aktif di sekolah daripada
bergaul dengan lingkungan yang tak kondusif. Kami dibiasakan ikut olah
raga dan kesenian selain belajar di sekolah. Tujuannya, agar energi
tersalurkan melalui kegiatan positif, ujar Sri Mulyani yang biasa ikut
kegiatan bola voli, basket, pramuka, hiking, Palang Merah Remaja dan
paduan suara.
Hal yang sama terjadi di keluarga Supandji. Diceritakan Hendarti Permono
Supandji, di keluarganya tiap anak diharuskan memiliki hobi. Olah raga dan
musik merupakan dua bidang yang diutamakan ayahnya. Pada hari tertentu
kami dibangunkan pukul 5 pagi. Bapak sendiri yang mengendarai jip tentara
membawa kami ke kolam renang di Secang yang jaraknya 30 km dari tempat
tinggal kami di Magelang. Bapak melatih satu per satu anaknya berenang,
katanya.
Lalu, tiap Minggu pagi, ada sopir dari Akademi Militer, Magelang, yang
mengantarkan anak-anak untuk belajar piano dan biola. Jika sopir sedang
berhalangan, kami naik bus dari Magelang ke Jogja, kata Hendarti.
Sebetulnya, ia sempat kesal mengapa tak bisa bebas bermain seperti anakanak lain, tapi kini ia mengerti bahwa langkah ayahnya benar. Manusia tak
hanya dikembangkan dari kecerdasan otak saja, tapi juga kecerdasan lain
seperti bermusik dan motorik. Kita tahu dari ilmu psikologi bahwa terdapat
12 kecerdasan yang semuanya harus dilatih, paparnya.
Tentu saja, orang tua tidak boleh egois. Menuntut anak berprestasi, tapi
mereka tak mau berkorban. Bila diamati, tampaknya keluarga dengan anak-
19
anak yang sukses diawali dari orang tua yang berkomitmen dan siap
berkorban demi mengantar anak-anaknya menggapai masa depan.
Contoh menarik di keluarga Markis Kido, juara ganda Olimpiade Beijing yang
saudara-saudaranya juga atlet nasional bulu tangkis. Markis menceritakan,
pengorbanan orang tuanya sangat besar, sehingga dia dan saudarasaudaranya punya semangat berkobar untuk mencapai prestasi. Setiap mau
latihan, pagi-pagi semua anak sudah dibangunkan, digendong dan
dimasukkan ke mobil satu demi satu. Semangat orang tuanya itu membuat
Markis tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Orang tua saya sampai harus
mengeluarkan biaya sendiri untuk mengikuti berbagai turnamen. Bahkan,
orang tua kami langsung yang mengantar, baik ketika tanding di dalam
maupun luar negeri, katanya.
Kesediaan berkorban juga diwujudkan dengan memberikan dukungan dan
fasilitas, baik materiil seperti peranti pendidikan dan belajar ataupun
nonmateril seperti suasana dan budaya keluarga. Orang sukses rata-rata
lahir dari orang tua yang meyakini paradigma bahwa pendidikan sangat
penting. Keluarga Omar S.Anwar dan Soemarno juga seperti itu.
Ongki P. Soemarno menjelaskan, orang tuanya sangat percaya pentingnya
pendidikan. Bapak saya percaya sekali beliau bisa menjadi gubernur,
sekjen, dan menteri karena pendidikan. Bapak tidak punya tujuan
menjadikan kami sebagai pengusaha karena ambtenar tulen. Bukan materi,
yang penting pendidikan, kata pria yang lulus magna cumlaude dari
Harvard University itu (program MBA). Untuk itu pula, orang tuanya
bersusah-payah membiayai anak-anaknya ke luar negeri.
Yang tak ketinggalan, tampaknya para orang tua tersebut juga terus
menstimulai putra-putrinya untuk berkembang sesuai dengan minat masingmasing alias tidak membiarkan anak tumbuh tanpa arah. Orang tua Arwin
Rasjid gemar mengajarkan kepada anak-anaknya untuk rajin membaca bukubuku biografi orang terkenal dan orang sukses. Arwin pun mengaku sangat
senang dengan kebiasaan itu. Ia menandaskan, dengan membaca biografi
orang-orang besar, juga berbagai artikel yang mendorong pengembangan
kepribadian, kita menjadi banyak belajar. Bagaimana dengan keluarga Anda?
Reportase: Gigin W. Utomo, Husni Mubarak, Kristiana Anissa, Rias Adriati,
Sigit A. Nugroho, Siti Ruslina, Tutut Handayan, dan Wini Angraeni. Riset: Siti
Sumariyati.
Yang Harus Diberikan Orang Tua:
20
21
kumpulan dongeng Hans Christian Andersen yang diubah menjadi cerita rakyat
dengan cara mengganti nama tokohnya dengan nama-nama Jawa.
Dengan mengganti nama yang lebih akrab dengan telinga mereka, anak-anak
dapat lebih cepat menangkap dan merekam pesan moral dari cerita yang saya
sampaikan. Dari dongeng itulah saya tanamkan kepada mereka agar kelak menjadi
kusuma bangsa, ujarnya seraya mengakui tidak begitu paham cerita rakyat karena
sejak kecil mengenyam pendidikan ala Belanda.
Selain menanamkan nilai kesabaran, kasih sayang, dan kejujuran, sang ibu juga
mendidik anak-anaknya takut akan Tuhan. Saya ingin anak-anak saya menjadi
kekasih Tuhan, ujarnya. Maka, sejak anak-anaknya lahir, doa Roesmiati selalu
mengawal langkah anak- anaknya. Bahkan, demi kesuksesan anak- anaknya, sang
ibu rela melakukan ritual puasa selama tiga hari, sebelum dan sesudah weton (hari
kelahiran sesuai pasaran Jawa) tiap-tiap anak. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga
mereka menamatkan pendidikan sarjana. Sesuai dengan adat kebiasaan wanita
Jawa, hal itu dilakukan sebagai upaya tirakat dan doa agar putra-putrinya dapat
hidup sukses dan bahagia.
Saya selalu pesan, jika jadi dokter sembuhkanlah banyak orang dan jangan cari
uang,
jadi guru jangan kejam, jadi tentara jangan untuk membunuh,
dan jangan pernah korupsi dan memanipulasi dana pembangunan kalau jadi
insinyur, ujarnya.
Putra sulung, dr Hendarto (Nto), mengikuti jejak sang ayah, menjadi dokter
dan kini dosen di Fakultas Kedokteran Undip.
Budi Susilo Soepandji (Usi) yang merupakan anak kelima pasangan Roesmiati
dan Soepandji sejak kecil menunjukkan kemampuan berpikir secara
bijaksana. Budi pun mengenyam pendidikan S-2 dan S-3 di Perancis. Sebelum
dipercaya presiden menjabat Gubernur Lemhannas, Budi pernah menjabat
Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan dan Dekan
Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Berbeda dengan kelima kakaknya, putra bungsu, Bambang Tri Sasongko (48),
memilih berkecimpung di dunia usaha.
Pendidikan karakter yang ditanamkan sejak kecil hingga kini dipegang anak-anak
Roesmiati dan Soepandji. Bahkan, Hendardji dalam buku biografinya mengakui
mendidik anak bukan hanya menjadikan seorang anak menjadi pintar, melainkan
yang jauh lebih penting harus mempunyai karakter. Sehingga sekarang, saat usia
kami sudah tua begini, dongeng itu masih membekas sehingga saya merasa inilah
pendidikan yang paling efektif, demikian pandangan Hendardji tentang sosok
ibunya.
Sebagai perempuan, Roesmiati menyatakan, dia tidak hanya sekadar menjadi ibu
yang melahirkan anak-anak, tetapi juga sebagai pendidik anak yang pertama dan
utama dalam membentuk anak-anak yang berbudi pekerti luhur. Pertama, karena
anak dikandung ibu dan utama karena ibulah yang setiap saat berada di sisi anakanaknya.
Seperti ungkapan dalam sebuah buku, when you educate one man, you educate
one person, but when you educate one women, you educate one generation. Ketika
Anda mendidik satu orang, Anda mendidik satu orang, tetapi ketika Anda mendidik
satu perempuan, Anda mendidik satu generasi.
Sumber :
http://www.swatt-online.com/tag/ir-budi-susilo-soepandji/
http://www.swatt-online.com/tag/dr/
http://rumahpengetahuan.web.id/pendidikan-keluarga-pendidikan-karakter-alakeluarga-soepandji/
http://twitter.com/fathrahman/statuses/63054390558330881
24
25