You are on page 1of 6

PENDAHULUAN

Demam tifoid, sebuah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi, telah
menjadi penyebab utama angka kesakitan dan kematian yang signifikan sejak zaman dahulu.
Salmonella adalah bakteri berbentuk batang gram negatif penting yang menyebabkan sebuah sindrom
spektrum dari karakteristik klinis termasuk gastroenteritis, demam enterik, bakterimia, infeksi
endovaskular, dan infeksi fokal seperti osteomyelitis atau abses. Demam enterik, juga biasa disebut
demam typhoid atau demam paratyphoid, adalah sebuah penyakit febril sistemik yang paling banyak
disebabkan oleh Salmonella typhi. Yang lebih jarang adalah demam tifoid yang disebabkan oleh S.
paratyphi A, S. typhi B, dan S. paratyphi C. Bahkan Salmonella non-tifoid dapat meenyebabkan sakit
parah yang mirip dengan demam enterik. Komplikasi biasanya lebih sering pada pasien yang tidak
diobati dan mengalami keluhan termasuk perdarahan intestinal dan perforasi atau infeksi fokal seperti
abses visceral. Pada zaman sebelum antibiotik ada, kira-kira 15 persen dari orang yang terinfeksi itu
mati, dan orang yang sembuh mengalami masa sakit yang memanjang hingga berminggu-minggu dan
makin parah hingga berbulan-bulan. Disamping itu, sekitar 10 persen dari pasien kambuh yang tidak
diobati, dimana 1 hingga 4 persen menjadi carrier kronik dari organisme penyebabnya.
Pakistan adalah negara dengan angka kejadian demam tifoid ketiga tertinggi yang terjadi di
populasi umum di seluruh dunia. Demam tifoid adalah kasus yang umum dalam ilmu kesehatan anak.
Di negara barat, penyakit ini jumlahnya hampir tidak ada. Namun, secara global, ada paling tidak 13
17 juta kasus yang menyebabkan 600.000 kematian. Demam tifoid mewakili penyebab kematian
terbanyak keempat di Pakistan. Penyakit ini penyebarannya melalui fekal oral dan dengan kontaminasii
dari makanan dan air. WHO menjadikan tifoid sebagai masalah yang serius dalam ilmu kesehatan
masyarakat. Insidensi tertinggi adalah pada anak-anak dan dewasa muda usia antara 5-19 tahun. WHO
menunjukan bahwa angka kejadian demam tifoid pada anak-anak di Pakistan usia 2-5 tahun adalah
573,2 per 100.000 orang per tahun. Insidensi serupa juga terlihat pada anak-anak usia sekolah dan
remaja. Beban terberat yang dialami dari penyakit ini adalah anak-anak usia 2 15 tahun. Namun, S.
typhi mewakili penyebab bakterimia yang paling sering pada kelompok usia ini, dan angka demam
tifoid per tahun (dikonfirmasi melalui kultur darah) dalam studi terakhir dari India, Pakistan, dan
Indonesia berkisar antara 149 hingga 573 kasus per 100.000 anak. Diagnosis pasti dari demam tifoid
dibuat hanya dari isolasi salmonella typhi dari darah, feses, urin, sumsum tulang, dan lain-lain, dengan
adanya gejala klinis . Angka kematian kasusnya sebanyak 10 persen akibat tidak diobatinya keluhan,
dan kurang dari 1 persen menggunakan obat antibiotik.

Fluoroquinolon, contohnya Ciprofloxacin, direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk


anak-anak dan dewasa yang terinfeksi dengan sensitif sama seperti multidrug resistance, S. Typhi dan
paratyphi. Sefalosporin generasi ketiga, contohnya Ceftriaxone, juga berguna tetapi obat ini disiapkan
untuk kasus komplikasi Multidrug resisten (resisten terhadap chloramphenicol, ampicillin, dan
kotrimoksazole) meningkat secara bertahap dari 34 persen pada tahun 1999 hingga 66 persen pada
tahun 2005. Dalam studi prospektif di India Utara, ada peningkatan resistensi secara bertahap terhadap
fluoroquinolon dalam 7 tahun terakhir. Tidak ada resistensi yang ditemukan terhadap fluoroquinolon
pada tahun 1999, namun pada tahun 2005; 4,4 persen resistensi ditemukan pada sparfloxacin, 8,8
persen resistensi terhadap ofloxacin, dan resistensi tinggi sebesar 13 persen terhadap ciprofloxacin.
Mengingat resistensi obat di dalam masyarakat, hal ini bisa menjadi pertanyaan apakah kedua obat ini
memiliki perbedaan kemanjuran dalam konteks sensitivitas dan pola resistensi dan relaps. Sebagai
tambahan, kami merencanakan untuk mengadakan sebuah studi untuk mencari tahu respon klinis pada
anak-anak dengan demam tifoid yang diobati dengan ciprofloxacin dan ceftriaxone. Dengan demikian,
hasil dari penelitian akan membuat para spesialis anak mampu memilih terapi lini pertama untuk
pengobatan demam enterik dengan keadaan yang sama. Dengan cara ini, manajemen yang tepat waktu
dari pasien anak akan mengurangi angka kesakitan secara spesifik dan juga mengurangi kematian di
rumah sakit secara umum.
METODOLOGI
Penelitian ini diadakan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Holy Family Hospital,
Rawalpindi, Pakistan. Penelitian ini diselenggarakan hingga 6 bulan sejak 25 Maret 2010 hingga 24
September 2010. Totalnya dari 88 pasien dengan diagnosis klinis demam tifoid dimasukkan kedalam
penelitian. 44 pasien diobati dengan ciprofloxacin (kelompok Ciprofloxacin), sedangkan 44 pasien
lainnya diobati dengan ceftriaxone (kelompok Ceftriaxone).
TEKNIK SAMPLING KONSEKUTIF (NON-PROBABILITY)
Anak-anak usia 5 12 tahun baik laki-laki maupun perempuan yang sedang mengalami demam
tifoid dimasukkan ke dalam penelitian. Semua yang memiliki riwayat asupan antibiotik oral atau
intravena (sefalosporin generasi ketiga dan quinolon) dan pasien tanpa demam pada saat presentasi
disingkirkan. Namun, ini adalah penelitian Randomized Controlled Trial. Pasien yang memenuhi
kriteria penelitian dirawat di bangsal anak Holy Family Hospital dan dibagi menjadi dua kelompok

secara acak, A dan B, berdasarkan nomor acak. kelompok A diberikan injeksi Ciprofloxacin 10mg/kg
I/V dua kali sehari, sedangkan kelompok B diberikan injeksi Ceftriaxone 70mg/kg I/V satu kali sehari
selama 7 hari. Kedua kelompok diobservasi dengan durasi sampai afebril (96 jam). Penyelidikan
selesai dilakukan saat typhidot (antibodi IgM) dari laboratorium yang disiapkan dengan peralatan
standard. Namun, hasilnya disetujui oleh konsultan ahli patologi. Data dianalisa menggunakan SPSS
(V10). Mean dan standard deviasi dihitung dengan variabel kuantitatif, contohnya usia dan durasi
sampai afebril. Frekuensi dan persentase dihitung dengan variabel kualitatif seperti jenis kelamin dan
sudah tidak demam dalam waktu 96 jam. Karena itu, tes chi-square digunakan untuk membandingkan
kemanjuran (afebril dalam 96 jam) dari kedua obat tersebut. P-value < 0,05 dianggap signifikan.
HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini terdapat 88 pasien dengan sakit demam yang tersangka menderita demam
tifoid pada ranah klinis. Secara klinis, pasien dengan demam > 37OC yang disertai dengan satu atau
lebih tanda dan gejala berikut: Nyeri kepala hebat, nyeri abdomen atau rasa tidak nyaman di perut,
adanya splenomegali / hepatomegali, rose spot di kulit, muntah-muntah, dan tidak ada tanda chest
bowel urine atau infeksi di meningen. Oleh karena itu, semua subject berusia < 12 tahun. Usia berkisar
antara 5 12 tahun dengan rata-rata usia 8,31,94 tahun. 41 (46,6%) adalah laki-laki dan 47 (53,4%)
adalah perempuan. Berat badan anak-anak berkisar antara 14 41 kg dengan berat badan rata-rata
24,76,3 kg. Selanjutnya, 15 (17%) mengkonsumsi air yang direbus untuk sehari-hari, sedangkan 73
(83%) mengkonsumsi air mentah untuk sehari-hari.
DISKUSI
Demam tifoid adalah penyakit yang umum pada anak-anak dan dewasa muda. Hal ini
mencerminkan imbas sosial-ekonomi terhadap penyakit di dalam masyarakat. Negara makmur dan
berindustri sebagian besar harus mengendalikan penyakit ini dengan meningkatkan standar ilmu
kesehatan masyarakat; tetapi penyakit ini berlanjut menjadi masalah besar ilmu kesehatan masyarakat
pada negara yang kurang berkembang termasuk Pakistan. Namun, dengan diketahuinya Salmonella
dengan strain yang resisten terhadap obat telah menjadikan penatalaksanaan demam tifoid ini menjadi
lebih sulit. Dalam 2 dekade terakhir juga telah disaksikan penampilan dan penyebaran S. typhi dengan
strain multidrug-resistant (MDR). Infeksi dari strain ini berkaitan dengan durasi sakit yang lebih
panjang dan angka kematian dan kesakitan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, insidensi penyakit ini

lebih tinggi di wilayah Asia Utara dibandingkan sebelumnya terutama pada anak-anak yang usianya
lebih muda. Demam tifoid adalah masalah yang signifikan pada anak-anak usia sebelum sekolah.
Diantara anak-anak, 60% kasus berada dalam kelompok usia 5 9 tahun, 27% antara 2 5 tahun, dan
13% kelompok usia antara 0 2 tahun. Setelah munculnya strain Salmonella typhi yang resisten
terhadap chloramphenicol, ciprofloxacin telah menjadi drug of choice untuk pengobatan demam tifoid
bahkan pada kelompok usia anak.
Penelitian sekarang dilakukan untuk membandingkan kemanjuran klinis dari ciprofloxacin dan
ceftriaxone dalam konteks rata-rata jumlah hari yang dibutuhkan sampai terjadi penurunan suhu badan
sampai normal dalam pengobatan demam tifoid pada anak. Oleh karena itu, penelitian menggunakan
88 pasien sakit demam yang disangka mengidap demam tifoid. Usia rata-rata adalah 8,31,94 tahun
dan 41 (46,6%) adalah laki-laki. Berat badan rata-rata adalah 24,76,3 kg. Hanya 15 (17%)
menggunakan air yang dimasak untuk dikonsumsi sehari-hari. 68 (77,3%) anak dalam keseluruhan
menjadi afebril dalam waktu 96 jam, sedangkan 20 (22,7%) gagal mencapai afebril dalam waktu 96
jam. Dalam kelompok ciprofloxacin, 25 (56,8%) pasien menjadi afebril dalam 96 jam dan 19 (43,1%)
gagal mencapai afebril dalam 96 jam. Dalam kelompok ceftriaxone, 43 (97,7%) pasien menjadi afebril
dalam 96 jam dan 1 (2,3%) gagal mencapai afebril dalam 96 jam. Oleh karena itu, proporsi pasien yang
menjadi afebril dalam 96 jam lebih tinggi secara signifikan dalam kelompok ceftriaxone dibandingkan
dengan kelompok ciprofloxacin, p= 0.00.
Hasil kami berbeda dari ulasan sebelumnya, sebuah ringkasan dari percobaan terkontrol yang
diacak dari demam tifoid, ditemukan bahwa fluoroquinolon lebih unggul dari ceftriaxone untuk
gangguan klinis dan waktu clearance demam. Meskipun data-data ini menyimpulkan bahwa
fluoroquinolon memiliki waktu clearance demam yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan
chloramphenicol, cefixime, dan ceftriaxone, analisa waktu clearance demam harus diinterpretasikan
dengan hati-hati. Waktu clearance demam rata-rata sering mengikuti distribusi yang salah meskipun
kebanyakan pasien bebas demam dengan cepat, beberapa pasien butuh waktu yang lebih lama
sehingga meta-analisa yang dilakukan menggunakan rata-rata aritmetika mungkin tidak akurat. Namun,
parahnya demam pada beberapa pasien meskipun sudah jelas bahwa S. typhi dan S. paratyphi dari
aliran darah telah diatribusikan untuk melanjutkan produksi sitokin pirogenik. Hal ini menyimpulkan
bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menyembuhkan demam mungkin bukan patokan untuk mengukur
kemanjuran antibiotik yang tepat. Akibatnya, hal tersebut mungkin bukan sebuah titik akhir untuk
percobaan terapi demam tifoid. Beberapa peneliti juga tidak menyebutkan secara khusus apakah gejala
klinis dimasukkan atau tidak kedalam perhitungan waktu clearance demam. Hal ini mungkin terjadi
karena penggunaan quinolon yang tidak wajar bahkan pada infeksi minor. Karenanya, kebanyakan pada

demam virus. Hal ini menghasilkan peningkatan tingkat resistensi dari S. typhi terhadap quinolon di
negara kami.
Pengobatan yang cocok untuk demam tifoid adalah suatu tantangan kesehatan masyarakat dan
klinis, dengan meningkatnya tingkat resistensi obat dan terbatasnya bukti pada penggunaan dari pasien
baru, khususnya anak-anak. Percobaan yang besar, didesain dengan baik dan ketat secara metodologi
sangat dibutuhkan untuk membandingkan fluoroquinolon dengan antibiotik lini pertama yang ada di
masyarakat atau pasien rawat jalan. Maka dari itu, hal ini mencerminkan keadaan di negara-negara
berpendapatan rendah, dengan laporan data tingkat resistensi yang akurat. Pemantauan jangka panjang
dan monitoring dan efek yang merugikan juga dibutuhkan. Penyidik harus standarisasi definisi dan
poin waktu saat pengukuran hasil, terutama yang dengan sifat subjektif, seperti kegagalan klinis.
Sebagai tambahan untuk studi objektif dari kemanjuran pengobatan dan biaya yang tidak efektif, kami
membutuhkan evaluasi dari pendekatan alogaritma dalam mendiagnosis dan penatalaksanaan
prolonged fever pada anak-anak di wilayah dimana demam tifoid itu endemik. Protokol seperti itu akan
memandu penggunaan antibiotik dan mampu mengekang peningkatan tingkat resistensi. Sebuah studi
pada Divisions of Clinical Medicine & Microbiology, National Institute of Cholera & Enteric Diseases
(ICMR), Kolkata, India, mengevaluasi peran dari terapi ceftriaxone pada kasus tifoid yang secara
bakteriologi telah dikonfirmasi MDR yang tidak merespon terapi ciprofloxacin hingga 12-14 hari.
Percobaan juga telah dibuat untuk menyelidiki kerentanan in vitro dari strain S. typhi terisolasi
terhadap chloramphenicol, ciprofloxacin, dan ceftriaxone. Dari jumlah keseluruhan 140 anak, usia 3
10 tahun, didiagnosis secara klinis mengidap demam tifoid, tanpa adanya respon klinis setelah diberi
terapi ciprofloxacin selama 12-14 hari disaring untuk S. typhi dengan cara kultur darah. Pada anakanak yang positif terkena bakteri, pengobatan telah diubah menjadi ceftriaxone intravena untuk 14 hari.
Strain S. typhi yang terisolasi sudah di tes untuk kerentanan antimikroba in vitro. Pengobatan klinis dan
secara bakteriologi telah dipantau dengan terapi ceftriaxone intravena dalam semua 32 pasien yang
positif terinfeksi bakteri. Semua strain S. typhi yang terisolasi semuanya rentan terhadap ciprofloxacin
dan ceftriaxone. Maka dari itu, 50 persen dari strain yang ada resisten terhadap chloramphenicol. Nilai
MIC dari chloramphenicol, ciprofloxacin, dan ceftriaxone berkisar antara 125 500, 0.0625 0,5 dan
< 0,0625 microgram/ml, secara kasar. Studi ini menunjukan walaupun strain S. typhi yang rentan
terhadap ciprofloxacin invitro, pasien tidak merespon secara klinis dan secara bakteriologi terhadap
bakteri ciprofloxacin. Oleh karena itu, ciprofloxacin tidak dapat dijadikan pilihan yang terpercaya dan
berguna untuk mengobati demam tifoid MDR; karena itu, ceftriaxone mungkin bisa menjadi alternatif
yang ampuh untuk pengobatan pada kasus seperti itu.

Demam tifoid terjadi secara luas di negara berkembang, dengan jutaan kasus yang mengalami
kematian setiap tahunnya di seluruh dunia. Di Lady Reading Hospital, Peshawar, sebuah studi
resistensi obat untuk demam tidoid dilakukan pada Paediatric A Unit. Penyertaan kriterion adalah
darah positif dan/atau kultur sumsum tulang. Dari jumlah seluruhnya, 50 pasien positif terinfeksi
salmonella setelah dikultur (darah dari 26 pasien dan sumsum tulang dari 49 pasien). Organisme yang
diisolasi adalah Salmonella typhi pada 49 kasus dan Salmonella paratyphi A pada satu kasus. Isolasi
tunggal dari S. paratyphi A sensitif terhadap semua antimikroba yang dicoba kecuali kotrimoksazol.
Dari 49 yang terkena S. typhi, hanya 5 (10,2%) sensitif terhadap antimikroba anti-tifoid yang utama,
sedangkan 44 (89,8%) lainnya resisten terhadap banyak obat. Semua yang terisolasi disini sepenuhnya
sensitif terhadap ciprofloxacin dan ofloxacin, sedangkan sensitivitas pada sefalosporin generasi ketiga
bervariasi antara 57 79%. Meskipun resistensi in vitro, 22 pasien (44%) menunjukan respon klinis
yang baik terhadap amoxicillin dan chloramphenicol. Sisanya 28 pasien lainnya (56%), respon terhadap
obat tersebut buruk, dan mereka memulai pengobatan dengan ofloxacin (pada anak usia diatas 5 tahun)
atau sefalosporin generasi ketiga. Akibatnya, respon pasien terhadap obat-obatan ini baik dengan
penurunan suhu tubuh hingga normal dalam waktu 8 hari setelah dimulainya pengobatan. Tidak ada
efek yang signifikan dari quinolon yang disadari pada anak-anak ini. Mereka menyimpulkan bahwa
quinolon bisa digunakan pada anak-anak usia diatas 5 tahun dengan demam tifoid multi-drug resistant.
Penyebaran demam tifoid MDR yang cepat menjadikan tantangan yang besar untuk pengobatan dari
kasus-kasus ini diseluruh dunia hari ini. Setelah strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
chloramphenicol muncul, ciprofloxacin telah menjadi obat pilihan untuk demam tifoid bahkan pada
kelompok usia anak. Dengan begitu, sebuah studi di Kolkata, India, mengevaluasi peranan terapi
ceftriaxone pada kasus demam tifoid MDR yang dikonfirmasi secara bakteriologi yang tidak merespon
terapi ciprofloxacin selama 12 14 hari. Termasuk juga 140 anak berusia 3 10 tahun. Namun, mereka
menemukan bahwa ciprofloxacin mungkin tidak bisa dijadikan pilihan yang berguna untuk mengobati
demam tifoid MDR. Sebagai tambahan, ceftriaxone mungkin bisa jadi alternatif yang ampuh untuk
penanganan kasus seperti itu.
KESIMPULAN
Ceftriaxone lebih efektif pada anak-anak dengan demam tifoid dalam konteks lebih banyak nya
anak-anak yang menjadi afebril dalam 96 jam.

You might also like