Professional Documents
Culture Documents
2. Reaksi sistemik akut terhadap uap logam, polimer, dan debu organik
Reaksi ini terbagi menjadi metal fume fever, polymer fume fever, dan organic
dust fever. Metal fume fever terjadi akibat inhalasi partikel-partikel halus uap logam
(dalam bentuk garam oksida)seperti tembaga, zink, magnesium, alumunium,
kadmium, krom, besi timah, slenium, perak, vanadium, dan antimon. Pekerjaan yang
beresiko tinggi untuk terjadinya metal fume fever, antara lain pengelasan,
pembakaran dengan kompor atau anglo, pengecoran logam, pemotongan logam,
pembakaran logam, galvanisasi (melapis logam), peleburan logam, dan galangan
kapal. Polymer fumer fever terjadi akibat inhalasi partikel-partikel halus uap polimer
fluorokarbon seperti politetrafluoroetilen, profilane etilen terfluorinasi. Pekerjaan
yang beresiko tinggi untuk terjadinya polymer fume fever, antara lain pembuatan
produk polimer fluorokarbon seperti pencetakan, pemotongan, pengelasan,
penyolderan komponen logam yang dilapis substansi polimer. Organis dust fever
terjadi akibat inhalasi partikel-partikel debu organik yang mengandung endotoksi
bakteri atau mikotoksin. Pekerjaan yang beresiko tinggi untuk terjadinya organic dust
fever, yaitu pekerjaan yang berhubungan dengan tekstil, biji-bijian atau butiran
organik, pemisahan biji kapas, penenun, peternak, dan lain-lain.
Terdapat gejala demam, menggigil, sakit kepala, rasa nyeri otot, dan malaise
dalam waktu 1-8 jam setelah terpajan. Kadang-kadang timbul gejala iritasi saluran
pernapasan seperti batuk, sesak napas, dan nyeri dada, atau disertai keluarnya
keringat yang berlebihan, rasa mual, dan kolik abdomen, atau tanpa gejala lain
kecuali demam. Pada darah rutin, biasanya ditemukan leukositosis. Foto toraks dan
tes fungsi paru sering memperlihatkan tanda-tanda normal.
Tidak ada pengobatan yang spesifik, hanya diperlukan istirahat yang cukup
karena umumnya akan sembuh sendiri. Pengendalian debu dan uap di tempat kerja
merupakan satu-satunya uapay pencegahan yang terbaik.
3. Asma akibat kerja
Asma adalah serangan sesak napas paroksisimal akibat bertambahnya
kepekaan
trakea
dan
bronkus
terhadap
bermacam-macam
stimulus
yang
lain-lain.
Potongan dedaunan, seperti pada pabrik rokok, tembakau, dan the.
Bulu dan kotoran binatang pada pekerja laboratorium, peternak, dan lain-lain.
Berbagai uap logam pada tukang las
Debu kayu pada pekerja di industri perkayuan.
lain. Pada asma jenis ini, antibodi spesifik IgE sering kali ditemukan, maka
disebut IgE independen. Riwayat atopik tidak banyak berpengaruh untuk
mencetuskan ke kambuhannya.
Tes kulit dapat diakukan untuk menentukan status atopik pasien terhadap antigen
eksternal. Sayangnya, antigen murni untuk tes kulit yang berasal dari zat-zat
kimia di tempat kerja, seperti ekstrak bulu-bulu / ekskreta binatang, bubuk bahan
mentah, biji-bijian dan lain-lain sampai sekarang masih sangat sedikit. Serum
antibodi IgE dan IgG terhadap antigen yang berasal dari tempat kerja juga perlu
diukur. Hasil yang positif (+) mengggambarkan bahwa pekerja telah mengalami
kontak dan menjadi sensitif, tetapi hal ini tidak cukup untuk menegakkan
diagnosis asma akibat kerja karena hal ini juga dapat terjadi pada pekerja yang
tanpa gejala. Sebaliknya, hasil yang negatif (-) dapat terjadi pada pasien yang
diduga menderita asma akibat kerja. Hasil foto toraks biasanya normal, kadangkadang dapat terlihat adanya hiperinflasi dan diafragma yang mendatar atau
penebalan dinding bronkus akibat bronkitis menahun atau bronkietaksis.
Tes fungsi paru harus dilaksanakan sebelum, selama, dan setelah terpajan zat
kimia yang diduga sebgai alergen, karena obstruksi saluran pernapasan hanya
terjadi pada waktu-waktu tertentu. Pasien yang jangka kekambuhannya dari
tempat kerja yang diduga mengandung faktor penyebab, untuk memastikan
apakah serangan asmanya akibat pekerjaan atau bukan. Pada asma akibat kerja,
hasil bronchial provocation tes dengan dosis rendah metakolin kloridaa atau
histamin sering kali negatif (-) , terutama pada saat tidak ada serangan. Maka
walaupun berbahaya, tes spesifik dengan menginhalasi zat kimia yang diduga
sebagai penyebab serangan kadang-kadang perlu dilaksanakan. Diurnal variation
20% atau lebih ditemukan pada pengukuran serial PEFR.
Pencegahan dan pengendalian pencetus serangan asma merupakan satusatunya tindakan pencegahan dan pelaksanaan yang terbaik. Oleh sebabitu,
pekerja yang sensitif harus menghindari kontak terhadap pajanan zat-zat kimia
yang dapat mencetus timbulnya gejala asma, dengan cara memperbaiki ventilasi
di tempat kerja atau penggunaan alat pelindung diri yang memadai. Untuk jenis
keterpajanan yang berulang, pada kebanyakan pekerja yang sensitif, biasanya
usaha ini berhasil, tetapi sering kali ada pekerja yang sama sekali tidak dapat
bekerja di ruangan, maupun di sekitar lingkungan kerja yang menghasilkan zatzat kimia tertentu sebagai pencetus serangan asma. Misalnya, uap toluen di
isosianat, dengan konsentrasi yang lebih rendah dari batas deteksi pengukuran
(<1 bds) dapat mencetuskan serangan asma yang hebat pada individu yang
sangat sensitif. Pada pekerja seperti ini tidak ada pilihan lain, ia hasus
dipindahkan ke tempat yang jauh dari lingkungan kerja tersebut.
Kerusakan mesin di tempat kerja yang mengakibatkan timbulnya kecelakaan
kerj sehingga pekerja menginhalasi debu kerja dalam dosis tinggi sering kali
menjadi awal sensitisasi berkembangnya gejala asma. Oleh sebab itu, tindakan
higiene industri yang menyeluruh sangat dibutuhkan pada tindakan pencegahan
asma, seperti kebersihan tempat kerja, pemeliharaan mesin, dan rotasi pekerja.
Bila memungkinkan, dapat dilaksanakan tindakan substitusi zat-zat kimia sensitif
pada banyak pekerja.
Tindakan penatalaksanaan secara farmakologis bergantung pada sifat dan
beratnya
serangan
asma
yang
terjadi
dengan
tujuan
mencegah
dan
menghilangkan obstruksi jalan napas. Pada serangan asma yang ringan umumnya
cukup diberikan inhalasi agonis b2 adrenergik, kortikosteroi dan / atau teofilin
per oral. Pada serangan asma yang akut dan berat dibutuhkan tindakan darurat
dengan suplementasi oksigen dan inhalasi (nebulasi). Pemberian agonis b2
adrenergik short acting dan kostikosteroid, kadang-kadang perlu ditambahkan
dengan aminofilin intravena. Bila tidak terkontrol, harus segera dirujuk ke rumah
sakit.
4. Bisinosis
Salah satu penyakit asma akibat kerja yang khas disebut bisinosis, biasanya
akibat terpajan oleh debu kapas, wol, bulu, benang tekstil atau serat goni di tempat
kerja. Debu tersebut dapat berbentuk serat selulosa, sampah tumbuh-tumbuhan
(potongan daun atau serat batang pohon), tanah, dan mikroorganisme saprofit,
bakteri, atau jamur yang tumbuh pada tumpukan bahan tersebut selama
penyimpanan. Pekerja di pabrik tekstil yang bertugas di ruang peniupan, percetakan,
dan pekerja perbaikan danb pembersihan mesin peniup benang tekstil dan mesin
percetakan, berisiko paling tinggi untuk terpajan penyebab penyakit ini.
Bisinosis diduga terjadi akibat terjadinya reaksi antigen antibodi yang
tergolong dalam reaksi hipersensitivitas tipe III. Antigen yang berperan terhadap
penyakit ini terdapat dalam debu kapas yang tergolong sebagai derivat polivenil,
yaitu 5,7,3,4 tetrahidroks 3,4 diol (THF), dengan antibodi yang terdapat dalam IgG.
Hipotesis lain menyatakan bahwa gangguan pernapasan pada bisinosis terjadi akibat
adanya mikroorganisme (enterobacter, pseudomonas, dan bacillus sp) dan
endotoksinnya pada debu kapas sehingga pada pencucian kapas sebelum pemrosesan
dapat mencegah terjadinya gangguan tersebut. Sering kali bisinosis terjadi pada
pekerja industri yang memroses kapas, dan industri perajutan wol, serta karung goni.
Prevalensi bisinosis bervariasi sekitar 20-50% pada ruang penyisiran pabrik
tekstil dengan konsentrasi debu respirable 0,35-0,60 mg/m 3. Prevalensi menjadi <10%
bila konsentrasi debu dalam ruang kerja 0,1 mg/m3.
Berbeda dengan asma akibat kerja, pada bisinosis, gejala sesak napas, rasa
berat di dada, dan iritasi saluran pernapasan lain biasanya timbul pada hari pertama
kerja setelah liburan, dan berkurang pada hari-hari berikutnya sampai akhirnya
menghilang, sehingga sering disebut Monday morning tightness . Gejala paling
berat terjadi saat konsentrasi debu sangat tinggi, terutama bila didominasi oleh debu
kapas yang kasar. Namun, perjalanan penyakitnya bersifat progresif bila tetap bekerja
pada lingkungan kerja yang sama. Serangan dapat bertambah berat dan bertambah
lama, dan berlanjut sampai sepanjang hari kerja, bahkan dapat berlangsung pada hari-
hari berikutnya. Pada akhirnya, penyakit ini dapat berkembang menjadi penyakit
paru.
Pada pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, harus diteliti adanya penyakit
alergi dan saluran pernapasan. Peeriksaan kesehatan berkala, harus dilaksanakan
minimal 1 tahun sekali. Bila ditemukan pekerja dengan kasus dini sekalipun, harus
dipindahkan ke bagian lain untuk menghindari pajanan debu. Pencucian dan atau
pemasakan bahan mentah kapas (steaming) sebelum digunakan dapat mengurangi
efek biologis debu kapas sehingga dapat mengurangi kemungkinan timbulnya
serangan. Pengendalian teknik dalam bentuk isolasi atau pemagaran serta perbaikan
ventilasi umum dan penggunaan ventilasi lokal sangat diperlukan untuk mencegah
timbulnya serangan. Bisinosis ringan atau penyakit yang masih baru biasanya bersifat
sementara.pada kasus bisinosis yang lebih berat, penatalaksanaanya dilakukan seperti
penyakit obstruksi paru lainnya, biasanya dalam bentuk terapi simtomatik.
B. PAK Parenkim Paru
1. Pneumonitis hipersensitivitas (alveolitis alergi ekstrinsik)
Pneumonitis hipersensitivitas (alveoli alergi ekstrinsik) merupakan istilah
umum untuk segolongan penyakit parenkim paru akibat kerja karena terpajan,
terutama pada debu organik. Pada individu yang sensitif, inhalasi berulang jenis
debu ini (khususnya yang mengandung mikroorganisme termofilik dan berbagai
jenis jamur atau protein yang berasal dari bulu / kotoran hewan ) akan
mencetuskan timbulnya reaksi antigen-antibodi sehingga mengakibatkan
terjadinya reaksi inflamasi granulomarosa di alveoli dan jaringan interstisial
paru. Sebagian kecil debu anorganik, seperti toluen diisosianat dan tembaga
sulfat, dapat pula menjadi antigen penyakit ini.
Penyakit ini dapat berkembang jika terjadi pajanan yang berulang sampai
tercapai konsentrasi antigen yang cukup tinggi, dan antigen harus berukuran
sangat kecil untuk dapat mencapai saluran pernapasan bagian bawah. Retensi
antigen yang cukup lama di jaringan paru dan yang tertangkap makrofag menjadi
predisposisi untuk terjadinya sensitisasi jaringan. Hanya sebagian kecil individu
yang terpajan antigen yang akan menimbulkan gejala.
Penyakit ini menimbulkan gejala yang khas seperti batuk yang hilang timbul,
sesak napas, dan disertai tanda infeksi sistemik seperti demam, leukositosis dan
mialgia, yang baru timbul setelah 4-12 jam setelah terpajan antigen. Pada
pemeriksaan fisik biasanya ditemukan takipnea, sianosis dan terkadang mengi
dan jari tabuh, pada kasus lanjut sering kali ditemukan gejala klinis korpulmonale. Hasil pemeriksaan laboratorium hampir selalu menunjukkan adanya
leukositosis, pada hitung jenis terjadi neutrofilia yang prominen, jarang sekali
ditemukan eosinofilia. Konsentrasi serum imunoglobulin (IgE) cenderung
meningkat. Pada kebanyakan kasus, penderita penyakit ini umumnya mempunyai
serum antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen yang bertanggung jawab
terhadap timbulnya penyakit tersebut. Tes fungsi paru memperlihatkan tanda
penyakit paru restriktif dengan berkurangnya FEV, dan FVC. Rasio FEV 1/FVC
dapat normal atau meninggi dan DICo berkurang. Foto toraks memperlihatkan
kepadatan mikronodular difus, bercak-bercak infiltrat menyerupai edema paru.
Pada kasus menahun tampak gambaran fibrosis interstisial menahun. Pasien
harus menghindari kontak dengan sumber antigen spesifik. Pada serangan akut,
dapat digunakan kortikosteroid.
2. Pneumokoniosis
Istilah pneumokonisosis berasal dari bahasa yunani (pneumos berarti paru;
konios berarti debu), yang dipublikasikan oleh zenker, seorang patologis Jerman,
pada tahun 1867. Zenker menyatakan bahwa pneumokoniosis merupakan suatu
kondisi gangguan paru akibat menginhalasi debu. Pada saat ini, definisi
pneumokoniosis diartikan lebih jelas, yaitu sebagai suatu reaksi non-neoplastik
paru akibat mengunhalasi debu mineral atau debu organik sehingga
mengakibatkan terjadinya perubahan arsitektur struktur jaringan parenkim paru.
Jenis debu penyebab yang paling sering menimbulakn pneumokoniosis yaitu
silika, btubara, dan asbes. Umumnya, gejala pneumokoniosis baru terjadi setelah
terpajan oleh debu kerja setelah bekerja paling sedikit 10-20 tahun. Beratnya
gejala yang timbul bergantung pada intesnitas dan lamanya pajan yang terjadi.
Kondisi iniharus dibedakan dengan inhalasi debu inert, yang tidak menyebabkan
terjadinya pneumokoniosis, yaitu debu kerja yng tergolong dalam PNOC
(particulates not otherwise classified).
Terjadinya reaksi jaringan parenkim paru pada pneumokoniosis bergantung
pada jenis debu kerja yang diinhalasi dan besarnya partikel debu. Hanya partikelpartikel debu yang berdiameter <3m yang dapat mencapai alveoli dalm jumlah
yang bermakna dan kebanyakan pertikel tersebut berukuran <0,1m. bronkiolus
yang seakan-akan merupakan lorong sempit saluran pernapasan dengan loronglorong yang lebih lebar di atasnya (bronkus sekunder dan primer) menjadi tempat
mengendapnya debu-debu kerja yang terinhalasi. Hal inilah yang menjadi alasan
mengapa pada pneumokoniosis yang masih dini, debu kerja akan ditemukan
sebagai fokus-fokus di jaringan parenkim paru. Fokus dijaringan tersebut
menggambarkan terjsdinys akumulasi debu kerja di alveolus, bronkiolus yang
melebar, dan di jaringan paru yang di dekatnya. Biasanya, alveoli diantara fokusfokus-fokus ini bebas debu. Bila pajanan debu kerja terus berlanjut, debu yang
mengendap makin lama makin bertambah, sehingga fokus-fokus bertambah
besar dan akhirnya akan menyatu dengan lainnya menjadi beberapa lesi
multifokal yang besar. Namun, bila epengendapan debu menyebar pada lebih
banyak bronkiolus dan alveolus, maka terjadi lesi yang lebih difus. Permukaan
alveolus yang tertutupi partikel-partikel debu secara luas akan menghambat
sekresi surfaktan, yang biasanya dilaksanakan oleh sel-sel dipermukaan alveolus.
Akibatnya, alveolus-alveolus ini menjadi kolaps sehingga bagian jaringan paru di
tempat ini tidak berfungsi lagi. Reaksi jaringan parenkim paru, dengan adanya
partikel-partikel debu yang menyelimuti permukaan alveoli, juga akan
kemungkinan
besar
dapat
mengakibatkan
timbulnya
gejala