You are on page 1of 357

PE

DO
SK
I

PANDUAN LAYANAN KLINIS


DOKTER SPESIALIS
DERMATOLOGI
DAN
VENEREOLOGI

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA


(PERDOSKI)
Tahun 2014

SK
I

PE
R

DO

PAND
DUAN LAYANAN KLINIS
K
D
DOKTE
ER SPE
ESIALIIS
DERMATOLOG
GI DAN VENE
EREOLOGI

Perhimp
punan Do
okter Spe
esialis Ku
ulit dan Kelamin
K
In
ndonesia
a
(P
PERDOSK
KI)
T
Tahun
2014

SK
I

P
PANDUAN
LAYANAN KLINIS
DOKTER SPESIA
ALIS DER
RMATOLOG
GI DAN VE
ENEREOLO
OGI

PERDOSKI
P
PANDUAN
LAYANAN KLINIS
Ta
ahun 2014 GI DAN VE
DOKTER SPESIA
ALIS DER
RMATOLOG
ENEREOLO
OGI
PERDOSKI

Ta
ahun 2014

DO

Tim Penyusun dan Ed


ditor
DR.Dr. Aida Suriadire
edja, Sp.KK(K), FINSDV, FAAD
DV
oruan, Sp.KK(K
K), FINSDV, FAA
ADV
Prof. Dr. Theresia L. To
Widaty
y,
Sp.KK(K),
FIN
NSDV,
FAADV
Dr. Sandra
Tim Penyusun dan Ed
ditor
M Aida
Yulianto
Listy
yawan,
Sp.KK(K),
AADV
FINSDV,
FA
DR.DR.Dr.
Dr. M.
edja,
Sp.KK(K),
DV
Suriadire
FINSDV,
FAAD
Dr.Dr.
A Theresia
Agnes
Sri Siswa
ati,
Sp.KK(K),
FK), FINSDV,
FINSDV,
FAADV
VADV
L. To
oruan,
Sp.KK(K
FAA
Prof.
DR.
Med.
Dr.
Retno
o
Danarti,
Sp.K
KK(K),
FINSDV
NSDV, FAADV
Dr. Sandra Widatyy, Sp.KK(K), FIN
D Yulianto
Dr.
Cita Rosita
SP
Sp.KK(K),
FK), FINSDV,
FINSDV,
FAADV
VAADV
M
Listy
yawan,
Sp.KK(
FA
DR. DR.
Dr. M.
Nati, Sp.KK(K),
Nopriyati,
Sp.KK
K
Dr. Agnes
A
Sri Dr.
Siswa
F
FINSDV,
FAADV
V
DR. Med. Dr. Retno
o Danarti, Sp.K
KK(K), FINSDV
DR. Dr.
D Cita Rosita SP Sp.KK(K), FINSDV,
F
FAADV
V
S
N
Nopriyati,
Sp.KK
K
Dr. Sekretaris
Dr. Benny Nelson

PE
R

S
Sekretaris
K Benny Nelson
Kontributor
Dr.
Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual
K
pok Studi Herp
pes
Kelomp
K
Kelompok
StudKontributor
A
Kerja
Ki Dermatosis Akibat
Si Infeksi
Morbus
Hlar Seksual
Hansen
K Kelompok
Kelompok
StudStudi
Menu
Kelompok
Stu
udi
Derpes
matologi
pokImuno
Studi Herp
Kelomp
Kelomp
pok
Studi Psoria
asis Kerja
K
Kelompok
Stud
i Dermatosis
A
Akibat
Kelompok
SStudi
Dematom
S
Morbusmikologi
H
Hansen
KelompokStudi
Kellompok
StudiStu
Dudi Imuno Der
Dermatologi
An
nak
Indonesia
Kelompok
matologi
Kelom
mpok Studi
Der
rmatologi
Kosm
metik
a
Kelomp
pok
Studi Psoria
asis Indonesia
Kelom
mpokKelompok
Studi Tum
mor
Bedahmikologi
Kulit Indonesia
S dan
Studi
Dematom
Kel
DDermatologi
Las
ser Indonesia
Kelompok
lompokStudi
StudiDermatologi
D
An
nak
Indonesia
PmpokPakar
Para
matologi
Vmetik Indonesia
Venereologi
Kelom
StudiDerm
Der
rmatologidan
Kosm
a
Kelom
mpok Studi Tum
mor dan Bedah Kulit Indonesia
Kelompok Studi Dermatologi
D
Lasser Indonesia
Se
ekretariat:
P
Para
Pakar Derm
matologi dan Venereologi
V
PP
P PERDOSKI
Ruko Grand Salemba
Se
ekretariat: a
Jala
an Salemba I No
o. 22, Jakarta 10430, Indonesia

PP
P PERDOSKI

Ruko Grand Salemba


a
Jala
an Salemba I No
o. 22, Jakarta 10430, Indonesia

PE
ERHIMPUNA
AN DOKTER SPESIALIS KULIT
K
DAN KELAMIN
K
IND
DONESIA (PERDOSKI)
JAK
KARTA 2014
PE
ERHIMPUNA
AN DOKTER SPESIALIS KULIT
K
DAN KELAMIN
K
IND
DONESIA (PERDOSKI)
JAK
KARTA 2014

ii

Kelompok Studi Dermatologi Laser Indonesia


Para Pakar Dermatologi dan Venereologi
Sekretariat:
PP PERDOSKI
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM
Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat 10430

SK
I

Hak Cipta dipegang oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)
Dilarang mengutip, menyalin, mencetak dan memperbanyak isi buku dengan
cara apapun tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta
Hak Cipta dipegang oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)
Dilarang mengutip, menyalin, mencetak dan memperbanyak isi buku dengan
cara apapun tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta

DISCLAIMER

PE
R

PLK PERDOSKI disusun berdasarkan asupan dari para pakar


Dermatologi dan Venereologi serta Kelompok Studi terkait
Buku PLK dimaksudkan untuk penatalaksanaan pasien sehingga tidak
berisi informasi lengkap tentang penyakit atau kondisi kesehatan
tertentu
Buku PLK ini digunakan untuk pedoman penatalaksanaan pasien
Hasil apapun dalam penatalaksanaan pasien di luar tanggung jawab tim
penyusun PLK
Pemilihan tatalaksana agar disesuaikan dengan kompetensi & legalitas
obat terkait

DO

ISBN : 978-602-98468-4-3

iii

KATA PENGANTAR

SK
I

Assalamualaikum Wr Wb,
Undang-Undang Republik Indonesia no. 29 tahun 2014 tentang Praktik Kedokteran pasal
44 ayat 1 menyatakan bahwa dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
Sehubungan dengan hal tersebut, PERDOSKI menerbitkan Panduan Layanan Klinis
(PLK) tahun 2014 ini yang merupakan revisi dari Panduan Pelayanan Medik PERDOSKI
tahun 2011.

Tim penyusun buku ini terdiri atas anggota PERDOSKI yang berasal dari beberapa cabang dan
juga bekerja di institusi pendidikan. Setelah selesai merevisi, bahan diberikan kepada
Kelompok Studi (KS) dan atau peer group (bila tidak ada KS-nya) untuk lebih disempurnakan.
Terakhir bahan dikembalikan kepada tim penyusun untuk editing.

DO

Penyakit dan tindakan pada PLK ini mengacu pada dermatologi non infeksi, dermatologi
infeksi, genodermatosis, dermato-alergo-imunologi, dermatologi kosmetik termasuk laser,
tumor dan bedah kulit, venereologi (infeksi menular seksual) dan kedaruratan kulit. Umumnya
penyakit maupun tindakan tersebut telah diperoleh pada waktu pendidikan dokter spesialis
sebagaimana telah tertera dalam Standar Kompetensi Kolegium Dermatologi dan Venereologi
Indonesia. Adapun ketrampilan tindakan yang memerlukan sertifikat kualifikasi tambahan dari
Kolegium adalah tindakan yang belum pernah diperoleh sewaktu menjadi peserta program
pendidikan dokter spesialis (PPDS) atau didapat dalam pelatihan lintas disiplin ilmu lain.

PE
R

Dengan selesainya buku ini, ucapan terima kasih pertama-tama dihaturkan kepada Ketua
Umum dan Ketua Bidang II PP PERDOSKI tahun 2011-2014 atas kepercayaannya
menunjuk Tim Penyusun. Selanjutnya penghargaan yang tinggi diberikan kepada seluruh
anggota Tim Penyusun atas kerja kerasnya sehingga buku ini dapat terwujud. Tidak lupa
terima kasih sebesar-besarnya ditujukan kepada Kelompok Studi dan para pakar (peer
group) yang telah ikut menyempurnakan isi buku ini. Last but not least terima kasih
sedalam-dalamnya disampaikan kepada Dr. Benny Nelson sebagai sekretaris yang telah
berupaya semaksimal mungkin hingga akhirnya buku ini selesai.

Walaupun telah berusaha keras namun tidak ada gading yang tidak retak. Karena itu pada
kesempatan ini disampaikan juga permohonan apabila ada kesalahan. Mohon agar
koreksi dan asupan dapat diberikan langsung kepada PP PERDOSKI.

Akhirnya diharapkan agar PLK ini dapat menjadi panduan dan membantu para dokter
spesialis dermatologi dan venereologi dalam melakukan pelayanan kedokteran. Dengan
demikian tercapai pelayanan yang optimal kepada seluruh rakyat Indonesia terutama
pelayanan kesehatan dermatologi dan venereologi.
Jakarta, Agustus 2014
Atas nama Tim Penyusun

DR.Dr. Aida SD Suriadiredja, Sp.KK(K)


FINSDV, FAADV

iv
iv

SAMBUTAN
KETUA UMUM PP PERDOSKI

Sejawat terhormat,

SK
I

2011-2014

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmatNya, buku
panduan ini dapat terselesaikan tepat waktu. Panduan Layanan Klinis ini (PLK) adalah
revisi dari buku Panduan Pelayanan Medis (PPM) yang telah dimiliki dan digunakan oleh
PERDOSKI sebelumnya.
Sesuai dengan kebutuhan dan arahan Kementerian Kesehatan bahwa diperlukan
Panduan dalam melaksanakan layanan yang dapat diakses dan diaplikasikan secara
nasional mulai dari layanan tingkat pratama sampai tingkat utama agar layanan berjalan
sesuai dengan keilmuan yang berkembang dan sesuai dengan prasana yang ada untuk
pencapaian service excellent.

DO

Panduan ini direncanakan akan dapat diakses secara online oleh seluruh anggota
PERDOSKI. Buku ini adalah rangkaian buku yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN DOKTER
SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA, mulai dari standar kewenangan medik
dan clinical pathway, serta standar profesi. Didahului oleh pembentukan Pokja, yang terdiri
dari utusan anggota dari berbagai daerah, dilanjutkan dengan pertemuan yang intensif
dari seluruh bidang terkait dipandu oleh bidang Pendidikan dan Profesi PERDOSKI, serta
asupan dari seluruh kelompok studi terkait, maka makin sempurnalah panduan ini.
Rasa hormat dan penghargaan setingginya kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam penyempurnaan buku ini, dan semoga panduan ini dapat dirasakan manfaatnya
oleh seluruh anggota dalam melaksanakan layanan dengan
target peningkatan
kesehatan nasional di bidang kesehatan kulit dan kelamin.

PE
R

Tak ada pekerjaan yang sempurna, masih diperlukan asupan dari teman sejawat sekalian
terhadap panduan ini, terutama para anggota yang berada di daerah dengan masalah
yang spesifik, dan kami sangat terbuka untuk hal tersebut.
Manfaatkan panduan ini dengan baik dalam membantu teman sejawat melaksanakan
layanan.

Jakarta, Agustus 2014


Ketua Umum Pengurus Pusat PERDOSKI
Dr. Syarief Hidayat, Sp.KK
FINSDV, FAADV

v
v

Sambutan Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Kulit dan Kelamin


Kolegium Dermatologi dan Venereologi

SK
I

Setiap warga negara Indonesia berhak mendapat pelayanan kesehatan dalam derajat yang
optimal dan peningkatan derajat kesehatannya harus segera diupayakan, pernyataan ini
tertera dalam UUD 1945 pasal 28. Pemerintah Indonesia mengeluarkan sejumlah
perundangan dan peraturan untuk memfasilitasi terciptanya amanah UUD 1945 tersebut,
antara lain diterbitkannya Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
yang menyatakan perlunya Standar Pelayanan Medis. Standar ini menjadi pedoman yang
dirancang oleh profesi agar para dokter yang berkepentingan dapat menjalankan pelayanan
kesehatan secara baku, aman dan bermanfaat optimal bagi masyarakat luas. Dengan
semangat kesehatan adalah hak seluruh rakyat indonesia dan merujuk Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), maka
diperlukan Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan sebagai standar yang digunakan di seluruh
pusat pelayanan kesehatan tingkat satu, dua dan tiga.

DO

Kolegium Dermatologi dan Venereologi merupakan badan pengampu ilmu yang selalu
mencari pembaharuan dalam bidang penatalaksanaan penyakit dan gangguan estetis
untuk meraih kesehatan serta kesempurnaan penampilan kulit dan kelamin. Semua jenis
pelayanan kesehatan kulit dan kelamin ini dituangkan dalam standar kompetensi yang
selalu dinilai kembali dan direvisi secara berkala. Penentuan kompetensi spesialis ini
mendapat asupan dari profesi melalui kelompok studi dan dalam pendidikan dokter
spesialis dermatologi dan venereologi dituang dalam bentuk modul penatalaksanaan
gangguan kesehatan kulit dan kelamin. Penetapan jenis dan modul layanan medis
tersebut harus merujuk pada pelayanan berbasis bukti (evidence based medicine) yang
berasal dari pakar-pakar dalam dan luar negeri yang berkecimpung di dunia dermatologi
dan venereologi khususnya, dan ilmu kedokteran umumnya. Saat ini Standar Kompetensi
Dermatologi dan Venereologi tahun 2014 telah tersusun, dan pedoman ini menjadi titik
tolak penentuan jenis layanan yang harus dikuasai dokter spesialis dermatologi dan
venereologi.

PE
R

Standar kompetensi dan modul pelayanan medis ini disetujui oleh Konsil Kedokteran
Indonesia serta menjadi dasar penyusunan Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan untuk
bidang dermatologi dan venereologi. Dengan bantuan panduan ini diharapkan para dokter
spesialis dermatologi dan venereologi dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan tepat
serta pihak terkait dapat memakainya sebagai penilaian baku mutu juga perkiraan biaya
kesehatan bidang penyakit kulit dan kelamin.
Jakarta, Agustus 2014
Ketua Kolegium Dermatologi dan Venereologi 2011-2014
DR.Dr.Tjut Nurul Alam Jacoeb, SpKK(K)
FINSDV, FAADV

vi

vi

SALINAN
SURAT KEPUTUSAN
No. 003/SK/PERDOSKI/PP/II/13
TENTANG

SK
I

TIM REVISI
PANDUAN LAYANAN KLINIK (PLK)
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA

Menimbang:
a. Dalam rangka menjamin mutu pelayanan medik Spesialis Kulit dan Kelamin perlu adanya
penyempurnaan PLK Spesialis Kulit dan Kelamin.
b. Bahwa untuk menyempurnakan PLK tersebut perlu dibentuk Panitia /Tim.
c. Bahwa nama-nama tercantum di bawah ini dianggap cakap dan mampu sebagai Tim Revisi PLK.

DO

Mengingat:
1. AD dan ART PERDOSKI
2. Buku Kompendium
3. KONAS PERDOSKI XIII Manado 2011
4. Renstra PERDOSKI 2011-2014

Memperhatikan :
a. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK).
b. Usulan dari PP PERDOSKI, PERDOSKI Cabang, Kelompok Studi dan Institusi Pendidikan Dokter
Spesialis (IPDS) untuk revisi PLK.
c. Hasil Rapat Pertemuan PP PERDOSKI dan Kolegium IKKK untuk membentuk Tim Revisi PLK.
MEMUTUSKAN
1.

Menetapkan Tim Revisi PLK PERDOSKI:

: DR.Dr. Aida Suriadiredja, Sp.KK(K), FINS-DV


: Prof. Dr. Theresia L. Toruan, Sp.KK(K), FAADV
Dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K), FINS-DV, FAADV
DR. Dr. M. Yulianto Listyawan, Sp.KK(K), FINS-DV, FAADV
Dr. Agnes Sri Siswati, Sp.KK(K), FINS-DV
DR. Med. Dr. Retno Danarti, Sp.KK
DR. Dr. Cita Rosita SP Sp.KK(K)
Dr. Nopriyati, Sp.KK

PE
R

Ketua
Anggota

2.

Tim Revisi menyerahkan PLK yang telah direvisi kepada PP PERDOSKI selambatnya 1 (satu)
bulan sebelum Kongres Nasional (KONAS) XIV PERDOSKI Bandung bulan Agustus 2014.

Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan catatan apabila terdapat kekeliruan akan
diperbaiki sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di: Jakarta

Pada tanggal : 13 Februari 2013

Dr. Syarief Hidayat, Sp.KK, FINS-DV, FAADV


Ketua Umum

vii

vii

DAFTAR ISI

SK
I

Halaman
Kata Pengantar Tim Penyusun .................................................................................. iv
Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat PERDOSKI ..............................................
v
Sambutan Ketua Kolegium Dermatologi dan venereologi ........................................ vi
Surat Keputusan Tentang Tim Revisi
Panduan Layanan Klinis PERDOSKI ....................................................................... vii
Daftar Isi .................................................................................................................... viii
Daftar Singkatan ........................................................................................................ xii
1

A. Dermatologi Non Infeksi


A. 1. Dermatitis numularis .................................................................................
A. 2. Dermatitis popok ......................................................................................
A. 3. Dermatitis seboroik ....................................................................................
A. 4. Liken simpleks kronikus ............................................................................
A. 5. Miliaria .......................................................................................................
A. 6. Pitiriasis alba .............................................................................................
A. 7. Pitiriasis rosea ...........................................................................................
A. 8. Prurigo aktinik ............................................................................................
A. 9. Prurigo nodularis .......................................................................................
A. 10. Pruritic urticaria papule and plaque in pregnancy (PUPPP) ......................

5
8
10
14
16
19
21
23
25
27

B. Dermatologi Infeksi
B. 1. Creeping eruption (Hookworm-related cutaneous larva migrans) ............
B. 2. Dermatofitosis ............................................................................................
B. 3. Herpes zoster.............................................................................................
B. 4. Hand-Foot-Mouth Disease .........................................................................
B. 5. Histoplasmosis ...........................................................................................
B. 6. Kandidiasis / kandidosis.............................................................................
B. 7. Kriptokokosis..............................................................................................
B. 8. Kusta ..........................................................................................................
B. 9. Malassezia folikulitis ..................................................................................
B. 10. Mikosis profunda .......................................................................................
B. 11. Moluskum kontagiosum .............................................................................
B. 12. Pioderma ...................................................................................................
B. 13. Pitiriasis versikolor .....................................................................................
B. 14. Skabies ......................................................................................................
B. 15. Staphylococcal scalded-skin syndrome (SSSS)........................................
B. 16. Toxic shock syndrome (TSS) ....................................................................
B. 17. Tuberkulosis kutis ......................................................................................
B. 18. Varisela .....................................................................................................
B. 19. Veruka vulgaris / common warts ...............................................................

30
32
38
41
43
45
50
52
62
64
70
73
78
80
84
86
88
93
96

PE
R

DO

Pendahuluan ..........................................................................................................

C. Genodermatosis
C. 1. Akrodermatitis enteropatika ....................................................................... 99
C. 2. Inkontinensia pigmenti (sindrom Bloch-Sulzberger) ................................... 102
C. 3. Epidermolisis bulosa yang diturunkan ........................................................ 106

viii

viii

4. Tuberous sclerosis complex .......................................................................


5. Displasia ektodermal .................................................................................
6. Iktiosis ........................................................................................................
7. Neurofibromatosis tipe 1 ............................................................................

113
117
123
130

D. Dermato-Alergo-Imunologi
D. 1. Cutaneus lupus eritematosus spesifik ........................................................
D. 2. Dermatosis IgA linear .................................................................................
D. 3. Dermatitis herpetiformis Duhring ................................................................
D. 4. Dermatitis kontak alergi ..............................................................................
D. 5. Dermatitis kontak iritan ...............................................................................
D. 6. Erupsi kulit akibat alergi obat .....................................................................
D. 7. Pemfigus ....................................................................................................
D. 8. Urtikaria ......................................................................................................
D. 9. Psoriasis ....................................................................................................

132
137
141
145
148
151
155
159
166

E. Dermatologi Kosmetik
E. 1. Akne vulgaris .............................................................................................
E. 2. Melasma ...................................................................................................
E. 3. Freckles .....................................................................................................
E. 4. Vitiligo ........................................................................................................
E. 5. Alopesia androgenik ..................................................................................
E. 6. Penuaan kulit .............................................................................................
E. 7. Deposit lemak dan selulit ..........................................................................
E. 8. Hiperhidrosis .............................................................................................
E. 9. Bromhidrosis dan Osmidrosis ...................................................................

180
184
188
190
194
198
199
200
202

Laser
E. 10. Laser CO2 untuk kelainan kulit .................................................................
E. 11. Laser untuk kelainan vaskular ...................................................................
E. 12. Laser untuk skar ........................................................................................
E. 13. Laser dan IPL untuk kelainan pigmen .......................................................
E. 14. Laser penghilang tato ................................................................................
E. 15. Laser dan IPL penghilang rambut .............................................................
E. 16. Laser untuk resurfacing .............................................................................
E. 17. Laser dan sinar untuk akne vulgaris ..........................................................

204
205
206
208
209
210
211
213

PE
R

DO

SK
I

C.
C.
C.
C.

F. Tumor dan Bedah Kulit:


Tumor Jinak
Adneksa
F. 1. Siringoma ..................................................................................................
F. 2. Trikoepitelioma ..........................................................................................
Epidermis dan kista epidermis
F. 3. Keratosis seboroik .....................................................................................
F. 4. Kista epidermal ..........................................................................................
F. 5. Nevus verukosus .......................................................................................
Jaringan ikat
F. 6. Dermatofibroma .........................................................................................
F. 7. Fibroma mole.............................................................................................
F. 8. Keloid.........................................................................................................

ix

216
217
218
220
221
222
223
224

ix

225
226
227
228
229

SK
I

Karena virus, neoplasma, hiperplasia, dan malformasi vaskular


F. 9. Angiokeratoma ...........................................................................................
F. 10. Granuloma piogenikum .............................................................................
F. 11. Limfangioma ..............................................................................................
F. 12. Nevus flameus ...........................................................................................
Sel melanosit dan sel nevus
F. 13. Nevus melanositik .....................................................................................

Pra Kanker
F. 14. Keratosis aktinik ....................................................................................... 232
F. 15. Leukoplakia .............................................................................................. 233
F. 16. Penyakit Bowen ........................................................................................ 234
Tumor Ganas
Epidermis dan adneksa
F. 17. Karsinoma sel basal ................................................................................. 236
F. 18. Karsinoma sel skuamosa ......................................................................... 240
Sel melanosit
F. 19. Melanoma maligna .................................................................................... 244

251
253
254
256
257
258
259
260
261
263
264
265
266
267
269
270
271
272
273
275

G. Venereologi (Infeksi Menular Seksual)


G. 1. Infeksi gonore ............................................................................................
G. 2. Herpes simpleks genitalis (HG) ..................................................................
G. 3. Infeksi genital non spesifik (IGNS) ..............................................................
G. 4. Kandidosis vulvovaginalis (KVV) ................................................................
G. 5. Kondiloma akuminata (KA) .........................................................................
G. 6. Sifilis ............................................................................................................
G. 7. Trikomoniasis ..............................................................................................

278
282
286
291
294
296
299

PE
R

DO

Tindakan Bedah Dalam Dermatologi


F. 20. Biopsi kulit .................................................................................................
F. 21. Eksisi/flap/graft ..........................................................................................
F. 22. Bedah listrik ...............................................................................................
F. 23. Bedah beku ...............................................................................................
F. 24. Bedah kimia (chemical peeling) .................................................................
F. 25. Subsisi .....................................................................................................
F. 26. Skin Needling ...........................................................................................
F. 27. Dermabrasi dan Mikrodermabrasi ............................................................
F. 28. Bedah sedot lemak ...................................................................................
F. 29. Injeksi bahan pengisi (filler) .......................................................................
F. 30. Injeksi toksin botulinum ............................................................................
F. 31. Blefaroplasti ..............................................................................................
F. 32. Transplantasi rambut ................................................................................
F. 33. Bedah kuku ...............................................................................................
F. 34. Skleroterapi ..............................................................................................
F. 35. Bedah Mohs .............................................................................................
F. 36. Face Lift menggunakan benang ................................................................
F. 37. Minimum incision face lift ...........................................................................
F.38. Non-surgical face lift ...................................................................................
F.39. Vitiligo .........................................................................................................

G. 8. Ulkus mole .................................................................................................. 302


G. 9. Vaginosis bakterial ...................................................................................... 304

SK
I

H. Kedaruratan Kulit
H. 1. Angioedema ................................................................................................ 307
H. 2. Nekrolisis epidermal (SSJ dan NET) ........................................................... 313
H. 3. Sindrom DRESS ......................................................................................... 317

321
327
329
335
342

PE
R

DO

Lampiran
1. Uji Tempel ........................................................................................................
2. Uji Intradermal .................................................................................................
3. Uji Provokasi Obat ...........................................................................................
4. Uji Tusuk ..........................................................................................................
5. Himbauan Tim Perumus ..................................................................................

xi

xi

DAFTAR SINGKATAN

DO

SK
I

: autosomal dominan
: acro-dermato-ungual-lacrimal-tooth syndrome
: ankyloblepharon filiforme adnatum-ectodermal dysplasi-cleft palate syndrome
: antihistamin
: alpha hydroxy acid
: acquired immunodeficiency syndrome
: American joint committee on cancer
: anti nuclear antibody
: anti double stranded DNA
: alat pelindung diri
: autosomal recessive
: basement membrane zone
: benzoil peroksida
: complement C3
: complete blood count
: chronic bullous disease of chilldhood
: complete lymph node dissection
: computed tomography
: cutaneous T-cell lymphoma
: chest X-ray
: dermatosis IgA linear
: dystrophic epidermolysis bullosa
: direct immunofluorecence
: dermatitis kontak alergi
: dermatitis kontak iritan
: discoid lupus erythematosus
: diabetes melitus
: deoxyribose nucleic acid
: dokter spesialis kulit dan kelamin
: epidermolisis bulosa
: epidermolisis bulosa akuisita
: epidermolisis bulosa simpleks
: ectrodactyl-ED-cleft lip/plate syndrome
: enzyme Immnunoassay
: enzyme-linked immunosorbent assay
: electron microscope
: eritema nodusum
: erupsi obat alergi
: fixed drug eruption
: fine needle aspiration biopsy
: hematoksilin eosin
: hypohidrotic ectodermal dysplasia
: herpes genitalis
: human immunodeficiency virus
: human papilloma virus
: hormon replacement therapy
: herpes zoster
: imunoglobulin A
: imunoglobulin E
: interferon
: infeksi genital nonspesifik

PE
R

AD
ADULT
AEC
AH
AHA
AIDS
AJCC
ANA
Anti DNA
APD
AR
BMZ
BPO
C3
CBC
CBDC
CLND
CT
CTCL
CXR
DAL
DEB
DIF
DKA
DKI
DLE
DM
DNA
Dr. Sp.KK
EB
EBA
EBS
EEC
EIA
ELISA
EM
EN
EOA
FDE
FNAB
HE
HED
HG
HIV
HPV
HRT
HZ
IgA
IgE
IFN
IGNS

xii

xii

SK
I

inflammatory linear verrucous epidermal nevous


immune defects
infeksi menular seksual
Intense Pulsed Light Source
intravenous immunoglobulin
junctional epidermolysis bullosa
kalau perlu
kondilomata akuminata
karsinoma sel basal
kelompok studi bedah kulit
karsinoma sel skuamosa
kandidosis vulvovaginalis
linear IgA dermatoses
lactate dehydrogenase
lupus eritematosus
laju endap darah
limfogranuloma venereum
moluskum kontagiosum
mycobacterium leprae particle agglutination
melanoma maligna
narrow band
nekrolisis epidermal toksik
pertolongan pertama pada kecelakaan
psoriasis area and severity index
pustular eksantema generalisata akut
positron emission tomography
purified protein derivative
personal safety devices
Pruritic urticaria papule and plaque in pregnancy
pityriasis versicolor chronic
recessive dystrophic EB
repeated open application test
subcutan
systemic lupus erythematosus
sentinel-lymph-node-biopsy
Sindrom Stevens Johnson
susunan syaraf pusat
tuberkulosis
tricloro acetic acid
telinga hidung tenggorok
tumor, node, metastasis
treponema pallidum hemagglutination assay
tes serologik untuk sifilis
uretritis nongonore
uretritis nonspesifik
uji provokasi oral
ultraviolet A
ultraviolet B
venereal disease research laboratory
virus herpes simpleks 1
virus herpes simpleks 2
X-linked recessive

DO

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

PE
R

ILVEN
IM
IMS
IPL
IVIG
JEB
k/p
KA
KSB
KSBK
KSS
KVV
LAD
LDH
LE
LED
LGV
MK
MLPA
MM
NB
NET
P3K
PASI
PEGA
PET
PPD 5TU
PSD
PUPPP
PVC
RDEB
ROAT
SC
SLE
SLNB
SSJ
SSP
TB
TCA
THT
TNM
TPHA
TSS
UNG
UNS
UPO
UVA
UVB
VDRL
VHS 1
VHS 2
X-LR

xiii

xiii

SK
I
DO
PE
R

PENDAHULUAN

PELAYANAN DERMATOLOGI DAN


VENEREOLOGI

SK
I

Sesuai dengan Pedoman Standar Kewenangan Medik, tingkat


layanan dibagi menjadi PPK1 (Pusat Pelayanan Kesehatan), PPK 2,
dan PPK 3. PPK 2 masih dibagi menjadi 2A dan 2B. PPK 2A adalah
RS tipe C dan D yang memiliki Spesialis Dermatovenereologi
PELAYANAN
DERMATOLOGI
DANDAN
VENEREOLOGI
PELAYANAN
DERMATOLOGI
VENEREOLOGI

Pelayanan
Dermatologi
dan
Venereologi
di
Rumah
Sakit
Dibagi
menjadi
layanan
di PPK1,
PPK
2, PPK
3. PPK
2 dibagi
menjadi
2A
dan
Dibagi
menjadi
layanan
di PPK1,
PPK
2,
PPK
3. PPK
2 dibagi
menjadi
2A 2B,
dan dimana
2B,
dimana (dise
2A adalah
RS tipe
dan
yang
memiliki
Spesialis
Dermatovenereologi
2A adalah
RSCtipe
CD
dan
D yang
memiliki
Spesialis
Dermatovenereologi
suaikan dengan Pedoman Standar Kewenangan Medik Berdasarkan
Pelayanan
Dermatologi
dan Venereologi
di Rumah
SakitSakit
(disesuaikan
Pedoman
Pelayanan
Dermatologi
dan Venereologi
di Rumah
(disesuaikan
dengan
Pedoman
Tingkat
Pelayanan
Kesehatan
Dermatologi
dandengan
Venereologi)
Standar
Kewenangan
MedikMedik
Berdasarkan
Tingkat
Pelayanan
Kesehatan
Dermatologi
dan dan
Standar
Kewenangan
Berdasarkan
Tingkat
Pelayanan
Kesehatan
Dermatologi
Venereologi)
Venereologi)

IJenis Jenis
pelayanan
pelayanan

:
-

II

IITenaga
Tenaga

III

Kegiatan
III
Kegiatan :
pelayanan
pelayanan

1.
2.

PPK 2PPK 2

3.

4.

5.

6.

PPK 3PPK 3

2A 2A
2B 2B
Merupakan
- Merupakan
- Merupakan
- Merupakan
- Merupakan
- Merupakan
- Merupakan
- Merupakan
pemeriksaan
pemeriksaan
pemeriksaan
kesehatan
pemeriksaan
pemeriksaan
pemeriksaan
kesehatan pemeriksaan
pemeriksaan
kesehatan
kulit dan
kesehatan
kulit dan
kesehatan
kulit dan
kesehatan
kulit dan
kesehatan
kulit dan kulit dan
kulitkelamin
dan kelamin
kesehatan
kulit dan
kelamin
dengan
atau atau kelamin
dengan
atau atau dengan
atau tanpa
kelamin
dengan
kelamin
dengan
kelamin
dengan
dengan
atau tanpa
kelamin
dengan
tanpa tanpa
tindakan
medikmedik tanpa tanpa
tindakan
medikmedik tindakan
medikmedik
tindakan
medikmedik
tindakan
tindakan
tindakan
tindakan
sederhana
sederhana
sederhana
spesialistik
sederhana
sederhana
sederhana
spesialistik
Dapat
dilakukan
oleh oleh- Dapat
dilakukan
oleh oleh
- Dapat
dilakukan
oleh oleh - Dilakukan
oleh oleh
- Dapat
dilakukan
- Dapat
dilakukan
- Dapat
dilakukan
- Dilakukan
dokterdokter
umumumum
di tempat
umumumum
di
dokterdokter
spesialis
kulit dan
spesialis
kulit kulit
di tempatdokterdokter
di
spesialis
kulit dandokterdokter
spesialis
praktek
pribadipribadi
atau atau
tempattempat
praktek
pribadipribadi kelamin
di tempat
dan kelamin
di
praktek
praktek
kelamin
di tempat
dan kelamin
di
Pusat Pusat
kesehatan
atau rumah
sakit tipe
pribadipribadi
atau atau
rumahrumah
sakit tipe
kesehatan
atau rumah
sakit tipe praktek
praktek
sakitB tipe B
primerprimer
C danCB dan B
rumahrumah
sakit tipe
danC dan dan A dan
(pendidikan)
sakitC tipe
A (pendidikan)
(nonpendidikan)
B (nonpendidikan)
(nonpendidikan)
B (nonpendidikan)
: Paramedik

Paramedik

Dr.Sp.KK

Dr.Sp.KK

Paramedik

Dr.Sp.KK

Dr.Sp.KK dan dan

Paramedik
Sp.KK(K)
Sp.KK(K)

Nonmedik

Paramedik
Nonmedik

Nonmedik

Paramedik

Nonmedik

Paramedik

Paramedik

Nonmedik

Nonmedik

Nonmedik

Nonmedik
1. Melakukan
1. Melakukan
anamnesis
1. Melakukan
1. Melakukan
1. Melakukan
anamnesis
1. Melakukan
: Melakukan
1. Melakukan
pemeriksaan
dan dan
2. Menjelaskan
anamnesis
anamnesis
pemeriksaan
2. Menjelaskan
anamnesis
anamnesis
tindaktindak
medikmedik
pemeriksaan
2. Menjelaskan
Menjelaskan
pemeriksaan
2. Menjelaskan
2. Menjelaskan
dermatologik
dan atau
kesehatan
pemeriksaan
pemeriksaan
dermatologik
dan atau layanan
layanan
kesehatan
pemeriksaan
pemeriksaan
kulit dan
venereologik
yang yang
dermatologik
dan dan
dermatologik
dan dan
kulitkelamin
dan kelamin
venereologik
dermatologik
dermatologik
tingkattingkat
pratama
akan dijalani
pasienpasien
atau venereologik
atau venereologik
pratama
akan dijalani
atau venereologik
atau venereologik
2. Melakukan
yang akan
yang akan
2. Melakukan
3. Melakukan
yang dijalani
akan dijalani3. Melakukan
yang dijalani
akan dijalani
penanganan
lanjut lanjut
pemeriksaan
fisis fisis
pasienpasien
pasienpasien
penanganan
pemeriksaan
pasienpasien
dermatologik
dan atau
3. Melakukan
Melakukan
terhadap
dermatologik
dan atau terhadap
3. Melakukan
3. Melakukan
rujukanrujukan
dari sarana
venereologik
pemeriksaan
fisis fisis
pemeriksaan
fisis fisis
dari sarana
venereologik
pemeriksaan
pemeriksaan
kesehatan
di
sediaan
dermatologik
dan dan 4. Membuat
dermatologik
dan dan
kesehatan
di
4. Membuat
sediaan
dermatologik
dermatologik
tingkattingkat
pratama
laboratorium
atau venereologik
atau venereologik
pratama
laboratorium
atau venereologik
atau venereologik
3. Melakukan
sederhana:
sediaan
Membuat
sediaan
3. Melakukan
sederhana:
4. Membuat
sediaan
4. Membuat
sediaan 4. Membuat
pemeriksaan
dan dan
a. Kerokan
kulit kulit
laboratorium
laboratorium
pemeriksaan
a. Kerokan
laboratorium
laboratorium
tindaktindak
medikmedik
kulit kulit
untuk untuk
sediaan
sederhana:
sederhana:
sediaan
sederhana:
sederhana:
dan kelamin
mikologik
a. Kerokan
kulit kulit
a. Kerokan
kulit kulit
dan kelamin
mikologik
a. Kerokan
a. Kerokan
spesialistik
atau atau
untuk untuk
sediaan
untuk untuk
sediaan
spesialistik
sediaan
sediaan
b. Slit
b. skin
Slitsmear
skin smear
subspesialistik
untuk untuk
sediaan
mikologik
mikologik
subspesialistik
sediaan
mikologik
mikologik
meliputi:
kusta kusta
b. Usap
meliputi:
b. duh
Usaptubuh
duh tubuh
b. duh
Usaptubuh
duh tubuh b. Usap
a. Pemeriksaan
vagina,
serviks,
vagina,
serviks,
a. Pemeriksaan
c. duh
Usaptubuh
duh tubuh
vagina,
serviks,
vagina,
serviks, c. Usap
laboratorium
vagina,
serviks,
uretra uretra
untuk untuk
uretra uretra
untuk untuk
laboratorium
vagina,
serviks,
penunjang
sediaan
uretra uretra
untuk untuk
sediaan
penunjang
sediaan
sediaan
lain: lain:
sediaan
venereologik
venereologik
sediaan
venereologik
venereologik
venereologik
biopsi/histopat
5. Melakukan
tindakan
Melakukan
tindakan
venereologik
biopsi/histopat
5. Melakukan
tindakan
5. Melakukan
tindakan
ologik,ologik,
biakan,
d. Tindakan
bedahbedah
pengobatan,
tindakan
biakan,
d. Tindakan
pengobatan,
pengobatan,
tindakan pengobatan,
serologik
mayormayor
filler, botox,
serologik
tindakan
filler, botox,
filler, botox,
chemical
filler, botox,
chemical tindakan
b. Tindakan
uji kulit,
peeling,
tindakan
b. Tindakan
5. Melakukan
uji kulit,
peeling,
tindakan
chemical
peeling,
chemical
peeling, 5. Melakukan
bedahbedah
mayormayor
yaitu uji
tusuk,
uji
eksisi eksisi
eksisi eksisi
(bedah
minor)minor) tindakan
yaitu
uji tusuk,
uji
tindakan
(bedah
c. Perawatan
tempel,
uji tempel(bedah(bedah
minor)minor)
Mampu
melakukan
c. Perawatan
tempel,
uji tempel6. Mampu
melakukan
pra/pasca
sinar (photo-patch),
uji
6. Mampu
melakukan
pertolongan
pertama
pra/pasca
sinar (photo-patch),
uji
6. Mampu
melakukan
pertolongan
pertama

PE
R

PPK 1PPK 1

DO

Tempat
Tempat :
pelayanan
pelayanan

pada keadaan
darurat penyakit kulit
Mengadakan
penyuluhan
kesehatan kulit dan
kelamin

7.

pertolongan pertama
pada keadaan
darurat penyakit kulit
Mengadakan
penyuluhan
kesehatan kulit dan
kelamin

6.

7.

8.

IV

Fasilitas
ruang

Ruang periksa
Ruang tunggu
Kamar kecil
Ruang tindakan

Alat

Peralatan diagnostik

Stetoskop dan
tensimeter

Lampu periksa
dengan kaca
pembesar

Mikroskop cahaya

Lampu Wood
Peralatan tindakan

Komedo ekstraktor

Set bedah minor

Perlengkapan alat
dan obat untuk
mengatasi syok
anafilaktik

Perlengkapan cuci
alat, sterilisasi, dan
pembuangan
sampah

Set tes IVA

Kursi Ginekologik

Ruang periksa
Ruang Tunggu
Kamar kecil
Ruang
tindakan/ruang
bedah
Laboratorium
Rawat rawat inap

Peralatan diagnostik

Peralatan diagnostik
pada PPK 1

Perlengkapan
laboratorium
sederhana untuk
pemeriksaan
dermatologik dan
venereologik
Peralatan tindakan

Peralatan tindakan
pada PPK 1

Ruang periksa
Ruang Tunggu
Kamar kecil
Ruang tindakan/ruang
bedah
Laboratorium
Rawat rawat inap

4.

5.

Peralatan diagnostik

Peralatan diagnostik
pada PPK 1

Uji tusuk dan uji


tempel
Peralatan tindakan

Peralatan tindakan
pada PPK 1

Set tindakan
rejuvenasi

Elektrokauter

Set bedah krio

Kit uji tusuk dan uji


tempel

DO

provokasi
Melakukan tindakan
pengobatan, tindakan
filler, botox, chemical
peeling, tindakan
eksisi (bedah minor)
Mampu melakukan
pertolongan pertama
pada keadaan darurat
penyakit kulit
Mengadakan
penyuluhan kesehatan
kulit dan kelamin

bedah
Melakukan
pemeriksaan dan
tindak medik kulit
dan kelamin sesuai
dengan
tersedianya tenaga
ahli dan sarana
yang ada
Penyuluhan
kesehatan kulit
dan kelamin

SK
I

7.

Ruang periksa
Ruang Tunggu
Kamar kecil
Ruang
tindakan/ruang
bedah
Ruang sinar UVB
(bila mampu)
Laboratorium
Rawat rawat inap

Peralatan diagnostik

Peralatan
diagnostik pada
PPK 1 dan 2

Laboratorium
histopatologik dan
serologik

Mikroskop Lapang
pandang gelap

Dermoskopi
Peralatan tindakan

Peralatan tindakan
pada PPK 1 dan 2

Set bedah laser

UVB cabin

PE
R

Dikutip dari Standar Kewenangan Medik Berdasarkan Tingkat Pelayanan Kesehatan PERDOSKI
tahun 2014

SK
I
DO

PE
R

DERMATOLOGI
NON-INFEKSI

Dermatologi Non-Infeksi

A.1.
DERMATITIS
NUMULARIS
(L30.0)
A.1. DERMATITIS
NUMULARIS
(L30.0)
Definisi

: Dermatitis numularis (DN) ialah dermatitis dengan


penyebab tidak diketahui, lesi berbentuk bulat seperti mata
uang logam, berbatas tegas dengan efloresensi berupa
papul atau papulovesikel yang bergabung, biasanya mudah
pecah sehingga basah (oozing) dengan penyulit.
Klasifikasi penyakit:
Dermatitis numularis
Dermatitis numularis dengan infeksi sekunder
Dermatitis numularis yang meluas (generalisata)
Varian:
Dermatitis likenoid dan diskoid eksudatif (Sulzberger-Garbe)

II

Kriteria diagnostik
Klinis

:
:

Riwayat perjalanan penyakit: didahului rasa gatal


dengan papul eritematosa mirip insect bites, kemudian
melebar sebesar koin (numular) atau seluas plakat,
bagian tengah resolusi membentuk lesi anular, dapat
setempat atau meluas (generalisata), sering kambuh
(kronik-residif)
Menyerang terutama orang dewasa (50-65 th), bayi dan
anak-anak (jarang), pria lebih sering daripada wanita
Predileksi ekstremitas bagian atas, tangan bagian dorsal
(wanita); ekstremitas bawah (pria)

DO

SK
I

I.

Diagnosis banding

: Dermatitis kontak alergik


Dermatitis stasis
Dermatitis atopik
Tinea korporis

PE
R

Selalu harus disingkirkan


Tinea korporis

Pemeriksaan
penunjang
Penatalaksanaan

III.

Tidak perlu pemeriksaan penunjang khusus

: Nonmedikamentosa :
Cegah garukan dan jaga hidrasi kulit agar tidak kering.
Konsultasi: Bila ada stres konsul ke ahli psikologi atau
psikiater
Medikamentosa:
Prinsip: mengurangi pruritus serta menekan inflamasi dan
infeksi
1. Topikal:
- Kortikosteroid potensi sedang sampai kuat bergantung
pada stadium dan berat penyakit.
- Inhibitor kalsineurin: takrolimus dan pimekrolimus
- Preparat tar
- Emolien untuk xerosis
Dermatologi NonInfeksi |5

Dermatologi Non-Infeksi

SK
I

- Bila akut dan eksudatif sebaiknya dikompres dulu dengan


larutan NaCl 0,9%.
- Bila ada infeksi sekunder oleh bakteri: antibiotik
2.Sistemik:
- Antihistamin (bila pruritus hebat)
- Kortikosteroid jangka pendek: untuk kasus berat dan
luas
- Antibiotik yang sesuai bila disertai infeksi sekunder
Bila penyakit luas:
Fototerapi broad/narrow band UVB
Kepustakaan

: 1. Susan Burgin. Nummular Eczema. Dalam: Fitzpatricks


Dematology in General Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Edisi ke-8. New
York : Mc Graw-Hill, 2012.h. 182-4.
2. Paller AS, Mancini AJ. Nummular dermatitis. Hurwitz Clinical
Pediatric Dermatology. 4th ed. Edinburgh: Elsevier; 2011. p.
59-60.

PE
R

DO

IV.

Dermatologi Non-Infeksi

Dermatologi NonInfeksi |6

V. V. Bagan
Alur
Bagan Alur

Plak numular dengan


erosi, ekskoriasi,
eksudasi/transudasi

Infeksi sekunder
oleh bakteri

Kompres

Plak numular
Skuama, likenifikasi,
xerosis kronik

Lesi membaik:
- infeksi sekunder (-)
- eksudasi (-)

PE
R

Sembuh

Generalisata

Antihistamin

DO

Antibiotik
sistemik/topikal

SK
I

Dermatitis numularis

Fototerapi

kortikosteroid topikal
potensi sedang kuat
preparat tar
emolien
inhibitor kalsineurin

Kambuh

Rekalsitrans
Pikirkan faktor risiko
Diagnosis alternatif

Dermatologi NonInfeksi |7

Dermatologi Non-Infeksi

A.2.
DERMATITIS
(L.22)
A.2. DERMATITIS
POPOKPOPOK
(L.22)
Definisi

: Dermatitis popok (napkin dermatitis, diaper dermatitis):


adalah dermatitis di daerah genitokrural sesuai dengan
tempat kontak popok (bagian yang cembung) dengan
kelainan kulit ini dijumpai pada bayi dan orang dewasa yang
memakai popok.
Klasifikasi:
Dermatitis popok iritan
Dermatitis popok kandida

II.

Kriteria diagnostik
Klinis

:
: Riwayat perjalanan penyakit: kontak lama dengan
popok basah (urin/feses)
Tempat predileksi genitokrural sesuai dengan tempat
kontak popok
Makula eritematosa, berbatas agak tegas, (bentuk mengikuti
bentuk popok yang berkontak), disertai papul, vesikel, erosi,
dan ekskoriasi.
Bila berat dapat menjadi infiltrat dan ulkus.
Bila terinfeksi jamur kandida tampak plak eritematosa
(merah cerah), lebih membasah disertai maserasi,
kadang pustul, dan lesi satelit.

DO

Diagnosis banding

Pemeriksaan
penunjang

Penatalaksanaan

: 1. Penyakit Leterrer-Siwe
2. Akrodermatitis enteropatika
3. Sebo-psoriasis
:
Tidak ada pemeriksaan khusus. Bila diduga terinfeksi
jamur kandida, pemeriksaan KOH/Gram dari kerokan
kulit.
: Nonmedikamentosa:
Edukasi cara menghindari penyebab dan menjaga
higiene, serta cara penggunaan popok dan mengganti
secepatnya bila basah (popok tradisional), mengganti
popok sekali pakai bila kapasitasnya telah penuh.
Dianjurkan pakai popok sekali pakai jenis highly
absorbent.

PE
R

III.

SK
I

I.

Medikamentosa:
Prinsip: menekan inflamasi dan mengatasi infeksi kandida
1.Topikal:
- Bila ringan: krim/salap bersifat protektif (seng oksida,
pantenol)
- Kortikosteroid potensi lemah (salap hidrokortison 1% /
2,5%) waktu singkat (3 7 hari)
- Bila terinfeksi kandida: antifungal kandida, yaitu
nistatin atau derivat azol dikombinasi dengan seng
oksida.

2.Sistemik:
- Tidak perlu

8
IV.

Dermatologi Non-Infeksi
Kepustakaan

DermatologiNonInfeksi |8

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS,


Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology in
General Medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill,
2012.
2. Reider N, Fritsch PO. Diaper dermatitis. In: Bolognia JL,

oksida.
2.Sistemik:
- Tidak perlu
: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology in
General Medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill,
2012.
2. Reider N, Fritsch PO. Diaper dermatitis. In: Bolognia JL,
Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Textbook of Dermatology,
3rd ed. New York: Elsevier; 2012. p. 230-31.
3. Ravanfar P, Wallace JS, Pace NC. Diaper dermatitis: A
review and update. Curr Opin Pediatr 2012; 24: 472-9.

Kepustakaan

SK
I

IV.

V. Bagan Alur

DO

Riwayat pemakaian popok

Genitalia dan bokong


(permukaan konveks)
Makula eritematosa, lembab,
skuama, erosi

PE
R

Dermatitis popok iritan

Genitalia, bokong (lipatan)


papul eritematosa, merah terang,
lembab, plak eritematosa, lesi satelit

Krim bersifat
protektif
Steroid topikal
potensi lemah

KOH/Gram:
kandida(+)

Dermatitis popok kandida

A: air (udara)popok dibuka saat tidur


B: barrier ointment: (pasta seng
oksida,petrolatum)
C: cleansing dan antikandida (air biasa,
minyak mineral)
D: diapers ganti sesering mungkin
E: edukasi orangtua dan pengasuh

Kombinasi
antikandida
topikal (nistatin /
derivat azol)
dengan seng
oksida

DermatologiNonInfeksi |9

Dermatologi Non-Infeksi

A.3. DERMATITIS SEBOROIK (L21.9)


: Dermatitis seboroik (DS) ialah penyakit kulit yang didasari
oleh faktor konstitusi dengan predileksi di daerah seboroik
dengan penyulit.

II. Kriteria diagnostik


Klinis

:
:

DO

Riwayat perjalanan penyakit: dapat dimulai pada masa


bayi berusia 2 pekan, menyembuh sebelum usia 1 tahun.
Kelainan umum berupa eritema dan papuloskuama
membentuk plakat eritroskuamosa di tempat predileksi
(daerah sebore), yaitu wajah terutama di alis dan
nasolabial, skalp, retroaurikular, sternal terutama daerah
V, interskapula, aksila, umbilikus dan genito-krural
Pada bayi dan anak: relatif tidak gatal, dapat
menyerupai dermatitis atopik atau dianggap sebagai
awal dermatitis atopik (sebo-atopik), skuama dan krusta
lebih berminyak (oleosa). Di skalp krusta dapat menebal
dan menyerupai topi (cradle cap). Bila meluas dapat
menjadi eritroderma, dapat merupakan bagian dari
sindrom Leiner bila disertai anemia, diare dan muntah,
serta infeksi sekunder bakteri.
Pada dewasa: kelainan kulit lebih kering, tempat predileksi
terutama daerah berambut atau kepala (pitiriasis
sika/dandruff). Gatal terutama bila berkeringat atau
udara panas.
DS yang berat: kronik residif, meluas sehingga menjadi
eritroderma, atau bentuk psoriasiformis (skuama yang
tebal)
Pada
pasien
defisiensi
imun
pertimbangkan
kemungkinan pengidap virus HIV/AIDS
: 1. Pada bayi: dermatitis atopik
2. Pada dewasa: psoriasis
3. Di lipatan: dermatitis intertriginosa, kandidosis kutis
Harus disingkirkan:
Histiositosis sel Langerhans (pada bayi)
: Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk diagnosis

Diagnosis banding

PE
R

SK
I

I. Definisi

Pemeriksaan
penunjang

III. Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa :
Hindari faktor pencetus dan faktor yang memperberat.
Medikamentosa:
Prinsip:
Menghilangkan dan mengeluarkan skuama dan krusta,
menghambat kolonisasi jamur, mengontrol infeksi
sekunder, mengurangi eritema dan gatal.

Topikal:
Bayi:
Skalp: untuk mengangkat krusta: asam salisilat 3% dalam
D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 10

10

Dermatologi Non-Infeksi

SK
I

minyak olive/kelapa atau vehikulum yang larut dalam air;


kompres minyak olive/kelapa hangat; aplikasi steroid
potensi lemah (hidrokortison 1%) krim atau lotion
selama beberapa hari; sampo imidazol, krim/ losio
ketokonazol 2%, sampo ketokonazol 1%; sampo bayi;
perawatan kulit umum dengan emolien, krim, atau pasta
lunak.

Daerah intertriginosa: kliokuinol 0,2 0,5% dalam lotion


atau minyak zink. Untuk kandidiasis, krim nistatin diikuti
pasta lunak.
Dermatitis basah: aplikasi gentian violet, 0,1 0,25%
atau ketokonazol 2% krim, lotion atau pasta lunak.

DO

Dewasa:
Skalp:
Sampo selenium sulfida 1,0 2,5%, imidazol
(ketokonazol 2%), zinc pyrithione, benzoil peroksida,
asam salisilat, tar.
Krusta
atau
skuama:
aplikasi
semalaman
glukokortikosteroid atau asam salisilat dalam vehikulum
yang larut dalam air, atau secara oklusif.

Wajah dan badan


Hidrokortison 1% salap atau krim

Otitis eksterna seboroik:


Glukokortikosteroid potensi lemah krim atau salap.
Untuk pemeliharaan: solusio aluminium asetat 1 atau 2 kali
sehari.
Pimekrolimus topikal juga efektif.
Blefaritis seboroik:
Kompres hangat, debridemen halus dengan aplikator
berujung kapas, dan sampo bayi satu atau beberapa kali
sehari. Antibiotik topikal berupa natrium sulfacetamide
ophthalmic ointment. Untuk penggunaan preparat mata
yang mengandung glukokortikosteroid dikonsulkan ke
spesialis mata. Jika Demodex folliculorum ditemukan
dalam jumlah banyak, dapat digunakan krotamiton,
permetrin, benzil benzoat.
Dermatitis seboroik berat atau eritroderma:
Kortikosteroid sistemik

PE
R

Pilihan terapi:
Antijamur:
Topikal: imidazol. (ketokonazol 2%, itrakonazol,
mikonazol, flukonazol, ekonazol, bifonazol, klimbazol,
siklopiroks, siklopiroksolamin, butenafin 1% krim.
Oral: ketokonazol, itrakonazol, terbinafin.
Metronidazol:
D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 11

Dermatologi Non-Infeksi

11

SK
I

Topikal: metronidazol 1-2% (gel, krim), 0,75% (lotion), 1


atau 2 kali/hari
Inhibitor kalsineurin:
Salap takrolimus atau krim pimekrolimus
Analog vitamin D3:
Kalsipotriol (krim, lotion, salap), takalsitol salap
Isotretinoin:
Isotretinoin oral 0,05 0,10 mg/kg BB/hari selama
beberapa bulan.untuk yang berat / rekalsitran
Fototerapi
Narrow-band UVB
Psoralen dan UVA untuk yang luas (eritroderma) dan
rekalsitran
Konsultasi:
Bila ada stres ke psikolog atau psikiater.
Bila ada kelainan sistemik ke dokter spesialis anak atau
penyakit dalam.

: 1. Collins CD, Hivnor C. Seborrheic dermatitis. Dalam: Wolff K,


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell
DJ,editor. : Fitzpatricks Dematology in General Medicine.
Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill; 2012.h.259-66.
2. Paller AS, Mancini AJ. Seborrheic dermatitis. Hurwitz Clinical
Pediatric Dermatology. 4th ed. Edinburgh: Elsevier; 2011. p.
56-57.
3. Reider N, Fritsch PO. Seborrheic dermatitis. In: Bolognia JL,
Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Textbook of dermatology, 3rd
ed. New York: Elsevier; 2012. p. 219-21.

PE
R

IV. Kepustakaan

DO

Tindak lanjut:
Bila menjadi eritroderma atau bagian dari penyakit Leiner:
perlu dirawat untuk pemantauan penggunaan antibiotik dan
kortikosteroid sistemik jangka panjang.
Bila ada kecurigaan penyakit LeterrerSiwe perlu kerjasama
dengan dokter spesialis anak

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 12

12

Dermatologi Non-Infeksi

V. Bagan Alur

Riwayat bintik
dan bercak
kemerahan
bersisik di daerah
Riwayat
bintik
dansebore
bercak
kemerahan
bersisik di daerah sebore

SK
I

Gambaran klinis
Papul-plak eritroskuamosa, krusta

Bayi

Skalp
Selenium sulfid
1-2,5 %
Ketokonazol 2
% sampo
Sampo seng
pyrition
Benzoil
peroksida
Asam salisilat
Coal tar

Intertriginosa
Minyak seng
Kliokuinol
lotion/minyak
0,2-0,5 %
Candida:
Nystatin

Wajah & badan


Krim kortikosteroid potensi
lemah
(hidrokortison
1%)

DO

Skalp
Krim hidrokortison 1%
Sampo ringan
untuk bayi
Sampo anti
jamur
Emolien
Asam salisilat
3% dalam
minyak olive/
kelapa

Dewasa

Kanalis otikus
eksterna
Krim kortikosteroid potensi
lemah
Krim pimekrolimus
untuk
maintenance
Aluminium asetat
solution 1-2 x/hari

PE
R

Seluruh tubuh (eritroderma)


Sistemik:

Kortikosteroid

Antibiotik
Topikal:

Kortikosteroid potensi lemah

Emolien

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 13

Dermatologi Non-Infeksi

13

A.4. LIKEN SIMPLEKS KRONIK (L28.0)


Definisi

: Liken simpleks kronikus (neurodermatitis sirkumskripta)


merupakan peradangan kulit kronik, sirkumskrip, sangat gatal,
ditandai kulit tebal dan garis kulit tampak lebih menonjol
akibat garukan atau gosokan berulang.

II.

Kriteria diagnostik
Klinis

:
:

Diagnosis banding

1. Dermatitis atopik likenifikasi


2. Psoriasis likenifikasi
3. Liken planus hipertrofik
Selalu disingkirkan:
1. Liken sklerosus, infeksi human papiloma virus (HPV),
tinea kruris (vulva,perianal)
3. Infeksi HPV, tinea kruris (skrotum)

Pemeriksaan penunjang

Histopatologik.

Penatalaksanaan

PE
R

III.

14

Terutama menyerang dewasa, usia 30 50 tahun


Perempuan lebih banyak daripada laki-laki
Sangat gatal, sampai dapat mengganggu tidur, terutama
pada waktu tidak sibuk. Gatal dapat paroksismal, terusmenerus, sporadik, menghebat bila ada stres psikis.
Garukan secara sadar merupakan cara untuk
menggantikan rasa gatal dengan nyeri.
Lesi biasanya tunggal tetapi dapat lebih dari satu
Ukuran lesi lentikular sampai plakat
Bentuk umumnya lonjong
Letak lesi dapat dimana saja, terutama mudah dijangkau
oleh tangan (skalp, tengkuk leher, ekstremitas ekstensor,
pergelangan tangan dan anogenital)
Stadium awal berupa eritema dan edema atau kelompokan
papul
Stadium lanjut berupa kulit menebal dengan ekskoriasi,
hiperpigmentasi atau hipopigmentasi.
Karena garukan berulang, bagian tengah menebal,
kering dan berskuama serta pinggirnya hiperpigmentasi

DO

SK
I

I.

Dermatologi Non-Infeksi

Ditujukan untuk menghambat siklus gatal-garuk


Kelainan sistemik yang menyebabkan gatal harus
disingkirkan terlebih dahulu
Steroid topikal, biasanya potensi kuat, bila perlu diberi
penutup impermeable, dapat dikombinasi dengan
preparat tar/emolien
Preparat antipruritus nonsteroid yaitu: mentol, fenol dan
pramoxine
KS intralesi (triamsinolon asetonid)
Topikal takrolimus
Antihistamin sedatif (hidroksizin)
Inhibitor reuptake serotonin selektif
Antidepresan trisiklik (doksepin) malam hari
Konsultasi psikiater bila diperlukan

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 14

1.

Kepustakaan

2.
3.

V. Bagan Alur

Susan Burgin. Nummular Eczema. Dalam: Fitzpatricks


Dematology in General Medicine. Wolff K, Goldsmith
LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor.
Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012. 184-7
Paller AS, Mancini AJ. Lichen simplex chronicus.
Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed.
Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 55-56.
Weisshaar E, Fleischer AB, Bernhard JD, Cropley TG.
Lichen simplex chronicus. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Schaffer JV, editors. Textbook of dermatology, 3rd ed.
New York: Elsevier; 2012. p. 115-16.

SK
I

IV.

DO

Gatal, riwayat bercak dan bintik-bintik


(skalp/leher (tengkuk)/ ekstremitas
(ekstensor) pergelangan tangan/anogenital
Papul-papul eritematosa, makula, edema

Antihistamin sedatif/nonsedatif
Steroid topikal potensi sesuai derajat
inflamasi

Sembuh

Kambuh/kumat-kumatan

PE
R

Stres psikis

Antidepresan trisiklik
(doksepin) malam hari

Konsultasi psikiater bila


diperlukan

Kulit menebal,
hiperpigmentasi,
skuama

Steroid topikal, biasanya


potensi kuat, bila perlu diberi
penutup impermeable, dapat
dikombinasi dengan preparat
tar/emolien

KS intralesi (triamsinolon
asetonid)

Antihistamin sedatif
(hidroksizin)

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 15

Dermatologi Non-Infeksi

15

A.5. MILIARIA (L74.3)


Definisi

: Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat,


ditandai dengan vesikel miliar disertai penyulit, tersebar
di tempat predileksi, dapat mengenai bayi, anak, dan
dewasa.
Klasifikasi (berdasarkan gambaran klinis dan
histopatologi):
Miliaria kristalina (sudamina)
Miliaria rubra (prickly heat)
Miliaria pustulosa
Miliaria profunda

II.

Kriteria diagnostic
Klinis

:
:

Diagnosis banding

: 1.
2.
3.
4.

PE
R

III.

16

Riwayat hiperhidrosis, berada di lingkungan


panas dan lembab, bayi yang dirawat dalam
inkubator
Miliaria kristalina: terdiri atas vesikel miliar (1-2
mm) subkorneal, tanpa tanda inflamasi, mudah
pecah dengan garukan, dan deskuamasi dalam
beberapa hari.
Miliaria rubra: jenis tersering, vesikel miliar atau
papulovesikel di atas dasar eritematosa sekitar
lubang keringat, tersebar diskret
Miliaria pustulosa. berasal dari miliaria rubra
dimana vesikelnya berubah menjadi pustul
Miliaria profunda: merupakan kelanjutan miliaria
rubra, berbentuk papul, mirip folikulitis, dapat
disertai pustul

DO

SK
I

I.

Pemeriksaan
penunjang

Penatalaksanaan

Campak (morbili)
Erupsi obat morbiliformis
Eritema toksikum neonatorum
Folikulitis

: Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk


diagnosis
Histopatologi: menunjukkan obstruksi kelenjar keringat
parakeratotik sesuai dengan masing-masing tipe
miliaria.
Miliaria kristalina: di stratum korneum
Miliaria rubra/pustulosa: stratum spinosum/midepidermis
Miliaria profunda: di dermo-epidermal junction.
: Nonmedikamentosa:
Menghindari banyak berkeringat, pilih lingkungan
yang lebih sejuk dan sirkulasi udara (ventilasi) cukup.
Mandi air dingin dan memakai sabun. Pakai pakaian
tipis dan menyerap keringat.

Dermatologi Non-Infeksi

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 16

SK
I

Medikamentosa:
Prinsip: mengurangi pruritus, menekan inflamasi,
membuka retensi keringat
1. Topikal:
- Liquor Faberi
- Bedak kocok mengandung kalamin, dapat
ditambahkan antipruritus (mentol, kamfer)
- Lanolin topikal menghilangkan dan mencegah
timbulnya miliaria profunda
2. Sistemik:
- Antihistamin sedatif (lebih dianjurkan pada bayi
dan anak) atau nonsedatif
Tindak lanjut:
Pada umumnya tidak perlu, kecuali mencurigai erupsi
morbiliformis akibat alergi obat.
Kepustakaan

: 1. Fealey RD, Hebert AA. Disorders of the eccrine sweat


glands and sweating. In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th. New
York: Mc Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 946.
2. Goddard DS, Gilliam AE, Frieden IJ. Vesicobullous and
erosive diseases in newborn. In: Bolognia JL, Jorizzo
JL, Schaffer JV. Dermatology. 3rd ed. New York:
Elsevier; 2013. p. 528-9.
3. Paller AS, Mancini AJ. Cutaneous disorders of newborn.
Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed.
Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 15.
4. Coulson IH. Disorders of sweat glands. In: Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of
Dermatology. 8th ed. United Kingdom: Willey Blackwell;
2010. p.44.15-6.

PE
R

DO

IV.

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 17

Dermatologi Non-Infeksi

17

V.

Bagan Alur

Miliaria kristalina
(vesikel miliar, tanpa
radang, mudah pecah)

SK
I

Miliaria

Miliaria rubra
(vesikel/papulovesikel di
atas dasar eritematosa

Miliaria pustulosa
(vesikel menjadi
pustul)

Miliaria profunda
(papul, mirip folikulitis,
dapat pustul;

Nonmedikamentosa :
Menghindari banyak berkeringat, pilih lingkungan yang lebih sejuk dan
sirkulasi udara (ventilasi) cukup. Mandi air dingin dan memakai sabun.
Pakai pakaian tipis dan menyerap keringat.

PE
R

DO

Medikamentosa:
1. Topikal:
- Liquor Faberi
- Bedak kocok mengandung kalamin, dapat ditambah
antipruritus (mentol, kamfer)
- Lanolin topikal menghilangkan dan mencegah timbul miliaria
profunda
2. Sistemik:
- Antihistamin sedatif (lebih dianjurkan pada bayi dan anak) atau
nonsedatif
3. Untuk kasus miliaria rubra dengan superinfeksi: antibiotik

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 18

18

Dermatologi Non-Infeksi

A.6. PITIRIASIS ALBA (L30.5)


Definisi

: Pitiriasis alba adalah dermatitis tidak spesifik, sering


dijumpai pada anak dan remaja, terutama mengenai
daerah wajah dan leher.
Etiologi dan patogenesisnya diduga berhubungan
langsung dengan atopi, jumlah pajanan sinar matahari,
dan tidak memakai tabir surya. Kadar tembaga yang
rendah dalam serum, sebagai kofaktor tirosin, penting
dalam patogenesis penyakit ini.

II.

Kriteria diagnostik
Klinis

:
: Didahului plak eritematosa ringan dengan tepi
sedikit meninggi, yang memudar setelah beberapa
pekan menjadi makula/plak berwarna merah
muda/pucat dengan skuama putih halus di atasnya
(powdery white scale). Lesi kemudian berkembang
menjadi makula/ patch hipopigmentasi tanpa
skuama yang menetap sampai beberapa bulan
atau tahun.
Tempat predileksi: wajah, lengan sisi ekstensor,
punggung, badan.
Plak hipopigmentasi atau sewarna kulit dengan
skuama halus, bentuk bulat-oval tak beraturan,
batas agak tegas, ukuran lentikular, numular
sampai plakat.
Pitiriasis alba pigmented merupakan varian dari yang
klasik dengan infeksi dermatofit superfisial, hampir
selalu mengenai wajah. Secara klinis ditandai oleh
hiperpigmentasi
yang
dikelilingi
daerah
hipopigmentasi berskuama.
: 1. Hipopigmentasi pasca inflamasi
2. Pitiriasis versikolor
3. Nevus depigmentosus, nevus anemikus
4. Vitiligo
5. Mikosis fungoides
: Tidak ada yang khusus, kecuali ada keraguan
Bila sangat diperlukan, dilakukan biopsi kulit untuk
pemeriksaan histopatologi (pada pitiriasis alba
gambaran dermatopatologi tidak spesifik).

DO

Diagnosis banding

PE
R

SK
I

I.

III.

Pemeriksaan
penunjang

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa:
Terapi suportif, yaitu menghindari/mengurangi pajanan
sinar matahari, pemakaian tabir surya, mengurangi
suhu air mandi
Medikamentosa:
Pitiriasis alba adalah penyakit yang swasirna Steroid
topikal dan emolien sangat membantu
Tretinoin topikal dapat digunakan namun bersifat
iritasi
Pitiriasis alba yang luas dan yang berpigmen
D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 19

Dermatologi Non-Infeksi

19

memberi respons lebih baik terhadap terapi UV dan


antijamur oral.
Kepustakaan

: 1. Ruiz-Maldonado R. Hypomelanotic conditions of the


newborn and infant. Dermatol Clin 2007; 25: 373-82.
2. Lin RL, Janniger CK. Pityriasis alba. Cutis 2005; 76: 214.
3. Lapeere H, Boone B, De Schepper S, et al.
Hypomelanoses
and
hypermelanoses.
Dalam:
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke8. Editor: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ. Mc Grew Hill: New York, 2012 p.
807-8.

PE
R

DO

SK
I

IV.

20

Dermatologi Non-Infeksi

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 20

A.7. PITIRIASIS ROSEA (L.42)


Definisi

: Pitiriasis rosea adalah erupsi kulit yang akut dan sering


dijumpai, bersifat hilang sendiri, secara khas dimulai
sebagai plak oval dengan skuama halus pada badan
(herald patch) disertai penyulit. Lesi awal ini diikuti
beberapa hari sampai beberapa pekan kemudian oleh
lesi-lesi serupa yang lebih kecil di badan yang tersusun
sesuai dengan lipatan kulit (lines of cleavage).
Berhubungan dengan reaktivasi virus HHV 7 dan HHV6
Biasa asimptomatik, kadang flu-like symptoms

II.

Kriteria diagnostik
Klinis

:
:

SK
I

I.

DO

Dapat diawali dengan lesi pertama (herald patch)


pada 50-90% kasus. Lesi ini berbatas tegas,
diameter 2-4 cm, bentuk oval atau bulat, berwarna
salmon/eritematosa atau hiperpigmentasi (terutama
pada pasien dengan kulit gelap); dengan skuama
halus di bagian dalam tepi perifer plak. Lesi primer
ini biasanya terletak di bagian badan yang tertutup
baju, tetapi kadang di leher atau ekstremitas
proksimal. Jarang di wajah atau penis.
Timbulnya lesi sekunder bervariasi antara 2 hari
sampai 2 bulan setelah lesi awal, tetapi umumnya
dalam 2 pekan setelah plak primer. Erupsi
simetris terutama pada badan, leher dan
ekstremitas proksimal. Terdapat 2 tipe utama lesi
sekunder: (1) plak kecil menyerupai plak primer
tetapi berukuran lebih kecil, sejajar dengan aksis
panjang lines of cleavage dengan distribusi
seperti pola pohon cemara dan (2) papul kecil,
kemerahan, biasanya tanpa skuama, yang secara
bertahap bertambah jumlahnya dan menyebar ke
perifer. Kedua tipe lesi ini dapat terjadi
bersamaan.
Morfologi lesi sekunder dapat tidak khas, dapat
berupa makula tanpa skuama, papul folikuler,
plak menyerupai psoriasis, maupun plak tidak
khas. Daerah palmar dan plantar dapat terkena
dengan gambaran klinis menyerupai erupsi
eksematosa. Pitiriasis rosea tipe vesikular jarang
dijumpai, biasanya pada anak dan dewasa muda.
Dapat pula dijumpai varian pitiriasis rosea bentuk
urtikaria, pustular, purpurik,atau menyerupai
eritema multiformis.

PE
R

Diagnosis banding

: Pitiriasis rosea tipe papular tanpa plak primer


menyerupai sifilis sekunder
Pitiriasis rosea yang hanya berupa plak primer atau
bila letaknya di daerah inguinal dapat menyerupai
tinea korporis.
D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 21

Dermatologi Non-Infeksi

21

III.

Pemeriksaan
penunjang

Penatalaksanaan

: Tidak diperlukan
:

Kepustakaan

V.

Bagan Alur

: 1. Blauvelt A. Pityriasis Rosea. In: Goldsmith LA, Katz SI,


Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th. New
York: Mc Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 458-63.
2. Wood GS, Reizner GT. Other papulosquamous
disorders. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV.
Dermatology. 3rd ed. New York: Elsevier; 2013. p. 1657.
3. Paller AS, Mancini AJ. Papulosquamous and related
disorders. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed.
Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 86-7.
4. Sterling JC. Virus infections. In: Burns T, Breathnach S,
Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 8th
ed. United Kingdom: Willey Blackwell; 2010. p.33.78-81.

DO

IV.

Pitiriasis rosea adalah penyakit yang hilang


sendiri, tidak diperlukan terapi bila tanpa
komplikasi.
Kortikosteroid topikal potensi sedang dapat
digunakan sebagai terapi simtomatik untuk
pruritus.
Fototerapi efektif pada pitiriasis rosea, namun
dapat terjadi hiperpigmentasi pasca inflamasi.

SK
I

PE
R

Lesi awal berupa plak oval dengan skuama halus pada


badan (herald patch)
Diikuti lesi serupa lebih kecil di badan yang tersusun
sesuai dengan lipatan kulit (lines of cleavage)
Asimptomatik, kadang flu-like symptoms

Pitiriasis rosea

22

Tanpa terapi dapat hilang sendiri


Kortikosteroid topikal potensi sedang
Fototerapi

Dermatologi Non-Infeksi

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 22

A.8. PRURIGO AKTINIK (L57.0)


Definisi

: Erupsi papular atau nodular disertai ekskoriasi dan


gatal terutama di area yang terpajan sinar matahari.
Kelainan ini persisten dan jarang.

II.

Kriteria diagnostik
Klinis

:
:

IV.

V.

Gambaran klinis: papul atau nodul disertai


ekskoriasi dan krusta dapat soliter atau
berkelompok, gatal
Tempat predileksi: area terpajan sinar matahari
seperti dahi, pipi, dagu, telinga, dan lengan
Rasio perempuan:lelaki adalah 2:1
Awitan pada anak terutama usia 10 tahun
Riwayat penyakit prurigo aktinik dalam keluarga

Diagnosis banding

: Polymorphic light eruption, dermatitis atopik,


dermatitis seboroik, insect bites, prurigo nodularis

Pemeriksaan
penunjang

Histopatologi: akantosis, spongiosis, eksositosis


di epidermis disertai infiltrat limfohistiositik
Cutaneous phototesting

DO

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa:
Menghindari pajanan sinar matahari

PE
R

III.

SK
I

I.

Kepustakaan

Bagan Alur

Medikamentosa:
Prinsip: fotoproteksi
1. Topikal:
- Tabir surya
- Kortikosteroid potensi kuat untuk mengatasi
inflamasi dan gatal
- Fototerapi NB-UVB atau PUVA
- Takrolimus atau pimekrolimus
2. Sistemik:
- Imunosupresif seperti azatioprin dan siklosporin

: 1. Vandergriff TW, Bergstresser PR. Abnormal responses


to ultraviolet radiation: idiopathic, probably immunologic,
and photoexacerbated. In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th. New
York: Mc Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 1053-5.
2. Lim HW, Hawk JL. Phorodermatologic disorders. In:
Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology. 3rd
ed. New York: Elsevier; 2013. p. 1470-1.
3. Paller AS, Mancini AJ. Photosensitivity and
photoreactions. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology.
4th ed. Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 440-1
4. Hawk JL, Young AR, Fergusson J. Cutaneous
photobiology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 8th ed.

United Kingdom: Willey Blackwell; 2010. p. 29.13-5


D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 23

Dermatologi Non-Infeksi

Erupsi papular atau nodular disertai ekskoriasi dan gatal


terutama di area yang terpajan sinar matahari
Biasa pada anak usia 10 tahun

23

United Kingdom: Willey Blackwell; 2010. p. 29.13-5

V.

Bagan Alur

SK
I

Erupsi papular atau nodular disertai ekskoriasi dan gatal


terutama di area yang terpajan sinar matahari
Biasa pada anak usia 10 tahun

Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga (+)

Tidak

Persisten

Penyakit lain

Ya

Prurigo aktinik

PE
R

DO

Prinsip: Fotoproteksi
1.
Topikal:
- Tabir surya
- Kortikosteroid potensi kuat
- Fototerapi NB-UVB atau PUVA
- Takrolimus atau pimekrolimus
2.
Sistemik:
- Talidomid 50-100 mg/hari
- Imunosupresif seperti azatioprin dan siklosporin

24

Dermatologi Non-Infeksi

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 24

A.9. PRURIGO NODULARIS (L28.1)


Definisi

: Kelainan kronik ditandai nodul hiperkeratotik dan


gatal akibat tusukan dan garukan berulang.

II.

Kriteria diagnostic
Klinis

:
:

Lesi berupa nodul diameter 0,5-3 cm, permukaan


hiperkeratotik
Sangat gatal
Predileksi: ekstensor tungkai, abdomen, sakrum
Dapat terjadi pada semua usia, terutama 20-60
tahun
Berhubungan dengan dermatitis atopik

Diagnosis banding

: Perforating disease, liken planus hipertrofik,


pemfigoid nodularis, prurigo aktinik, keratoakantoma
multipel

Pemeriksaan
penunjang

Pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, hati


dan tiroid untuk mengetahui kelainan penyebab
gatal
Rontgen thorak
Tes HIV
Histopatologi: serupa dengan LSK

DO

Penatalaksanaan

: Prinsip: menghambat siklus gatal-garuk


1.Topikal:
- Kortikosteroid poten
- Antipruritus nonsteroid seperti mentol dan fenol
- Emolien
- Takrolimus
2.Sistemik:
- Antihistamin sedatif atau antidepresan trisiklik
- Sedating serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
- Kalsipotrien
3. Intervensi
- Triamsinolon asetonid intralesi

PE
R

III.

SK
I

I.

IV.

Kepustakaan

: 1. Burgin S. Nummular eczema, lichen simplex chronicus,


and prurigo nodularis. In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th. New
York: Mc Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 184-7.
2. Weisshar E, Fleischer AB, Bernhard JD, Croplay TG.
Pruritus and dysesthesia. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Schaffer JV. Dermatology. 3rd ed. New York: Elsevier;
2013. p. 114-5

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 25

Dermatologi Non-Infeksi

25

V.

Bagan Alur

SK
I

Nodul hiperkeratotik, gatal


Predileksi: ekstensor tungkai, abdomen, sakrum

Riwayat tusukan dan garukan berulang


Riwayat dermatitis atopik

Prurigo nodularis

PE
R

DO

Prinsip: mencegah siklus gatal-garuk


1.Topikal:
- Kortikosteroid poten
- Antipruritus nonsteroid seperti mentol dan fenol
- Emolien
- Triamsinolon asetonid intralesi
- Takrolimus
2.Sistemik:
- Antihistamin sedatif atau antidepresan trisiklik
- Sedating serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
- Kalsipotrien
- Talidomid
- Siklosporin
3. Bedah beku
4. BB-UVB, PUVA, fototerapi UVA1

26

Dermatologi Non-Infeksi

A.10. PRURITIC URTICARIA PAPULE AND PLAQUE IN PREGNANCY (O26.8)


Definisi

: Dermatosis pruritus yang terjadi paling sering pada


primigravida pada kehamilan lanjut.

II.

Kriteria diagnostik
Klinis

:
:

Diagnosis banding

Terjadi pada primigravida selama kehamilan


lanjut; namun dapat terjadi lebih cepat.
Polimorfik, lesi dapat berupa urtikaria, vesikular,
purpurik, polisiklik, targetoid, atau ekzematosa.
Lesi ukuran 1-2 mm plak urtikaria eritematosa
dikelilingi halo pucat yang sempit.
Erupsi dimulai dari abdomen, secara klasik dalam
striae gravidarum, dan jarang pada periumbilikal.
Pruritus biasanya pararel dengan erupsi dan
terlokalisasi pada kulit yang terlibat
Paling sering: pemfigoid gestasionis, atopic
eruption of pregnancy, dermatitis kontak
Pikirkan: erupsi obat, viral eksantem, pitiriasis
rosea, dermatitis eksvoliativa atau ekzematosa
Singkirkan: skabies

DO

SK
I

I.

Pemeriksaan
penunjang

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

Pemeriksaan laboratorium: tidak menunjukkan


abnormalitas
Pemeriksaan histopatologik meliputi
parakeratosis, spongiosis, dan kadang-kadang
eksositosis eosinofil
: Medikamentosa
:
Pruritus kadang-kadang sangat mengganggu. Terapi
pruritus secara simtomatis.

: 1. Karen JK, Pomeranz MK. Skin changes and diseases in


pregnancy. Dalam: Fitzpatrick's Dermatology in General
Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. editor.
Mc Grew Hill: New York, 2012 p. 1204-12
2. Shornick KJ. Dermatosis in pregnancy. Dalam:
Dermatology. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editor. Mosby: London. 2008 p. 398-9.
3. Geraghty LN, Pomeranz MK. Physiologic changes and
dermatoses of pregnancy. Int J Dermatol 2011; 50: 77182
4. Bremmer M. The skin disorders of pregnancy: A family
physicians guide. JFP 2010 Feb; 59(2): 89-96

PE
R

III.

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 27

Dermatologi Non-Infeksi

27

BAGAN ALUR

SK
I

Primigravida selama kehamilan lanjut. Erupsi dimulai dari abdomen, secara klasik
dalam striae gravidarum, dan jarang pada periumbilikal. Pruritus biasanya pararel
dengan erupsi dan terlokalisasi pada kulit yang terlibat.
Polimorfik, lesi dapat berupa urtikaria, vesikular,
purpurik, polisiklik, targetoid, atau ekzematosa. Lesi
ukuran 1-2 mm plak urtikaria eritematosa dikelilingi
halo pucat yang sempit.

DO

Erupsi dimulai dari abdomen, secara klasik dalam


striae gravidarum, dan jarang pada periumbilikal.
Pruritus biasanya pararel dengan erupsi dan
terlokalisasi pada kulit yang terlibat.

pemeriksaan laboratorium: tidak menunjukkan


abnormalitas, pemeriksaan histopatologik meliputi
parakeratosis, spongiosis, dan kadang-kadang
eksositosis eosinofil.

PE
R

PRURITIC URTICARIA PAPUL AND PLAQUE IN


PREGNANCY

D e r m a t o l o g i N o n I n f e k s i | 28

28

Dermatologi Non-Infeksi

SK
I
DO

PE
R

DERMATOLOGI
INFEKSI

Dermatologi Infeksi

29

B.1. Creeping Eruption (Hookworm-related Cutaneous Larva Migrans) (B76.9)

Kriteria diagnostik

: Sumber penularan adalah kontak dengan feses hewan


yang terinfeksi. Larva akan penetrasi kulit manusia dan
bermigrasi beberapa sentimeter per hari pada lapisan
antara stratum germinativum dan stratum corneum.
Kebanyakan dari larva tersebut tidak dapat menembus
lapisan yang lebih dalam dan akhirnya mati dalam
hitungan hari atau bulan.
Lesi kulit tipikal muncul 1-5 hari setelah paparan berupa
plak eritematosa, vesikular, atau linear, serpiginosa.
Lebar lesi kira-kira 3mm, panjang 15-20cm. Lesi tunggal
atau multipel, terasa gatal bahkan nyeri.
Tempat predileksi adalah kaki dan bokong.
Karena infeksi ini memicu reaksi inflamasi eosinofilik,
pada beberapa pasien dapat disertai dengan
wheezing, urtkaria, dan batuk kering.

Klinis

Diagnosis banding

Pemeriksaan
penunjang

Biopsi kulit jika diperlukan

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa:
1. Pada tempat yang endemik, disarankan pasien
memakai pelindung berupa sepatu atau sandal
2. Pasien disarankan tidak duduk langsung di atas
pasir ataupun yang hanya dialasi handuk. Sebaiknya gunakan matras atau kursi.
Medikamentosa:
Penyakit ini sebenarnya self-limiting dan sembuh
sendiri setelah 1-3 bulan. Obat-obatan diperlukan
karena rasa gatal yang lama dan berat yang jika
digaruk ditakutkan menjadi superinfeksi.
Sistemik :
1. Albendazole 800mg selama 3 hari, jika terdapat
gangguan gastrointestinal dosis dapat diturunkan
menjadi 400mg selama 5 hari , atau
2. Ivermektin 200 g/kg selama 1-2 hari
Topikal :
1. Albendazole 10% dioleskan 3 kali sehari selama
7-10 hari

PE
R

III

: Penyakit yang disebabkan oleh cacing tambang yang


seharusnya hidup pada hewan, contohnya A.braziliense,
A. caninum, Uncinaria stenocephala, Bunostomum
phlebotomum.

SK
I

II

Definisi

DO

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 30

30

Dermatologi Infeksi

Kepustakaan

Alur

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest


BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York
: Mc Graw-Hill, 2012;2544-2560
2. Dwight D. Bowman, Susan P. Montgomery, Anne M.
Zajac, Mark L. Eberhard, Kevin R. Kazacos. Hookworms
of dogs and cats as Agents of Cutaneous Larva
Migrans.Trends in Parasitology, 26 (2010),pp162-167
3. Cord Sunderktter, Esther von Stebut, Helmut Schfer,
Martin Mempel, et al. S1 guideline diagnosis and
therapy of cutaneous larva migrans (creeping
disease). Journal der Deutschen Dermatologischen
Gesellschaft, 12(2014),pp 86-91

SK
I

IV

Pasien dengan gambaran


klinis dan gejala
suspek Creeping eruption

DO

Tidak

Creeping eruption

Medikamentosa

Albendazole

Ivermektin

PE
R

Diagnosis banding
lainnya

Ya

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 31

Dermatologi Infeksi

31

B.2. DERMATOFITOSIS (B35)

II

Kriteria diagnostik
Klinis

: Merupakan penyakit jamur superfisial yang disebabkan oleh kelompok dermatofita (Trichophyton
sp., Epidermophyton sp.dan Microsporum sp).
Terminologi tinea atau ringworm secara tepat
menggambarkan
dermato-mikosis,
dan
dibedakan berdasarkan lokasi anatomi infeksi.
Klasifikasi menurut lokasi:
Tinea kapitis (ICD 10 : B35.0)
Tinea korporis (ICD 10 : B35.4)
Tinea kruris (ICD 10 : B35.6)
Tinea peds (ICD 10 : B35.3)
Tinea manum (ICD 10 : B35.2)
Tinea unguium (ICD 10 : B35.1)
Tinea Imbrikata (ICD 10 : B35.5)
:
: Tinea kapitis
Bergantung pada etiologinya.
o Noninflammatory, human, atau epidemic type
(grey patch)
Inflamasi minimal, rambut pada daerah terkena berubah warna menjadi abu-abu dan
tidak berkilat, mudah patah di atas permukaan skalp.
Lesi tampak berskuama, hiperkeratosis, batas
tegas karena rambut yang patah. Berfluoresensi
dengan lampu Wood.
o Inflammatory type, kerion
Biasa disebabkan oleh patogen zoofilik atau
geofilik. Spektrum inflamasi berkisar mulai
dari folikulitis pustular sampai kerion. Sering
terjadi alopesia sikatrisial.
Lesi biasanya gatal, dapat disertai nyeri,
limfadenopati servikal posterior, demam, dan
lesi lain pada kulit glabrosa. Fluoresensi
lampu Wood dapat positif.
o Black dot
Disebabkan oleh organisme endotriks antropofilik. Rambut mudah patah pada permukaan
skalp, meninggalkan kumpulan titik hitam pada
daerah alopesia (black dot). Kadang masih
terdapat sisa rambut normal di antara
alopesia. Dapat bervariasi, hanya skuama
difus dengan sedikit rambut rontok.
Tinea korporis
Mengenai kulit tidak berambut, keluhan gatal
terutama bila berkeringat, dan secara klinis
tampak: lesi berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif
karena tanda radang lebih jelas, dan polimorfi yang

SK
I

Definisi

PE
R

DO

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 32

32

Dermatologi Infeksi

PE
R

DO

SK
I

terdiri atas eritema, skuama dan kadang papul dan


vesikel di tepi, normal di tengah (central clearing).
Tinea kruris
Lesi serupa tinea korporis, terletak di daerah
inguinal, dapat meluas ke suprapubis, perineum,
perianal dan bokong. Area genital dan skrotum
dapat terkena pada pasien tertentu
Sering disertai gatal dengan maserasi atau infeksi
sekunder.
Tinea pedis
Tipe interdigital (chronic intertriginous type)
Bentuk klinis paling banyak. Dimulai dengan
skuamasi, erosi dan eritema pada daerah
interdigital dan subdigital kaki, terutama pada
tiga jari lateral
Pada kondisi tertentu, infeksi dapat menyebar
ke telapak kaki yang berdekatan dan bagian
kura-kura kaki. Jarang mengenai dorsum
kaki.
Oklusi dan ko-infeksi dengan bakteri segera
menyebabkan maserasi, pruritus, dan malodor
(dermatofitosis kompleks atau athletes foot).
Tipe hiperkeratotik kronik
Klinis tampak skuama difus atau setempat,
bilateral, pada kulit yang tebal (telapak kaki,
aspek lateral dan medial kaki), dikenal
sebagai moccasin-type. Dapat timbul sedikit
vesikel, meninggalkan skuama kolaret
dengan diameter kurang dari 2 mm.
Tinea manum unilateral umumnya terjadi
berhubungan dengan tinea pedis hiperkeratotik
sehingga terjadi two feet-one hand syndrome.
Tipe vesikobulosa
Klinis tampak vesikel tegang dengan diameter
lebih dari 3 mm, vesikopustul, atau bula pada
kulit tipis telapak kaki dan periplantar.
Jarang dilaporkan pada anak-anak.
Tipe ulseratif akut
Terjadi ko-infeksi dengan bakteri gram negatif
menyebabkan vesikopustul dan daerah luas
dengan ulserasi purulen pada permukaan
plantar. Sering diikuti selulitis, limfangitis,
limfadenopati, dan demam.
Tinea manum
Biasanya unilateral, terdapat 2 bentuk:
Dishidrotik: lesi segmental atau anular berupa
vesikel dengan skuama di tepi pada telapak
tangan, jari tangan, dan tepi lateral tangan.

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 33

Dermatologi Infeksi

33

Hiperkeratotik: vesikel mengering dan membentuk lesi sirkular atau iregular, eritematosa,
dengan skuama. Lesi kronik dapat mengenai
seluruh telapak tangan dan jari disertai fisur.

SK
I

Tinea unguium
Onikomikosis merujuk pada semua infeksi pada
kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita,
jamur nondermatofita, atau ragi (yeasts).
Dapat mengenai kuku tangan maupun kuku kaki,
dengan bentuk klinis:
1. Onikomikosis subungual proksimal (OSP)
1. Onikomikosis subungual distal lateral (OSDL)
2. Onikomikosis superfisial putih (OSP)
3. Onikomikosis endoniks (OE)
4. Onikomikosis distrofik totalis (ODT)

DO

Klinis dapat ditemui distrofi, hiperkeratosis,


onikolisis, debris subungual, perubahan warna
kuku, dengan lokasi sesuai bentuk klinis.

Tinea Imbrikata
Penyakit ditandai dengan lapisan stratum korneum
terlepas dengan bagian bebasnya menghadap
sentrum lesi. Terbentuk lingkaran konsentris
tersusun seperti susunan genting. Bila kronis,
peradangan sangat ringan dan asimtomatik.
Rambut tidak pernah terkena.

Diagnosis banding

PE
R

: a. Tinea kapitis
Dermatitis seboroik, pitiriasis sika, psoriasis,
dermatitis atopik, liken simpleks kronik,
alopesia areata, trikotilomania.
b. Tinea pedis dan manum
Dermatitis kontak, psoriasis, sifilis sekunder,
keratoderma, skabies, pompoliks (eksema
dishidrotik)
c. Tinea korporis
Psoriasis, pitiriasis rosea, Morbus Hansen
PB/ MB, eritema anulare centrifugum, tinea
imbrikata
d. Tinea kruris
Eritrasma, kandidosis, dermatitis intertriginosa,
dermatitis seboroik
e. Tinea unguium
Kandidosis kuku, onikomikosis dengan penyebab lain, onikolisis, 20-nail dystrophy (trachyonychia), brittle nail, dermatitis kronis
f. Tinea imbrikata
Tinea korporis
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 34

34

Dermatologi Infeksi

Penatalaksanaan

: Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit


atau kuku menggunakan mikroskop dan KOH
20%: tampak hifa panjang dan atau artrospora.
Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus
(Mycosel, Mycobiotic) : pada suhu 28o C
selama 14 pekan. (bila dihubungkan dengan
pengobatan, kultur tidak harus selalu dikerjakan
kecuali pada tinea unguium). Lampu Wood
hanya berfluoresensi pada tinea kapitis yang
disebabkan oleh Microsposrum spp. (kecuali
M.gypsium).
Medikamentosa
a. Topikal:
- Obat pilihan: Golongan alilamin (krim
terbinafin, butenafin) sekali sehari selama 1
2 pekan
- Alternatif
:
Golongan azol : misal, krim mikonazol,
ketokonazol, klotrimazol
Siklopiroksolamin
Asam undesilinat
Tolnaftat
2 kali sehari selama 2 4 pekan
b. Sistemik:
Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai
indikasi
1. Griseofulvin oral 10 25 mg/kgBB/hari,
ketokonazol 200 mg/hari, atau itrakonazol
2 x 100 mg/hari.
2. Terbinafin oral 1 x 250 mg/hari hingga klinis
membaik dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif
Catatan:
o Lama pemberian disesuaikan dengan
diagnosis
o Hati-hati efek samping obat sistemik,
khususnya ketokonazol.

SK
I

Pemeriksaan
penunjang

PE
R

DO

III

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 35

Dermatologi Infeksi

35

SK
I

: Pengobatan khusus untuk:


Tinea kapitis:
Sistemik:
Obat pilihan untuk spesies microsporum:
Griseofulvin fine particle/ microsize, 20 25
mg/kgBB/hari, 6-8 pekan
Alternatif: Itrakonazol 3-5 mg/hari, 4-6 pekan
Terbinafin 62,5-250 mg/hari (bergantung
berat badan) selama 2-4 pekan
Obat pilihan untuk spesies Trikopiton :
Terbinafin : 62,5-250mg/hari
Alternatif : Griseofulvin atau flukonazol
Rambut dicuci dengan sampo antimikotik:
selenium sulfida 1,8% 2-4 x/pekan atau
Sampo ketokonazol 2% 2 hari sekali

DO

Tinea unguium:
- Terbinafin 1x250mg/hari selama 6 pekan
untuk kuku tangan dan 12-16 pekan untuk
kuku kaki
- Itrakonazol dosis denyut (2x200mg/hari
selama 7 hari, istirahat 3 pekan) sebanyak 2
denyut untuk kuku tangan dan 3-4 denyut
untuk kuku kaki

PE
R

Tinea pedis
Khusus bentuk mocassin foot: itrakonazol 2 x
100 mg/hari atau terbinafin 1 x 250 mg/hari
selama 4 6 pekan.

36

Dermatologi Infeksi

Tinea imbrikata
- Terbinafin 62,5-250 mg/hari (tergantung
KgBB) selama 4-6 pekan
- Griseofulfin microsize 10-20 mg/KgBB/hari
selama 6-8 pekan

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 36

Kepustakaan

Bagan Alur

a. Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM,


Widaty S, Ervianty E, editor. Dalam
Dermatomikosis Superfisialis edisi ke 2. Jakarta :
BP FKUI, 2013; 24-99
b. Gupta KA, Tu LQ. Dermatophytosis: Diagnosis
and treatment. J Am Acad Dermatol
2006;54:1050-5.
c. Gupta KA, Cooper EA, Ryder JE, Nicol KA, Chow
M, Chaudhry MM. Optimal Management of Fungal
Infections of the Skin, Hair, and Nails. Am J Clin
Dermatol 2004; 5 (4): 225-237
d. Maibach HI & Grouhi F. Evidence Based
Dermatology 2nd ed. Peoples Meical Publishing
House. USA. 2011;353-363
e. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam:
Fitzpatricks Dematology in general medicine.
Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2277

DO

SK
I

IV

Pasien dengan gambaran


klinis dan gejala
suspek dermatofitosis

Tidak

Ya

Diagnosis
Pemeriksaan klinis,
mikroskopis, kultur (untuk
t. unguium), memastikan
diagnosis

PE
R

Diagnosis
banding lainnya

Tinea korporis/
kruris/ imbrikata

Tinea kapitis

Tinea unguium

Tinea pedis/
manum

Nonmedikamentosa

Edukasi pasien
Medikamentosa

Topikal

Sistemik (mempertimbangkan
luas dan berat, rekuren,
rekalsitran, lokasi )

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 37

Dermatologi Infeksi

37

B.3. HERPES ZOSTER (B02)

II

Kriteria diagnostik
Klinis

Diagnosis banding : 1. Infeksi virus herpes simpleks


2. Bila terdapat di daerah setinggi jantung, dapat salah
diagnosis dengan angina pektoris pada fase prodromal
3. Dermatitis venenata

PE
R

: Herpes zoster (HZ) adalah penyakit yang disebabkan oleh


reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela-zoster yang
terjadi setelah infeksi primer.
:
: Masa tunas 7-12 hari, lesi baru tetap timbul selama 1
pekan, masa resolusi berlangsung 1-2 pekan
Gejala prodromal:
Sistemik: demam, pusing, malese
Lokal: nyeri otot-tulang, gatal, pegal, dsb
Timbul eritema yang segera menjadi vesikel
berkelompok dengan dasar kulit eritematosa dan
edema. Vesikel berisi cairan jernih, kemudian menjadi
keruh, dapat menjadi pustul dan krusta
Lokasi unilateral dan bersifat dermatomal sesuai
tempat persarafan
Bentuk khusus:
Herpes zoster oftalmikus: timbul kelainan pada
mata dan kulit di daerah persarafan cabang kesatu
nervus trigeminus
Sindrom Ramsay-Hunt: timbul gejala paralisis otot
muka (paralisis Bell), kelainan kulit, tinitus, vertigo,
gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea,
juga gangguan pengecapan
Neuralgia pasca herpes:
Nyeri menetap di dermatom yang terkena setelah erupsi
HZ menghilang. Batasan waktunya adalah nyeri yang
masih timbul 3 bulan setelah erupsi kulit menyembuh.
Umumnya nyeri akan berkurang dan spontan
menghilang setelah 16 bulan.

SK
I

Definisi

DO

III

38

Pemeriksaan
penunjang

Penatalaksanaan

Tidak diperlukan

: Medikamentosa:
1. Topikal:
Stadium vesikular: bedak salisil 2% atau bedak
kocok kalamin untuk mencegah vesikel pecah
Bila vesikel pecah dan basah dapat diberikan
kompres terbuka dengan larutan antiseptik dan krim
antiseptik/ antibiotik.
Jika agak basah atau berkrusta dapat diberikan
antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 38

Herpes zoster oftalmikus


Asiklovir / valasiklovir sampai 10 hari pada semua
pasien
Rujuk ke dokter mata

DO

SK
I

2. Sistemik:
Usia < 50 tahun
Umumnya ringan dan sembuh spontan.
Cukup diberikan terapi simtomatik analgetik :
asam mefenamat 3-4 x 250 500 mg/hari , atau
dipiron 3 x 500 mg/hari, atau
parasetamol 3 x 500 mg/hari ditambah kodein 3 x
10 mg/hari
Bila lesi luas :
asiklovir oral 5 x 800 mg/ hari, atau
valasiklovir 3 x 1000 mg/hari
Usia > 50 tahun
Perjalanan penyakit seringkali berat
Terapi simtomatik
asiklovir oral 5 x 800 mg/hari selama 7 10 hari,
atau valasiklovir 3 x 1000 mg/hari atau famsiklovir
3 x 500 mg/hari
bila lesi luas diberikan asiklovir intravena 3 x 10
mg/kgBB/hari selama 5 hari

Herpes zoster otikus dengan paresis nervus


fasialis
Asiklovir/valasiklovir oral 7-14 hari dan kortikosteroid
4060 mg/hari selama 1 pekan pada semua pasien
Rujuk THT

PE
R

Kemungkinan terjadi neuralgia pasca Herpes


zoster
Selain diberi asiklovir pada fase akut, dapat
diberikan antidepresan trisiklik (amitriptilin 10 75
mg/hari) sampai 3 6 bulan setelah rasa sakit
berkurang atau Gababentin 300 mg---- dose/hari 46 pekan, atau Pregabalin 50-70 mg ---- dose/hari 24 pekan

Vaksinasi
Dosis tunggal direkomendasikan kepada semua
yang berusia lebih dari 50 tahun, baik yang sudah
memiliki riwayat terkena varisela ataupun belum.
Tidak boleh diberikan pada pasien imunokompromis

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 39

Dermatologi Infeksi

39

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA,

Kepustakaan

Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology


in general medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill,
2012;2383.
2. Maibach HI & Grouhi F. Evidence Based Dermatology 2nd
ed. Peoples Meical Publishing House. USA. 2011;337-345
3. Tami Hendrikz, Philip Malouf, James E. Foy. Vaccines for
Measles, Mumps, Rubella, Varicella, and Herpes Zoster :
Immunization Guidelines for Adults. J Am Osteopath
AssocOctober 1, 2011 vol. 111 no. 10 suppl 6 S10-S12

Bagan Alur

SK
I

IV

Gejala & pemeriksaan fisik

Tidak

Herpes zoster

DO

DD lainnya

Sesuai

Imunokompeten

> 50thn, atau


mengenai mata

PE
R

< 50 thn

Ringan

Simtomatis

Imunokompromais

Berat

Ringan

Berat

Antiviral
Prednison

Antiviral

Antiviral

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 40

40

Dermatologi Infeksi

B.4. Hand-Foot-Mouth Disease (HFMD) (B08.4)


Definisi

: Penyakit yang disebabkan entervirus nonpolio, yang


paling sering coxsackie A16 dan enterovirus 71, dan
umumnya ditemukan pada anak-anak.

II

Kriteria diagnostik

: Masa inkubasi 3-6 hari. Gejala yang dikeluhkan


adalah demam, malaise, nyeri perut, dan gejala ISPA.
Kelainan tersering berupa lesi oral multipel disertai
nyeri di lidah, mukosa bukal, palatum durum, ataupun
orofaring. Lesi oral diawali makula dan papul
berwarna merah muda yang berkembang menjadi
vesikel kecil dengan eritema di sekelilingnya. Lesi
mudah terkikis, membentuk erosi berwarna kuning
keabuan dikelilingi lingkaran eritematosa. Lesi kulit
muncul setelah lesi oral, terutama di telapak dan sisi
tangan dan kaki, bokong, dan terkadang genitalia
eksternal serta wajah. Lesi kulit berkembang mirip
dengan lesi oral. Lesi yang sudah berkrusta akan
sembuh dalam waktu 7-10 hari.

Klinis

Diagnosis banding

Pemeriksaan
penunjang

DO

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

Herpangina
Varisela
Erupsi obat
Eritema multiforme
Herpes gingivostomatitis

Jika epidemik terjadi, dapat dilakukan kultur atau


PCR untuk determinasi strain

: Nonmedikamentosa:
Disarankan isolasi orang yang sedang sakit.
Medikamentosa:
Penyakit ini merupakan penyakit swasirna. Diberikan
pengobatan simptomatik bila perlu.

PE
R

III

SK
I

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest

BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks


Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York
: Mc Graw-Hill, 2012;2360-2562
2. Zhang Y, Zhu Z, Yang W, et al. An emerging
recombinant human enterovirus 71 responsible for the
2008 outbreak of Hand Foot and Mouth Disease in
Fuyang city of China. Virology Journal 2010, 7:94
3. Wong SS, Yip CC, Lau SK, Yuen KY. Human
enterovirus 71 and hand, foot and mouth disease.
Epidemiol Infect 2010; 138: 1071-89.

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 41

Dermatologi Infeksi

41

Alur

Pasien dengan gambaran


klinis dan gejala
suspek HFMD

Tidak
Diagnosis banding
lainnya

Pasien dengan gambaran


klinis dan gejala
suspek HFMD

SK
I

Tidak

Ya

HFMD

Diagnosis banding
lainnya

PE
R

DO

Medikamentosa

Simtomatik

42

Dermatologi Infeksi

Medikamento

Simtoma

B.5. HISTOPLASMOSIS (B39)

Kriteria diagnostik
Klinis

SK
I

II

: Histoplasmosis adalah infeksi jamur dimorfik yaitu


Histoplasma sp.

Definisi

Infeksi dimulai dari infeksi paru dan biasanya


asimtomatik dan swasirna pada sebagian besar
pasien. Lesi kulit pada infeksi primer hasil formasii
kompleks-imun atau akibat penyebaran langsung
dari
paru.
Walaupun
asimtomatik,
hasil
pemeriksaan histoplasmin pada kulit akan
menunjukkan hasil yang positif.
Pada pasien dengan gejala akut, ditandai batuk,
nyeri dada, demam, nyeri sendi, dan ruam yang
dapat berupa eritema toksik, eritema multiforme,
atau eritema nodusum. Pasien dengan gejala
progresif disertai penurunan berat badan yang
cepat, hepatosplenomegali, anemia, dan lesi kulit
berupa papul, nodul kecil, atau seperti moluskum
kecil, serta ulkus oral atau faringeal pada pasien
kronik, dapat pula ditemukan Addison disease jika
kelenjar adrenal sudah terinfiltrasi.

DO

Diagnosis banding

Pemeriksaan
penunjang

PE
R

III

Penatalaksanaan

Moluskum kontagiosum
Kriptokokosis
Infeksi
yang
disebabkan
(Penicilliosis)
Blastomikosis
Kala-azar

P.marneffei

Pemeriksaan sputum, darah perifer, sumsum


tulang, atau spesimen biopsi untuk menemukan
sel intraselular yang seperti ragi (histoplasma)
Kultur jika diperlukan (perlu kehati-hatian)
Tes serologi jika diperlukan

: Nonmedikamentosa:
Medikamentosa:
1. Amphotericin B Intravena 1mg/kgBB/ hari
selama 4-6 pekan dapat dipakai untuk infeksi
berat dan penyebaran luas. Amphotericin B
aman untuk ibu hamil
2. Itrakonazol 3x200-300mg selama 3 hari kemudian
1-2x200mg selama 6-12 pekan merupakan terapi
yang memiliki efektivitas tinggi. Itrakonazol 12x200mg juga dapat digunakan sebagai profilaksis dan direkomendasikan pada pasien HIV
dengan CD4 < 150 sel/mm3
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 43

Dermatologi Infeksi

43

Kepustakaan

Alur

1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI,


Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam:
Fitzpatricks Dematology in general medicine. Edisi
ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2148-2152
2. L.Joseph Wheat, Alison G. Freifeld, Martin B.
Kleiman, et al. Clinical Practice Guideline for The
Management of Patients with Histoplasmosis: 2007
Update by The Infectious Diseases Society of
America. Clin Infect Dis. (2007) 45 (7):807-825.
3. Price CR, Glaser DA dan Penneys NS. Mycotic Skin
infection in HIV-1 disease. Pathophysiology,
diagnosis and treatment. Dermatol Therapy 1999; 12
: 87-107.

SK
I

IV

DO

Pasien dengan gambaran


klinis dan gejala
suspek Histoplasmosis

Ya

Tidak

Diagnosis banding
lainnya

Histoplasmosis

Medikamentosa

Amphotericin B atau

Itrakonazol
Edukasi

PE
R

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 44

44

Dermatologi Infeksi

B.6. KANDIDIASIS / KANDIDOSIS (B37)


Definisi

: Kandidiasis (USA) atau kandidosis (Eropa) merupakan


kelompok penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Candida albicans atau oleh spesies lain genus
Candida.
Organisme tersebut pada umumnya dapat menginfeksi
kulit, kuku, membran mukosa, dan saluran cerna, tetapi
dapat juga menyebabkan penyakit sistemik.
Klasifikasi:
Kandidiasis kutis (ICD 10 : B37.2)
Kandidiasis oral (ICD 10 : B37.0)
Kandidiasis vulvovaginal (ICD 10 : B37.3)
Kandida balanitis/ balanopostitis (ICD 10 : B37.4)
Kandidiasis kuku (ICD 10 : B37.2)
Kandidiasis mukokutan kronik (ICD 10 : P37.5)
Kandidiasis diseminata (ICD 10 : B37.8)

II

Kriteria diagnostik
Klinis

:
: Kandidiasis kutis
Dapat ditemukan pada semua umur usia, mengenai
daerah intertriginosa yang lembab dan mudah
mengalami maserasi, misalnya: sela paha, ketiak,
sela jari, infra mamae, atau sekitar kuku, dan juga
dapat meluas ke bagian tubuh lainnya.
Kulit tampak bercak eritematosa berbatas tegas,
bersisik, basah, dikelilingi oleh lesi satelit berupa
papul, vesikel dan pustul kecil di sekitarnya.

DO

SK
I

PE
R

Kandidiasis mukosa
Merupakan infeksi oportunis, dapat berupa:
Kandidiasis oral :
Kandidiasis pseudomembran akut (thrush):
Bercak berwarna putih (pseudomembran) tebal,
diskret atau konfluen pada mukosa bukal, lidah,
palatum,dan gusi
Kandidiasis atrofik akut (kandidiasis eritematosa):
Bercak halus (papila lidah menipis) tertutup oleh
pseudomembran tipis pada permukaan dorsal
lidah
Dapat disertai rasa panas atau nyeri.
Kandidiasis atrofik kronik (denture stomatitis):
Mukosa palatum yang kontak dengan gigi
tampak edematosa dan eritematosa, bersifat
kronik
Dapat dijumpai keilitis angularis
Keilosis kandidal (keilitis angularis/perleche):
- Pada sudut mulut tampak eritema, fisura,
maserasi yang terasa nyeri.

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 45

Dermatologi Infeksi

45

PE
R

DO

SK
I

Kandidiasis area genitalia:


Kandidiasis vulvovaginal:
Keluhan: Duh vagina berwarna putih susu,
disertai rasa gatal dan panas, kadang disuria
Pemeriksaan: tampak plak berwarna putih, dasar
eritematosa, pada dinding vagina disertai edema
di sekitarnya yang dapat meluas sampai ke labia
dan perineum
Balanitis dan balanopostitis kandida:
Keluhan: kulit penis tampak eritematosa, panas
transien, muncul setelah hubungan seksual
Pemeriksaan: Papul atau papulopustul rapuh
pada glans penis atau sulkus koronarius penis
Kandidiasis kuku
Tampak perubahan kuku sekunder, tebal mengeras,
onikolisis, Beaus line dengan diskolorisasi kuku
berwarna coklat atau hijau sepanjang sisi lateral
kuku, tidak rapuh, tetap berkilat dan tidak terdapat
debris di bawah kuku.
Paronikia kandida:
Tampak kemerahan, bengkak, dan nyeri pada
kuku disertai retraksi kutikula sampai lipat kuku
proksimal, dapat disertai pus.
Kandidiasis mukokutan kronik
Merupakan suatu sindrom kandidosis kronik rekuren
pada pasien yang ditandai dengan infeksi resisten
terhadap terapi. Onset sebelum usia 6 tahun.
Merupakan manifestasi akibat defek sistem
imunologi, umumnya defek imunitas selular. Berupa
infeksi yang luas, eritematosa atau granulomatosa,
pada membran mukosa, kulit dan kuku.
Kandidiasis diseminata
Infeksi kandida yang meluas secara hematogen dari
orofaring atau saluran cerna, dan melibatkan
banyak organ, kadang ke kulit.
Karakteristik lesi kulit: papul-papul eritematosa verdiameter 0,5-1 cm, bagian tengah tampak hemoragik
atau pustular, kadang nekrotik. Lokasi lesi pada
badan, ekstremitas. Gejala sistemik: demam dan
mialgia
: Kandidiasis kutis : eritrasma, dermatitis intertriginosa,
dermatofitosis, dermatitis seboroik
Kandidiasis kuku: tinea unguium, brittle nail, trachyonychia, dermatitis kronis
Kandidiasis oral : difteri, leukoplakia, kheilitis, liken
planus, infeksi herpes, eritema multiforme
Kandidiasis vulvovagina: trikomoniasis vaginalis, gonore
akut, infeksi genital nonspesifik, vaginosis bakteri,
vaginitis bakteri.
Kandida balanitis/balonopostitis : infeksi bakteri, herpes
simplek, psoriaris, liken planus

Diagnosis Banding

46

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 46

Penatalaksanaan

Diperlukan jika klinis tidak khas, dilakukan di tingkat


pelayanan lanjut:
Kandidiasis superfisialis :
Pewarnaan sediaan langsung kerokan kulit
dengan KOH 20% atau Gram : ditemukan
pseudohifa
Kultur dengan agar Saboraud: tampak koloni
berwarna putih, tumbuh dalam 2-5 hari
Kandidiasis sistemik :
Jika ada lesi kulit; dari kerokan kulit dapat
dilakukan pemeriksan histopatologi dan kultur
jaringan kulit.
Nonmedikamentosa
Menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi

Medikamentosa
Kandidiasis kutis
Topikal: Nistatin dan krim Imidazol (mikonazol)
Sistemik : Ketokonazol 1x 200 mg/hari selama 14
hari
Bedak mikonazol selanjutnya dapat untuk pencegahan
Kandidiasis oral :
Nistatin 400.000-600.000 unit, 4x/hari selama 14 hari
Solusio gentian violet 1-2% 2x/hari selama 3 hari
Sistemik : Ketokonazol 200-400 mg/hari selama 2-5
pekan atau Flukonazol 150-200 mg dosis tunggal
Kandidiasis vulvovagina:
Topikal:
Imidazol: klotrimazol 500 mg dosis tunggal
Nystatin intravagina, 1x/hari, selama 10-14
hari. Aman untuk wanita hamil
Sistemik:
Ketokonazol 1x 200 mg selama 5-7 hari
Flukonazol 150 mg dosis tunggal
Itrakonazol 2x100 mg, selama 3 hari
Untuk kandidiasis vulvovaginal rekuren ( kambuh
4x/th)
Klotrimazol 500 mg intravagina 1x/pekan
selama 3-6 bulan
Flukonazol 150 mg per oral pada hari 1, 4, 7
(3 hari) dilanjutkan 150 mg per pekan selama
3-6 bulan
Ketokonazol 2x 200 mg/hari selama 14 hari
dilanjutkan 1 x 100 mg / hari selama 6 bulan
Balanitis/Balanopostitis kandida :
Topikal : Krim mikonazol 2 x sehari 2-4 pekan
Sistemik :
Flukonazol 150 mg dosis tunggal
Ketokonazol 1 x 200 mg /hari selama 7-14 hari

PE
R

DO

III

Pemeriksaan
Penunjang

SK
I

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 47

Dermatologi Infeksi

47

Kepustakaan

: 1. Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S,


Ervianty E, editor. Dalam Dermatomikosis Superfisialis
edisi ke 2. Jakarta : BP FKUI, 2013; 100-148
2. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York :
Mc Graw-Hill, 2012;2298
3. Sexually Transmitted Infection. Management Guidelines
Department of STI Control.2007
4. Pappas PG, Rex JH, Sobel JD, Filler SG, Dismukes WE,
Walsh TJ, et al . Guidelines for treatment of candidiasis.
Clin Infect Dis 2004;38:161-89.
5. Roberts DT, Taylor WD, Boyle J. Guidelines for treatment
of onychomycosis. Br J Dermatol 2003;(148):402-410.
6. Samaranayake LP, Cheung LK, Samaranayake YH.
Candidiasis and other fungal diseases of the month.
Dermatol Ther 2002;15:251-269.

PE
R

IV

DO

SK
I

Paronikia kandida :
Topikal: solusio imidazol : Timol 4% dlm alkohol
absolut/kloroform
Sistemik :
Ketokonazol 1x 200mg/hari sampai sembuh
Flukonazol 150 mg/ pekan sampai sembuh
Kandidiasis kuku
Lihat tinea unguium, tetapi terbinafin tidak efektif.
Kandidiasis mukokutan kronik
o Flukonazol 100-400 mg/ hari sampai sembuh
o Itrakonazol 200-600 mg/ hari sampai sembuh
Dilanjutkan terapi maintenance dengan obat sama
selama hidup
Kandidiasis diseminata
Sistemik: amfoterisin B deoksikolat: 0,7 mg/kg
BB/hari IV, pengobatan bekerjasama dengan
Spesialis Penyakit Dalam.
Alternatif lain: Amfoterisin B liposomal, Flukonazol,
Vorikonazol, dengan memperhatikan resistensi
spesies Candida

Bagan Alur

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 48

48

Dermatologi Infeksi

Bagan Alur

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 48

Diseminata

Mukokutan

Kutis

Kuku

SK
I

KANDIDIASIS

Oral

Genital

Tidak

Klinis sesuai ?

Diagnosis
Banding

Pemeriksaan
Penunjang

DO

DIAGNOSIS

TERAPI

Topikal

Sistemik

PE
R

Edukasi

Dermatologi
D e r m a t o l oInfeksi
g i I n f e k s 49
i | 49

B.7. KRIPTOKOKOSIS (B45)


Definisi

: Kriptokokosis merupakan penyakit


disebabkan oleh jamur C.neoformans.

II

Kriteria diagnostik

yang

Klinis

: Manifestasi klinis yang tersering adalah meningoensefalitis. Terdapat bentuk subklinikal, dengan hasil tes kulit
positif. Lesi kutaneus tidak patognomonik, seperti
papul atau pustul akneiformis yang berkembang
menjadi nodul atau plak krusta tidak rata, ulkus, dan
infiltrat. Abses dingin, selulitis, dan lesi noduler juga
dapat muncul
Inokulasi langsung pada kulit memberikan gambaran
nodul soliter yang kemudian pecah dan menjadi ulkus

Diagnosis banding

Histoplasmosis
Penisiliosis
Moluskum kontagiosum

Pemeriksaan
penunjang

Pemeriksaan mikroskop dengan tinta India


Kultur jika diperlukan
Tes serologi jika diperlukan
Latex agglutination atau enzyme-linked immunosorbent assay

DO

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa:
Medikamentosa:
1. Amphotericin B Intravena 1mg/kgBB/hari ditambah
dengan flusitosin 100mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
per oral selama paling sedikit 2 pekan. Kemudian
dilanjutkan dengan flukonazol 400mg/hari per oral
selama minimal 8-10 pekan.
2. Flukonazol 1200mg/hari ditambah flusitosin
100mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis per oral selama 6
pekan
3. Tanpa penyakit susunan syaraf pusat
Flukonazol 200-400 mg / hari sampai sembuh
4. Profilaksis : Flukonazol 200 mg/ hari selama hidup
untuk CD4 < 50 cell / mm3

PE
R

III

infeksi

SK
I

IV

Kepustakaan

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest


BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York
: Mc Graw-Hill, 2012;2148-2152
2. John R Perfect, William E, Dismukes, Francoise
Dromer, et al. Clinical Practice Guidelines for the
Management of Cryptococcal Disease 2010 Update by
the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect
Dis. (2010) 50 (3):291-322.doi: 10.1086/649858

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 50

50

Dermatologi Infeksi

SK
I

3. Venkatesan P, Perfect JR, Myers SA. Evaluation and


Management of fungal infection in Immunocompromised patients. Dermatol Therapy 2005; 18 :
44-57.
4. Price CR, Glaser DA dan Penneys NS. Mycotic Skin
infection in HIV-1 disease. Pathophysiology, diagnosis
and treatment. Dermatol Therapy 1999; 12 : 87-107.

Pasien dengan gambaran


klinis dan gejala
suspek kriptokokosis

Alur

Ya

Tidak

Diagnosis banding
lainnya

PE
R

DO

Kriptokokosis

Medikamentosa

Amphotericin B +
flusitosin flukonazol

Flukonazol + flusitosin

Flukonazol

Profilaksis

Edukasi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 51

Dermatologi Infeksi

51

B.8. KUSTA (A30)

Diagnosis didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda


utama) menurut WHO, yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar
(makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak
bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, suhu,
dan nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat /tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema,
pertumbuhan rambut yang terganggu
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga
dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang
bahan diperoleh dari biopsi saraf.
Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu
tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita
hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu
diamati dan diperiksa ulang 3-6 bulan sampai diagnosis kusta
dapat ditegakkan atau disingkirkan.

DO

II. Kriteria diagnostik


Klinis

SK
I

Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan


basil Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraselular.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, selanjutnya dapat
menyebar ke organ lain, kecuali susunan saraf pusat.

I. Definisi

PE
R

Selain tanda kardinal di atas, dari anamnesis didapatkan riwayat


berikut:

Riwayat kontak dengan pasien


Latar belakang keluarga dengan riwayat tinggal di daerah
endemis, dan keadaan sosial ekonomi
Riwayat pengobatan

Pemeriksaan fisik meliputi:

52

Inspeksi: Dengan pencahayaan yang cukup


(sebaiknya
dengan sinar oblik), lesi kulit (lokasi, morfologi) harus
diperhatikan
Palpasi:
Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus,
khususnya pada tangan dan kaki
Kelainan saraf: pemeriksaan saraf tepi (pembesaran,
konsistensi, nyeri tekan, nyeri spontan)
Tes fungsi saraf:

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 52

Tes sensoris: rasa raba, nyeri, dan suhu


Tes otonom
Tes motoris: Voluntary muscle test (VMT)

Diagnosis
banding

Lesi kulit
Makula hipopigmentasi : leukoderma, vitiligo, tinea versikolor,
pitiriasis alba, morfea dan parut
Plak eritema : tinea korporis, lupus vulgaris, lupus eritematosus,
granuloma anulare, sifilis sekunder, sarkoidosis, leukemia
kutis dan mikosis fungoides
Ulkus : ulkus diabetik, ulkus kalosum, frambusia, penyakit
Raynaud & Buerger
Gangguan saraf
Neuropati perifer: neuropati diabetik, amiloidosis saraf, trauma

Pemeriksaan
penunjang

Komplikasi

Laboratorium
Bakterioskopik : sediaan kerokan jaringan kulit dengan
pewarnaan Ziehl Neelsen
Biopsi / PA
Lain-lain: pemeriksaan serologi
Komplikasi imunologis : reaksi reversal, reaksi eritema
nodosum leprosum
Komplikasi neurologis : ulkus, claw hand, drop hand, drop
foot, kontraktur,mutilasi, absorbsi

DO

SK
I

1. Medikamentosa
Pengobatan kusta adalah Multi Drug Treatment (MDT), standar
WHO (2012)
Tipe PB
Jenis Obat < 10thn
10-15 thn
>15 thn
Keteranga
n
Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln Minum di
depan
petugas
DDS
25 mg/bln
50 mg/bln
100 mg/bln Minum di
depan
petugas
25 mg/hari 50 mg/hari 100
Minum di
mg/hari
rumah

PE
R

III. Penatalaksanaan

Lama pengobatan : diberikan sebanyak 6 dosis yang diselesaikan


dalam 6-9 bulan

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 53

Dermatologi Infeksi

53

Tipe MB
Jenis Obat

10-15 thn

>15 thn

Rifampisin

300 mg/bln

450 mg/bln

600 mg/bln

Dapson

25 mg/bln

50 mg/bln

100 mg/bln

25 mg/hari

50 mg/hari

100 mg/bln

150 mg/bln

100
mg/hari
300 mg/bln

50 mg/2x
sepekan

50 mg/
setiap 2
hari

Klofazimin
(Lampren)

Keteranga
n
Minum di
depan
petugas
Minum di
depan
petugas
Minum di
rumah
Minum di
depan
petugas
Minum di
rumah

SK
I

< 10thn

50 mg/hari

DO

Lama pengobatan : diberikan sebanyak 12 dosis yang diselesaikan


dalam 12-18 bulan

PE
R

1.4. MDT alternatif


Bila pasien tidak dapat minum rifampisin karena efek
samping dan/atau menderita penyakit penyerta seperti
hepatitis kronis, diberikan klofazimin 50 mg/hari bersama
dengan 2 obat berikut -- ofloksasin 400 mg/hari, minosiklin
100 mg/hari atau klaritromisin 500 mg/ hari -- selama 6
bulan. Dilanjutkan dengan klofazimin 50mg/hari, ofloksasin
400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 18 bulan.
Bila terjadi toksisitas terhadap DDS, seperti sindrom
dapson, pada pasien MH tipe PB, DDS diganti klofazimin
dengan dosis sama dengan MDT tipe MB selama 6
bulan. Pada pasien MH tipe MB, MDT tetap dilanjutkan
tanpa DDS selama 12 bulan.
Bila pasien menolak
pemberian
klofazimin, maka
klofazimin dalam MDT 12 bulan dapat diganti dengan
ofloksasin 400 mg /hari atau minosiklin 100 mg/hari
selama 12 bulan, atau rifampisin 600 mg/bulan,
ofloksasin 400 mg/bulan dan minosiklin 100 mg/bulan
(ROM) selama 24 bulan

2. Rawat inap
Rawat inap diindikasikan untuk pasien kusta dengan:
Efek samping obat berat
Bila disertai reaksi reversal atau ENL berat
Pasien dengan keadaan umum buruk (ulkus, gangren)
Pasien dengan rencana tindakan operatif

3. Nonmedikamentosa
Rehabilitasi medik, meliputi fisioterapi, tindakan bedah,

54

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 54

penggunaan protese, dan terapi okupasi


Rehabilitasi nonmedik, meliputi: rehabilitasi mental,
karya, dan sosial
Penyuluhan kepada pasien, keluarga dan masyarakat

II. Klinis

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada


perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta
terdiri atas reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan tipe 2 (eritema
nodosum leprosum)

SK
I

REAKSI KUSTA
I. Definisi

Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 2 dapat dilihat pada tabel berikut:
Gejala / tanda
Tipe kusta

DO

Waktu timbulnya

Reaksi tipe 1
Dapat terjadi pada
kusta tipe PB maupun
MB
Biasanya dalam 6
bulan pertama
pengobatan

Umumnya baik,
demam ringan (sub
febris) atau tanpa
demam
Peradangan di Bercak kulit lama
kulit
menjadi lebih
meradang (merah),
bengkak, berkilat,
hangat. Kadangkadang hanya pada
sebagian lesi. Dapat
timbul bercak baru
Neuritis
Sering terjadi, berupa
nyeri tekan saraf dan
atau gangguan fungsi
saraf.
Silent neuritis (-)
Radang mata
Dapat terjadi pada
kusta tipe PB maupun
MB
Udem
pada (+)
ekstri-mitas
Peradangan
Hampir tidak ada
pada organ lain

PE
R

Keadaan umum

Reaksi tipe 2
Hanya pada kusta
tipe MB

Biasanya setelah
mendapatkan
pengobatan yang
lama, umumnya
lebih dari 6 bulan
Ringan sampai
berat disertai
kelemahan umum
dan demam tinggi
Timbul nodul
kemerahan, lunak
& nyeri tekan.
Biasanya pada
lengan & tungkai
Nodus dapat pcah
(ulserasi)
Dapat terjadi

Hanya pada kusta


tipe MB
(-)
Terjadi pada mata,
kelenjar getah
bening, sendi, ginjal,
testis dll.

Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut:


D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 55

Dermatologi Infeksi

55

1. Penanganan Reaksi
Prinsip pengobatan reaksi ringan
Berobat jalan,
Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
MDT diberikan terus dengan dosis yang sama*
Menghindari / menghilangkan faktor pencetus
Imbolisasi organ tubuh yang terkena neuritis
Prinsip pengobatan reaksi berat
Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
MDT tetap diberikan dengan dosis yang sama*
Menghindari / menghilangkan faktor pencetus.
Memberikan obat anti reaksi: Prednison, Lamprene,
talidomid (bila tersedia)
Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah sakit
*Catatan:
MDT hanya diberikan pada reaksi yang timbul sebelum dan
selama pengobatan. Bila telah release from treatment (RFT),
MDT tidak diberikan lagi

DO

III. Penatalaksan
aan

Adanya lagoftalmos baru terjadi dalam 3 bulan terakhir


Adanya nyeri raba saraf tepi
Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir
Adanya makula pecah atau nodusl pecah
Adanya makula aktif (meradang) diatas lokasi saraf tepi
Adanya gangguan pada organ lain

SK
I

PE
R

2. Obat anti reaksi terdiri dari :


Prednison
Cara pemberiannya:
2 pekan pertama: 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari
sesudah makan
2 pekan kedua: 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari
sesudah makan
2 pekan ketiga: 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari
sesudah makan
2 pekan keempat:15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari
sesudah makan
2 pekan kelima: 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari
sesudah makan
2 pekan keenam: 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah
makan
Bila diperlukan dapat digunakan kortikosteroid jenis lain
dengan dosis yang setara dan penurunan dosis secara
bertahap juga.
Lampren
Obat dipergunakan untuk penanganan/pengobatan
reaksi ENL yang berulang-ulang dan tergantung steroid.
Cara pemberian:
1 x 300 mg/hari selama 2 bulan, dilanjutkan
1x 200 mg/hari selama 2 bulan, dilanjutkan

56

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 56

Anamnesis
1. Riwayat pengobatan MH sebelumnya: pernah mendapat
terapi MDT dan dinyatakan telah RFT yang ditentukan
oleh wasor atau dokter kusta yang berwenang
2. Terdapat lesi baru dan/atau gangguan sensibilitas baru
dan/atau perluasan gangguan yang sudah ada sebelumnya,
dan/atau pembesaran saraf baru.
3. Telaah hasil pemeriksaan lab sebelumnya (slit skin smear,
histopatologi, dan serologi)
Pemeriksaan status dermatologikus:
1. Relaps pada kasus PB:
Lesi kulit sebelumnya memperlihatkan tanda aktif
kembali, seperti adanya infiltrasi, eritema bertambah
luas, atau tampak adanya lesi satelit. Seringkali
jumlah lesi juga bertambah.
Terdapat pembesaran saraf dan nyeri disertai
dengan bertambahluasnya daerah lesi yang
mengalami anestesi dan/atau disertai defisit motorik.
Dapat ditemukan keluhan nyeri/sakit pada lokasi
sepanjang saraf perifer tanpa bukti-bukti kerusakan
saraf.
Dapat terjadi neural relapse yaitu terjadinya relaps
yang hanya mengenai saraf tanpa kelainan kulit.
Spektrum klinis MH dapat berubah ketika relaps.
2. Relaps pada kasus MB:
Lesi infiltrasi di dahi,, punggung bawah, dorsum
manus /pedis dan bagian atas bokong. Dapat
ditemukan papul dan nodul kemerahan, mengkilap,
lunak tanpa atau dengan infiltrasi padalokasi-lokasi
di atas. Dapat ditemukan nodul subkutan pada
daerah lengan bagian belakang dan paha bagian
anterolateral.
Pada saraf dapat ditemukan edema nodular
sepanjang saraf kutaneus dan perifer yang
r m a t o lnyeri
o g i Isaraf
n f e kbaru
s i | 57
menyertai penebalanD edan/atau
dengan gangguan fungsi.
Lesi pada relaps terbentuk dalam waktu berbulanbulan.
Dermatologi
Infeksi
Pada kasus MH yang sebelumnya
melibatkan
mata, dapat57
terjadi relaps pada iris atau yang lebih jarang terbentuk
lepromata.
Dapat pula ditemukan lesi pada daerah mukosa berupa
papul atau nodul di palatum durum, bagian dalam bibir, dan

PE
R

II. Diagnosis

Relaps adalah timbulnya tanda dan gejala kusta pada pasien


yang telah menyelesaikan pengobatan yang adekuat, baik selama
masa pengawasan maupun setelahnya. Pengobatan harus sesuai
dengan ketentuan yang sudah ditetapkan dan dihentikan oleh
petugas yang berwenang.

DO

RELAPS
I. Definisi

SK
I

1 x 100 mg/hari selama 2 bulan


Bila terdapat keluhan keluhan gastrointestinal, dapat
diberikan dengan dosis terbagi
Thalidomid, bila obat ini tersedia (hanya untuk reaksi
tipe 2)

SK
I

sepanjang saraf kutaneus dan perifer yang


menyertai penebalan dan/atau nyeri saraf baru
dengan gangguan fungsi.
Lesi pada relaps terbentuk dalam waktu berbulanbulan.
Pada kasus MH yang sebelumnya melibatkan mata, dapat
terjadi relaps pada iris atau yang lebih jarang terbentuk
lepromata.
Dapat pula ditemukan lesi pada daerah mukosa berupa
papul atau nodul di palatum durum, bagian dalam bibir, dan
glans penis.

PE
R

DO

Kriteria diagnosis MH relaps:


1. Kriteria klinis (peningkatan ukuran dan perluasan lesi yang
sudah ada, timbul lesi baru, timbul eritema dan infiltrasi
kembali pada lesi yang sudah membaik, penebalan atau
nyeri saraf)
2. Kriteria bakteriologis: dua kali pemeriksaan BTA positif
(selama periode pengobatan) pada pasien yang
sebelumnya BTA negatif pada lokasi mana saja. Atau jika
terdapat peningkatan BI 2+ atau lebih dibandingkan dengan
pemeriksaan BI sebelumnya pada 2 lokasi, dan tetap positif
pada pemeriksaan ulang. Hal ini dikatakan relaps jika
pasien sudah menyelesaikan terapi MDT sebelumnya
(WHO)
3. Kriteria teurapetik: untuk membedakan dengan RR, dapat
dilakukan sbb: pasien diterapi dengan prednison/prednisolon (1kg/kgbb). Jika RR, maka akan terdapat
perbaikan klinis secara berangsur dalam 2 bulan. Jika tidak
ada perbaikan gejala atau hanya sebagian membaik atau
justru lebih bertambah, dapat dikatakan tersangka relaps.
4. Kriteria histopatologis: muncul kembali granuloma pada
kasus PB dan meningkatnya infiltrasi makrofag disertai
dengan ditemukannya basil solid serta peningkatan BI pada
kasus MB.
5. Kriteria serologis: pada kasus LL, pengukuran antibody
PGL-1 IgM merupakan indikator yang bagus untuk
terjadinya relaps
Catatan: 3 kriteria pertama sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis relaps.

Perbedaan reaksi reversal dan relaps dapat dilihat pada tabel


berikut:
No
Gejala
Reaksi tipe 1
Relaps
.
(reaksi reversal)
1.
Interval/onset
Umumnya dalam 1 tahun atau
lebih setelah
4 pekan 6
RFT:
bulan
pengobatan atau PB: 3 tahun
pada non
dalam 6 bulan
lepromatosa
setelah RFT.

58

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 58

Timbulnya gejala

3.
4.

Tipe kusta
Lesi lama

5.

Lesi baru

6.

Ulserasi

7.

Keterlibatan saraf

BT, BB, BL
Beberapa atau
seluruh lesi
menjadi berkilap,
eritematosa, dan
bengkak; nyeri
tekan (+);
konsistensi
lunak. Terjadi
perubahan tipe
ke arah yang
lebih baik;
edema tangan
dan kaki
Jumlah
beberapa,
morfologi sama
(+) pada reaksi
berat
Neuritis akut
yang nyeri; ada
nyeri spontan;
abses saraf; tibatiba ada paralisis
otot disertai
meluasnya
gangguan
sensoris

DO
PE
R
8.

Borderline: 5
tahun
MB: 9 tahun
Lambat,
bertahap
Semua tipe
Eritema dan
plak di tepi lesi.
Lesi bertambah
dan meluas.

SK
I

2.

Pada reaksi
berulang sampai
2 tahun setelah
RFT
Mendadak, cepat

9.

Gangguan
sistemik
BTA

10.

Tes lepromin

Mungkin (+)
Terjadi
penurunan IB,
peningkatan
bentuk granuler
Reaksi
Fernandez (+)
pada tipe BL dan
BB yang menjadi
secara berurutan
menjadi BB dan
BT

Jumlah banyak
(-)

Terjadi
keterlibatan
saraf baru;
tanpa nyeri
spontan; nyeri
tekan (+);
gangguan
motoris dan
sensoris terjadi
lambat/perlahan
Mungkin (-)
IB mungkin (+)
pada pasien
dengan IB yang
sebelumnya (-)
Hasil tes
tergantung tipe
saat relaps

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 59

Dermatologi Infeksi

59

Respons terhadap
pemberian steroid

Excellent. Lesi
membaik dalam
2-4 pekan; tetap
membaik dengan
pengobatan 2
bulan.

Respons tidak
ada atau
sedikit.

SK
I

11.

Pasien diobati MDT sesuai hasil pemeriksaan dan tipe relaps


yang ditemukan pada saat itu.

Kepustakaan

1. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI,
editor. Dalam : Fitzpatricks Dematology in general medicine. Edisi ke-7
New York : Mc Graw-Hill, 2012.
2. Jopling WHJ., Mc Doughall AC. Handbook of Leprosy. Edisi ke-5.
New Delhi; CBS publishers & Distrubutors,1988.
3. Brycesson A., Pflatzgraff RE. Leprosy. Edisi ke-3. London; Churchill
Livingstone, 1990.
4. The International Federation of Anti Leprosy Association (ILEP),
2002. 234 Blythe Road London, W14 OHJ, Great Britain. How to
Diagnose and Treat Leprosy. Learning Guide One.
5. The International Federation of Anti Leprosy Association (ILEP),
2002. How to recognize and manage Leprosy Reaction, 234 Blythe
Road London, W14 OHJ, Great Britain. Learning Guide Two.
6. Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, penyunting. Kusta,
edisi ke-2. Jakarta; Balai Penerbit FKUI, 2003.
st
7. IAL Textbook of Leprosy. Kar and Kumar editors. 1 edition. Jaypee
Brothers Medical Publishers (P) Ltd New Delhi, St Louis 2010
8. WHO Expert Committee on leprosy, eighth report (WHO Technical
Report Series ; no 369) , 2012
9. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Direktorat
Jenderal Pengandalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2013

PE
R

DO

III. Penatalaksanaan

60

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 60

Bagan Alur

Ada

Kusta

Jumlah bercak
Penebalan saraf
& ggn Fungsi,
Pem. BTA

SK
I

Tanda kardinal

Ragu

Tidak Ada

Tersangka

Bukan Kusta

Observasi
3-6 bulan

BTA /
Histopatologi

Tanda kardinal

Bercak >5
Saraf >1
BTA (+)

DO

Bercak 5
Saraf 1
BTA (-)

PB

Ada

Tidak Ada

Ragu

MB

RUJUK
ke konsultan

MDT PB / MB

PE
R

Bila terdapat
kontraindikasi / efek
samping

MDT Alternatif

Bila terdapat Reaksi

Terapi reaksi

Bila terdapat Relaps

MDT ulang

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 61

Dermatologi Infeksi

61

B.9. MALASSEZIA FOLIKULITIS


Definisi

: Merupakan
radang pada folikel pilosebasea
yang disebabkan oleh genus Malassezia.

II

Kriteria diagnostik

:
: Lesi biasanya terdapat di dada, punggung, leher,
dan lengan, berupa papul eritematosa atau
pustul perifolikular berukuran 2-3 mm. Gatal lebih
sering dijumpai dibandingkan pada Pitiriasis
Versikolor.
Penyakit
ini
kadang
dijumpai
bersamaan
dengan
akne
vulgaris
yang
rekalsitran, hal ini mungkin berkaitan dengan kulit
yang berminyak.
Faktor predisposisi antara lain: diabetes melitus,
penggunaan glukokortikoid, antibiotik, dan obat
imunosupresif, kehamilan, keganasan (leukemia,
penyakit Hodgkin), transplantasi organ (ginjal,
jantung, sumsum tulang), AIDS, serta sindroma
Down
: - Akne korporis
- Erupsi akneiformis
- Folikulitis kandida
- Folikulitis bakterial
- Insect bites
- Miliaria
- Dermatitis kontak
: Pemeriksaan langsung dengan memakai larutan
KOH 20%. Spesimen berasal dari bagian dalam
isi pustul, papul atau papul komedo yang diambil
menggunakan ekstraksi komedo.
Hasil positif ditentukan sebagai +3 atau +4
berdasarkan grading jumlah spora per lapangan
pandang besar mikroskop.
Grading spora:
+1: bila ditemukan 1-2 spora, tidak ada
kelompokkan spora
+2: bila ditemukan kelompok kecil spora yang
terdiri dari < 6 spora
atau 12 spora yang
tersebar
+3: bila ditemukan kelompok besar spora yang
terdiri dari 7-12 spora
atau 20 spora yang
tersebar
+4: bila ditemukan kelompok spora yang terdiri
dari >12 spora atau 21 spora yang tersebar.

Klinis

Diagnosis banding

Pemeriksaan
penunjang

PE
R

DO

62

SK
I

Dermatologi Infeksi

Pada pemeriksaan histopatologis ditemukan


ostium folikel melebar dan bercampur dengan
materi keratin. Dapat terjadi ruptur dinding folikel
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 62

sehingga terlihat respons radang campuran dan


sel datia benda asing

IV

Kepustakaan

Bagan Alur

: Terapi sistemik:
Ketokonazol 200mg/hari selama 4 pekan,
atau
Flukonazol 150 mg/pekan selama 2-4
pekan, atau
Itrakonazol 200 mg/hari selama 2 pekan
:

1. Pfaller MA, Diekema DJ, Merz WG. Infections


caused by non-Candida, non-Cryptococcus
yeasts. Dalam: Anaisse EJ, McGinnis MR,
Pfaller MA, editor. Clinical Mycology; edisi ke2. New York: Churchill Livingstone Elsevier,
2009: 251-70
2. Janik MP, Heffernan MP. Martin. Yeast
infections: Candidiasis and Tinea (Pytiriasis)
Versikolor. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editor. Dermatology in general medicine; edisi
ke-7. New York: Mc Graw Hill, 2008:1822-30
3. Jacinto-Jamora S, Tamesis J, Katigbak ML.
Pytirosporum folliculitis in the Philippines:
diagnosis, prevalence and management.
Journal
American
Academic
of
Dermatology.1991;24:693-6

DO

SK
I

Penatalaksanaan

III

PE
R

Pasien dengan gambaran


klinis dan gejala
suspek Malassezia Folikulitis

Ya

Tidak

Malassezia
Folikulitis

Diagnosis banding
lainnya

Medikamentosa

Ketokonazol
200mg/hari selama
4 minggu
Flukonazol
150
mg/minggu selama
2-4 minggu
Itrakonazol
200
mg/hari selama 2
minggu
Edukasi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 63

Dermatologi Infeksi

63

B.10. MIKOSIS PROFUNDA


Definisi

II

Kriteria diagnostik
Klinis

: Mikosis profunda merupakan suatu kelompok


heterogen infeksi jamur yang berkembang dari trauma
transkutaneus. Infeksi berkembang perlahan, umumnya
tidak nyeri, sesuai dengan pertumbuhan agen
penyebabnya dan beradaptasi dengan lingkungan
jaringan penjamunya.
Berikut
dibahas
:
misetoma
(eumisetoma,
aktinomisetoma), sporotrikosis, kromomikosis, dan
zigomikosis subkutan.
Misetoma (Eumisetoma ICD10 : B47.0
Aktinomisetoma ICD10 : B47.1)
Misetoma adalah penyakit infeksi jamur kronik
supuratif jaringan subkutan, khas ditandai dengan
tumefaksi, abses, sinus, fistul dan granul. Penyebab
dapat jamur (eumisetoma) atau oleh Actinomycetes
(aktinomisetoma).
Sporotrikosis (ICD10 : B42)
Sporotrikosis adalah infeksi jamur kronis yang
disebabkan oleh Sporotrichium schenkii.
Klasifikasi : tipe lokalisata, tipe limfangitis kronis
(tersering, ICD10 : B42.1), tipe kutaneus menetap,
dan tipe diseminata
Kromoblastomikosis/ Kromomikosis (ICD10 :
B43)
Adalah penyakit jamur kronis invasif pada kulit dan
jaringan subkutan yang disebabkan oleh bermacam
jamur berpigmen (dermatiaceae) yang membentuk
sel muriform (badan sklerotik).
Zigomikosis subkutan/ Basidiobolomikosis
(ICD10 : 46.8)
Penyakit infeksi yang disebabkan tersering oleh
Basidiobolus ranarum.
:
: Misetoma: pada lokasi inokulasi (umumnya
ekstremitas)
terbentuk papul/nodus. Selanjutnya
terjadi pembengkakan, abses, sinus, dan fistel
multipel, serta keluar granul. Warna granul membantu
dugaan penyebab: granul hitam pada eumisetoma,
granul merah, kuning pada aktinomisetoma, warna
lain dapat oleh keduanya. Lesi lanjut terdapat
gambaran parut. Dapat mengenai tulang.
Sporotrikosis: Bentuk limfokutan berupa pembesaran
kelenjar getah bening, kulit dan jaringan subkutis di
atas nodus sering melunak dan pecah membentuk
ulkus indolen mengikuti garis aliran limfa.
Kromoblastomikosis: pada tempat inokulasi timbul
nodus verukosus kutan yang perlahan membentuk

PE
R

DO

SK
I

64

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 64

Diagnosis banding

: 1.
2.
3.

: Sediaan langsung :
i. Misetoma: sediaan KOH granul berwarna tampak
filamen halus (aktinomisetoma) atau lebar (eumisetoma)
ii. Kromoblastomikosis: sediaan KOH kerokan kulit
dapat ditemui sel muriform (badan/ sel sklerotik
berpigmen).
Perlu konfirmasi dengan:
1. Pemeriksaan histopatologis. Tampak granuloma
tanpa perkijuan dan ada eosinofil.
2. Kultur untuk memastikan spesies penyebab.
Dilakukan dengan 3 kultur yaitu Sabouraud dextrose
agar (SDA), SDA + antibiotik dan SDA + antibiotik+
sikloheksimid

Penatalaksanaan

: Sporotrikosis :
Obat pilihan : itrakonazol 200 mg/hari, atau solusio
kalium iodida jenuh (KI) 3 X 5 tetes / hari dinaikkan
perlahan sampai terjadi gejala toksik mual, muntah,
hipersalivasi dan lakrimasi, kemudian diturunkan dan
dipertahankan pada dosis sebelum terjadi gejala toksik.
Dapat dengan tablet Jodkali 200 mg/ tablet, dosis 30
mg/ KgBB/ hari
Kromomikosis : penyembuhan sulit dan sering
kambuh.
Obat pilihan : Itrakonazol 200-400 mg/hari (dengan atau
tanpa 5 fluoro-urasil) selama beberapa bulan, dapat
kombinasi itrakonazol dan terbinafin 250-500 mg/hari.
Lesi kecil dapat bedah eksisi. Lesi lanjut dapat berakhir
amputasi.
Alternatif: kombinasi itrakonazol dengan bedah beku,
pemanasan topikal.
Zigomikosis subkutan :
Obat pilihan : Itrakonazol 200 mg/hari selama 3 bulan
atau solusio kalium yodida jenuh/ tablet Jodkali 200
mg/tablet dosis 30 mg/KgBB/hari.

PE
R

III

Pemeriksaan
penunjang

Misetoma : tuberkulosis kutis, infeksi bacterial


(botriomisetoma), osteomielitis kronik, aktino
misetoma.
Sporotrikosis:
Infeksi
Mikobakterium
atipik,
leismaniasis
Kromoblastomikosis: Veruka vulgaris, tuberculosis
kutis verukosa, elefantiasis, karsinoma sel skuamosa.

DO

SK
I

vegetasi papiloma besar. Tempat predileksi: tungkai


dan kaki.
Zigomikosis subkutan: nodus subkutan yang
membesar dan tidak nyeri, teraba keras seperti kayu,
kadang gatal.

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 65

Dermatologi Infeksi

65

IV

Kepustakaan

DO

SK
I

Aktinomisetoma
Obat pilihan : kombinasi antibiotik
Rifampisin 600 mg/ hari dan kotrimoksazol 2 x 2 tablet
(2x1 tablet forte)
Streptomisin sulfat 14 mg/kgBB/hari IM 1 bulan kemudian
tiap 2 hari sekali, dikombinasi dengan ko-trimokasozol
yang terdiri atas: 23 mg/kgBB/hari sulfametoksazol + 4,6
mg/kgBB/hari trimetoprim.
Alternatif kombinasi streptomisin: dengan dapson 100
mg/hari, atau rifampisin 4,3 mg/kgBB/hari, atau sulfadoksinpirimetamin 500 mg 2x/pekan.
Penambahan Amikasin 15 mg/kgBB/hari selama 3
pekan dalam tiap siklus 5 pekan ko-trimoksazol dapat
diberikan pada penyebab Nocardia yang rekalsitran
(regimen Walsh).
Eumisetoma: sulit, lama (bulan s/d tahun) dan hasil
bervariasi bergantung penyebab.
Obat pilihan : Itrakonazol 200 mg/hari. Pada penyebab M.
mycetomatis dan M. grisea dapat dengan ketokonazol 200
mg/hari. Dapat dengan terbinafin 250-500 mg/hari. Lesi
lanjut dapat berakhir amputasi.
Catatan:
Perhatikan semua kontraindikasi dan kemungkinan efek
samping akibat obat antijamur sistemik maupun antibiotik
jangka panjang.
Kriteria sembuh : sembuh klinis dan laboratoris.

1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest


BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York :
Mc Graw-Hill, 2012;2312
2.

PE
R

3.

4.
5.
6.

66

Dermatologi Infeksi

Richardson M and Lass-Flo C. Changing epidemiology of


systemic fungal infections. Clin Microbiol Infect, 2008; 14
(Suppl. 4): 524
Hay RJ. Deep fungal infections. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Lefell DJ. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 7th ed., vol.1, Mc Graw Hill,
2007: ch 190; 1831-1835
Revankar SG. Dematiaceous fungi. Mycosis, 2007; 50: 91-101
Fluckiger U, Marchetti O, Bille J, Eggimann P, Zimmerlie S,
Imhof A, et al. Treatment options of invasive fungal infections in
adults. Swiss Med Wkly, 2006; 136: 447463
Trying KS, Lupi O, Hengge UR. Dalam: Tropical Dermatology.
st
1 ed., Elsevier Inc., 2006: 197-214

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 66

Bagan Alur

SK
I

Lesi kulit dicurigai sebagai Misetoma

Anamnesis
1. Riwayat trauma
2. Peninggian lesi, pembentukan nodul, abses, fistula, drainage grain
3. Warna dan ukuran granul

DO

Pemeriksaan
1. Pemeriksaan granul dengan KOH 10-20%
2. Histopatologi
3. Kultur isolasi dan identifikasi agen
4. Foto rontgen, untuk deseksi lesi tulang dan perubahan jaringan lunak

PE
R

Aktinomisetoma

Antibiotik
Yang sesuai

Edukasi

Eumisetoma

Antijamur
Yang sesuai

Edukasi

Dermatologi Infeksi

67

Lesi kulit yang dicurigai Sporotrikosis

Anamnesis
Sering terjadi pada tukang kebun, petani, buruh lapangan
Riwayat pajanan tanah atau tumbuhan misalnya mawar, rumput

SK
I

1.
2.

Klinis :
Nodus multiple yang muncul dari distal ke proksimal sepanjang limfe,selanjutnya membentuk ulkusulkus kecil tidak nyeri, pada ekstremitas atas dan bawah, dan wajah pada anak-anak. Atau nodus
tunggal yang menjadi ulkus menetap tanpa nyeri

Diagnosis banding

Sporotrikosis

DO

Pemeriksaan penunjang
Isolasi jamur dari kultur eksudat
Biopsi kulit
Pemeriksaan lain untuk menyingkirkan diagnosis banding

Sesuai sporotrikosis

PE
R

Itrakonazol
Solusio Kalium Iodida
jenuh atau
Tablet Jodkali
Edukasi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 68

68

Dermatologi Infeksi

Lesi kulit dicurigai Kromoblastomikosis

SK
I

Anamnesis
1. Sering terjadi pada penduduk daerah pedesaan (petani, pemotong kayu, pemotong karet)
2. Sering terjadi pada usia 35 40 tahun

Klinis :
Satu atau lebih nodul pada daerah trauma membentuk plak eritematous batas tegas. Lesi berkembang
papilomatosa atau verukosa ireguler. Sering disertai ulserasi. Infeksi dapat menyebar secara limfatik atau
hematogen.

Kromoblastomikosis

DO

Diagnosis banding

Pemeriksaan penunjang :
KOH dari krusta, eksudat
Kultur untuk isolasi jamur pada medium Sabouraud
Biopsi (dan kultur utk diagnosis banding tuberculosis kutis)

PE
R

Sesuai kromoblastomikosis :
Kecil: bedah eksisi dilanjutkan itrakonazol
Besar: Itrakonazole 200mg perhari (dengan atau tanpa Flusitosin 30 mg/ kg/ hr)
atau Terbinafine 250 mg, atau kombinasi ke 2 nya
Ketokonazol 10 mg/KgBB/hari
Edukasi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 69

Dermatologi Infeksi

69

B.11. MOLUSKUM KONTAGIOSUM (B08.1)


Definisi

II

Kriteria diagnostik
Klinis

: Moluskum kontagiosum ( MK ) ialah penyakit infeksi


kulit yang disebabkan oleh Poxvirus.
:

Diagnosis banding

Pemeriksaan
penunjang

: Veruka, granuloma piogenik, melanoma amelanotik,


karsinoma sel basal, varisela, epitelioma, papiloma.
Pada pasien imunokompromais perlu dipikirkan
infeksi jamur yaitu kriptokokosis, histoplasmosis, dan
penisilosis
: Biasanya tidak diperlukan.
Pemeriksaan Giemsa terhadap bahan massa putih
dari bagian tengah papul menunjukkan badan inklusi
moluskum di dalam sitoplasma.
Pemeriksaan histopatologik dilakukan apabila
gambaran lesi tidak khas MK. Tampak gambaran
epidermis hipertrofi dan hiperplasia. Di atas lapisan
sel basal didapatkan sel membesar yang
mengandung partikel virus disebut badan moluskum
atau Henderson-Paterson bodies
: Nonmedikamentosa:
Penjelasan/penyuluhan pada orangtua pasien:
Tanpa pengobatan, MK dapat sembuh sendiri
dalam beberapa bulan/tahun. Tetapi dalam kurun
waktu tersebut dapat meluas ke seluruh tubuh dan
menularkan ke orang lain, timbul infeksi sekunder,
serta menimbulkan gangguan kosmetis.
Moluskum dapat diobati dengan obat topikal, tetapi
memerlukan ketekunan dan kesabaran serta
memakan waktu lama.

PE
R

DO

III

Terutama menyerang anak usia sekolah, dewasa


muda yang aktif secara seksual, dan pasien
imunokompromais.
Masa inkubasi berlangsung satu sampai
beberapa pekan.
Tidak ada keluhan.
Kelainan kulit berupa papul khas berbentuk
kubah, di tengahnya terdapat lekukan (delle). Jika
dipijat akan tampak keluar massa berwarna putih
seperti nasi yang merupakan badan moluskum.
Kadang berbentuk lentikular dan berwarna putih
seperti lilin.
Dapat terjadi infeksi sekunder sehingga timbul
supurasi.
Lokasi: muka, badan, dan ekstremitas.

SK
I

Penatalaksanaan

Medikamentosa:
1. Tindakan bedah kuretase/enukleasi:

70

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 70

Lesi kulit dibersihkan dengan alkohol 70%


Bila perlu diberi anestesi krim EMLA 5%
dioleskan pada tiap lesi, tutup plester dan
dibiarkan 1-2 jam
Dengan memakai pinset mata, lesi moluskum
dijepit agar isi keluar, atau dengan ujung skalpel
no 11 untuk membuka papul dan mengeluarkan
isi papul.
Luka diolesi dengan salep antibiotik
Tindakan terapi beku/nitrogen cair diulang
dengan interval 3 pekan

SK
I

PE
R

DO

2. Terapi topikal :
Kantaridin (0,7% atau 0,9%) dioleskan pada
lesi dan dibiarkan selama 3-4 jam, setelah itu
dicuci. Dalam 1-2 hari timbul lepuh yang akan
pecah menimbulkan erosi/ekskoriasi. Dapat
diberikan salap antibiotik untuk mencegah
infeksi sekunder. Dapat dilakukan sebulan
sekali sampai tidak ada lesi lagi.
Podofilin (10%-25% dalam bentuk resin) atau
(0,3% atau 0,5% dalam bentuk krim).
Dioleskan pada tiap lesi sepekan sekali
Krim imikuimod 5% 3-5 kali/pekan
Gel retinoid 0,1%
Pasta perak nitrat
Asam trikoloroasetat (25% - 35%)
Sidovovir topikal (gel 1%, 3% atau krim 1%,
3%)
Kalium hidroksida (10%) 2 kali/hari selama
30 hari atau sampai terjadi inflamasi dan
ulserasi di permukaan papul
Campuran asam salisilat dan asam laktat
topikal
Krim adapalen 1% selama 1 bulan
Pulsed dye laser: pulsa ganda untuk tiap lesi
menggunakan sinar laser 585 nm lebar pulsa
450 usec dan 5 mm spot size pada 6,8-7,2
J/cm2.
3. Terapi Sistemik :
Simetidin 20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis
dengan dosis maksimal 800 mg 3x/hari
Terapi sistemik yang hanya diberikan untuk
pasien imunokompromais:
sidovovir oral
interferon-
sub kutan.

IV

Kepustakaan

: 1. Lee R. Schwartz RA. Pediatric molluscum contagiosum:


Reflections on the last challenging pox virus infection.

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 71

Dermatologi Infeksi

71

3. Terapi Sistemik :
Simetidin 20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis
dengan dosis maksimal 800 mg 3x/hari
Terapi sistemik yang hanya diberikan untuk
pasien imunokompromais:
sidovovir oral
interferon- sub kutan.

Bagan Alur

: 1. Lee R. Schwartz RA. Pediatric molluscum contagiosum:


Reflections on the last challenging pox virus infection.
Part1. Cutis 2010; 86: 230-6.
2. Lee R. Schwartz RA. DPediatric
e r m a molluscum
t o l o g i contagiosum:
I n f e k s i | 71
Reflections on the last challenging pox virus infection.
Part2. Cutis 2010; 86: 287-92.
3. An update on the clinical management of cutaneous
molluscum contagiosum. Skin Therapy Lett 2014; 19: 5-8.
4. Nguyen HP, Franz E, Stiegel KR, et al. Treatment of
molluscum contagiosum in adult, pediatric, and
immunodeficient populations. J Cutan Med Surg 2014;
18: 1-8.
5. Olsen JR, Gallacher J, Piguet V, Francis NA.
Epidemiology of molluscum contagiosum in children: A
systematic review. Fam Pract 2014; 31: 130-6.
6. Chen X, Anstey AV, Bugert JJ. Molluscum
contagiosum virus infection. Lancet Infect Dis 2013;
13: 877-88.

SK
I

Kepustakaan

Kelainan berupa papul kemerahan


sewarna kulit atau putih mutiara
pada kulit atau mukosa sangat
mungkin suatu MK

DO

IV

DIAGNOSIS
Apakah gambaran
klinis sesuai MK?

TIDAK

Pemeriksaan Penunjang
Giemsa
Histopatologis

YA

PE
R

Non Medikamentosa
Terapi topikal
Terapi sistemik

72

Dermatologi Infeksi

YA

Konfirma
si MK?

TIDAK

DIAGNOSIS
BANDING

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 72

B.12. PIODERMA (L08.0)


: Pioderma adalah istilah yang digunakan untuk infeksi

Definisi

kulit dan jaringan lunak yang disebabkan oleh bakteri


piogenik, yang paling sering adalah S. aureus dan
Streptokokkus -hemolitik grup A antara lain S.
pyogenes.

SK
I

DO

II

Kriteria diagnostik
Klinis

: Pioderma superfisialis

Gejala konstitusi tidak ada.


a. Impetigo nonbulosa
Tempat predileksi: daerah wajah, terutama di sekitar
nares dan mulut
Lesi awal berupa vesikel atau pustul berdinding tipis
yang mudah pecah membentuk krusta tebal
kekuningan (honey colour). Lesi dapat melebar
sampai 1-2 cm, disertai lesi satelit di sekitarnya.
Gatal dan rasa tidak nyaman dapat terjadi.
b. Impetigo bulosa
Tempat predileksi: daerah intertriginosa (aksila,
inguinal, gluteal), dada dan punggung
Vesikel-bula kendor, berisi cairan jernih; dapat
timbul bula hipopion di atas kulit normal.
Tanda Nikolsky negatif.
Bula pecah meninggalkan skuama anular dengan
bagian tengah eritematosa (kolaret) dan cepat
mengering
c. Ektima
Merupakan bentuk pioderma ulseratif yang
disebabkan oleh S. aureus dan atau Streptococcus
grup A.
Predileksi: ekstremitas bawah atau daerah terbuka
Ulkus dangkal tertutup krusta tebal dan lengket,

PE
R

Terdapat 2 bentuk pioderma:


1.
Pioderma superfisialis, lesi terbatas pada
epidermis

Impetigo nonbulosa

Impetigo bulosa

Ektima

Folikulitis

Furunkel

Karbunkel
2. Pioderma profunda, mengenai epidermis dan
dermis
Erisipelas
Selulitis
Flegmon
Abses multipel kelenjar keringat
Hidradenitis

berwarna kuning keabuan kotor.


D e r m tampak
a t o l o ulkus
g i I n bentuk
f e k s i | 73
Apabila krusta diangkat,
punched out, tepi ulkus meninggi, indurasi,
berwarna keunguan.
d. Folikulitis

Dermatologi
Infeksi
Merupakan salah satu
bentuk pioderma
pada
folikel rambut dan jaringan sekitarnya.
Dibedakan menjadi 2 bentuk:
1. Folikulitis superfisialis (impetigo Bockhart/
impetigo folikular )
Predileksi: skalp (anak-anak), dagu, aksila,

73

berwarna kuning keabuan kotor.


Apabila krusta diangkat, tampak ulkus bentuk
punched out, tepi ulkus meninggi, indurasi,
berwarna keunguan.
d. Folikulitis

PE
R

DO

SK
I

Merupakan salah satu bentuk pioderma pada


folikel rambut dan jaringan sekitarnya.
Dibedakan menjadi 2 bentuk:
1. Folikulitis superfisialis (impetigo Bockhart/
impetigo folikular )
Predileksi: skalp (anak-anak), dagu, aksila,
ekstremitas bawah, bokong (dewasa).
Terdapat rasa gatal dan panas.
Kelainan berupa pustul kecil dome-shaped,
mudah pecah, pada folikel rambut, multipel.
2. Folikulitis profunda (sycosis barbae)
Predileksi: dagu, atas bibir.
Nodus eritematosa dengan perabaan hangat,
nyeri
e. Furunkel/karbunkel
Merupakan peradangan pada folikel rambut dan
jaringan sekitarnya.
Predileksi: daerah berambut yang sering
mengalami
gesekan, oklusif, berkeringat,
misalnya leher, wajah, aksila, dan bokong.
Lesi berupa nodus eritematosa, awalnya keras,
nyeri tekan, dapat membesar 1-3 cm, setelah
beberapa hari terdapat fluktuasi, bila pecah keluar
pus.
Karbunkel timbul bila yang terkena beberapa folikel
rambut.
Karbunkel lebih besar, diameter dapat mencapai 310 cm, dasar lebih dalam. Nyeri, sering disertai
gejala konstitusi. Pecahnya lebih lambat, sembuh
dengan skar.

74

Diagnosis banding

Dermatologi Infeksi

Pioderma profunda
Terdapat gejala konstitusi
Erupsi kulit diikuti rasa nyeri:
1. Erisipelas: merah cerah, infiltrat di bagian
pinggir, edema, vesikel dan bula di atas lesi
2. Selulitis: infiltrat eritematosa difus
3. Flegmon: selulitis dengan supurasi
4. Abses kelenjar keringat: tidak nyeri, bersama
miliaria, nodus eritematosa bentuk kubah
5. Hidradenitis: nodus, abses, fistel di daerah
ketiak atau perineum
6. Ulkus piogenik : ulkus dengan pus
: 1. Impetigo nonbulosa: ektima
2. Impetigo vesikobulosa:
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 74

Dermatofitosis
Pemfigus vulgaris
Staphylococcal scalded skin syndrome
3. Ektima: impetigo nonbulosa
4. Folikulitis:
a. Pseudofolikulitis barbae
b. Folikulitis keloidal (acne keloidal nuchae)
c. Folikulitis pitirosporum
d. Hot tub folikulitis
5. Erisipelas: selulitis
6. Hidradenitis: skrofuloderma
7. Karbunkel
Akne kistik
Hidradenitis supurativa
: Bila diperlukan:
Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan Gram
Kultur dan resistensi spesimen lesi
Kultur dan resistensi darah bila diduga bakteremia

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa:

Membatasi penularan: edukasi terhadap pasien dan


keluarganya agar menjaga higiene perorangan yang
baik.
Mengatasi faktor predisposisi dan keadaan komorbid,
misalnya infestasi parasit atau dermatitis atopik
Medikamentosa:
Prinsip: pasien berobat jalan, kecuali pada erisipelas,
selulitis dan flegmon dianjurkan rawat inap.
1. Topikal:
Bila banyak pus atau krusta: kompres terbuka
dengan permanganas kalikus 1/5000, rivanol
1, larutan povidon iodine 1%; dilakukan 3 kali
sehari masing-masing 1 jam selama keadaan
akut
Bila tidak tertutup pus atau krusta: *salap/krim
asam fusidat 2%, mupirosin 2%, neomisin, dan
basitrasin.
Dioleskan 23 x sehari, selama 710 hari.
2. Sistemik: minimal selama 7 hari
First line:
Kloksasilin: dewasa 4 x 250500 mg/hari per
oral; anak-anak 50
mg/kgBB/hari terbagi
dalam 4 dosis, selama 5-7 hari.
Pada S.aureus resisten eritromisin
Amoksisilin dan asam klavulanat: dewasa 3 x
250-500 mg/hari; anak-anak 25 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 3 dosis, selama 5-7 hari.
Sefaleksin: 40-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam
4 dosis, selama 5-7 hari.
Trimetoprim-sulfometoxazol 160/800mg selama

PE
R

DO

III

Pemeriksaan penunjang

SK
I

7 hari
e r m a t o l oterbagi
g i I nselama
f e k s i 7| 75
Tetrasiklin 3 xD 250-500mg
hari
Doksisiklin, Minosiklin 2 x 100mg selama 7
hari
Dermatologi Infeksi
75
Second line:
Azitromisin 1 x 500 mg/hari (hari I), dilanjutkan
1 x 250 mg (hari II-V)
Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis,
selama 10 hari
Eritromisin: dewasa 4 x 250-500 mg/hari; anak

7 hari
Tetrasiklin 3 x 250-500mg terbagi selama 7
hari
Doksisiklin, Minosiklin 2 x 100mg selama 7
hari
Second line:
Azitromisin 1 x 500 mg/hari (hari I), dilanjutkan
1 x 250 mg (hari II-V)
Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis,
selama 10 hari
Eritromisin: dewasa 4 x 250-500 mg/hari; anakanak 20-50 mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis,
selama 5-7 hari
Kasus yang berat atau infeksi di daerah berbahaya
(misalnya maksila), antibiotik diberikan parenteral.
Apabila terdapat/dicurigai ada methycillin resistent
Staphylococcus aureus (MRSA) pada infeksi berat:
vankomisin 12 gram/hari dalam dosis terbagi, intravena,
selama 7 hari
Apabila lesi besar, nyeri, disertai fluktuasi, dilakukan
insisi dan drainase
Kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan hasil
kultur dan resistensi

DO

SK
I

Tindakan:
Bila ada abses, dapat dilakukan insisi

Kepustakaan

: 1. Gorwitz RJ.
A review of community-associated
methicillin-resistant Staphylococcus aureus skin and
soft tissue infections. Pediatr Infect Dis 2008; 27(1):1-7
2. Tschachler E, Brockmeyer N, Effendy I, Geiss HK, Harder
S, Hartmann M, et al. Streptococcal infections of the skin
and mucous membranes. JDDG 2007; 6: 527-532
3. Roberts S, Chambers S. Diagnosis and management of
Staphylococcus aureus infections of the skin and soft
tissue. Int Med J 2005; 35: S97-105
4. Ki V, Rotstein C. Bacterial skin and soft tissue
infections in adults: A review of their epidemiology,
pathogenesis, diagnosis, treatment and site of care.
Can J Infect Dis Med Microbiol 2008;19:173-84.
5. Maibach HI & Grouhi F. Evidence Based Dermatology
2nd ed. Peoples Meical Publishing House. USA.
2011;349-352
6. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York
: Mc Graw-Hill, 2012;2128-2147

PE
R

IV

76

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 76

Bagan Alur

SK
I

Tidak

Ringan Sedang

Pilihan I:
Mupirosin
Asam fusidat
Pilihan II:
Basitrasin

PE
R

Ya

Berat

DO

Antibiotik Topikal

Sembuh

Diagnosis Banding

Antibiotika Sistemik
Pilihan I:
- Kloksasilin
- Amoksisilin asam klavulanat
- Sefalosporin generasi I
- Sefalosporin generasi II
Pilihan II:
- Azitromisin
- Klindamisin
- Eritromisin

Tidak

Kultur & Resistensi


Apabila pasien gagal
diterapi dengan obat
pilihan I

Terapi berdasarkan:
- Hasil kultur dan
resistensi
- Mupirosin di sekitar
nares untuk karier

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 77

Dermatologi Infeksi

77

B.13. PITIRIASIS VERSIKOLOR (B36.0)


Definisi

II

Kriteria diagnostik
Klinis

Pemeriksaan
penunjang

Sering
Jarang
Vitiligo
Pitiriasis alba
Psoriasis gutata
Pitiriasis rosea
Pitiriasis rubra pilaris
Dermatitis seboroik
Infeksi dermatomikosis Morbus Hansen
Leukoderma
: Pemeriksaan dengan lampu Wood : terlihat
fluoresensi berwana kuning keemasan.
Pemeriksaan langsung dengan mikroskop dan
larutan KOH 20% : tampak spora berkelompok dan
hifa pendek.
Spora berkelompok merupakan tanda kolonisasi,
sedangkan hifa menunjukkan adanya infeksi.
Kultur : tidak diperlukan
: Nonmedikamentosa:
Hindari suasana lembab, panas, dan keringat berlebih.
Medikamentosa:
1. Topikal
Obat pilihan : Sampo selenium sulfida 2,5% atau
sampo zinc pyrithione dioleskan di seluruh daerah
yang terinfeksi/ seluruh badan, 7-10 menit sebelum
mandi, sekali/hari atau 3-4 kali sepekan. Khusus
untuk daerah wajah dan genital digunakan vehikulum
solutio atau golongan azol topikal (krim mikonazol 2x /
hari).
Alternatif : sampo ketokonazole 2 % dioleskan pada
daerah yang terinfeksi/ seluruh badan, 5 menit
sebelum mandi, selama 3 hari berturut-turut, atau
terbinafin 1% dioleskan pada daerah yang terinfeksi,
2x/hari selama 7 hari

Penatalaksanaan

PE
R

III

DO

Diagnosis banding

: Penyakit infeksi oportunistik kulit epidermomikosis,


disebabkan oleh jamur Malassezia sp. (Pitryrosporum
orbiculare / P.ovale) yang ditandai dengan makula
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dan kadang
eritematosa.
:
: Penyakit ditemukan pada semua usia, terutama pada
usia 20 40 tahun, lesi terutama pada daerah
seboroik; tidak menular, serta ada kecenderungan
genetik
Keluhan umumnya tidak ada, kadang timbul rasa gatal
terutama bila berkeringat.
Status dermatologi :
Predileksi lesi terutama di daerah seboroik, yaitu
tubuh bagian atas, leher, wajah dan lengan atas;
berupa bercak hipopigmentasi, eritema hingga
kecoklatan, konfluen dengan skuama halus.

78

SK
I

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 78

2. Untuk lesi luas atau jika sulit disembuhkan dapat

Kepustakaan

Bagan Alur

: 1. Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S,


Ervianty E, editor. Dalam Dermatomikosis Superfisialis edisi
ke 2. Jakarta : BP FKUI, 2013; 24-34
2. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc
Graw-Hill, 2012;2307
3. Lange DS, et all/ Ketokonazol 2 % shampoo in the
treatment of tinea versicolor: A multicentre randomized,
double blind, placebo controlled trial. J A A D,1998; 39 ( 6 ):
944-950

DO

IV

SK
I

digunakan ketokonazol oral 200 mg/hari selama 10


hari.
Alternatif: itrakonazol 200-400 mg/hari selama 7 hari
dan flukonazol 400mg single dose
Obat dihentikan bila pemeriksaan klinis, lampu Wood,
dan pemeriksaan mikologis langsung berturut-turut
selang sepekan telah negatif.
3. Pada kasus kronik berulang terapi pemeliharaan
dengan topikal tiap 1-2 pekan atau sistemik ketokonazol
2X200 mg/hari sekali sebulan.

Pasien dengan gambaran


klinis dan gejala
suspek pitiriasis versikolor

Tidak

PE
R

Diagnosis banding
lainnya

Ya

Pitiriasis versikolor

Nonmedikamentosa

Edukasi pasien
Medikamentosa

Topikal

Oral (mempertimbangkan
lesi luas dan berat,
rekuren, rekalsitran)

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 79

Dermatologi Infeksi

79

B.14. SKABIES (B86)


Definisi

: Penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan


sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei var. hominis dan
produknya.
Manifestasi klinis skabies meliputi :
Lesi pada tempat infestasi
Manifestasi kutan hipersensitif terhadap kutu
Lesi sekunder olek karena garukan
Lesi sekunder oleh karena infeksi
Lesi varian : skabies pada bayi, skabies pada orang
bersih, skabies incognito, skabies nodularis, skabies
yang ditularkan hewan, skabies dengan HIV/AIDS,
skabies Norwegia (skabies berkrusta)

II

Kriteria diagnostik
Klinis

:
: Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok,
Keadaan umum pasien baik

SK
I

PE
R

DO

Diagnosis perkiraan (presumtif)


apabila ditemukan trias:
1. Lesi kulit pada daerah predileksi.
Lesi kulit: terowongan (kunikulus) berbentuk garis
lurus atau berkelok, warna putih atau abu-abu
dengan ujung papul atau vesikel. Apabila terjadi
infeksi sekunder timbul pustul atau nodul.
Daerah predileksi pada tempat dengan stratum
korneum tipis, yaitu: sela jari tangan, pergelangan
tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak,
areola mamae, umbilikus, bokong, genitalia
eksterna, dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat
mengenai telapak tangan dan telapak kaki.
2. Gatal terutama pada malam hari (pruritus nocturnal).
3. Terdapat riwayat sakit serupa dalam satu
rumah/kontak.

80

Diagnosis pasti
Apabila ditemukan: tungau, larva, telur atau kotorannya
melalui pemeriksaan penunjang (mikroskopis).
Diagnosis banding : Prurigo
Pedikulosis korporis
Dermatitis atopik
Papular urtikaria
Insect bite

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 80

Pemeriksaan
penunjang

: Beberapa cara untuk menemukan terowongan:


Kaca pembesar
Tinta cina
Uji tetrasiklin
Epiluminescence microscopy (dermatoskopi).

SK
I

Beberapa cara untuk menemukan tungau:


Kerokan diambil dari beberapa lesi (papul baru, tidak
eksoriasi) pada tempat predileksi, kemudian
diletakkan di atas gelas obyek, ditetesi KOH/NaCl/
minyak mineral, ditutup dengan kaca penutup, lalu
diperiksa di bawah mikroskop.
Membuat biopsi irisan kulit
Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa :
Penyuluhan higiene perorangan dan lingkungan
Pengobatan secara tepat dan benar, serta seluruh
orang yang tinggal serumah harus serempak
mendapat pengobatan.
Medikamentosa :
1. Topikal:
Krim permetrin 5% dioleskan pada kulit dan
dibiarkan selama 8 jam. Dapat diulang setelah
satu pekan.

DO

III

Salap sulfur 5-10%, dioleskan 3 malam berturutturut.


Krim krotamiton 10% dioleskan selama 8 jam
pada hari ke 1,2,3, dan 8
Emulsi benzilbenzoat (10%), dioleskan selama
24 jam penuh
Gama benzen heksaklorida (gameksan) 1%
dalam krim atau losio, cukup sekali pemakaian,
dapat diulang bila belum sembuh.
2. Sistemik :
Antihistamin sedative (oral) untuk mengurangi
gatal.
Bila infeksi sekunder dapat ditambah antibiotik
sistemik.
Ivermektin (oral) 0,2 mg/kg dosis tunggal, 2-3
dosis setiap 8 10 hari. Tidak boleh pada anakanak dengan berat kurang dari 15 kg, wanita
hamil dan menyusui

PE
R

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 81

Dermatologi Infeksi

81

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest


BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks
Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York :
Mc Graw-Hill, 2012;2569
2. Shimose L, Munoz-Price LS. Diagnosis, prevention, and
treatment of scabies. Curr Infect Dis Rep. 2013;15: 42631.
3. FitzGerald D, Grainger RJ, Reid A. Interventions for
preventing the spread of infestation in close contacts of
people with scabies. Cochrane Database Syst Rev. 2014.
doi: 10.1002/14651858.CD009943.pub2.

Kepustakaan

Bagan Alur

SK
I

IV

Pasien dengan gatal dan


lesi skabies

DIAGNOSIS
Apakah gejala klinis dan hasil
laboratorium menyokong
skabies?

Tidak

DO

Diagnosis
banding

Ya

EVALUASI
Apakah pasien menunjukkan
gejala skabies berkrusta?

Ya

Terapi sesuai
skabis berkrusta

Tidak

PE
R

Terapi untuk pasien dan semua kontak


risiko tinggi
Edukasi pasien
Farmakoterapi
Lini pertama (skabisid topikal):
o Permetrin
Lini kedua (skabisid topikal):
o Benzil benzoat
o Crotamiton
o Sulfur
Terapi simtomatik:
o Antihistamin oral
o Kortikosteroid topikal
Infeksi bakterial sekunder:
o Terapi dengan antibiotik yang
sesuai

82

Dermatologi Infeksi

Follow-up
lihat algoritme
follow up

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 82

SK
I

Terapi skabies
berkrusta?

DO

C. Edukasi pasien
D. Farmakoterapi
Ivermectin (oral)
Ditambah
Skabisid (topikal)
Terapi hiperkeratosis:
Obat keratolitik (misalnya: asam salisilat)
Terapi simptomatik
o Antihistamin oral
o Kortikosteroid topikal
Infeksi bakterial sekunder:
o Terapi dengan antibiotik yang sesuai

Follow up
Pemeriksaan ulang pasien,
1-2 pekan setelah terapi awal

Tidak

Evaluasi
Apakah terjadi perbaikan
terhadap rasa gatal & lesi kulit
atau lewat mikroskopis?

PE
R

Terapi untuk
skabies non-krusta

Ulang terapi

Ya

Tidak memerlukan
terapi lanjut

Dermatologi Infeksi

83

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 83

B.15.B.15.
STAPHYLOCOCCAL
STAPHYLOCOCCAL
SCALDED-SKIN
SCALDED-SKIN
(SSSS)
(SSSS)
/ SINDROM
/ SINDROM
KULIT
KULIT
LEPUH
LEPUH
STAFILOKOKAL
STAFILOKOKAL
I Definisi
Definisi

: SSSS
merupakan
penyakit
infeksi
yangyang
: SSSS
merupakan
penyakit
infeksi
mengancam
nyawa,
disebabkan
oleh oleh
toksintoksin
mengancam
nyawa,
disebabkan
eksfoliatif
oleh oleh
bakteri
Staphylococcus
aureus
eksfoliatif
bakteri
Staphylococcus
aureus
padapada
lapisan
kulit. kulit.
lapisan

II

diagnostik
II Kriteria
Kriteria
diagnostik
Klinis
Klinis

:
:
: Gejala
: Gejala
awal awal
dapatdapat
berupa
berupa
demam
demam
dengan
dengan
ruamruam
berwarna
berwarnamerah-oranye,
merah-oranye,pucat,
pucat,makula
makula
eksantema,
terbatas
di kepala
dan menyebar
ke ke
eksantema,
terbatas
di kepala
dan menyebar
bagian
tubuhtubuh
lain dalam
beberapa
jam. jam.
Gejala
ini ini
bagian
lain dalam
beberapa
Gejala
disertai
dengan
rhinorrhea
purulen,
konjungtivitis,
disertai
dengan
rhinorrhea
purulen,
konjungtivitis,
atau atau
otitis otitis
media.
Tanda
Nikolsky
positif.
media.
Tanda
Nikolsky
positif.
Dalam
waktuwaktu
24-4824-48
jam, jam,
makula
eksantema
Dalam
makula
eksantema
secara
bertahap
berubah
menjadi
lepuh,
secara
secara
bertahap
berubah
menjadi
lepuh,
secara
khusus
berbentuk
bullae
besarbesar
lembut
yangyang
khusus
berbentuk
bullae
lembut
merupakan
lapisan
epidermis
yangyang
berkerut
dan dan
merupakan
lapisan
epidermis
berkerut
tampak
seperti
kertas
tisu. tisu.
tampak
seperti
kertas
Setelah
24 24
jam, jam,
bullae
tersebut
pecah
Setelah
bullae
tersebut
pecah
meninggalkan
krusta
berkilat,
lembab,
dan dan
meninggalkan
krusta
berkilat,
lembab,
memiliki
permukaan
berwarna
merah.
PadaPada
tahaptahap
memiliki
permukaan
berwarna
merah.
ini pasien
akanakan
iritabel,
sakit,sakit,
demam
dengan
sad sad
ini pasien
iritabel,
demam
dengan
man man
facies,
krusta
perioral,
fisurafisura
bibir bibir
dan edema
facies,
krusta
perioral,
dan edema
wajahwajah
ringan.
ringan.

Nekrolisis
epidermal
epidermal
toksiktoksik
(NET)
(NET)
Diagnosis
banding
Diagnosis
banding : : Nekrolisis

Penyakit
Penyakit
Kawasaki
Kawasaki

Penyakit
Penyakit
Leiner
Leiner
: Bila
: diperlukan:
Bila diperlukan:
Pemeriksaan
Pemeriksaan
Pemeriksaan
Pemeriksaan
sederhana
sederhana
dengan
dengan
pewarnaan
pewarnaan
penunjang
penunjang
GramGram
Kultur
Kultur
dan resistensi
dan resistensi
spesimen
spesimen
lesi lesi
resistensi
diduga
Kultur
Kultur
dan dan
resistensi
darahdarah
bila bila
diduga
bakteremia
bakteremia

PE
R

DO

SK
I

III

IIIPenatalaksanaan
Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa:
: Nonmedikamentosa:
Medikamentosa:
Medikamentosa:
Prinsip:
eradikasi
S.aureus.
Pasien
biasanya
harusharus
Prinsip:
eradikasi
S.aureus.
Pasien
biasanya
dirawat
inap inap
dan mendapatkan
antibiotik
sistemik
dirawat
dan mendapatkan
antibiotik
sistemik
dan terapi
suportif
lainnya
yangyang
diperlukan.
dan terapi
suportif
lainnya
diperlukan.
1. Antibiotik
antistafilokokal
IV : IV :
1. Antibiotik
antistafilokokal
Lini
:
pertama
Lini pertama
:
a. Metisilin
25mg/kgBB
tiap tiap
6 jam
jika jika
a. Metisilin
25mg/kgBB
6 jam
<40kg
atau atau
1g/kgBB
tiap 6
jam
<40kg
1g/kgBB
tiap
6 jika
jam jika
>50kg
>50kg
b. Flukloksasilin
6,25-12,5mg/kgBB
tiap tiap
b. Flukloksasilin
6,25-12,5mg/kgBB

84

Dermatologi Infeksi

D e r Dmeartm
o al ot go il oI gn if eI kn sf ei k| 84
s i | 84

SK
I

6 jam jika <40kg atau 250-500mg tiap


6 jam jika > 50kg
Lini kedua : makrolid (eritromisin 1-4g/hari
terbagi
4
dosis
atau
klaritromisin
7,5mg/kgBB tiap 12 jam)
2. Terapi parenteral dapat diganti dengan terapi
oral antibiotik beta-laktamase selama 1 pekan
(dicloxacillin, cloxacillin, cephalexin)

Apabila terdapat/dicurigai ada methycillin resistent


Staphylococcus aureus (MRSA) pada infeksi berat:
vankomisin 12 gram/hari
dalam dosis terbagi,
intravena, selama 7 hari
Kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan
hasil kultur dan resistensi

Alur

: 1. Roberts S, Chambers S. Diagnosis and


management of Staphylococcus aureus infections
of the skin and soft tissue. Int Med J 2005; 35: S97105
2. Braunstein I, Wanat KA, Abuabara K, et al.
Antibiotic sensitivity and resistance patterns in
pediatric staphylococcal scalded skin syndrome.
Pediatr Dermatol 2014; 31: 305-8.
3. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam:
Fitzpatricks Dematology in general medicine. Edisi
ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2148-2152
4. Ronni Wolf, Batya B. Davidovici, Jennifer L. Parish,
Lawrence
Charles
Parish,
editor.
Dalam:
Emergency Dermatology. China : Everbest,
2010;109-114

DO

Kepustakaan

PE
R

IV

Pasien dengan gambaran


klinis dan gejala
suspek SSSS

Tidak

Diagnosis banding
lainnya

Ya
SSSS

Medikamentosa

Rawat Inap

Antibiotik IV
antistafilokokal / makrolid

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 85

Dermatologi Infeksi

85

TOXIC
SHOCK
SYNDROME
/ SINDROM
SYOK
TOKSIK
(A48.3)
B.16.B.16.
TOXIC
SHOCK
SYNDROME
(TSS)(TSS)
/ SINDROM
SYOK
TOKSIK
(A48.3)
Definisi
I Definisi

: TSS
merupakan
respons
inflamasi
terhadap
: TSS
merupakan
respons
inflamasi
terhadap
superantigen
Staphylococcus
superantigen
dari dari
Staphylococcus
sp. sp.
atau atau
Streptococcus
sp, yang
secara
ditandai
Streptococcus
sp, yang
secara
klinisklinis
ditandai
oleh oleh
demam,
hipotensi
keterlibatan
demam,
ruam,ruam,
hipotensi
dan dan
keterlibatan
multiorgan
menggambarkan
spektrum
multiorgan
yang yang
menggambarkan
spektrum
berat.berat.

II

Kriteria
diagnostik
diagnostik
II Kriteria

: Sindrom
stafilokokal
: Sindrom
syok syok
toksiktoksik
stafilokokal
Gejala
berupa
demam,
Gejala
awal awal
onsetonset
akut akut
berupa
demam,
nyeri nyeri
tenggorokan,
dan mialgia.
Secara
ditemukan
tenggorokan,
dan mialgia.
Secara
klinisklinis
ditemukan
makula
eritematosa
deskuamasi
makula
eritematosa
diikutidiikuti
deskuamasi
dalamdalam
1-2 1-2
pekan.
Erupsi
dimulai
dari batang
tubuh,
menyebar
pekan.
Erupsi
dimulai
dari batang
tubuh,
menyebar
ke ekstremitas
hingga
ke telapak
tangan
dan kaki.
ke ekstremitas
hingga
ke telapak
tangan
dan kaki.
selulitis,
apabila
DapatDapat
terjaditerjadi
selulitis,
dan dan
apabila
terjaditerjadi
invasiinvasi
streptokokalke keperedaran
peredarandarahdarahdapatdapat
streptokokal
menimbulkan
fasciitis
necrotizing
dan miositis.
menimbulkan
fasciitis
necrotizing
dan miositis.
Kelainan
ini dapat
disertai
muntah,
Kelainan
ini dapat
disertai
diarediare
dan dan
muntah,
hipotensi,
pingsan,
bahkan
hipotensi,
pingsan,
atau atau
bahkan
syok.syok.
PadaPada
pemeriksaan
ditemukan
konjungtiva
pemeriksaan
klinisklinis
dapatdapat
ditemukan
konjungtiva
hiperemis,
inflamasi
faring,
dan strawberry
tongue.
hiperemis,
inflamasi
faring,
dan strawberry
tongue.

Klinis
Klinis

sepsis
Diagnosis
banding : : SyokSyok
sepsis
Diagnosis
banding
Penyakit
Penyakit
Kawasaki

Kawasaki
Sindrom
Sindrom
eksfoliatif
stafilokokal

eksfoliatif
stafilokokal
Sindrom
Sindrom
Stevens-Johnson

Stevens-Johnson
Leptospirosis
Leptospirosis

SyokSyok
hemoragik

hemoragik
viral viral
Campak
Campak

Rocky
Rocky
Mountain
spotted
Mountain
spotted
feverfever

PE
R

DO

III

Pemeriksaan
Pemeriksaan
penunjang
penunjang

Penatalaksanaan
IIIPenatalaksanaan

86

SK
I

: diperlukan:
Bila diperlukan:
: Bila
Pemeriksaan
sederhana
dengan
pewarnaan
Pemeriksaan
sederhana
dengan
pewarnaan
GramGram
Kultur
dan resistensi
spesimen
Kultur
dan resistensi
spesimen
lesi lesi

: Nonmedikamentosa:
: Nonmedikamentosa:
Medikamentosa:
Medikamentosa:
Prinsip:
eradikasi
S.aureus.
Pasien
dirawat
Prinsip:
eradikasi
S.aureus.
Pasien
harusharus
dirawat
inapmendapatkan
dan mendapatkan
antibiotik
sistemik
dan terapi
inap dan
antibiotik
sistemik
dan terapi
suportif
diperlukan.
suportif
yang yang
diperlukan.
Antibiotik
disarankan
adalah
vankomisin
Antibiotik
yang yang
disarankan
adalah
vankomisin
15- 1520mg/kgBB
8 jam
klindamisin
20mg/kgBB
setiapsetiap
8 jam
dan dan
klindamisin
600- 600900mg
900mg
setiapsetiap
8 jam8 jam

Dermatologi Infeksi

s i | 86
DerD
m ea rt m
o laot go il oI gn if eI kn sf ie |k86

Kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan


hasil kultur dan resistensi
Kepustakaan

Alur

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI,


Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam:
Fitzpatricks Dematology in general medicine. Edisi
ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2154-2156
2. Ronni Wolf, Batya B. Davidovici, Jennifer L. Parish,
Lawrence Charles Parish, editor. Dalam: Emergency
Dermatology. China : Everbest, 2010;98-107
3. Kulhankova K, King J, Salgado-Pabn W.
Staphylococcal toxic shock syndrome: Superantigenmediated enhancement of endotoxin shock and
adaptive immune suppression. Immunol Res. 2014
May 11. [Epub ahead of print]

SK
I

IV

DO

Pasien dengan gambaran


klinis dan gejala
suspek TSS

Tidak

Diagnosis banding
lainnya

PE
R

Ya
TSS

Medikamentosa

Rawat Inap

Antibiotik vankomisin +
klindamisin

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 87

Dermatologi Infeksi

87

B.17. TUBERKULOSIS KUTIS (A18.4)

Kriteria diagnostik
Klinis

: Infeksi
pada
kulit
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis (jenis human) atau
Mycobacterium atipik
:
: Gambaran klinis yang paling sering terjadi:
Skrofuloderma
Merupakan infeksi M. tuberculosis pada kulit akibat
penjalaran langsung organ di bawah kulit yang telah
terkena tuberkulosis, tersering berasal dari KGB,
tulang atau sendi.
Predileksi adalah tempat yang banyak kelenjar
getah bening: leher, ketiak, paling jarang lipat
paha, kadang ketiganya diserang sekaligus.
Mulai sebagai limfadenitis, mula-mula beberapa
kelenjar,
kemudian
makin
banyak
dan
berkonfluensi.
Terdapat periadenitis, menyebabkan perlekatan
dengan jaringan sekitarnya
Kelenjar mengalami perlunakan tidak serentak
sehingga konsistensi bermacam-macam: keras,
kenyal, lunak (abses dingin).
Abses akan memecah membentuk fistel yang
kemudian menjadi ulkus khas: bentuk memanjang
dan tidak teratur, sekitarnya livid, dinding
bergaung, jaringan granulasi tertutup pus
seropurulen atau kaseosa yang mengandung M.
tuberculosis.
Ulkus
dapat
sembuh
spontan
menjadi
sikatriks/parut memanjang dan tidak teratur (cord
like cicatrices), dapat ditemukan jembatan kulit
(skin bridge) di atas sikatrik.

DO

II

Definisi

SK
I

PE
R

Tuberkulosis kutis verukosa


Merupakan kelainan reinfeksi M. tuberculosis, terjadi
inokulasi langsung ke kulit.
Tempat predileksi: tungkai bawah dan kaki,
bokong, tempat yang sering terkena trauma.
Lesi biasanya berbentuk bulan sabit akibat
penjalaran serpiginosa.
Terdiri atas wart like papul / plak dengan halo
violaseous berukuran lentikular di atas kulit
eritematosa. Pada bagian yang cekung terdapat
sikatriks.
Lupus vulgaris
Merupakan infeksi pada kulit yang disebabkan oleh
M. tuberculosis yang disebarkan secara hematogen
atau limfogen dari fokus tuberkulosis ekstrakutan

88

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 88

SK
I

(endogen maupun eksogen).


Tempat predileksi: muka, badan, ekstremitas,
bokong
Kelompok papul / nodus merah yang berubah
warna menjadi kuning pada penekanan (apple
jelly colour)
Bila nodus berkonfluensi terbentuk plak, bersifat
destruktif, sering terjadi ulkus
Pada involusi terjadi sikatriks

PE
R

DO

Inokulasi primer (tuberculosis chancre)


Merupakan inokulasi langsung M. tuberculosis pada
kulit.
Predileksi wajah, ekstremitas, daerah yang mudah
terkena trauma
Dapat berupa papul, nodus, pustul, atau ulkus
indolen, indurasi positif, dan dinding bergaung.
Tuberkulosis miliar kutis
Merupakan infeksi M. tuberculosis pada kulit dengan
rute hematogen dari fokus di badan.
Fokus infeksi pada paru atau selaput otak.
Pada individu imunosupresif.
Lesi diseminata seluruh tubuh berupa papul,
vesikel, pustul hemoragik atau ulkus.
Prognosis buruk.
Tuberkulosis kutis orifisialis
Merupakan infeksi M. tuberculosis yang terjadi
secara autoinokulasi pada periorifisial dan membrana
mukosa.
Terjadi pada pasien dengan tuberkulosis organ
dalam.
Predilkesi sekitar mulut, orifisium uretra
eksternum, perianal.
Lesi berupa papulonodular yang membentuk ulkus
hemoragik / purulen, dinding menggaung, dolen.
Prognosis buruk.

Diagnosis banding

: Lupus vulgaris
Morbus Hansen, granumolma fasiale
Sarkoidosis
Tuberkulosis kutis verukosa
Kromomikosis
Veruka vulgaris
Blastomikosis
Skrofuloderma
Hidradenitis supurativa, limfogranuloma venereum
Tuberkulosis milier kutis
Reaksi obat papuler
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 89

Dermatologi Infeksi

89

Pemeriksaan
penunjang

SK
I

Tuberkulosis kutis orifisialis


KSS
Stomatitis aphthosa
Prinsip:
Pemeriksaan darah tepi dan LED.
Tes tuberkulin: PPD-5TU hasil positif > 10 mm.
Pemeriksaan
bakteriologik:
sediaan
apus
ditemukan basil tahan asam (hasil lebih kurang
delapan pekan).
Pemeriksaan histopatologik.
Skrofuloderma
Pengecatan Ziehl Neelsen dari pus: tampak BTA.
Kultur atau PCR untuk identifikasi M. tuberculosis.
Histopatologis bagian tengah lesi tampak masif
nekrosis dan pembentukan abses/tepi abses/
dermis terdiri atas granuloma tuberkuloid

DO

Tuberkulosis kutis verukosa


Tes tuberkulin, kultur, atau PCR untuk identifikasi M.
tuberculosis.
Histopatologis: hiperplasia pseudoepiteliomatosa,
dengan infiltrat inflamasi neutrofil dan limfosit.

PE
R

Lupus vulgaris
Diaskopi: apple jelly .
Tes tuberkulin, kultur, atau PCR untuk identifikasi M.
tuberculosis.
Histopatologis: granuloma tuberkel dengan sel
epiteloid, sel raksasa Langhans, dan infiltrat
mononuklear
Inokulasi primer (tuberculosis chancre)
Tes tuberkulin positif setelah afek primer
beberapa pekan
Kultur atau PCR untuk identifikasi M. tuberculosis
Tuberkulosis milier kutis
Tes tuberkulin umumnya negatif
Histopatologis: nekrosis jaringan dengan infiltrat
nonspesifik. Basil tuberkel banyak ditemukan
Tuberkulosis kutis orifisialis
Tes tuberkulin positif kuat
Histopatologis: bakteri tahan asam banyak
ditemukan pada tuberkel maupun dinding ulkus

III

90

Penatalaksanaan

Dermatologi Infeksi

: Medikamentosa
1. Topikal
- Pada bentuk ulkus: kompres kalium permanganas
1/5000
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 90

SK
I

2. Sistemik
Tahap intensif (dua bulan)
INH dewasa : 5 mg/kgBB/hari, oral, dosis
tunggal
Rifampisin 10 mg/kgBB/hari, oral, dosis
tunggal pada saat lambung kosong (sebelum
makan pagi)
o Anak : 10-20mg/kgBB/hari. Maksimal :
600mg/hari
Etambutol : 15-25 mg/kgBB/hari, oral, dosis
tunggal
o Anak: Maksimal 1250mg/hari
Pirazinamid: 20-30 mg/kgBB/hari, oral, dosis
terbagi
o Anak : 30-40mg/kgBB/hari. Maksimal :
2000mg/hari

DO

Tindak lanjut (empat bulan berikut)


o INH: dewasa 5 mg/kgBB/hari, anak 10
mg/kgBB/hari (maksimal 300mg/hari), oral,
dosis tunggal
o Rifampisin: 10 mg/kgBB/hari, anak 1020mg/kgBB/hari (maksimal 600mg/hari), oral,
dosis tunggal pada saat lambung kosong

Kriteria penyembuhan:
Skrofuloderma:
Fistel dan ulkus menutup
Kelenjar getah bening mengecil, berdiameter
kurang dari 1 cm, dan konsistensi keras
Sikatriks eritematosa menjadi tidak merah lagi
Laju endap darah menurun dan normal kembali

PE
R

Tuberkulosis verukosa
Tidak dijumpai lesi serpiginosa
Dijumpai sikatriks tidak eritematosa
Laju endap darah menurun dan normal kembali.

IV

Kepustakaan

: 1. Gupta KA, Tu LQ. Dermatophytosis: Diagnosis and


treatment. J Am Acad Dermatol 2006;54:1050-5.
2. Gupta KA, Cooper EA, Ryder JE, Nicol KA, Chow M,
Chaudhry MM. Optimal Management of Fungal
Infections of the Skin, Hair, and Nails. Am J Clin
Dermatol 2004; 5 (4): 225-37
3. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam:
Fitzpatricks Dematology in general medicine. Edisi
ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2225

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 91

Dermatologi Infeksi

91

V Bagan Alur

SK
I

Observasi tuberkulosis kutis

Pemeriksaan
penunjang
(biopsi kulit)

Tidak

Ya

DO

Rontgen
paru

PE
R

Negatif

92

Dermatologi Infeksi

Terapi
sesuai
TB kulit

Positif

Terapi
sesuai
TB kulit

DermatologiInfeksi |

B.18. VARISELA (B01)

II

Kriteria diagnostik
Klinis

: Infeksi akut oleh virus varisela-zoster yang menyerang kulit


dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit
polimorfi, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.
Kelainan pada kulit dan mukosa yang disebabkan oleh
infeksi primer virus varisela-zoster dengan karakateristik
demam, malese, dan vesikel yang tersebar generalisata
:
: Demam, nyeri kepala, dan lesu, sebelum timbul ruam
kulit.
Lesi berupa makula eritematosa yang dapat berubah
menjadi vesikel dewdrop on rose petal appearance
Dalam beberapa jam sampai 1-2 hari lesi membentuk
krusta dan mulai menyembuh.
Lesi biasanya mulai dari kepala atau badan berupa
makula eritematosa yang cepat berubah menjadi
vesikel.
Lesi menyebar sentrifugal (dari sentral ke perifer)
sehingga dapat ditemukan lesi baru di ekstremitas,
sedangkan di badan lesi sudah berkrusta.
Pada anak-anak, erupsi kulit terutama berbentuk
vesikular: beberapa kelompok vesikel timbul 1-2 hari
sebelum erupsi meluas.
Jumlah lesi bervariasi, mulai dari beberapa sampai
ratusan. Umumnya pada anak-anak lesi lebih sedikit,
biasanya lebih banyak pada bayi (usia < 1 tahun),
pubertas dan dewasa.
Kadang-kadang lesi dapat berbentuk bula atau
hemoragik.
Selaput lendir sering terkena, terutama mulut, dapat
juga konjungtiva palpebra, dan vulva.
Keadaan umum dan tanda-tanda vital (tekanan darah,
frekuensi nadi, suhu, dsb) dapat memberikan petunjuk
tentang berat ringannya penyakit.
Status imun pasien perlu diketahui untuk menentukan
apakah obat antivirus perlu diberikan. Untuk itu perlu
diperhatikan beberapa hal yang dapat membantu
menentukan status imun pasien, antara lain:
Keadaan imunokompromis, misalnya keganasan, infeksi
HIV/AIDS,pengobatan
dengan
imunosupresan,
misalnya kortikosteroid jangka panjang atau sitostatik,
kehamilan, bayi
berat badan rendah akan menyebabkan gejala dan
klinik lebih berat

SK
I

Definisi

PE
R

DO

Diagnosis
banding

Pemeriksaan
penunjang

: 1. Hand, food and mouth disease ; pola penyebaran lebih


akral, mukosa lebih banyak terkena, sel Tzank tidak
ditemukan.
2. Reaksi vesikular terhadap gigitan serangga: seringkali
berkelompok, pola penyebaran akral, berupa urtikaria
papular dengan titik di tengahnya.
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 93
3. Erupsi obat variseliformis. Sel Tzank tidak ditemukan sel
raksasa bertumpukan inti.
4. Lain-lain: dermatitis herpetiformis, pitiriasis likenoides et
varioliformis akut, skabies
impetigenisata,Infeksi
moluskum 93
Dermatologi
kontagiosum, impetigo
:

Jarang diperlukan pada varisela tanpa komplikasi


Pada pemeriksaan darah tepi : jumlah leukosit dapat
sedikit meningkat, normal, atau sedikit menurun

Pemeriksaan
penunjang

Penatalaksanaan

Jarang diperlukan pada varisela tanpa komplikasi


Pada pemeriksaan darah tepi : jumlah leukosit dapat
sedikit meningkat, normal, atau sedikit menurun
beberapa hari pertama.
Ensim hepatik : kadang meningkat.
Sel raksasa berinti bantak dengan pemeriksaanTzank;
biasanya positif, tetapi juga ditemukan pada infeksi HSV
Kultur virus dari cairan vesikel : seringkali positif pada 3
hari pertama, tetapi tidak dilakukan karena sulit dan
mahal.

: Nonmedikamentosa
Bila mandi, harus hati-hati agar vesikel tidak pecah
Jangan menggaruk dan dijaga agar vesikel tidak pecah,
biarkan mengering dan lepas sendiri
Istirahat pada masa aktif sampai semua lesi sudah
mencapai stadium krustasi
Rawat bila berat, bayi, usia lanjut dan dengan
komplikasi
Makanan lunak, terutama bila terdapat banyak lesi di
mulut

DO

III

SK
I

berkelompok, pola penyebaran akral, berupa urtikaria


papular dengan titik di tengahnya.
3. Erupsi obat variseliformis. Sel Tzank tidak ditemukan sel
raksasa bertumpukan inti.
4. Lain-lain: dermatitis herpetiformis, pitiriasis likenoides et
varioliformis akut, skabies impetigenisata, moluskum
kontagiosum, impetigo

PE
R

Medikamentosa:
1. Topikal
Lesi vesikular: diberi bedak agar vesikel tidak pecah,
dapat ditambahkan mentol 2% atau antipruritus lain
Vesikel sudah pecah/krusta: antiseptik
2. Sistemik:

Antivirus
Dapat diberikan pada : usia pubertas, dewasa, pasien
yang tertular orang serumah, neonatus dari ibu yang
menderita varisela 2 hari sebelum sampai 4 hari
sesudah melahirkan.
Bermanfaat terutama bila diberikan < 24 jam setelah
timbulnya erupsi kulit
Dosis :
Asiklovir
Bayi/anak : 4 x 20-40 mg/kg (maks. 800 mg/hr)
selama 5-7 hari
Dewasa : 5 x 800 mg/hari selama 5-7 hari
Valasiklovir, untuk dewasa 3 x 1 gram/hari selama 7

94

Dermatologi Infeksi

hari
D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 94
Simtomatik
Antipiretik : diberikan bila demam, hindari salisilat
karena dapat menimbulkan sindrom Reye
Antipruritus : antihistamin yang mempunyai efek sedatif,
atau sedativa
Vaksinasi
Diindikasikan kepada semua dewasa yang tidak
menunjukkan adanya imunitas terhadap varisela, kecuali
mereka memiliki kontraindikasi (alergi, imunodefisiensi
parah, kehamilan). Vaksin diberikan 2 dosis dengan

Kepustakaan

Bagan Alur

1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA,


Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology
in general medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill,
2012; 2383.
2. KSHI. Penatalaksanaan kelompok penyakit herpes di
Indonesia. Edisi revisi. Jakarta: 2002.
3. Tami Hendrikz, Philip Malouf, James E. Foy. Vaccines for
Measles, Mumps, Rubella, Varicella, and Herpes Zoster :
Immunization Guidelines for Adults. J Am Osteopath
AssocOctober 1, 2011 vol. 111 no. 10 suppl 6 S10-S12

DO

IV

SK
I

hari
Simtomatik
Antipiretik : diberikan bila demam, hindari salisilat
karena dapat menimbulkan sindrom Reye
Antipruritus : antihistamin yang mempunyai efek sedatif,
atau sedativa
Vaksinasi
Diindikasikan kepada semua dewasa yang tidak
menunjukkan adanya imunitas terhadap varisela, kecuali
mereka memiliki kontraindikasi (alergi, imunodefisiensi
parah, kehamilan). Vaksin diberikan 2 dosis dengan
jarak 4 pekan.

Gejala & pemeriksaan


klinis suspek varisela

Tidak

Ya

VARISELA

PE
R

Diagnosis
banding lainnya

Imunokompeten

Imunokompromais

Simtomatis
Antipruritus : Antihistamin
Antipiretik : Parasetamol
Farmakoterapi
Antiviral

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 95

Dermatologi Infeksi

95

VERUKA
VULGARIS
/ COMMON
WARTS
B.19.B.19.
VERUKA
VULGARIS
/ COMMON
WARTS
(B07)(B07)
Definisi
Definisi
I

: Penyakit
disebabkan
berbagai
papilomavirus
: Penyakit
disebabkan
berbagai
tipe tipe
papilomavirus
ditandai
proliferasi
epitelial
Infeksi
diawali
ditandai
proliferasi
jinak jinak
epitelial
kutan.kutan.
Infeksi
diawali
inokulasi
ke epidermis
melalui
epidermal.
inokulasi
virus virus
ke epidermis
melalui
barierbarier
epidermal.
Maserasi
kulit merupakan
predisposisi
utama.
Maserasi
kulit merupakan
faktorfaktor
predisposisi
utama.
imunokompromis,
lesi dapat
Pada Pada
kasuskasus
imunokompromis,
lesi dapat
luas luas
dan dan
rekalsitran.
rekalsitran.

II

Kriteria
diagnostik
Kriteria
diagnostik
II
Klinis
Klinis

SK
I

: Veruka
Vulgaris
: Veruka
Vulgaris
KutanKutan
DItemukan
tunggal
berkelompok,
DItemukan
lesi lesi
kulit kulit
tunggal
atau atau
berkelompok,
bersisik,
memiliki
permukaan
berupa
bersisik,
memiliki
permukaan
kasarkasar
berupa
papulpapul
atau atau
seperti
duri. muncul
Lesi muncul
secara
perlahan
nodulnodul
yang yang
seperti
duri. Lesi
secara
perlahan
bertahan
dengan
ukuran
dan dan
dapatdapat
bertahan
dengan
ukuran
kecil, kecil,
atau atau
membesar.
Lesi dapat
menyebar
ke bagian
membesar.
Lesi dapat
menyebar
ke bagian
tubuhtubuh
lain. lain.

dan klavus
Diagnosis
banding : : KalusKalus
dan klavus
Diagnosis
banding
Kista Kista
epidermal

epidermal
inklusiinklusi
Keratosis
Keratosis
arsenik

arsenik
Granuloma
Granuloma
piogenik

piogenik
Psoriasis
Psoriasis

Sifilis Sifilis
sekunder

sekunder
Karsinoma
Karsinoma
kunikulatum

kunikulatum
Milkers
Milkers
nodules
nodules

Orf Orf

PE
R

DO

Veruka
vulgaris
Mukosa
Veruka
vulgaris
Mukosa
umumnya
berwarna
Lesi Lesi
umumnya
kecil, kecil,
lunak,lunak,
berwarna
merahmerah
mudamuda
atau putih.
Biasanya
ditemukan
di gusi,
mukosa
atau putih.
Biasanya
ditemukan
di gusi,
mukosa
labial,labial,
palatum
durum.
Terkadang
lidah,lidah,
atau atau
palatum
durum.
Terkadang
dapatdapat
pula pula
muncul
di uretra
dan dapat
menyebar
ke kandung
muncul
di uretra
dan dapat
menyebar
ke kandung
kemih.
disebabkan
karena
kontak
seksual.
kemih.
DapatDapat
disebabkan
karena
kontak
seksual.

III

Pemeriksaan
Pemeriksaan
penunjang
penunjang

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
III

96

Dermatologi

Pemeriksaan
histopatologi
: : Pemeriksaan
histopatologi

: Nonmedikamentosa:
: Nonmedikamentosa:
Penularan
veruka
vulgaris
adalah
melalui
paparan
Penularan
veruka
vulgaris
adalah
melalui
paparan
langsung
lesi yang
mengandung
langsung
pada pada
lesi yang
mengandung
virus.virus.
Hindari
paparan
langsung.
Hindari
paparan
langsung.
Medikamentosa:
Medikamentosa:
Prinsip
: destruksi
sel terinfeksi,
dan rekurensi
Prinsip
terapiterapi
: destruksi
sel terinfeksi,
dan rekurensi
seringkali
terjadi,
apapun
modalitas
dipakai.
seringkali
terjadi,
apapun
modalitas
yang yang
dipakai.
Pemilihan
pengobatan
bergantung
dari lokasi,
jumlah,
Pemilihan
pengobatan
bergantung
dari lokasi,
jumlah,
dan ukuran,
dan kooperasi
dari pasien.
dan ukuran,
serta serta
umur umur
dan kooperasi
dari pasien.
pasien
anak-anak,
biasanya
diperlukan
Pada Pada
pasien
anak-anak,
biasanya
tidak tidak
diperlukan
karena
biasanya
regresi
dengan
terapi,terapi,
karena
biasanya
akan akan
regresi
dengan
sendirinya.
diperhatikan
adalah
sendirinya.
Yang Yang
harusharus
diperhatikan
adalah
virus virus
tersebut dapat menyebar ke orang lain.
D ea rt m
s i | 96
Derm
o laotgoi l oI ng fi eI knsf ie |k96
Terapi:
1. Agen kaustik seperti : asam salisilat, asam
laktik, asam triklorasetat, asam retinoat
2. Podofilin (kontraindikasi pada wanita hamil)
3. 5-fluorouracil
Infeksi
4. Bleomisin intralesi
5. Isotretinoin oral
6. Cantharidin
Tindakan :
1. Cryotherapy menggunakan nitrogen cair yang

Alur

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest

BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks


Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York
: Mc Graw-Hill, 2012;2421-2433
2. Chunjun Yang, Shengxiu Liu, Sen Yang. Treatment of
facial recalcitrant verruca vulgaris with holmium: YAG
laser: An update. Journal of Cosmetic and Laser
Therapy. 2013. 15(1).pp 39-41
3. Federica DallOglio, Valentina DAmico, Maria R.
Nasca, Giuseppe Micali. Treatment of Cutaneous
Warts. Am J Dermatol 2012 : 13(2),pp73-96

DO

Kepustakaan

Pasien dengan gambaran


klinis dan gejala
suspek veruka vulgaris

PE
R

IV

SK
I

tersebut dapat menyebar ke orang lain.


Terapi:
1. Agen kaustik seperti : asam salisilat, asam
laktik, asam triklorasetat, asam retinoat
2. Podofilin (kontraindikasi pada wanita hamil)
3. 5-fluorouracil
4. Bleomisin intralesi
5. Isotretinoin oral
6. Cantharidin
Tindakan :
1. Cryotherapy menggunakan nitrogen cair yang
dibubuhi pada ujung kapas atau tabung
semprot
2. Kuretase atau eksisi pada yang tidak respons
pada pengobatan topikal
3. Laser

Tidak

Diagnosis banding
lainnya

Ya
Veruka Vulgaris

Medikamentosa

Terapi

Bedah

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 97

Dermatologi Infeksi

97

SK
I
DO

PE
R

GENODERMATOSIS

98

Genodermatosis

C.1. AKRODERMATITIS ENTEROPATIKA (E83.2)


Definisi

: Akrodermatitis enteropatika (AE, MIM 201100): ialah


kelainan akibat defisiensi zink yang diturunkan secara
resesif autosomal. Penyebab pasti belum diketahui,
diduga karena mutasi gen SLC39A4 pada kromosom
8q24.3, yang mengkode transporter zink Zip4
menyebabkan defek absorpsi zink di usus halus.

II.

Kriteria diagnostik
Klinis

:
:

Diagnosis banding

: 1. Malabsorpsi akibat defisiensi zink didapat, biotin,


vitamin B12, asam lemak esensial
2. Kwashiorkor
3. Fibrosis kistik

Pemeriksaan
penunjang

PE
R
III.

Terjadi beberapa hari hingga pekan setelah lahir


pada bayi yang diberi susu formula, atau segera
setelah disapih.
Ditandai trias: lesi kulit akral dan periorifisial,
diare, dan alopesia
Tempat predileksi: akral jari tangan dan kaki,
perioral, periokular, anogenital
Kelainan kulit: dermatitis eksematosa, simetris,
bula dan erosi dibatasi krusta pada bagian perifer
lesi.
Keadaan umum buruk, lemah, anoreksia.
Dapat disertai gejala sistemik lainnya akibat
defisiensi zinc

DO

SK
I

I.

Penatalaksanaan

Pengukuran kadar zink plasma: <50 g/dl


(normal: 70 250 g/dl, defisiensi ringan: 40 60
g/dl)
Histopatologi: parakeratosis konfluen, spogiosis
fokal, akantosis epidermal, serta gambaran
dermatitis psoriasiformis

: Nonmedikamentosa:
Mengkonsumsi makanan berkadar zink tinggi,
(daging, ikan, unggas, telur) dan suplemen makanan
mengandung zink.
Medikamentosa:
Prinsip: suplementasi zink seumur hidup
1. Topikal:
Krim pelembab atau krim antibiotik (bila ada infeksi
sekunder)
2. Sistemik:
Anak: zink elemental 0,5-1 mg/kg 1-2 kali/hari
Dewasa: zink elemental 15-30 mg/hari
G e n o d e r m a t o s i s | 99

Genodermatosis

99

Tindak lanjut:
Untuk kelainan bawaan dipantau kadar zink plasma
setiap 6 bulan sekali secara teratur
: 1. Jen M, Yan AC. Cutaneous changes in nutriotional
disease. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8th. New York: Mc
Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 1521-3.
2. Paller AS, Mancini AJ. Inborn errors of metabolism.
Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed.
Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 548-50.
3. Ruiz-Maldonado R, Orozco-Covarrubias L. Skin
manifestastions of nutritional disorders. Dalam: Harper J,
Oranje A, Prose N, editor. Textbook of Pediatric
dermatology.Edisi ke-2. Oxford: Blackwell Science; 2006.h.
603 (Mohon gunakan referensi terbaru)
4. Corbo MD, Lam J. Zinc deficiency and its management
in the pediatric population: a literature review and
proposed etiologic classification. J Am Acad Dermatol
2013; 69: 616-25.

SK
I

Kepustakaan

PE
R

DO

IV.

100

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s |100

V.

Bagan Alur
Riwayat:

SK
I

eksematisasi akut, dermatitis erosif, diare


Gambaran klinis:

pada tepi lesi


Erosi-ekskoriasi disertai bula dan krusta
di daerah akral, perioral, periokular, anogenital, tangan
Kadar zink serum

Normal

< 50 g/dl

Akrodermatitis enteropatika

DO

Penyakit lain

Konsumsi makanan kaya zink


Bila perlu:
Konsul spesialis gizi?

Sistemik
Seng pikolinat atau seng glukonat
(dosis sesuai kadar zink serum)
Topikal:

PE
R

Krim antibiotik (infeksi sekunder)

Sembuh

Evaluasi kadar zink setiap 6 bulan

G e n o d e r m a t o s i s |101

Genodermatosis

101

C.2. INKONTINENSIA PIGMENTI (SINDROM BLOCH-SULZBERGER) (L80)

II.

Definisi

: Inkontinensia pigmenti (IP, MIM 308300) merupakan


sindrom neurokutan yang diturunkan secara dominan
terkait X dan dan bersifat letal in utero pada sebagian
besar laki-laki yang terkena dan ekspresinya bervariasi
pada wanita.
Berbagai kelainan rambut, kuku, skeletal, anomali gigi,
mata dan saraf berkaitan dengan kelainan ini. Mutasi
pada gen NEMO (nuclear factor-kappa B (NF-B)
essential modulator) yang terletak pada kromosom
Xq28 ditemukan sebagai penyebab IP. NEMO
dibutuhkan untuk aktivasi faktor transkripsi NF-B dan
oleh karenanya sangat penting pada berbagai jalur
imunologi, inflamasi dan apoptosis.

Kriteria diagnostik

:
:

Klinis

Manifestasi pada kulit secara klasik dibagi menjadi


4 stadium, namun demikian tidak seluruh stadium
muncul dan beberapa stadium dapat tumpang
tindih. Kelainan yang terjadi pada kulit terdistribusi
mengikuti garis Blaschko. Lesi kulit pada stadium
yang berbeda ditandai oleh:
Stadium 1: eritema, vesikel dan pustul
Stadium 2: papul, lesi verukosa, dan
hiperkeratosis
Stadium 3: hiperpigmentasi
Stadium
4:
hipopigmentasi,
atrofi
dan
skar/sikatriks

PE
R

DO

SK
I

I.

102

Genodermatosis

Stadium 1 biasanya terjadi dalam beberapa


minggu pertama kehidupan dan ditandai oleh
vesikel atau pustul yang timbul di atas kulit yang
eritematosa. Vesikel dapat ditemukan di manapun
pada tubuh tetapi biasanya tidak pada wajah.
Secara khas erupsi vesikobulosa tampak pada
saat atau segera setelah lahir, dan mengikuti garis
Blaschko. Vesikel/ bula menyembuh dalam
beberapa minggu dan kadang-kadang diikuti oleh
erupsi baru. Stadium 1 berakhir dalam 4 bulan,
meskipun episode erupsi vesikobulosa pernah
dilaporkan kambuh pada sebagian kasus pada
usia dewasa yang dipicu oleh demam atau infeksi.
Lesi hiperkeratotik pada stadium 2 dapat timbul
lebih awal (usia 4 minggu). Biasanya lesi tersebut
timbul pada ekstremitas bawah, saat lesi
G e n o d e r m a t o s i s |102

DO

SK
I

vesikobulosa mulai menyembuh. Pada lebih dari


80% kasus lesi hiperkeratotik menyembuh dalam 6
bulan.
Stadium 3 adalah lesi IP yang paling khas, berupa
garis hiperpigmentasi, terutama pada badan
mengikuti
garis
Blaschko.
Hiperpigmentasi
memudar dan menghilang pada akhir usia dekade
ke-2.
Stadium 4 terjadi pada sebagian kecil pasien IP,
ditandai oleh patch atau alur hipopigmentasi tak
berambut (hairless) terutama pada tungkai
bawah.
Selain hal tersebut di atas, gambaran khas IP
adalah focal absence of sweating. Pada kuku
dapat dijumpai rigi, pitting dan perubahan
menyerupai onikogrifosis. Dapat pula timbul tumor
hiperkeratotik subungual. Alopesia sikatrikal pada
vertex sering didapatkan, dan dapat ditemukan
sebagai tanda sisa (residual sign) IP pada pasien
yang lebih tua.
Manifestasi okular pada pasien IP sering
asimetrik dan didapatkan pada 25%-77% pasien,
a.l.: iskemia retina, neovaskularisasi retina
dengan perdarahan dan eksudasi, gliosis
preretina, atrofi optik dan hipoplasi foveal;
mikroftalmos, katarak, pigmentasi konjungtiva,
perubahan kornea, hipoplasia iris, uveitis, ftisis;
nistagmus, strabismus, miopia.
Kelainan neurologis meliputi kejang (sering dimulai
pada minggu-minggu awal kehidupan), paralisis
spastik, retardasi mental dan motorik, serta
mikrosefalus.
Kelainan gigi terjadi pada lebih dari 80% kasus,
berupa tidak tumbuh gigi, gigi bentuk konus
dengan tambahan Cup di gigi posterior, dan gigi
terlambat tumbuh. Kelainan pada gigi tersebut
dapat membantu menegakkan diagnosis IP.
Anomali
kardiovaskular
kadang-kadang
dilaporkan terjadi pada pasien IP, meliputi:
fibrosis endomiokardial, tetralogi Fallot asianosis
dan insufisiensi trikuspidalis, hipertensi pulmonal.

PE
R

Diagnosis banding

: Bergantung pada stadium klinis IP.


Lesi vesikular: herpes simpleks, varisela, impetigo,
kandidiasis, eritema toksikum, melanosis pustular,
akropustulosis infantil, dan miliaria rubra.
Lesi verukosa: nevus linear epidermal
Lesi hiperpigmentasi: sindrom Naegeli-FrancheschettiJadassohn.
G e n o d e r m a t o s i s |103

Genodermatosis

103

Pemeriksaan
penunjang

: Nonmedikamentosa:
Edukasi tentang penyakit dan himbauan untuk
skrining oftalmologi secara rutin sebulan sekali pada
tahun pertama kehidupan, kemudian evaluasi tiap
tahun karena adanya insidensi tinggi terjadinya
squint dan ambliopia.
Monitor neurologik yang teliti karena keterlibatan
saraf pusat sering manifes dalam mingu-minggu
awal kehidupan.
Konseling genetik
- Penjelasan pola penurunan genetik dan risiko
pada setiap kelahiran anak perempuan,
umumnya bila laki-laki terkena, berat dan fatal
- Penjelasan penyakit dan progresivitas: kelainan
tidak hanya di kulit tetapi dapat mengenai organ
lain. Kelainan kulit menjadi hipopigmentasi
pada stadium 4, kemudian dapat menghilang.
- Konseling marital

PE
R

DO

Penatalaksanaan

: Pemeriksaan histopatologik (HE) pada setiap fase:


Fase-1: spongiosis intraepidermal dan vesikel/bula
dengan eosinofil dan sel-sel diskeratotik
Fase-2: lesi hiperkeratosis dengan diskeratosis
dan eosinofil
Fase-3: pigmen inkontinensiakadang-kadang
dengan clumps besar
Fase-4: tanpa pigmen di epidermis, tidak ada
inkontinensia, tidak ada eosinofil, tidak
didapatkan glandula ekrin.
Diagnosis pasti dengan ditemukannya mutasi gen
NEMO pada kromosom Xq28.

SK
I

Medikamentosa:
Prinsip:
- Terapi lokal terhadap lesi vesikel/bula untuk
melindungi terhadap infeksi dan skar. Pada stadium
yang 2,3,4, kulit mungkin kering dan perawatan kulit
dengan pelembab sangat penting.
- Konsultasi ke dokter spesialis anak, mata, gigi, dan
saraf

G e n o d e r m a t o s i s |104

104

Genodermatosis

Kepustakaan

: 1. Berlin AL, Paller AS, Chan LS. Incontinentia pigmenti: A


review and update on the molecular basis of
pathophysiology. J Am Acad Dermatol 2002; 47: 16987.
2. Aradhya S, Nelson DL. NF-kappaB signaling and
human disease. Curr Opin Genet Dev 2001; 11: 300-6.
3. The International Incontinentia Pigmenti Consortium.
Genomic rearrangement in NEMO impairs NF-kappaB
activation and is cause of incontinentia pigmenti. Nature
2000; 405: 466-72.
4. Aradhya S, Woffendin H, Jakins T, et al. A recurrent
deletion in the ubiquitously expressed NEMO (IKKgamma) gene accounts for the vast majority of
incontinentia pigmenti mutations. Hum Mol Genet
2001; 10: 2171-9.
5. Mini S, Trpinac D, Obradovi M. Systematic review of
central nervous system anomalies in incontinentia
pigmenti. Orphanet J Rare Dis 2013. doi:
10.1186/1750-1172-8-25.

PE
R

DO

SK
I

IV.

G e n o d e r m a t o s i s |105

Genodermatosis

105

C.3. EPIDERMOLISIS BULOSA YANG DITURUNKAN (Q81.9)


: Istilah epidermolisis bulosa (EB) mengacu kepada
kelompok heterogen kelainan mekanobulosa yang
diturunkan secara genetik, khas ditandai oleh bula
pada kulit, dan kadang-kadang pada mukosa,
karena respons terhadap trauma gesekan ringan.

Definisi

SK
I

I.

PE
R

DO

Klasifikasi:
Telah dilakukan revisi klasifikasi EB yang
diturunkan, berdasarkan fenotip klinis dan genotip,
yaitu:
1. EB-Simpleks (EBS, epidermolytic EB) yang
meliputi:
EBS-WC (Weber-Cockayne; protein/gen yang
terlibat: K5, K14); OMIM 131800
EBS-K (Kbner; protein/gen yang terlibat: K5,
K14); OMIM 131900
DM (Dowling-Meara; protein/gen yang terlibat:
K5, K14); OMIM 131760
EBS-MD (with muscular dystrophy; protein/gen
yang terlibat: Plectin)
2. Junctional EB (JEB)
JEB-H (Herlitz; protein/gen yang terlibat:
laminin-5)
JEB-nH (non-Herlitz; protein/gen yang terlibat:
Laminin-5; kolagen tipe XVII)
JEB-PA (with pyloric atresia; protein/gen yang
terlibat: integrin 64)
3. Dystrophic EB, DEB)
DDEB (Dominant dystrophic EB; protein/gen
yang terlibat: kolagen tipe VII); OMIM 131750
RDEB-HS (recessive dysrophic EB; HallopeauSiemens; protein/gen yang terlibat: kolagen tipe
VII); OMIM 226600
RDEB-nHS (recessive dystrophic EB; nonHallopeau-Siemens; protein/gen yang terlibat:
kolagen tipe VII)

Cara penurunan EB yang diturunkan


Tipe
utama
EB
EBS
JEB
DEB

106

Genodermatosis

Cara transmisi
yang sering

Dominan autosomal
Resesif autosomal
Dominan autosomal
Resesif autosomal

Cara transmisi
yang jarang

Resesif autosomal
Dominan autosomal-/
Resesif autosomal
Heterozigot

G e n o d e r m a t o s i s | 106

Kriteria diagnostik
Tabel 1. Perbandingan gambaran klinis subtipe EB simpleks

Cara penurunan
Awitan (biasanya)
Distribusi kulit (predominan)

EBS, Kbner

75,1%-100%
1%-5%
10,1%-25%
10,1%-25%

75,1%-100%
10,1%-25%
50,1%-75%
50,1%-75%

75,1%-100%
10,1%-25%
25,1%-50%
75,1%-100%

<1%
<1%
Kalus fokal

1%-5%
5,1%-10%
Kalus fokal

Tidak ada
1%-5%
Sering konfluen

Tidak ada

Tidak ada

Bervariasi

Sering

Bula tersusun
herpetiformis
Sering

1%-5%
<1%

10,1%-25%
1%-5%

10,1%-25%
Frekuensi normal
1%-5%
<1%
<1%
Tidak ada
<1%

10,1%-25%
Frekuensi normal
10,1%-25%
1%-5%
1%-5%
Tidak ada
1%-5%

10,1%-25%
Frekuensi normal
10,1%-25%
1%-5%
5,1%-10%
1%-5%
5,1%-10%

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
0,6%

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
0,6%

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
1,4%

ADA
Sejak lahir

Generalisata
(jarang pada
telapak tangan dan
telapak kaki)

DO

Kelainan pada kulit (frekuensi)


Bula
Milia
Skar atrofik
Distrofi kuku atau tak ada
kuku
Jaringan granulasi
Abnormalitas kepala
Keratoderma (telapak
tangan dan telapak kaki)
Lain-lain

EBS, WeberCockayne
ADA
Bayi atau kanakkanak awal
Telapak tangan
dan telapak kaki

PE
R

Relative inducibility bulla


(pencetus)
Keterlibatan ekstrakutan
Anemia
Retardasi pertumbuhan
Kavitas oral
Abnormalitas jaringan
lunak
Hipoplasi enamel
Karies
Saluran gastrointestinal
Saluran genitourin
Okular
Pseudosindaktili
Saluran pernafasan
Risiko kumulatif pada usia 30
untk menderita:
Karsinoma sel skuamosa
Melanoma maligna
Karsinoma sel basal
Mati (semua penyebab)

Ket:ADA:dominanautosomal

EBS, DowlingMeara
ADA
Sejak lahir

SK
I

Generalisata

5,1%-10%
10,1%-25%

G e n o d e r m a t o s i s |107

Genodermatosis

107

Tabel 2. Perbandingan gambaran klinis subtipe EB junctional

75,1%-100%
5,1%-10%
50,1%-75%
75,1%-100%
50,1%-75%
10,1%-25%
Absen

JEB, non-Herlitz
RA
Sejak lahir
Generalisata

75,1%-100%
5,1%-10%
50,1%-75%
75,1%-100%
10,1%-25%
25,1%-50%
Absen

Tidak ada
Tinggi

Tidak ada
Tinggi

SK
I

JEB, Herlitz
RA
Sejak lahir
Generalisata

50,1%-75%
25,1%-50%

PE
R

DO

Cara penurunan
Awutan (biasanya)
Distribusi kulit (predominan)
Kelainan pada kulit (frekuensi)
Bula
Milia
Skar atrofik
Distrofi kuku atau tak ada kuku
Jaringan granulasi
Abnormalitas kepala
Keratoderma (telapak tangan dan
telapak kaki)
Lain-lain
Relative inducibility bulla
(munculnya bula setelah trauma)
Keterlibatan ekstrakutan
Anemia
Retardasi pertumbuhan
Kavitas oral
Abnormalitas jaringan lunak
Hipoplasia enamel
Karies
Saluran gastrointestinal
Saluran genitourin
Okular
Pseudosindaktili
Saluran pernafasan
Risiko kumulatif pada usia 30 untuk
menderita:
Karsinoma sel skuamosa
Melanoma maligna
Karsinoma sel basal
Mati (semua penyebab)

50,1%-75%
75,1%-100%
Eksesif
25,1%-50%
5,1%-10%
25,1%-50%
5,1%-10%
25,1%-50%
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
42,2%

5,1%-10%
10,1%-25%

75,1%-100%
75,1%-100%
Eksesif
10,1%-25%
5,1%-10%
25,1%-50%
Absen
10,1%-25%

Jarang
Tidak ada
Tidak ada
38,2%

Ket:RA:resesifautosomal

108

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s |108

Tabel 3. Perbandingan gambaran klinis subtipe EB distrofik


DDEB

RDEB, Hallopeau-Siemens

Cara penurunan
Awitan (biasanya)
Distribusi kulit (predominan)
Kelainan pada kulit (frekuensi)
Bula
Milia
Skar atrofik
Distrofi kuku atau tak ada
kuku
Jaringan granulasi
Abnormalitas kepala
Keratoderma (telapak
tangan dan telapak kaki)
Lain-lain
Relative inducibility bulla
(pencetus)
Keterlibatan ekstrakutan
Anemia
Retardasi pertumbuhan
Kavitas oral
Abnormalitas jaringan
lunak
Hipoplasia enamel
Karies

ADA
Sejak lahir
Generalisata

75,1%-100%

75,1%-100%
75,1%-100%

RA
Sejak lahir
Generalisata

75,1%-100%
75,1%-100%
75,1%-100%
75,1%-100%

RDEB, nonHallopeauSiemens
RA
Sejak lahir
Generalisata

75,1%-100%
75,1%-100%
75,1%-100%
75,1%-100%

Absen
10,1%-25%
Tidak ada

10,1%-25%
25,1%-50%
Tidak ada

10,1%-25%
10,1%-25%
Tidak ada

Tidak ada
Tinggi

Tidak ada
Tinggi

Tidak ada
Bervariasi

25,1%-50%
10,1%-25%

75,1%-100%

75,1%-100%
75,1%-100%

DO

10,1%-25%
1%-5%

50,1%-75%

SK
I

75,1%-100%

10,1%-25%
Frekuensi normal

10,1%-25%
Frekuensi normal

10,1%-25%
1%-5%
Absen
Absen
Absen

75,1%-100%
1%-5%
50,1%-75%
75,1%-100%
1%-5%

Tidak ada
0,8%

39,6%
2,5% (sampai usia 12)

Karsinoma sel basal


Mati (semua penyebab)

0,9%
Tidak ada

Tidak ada
38,7%

PE
R

Saluran gastrointestinal
Saluran genitourin
Okular
Pseudosindaktili
Saluran pernafasan
Risiko kumulatif pada usia 30
untuk menderita:
Karsinoma sel skuamosa
Melanoma maligna

III.

Penatalaksanaan

25,1%-50%
Frekuensi
normal
25,1%-50%
1%-5%
10,1%-25%
25,1%-50%
1%-5%

14,3%
0,7% (sampai
usia 12)
Tidak ada
10%

: Di tingkat pelayanan dasar:


EB ringan EB simpleks
Di tingkat pelayanan lanjut:
EB berat
Nonmedikamentosa :
Cara perawatan kulit berlepuh: hindari tindakan
yang menimbulkan trauma ringan; pakaian
kasar, plester gosokan saat mandi. Sepatu
G e n o d e r m a t o s i s |109

Genodermatosis

109

SK
I

sebaiknya lembut dan longgar. Perlu kerjasama


dengan fisioterapis untuk mencegah kontraktur.
Menjaga nutrisi: makanan tinggi kalori dan tinggi
protein. Pada bentuk distrofik makanan harus
lembut atau cair. Pada bayi hindari penggunaan
bottle feeding, makanan/ susu dapat diberikan
dengan sendok lembut, serta hindari makanan
panas/ terlalu dingin.
Perawatan intensif di ruang perinatal intensive
care unit, bekerjasama dengan dokter spesialis
anak, mata, THT, gizi, dll. Perawatan di
inkubator, infus cairan dan nutrisi.
Konseling genetik:
- Penjelasan pola penurunan genetik
dan risiko pada setiap kelahiran
- Penjelasan
penyakit
dan
progresivitas
- Konseling marital

PE
R

DO

Medikamentosa:
Prinsip:
Melindungi kulit terbuka dan mencegah infeksi/
sepsis, terapi paliatif.
Pada kondisi berat harus dirawat intensif di ruang
perinatal dan ditangani oleh dokter spesialis anak,
kulit, dan fisioterapis.

110

Genodermatosis

1.Topikal:
- Antibiotik untuk bagian yang mengalami
erosi atau ekskoriasi, dirawat terbuka
sesuai perawatan luka bakar.
- Kortikosteroid pada kasus yang berat
(misalnya tipe Herlitz)
2.Sistemik:
- Kortikosteroid pada kasus yang berat dan
fatal
- Vitamin E dosis tinggi untuk tipe distrofik
(anti kolagenase): 600-2000 i/ hari
- Difenilhidantoin 2,5-5,0 mg/kgBB/hari harus
hati-hati karena jarak dosis terapeutik-dosis
letal sangat pendek.
Tindak lanjut:
1. Pantau setiap 1 bulan terhadap kelainan kulit
yang timbul
2. Konsultasikan keadaan umum, pada dokter
spesialis anak/ perinatologi untuk komplikasi
dan nutrisi.
G e n o d e r m a t o s i s |110

Kepustakaan

: 1. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith

2.

3.

5.

Bruckner AL. Epidermolysis bullosa. In: Eichenfield LF,


FriedenIJ,EsterlyNB,eds.NeonatalDermatology.2nded.
Philadelphia:SaundersElsevier;2008.p.15972.

PE
R

DO

LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology in


general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill,
2012
Paller AS, Mancini AJ. Hurwitz Clinical Pediatric
Dermatology. A Textbook of Skin Disorders of Childhood
th
and Adolescence. 4 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2011. p.30313.
Atherton DJ. Mellerio JE, Denver JE. Epidermolysis
bullosa. Dalam: Harper J, Oranje A, Prose N, editor.
Textbook of Pediatric dermatology. Edisi ke-3. Oxford:
Blackwell Science, 2006.

SK
I

IV.

G e n o d e r m a t o s i s |111

Genodermatosis

111

PE
R

DO

SK
I

Bagan Alur: Pendekatan diagnosis pasien epidermolisis bulosa yang diturunkan (genetik)

112

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s |112

C.4. TUBEROUS SCLEROSIS COMPLEX (Q85.1)


:

Tuberous sclerosis complex (TS; OMIM 191100) merupakan kelainan


yang diturunkan secara dominan autosomal dengan ekspresivitas
yang bervariasi, ditandai oleh hamartoma di berbagai organ terutama
kulit, otak, mata, jantung dan ginjal. TS diperkirakan terjadi pada 1 :
10000 populasi dan terjadi pada semua kelompok etnis. TS disebabkan
oleh mutasi pada 2 gen yang berbeda, yaitu TSC1 pada kromosom
9q34 dan TSC2 pada kromosom 16p13.

II. Kriteria diagnostik :

Klinis

Pada bayi dan anak sering didahului oleh kejang mioklonik


generalisata atau fokal. Namun demikian, tidak ada gambaran EEG
yang patognomonik pada penyakit ini.
Kelambatan tumbuh kembang, retardasi mental, autisme, dan
gangguan perilaku merupakan tanda yang paling sering ditemukan.
Terdapat korelasi antara spasme infantil atau kejang generalisata
dengan retardasi mental, maupun antara usia awitan kejang
dengan beratnya retardasi mental.
Makula hipopigmentasi berbentuk bulat atau oval, tetapi lesi yang
paling karakteristik adalah lanceolate (ash leaf-spot). Ukurannya
bervariasi mulai dari 1 cm sampai beberapa cm, dan jumlah lesi
bervariasi dari beberapa sampai lebih dari 75.
Diagnosis spesifik pada usia anak dimungkinkan apabila:
o Pemeriksaan oftalmoskopi indirek dijumpai dilatasi
pembuluh darah (kapiler) penuh atau angiografi fluoresen
ditemukan hamartoma retina, atau
o CT-scan atau MRI dengan kontras gadolinium menunjukkan
gambaran karakteristik berupa tuber, yaitu massa radioopak/kalsifikasi di korteks atau subependimal yang
menyebabkan pelebaran atau elevasi girus serebral. Bila
terjadi kalsifikasi, lesi ini tampak pada radiografi kepala
sebagai gambaran batu pada otak (brain stones).
Angiofibroma kutan (dulu disebut adenoma sebaseum) biasanya
timbul antara usia 2 dan 6 tahun, tetapi dapat ditemukan sejak lahir
bahkan sampai usia 20an tahun. Lesi ini patognomonik untuk TS,
terjadi pada 65%-90% pasien, dan terdiri atas papul 1-10 mm
dengan permukaan dome-shape, warna merah muda sampai
merah, terdistribusi simetris pada lipatan nasolabial, pipi dan dagu,
dan jarang pada dahi, kelopak mata, telinga dan kepala.
Plak fibrosis atau nodus dapat ditemukan pada dahi, pipi, dan
kepala dan dapat timbul sejak lahir. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan nevi jaringan ikat tipe kolagen tanpa pelebaran vaskular.
Shagreen patch atau peau chagrine adalah plak yang ditemukan
pada badan, permukaan tidak rata mirip kulit jeruk, kadang
berbenjol-benjol, sewarna dengan kulit.
Fibroma subungual dan periungual (tumor Knen) merupakan lesi
patognomonik dan dilaporkan pada 10%-50% pasien; biasanya
G e n o d e r m a t o s i s |113

DO

SK
I

i. Definisi

PE
R

Genodermatosis

113

Diagnosis
banding

Pemeriksaan
penunjang

1. Kejang: epilepsi
2. Hipopigmentasi: vitiligo
3. Angiofibroma: akne vulgaris, akne rosasea, trikoepitelioma,
trikilemoma, milia, xantoma, moluskum kontagiosum.
4. Kalsifikasi intrakranial: sindrom Sturge-Weber, toksoplasmosis
kongenital

Rntgen tulang kepala/CT scan (ditemukan tuber) ( Rntgen adalah


nama orang, jadi tidak bisa diubah mjd bahasa Indonesia)
USG/MRI: mencari tumor organ internal
Konsultasi dokter spesialis saraf: epilepsi
Konsultasi dokter spesialis mata: fakoma, glioma
Konsultasi dokter spesialis penyakit dalam atau anak: kelainan
sistemik lainnya

Kerjasama antar multidisiplin:


Ilmu kesehatan kulit, kesehatan anak, psikiatri, psikolog, neurologi,
mata, penyakit dalam, radiologi, bedah, bedah saraf

PE
R

IIi. Penatalaksanaan

DO

SK
I

muncul setelah pubertas. Secara klinis terdiri atas papul 5-10 mm,
firm, smooth, budlike, tumbuh dari nail bed.
Lesi kulit yang jarang ditemukan dan tidak spesifik: bercak caf-aulait, polip fibroepitelial, plak merah keunguan, diffuse skin bronzing,
dan neuroma mukosal; juga fibroma gingiva dan pit pada enamel
gigi.
Hamartoma retina patognomonik untuk TS dan dilaporkan pada 5076% pasien. Dapat dijumpai 2 tipe: (1) lesi datar abu-abu atau
kekuningan, smooth semi-transparan dengan tepi tidak tegas atau
(2) lesi multinodular yang digambarkan seperti mulberry, telur
katak, atau telur salmon.
Hamartoma renal, misalnya angiomiolipoma dan ginjal polikistik,
terjadi pada sekitar 15% pasien dan tidak pernah ditemukan pada
periode prenatal atau neonatal.

Nonmedikamentosa:
Kepada orangtua atau pengasuhnya: penjelasan perkembangan
penyakit (kelainan apa yang harus diperhatikan untuk segera
dilaporkan pada dokter) dan tentang penatalaksanaan penyakit
yang diderita.

Konseling genetik
- Penjelasan pola penurunan genetik dan risiko pada setiap
kelahiran
- Penjelasan penyakit dan progresivitas
- Konseling marital

114

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s |114

IV. Prognosis

SK
I

Medikamentosa:
Prinsip:
Umumnya tanpa terapi, kecuali bila ada tumor yang mengganggu
fungsi atau estetika.
Pencegahan kejang, terutama pada usia awal, dapat meningkatkan
perkembangan mental. Intervensi neurologis mungkin diperlukan
bila terjadi tanda peningkatan tekanan intrakranial (misalnya nyeri
kepala, muntah, gangguan penglihatan, edema papil)
Angifibroma dapat diterapi dengan dermabrasi, elektrokauter, atau
laser.
Prognosis bervariasi, bergantung pada berat penyakit. Beberapa
pasien mempunyai inteligensi normal, tanpa kejang, hidup normal.
Penyebab tersering kematian adalah komplikasi neurologis,
rabdomioma kardial, penyakit ginjal, dan tumor otak.

BAGAN ALUR:

DO

Makula hipopigmentasi bulat/oval, tetapi lesi yang


paling karakteristik adalah lanceolate (ash leaf-spot).
Ukurannya bervariasi mulai dari 1 cm sampai beberapa
cm, dan jumlah lesi bervariasi dari beberapa sampai
lebih dari 75.

PE
R

Pemeriksaan oftalmoskopi indirek dijumpai dilatasi pembuluh darah


(kapiler) penuh atau angiografi fluoresen ditemukan hamartoma
retina, atau
CT-scan atau MRI dengan kontras gadolinium menunjukkan
gambaran karakteristik berupa tuber, yaitu massa radioopak/kalsifikasi di korteks atau subependimal yang menyebabkan
pelebaran atau elevasi girus serebral.

Rntgen tulang kepala/CT-scan (ditemukan tuber)


USG/MRI: mencari tumor organ internal
Konsultasi dokter spesialis saraf: epilepsi
Konsultasi dokter spesialis mata: fakoma, glioma
Konsultasi dokter spesialis penyakit dalam atau anak: kelainan
sistemik lainnya

Tuberous sclerosis complex

G e n o d e r m a t o s i s |115

Genodermatosis

115

PE
R

1. Krueger DA, Northrup H; International Tuberous


Sclerosis Complex Consensus Group. Tuberous
Sclerosis Complex surveillance and management:
Recommendation of the 2012 International Tuberous
Sclerosis Complex Consensus Conference. Pediatr
Neurol 2013; 49: 255-65.
2. Northrup H, Krueger DA; International Tuberous
Sclerosis Complex Consensus Group. Tuberous
Sclerosis Complex
diagnostic
criteria
update:
Recommendation of the 2012 International Tuberous
Sclerosis Complex Consensus Conference. Pediatr
Neurol 2013; 49: 243-54.
3. Rovira A, Ruiz-Falc ML, Garca-Esparza E, et al.
Recommendation for the radiological diagnosis and
follow-up of neuropathological abnormalities associated
with tuberous sclerosis complex. J Neurooncol 2014
Apr 27. (Epub ahead of print)

DO

SK
I

V. Kepustakaan

G e n o d e r m a t o s i s |116
116

Genodermatosis

C.5. DISPLASIA EKTODERMAL (Q82.4)


Definisi

: Displasia ektodermal (DE) adalah kelompok kelainan


yang diturunkan, secara karakteristik ditandai oleh
defek perkembangan yang melibatkan setidaknya dua
struktur utama embrionik ektodermal: kulit, rambut,
gigi, kuku, glandula sebasea.

II.

Kriteria diagnostik

: (Bagan terlampir)

Klinis

: DISPLASIA
HIPOHIDROTIK
EKTODERMAL
(displasia ektodermal anhidrotik, sindrom ChristSiemens-Touraine; OMIM 305100)
X-LHED
Insidens:1 dalam 100.000 kelahiran
Secara khas kelainan diturunkan secara resesif
terkait-X (X-linked recessive). Pada laki-laki yang
terkena ekspresinya lengkap (full blown).
sedangkan pada wanita pembawa gen (carrier)
dapat tanpa kelainan, atau apabila terdapat
kelainan biasanya terdistribusi patchy.
Kelainan ini dapat diturunkan dari ibu pembawa
gen atau timbul pada seseorang karena mutasi de
novo. Sekitar 70% laki-laki yang terkena
mendapatkan mutasi ini dari ibu pembawa gen.
Antara 60-80% wanita pembawa gen menunjukkan
beberapa tanda klinis kelainan ini, yang paling
sering adalah hipotrikosis patchy dan hipodonsia.

DO

SK
I

I.

PE
R

Gambaran klinis
Dermatologis
Pada laki-laki yang terkena, saat lahir dapat
ditandai oleh membran kolodion atau dengan
skuama, menyerupai iktiosis kongenital.
Rambut kepala jarang, tipis, dan tumbuh lambat.
Rambut tubuh yang lain biasanya jarang atau tidak
ada.
Kemampuan untuk berkeringat terganggu secara
signifikan. Sebagian besar laki-laki yang terkena
menderita intoleransi panas yang nyata.
Pori-pori kelenjar keringat biasanya tidak dapat
dilihat pada pemeriksaan fisik dan rigi sidik jari tidak
tampak jelas.
Gangguan berkeringat (ketidakmampuan berkeringat
secara adekuat terhadap panas lingkungan)
menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Terjadinya
panas tinggi yang tak dapat dijelaskan, biasanya
menyebabkan
kecurigaan
penyakit
infeksi,
keganasan, atau penyakit autoimun sebelum
G e n o d e r m a t o s i s | 117

Genodermatosis

117

SK
I

diagnosis yang benar dapat ditegakkan. Anak-anak


yang menderita kelainan ini secara khas
menunjukkan intoleransi panas dengan episode
hiperpireksia, yang dapat menyebabkan kejang dan
kerusakan neurologis.
Kuku biasanya normal.
Keriput dan hiperpigmentasi periorbital khas dan
sering dijumpai, walaupun sering tidak diperhatikan
pada saat lahir.
Hiperplasia glandula sebaseus, terutama pada
wajah dapat muncul setiap saat dan tampak
sebagai papul-papul miliar seperti pearl (mutiara),
berwarna kecoklatan sampai putih menyerupai
milia.
Tidak adanya puncta lacrimal merupakan temuan
khas.
Wanita karier dengan displasia ektodermal
hipohidrotik terkait-X, menunjukkan gambaran kulit
normal dan abnormal mengikuti garis Blaschko.

PE
R

DO

Sistemik
oligodonsia,
atau
anodonsia
Hipodonsia,
merupakan gambaran yang dapat dijumpai pada
X-LHED pada laki-laki yang terkena.
Adanya hypoplastic gum ridges pada bayi yang
terkena dapat merupakan petunjuk awal diagnosis
penyakit.
Gigi primer dan sekunder berbentuk peg shaped
merupakan gambaran khas
Pasien menunjukkan wajah yang khas dengan
frontal bossing, depressed nasal bridge, saddle
nose, dan bibir bawah yang besar.
Manifestasi otolaringologis meliputi sekresi nasal
kental dan impaksi, sinusitis, infeksi saluran nafas
atas yang berulang dan pneumonia, produksi saliva
berkurang, suara menyerupai suara kuda, dan
frekuensi asma meningkat.
Refluks gastroesofageal dan kesulitan makan
mungkin merupakan masalah pada masa anak.
Wanita pembawa gen X-LHED dapat terkena
sama beratnya dengan pasien laki-laki atau hanya
menunjukkan sedikit tanda penyakit ini. Intoleransi
terhadap panas, bila ada, biasanya ringan.
Kelainan pada gigi dapat berupa anodonsia atau
pegshaped, dan rambut kepala tipis atau patchy.
Pemeriksaan dermatologis yang teliti terhadap kulit
wanita pembawa gen sering ditemukan keringat dari
pori-pori berkurang atau distribusi yang patchy.

118

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s |118

SK
I

Diagnosis dan diagnosis banding


Kulit berskuama saat lahir sering salah diagnosis
dengan iktiosis kongenital.
Demam berulang sering diduga infeksi
Diagnosis HED dapat cepat diketahui jika sudah
ada dugaan sebelumnya, misalnya anak laki-laki
berisiko dilahirkan dari keluarga dimana penyakit
ini sudah diketahui/ didiagnosis.
Pemeriksaan pori-pori keringat dan foto panorama
rahang dapat menuntun ke arah diagnosis dengan
cepat.
DISPLASIA EKTODERMAL HIDROTIK (Sindrom
Clouston; OMIM 129500)
Kelainan ini disebabkan oleh mutasi pada gen
connexin, GJB6 atau connexin 30 pada kromosom
13q11-q12.1.

PE
R

DO

Gambaran klinis
Rambut kepala wry, brittle, berwarna terang, dan
sering didapatkan alopesia setempat.
Sering
didapatkan
makula
hiperpigmentasi
retikular atau difus. Kulit di atas lutut, siku, jari, dan
sendi sering menebal dan hiperpigmentasi. Kuku
tampak menebal dan terjadi perubahan warna;
sering disertai infeksi paronikia persisten.
Abnormalitas pada mata meliputi strabismus,
pterigium, konjungtivitis dan katarak prematur.
Gigi biasanya tak ada kelainan tetapi sering
terdapat karies.
Kelainan ektodermal lain adalah leukoplakia oral, tuli
sensorineural, polidaktili, sindaktili, dan poromatosis
ekrin difus.
Berlawanan dengan bentuk hipohidrotik, sebagian
besar pasien mempunyai kemampuan berkeringat
normal dan kelenjar sebaseus berfungsi normal.

Diagnosis banding
Kelainan pada kuku sering didiagnosis banding
dengan pakionikia kongenita
SINDROM AEC, ANKYLOBLEPHARON FILIFORME
ADNATUM-ECTODERMAL
DYSPLASIA-CLEFT
PALATE SYNDROME (HAY-WELLS SYNDROME;
OMIM 106260)
Kelainan ini disebabkan oleh mutasi pada tumor
suppressor gene p63, gen yang juga berperan pada
patogenesis
sindrom
EEC,
limb-mammary
syndrome,
acro-dermato-ungual-lacrimal-tooth
(ADULT) syndrome.
G e n o d e r m a t o s i s |119

Genodermatosis

119

Sering didapatkan dermatitis erosif kronik


dengan granulasi abnormal pada kulit kepala.
Pada kulit kepala juga sering terjadi infeksi
bakterial rekuren.
Pada kulit kepala selalu terdapat alopesia
patchy, dan rambut kepala yang ada sering wiry,
kasar dan berwarna terang. Rambut tubuh jarang
bahkan tidak ada.
Biasa dijumpai atresia atau obstruksi duktus
lakrimalis.
Kuku dapat normal, atau hiperkonfeks dan
menebal, distrofi parsial atau bahkan tidak ada
kuku. Seluruh perubahan dapat ditemukan
pada pasien yang sama.
Kemampuan berkeringat biasanya normal,
meskipun beberapa pasien merasakan intoleransi
panas secara subyektif.

DO

SK
I

Mutasi yang menyebabkan EEC dan AEC terletak


pada kelompok (cluster) yang berbeda pada gen
tsb.
Sindrom AEC merupakan kelainan dominan
autosomal dengan penetransi lengkap dan
ekspresi bervariasi.
Gambaran klinis
Dermatologi
Pada 90% bayi yang terkena, saat lahir
didapatkan kulit mengelupas dan erosi superfisial,
menyerupai membran kolodion. Skuama akan
mengelupas dalam beberapa minggu dan kulit
di bawahnya kering dan tipis.

PE
R

Sistemik
Celah palatum dengan atau tanpa celah bibir
terjadi pada 80% pasien yang dilaporkan.
Mungkin didapati hipodonsia dengan gigi yang
tidak tumbuh atau salah tumbuh.
Sering terjadi otitis media berulang dan
kehilangan pendengaran konduktf sekunder,
yang mungkin merupakan konsekuensi celah
palatum.

SINDROM EEC, ECTRODACTYLY-ECTODERMAL


DYSPLASIA CLEFT LIP/PALATE SYNDROME
(EEC, OMIM 129900)
Sindrom ini diturunkan secara dominan autosomal
yang melibatkan jaringan ektodermal dan
mesodermal.
G e n o d e r m a t o s i s |120

120

Genodermatosis

SK
I

Gambaran klinis
Sindrom EEC ditandai oleh ektrodaktili (split hand
or foot deformity, lobster-claw deformity) yang
merupakan gambaran utama. Selain itu didapatkan
juga celah bibir/palatum, hipotrikosis, hipodonsia,
distrofi kuku, anomali duktus lakrimalis, dan kadang
hipohidrosis.
Pada kasus tanpa celah bibir/palatum, morfologi
wajah khas dengan hipoplasia maksilaris, filtrum
pendek, dan broad nasal tip.
Kelainan gigi meliputi mikrodonsia dan oligodonsia
dengan
hilangnya
gigi
sekunder
yang
awal/prematur. Sering terjadi karies berat.
Dapat terjadi hipohidrosis, tetapi relatif ringan.
Kuku dapat hipoplastik dan distrofik
Retardasi mental terjadi pada 5-10% kasus.
Kelainan genitourin sering ditemukan, meliputi
hipospadia glandular, uretheric reflux, dan
hidronefrosis.

Penatalaksanaan umum

: Nonmedikamentosa:
Menjaga keseimbangan suhu tubuh (termoregulasi)
dengan senantiasa berada di ruang sejuk (ber-AC)
atau lembab, mandi air dingin, pakaian tipis, banyak
minum, menghindari udara panas, dan mengurangi
aktivitas yang menyebabkan berkeringat.
Konseling genetik
- Penjelasan pola penurunan genetik dan
risiko pada setiap kelahiran anak
perempuan umumnya, dan bila laki-laki
terkena dapat berakibat berat dan fatal
- Penjelasan penyakit dan progresivitas:
kelainan tidak hanya di kulit tetapi dapat
mengenai organ lainnya
Konseling pra-marital

PE
R

III.

DO

Diagnosis banding
Odontotrichomelic syndrome (OMIM 273400)
Aplasia kutis kongenital dengan defek ekstremitas
(sindrom Adams-Oliver; OMIM 100300)
Ektrodaktili dengan celah palatum tanpa displasia
ektodermal (OMIM 129830)

Medikamentosa:
Penatalaksanaan
penyakit
dikerjakan
secara
multidisiplin:
1. Topikal:
Pelembab (misalnya urea 10%) untuk kulit
kering
G e n o d e r m a t o s i s |121

Genodermatosis

121

SK
I

Asam salisilat 3-5% dalam salap/emolien untuk


hiperkeratosis palmoplantar
Perbaikan/restorasi gigi, konsultasi dokter gigi
Mata: air mata artifisial
Tenggorokan kering: saliva artifisial
Paru: hindari rokok, lingkungan berdebu.
2. Sistemik:
Antibiotik bila terjadi infeksi pada kuku atau infeksi
lainnya. Konsultasi dengan dokter spesialis lain
sesuai dengan organ yang terkena.
Tindak lanjut:
Pantau setiap satu bulan sekali
Konsultasikan ke dokter spesialis sesuai kebutuhan
Kepustakaan

: 1. Bree AF, Agim N, Sybert VP. Ectodermal Dysplasias.


Dalam: Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. editor. Mc Grew
Hill: New York, 2012 p. 1691-702.
2. Bergendal B. Orodental manifestations in ectodermal
dysplasia: A review. Am J Med Genet A. 2014 doi:
10.1002/ajmg.a.36571. [Epub ahead of print]
3. Itin PH. Etiology and pathogenesia of ectodermal
dysplasias: Am J Med Genet A. 2014. doi:
10.1002/ajmg.a.36550. [Epub ahead of print]

DO

IV.

PE
R

122

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s |122

C.6. IKTIOSIS (Q80.9)


Definisi

: Istilah iktiosis digunakan untuk kelompok kelainan


kulit yang mempunyai gambaran utama berupa
skuama generalisata. Kelompok iktiosis secara klinis
maupun etiologi sangat heterogen sehingga terdapat
kesulitan dalam klasifikasinya.
Pada PPM ini klasifikasi didasarkan pada iktiosis
yang tidak disertai sindrom, iktiosis yang disertai
sindrom, kelainan yang berkaitan dengan iktiosis, dan
iktiosis didapat (Tabel.1)
Secara prinsip, iktiosis dapat diturunkan atau didapat,
timbul sejak lahir atau setelahnya, dapat terbatas
hanya pada kulit atau merupakan bagian dari
kelainan multisistem. Keparahan penyakit dapat
bervariasi, mulai dari kekeringan kulit misalnya pada
iktiosis vulgaris sampai yang bersifat fatal misalnya
iktiosis harlequin.

SK
I

I.

PE
R

DO

Iktiosis vulgaris (OMIM 146700)


Iktiosis vulgaris dominan autosomal adalah penyakit
yang cukup sering dijumpai dan relatif ringan.
Kelainan ini tidak dijumpai saat lahir tetapi biasanya
timbul dalam tahun pertama kehidupan.
Gambaran klinis
Khas skuama putih keabuan yang menutupi terutama
permukaan ekstensor ektremitas dan badan. Skuama
lebih
prominen
pada
permukaan
ekstensor
ekstremitas, tidak dijumpai pada sisi fleksor dan
daerah diaper. Skuama halus, putih sering dijumpai
pada daerah yang luas. Ekstremitas bawah sering
merupakan daerah yang paling berat terkena, skuama
melekat di tengah, dengan cracking (fisura superfisial
pada stratum korneum) pada tepinya.
Beberapa kelainan yang sering ditemukan pada
iktiosis vulgaris adalah:
Keratosis folikularis, ditemukan terutama pada
anak-anak dan remaja.
yang
Aksentuasi
palmoplantar
marking
merupakan gambaran khas dan terdapat pada
80-90% pasien.
Penatalaksanaan
Iktiosis vulgaris berespons baik terhadap salap
topikal yang mengandung urea atau asam laktat.
Hati-hati penggunaan urea pada daerah tubuh
yang luas sebelum usia 1 tahun (boleh diberikan,
tetapi harus dalam pengawasan dokter bila
daerah luas)

G e n o d e r m a t o s i s | 123

Genodermatosis

123

SK
I

Iktiosis vulgaris tidak boleh diterapi dengan salap


yang mengandung salisilat karena dapat
menyebabkan keracunan yang membahayakan
jiwa disebabkan oleh absorpsi perkutan.
Diagnosis pasti: riwayat keluarga dan pemeriksaan
tambahan, misalnya pemeriksaan histopatologi atau
biokimia untuk menyingkirkan iktiosis resesif terkaitX (X-linked recessive ichthyosis), misalnya tes
steroid sulfatase atau elektroforesis lipoprotein.

PE
R

DO

Iktiosis resesif terkait X (X-linked XRI)


XRI merupakan iktiosis tipe ke 2 terbanyak
Diagnosis prenatal defisiensi sulfatase plasenta
memungkinkan diketahuinya diagnosis sejak awal,
tetapi pemeriksaan ini belum pernah dilakukan di
Indonesia.
Saat lahir skuama halus tidak terlihat nyata; mulai
usia 2-6 bulan hiperkeratosis tebal berwarna
coklat gelap sampai kuning kecoklatan menutupi
badan, ekstremitas, dan leher. Skuama tidak
didapatkan pada wajah namun didapatkan pada
preaurikular.
Palmar dan plantar normal yang dapat
membedakan dengan iktiosis vulgaris.
Abnormalitas pada mata jarang didapatkan, tetapi
10-50% laki-laki yang terkena dan pada beberapa
wanita karier ditemukan opasitas kornea
asimtomatik.
Dari beberapa laporan kasus tidak didapatkan
ektropion, eklabium, kelainan kuku maupun
rambut.

124

Genodermatosis

Epidermolitik hiperkeratosis
(sin: Bullous congenital ichthyosiform erythroderma of Brocq, Bullous ichthyosis; OMIM 113800)
Merupakan kelainan dominan autosomal dengan
penetrans lengkap tetapi mempunyai variabilitas
klinis yang luas.
Sangat jarang, insidens sekitar 1:200000 sampai
1:300000;
Disebabkan oleh mutasi heterozgot pada gen
yang mengkode keratin 1 dan keratin 10 (KRT1,
KRT10) yang diekspresikan pada lapisan
epidermis yang berdiferensiasi.
Hampir separuh kasus terjadi secara sporadik
dan menunjukkan mutasi baru.

G e n o d e r m a t o s i s |124

SK
I

Gambaran klinis
Biasanya diketahui sejak lahir dengan adanya
erosi dan daerah luas kulit yang denuded serta
eritroderma, yang disebabkan oleh peningkatan
fragilitas epidermis dan dipicu oleh trauma
friksional selama proses persalinan.
Pada masa selanjutnya komponen bulosa menjadi
kurang prominen dan mulai tampak hiperkeratosis
berat
Kulit kepala sering terkena dan parah sehingga
menyebabkan gangguan batang rambut dan
kerontokan rambut.
Bibir, mata, membran mukosa, dan gigi normal.
Pada masa bayi morbiditas perinatal tinggi serta
potensial mortalitas karena sepsis dan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

DO

Diagnosis banding
Staphylococcal scalded skin syndrome dan
nekrolisis epidermal toksik
Penatalaksanaan
Bayi dengan eritema, bula, erosi luas, dan kulit
yang denuded memerlukan perawatan di neonatal
intensive care unit. Harus dihindari trauma
terhadap kulit dan timbulnya bula, monitor
terhadap terjadinya sepsis
Pada beberapa pasien diperlukan terapi dengan
antibiotik spektrum luas

PE
R

Terapi topikal:
Seperti
iktiosis
kongenital
lain,
terapi
hiperkeratosis epidermolitik adalah simtomatik
Hiperkeratosis
yang
luas,
tebal,
keras
memerlukan hidrasi, lubrikasi, dan terapi
keratolitik (krim dan lotion yang mengandung
urea, asam salisilat, asam alfa hidroksi, atau
propilen glikol). Namun demikian sering tidak
dapat ditoleransi dengan baik terutama pada
anak-anak, karena adanya rasa terbakar dan
stinging jika terdapat fisura atau kulit denuded.
Aplikasi topikal asam salisilat dan asam laktat
harus hati-hati karena risiko absorbsi sistemik
Tretinoin topikal dan preparat Vit D efektif tetapi
dapat menyebabkan iritasi kulit.
Berendam untuk melembabkan kulit dan abrasi
mekanis pada stratum korneum yang menebal
(gosok hati-hati dengan sikat lembut, spons, dsb)
Pemakaian antiseptik, misalnya sabun antibakterial, klorheksidin, atau iodin dapat membantu
mengontrol kolonisasi bakterial.
G e n o d e r m a t o s i s |125

Genodermatosis

125

Dianjurkan penggunakan lubrikans dan emolien


setidaknya 2 kali sehari, dilakukan segera setelah
mandi
Infeksi kulit bakterial biasa dijumpai pada hiperkeratosis epidermolitik dan sering memicu bula
sehingga memerlukan terapi topikal dengan salap
antibiotik atau bahkan antibiotik oral.

SK
I

Terapi sistemik
Retinoid oral sangat efektif untuk mengurangi
hiperkeratosis dan frekuensi infeksi pada pasien
dengan EH generalisata, namun demikian obat ini
dapat meningkatkan fragilitas epidermis dan dapat
menyebabkan eksaserbasi bula. Dianjurkan
memulai terapi dengan dosis yang sangat rendah
dengan tujuan mencapai dosis pemeliharaan
serendah mungkin.
Meskipun antibiotik oral sangat membantu selama
episode bula dan superinfeksi bakterial, terapi
preventif yang terus-menerus (antibiotik oral atau
topikal) harus dihindari karena risiko berkembangnya resistensi bakterial.

DO

PE
R

Iktiosis lamelar (IL)


(sin: Nonbullous congenital ichthyosiform erythroderma, Non-erythrodermic autosomal recessive
lamellar ichthyosis)
Kelainan genetik heterogen dan pada sebagian
besar keluarga diturunkan secara resesif
autosomal
Sangat jarang, prevalensi sekitar 1:200000
sampai 1:300000 kelahiran hidup
Gambaran klinis
IL merupakan kelainan kornifikasi berat yang
tampak sejak lahir.
Sebagian besar bayi yang terkena saat lahir terbungkus oleh membran kolodion disertai eritroderma.
Dalam beberapa minggu pertama kehidupan,
membran kolodion secara bertahap menjadi skuama
lebar generalisata
Secara khas IL ditandai oleh skuama lebar, coklat
gelap, pipih yang membentuk pola mosaik dengan
eritroderma minimal atau tidak ada. Skuama
melekat di tengah dan meninggi pada tepinya,
sering menimbulkan fisura superfisial. Skuama lebar
ini selain terdapat pada hampir seluruh tubuh juga
terdapat pada wajah, fleksura, telapak tangan dan
telapak kaki.

126

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s |126

Ketegangan kulit wajah sering menyebabkan


ektropion, eklabium, serta hipoplasia kartilago
nasal dan aurikular.
Ektropion yang parah dapat menimbulkan
madarosis, konjungtivitis, dan penutupan kelopak
mata yang tidak sempurna yang dapat
menyebabkan keratitis.
Pada kepala terdapat alopesia skar (scarring
alopecia) terutama pada bagian perifer skalp,
yang merupakan gambaran umum pada IL.
Peradangan pada lipatan kuku (nail folds) dapat
menyebabkan distrofi kuku dengan penebalan
lempeng kuku dan rigi kuku.

SK
I

Diagnosis banding
Eritroderma iktiosiformis kongenital (congenital
ichthyosiform erythroderma), sindrom Netherton,
sindrom Sjgren-Larsson, dan trikotiodistrofi.

DO

Penatalaksanaan
Sama dengan epidermolitik hiperkeratosis
(bullous congenital ichthyosiform erythroderma)
Terapi topikal:
Sama dengan epidermolitik hiperkeratosis
(bullous congenital ichthyosiform erythroderma)

Terapi sistemik
Sama dengan epidermolitik hiperkeratosis
(bullous congenital ichthyosiform erythroderma)

Kriteria diagnostik
Klinis

:
:

PE
R

II.

Diagnosis banding
- Pemeriksaan
penunjang

Awitan dan riwayat perjalanan penyakit


Penurunan genetik
Tempat predileksi: lokal, generalisata
atau
universalis
Skuama yang spesifik mirip sisik ikan, variasi
ukuran, warna dan tebal bergantung jenis.
- Gambaran klinis: kelainan pada kulit, kuku,
rambut, SSP, dan mata
- Gejala sistemik yang menyertai

:
: Pemeriksaan PA
Iktiosis vulgaris: hiperkeratosis dan stratum
granulosum menipis
Resesif terkait-X (X-linked): hiperkeratosis, stratum
granulosum menebal
Iktiosis lamelar klasik: hiperkeratosis, stratum
granulosum menebal
G e n o d e r m a t o s i s |127

Genodermatosis

127

: 1. Richard G, Moss C, Traupe H, et al. Ichthyosis and


disorders of cornification. Dalam:
Pediatric
Dermatology. Schachner LA, Hansen RC, editor.
London:Mosby 2003. p. 385-445.
2. Oji V, Traupe H., Ichthyoses: Differential diagnosis and
molecular genetics. Eur J Dermatol 2006; 16: 349-59.
3. Fleckman P, DiGiovanna JJ. The Ichthyosis. Dalam:
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi
ke-8. Editor: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al.
Editor. 2012, Mc Graw Hill: New York. p. 507-37
4. Richard
G,
Ringpfeil
F.
Ichthyoses,
erythrokeratodermas and related disorders. Dalam
Dermatology. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editor. Mosby, London 2013. P837-862.
5. 5. Judge MR, Mclean WHI, Munro Cs. Disorders of
Keratinization. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. 8th ed.
United Kingdom: Willey Blackwell;2010. 19.4-19.64

SK
I

Kepustakaan

DO

III.

Iktiosiform eritroderma nonbulosa: akantosis,


para- keratosis, hipergranulosis.
Epidermolitik
hiperkeratosis:
hiperkeratosis,
vakuolisasi (mikro-vesikel)

PE
R

128

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s |128

Tabel 1. Klasifikasi iktiosis


Iktiosis vulgaris

Diagnosis

OMIM
146700

Iktiosis terkait-X
Epidermolitik hiperkeratosis Brocq (EHK)
Iktiosis bullosa Siemens
Iktiosis histriks Curth-Macklin
Nonbullous congenital ichtyosiform erythroderma (NBCIE)
Iktiosis lamellar

308100
113800
146600
146800
146590
242100
604780
242300
601277
604777
604781
146750

SK
I

Tipe
Iktiosis nonsindromik

CIE/ iktiosis lamellar tipe intermediate


Iktiosis lamellar autosomal dominan kongenital iktiosiformis eritroderma
Iktiosis in confetti
Harlequin fetus
Sindrom peeling skin tipe A

242500

Sindrom Netherton/ iktiosis linearis sirkumfleksa

256500

Sindrom Sjgren-Larsson
Neutral lipid storage disease
Penyakit Refsum
Trikotiodistrofi
Infantile Gaucher disease
Sindrom Neu-Laxova
Sindrom Zunich-Kaye (Sindrom CHIME: ocular colobomas, congenital hearth
disease, early onset ichthyosiform dermatosis, mental retardation and ear
anomalies (conductive hearing loss), epilepsy),
X-linked dominant chondrodysplasia punctata (sindromConradi-HnermannHapple)
Rhyzomelic chondrodysplasia punctata
Cardiofasciocutaneous syndrome
Restrictive dermopathy
Multiple sulfatase deficiency

270200
275630
266500
601675

Kelainan yang
berkaitan

Sindrom KID (keratitis-ichthyosis-like-deafness)

DO

Iktiosis disertai
sindrom

PE
R

Sindrom CHILD (Congenital hemydysplasia ichthyosiform nevus and limb


defect)
Mutilating keratoderma dengan iktiosis
Sindrom KLICK (keratosis linearis with ichthyosis congenita and sclerosing
keratoderma)
Keratosis spinulosa decalvans.
Sindrom IFAP (Ichthyosis follicularis, atrichia, and photophobia)
Ichthyosis, follicular atrophoderma, hypotrichosis, and hypohidrosis
Migratory ichthyosis with diabetes mellitus
Ichthyosis, hepatosplenomegaly, and cerebellar degeneration
Ichthyosis-mental retardation syndrome with large keratohyalin granules in the
skin
Sindrom eritroderma iktiosiformis, keterlibatan kornea, ketulian; autosomal
resesif

Iktiosis didapat

G e n o d e r m a t o s i s |129

Genodermatosis

129

C.7. NEUROFIBROMATOSIS TIPE 1 (Q85.01)


Definisi

: Kondisi autosomal dominan dengan insiden 1:3000


kelahiran hidup

II.

Kriteria diagnostik

SK
I

I.

1. Enam atau lebih makula cafe-au-lait lebih


besar dari 5 mm pada individu prepubertal,
dan lebih dari 15 mm pada individu
postpubertal
2. Dua atau lebih neurofibroma tipe apapun atau
satu neurofibroma pleksiform
3. Freckling pada regio aksila atau inguinal
4. Glioma optikum
5. Dua atau lebih nodul Lisch iris
6. Lesi tulang yang dapat dibedakan seperti
sphenoid displasia atau penipisan korteks
tulang panjang dengan atau tanpa
pseudarthrosis
7. Saudara tingkat pertama (orang tua, saudara)
dengan NF-1 dengan kriteria di atas

Klinis

Diagnosis banding

DO

Neurofibromatosis tipe 1
Neurofibromatosis tipe 2
Familial cafe-au-lait spots
Sindrom LEOPARD

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan histopatologi
2. Evaluasi radiologik

IV.

Penatalaksanaan

1. Konseling genetik
2. Pemeriksaan ophtalmologik
3. Pemeriksaan tekanan darah
4. Bedah LASER untuk caf-au-lait spots
5. Bedah eksisi untuk Neurofibroma kutaneus

PE
R

III.

V.

130

Kepustakaan

Genodermatosis

1. Robert Listernick dan Joel Charrow. The


Neurofibromatoses. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, eds.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th
ed. New York: Mc Graw-Hill; 2012.p.1680-8
2. Disorders of Pigmentation. In: Paller A dan Mancini
A, eds. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th
ed. London: Elsevier; 2011.p. 234-67

G e n o d e r m a t o s i s | 130

SK
I
DO

DERMATOLOGI

PE
R

ALERGO-IMUNOLOGI

Dermatologi Alergo-Imunologi

131

D.1. CUTANEUS LUPUS ERITEMATOSUS SPESIFIK (L93)


Definisi

II

Kriteria diagnostik
Klinis

: Cutaneous lupus eritematosus: merupakan satu


bentuk penyakit lupus eritematosus ringan, kelainan
terbatas terutama dikulit, perjalanan penyakit mulai
akut, subakut dan menjadi kronis.
Penyakit ini dapat berkembang lebih lanjut,
menyerang multiorgan, menjadi lupus eritematosus
sistemik (SLE).
Klasifikasi:
LE spesifik: yang terdiri dari
a. LE kutan akut (ACLE)
localized ACLE, generalized ACLE
b. LE kutan subakut (SCLE)
annular SCLE, papulosquamous SCLE
c. LE kutan kronik (CCLE)
Classic discoid LE/DLE (Localized DLE, generalized
DLE), Hypertropic/verrucous DLE, Lupus profundus/
lupus panikulitis, Mucosal DLE (oral DLE,
conjunctival DLE), Lupus tumidus, Childblain LE,
Lichenoid DLE/ Lichen planus overlap/lupus planus

DO

SK
I

PE
R

:
: LE-spesifik:
1) ACLE
Lokalisata maupun generalisata, tergantung dari distribusi lesi.
Area kulit yang terpapar sinar UV
Hiperpigmentasi paska inflamasi sangat
sering terjadi pada pasien berkulit gelap
Tidak terjadi jaringan parut kecuali
terjadi infeksi bakteri sekunder
Lokalisata: classic buterfly rash/malar
rash of SLE; bisa meliputi daerah dahi,
dagu dan daerah V pada leher; bisa
terjadi pembengkakan hebat pada
wajah; diawali dengan makula atau
papula pada wajah yang selanjutnya
saling menyatu dan hiperkeratotik.
Generalisata:erupsi eksantematosa atau
morbiliformis yang tersebar dan seringkali terpusat pada bagian ekstensor dari
lengan dan tangan yang ditandai dengan
ruas-ruas jari yang terpisah. ACLE yang
sangat akut bisa mencetuskan timbulnya
TEN (Toxic Epidermal necrolysis) namun
sangat jarang terjadi
2) SCLE
Makula eritematosa dan atau papula
yang kemudian menjadi plak papuD e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 132

132

Dermatologi Alergo-Imunologi

SK
I

loskuamosa
atau
anulare
yang
hiperkeratotik
Fotosensitif dan timbul pada area yang
terpapar sinar UV
Biasanya sembuh berupa leukoderma
yang mirip vitiligo dan teleangiektasia
tanpa jaringan parut yang bertahan
lama bahkan permanen
Umumnya terdapat pada area leher,
bahu, ekstremitas superior dan batang
tubuh

Diagnosis banding

: 1. Dermatitis numularis
2. Dermatitis atopic

PE
R

DO

3) CCLE
Riwayat perjalanan penyakit: kronik
gejala prodromal, gejala subjektif,
gejala sistemik: demam, nyeri sendi,
fotosensitivitas, rambut rontok
Tempat predileksi: wajah, skalp, area V
pada leher, bagian ekstensor lengan.
Morfologi: plak eritematosa, berbatas
tegas, ukuran bervariasi lentikularnumular-sampai plak, skuama melekat
(adheren) bila diangkat tampak sumbatan keratin folikular, dapat disertai
atrofi dengan tepi yang lebih kemerahan
atau dengan zona hiperpigmentasi

Dermatologi Alergo-Imunologi

133

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 133

Pemeriksaan
penunjang

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa:
Hindari pajanan matahari atau menggunakan
pelindung matahari secara fisik dan kimia.
Medikamentosa:
Prinsip:
Mengendalikan penyakit
Mencegah perluasan
Deteksi dini penyakit menjadi sistemik
1. Topikal:
Kortikosteroid topikal potensi sedang misalnya
triamsinolon asetonid 0,1%, untuk area wajah
topikal steroid potensi superkuat misalnya clobetasol
propionat 0,05% atau bethamethasone propionat
0,05%
Kortikosteroid intralesi misalnya triamsinolon
asetonid suspensi 2,5-5,0mg/ml
Kalsineurin inhibitor: pimecrolimus 1% dan
takrolimus 0,1% ointment
Penggunaan tabir surya spektrum luas dan kedap
air dengan SPF30.
2. Sistemik:
- Klorokuin 2x250 mg/ hari dievaluasi setelah 6
minggu, diturunkan sesuai dengan perbaikan
klinis dan serologis
- Prednison: 20-40 mg/ hari sebagai dosis tunggal
pagi hari, dievaluasi diturunkan sesuai dengan
perbaikan klinis/ serologis.
- Terapi
alternatif:
siklofosfamid,
metotreksat
D e r m a tharus
o l o gberhati-hati).
i A l e r g o - I m u n o l o g i | 134
(pemberian

PE
R

III

DO

Pemeriksaan histopatologik: (HE): Penipisan


epidermis disertai hiperkeratosis relatif dan sumbat
keratin pada muara folikel. Penebalan membran
basal epidermis, disertai degenerasi mencair pada
sel lapisan basal epidermis, infiltrat limfositik
berbentuk pita dengan sedikit sel plasma dan
histiosit, terutama di sekitar apendiks kulit yang
atrofik. Perubahan degenerasi jaringan ikat terdiri
atas hialinisasi, edema, perubahan fibrinoid,
terutama di bawah epidermis, degenerasi elastotik
prematur pada kulit yang terpajan matahari.
Pemeriksaan direct immunoflourescence (DIF)/
lupus band test: ditemukan endapan IgG, IgA,
IgM dan komponen komplemen (C3,C4, Ciq,
properdin, faktor B dan Membrane attact complex
C5b0C9) terdeposit pada taut dermo-epidermal
berupa pita yang tersusun lurus atau granular
kontinyu.
Pemeriksaan laboratorium: urin rutin, darah dan
sel LE serta pungsi sumsum tulang.
Pemeriksaan serologi: kadar ANA dalam serum,
anti DsDNA, anti Sm, C3, TSS (tes serologi untuk
sifilis)

SK
I

134

Dermatologi

Tindak lanjut:
Pemeriksaan urin rutin, darah, dan serologi
berkala
Alergo-Imunologi
Pemantauan efek samping pemakaian kotikostreroid topikal dan sisitemik jangka panjang.
Pemantauan pemakaian obat golongan antimalaria
(klorokuin) jangka panjang, (dapat terjadi efek
samping pada mata).

Kepustakaan

: 1. Costner MI, Sontheimer RD. Lupus Erythematosus. In:

PE
R

IV

SLE (Systemic Lupus Erythematosus)


Ulserasi yang bisa berakibat pada sekunder
infeksi
TEN
Post Inflamatory Hiperpigmentation
Scarring/ disfigurement
Kalsifikasi Distrofik
Hipotrofi kulit
Lupus Mastitis

DO

Komplikasi

SK
I

perbaikan klinis/ serologis.


- Terapi
alternatif:
siklofosfamid,
metotreksat
(pemberian harus berhati-hati).
Tindak lanjut:
Pemeriksaan urin rutin, darah, dan serologi
berkala
Pemantauan efek samping pemakaian kotikostreroid topikal dan sisitemik jangka panjang.
Pemantauan pemakaian obat golongan antimalaria
(klorokuin) jangka panjang, (dapat terjadi efek
samping pada mata).
Konsultasi ke dokter spesialis mata: pemantauan
fotofobia dan gangguan penglihatan, terutama buta
warna.
Konsultasi ke dokter spesialis penyakit dalam
konsultan hematologi dan alergi-imunologi
Pemantauan pasien menerapkan upaya pencegahan pajanan sinar matahari

Goldsmith LA, Ktz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel


DJ, Wolff K,editors. Fitzpatrick,s : Dermatology in
General Medicine 8th ed .New York: The McGraw Hill
company, 2012.
2. Winkelmann RR, Kim GK, Del Rosso JQ. Treatment of
cutaneous lupus erythematosus: Review and
assessment of treatment benefits based on Oxford
Centre for Evidence-based Medicine criteria. Clin
Aesthetic Dermatol 2013; 6: 27-38

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 135

Dermatologi Alergo-Imunologi

135

V. ALUR

Area yang terpapar sinar UV

SK
I

Papula/plak hiperkeratotik

-Malar rash/
classic butterfly
rash
-Sembuh berupa
Makula
hiperpigmentasi

DO

-Plak hiperkeratotik
atau anular
-Sembuh berupa
lekoderma yang
menyerupai vitiligo
dan teleangiektasia

-Kenaikan titer ANA


yang bermakna
-Anti dsDNA positif
-AntiSm
-Hipokomplementemia

PE
R

ACLE

-Anti Ro/SS-A (7090%)


-Anti La/SS-B (30-50%)
-ANA test (60-80%)
-Faktor rematoid
Positif

SCLE

-Batas jelas
-Berbentuk koin
-Tertutup oleh skuama
yang lekat
-Eritema dan
hiperpigmentasi pada
bagian tepi dan jaringan
parut atrofi pada bagian
sentral, teleangiektasia
dan hipopigmentasi

-ANA test positif pada


30-40% pasien
-Faktor rematoid
positif

CCLE

1. Topikal:
Kortikosteroid topikal potensi sedang misalnya triamsinolon asetonid 0,1%, untuk area
wajah topikal steroid potensi superkuat misalnya clobetasol propionat 0,05% atau
bethamethasone propionat 0,05%
Kortikosteroid intralesi: triamsinolon asetonid suspensi 2,5-5,0mg/ml
Kalsineurin inhibitor: pimecrolimus 1% dan takrolimus 0,1% ointment
Tabir surya spektrum luas dan kedap air dengan SPF30.
2. Sistemik:
- Klorokuin 2x250 mg/ hari dievaluasi setelah 6 minggu.
- Prednison: 20-40 mg/ hari sebagai dosis tunggal pagi hari.
- Alternatif: siklofosfamid, metotreksat.

136

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 136

Dermatologi Alergo-Imunologi

D.2. DERMATOSIS IgA LINEAR

II

Kriteria diagnostik
Klinis

: Dermatosis IgA linear atau chronic bullous disease of


childhood (CBDC): merupakan penyakit bulosa didapat pada kulit dan membran mukosa yang ditandai secara
khas oleh deposisi linear IgA sepanjang zona membran
basalis. Kelainan ini didapatkan pada anak usia 3-9
tahun. Tempat predileksi di wajah, genitalia, meluas ke
perineal dan bokong, tangan dan kaki. Mukosa dapat
terkena (70% kasus).
Erupsi ini dapat disebabkan oleh obat misalnya
vancomycin.
:
: Riwayat perjalanan penyakit: kronik residif.
Tempat predileksi: wajah, tangan, kaki, genitalia,
perianal, pantat. Keterlibatan mukosa terjadi pada 50%
kasus.
Gejala subjektif gatal, kadang disertai gejala prodromal
Klinis ditandai vesikel dan bula tegang di atas dasar
eritematosa, berukuran miliar sampai lentikular,
berkelompok tersusun mirip rosette (cluster of jewel)

SK
I

Definisi

DO

Diagnosis banding

: 1.
2.
3.
4.

Eritema multiforme bulosum


Dermatitis herpetiformis Duhring
Pemfigoid bulosa
Epidermolisis bulosa

Pemeriksaan
penunjang

Pemeriksaan histopatologi kulit dengan pengecatan


HE: ditemukan celah subepidermal dengan neutrofil
sepanjang basal membran.
Direct immuno fluorescence (DIF): Ditemukan
deposisi IgA dan C3 berbentuk pita di sepanjang
taut dermo-epidermal.

PE
R

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 137

Dermatologi Alergo-Imunologi

137

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa :
Edukasi dan konseling: diperlukan pengertian pasien
terhadap penyakit dan kepatuhan berobat.
Beberapa penderita dapat mengalami remisi spontan
Medikamentosa:
Prinsip: mengurangi pruritus, menekan inflamasi
1. Topikal:
Diberikan apabila penyakit terlokalisata, yaitu:
- Bila erosi dan ekskoriasi: antibiotik topikal Mupirosin
2% atau Asam fusidat 2-5%
- Dapat diberikan kortikosteroid topikal potensi
tinggi (Klobetasol Propionate 0,05%).
- Dapat juga diberikan tacrolimus sebagai terapi
topikal tambahan
- Kompres dengan Nacl 0,9%

SK
I

III

PE
R

DO

2. Sistemik:
- Antihistamin golongan sedatif bila ada keluhan
gatal
CTM 0,09 mg/kg/ dosis 3x sehari
- Steroid sistemik (prednison 60-80 mg/hari) disertai
dengan steroid sparing agent (azathioprine atau
MTX). Dosis mingguan MTX mungkin efektif dan lebih
nyaman untuk pasien. Dosis steroid diturunkan
secara perlahan untuk mencegah relaps.
- Dapson 0,5-1mg/kg BB/hari atau 25-50 mg/hari
setelah ada perbaikan dosis dapat diturunkan hingga
12,5-25 mg/hari atau kurang. Dosis diturunkan
perlahan-lahan sampai dosis pemeliharaan dicapai.
- Bila tidak toleran dengan dapsone dapat diganti
dengan sulfapiridin
- Bila tidak responsif dapat dikombinasi dengan
Prednison 0,5-1 mg/kg BB/hari
- Bila kasus sulit diatasi, dapat dipertimbangan
pemberian Azathioprine, Mycophenolate mofetil,
Intravenous immunoglobulin (IVIG)
3. Obat alternatif:
- Sulfonamid
- Siklosporin A
- Eritromisin

Tindak lanjut:
Kontrol teratur setiap 1 bulan untuk penurunan dosis
obat dan mencapai dosis pemeliharaan.
Pemantauan efek simpang sulfone antara lain terhadap
kemungkinan terjadi methemoglobinemia (pemeriksaan
kadar G6PD)

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 138

138

Dermatologi Alergo-Imunologi

Komplikasi

Kepustakaan

Simblefaron
Penurunan penglihatan
Keganasan
Infeksi
Paraproteinemia

SK
I

IV

: 1. Rao CL, Hall III RP. Linear Immunoglobulin A dermatosis

2.
3.
4.
5.

PE
R

DO

6.

and chronic bullous disease of childhood. In: Wolf K,


Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA. Paller AS Leffel DJ,
editors. Fitzpatricks Dematology in general medicine. 8th
ed. New York : Mc Graw-Hill; 2012. p. 623-9.
Patsatsi A. Chronic bullous disease or linear IgA
dermatosis of childhood- revisited. J Genet Syndr Gene
Ther 2013; 4: 6.
Fernandez SR, Alonso AE, Gonzalez JEH, Galy JMM.
Practical management of thr most common bullous
disease. Actas Dermosifiliogr 2008; 99:441-55.
Han A, Zeichner JA. A practical approach to treating
autoimmune
bullous
disorders
with
systemic
medications. J Clin Aestetic Dermatol 2009; 2: 19-28.
Culton DA, Diaz LA. Treatment of subepidermal
immunobullous disease. Clin Dermatol 2012; 30: 95-102.
Schmidt E, Zillikens D. The diagnosis and treatment of
autoimmune blistering skin diseases. Dtsch Arztebl Int
2011; 108: 399-405.

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 139

Dermatologi Alergo-Imunologi

139

Bagan Alur

Riwayat perjalanan penyakit: kronik residif.

Tempat predileksi: wajah, tangan, kaki, genitalia, perianal, bokong

Gejala subjektif gatal, kadang disertai gejala prodromal

Klinis ditandai vesikel dan bula tegang di atas dasar eritematosa,


berukuran miliar sampai lentikular, berkelompok tersusun mirip rosette
(cluster of jewel)

SK
I

VI

DO

Histopatologi: celah subepidermal dengan neutrofil pada


basal membran
Direct immuno fluorescence (DIF): endapan IgA dan C3
berbentuk pita di sepanjang taut dermo-epidermal.

Dermatosis Ig A linear
(CBDC)

Topikal

:-

Sistemik : -

PE
R

Antibiotik ( Mupirosin 2%, Na Fusidat 2-5%)


Kortikosteroid potensi tinggi (Klobetasol propionate
0,05%) atau Tacrolimus
Kompres dengan Nacl 0,9%
Antihistamin (CTM 0,09 mg/kg/x 3dd1)
Steroid sistemik (prednison 60-80 mg/hari) disertai
dengan steroid sparing agent
Dapson 0,5-1mg /kgBB/hari atau 25-50 mg/hr
Sulfapiridin

Perbaikan -

Perbaikan +

Dosis dapson diturunkan


perlahan hingga dosis 12,525mg/hri

140

Terapi kombinasi dengan


Prednison 0,5-1 mg/kg/ hari
Atau obat alternatif

Dermatologi Alergo-Imunologi
D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 140

D.3. DERMATITIS HERPETIFORMIS DUHRING (L13.0)

II

Definisi

Kriteria diagnostik

Klinis

: Dermatitis herpetiformis Duhring ialah penyakit bulosa


autoimun bersifat kronik dan kambuhan, dengan gejala
ruam bersifat polimorfik terutama berupa papulovesikular, tersusun berkelompok dan simetrik disertai
rasa sangat gatal. Kelainan ini berkaitan dengan
deposit IgA pada kulit dan enteropati sensitif-gluten.
Banyak terjadi pada usia antara 30-40 tahun, meskipun dapat terjadi pada usia anak. Perbandingan
laki-laki:perempuan = 2:1.
:
:

Riwayat perjalanan penyakit: kronik, hilang


timbul.
Tempat predileksi biasanya pada area ekstensor
ekstremitas dan badan dengan distribusi simetris,
dapat timbul pada skalp dan/atau nuchal
posterior.
Lesi dapat diawali dengan suatu papul eritematus,
plak menyerupai urtikaria selanjutnya juga timbul
vesikel dan bula tegang berkelompok di atas dasar
eritematosa. Garukan menyebabkan erosi,
ekskoriasi, krusta. Dispigmentasi postinflamasi
terjadi setelah sembuh.
Keluhan dapat bervariasi dari rasa panas yang
hebat serta gatal hingga tanpa gejala.
Berkaitan dengan sensitivitas pasien terhadap
gluten dan iodida

DO

SK
I

PE
R

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 141

Dermatologi Alergo-Imunologi

141

Diagnosis banding

: 1. Eritema multiforme bulosum


2. Dermatosis IgA linear
3. Pemfigoid bulosa

Pemeriksaan
penunjang

III

Penatalaksanaan

SK
I

Pemeriksaan histopatologi kulit dengan pengecatan HE ditemukan kumpulan mikroabses


neutrofil pada papila dermis dan terdapat celah
subepidermal
Direct immuno fluorescence (DIF): ditemukan
deposit IgA granular pada papila dermis atau
dermal epidermal junction.

: Nonmedikamentosa :
Diet rendah gluten: menghindari makanan berasal
dari gandum, misalnya roti, kue, oats, mie, dan obat
yang mengandung iodida

DO

Medikamentosa:
Prinsip: mengurangi pruritus, menekan inflamasi
1. Topikal:
- Bila erosi dan ekskoriasi: antibiotik
- Kortikosteroid topikal yang sangat poten

PE
R

2. Sistemik:
- Dapson: dosis awal dewasa 100-150 mg/hari
hingga 300-400 mg/hari atau pada anak dapat 12 mg/kgBB/hari.
- Sulfapiridin: dosis dewasa 1-1,5 g/hari dapat
digunakan pada pasien dengan intoleransi
terhadap dapson, pasien lanjut usia, serta pada
pasien dengan masalah kardiopulmoner
- Antihistamin golongan sedatif

Tindak lanjut:
Pemantauan efek simpang pemakaian dapson
dan sulfapiridin, keduanya menyebabkan methemoglobinemia terutama pada pasien dengan defisiensi G6PD, kontrol setiap 1 bulan.
Kontrol teratur setiap bulan untuk mencapai dosis
pemeliharaan.
Konsultasi ke Bagian Gastroenterologi bila ada
dugaan coeliac diseases
Konsultasi ke ahli gizi untuk diet bebas atau
rendah gluten.

Komplikasi

142

Enteropati sensitif gluten dapat mengakibatkan


steatorrhea, malabsorpsi, anemia yang diakibatkan
defisiensi besi atau folat.

Dermatologi
Dermatologi Alergo-Imunologi

A l e r g o - I m u n o l o g i | 142

Kepustakaan

: 1. Wolf K, Goldsmith LA,

2.
3.
4.

PE
R

DO

5.

Kazt SI, Gilchrest BA. Paller


AS Leffel DJ, editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology
in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc GrawHill, 2012
Han A, Zeichner JA. A practical approach to treating
autoimmune bullous disorders with systemic
medications. J Clin Aestetic Dermatol 2009; 2: 19-28.
Culton DA, Diaz LA. Treatment of subepidermal
immunobullous disease. Clin Dermatol 2012; 30: 95-102
Schmidt E, Zillikens D. The diagnosis and treatment of
autoimmune blistering skin diseases. Dtsch Arztebl Int
2011; 108: 399-405.
Herrero-Gonzalez JE. Clinical Guidelines for th
Diagnosis and Treatment of Dermatitis Herpetiformis.
Actas Dermosifiliogr 2010;101(10):820-6.

SK
I

IV

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 143

Dermatologi Alergo-Imunologi

143

Bagan Alur
Riwayat perjalanan penyakit: kronis residif.

Tempat predileksi pada area ekstensor ekstremitas dengan penyebaran


simetris

Vesikel dan bula tegang berkelompok di atas dasar eritematosa,


meninggalkan erosi, ekskoriasi, krusta

Berkaitan dengan sensitivitas terhadap gluten dan iodida

SK
I

Histopatologi kulit: kumpulan mikroabses neutrofil pada papila dermis dan


terdapat celah subepidermal

Direct immuno fluorescence (DIF): deposit IgA granular di puncak


dermis atau dermal epidermal junction

papila

DO

Dermatitis herpetiformis duhring

PE
R

Diet bebas gluten


Topikal:: Bila erosi dan ekskoriasi: antibiotik
Sistemik:
- Dapson: dosis awal dewasa 100-150 mg/hari atau pada anak dapat 12 mg/kgBB
- Sulfapiridin: dewasa dosis 1-1,5 g/hari
- Antihistamin golongan sedatif, kortikosteroid topikal yang sangat poten

Penyakit terkontrol:
Dapson 25 mg/minggu
Atau sulfapirindin: 1-1,5 gr per hari

144

Dermatologi Alergo-Imunologi

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 144

D.4. DERMATITIS KONTAK ALERGI (L23)


Definisi

II

Kriteria diagnostik
Klinis

Diagnosis banding

: 1.
2.
3.
4.

Dermatitis kontak iritan


Dermatitis numularis (bila berbentuk bulat oval)
Dermatitis seboroik (di kepala)
Dishidrosis (bila mengenai telapak tangan dan kaki)

Pemeriksaan
penunjang

Tes kulit (tes tempel) untuk mencari penyebab


Pada DKA kosmetika, apabila tes tempel negatif dapat
dilanjutkan dengan tes pakai (use test), tes pakai
berulang (repeated open application test ROAT)

DO

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa:
Hentikan pajanan alergen tersangka
Pada pasien usia produktif, anamnesa tentang
kemungkinan sumber alergen berasal dari tempat kerja.
Penilaian identifikasi alergen (tes tempel lanjut dengan
bahan-bahan yang lebih spesifik)
Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD) yang
sesuai: sarung tangan, krim barier
Medikamentosa:
Sistemik: simtomatis sesuai gejala dan gambaran
klinis
Gatal: beri antihistamin generasi kedua
DKA akut derajat sedang berat, refrakter: dapat
ditambah kortikosteroid oral setara dengan prednison
20 mg/hari dalam jangka pendek (3 hari)
Siklosporin oral
Topikal: sesuai dengan sajian klinis
o Basah (madidans): beri kompres terbuka (2-3
lapis kain kasa) dengan larutan NaCl 0,9%

PE
R

III

: Dermatitis kontak alergi (DKA) ialah dermatitis yang


terjadi akibat pajanan dengan bahan alergen di luar tubuh
Klasifikasi:
DKA lokalisata
DKA sistemik
:
: Riwayat terpajan dengan bahan allergen
Terjadi reaksi berupa dermatitis, setelah pajanan
ulang dengan alergen tersangka yang sama
Bila pajanan dihentikan, lesi membaik, sedangkan bila
pajanan berulang lesi memberat
Gejala subyektif berupa rasa gatal
Terdapat tanda dermatitis (akut, subakut, kronik)
Lesi bersifat lokalisata, berbatas tegas, bentuk sesuai
dengan bahan penyebab
Pada DKA sistemik, lesi dapat tersebar luas/generalisata
Efloresensi polimorf

SK
I

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 145

Dermatologi Alergo-Imunologi

145

SK
I

Vesikular akut: aluminum sulfat/kalsium asetat


topikal
o Kering/kronik/likenifikasi: beri krim kortikosteroid
potensi kuat (momethasone furoate), emolien,
inhibitor kalsineurin: takrolimus , pimekrolimus
Refrakter/tidak dapat menghindari faktor-faktor pencetus: fototerapi shortwave UVB

Tindak lanjut:
Pada DKA yang mengenai telapak tangan (hand
dermatitis) dapat sangat menyulitkan untuk melaksanakan tugas sehari-hari sehingga dianjurkan
pemakaian APD sesuai dan pemberian emolien

Infeksi Sekunder (penatalaksanaan sesuai dengan


lesi, pemilihan jenis antibiotik sesuai kebijakan
masing-masing rumah sakit)
Patch test:
Hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi paska
inflamasi
Hasil positif yang persisten
Koebner Fenomena pada pasien yang memiliki
psoriasis aktif atau liken planus

Kepustakaan

: 1. Castanedo-Tardan MP, Zug KA. Allergic contact dermatitis.

In: Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology in
General Medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill,
2012.
2. Bourke J, Coulson I, English J.Guidelines for the
managementof contact dermatitis:an update. British J Derm
2009. 160:946-954.
3. English JSC. Current concept of irriitant contact dermatitis.
Occup environ med 2004. 61:722-726.
4. Smedley J. Concise guidance: diagnosis, management and
prevention of occupational contact dermatitis. Clin Med
2010. 5:487-90.

PE
R

IV

DO

Komplikasi

146

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 146

Dermatologi Alergo-Imunologi

Bagan Alur

Riwayat kontak dengan alergen


Bila pajanan dihentikan, lesi membaik, bila kontak berulang
lesi memberat

Tanda dermatitis
o Akut, subakut, kronik
o Gejala subjektif: gatal
Lesi bersifat lokalisata, berbatas tegas, bentuk sesuai bahan
penyebab

SK
I

Tes tempel

Cari kemungkinan false-negative karena


efek anti-inflamasi

DO

Dermatitis kontak alergi

Nonmedikamentosa:

Hentikan pajanan dengan alergen


tersangka
Anjuran penggunaan alat
pelindung diri/APD (sarung tangan
, krim barier)

PE
R

Medikamentosa:
Sistemik: simtomatis sesuai gejala dan
gambaran klinis
Gatal: beri antihistamin generasi kedua
Derajat sakit berat: dapat ditambah
kortikosteroid oral setara dengan
prednison 20 mg/hari dalam jangka
pendek
(3 hari)
Topikal: sesuai dengan sajian klnis
Basah (madidans): beri kompres terbuka
Kering: beri krim kortikosteroid potensi
sedang

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 147

Dermatologi Alergo-Imunologi

147

D.5. DERMATITIS KONTAK IRITAN (L24)

II

Kriteria diagnostic
Klinis

: Dermatitis kontak iritan (DKI) ialah dermatitis yang


terjadi sebagai akibat pajanan dengan bahan iritan di
luar tubuh, baik iritan lemah maupun iritan kuat
Klasifikasi:
DKI Akut
DKI kronik kumulatif
:
: Riwayat terpajan dengan bahan iritan
Terjadi reaksi berupa dermatitis, pada iritan kuat
akan terjadi dermatitis akut pada pajanan pertama
(satu kali), sedangkan pada iritan lemah akan
terjadi dermatitis kronis setelah pajanan berulang
Bila pajanan dihentikan, lesi membaik, bila pajanan
berulang lesi bertambah berat
Gejala subyektif berupa rasa gatal, terbakar / nyeri
Terdapat tanda dermatitis (akut, subakut, kronik)
Lesi lokalisata, berbatas tegas, bentuk sesuai
dengan luas kontak bahan penyebab
Efloresensi monomorf

SK
I

Definisi

DO

Diagnosis banding

Pemeriksaan
penunjang

: 1. Dermatitis kontak alergi


2. Dermatitis numularis (bila berbentuk bulat)
3. Dermatitis seboroik (bila di kepala)
Harus disingkirkan:
Lokalisata: 1. DKA
2. Penyakit Bowen
Diseminata: 1. DKA
2. Sifilis sekunder
3. Cutaneus T Cell Lymphoma
: Tes kulit (tes tempel) hanya diperlukan apabila tidak
dapat dibedakan dengan dermatitis kontak alergi

PE
R

III

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa:
Identifikasi dan eliminasi bahan iritan tersangka.
Pada pasien usia produktif, anamnesa tentang
kemungkinan sumber iritan berasal dari tempat
kerja.
Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD) :
sarung tangan, krim barier
Medikamentosa:
1.Sistemik: simtomatis sesuai gejala dan sajian klinis
Gatal: beri antihistamin generasi kedua
Derajat sakit berat: dapat ditambah kortikosteroid
oral setara dengan prednison 20 mg/hari dalam
jangka pendek (3 hari)
2.Topikal: sesuai dengan sajian klinis
D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 148

148

Dermatologi Alergo-Imunologi

SK
I

Basah (madidans): beri kompres terbuka (2-3


lapis kain kasa) dengan larutan NaCl 0,9%
o Kering: beri krim kortikosteroid potensi sedang
(flusinolon asetonid)
o Emolien dengan bahan dasar petrolatum
o Pimekrolimus sebagai pengganti kortikosteroid
topikal potensi lemah
Pada kasus yang berat dan kronis, bisa digunakan
Psoralen + UVA/UVB atau obat sistemik misalnya
azathioprine dan siklosporin
Bila ada superinfeksi oleh bakteri: antibiotika topikal /
sistemik
Tindak lanjut:
Pada DKI kumulatif yang mengenai telapak tangan
(hand dermatitis) dapat sangat menyulitkan untuk
melaksanakan tugas sehari-hari, sehingga dianjurkan
pemakaian APD sesuai dan pemberian emolien

Kepustakaan

: 1. Amado A, Sood A, Taylor JS. Irritant contact dermatitis.


In: Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology in
General Medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill,
2012.
2. Bourke J, Coulson I, English J.Guidelines for the
managementof contact dermatitis:an update. British J
Derm 2009. 160:946-954
3. English JSC. Current concept of irriitant contact
dermatitis. Occup environ med 2004. 61:722-726.
4. Smedley J. Concise guidance: diagnosis, management
and prevention of occupational contact dermatitis. Clin
Med 2010. 5:487-90.

PE
R

IV

Infeksi sekunder (terapi infeksi sekunder sesuai


dengan klinis dan pemilihan jenis antibiotik sesuai
dengan kebijakan masing-masing rumah sakit)

DO

Komplikasi

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 149

Dermatologi Alergo-Imunologi

149

Bagan Alur
Riwayat kontak dengan bahan iritan

Iritan kuat:

Sabun, deterjen, surfaktan, pelarut


organic, minyak
Berhari-hari, berbulanbulan, bertahun-tahun
setelah kontak

Bahan kimia kaustik (asam dan basa)

Segera setelah
kontak

Gatal, nyeri,
Bercak-bercak eritem,
hyperkeratosis, fisura

DKI kronik
kumulatif

DKA

Topikal:

Kortikosteroid potensi
sesuai derajat
inflamasi

Emolien (petrolatum
based)
Inhibitor kalsineurin
Fototerapi (psoralen+UVA
/UVB)

Tes tempel

Sistemik :

150

DKI akut

Topikal:

PE
R

Rasa terbakar, gatal, nyeri seperti


tersengat
Eritema, edema, batas tegas
sesuai bahan penyebab,
vesikulasi, eksudasi, bula, nekrosis
jaringan

DO

SK
I

Iritan lemah:

Identifikasi &
eliminasi
bahan-bahan
iritan
Proteksi

Lesi basah : kompres terbuka


Lesi kering : kortikosteroid potensi
sesuai derajat inflamasi
Emolien

Sistemik :

Kortikosteroid setara prednison 20


mg/hari 3 hari
Antihistamin

Bila ada infeksi sekunder oleh bakteri:

Antihistamin
Azathioprine

Antibiotika sistemik/topikal

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 150

Dermatologi Alergo-Imunologi

D.6. ERUPSI KULIT AKIBAT ALERGI OBAT (L27)


: Erupsi kulit akibat alergi obat atau allergic drug
eruption adalah reaksi alergi pada kulit atau
mukokutan yang terjadi akibat pemberian obat
sistemik, baik yang masuk ke dalam tubuh secara
peroral, pervaginam, per-rektal, atau parenteral.
Yang dimaksud dengan obat ialah zat yang dipakai
untuk menegakkan diagnosis, pengobatan, profilaksis.
Termasuk dalam pengertian obat ialah jamu. Perlu
diingat bahwa obat topikal dapat pula menyebabkan
gejala sistemik akibat penyerapan obat oleh kulit.

Definisi

SK
I

Kriteria diagnostik
Klinis

b. Bentuk berat
1. Pustular eksantema generalisata akut (PEGA)
2. Eritroderma
3. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ)
4. Nekrolisis epidermal toksik (NET) atau sindrom
Lyell
5.Drug Rash with Eosinophilia and Systemic
Symptoms (DRESS)
* Lihat bab terkait

:
:

PE
R

II

DO

Klasifikasi*:
a. Bentuk ringan
1. Urtikaria dengan atau tanpa angioedema
2. Erupsi eksantematosa
3. Dermatitis medikamentosa
4. Purpura
5. Eksantema fikstum (fixed drug eruption/FDE)
6. Eritema nodosum
7. Eritema multiforme
8. Lupus eritematosus

Riwayat menggunakan obat secara sistemik


(jumlah dan jenis obat, dosis, cara pemberian,
lama pemberian, runtutan pemberian pengaruh
paparan matahari) atau kontak obat pada kulit
yang terbuka (erosi, ekskoriasi, ulkus).
Riwayat timbulnya kelainan kulit dengan jarak
waktu pemberian obat, apakah timbul segera,
beberapa saat atau jam atau hari. Jenis kelainan
kulit yang terjadi antara lain pruritus, eritema,
skuama, urtikaria, lepuh, erosi, ekskoriasi ulkus
maupun nodus.
Keluhan sistemik.
Riwayat atopi diri dan keluarga, alergi terhadap
alergen lain, serta alergi obat sebelumnya.
Kelainan kulit umumnya generalisata atau universal,
dapat setempat misalnya eksantema fikstum.
D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 151

Dermatologi Alergo-Imunologi

151

Jenis kelainan kulit yang lazim pada erupsi yang


ringan atau berat.

Diagnosis banding

: Sesuai dengan kelainan kulit yang terjadi, misalnya:


1. Eritroderma: dapat disebabkan oleh perluasan
penyakit seboroik dan psoriasis, atau akibat
keganasan;
2. Eritema nodosum (EN): EN akibat kusta, demam
rheuma dan keganasan.
3. Eritema: morbili.
4. Purpura: Idiopatik trombositopenik purpura, dengue
hemoragic fever.
5. FDE: eritema multiforme bulosum
6. PEGA: pustular psoriasis
7. SSJ: pemfigus vulgaris
8. NET: kombustio

Pemeriksaan
penunjang

DO

Dilakukan secara bertahap setelah tidak ada erupsi


kulit (minimal 6 minggu setelah lesi kulit hilang) dan
memenuhi syarat uji kulit, dilakukan di tahap lanjut:
1. Uji tempel tertutup,
2. Uji tusuk bila uji tempel negatif
3. Uji provokasi peroral bila uji tusuk negatif

Penatalaksanaan

Nonmedikamentosa:
Penjelasan kondisi pasien, diminta menghentikan
obat tersangka penyebab.
Bila pasien sembuh: Berikan kartu alergi, berisi
daftar obat yang diduga menyebabkan alergi, kartu
tersebut selalu diperlihatkan kepada petugas
kesehatan setiap kali berobat.
Pasien diberi daftar jenis obat yang harus
dihindarinya (obat dengan rumus kimia yang sama).

PE
R

III

SK
I

Medikamentosa:
Prinsip:
1. Hentikan obat
2. Atasi keadaan umum, terutama pada yang
berat untuk life saving.
3. Berikan obat antialergi yang paling aman dan
sesuai.

1. Topikal:
- Sesuai dengan kelainan kulit yang terjadi (ikuti
prinsip dermatoterapi)
- Pada purpura dan eritema nodosum tidak perlu
- Eritroderma, SSJ, NET (lihat bab masingmasing)

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 152

152

Dermatologi Alergo-Imunologi

Komplikasi

Kepustakaan

Infeksi sekunder
Eritrodermi
Sepsis

1. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller


AS, Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatricks Dematology
in General Medicine. Edisi ke-8. New York : Mc GrawHill, 2012.
2. Stern RS. Exanthematous Drug Eruptions. N Engl J
Med 366;26, 2012.
3. Joint Council of Allergy, Asthma & Immunology. Drug
Allergy: An Updated Practice Parameter. Annals of
Allergy, Asthma & Immunology vol. 105, (10), 2010.
4. Warrington R and Silviu-Dan F. Drug allergy. AACI
7(suppl1): 510, 2011.

PE
R

DO

IV

SK
I

2. Sistemik:
- Atasi keadaan umum terutama kondisi vital.
- Pada yang ringan: prednison 30 mg/ hari.
- Anthistamin: merupakan lini pertama pada
urtikaria dan pruritus, atau EOA yang disertai rasa
gatal. Dapat digunakan antihistamin sedatif atau
nonsedatif.
- Pada eritroderma dan PEGA: prednison 40-60
mg/hari, Bila berat: rawat inap (lihat PPM SSJ
dan TEN).

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 153

Dermatologi Alergo-Imunologi

153

Bagan Alur

Riwayat timbulnya kelainan kulit dengan jarak waktu


pemberian obat, apakah timbul segera, beberapa saat atau
jam atau hari.
Kelainan kulit: eritema, papul, skuama, urtikaria, vesikel/ bula,
erosi, ekskoriasi sampai ulkus dan nodus.
Pruritus

Ringan:

6.
7.

Berat:

Urtikaria dengan/tanpa angioedema


Erupsi eksantematosa
Dermatitis medikamentosa
Purpura
Eksantema fikstum (fixed drug
eruption)
Eritema nodosum
Eritema multiforme

1.
2.
3.
4.

Pustular eksantema generalisata


akut (PEGA)
Eritroderma
Sindrom Stevens-Johnson
Nekrolisis epidermal toksik (NET)
atau sindrom Lyell

DO

1.
2.
3.
4.
5.

SK
I

Riwayat menggunakan obat secara sistemik atau kontak obat


pada kulit yang terbuka (erosi, ekskoriasi, ulkus)

1. Topikal:
- Ikuti prinsip dermatoterapi
- Pada purpura dan eritema nodosum
tidak perlu

Sesuai PPM masing-masing

PE
R

2. Sistemik:
- Atasi keadaan umum terutama
kondisi vital.
- Ringan: prednison 30 mg/ hari.
- Anthistamin: merupakan lini pertama
pada urtikaria dan pruritus, atau EOA
yang disertai rasa gatal. Dapat
digunakan antihistamin sedatif atau
nonsedatif.

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 154

154

Dermatologi Alergo-Imunologi

D.7. PEMFIGUS
Definisi

: Pemfigus merupakan penyakit autoimun bulosa serius


yang menyebabkan akantolisis kulit dan membran
mukosa dan sering menyebabkan kematian apabila tidak
diterapi secara adekuat. Umumnya mengenai usia
dekade ke-4 atau ke-6, tetapi dapat mengenai semua
usia.

II

Kriteria diagnostik
Klinis

:
:

Keadaan umum buruk


Lesi kulit umumnya gatal, diawali oleh lesi oral
yang nyeri sebelum berlanjut menjadi erupsi kulit
generalisata berupa bula kendor pada kulit normal,
meluas hingga ke seluruh tubuh. Karena bula ini
mudah pecah, kadang hanya dapat dilihat erosi
yang sangat nyeri pada beberapa pasien.
Lesi mukosa: tampak erosi mukosa mulut yang
nyeri
Di tempat predileksi terdapat bula kendur, lentikular
sampai numular, di atas dasar kulit normal atau
eritematosa. Isi mula-mula jernih kemudian menjadi
keruh.
Tanda Nikolsky positif
Perjalanan klinis kambuhan, sering diperlukan
terapi seumur hidup.

DO

SK
I

Diagnosis banding

: 1. Dermatitis herpetiformis Duhring


2. Pemfigoid bulosa

Pemeriksaan
penunjang

PE
R

Pemeriksaan histopatologik HE: terdapat bula intraepidermal supra basal, akantolisis.


Pemeriksaan imunofluoresens direk: didapatkan
deposit IgG dan C3 di interselular epidermis baik
pada kulit lesi maupun perilesi.
Pemeriksaan serologik: kadar IgG di dalam serum
meningkat (titer IgG, autoantibodi terhadap desmoglein
3, biasanya berkorelasi dengan aktifitas penyakit; oleh
karenanya respon klinis dapat dimonitor dengan titer
antibodi)
Pemeriksaan darah, urin, feses rutin dilakukan;
Pada pemberian krotikosteroid jangka panjang
perlu diperiksa fungsi ginjal dan fungsi hati, kadar
gula darah puasa dan 2 jam setelah makan serta
reduksi urin; Pada pemberian terapi ajuvan
Azathioprine perlu diperiksa kadar TPMT (Thiopurine
methyl-transferase)

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 155

Dermatologi Alergo-Imunologi

155

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa :
Penjelasan kepada pasien dan/atau keluarga mengenai
penyakit, terapi, serta prognosis. Memberi edukasi cara
merawat lepuh, menghindari penggunaan obat-obat
tanpa sepengetahuan dokter
Medikamentosa:
Prinsip:
Mengatasi keadaan umum yang buruk
Mengendalikan reaksi autoimun
Penatalaksanaan
multidisiplin,
terutama
bila
menggunakan kortikosteroid jangka panjang dan
sitostatika yaitu antara lain bersama dengan Bagian
Penyakit Dalam, Hematologi, Alergi-imunologik
1. Topikal:
- Bila banyak lesi erosif atau ekskoriasi dapat
diberikan krim mupirosin 2% atau asam fusidat
2-5%.
- Untuk membersihkan krusta dapat dilakukan
kompres terbuka dengan NaCl 0,9%.
2.
Sistemik:
- Terapi lini pertama: glukokortikoid sistemik,
dimulai dengan dosis 1 mg/kgBB/hari. Respon
klinis yang bagus biasanya tampak setelah 2-3
bulan, kemudian dosis dapat diturunkan menjadi
40mg/hari dan di tapering of selama 6-9 bulan
sampai dosis pemeliharaan 5 mg selang sehari).
Tapering dapat dilakukan baik dengan menurunkan dosis 10 mg/bulan dan kemudian 5
mg/bulan atau dengan selang sehari: 40/20,
40/0, 30/0, 20/0, 15/0, 10/0, dan 5/0 dilanjutkan
dengan 5/0 untuk pemeliharaan.
- Pada klinis yang berat dapat diberikan kortikosteroid terapi denyut. Cara pemberian kortikosteroid
secara terapi denyut (pulsed therapy): metalprednisolon sodium suksinat i.v. selama 2-3 jam,
250-1000 mg. Atau injeksi deksametason atau
metil prednisolon i.v 1 g/hari selama 4-5 hari.
- Pada pemberian prednison > 40 mg/hari sebaiknya
diberikan antibiotik profilaksis mencegah infeksi
sekunder.
- Bila diperlukan dapat diberikan terapi ajuvan
sebagai steroid sparing agent: mikofenolat
mofetil (2-2,5 g/hari 2xsehari), azathioprine (1-3
mg/kgBB/hari atau 50mg setiap 12 jam namun
disesuaikan dengan kadar TPMT), siklofosfamid
(50-200 mg/hari), Dapsone (100 mg/hari),
imunoglobulin intravena (1,2-2 g/kg BB terbagi
dalam 3-5 hari yang diberikan setiap 2-4 minggu
untuk 1-34 siklus), Rituximab (0,4 g/kgBB/hari
selama 5 hari dan dapat diulang sebagai
monoterapi setiap 21 hari)

PE
R

DO

SK
I

III

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 156

156

Dermatologi Alergo-Imunologi

Pada Pemfigus foliaceus, lesi lokalisata cukup


dengan terapi topikal kortikosteroid, namun bila
lesi maka terapi ~ pemfigus vulgaris
Pemberian sitostatik harus dilakukan dengan
kerjasama Bagian Hematologi atau atas anjuran
Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hematologi,
dan diberikan bila tidak ada kontraindikasi.

SK
I

Tindak lanjut:
1. Pemantauan keadaan umum: bila dirawat
dilakukan setiap hari, bila berobat jalan 1 x
seminggu, atau bergantung kondisi pasien.
2. Pemantauan IgG dalam serum.
3. Pemantauan efek samping terapi kortikosteroid
atau sitostatik jangka panjang
4. Kerjasama dengan Bagian Penyakit Dalam,
Alergi-imunologi, dan departemen lain yang
terkait.
Komplikasi

Kepustakaan

Malnutrisi
Dehidrasi
Sepsis

DO

IV

: 1. Payne AS, Stanley JR. Pemphigus. In: Wolf K, Goldsmith

2.

3.

PE
R

4.

5.

6.

7.

LA, Kazt SI, Gilchrest BA. Paller AS Leffel DJ, editors.


Fitzpatricks Dematology in general medicine. 8th ed. New
York : Mc Graw-Hill; 2012. p. 586-99.
Harman KE, Albert S, Black MM. Guidelines for the
management of pemphigus vulgaris. Br J Dermatol
2003; 149:926-37.
Fernandez SR, Alonso AE, Gonzalez JEH, Galy JMM.
Practical management of thr most common bullous
disease. Actas Dermosifiliogr 2008; 99:441-55.
Hofmann S, Jakob T. Bulous autoimmune skin disease.
In: Shoenfeld Y, Meroni PL, editors. The general
practice guide to autoimmune diseases. Berlin:Pabst
Science. 2012. p. 127-34.
Han A, Zeichner JA. A practical approach to treating
autoimmune
bullous
disorders
with
systemic
medications. J Clin Aestetic Dermatol 2009; 2: 19-28.
Strowd LC, Taylor SL, Jorizzo JI, Namazi MR.
Therapeutic ladder for pemphigus vulgaris: Emphasis
on achieving complete remission. J Am Acad Dermatol
2011; 64: 490-4.
Schmidt E, Zillikens D. The diagnosis and treatment of
autoimmune blistering skin diseases. Dtsch Arztebl Int
2011; 108: 399-405.

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 157

Dermatologi Alergo-Imunologi

157

Bagan Alur

Keadaan umum buruk


Lesi kulit umumnya tidak gatal namun nyeri. Timbul lepuh berbulan-bulan, mula-mula
di kulit kepala berambut, ke kulit lainnya dan selaput lendir, meluas ke seluruh badan
Lesi mukosa: tampak erosi mukosa mulut yang nyeri
Di tempat predileksi terdapat bula kendur, lentikular sampai numular, di atas dasar
kulit normal atau eritematosa. Isi mula-mula jernih kemudian menjadi keruh.
Tanda Nikolsky positif

SK
I

VI

Histopatologi: bula intraepidermal suprabasal, akantolisis


Imunofloresen: deposit IgG & C3 interseluler

Pemfigus

Ringan

Rawat luka dgn Na Cl 0,9%, Antibiotik topikal


(Mupirosin 2% atau Na Fusidat 2-5%
Kortikosteroid sistemik: Prednison 1 mg/kg/hari bila
tidak didapatkan respon dalam 7-10 hari dtingkatkan
1,5 mg/kgBB /hari. Pada klinis yang berat diberikan
suntikan deksametason atau metil prednisolon i.v 1
g/hari selama 4-5 hari.

DO

Rawat luka dgn Na Cl 0,9%, Antibiotik


topikal (Mupirosin 2% atau Na Fusidat 2-5%
Kortikosteroid topikal
atau
Prednison dosis rendah 1mg/kgBB/hari
Pada Pemfigus foliaceus, lesi lokalisata
cukup dengan terapi topikal kortikosteroid,
namun bila lesi maka terapi ~ pemfigus
vulgaris

Sedang-berat

Perbaikan +

158

Perbaikan -

Perbaikan -

PE
R

Perbaikan +

Dosis
kortikosteroid
diturunkan
secara perlahan
hingga dosis
setara dengan
prednison 15-20
mg/ hari

Pertimbangan terapi ajuvan:

- Mikofenolat mofetil (2-2,5 g/hari

2xsehari),
- Azathioprine (1-3 mg/kgBB/hari
atau 50mg setiap 12 jam namun
disesuaikan dengan kadar TPMT)
- Siklofosfamid (50-200 mg/hari)
- Dapsone (100 mg/hari)
- imunoglobulin intravena (1,2-2
g/kg BB terbagi dalam 3-5 hari
yang diberikan setiap 2-4 minggu
untuk 1-34 siklus),
- Rituximab(0,4 g/kgBB/hari selama
5 hari dan dapat diulang sebagai
monoterapi setiap 21 hari)

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 158

Dermatologi Alergo-Imunologi

D.8. URTIKARIA (L50)


Definisi

: Urtikaria merupakan suatu kelompok penyakit/kelainan/

kondisi yang mempunyai kesamaan pola reaksi kulit yang


khas yaitu perkembangan lesi kulit urtikarial yang berakhir 124 jam dan/atau angioedema yang berakhir sampai 72 jam.
Urtikaria diklasifikasikan menjadi 3 grup (Tabel 1).
Angioedema merupakan pembengkakan mendadak yang
non-pitting pada kulit, membran mukosa atau keduanya,
termasuk traktus respiratorius atas dan gastrointestinalis,
yang biasanya bertahan selama beberapa jam sampai 3 hari.

SK
I

Tabel 1. Klasifikasi Urtikaria


Grup
Urtikaria
spontan

Keterangan
Wheal spontan < 6 minggu

Urtikaria kronik
Urtikaria kontak dingin
(cold contact urticaria)

Wheal spontan > 6 minggu


Faktor pencetus:
udara/air/angin dingin

Delayed pressure
urticaria

Faktor pencetus: tekanan


vertikal (wheal arising with
a 3-8 latency)

Urtikaria kontak panas


(hot contact urticaria)

Faktor pencetus: panas


yang terlokalisir

Urtikaria solaris

Faktor pencetus: UV
dan/atau sinar tampak

Urtikaria factitia/
Urtikaria dermografik

Faktor pencetus: kekuatan


mekanis (wheal muncul
setelah 1-5 menit)

Urtikaria/ angioedema
fibratori
Urtikaria angiogenik

Faktor pencetus: misal


pneumatic hammer
Faktor pencetus: air

Urtikaria kolinergik

Dicetuskan oleh naiknya


temperatur tubuh

Urtikaria kontak

Dicetuskan oleh kontak


dengan bahan yang
bersifat urtikariogenik

Urtikaria yang
diinduksi oleh latihan
fisik (exercise)

Faktor pencetus: latihan


fisik

PE
R

DO

Urtikaria
fisik

Sub grup
Urtikaria akut

Kelainan
urtikaria
lain

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 159

Dermatologi Alergo-Imunologi

159

II

Kriteria diagnostik
Klinis

Urtikaria ditandai secara khas oleh timbulnya wheals


dan/atau angioedema secara cepat. Wheal terdiri atas
tiga gambaran klinis khas yaitu (i) udem di bagian
sentral dengan ukuran bervariasi, hampir selalu
dikelilingi oleh eritema, (ii) disertai oleh gatal atau
kadang-kadang sensasi seperti terbakar, dan (iii)
berakhir cepat, kulit kembali ke kondisi normal
biasanya dalam waktu 1-24 jam.
Pedoman untuk diagnosis diawali dengan evaluasi
rutin pasien, yang meliputi anamnesis lengkap dan
pemeriksaan fisik, dan menyingkirkan penyakit sistemik
berat dengan pemeriksaan laboratorium dasar. Tes
provokasi dan laboratorium spesifik sebaiknya dilakukan
secara individual dengan didasarkan penyebab yang
dicurigai. Anamnesis sebaiknya meliputi:
1)
Waktu mulai munculnya urtikaria (onset),
2)
Frekuensi dan durasi wheals,
3)
Variasi diurnal,
4)
Bentuk, ukuran, dan distribusi wheals,
5)
Apakah disertai angioedema,
6)
Gejala subjektif yang dirasakan pada lesi, misal
gatal, nyeri,
7)
Riwayat keluarga terkait urtikaria, atopi,
8)
Alergi yang dulu atau saat ini, infeksi, penyakit
internal, atau penyebab lain yang mungkin,
9)
Induksi oleh bahan fisik atau latihan fisik (exercise),
10) Penggunaan obat (NSAID, injeksi, imunisasi,
hormon, obat pencahar (laxatives), suppositoria,
tetes mata atau telinga, dan obat-obat alternatif),
11) Makanan,
12) Kebiasaan merokok
13) Jenis pekerjaan
14) Hobi
15) Kejadian berkaitan dengan akhir pekan, liburan,
dan perjalanan ke daerah lain
16) Implantasi bedah
17) Reaksi terhadap sengatan serangga
18) Hubungan dengan siklus menstruasi
19) Respon terhadap terapi
20) Stres
21) Kualitas hidup terkait urtikaria

PE
R

DO

SK
I

160

Langkah kedua adalah pemeriksaan fisik pasien, yang


sebaiknya juga meliputi tes dermografisme (terapi
antihistamin harus dihentikan setidaknya 2-3 hari dan
terapi immunosupresi untuk 1 minggu). Langkah
diagnostik selanjutnya bergantung pada subtipe
urtikaria, seperti dirangkum pada Tabel 2
D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 160

Dermatologi Alergo-Imunologi

Diagnosis banding

Penyakit kulit yang dapat bermanifestasi sebagai lesi


urtikaria

Dermatitis urtikarial
Dermatitis kontak (iritan atau alergik)
Reaksi gigitan arthropoda
Erupsi obat eksantematosa
Mastositosis (anak-anak)
Penyakit bulosa autoimun
Subepidermal: pemfigoid bulosa,
pemfigoid gestasional, dermatosis
IgA linear, EB akuisita, Dermatitis
herpetiformis Duhring
Intraepidermal: Pemfigus
herpetiformis
PUPPP (pruritic urticarial papules and
plaques of pregnancy)
Small-vessel vasculitis (vaskulitis
urtikarial)
Dermatitis progesteron/estrogen
Autoimun
Dermatitis granulomatosa interstisial
Selulitis eosinofilik (sindrom Wells)
Hidradenitis ekrin neutofilik
Musinosis folikular urticarial-like

SK
I

Biasa dijumpai

PE
R

DO

Jarang

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 161

Dermatologi Alergo-Imunologi

161

Pemeriksaan penunjang

o Gambaran histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan udem pada dermis atas dan tengah,
disertai dilatasi venula postkapiler dan pembuluh limfatik dermis atas.
Tabel 2. Tes Diagnostik Urtikaria
Grup

Sub grup

Urtikaria
spontan

Urtikaria akut

Urtikaria kronik

Program diagnostik lanjutan (bergantung


pada penyebab yang dicurigai)
Tidak ada (kecuali sangat dicurigai pada
riwayat pasien, misal alergi)

UV dan sinar
tampak pada
berbagai panjang
gelombang
Elisitasi
dermografisme

Singkirkan dermatoses lain yang diinduksi


cahaya

Urtikaria
factitia/
Urtikaria
dermografik
Urtikaria
angiogenik

Pakaian basah pada


temperatur tubuh
diaplikasikan selama
20 menit
Latihan fisik dan
provokasi
rendam/mandi air
panas
Tes tusuk/tempel
dibaca setelah 20
menit
Bergantung pada
riwayat tes latihan
fisik dengan/ tanpa
makanan

Tidak ada

PE
R

Kelainan
urtikaria
lain

Urtikaria
kontak dingin
(cold contact
urticaria)
Delayed
pressure
urticaria
Urtikaria
kontak panas
(hot contact
urticaria)
Urtikaria
solaris

Tes
diagnostik
rutin
Tidak ada (kecuali
sangat dicurigai
pada riwayat pasien,
misal alergi)
DL, erythrocyte
sedimentation rate
(ESR) /C-reactive
protein (CRP),
menyingkirkan obat
yang dicurigai (misal
NSAID)
Tes provokasi (dan
threshold test)
dingin (balok es, air
dingin, angin dingin)
Tes tekan (0,21,5kg/cm2 selama
10 dan 20 menit)
Tes provokasi panas
dan threshold test
(air hangat)

Urtikaria
kolinergik
Urtikaria
kontak

Urtikaria/
anafilaksis
yang diinduksi
oleh latihan
fisik

162

Tes untuk (i) penyakit infeksi (misal


Helicobacter pylori), (ii) alergi tipe I, (iii)
autoantibodi, (iv) hormon tiroid, (iv) tes fisik,
(v) diet bebas-pseudoalergen untuk 3 minggu
dan triptase, biopsi

DL dan ESR/CRP, cryoproteins


menyingkirkan penyakit lain, terutama infeksi
Tidak ada

DO

Urtikaria
fisik

SK
I

Tidak ada

DL, ESR/CRP

Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 162

Dermatologi Alergo-Imunologi

Penatalaksanaan

Nonmedikamentosa : Identifikasi dan menghindari


kemungkinan penyebab.
Medikamentosa:
Prinsip: Atasi keadaan akut terutama pada angioedema
karena dapat terjadi obstruksi saluran napas. Dapat
dilakukan di unit gawat darurat bersama-sama dengan /
atau dikonsulkan ke Spesialis THT
1. Topikal:
Bedak kocok dibubuhi antipruritus mentol dan kamfer
2. Sistemik:
Urtikaria akut:
- Antihistamin (AH) nonsedatif
- Bila dengan AH nonsedatif tidak berhasil, dapat
digunakan hydroxyzine atau diphenhydramine 25
50 mg qid.
- Angioedema disertai obstruksi saluran napas:
a. Epinefrin dapat mengatasi urtikaria berat atau
angioedema atau jika terdapat edema laring.
b. Kortikosteroid setara Prednison 60-80 mg/hari
selama 3 hari, dosis diturunkan 5 10 mg/hari.
c. Konsul THT
Urtikaria kronik:
Terapi lini pertama:
Antihistamin H1 generasi kedua non sedasi (nonsedating second generation H1-AH/ nsAH)
Terapi lini kedua:
Jika gejala menetap setelah 2 minggu, antihistamin
H1 generasi kedua non sedasi dapat dinaikkan
dosisnya sampai 4x.
Terapi lini ketiga:
Bila gejala masih menetap sampai 1-4 minggu, dosis
regimen terapi nsAH dapat diganti generasi pertama
antihistamin sedasi atau antihistamin non sedasi
generasi kedua dengan pilihan menambahkan
antagonis leukotrien. Jika terjadi eksaserbasi gejala
dapat diberikan kortikosteroid sistemik untuk 3-7 hari.
Terapi lini keempat:
Jika gejala masih menetap sampai 1-4 minggu
regimen terapi nsAH dapat dilanjutkan dengan
kombinasi siklosporin, antihistamin H2 non sedasi
generasi kedua, dapson, atau omalizumab. Apabila
masih terjadi eksaserbasi gejala, perlu ditambahkan
kortikosteroid sistemik selama 3-7 hari.

PE
R

DO

SK
I

III

IV

Komplikasi

: Kesulitan menelan

Edema laring --> kesulitan bernafas --> kematian

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 163

Dermatologi Alergo-Imunologi

163

Kepustakaan

: 1) Zuberbier 2T, Bindslev-Jensen C, Canonica W, et al.


EAACI/GA LEN/EDF guideline: definition, classification and
diagnosis of urticaria. Allergy 2006: 61: 316320
2) Zuberbier T. A Summary of the New International
EAACI/GA2LEN/EDF/WAO Guidelines in Urticaria . WAO
Journal 2012; 5:S1S5
3) Kaplan AP. Angioedema. WAO Journal 2008; 1:103-113
4) Peroni A, Colato C, Schena D, Girolomoni G. Urticarial
lesions: If not urticaria, what else? The differential diagnosis
of urticaria. Part I. Cutaneous diseases. J Am Acad
Dermatol 2010;62:541-55.
5) Chow S. Management of chronic urticaria in Asia: 2010
AADV consensus guidelines. Asia Pac Allergy 2012;2:149160
6) Kaplan AP. Urticaria and angioedema. Dalam: Wolff K,
Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, editors.
Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke 8.
New York: McGraw-Hill 2012; 414-430

PE
R

DO

SK
I

IV

164

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 164

Dermatologi Alergo-Imunologi

Penanganan Urtikaria/ Angioedema Kronik Idiopatik Autoimun:

Berespon
--> Pertahankan pada dosis
dimana urtika ringan, tidak
perlu sampai hilang

Berespon

SK
I

Antihistamin nonsedatif:
Satu obat atau kombinasi 2-4 kali dosis yang
dianjurkan untuk rhinitis

Antihistamin lain hingga dosis maksimal, mis.


Hydroksizin atau difenhidramin (25-50 mg qid)
Tambahan antagonis H2, antagonis leukotrien

Respon tidak memadai

Dosis rendah perhari (10 mg prednison atau setara)


steroid atau steroid selang sehari (20-25 mg qod)
dengan menurunkan dosis perlahan menggunakan
tablet prednison 5mg dan 1 mg

DO

Riwayat menggunakan kortikosteroid atau dengan


hipertensi, diabetes, osteoporosis, striae berat,
obesitas morbid

Siklosporin bersama steroid hingga dosis maksimum 15


mg/ hari diturunkan bertahap dengan tujuan tidak
menggunakannya

PE
R

Siklosporin tidak efektif atau ada efek samping


Dosis rendah steroid seperti di atas
Metotreksat mingguan
globulin intravena
Plasmaferesis bagi subgrup autooimun

Respon baik terhadap


steroid
Menurunkan dosis setiap
2-3 minggu bila dapat
ditoleransi
Tujuan: urtikaria ringan,
angioedema jarang

Respon kurang terhadap


steroid
--> siklosporin, ketika
respon dicapai, eliminasi
kortikosteroid

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 165

Dermatologi Alergo-Imunologi

165

D.9. PSORIASIS
Definisi

II

Kriteria diagnostik

Klinis
Tanda dan gejala

Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit yang kronik


residif ditandai oleh plak eritematosa, di atasnya terdapat
skuama kasar, transparan, berlapis-lapis, disertai adanya
fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner.
Psoriasis dapat timbul pada semua usia, tetapi jarang
pada usia kurang dari 10 tahun, sering muncul antara usia
15 dan 30 tahun.1

SK
I

Psoriasis tipe plak


Bentuk psoriasis yang paling banyak
Plak eritematosa berbatas tegas dengan skuama
berwarna keperakan adalah karakteristik tetapi tidak
harus ada
Daerah yang terkena biasanya:
Siku, lutut, kepala, celah intergluteal, palmar dan plantar
Kadang-kadang genitalia juga terkena

DO

Psoriasis guttata
Onset mendadak dan biasanya terjadi setelah infeksi
streptokokal pada saluran pernafasan atas
Bentuk seperti tetesan air, plak merah muda dengan
skuama
Biasanya ditemukan pada badan dan ekstremitas

PE
R

Psoriasis pustularis generalisata dan lokalisata


Generalisata
Juga disebut psoriasis von Zumbusch
Secara khas ditandai oleh pustul steril yang mengenai
sebagian besar area tubuh dan ekstremitas
Pada kasus yang berat pustul dapat bergabung dan
membentuk kumpulan pus (lake of pustules)
Fungsi perlindungan kulit hilang dan pasien rentan
terhadap infeksi, hilangnya cairan dan nutrien
Sering disertai dengan gejala sistemik misal demam dan
malaise
Dapat membahayakan kehidupan
Lokalisata
Pustul terlokalisasi pada palmar dan plantar
Pustul dapat terletak di atas plak
Sangat mengganggu karena kesulitan menggunakan
tangan atau kaki

Psoriasis eritroderma
Generalisata, berat, eritema yang luas dengan skuama
yang dapat mengenai sampai 100% luas permukaan
tubuh

166

Dermatologi Alergo-Imunologi

29

Diagnosis

Fungsi perlindungan kulit hilang dan pasien rentan


terhadap infeksi, temperatur tubuh yang tak dapat
terkontrol, hilangnya cairan dan nutrien
Sering disertai dengan gejala sistemik yaitu demam dan
malaise
Dapat membahayakan kehidupan

SK
I

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik

Riwayat
Usia awitan bimodal: 16-22 tahun dan 57-60 tahun
Infeksi, terutama streptokokus dapat memicu atau
mengeksaserbasi penyakit
Obat (misal litium, antimalaria, alkohol, -bloker) dapat
memicu penyakit
Riwayat pengobatan dan pembedahan
Review riwayat keluarga, sosial, dan gejala

DO

Pemeriksaan fisik
Diagnosis biasanya dapat dibuat dari penampilan klinis
plak
Inspeksi semua area tubuh terutama permukaan
ekstensor, badan, perineum, kepala, kuku, sendi, serta
daerah prominen lain.

PE
R

Tes diagnosis
Mungkin diperlukan untuk penyakit yang sulit atau atipik
Tidak ada petanda serologis atau tes laboratorium
yang patognomonik untuk psoriasis
Biopsi kulit, studi serologis sifilis, kultur bakteri, HLA
typing, pemeriksaan mikroskopis (KOH), dsb dapat
digunakan untuk membedakan psoriasis dari penyakit
yang lain.

Diagnosis
banding

Pemeriksaan
penunjang

1. Sifilis psoriasiformis
2. Dermatitis seboroik
3. Parapsoriasis
Bila sangat perlu: biopsi kulit
Pemeriksaan ASTO
Pemeriksaan faktor rhematoid
Foto rontgen tulang sendi

Dermatologi Alergo-Imunologi

167
30

Penatalaksanaan

EDUKASI PASIEN

Edukasi terhadap pasien dan keluarga merupakan


kunci penting untuk keberhasilan penatalaksanaan
Pasien harus disadarkan bahwa terapi hanya akan
mengontrol psoriasis tetapi tidak menyembuhkannya
Yakinkan pasien bahwa psoriasis banyak dijumpai dan
tidak menular
Diskusikan berbagai pilihan terapi, efek samping dan
hasil yang diharapkan
Diskusikan kemungkinan faktor penyebab eksaserbasi

SK
I

III

PRINSIP TERAPI
Pilihan terapi sangat individual
Sebagian besar pasien akan mendapatkan terapi multipel
simultan
Dokter harus memahami semua pilihan terapi sehingga
terapi yang tepat dapat dipilih untuk masing-masing pasien

PE
R

DO

Pertimbangan berikut akan mempengaruhi pilihan dan


frekuensi terapi:
Keparahan, luas permukaan tubuh yang terkena, regio
tubuh yang terkena
Pengaruh psoriasis pada kualitas hidup
Derajat gangguan psikologis yang disebabkan oleh
penyakit
Rasio risiko vs keuntungan harus dipertimbangkan
untuk masing-masing rejimen terapi
Adanya komorbiditas misal penyakit hepar, hipertensi
dihubungkan dengan sindrom metabolik
Kenyamanan pasien
Biaya terapi
B

FOTOTERAPI/ FOTOKEMOTERAPI

Fototerapi biasanya digunakan pada pasien dengan


psoriasis generalisata sedang sampai berat dengan
luas permukaan tubuh yang terkena > 3% (termasuk
psoriasis gutata) atau terdapat gejala mitigating lain
Kontraindikasi: pengobatan radiasi sinar pengion penyakit
dengan fotosensitif misalnya lupus eritematosus, xeroderma pigmentosus, porfiria, pengguna obat-obat bersifat
fotosensitizer: antara lain griseofulvin dan diuretika, pasien
dengan riwayat terapi arsenik, pasien melanoma, kanker
kulit non melanoma multipel. Kontraindikasi tambahan
untuk PUVA: penyakit hati, pemakai siklosporin atau
metotreksat, hamil dan menyusui.
Perhatian khusus: pasien tipe kulit 1-2, atopik,
eritroderma (vasodilatasi luas), mudah terbakar, pasien
tidak tahan panas atau tidak kuat berdiri.

31

168

Dermatologi Alergo-Imunologi

Toksisitas: akut: eritema, pruritus, terbakar kulit; kronis:


photoaging, lentigen, telangiektasia, secara teoritis
mempunyai risiko tinggi terhadap keganasan. Toksisitas
tambahan PUVA: akut:mual dan muntah, pusing dan
sakit kepala, bula, onikolisis akibat sinar, melanokia;
kronis: fotokarsinogenesis untuk kaukasia tipe kulit I-III
setelah 200 penyinaran
Lubrikan dan emolien diperlukan untuk meningkatkan
dayaguna fototerapi
Jika memungkinkan, kulit yang tidak disinar harus
dilindungi dengan tabir surya
Lindungi daerah payudara, okular, dan genital selama
sesi fototerapi
Monitoring: sebelum terapi: penapisan kanker kulit,
katarak, dan pada masa terapi evaluasi kulit
keseluruhan, awasi efek samping

SK
I

DO

Ultraviolet B (UVB) broadband (BB)


Efek: penyembuhan awal terlihat setelah 4 minggu
terapi, kulit bersih (clearance) dapat tercapai setelah
20-30 terapi, terapi pemeliharaan (maintenance) dapat
memperpanjang masa remisi. Laju remisi 5% setahun
Dosis awal: menurut tipe kulit 20-60mJ/cm2 atau 50%
minimal erythemal dose (MED), dosis dinaikan 530mJ/cm2 atau 25% MED awal, penyinaran 3-5
kali/minggu

PE
R

Ultraviolet B (UVB) narrowband (NB)


Efek: penyembuhan awal terlihat setelah 8-10 terapi,
kulit bersih dapat tercapai setelah 15-20 terapi, terapi
pemeliharaan dapat memperpanjang masa remisi.
Laju remisi 38% setahun
Dosis awal: menurut tipe kulit 130-400mJ/cm2 atau
50% minimal erythemal dose (MED), dosis dinaikan
15-65mJ/cm2 atau 10% MED awal, penyinaran 3-5
kali/minggu
UVB dapat dikombinasikan dengan:
o Analog Vit D topikal
o Coal tar topikal
o PUVA
o Retinoid (dosis fototerapi harus direndahkan)
o Metotreksat (dapat digunakan dosis kumulatif rendah)

PUVA
Efek: penyembuhan awal terlihat dalam satu bulan
terapi, 89% pasien mendapatkan perbaikan plak dalam
20-25 kali terapi selama 5.3-11.6 minggu. Terapi
pemeliharaan tidak ditetapkan, masa remisi 3-12 bulan
Dosis: 8-metoksi psoralen, 0.4-0.6mg/kgBB diminum
peroral 60-120 menit sebelum disinar UVA. Kaca mata
bertabir ultra violet diperlukan untuk perlindungan di

Dermatologi Alergo-Imunologi

32

169

SK
I

luar rumah 12 jam setelah minum psoralen. Dosis UVA


menurut tipe kulit 0.5-3.0J/cm2, dosis dinaikan 0.5-1.5
J/cm,2penyinaran 2-3 kali/minggu.
PUVA dapat dikombinasikan dengan:
o Retinoid oral (mempunyai efek sinergis, dapat
digunakan dosis rendah)
o Metotreksat (hanya dapat digunakan untuk psoriasis
berat)
o Analog Vit D
o Steroid topikal
o UVB

DO

Soak/ bath PUVA


Dapat digunakan pada pasien dengan psoriasis
lokalisata, terutama palmar dan plantar
Merupakan alternatif pada pasien dengan psoriasis
generalisata yang tidak dapat mentoleransi psoralen oral
Efek: penyembuhan awal terlihat dalam satu bulan
terapi, 89% pasien mendapatkan perbaikan plak dalam
30 kali terapi selama 5 -12 minggu. Terapi pemeliharaan tidak ditetapkan, masa remisi 3-12 bulan
Dosis: 0.1% 8-metoksipsoralen dalam emolien, dioles
30 menit sebelum sinar; 50mg 8-metoksi psoralen
dalam 100 L air, dioles 20-30 menit sebelum. Dosis
UVA menurut tipe kulit 0.5-3.0J/cm2, dosis dinaikan
0.5-1.5 J/cm,2penyinaran 2-3 kali/minggu.
C

TERAPI TOPIKAL

PE
R

Emolien:
Bagian penting dari terapi psoriasis, terutama pada
fase non-akut
Efek: Melembutkan dan menghaluskan stratum korneum
(soften & smoothen), dengan cara mekanisme trapping
sehingga menurunkan kecepatan hilangnya air transepidermal
o Petrolatum, minyak mineral meningkatkan efikasi
fototerapi
o Beberapa emolien (misal yang mengandung asam)
mungkin mengiritasi kulit yang inflamasi
Pilihan pasien dan daerah lesi menentukan formula yang
akan digunakan, misalnya petrolatum, parafin cair, minyak
mineral, gliserin, dsb

Kortikosteroid
Pilihan terapi untuk psoriasis pada wajah, hairline,
daerah postaurikular dan lipatan
Efek: anti inflamasi, vasokonstriksi dan menurunkan
turnover sel (sitostatik), sehingga kortikosteroid potensi

170

Dermatologi Alergo-Imunologi

33

DO

SK
I

sedang dan kuat lebih sesuai untuk psoriasis oleh


karena efek sitostatiknya.
Dosis: dapat dipakai 1-2 kali sehari, dapat dikombinasi
dengan obat topikal lain, fototerapi, obat sistemik
Takifilaksis (toleransi yang cepat) dan efek samping pada
terapi jangka lama membatasi pemakaian kortikosteroid.
Gunakan secara bijaksana untuk mencapai keuntungan maksimal dengan efek samping minimal
Pilihan sediaan bergantung pada lokasi lesi yang akan
diterapi, usia pasien, keparahan lesi, potensi (StoughtonCornell)
Skalp: lotion, spray, solusio dan gel lebih dipilih karena
dapat digosokkan pada skalp
Wajah: potensi rendah, hindari poten-superpoten
Lipatan tubuh: potensi rendah bentuk krim atau gel.
Palmar dan plantar: steroid potensi sangat poten,
hanya sedikit efektif
Flare-up psoriasis dapat terjadi setelah steroid dihentikan;
terapi kortikosteroid harus diturunkan perlahan
Digunakan sebagai kombinasi dengan bahan yang
ditoleransi lebih baik; tingkatkan potensi kortikosteroid
saat flare-up dan tapering jika dalam remisi
Biasanya digunakan kombinasi dengan: analog Vit D
dan retinoid topikal

PE
R

Ditranol (Antralin)
Terapi efektif untuk psoriasis plak, memperlambat
kecepatan proliferasi populasi sel stem sehingga jadi
keratinisasi normal
Efek: efikasi rendah bila merupakan monoterapi dibandingkan dengan kortikosteroid atau kalsipotriol
Dosing; kontak cepat diawali dengan konsentrasi 1%
Pewarnaan dan iritasi
Tidak sesuai untuk daerah yang luas dari lesi kecil, daerah
lipatan atau wajah
Kehamilan kategori C; anak dapat dipakai dengan
perhatian intensif
Keratolitik
Asam salisilat adalah keratolitik yang paling sering
digunakan
Efek: tidak ada data bila dipakai secara tunggal dengan
kombinasi tacrolimus atau mometason furoate mempunyai potensi perbaikan lebih tinggi dibandingkan
dengan pemberian tacrolimus atau mometason tunggal.
Efek samping/kontraindikasi: bila pemakaian lebih dari
20% permukaan tubuh, penyerapan sistemik dapat
terjadi, terutama pada pasien yang mengalami gangguan
fungsi hati ataupun fungsi ginjal. Asam salisilat dapat
mengurangi efikasi UVB, karena asam salisilat mempunyai efek tabir.

34

Dermatologi Alergo-Imunologi

171

Kehamilan asam salisilat dapat dipakai pada kehamilan, hindari pemakaian pada anak-anak, karena efek
penyerapan oleh kulit yang besar.

DO

SK
I

Retinoid (topikal)
Tazaroten merupakan retinoid topikal yang efektif
untuk psoriasis
Dapat digunakan untuk terapi psoriasis tipe ringansedang yang melibatkan < 20% luas permukaan tubuh
Efek dan dosis: memperantarai diferensiasi dan
proliferasi sel. Lebih dari 50% perbaikan terlihat pada
63% dan 50% pasien yang diobati Tazarotene masingmasing 0.1% gel dan 0.05% gel, sekali sehari selama
12 minggu, dibandingkan dengan 315 pasien yang
diobati vehikulum. Dalam 12 minggu lesi menghilang
pada 50-51% pasien yang diterapi Tazaroten dengan
konsentrasi masing-masing 0.1% dan 0.05%.
Paling baik dikombinasi dengan topikal kortikosteroid.
Efek samping dan Kontraindikasi iritasi pada lesi atau
sekitarnya, bersifat fotosensitizer.
Kehamilan dan menyusui: kategori X, anak-anak tidak
ada data <18 tahun
Awitan lambat dan jika digunakan sebagai terapi
tunggal dapat menimbulkan iritasi kulit (dermatitis
retinoid), sehingga biasanya digunakan dalam kombinasi
dengan kortikosteroid topikal
Dapat dikombinasikan dengan: steroid topikal

PE
R

Analog Vit D
Preparat yang tersedia adalah kalsipotriol dan kalsitriol
Dapat digunakan untuk jangka lama
Efektif untuk psoriasis plak kronik ringan-sedang;
mungkin tidak sesuai untuk psoriasis inflamasi
Efek: 70-74% pasien diobati dengan salep kalsipotriol
atau kalsipotrien menghasilkan 75% perbaikan atau
bahkan sangat baik dibandingkan dengan plasebo
yang hanya 18-19%. Untuk pemakaian pada skalp
kalsipotriol atau kalsipotrien memperbaiki psoriasis
skalp 60% pasien dibandingkan dengan plasebo yang
hanya 17%. Bila dikombinasi dengan betametason
dalam empat minggu berhasil membersihkan psoriasis
48% pasien plak psoriasis sedang dan berat, 16.5%
bila hanya kalsipotriol, 26.3% bila hanya betametason
dan 7.6% dengan plasebo. Kombinasi kalsipotriol dan
betametason sekali shari dalam 52 minggu berhasil
membersihkan psoriasis 70-80% tanpa efek samping.
Dosis: kalsipotriol 2 kali sehari, kalsipotriol kombinasi
dengan betametason sekali sehari.
Aksi onset lambat, efek mungkin tak tampak dalam 6-8
minggu

35

172

Dermatologi Alergo-Imunologi

Reaksi simpang/kontraindikasi: iritasi, peningkatan


kadar kalsium serum terutama bila diberikan 100
gram/hari, fotosensitif tetapi bisa dikombinasi dengan
fototerapi UVB, efek samping kortikosteroid topikal bila
dikombinasi dengan betametason.
Kehamilan; kategori C; anak-anak : aman
Dapat dikombinasikan dengan terapi lain:
o Kortikosteroid topikal
o UVB
o PUVA (Kalsipotriol harus diaplikasikan setelah
paparan UVA karena UVA menginaktifasi kalsipotriol)
o Siklosporin-A
o Metotreksat
o Retinoid oral

SK
I

DO

Tar
Efektif digunakan untuk plak kronik pada psoriasis
ringan-sedang
Efek: Menekan sintesis DNA pada epidermis, dapat
menyebabkan folikulitis steril. Pengobatan dengan 1%
losio coal tar lebih baik dibandingkan dengan ekstrak
5% coal tar.
Kurang disenangi pasien karena berbau/masalah pruritus
Dapat digunakan tunggal atau sebagai tar bath, atau
diaplikasikan langsung pada plak psoriasis (hindari
wajah dan fleksural/lipatan)
Lebih sering digunakan sebagai terapi untuk kulit
kepala dengan kortikosteroid atau kombinasi dengan
UVB (terapi Goeckerman)
D

TERAPI SISTEMIK

PE
R

Metotreksat
Antimetabolit yang dapat digunakan pada pasien yang
gagal dengan terapi topikal dan fotokemoterapi
Obat yang paling sering digunakan pada psoriasis
sedang-berat (psoriasis yang mengenai > 10% luas
permukaan tubuh)
Sangat efektif terutama untuk terapi jangka lama
psoriasis berat termasuk psoriasis eritroderma dan
psoriasis pustularis
Efek: 36% pasien terkendali dengan 7.5mg/minggu
secara oral, dosis dinaikkan bila perlu, PASI 75 dicapai
setelah 16 minggu.
Dosis: diberikan sebagai dosis oral tunggal mingguan.
Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap sampai
menghasilkan repons pengobatan yang optimal; dosis
maksimal tidak boleh melebhih 30mg/minggu. Dosis
harus diturunkan serendah mungkin sampai jumlah
yang dibutuhkan secara memadai dapat mengendalikan

36

Dermatologi Alergo-Imunologi

173

DO

SK
I

psoriasis dengan penambahan obat topikal. Dianjurkan


untuk melakukan dosis uji 2.5-5mg/minggu. Pemakaian
dapat berlangsung sepanjang tidak memberikan tanda
toksisitas hati dan sumsum tulang dengan pemantauan
yang memadai. Pemberian asam folat 1-5mg perhari
secara oral, kecuali pada hari pemberian metotreksat,
akan mengurangi efek samping
Toksisitas: peningkatan nilai fungsi hati (bila 2 kali lipat
pantau lebih sering; 3 kali lipat turunkan dosis dan bila
lebih dari 5 kali lipat hentikan pemberian). Anemia
aplastik, leukopenia, trombositopenia, pneumonitis intersisial, stomatitis ulserativa, mual, muntah, diare, lemah,
cepat lelah, menggigil, demam, pusing, menurunnya
ketahanan terhadap infeksi, ulserasi dan perdarahan
lambung, fotosensitif dan alopesia.
Interaksi obat: obat hepatotoksik misalnya barbiturat,
sulfametoksazol, NSAID, penisilin, trimetoprim.
Biopsi hati dilakukan setelah pemberian metotreksat 3.54 gram diikuti setiap 1.5 gram. Pasien dengan ririsko
kerusakan hati, biopsi hati dipertimbangkan setelah
pemberian metotreksat 1-1.5 gram.
Kontraindikasi absolut: hamil, menyusui, alkoholisme,
penyakit hati kronis, sindroma imunodefisiensi, hipoplasia
sumsum tulang belakang, lekopenia, trombositopenia,
anemia yang bermakna, hipersensitivitas terhadap
metotreksat. Kontraindikasi relatif: abnormalitas fungsi
renal, hepar, infeksi aktif, obesitas, diabetes melitus.
Pemantauan: Riwayat penyakit, pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan laboratorium; darah lengkap,fungsi hati dan
renal, biopsi sesuia anjuran, pemeriksaan kehamilan, uji
HIV, PPD, foto toraks.
Dapat dikombinasikan dengan:
o UVB
o PUVA
o Retinoid
o Siklosporin

PE
R

Siklosporin
Efektif untuk psoriasis rekalsitran tipe plak sedang
sampai berat, psoriasis pustulosa generalisata, dewasa,
nonimunocompromised, psoriasis palmoplantar.
Efek: 36% dan 65% pasien berhasil dengan dosis
masing-masing 3 dan 5 mg/kgbb/hari selama 8 minggu.
Keberhasilan meningkat 50-70% pasien dengan dosis
yang sama hanya waktu yang lebih panjang 8-16 minggu
dan dapat mencapai melenyapkan lesi psoriasis 75%
(PASI 75)
Dosis: 2.5-5.0mg/kgBB/hari dosis terbagi. Dosis dikurangi 0.5-1.0 mg/kgbb/hari bila sudah berhasil, atau
mengalami efek samping. Pengobatan dapat diulang

174

Dermatologi Alergo-Imunologi

37

DO

SK
I

setelah masa istirahat tertentu, dan dapat berjalan


selama 1-2 tahun, selama tidak ada efek samping.
Pemakaian jangka lama (> 2 tahun) tidak dianjurkan
karena dapat menyebabkan nefrotoksisitas dan
kemungkinan keganasan
Kontraindikasi: bersamaan dengan pemberian imunosupresan lain (metotreksat, PUVA, UVB, tar batubara,
radioterapi), fungsi renal terganggu, keganasan, hipersensitif terhadap siklosporin, hindari vaksin, perhatian
seksama bila diberikan pada pasien dengan infeksi berat
juga diabetes melitus tidak terkontrol.
Toksisitas: gangguan fungsi ginjal, hipertensi, keganasan, hyeri kepala, hipertrikosis, hiperplasia ginggiva,
akne memburuk, mual, muntah, diare, mialgia, flulike
syndrome, letargia, hipertrigliserida, hipomagnesium,
hiperkalemia, hiperbilirubinemia, meningkatnya risiko
infeksi dan keganasan.
Jika memungkinkan rotasi penggunaannya dengan
terapi lain atau gunakan pada periode kambuh yang
berat
Interaksi obat: menginduksi/menghambat sitokrom P450
3A4. Menurunkan pembuangan (clearence) digoksin,
prednisolon, statin, diuretik (potasium sparing), tiazid,
vaksin hidup, NSAID. Grapefruit
Monitoring: pemeriksaan fisik, tensi, ureum, kretinin,
urinalisis PPD, fungsi hati, pola lipid, magnesium, asam
urat, dan potasium, uji kehamilan.
Kehamilan kategori C, menyusui: kontraindikasi, anakanak hanya bila psoriasis berat
Pernah digunakan dengan kombinasi:
Analog Vit D topikal
Metotreksat (menurunkan dosis efektif lebih rendah
pada ke 2 obat)

PE
R

Retinoid
Asitretin oral pilihan pada psoriasis dapat digunakan
sebagai monoterapi untuk psoriasis pustular dan psoriasis
eritroderma. Efek menguntungkan terjadi jauh lebih
lambat jika digunakan untuk psoriasis tipe plak dan
guttatae tetapi sangat baik jika dikombinasikan dengan
PUVA dan UVB (diperlukan dalam dosis rendah)
Dosis: 10-50mg/hari, untuk mengurangi efek samping
lebih baik digunakan dalam dosis rendah dengan
kombinasi misalnya UV dengan radiasi rendah.
Kontraindikasi: perempuan reproduksi, gangguan
fungsi hati dan ginjal.
Toksisitas; kheilitis, alopesia, xerotic, pruritus, mulit
kering, paronikia, parestesia, sakit kepala, pseudomotor
serebri, nausea, nyeri perut, nyeri sendi, mialgia,
hipertrigliserida, fungsi hati abnormal.

Dermatologi Alergo-Imunologi

38

175

Interaksi obat: meningkatkan efek hipoglikemik gibenklamid, mengganggu pil kontrasepsi: microdosed progestin,
hepatotoksik, reduksi ikatan protein dari fenitoin, dengan
tetrasiklin meningkatkan tekanan intrakranial.
Monitoring: riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, kombinasi dengan turunan vitamin A lainnya.
Retinoid sangat teratogenik dan cenderung untuk
menetap pada jaringan tubuh
Dapat dikombinasikan dengan UVB, PUVA, metotreksat,
siklosporin

SK
I

DO

Hidroksiurea
Antimetabolit yang dapat efektif sebagai monoterapi,
meskipun kurang efektif daripada obat sistemik lain
Diindikasikan untuk pasien yang gagal terhadap terapi
topikal, UVB, tidak dapat mentoleransi PUVA, metotreksat, atau terapi sistemik lain
Hampir separuh dari pasien yang mempunyai perbaikan
penyakit dengan terapi hidroksiurea menunjukkan
toksisitas sumsum tulang dengan leukopenia atau
trombositopenia
Mikofenolat mofetil
Banyak pasien mencapai remisi jangka lama tetapi
mungkin perlu 12 minggu untuk melihat efek maksimal
Karena obat ini adalah imunosupresan, terdapat risiko
kecil untuk terjadinya penyakit limfoproliferatif dan
keganasan nonkutaneus
Dapat digunakan dalam kombinasi dengan Siklosporin
sehingga dosis Siklosporin dapat di taper off selama
remisi penyakit

PE
R

Sulfasalazin
Efek: berguna pada psoriasis tipe plak sedang-berat
o Keefektifan cenderung lebih rendah daripada obat
sistemik lain
Efek samping biasa dijumpai tetapi cenderung tidak
terlalu berat dan reversibel
Agen biologik
Penggunaan agen biologik disusun dalam buku tersendiri

39

176

Dermatologi Alergo-Imunologi

Kepustakaan

1. Gudjonsson
Psoriasis. Dalam:
Dalam: Fitzpatrick's
Fitzpatrick's
GudjonssonJE,
JE, Elder
Elder JT.
JT. Psoriasis.
: 1.
Dermatology
in General
Medicine.
Wolff K,
GoldsmithLA,
LA, Katz
Katz SI,
Dermatology
in General
Medicine.
Goldsmith
SI,
etGilchrest
al. editor. BA,
Mc Grew
NewMc
York,
2008Hill:
p. 169-193.
et al.Hill:
editor.
Graw
New York, 2012 p.
2. Lebwohl M, Menter A, Koo J, Feldman SR. Combination therapy to
197-242.
treat
moderate to severe psoriasis. J Am Acad Dermatol 2004; 50:
2. 416-430.
Lebwohl M, Menter A, Koo J, Feldman SR. Combination
3. Lebwohl
in psoriasis
therapy. psoriasis.
Dermatol Clin
2000;
18:
therapyM.toAdvances
treat moderate
to severe
J Am
Acad
13-19.
Dermatol 2004; 50: 416-430.
4. Lebwohl M, Ali S. Treatment of psoriasis. Part 2. Systemic
3.
Lebwohl M. Advances in psoriasis therapy. Dermatol Clin
therapies. J Am Acad Dermatol 2001; 45: 649-661.
2000; 18:
M, 13-19.
Ali S. Treatment of psoriasis. Part 1. Topical therapy
5. Lebwohl
4. and
Lebwohl
M, Ali S.
Treatment
of psoriasis.
2. Systemic
phototherapy.
J Am
Acad Dermatol
2001; 45:Part
487-498.
SR,JKoo
A, Bagel
J. 45:
Decision
points for the
6. Feldman
therapies.
AmJYM,
AcadMenter
Dermatol
2001;
649-661.
of M,
systemic
for psoriasis.
J AmPart
Acad1.Dermatol
5. initiation
Lebwohl
Ali S.treatment
Treatment
of psoriasis.
Topical
2005; 53: 101-107.
therapy and phototherapy. J Am Acad Dermatol 2001; 45:
7. Lebwohl M. A clinicians paradigm in the treatment of psoriasis. J
487-498.
Am
Acad Dermatol 2005; 53 (Suppl 1): S59-69.
6.
Feldman
SR, Koo
JYM,NJ,
Menter
A, CA,
Bagel
J. Decision
points
8. Menter
A, Chair,
Korman
Elmets
Feldman
SR, Gelfand
JM,
KB et ofall.systemic
Guidelines
of care for
of
for Gordon
the initiation
treatment
for manangement
psoriasis. J Am
psoriasis
and psoriatic
Section 4. Guidelines of care for
Acad Dermatol
2005;arthritis.
53: 101-107.
management and treatment of psoriasis with traditional
7. the
Lebwohl
M. A clinicians paradigm in the treatment of psosystemic agents. J Am Acad Dermatol 2009; 61: 451-85
riasis. A,
J Am
Acad NJ,
Dermatol
53 (Suppl
1):Gelfand
S59-69.JM,
9. Menter
Korman
Elmets2005;
CA, Feldman
SR,
8. Gordon
MenterKB
A,et
Chair,
Korman NJ,
Elmets
CA, Feldman
Gelall. Guidelines
of care
for manangement
of SR,
psoriasis
and
arthritis.
5. Guidelines
of management
care for the
fandpsoriatic
JM, Gordon
KB etSection
al. Guidelines
of care for
treatment
of psoriasis
with phototherapy
and photochmeotherapy.
of psoriasis
and psoriatic
arthritis. Section
4. Guidelines of
J Am Acad Dermatol 2010; 62: 114-35
care for the management and treatment of psoriasis with
traditional systemic agents. J Am Acad Dermatol 2009; 61:
451-85
9. Menter A, Korman NJ, Elmets CA, Feldman SR, Gelfand
JM, Gordon KB et al. Guidelines of care for management
of psoriasis and psoriatic arthritis. Section 5. Guidelines of
care for the treatment of psoriasis with phototherapy and
photochemotherapy. J Am Acad Dermatol 2010; 62: 114-35

PE
R

DO

SK
I

IV

Dermatologi Alergo-Imunologi

177
40

Algoritme diagnosis dan terapi

Bagan Alur
Diagnosis
tidak jelas

Bukan
psoriasis

Kesan klinis

Keadaan klinis yang


mendukung diagnosis
psoriasis:
Lesi simetri
Distribusi ekstensor
Tanda Auspitz
Lesi berbatas tegas
Skuama keperakan

SK
I

Biopsi

Pikirkan
diagnosis
banding

Psoriasis

Psoriasis
kronis tipe
plak

DO

Eritrodermik/ psoriasis
pustular
Asitretin
Siklosporin A
PUVA, NB-UVB
Metotreksat
Biologikal
Steroid sistemik*

Berat
> 10% luas
permukaan tubuh

Pusat pelayanan/RS
Modifikasi
Goeckerman

PE
R

Terapi sistemik
Lini 1:
metotreksat
asitretin
biologikal

Sedang
> 3%-10% luas
permukaan tubuh

Lini 2:
asam fumarat ester
siklosporin A
obat lain:
o hidroksiurea
o 6-tioguanin
o celicept
o sulfasalazin

Fototerapi
Lini 1:
NB-UVB
BB-UVB

Lini 2:
PUVA
Klimatoterapi

Psoriasis guttata:
Tanpa terapi
NB-UVB
BB-UVB
Terapi topikal
o Analog Vit D3
o Steroid topikal

Ringan
< 3% luas
permukaan tubuh

Terapi topikal
Lini 1:
Emolien
Glukokortikoid
Analog Vit D
Lini 2:
Ditranol
Tazaroten
tar

Keterangan: Panah titik-titik menunjukkan dapat dipakai sebagai terapi alternatif.

178

Dermatologi Alergo-Imunologi

41

SK
I
DO

DERMATOLOGI

PE
R

KOSMETIK & LASER

Dermatologi Kosmetik & Laser

179

E.1. AKNE VULGARIS (L.70.0)


:

II.

Kriteria diagnostik
Klinis

:
:

Akne vulgaris yaitu peradangan kronis pada folikel


pilosebaseus, secara klinis ditandai adanya komedo,
papul, pustul, nodul, kista dengan berbagai macam
tingkat dan keparahan yang sering dijumpai pada usia
remaja. Terkadang akne dapat sembuh sendiri,
meninggalkan sekuele berupa bintik atau skar
hipertropik

SK
I

Definisi

Terutama menyerang usia remaja


- Predileksi pada wajah, punggung, dada atas,
bahu dan lengan atas
- Efloresensi : komedo hitam dan putih, papul, pustul
nodus, kista, jaringan parut, hiperpigmentasi pasca
inflamasi
- Kriteria diagnosis : gradasi ringan, sedang dan
berat sesuai klasifikasi Lehman et al, 2002
Akne gradasi ringan : komedo < 20 atau lesi
inflamasi < 15, total lesi < 30.
Akne gradasi sedang : komedo 20-100, atau
lesi inflamasi 15-50 atau total lesi 30-125
Akne gradasi berat : kista > 5 atau komedo >
100 atau lesi inflamasi > 50 atau total lesi >
125.

DO

I.

1. Rosasea
2. Dermatitis perioral
3. Erupsi akneiformis
4. Lupus miliaris diseminatus fasiei
5. Folikulitis Gram negatif
6. Pioderma fasiale
7. Akne venenata
8. Tumor kulit di wajah
Ekskohleasi komedo

PE
R

Diagnosis banding

III.

Pemeriksaan
penunjang
Penatalaksanaan

:
:

1. Umum
- Hindari pemencetan lesi dengan cara nonhigienis
- Pilih kosmetik nonkomedogenik
- Lakukan perawatan kulit wajah
2. Medikamentosa
a. Derajat ringan
Topikal retinoid atau agen keratolitik +/- Benzoil
peroksida (BPO) atau antibiotik topikal (klindamisin
gel 1,2 dan sol 1,2% atau eritromisin sol 1%).
b. Derajat sedang
Retinoid topikal dan BPO atau antibiotik topikal,
+/- D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 167

180

Dermatologi Kosmetik &

antibiotik oral, pilihan :


- Tetrasiklin 500 mg 2x/hari
- Doksisiklin 50-100 mg 2 x/hari
- Minosiklin 50-100 mg 2 x/hari
Laser
- Klindamisin 150-300 mg 2-3 x/hari
Catatan: Antibiotika oral selama minimal 6-8 pekan,
maksimal 12-18 pekan.
c. Derajat berat
BPO + retinoid topikal + antibiotik oral, bila tidak

+/-

SK
I

antibiotik oral, pilihan :


- Tetrasiklin 500 mg 2x/hari
- Doksisiklin 50-100 mg 2 x/hari
- Minosiklin 50-100 mg 2 x/hari
- Klindamisin 150-300 mg 2-3 x/hari
Catatan: Antibiotika oral selama minimal 6-8 pekan,
maksimal 12-18 pekan.
c. Derajat berat
BPO + retinoid topikal + antibiotik oral, bila tidak
berhasil: isotretinoin oral: 0,1-2,0 mg/kgBB/hari s/d
dosis kumulatif 120-150 mg/kgBB

DO

Catatan:
- Antibiotik oral selama minimal 6-8 pekan,
maksimal 12-18 pekan
- Pemberian isotretinoin oral dengan persyaratan
ketat
- Untuk wanita dengan akne derajat sedang dan
berat dan ada indikasi faktor hormonal sebagai
penyebab dapat diberikan antiandrogen oral.

Terapi pemeliharaan
- Retinoid topikal: tretinoin krim (0,025%; 0,05%
dan 0,1%), gel (0,025%) atau keratolitik +/- BPO

PE
R

Tindakan khusus:
Ekstraksi komedo
Injeksi kortikosteroid intralesi
Peeling kimiawi (as. glikolat, as. trikloroasetat)
Dermabrasi
Punch graft
Colagen implant
Laser

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 168

Dermatologi Kosmetik & Laser

IV.

Kepustakaan

1. Zaenglein AL, Graber

181

EM, Thibouttot DM. Ac

Kepustakaan

1. Zaenglein AL, Graber EM, Thibouttot DM. Acne


Vulgaris and acneiform Eruptions: Disorders of the
Sebaceous Gland: Acne Vulgaris and Acneiform
Eruptions. In: Goldsmith LA, Kats SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffel DJ, Wolf K, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine 8th ed. United State:
McGraw-Hill Companies; 2012. p. 897-917
2. Layton AM. Acne Vulgaris: Disorders of Sebaceous
Glands. In: Burn T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editors. Rooks Textbook of Dermatology Volume 2. 8th
ed. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2010. p.
42.17-27.
3. Zaenglein AL, Thiboutot DM. Acne Vulgaris: Adnexal
Diseases. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rappini RP,
editors. Dermatology. 2nd ed. United Kingdom: Mosby
Elsevier; 2008. p. 495-508
4. Gollnick, Cunliffe W, Berson D, Dreno B, Finlay A,
Leyden JJ, dkk. Management of acne. J Am Acad
Dermatol. 2003; 49: S2-4.
5. Hasil Asean Meeting Saigon 2003.

PE
R

DO

SK
I

IV.

182

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 169

Dermatologi Kosmetik & Laser

V. Bagan Alur
Akne Vulgaris

Akne Vulgaris

DIAGNOSIS
Apakah gambaran
klinis
sesuai akne?

SK
I

Kunjungan Awal
Pasien dengan Keluhan

DIAGNOSIS
ALTERNATIF
Terapi pasien sesuai
Diagnosis

DO

EVALUASI
Kategori Akne
Berdasarkan tipe
& keparahan

DERAJAT RINGAN

Edukasi pasien

Edukasi pasien

Retinoid
topikal
dan
BPO
atau
Antibiotik topikal
+/Antibiotik oral

PE
R

Retinoid
topikal
atau
Keratolitik
+/BPO
atau
Antibiotik
topikal

DERAJAT SEDANG

TERAPI PEMELIHARAAN
Retinoid topikal

DERAJAT BERAT

Edukasi pasien

BPO
+
Retinoid topikal
+
Antibiotik oral
atau
Isotretinoin oral
bila terapi lain
gagal

TERAPI PEMELIHARAAN
Retinoid topikal +/- BPO

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 170

Dermatologi Kosmetik & Laser

183

E.2. MELASMA (L.81.1)


Definisi

II.

Kriteria diagnostik

Klinis

Hipermelanosis didapat terutama di wajah dan leher


berwarna coklat muda atau tua, dipengaruhi oleh faktor
hormonal, pajanan sinar matahari, kehamilan, genetik,
pemakaian kontrasepsi oral, obat-obatan dan kosmetik.

Bercak kecoklatan, hiperpigmentasi, simetris,


ireguler, batas tegas
Terdapat 3 pola utama distribusi lesi:
1. Pola sentrofasial : hipermelanosis meliputi pipi,
dahi, bibir atas, hidung dan dagu (63%)
2. Pola malar : meliputi pipi dan hidung (21%)
3. Pola mandibular : meliputi ramus mandibula (16%)
Genetik
Pajanan sinar ultraviolet
Hormon seks perempuan (estrogen dan progesteron)
Kontrasepsi (dietil stilbestrol),
Terapi sulih hormon pada perempuan
postmenopouse,
Kehamilan dan
Kosmetik.
Disfungsi sedang tiroid dan ovarium,
Nutrisi,
Obat epilepsi

DO

Faktor pencetus

SK
I

I.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Hiperpigmentasi pasca inflamasi,


Freckles
Lentigo senilis
Okronosis eksogen
Drug-induced hyperpigmentation
Lichen planus pigmentosus
dermatitis kontak pimentid

PE
R

Diagnosis
banding

Pemeriksaan
penunjang

Sinar Wood
Pemeriksaan dengan sinar Wood dapat membedakan
hiperpigmentasi epidermal dengan dermal. Berdasarkan
pemeriksaan dengan sinar Wood melasma dibagi atas:
- Melasma tipe epidermal: warna lesi tampak lebih
kontras dan jelas dibandingkan dengan kulit
sekitarnya.
- Melasma tipe dermal: warna lesi tidak bertambah
kontras.
- Melasma tipe campuran: lesi ada yang bertambah
kontras ada yang tidak.
Biopsi untuk DD/ okronosis eksogen
D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 171

184

Dermatologi Kosmetik & Laser

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan

:
:

Nonmedikamentosa:
Nonmedikamentosa:
Hindari pajanan langsung sinar matahari terutama
09.00
s/d 15.00sinar
WIB matahari terutama
antara
Hindaripukul
pajanan
langsung
antara pukul 09.00 s/d 15.00 WIB
Gunakan tabir surya berspektrum luas dengan SPF
bilasurya
keluar
rumah pada
pukul
07.00SPF
s/d
minimal
Gunakan30tabir
berspektrum
luas
dengan
16.00
WIB.
minimal
30 bila keluar rumah pada pukul 07.00 s/d
16.00
Menghilangkan
faktor etiologi atau predisposisi, antara
WIB.
lain menghentikan
pemakaian
obat
kontrasepsiantara
oral,
Menghilangkan
faktor
etiologi atau
predisposisi,
menghindari
obat atau
bahan yang
menimbulkan
lain menghentikan
pemakaian
obat
kontrasepsiiritasi,
oral,
menyarankan
pemakaian
kosmetika
menghindari obatpenghentian
atau bahan yang
menimbulkan
iritasi,
sedang
dipakai, penghentian
mencegah pemberian
obat yang
dapat
menyarankan
pemakaian
kosmetika
merangsang
hiperpigmentasi,
memeriksa
kemungkinan
sedang dipakai,
mencegah pemberian
obat
yang dapat
adanya
penyakit
kulit lain atau
penyakit sistemik,
dan
merangsang
hiperpigmentasi,
memeriksa
kemungkinan
memberikan
pertimbangan
alternatif
kegiatan
sehariadanya penyakit
kulit lain atau
penyakit
sistemik,
dan
hari/olahraga
kepada pasien,
baik mengenai
waktu
memberikan pertimbangan
alternatif
kegiatan seharimaupun
kondisi
lingkungan.
hari/olahraga
kepada
pasien, baik mengenai waktu
maupun kondisi lingkungan.
Medikamentosa:
Karena
waktu pengobatan panjang maka diperlukan
Medikamentosa:
pertimbangan
terhadap
efektifitas
dan efek
Karena waktu serius
pengobatan
panjang
maka diperlukan
samping
setiap serius
pengobatan
terhadap
melasma.
pertimbangan
terhadap
efektifitas
dan efek
samping setiap pengobatan terhadap melasma.
Pengobatan topikal:
A.
Hidroquinon
2-5% (krim, gel, losio)
Pengobatan
topikal:
B.
retinoat
0,05%
- 0,1%
A. Asam
Hidroquinon
2-5%
(krim,
gel, (krim
losio)dan gel)
C.
azeleat 20%
(krim)
B. Asam retinoat
0,05%
- 0,1% (krim dan gel)
D.
(krim, gel, losio)
C. Asam glikolat
azeleat 8-15%
20% (krim)
E.
4%8-15% (krim, gel, losio)
D. Asam kojik
glikolat
E. Asam kojik 4%
Pengobatan oral:
Dianjurkan
Pengobatan bila
oral:pigmentasi meliputi daerah yang lebih
luas
dan sampai
dermis: meliputi daerah yang lebih
Dianjurkan
bila ke
pigmentasi
1.
askorbat
luasAsam
dan sampai
ke dermis:
2.
1. Glutation
Asam askorbat
3.
2. Pycnogenol
Glutation
4.
3. Proanthocyanidin-rich
Pycnogenol
4. Proanthocyanidin-rich
Bedah kimia
-Bedah
Asam
glikolat 20-70%
kimia
- Asam trikloroasetat
10-30%
glikolat 20-70%
- Jessner
Asam trikloroasetat 10-30%
- Jessner
Dermabrasi
Dermabrasi
Kamuflase kosmetik
Kamuflase kosmetik

PE
R

DO

SK
I

III.
III.

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 172
D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 172

Dermatologi Kosmetik & Laser

185

Bedah Laser : Q switched Nd:Yag dengan panjang


gelombang
532nm epidermal
1064nm dermal

Kepustakaan

1. Hilde Lapeere, Barbara Boone, Sofie De Schepper,


Evelien Verhaeghe et al. Hypomelanoses and
Hypermelanoses. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, et al, editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th ed.
New York: Mc Graw-Hill; 2012.p. 14922. Mary Wu Chang. Disorders of Hyperpigmentation. In:
Bolognia JL.MD, Lorzzo JL, Raini RP, Shaffer JV, editors.
Dermatology. 3nd ed. Edinburg: Mosby; 2012.p1049-74
3. Aditya K. Gupta, Melissa D. Gover, et.al. The treatment
of melasma: A review. J Am Acad Dermatol 2006;
55:1048-65
4. Micheal et.al. Open Label Treatment of Moderate or
Marked Melasma with a 4% Hydroquinone Skin Care
System Plus 0.05% Tretinoin Cream. J Clin Aesthet
Dermatol. 2013;6(11):3238.

PE
R

DO

IV.

SK
I

Cara lain : HF, LED, Mesoterapi, Skin Needling.


Pengobatan dilakukan secara kombinasi dan simultan.

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 173

186

Dermatologi Kosmetik & Laser

V. Bagan Alur

SK
I

PASIEN DENGAN KELUHAN


MELASMA

Tidak

Diagnosis
Apakah gambaran klinis
sesuai melasma ?

Ya

Diagnosis Alternatif

Evaluasi
kategori tipe
melasma

Epidermal

Dermal

DO

Campuran

Non medikamentosa :
Tabir surya SPF 30
+
Edukasi pasien/terapi non
medikamentosa

Non medikamentosa :
Tabir surya SPF 30
+
Edukasi pasien/terapi non
medikamentosa

Non medikamentosa :
Tabir surya SPF 30
+
Edukasi pasien/terapi non
medikamentosa

PE
R

Medikamentosa
- Hidrokinon
- Asam retinoat
- Asam azeleat
- Asam glikolat
- Asam kojik

Teruskan Ya
Terapi dengan
masa istirahat
setiap 3 bulan

Follow up

Adakah perbaikan
setelah 3/6 bulan
Tindakan lain :
peeling, laser, LED,
mesoterapi, dll

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 174

Dermatologi Kosmetik & Laser

187

E.3. FRECKLES (L.81.2)


Definisi

II.

Kriteria diagnostik

Klinis

Bercak kecoklatan miliar sampai lentikular batas tegas,


ireguler, tersebar, predileksi di wajah.

Diagnosis banding

1. Hiperpigmentasi pasca inflamasi


2. Melasma
3. Lentigo senilis

Pemeriksaan
penunjang :

Sinar Wood
Biopsi/PA

Nonmedikamentosa:
- Hindari sinar matahari dengan selalu memakai tabir
surya/ pelindung fisik
- Pengobatan saat kehamilan dan menyusui tidak
dianjurkan
- Lama pengobatan minimal 6 bulan.

DO

III. Penatalaksanaan

Merupakan salah satu jenis hipermelanosis berupa


bercak miliar sampai lentikular, tersebar di wajah.
Penyebab pasti tidak diketahui kemungkinan berhubungan dengan pajanan sinar matahari dan genetik.

SK
I

I.

PE
R

Medikamentosa:
Topikal:
- Hidroquinon 2-5 %
- Tretinoin 0,025 0,1%
- Asam azeleat 20%
- Asam kojik 4%
- Tabir surya : SPF minimal 15
Tindakan :
- Bedah listrik
- Bedah kimia : Peeling: AHA, Jessner, TCA
- Bedah Laser : Q switched Nd:Yag dengan panjang
gelombang 532 nm.

IV.

Kepustakaan

1. Park HY, Yaar M. Disorder of Melanocytes: Biology of


Melanocytes. In: Lowell AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy
SP, David JL, Klaus W, editors. Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine 8th ed. United State: McGraw-Hill
Companies; 2012. p. 847-9
2. Bishop JAN. Lentigos, Melanocytic Naevi and Melanoma:
The freckle or ephelis. In: Tony B, Stephen B, Neil C,
Christoper G, editors. Rooks Textbook of Dermatology 8th
ed. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2010.p. 54.1-3

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 175

188

Dermatologi Kosmetik & Laser

V.

Bagan Alur

SK
I

Pasien dengan keluhan


freckles

DIAGNOSIS
Apakah anamnesis &
gambaran klinis
sesuai freckles

Tidak

Diagnosis alternatif

Ya
-

PE
R

DO

Edukasi pasien
Farmakoterapi:
Sunscreen
Asam
retinoat
Asam alfa
hidroksi
Hidroquinon
Asam
azeleat
Asam kojik
- Tindakan lain:
Bedah kimia
Laser
Bedah listrik,
dll

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 176

Dermatologi Kosmetik & Laser

189

E.4. VITILIGO (L.80)


Definisi

II.

Kriteria diagnostik
Klinis

:
:

Penyakit kulit dan membran mukosa kronis progresif


terjadi akibat destruksi melanosit, dengan karakteristik
hipo/amelanosis didapat, dengan makula-patch depigmentasi berbatas tegas diakibatkan oleh kehilangan
fungsi melanosit progresif. Faktor predisposisi/pemicu:
genetik, trauma fisik (burn, zat kimia), penyakit internal
(diabetes melitus, tiroid) serta penyakit autoimun,stres.

Makula depigmentasi atau hipo/amelanosis, batas


tegas
Predileksi: orifisium, wajah, genital, membran
mukosa, daerah ekstensor, tangan, dan kaki.
Etiolgi: trauma fisik, genetik, penyakit internal dan
auto imun, virus.
Klasifikasi :
1. Lokalisata : Fokal ( 1-2 regio )
Segmental
Mukosal
2. Generalisata : Akrofasial
Vulgaris
Campuran
3. Universal ( lebih dari 80 % LPB)

DO

SK
I

I.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Hipopigmentasi pasca inflamasi


Pitiriasis alba
Albinisme
Pitiriasis Versicolor Chronic (PVC)
Morbus Hansen
Cutaneous T-cell Lymphoma (CTCL)
Nevus anemicus
Piebaldism
Sarkoidosis

Sinar Wood
Biopsi/histopatologi
Jika dalam anamnesis dicurigai adanya pengaruh
faktor sistemik, dianjurkan untuk pemeriksaan yang
sesuai dengan kecurigaan sistemik.
Contoh: Diabetes Melitus pemeriksaan gula
darah puasa dan gula darah post prandial
Tiroid pemeriksaan T3, T4 dan TSH

PE
R

Diagnosis banding

III.

Pemeriksaan
penunjang

Penatalaksanaan

Nonmedikamentosa
- Hindari stres
- Gunakan tabir surya
- Hindari trauma
D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 177

190

Dermatologi Kosmetik & Laser

Medikamentosa:
Pengobatan bergantung klasifikasi

SK
I

Topikal
Klasifikasi
1. Lokalisata
a. Fokal

b. Segment
al

DO

c. Mukosal
2. Generalisata
a. Akrofasi
al
b. Vulgaris
c. Campur
an

Pengobatan I
Kortikosteroi
d potensi I, II,
III salap
(Evaluasi 1
bulan, jika
tidak
responsif,
ganti)
Transplantasi
autolog
Transplantasi
autolog

PE
R

3. Universal

PUVA
UVB NB
UVB
NB/PUVA
Depigmentas
i kulit normal
(Benzoquino
n 20%)

Alternatif
delsoralen 0,01%
+ sunlight

PUVA

PUVA +
Kalsipotriol

PUVA +
kalsipotriol
Kombinasi UVB
NB +
Kortikosteroid
salap

Protokol
1. Lama pengobatan NB UVB/PUVA maksimal 3
tahun, tetapi jika dalam waktu 6 bulan tidak ada
respons, pengobatan dihentikan.
2. Pada pengobatan depigmentasi, dilakukan
bertahap
Topikal:
- Kortikosteroid topikal
- Takrolimus topikal
- Kalsipotriol Topikal

Oral

Detrovalen oral 10-60 mg/hari selama 2 jam


sebelum penyinaran diberikan dalam waktu 6
bulan -1 tahun.
D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 178

Dermatologi Kosmetik & Laser

191

Antioksidan: metionin sulfoksida reduktase


(MSR), katalase, superoksida dismutase, dan
polipodium leukotomos.
Kortikosteroid Sistemik
Tumor Nekrosis Faktor- Inhibitor : infliximab,
Imunosupresan Sistemik: azatioprin,
siklofosfamid.

SK
I

Fotokemoterapi
- Psoralen dan Terapi Ultraviolet A
- Radiasi narrowband Ultraviolet B (NBUVB)
Fototerapi khellin dan sinar UVA (KUVA).
Khellin: bahan organik dengan efek dan dapat
diberikan secara topikal atau oral.
- L-Fenilalanin

DO

Terapi Laser
- Laser Excimer
- Bioskin
- Laser Helium Neon

Terapi Bedah
- Autologous Thin Thiersch Grafting
- Suction Blister Grafts
- Autologous Mini-Punch Graft
- Transplantasi Kultur Melanosit Autologous

PE
R

Kriteria penyembuhan
Repigmentasi berupa pulau pigmentasi folikular atau
pigmentasi marginal.
Pada vitiligo universal berupa depigmentasi bertahap.

IV.

Kepustakaan

1. Stanca A. Birlea, Richard A. Spritz, & David A. Norris.


Vitiligo. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, et al, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc
Graw-Hill; 2012.p.232-6
2. Jean-Paul Ortonne and Thierry Passeron. Vitiligo and
Other Disorders of Hypopigmentation. In: Bolognia
JL.MD, Lorzzo JL, Raini RP, Shaffer JV, editors.
Dermatology. 3nd ed. Edinburg: Mosby; 2012.p.1023-91
3. Ali Alikhan et al. Vitiligo: A comprehensive quality of
overview: PartI. Introduction, epidemiology, life,diagnosis,
differential diagnosis, associations, histopathology,
etiology, and work-up. J Am Acad Dermatol: 2011;65.p.
472-91
4. Felsten LM, Alikhan A, Petronic-Rosic V, 2011. Vitiligo:
A comprehensive overview treatment options and
approach to treatment. J Am Acad Dermatol: 2011;
65(3).p.493-514

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 179

192

Dermatologi Kosmetik & Laser

Bagan Alur

PASIEN DENGAN BERCAK


HIPOPIGMENTASI

SK
I

V.

DIAGNOSIS
Apakah gambaran
klinis sesuai vitiligo

Diagnosis Alternatif

Ya

EVALUASI KLASIFIKASI VITILIGO

LOKALISATA

KS salap
topikal

Akrufosial

Alternatif :
PUVA +
Kalsipotriol

Alternatif :
Delsoralen
0,01% +
sunlight

Transplantasi
Autolog
Alternatif :
PUVA

PE
R

Segmental

Alternatif :
PUVA +
Kalsipotriol

Depigmentasi
kulit normal :
Benzokuinon
(MBEH) 20%

NBUVB

Vulgaris

Transplantasi
Autolog

Mukosal

PUVA

DO

Fokal

UNIVERSAL

GENERALISATA

Campuran

Alternatif :
Kombinasi
NBUVB + KS
salap

NBUVB /
PUVA
Alternatif :
Kombinasi
NBUVB + KS
salap

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 180

Dermatologi Kosmetik & Laser

193

E.5. ALOPESIA ANDROGENIK (L.64)


Definisi

: Alopesia terpola akibat faktor hormon androgen dan genetik. Sifat fisik
yang diwariskan secara herediter, tergantung androgen, menyebabkan
konversi rambut terminal menjadi rambut velus dalam pola karakteristik

II.

Kriteria
diagnostik
Klinis

: Kebotakan rambut kepala terpola:


Pada pria penipisan rambut di temporal, frontal/parietal, verteks,
oksipital
Pada wanita penipisan rambut difus terutama di daerah frontal/
parietal

Diagnosis
banding

Telogen efluvium
Alopesia areata difus
Trikotilomania
Sifilis sekunder

Pemeriksaan
penunjang

Feritin
Thyrotrophin-stimulating hormone (TSH)
Biopsi skalp

DO

III.

SK
I

I.

Penatalaksanaan

: Medikamentosa:
1. Finasteride 1 mg/hari .
2. Dutasteride 0,5 mg/hari
3. Cyproteron acetat (CPA) 100 mg/hari (hari 5-15 siklus menstruasi),
ethinyl estradiol 50 g/hari (hari 25) atau 50 mg (hari 1-10 siklus
menstruasi) dan ethinyl estradiol 35 g/hari (hari 1-21)
4. Spironolakton 200 mg/hari

PE
R

Pengobatan Topikal:
1. Minoksidil 2-5%, 2x sehari (1 ml atau 25 tetes)
2. 17-dan 17-estradiol
Non Medikamentosa:
1. Rambut palsu
2. Pembedahan
3. Laser

IV.

194

Kepustakaan

1. Otberg N, Shapiro J. Hair Growth Disorders. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2012: p.1818-77
2. Sperling LC, Sinclair RD, El Shabrawi-Cablen L. Alopecias. In: Bolognia JL,
Jorizzo JL, Rappini RP, Schaver JV. Dermatology. 3rd ed. Madrid: Mosby;
2012. p. 1136-56

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 181

Dermatologi Kosmetik & Laser

V.

Bagan Alur

Pada pria:

SK
I

3. Rogers NE, aurom MR. Medical Treatment for Male and Female Pattern Hair
Loss. J Am Acad Dermatol 2008; 59: 547-66
4. Vogt A, McElwee K.J, Blume-Peytavi U. Biology of Hair Follicle. In: BlumePeytavi, Tosti A, Whiting DA, Trueb RM. Hair Growth and Disorders. 1st ed.
Berlin: Springer-Verlag; 2008. p.1-22

Norwood-Hamilton
stadium III-IV

Transplantasi rambut reduksi


skalp dan/atau

Finestride
Topikal minoksidil
Sinar laser fluence rendah
Rambut palsu

DO

Finestride oral/dan
larutan minoksidil
topikal dan/atau sinar
laser fluence rendah
selama 1 tahun

Norwood-Hamilton stadium Va, VI,


VII

Perbaikan atau stabilisasi

Ya

PE
R

Terapi medis
dilanjutkan

Tidak

Transplantasi
rambut
reduksi skalp

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 182

Dermatologi Kosmetik & Laser

195

Pada wanita:
Ludwig stadium I-II
Larutan minoksidil topikal
selama 1 tahun

Endokrin

Rambut palsu dan/atau


Androgen/finestride
Sinar laser fluence rendah

Perbaikan atau stabilisasi


Ya

Tidak

Area occipital

DO

Minoksidil
topikal
dilanjutkan

SK
I

Ludwig stadium III

Ya

Rambut palsu
dan/atau
Antiandrogen/
finestride
Sinar laser fluence
rendah

PE
R

Transplantasi rambut
dan/atau
Antiandrogen/finestride
Sinar laser fluence
rendah

Tidak

196

Dermatologi Kosmetik & Laser

SK
I
DO
PE
R
Dermatologi Kosmetik & Laser

197

E.6. PENUAAN KULIT

II.

Kriteria diagnostik

Klinis

Diagnosis
banding

Pemeriksaan
penunjang

Penatalaksanaan

Proses penurunan kemampuan mengembalikan fungsi


normal kulit

Kekeringan kulit, kerut, kelonggaran kulit, berbagai


neoplasma jinak, elastis kulit hilang.

Medikamentosa:
1. Topikal:
- Foto proteksi/tabir surya
- Asam retinoat
- Asam alfa hidroksi (AHA)
2. Sistemik:
- Antioksidan: vit. A (retinol), vit. C, vit E, beta
karoten, biofavinoid.
- Terapi sulih hormon (HRT)
3. Lain-lain:
- Laser/ IPL
- lnjeksi botulinum toxin
- lnjeksi bahan pengisi (filler)
- Bedah kimia
- Bedah listrik, dll

PE
R

DO

III.

Definisi

SK
I

I.

IV.

Kepustakaan

: 1.

2.

3.

4.

Yaar M, Gilchrest BA. Aging of Skin. In: Wolff K,


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ,
editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th
ed. New York: McGraw Hill; 2012: p.1213-26
Rohrer TE, Wesley NO, Glogau R, Dover JS. Evaluation
of Beauty and the Aging Face. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Rappini RP, Schaver JV. Dermatology. 3rd ed. Madrid:
Mosby; 2012. p. 2473-8
Leslie Baumann. Cosmetic Dermatology. Principles and
Practice. 2nd ed. New York: McGraw-Hill Co. 2009. p. 3441
Farage MA, Miller KW, Elsner P, Maibach HI. Intrinsic and
Extrinsic Factors in Skin Ageing: A Review. Int J Cosmet
Sci, 2008: 30: 87-95

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 185

198

Dermatologi Kosmetik & Laser

E.7.DEPOSIT LEMAK DAN SELULIT (L.99)


Definisi

Deposit lemak: hiper- atau hipoakumulasi lemak di


area tubuh yang berbeda (kantong mata, buccal
(chipmunk feature), anterior neck, payudara pada pria,
abdomen, dan bokong).
Selulit: nodul dan lekuk pada kulit, terlihat dan teraba
ireguler, nampak seperti kulit jeruk.

II.

Klinis

- Stadium 0, permukaan kulit tidak rata


- Stadium I, kulit lunak saat berdiri atau berbaring,
namun beberapa selulit timbul apabila kulit dicubit
- Stadium II, kulit tampak berlekuk tanpa manipulasi
atau cubitan
- Stadium III, kulit tampak berlekuk dan meninggi pada
daerah yang sama

Diagnosis banding

Lipodistrofi

Pemeriksaan
penunjang

Trigliserida

III.

Penatalaksanaan

IV.

Kepustakaan

DO

SK
I

I.

Exercise 30 menit/hari
Diet
Infrared
Diode laser
Rediofrekuensi
Liposuction
Mesotherapy

PE
R

1. Vessabhinanta V, Obagi S, Singh A, Baumann L. Fat and


The Subcutaneous Layer. In: Leslie Baumann. Cosmetic
Dermatology. Principles and Practice. New York: McGrawHill Co. 2008; 14-21

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 186

Dermatologi Kosmetik & Laser

199

E.8.
E.8.HIPERHIDROSIS
HIPERHIDROSIS(L.74.8)
(L.74.8)
Kelainanproduksi
produksikeringat
keringatpada
padakelenjar
kelenjarekrin
ekrinatau
atau
Definisi
DefinisiHiperhidrosis
Hiperhidrosis : : Kelainan
keringat
keringatberlebihan
berlebihanselama
selamaminimal
minimal6 6bulan
bulantanpa
tanpa
primer
primer
sebab
sebabyang
yangjelas
jelasdan
dantidak
tidakdihubungkan
dihubungkandengan
dengan
penyakit
penyakitsistemik.
sistemik.
Definisi
DefinisiHiperhidrosis
Hiperhidrosis
sekunder
sekunder

Kelainan
Kelainan produksi
produksi keringat
keringat disebabkan
disebabkan penyakit
penyakit
sistemik
sistemikdapat
dapatbersifat
bersifatdapat
dapatlokal
lokalatau
atauumum.
umum.

: : Kriteria
Kriteriadiagnosis
diagnosishiperhidrosis
hiperhidrosisprimer:
primer:
1.1.Fokal,
Fokal,tampak
tampakkeringat
keringatberlebih
berlebih
2.2.Keringat
Keringatberlebihan
berlebihanselama
selamaselama
selama6 6bulan
bulan
3.3.Tidak
Tidakada
adapenyebab
penyebabsekunder
sekunderjelas
jelas
4.4.Setidaknya
Setidaknyadua
duadari
darihal
halberikut:
berikut:
Bilateral
Bilateraldan
dansimetris
simetris
Berkeringat
Berkeringatmengganggu
mengganggukegiatan
kegiatansehari-hari
sehari-hari
Paling
Palingsedikit
sedikitsatu
satuepisode
episodeper
perpekan
pekan
Onset
Onsetusia
usia< <2525tahun
tahun
Terdapat
Terdapatriwayat
riwayatkeluarga
keluarga
Berhenti
Berhentiberkeringat
berkeringatselama
selamatidur
tidur
Predileksi
Predileksi: :telapak
telapaktangan,
tangan,telapak
telapakkaki,
kaki,tumit,
tumit,
aksila,
aksila,sedikit
sedikitpada
padaarea
areakraniofasial
kraniofasialdan
danpaha,
paha,
sering
seringterjadi
terjadiakibat
akibatsuhu,
suhu,stres,
stres,atau
ataugembira.
gembira.
Klasifikasi
Klasifikasi: :
1.1. Hiperhidrosis
Hiperhidrosisprimer
primer
2.2. Hiperhidrosis
Hiperhidrosissekunder
sekunder

DO

II.II. Kriteria
Kriteriadiagnostik
diagnostik
Klinis
Klinis

SK
I

I. I.

: : 1.1. Burning
Burningfeet
feetsyndrome
syndrome
2.2. Blue
BlueRubber
RubberBleb
BlebNevus
NevusSyndrome
Syndrome
3.3. Demam
Demam(febrile
(febrileillnesses)
illnesses)
4.4. Diabetes
Diabetesmellitus
mellitus
5.5. Eccrine
Eccrineangiomatous
angiomatoushamartoma
hamartoma
6.6. Eccrine
Eccrinenevus
nevus
7.7. Gout
Gout
8.8. Hipoglikemia
Hipoglikemia
9.9. Hodgkin
Hodgkindisease
disease
10.
10.
Menopause
Menopause

PE
R

Diagnosis
Diagnosisbanding
banding

Pemeriksaan
Pemeriksaan
penunjang
penunjang

200

: : Kolorimetri
Kolorimetridan
dangravimetri
gravimetri
Termografi
Termografi
Pemeriksaan
Pemeriksaanlaboratorium:
laboratorium:darah
darahrutin,
rutin,ureum
ureum
kreatinin,
kreatinin,fungsi
fungsitiroid
tiroiddll.
dll.
Pemeriksaan
Pemeriksaanradiologi
radiologi
Biopsi/histopatologi
Biopsi/histopatologi
D De er m
r ma ta ot ol ol og ig iK Ko os m
s me et itki k& &L aL sa es er r| 187
| 187

Dermatologi Kosmetik & Laser

Penatalaksanaan

Lini Pertama
Topikal:
- Aluminium klorida hexahydrate 6,25%, 15%,
20%
- Aluminium klorida 12%
- Garam zirkonium
- Aldehid
Obat topikal ini digunakan setiap malam
selama 3-5 malam, kemudian setiap beberapa
hari sesuai kebutuhan.

SK
I

III.

DO

Lini Kedua
Injeksi:
- Iontophoresis 2-3 kali sepekan
- Botulinum toxin A setiap 4-6 bulan
Terapi oral:
Oxybutynin 1,25-5 mg
Glycopyrrolate 1-2 mg
Clonidine 0,1-0,3 mg
Propranolol 10-40 mg
Clonazepam 0.25-0.5 mg
Lini Ketiga
- Eksisi lokal
- Simpatektomi

Kepustakaan

PE
R

IV.

1. Robert D. Fealey & Adelaide A. Hebert. Disorders of


the Eccrine Sweat Glands and Sweating. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, et al, editors. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill;
2012.p. 1743-61
2. Jami L Miller .Diseases of the Eccrine and Apocrine
Sweat Glands. In: Bolognia JL.MD, Lorzzo JL, Raini
RP, Shaffer JV, editors. Dermatology. 3nd ed.
Edinburg: Mosby; 2012.p.587-602
3. D.L. Bovell, A.D. Corbett, S. Holmes, A. MacDonald
and M. Harker. The absence of apoeccrine glands in
the human axilla has disease pathogenetic
implications, including axillary hyperhidrosis. British
J Dermatol 2007; 156: pp1278 86
4. Alexander K.C. Leung, MBBS, FRCP, Paul Y.H.
Chan, MD, and Matthew C.K. Choi, MD.
Hyperhidrosis. Inter J Dermat 1999; 38: 5617

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 188

Dermatologi Kosmetik & Laser

201

E.9. BROMHIDROSIS DAN OSMIDROSIS (L.75.0)


Definisi

Bau badan yang berlebihan atau secara spesifik tidak


menyenangkan muncul setelah puberitas berasal dari
peningkatan sekresi kelenjar apokrin, sering berasal
dari aksila.

II.

Klinis

Bau badan yang tidak enak.


Predileksi: aksila merupakan tempat yang paling
sering terkena, tetapi dapat juga terjadi pada genital
atau plantar pedis.

Diagnosis banding

Ekrin bromhidrosis
Fish odor syndrome (trimethylaminuria)
Phenylketonuria
Sweaty feet syndrome
Odor of cat syndrome
Isovaleric acidemia
Hypermethioninemia
Proses pencernaan makanan, obat-obatan, toksin:
Gagal hati (fetor hepaticus)
Gagal ginjal
Benda asing di nasal pada anak-anak
Hygiene yang buruk
Halusinasi olfaktori
Gangguan dismorfik tubuh

DO
:

PE
R

Pemeriksaan
penunjang

SK
I

I.

III.

Penatalaksanaan

Pemeriksaan laboratorium: tidak terdapat


kelainan yang berhubungan dengan hasil
pemeriksaan laboratorium.
Biopsi

Nonmedikamentosa
Sering membilas atau mencuci aksila
Mengunakan deodoran atau anti perspirant
(alumunium klorida), parfum
Mengganti pakaian yang kotor.
Mencabut bulu atau rambut aksila
Medikamentosa
Injeksi botulinum toxin A.
Laser Q-switched Nd:YAG
Simpatektomi

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 189

202

Dermatologi Kosmetik & Laser

Kepustakaan

1.

2.

3.

PE
R

DO

4.

Christos et.al. Disorders of the Apocrine Sweat Glands.


In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ, et al, editors. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill;
2012.p. 1761-65
Jami L Miller .Diseases of the Eccrine and Apocrine
Sweat Glands. In: Bolognia JL.MD, Lorzzo JL, Raini
RP, Shaffer JV, editors. Dermatology. 3nd ed. Edinburg:
Mosby; 2012.p.587-602
D.L. Bovell, A.D. Corbett, S. Holmes, A. Mac Donald
and M. Harker. The absence of apoeccrine glands in the
human axilla has disease pathogenetic implications,
including axillary hyperhidrosis. British J Dermatol 2007;
156: p1278 86
Alexander K.C. Leung, MBBS, FRCP, Paul Y.H. Chan,
MD, and Matthew C.K. Choi, MD. Hyperhydrosis with
symptoms
of
blue
pigmented
chromhidrosis
and bromhidrosis. British J Dermatol 2010; 62: p37

SK
I

IV.

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 190

Dermatologi Kosmetik & Laser

203

E.10. Laser CO2 untuk Kelainan Kulit


Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan semua laser dibawah ini harus
telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus
yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
Definisi

Penatalaksanaan tumor jinak kulit dengan menggunakan


laser CO2

II

Indikasi
medik

tindak :

Tumor jinak kulit : seboroik keratosis, veruka vulgaris, skin


tags, hiperplasia sebaseus, kutil (warts), xanthelasma,
syringoma, dll

III

Penatalaksanaan

1. Penjelasan informasi tentang penggunaan laser dan


efek samping yang mungkin terjadi
2. Persetujuan tindakan laser
3. Dokumentasi kelainan dari depan dan samping
4. Persiapan dan perlindungan mata pasien, dokter dan
petugas medis dan cuci tangan sebelum tindakan
5. Pencegahan infeksi sebelum tidakan bila diperlukan
6. Anastesi topikal
7. Tindakan laser dengan parameter pada alat (power)
sesuai dengan kondisi penderita.
8. Perawatan setelah tindakan dan cuci tangan

IV

Alat

Kepustakaan

DO

SK
I

: Laser CO 2, hand piece konvensional, panjang gelombang


10.600 nm. Mode : continous pulsed
1. Goldberg DJ ed. Laser Dermatology. Berlin : Sringer Verlag,
2005.
2. Goldman MP. Cutaneus laser surgery. Boca Raton ; Taylor
and Francis Company. 2005.
3. Krupashankar DS. Standart guidelines of care CO2 laser for
removal of benign skin lesions and resurfacing. Indian Journal
of Dermatology Venereologyand Leprology. 2008. 74.7.61-67

PE
R

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 191

204

Dermatologi Kosmetik & Laser

E.11. Laser untuk kelainan vaskuler


Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan semua laser dibawah ini harus
telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus
yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
Definisi

II

Indikasi
medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

IV

Alat

1. Malformasi kapiler (Port wine stain)


2. Hemangioma
3. Spider angioma
4. Telangiectasis
5. Venous laike
6. Anomali vaskuler lain
7. Granuloma Piogenic

1. Penjelasan informasi tantang penggunaan laser dan efek


samping yang mungkin terjadi
2. Persetujuan tindakan laser
3. Dokumentasi kelainan vaskular dari depan dan samping
4. Persiapan dan perlindungan mata pasien, dokter dan
petugas medis dan cuci tangan sebelum tindakan
5. Pencegahan infeksi sebelum tidakan bila diperlukan
6. Anastesi topikal
7. Tindakan laser dengan parameter pada alat (fluence,
diameter spot, pulsed duration) sesuai dengan kondisi
penderita.
8. Perawatan setelah tindakan dan cuci tangan

DO

Penatalaksanaan kelaianan pembuluh darah di kulit dengan


menggunakan laser dan IPL

SK
I

1. Frequency Doubled Nd YAG (Potassium-Tytanyl


Phosphate (KTP) 532nm dan 1064nm
2. Pulsed dye laser (PDL) 585-595nm
3. Alexandrite laser 710nm
4. Long Pulsed Neodymium:Yttrium-Aluminium-Garnet
(Nd:YAG). 1064nm
5. Kombinasi PDL dan Nd:YAG laser
6. Intense Pulsed Laser (IPL)

PE
R

Kepustakaan

: 1. Michael D, Kilmer S, Lasers for Treatment of Vascular Lesions

, in: Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) ,


2011, Springer, London, New york, 33 44
2. Goldberg DJ.Current Trends in Intense Pulsed Light, Clinical
Aesthetic, vol 6, No 6, June 2012
3. Goldman MP, Cutaneous and Cosmetic laser Surgery. Mosby,
2006

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 192

Dermatologi Kosmetik & Laser

205

E.12. Laser untuk Skar


Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan semua laser dibawah ini harus
telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus
yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
Definisi

Penatalaksanaan kelainan kulit berupa gangguan


penyembuhan luka berupa skar atropik, hipertropik skar
dan keloid dengan menggunakan laser CO2 Fractional,
Pulsed Dye Laser (PDL), laser Mid Infrared 1320 nm, 1450
nm, 1540 nm.

II

Indikasi tindak
medik

: Pengunaaan laser untuk mengobati skar atropik,


hipertropik dan keloid yang menyebabkan gangguan
fungsional, kosmetis, pruritus dan disestesia

III

Penatalaksanaan

IV

Alat

SK
I

DO

1. Anamnesis yang meliputi umur, lama terjadinya skar


atau keloid dan terapi sebelumnya yang didapat.
2. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang
diberikan
dalam
formulir
yang
khusus
dan
ditandatangani oleh pemberi informasi dan penerima
informasi
3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik
4. Dokumentasi berupa foto yang diambil dari depan dan
samping.
5. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata
pada pasien, dan dokter dan petugas medis pendamping
6. Anastesi topical dan atau Zimmer.
7. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang
ada pada alat disesuaikan dengan kondisi kelainan pada
pasien
8. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

1. Skar hipertropik dan keloid dengan menggunakan


Pulsed Dye Laser 585 / 595 nano meter, laser CO2
fraksional.
2. Skar atropik menggunakan :
a. Laser resurfacing ablative (CO2 dan Erbium YAG
laser).
b. Laser resurfacing non ablative :
1. 1064 nm Q Switched Nd:YAG laser
2. 1064 nm Long pulse Nd:YAG
3. 1320 nm Nd:YAG
4. 1450 nm diode
5. 1540 nm erbium-doped-phosphate glass
laser
6. 585 nm flash lamp-pumped pulsed dye
laser atau 595 nm long pulsed dye laser
3. Laser Fractional Resurfacing : non ablatif (Nd:YAG
1320/140 nm, Er: Glass 1540 nm dan ablatif (2940 nm
Erbium YAG dan 10.600 CO2)
D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 193

PE
R

Kepustakaan

206

: 1. Vejjabhinanta V, Patel Shalu S , Nouri K. Laser for scars. In :

Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011,


Springer, London, New york, 45 50 .
Dermatologi
Kosmetik
Laser J. Fractional Photothermolysis.In:
2. Manstein
D, &
Laubach
Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011,
Springer, London, New york, 45 50 . 123 147

Kepustakaan

: 1. Vejjabhinanta V, Patel Shalu S , Nouri K. Laser for scars. In :

Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011,


Springer, London, New york, 45 50 .
2. Manstein D, Laubach J. Fractional Photothermolysis.In:
Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011,
Springer, London, New york, 45 50 . 123 147

PE
R

DO

SK
I

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 194

Dermatologi Kosmetik & Laser

207

E.13. Laser dan IPL untuk Kelainan Pigmen


Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan laser jenis ini harus telah mengikuti
pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang diselenggarakan
oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
Definisi

Tindakan untuk menghilangkan kelainan pigmentasi di


kulit dengan menggunakan laser yang bersifat selektif
dan non selektif terhadap pigmen

II

Indikasi
medik

tindak :

1. Kelainan pigmentasi epidermal : lentigenes, Caf Au


Lait, makula, freckles, keratosis seboroik, nevus spilus,
nevus Becker dan post-inflammatory hyperpigmentation.
2. Kelainan pigmentasi dermal : nevi melanositik, nevus
Ota, melasma , post inflammatory hyperpigmentation
dan gangguan pigmentasi karena obat.

III

Penatalaksanaan

1. Anamnesis yang meliputi umur, lama terjadinya


pigmentasi dan terapi sebelumnya yang didapat.
2. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang
diberikan dalam formulir yang khusus dan
ditandatangani oleh pemberi informasi dan penerima
informasi
3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik
4. Dokumentasi kelainan dari depan dan samping
5. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata
pada pasien, dan dokter dan petugas medis pendamping
6. Anastesi topikal dan atau infiltratif.
7. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang
ada pada alat disesuaikan dengan kondisi kelainan
pada pasien
8. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

IV

Alat

DO

SK
I

1. Laser yang bekerjaterhadap pigmen secara non


selektif : carbon dioxide (10.600 nm), erbium-YAG
(2940 nm), erbium (1540 nm), yttrium scandium
gallium garnet (YSGG, 2790 nm), fraksional CO 2 dan
fraksional Erbium-YAG, IPL .
2. Laser yang bekerja secara selektif terhadap pigmen :
Q-switched ruby 694 nm, Q-switched alexandrite (755
nm), Q-switch neodymium:YAG dan KTP (1064 dan
532 nm)

PE
R

208

Kepustakaan

1. Graber EM, Dover JS. Lasers and light for treating


pigmented lesions. In: Lasers in Dermatology and Medicine,
Nouri K (eds) , 2011, Springer, London, New York, 63 -81.
2. Goldberg DJ.Current Trends in Intense Pulsed Light, Clinical
Aesthetic, vol 6, No 6, June 2012 , 45 53.

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 195

Dermatologi Kosmetik & Laser

E.14. Laser Penghilang Tato


Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan semua laser di bawah ini harus
telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus
yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
Definisi

Penggunaan laser untuk menghilangkan tato. (amatir,


profesional, kosmetik, traumatik, medisinalis dan
iatrogenic)

II

Indikasi
medik

tindak :

Tato dengan warna satu ataupun lebih pada berbagai


bagian tubuh

III

Penatalaksanaan

IV

Alat

Kepustakaan

SK
I

DO

: 1. Anamnesis yang meliputi umur, lama tato dibuat dan


terapi sebelumnya yang didapat.
2. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang
diberikan
(penting
diinformasikan
bahwa
penghilangan tato tidak bisa dilakukan dalam satu
kali tindakan, diperlukan beberapa kali) dalam
formulir yang khusus dan
ditandatangani oleh
pemberi informasi dan penerima informasi
3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan
medik
4. Dokumentasi tato dari depan
5. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan
mata pada pasien, dan dokter dan petugas medis
pendamping
6. Anastesi topikal dan atau infiltrative atau sedasi
general anesthesia
7. Tindakan laser dengan menggunakan parameter
yang ada pada alat disesuaikan dengan kondisi
kelainan pada pasien
8. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

PE
R

A. Nanosecond :
- Laser QS Nd: YAG Double frequency 532 nm untuk
warna hitam, biru, hijau
- Laser QS Rubby 694 nm untuk warna hitam, hijau,
Biru
- Laser QS Nd:YAG 1064 nm untuk warna hitam dan
biru
B. Picosecond :
- Alexandrite 755 nm

1. Vejjanbhinanta V, Caperton CV, Wong C et al. Laser


treatment of tatto. In :Lasers in Dermatology and
Medicine, Nouri K (eds) , 2011, Springer, London,
New york, 83 89.
2. Kirby W, Chen CL, Desai A, Desai T. Causes and
Recommendations for Unanticipated Ink Retention
Following Tatto Removal Treatment. The Journal of
Clinical Aesthetic Dermatology. July 2013.6.7. 27 - 31

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 196

Dermatologi Kosmetik & Laser

209

E.15. Laser dan IPL Penghilang Rambut


Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan laser jenis ini harus telah
mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang
diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
Definisi

Penggunaan laser atau IPL untuk menghilangkan


rambut yang diakibatkan oleh suatu penyakit atau
rambut yang tidak dikehendaki

II

Indikasi
medik

tindak :

III

Kontraindikasi

Pada area yang akan dihilangkan rambutnya terdapat


infeksi yang aktif, riwayat keloid, riwayat infeksi
berulang, vitiligo yang aktif dan psoriasis

IV

Penatalaksanaan

1. Anamnesis yang meliputi umur, lama rambut tumbuh


dan terapi sebelumnya yang didapat.
2. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang
diberikan dalam formulir yang khusus dan
ditandatangani oleh pemberi informasi dan penerima
informasi
3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik
4. Dokumentasi area yang akan dihilangkan rambutnya.
5. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata
pada pasien, dan dokter dan petugas medis
pendamping
6. Anastesi topikal dan atau infiltratif
7. Tindakan laser dengan menggunakan parameter
yang ada pada alat disesuaikan dengan kondisi
kelainan pada pasien
8. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

Alat

VI

Kepustakaan

SK
I

DO

Hirsutisme, hipertrichosis, atau estetika (unwanted hair)

Long-Pulsed Ruby 694 nm


Long-Pulsed Alexandritte 755 nm
Pulsed Diode 800 nm
Long Pulsed Nd:YAG 1064 nm
Intense Pulsed light (IPL).
IPL dikombinasikan dengan Radiofrequency.
Q-Switch
Nd:YAG 1064 nm (temporary hair
removal)

PE
R

: 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

210

: 1. Vejjabhinanta V, Nouri K, Singh A et al. Laser hair

removal. In: Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K


(eds) , 2011, Springer, London, New york, 91 102.
2. Goldberg DJ.Current Trends in Intense Pulsed Light,
Clinical Aesthetic, vol 6, No 6, June 2012, 45 - 53

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 197

Dermatologi Kosmetik & Laser

E.16. Laser untuk Resurfacing


Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan laser jenis ini harus telah
mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang
diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
Definisi

Menggunakan laser sebagai usaha untuk memperbaiki


fungsi kulit yang terganggu yang merupakan bagian dari
proses pencegahan penuaan kulit dengan cara merangsang perbaikan fungsi jaringan ikat kolagen

II

Indikasi
medik

tindak :

1. Kerutan yang ringan atau sedang, terutama pada area


tubuh yang non movement.
2. Kerusakan kulit akibat paparan ultraviolet (dispigmentasi
dan keratosis)
3. Skar atropik yang dangkal, hipertrofik, dan keloid
4. Lesi kulit superfisial.

III

Kontraindikasi

1. Penderita dengan harapan yang berlebihan


2. Sering terkena paparan matahari atau terkena sunburn
3. Sedang menderita infeksi yang aktif
4. Penderita dengan riwayat terjadi skar atau mudah keloid

IV

Penatalaksanaan

DO

SK
I

1. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang


diberikan dalam formulir yang khusus dan ditandatangani
oleh pemberi informasi dan penerima informasi
2. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik
3. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata
pada pasien, dan dokter dan petugas medis pendamping
4. Dokumentasi foto.
5. Anastesi topikal dan atau infiltratif
6. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang
ada pada alat disesuaikan dengan kondisi kelainan
pada pasien
7. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

PE
R

Alat

1. Ablative laser : CO2 (pulsed) 10.600 nm,Er.YAG


(pulsed) 2940 nm
2. Non ablative laser :
Pulsed dye
585 595nm
Nd:YAG QS
1064 nm
Nd:YAG LP
1064 nm
Diode LP
1450 nm
Er:glass LP
1540 nm
IPL
515 1200nm
3. Fraksional :
a. Ablative :
CO 2 (10.600 nm)
Er:YAG (2940 nm)
Combine CO2 + Erbium
b. Non ablative :
D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 198

Dermatologi Kosmetik & Laser

211

SK
I

Kepustakaan

1. Wanitphakdeedecha R, Alster TS. Laserfor resurfacing. In:


Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) ,
2011, Springer, London, New york, 103 122.
2. Manstein D, Laubach J. Fractional Photothermolysis.
Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) ,
2011, Springer, London, New york, 123 148.
3. Neal PM, Dobrescu A,Chapman J, Haseltine M. Devices
for rejuvenation of the Aging Face. Cos Derm. September
2012. 25.9 . 412 - 418

PE
R

DO

VI

Pulsed dye
585 595nm
Nd:YAG QS
1064 nm
Nd:YAG LP
1064 nm
Diode LP
1450 nm
Er:glass LP
1540 nm
IPL
515 1200nm
3. Fraksional :
a. Ablative :
CO 2 (10.600
nm) nm)
Nd:YAG
(1320/1440
Er:YAG(1540
(2940nm)
nm)
Er:Glass
Er:Glass
(1550/1927
nm)
Combine
CO2 + Erbium
Combine
CO2
b. Non
ablative
: + Erbium
D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 198

212

Dermatologi
Dermatologi Kosmetik & Laser

K o s m e t i k & L a s e r | 199

E.17. Laser dan Sinar untuk Akne Vulgaris


Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan laser jenis ini harus telah
mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang
diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia
Definisi

II

Indikasi
medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

IV

Alat

Akne vulgaris

1. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang


diberikan dalam formulir yang khusus dan ditandatangani
oleh pemberi informasi dan penerima informasi
2. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik
3. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata
pada pasien, dan dokter dan petugas medis pendamping
4. Anastesi topikal dan atau infiltratif
5. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang
ada pada alat disesuaikan dengan kondisi kelainan
pada pasien
6. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

DO

Penatalaksaaan penderita akne vulgaris dengan menggunakan laser dan sinar

SK
I

1. Laser :
a. Pulsed Dye laser (585 -595 nm)
b. Potassium Titanyl Phosphate (KTP,532 nm)
c. Diode (1450 nm)
d. Nd:YAG ( 320 nm)
e. ER: Glass (1540 nm)

PE
R

2. Terapi berbasis sinar :


a. Sinar Biru (415 nm)
b. Kombinasi sinar Biru/Merah (400-500 / 600 - 650
nm)
c. Intense Pulsed light (IPL)

Kepustakaan

: 1. Vejjabhinanta V, Nouri K, Singh A et al. Laser hair removal. In


: Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011,
Springer, London, New york, 91 102.
2. Goldberg DJ.Current Trends in Intense Pulsed Light, Clinical
Aesthetic, vol 6, No 6, June 2012, 45 - 53

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 200

Dermatologi Kosmetik & Laser

213

SK
I
DO

PE
R

TUMOR DAN BEDAH KULIT

214

Tumor dan Bedah Kulit

SK
I
DO
PE
R

TUMOR JINAK

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 202

Tumor dan Bedah Kulit

215

ADNEKSA
F.1. SIRINGOMA (D23.9)
Definisi

: Tumor jinak duktus kelenjar ekrin

II

Kriteria diagnostik

Klinis

Diagnosis banding

: Papul 1-2 mm,multipel, sewarna kulit/ kekuningan .


Lebih banyak pada wanita, mulai muncul saat
pubertas. Predileksi ; dibawah mata, dapat
ditemukan pula di kelopak mata, wajah, aksila,
periumbilikalis, dada atas dan vulva.
:
Silindroma

Histopatologi

III

Penatalaksanaan

: Tindakan:
Bedah listrik,
Bedah laser
Bedah pisau
Bedah beku
Dermabrasi

IV

Kepustakaan

: 1. Ahmed TSS, Del Friore J, Seykore JT. Tumors of

SK
I

DO

Pada dermis ditemukan gambaran duktus ekrin


multipel menyerupai tanda koma (comma-like) atau
tadpoles

PE
R

Epidermal Appendages. Dalam: Elder D, Eletritsas R,


Jaworsky C, Jhon B Jr, editor. Levers Histopathology of
the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William &
Willkins, 2009. h. 851-910
2. Srivastava D, Taylor RS. Appendage tumor and
Hamartoma of the skin. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York:
Mc Graw-Hill, 2012. h. 1337-1362

216

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 203

F.2. TRIKOEPITELIOMA (D23.9)


Definisi

: Tumor jinak folikel rambut. Terdapat 3 bentuk


klinis: soliter, multipel, dan desmoplastik

II

Kriteria diagnostic

SK
I

Klinis

: Tumbuh saat pubertas. Lesi muncul terutama pada


wajah, namun dapat pula ditemukan pada kulit
kepala, leher, dan batang tubuh bagian atas. Lesi
: sering kali berupa papul milier, multipel, merah
muda atau sewarna dengan kulit, yang bertambah
besar dan banyak. Dapat pula ditemukan lesi
soliter berbentuk nodular atau berupa plak difus.

Diagnosis banding

: Silindroma
Karsinoma sel basal

Histopatologi

Ditemukan kista tanduk (horn cysts) dalam


berbagai ukuran dan pulau-pulau basaloid.
: Tindakan:
Bedah listrik
Bedah pisau
Bedah beku
Bedah laser

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

DO

III

PE
R

: 1. Ahmed TSS, Del Friore J, Seykore JT. Tumors of

Epidermal Appendages. Dalam: Elder D, Eletritsas


R, Jaworsky C, Jhon B Jr, editor. Levers
Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia:
Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 851-910.
2. Srivastava D, Taylor RS. Appendage tumor and
Hamartoma of the skin. Dalam: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine. Edisi
ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1337-1362

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 204

Tumor dan Bedah Kulit

217

EPIDERMIS

DAN

KISTA EPIDERMIS

F.3. KERATOSIS SEBOROIK (L82)


Definisi

II

Kriteria diagnostik
Klinis

Tumor jinak epidermal yang paling sering


ditemukan

Kelainan bersifat herediter. Muncul diatas usia 30


tahun. Lesi bervariasi dari papul kecil hingga plak,
hiperpigmentasi, dengan permukaan verukosus.
Lesi dapat bertambah banyak seiring dengan
bertambahnya usia. Lesi dapat muncul pada wajah,
batang tubuh, dan ekstremitas. Pada wanita sering
kali ditemukan pada lipatan payudara.

Nevus melanositik
Karsinoma sel basal
Karsinoma sel skuamosa
Melanoma maligna

Diagnosis banding

Histopatologi

DO

PE
R

III

SK
I

Pemeriksaan
dermoskopis:

Penatalaksanaan

Terdapat 6 tipe gambaran histologpatologi:


Irritated
Adenoid or reticulated
Plane
Clonal
Melanoachantoma
Inverted follicular keratosis
Benign squamous keratosis
Ditemukan hiperkeratosis, akantosis, dan
papilomatosis. Pada epidermis yang akantotik,
ditemukan 2 tipe sel, yaitu sel skuamosa dan sel
basaloid. Sel basaloid berukuran kecil,
berpenampilan sama dengan nukleus yang
berukuran relatif besar.
Ditemukan girus dan sulkus, millia-like cyst,
comedo-like openings, fat fingers, hairpin vessels,
gambaran mouth-eaten pada tepi lesi.
Tindakan:
Bedah listrik
Bedah beku
Bedah laser
Dermabrasi
Topikal 5 FU

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 205

218

Tumor dan Bedah Kulit

Kepustakaan

1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Dalam:


Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor.
Levers Histopathology of the Skin. Edisi ke-10.
Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h.
791-850.
2. Thomas VD, Snavelly NR, Lee KK, Swanson NA.
Benign
epithelial
tumors,
hamartomas
and
hyperplasia.in ; Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Dalam: Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New
York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1319-1336.
3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH.
Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill
Australia, 2009. 189-191.

PE
R

DO

SK
I

IV

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 206

Tumor dan Bedah Kulit

219

F.4. KISTA EPIDERMAL (L72)


Definisi

II

Kriteria diagnostik

Merupakan kista pada kulit yang paling sering


ditemukan. Berasal dari epidermis atau epitel
folikel rambut. Kista terbentuk dari sumbatan
epitel sehigga dermis terisi keratin dan debris
yang kaya akan lemak.

Tumbuh pada usia remaja hingga dewasa muda.


Lesi ditemukan pada wajah, leher, batang tubuh
bagian atas, dan skrotum. Lesi berupa nodul
dermal/subkutan 0.5-5 cm dengan punctum di
tengahnya. Biasanya soliter, namun dapat pula
ditemukan multipel.
Lipoma, kista trikilemal, milia

Klinis

Diagnosis banding

Histopatologi

Dinding kista terdiri atas susunan sel epitel


skuamosa lengkap dengan lapisan granular.
Kista terisi sebukan keratin.

DO

SK
I

Penatalaksanaan

Tindakan:
Bedah pisau
Bedah listrik
Bedah laser

IV

Kepustakaan

1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis.


Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B
Jr, editor. Levers Histopathology of the Skin. Edisi
ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins,
2009. h. 791-850.
2. Thomas VD, Snavelly NR, Lee KK, Swanson NA.
Benign epithelial tumors, hamartomas and
hyperplasia. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New
York: Mc Graw-Hill, 2012. h.1319-1336

PE
R

III

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 207

220

Tumor dan Bedah Kulit

F.5. NEVUS VERUKOSUS (Q82.5)


Definisi

II

Kriteria diagnostik
Klinis

Diagnosis banding

: Dapat ditemukan saat lahir atau usia anak-anak,


jarang ditemukan pada usia remaja. Lesi berupa
papul verukosus, warna bervariasi: sewarna kulit,
cokelat, keabuan. Berbatas tegas, dapat tersusun
linier atau mengikuti Blaschko line.
: Nevus sebaseus
Liken striatus
Liken planus
Parakeratosis
Psoriasis
: Ditemukan gambaran hiperkeratosis,
papilomatosis, dan akantosis dengan elongasi
rete ridges.

DO

Histopatologi

SK
I

: Tumor jinak epidermal

Penatalaksanaan

: Tindakan:
Bedah listrik
Bedah laser
Bedah pisau

IV

Kepustakaan

: 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Levers

PE
R

III

Histopathology of the Skin. Dalam: Elder D,


Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Edisi ke10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins,
2009. h. 791-850.
2. Thomas VD, Snavelly NR, Lee KK, Swanson NA.
Benign epithelial tumors,
hamartomas and
hyperplasia. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New
York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1319-1336

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 208

Tumor dan Bedah Kulit

221

JARINGAN IKAT
F.6. DERMATOFIBROMA (D23.9)
Definisi

II

Kriteria diagnostik
Klinis

Diagnosis banding

Hitopatologi

: Lesi berupa nodul soliter dengan predileksi di


ekstremitas. Nodul berdiameter 3-10 mm,
berbentuk kubah ataupun dapat berupa cekungan
dari kulit normal sekitarnya, licin mengkilat atau
berskuama, perabaan kenyal, Biasanya tidak
nyeri, warna bervariasi: sewarna kulit, merah
muda, cokelat. Batas tidak jelas, dimple sign
positif. Nodul dapat membesar dengan lambat,
dan menetap atau regresi spontan dalam
beberapa tahun.
:
Keloid
:
Sebukan sel spindle yang padat, dapat pula
ditemukan fibrosit dan makrofag pada dermis.
Pada lesi awal dapat ditemukan sel raksasa
benda asing. Lesi yang lanjut ditandai dengan
adanya serabut kolagen yang tersusun acak.

DO

SK
I

: Tumor jinak jaringan ikat

Pemeriksaan
dermatoskopis:

Pigmentasi cokelat atau merah kebiruan, central


white-scar like patch, dengan white network pada
tengah lesi, pada tepi lesi dapat ditemukan
pigment network tersebar diskret.

Penatalaksanaan

: Tindakan:
Bedah pisau

IV

Kepustakaan

: 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Levers

PE
R

III

222

Tumor dan Bedah Kulit

Histopathology of the Skin. Dalam: Elder D,


Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Edisi ke10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009.
h. 791-850.
2. Ko CJ. Dermal hypertrophies and benign fibroblastic
myofibroblastic tumors. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New
York: Mc Graw-Hill, 2008. h. 707-717.
3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH.
Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill
Australia, 2009. 189-191.

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 209

F.7. FIBROMA MOLE


Definisi

II

Kriteria diagnostik

Klinis

Diagnosis banding

Histopatologi

Mulai muncul pada usia dewasa. Lebih banyak


ditemukan pada wanita dan obesitas. Lesi
berupa papul bertangkai dengan diameter 1-10
mm, lunak, sewarna kulit hingga
hiperpigmentasi. Lesi tidak nyeri. Predileksi lesi
pada leher, kelopak mata, aksila, inframammae,
dan inguinal.
Neurofibroma, Keratosis seboroik, nevus
melanositik, moluscum contagiosum
Ditemukan gambaran papilomatosis,
hiperkeratosis, dan akantosis reguler. Dapat
ditemukan kista tanduk (horn cysts). Tumpukan
jaringan ikat mengandung serabut kolagen yang
longgar dan terkadang ditemukan dilatasi kapiler
yang berisi eritrosit.

DO

Tumor lunak jaringan ikat


Nama lain : Skin tag atau achrocordon

SK
I

Penatalaksanaan

Tindakan:
Bedah listrik
Bedah pisau
Bedah laser

IV

Kepustakaan

1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis.


Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B
Jr, editor. Levers Histopathology of the Skin. Edisi
ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins,
2009. h. 791-850.
2. Thomas VD, Snavelly NR, Lee KK, Swanson NA.
Benign epithelial tumors, hamartomas and
hyperplasia. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New
York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1319-1336.

PE
R

III

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 210

Tumor dan Bedah Kulit

223

F.8. KELOID
Tumor jinak jaringan ikat yang didahului trauma.
Tumbuh melebihi batas luka.

Klinis

Diagnosis banding

Tumbuh paling sering saat usia 30 tahun. Pada


kulit berwarna. Lesi berupa papul atau nodul,
Warna bervariasi: sewarna kulit, eritema,
hiperpigmentasi. Lesi dapat berbentuk linier, oval,
bulat atau clawlike. Permukaan licin, pada
perabaan kenyal hingga keras dan kadang disertai
nyeri. Predileksi lesi di daun telinga, bahu,
punggung, dan dada.
Dermatofibroma
Skar hipertrofi
FIbromatosis

Histopatologi

II

Kriteria diagnostik

Penatalaksanaan

PE
R

III

IV

224

Serabut kolagen eosinofilik tebal, homogen,


tersusun secara acak

DO

Definisi

SK
I

Kepustakaan

Tumor dan Bedah Kulit

Medikamentosa:
Topikal :
- Ekstrak cephae
- Ekstrak centella asiatica
- Kortikosteroid
- Silikon gel
Tindakan:
- Injeksi intralesi: kortikosteroid, 5FU
- Bedah beku
- Bedah pisau
- Bedah laser
- Radiasi
1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Dalam:
Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor.
Levers Histopathology of the Skin. Edisi ke-10.
Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h.
791-850.
2. Ko CJ. Dermal hypertrophies and benign fibroblastic
myofibroblastic tumors. Dalam: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine. Edisi
ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2008. h. 707-717

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 211

KARENA VIRUS,NEOPLASMA,HIPERPLASIA,DAN
MALFORMASI VASKULAR
F.9. ANGIOKERATOMA (D28.0)
Definisi

II

Kriteria diagnostik

:
:

Klinis

Diagnosis banding

Histopatologi

Limfangioma
Melanoma maligna
Hemangioma
Fibrosarkoma
Fibro / rhabdomyoma

Ditemukan pelebaran kapiler dan venule pada


dermis dan subkutis. Pada lesi lanjut dapat
ditemukan akantosis, hiperkeratosis dan
papilomatosis.

PE
R

Lesi berupa papul atau plak,hiperkeratotik,


berwarna ungu tua hingga kehitaman, perabaan
keras. Terdapat 4 variasi klinis angiokeratoma:
Solitary Angiokeratoma
Angiokeratoma of Fordyce
Lesi ditemukan di skrotum atau vulva.
Angiokeratoma of Mibelli
Lesi ditemukan di siku, lutut, dan dorsum
manus.
Angiokeratoma corporis diffusum (Fabry
Disease)
Lesi ditemukan di batang tubuh bagian
bawah.

DO

Dilatasi kapiler disertai hiperkeratosis

SK
I

III

Penatalaksanaan

Tindakan:
Bedah pisau
Bedah laser
Bedah beku

IV

Kepustakaan

1. Calonie E. Vascular tumors, tumors and tumor like


condition of blood vessels and lymphatics. Dalam:
Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr,
editor. Levers Histopathology of the Skin. Edisi
ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins,
2009. h. 1007-1056.
2. Boon LM, Vikkula M. Vascular Malformations.
Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatricks Dermatology
in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc
Graw-Hill, 2012. h. 2076-2093

225
T u mTumor
o r d a dan
n B eBedah
d a h KKulit
u l i t | 212

F.10. GRANULOMA PIOGENIKUM (L98.0)


Definisi

: Lesi vaskular yang tumbuh dengan cepat didahului


trauma ringan

II

Kriteria diagnostik

SK
I

Klinis

Diagnosis banding

: Lesi berupa nodul eritematosa, warna dapat


bervariasi mulai dari merah terang, merah gelap,
keunguan, hingga cokelat kehitaman. Lesi soliter,
permukaan licin dengan atau tanpa erosi dan krusta.
Lesi mudah berdarah. Muncul pada jari, bibir, mulut,
: batang tubuh, dan jari kaki.

Histopatologi

Jaringan granulasi, hemangioma infantil, melanoma


: maligna
Proliferasi kapiler dengan edema dan sebukan
netrofil.

Penatalaksanaan

: Tindakan:
Bedah listrik
Bedah pisau
Bedah beku
Bedah laser
Topikal imiquimod

IV

Kepustakaan

: 1. Calonie E. Vascular tumors, tumors and tumor like

DO

III

PE
R

condition of blood vessels and lymphatics. Dalam: Elder


D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Levers
Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia:
Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 1007-1056.
2. Mathes EF, Frieden IJ. Vascular tumor. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel
DJ. Fitzpatricks Dermatology in general medicine. Edisi
ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1456-1469

226

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 213

F.11. LIMFANGIOMA (D18.1)


Definisi

: Hiperplasia dan dilatasi pembuluh limfe

II

Kriteria diagnostik

Klinis

: Lesi berupa vesikel multipel berkelompok, berisi


cairan jernih atau serosanguinosa, menyerupai
gambaran telur kodok (frog-spawn).

Diagnosis banding

: Angiokeratoma

Histopatologi

: Ditemukan dilatasi pembuluh limfe pada dermis


superfisial, dilapisi oleh hiperplasia epidermis dan
hiperkeratosis padat.

III

Penatalaksanaan

: Tindakan:
Bedah listrik
Bedah pisau
Bedah beku

IV

Kepustakaan

DO

SK
I

: 1. Calonie E. Vascular tumors, tumors and tumor like

PE
R

condition of blood vessels and lymphatics. Dalam: Elder


D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Levers
Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia:
Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 1007-1056.
2. Boon LM, Vikkula M. Vascular Malformations. Dalam:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffel DJ. Fitzpatricks Dermatology in general medicine.
Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 2076-2093

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 214

Tumor dan Bedah Kulit

227

F.12. NEVUS FLAMEUS (Q82.5)


Definisi

: Malformasi kapiler
Nama lain: Port wine stain

II

Kriteria diagnostik

Klinis

: Lesi berupa makula eritematosa atau kebiruan,


tepi ireguler, muncul sejak lahir dan tidak pernah
hilang spontan. Umumnya ditemukan pada wajah
pada area persyarafan nervus trigeminus. Seiring
bertambahnya usia, warna lesi akan bertambah
gelap dan dapat disertai munculnya papul dan
nodus vaskular di atasnya.

Diagnosis banding

: Sarkoma Kaposi

Histopatologi

: Telangiektasis dapat ditemukan secara histologis


setelah usia 10 tahun. Dilatasi kapiler pada
lapisan dermis superfisial yang seiring dengan
bertambahnya usia akan merambah ke pembuluh
kapiler di lapisan dermis yang lebih dalam hingga
subkutan.

DO

SK
I

Penatalaksanaan

: Tindakan:
Bedah laser

IV

Kepustakaan

: 1. Calonie E. Vascular tumors, tumors and tumor like

PE
R

III

228

Tumor dan Bedah Kulit

condition of blood vessels and lymphatics. Dalam:


Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor.
Levers Histopathology of the Skin. Edisi ke-10.
Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009.
h. 1007-1056.
2. Boon LM, Vikkula M. Vascular Malformations.
Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatricks Dermatology
in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc
Graw-Hill, 2012. h. 2076-2093

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 215

SEL MELANOSIT DAN SEL NEVUS


F.13. NEVUS MELANOSITIK (D22.9)
Definisi

II

Kriteria diagnostik

Klinis

Diagnosis banding

Histopatologi

Pemeriksaan Dermoskopis:

IV

Dibedakan menjadi 3:
Nevus melanositik junctional
Kumpulan sel nevus terletak setinggi dermalepidermal junction.
Nevus melanositik compound
Kumpulan sel nevus terdapat pada dermis
dan epidermis.
Nevus melanositik dermal
Kumpulan sel nevus terletak pada dermis.

Penatalaksanaan

Ditemukan pigment network yang reguler, tepi


lesi difus, pola pigmentasi homogen, dan black
dots/globule.

PE
R

III

Muncul pada usia anak dan bertambah banyak


pada saat dewasa. Selanjutnya lesi akan
berinvolusi secara bertahap dan sebagian besar
lesi hilang setelah mencapai usia 60 tahun. Lesi
berupa makula, papul, atau nodul
hiperpigmentasi, berbatas jelas, berukuran kecil
(<1 cm).
Keratosis seboroik
Melanoma maligna

DO

Tumor jinak sel melanosit dan nevus

SK
I

Kepustakaan

Tindakan:
Bedah pisau
Bedah listrik
Bedah laser

1. Elder DE, Elenitsas R, Murphy GF, Xu X. Benign


pigmented lesions and malignant melanoma.
Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr,
editor. Levers Histopathology of the Skin. Edisi ke10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins,
2009. h. 699-790.
2. Grichnick JM, Rhodes AR, Sober AJ. Benign
Neoplasias and Hyperplasias of Melanocytes.
Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatricks Dermatology
in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc
Graw-Hill, 2012. h. 1377-1416.
3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH.
Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill
Australia, 2009. 189-191

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 216

Tumor dan Bedah Kulit

229

V Bagan Alur

SK
I

Alur Tatalaksana tumor jinak

Anamnesis
Keluhan tumor jinak

Pemeriksaan klinis
Lesi sesuai tumor jinak

DO

Histopatologis
Sesuai tumor jinak

Dermoskopi
Sesuai tumor jinak

Tumor jinak

PE
R

Epidermal
Dermal dan
Subkutan
Tehnik ablatif:
- Bedah listrik
- Eksisi
- Bedah beku
- Laser CO2
- Topikal keratolitik, misal: as.salisilat

Evaluasi 1-3 bulan


kemudian
untuk rekurensi
dan bekas operasi

230

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 217

SK
I

PE
R

DO

PRA KANKER

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 218

Tumor dan Bedah Kulit

231

F.14. KERATOSIS AKTINIK (L57.0)


Definisi

II

Kriteria diagnostik
Klinis

Diagnosis banding

Histopatologi

Penatalaksanaan

: Lesi berupa papul kuning kecoklatan, disertai


sqkuama kasar. Muncul pada area tubuh yang
terpajan matahari, seperti: kepala, leher, lengan, dan
punggung tangan.
: Keratosis seboroik
: Pada lapisan basal meluas hingga folikel rambut
terdapat keratinosis berukuran besar berwarna
terang dengan pleomorfisme ringan sampai sedang.
Ditemukan juga keratinosit atipik dan parakeratosis.
: Medikamentosa:
Topikal: Imiquimod, 5FU
-Photodynamic therapy

DO

III

: Proliferasi abnormal dari sel keratinosit epidermal


akibat pajanan sinar matahari. Merupakan lesi
prakanker dari karsinoma sel skuamosa.
:

SK
I

Tindakan:
Curatage
Bedah pisau (shave)
Bedah beku
Bedah listrik

Kepustakaan

: 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis.

Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B


Jr, editor. Levers Histopathology of the Skin. Edisi
ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins,
2009. h. 791-850.
2. Duncan KO, Geisse JK, Letufeli DJ. Epithelial
Precancerous Lesions. Dalam: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine.
Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 12611282.

PE
R

IV

232

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 219

F.15. LEUKOPLAKIA (K13.2)


Definisi

II

Kriteria diagnostik

: Displasia epitel pada mukosa oral. Merupakan lesi


prakanker dari karsinoma sel skuamosa.
:

SK
I

Klinis

: Lesi berupa plak putih lekat pada mukosa oral.

Diagnosis banding

: Liken planus, kandidiasis, leukoderma

Histopatologi

: Penebalan hiperkeratotik atau parakeratotik dari


lapisan tanduk. Ditemukan juga akantosis dan
sebukan infiltrat inflamasi kronik.

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

: Tindakan:
Topikal retinoid
Bedah laser (CO2)
Bedah pisau
Kerjasama dengan Departemen Ilmu Bedah

DO

III

PE
R

: 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Dalam:


Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor.
Levers Histopathology of the Skin. Edisi ke-10.
Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h.
791-850.
2. Duncan KO, Geisse JK, Letufeli DJ. Epithelial
Precancerous Lesions. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine. Edisi
ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1261-1282

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 220

Tumor dan Bedah Kulit

233

F.16. PENYAKIT BOWEN (D00-D09)


Definisi

: Karsinoma sel skuamosa in situ

II

Kriteria diagnostik

Klinis

: Lesi berupa plak tipis eritematosa, tepi ireguler,


berbatas tegas, disertai skuama atau krusta,
menyerupai lesi psoriasis. Lesi membesar secara
: lambat.
Psoriasis
Dermatitis
Dermatomikosis
:
Karsinoma in situ dengan hilangnya bentuk
epidermal dan diferensiasi reguler yang disebut
sebagai windblown appearance. Dinding
epidermis menebal dengan membran basal yang
tetap intak. Selain itu, ditemukan juga keratinosit
yang polimorfik, diskeratosis sel, peningkatan laju
mitosis, dan ditemukannya sel-sel multinuklear.
Ditemukan glomerular vessels disertai dengan
skuama.

Diagnosis banding

Histopatologi

III

DO

Pemeriksaan Dermoskopis:

SK
I

Penatalaksanaan

: Medikamentosa:
Topikal :
- 5 Fluorourasil (FU)
- Imiquimod

PE
R

Tindakan:
Bedah pisau, eksisi, Mohs
Bedah beku
Curetage

IV

Kepustakaan

: 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis.

Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B


Jr, editor. Levers Histopathology of the Skin. Edisi
ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins,
2009. h. 791-850.
2. Duncan KO, Geisse JK, Letufeli DJ. Epithelial
Precancerous Lesions. Dalam: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine.
Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 12611282.
3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH.
Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill
Australia, 2009. h. 189-191

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 221

234

Tumor dan Bedah Kulit

SK
I
DO
PE
R

TUMOR GANAS

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 222

Tumor dan Bedah Kulit

235

EPIDERMIS DAN ADNEKSA


F.17. KARSINOMA SEL BASAL (C44)
Definisi

II

Kriteria diagnostik
Klinis

Diagnosis banding

PE
R
236

KSB noduloulseratif
KSB berpigmen
KSB superfisial
KSB morfeaformis
Fibroepitelioma Pinkus

1. KSB nodular
- Nevus melanositik dermal
- KSS
- Tumor adneksa
- Dermatofibroma
2. KSB berpigmen
- Melanoma nodular
- Superfisial spreading melanoma
- Lentigo maligna melanoma
- Tumor adneksa
- Nevus compound
- Nevus biru
3. KSB superfisial
- Penyakit Bowen
- Mammary atau extramammary
Pagets disease
- Superficial spreading melanoma
- Plak psoriasis soliter
- Plak dermatitis soliter
4. KSB morfeaformis
- Skar
- Morfea
- Trikoepitelioma
5. Fibroepitelioma Pinkus
- Skin tag
- Fibroma
- Nevus dermapapilomatosa

DO

Karsinoma sel basal (KSB) adalah tumor


ganas yang berasal dari sel non-keratinisasi
yang membentuk lapisan basal epidermis.
Umumnya timbul di bagian tubuh yang terpajan
sinar matahari. Berukuran beberapa milimeter
sampai beberapa sentimeter. Jika tidak diobati,
dapat menginvasi jaringan di sekitarnya, sehingga
menimbulkan gangguan fungsi dan kosmetik.
KSB sangat jarang bermetastasis.

SK
I

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 223

Pemeriksaan penunjang

Dermoskopi
KSB berpigmen
- Negative feature: pigment network
- Positive feature (paling sedikit satu
gambaran ditemukan)
Ulceration
Large blue-gray ovoid nests
Multiple blue gray globules
Leaf like areas
Spoke wheel areas
Arborizing (tree like) telangiektasia

SK
I

Histopatologi
Pembagian menurut Lever
Tidak berdiferensiasi, tipe solid, dibagi
atas circumscribe dan infiltratif
Berdiferensiasi : keratotik, sebasea dan
adenoid.

DO

Pembagian menurut prognosis


- Tipe Agresif: Infiltratif, morfeaformis dan basoskuamosa
- Tipe Nonagresif : Nodular dan
superfisial

Radiodiagnostik
Karena KSB jarang bermetastasis, pemeriksaan
ini bukan merupakan suatu keharusan.
Pentahapan (penentuan stadium)
Sama dengan karsinoma sel skuamosa (lihat
PLK KSS)

Faktor risiko untuk rekuren

PE
R

Anamnesis dan pemeriksaan fisis


Lokasi/ukuran

Tepi
Primer/rekuren
Pernah diradioterapi
Patologi
Subtipe
Perineural atau vaskular

Risiko rendah
Area L < 20 mm
Area M < 10 mm
Area H < 6 mm
Batas jelas
Primer
Negatif

Risiko tinggi
Area L > 20 mm
Area M > 10 mm
Area H > 6 mm
Batas tidak jelas
Rekuren
Positif

Nodular, superfisial
Negatif

Pertumbuhan agresif
Positif

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 224

Tumor dan Bedah Kulit

237

Pentahapan sama dengan Karsinoma Sel Skuamosa


Penatalaksanaan

Tindakan bedah
1. Eksisi dengan evaluasi tepi. Dapat
dikerjakan dengan potong beku atau
langsung.
2. Mohs micrographic surgery
3. Radioterapi
4. Bedah beku
5. Elektrodesikasi dan kuret
6. Bedah laser CO2
7. Terapi fotodinamik (PDT)
8. Terapi target (misalnya inhibitor gli1 dan gli2)*

SK
I

III

Topikal*
1. 5-Fluorourasil (5-Fu)
2. Imiquimod
Sistemik*

Kepustakaan

PE
R

IV

DO

Tindak lanjut
Setiap 6 bulan dalam 5 tahun pertama. Kemudian setiap tahun seumur hidup.

238

Tumor dan Bedah Kulit

1. Carucci JA, Leffell DJ, Pettersen JS. Basal cell


carcinoma. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K editor.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine.
Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.1294303.
2. Cockerell CJ, Tran TK, Carucci J, Tierney E,
Lang PL, Maize JC Sr, dkk.. Basal cell
carcinoma. Dalam: Rigel DS, Robinson JK, Ross
M, Friedman RJ, Cockerell CJ, Lim HW dkk.
Cancer of the skin. Edisi ke-2. New York:
Elsevier-Saunders;2011.h.99-123.
3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH.
Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill
Australia, 2009.

4. Kirkham N. Tumors and cysts of Epidermis.


Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B
Jr, editor. Levers Histopathology of The Skin.
Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott-Williams and
Wilkins, 2009. h. 791-849.
5. NCCN.org. Basal cells and squamous cells skin
cancers. NCCN clinical practice guidelines in
oncology (NCCN Guidelines). Version 2.2014.
6. National Cancer Institute (US). Cancer.gov. Skin
cancer (PDQ): Basal cell carcinoma of the skin.
Treatment. Health professional version. Tersedia di:
http://www. Cancer.gov/templates/page_print.aspx.
Modifikasi terakhir 25 Okt 2014. Diunduh tgl 27-072014.

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 225

Bagan Alur

Primer

Tumor non
agresif pada
badan atau
ekstremitas

Tumor agresif
pada badan
atau
ekstremitas

Rekuren

Tumor yang
berlokasi di
kantus, nasolabial,
periorbital atau
retroaurikuler

Ukuran berapa
saja atau lokasi
dimana saja

- Eksisi atau Mohs


micrographic
micrografic
surgery

DO

- Eksisi atau Mohs


micrographic
micrografic
surgery

SK
I

Karsinoma sel basal

PE
R

Eksisi, radioterapi atau


terapi ablatif (bedah listrik,
bedah beku, bedah laser,
kemoterapi intralesi, terapi
fotodinamik, topikal* : 5-FU
dan imiquimod)

Keterangan:

* = Peringatan, menunggu persetujuan BPOM.

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 226

Tumor dan Bedah Kulit

239

F.18. KARSINOMA SEL SKUAMOSA (C44)


Definisi

II

Kriteria diagnostik
Klinis

Karsinoma sel skuamosa (KSS) adalah tumor


ganas yang berasal dari keratinosit epidermis
suprabasal.
Umumnya
pajanan
ultraviolet
merupakan faktor risiko penting sehingga timbul di
bagian tubuh yang terpajan sinar matahari.
Sebagian besar muncul dari lesi prekursor. Jika
ditemukan dan diterapi sedini mungkin cure rate
dapat mencapai 95%, tapi KSS dapat tumbuh
agresif dengan destruksi lokal dan bermetastasis.

Faktor predisposisi
Lesi prekursor (keratosis aktinik, penyakit
Bowen)
Pajanan ultraviolet
Pajanan radiasi ionisasi
Pajanan terhadap karsinogen lingkungan
Imunosupresi
Luka bakar atau pajanan panas yang lama
Skar kronik atau dermatosis inflamasi
Infeksi human papilloma virus
Genodermatosis (albinism, xeroderma pigmentosum, porokeratosis, epidermolisis bulosa)
Mutasi P53, Bcl2, dll

DO

SK
I

Gambaran klinis
Plak atau papul keratotik sewarna kulit atau
eritematosa, kenyal keras tetapi kadangkadang berpigmen
Nodus yang berulserasi

PE
R

240

Diagnosis banding

Tumor dan Bedah Kulit

1. Veruka vulgaris
2. Keratosis seboroik
3. Keratosis aktinik
4. Nevus melanositik
5. Granuloma piogenikum
6. Poroma ekrin
7. Infeksi jamur dalam (mis.kromomikosis)
8. Penyakit Bowen
9. Karsinoma sel basal
10. Keratoakantoma
11. Tumor ganas kulit lainnya

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 227

Pemeriksaan penunjang

Dermoskopi
- Glomerular (coiled) vessels
- Dotted vessels
- Scales

SK
I

Histopatologi
- Keratinosit atipik, horn pearls
- Derajat diferensiasi menurut Broder
Radiodiagnostik
- Foto thorax
- USG/CT Scan Abdomen
- Bone scan
- CT scan lesi

Gambaran risiko tinggi tumor primer

Anatomi
Lokasi
Diferensiasi
PENTAHAPAN

> 2 mm (ketebalan Breslow)


Clark level > 4
Invasi perineural
Lesi primer di kuping
Lokasi primer bibir
Buruk atau tidak berdiferensiasi

DO

Kedalaman/invasi

PE
R

Tumor primer (T)


Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tumor primer tidak ada
Tis Karsinoma insitu
T1 Tumor berukuran kurang dari 2 cm dengan
kurang dari 2 gambaran risiko tinggi
T2 Tumor berukuran 2 cm atau tumor ukuran
berapa saja dengan lebih atau sama dengan
2 gambaran risiko tinggi
T3 Tumor dengan invasi ke maksila, mandibula,
orbita, atau tulang temporal
T4 Tumor dengan invasi skeleton (aksial atau
apendikular) atau invasi perineural ke dasar
tengkorak

Tahap

0
I
II
III

IV

Tis
T1
T2
T3
T1
T2
T3
T1

N0
N0
N0
N0
N1
N1
N1
N2

Kelenjar limfe regional (N)


Nx Kelenjar limfe tidak dapat ditentukan
N0 Tidak ada metastasis kelenjar limfe
N1 Metastasis pada KGB ipsilateral soliter, < 3
cm (diameter terbesar)
N2 Metastasis pada KGB ipsilateral soliter, > 3
cm tetapi < 6 cm; atau KGB ipsilateral multipel,
< 6 cm; atau KGB bilateral atau kontralateral, <
6 cm
N2a Metastasis KGB ipsilateral soliter, > 3 cm
tetapi < 6 cm
N2b Metastasis KGB ipsilateral multipel, < 6 cm
N2c Metastasis pada KGB kontralateral atau
bilateral, < 6 cm
N3 Metastasis KGB > 6 cm
Metastasis jauh (M)
Mx Metastasis tidak dapat ditentukan
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Metastasis jauh
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 228

Tumor dan Bedah Kulit

241

III

N2
N2
N3
N berapa saja
N berapa saja

Penatalaksanaan

M0
M0
M0
M0
M1

Tindakan bedah :
- Mohs micrographic surgery
- Eksisi dengan evaluasi tepi. Dapat dikerjakan
dengan potong beku atau langsung.
Non eksisi ablatif (KSS insitu atau
keadaan khusus)
- Elektrodesikasi dan kuret
- Bedah beku
- Bedah laser CO2

Radioterapi

Topikal : imiquimod, 5 fluorourasil*

Sistemik**

SK
I

T2
T3
T berapa saja
T4
T berapa saja

IV

Kepustakaan

DO

Tindak lanjut
Setiap 3-6 bulan dalam 2 tahun pertama.
Selanjutnya setiap 6-12 bulan seumur hidup.

1.

2.

PE
R

3.

242

Tumor dan Bedah Kulit

4.

5.
6.

Grossman D, Leffell DJ. Squamous cell carcinoma.


Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ, Wolff K editor. Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. Edisi ke-8 New
York: McGraw-Hill; 2012.h.1283-94.
Bhambri S, Dinehart S, Bhambri A. Squamous cell
carcinoma. Dalam: Rigel DS. Robinson JK, Ross
M, Friedman RJ, Cockerell CJ, Lim HW dkk.
Cancer of the skin. Edisi ke-2. New York: ElsevierSaunders;2011.h.124-39.

Kirkham N. Tumors and cysts of Epidermis.


Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john
B Jr, editor. Levers Histopathology of The
Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: LippincottWilliams and Wilkins, 2009. h. 791-849.

Cutaneus squamous cell carcinoma and other


cutaneous carcinoma. Dalam: Edge SB, Byrd DR,
Compton CC, dkk. Penyunting: AJCC Cancer
Staging Manual. Edisi ke-7. New York: Springer,
2010.h.301-14.
NCCN.org. Basal cells and squamous cells skin
cancers. NCCN clinical practice guidelines in
oncology (NCCN Guidelines). Version 2.2014.
National Cancer Institute (US). Cancer.gov. Skin
cancer (PDQ): Squamous cell carcinoma of the skin
Treatment. Health professional version. Tersedia di:
http://www. Cancer.gov/templates/page_print.aspx.
Modifikasi terakhir 25 Okt 2013. Diunduh tgl 27-072014.

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 229

Bagan Alur

SK
I

Karsinoma sel skuamosa

Anamnesis
Keluhan sesuai KSS
Faktor predisposisi

Pemeriksaan klinis
Lesi sesuai gambaran KSS

DO

Histopatologi

Tidak sesuai KSS

PE
R

Tatalaksana sesuai
diagnosis

Sesuai KSS

KSS insitu/ non high risk

1. Eksisi
2. Terapi ablatif (non
bedah)
3. Topikal*, misal:
5FU, imiquimod

High risk / metastasis

1.
2.
3.
4.

Eksisi
Sistemik**
Radiasi
Bedah Mohs

*)
persetujuan BPOM
BPOM
*) Peringatan:
Peringatan:Menungggu
Menunggupersetujuan

**) Sesuai dengan obat-obat yang disetujui BPOM

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 230

Tumor dan Bedah Kulit

243

SEL MELANOSIT
F.19. MELANOMA MALIGNA (C43)
Definisi

II

Kriteria diagnostik

: Faktor risiko
Pajanan sinar ultraviolet
o Lepuh terbakar surya setiap saat; pajanan sinar UV
high levels intermiten atau sporadic
o Pajanan kronik berlebihan
Karakteristik fenotipe
o Kulit terang, ketidakmampuan menjadi kecoklatan
(tan), kecenderungan terbakar surya atau frekles
(Skin phototype I dan II)
o Mata biru atau hijau
o Rambut merah atau pirang
o Mempunyai nevus melanositik (NM) yang banyak,
dan atau lebih dari satu NM atipik
o NM kongenital besar
Riwayat melanoma sebelumnya
Riwayat melanoma dalam keluarga
Mutasi p16, BRAF atau MC1R
Xeroderma pigmentosum
Supresi imun (kontroversi)

PE
R

DO

Klinis

SK
I

: Melanoma maligna (MM) adalah tumor ganas melanosit


yaitu sel yang menghasilkan melanin, berasal dari neural
crest. Walaupun sebagian besar MM muncul pada kulit tapi
dapat juga timbul di permukaan mukosa, misalnya uvea.
Apabila ditemukan dan diterapi sedini mungkin, ketahanan
hidup 5 tahun masih di atas 90%, tapi berpotensi letal
dengan risiko yang meningkat bila terlambat didiagnosis
dan diterapi.

Gambaran klinis
Superficial spreading melanoma (SSM)
Nodular melanoma (NM)
Lentigo malignant melanoma (LLM)
Acral lentigo melanoma (ALM)
Gambaran MM dini/ABCD
A= asimetris
B= border/tepi yang tidak teratur
C= color/warna yang bermacam-macam
D= diameter sama atau lebih dari 6 mm, atau terdapat
perbedaan penampilan, misal ugly duckling
E= elevasi
Tidak berlaku untuk NM

244

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 231

Diagnosis

: I. SSM
1. Nevus atipik
2. Nevus melanositik
3. Keratosis seboroik
4. KSB

SK
I

banding

II. NM
Berpigmen
1. Nevus melanositik
2. Nevus biru
3. Nevus Spitz berpigmen
4. KSB berpigmen
Amelanotik
1. KSB
2. Hemangioma
3. Granuloma piogenik
4. Karsinoma sel Merkel

DO

III. LLM
1. Lentigo solaris
2. Keratosis aktinik berpigmen
3. Keratosis seboroik datar
4. KSB superfisialis berpigmen

IV. ALM termasuk ALM subungual


1. Veruka plantaris
2. Hematoma
3. Nevus palmoplantar
4. Melanokhia longitudinal
5. Onikomikosis
6. Granuloma piogenik

: Dermoskopi
- Negative feature (tidak ditemukan)
Symetrical pigmentation pattern
Presence of only a single color
- Positive feature (paling sedikit satu gambaran
ditemukan)
Blue white veil
Multiple brown dots
Pseudopods
Radial streaming
Scar like depigmentation
Peripheral black dots/globules
Multiple (5-6) colors
Multiple blue gray dots
Broadened network

PE
R

Pemeriksaan

penunjang

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 232

Tumor dan Bedah Kulit

245

Histopatologi
Radial (horizontal) growth phase
Vertical growth phase

N1

Jumlah KGB
metstasis
1

N2

2-3

N3

4 atau lebih
KGB, atau
KGB kusut
(matted nodes)
atau intransite/ KGB
satelit
Lokasi

DO

SK
I

Klasifikasi Tumor Nodes Metastasize (TNM) melanoma


T
Ketebalan
Ulserasi
(mm)
< 1,O
a. tanpa ulserasi &
T1
mitosis < 1/ mm2
b. dengan ulserasi atau
mitosis > 1/mm2
T2
1,01 2,0
a. tanpa ulserasi
b. dengan ulserasi
T3
2,01 4,0
a. tanpa ulserasi
b. dengan ulserasi
T4
> 4,0
a. tanpa ulserasi
b. dengan ulserasi

PE
R

M1a Kulit jauh,


subkutan atau
metstasis
KGB
M1b Metastasis
paru
M1c Metastasis
viseral yang
lain
Metastasis
jauh lainnya

a. mikrometastasis
b. makrometastasis
a. mikrometastasis
b. makrometastasis
c. in-transite metstasis
atau satelit tanpa KGB
metastasis

Serum lactate
dehydrogenase (LDH)
Normal

Normal
Normal
Meningkat

Pulasan (pewarnaan) khusus untuk diagnostik


- S 100
- HMB 45
- Melan-A (apabila fasilitas tersedia)

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 233

246

Tumor dan Bedah Kulit

SK
I

Pulasan (pewarnaan) khusus untuk prognostik apabila


fasilitas tersedia
- BRAF
- P16
Pemeriksaan radiodiagnostik
- Foto thorax
- USG/CT scan abdomen
- Bone scan
- CT scan kepala (bila ada indikasi)
- CT scan lesi (bila ada indikasi)
Sentinel lymph node biopsy
( bergantung pada adanya indikasi / fasilitas)

PE
R

DO

Pentahapan (Penentuan Stadium)


American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 2010
Berdasarkan TNM (Tumor, Node, Metastasis)
Pentahapan klinis Pentahapan patologis
T
N
M
T
N
M
0
T1s
N0
M0
T1s
N0
M0
IA
T1a
N0
M0
T1a
N0
M0
IB
T1b
N0
M0
T1b
N0
M0
T2a
N0
M0
T2a
N0
M0
IIA
T2b
N0
M0
T2b
N0
M0
T3a
N0
M0
T3a
N0
M0
IIB
T3b
N0
M0
T3b
N0
M0
T4a
N0
M0
T4a
N0
M0
IIC
T4b
N0
M0
T4b
N0
M0
M0
III
T apa N1
saja
N2
N3
IIIA
T1-4a
N1a M0
T1-4a
N2a M0
IIIB
T1-4b
N1a M0
T1-4b
N2a M0
T1-4a
N1b M0
T1-4a
N2b M0
T1-4 a/b N2c M0
N1b M0
IIIC
T1-4b
N2b M0
T1-4b
M0
N3
T apa
saja
IV
T apa N
M1
T apa
N
M1
saja
apa apa saja
apa apa
saja saja
saja saja

Tumor dan Bedah Kulit

247

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 234

Ketahanan hidup untuk melanoma TNM Tahap I-III


American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 2010
Tumor

IA
IB
IB
IIA
IIA
IIB
IIB
IIC
IIIA

T1a
T1b
T2a
T2b
T3a
T3b
T4a
T4b
T1T4a
T1T4b
T1T4a
T1T4b

NO
N0
N0
N0
N0
N0
N0
N0
N1a/N2a

mikroskopik

Ketahanan
hidup
5
tahun (%)
97
94
91
82
79
68
71
53
78

N1a/N2a

mikroskopik

55

N1b/N2b

makroskopik

48

N1b/N2b/N3

38

T1T4a

N3

Makroskopik
atau 4+
KGB apa
saja
4+ KGB apa
saja

IIIB
IIIB

DO

IIIC

IIIC

III

KGB

Penatalaksanaan

Beban KGB
tumor

SK
I

Tahap

47

Sesuai dengan stadium

Tindakan bedah:
- Eksisi dengan evaluasi tepi lesi

PE
R

Ajuvan
- interferon- 2b
- BCG

Sistemik :**
1. Kemoterapi
2. Imunoterapi
3. Terapi target

Radioterapi

Tindak lanjut
IA-IIA : Setiap 6-12 bulan selama 5 tahun. Kemudian setiap
tahun bila ada indikasi klinis
IIB-IV: Setiap 3-6 bulan selama 2 tahun. Sesudah itu setiap
tahun bila ada indikasi klinis

248

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 235

Kepustakaan

1. Bailey EC, Sober AJ, Tsao H, Mihm MC, Jr., Johnson TM.
Cutaneous melanoma. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine. Edisi ke-8
New York: McGraw-Hill; 2012.h.1417-44.
2. Paek SC, Tsao H, Johnson TM. Melanocytic Tumor:
Cutaneous melanoma. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ,
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editor.
Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-7.
New York:McGraw-Hill; 2008.h.1134-57
3. Goulard JM, Halpern AC. Management of the patient with
melanoma. Dalam: Rigel DS. Robinson JK, Ross M,
Friedman RJ, Cockerell CJ, Lim HW dkk. Cancer of the skin.
Edisi ke-2. New York: Elsevier-Saunders; 2011.h.318-26.
4. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH.
Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill Australia,
2009.
5. Elder DE, Eletritsas R, Murphy GF, Xu X. Benign
pigmented lesion and malignant melanoma. Dalam: Elder
D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Levers
Histopathology of The Skin. Edisi ke-10. Philadelphia:
Lippincott-Williams and Wilkins, 2009. h. 699-789.
6. Balch CM, dkk. Melanoma of the skin. Dalam: Edge SE,
Byrd DR, Carducci MA, Compton CC. AJCC cancer
staging manual. Edisi ke-7. New York: Springer, 2010.
7. NCCN.org. Melanoma. NCCN clinical practice guidelines
in oncology (NCCN Guidelines). Version 4.2014.
8. National Cancer Institute (US). Cancer.gov. Melanoma
Treatment (PDQ): Health professional version. Tersedia
di:http://www.Cancer.gov/templates/page_print.aspx.
Modifikasi terakhir 11 Juli 2014. Diunduh tgl 27-07-2014.

PE
R

DO

SK
I

IV

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 236

Tumor dan Bedah Kulit

249

Bagan Alur
Primer
lesi tersangka
Biopsi eksisi
(dianjurkan)

DO
SK
I

Biopsi insisi
Lesi luas/kecurigaan rendah

MM insitu

Ketebalan
< 1 mm

< 1 mm (0,75 mm
dgn SLNB (+))

1,01 2 mm

> 2 mm

Batas bebas
0,5-1,0 cm

Batas bebas
1,0 cm

Batas bebas
1,0 cm

Batas bebas
1,0-2,0 cm

Batas bebas
2,0 cm

pengawasan

Lesi nodus tersangka

Pertimbangkan SLNB

CLND dan penetapan


(mis CXR, LDH, CT,
MRI, PET)

FNA atau

biopsi terbuka

Pertimbangan IFN 2b,


atau uji klinis vs
observasi

Curiga penyakit
telah menyebar

FNA dengan petunjuk CT


atau biopsi terbuka

PE
R

Soliter atau
terbatas

Observasi
ulang
scan

Tidak
ada perubahan

Progresif

SLNB
CLND
CXR
CT
FNA
LDH
PET
SSP

250

: surgical lymph node biopsy


: completion lymph node dissection
: chest X-ray
: computed tomography
: fine needle aspiration
: lactate dehidrogenase
: positron emission tomography
: susunan saraf pusat

Tumor dan Bedah Kulit

Pertimbangkan reseksi

Pengawasan

Tersebar

Metastasis
SSP tidak
ada

Pengobatan
sistemik dacarbasin
atau IL-2 atau
uji klinis

Metastasis
SSP

SSP
stabil

Radiasi,
reseksi
beberapa
lesi (1-3),
uji klinis

** = Sesuai dengan obat-obat yang disetujui BPOM

TINDAKAN BEDAH DALAM DERMATOLOGI


F.20. BIOPSI KULIT
Definisi

II

Indikasi
medik

III

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

Pengambilan jaringan kulit untuk diagnosis berbagai macam


tumor dan peradangan kulit

1. Diagnosis untuk proses keganasan kulit


2. Evaluasi berbagai diagnosis tumor jinak kulit
3. Evaluasi berbagai penyakit kulit yang diagnosisnya
ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi

1)
2)
3)
4)

Persetujuan tindak medik


Persiapan pasien, alat, petugas
Pencegahan infeksi sebelum tindakan
Tindakan biopsi:
a) Shave biopsy menggunakan skalpel untuk lesi
eksofitik atau tumor epidermal
b) saucerization untuk lesi yang mencapai dermis
bagian atas atau tengah
c) Biopsi plong (punch biopsy): menggunakan biopsi
plong ukuran 1-10 mm. Indikasi: kelainan rambut,
lesi kulit yang uniformis, atau lesi yang mencapai
dermis bagian tengah dan subkutis, misalnya tumor
epidermal,
peradangan
kulit,
pemeriksaan
imunofluoresensi, mikroskop elektron, dan kultur
bakteri
d) Biopsy insisi untuk mendapatkan specimen yang
besar, atau kelainan matriks kuku
e) Wedge biopsy untuk memeriksa ulkus dan
mencakup kulit normal di sekitarnya
f) Biopsi eksisi dilakukan untuk pengangkatan total
seluruh lesi kulit dengan atau tanpa mengikut
sertakan kulit normal. Misalnya nevus yang diduga
melanoma.

DO

tindak

SK
I

1. Elsaie ML, Vejjabhinanta V, Nouri K. Biopsy techniques. Dalam:


Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex:
Wiley-Blackwell, 2013:35-37
2. Garg A, Levin NA, Benhard JD. Structure of skin lesion and
fundamentals of clinical diagnosis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz AI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ [Ed]. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New York: McGrawHill, 2012:26-42
3. Perez M, Lodha R, Nouri K. Skin biopsy techniques. Dalam: Nouri
K, Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh:
Mosby, 2003:75-9
4. Bisarccia E, Scarborough DA. The Columbia Manual of
Dermatologic Cosmetic Surgery. New York:McGraw-Hill, 2002
5. Schultz BC. Skin biopsy. Dalam: Roenigk RK, Roenigk HH.
Roenigks Dermatologic Surgery. Principle and Practice, edisi ke-2.
New York: Marcell Dekker,1996:177-90
6. Llamas Velasco.M, Paredes B.E. Basic concept in skin biopsy part
1. Acta Derm-Syph.2012, 103(1):12-20.
7. Llamas Velasco.M, Paredes BE. Basic concept in skin biopsy part
2.ActaDerm-Syph.2012,103(1):100-101

PE
R

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 238

Tumor dan Bedah Kulit

251

Bagan Alur

SK
I

Biopsi Kulit

Kelainan peradangan dan tumor kulit

Diagnosis

Radang dan tumor kulit (klinis dan PA)

Ya

DO

Shaved biopsy

Eksofitik superfisial: seboroik,


aktinik keratosis jinak, papul
angioma

Biospi silet (saucerization)

Biopsi eksisi
Neoplasma, KSS

Clip biopsy

Biopsi insisi

PE
R

Pengambilan jaringan sampai


subkuit (KSS, melanoma,
nevus atipikal

Lesi sangat superfisial (skin


tag, veruko filiformis)

252

Biopsi plong

Tumor superfisial, radang,


imunofluoresensi,
imunofenotiping,
mikroskop elektron, kultur

Tumor dan Bedah Kulit

Pengambilan jaringan kulit


yang sehat maupun tidak
sehat

Biopsi oral
Sama dengan biopsi kulit (liken planus,
leukoplakia, KSS)

F.21. EKSISI/FLAP DAN GRAFT


Definisi

Pemindahan jaringan kulit yang masih tersambung pada


tempat asalnya atau pengambilan tandur kulit untuk
menutupi defek pada bedah kulit

II

Indikasi tindakan
medik

Adanya defek kulit yang perlu ditutup akibat pembedahan


tumor jinak: lipoma, kista, nevus, tumor ganas: karsinoma
sel basal, karsinoma sel skuamosa, melanoma maligna dan
kelainan kulit lain: revisi skar, dll

III

Penatalaksanaan

1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal
5. Tindakan: Eksisi, dibebaskan, kemudian dirapatkan
kembali dengan jahitan kulit. Untuk luka dengan tegangan
yang tinggi diperlukan jahitan subkutan
6. Dekontaminasi,
cuci
tangan,
dan
perawatan
pascatindakan

DO
:

1. Nguyen TH, McGinness JL. Skin flaps. Dalam: Nouri


K (ed). Dermatologic surgery step by step. West
Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:77-95.
2. Sheehan J, Kingsley M, Rohrer TE. Excisional surgery
and repair, flaps, and grafts. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz AI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel
DJ [Ed]. Fitzpatricks dermatology in general
medicine, edisi ke-8. New York: McGraw-Hill, 2012:
2921-2949.
3. Rohrer TE, Cook JL, Nguyen TH, Mellette JR Jr.
Flaps and grafts in dermatologic surgery.
Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007.

PE
R

IV Kepustakaan

SK
I

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 240

Tumor dan Bedah Kulit

253

F.22. BEDAH LISTRIK


:

Penggunaan arus listrik frekuensi tinggi pada jaringan


biologis dengan tujuan memotong, melakukan koagulasi,
desikasi, dan fulgurasi jaringan.
Sebutan tindakan bedah listrik mencakup elektrofulgurasi,
elektrodesikasi,
elektrokoagulasi,
elektroseksi,
elektrokauter, dan, elektrolisis.
tindak : 1. Elektrofulgurasi: penggunaan elektroda tunggal yang
mampu menghasilkan bunga api tanpa menyentuh
jaringan. Indikasi: veruka, skin tag, keratosis seboroik
2. Elektrodesikasi: pada prinsipnya sama dengan
elektrofulgurasi kecuali elektrodanya kontak dengan
jaringan dan tidak menghasilkan bunga api. Indikasi:
keratosis, veruka
3. Elektrokagulasi: tehnik yang digunakan untuk mencapai
hemostatis dan modalitas terapi beberapa lesi kulit.
Indikasi: hemostasis
4. Elektroseksi: untuk memotong jaringan dengan
perdarahan yang minimal
5. Elektrokauterisasi: menggunakan energi panas dengan
voltase yang rendah
6. Elektrolisis: hanya digunakan untuk sistem biterminal

Definisi

II

Indikasi
medik

III

Penatalaksanaan

DO

SK
I

1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal
5. Tindakan: lesi patologis didestruksi atau dipotong
dengan jarum elektroda bedah listrik. Perdarahan
dihentikan dengan penekanan, fulgurasi, atau bedah
listrik bipolar.
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca
tindakan
7. Pasien dengan IECD (implantable electronic cardiac
device) yang mendapatkan tindakan bedah listrik
sebaiknay diawasi oleh supervisor dan ahli anestesi.
Hasil EKG paling tidak 1 lead dimana spike dan atau
komlpeks QRS dapat terlihat dan teridentifikasi

PE
R

IV

Kepustakaan

1. Choudry S, Mcleod MP, Leal-Khouri S. Electrosurgery. Dalam:


Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex:
Wiley-Blackwell, 2013:77-95.
2. Vujevich J.J, Goldberg L.H.: Cryosurgery and electrosurgery.
Dalam: Wolff K,Goldsmith LA, Katz A.I, Gilchrest B.A, Paller
A.S, Leffel D.J [Ed]. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine, edisi ke-8. New York: McGraw-Hill, 2012: 29682976.
3. Leal-Khouri S, Lodha R, Nouri K. Electrosurgery..Dalam: Nouri
K, Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology Surgery.
Edinburgh; Mosby, 2003: 81-3

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 241

254

Tumor dan Bedah Kulit

SK
I

4. Bisaccia E, Scarborough D.A. The Columbian Manual of


Dermatologic Cosmetic Surgery. New York: McGraw-Hill,
2002.
5. Bracamonte B.G, Rodriguez J, Casado R, Vanaclocha F.
Electrosurgery in patients with implantable electronic cardiac
devices (pacemakers and defibrillators). Acta Dermo Syph
2012: 128-132.

Bagan Alur

Bedah Listrik

Ya

DO

Indikasi: pengobatan tumor


dan kelainan kulit lain

Elektroseksi
Indikasi: memotong jaringan
lesi dengan perdarahan
minimal

Elektrodesikasi
Indikasi: lesi epidermal,
telangiektasis

Elektrokauter
Indikasi: tumor jinak yang
kecil dan superfisial

PE
R

Elektrokoagulasi
Indikasi: lesi epidermal
(keratosis seboroik, skin
tags, veruka)

Elektrokoagulasi
Indikasi: hemostasis

Elektrolisis
Indikasi: biterminal

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 242

Tumor dan Bedah Kulit

255

F.23. BEDAH BEKU (CRYOSURGERY)


Definisi

Tindakan bedah menggunakan bahan kriogen/pembeku


dengan tujuan menghancurkan sel dari jaringan patologis

II

Indikasi
medik

tindak :

Lesi jinak : keratosis seboroik, veruka, lentigo solaris,


keloid dan skar hipertrofi, dermatofibroma, hiperplasia
sebaseus, skin tag, molluskum kontangiosum, milia.
Lesi preganas/premalignant : keratosis aktinik, penyakit
Bowen (karsinoma intra-epitelial).
Lesi ganas/malignant : karsinoma sel basal, karsinoma sel
skuamosa, lentigo maligna.

III

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

Persetujuan tindak medik


Persiapan pasien, alat, petugas
Pencegahan infeksi sebelum tindakan
Anastesi lokal atau topikal
Tindakan: tehnik spray atau teknik kapas lidi
Dekontaminasi,
cuci
tangan,
dan
perawatan
pascatindakan

DO

: 1.
2.
3.
4.
5.
6.

SK
I

1. Pasquali P. Cryosurgery. Dalam: Nouri K (ed).


Dermatologic surgery step by step. West Sussex: WileyBlackwell, 2013:51-57.
2. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell
DJ, Wolf K, editor. Dalam: Fitzpatricks dematology in
general medicine, edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill,
2012
3. Zimmerman E, Crawford P. Cutaneous cryosurgery.
American Family Physician, 2012; 86 (12) : 1118-1124

PE
R

256

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 243

F.24. BEDAH KIMIA


Definisi

Pembedahan menggunakan bahan


diaplikasikan pada permukaan kulit

kimia

yang

II

Indikasi
medik

tindak :

Indikasi sesuai tipe kedalaman peel.


Superfisial : Kerusakan kulit akibat matahari (kulit
kusam, kerutan, keratosis), gangguan pigmentasi
(melasma, PIH, solar lentigen), akne yang menetap (+/), ekstraksi komedo.
Medium : photoaging (kerutan/keriput), gangguan
pigmentasi, skar atrofi superfisial
Dalam : photoaging berat, gangguan pigmentasi dan
skar/parut

III

Penatalaksanaan

1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien (evaluasi priming), alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi dan tindakan
5. Siapkan peel di tempat yang sesuai; kepala pasien
dielevasikan 45 derajat. Kulit dibersihkan dari lemak
yang mengganggu absorbsi dengan alkohol/aseton.
Oleskan petrolatum gel di ujung mata dan bibir.
Bahan kimia dioleskan dengan kapas lidi atau karet
busa dengan lama kontak 2-3 menit. Bahan AHA
perlu dinetralisasi dengan larutan natrium bikarbonat,
bahan lain tidak perlu
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan
pascatindakan

IV

Kepustakaan

DO

SK
I

PE
R

1. Hexsel DM, Fernandes JD, Hexsel CL. Chemical


peeling. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery
step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell,
2013:217-222.
2. Rubin MG. Chemical peels. In: Procedures in
cosmetic dermatology. Elsevier, 2006.
3. Tanzi EL, Alster TS. Ablative lasers, chemical peels,
and dermabrasion. Dalam Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K (eds).
Fitzpatricks dematology in general medicine, edisi
ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 244

Tumor dan Bedah Kulit

257

F.25. SUBSISI
Definisi

II

Indikasi
medic

tindak :

III

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

untuk

Skar hipotrofik yang tertarik ke dermis


1.
2.
3.
4.
5.

Persetujuan tindak medik


Persiapan pasien, alat, petugas
Pencegahan infeksi sebelum tindakan
Anastesi lokal dengan suntikan
Tindakan: aseptik kulit, jarum (18 G 1,5 inch Nokor
Admix ) ditusukkan 900 atau secara horizontal sejajar
permukaan kulit. Kemudian dilakukan gerakan
memotong seperti kipas atau maju-mundur guna
membebaskan permukaan kulit dari subkutis.
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan
pascatindakan

DO

Tindakan pembebasan jaringan subkutis


perbaikan sikatriks hipotrofik dan kerutan

SK
I

PE
R

1. Alsufyani MA. Subcision: a further modification, an ever


continuing process. Dermatology Research and Practice,
2012.
2. Kucuktas M, Engin B, Kutlubay Z, Serdaroglu S. Subcision
treatment of acne scars. Journal of the Turkish Academy of
Dermatology, 2013; 7(3) : 1-5
3. Sanchez FH. Treatment of acne scars. Dalam: Nouri K.
(ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex:
Wiley-Blackwell, 2013: 197-206

258

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 245

F.26. SKIN NEEDLING


Definisi

Tindakan rejuvenasi kulit dengan proses inflammatory


healing dan platelet derived growth factor

II

Indikasi
medik

tindak :

1.
2.
3.
4.

Skar atrofi/hipertrofi
Wrinkle
Stretchmarks
Skin laxity

III

Penatalaksanaan

1.
2.
3.
4.
5.

Persetujuan tindak medik


Persiapan pasien, alat, petugas
Pencegahan infeksi sebelum tindakan
Tindakan skin healing pada daerah yang akan diterapi.
Dekontaminasi,
cuci
tangan,
dan
perawatan
pascatindakan

IV

Kepustakaan

1. Orentreich DS, Orentreich N. Subcutanous incisonless


(subcision) surgery for the correction of depressed scars and
wrinkles. Dermatol Surg 1995;21(6):543-9
2. Fernandes D. Upper lip treatment. Paper presented at the
ISAPS Conference. Taipei, Taiwan, October 1996
3. Falabell AF, Falanga V. Wound healing. Dalam: Fremkel FK,
Woodley DT [Ed]. The biology of the skin. New York:
Parthenon Publ Group, 2001
4. Kim SE, Koe DS, Lee AY, Moon HS. Medical conference
presentation. Medical science Lab of the Dept of Dermatology
at Eulji University School of Medicine and the Dept. Of
Dermatology, School of Medicine at Dongguk University
Dongguk University, 2005.
5. Schwartz et al. http://www.dermaroller.deCIT-findings.htm.
Abstract. Reflections about collagen induction therapy (CIT). A
hypothesis for the machanism of action of collagen induction
therapy (CIT) using microneedles. 1st. Ed. February 2006.
2nd Rev. January 2007

PE
R

DO

SK
I

T u mTumor
o r d a dan
n B eBedah
d a h KKulit
u l i t | 246
259

F.27. DERMABRASI dan MIKRODERMABRASI


:

II

Indikasi
medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

Tindakan meratakan kulit secara mekanis, dalam hal


mikrodermabrasi menggunakan silika
Kerusakan kulit akibat matahari, penuaan dini kulit,
kelainan pigmentasi, parut superfisial, parut akne vulgaris,
tumor jinak kulit
1. Persetujuan tindak medik
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal/umum
5. Tindakan: aseptik kulit, pada dermabrasi dilakukan
dengan diamond fraise putaran tinggi. Bila perlu kulit
dikeraskan dahulu dengan kriogen supaya lebih
mudah dikikis.
6. Pada mikrodermabrasi menggunakan kristal
7. Dekontaminasi, cuci tangan dan perawatan pasca
tindakan

SK
I

Definisi

1. Allemann IB, Hafber J. Dermabrasion. Dalam: Nouri K.


(ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex:
Wiley-Blackwell, 2013: 207-211
2. Kaminer MS, Dover JS, Arndt KA. Atlas of cosmetic
surgery. Philadelphia: WB Saunders Company, 2009.
3. Tanzi EL, Alster TS. Ablative lasers, chemical peels, and
dermabrasion. Dalam Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K (eds). Fitzpatricks
dematology in general medicine, edisi ke-8. New York:
Mc Graw-Hill, 2012.

PE
R

DO

260

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 247

F.28. BEDAH SEDOT LEMAK

II
III

Tindakan pengambilan kumpulan jaringan lemak subkutis


untuk keperluan tandur dan donor mesenchymal stem cells
dan untuk menghilangkan lemak yang tidak dikehendaki
Indikasi
tindak : Tandur lemak untuk rekonstruksi maupun mendapatkan dan
perbaikan contour tubuh, lipoma, lipodistrofi, hiperhidrosis
medik
aksilaris, rekonstruksi
: 1. Persetujuan tindak medik
Penatalaksanaan
2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal pada lemak subkutis dengan tumesen (1000
cc NaCl 0.9%, 1 cc adrenalin/epinefrin 1:1000, 10 cc
natrium bikarbonat 8,4%, 50 cc lidokain 1%) Tunggu 1520 menit
5. Tindakan: lemak disedot dengan kanula diameter 2-5
mm, tumpul (atraumatik) dengan menggunakan spuit
untuk harvest lemak atau alat suction untuk keperluan
baody contouring
6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca
tindakan
7. Pasca tindakan: daerah yang disedot harus diberikan
pembalut elastis/korset selama 7-10 hari untuk mencegah
hematoma

Definisi

Kepustakaan

1. Stebbins WG, Leonard AL, Hanke CW. Liposuction. Dalam


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
Wolf K (eds). Fitzpatricks dematology in general medicine,
edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012.
2. Narins RS. Safe liposuction and fat transfer. New York: Marcel
Dekker, Inc., 2003
3. Kaminer MS, Dover JS, Arndt KA. Atlas of cosmetic surgery.
Philadelphia: WB Saunders Company, 2002
4. Sattler G, Sonja G, Ferris KM, Al Qubaisy Y. Liposuction.
Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West
Sussex: Wiley-Blcakwell, 2013:223-227

PE
R

IV

Pengambilan lemak lebih dari 100 ml yaitu jumlah yang


sesuai untuk kebutuhan tandur kulit dan mesenchymal
stem cells, memerlukan surat keterangan kualifikasi
tambahan dari Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin

DO

SK
I

Peringatan

Tumor dan Bedah Kulit

261

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 248

Bagan Alur

SK
I

(1) Kebutuhan akan tandur lemak atau


mesenchymal stem cells datau keluhan
Timbunan lemak yang tidak semestinya pada
bagian tubuh tertentu

(A) Edukasi
1. Merubah pola makan dan olahraga
2. Farmakoterapi

(2) Evaluasi
Timbunan lemak tidak berkurang,
penderita menghendaki BSL

DO

(3)
Dilakukan BSL

PE
R

(3A)
Body contouring: leher,
wajah, badan, perut, dan
ekstremitas

262

Tumor dan Bedah Kulit

(3B)
Pengambilan lemak untuk
donor atau pengobatan:
lipoma, ginekomastia,
pseudoginekomastia,
broohidrosis, lipodistrofi

(3C)
Rekonstruksi kulit serta
penunjang flap (cutaneous
debulking

F.29. INJEKSI BAHAN PENGISI (FILLER)


I

Definisi

Penggunaan bahan pengisi untuk perbaikan contour kulit

II

Indikasi
medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Injeksi bahan pengisi sesuai teknik masing-masing bahan
(linear threading, fanning, cross-hatching, serial puncture
dan volumizing)
5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca
tindakan

IV

Kepustakaan

1. Donofrio LM. Soft tissue augmentation. Dalam: Wolff K,


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ [Ed].
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New
York, McGraw-Hill, 2012:3044-3052
2. Vujevick J, Baumann L. Permanent fillers. Dalam: Nouri K,
Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh:
Mosby;2003:259-80
3. Bisaccia E, Scarborough DA. The Columbia Manual of
Dermatologic Cosmetic Surgery. New York:McGraw-Hill, 2002
4. Mariwalla K. Temporary fillers. Dalam: Nouri K (ed).
Dermatologic surgery step by step. West Sussex: WileyBlackwell, 2013:259-285

PE
R

DO

SK
I

Kelainan kulit akibat penuaan dini dan revisi skar

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 250

Tumor dan Bedah Kulit

263

F.30. INJEKSI TOKSIN BOTULINUM


I

Definisi

Penyuntikan toksin botulinum untuk menghilangkan kerutan


dan indikasi kulit lainnya

II

Indikasi
medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

: 1.

1.
2.
3.
4.
5.

SK
I

Kerutan wajah dan leher, hiperhidrosis, bromhidrosis

Persetujuan tindak medik


Persiapan pasien, alat, petugas
Pencegahan infeksi sebelum tindakan
Injeksi toksin pada otot yang akan didenervasi
Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca
tindakan

PE
R

DO

Glogau RG. Botulinum toxin. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,


Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ [Ed]. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New York,
McGraw-Hill, 2012:3053-3061
2. Carruthers J, Carruthers A. Botulinum toxin: procedures in
dermatology. Chicago: Saunders, 2013
3. Hexsel DM, Soreifmann M, Hexsel CM. Botulinum toxin.
Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West
Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:253-258

264

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 251

F.31. BLEFAROPLASTI
: Pengambilan kulit lebih dalam dari epidermis,
memerlukan surat keterangan kualifikasi tambahan
dari Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Definisi

: Tindakan pembedahan kulit kelopak mata

II

Indikasitindaktindak : Dermatochalasis,
steatochalasis,
blepharoschalasis,
medik
oriental-lids, xanthelasma , ptosis, floppy eyelid syndrome,
laxity of eyelids

III

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

Persetujuan tindak medik


Persiapan pasien, alat, petugas
Pencegahan infeksi sebelum tindakan
Anastesi lokal/umum
Tindakan: kulit di buka dengan skalpel/ bedahlistrik/
laser CO2. Otot orbikularis okuli dibuang sedikit, lemak
dibawahnya dibuang dengan sangat memperhatikan
hemostasis. Kulit dirapatkan kembali dengan jahitan
halus, atau tidak perlu penjahitan (pada kelopak mata
bawah, teknik transkonjungtiva).
6. Dekontaminasi,
cuci
tangan,
dan
perawatan
pascatindakan

DO

: 1.
2.
3.
4.
5.

SK
I

Peringatan

1. Lee WW, Samimi DH. Upper eyelid blepharoplasty. fillers.


Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step.
West Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:229-232
2. Kaminer MS, Dover JS, Arndt KA. Atlas of Cosmetic Surgery.
Philadelphia: WB Saunders Company, 2002
3. Butani A. Blepharoplasty. Dalam: Alam M.(eds). Evidence
based
procedural
dermatology.
New
York:
Springer;2012:.403-415
4. Moody BR, Weber PJ. Blepharoplasty and browlift. Dalam:
Robinson JK, Hanke CW, Sengelmann RD, Siegel DM.
Surgery of the skin. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005:673690

PE
R

Tumor dan Bedah Kulit

265

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 252

F.32. TRANSPLANTASI RAMBUT


I

Definisi

Tindakan tandur alih rambut

II

Indikasi
medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal tumesen
5. Tindakan: pengambilan donor dengan eksisi atau pisau
plong (punch). Graft dipotong kecil-kecil diameter 2-3
mm. Penanaman tandur pada daerah resipien dengan
terlebih dahulu membuat lubang dengan plong/laser
CO2/skalpel. Selama tindakan, graft yang terdiri dari
rambut + akarnya (folikel) harus di tangani dengan hatihati, tetap dibasahi NaCl supaya tetap hidup.
6. Dekontaminasi, cuci tangan dan perawatan pasca
tindakan

IV

Kepustakaan

1. Withworth JM, Seager DJ. Hair restoration Dalam: Nouri K,


Leal-Khouri S.
Techniques in Dermatology Surgery.
Edinburgh, Mosby;2003:217-32
2. Unaeze J, Ciocon DH. Hair transplantation. Dalam: Alam M
(eds). Evidence based procedural dermatology. New York:
Springer;2012 :.377-389
3. Unger WP, Unger RH, Unger MA. Hair transplantation and
alopecia reduction. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffel DJ, et al. Dalam Fitzpattricks dermatology in
general medicine. 8th ed. New York: McGrawhill; 2013:30613076

PE
R

DO

SK
I

Kebotakan male pattern/androgenic, trauma/luka bakar.

266

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 253

F.33. BEDAH KUKU


:

II

Kriteria Diagnostik

III

Penatalaksanaan

Tindakan bedah untuk kelainan pada kuku, yang bertujuan


untuk menegakkan diagnosa dengan biopsi, untuk
menyembuhkan
infeksi,
untuk
mengurangi
nyeri,
menghilangkan tumor, dan untuk memastikan hasil kosmetik
terbaik pada kelainan kuku yang kongenital ataupun
didapat.
1. Kelainan kongenital
2. Infeksi
3. Proses peradangan
4. Tumor
5. Trauma kuku
6. Medikasi.

SK
I

Definisi

1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
1) Alat yang dibutuhkan sama seperti peralatan bedah kulit
lainnya, namun ditambah nail elevator, single-or-double
pronged skin hooks, double-action nail splinter, clippers,
splitting scissor, English nail splitter, pointed scissors,
curved iris scissors, small nosed hemostat, disposable
biopsy punches, penrose drains, Luer-lok syringe, jarum
30-gauge
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Drapping (menutup tangan yang akan dilakukan tindakan
dengan handscoen steril, yang ujung handscoennya telah
digunting pada jari yang akan dilakukan tindakan,
sedangkan pada kaki, hanya ditutup kain steril yang
difiksasi dengan clamps).
5. Anastesi lokal
2) Proximal digital block*
3) Distal digital block*
4) Transthecal block*
5) Wrist block*
6. Pemasangan Tourniquet
7. Tindakan bedah kuku
6) Nail avulsion*
7) Biopsi matriks kuku*
8) Matricectomy*
8. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca
tindakan

PE
R

DO

IV

Kepustakaan

1. Baran R. Nail surgery. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz AI,


Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ [Ed]. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New York,
McGraw-Hill; 2012:2956-67
2. MacRarlane DF, Scher RK. Nail surgery. Dalam: Nouri K, LealKhouri S. Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh,
Mosby; 2003:195-201

T u mTumor
o r d a dan
n B eBedah
d a h KKulit
u l i t | 254
267

Bagan Alur

SK
I

1
Pasien dengan kelainan kuku

A.
Pencegahan:
Edukasi penderita
Preparat topikal

DO

2.
Evaluasi:
haruskah penderita
diberikan terapi
nonfarmakologik

YA

PE
R

Avulsi
Biopsi
Matricectomy

268

Tumor dan Bedah Kulit

F.34. SKLEROTERAPI
: Penyuntikan bahan sklerosan untuk pengobatan
telangiektasis dan venulektasis superfisial pada ekstremitas
inferior, termasuk penyuntikan sejumlah bahan iritan
tertentu pada dilatasi vena kulit yang tidak normal
dilanjutkan dengan pembebatan

Definisi

II

Kriteria Diagnostik : 1. Telangiektasis


2. Vena retikular
3. Varises

: 1. Weiss RA, Weiss MA. Treatment for varicose and telangiectatic


leg veins. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffel DJ, Wolff K [Ed}. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine, edisi ke-8. New York: McGraw-Hill;2012:2997-3008
2. Perez MI. Sclerotherapy. Dalam: Nouri K, Leal-Khouri S.
Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh:Mosby;
2003:259-80
3. Bisaccia E, Scarborough DA. The Columbian Manual of
Dermatologic Cosmetic Surgery. New York: McGraw-Hill, 2002
4. Goldman MP. Sclerotherapy. Dalam: Roenigk RK, Roenigk HH.
Roenigk & Roenigks Dermatologic Surgery. Principle and
Practice, edisi ke-2. New York; Marcell Dekker:1169-84
5. Gloviczki P, Comerota AJ, Dalsing MC, Eklof BG, Gillespie DL,
Glovicski ML, etc. The care of patients with varicose veins and
associated chronic venous diseases: Clinical practice guidelines
of the Society for Vascular Surgery and the American Venous
Forum. Journal of Vascular Surgery; 2011; 53(5): 2s-48s.
6. Gopal B, Keshava SN, Moses V, Surendrababu NSR, Stephan
E, Agarwal S, etc. Role of percutaneous sclerotherapy in
venous malformations of the trunk and extremities: A clinical
experience. Biomed Imaging Interv J; 2013; 9(3):e18:1-6
7. Parnis J, Cannataci C, Umana E, Cassar K. Foam
sclerotherapy: the Maltase experience. Malta Medical Journal;
2013; 25(1): 50-4

PE
R

IV Kepustakaan

: 1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Injeksi bahan sklerosan intramuskular
5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan paska
tindakan

DO

III Penatalaksanaan

SK
I

Tumor dan Bedah Kulit

269

F.35. BEDAH MOHS


: Memerlukan surat keterangan kompetensi tambahan
dari Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Definisi

: Tindakan bedah kulit berupa eksisi in toto tumor disertai


pemeriksaan jaringan tumor dengan mikroskop secara
horizontal frozen section

II

Indikasi
medik

III

Penatalaksanaan

: 1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Tindakah bedah MOHS
5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan *paska
tindakan*

IV

Kepustakaan

: 1. Alcalay J, Alkalay R. Mohs micrographic surgery. Dalam:


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ,
Wolff K [Ed]. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine,
edisi ke-8. New York:McGraw-Hill; 2012:2950-6
2. Nouri K, Leal-Khouri, Lodha L. Mohs micrographic surgery .
Dalam: Nouri K, Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology
Surgery. Edinburgh;Mosby;2003:103-16
3. Wheeland RG, Ratz JL, Bailin PL, Mohs micrographic surgery
technique. Dalam: Roenigk RK, Roenigk HH. Roenigk &
Roenigks Dermatologic Surgery Principle and Practice, edisi
ke-2. New York;Marcell Dekker:738-44
4. Arnon O, Pagkalos VA, Xanthinaki AA, Silberstein E. DoubleBladed Scalpel in Mohs micrographic surgery. ISRN
Dermatology; 2012: 1-4
5. Foroozan M, Sei JF, Amini M, Beauchet A, Saiag P. Efficacy
of Mohs micrographic surgery for the treatment of
derrmatofibrosarcoma protuberans: systematic review. Arch
Dermatol. 2012 Sep;148(9):1055-63.

SK
I

Peringatan

PE
R

DO

tindak : 1. Karsinoma Sel Basal (Basalioma)*


2. Karsinoma Sel Skuamosa*
3. Melanoma*
4. Lentigo maligna
5. Dermatofibrosarcoma*

270

Tumor dan Bedah Kulit

Definisi

II Indikasi
medik

: TIndakan bedah kulit untuk penanganan pengenduran


jaringan lunak kulit atau ptosis wajah akibat gravitasi
menggunakan benang Aptos.
tindak : Ptosis lemak malar, ptosis kulit mandibula, ptosis alis

: 1. Persetujuan tindak medik


2. Persiapan pasien, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Tindakah bedah
a. Marking
b. Anesthesia tumesen
c. Insersi benang
d. Tarik kulit kearah kaudal
e. Pemotongan kelebihan benang
5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan paska
tindakan

DO

III Penatalaksanaan

: 1. Langdon RC, Sattler G, Hanke CW. Minimum incision face lift.


Dalam: Robinson JK, Hanke CW, Sengelmann RD, Siegel
DM. Surgery of the skin. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005;
657-672
2. Sulaimanidze MA, Fournier PF, Sulaimanidze GM. Removal of
facial soft tissue ptosis with special threads. Dermatol Surg
2000;28:367-371
3. Sandhofer M, Sandhofer-Novak R, Blugerman G, Sattler G.
Aptos-lifting: Eine minimal invasive method zur
gesichtsrejuvenation. Aesthet Dermatol 2003;1:10-17
4. Lycka B, Bazan C, Poletti E, Treen B. The emerging technique
of the antiptosis subdermal suspension thread. Dermatol Surg
2004;30:41-44

PE
R

IV Kepustakaan

SK
I

F.36. FACE LIFT MENGGUNAKAN BENANG

Tumor dan Bedah Kulit

271

F.37. MINIMUM INCISION FACE LIFT


:

Memerlukan surat keterangan kualifikasi tambahan dari


Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Definisi

II

Indikasi
medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

Persetujuan tindak medik


Persiapan pasien, alat, petugas
Pencegahan infeksi sebelum tindakan
Tindakah bedah
a. Marking
b. Anestesia tumesen
c. Insisi
d. Undermining
e. Plikasi SMAS
f. Pemotongan kelebihan kulit
g. Penjahitan luka
5. Dekontaminasi,
cuci
tangan,
dan
pascatindakan

DO

Kepustakaan

1.
2.
3.
4.

perawatan

1) Langdon RC, Sattler G, Hanke CW. Minimum incision face lift.


Dalam: Robinson JK, Hanke CW, Sengelmann RD, Siegel
DM. Surgery of the skin. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005;
657-672
2) Chipps LK, Moy RM. Facelifts. Dalam: Nouri K (ed):
Dermatologic surgery step by step. West Sussex: WileyBlackwell: 2013:233-239.

PE
R

IV

Mengurangi atau menghilangkan kerutan wajah dan leher


dengan pembedahan kulit
Ptosis kulit akibat faktor gravitasi berupa kulit yang kendur
pada sisi mandibula dan bawah dagu

SK
I

Peringatan

272

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 259

F.38. NON SURGICAL FACE LIFT


Definisi

II

Indikasi
medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

Kepustakaan

1.
2.
3.
4.

Persetujuan tindak medik


Persiapan pasien, alat, petugas
Pencegahan infeksi sebelum tindakan
Tindakan non surgical face lift
Laser untuk pengencangan kulit
Radiofrekuensi
High Intensity Focused Ultrasound
5. Dekontaminasi,
cuci
tangan,
dan
pascatindakan

perawatan

1. Weiss RA, Weiss MA, Munavalli G. Monopolar radiofrequency


facial tightening: a retrospective analysis of efficacy and safety
inover 600 treatments. J Drug Dermatol 2006 Sep5(8):707-712
2. Alster TS, Tanzi E. Improvement of neck and cheek laxity with
a nonablative radiofrequency device: a lifting experience.
Dermatol Surg 2004;30(4 pt 1):503-507
3. Lauback HJ. Intensed focused ultrasound: evaluation of a new
treatment modality for precise microcoagulation within the skin.
Dermatol Surg 2008;34:727-734
4. Key DJ. Single treatment skin tightening by radiofrequency and
longpulsed 1064 nm Nd:Yag laser compared. Lasers Surg Med
2007;39:169-175
5. Chan HHL. Lasers for skin tightening. Dalam: Nouri K (ed).
Dermatologic surgery step by step. West Sussex: WileyBlackwell, 2013:391-395
6. Mayoral FA. Radiofrequency for skin tightening. Dalam: Nouri
K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex:
Wiley-Blackwell, 2013:396-399

PE
R

DO

IV

Mengurangi atau menghilangkan kerutan wajah dan leher


tanpa pembedahan
Mengencangkan dan menarik kulit muka sehingga kerutan
berkurang, serta menghilangkan kulit yang kendur pada sisi
mandibula dan bawah dagu

SK
I

Tumor dan Bedah Kulit

273

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 260

Bagan Alur

(1) Penderita

SK
I

Datang dengan keluhan penuaan dini berupa


sagging pada daerah wajah dan leher

(A) Edukasi

Berbagai alternatif untuk


mengatasi aging baik operatif
maupun nonoperatif, serta
pencegahan aging yang berlanjut

(2)

DO

Penderita minta untuk facelift


tanpa operasi

PE
R

1)
2)
3)
4)

274

Tumor dan Bedah Kulit

Radiofrekuensi
Laser
Ultrasound
Benang anti ptosis

F.39. VITILIGO
Definisi

Tindakan bedah untuk vitiligo yang telah stabil lebih dari 1


tahun dan usia di atas 12 tahun, Lesi < 3% luas tubuh

II

Indikasi
medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

1. Persetujuan tindakan medis


2. Persiapan penderita, alat, petugas
3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
4. Anastesi lokal
5. Tindakan: autologous skin graft dengan menggunakan
biopsi plong, split thickness graft, epidermal blister
graft, cultured melanocyte graft, single hair graft
6. Dekontaminasi,
cuci
tangan,
dan
perawatan
pascatindakan

IV

Kepustakaan

1. Sheth R, Kamat A, Doshi A, Lodaya B. Cosmetic


dermatologic surgery in ethnic skin. Dalam: Nouri K (ed).
Dermatologic surgery step by step. West Sussex: WileyBlackwell, 2013: 293-298
2. Avram MR, Tsao S, Tannous Z, Avram MM. Color atlas of
cosmetic dermatology. New York; McGraw-Hill, 2007
3. Savant SS. Miniature punch grafting. Dalam: Savant SS,
Shah R, Gore D [Ed]. Textbook and atlas of dermatosurgery
and cosmetology. Mumbai: ASCAD: 2004;998:235-9
4. Jin SIK BURM, Rhee SC, Kim YW. Superficial dermabrasion
and suction bilister epidermal grafting for postburn
dyspigmentation. Dalam: Asian Skin Dermatologic Surgery,
2007;33:326-32
5. Oiso N, Suzuki T, Kaneda MW, Tanemura A, Tanioka M,
Fujimoto T. Guidelines for the diagnosis and treatment of
vitiligo in Japan. Journal of Dermatology 2013;40:344-354
6. Birlea SA, Spritz RA, Norris DA. Vitiligo. Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, et al. Dalam
Fitzpattricks dermatology in general medicine. 8th ed. New
York: Mc Grawhill; 2012:792-803

PE
R

DO

Vitiligo

SK
I

Tumor dan Bedah Kulit

275

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 262

Bagan Alur

SK
I

(1)
Penderita mengeluh vitiligo

A. Edukasi
1. Penjelasan tentang berbagai
hipotesis yang mendukung diagnosis
vitiligo
2. Menjelaskan berbagai metoda
pengobatan
3. Prognosis vitiligo serta pencegahan

DO

(2)
Evaluasi
Haruskah penderita diberikan terapi
nonfarmakologi ?

1. Ya, apabila vitiligo dalam keadaan stabil


minimal 6 bulan pada orang dewasa
2. Dengan topikal kurang berhasil
3. Penderita menghendaki pengobatan
nonfarmakologis

(3B)
Tandur kulit dengan tehnik
suction blistering for epidermal
grafting

PE
R

(3A)

Tandur kulit dengan tehnik


punch grafting

276

Tumor dan Bedah Kulit

(3C)
Transfer melanosit autologus
melalui epidermal graft

SK
I
DO

PE
R

VENEREOLOGI (INFEKSI
MENULAR SEKSUAL)

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

277

V e n e r e o l o g i | 264

G.1. INFEKSI GONORE (A54)


Definisi

: Gonore adalah suatu penyakit menular seksual yang


disebabkan oleh Neisseria gonnorrhoeae suatu kuman
gram negatif, berbentuk biji kopi, letaknya intra atau
ekstra seluler.

II

Kriteria diagnostik Klinis

: Anamnesis adanya coitus suspectus

SK
I

Anamnesis Gonoroe pada pria:


1. Gatal pada ujung kemaluan
2. Nyeri saat kencing
3. Keluar duh tubuh purulen dari uretra
Anamnesis Gonoroe pada wanita:
1. Keputihan
2. Kadang asimptomatik
Pada keduanya didapatkan adanya riwayat kontak
seksual sebelumnya, dan atau gejala komplikasi
lainnya.

DO

Pemeriksaan klinis:
Gonore pada pria:
1. Edema dan eritematus pada orificium
uretradisertai disuria
2. Duh tubuh uretra mukopurulen dengan atau
tanpa massase
3. Infeksi rektum pada pria homoseksual dapat
menimbulkan duh tubuh anal atau nyeri / rasa
tidak enak di anus / perianal
4. Infeksi pada farings biasanya asimtomatik

PE
R

Gonoroe pada wanita:


1. Seringkali asimtomatik
2. Cerviks eritem, edem, kadang ektropion
3. Duh tubuh endoserviks mukopurulen
4. Kadang dijumpai swab bleeding
5. Dapat disertai nyeri pelvis /perut bagian bawah
6. Infeksi pada uretra dapat menyebabkan disuria

Diagnosis banding

: Pria:
1. Ureteritis Non Gonoroe
2. Infeksi Saluran Kencing
Wanita:
1. Bacterial Vaginosis
2. Kandidiasis Vulvovaginal
3. Trikomoniasis

278

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V e n e r e o l o g i | 265

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa:
Bila memungkinkan, periksa dan obati pasangan
seksual tetapnya.
Anjurkan abstinensia sampai terbukti sembuh secara
laboratoris, dan bila tidak dapat menahan diri supaya
memakai kondom.
Kunjungan ulang pada hari ke-3 dan hari ke-8.
Konseling: jelaskan mengenai penyakit gonore,
kemungkinan komplikasi, cara penularan, serta
pentingnya pengobatan pasangannya.
Konseling mengenai kemungkinan risiko tertular HIV,
hepatitis B, hepatitis C, dan penyakit infeksi menular
seksual (IMS) lainnya
Medikamentosa :
Obat pilihan : Sefiksim 400 mg per oral
Obat alternatif :
Levofloksasin# 500 mg per oral dosis tunggal atau
Tiamfenikol 3,5 gram per oral dosis tunggal atau
Kanamisin 2 gram injeksi IM, dosis tunggal atau
Seftriakson 250 mg injeksi intramuskular dosis
tunggal

SK
I

: 1. Pemeriksaan gram dari sekret uretra atau serviks


ditemukan diplokokus Gram negatif di dalam leukosit
polimorfonuclear (DGNI)
2. Kultur menggunakan media selektif Thayer-Martin
dan agar coklat McLeod (jika tersedia)
3. Tes Thomson( Percobaan dua gelas) (jika tersedia)
4. Tes Definitif ( dari hasil kultur yang positif) (jika
tersedia)
- Tes Oksidasi
- Tes Fermentasi
- Tes Beta-Laktamase
5. Tes resistensi/sensitivitas: kerjasama dengan
bagian Mikrobiologi.
Untuk kecurigaan infeksi pada faring dan anal dapat
dilakukan pemeriksaan dari bahan duh dengan kultur
Thayer Martin atau PCR terhadap N.gonorrhoeae dan
C.Trachomatis

PE
R

DO

III

Pemeriksaan penunjang

#
tidak boleh diberikan pada ibu
menyusui, atau anak di bawah 12 tahun

hamil,

Bila sudah terjadi komplikasi seperti bartolinitis,


prostatitis
Obat pilihan : Sefiksim 400 mg peroral selama 5 hari
Obat alternatif : Levofloksasin 500 mg per oral 5 hari
atau Tiamfenikol 3,5 gram per oral 5 hari atau

V e n e r e o l o g i |266

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

279

Kanamisin 2 gram injeksi intramuskular 3 hari atau


Seftriakson 250 mg injeksi intramuskular 3 hari

Kepustakaan

1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM,


Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam:
Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York:
Mc Graw-Hill. 2008
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith
LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill,
2012
3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually
transmitted diseases. Edisi ke-2. New York, Mc GrawHill, 2001
4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National
Guidelines on sexually transmitted diseases and related
conditions.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011
Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases.
MMWR 2011
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi
Menular Seksual 2011

PE
R

DO

IV

SK
I

Komplikasi pada pria : Epididymitis, orchitis, dan


infertilitas. Komplikasi pada wanita : pelvic inflammatory
disease (PID), bartholinitis, infertilitas

V e n e r e o l o g i |267

280

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V Bagan alur

Penderita dengan

keluhan duh tubuh uretra


Pasiendengankeluhanduhtubuhuretra
atau vagina
Pasiendengankeluhanduhtubuhuretra
atauvagina

SK
I

atauvagina

Dilakukan
Dilakukananamnesisdanpemeriksaanklinis

anamnesis dan pemerik

Dilakukananamnesisdanpemeriksaanklinis

Duhtubuhuretraatauvaginadiperiksagramdanbasah

Duh tubuh uretra atau vagina diperiksa

Duhtubuhuretraatauvaginadiperiksagramdanbasah

Leukositpenuh,ditemukandiplokokusgramnegatif
intrasel,diobatisebagaiGonore

Leuco penuh,ditemukan diplokokus g


intra sel, diobati sebagai Go
Leukositpenuh,ditemukandiplokokusgramnegatif
Kontrol7hari

intrasel,diobatisebagaiGonore

Kontrol 7 hari

DO

Adakahkeluhan
/gejala?

Tidakada

Kontrol7hari

Adakah
keluhan /
Gejala?

Ada
Adakahkeluhan
/gejala?

Kultur&tesresistensi

PE
R

Obatisesuaihasilresistensi
idak ada

Tidakada

Ada

AdaKultur & Tes r

Adakahkeluhan
/gejala?

Obati sesuai has


Kultur&tesresistensi
Ada

Tidakada

Adakah
Obatisesuaihasilresistensi
keluhan
Gejala?

Rujuk

Adakahkeluhan
/gejala?

Ada

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)


Ada

Rujuk

Rujuk

281

Tidak

G.2. HERPES SIMPLEKS GENITAL (HG) (A60)

Diagnosis umumnya cukup secara klinis


HG episode pertama lesi primer
Vesikel/erosi/ulkus dangkal berkelompok, dengan dasar
eritematosa, disertai rasa nyeri.
Pasien lebih sering datang dalam keadaan lesi berupa ulkus
atau berkrusta
Dapat disertai disuria
Dapat disertai duh tubuh vagina atau utera
Dapat disertai keluhan sistemik, demam, sakit kepala, nyeri
otot, nyeri dan pembengkakan inguinal
Keluhan neuropati (retensi urin, konstipati, parestia)
Pembentukan lesi baru masih berlangsung selama 10 hari
Berakhir dalam waktu 12-21 hari

DO

II Kriteria diagnostic
Klinis

SK
I

Penyakit infeksi genital yang disebabkan oleh virus Herpes


simplex (VHS) tipe 2 atau kadang tipe 1,bersifat rekurens. Infeksi
akibat kedua tipe VHS bersifat seumur hidup; virus berdiam di
jaringan saraf, tepatnya di ganglia dorsalis.
Perjalanan infeksi:
- HG episode pertama lesi primer
- HG episode pertama lesi non-primer
- HG rekuren
- HG asimtomatik
- HG atipikal

I Definisi

PE
R

HG episode pertama lesi non primer


Umumnya lesi lebih sedikit dan lebih ringan dibandingkan
infeksi primer
Lesi yang tidak diobati dapat berlangsung 10-14 hari
Jarang disertai duh tubuh genital atau disuria, keluhan
sistemik, dan neuropati.

HG rekuren
Lesi lebih sedikit dan lebih ringan
Bersifat lokal, unilateral
Berlangsung lebih singkat, dapat menghilang dalam waktu 5
hari
Dapat didahului oleh keluhan parestesia 1-2 hari sebelum
timbul lesi
Umumnya mengenai daerah yang sama di penis, vulva, anus,
atau bokong.
Riwayat pernah berulang

282

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V e n e r e o l o g i | 269

Pemeriksaan
penunjang

1.
2.
3.
4.
5.

SK
I

Diagnosis
banding

Infeksi Streptococcus
Sifilis
Chancroid
Lymfogranuloma Venereum
Granuloma Inguinale

DO

Terdapat faktor pencetus :


- Stres fisik / psikis
- Senggama berlebihan
- Minuman beralkohol
- Menstruasi
- Kadang kadang sukar ditentukan
HG atipikal menyerang kulit seperti H. Whitlow daerah jari,
putting susu bokong dlsbnya.
HG subklinik hanya berupa lesi kemerahan atau erosi yan
ringan kadang2 ada vesikel. Keluhan nyeri radikulopathi.
HG asimtomatik. Tidak ada gejala klinis, reaksi serologis
antibodi herpes positif
HG superklinik dengan gejala ulkus yang luas dan berlangsung
lama banyak pada penderita imunokompromis.

Tzanck test ditemukan multinucleated giant cells

Jika tersedia sarana:


Pemeriksaan mikroskop elektron
Kultur jaringan
ELISA
IgM HSV1 & HSV2
IgG HSV1 & HSV2
HG lesi inisial (primer dan nonprimer)
Nonmedikamentosa :
Abstinensia
Konseling
- Kecenderungan berulang
- Seringnya pelepasan virus subklinis (terutama 6-12 bulan
pertama setelah infeksi primer), serta potensi
menularkan kepada pasangan seksualnya
- Kemungkinan risiko tertular HIV
Pemeriksaan terhadap pasangan seksual tetapnya, bila
memungkinkan

PE
R

III Penatalaksanaan

Medikamentosa :
1. Simtomatik
- Analgesik
- Kompres
2. Antivirus :
- Asiklovir : 5x200 mg/hari selama 7-10 hari atau
- Asiklovir : 3x400 mg/hari selama 7-10 hari atau
- Valasiklovir : 2x500-1000 mg/hari selama 7-10 hari, atau

V e n e r e o l o g i |270

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

283

- Famsiklovir 3x250 mg/hari selama 7-10 hari


3. Kasus berat perlu Rawat Inap di RS :
- Asiklovir intravena 5 mg/kgBB tiap 8 jam selama 7-10 hari

1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot
Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted Diseases.
Edisi ke-3. New York: Mc Graw-Hill. 2008
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI,
editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Edisi ke6. New York: Mc Graw-Hill, 2012
3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted
diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001
4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on sexually
transmitted diseases and related conditions.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for
treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

PE
R

IV Kepustakaan

DO

SK
I

HG rekuren
Medikamentosa :
1. Lesi ringan : terapi simtomatik
2. Lesi berat :
Asiklovir 5 x 200 mg/hari, per oral selama 5 hari atau
Valasiklovir 2 x 500 mg/hari per oral, selama 5 hari
o Asiklovir: 5 x 200 mg, selama 5 hari atau
o Asiklovir: 3 x 400 mg, selama 5 hari atau
o Valasiklovir 2 x 500 mg, selama 5 hari atau
o Famsiklovir 3 x 250 mg/hari selama 5 hari
3. Rekurensi 6 kali/tahun atau lebih: diberi terapi supresif
- Asiklovir 2 x 400mg/hari atau
- Valasiklovir 1 x 500 mg/hari atau
- Famsiklovir 2 x 250 mg/hari
4. Abstinensia
5. Konseling :
- Kecenderungan berulang
- Seringnya pelepasan virus subklinis (terutama 6-12 bulan
pertama setelah infeksi inisial), serta potensi menularkan
kepada pasangan seksualnya
- Kemungkinan risiko tertular HIV
6. Pemeriksaan terhadap pasangan seksual tetapnya, bila
memungkinkan

V e n e r e o l o g i |271

284

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

IV Bagan Alur

SK
I

Pasien dengan
keluhan luka kecil-kecil,
sebelumnya berupa lenting
berisi cairan

Dilakukan anamnesis yang cermat, kambuhan,


dan pemeriksaan klinis terdapat pembesaran kelenjar
Bila perlu pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap negatif,


Pewarnaan Giemsa tidak ditemukan Haemophyllus ducreyi
Diobati sebagai HG

PE
R

DO

Kontrol 7 hari

Venereologi (Infeksi Menular


285
V e n eSeksual)
r e o l o g i |272

G.3. INFEKSI GENITAL NONSPESIFIK (IGNS)

Klinis

Diagnosis banding

Pemeriksaan
penunjang

SK
I

Kriteria diagnostik

: Infeksi saluran genital yang disebabkan oleh penyebab


nonspesifik. Istilah ini meliputi berbagai keadaan, yaitu
uretritis nonspesifik (UNS), uretritis non-gonore (UNG),
proktitis nonspesifik, dan infeksi genital nonspesifik pada
wanita
:
: Pria :
Duh tubuh uretra spontan, atau diperoleh dengan
pengurutan / massage uretra
Disuria
Bisa Asimtomatik
Wanita :
Duh tubuh vagina
Duh tubuh endoserviks mukopurulen
Ektopia serviks disertai edema, serviks rapuh,
mudah berdarah
Perdarahan antara dua siklus menstruasi
Perdarahan pascakoitus
Disuria, bila mengenai uretra
sebagian besar asimtomatik
: Uretritis/servisitis Gonore, Trikomoniasis, Kandidosis
Vulvo- Vaginalis, Vaginosis bakterrial
: Bahan dari duh tubuh genital
Sediaan apus Gram:
Tidak terdapat diplokokus Gram negatif intra selulardan ekstraselular,
Tidak ditemukan blastospora, pseudohifa, dan clue
cell
Jumlah leukosit PMN >5/LPB (pria) atau >30/LPB
(wanita)

PE
R

II

Definisi

DO

III

Penatalaksanaan

Sediaan basah:
Tidak ditemukan Trichomonas vaginalis
Untuk menentukan infeksi Chlamydia trachomatis:
bila memungkinkan, dilakukan pemeriksaan cara
EIA (enzyme immunoassay): kerjasama dengan
Bagian Mikrobiologi dan Bagian Parasitologi.
: Nonmedikamentosa:
Abstinensia sampai terbukti sembuh secara
laboratoris, dan bila tidak dapat menahan diri
anjurkan memakai kondom.
Kunjungan ulang pada hari ke-8
Konseling:
jelaskan mengenai IGNS dan
penyebabnya, kemungkinan komplikasi jangka
V e n e r e o l o g i | 273

286

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

SK
I

panjang, cara penularan, pentingnya mematuhi


pengobatan, serta pentingnya penanganan
pasangan seksual tetapnya.
Konseling mengenai kemungkinan risiko tertular
HIV
Bila
memungkinkan,
periksa
dan
obati
pasangannya

Medikamentosa:
Obat pilihan :
Azitromisin 1 gram per oral dosis tunggal

Obat alternatif :
Doksisiklin# 2 X 100 mg/hari,peroral selama 7 hari,
atau Eritromisin 4 x 500 mg/hari per oral selama 7 hari
#

tidak boleh diberikan pada ibu hamil, menyusui,


atau anak dibawah 12 tahun

: 1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM,


Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam:
Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York:
Mc Graw-Hill. 2008
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith
LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill,
2012
3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually
transmitted diseases. Edisi ke-2. New York, Mc GrawHill, 2001
4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National
Guidelines on sexually transmitted diseases and related
conditions.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011
Guidelines for treatment of sexually transmitted
diseases. MMWR 2011
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi
Menular Seksual 2011

DO

Kepustakaan

PE
R

IV

V e n e r e o l o g i |274

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

287

Bagan alur

SK
I

Pasien
dengan keluhan
duh tubuh uretra
atau vagina

Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis

Duh tubuh uretra atau vagina diperiksa pewarnaan Gram dan sediaan basah

DO

Leukosit >5/LPB untuk pria, >30/LPB untuk wanita


Tidak terdapat diplokokus Gram negatif intra dan ekstraselular
Tidak ditemukan blastospora, pseudohifa, Trichomonas vaginalis, dan clue cells
Diobati sebagai infeksi genital nonspesifik
Kontrol 7 hari
Adakah
keluhan/
gejala?

Ada

PE
R

Tidak

Kultur MO & tes resistensi, PCR bila perlu


Obati sesuai hasil resistensi MO

Ket.:
MO : mikroorganisme

288

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

SK
I
DO
PE
R
Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

289

SK
I
DO
PE
R
290

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

KANDIDOSIS
VULVOVAGINAL
(B37.3)
G.4.G.4.
KANDIDOSIS
VULVOVAGINAL
(KVV)(KVV)
(B37.3)
Infeksi
dan vagina
disebabkan
oleh Candida
Infeksi
pada pada
vulva vulva
dan vagina
yang yang
disebabkan
oleh Candida
albicans,
atau kadang
oleh Candida
sp, Torulopsis
sp,ragi
atau ragi
albicans,
atau kadang
oleh Candida
sp, Torulopsis
sp, atau
lainnya
lainnya

SK
I

I Definisi
I Definisi

Keluhan
:
II Kriteria
diagnostik
Keluhan
:
II Kriteria
diagnostik
Gatal
pada pada
vulva vulva
Klinis
Gatal
Klinis
Vulva
lecet,lecet,
dapatdapat
timbultimbul
fisura fisura
Vulva
Dapat
terjaditerjadi
dispareunia
Dapat
dispareunia
PadaPada
vulvavulva
dan vagina
tampak
:
dan vagina
tampak
:
Eritema
Eritema
Dapat
timbultimbul
fisurafisura
Dapat
Edema
jika berat
Edema
jika berat
Duh
tubuhtubuh
vagina,
putih putih
sepertiseperti
susu, susu,
mungkin
bergumpal,
Duh
vagina,
mungkin
bergumpal,
tidak tidak
berbau
berbau
Jika
genitalia
luar dapat
dijumpai
patch patch
eritem eritem
dg
mengenai
Jika mengenai
genitalia
luar dapat
dijumpai
dg
lesi satelit
lesi satelit

DO

Infeksi genital nonspesifik, Trikomoniasis, Vaginosis


Diagnosis banding Gonore,
Diagnosis banding Gonore, Infeksi genital nonspesifik, Trikomoniasis, Vaginosis
bakterial
bakterial

Bahan duh tubuh vagina yang berasal dari dinding lateral vagina
Bahan duh tubuh vagina yang berasal dari dinding lateral vagina
dilakukan pemeriksaan:
dilakukan pemeriksaan:
Sediaan apus dengan pewarnaan Gram: ditemukan
Sediaan
dengan pewarnaan Gram: ditemukan
blastospora
dan apus
pseudohifa
blastospora dan pseudohifa
Sediaan basah dengan larutan KOH 10%: ditemukan
Sediaan
dengan larutan KOH 10%: ditemukan
pseudohifa
dan basah
atau blastospora
dan atau blastospora
Kulturpseudohifa
jamur
Kultur jamur
III Penatalaksanaan
Nonmedikamentosa :
III Penatalaksanaan Hindari
Nonmedikamentosa
bahan iritan lokal,: misalnya produk berparfum
Hindari
bahan
misalnya
produk berparfum
Hindari
pakaian
ketatiritan
ataulokal,
dari bahan
sintesis
Hindari pakaian
atau dari bahan
sintesispemakaian
Hilangkan
faktor ketat
predisposisi:
hormonal,
Hilangkan
faktor yang
predisposisi:
kortikosteroid
dan antibiotik
terlalu lama,hormonal,
kegemukan, pemakaian
dll
kortikosteroid dan antibiotik yang terlalu lama, kegemukan, dll
Medikamentosa :
:
ObatMedikamentosa
pilihan :
Obat pilihan
: vagina 500 mg dosis tunggal atau
Klotrimazol
kapsul
Klotrimazol
kapsulkapsul
vaginavagina
200 mg
selama
3 hari
atau atau
Klotrimazol
500
mg dosis
tunggal
Klotrimazol
kapsulkapsul
vaginavagina
100 mg
selama
6 hari atau
Klotrimazol
200
mg selama
3 hari atau
Flukonazol
kapsulkapsul
150 mg
per oral
tunggal 6atau
Klotrimazol
vagina
100dosis
mg selama
hari atau
Itrakonazol
kapsul
2 x 200
mgmg
per
oral
selama
hari atau
Flukonazol
kapsul
150
per
oral
dosis 1tunggal
atau
Itrakonazol
kapsulkapsul
1 x 200
selama
3 hari
atau
Itrakonazol
2 xmg/hari
200 mgper
peroral
oral
selama
1 hari
atau
Ketokonazol
kapsul
2 x 200
mg/hari
per oral
7 hari3 hari atau
Itrakonazol
kapsul
1 x 200
mg/hari
per selama
oral selama
Catatan:Ketokonazol
Wanita hamil
sebaiknya
tidak
diberikan
sistemik.7 hari
kapsul
2 x 200
mg/hari
per obat
oral selama
PadaCatatan:
penderitaWanita
denganhamil
imunokompeten
jarang
terjadi komplikasi,
sebaiknya tidak
diberikan
obat sistemik.
sedangkan
penderitadengan
denganimunokompeten
status imun rendah
Pada penderita
jaranginfeksi
terjadijamur
komplikasi,
dapatsedangkan
bersifat sistemik.
penderita dengan status imun rendah infeksi jamur
dapat bersifat sistemik.

PE
R

Pemeriksaan
Pemeriksaan
penunjang
penunjang

V e n e r e o l o g i | 278

V e n e Seksual)
reologi
Venereologi (Infeksi Menular

| 278
291

1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot
Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted Diseases.
Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill. 2008
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI,
editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Edisi
ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012
3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted
diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001
4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on
sexually transmitted diseases and related conditions.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for
treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

PE
R

DO

SK
I

IV Kepustakaan

292

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V e n e r e o l o g i |279

Bagan alur

SK
I

Pasien dengan
keluhan duh tubuh
vagina

Anamnesis dan pemeriksaan klinis

Duh tubuh vagina diperiksa pewarnaan Gram dan


sediaan basah

DO

PMN >30 untuk wanita


ditemukan pseudohifa atau blastospora
tidak ditemukan Diplococcus gram negatif,Clue cells dan
Trichomonas vaginalis.
obati sebagai Kandidosis vulvovaginalis

Kontrol 7 hari

Adakah
keluhan /
gejala?

PE
R

Tidak ada

Ada

Kultur & tes resistensI


dan cari faktor predisposisi
Obati sesuai hasil resistensi

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

293

V e n e r e o l o g i |280

G.5. KONDILOMATA AKUMINATA (KA) (A63.0)

II Kriteria diagnostik

Klinis

SK
I

Infeksi menular seksual yang disebabkan oleh virus papiloma


humanus (VPH) tipe tertentu dengan kelainan berupa
fibroepitelioma pada kulit dan mukosa

I Definisi

Umumnya cukup secara klinis : terdapat vegetasi atau papul


soliter dapat juga multipel. (bentuk ; akuminata, papul, datar, dan
Giant condyloma Buschke-Lowenstein)

Diagnosis
banding

Pearly penile papules, kondiloma lata, karsinoma sel skuamosa

Pemeriksaan
penunjang

Pada lesi yang meragukan dapat dilakukan tes asam asetat ,


kolposkopi serta pemeriksaan histopatologi.

III Penatalaksanaan

Nonmedikamentosa :
Sedapat mungkin lakukan penanganan terhadap pasangan
seksualnya
Konseling, kemungkinan risiko tertular HIV
Kunjungan ulang : dilakukan 3-7 hari setelah terapi dimulai

DO

PE
R

Medikamentosa :
Obat pilihan :
1. Tinktura podofilin 10-25%, lindungi kulit sekitar lesi dengan
vaselin agar tidak terjadi iritasi, biarkan selama 1-4 jam,
kemudian cuci. Pemberian obat dilakukan seminggu dua
kali, sampai lesi hilang.
2. Asam Trikloroasetat 50-90%, aplikasikan seminggu sekali.
Respon baik terutama pada wanita hamil.
3. Tindakan bedah: bedah skalpel, listrik,beku dan laser.

IV Kepustakaan

294

1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot
Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted
Diseases. Edisi ke-3. New York: Mc Graw-Hill. 2008
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI,
editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Edisi
ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012
3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted
diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001
4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on
sexually transmitted diseases and related conditions.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for
treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V e n e r e o l o g i | 281

V Bagan Alur

SK
I

Pasien dengan keluhan


vegetasi pada genital
Anamnesis yang cermat, dan pemeriksaan klinis
Didiagnosis KA

Acetowhite, kolposkopi atau bila perlu di biopsi

DO

Diobati sebagai KA

Tidak ada

Adakah
keluhan /
Gejala?

Ada

PE
R

Mencari faktor faktor predisposisi


tentang rekurensi

Venereologi (Infeksi Menular


Seksual) 295
V e n e r e o l o g i |282

G.6. SIFILIS (A53)

Diagnosis banding

PE
R

Pemeriksaan
penunjang

STADIUM I :
Klinis : ulkus tunggal, tepi teratur, dasar bersih, terdapat
indurasi, tidak nyeri; terdapat pembesaran kelenjar getah
bening regional
STADIUM II :
Klinis : terdapat lesi kulit yang polimorfi, tidak gatal dan lesi di
mukosa, disertai pembesaran kelenjar getah bening
generalisata
STADIUM II laten :
Klinis : tidak didapatkan lesi di genital atau kulit, hanya
ditemukan
tes serologi sifilis (TSS) yang reaktif
STADIUM III
Klinis : didapatkan gumma, yaitu infiltrat sirkumskrip kronis yang
cenderung mengalami perlunakan dan bersifat destruktif. Dapat
mengenai kulit, mukosa dan tulang.
1. S I : herpes simpleks, ulkus piogenik, skabies, balanitis, LGV,
karsinoma sel skuamosa, penyakit Behcet, ulkus mole
2. S II : erupsi obat alergik, morbili, pitiriasis rosea, psoriasis,
dermatitis seboroik, kondilomata akuminata, alopesia areata
3. S III : sporotrikosis, aktinomikosis, tuberkulosis kutis gumosa,
keganasan
STADIUM I :
Laboratorium
tes serologi sifilis : dapat (+) atau (-)
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap dan Burry (+) atau (-)

DO

II Kriteria diagnostik
Klinis

SK
I

Penyakit sistemik yang disebabkan oleh Treponema pallidum.


Sifilis dapat diklasifikasikan atas sifilis didapat dan sifilis
kongenital. Sifilis di dapat terdiri atas stadium primer, sekunder,
dan tersier, dan periode laten di antara stadium sekunder dan
tersier

I Definisi

STADIUM II :
Laboratorium :
pemeriksaan dengan mikroskop lapangan gelap dan Burry
(+) / (-)
tes serologi sifilis : RPR (++); VDRL (+); TPHA (+) titer tinggi

III Penatalaksanaan

296

STADIUM II LATEN :
Laboratorium : TSS (+), tetapi tidak ada gejala klinis
Nonmedikamentosa :
Penanganan pasangan seksual sedapat mungkin dilakukan
Konseling :
- Tentang penyakit sifilis dan penularannya, cara
pencegahan, pengobatan
- Kemungkinan risiko tertular HIV

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V e n e r e o l o g i | 283

SK
I

Medikamentosa :
1. Obat pilihan
Benzatin penisilin G dengan dosis bergantung pada
stadium,
Stadium dini: stadium I, II & laten < 2 tahun : 2,4 juta
unit
Stadium lanjut: stadium laten > 2 tahun & III : 7,2 juta
unit (injeksi intramuskuler, 2,4 juta unit/kali dengan interval
1 minggu)
2. Obat alternatif :
Tetrasiklin 4 x 500 mg/hari atau
Eritromisin 4 x 500 mg/hari atau
Doksisiklin 2 x 100 mg/hari
Lama pengobatan 30 hari (stadium dini) atau >30 hari
(stadium lanjut)

DO

Evaluasi TSS (VDRL) :


1 bulan sesudah pengobatan selesai, ulangi TSS :
a. titer : tidak diberi pengobatan lagi
b. titer : pengobatan ulang
c. titer tetap : tunggu 1 bulan lagi
1 bulan sesudah c :
Titer : tidak diberi pengobatan
Titer atau tetap : pengobatan ulang

Pemantauan TSS : pada bulan ke I, II, III, VI dan XII dan setiap
6 bulan pada tahun ke-2

1.
2.

Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE,
Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted
Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill. 2008
Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt
SI, editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine.
Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012
Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted
diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001
Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on
sexually transmitted diseases and related conditions.
Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for
treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

PE
R

IV Kepustakaan

3.
4.
5.
6.

V e n e r e o l o g i |284

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

297

V Bagan Alur

Pasien dengan
keluhan ulkus di genital,
soliter, tidak nyeri

SK
I

Dilakukan anamnesis yang cermat, dan


pemeriksaan klinis terdapat pembesaran kelenjar getah bening
Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap
(pergerakan Treponema pallidum positif)
pemeriksaan laboratorium TSS :TPHA&VDRL

Obati sebagai Sifilis stadium I


Kontrol 1 bulan

DO

Tes Laboratorium ulang TSS

Adakah
kenaikan
titer TSS

Ada
Terapi ulang

PE
R

Tidak ada

V e n e r e o l o g i |285

298

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

G.7. TRIKOMONIASIS (A59.0)

II

Definisi

: Penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berflagel


Trichomonas vaginalis

Kriteria diagnostik

: Keluhan:
Wanita :

Klinis

SK
I

10 50% asimtomatik
Duh tubuh vagina berbau busuk, jumlahnya sedikit
sampai banyak, encer, berwarna kuning kehijauan,
berbusa, dapat terjadi pada 10-30% wanita, dapat
disertai gatal pada vulva
Kadang terdapat rasa tidak enak di perut bagian bawah
Vulvitis dan vaginitis
Gambaran serviks strawberry dapat ditemukan pada
2% pasien

DO

Pria:
15 50% asimtomatik, biasanya sebagai pasangan
seksual wanita yang terinfeksi
Duh tubuh uretra sedikit atau sedang, dan/atau
disuria, dapat juga iritasi uretra dan sering miksi
jarang: duh tubuh uretra purulen

Diagnosis banding

Pemeriksaan
penunjang

: Infeksi genital nonspesifik, uretritis gonore, kandidosis


vulvo-vaginalis, vaginosis bakterial
Wanita:
:
Bahan duh tubuh yang berasal forniks posterior
dilakukan pemeriksaan sediaan basah dengan larutan
NaCL fisiologis: didapati parasit Trichomonas vaginalis
dengan pergerakan flagelanya yang khas
Pria:
Bahan sedimen urin sewaktu: dapat ditemukan
parasit Trichomonas vaginalis

PE
R

III

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa:
Abstinensia sampai dinyatakan sembuh
Konseling: mengenai trikomoniasis, cara penularan,
pentingnya mematuhi pengobatan, dan pentingnya
penanganan pasangan
Konseling mengenai kemungkinan risiko tertular
HIV
Kunjungan ulang pada hari ke-8
Bila mungkin periksa dan obati pasangannya

V e n e r e o l o g i | 286

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

299

Medikamentosa:

IV

Kepustakaan

SK
I

- Obat pilihan
1. Metronidazol 2 gram per oral dosis tunggal
atau
2. Tinidazol 2 gram per oral dosis tunggal
- Obat alternatif
Metronidazol 2x400 atau 500 mg/hari per oral
selama 7 hari atau Tinidazol 2x500 mg/hari per
oral selama 7 hari
- Bila mungkin periksa dan obati pasangannya
Catatan:
Pasien dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi alkohol
selama pengobatan berlangsung sampai 48 jam
sesudahnya untuk menghindari disulfiram-like reaction

: 1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM,

DO

2.

Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam:


Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York:
Mc Graw-Hill. 2008
Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith
LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill,
2012
Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually
transmitted diseases. Edisi ke-w. New York, Mc GrawHill, 2001
Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National
Guidelines on sexually transmitted diseases and related
conditions.
Centers for Diseases Control and Prevention. 2011
Guidelines for treatment of sexually transmitted
diseases. MMWR 2011
Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Penyakit
menular seksual. Edisi ke-3. Jakarta, Balai Penerbit
FKUI. 2005.
Anonim. Pedoman tatalaksana infeksi menular seksual.
Departemen
Kesehatan
RI
Direktorat
Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.2006.

3.
4.

5.

PE
R

6.
7.

V e n e r e o l o g i |287

300

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

Bagan Alur

SK
I

Pasien dengan
keluhan duh
tubuh uretra
atau vagina

Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis

Duh tubuh uretra atau vagina diperiksa gram dan basah

PE
R

DO

Leuco >5 untuk pria,>30 untuk wanita


Ditemukan Trichomonas vaginalis ,tidak ditemukan diplococcus
gram negatip,blastospora, psedohifa dan clue cells
diobati sebagai Trikomoniasis

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

301

G.8.. ULKUS MOLE (A57)

II Kriteria diagnostik
Klinis

SK
I

Penyakit ulkus genital yang disebabkan oleh Haemophyllus


ducreyi

I Definisi

Umumnya cukup secara klinis : terdapat ulkus multipel, tepi tidak


teratur, dinding bergaung, dasar kotor, sangat nyeri

Diagnosis
banding

Herpes genitalis, Sifilis stadium I, LGV, Granuloma inguinale

Pemeriksaan
penunjang

Sediaan apus dari dasar ulkus dan diwarnai dengan pewarnaan


Gram atau Unna Pappenheim, ditemukan basil negatif Gram
yang berderet seperti rantai

Catatan :
Pemeriksaan laboratorium ini dapat mendukung diagnosis, tetapi
bila klinis jelas, dan laboratorium (-), tetap dianggap sebagai ulkus
mole
Nonmedikamentosa :
Sedapat mungkin lakukan penanganan terhadap pasangan
seksualnya
Konseling, kemungkinan risiko tertular HIV
Kunjungan ulang : dilakukan 3-7 hari setelah terapi dimulai

DO

III Penatalaksanaan

Medikamentosa :
Obat pilihan :
Siprofloksasin 2 x 500 mg per oral selama 3 hari atau
Azitromisin 1 gram per oral dosis tunggal atau
Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 7 hari atau
Seftriakson 250 mg injeksi intramuskular dosis tunggal

1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot
Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted
Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill. 2008
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt
SI, editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine.
Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012
3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted
diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001
4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on
sexually transmitted diseases and related conditions.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for
treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

PE
R
IV Kepustakaan

302

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V e n e r e o l o g i | 289

V Bagan Alur

SK
I

Pasien dengan
Ulkus genital, multiple,
sangat nyeri, terdapat
tanda-tanda radang akut

Dilakukan anamnesis yang cermat, dan pemeriksaan klinis

Pemeriksaan Gram : Haemophyllus ducreyi positif


Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap Treponema pallidum negatif
pemeriksaan laboratorium TSS :TPHA&VDRL non reaktif

Obati sebagai Ulkus mole

PE
R

DO

Kontrol 7 hari

V e n e r e o l o g i | 290

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

303

G.9. VAGINOSIS BAKTERIAL (N76)


Definisi

: Sindrom klinis yang disebabkan oleh pergantian


Lactobaccillus sp penghasil H2O2 yang normal di dalam
vagina dengan sekelompok bakteri anaerob batang gram
negatif (Prevotella sp, Mobiluncus sp) Gardnerella
vaginalis dan Mycoplasma horminis

II

Kriteria diagnostik

Klinis

: Duh tubuh vagina warna putih homogen, melekat


pada dinding vagina dan vestibulum, kadang-kadang
disertai rasa gatal.
Vagina tidak inflamatif
Cerviks tidak inflamatif
Terciumnya bau amis seperti ikan pada duh tubuh
vagina yang ditetesi dengan larutan KOH 10% (tes
amin/ Whiff test)
pH cairan vagina >4,5
50% wanita asimtomatik

Diagnosis banding

: Infeksi genital nonspesifik, uretritis/servisitis


Trikomoniasis, Kandidosis vulvo-vaginalis

Pemeriksaan
penunjang

: Bahan duh tubuh vagina, dilakukan pemeriksaan


Sediaan apus dengan pewarnaan Gram : ditemukan
clue cells atau
Sediaan basah dengan larutan NaCI fisiologis :
ditemukan clue cells

DO

Penatalaksanaan

gonore,

: Nonmedikamentosa :
Pasien dianjurkan untuk menghindari pemakaian
vaginal douching atau antiseptik
Komunikasi, informasi dan edukasi

PE
R

III

SK
I

Medikamentosa :
1. Obat pilihan :
Metronidazol 2 x 500 mg/hari selama 7 hari atau
Metronidazol 2 gram per oral dosis tunggal
2. Obat alternatif :
Klindamisin 2 x 300 mg/hari per oral selama 7
hari

IV

Kepustakaan

1. Holmes King K, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM. Stam


WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam : Sexually
Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York : MC Graw
Hill. 2008.
2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith
LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill,
2012

V e n e r e o l o g i | 291

304

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

Pasien dengan
keluhan duh tubuh
vagina

Bagan Alur

DO

SK
I

3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually


transmitted diseases. Edisi ke-2. New York, Mc Graw-Hill.
2003.
4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines
on sexually transmitted diseases and related conditions.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011
Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases.
MMWR 2011
6. Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Penyakit
menular seksual. Edisi ke-3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
2005.

Anamnesis dan pemeriksaan klinis

Duh tubuh vagina diperiksa dengan pewarnaan


Gram dan sediaan basah

PE
R

PMN >30
Ditemukan Clue cells
tidak ditemukan diplococcus gram negatif, blastospora,
pseudohifa dan Trichomonas vaginalis.
obati sebagai Vaginosis bakterial

Kontrol 7 hari

V e n e r e o l o g i |292

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

305

SK
I
DO
H

PE
R

KEGAWATDARURATAN
DERMATOLOGI

306

Kegawatdaruratan Dermatologi
Kegawatdaruratan

D e r m a t o l o g i | 293

H.1. ANGIOEDEMA (T78.3)


: Kondisi ditandai edema mendadak pada dermis
bagian dalam dan jaringan subkutan atau membran
mukosa, disertai nyeri atau rasa terbakar (bukan
gatal), menyerang hampir seluruh bagian tubuh dapat
terlibat.
Lokasi yang sering terkena adalah kelopak mata,
bibir, lidah, laring, faring, traktus gastrointestinal, dan
genitalia

Definisi

Angioedema
disebabkan
peningkatan
cepat
permeabilitas kapiler submukosa atau subkutan dan
venula postcapillary disertai ekstravasasi plasma
lokalisata. Klasifikasi:
1) Alergik
2) Terkait obat (ACE inhibitor, NSAID, salisilat)
3) C1 inhibitory deficiency (HAE, AAE)
4) Idiopatik
5)Penyebab lain
Faktor penyebab angioedema harus selalu dicari,
meskipun pada sebagian besar pasien adalah
idiopatik.

PE
R

DO

Patogenesis dan
klasifikasi

SK
I

Patofisiologi
Angioedema yang diperantarai histamin
Histamin
yang
berlebihan
menyebabkan
peningkatan aliran darah, permeabilitas endotelial
dan
edema
yang
bermanifes
sebagai
angioedema, urtikaria, dan pada kasus berat:
anafilaksis. Pada reaksi yang diperantarai IgE,
ikatan alergen menghasilkan cross-linking IgE-sel
mast yang menyebabkan degradasi sel mast
serta pelepasan histamin dan mediator lain,
misalnya triptase.
Angioedema yang diperantarai bradikinin
Bradikinin (BK) memainkan peranan fisiologis
pada kontrol tonus vaskular. BK terikat pada
reseptor pada endotelium vaskular. Reseptor BK1 dapat diinduksi oleh perlukaan jaringan dan
reseptor BK-2 kemudian diekspresikan. Ikatan
pada reseptor BK-2 diikuti pelepasan substansi P
dari serabut saraf yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular, dan kebocoran plasma ke
dalam ruang interstisial.
Mekanisme lain
K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i | 294

Kegawatdaruratan Dermatologi

307

produksi prostaglandin (terutama PGE) oleh


K e g a watau
a t d aobat
r u r aNSAID
t a n D dapat
e r m a tmenyebabkan
o l o g i |294
salisilat
angioedema. Penyebab jarang misalnya komponen
kompemen vasoaktif, misalnya pada vaskulitis
urtikarial hipokomplemen.

:
: Edema non-pitting, eritematosa atau sewarna kulit
dengan batas tidak tegas.
Anamnesis detil untuk menemukan kausa yang
mendasari/dicurigai
Gejala yang dirasakan: kesulitan menelan atau
bernafas, gejala sistemik, dan kemungkinan faktor
yang memicu dan memperparah.
Kecepatan onset
Kaitan dengan ada/tidaknya urtikaria
Tempat angioedema: fasial/perifer/nyeri abdominal
Faktor pencetus
o Obat (misal ACE inhibitor, aspirin, NSAID lain)
o Paparan pekerjaan (sensitifitas lateks)
o Reaksi sengatan serangga
o Penyakit hipersensitifitas fisik (urtikaria dingin
yang dapat bermanifes sebagai angioedema
regional atau generalisata setelah paparan
dingin)
o Angioedema yang diinduksi oleh exercise,
dengan atau tanpa anafilaksis
o Sensitifitas
yang
diperantarai
tekanan
(pressure-mediated sensitifity) yang dapat
menyebabkan angioedema pada telapak kaki
setelah berjalan atau berlari,
o Hipersensitifitas terhadap makanan.
Riwayat serangan
Usia pertama kali menderita
Respon terhadap terapi (antihistamin/ steroid/
epinefrin)
Riwayat obat
Riwayat keluarga
Gambaran lain untuk dugaan angioedema yang
jarang: penyakit jaringan konektif atau gejala penyakit
limfoproliferatif

PE
R

DO

Kriteria diagnostik
Klinis

SK
I

II

reseptor pada endotelium vaskular. Reseptor BK1 dapat diinduksi oleh perlukaan jaringan dan
reseptor BK-2 kemudian diekspresikan. Ikatan
pada reseptor BK-2 diikuti pelepasan substansi P
dari serabut saraf yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular, dan kebocoran plasma ke
dalam ruang interstisial.
Leukotrien lain
yang berlebihan karena inhibisi
Mekanisme

Diagnosis banding

Selulitis fasial
Penyakit sistemik: overload cairan, sindrom
permeabilitas sistemik kapiler
Obstruksi venosa (misal edema fasial yang
disebabkan oleh sindrom vena cava superior)
Dermatitis kontak
K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |295

308

Kegawatdaruratan Dermatologi

III

Pemeriksaan
penunjang

: Tes laboratorium yang relevan bergantung pada


penyebab
yang
mendasari/dicurigai
berdasar
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Tes skrining yang terdiri dari hitung darah lengkap,
analisis KED, urinalisis, uji fungsi hati.
Bila dicurigai anafilaksis, harus dilakukan pengukuran serial serum triptase sel mast (Triptase
mempunyai waktu paruh 4 jam, peningkatan kadar
pada 1 dan 4 jam setelah reaksi, dan kembali ke
nilai normal setelah 24 jam, akan mendukung
diagnosis anafilaksis).
Tes tusuk atau IgE spesifik antibodi apabila
diindikasikan

DO

Serum sickness
Obstruksi kelenjar parotid
Infeksi (viral, parasit)
Myxedema
Penyakit inflamatori kronik yang disebabkan
autoimun seperti dermatomiositis, keganasan,
limfedema, granulomatosis kronik dan atau penyakit
infiltratif seperti sarkoidosis, amiloidosis, dan
angioedema granulomatosa pada bibir dan area
perioral (misal sindrom Melkersson-Rosenthal)

SK
I

Penatalaksanaan

: Prinsip:
1. Atasi keadaan akut terutama pada angioedema
karena dapat terjadi obstruksi saluran napas.
Dapat dilakukan bersama-sama dengan / atau
dikonsulkan spesialis THT
2. Mencari kemungkinan penyebab urtikaria.

PE
R

Eliminasi/hindari faktor penyebab yang dicurigai


(misal obat, lateks,makanan, dingin, dll), namun
apabila penyebab yang mendasari tidak diketahui,
terapi dilakukan berdasarkan gejala.
Angioedema disertai obstruksi saluran napas
segera dikonsulkan ke Spesialis THT, dengan
terlebih dahulu diatasi keadaan darurat di Unit
Gawat Darurat
Epinefrin atau adrenalin dosis 0,01 ml/ kgBB/ kali
subkutan ( maksimal 0,3 ml )
Angioedema pada wajah atau lidah dapat diterapi
dengan 60 mg prednison, dan 40 mg diberikan
pada hari berikutnya; terapi kemudian dapat
dihentikan atau skedul dosis selang sehari.
Untuk pasien dengan angioedema berat (melibatkan
edema wajah, lidah, dan faring), diphenhydramine
efektif diberikan
K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |296

Kegawatdaruratan Dermatologi

309

Kepustakaan

: 1. Kanokvalai K, Jiamton S, Boochangkool K, et al.


Angioedema: Clinical and etiological aspects. Clin Dev
Immunol 2007: 26438. doi: 10.1155/2007/26438
2. Kaplan A. Angioedema. WAO Journal 2008;103:10313.
3. Kaplan A. Chronic urticaria and angioedema. N Engl J
Med. 2002; 346: 1759.
Zuberbier T, Asero R, Bindslev-Jensen C, Canonica
GW, Church MK, et al; Dermatology Section of the
European Academy of Allergology and Clinical
Immunology; Global Allergy and Asthma European
Net- work; European Dermatology Forum; World
Allergy Organization. EAACI/GA(2)LEN/EDF/WAO
guideline: definition, classification and diagnosis of
urticaria. Allergy. 2009;64:14171426

PE
R

DO

SK
I

IV

Pada pasien dengan angioedema berulang yang


bermanifes sebagai anafilaksis sebaiknya selalu
membawa kit epinefrin emergensi.

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |297

310

Kegawatdaruratan Dermatologi

Bagan Alur Bagan alur


Pasiendenganlesidan/atauriwayatkonsisten
denganurtikariakronikdan/atauangioedema

Apakahpasien
hanyamenderita
angioedema?

Apakahlesiurtikariasecara
morfologisesuaidengan
vaskulitisurtikariadan
apakahmenetap>24jam?

Tidak

Ya

KED
Complement assays
biopsi

Apakah pasien
mempunyai
vaskulitis
urtikaria?

Ya
Tatalaksana
vaskulitis

Apakahevaluasi
menemukankausa
yangmendasari?

Tidak

o
o
o

Apakahriwayat,pemeriksaan
fisik,dan/ataulaboratoris
mengindikasikanpenyebab
yangmendasari?

Tidak

Tatalaksana spesifik
Hilangkan faktor yang
mungkin memperparah
atau menginduksi
urtikaria/angioedem
Tatalaksana farmakologik
spesifik

PE
R

Tatalaksana
spesifik

Riwayat lengkap
termasuk review sistem

Okupasional

Sengatan, gigitan
serangga

Pengobatan

Makanan

Infeksi

Sensitifitas fisik
Pemeriksaan fisik
Pertimbangkan tes
laboratorium dasar: CBC,
UA, ESR, LFT
Pertimbangkan tes yang
sesuai berdasar riwayat,
PE, ROS

Ya

Tidak

DO

Evaluasiuntuk
angioedema

Ya

Evaluasi untuk vaskulitis:


Pertimbangkan

Ya

SK
I

Tidak

Kegawat

Evaluasi yang lebih detil:

Riwayat tambahan

Pemeriksaan fisik tambahan


ddan/atau
aruratanDermato

Tes laboratorium tambahan

Pertimbangkan biopsi kulit

l o g i |298

Apakahevaluasi
tambahanakan
menentukanpenyebab?

Ya

Tatalaksana spesifik

Hilangkan faktor yang


mungkin memperparah
atau menginduksi
urtikaria/angioedem

Tatalaksana farmakologik
spesifik

Tidak
Tatalaksana pasien
dengan urtikaria idiopatik
dan/atau angioedem

Kegawatdaruratan Dermatologi

311

Gb. Algoritme diagnostik untuk pasien dengan angioedema rekuren


Angioedemarekurentanpaurtikaria

Tidak

Ya

Singkirkanfaktorpenyebab

SkrininguntukhereiditaryAE(HAE)atau
AEdidapat(AAE)

Angioedema
menetap

DisingkirkanHAE
atauAAE

DO

Angioedema
membaik

SK
I

Carikemungkinanfaktorpenyebab
(pertimbangkananafilaksisatipikaldan
obatmisalinhibitorACE)

Tatalaksanayang
sesuai

DiagnosisHAE
atauAAE

Pertimbangkan
danskrininguntuk
penyebab
angioedemjarang
atauangioedem
mimics

Ya

PE
R

Tidak

Angioedem
histaminergik
idiopatik

Angioedemnon
histaminergik
idiopatik

Angioedema
idiopatik

Terapidengan
antihistamin

Respon
baik

Respon
baik

Terapidengan
asamtraneksamik

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |300

312

Tanpa
respon

Kegawatdaruratan Dermatologi

H.2.NEKROLISIS EPIDERMAL (L51.1-L51.3)

II

Kriteria diagnostik
Klinis

: Nekrolisis epidermal, mencakup Sindrom StevensJohnson (SSJ) dan Epidermal Nekrolisis Toksik (NET),
adalah reaksi mukokutaneus yang mengancam jiwa,
ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis
ekstensif. SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan
kulit dan membran mukosa, dan karena kesamaan
temuan klinis dan histopatologis, kedua kondisi ini
digolongkan sebagai varian keparahan dari proses yang
serupa, yang hanya berbeda pada keparahan area
permukaan kulit yang terkena.
:
: Faktor etiologi terpenting adalah penggunaan obat.
Anamnesa riwayat menggunakan obat secara
sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis, cara
pemberian, lama pemberian, runtutan pemberian
obat, pengaruh pajanan matahari) atau kontak obat
pada kulit yang terbuka (erosi, ekskoriasi, ulkus).
Riwayat timbulnya kelainan kulit dengan jarak waktu
pemberian obat, apakah timbul segera, beberapa
saat atau jam atau hari.
Beberapa faktor pencetus lain adalah infeksi
(Mycoplasma pneumoniae, virus, imunisasi), dan
telah dilaporkan kejadian nekrolisis epidermal setelah
transplantasi sumsum tulang belakang.
Kelainan kulit antara lain: eritema, vesikel, papul,
erosi, ekskoriasi, krusta kehitaman, kadang
purpura. Menurut total area lepasnya epidermis,
dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: SSJ (<10%),
tumpang tindih SSJ/ NET (10-30%), dan NET
(>30% area tubuh).
Kelainan mukosa (hampir selalu, setidaknya pada
dua situs): dimulai dengan eritema, erosi dan nyeri
pada mukosa oral, mata dan genital. Kelainan mata
seperti konjungtivitis kataralis, purulenta, atau dapat
menjadi ulkus. Kelainan mukosa oral seperti erosi
hemoragis nyeri yang tertutup pseudomembran
putih keabuan dan krusta. Kelainan genital seperti
erosi, dapat menyebabkan sinekia (perlekatan).
Gejala
ekstrakutaneus: demam, nyeri dan
kelemahan, keterlibatan organ dalam seperti
komplikasi pulmonar yang bermanifestasi sebagai
peningkatan kecepatan nafas dan batuk, komplikasi
digestif seperti diare profus, malabsorbsi, melena,
perforasi kolon.

SK
I

Definisi

PE
R

DO

Diagnosis banding

: 1. Eritema multiforme minor (EEM)


2. Varisela
3. Pustulosis Exanthematus Generalisata Akuta
K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |301

Kegawatdaruratan Dermatologi

313

4. Generalized Bullous Fixed Drug Eruption


5. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome
6. Purpura fulminans

Penatalaksanaan

: 1. Biopsi kulit untuk pemeriksaan histopatologik:


perhatikan letak lepuh: degenerasi hidropik di lapisan
basal celah di subepidermal, infiltrat mononuklear di
sekitar pembuluh darah.
2. Periksa keseimbangan cairan dan elektrolit (K+, Na+,
CL-)
Diagnosis kausatif dilakukan setelah sembuh minimal 6
pekan setelah lesi kulit hilang dengan:
A Uji kulit:
Uji tempel tertutup,
Uji tusuk bila uji tempel negatif
B Uji provokasi peroral bila uji tusuk negatif
: Medikamentosa:
Prinsip:
Hentikan obat
Atasi keadaan umum, terutama pada yang berat
untuk life saving. Terapi cairan dan elektrolit bila
diperlukan.
Berikan obat antialergi yang paling aman dan
sesuai (contoh: kortikosteroid, siklosporin A).
Penatalaksanaan sesuai SCORTEN (paling baik
dilakukan pada hari ke-3).

DO

III

Pemeriksaan
penunjang

SK
I

PE
R

1. Topikal:
- Sesuai dengan kelainan kulit yang terjadi (ikuti
prinsip dermatoterapi)
- Pada mata sesuai anjuran konsultan Dokter Spesialis
Mata.
- Lesi di mulut dan bibir: steroid dalam vaselin atau
boraks-gliserin.
2. Sistemik:
- Hentikan obat yang dicurigai.
- Atasi keadaan umum terutama kondisi vital: berikan
infus sesuai kondisi
- Deksametason intravena 0,15-0,2 mg/kgBB/hari
dapat sampai 4-6 x 5 mg/hari, setelah masa kritis
diatasi (2-3 hari) dosis segera diturunan cepat (5
mg/hari), setelah dosis rendah, bisa diganti peroral
(prednison 2x20 mg/hari)
- Antibiotik (yang jarang menyebabkan alergi),
spektrum luas, tidak nefrotoksik, dan bersifat
bakterisidal: gentamisin 2x80 mg atau klindamisin 2 x
600 mg intravena.
- Diet rendah garam dan tinggi protein
- Bila kalium turun, berikan KCl 3 x 500 mg/hari
K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |302

314

Kegawatdaruratan Dermatologi

Komplikasi

Kepustakaan

Sepsis
Kegagalan organ dalam
Kematian

: 1. Allanore LV, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (Steven-

Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis).


Dalam: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller
A, Leffel D, editors. Fitzpatricks dermatology in general
medicine. Edisi ke 8. New York: McGraw-Hill 2012; 439448
2. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and
Steven-Johnson syndrome. Orphanet J Rare Dis. 2010;
5:39
3. Magana BRD, Langner AL, et al. A systematic review of
treatment of drug-induced Steven-Johnson syndrome
and toxic epidermal necrolysis in children. J Popul Ther
Clin Pharmacol. 2011; 18(1): e121-e133.

PE
R

IV

DO

SK
I

- Bila ada ketidakseimbangan cairan, berikan infus


larutan Darrow dan glukosa 5% atau sesuai anjuran
Dokter Spesialis Penyakit Dalam.
- Bila ada pneumonia atau bronkopneumonia terapi
antibiotik sesuai anjuran Dokter Spesialis Paru.
Nonmedikamentosa :
Penjelasan mengenai kondisi pasien dan diminta
menghentikan obat tersangka penyebab.
Bila pasien sembuh: berikan kartu alergi, yang
berisi daftar obat yang diduga menyebabkan alergi,
kartu tersebut selalu diperlihatkan kepada petugas
kesehatan setiapkali berobat.
Pasien diberi daftar jenis obat yang harus dihindari
(obat dengan rumus kimia yang sama).
Tindak lanjut:
Pasien rawat inap: kontrol setiap hari, pantau
:
keadaan umum, kelainan kulit, orifisium, dan mata.
Setelah rawat inap, kontrol setiap pekan: perhatikan
kemajuan penyakit dan penurunan dosis obat, sampai
obat dihentikan.
Kartu alergi selalu dibawa.

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |303

Kegawatdaruratan Dermatologi

315

Bagan Alur

Gejala prodromal nonspesifik:


1-14 hari (demam, malaise,
sakit kepala, rhinitis, batuk,
nyeri menelan, nyeri dada,
munth, diare, mialgia, dan
atralgia

SK
I

Riwayat menggunakan obat secara sistemik


atau kontak pada kulit terbuka

Kelainan kulit:
Eritema, vesikel, papul,
erosi, ekskoriasi, krusta
kehitaman, purpura.
Epidermolisis: Tzanck test
(+) (terutama TEN)

Kelainan mukosa:
Mata, orifisium
mulut, anogenital

Pemeriksaan
laboratorium: darah,
elektrolit, albumin, fungsi
liver

Body surface area (BSA)

< 10 %

SSJ

10 30 %

> 30 %

SSJ/TEN

TEN

0 atau 1

DO

SCORTEN SCORE

Ruang perawatan non-intensif

Terapi aktif:
- Kortikosteroid sistemik (IV/oral)
- Intravenous Immunoglobulin
(IVIG)
- Keseimbangan hemodinamik,
protein, & elektrolit periksa
kadar elektrolit serum
- Antibiotik (yang jarang
menyebabkan alergi)

PE
R

Identifikasi & eliminasi agen


penyebab:
- Menghentikan obat yang diduga
sebagai penyebab
- Mengontrol infeksi

SCORTEN: Sistem scoring prognostik


pada pasien epidermal nekrolisis
Faktor-faktor
Angka
Prognostic
Usia > 40 tahun
1
Denyut jantung >120 x/menit
1
Keganasan (+ kanker darah)
1
Luas permukaan tubuh terkena >10
1
Kadar ureum serum >10 mM
1
Kadar bikarbonat serum <20 mM
1
Kadar glukosa serum >14 mM
1

SCORTEN
0-1
2
3
4
5

Ruang perawatan intensif

Langkah-langkah suportif:
Kulit:
- Erosi ditutup dengan kasa dan
hydrocolloid dressing
Mata:
- Lubrikan
- Steroid dan antibiotik tetes mata
- Melepaskan adhesive lidglobe
secara perlahan
Saluran pernapasan:
- Postural drainage
Saluran pencernaan:
- tinggi kalori, tinggi protein
- IVFD

Angka Mortalitas (%)


3,2
12,1
35,8
58,3
90

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |304

316

>1

Kegawatdaruratan Dermatologi

H.3.SINDROM DRESS (Drug Rash with Eosinophilia and Systemic Symptoms) (T88.7)
: Sindrom DRESS merupakan kumpulan gejala dan tanda
reaksi obat idiosinkratik berat pada pemberian obat
dalam dosis terapi, yang secara khas ditandai oleh:
1) Demam
2) Erupsi kulit
3) Abnormalitas hematologi (eosinofilia > 1500/L, atau
kelainan hematologi lain misal lekositosis, limfositosis,
atau limfosit atipik
4) Keterlibatan sistemik (limfadenopati > 2cm, hepatitis
sitolitik dengan AST > 2x normal, nefritis intersitial,
pneumonia interstitial, atau miokarditis)

Definisi

SK
I

II

DO

Sindrom ini terjadi secara akut dalam 2-8 pekan


pemakaian obat penyebab. Obat yang pernah dilaporkan
sebagai penyebab adalah: anti-konvulsan (karbamazapin,
fenobarbital, fenitoin, primidon, lamotrigin, asam valproat,
etoksuksimid), antiretroviral (indinavir, nevirapin),
alopurinol, siklosporin, kaptopril, diltiazem, preparat
emas, meksiletin, sorbinil, terbinafin, zalcitabin, minisiklin,
nitrofurantoin, golongan sulfon dan sulfonamid.

Kriteria diagnostik

Klinis

PE
R

Diagnosis banding

Keadaan umum buruk


Demam dapat terjadi 2-3 hari sebelum atau
bersamaan dengan munculnya erupsi kulit.
Demam berkisar antara 38-39C, sering disertai
mialgia, arthralgia, faringitis, dan limfadenopati.
Erupsi kulit bervariasi dapat berupa erupsi obat
makulopapular, vesikobulosa, eritroderma, maupun
dermatitis eksfoliatifa.
Sering dijumpai edema pada wajah.
Keterlibatan mukosa jarang terjadi, biasanya
berupa stomatitis atau faringitis ringan.

: 1. Sindrom Stevens-Johnson
2. Dermatitis eksfoliatifa

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i | 305

Kegawatdaruratan Dermatologi

317

Pemeriksaan
penunjang

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa :
Menghentikan segera obat yang dicurigai sebagai
penyebab.

DO

III

Pemeriksaan darah dan urin rutin; SGOT, SGPT,


eosinofil darah tepi.
Pemeriksaan HbSAg, antibodi anti virus HepatitisA serta anti Hepatitis-C untuk menyingkirkan
infeksi virus sebagai penyebab hepatitis.
Pemeriksaan serum AFP dan CEA yang
dikonfirmasi pemeriksaan USG abdomen untuk
menyingkirkan hepatitis akibat keganasan primer
atau metastatik.
Tes tempel untuk penegakan diagnosis kausatif
obat penyebab, sebaiknya dilakukan dalam waktu
6 pekan - 6 bulan sesudah pasien sembuh, atau
satu bulan bebas glukokortikoid sistemik kerja
lama atau obat imunosupresif lain, atau satu pekan
bebas glukokortikoid kerja singkat, atau dua pekan
bebas steroid topikal pada tempat yang akan
diperiksa.

SK
I

Penjelasan kepada pasien dan/atau keluarga


mengenai penyakit, terapi, serta prognosis.

Medikamentosa:
Prinsip:
Mengatasi keadaan umum yang buruk
Penatalaksanaan multidisiplin
Balans cairan dan elektrolit

PE
R

Terapi sistemik:
Prednison 0,5 2 mg/kgBB selama 1-8 pekan dan
diturunkan berkala selama 6-8 pekan atau steroid
sistemik setara prednison 1-2 mg/kgBB
Bila keadaan klinis berat, steroid sistemik dapat
diberikan dalam dosis denyut yang besar
kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
(1,5gr MP i.v. selama 3 hari dilanjutkan dengan 30
mg/hari sampai kondisi pasien membaik)
Pada pemberian prednison > 40 mg/hari sebaiknya
diberikan antibiotik profilaksis mencegah infeksi
sekunder.
Bila demam dapat diberikan antipiretik, namun harus
hati-hati tentang kemungkinan obat penyebab.

Komplikasi

Dehidrasi
Sepsis
K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |306

318

Kegawatdaruratan Dermatologi

Kepustakaan

1. Nam YH, Park MR, Nam HJ, et al. Drug reaction


with eosinophilia and systemic symptoms syndrome
is not uncommon and shows better clinical outcome
than generally recognised. Allergol Immunopathol
(Madr). 2014 doi: 10.1016/j.aller.2013.08.003. [Epub
ahead of print]
2. Criado PR, Avancini J, Santi CG, et al. Drug
reaction with eosinophilia and systemic symptoms
(DRESS): A complex interaction of drugs, viruses
and the immune system. Isr Med Assoc J. 2012; 14:
577-82.
3. Sullivan JR, Shear NH. The drug hypersensitivity
syndrome: What is the pathogenesis? Arch
Dermatol 2001; 137: 357-64.
4. Brockow K, Romano A, Bianca M, et al. General
considerations for skin test procedures in the
diagnosis of druh hypersensitivity. Allergy 2002; 57:
45-51.

SK
I

IV

PE
R

DO

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i |307

Kegawatdaruratan Dermatologi

319

SK
I
DO
PE
R

TINDAKAN BEDAH
LAMPIRAN

320

Lampiran

Lampiran 1
UJI TEMPEL

SK
I

Batasan
Uji tempel adalah suatu uji kulit yang dilakukan secara in vivo guna memastikan
penyebab/ alergen yang diduga menjadi penyebab dermatitis kontak alergika (DKA).
Mekanisme terjadinya DKA diperantarai oleh hipersensitivitas tipe lambat (delayed
hypersensitivity) terhadap bahan kimia atau bahan lain yang berkontak langsung dengan
kulit, misalnya yang dioleskan ke kulit, atau yang terpapar pada kulit pasien, di rumah atau
di tempat kerja. Uji tempel dengan Finn chamber merupakan uji tempel yang paling sering
digunakan. Selama dilakukan uji tempel, penderita ditempeli alergen yang diduga sebagai
penyebab dalam konsentrasi tertentu, dan dilakukan sesuai prosedur baku. Pengambilan
keputusan alergen penyebab didasarkan atas analisis hasil pembacaan dan interpretasi
hasil
Patofisiologi respons kulit pada DKA
DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang terdiri dari 2 fase yaitu fase
sensitisasi dan elisitasi.

PE
R

DO

Fase Sensitisasi
Alergen pada umumnya merupakan bahan dengan berat molekul rendah, larut
lemak dan memiliki reaktivitas tinggi. Pada saat kontak pertama alergen dengan kulit akan
dikenal dan direspons oleh limfosit yang disebut sebagai fase sensitisasi dimana pada
fase ini hapten yang merupakan alergen yang belum diproses, bila dipaparkan pada
stratum korneum, berpenetrasi ke lapisan bawah epidermis dan akhirnya ditangkap oleh
sel Langerhans melalui proses pinositosis. Di dalam sel setelah hapten dicerna oleh enzim
sitosolik menjadi antigen lengkap dan diekspresikan pada permukaan sel Langerhans.
Sel Langerhans berada dalam bentuk imatur dan dapat berfungsi sebagai
makrofag yang memiliki kemampuan terbatas untuk menstimulasi limfosit T. Pada saat
kulit terpapar alergen, keratinosit mensekresi sitokin yang menyebabkan sel Langerhans
matur dan menjadi aktif dan dapat menstimulasi limfosit T.
Tahap berikutnya adalah presentasi HLA-DR pada limfosit T helper yang
mengekspresikan molekul CD4. Pengenalan antigen yang telah diproses dalam sel
Langerhans oleh limfosit T terjadi melalui kompleks reseptor limfosit T CD3. Selain itu
antigen tersebut dapat pula dipresentasikan oleh MHC klas 1 yang akan dikenali oleh
CD8.
Limfosit T yang telah tersensitisasi bermigrasi ke daerah parakortikal kelenjar
getah bening regional untuk berdiferensiasi dan berploriferasi membentuk sel T efektor
yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Kemudian sel-sel tersebut masuk
kedalam sirkulasi. Sebagian kembali ke kulit dan sistem limfoid, tersebar di seluruh tubuh
dan menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh.

Fase elisitasi
Pada fase elisitasi terjadi kontak ulang dengan hapten yang sama atau serupa.
Hapten ditangkap dan dipresentasikan pada permukaan sel Langerhans yang
mengeluarkan IL-1 yang menstimulasi limfosit T untuk menghasilkan IL-2 dan
mengekspresikan IL-2 reseptor (IL-2 R). Hal ini menyebabkan proliferasi dan ekspansi
populasi limfosit T pada kulit. Limfosit T teraktivasi mensekresi IFN yang mengaktifkan
keratinosit yang mengekspresikan ICAM 1 dan HLA-DR.

Lampiran

321
271

SK
I

HLA-DR pada keratinosit berinteraksi dengan limfosit T CD4, melalui molekul


ICAM 1. Selain itu, ekspresi HLA-DR dapat menyebabkan keratinosit menjadi target
limfosit Tc. Keratinosit aktif juga memproduksi beberapa sitokin seperti IL-1, IL-6 dan
GMSCF yang selanjutnya akan mengaktifkan limfosit T.
IL-1 dapat menstimulasi keratinosit untuk memproduksi eicosanoid, dimana
kombinasi eicosanoid dan sitokin akan mengaktifkan sel mast dan makrofag. Histamin
yang berasal dari sel mast dan histamine dan eicosanoid yang berasal dari sel mast dan
keratinosit serta infiltrasi lekosit menimbulkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
terhadap berbagai sel dan faktor inflamasi yang terlarut. Kaskade ini merupakan respon
kulit pada DKA yang meliputi inflamasi, destruksi seluler dan proses perbaikan.

PE
R

DO

Ekstrak alergen
Ekstrak alergen yang digunakan dalam uji tempel standar terdiri dari 24 jenis. yaitu :
1.
Nickel
2.
Wool alcohols
3.
Neomycin sulfate
4.
Potassium dichromate
5.
Cain mix
6.
Fragrance mix
7.
Colophony
8.
Epoxy resin
9.
Quinoline mix
10. Balsam of Peru
11. Ethylenediamine dihydrochloride
12. Cobalt chloride
13. p-tert-Butylphenolformaldehyde
14. Paraben mix
15. Carba mix
16. Black rubber mix
17. Kathon CG
18. Quaternium-
19. Mercaptobenzothiazole
20. p-Phenylenediamine
21. Formaldehyde
22. Mercapto mix
23. Thiomersal
24. Thiuram mix
Ekstrak alergen dari bahan yang dicurigai harus memenuhi persyaratan tertentu:
1. kapasitas penetrasi intrinsik, termasuk tidak toksik
2. konsentrasi
3. vehikulum
4. oklusivitas uji tempel
5. waktu paparan.

Ekstrak alergen yang digunakan dalam uji tempel pelengkap, bergantung pada hasil uji
tempel standar dan uji tempel dengan ekstrak alergen dari bahan yang dicurigai. Contoh
ekstrak alergen yang digunakan dalam uji tempel pelengkap bila hasil uji tempel standar
Fragrance mix hasilnya positif, antara lain:
1. amylcinnamaldehyde
2. cinnamaldehyde
3. cinnamil alcohol

272

322

Lampiran

4.
5.
6.
7.
8.

eugenol
geraniol
hydroxycitronellal
isoeugenol
oak moss absolute

SK
I

Indikasi Uji Tempel


1. DKA yang sudah tenang.
2. Dermatitis kontak iritan (DKI) dengan diagnosis banding DKA
3. Dermatitis kronis dengan penyebab belum diketahui

Indikasi Kontra Uji Tempel


1. Dermatitis yang diderita masih dalam fase akut
2. Menggunakan obat-obatan yang dapat mempengaruhi reaksi kulit,
misalnya steroid, anti histamin dan imunomodulator.

DO

Efek Samping Uji Tempel


1. sensitisasi
2. reaksi iritan
3. kambuhnya dermatitis yang diderita sebelumnya
4. fenomena Kbner
5. reaksi positif yang resisten
6. reaksi anafilaksis
7. lesi hiperpigmentasi atau hipopigmentasi pada lokasi dengan reaksi
positif
8. reaksi pustular
9. efek karena tekanan
10. infeksi bakteri dan virus
11. nekrosis, terbentuknya skar dan keloid

PE
R

Persiapan:
1. Lesi kulit dalam keadaan tenang
2. Tidak mengkonsumsi imunosupresan atau kortikosteroid sistemik (prednison > 10
mg/hari), minimal 3 hari sebelum tes atau sesuai dengan waktu paruh obat.l
3. Untuk alergen nonstandar perlu pengenceran 1/1.000, 1/100, 1/10
Alat dan Bahan untuk Uji Tempel
Alerger standar dan nonstandar, alumunium (Finn) chamber dengan plester scanpor.

Metode uji tempel


Uji tempel dapat dilakukan dengan menggunakan alumunium (Finn chamber) dengan
plester scanpor. Uji tempel dengan Finn chamber menggunakan sejumlah ekstrak alergen
dalam petrolatum yang kemudian diletakkan dalam disc.
Prosedur Uji Tempel
Bahan alergen yang akan diujikan diisikan pada unit uji tempel dan diberi tanda.
Uji tempel dapat dilaksanakan dengan posisi pasien duduk atau telungkup
Dilakukan pembersihan pada kulit punggung bagian atas dengan kapas alkohol.
Jika hanya satu atau dua jenis yang digunakan, bahan dapat dioles pada daerah
lengan atas bagian luar.
Unit uji tempel ditempelkan di punggung dan diberi perekat tambahan berupa plester
hipoalergenik

Lampiran

273

323

Pasien diijinkan pulang dengan pesan agar lokasi uji tidak basah kena air. Selama
dilakukan uji kulit pasien diberitahu untuk tidak mandi, tidak melakukan aktivitas yang
menimbulkan keringat berlebihan.
Pada deretan bahan yang dibawa pasien (di luar standar), apabila terasa sangat
perih/nyeri (reaksi iritan) dapat dibuka sendiri
Pembacaan dilakukan pada jam ke 48, 72 dan 96 ( atau dilepas lebih awal jika timbul
keluhan sangat gatal atau rasa terbakar pada lokasi uji tempel ).
Hasil tes tempel yang positif bermakna dinilai relevansinya dengan anamnesis dan
gambaran klinis. Hasil relevansi positif dianggap sebagai penyebab. (pembacaan
dilakukan 15 menit setelah plester di lepaskan)
Pasien diberi catatan tentang hasil uji tempel yang positif bermakna

SK
I

DO

Pembacaan dan Interpretasi Hasil Uji Tempel


Setelah tes tempel dilepas, dilakukan penilaian (sistim grading NACDG) sebagai berikut :
?
...............
meragukan, hanya makula eritematous
+
...............
lemah, eritema, infiltrasi, papul
++ ...............
kuat, eritema, infiltrasi, papul,vesikel
+++ ...............
sangat kuat, reaksi dengan bula

...............
reaksi negatif
IR
...............
reaksi iritan
NT ...............
not tested

Respon kulit harus diinterprestasikan sesuai dengan informasi sebelumnya dari riwayat
dan pemeriksaan klinis. Tidak jarang reaksi positif disebabkan oleh karena iritasi atau
sensitisasi yang tidak berhubungan dengan dermatitis sebelumnya. Jika ditemukan
relevansi dari reaksi positif, maka seharusnya dihindari bahan-bahan sebagai penyebab.
Bila hasil uji tempel meragukan, dapat dilakukan:
1. Diulang uji tempel dengan bahan tersebut pada penderita dengan serial dilusi
2. Dilakukan uji tempel dengan bahan tersebut pada subyek kontrol
3. Dilakukan pemeriksaan lanjutanpada penderita dengan menggunakan Repeated Open
Application Test (ROAT)

PE
R

Reaksi positif palsu


Beberapa keadaan yang memberikan reaksi positif palsu antara lain :
1. Angry back (excited skin syndrome)
2. Konsentrasi bahan terlalu tinggi
3. Terlalu cepat dilakukan evaluasi
4. Dermatitis karena plester
Reaksi negatif palsu
Reaksi negatif palsu dapat timbul pada keadaan :
1. Konsentrasi bahan untuk dilakukan tes terlalu rendah
2. Terlalu cepat melepaskan tes tempel dan melakukan interprestasi.
3. Vehikulum yang tidak sesuai
4. Kondisi yang memudahkan timbulnya dermatitis (keringat, gesekan, tekanan, ulserasi)
5. Penggunan kortikosteroid.
6. Fotoalergi
Faktor yang mempengaruhi hasil uji tempel
1. Lokasi
Punggung lebih reaktif dibandingkan dengan lengan.

274

324

Lampiran

SK
I

2. Obat-obatan
Beberapa obat-obatan akan menurunkan reaksi dari uji tempel seperti antihistamin,
kortikosteroid, antidepresan trisiklik, dopamine dan clonidin.
3. Usia
Reaktivitas menurun saat bayi tapi kemudian meningkat pada usia anak-anak dan
semakin meningkat pada usia yang lebih tua.
4. Ritme harian dan variasi musim
Pada orang yang sensitif terhadap serbuk sari bunga, reaktifitas meningkat pada
musim bunga dan setelahnya tetapi reaktifitas menurun diluar musim bunga.
5. Kondisi patologi kulit
Beberapa kelainan kulit seperti contohnya eksim dapat merubah reaksi dari uji tempel
sehingga dibutuhkan untuk menginterprestasi hasil dengan seksama.
6. Imunoterapi
Imunoterapi dapat menghambat reaksi kulit terhadap alergen yang spesifik.

Algoritme

DO

Eksema berulang setelah kontak dengan bahan tertentu

Mengenali patofisiologi DKA dan


mencatat gejala dan tanda klinis
DKA.
Status generalis

Melakukan anamnesis dan


pemeriksaan fisik Singkirkan DD

Status Dermatologikus:
Lokalisasi:
Morfologi kulit:

Menyingkirkan DD

PE
R

Menetapkan diagnosis DKA dan dugaan


alergen penyebab

Menetapkan alergen standar, ekstrak alergen yang diduga dan alergen


pelengkap yang akan diuji

Faktor yang
mempengaruhi

Indikasi dan kontra


indikasi

Melakukan uji tempel sesuai prosedur baku

Evaluasi dan pembacaan hasil uji tempel, serta menganalisis dan menginterpretasikan hasil uji
tempel

Lampiran

275

325

Kepustakaan

PE
R

DO

SK
I

1. Arshad SH. 2002. Skin Test. In: Allergy an Illustrated Colour Text. Southampton; Churchill
livingstone. p. 28-9.
2. Belsito DV. Allergic Contact Dermatitis. In Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF,
Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 6th ed. New
York: Mc Graw Hill, 2003.p.1164-77.
3. Devos SA, Pieter VDV. Epicutaneous Patch Testing. In: Devos SA, eds. The Importance
and Relevance of Epicutaneous Patch Testing. Eur J Dermatol. 2002; 12 (5): 506-13.
4. Fowler JF. How to Patch Test. 1992. In: Larsen WG, Adams RM, Maibach HI, eds. Color
Text of Contact Dermatitis. Philadelphia: W.B Saunders Company..p. 8-18.
5. Lachapelle JM, Maibach HI. 2003. Patch Testing. In: Patch Testing and Prick Testing, A
Practical Guide. Berlin: Springer.p.7-69.
6. Lachapelle JM, Maibach HI. 2003. The standart and additional series of the patch test. In:
Patch Testing and Prick Testing, A Practical Guide. Berlin: Springer..p. 70-94.

326
276

Lampiran

Lampiran 2
UJI INTRADERMAL
Definisi

Salah satu dari uji kulit yang dilakukan untuk mengkonfirmasi


reaksi alergi yang dimediasi oleh IgE. 1,2 Uji intradermal
memiliki sensitivitas yang lebih baik dari pada tes perkutan
lainnya1,2 namun spesifisitasnya rendah.1

Indikasi

Uji intradermal hanya dilakukan bila hasil prick test dengan


obat yang dicurigai memiliki hasil negatif dalam 20 menit.3

SK
I

Bila sebelumnya pasien memiliki riwayat Erythema multiforme,


Steven Johnson Syndrome, Toxic Epidermal
:

Prosedur

: 1. Pengenceran bahan dilakukan tidak melebihi 2 jam


sebelum uji kulit intradermal dilakukan
2. Pasien berada dalam pengawasan dokter di rumah sakit
dalam 6 jam setelah uji intradermal dilakukan.
3. Bila hasil uji intradermal negatif maka glukosa intravena
diberikan dalam 2 jam setelah uji intradermal dilakukan.
Bila hasil uji intradermal positif maka glukosa diberikan
dalam 6 jam setelah uji intradermal dilakukan
4. Selama pasien dalam pengawasan dokter di rumah sakit,
dilakukan monitoring tanda-tanda vital
5. Cara pengenceran obat: Solusio steril dari obat yang
dicurigai diencerkan menggunakan phenolated saline (0,5%
fenol dalam 0,9% larutan normal salin) atau dalam 0,9%
larutan normal salin sehingga diperoleh konsentrasi obat
10-4 ,10-3,10 -2, dan 10 -1
6. Prosedur penyuntikan: Phenolated saline atau normal salin
digunakan sebagai kontrol negatif. Uji Intradermal dimulai
dengan penyuntikan larutan obat dengan konsentrasi
terkecil yaitu 10-4. Sejumlah 0,04ml larutan disuntikkan
pada permukaan ekstensor sampai terbentuk papula
dengan diameter 4-6mm. Bila dalam 30 menit pengamatan
hasilnya negatif maka dilanjutkan dengan penyuntikan
larutan obat konsentrasi 10 -3 kemudian dilakukan
pengamatan dalam 30 menit bila hasil negatif maka
dilanjutkan dengan penyuntikan larutan 10-2
dan
seterusnya sampai dengan larutan obat murni. Namun bila
hasil uji intradermal positif maka uji intradermal dinyatakan
selesai pada konsentrasi tersebut.
7. Pembacaan hasil: pada menit ke 30, jam ke 6 dan jam ke
24 setelah uji intradermal dilakukan. Bila terdapat reaksi
yang positif, maka diameter urtikaria diukur. Bila hasil uji
intradermal negatif, maka dilakukan evaluasi ulang
terhadap pasien dalam waktu 7 hari setelah tes dilakukan

PE
R

DO

II

Necrolysis dan Vasculitis leucocytoclastic (histopatologi)3

Kontraindikasi

Lampiran

277

327

untuk melihat apakah hasil tetap negatif atau menjadi


positif. Bila diperlukan bisa dilakukan evaluasi ulang setelah
hari ke 7 uji intradermal.
Intepretasi Hasil

Uji intradermal disebut positif bila dalam 30 menit setelah


penyuntikan bahan obat terjadi urtikaria dengan diameter lebih
dari 10mm.

: 1. Li,JT. Allergy testing. 2002. [cited 2014 May,21]. Available from

URL: www.aafp.org/afp
2. Schwindt C, Hutcheson PS, Leu SY, Dykewicz MS. Role of
intradermal skin test in the evaluation of clinically relevant
respiratory allergy assesed using patient history and nasal
challenges. Ann Allergy Asthma Immunol 2005; 94: 627-33.
3. Barbaud A, Goncalo M, Bruynzeel D, Bircher A. Guidelines for
performing skin test with drugs in the investigation of cutaneous
adverse drug reactions. Cont Derm. 2001; 45:321-328.

PE
R

DO

IV Kepustakaan

SK
I

III

328

278

Lampiran

Lampiran 3
UJI PROVOKASI OBAT ( UPO )

DO

SK
I

PENDAHULUAN
1) Uji Provokasi Obat ( UPO ) / Oral Challenge adalah metode pemberian obat terkontrol
untuk menegakkan diagnosis reaksi hipersensitivitas terhadap obat pada pasien
dengan riwayat dugaan alergi obat.1
2) Prosedur diagnostik untuk penegakan diagnosis alergi dikelompokkan berdasar
riwayat pasien, uji kulit in vivo, tes laboratorium in vitro dan uji provokasi.5
3) Uji kulit akan memberikan bukti adanya sensitisasi terhadap obat spesifik tetapi harus
selalu diinterpretasikan dalam konteks klinis yang sesuai.6
4) Hasil uji kulit negatif tidak dapat menyingkirkan kemungkinan obat sebagai penyebab
dalam ADR7,8,9 .
5) Riwayat penyakit tidak selalu dapat diandalkan, terutama bila didapatkan riwayat
penggunaan obat multipel.5
6) Uji Provokasi Oral (UPO) sangat direkomendasikan untuk dilakukan terutama pada
kasus dengan hasil uji kulit negatif atau meragukan untuk mengkonfirmasi korelasi
antara obat dan reaksi.6,7,8,9

PE
R

PRINSIP-PRINSIP UPO
1. UPO, meskipun memiliki beberapa keterbatasan, secara luas dipertimbangkan
sebagai baku emas untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis hipersensitivitas
dan membuktikan ada tidaknya relevansi klinis.6
2. UPO dilakukan dalam pengawasan medis baik terhadap obat alternatif, obat-obat yang
memiliki hubungan struktur farmakologis, maupun terhadap obat yang dicurigai
sebagai penyebab reaksi hipersensitifitas.1,6,10
3. Dari sejumlah penelitian disimpulkan UPO berperan penting dalam penegakan
diagnosis etiologis pada reaksi hipersensitivitas obat tipe I dan tipe IV, terutama
terhadap golongan betalaktam.1,10,11,13
4. Jenis reaksi pada reaksi hipersensitivitas terhadap obat, diantaranya adalah reaksi
non-immunologi, reaksi immediate, dan reaksi nonimmediate.9
5. Manifestasi klinis reaksi immediate yang diperantarai IgE terdiri dari generalized
urtikaria, rhinitis, angioedema, syok anafilaksis, dan asma brokhial. Pendekatan
pertama untuk diagnosis reaksi ini adalah berdasar riwayat reaksi obat yang
menekankan gejala yang harus muncul dalam 1 jam setelah konsumsi obat.5,9,11
6. Manifestasi klinis reaksi nonimmediate yang diperantarai sel T terdiri dari eksantem
makulopapular, fixed drug eruption, SJS, AGEP, TEN, vasculitis, lupus like syndrome,
DRESS. Reaksinya biasanya terjadi lebih dari 1 jam setelah konsumsi obat. Identifikasi
reaksi nonimmediate ini terkadang sulit dilakukan karena heterogenisitas mekanisme
reaksi dan dapat ditemukannya secara bersama-sama dengan infeksi virus yang
mencetuskan reaksi.1,5,11
INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI
Penilaian resiko dan kemanfaatan masing-masing individu harus dilakukan sebelum UPO.
Prinsip kehati-hatian dan pengawasan harus dilakukan pada semua kasus.
Indikasi UPO, terbagi dalam 4 kelompok yang saling tumpang tindih :
1) Untuk menegakkan diagnosis hipersensitifitas obat dengan riwayat positif dengan
allergologic test negative, tidak dapat disimpulkan, atau tidak tersedia;

Lampiran

329
279

DO

SK
I

2) Untuk menyingkirkan kemungkinan hipersensitivitas pada reaksi hipersensitivitas


dengan riwayat yang kurang mendukung atau dengan gejala tidak khas, misalnya
gejala vagal pada pemberian anestesi lokal;
3) Untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi silang terhadap obat yang memiliki
hubungan dengan obat yang terbukti menyebabkan reaksi;
4) Untuk menilai toleransi obat-obat yang secara farmakologis aman atau obat-obat yang
secara struktural
tidak berkaitan dengan
reaksi hipersitifitas yang telah
ditegakkan.1,7,9
UPO juga dapat dilakukan untuk membantu individu yang sangat cemas, yang menolak
semua obat tanpa bukti toleransi obat.
UPO terutama dilakukan pada obat yang sangat vital bagi pasien dan tidak dapat
digantikan dengan obat yang lain.1
Kontraindikasi UPO :
1. Wanita hamil merupakan kotraindikasi relatif UPO, dengan pengecualian pada obat
yang sangat dibutuhkan selama kehamilan atau pada saat persalinan.6,1
2. UPO juga tidak disarankan dilakukan pada pasien dengan faktor komorbiditas seperti
alergi dan infeksi akut, asma yang tidak terkontrol, gangguan ginjal, hepar, dan ginjal.
3. Reaksi obat jenis yang berat dan mengancam kehidupan merupakan kontraindikasi
mutlak untuk UPO, termasuk diantaranya adalah Generalized Bullous Fixed Drug
Eruption; Acute Generalized Exanthematous Pustulosis; Toxic Epidermal Necrolysis;
Steven Johnson Syndrom; DRESS; Systemic Vasculitis; Systemic Organ
Manifestations ( blood citopenia,hepatitis, nephritis, pneumonitis ); Severed
Anaphylaxis; Drug Induced Autoimmune Disease.4,9

PE
R

PERSIAPAN UPO :
1. Tes dilakukan minimal 4 6 minggu setelah lesi kulit menyembuh.10
2. Pertimbangan etika mensyaratkan bahwa obat harus penting bagi pasien dan tidak
ada metode lain yang lebih aman atau hasil dari prosedur lainnya tidak dapat
disimpulkan. Obat-obat yang kegunaannya dimasa datang bagi pasien sangat terbatas
semestinya tidak memerlukan UPO.
3. Informed consent harus disampaikan pada pasien sebelum prosedur tes dilakukan.1
4. Protokol untuk masing-masing individu harus disiapkan dan prosedur tes harus
diawasi ahli dibidangnya.9
5. Selama prosedur UPO obat-obatan selain yang diteskan tidak diperbolehkan
dikonsumsi.
6. Beberapa jenis obat yang dikhawatirkan mempengaruhi atau mengganggu hasil tes
memerlukan periode washout termasuk diantaranya antihistamin, antidepresan,
glukokortikoid, beta-bloker, dan ACE-inhibitor (lampiran 1).1
7. Pencatatan secara detail dilakukan pada setiap tahap UPO: 1) tahap awal termasuk
data pasien secara lengkap, riwayat medis, dan riwayat terapi obat sebelum UPO; 2)
tahap paparan dosis obat, hasil pemeriksaan fisik awal dan selama prosedur terutama
yang relevan dengan riwayat reaksi sebelumnya hingga deskripsi efek samping.1
PROSEDUR PELAKSANAAN UPO :
Salah satu guideline UPO yang sering dijadikan acuan adalah protokol dari European
Network for Drug Allergy ( ENDA) 2003.9 Protokol UPO yang lain berasal dari berbagai
penelitian kohort dalam skala kecil terhadap beberapa jenis obat, diantaranya aspirin,
cyclooxigenase-2 inhibitor, beta-laktams.10,12-19
A. Protokol European Network for Drug Allergy ( ENDA):

330
280

Lampiran

SK
I

1) Pasien dengan riwayat reaksi obat berat dirawatinapkan, sedangkan prosedur


pada pasien dengan riwayat delayed type reaction atau pada pasien dengan
reaksi yang tidak membahayakan dapat dilakukan dengan rawat jalan.1
2) Pemeriksaan fungsi paru harus dilakukan pada pasien dengan riwayat
bronkhospasme.
3) Pemasangan kateter intravena selama prosedur UPO harus dilakukan pada pasien
dengan riwayat syok anafilaksis sebelumnya.
4) Pemantauan tekanan
5) Obat-obat kegawatan seperti kortikosteroid, antihistamin, adrenalin, teofilin, dan
inhalan beta-mimetik harus sudah disiapkan pada saat prosedur UPO .
6) Ketersediaan fasilitas resusitasi untuk kegawatan, termasuk diantaranya prosedur
intubasi, disarankan tergantung pada berat ringannya reaksi obat sebelumnya, dan
jenis obat yang diujikan. 1,10

DO

B. Protokol Lammintausta et al, (2005), sebagai modifikasi protokol UPO dari ENDA:
1) UPO terbukti aman dilakukan dengan rawat jalan setelah pasien dengan riwayat
reaksi yang berat disingkirkan terlebih dahulu.12
2) Pengawasan ketat di rumah sakit hanya pada hari pertama UPO dengan
pemantauan pada reaksi kulit, tekanan darah, denyut jantung, dan suhu tubuh.
3) Pasien diijinkan untuk pulang ke rumah 3 hingga 4 jam setelah dosis terapi obat
tercapai dan bisa dilanjutkan dengan dosis harian regular selama 3-7 hari di
rumah. Jika reaksi tidak muncul pasien diminta menghubungi dan reaksi jika
dirasakan muncul diminta segera menghubungi, menghentikan obat, dan segera
memeriksakan diri kembali.12,14
C. Blanca-Lopez et al, dalam uji provokasi obat terhadap golongan aminopenicilin dengan
riwayat reaksi nonimmediate, menetapkan setelah dosis terapi harian tercapai
dilakukan pengawasan selama 6 jam di rumahsakit. Pasien selanjutnya dapat
melakukan UPO di rumah dengan dosis harian selama 5 hari dengan pemantauan
dokter. Penderita diminta segera menghubungi dan mendatangi rumah sakit bila reaksi
muncul.10,15

PE
R

Beberapa ketentuan lainnya dalam UPO :


Pemberian obat untuk UPO dapat dilakukan secara oral, parenteral(iv, im, sc) dan topikal
(nasal), bronkhial, konjuntiva, dan perkutan. Secara umum untuk cutaneus adverse drug
reactions jalur pemberian obat uji peroral lebih banyak dipilih dibandingkan parenteral
karena absorbsinya lebih lambat sehingga bila muncul reaksi dapat segera diterapi.1
1. Jenis obat yang diberikan biasanya merupakan preparat komersil. Khusus untuk obat
kombinasi, preparat penyusun obat juga harus diujikan dalam UPO yang terpisah.
Dalam hal ini uji terhadap kandungan dan bahan aditif dari obat dapat
dipertimbangkan karena komponen tersebut dapat pula memicu reaksi.1
2. Dosis obat untuk UPO tergantung jenis obat, dan derajad keparahan reaksi
sebelumnya, rute pemberian, hingga waktu laten setelah aplikasi hingga reaksi, dan
status kesehatan pasien. Secara umum dosis dimulai dari dosis rendah, kemudian
dinaikkan secara hati-hati, dan dihentikan segera setelah reaksi muncul. Jika tidak ada
gejala yang muncul, dapat diberikan dosis maksimal tunggal atau diberikan dosis
harian tertentu (lampiran 2).1
3. ENDA menetapkan dosis awal UPO dengan reaksi tipe immediate (riwayat reaksi obat
kurang dari 1 jam setelah pemberian obat) dapat dimulai antara 1/10.000 hingga 1/10
dosis terapi tergantung berat ringannya riwayat reaksi. Dosis obat dinaikkan setiap
minimal 30 menit hingga dosis terapi tercapai atau hingga gejala reaksi obat

Lampiran

281

331

DO

SK
I

muncul.9,10 Pada reaksi non immediate (riwayat reaksi obat lebih dari 1 jam setelah
pemberian obat) ENDA menetapkan dosis awal obat tidak boleh lebih dari 1/100 dari
dosis terapi, dengan pengecualian pada fixed drug eruption.9
4. UPO harus dilakukan dengan kontrol plasebo (pil laktosa atau salin 0,9% untuk
prosedur parenteral), buta tunggal atau bila diperlukan buta ganda. Pemberian plasebo
paling sering dilakukan pada hari pertama provokasi tes dengan satu, dua, atau 3
dosis plasebo dalam interval waktu bervariasi disesuikan dengan interval obat yang
diujikan, rata-rata 1 hingga 4 jam. Plasebo dapat pula diberikan setelah UPO terhadap
obat uji selesai dilakukan untuk kofirmasi hasil yang meragukan dalam periode waktu
yang berbeda.1,3
5. Pada Adverse Drug Reaction dengan kemungkinan obat penyebab yang multipel,
UPO pertama dilakukan terhadap obat yang memiliki kemungkinan paling kecil untuk
menimbulkan reaksi alergi dan obat yang paling dicurigai sebagai penyebab reaksi
hipersensitifitas diberikan paling akhir. Provokasi selanjutnya dapat dilakukan dalam
beberapa hari hingga beberapa bulan ke depan tergantung pada jenis obat dan reaksi
UPO sebelumnya.1,3,10,12
6. Lama pengawasan UPO, tergantung pada riwayat reaksi obat sebelumnya dan obat
yang diujikan, dapat dilakukan hingga 5 kali waktu paruh obat uji untuk menjamin
eliminasi seluruhnya.9 ENDA menetapkan waktu untuk pengawasan ketat minimal 2
jam setelah stabilisasi, tetapi untuk pertimbangan keamanan menyarankan
pengawasan hingga 24 jam.1 Pada UPO dengan reaksi yang berat seperti syok
anafilaksis pasien dapat diminta untuk rawat inap, karena adanya kemungkinan
episode bifasik yang dapat mengancam jiwa jika tidak dikenali dan diterapi lebih awal. 9
Pasien dapat dibekali dengan obat-obat pertolongan pertama, termasuk antihistamin,
betamimetik, kortikosteroid, untuk gejala lanjutan yang mungkin masih bisa terjadi. 1

PE
R

PENILAIAN HASIL UPO


1. UPO dinyatakan positif bila didapatkan adanya gejala atau tanda reaksi obat yang
sesuai dengan reaksi hipersensitivitas pada riwayat sebelumnya. Untuk tipe immediate
reaksi muncul dalam waktu 2 jam setelah dosis obat terakhir diberikan (3 jam untuk
obat golongan aspirin dan NSAID).
2. UPO dinyatakan negatif bila setelah dosis harian regular diberikan 2 hingga 4 kali
tidak ditemukan adanya gejala dan atau tanda-tanda reaksi hipersensitivitas.12
3. UPO ulangan dengan dosis terakhir sangat disarankan pada pasien dengan riwayat
reaksi obat dengan gejala subjektif, dengan hasil UPO yang serupa dan tidak khas,
setelah dikonfirmasi dengan placebo challenge hasilnya negatif.1
4. Spesifitas dan sensitivitas UPO memiliki keterbatasan karena uji ini tidak dapat
dilakukan pada pasien dengan hasil uji kulit positif atas pertimbangan etik.16 Nilai
prediksi UPO sangat tergantung pada mekanisme reaksi dan obat yang terlibat.
Keterbatasan lain dari tes ini yang harus dipertimbangkan pemeriksa adalah
kemungkinan positif palsu dan negatif palsu, sehingga UPO dengan hasil negatif
bukan merupakan jaminan toleransi terhadap obat dimasa yang akan datang.1

PENATALAKSANAAN REAKSI OBAT OLEH KARENA UPO


1. Pada setiap prosedur UPO penilaian perlu tidaknya pemberian terapi terhadap reaksi
obat sangat bervariasi tergantung berat ringan dan tipe reaksi.
2. Tahap pertama adalah penghentian pemberian obat uji segera diikuti prosedur umum
maupun spesifik setelah reaksi muncul.
3. Pemberian terapi supresif atau remittive dapat mulai diberikan bila gejala cukup khas
sehingga dapat diambil kesimpulan dari hasil uji.

332
282

Lampiran

SK
I

4. Prosedur penatalaksanaan reaksi harus disesuaikan dengan kondisi pasien dan


secara umum mengikuti kaidah umum terapi kegawatdaruratan.1
5. Pada tipe immediate dapat dipersiapkan prednisolon 40-60 mg dan antihistamin
selama 2 hari .
6. Pada kasus berat seperti reaksi anafilaksis terapi dapat ditambah dengan injeksi
intramuskular epinefrin 0,25g.10
Prosedur UPO dengan segala keterbatasannya terbukti cukup aman dan efektif
bila dilakukan secara hati-hati dan dilakukan dalam pengawasan ahli dan terbukti aman
dilakukan dengan rawat jalan pada pasien dengan riwayat reaksi yang tidak berat.
DAFTAR PUSTAKA

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

PE
R

12.

Aberer W, Bircher A, Romano A, et al. Drug provocation testing in the diagnosis of drug
hypersensitivity reactions: General considerations. Allergy 2003; 58: 854-63.
Lazarou J, Pomeranz BH, Corey PN. Incidence of adverse drug reaction in hospitalized patient:
A meta-analysis of prospective studies. J Am Med Assoc 1998; 279: 1200-5.
Hunziker et al cyt Wohrl S, Vigl K, Stingl G. Patients with drug reactions-is it worth testing?
Allergy 2006; 61: 928-34.
Wohrl S, Vigl K, Stingl G. Patients with drug reactions-is it worth testing? Allergy 2006; 61: 92834.
Brockow K, Romano A, Blanca M, et al. Rostrum: General considerations for skin test
procedures in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy 2002; 57: 43-51
Mirakian R, Ewan PW, Durham SR, et al. BSACI guideline for the management of drug allergy.
Clin Exp Allergy 2008; 39: 43-61.
Waton J, Trechot P, Loss-Avay C, et al. Negative predictive value of drug skin tests in
investigating cutaneus adverse drug reactions. Br J Dermatol 2008; 160: 789-94.
Lammintausta K, Kortekangas-Savolainen O. The usefulness of skin test to prove drug
hypersensitivity. Br J Dermatol 2005; 152: 968-74.
Blanca M, Romano A, Torres MJ, et al. Update on the evaluation of hypersensitivity reaction to
betalactams. Allergy 2009; 64: 183-93.
Messad D, Sahla H. Benahmed S, et al. Drug provocation test in patiens with history
suggesting an immediate drug hypersensitivity reaction. Annals Internal Med 2004; 140:1001-6.
Aberer W, Kranke B. Clinical manifestations and mechanisms of skin reactions after systemic
drug administration. Drug Discovery Today: Disease Mechanisms 2008; 5: 237-47.
Lammintausta K, Kortekangas-Savalainen O. Oral challenge in patien with suspected cutaneus
adverse drug reactions: Finding in 784 patients during a 25-year-period. Acta Derm Venereol
2005; 85: 491-6.
Padial A, Antunez C, Blanca-Lopez N, et al. Non-immediate reactions to betalactams:
Diagnostic value of skin testing and drug provocation test. Clin Exp Allergy 2008; 38: 822-8.
Pichicero ME, Pichicero DM. Diagnosis of penicillin, amoxicillin, and cephalosporin allergy:
Reliability of examination assessed by skin testing and oral challenged. J Pediatric 1998; 132:
137-43.
Blanca-Lopez N, Zapatero L, Alonso E, et al. Skin testing and drug provocation in the diagnosis
of nonimmediate reactions to aminopenicillins in children. Allergy 2009; 64: 229-33.
Romano A, Blanca M, Torres MJ. Diagnosis of nonimmediate reaction to betalactams
antibiotics. Allergy 2004; 59: 1153-60.
Hein UR, Hess SC, Worm M, et al. Evaluation of systemic provocation test in patients with
suspected Allergic and pseudoallergic drug reactions. Acta Derm Venereol 1999; 79: 139-42.
Kidon MI, Liew WK, Chiang WC, et al. Hypersensitivity to paracetamol in Asian children with
early onset of nonsteroidal anti-inflammatory drug allergy. Int Arch Allergy Immunol 2007; 144 :
51-6.
Kruse R, Ruzicka T, Grewe M. Intolerance reaction due to the selective cyclooxigenase type II
inhibitor Rofecoxib and Celecoxib, result of oral provocation test in patients with NSAID
hypersensitivity. Acta Derm Venereol 2003; 83 : 183-5.

DO

1.

13.

14.

15.

16.
17.
18.

19.

283

Lampiran

333

20. Lee AY. Topical provocation in 31 cases of fixed drug eruption: Change of causative drug in 10
years. Contact Dermatitis 1998; 58: 258-60.
21. Ozkaya E. Fixed drug eruption: State of the art. JDGG 2007; 5: 1-6

DO

SK
I

Tabel.1 Daftar obat yang dapat mempengaruhi atau menggangu hasil tes1
Jenis Obat
Rute obat
IR
NIR
Wash out
Antihistamin
Oral, iv
+
5 hari
Antidepresan
Oral, iv
+
5 hari
Glukokortikoid
Topikal
?
?
Jangka lama
Oral, iv
3 minggu
Jangka pendek, dosis tinggi ( > 50 mg ) Oral, iv
1 minggu
Jangka pendek, dosis rendah (< 50 mg Oral, iv
3 hari
)
Beta bloker
Oral
+
+
1 hari
Topikal
_
ACE-inhibitor*
Oral
+
+
1 hari
IR= immediate reaction; NIR= non immediate reaction ? = tidak relevan;
*= masih kontroversial
Tabel 2 Peningkatan dosis bertahap pada UPO10

______________________________________________________________________________________________________________________

Golongan

PE
R

Obat

Dosis

Pada syok anafilaksis dosis yang digunakan 1/10 dosis diatas

334
284

Lampiran

Rute

Dosis Harian_

Lampiran 4
PRICK TEST / UJI TUSUK

SK
I

Batasan
Uji tusuk merupakan salah satu jenis tes kulit yang merupakan pemeriksaan in vivo yang
telah digunakan secara luas untuk menegakkan diagnosis alergi dan memastikan
penyebabnya. Dengan cara melakukan tusukan pada tetesan ekstrak alergen kemudian
ujung jarum dinaikkan secara hati-hati untuk mengangkat lapisan epidermal, tanpa
menyebabkan perdarahan.
Uji ini paling banyak digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit kulit yang
disebabkan oleh reaksi alergi makanan maupun hirupan, karena sederhana, relatif mudah
dan murah, cepat, aman, cukup sensitif dan spesifik. Walaupun teknik pelaksanaan uji
tusuk relatif mudah namun penentuan indikasi yang tepat dan interpretasi hasil uji tusuk
memerlukan keahlian khusus. Dalam satu kali pemeriksaan dapat diperiksa lebih dari 20
jenis alergen, akan tetapi lebih bijaksana untuk membatasi jumlah alergen yang paling
sering menjadi penyebab saja yang diperiksa.

DO

Patofisiologi respons kulit


Uji tusuk merupakan pengujian secara biologis yang mencerminkan adanya peningkatan
IgE dalam darah. Bila alergen disuntikkan ke kulit akan berinteraksi dengan IgE yang
terikat pada mastosit sehingga menyebabkan keluarnya beberapa mediator. Mediator
utama yang dikeluarkan oleh mastosit adalah histamin yang dapat menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga timbul eritema/
kemerahan/ flare dan edema/ bentol/ wheal (wheal-flare reaction) pada kulit tersebut.
Wheal terjadi karena vasodilatasi dan ekstravasasi plasma akibat pengeluaran histamin.
Flare terjadi karena respon neurovaskuler yang dicetuskan oleh histamin dan melibatkan
neuropeptid seperti substansi P. Ukuran reaksi kulit bergantung pada tingkat sensitisasi,
jumlah alergen yang disuntikkan, jumlah dan releasability dari mastosit dan reaktivitas dari
jaringan kulit terhadap histamin.

PE
R

Ekstrak alergen
Sebaiknya alergen yang digunakan dalam uji tusuk dipilih yang sudah terstandarisasi dan
harus mencakup alergen utama seperti tungau debu rumah. Sebelum digunakan potensi
alergen diuji dengan metode in vivo dan in vitro. Secara in vitro, alergen diuji dengan
menggunakan teknik Radioallergosorbent test (RAST) inhibition. Alergen diuji terhadap
serum yang berasal dari individu yang telah tersensitisasi oleh alergen tersebut, untuk
mengkonfirmasi adanya alergen utama dan untuk mengetahui reaktivitas dari ektrak
alergen. Potensi alergen sebaiknya juga diuji secara biologis dengan uji kulit secara serial
menggunakan ekstrak alergen yang diencerkan 10 kali.
Untuk uji tusuk digunakan solusi alergen dengan konsentrasi tertentu yang telah
ditentukan alergen utama dari masing-masing ekstrak alergen. Namun, ekstrak alergen
yang telah terstandarisasi hanya tersedia untuk alergen hirupan yang umum seperti polen
dan tungau debu rumah, sedangkan alergen makanan umumnya tidak distandarisasi.
Ekstrak alergen sebaiknya disimpan pada lemari es pada suhu -4C. Untuk kontrol negatif
biasanya digunakan larutan normal salin atau bahan yang digunakan sebagai pelarut dari
ekstrak alergen. Bila terjadi reaksi pada kontrol negatif ini biasanya berupa dermografisme
yaitu reaksi non spesifik terhadap trauma. Untuk kontrol positif umumnya digunakan
larutan histamin 1-10 mg/ml, akan tetapi dapat pula digunakan bahan lain yang dapat
merangsang sekresi mediator oleh mastosit seperti larutan kodein fosfat.

Lampiran

285
335

SK
I

Indikasi Uji Tusuk


1. Untuk mengetahui alergen penyebab/ pencetus berbagai penyakit yang didasari reaksi
hipersensitivitas tipe I/ diperantarai IgE, misalnya urtikaria dan asma. Tidak terdapat
batasan umur untuk uji tusuk, bahkan uji tusuk ini dapat dilakukan pada bayi.
2. Sebelum memulai imunoterapi dan selama monitoring perkembangan imunoterapi.

DO

Indikasi kontra uji tusuk


1. Uji tusuk tidak dapat dilakukan bila sedang terjadi kekambuhan penyakit kulit pada
penderita misalnya sedang terdapat lesi urtikaria.
2. Penderita sedang dalam terapi antihistamin, terapi kortikosteroid dosis tinggi (lebih dari
10 mg/hari), kortikosteroid topikal, obat antidepresan (imipramin, fenotiazin), dopamin,
clonidin. Antihistamin sebaiknya dihentikan minimal 3 hari sebelum tindakan atau
disesuaikan dengan waktu paruh dari masing-masing obat. Untuk golongan
antihistamin generasi I/antihistamin klasik yaitu selama 24-48 jam. Antihistamin
generasi II seperti setirisin, loratadin, feksofenadin, desloratadin harus bebas selama
3-10 hari, sedangkan khusus untuk astemizole harus bebas selama 4-8 minggu.
3. Penderita menggunakan krim atau pelembab pada bagian volar lengan bawah tempat
yang akan digunakan untuk lokasi uji tusuk pada saat akan dilakukannya uji tusuk,
sebab dapat menyebabkan ekstrak alergen meleleh dan bercampur dengan ekstrak
alergen di dekatnya sehingga mengganggu interpretasi hasil.
4. Terdapat lesi kulit pada lokasi tindakan yang akan mengganggu pelaksanaan atau
pembacaan hasil.
5. Uji tusuk sebaiknya tidak dilakukan pada wanita hamil kecuali keuntungan yang
didapat dari uji tusuk ini melebihi resiko yang mungkin terjadi, sebab pada wanita hamil
yang mengalami reaksi alergi yang berat dapat menimbulkan kontraksi uterus.

PE
R

Efek Samping Uji Tusuk


1. Reaksi anafilaksis, namun sangat jarang terjadi.
2. Uji tusuk kadang menyebabkan rasa tidak nyaman, tapi umumnya dapat ditoleransi
oleh penderita bahkan oleh bayi atau anak kecil. Rasa gatal dan pembengkakan lokal
yang terjadi biasanya menghilang sendiri dalam 1-2 jam dan kadang penderita
mengeluh merasa ngantuk setelah melakukan uji tusuk.
Alat dan Bahan untuk Uji Tusuk
1. Larutan ekstrak alergen beserta larutan kontrol dan alat ukur (diameter) untuk
interpretasi hasil
2. Jarum ukuran 26 G atau 27 G atau blood lancet
3. Penggaris dan spidol/pulpen
4. Alkohol 70%, kapas, tisu

Metode uji tusuk


Terdapat dua metode uji tusuk yang umumnya digunakan. Prick-puncture test yaitu
menggunakan lancet dengan ujung sepanjang 1 mm dan terdapat bahu yang
berperanan untuk mencegah penetrasi yang berlebihan. Metode yang kedua adalah
modified prick test yaitu melakukan tusukan pada tetesan ekstrak alergen kemudian ujung
jarum dinaikkan secara hati-hati untuk mengangkat lapisan epidermal, tanpa
menyebabkan perdarahan.
Prosedur Uji Tusuk
1. Persiapan
Pengenalan reaksi dan tanda anafilaksis :

286

336

Lampiran

3.
4.
5.
6.
7.

Prosedur / tatacara penanganan reaksi anafilaksis :


Epinephrine 1 : 1000 0.3 ml IM (deltoid)
Ukur tekanan darah dan nadi
Beri oksigen
Ulang epinephrine tiap 15 menit
Untuk bronkospasme yang hebat: Aminophylline IV, Hydrocortison sodium
succinate 200 mg IV
Untuk sistole < 90 mm Hg: IV line, Dopamine 400 mg (2 ampul) dalam 500 ml D5W
melalui infus sampai tekanan darah mencapai 90 mm Hg lalu titrasi.
Lokasi: Uji tusuk dapat dilakukan pada bagian atas punggung atau bagian volar lengan
bawah, namun umumnya uji tusuk dilakukan pada bagian volar lengan bawah.
Sebelum uji tusuk dilakukan, posisi penderita sebaiknya diatur terlebih dulu agar
penderita merasa nyaman.
Kulit tempat dilakukannya uji tusuk dibersihkan dengan alkohol 70% dan biarkan
kering sendiri/jangan di keringkan dengan tisu.
Tandai kulit dengan penggaris dan spidol/pulpen untuk masing-masing alergen dengan
jarak yang cukup (jarak minimal 1,5 - 2 cm, bila memungkinkan jarak ideal 3.5 cm)
agar alergen saling terpisah dan hasil tidak tumpang tindih.
Teteskan satu tetes larutan histamin sebagai kontrol positif, satu tetes larutan normal
salin sebagai kontrol negatif dan masing-masing satu tetes ekstrak alergen sesuai
jenis alergen yang dicurigai.
Lakukan tusukan melalui larutan yang sudah diteteskan tersebut dengan jarum ukuran
26 G atau 27 G atau blood lancet menggunakan metode prick-puncture test atau
modified prick test harus diingat tidak boleh timbul perdarahan (perdarahan 1 titik
masih ditolerir). Ditunggu 15-20 menit untuk pembacaan hasil.

DO

2.

Terjadi beberapa detik atau menit (dapat pula beberapa jam) setelah paparan.
Gejala pada kulit: eritema, gatal pada ekstremitas berlanjut urtikaria dan
angioedema
Obstruksi jalan nafas sampai asfiksia karena edema laring
Obstruksi saluran nafas bawah: wheezing
Gangguan gastro intestinal: mual, muntah, nyeri perut dan diare
Hipotensi dan vaskular kolaps.

SK
I

PE
R

Pembacaan dan Interpretasi Hasil Uji Tusuk


Pembacaan dilakukan setelah 15-20 menit. Alergen dibersihkan dengan tisu yang
menyerap alergen dan tidak boleh digosok. Reaksi yang timbul berupa eritema /
kemerahan dan juga edema / bentol. Apabila dalam waktu kurang dari 15 menit timbul
wheal yang sangat lebar, maka kulit sebaiknya di bersihkan dari larutan alergen untuk
menghindari terjadinya reaksi sistemik / reaksi anafilaksis.

Pada pembacaan, kontrol negatif harus tidak ada reaksi, dan kontrol positif harus timbul
urtika / bentol. Reaksi ini kemudian dibaca dan dicatat, metode yang lebih akurat dalam
menentukan luas area reaksi adalah menggunakan planimetry. Untuk mendapatkan data
yang permanen dapat dilakukan cara sebagai berikut : batas dari bentol di tandai
menggunakan pulpen / pen fine tip, kemudian gambaran tersebut dipindahkan ke kertas
menggunakan plester tembus pandang / translucent tape. Hasil tes dibaca setelah 15
menit dengan melihat bentol yang timbul.
Untuk menilai ukuran bentol berdasar The Standardization Committee of Norhern
(Scandinavian) Society of Allergology dengan membandingkan bentol positif yang timbul

Lampiran

287

337

SK
I

akibat histamin dengan bentol negatif larutan kontrol. Adapun penilaiannya sebagai berikut
:
- bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)
- bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)
- derajat bentol + (+1) dan ++ (+2) digunakan bila bentol yang timbul besarnya
antara bentol histamin dan larutan kontrol
- untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bentol histamin
dinilai ++++ (+4)

Penilaian ini tidak diukur dengan ukuran mm oleh karena adanya perbedaan reaksi kulit
yang bersifat individual dan tidak tetap / berubah dari waktu ke waktu. Pada penderita
dengan hasil uji tusuk yang positif tetapi tanpa adanya gejala klinis, kemungkinan besar
terdapat pada fase laten atau alergi sub klinis.

DO

Di Amerika cara penilaian ukuran bentol menurut Bousquet (2001) adalah sebagai berikut
:
0
: reaksi (-)
1+
: diameter bentol 1 mm > dari kontrol (-)
2+
: diameter bentol 1 3 mm > dari kontrol (-)
3+
: diameter bentol 3 5 mm > dari kontrol (-)
4+
: diameter bentol 5 mm > dari kontrol (-) disertai eritema

Secara umum reaksi minimal 3 mm atau setidaknya setengah dari reaksi yang timbul
akibat histamin, dinyatakan positif.

PE
R

Dalam interpretasi hasil uji tusuk harus dipertimbangkan adanya positif palsu maupun
negatif palsu. Hasil dinyatakan positif palsu bila kontrol negatif memberikan hasil positif,
semua alergen positif dengan hasil serupa. Hasil positif palsu biasanya disebabkan oleh
karena dermografisme, reaksi iritasi, reaksi non spesifik yang berlebihan karena reaksi
kuat oleh alergen yang berdekatan, atau akibat perdarahan karena tusukan yang terlalu
dalam. Sedangkan hasil tes dinyatakan negatif palsu bila kontrol positif memberikan hasil
positif lemah atau negatif. Negatif palsu dapat disebabkan oleh kualitas dan potensi
alergen yang buruk, pengaruh obat yang dapat mempengaruhi reaksi alergi (antihistamin,
steroid), penyakit yang dapat meningkatkan respon kulit, penurunan reaktivtas kulit yang
biasanya dijumpai pada bayi dan orang tua, teknik tusukan yang salah (tusukan terlalu
lemah) atau waktu pembacaan yang tidak adekuat.

Faktor yang mempengaruhi hasil uji tusuk


7. Lokasi uji tusuk
Lokasi tes dapat mempengaruhi hasil uji tusuk, sebab reaktivitas alergen dan histamin
berbeda tergantung lokasi tempat tes dilakukan. Kulit pada lengan bagian belakang
biasanya lebih reaktif daripada lengan bagian volar.
8. Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil tes kulit harus dihentikan beberapa hari
sebelum dilakukan tes kulit, lama inhibisi reaksi dari antihistamin umumya berkaitan
dengan waktu paruhnya. Untuk golongan antihistamin generasi I/antihistamin klasik
yaitu selama 24-48 jam. Antihistamin generasi II seperti setirisin, loratadin,
feksofenadin, desloratadin harus bebas selama 3-10 hari, sedangkan khusus untuk
astemizole harus bebas selama 4-8 minggu. Kortikosteroid sistemik dosis rendah atau
kortikosteroid inhalasi biasanya tidak mempengaruhi reaktivitas kulit akan tetapi
kortikosteroid dosis tinggi atau kortikosteroid topikal dapat menghambat responsivitas

288

338

Lampiran

PE
R

DO

SK
I

kulit. Obat antidepresan seperti imipramin, fenotiazin dan juga obat penenang lainnya
harus dihindari selama 10 hari. Selain itu harus diwaspadai penggunaan dopamin atau
klonidin karena berperanan pula dalam menghambat reaktivitas kulit.
9. Usia
Pada bayi dan orang tua reaktivitas kulit cenderung menurun, dan meningkat sejak
masa anak-anak sampai dewasa. Tes kulit memberikan reaksi paling baik pada usia
dekade ketiga dan menurun secara signifikan setelah usia 50 tahun. Pada bayi, tes
kulit cenderung kurang reaktif sehingga bila hasil edema 2 mm atau lebih sudah
dikatakan positif.
10. Ritme harian dan variasi musim
Faktor musim mempengaruhi hasil tes kulit karena berhubungan dengan sintesa Ig E
spesifik yang meningkat pada musim pollen sehingga sensitivitas kulit meningkat
setelah musim pollen dan menurun sampai musim pollen berikutnya. Terjadinya bentol
terhadap histamin atau alergen mencapai puncak pada sore hari dibandingkan pada
pagi hari, tetapi perbedaan ini sangat minimal dan seringkali tidak berpengaruh.
11. Kualitas ekstrak alergen
Kualitas ekstrak alergen ini sangat penting dan mempengaruhi hasil tes kulit, oleh
karena itu bila memungkinkan sebaiknya dipakai alergen yang sudah terstandarisasi.
12. Kondisi patologi kulit
Jangan melakukan tes kulit pada penderita dengan penyakit kulit misalnya urtikaria
maupun dermatitis sebab akan mempengaruhi reaksi kulit terhadap alergen. Pada
penderita dengan keganasan. Limfoma, sarcoidosis, diabetik neuropati juga dijumpai
adanya penurunan reaktivitas terhadap tes kulit.
13. Imunoterapi
Imunoterapi yang sebelumnya didapat oleh seseorang akan menghambat reaksi kulit
terhadap alergen.

Lampiran

339
289

Algoritme

Mengenali patofisiologi DKA


dan mencatat gejala dan tanda
klinis DKA.

SK
I

Eksema berulang setelah kontak dengan bahan tertentu

Melakukan anamnesis dan


pemeriksaan fisik Singkirkan
DD Papulo-eritroskuamosa

Status generalis

Status Dermatologikus:
Lokalisasi:
Morfologi kulit:

DO

Menyingkirkan DD

Menetapkan diagnosis DKA dan


dugaan alergen penyebab

PE
R

Menetapkan alergen standar, ekstrak alergen yang diduga


dan alergen pelengkap yang akan diuji

Faktor yang
mempengaruhi

Indikasi dan
kontra indikasi

Melakukan uji tempel sesuai prosedur baku

evaluasi dan pembacaan hasil uji tempel, serta menganalisis dan


menginterpretasikan hasil uji tempel

290

340

Lampiran

Kepustakaan

PE
R

DO

SK
I

1. Arshad SH. Skin Test. In: Allergy an Illustrated Colour Text. Southampton: Churchill
Livingstone, 2002.p. 24-7.
2. Lachapelle JM, Maibach HI. The methodology of prick testing and its variants. In: Patch
testing and prick testing, a practical guide. Berlin: Springer, 2003. p 149-62.
3. McGrath. Anaphylaxis. In: Patterson R, Grammer LC, Greenberger PA, editors. Allergic
th
Diseases, Diagnosis and Management, 5 ed. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1997.p.43958.
4. Soter NA, Kaplan AP. Urticaria and Angioedema. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K,
Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine,
6th ed. New York: Mc Graw Hill, 2003.p. 1129-39.

Lampiran

341
291

Lampiran 5

Kepada Yth.
Sejawat anggota PERDOSKI
Di
Tempat

SK
I

HIMBAUAN

Buku Panduan Layanan Klinis Dokter Dermatologi dan Venereologi ini masih belum
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik, saran dan usulan Sejawat untuk
perbaikan /penyempurnaan buku ini.

DO

Kritik dan saran dikirim melalui:

PP PERDOSKI
Grand Ruko Salemba
Jl. Salemba Raya 1 no. 22, Unit no. 11
Telp/Fax. 021.3904517
Email: ppperdoski.org@gmail.com
ppperdoski@cbn.net.id
Hormat kami,

PE
R

Penyusun

atau ppperdoski@perdoski.org

DILARANG MENGKOPI ATAU MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH


BUKU INI TANPA SEIJIN PEMEGANG HAK CIPTA YANG BERADA DI TANGAN
PERDOSKI MENURUT UU HAK CIPTA NO. 44 TAHUN 1987.

342
292 Lampiran

DO
SK
I
PE
R
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA
(PERDOSKI)
Tahun 2014

You might also like