You are on page 1of 8

II.

Penyakit Saluran Pernapasan Akibat Bahan Kimia


A. PAK Paru-paru
1. Inflamasi akut / reaksi akut terhadap gas iritan
Keterpajanan pada gas-gas iritan seperti amonia, klorida, sulfur dioksida, dan
ozon dengan dosis tinggi akan menimbulkan iritasi yang hebat pada membran
mukosa saluran pernapasan. Keterpajanan ini dapat terjadi di tempat kerja, biasanya
akibat kebocoran tempat penyimpanan gas iritan pada saat reparasi atau akibat
timbulnya gas iritan sebagai proses kimiawi ketika terjadi kesalahan pencampuran
substansi-substansi kimiawi atau karena masuk ke dalam ruang sempit yang
mengandung gas-gas iritan. Misalnya, memasuki gudang sempit yang berfungsi
sebagai tempat penyimpanan makanan ternak segar seperti jerami, rumput, daun
jagung, dan sebagainya yang menimbulkan proses oksidasi nitrat, sehingga gas
nitrogen dioksida terakumulasi dalam konsentrasi yang tinggi dalam gudang sempit
tersebut.
Bunga api hasil pengelasan logam di ruang yang sempit dapat menghasilkan
nitrogen oksida dan ozon dalam konsentrasi yang berbahaya.
Gejala yang timbul bergantung pada konsentrasi gas yang terinhalasi dan
daya larut gas tersebut di dalam air. Air adalah komponen utama di mukosa saluran
pernapasan, sehingga makin tinggi daya larut gas iritan yang terinhalasi, makin cepat
gejala klinis akan timbul. Bahka dapat terjadi hanya dalam hitungan detik saja,
misalnya edema glotis dapat terjadi seketika pada saat menginhalasi amonia dalam
dosis tinggi, karena amonia sangat mudah larut dalam air. Namun, karena ammonia
menimbulkan bau yang menyengat, biasanya individu tersebut cepat menghindar
sehingga hanya menimbulkan tanda-tanda iritasi pada mata, hidung, atau saluran
pernapasan bagian atas lainnya, seperti batuk dan sesak napas. Akan tetapi, Individu
yang terperangkap / atau tidak sdapat menghindar, akan mengalami iritasi saluran
napas bagian bawah sehingga dapat terjadi bronkospasme, edema paru, depresi
pernapasan, sampai kehilangan kesadaran.
Gas-gas iritan yang daya larutannya sedang seperti klorida, fluorida, dan
sulfur dioksida biasanya menimbulkan gejala iritasi pada saluran pernapasan bagian
atas dalam hitungan menit. Namun, gas-gas irittan dengan daya larut rendah seperti
ozon, nitrogen oksida, dan fosgen justru berbahaya karena individu biasanya tidak
menyadari ketika ia terpajan sehinga gas tersebut berpenetrasi sampai saluran
pernapasan bagian bawah dalam dosis besar, yang dapat menin,bulkan edema paru
dan terjadi bronkospasme dalam waktu 6 sampai 24 jam. Pada foto toraks tampak
gambaran edema paru, dan tes fungsi paru memperlihatkan gambaran gangguan
obstruksi paru. Selain itu, pemeriksaan gas darah menunjukkan tandaptanda hipoksia.
Inidividu yang terpajan h rus lekas dikeluarkan dari ruangan yang berisi gas
iritan dan segera diberikan oksigen, bila perlu dikirim kmah sakit. Pengobatan
biasanya bersifat suportif, yaiti dengan memberikan ventilasi yang cukup dan
megatasi komplikasi yang timbul. Biasanya diobati dengan steroid, bronkodilator,
dan diuretik jika dibutuhkan.

2. Reaksi sistemik akut terhadap uap logam, polimer, dan debu organik
Reaksi ini terbagi menjadi metal fume fever, polymer fume fever, dan organic
dust fever. Metal fume fever terjadi akibat inhalasi partikel-partikel halus uap logam
(dalam bentuk garam oksida)seperti tembaga, zink, magnesium, alumunium,
kadmium, krom, besi timah, slenium, perak, vanadium, dan antimon. Pekerjaan yang
beresiko tinggi untuk terjadinya metal fume fever, antara lain pengelasan,
pembakaran dengan kompor atau anglo, pengecoran logam, pemotongan logam,
pembakaran logam, galvanisasi (melapis logam), peleburan logam, dan galangan
kapal. Polymer fumer fever terjadi akibat inhalasi partikel-partikel halus uap polimer
fluorokarbon seperti politetrafluoroetilen, profilane etilen terfluorinasi. Pekerjaan
yang beresiko tinggi untuk terjadinya polymer fume fever, antara lain pembuatan
produk polimer fluorokarbon seperti pencetakan, pemotongan, pengelasan,
penyolderan komponen logam yang dilapis substansi polimer. Organis dust fever
terjadi akibat inhalasi partikel-partikel debu organik yang mengandung endotoksi
bakteri atau mikotoksin. Pekerjaan yang beresiko tinggi untuk terjadinya organic dust
fever, yaitu pekerjaan yang berhubungan dengan tekstil, biji-bijian atau butiran
organik, pemisahan biji kapas, penenun, peternak, dan lain-lain.
Terdapat gejala demam, menggigil, sakit kepala, rasa nyeri otot, dan malaise
dalam waktu 1-8 jam setelah terpajan. Kadang-kadang timbul gejala iritasi saluran
pernapasan seperti batuk, sesak napas, dan nyeri dada, atau disertai keluarnya
keringat yang berlebihan, rasa mual, dan kolik abdomen, atau tanpa gejala lain
kecuali demam. Pada darah rutin, biasanya ditemukan leukositosis. Foto toraks dan
tes fungsi paru sering memperlihatkan tanda-tanda normal.
Tidak ada pengobatan yang spesifik, hanya diperlukan istirahat yang cukup
karena umumnya akan sembuh sendiri. Pengendalian debu dan uap di tempat kerja
merupakan satu-satunya uapay pencegahan yang terbaik.
3. Asma akibat kerja
Asma adalah serangan sesak napas paroksisimal akibat bertambahnya
kepekaan

trakea

dan

bronkus

terhadap

bermacam-macam

stimulus

yang

dimafestasikan dengan terjadinya penyempitan saluran pernpasan secara menyeluruh,


dapat sembuh spontan atau dengan penggunaan obat-obatan. Hiperiritabilitas saluran
pernapasan pada serangan asma dapat terjadi akibat terpajan dengan alergen spesifik
atau alergen nonspesifik yang mengakibatkan timbulnya reaksi imunologis dengan
terjadinya brokokonstriks, edema mukosa bronkus, dan bertambahnya sekresi
mukosa bronkus.
Asma akibat kerja adalah serangan asma akibat terpajan dengan zat-zat kimia
di tempat kerja, yang terjadi pada orang yang dulunya sehat. Seringkali terjadi pada
pekerja yang terpajan garam-garam loham, misalnya terpajan garam-garam kompleks
platinum pada proses penyepuhan elektrik, industri pengasahan berlian, produksi
layar TV / komputer, atau terpajan garam-garam logam lain seperti nikel, kromium,
kobalt, vanadium, tungsten, carbide pada industri kendaraan bermotor, bola lampu
atau bahan kimia/ organik, seperti

a. Isosianat, yaitu intermediet penting poliuretane, misalnya TDI (toluen


diisosianat), MDI (difenil metan diiisosianat), HDI (heksametilene diisosianat),
dan lain-lain. Isosianat merupakan zat kimia yang sangat reaktif dan digunakan
sangat luas di industri sebagai komponen pengeras atau pengawet, seperti
industri karet busa, isolasi band, cat, pernis, lem, atau komponen organik lainnya
seperti epoksi resin pada industri perakitan elektronik, formaldehid atau lateks
pada petugas kesehatan, dan persulfat pada penata rambut.
b. Debu biji-bijian (sereal), biasanya merupakan campuran protein biji-bijian dan
degradasi produk, jamur, dan mikroorganisme lain, serta debu lain di pabrik,
misalnya pada pekerja di pabrik roti, penggilingan kopi, perusahaan farmasi, dan
c.
d.
e.
f.

lain-lain.
Potongan dedaunan, seperti pada pabrik rokok, tembakau, dan the.
Bulu dan kotoran binatang pada pekerja laboratorium, peternak, dan lain-lain.
Berbagai uap logam pada tukang las
Debu kayu pada pekerja di industri perkayuan.

Di Amerika, penyakit asma terjadi pada 5% populasi umum, dan 2% diantaranya


merupakan asma akibat kerja. Namun, hasil penelitian di Jepang, menyatakan bahwa
penyakit asma akibat kerja mencapai 15% dari keseluruhan penyakit asma.
Gejala klasik asma akibat kerja adalah sesak napas, rasa berat di dada dan
timbulnya mengi. Biasanya didahului oleh gjala bronkhitis seperti batuk, pilek, dan
produksi sputum yang berlebihan. Seringkali gejala justru timbul setelah beberapa
jam bebas dari pajanan alergen dan kadang-kadang kambuh lagi sebagai serangan
sesak napas atau batuk pada malam hari. Iritasi pada mata, hidung, dan tenggorok,
serta urtikaria sering menyertai timbulnya gejala asma. Kebiasaan merokok
umumnya dapata mencetuskan kambuhnya serangan asma.
Berdasarkan mulainya serangan sesak napas, asma akibat kerja dapat dibagi
menjadi 2 jenis, yaitu :
a. Early onset (segera). Serangan sesak napas dapat terjadi hanya dalam beberapa
menit setelah pajanan terjadi, yang akan mencapai puncsknys dalam 10-20 menit
dan berakhir kira-kira 2 jam kemudian. Biasanya disebabkan pajanan zat kimia
yang memiliki berat molekul besar, seperti tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain. Pada
permulaan serangan asma jenis ini, zat kimia tersebut bersama protein tubuh
akan menginduksi terbentuknya antibodi IgE dependen. Riwayat atopik sangat
berpengaruh untuk kejadian serangan asma jenis ini.
b. Late onset (tidak segera). Serangan sesak napas mulai dalam beberapa jam
setelah pajanan terjadi, dan mencapai puncaknya dalam 4-6 jam dan berakhir 24
jam kemudian. Sering kali kambuh pada malam hari, sehingga kadang-kadang
tidak terpikirkan adanya hubungan dengan pajanan substansi kimia di tempat
kerja. Biasanya disebabkan oleh pajanan zat kimia yang mempunyai berat
molekul kecil, seperti asam anhidrat, isosianat, garam-garam platinum, dan lain-

lain. Pada asma jenis ini, antibodi spesifik IgE sering kali ditemukan, maka
disebut IgE independen. Riwayat atopik tidak banyak berpengaruh untuk
mencetuskan ke kambuhannya.
Tes kulit dapat diakukan untuk menentukan status atopik pasien terhadap antigen
eksternal. Sayangnya, antigen murni untuk tes kulit yang berasal dari zat-zat
kimia di tempat kerja, seperti ekstrak bulu-bulu / ekskreta binatang, bubuk bahan
mentah, biji-bijian dan lain-lain sampai sekarang masih sangat sedikit. Serum
antibodi IgE dan IgG terhadap antigen yang berasal dari tempat kerja juga perlu
diukur. Hasil yang positif (+) mengggambarkan bahwa pekerja telah mengalami
kontak dan menjadi sensitif, tetapi hal ini tidak cukup untuk menegakkan
diagnosis asma akibat kerja karena hal ini juga dapat terjadi pada pekerja yang
tanpa gejala. Sebaliknya, hasil yang negatif (-) dapat terjadi pada pasien yang
diduga menderita asma akibat kerja. Hasil foto toraks biasanya normal, kadangkadang dapat terlihat adanya hiperinflasi dan diafragma yang mendatar atau
penebalan dinding bronkus akibat bronkitis menahun atau bronkietaksis.
Tes fungsi paru harus dilaksanakan sebelum, selama, dan setelah terpajan zat
kimia yang diduga sebgai alergen, karena obstruksi saluran pernapasan hanya
terjadi pada waktu-waktu tertentu. Pasien yang jangka kekambuhannya dari
tempat kerja yang diduga mengandung faktor penyebab, untuk memastikan
apakah serangan asmanya akibat pekerjaan atau bukan. Pada asma akibat kerja,
hasil bronchial provocation tes dengan dosis rendah metakolin kloridaa atau
histamin sering kali negatif (-) , terutama pada saat tidak ada serangan. Maka
walaupun berbahaya, tes spesifik dengan menginhalasi zat kimia yang diduga
sebagai penyebab serangan kadang-kadang perlu dilaksanakan. Diurnal variation
20% atau lebih ditemukan pada pengukuran serial PEFR.
Pencegahan dan pengendalian pencetus serangan asma merupakan satusatunya tindakan pencegahan dan pelaksanaan yang terbaik. Oleh sebabitu,
pekerja yang sensitif harus menghindari kontak terhadap pajanan zat-zat kimia
yang dapat mencetus timbulnya gejala asma, dengan cara memperbaiki ventilasi
di tempat kerja atau penggunaan alat pelindung diri yang memadai. Untuk jenis
keterpajanan yang berulang, pada kebanyakan pekerja yang sensitif, biasanya
usaha ini berhasil, tetapi sering kali ada pekerja yang sama sekali tidak dapat
bekerja di ruangan, maupun di sekitar lingkungan kerja yang menghasilkan zatzat kimia tertentu sebagai pencetus serangan asma. Misalnya, uap toluen di
isosianat, dengan konsentrasi yang lebih rendah dari batas deteksi pengukuran
(<1 bds) dapat mencetuskan serangan asma yang hebat pada individu yang
sangat sensitif. Pada pekerja seperti ini tidak ada pilihan lain, ia hasus
dipindahkan ke tempat yang jauh dari lingkungan kerja tersebut.
Kerusakan mesin di tempat kerja yang mengakibatkan timbulnya kecelakaan
kerj sehingga pekerja menginhalasi debu kerja dalam dosis tinggi sering kali
menjadi awal sensitisasi berkembangnya gejala asma. Oleh sebab itu, tindakan
higiene industri yang menyeluruh sangat dibutuhkan pada tindakan pencegahan

asma, seperti kebersihan tempat kerja, pemeliharaan mesin, dan rotasi pekerja.
Bila memungkinkan, dapat dilaksanakan tindakan substitusi zat-zat kimia sensitif
pada banyak pekerja.
Tindakan penatalaksanaan secara farmakologis bergantung pada sifat dan
beratnya

serangan

asma

yang

terjadi

dengan

tujuan

mencegah

dan

menghilangkan obstruksi jalan napas. Pada serangan asma yang ringan umumnya
cukup diberikan inhalasi agonis b2 adrenergik, kortikosteroi dan / atau teofilin
per oral. Pada serangan asma yang akut dan berat dibutuhkan tindakan darurat
dengan suplementasi oksigen dan inhalasi (nebulasi). Pemberian agonis b2
adrenergik short acting dan kostikosteroid, kadang-kadang perlu ditambahkan
dengan aminofilin intravena. Bila tidak terkontrol, harus segera dirujuk ke rumah
sakit.
4. Bisinosis
Salah satu penyakit asma akibat kerja yang khas disebut bisinosis, biasanya
akibat terpajan oleh debu kapas, wol, bulu, benang tekstil atau serat goni di tempat
kerja. Debu tersebut dapat berbentuk serat selulosa, sampah tumbuh-tumbuhan
(potongan daun atau serat batang pohon), tanah, dan mikroorganisme saprofit,
bakteri, atau jamur yang tumbuh pada tumpukan bahan tersebut selama
penyimpanan. Pekerja di pabrik tekstil yang bertugas di ruang peniupan, percetakan,
dan pekerja perbaikan danb pembersihan mesin peniup benang tekstil dan mesin
percetakan, berisiko paling tinggi untuk terpajan penyebab penyakit ini.
Bisinosis diduga terjadi akibat terjadinya reaksi antigen antibodi yang
tergolong dalam reaksi hipersensitivitas tipe III. Antigen yang berperan terhadap
penyakit ini terdapat dalam debu kapas yang tergolong sebagai derivat polivenil,
yaitu 5,7,3,4 tetrahidroks 3,4 diol (THF), dengan antibodi yang terdapat dalam IgG.
Hipotesis lain menyatakan bahwa gangguan pernapasan pada bisinosis terjadi akibat
adanya mikroorganisme (enterobacter, pseudomonas, dan bacillus sp) dan
endotoksinnya pada debu kapas sehingga pada pencucian kapas sebelum pemrosesan
dapat mencegah terjadinya gangguan tersebut. Sering kali bisinosis terjadi pada
pekerja industri yang memroses kapas, dan industri perajutan wol, serta karung goni.
Prevalensi bisinosis bervariasi sekitar 20-50% pada ruang penyisiran pabrik
tekstil dengan konsentrasi debu respirable 0,35-0,60 mg/m 3. Prevalensi menjadi <10%
bila konsentrasi debu dalam ruang kerja 0,1 mg/m3.
Berbeda dengan asma akibat kerja, pada bisinosis, gejala sesak napas, rasa
berat di dada, dan iritasi saluran pernapasan lain biasanya timbul pada hari pertama
kerja setelah liburan, dan berkurang pada hari-hari berikutnya sampai akhirnya
menghilang, sehingga sering disebut Monday morning tightness . Gejala paling
berat terjadi saat konsentrasi debu sangat tinggi, terutama bila didominasi oleh debu
kapas yang kasar. Namun, perjalanan penyakitnya bersifat progresif bila tetap bekerja
pada lingkungan kerja yang sama. Serangan dapat bertambah berat dan bertambah
lama, dan berlanjut sampai sepanjang hari kerja, bahkan dapat berlangsung pada hari-

hari berikutnya. Pada akhirnya, penyakit ini dapat berkembang menjadi penyakit
paru.
Pada pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, harus diteliti adanya penyakit
alergi dan saluran pernapasan. Peeriksaan kesehatan berkala, harus dilaksanakan
minimal 1 tahun sekali. Bila ditemukan pekerja dengan kasus dini sekalipun, harus
dipindahkan ke bagian lain untuk menghindari pajanan debu. Pencucian dan atau
pemasakan bahan mentah kapas (steaming) sebelum digunakan dapat mengurangi
efek biologis debu kapas sehingga dapat mengurangi kemungkinan timbulnya
serangan. Pengendalian teknik dalam bentuk isolasi atau pemagaran serta perbaikan
ventilasi umum dan penggunaan ventilasi lokal sangat diperlukan untuk mencegah
timbulnya serangan. Bisinosis ringan atau penyakit yang masih baru biasanya bersifat
sementara.pada kasus bisinosis yang lebih berat, penatalaksanaanya dilakukan seperti
penyakit obstruksi paru lainnya, biasanya dalam bentuk terapi simtomatik.
B. PAK Parenkim Paru
1. Pneumonitis hipersensitivitas (alveolitis alergi ekstrinsik)
Pneumonitis hipersensitivitas (alveoli alergi ekstrinsik) merupakan istilah
umum untuk segolongan penyakit parenkim paru akibat kerja karena terpajan,
terutama pada debu organik. Pada individu yang sensitif, inhalasi berulang jenis
debu ini (khususnya yang mengandung mikroorganisme termofilik dan berbagai
jenis jamur atau protein yang berasal dari bulu / kotoran hewan ) akan
mencetuskan timbulnya reaksi antigen-antibodi sehingga mengakibatkan
terjadinya reaksi inflamasi granulomarosa di alveoli dan jaringan interstisial
paru. Sebagian kecil debu anorganik, seperti toluen diisosianat dan tembaga
sulfat, dapat pula menjadi antigen penyakit ini.
Penyakit ini dapat berkembang jika terjadi pajanan yang berulang sampai
tercapai konsentrasi antigen yang cukup tinggi, dan antigen harus berukuran
sangat kecil untuk dapat mencapai saluran pernapasan bagian bawah. Retensi
antigen yang cukup lama di jaringan paru dan yang tertangkap makrofag menjadi
predisposisi untuk terjadinya sensitisasi jaringan. Hanya sebagian kecil individu
yang terpajan antigen yang akan menimbulkan gejala.
Penyakit ini menimbulkan gejala yang khas seperti batuk yang hilang timbul,
sesak napas, dan disertai tanda infeksi sistemik seperti demam, leukositosis dan
mialgia, yang baru timbul setelah 4-12 jam setelah terpajan antigen. Pada
pemeriksaan fisik biasanya ditemukan takipnea, sianosis dan terkadang mengi
dan jari tabuh, pada kasus lanjut sering kali ditemukan gejala klinis korpulmonale. Hasil pemeriksaan laboratorium hampir selalu menunjukkan adanya
leukositosis, pada hitung jenis terjadi neutrofilia yang prominen, jarang sekali
ditemukan eosinofilia. Konsentrasi serum imunoglobulin (IgE) cenderung
meningkat. Pada kebanyakan kasus, penderita penyakit ini umumnya mempunyai
serum antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen yang bertanggung jawab
terhadap timbulnya penyakit tersebut. Tes fungsi paru memperlihatkan tanda
penyakit paru restriktif dengan berkurangnya FEV, dan FVC. Rasio FEV 1/FVC

dapat normal atau meninggi dan DICo berkurang. Foto toraks memperlihatkan
kepadatan mikronodular difus, bercak-bercak infiltrat menyerupai edema paru.
Pada kasus menahun tampak gambaran fibrosis interstisial menahun. Pasien
harus menghindari kontak dengan sumber antigen spesifik. Pada serangan akut,
dapat digunakan kortikosteroid.
2. Pneumokoniosis
Istilah pneumokonisosis berasal dari bahasa yunani (pneumos berarti paru;
konios berarti debu), yang dipublikasikan oleh zenker, seorang patologis Jerman,
pada tahun 1867. Zenker menyatakan bahwa pneumokoniosis merupakan suatu
kondisi gangguan paru akibat menginhalasi debu. Pada saat ini, definisi
pneumokoniosis diartikan lebih jelas, yaitu sebagai suatu reaksi non-neoplastik
paru akibat mengunhalasi debu mineral atau debu organik sehingga
mengakibatkan terjadinya perubahan arsitektur struktur jaringan parenkim paru.
Jenis debu penyebab yang paling sering menimbulakn pneumokoniosis yaitu
silika, btubara, dan asbes. Umumnya, gejala pneumokoniosis baru terjadi setelah
terpajan oleh debu kerja setelah bekerja paling sedikit 10-20 tahun. Beratnya
gejala yang timbul bergantung pada intesnitas dan lamanya pajan yang terjadi.
Kondisi iniharus dibedakan dengan inhalasi debu inert, yang tidak menyebabkan
terjadinya pneumokoniosis, yaitu debu kerja yng tergolong dalam PNOC
(particulates not otherwise classified).
Terjadinya reaksi jaringan parenkim paru pada pneumokoniosis bergantung
pada jenis debu kerja yang diinhalasi dan besarnya partikel debu. Hanya partikelpartikel debu yang berdiameter <3m yang dapat mencapai alveoli dalm jumlah
yang bermakna dan kebanyakan pertikel tersebut berukuran <0,1m. bronkiolus
yang seakan-akan merupakan lorong sempit saluran pernapasan dengan loronglorong yang lebih lebar di atasnya (bronkus sekunder dan primer) menjadi tempat
mengendapnya debu-debu kerja yang terinhalasi. Hal inilah yang menjadi alasan
mengapa pada pneumokoniosis yang masih dini, debu kerja akan ditemukan
sebagai fokus-fokus di jaringan parenkim paru. Fokus dijaringan tersebut
menggambarkan terjsdinys akumulasi debu kerja di alveolus, bronkiolus yang
melebar, dan di jaringan paru yang di dekatnya. Biasanya, alveoli diantara fokusfokus-fokus ini bebas debu. Bila pajanan debu kerja terus berlanjut, debu yang
mengendap makin lama makin bertambah, sehingga fokus-fokus bertambah
besar dan akhirnya akan menyatu dengan lainnya menjadi beberapa lesi
multifokal yang besar. Namun, bila epengendapan debu menyebar pada lebih
banyak bronkiolus dan alveolus, maka terjadi lesi yang lebih difus. Permukaan
alveolus yang tertutupi partikel-partikel debu secara luas akan menghambat
sekresi surfaktan, yang biasanya dilaksanakan oleh sel-sel dipermukaan alveolus.
Akibatnya, alveolus-alveolus ini menjadi kolaps sehingga bagian jaringan paru di
tempat ini tidak berfungsi lagi. Reaksi jaringan parenkim paru, dengan adanya
partikel-partikel debu yang menyelimuti permukaan alveoli, juga akan

mengakibatkan terjadinya multiplikasi sel-sel permukaan alveoli menjadi serabut


jaringan ikat. Intensitas reaksi jaringan ini bervariasi bergantumg pada jenis debu
yang diinhalasi.
Kebanyakan jenis pneumokoniosis diberi nama berdasarkan jenis debu kerja
yang diinhalasi, misalnya silikosis, pneumokoniosis batubara, asbestosis, dan
lain-lain. Debu kerja dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu debu kerja
fibrogenik dan debu kerja nonfibrogenik. Namun, perbedaan diantara kedua
kelompok ini tidak terlalu signifikan. Misalnya, silika merupakan debu campuran
(fibrogenik dan nonfibrogenik), atau para pekerja yang menginhalasi beberap
jenis debu kerja dapat berpotensi menghasilkan lebih banyak fibrosis (jaringan
ikat paru). Inhalasi debu kerja yang nonfibrogenik hanya akan mengakibatkan
bertambahnya jaringan ikat paru dalam jumlah yang sangat sedikit. Debu ini
biasanya disebut debu inert, misalnya kaolin, titanium dioksida, stannous oksida,
barium sulfat, ferrioksida, dan gelas. Pada akumulasi debu inert dalam paru,
alveoli tetap utuh, tidak terbentuk jaringan ikat, dan umunya bersifat sementara.
Intensitas gejala yang timbul akibat pneumokoniosis bergantung pada
banyaknya jaringan paru yang menjadi tidak berfungsi akibat akumulasi debu.
Atau dengan kata lain, bergantung pada banyaknya jaringan ikat yang terbentuk
akibat pneumokoniosis. Debu kerja yang berpotensi fibrogenik tinggi memiliki
kpasitas untuk menimbulkan kegagalan fungsi paru pada keterpajanan yang lebih
singkat dibandingkan dengan debu kerja yang berpotensi fibrogenik rendah.
Umunya, sangat sedikit para pekerja yang terpajan debu kerja yang berpotensi
fibrogenik rendah (misalnya batubara) mengalami kegagalan fungsi paru yang
bermakna, karena jenis debu kerja ini hanya akan menimbulkan gangguan paru
yang ringan, biasa disebut pneumokoniosis sederhana. Bila pajanan terus
berjalan pneumokoniosis sederhana dapat berubah menjadi fibrosis masif
progresif sehingga gejala sesak napas dan kegagalan paru lainnya dapat terjadi
dengan sangat cepat.
Pneumokoniosis akibat debu kerja yang fibrogenik, seperti silikosis dan
asbestosis,

kemungkinan

besar

dapat

mengakibatkan

timbulnya

gejala

pneumokoniosis yang berat. Gejala khas pada silikosis ditandai dengan


timbulnya fibrosis noduler yang multifokal, sedangkan pada asbestosis
diindikasikan dengan timbulnya fibrosis paru yang difus dan tidak seragam.

You might also like