You are on page 1of 92

KAJIAN PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN KARAGINAN

RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii YANG TERKENA


PENYAKIT ICE ICE DI PERAIRAN PULAU PARI
KEPULAUAN SERIBU

NUR MASITA AMILUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PERNYATAAN MENGENAI TESIS


Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pertumbuhan dan
Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena
Penyaki Ice Ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu adalah karya sendiri dan
belum diajukkan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka pada bagian akhir.

Bogor, Januari 2007

(Nur Masita Amiluddin)


NRP C151030221

ABSTRAK
NUR MASITA AMILUDDIN : Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan
Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyakit Ice Ice di Perairan
Pulau Pari Kepulauan Seribu di Bawah Bimbingan : FREDINAN YULIANDA
(Ketua) dan ENAN M.ADIWILAGA (Anggota).
Komoditas rumput laut K. alvarezii mempunyai prospek yang cerah dalam
perdagangan untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan
permintaan pasar dunia terhadap jenis ini memacu perkembangan budidaya.
Rumput laut K. alvarezii dewasa ini sedang giat dikembangkan oleh pemerintah
melalui usaha budidaya karena selain dapat meningkatkan pendapatan nelayan
juga menjadi sumber devisa negara.
Rumput laut yang dibudidayakan di pulau Pari pada tahun 2000 mulai
memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan hasil panen baik kuantitas
maupun kualitas dan menjadi permasalahan sampai sekarang. Penurunan hasil
panen baik kuantitas maupun kualitas ini disebabkan karena terkena penyakit
ice ice (bercak putih). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kualitas
lingkungan, pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K. alvarezii
yang terkena penyakit ice ice di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau
Pari.
Hasil penelitian diperoleh bahwa di lokasi budidaya sebelah barat dari
minggu pertama sampai minggu keempat kualitas air masih memenuhi kriteria
untuk budidaya rumput laut, sehingga ada peningkatan pertumbuhan dan
kandungan karaginan. Minggu kelima sampai minggu kedelapan kualitas air
memburuk dan tanaman uji terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice, sehingga
pertumbuhan dan kandungan karaginan menurun. Sementara lokasi budidaya
sebelah utara sudah terkena penyakit ice ice selama masa pemeliharaan.
Untuk mencegah Agar penyakit ice ice tidak meluas atau berkembang,
maka kegiatan budidaya dihentikan selama kualitas air memburuk dan dilakukan
penanaman bila kondisi perairan kembali normal..
Kata kunci : K. alvarezii, Pertumbuhan, Karaginan , Ice ice.

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007


Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun baik cetak, foto copy, mikrofilm dan sebagainya

KAJIAN PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN KARAGINAN


RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii YANG TERKENA
PENYAKIT ICE ICE DI PERAIRAN PULAU PARI
KEPULAUAN SERIBU

NUR MASITA AMILUDDIN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sain pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul Tesis

: Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut


Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyaki Ice Ice di Perairan
Pulau Pari Kepulauan Seribu
Nama
: Nur Masita Amiluddin
NRP
: C 151030221
Program Studi : Ilmu Perairan

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.Sc


Ketua

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga


Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi


Ilmu Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Enang Harris

Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro

Tanggal Ujian : 28 Desember 2006

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulilllah Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, atas segala rahmatnya. Berkat bantuan banyak pihak tesis dengan judul
Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus
alvarezii yang Terkena Penyaki Ice ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu
dapat diselesaikan. Tesis ini sekaligus sebagai tugas akhir akademis dalam
pendidikan di program studi Ilmu Perairan, program Pascasarjana IPB. Melalui
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1

Bapak Dr.Ir.Fredinan Yulianda M.Sc. dan Dr.Ir.Enan M.Adiwilaga sebagai


Ketua dan anggota yang dengan tulus dan sabar membimbing saya.

Seluruh jajaran Program Pascasarjana IPB yang telah membantu kelancaran


selama mengikuti studi.

Bapak Prof.Enang Harris selaku ketua Program Studi Ilmu Perairan beserta
seluruh staf pengajar.

Bapak Prof.Dr.Hamadi B.Husein selaku Ketua Sekolah Tinggi Perikanan


Hatta Syahrir Banda Naira atas ijin belajar untuk menempuh pendidikan
pascasarjana.

Bapak Dirjen Pendidikan Tinggi sebagai penyumbang dana pendidikan.

Bapak Dr.Ir.Kardio Praptokardiyo M.Sc.sebagai penguji luar komisi atas


kesediaan membantu mengarahkan penulis dalam penyelesaian tesis ini.

7 Bapak Satir beserta petani rumput laut kelurahan pulau Pari Kab.Administrasi
Kepulauan. Seribu yang telah banyak membantu.
8

Teman-teman P2O LIPI Jakarta yang telah memberikan motivasinya.

Ayah tercinta (almarhum), Ibu tersayang yang telah banyak berjasa dengan
bantuan moriil, matriil dan selalu mendoakan dalam segala studi penulis.

10 Suami dan anak-anak tercinta : Nurulvadini, Moh.Safrul, Nurulsavira dan


Moh. Nasrullah Zidan yang selalu memberikan semangat dan pengorbanan
selama pendidikan.
11 Kakak dan adik-adikku tersayang : Nyong, Lela, Rusli, Ci dan Aini (Onco)
yang selalu mendorong dan mendoakan penulis.
12 Semua pihak yang telah membantu penulis yang tak dapat penulis tuliskan
dalam ruang yang terbatas ini.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu saran dan
kritik demi penyempurnaan sangatlah diharapkan. Akhirnya semoga tulisan ini
ada manfaatnya bagi pembaca dan yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2007


Penulis

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 20 April 1967 merupakan anak
kedua dari lima bersaudara dari ayahanda Anas Amiluddin dan ibunda Arafia
M.Saleh.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada SD INPRES Wailela

Ambon tahun 1979, pendidikan menengah pertama pada SMP Negeri 7 Ambon
tahun 1982 dan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri 3 Ambon tahun
1985. Pada tahun 1991 menyelesaikan pendidikan sarjana pada program studi
menejemen sumberdaya perairan jur usan penangkapan Universitas Pattimura
dengan skripsi berjudul Pengaruh Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan
Demersal dengan Bottom Long Line di perairan Ambon. Pada tahun 2003 penulis
mendapat kesempatan melajutkan pendidikan Pascasarja pada Program Studi Ilmu
Perairan Sekolah Pascasarja Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan
pascasarjana diperole h dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Sekolah Tinggi Perikanan Hatta
Sjahrir Banda Naira sejak tahun 2001 sampai sekarang.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................

iii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................

iv

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

vi

PENDAHULUAN ......................................................................................

Latar Belakang ..................................................................................

Perumusan Masalah ..........................................................................

Tujuan dan Manfaat ..........................................................................

Hipotesis ............................................................................................

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................

Rumput Laut K. alvarezii. ..................................................................

Jenis dan habitat ...........................................................................

Komposisi kimia ..........................................................................

Budidaya K. alvareezii .......................................................................

Metode budidaya ..........................................................................

Penyediaan bibit dan pemeliharaan ..............................................

10

Pasca panen ..................................................................................

11

Penyakit Pada Tanaman Rumput Laut ...............................................

12

Penyakit tumbuhan .......................................................................

12

Penyakit Ice ice ............................................................................

13

Karaginan Rumput Laut .....................................................................

15

Mutu dan penggunaan karaginan .................................................

15

Struktur kimia dan sifat-sifat karaginan .......................................

16

Kekentalan dan pembentukan gel ...................................

17

METODE PENELITIAN .........................................................................

18

Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................

18

Metode Pemeliharaan .........................................................................

19

Disain rakit ..................................................................................

19

Penanaman benih ..........................................................................

19

ii

Pengamatan Lingkungan Perairan ......................................................

20

Teknik Pengamatan ............................................................................

21

Kualitas Rumput Laut .........................................................................

22

Analisis Data ......................................................................................

24

HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................

26

Keadaan Umum Wilayah Penelitian .................................................

26

Kondisi Lingkungan Perairan ............................................................

28

Faktor fisika ..............................................................................

28

Faktor kimia ..............................................................................

32

Faktor biologi ...........................................................................

36

Analisa Komponen Utama .................................................................

39

Pertumbuhan Rumput Laut ................................................................

39

Pertumbuhan biomassa...............................................................

39

Pertubuhan parsial .....................................................................

45

Hubungan laju pertumbuhan dengan unsur hara........................

46

Hubungan laju degradasi dengan suhu, arus


dan oksigen terlarut ...................................................................

47

Produksi Bobot Kering .......................................................................

48

Kandungan Karaginan........................................................................

49

Kadar Air ............................................................................................

50

Kadar Abu .........................................................................................

51

Hubungan Karaginan dengan Unsur Hara .........................................

52

Hubunga n Karaginan dengan Waktu Pengamatan .............................

54

SIMPULAN dan SARAN .........................................................................

56

Simpulan .............................................................................................

56

Saran ..................................................................................................

56

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

57

iii

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi kimia rumput laut K. alvarezii. .............................................

2 Klasifikasi kriteria lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii ..................

3 Parameter, alat dan satuan pengukuran ...................................................

21

4 Rata-rata parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah


barat dan utara pulau Pari.........................................................................

28

5 Perbandingan kualitas perairan di pulau Pari tahun 1997 dan 2002 ........

38

6 Pertumbuhan mutlak, relatif dan sesaat rump ut laut di sebelah barat


dan utara pulau Pari..................................................................................

46

7 Bobot dan penyusutan K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat


dan utara pulau Pari..................................................................................

48

iv

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Alur pikir pendekatan masalah ..............................................................

Peta lokasi penelitian pulau Pari Kepulauan Seribu ..............................

18

Disain rakit dan pemasangan bibit rumput laut .....................................

20

Bagan alir analisis karaginan .................................................................

23

Rata-rata kecepatan arus di lokasi budidaya sebelah barat dan utara


Pulau Pari ..............................................................................................

29

Rata-rata kecerahan di lokasi budidaya sebelah barat dan utara


pulau Pari ..............................................................................................

30

Rata-rata suhu perairan di lokasi sebelah barat dan utara pulau


Pari ........................................................................................................

31

Rata-rata pH di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ....

32

Rata-rata kandungan oksigen terlarut di lokasi budidaya sebelah


barat dan utara.pulau Pari ......................................................................

33

10 Rata-rata nitrat, nitrit dan amonia di lokasi budidaya sebelah


barat dan utara pulau Pari.......................................................................

35

11 Rata-rata kandungan total pospat dan ortho pospat di lokasi


budidaya sebelah barat dan utara pulau pari .........................................

36

12 Luka bekas gigitan ikan pada tanaman uji ..........................................

37

13 Kotoran dan algae penempel pada tanaman uji yang menghalangi


Penyerapan ............................................................................................

37

14 Sampah dan tumbuhan pengganggu di lokasi budidaya sebelah


barat dan utara pulau Pari ......................................................................

38

15 Pertumbuhan rumput laut minggu 1-4 dan minggu ke5-8 dilokasi


budidaya barat pulau Pari .....................................................................

40

17 Laju pengeroposan rumput laut tahap pertama (a) dan kedua (b)
di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari ..........................................

41

18 Permukaan thallus rumput laut yang kasar ...........................................

43

19 Rumput laut yang terkena penyakit di lokasi budidaya sebelah


barat dan utara pulau Pari ......................................................................

43

20 Beberapa cara terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice ..................

44

21 Pertumbuhan rumput laut normal di lokasi budidaya Halmahera


(Kusdi 2005) ..........................................................................................

45

22 Rata-rata kandungan karaginan di lokasi budidaya sebelah barat


dan utara pulau Pari ...............................................................................

50

6
7

23 Rata-rata kadar air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara


pulau Pari ..............................................................................................

51

24 Rata-rata kadar abu di lokasi budidaya sebelah barat dan


utara pulau Pari ......................................................................................

52

25 Hubungan kand ungan karaginan dengan waktu pengamatan


di lokasi Budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ..........................

54

26 Hubungan kandungan karaginan dengan waktu pengamatan


di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari ...........................................

55

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1

Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi budidaya


sebelah barat pulau Pari .........................................................................

64

Hasil Pengukuran Kualitas Air di Lokasi Budidaya Sebelah Utara


Pulau Pari ..............................................................................................

65

Hasil uji t terhadap parameter kualitas air di lokasi budidaya


sebelah barat dan utara pulau Pari periode April sampai Mei 2005 ....

66

Hasil pengukuran bobot basah K. alvarezii di lokasi budidaya


sebelah barat .........................................................................................

67

Hasil pengukuran bobot Basah K. alvarezii di lokasi budidaya


sebelah utarab .........................................................................................

68

Hasil uji t terhadap pertumbuhan, kandungan karaginan, kadar abu


dan kadar air di lokasi sebelah barat dan utara pulau Pari periode
April sampai Mei 2005 ..........................................................................

69

Laju pertumbuhan harian K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah


barat (a) dan utara (b) pulau Pari ...........................................................

70

Kandungan karaginan, kadar air dan kadar abu di lokasi


sebelah barat (a) dan utara (b) pulau Pari ..............................................

71

Hasil analisis komponen utama di lokasi budidaya sebelah barat


Pulau Pari ..............................................................................................

72

10 Hasil analisis komponen utama di lokasi budidaya sebelah utara


pulau Pari ...............................................................................................

73

11 Analysis of Variance hubungan pertumbuhan dan unsur hara


di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari .........................

74

12 Analysis of Variance hubungan karaginan dan Unsur hara


di lokasi budidaya barat dan utara pulau Pari .......................................

75

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rumput laut atau algae merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia
yang diandalkan untuk pemasukkan devisa negara. Komoditas ini memiliki nilai
ekonomis yang tinggi sebagai bahan makanan dan keperluan industri. Produksi
rumput laut untuk kebutuhan ekspor umumnya berasal dari algae merah
(Rhodophyceae).
Salah satu jenis rumput laut yang mempunyai potensi untuk dibudidayakan
di Indonesia adalah Kappaphycus alvarezii yang dulu dikenal sebagai Eucheuma
cottonii. Masyarakat pulau pari mengenal dan menyebut jenis rumput laut ini
dengan nama Eucheuma. Jenis ini menjadi komoditas ekspor karena permintaan
pasar sekitar 8 kali lebih banyak dari jenis lainnya (Sulistijo 2002). Bahkan
menurut Doty (1973) kebutuhan rumput laut jenis K. alvarezii adalah 10 kali lipat
dari persediaan alami di dunia.

K. alvarezii adalah jenis rumput laut yang

diperlukan untuk usaha industri karena kandungan kappa karaginannya sangat


diperlukan sebagai bahan stabilisator, bahan pengental, pembentuk jel, dan
pengemulsi (Winarno 1996).
Komoditas rumput laut K. alvarezii mempunyai prospek yang cerah dalam
perdagangan untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan
permintaan pasar dunia terhadap jenis ini memacu perkembangan budidaya.
Negara Filipina merupakan negara pertama yang dapat meningkatkan produksi
K. alvarezii melalui budidaya.

Perkembangan budidaya di Indonesia mulai

tampak dapat memenuhi permintaan pasar sejak tahun 1980 setelah keberhasilan
budidaya di perairan Selatan Bali (Nusa Penida) dan terus meluas hampir
keseluruh perairan Indonesia termasuk pulau Pari.
Rumput laut K. alvarezii dewasa ini sedang giat dikembangkan oleh
pemerintah melalui usaha budidaya karena selain dapat meningkatkan pendapatan
nelayan juga menjadi sumber devisa negara. Rumput laut yang dibudidayakan
bertujuan untuk meningkatkan hasil dalam jumlah yang cukup besar dan kontinyu
dengan kualitas yang baik terutama untuk kebutuhan ekspor.

Namun usaha

budidaya tersebut jika tidak ada pengelolaan yang baik dan tidak memperhatikan

kelestarian serta daya dukung lingkungan, maka dapat menurunkan kuantitas dan
kualitas hasil yang diperoleh.
Rumput laut yang dibudidayakan pada tahun 2000 mulai memperlihatkan
adanya kecenderungan penurunan hasil panen baik kuantitas maupun kualitas
dan

menjadi

permasalahan

sampai

sekarang.

Masalah

serius

yang

menimbulkan kerugian cukup besar dalam budidaya rumput laut di pulau Pari
adalah penyakit ice ice (bercak putih). Penyakit ice ice merupakan penyakit
yang timbul pada musim laut tenang dan arus lemah dan berlangsung selama
1-2 bulan, setelah itu areal dapat ditanami kembali bila kondisi lingkungan
sudah normal (Sulistijo 2002).

Namun apabila lahan ditanami terus tanpa

memperhatikan kondisi lingkungan, maka akan terjadi kerugian yang


berkelanjutan. Hal seperti ini terlihat di pulau Pari yakni para pembudidaya
terus menerus menggantikan tanaman yang rusak tanpa memperhatikan
kerugian dan kondisi kualitas lingkungan budidaya.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui pertumbuhan dan kandungan karaginan pada saat rumput laut
terkena penyakit ice ice.

Perumusan Masalah
Musim barat tahun 2005 usaha budidaya rumput laut K. alvarezii di pulau
Pari menghadapi masalah penurunan produksi dan kualitas yang tidak dapat
diterima oleh pasar.
Permasalahan tersebut terjadi karena kekeroposan thallus rumput laut.
Proses kekeroposan thallus yang merupakan ciri dari penyakit ice ice sangat
cepat, sehingga sebagian besar produk tidak dapat dipanen.
Sumber penyebab timbulnya penyakit ice ice yaitu penurunan kualitas
lingkungan perairan. Munurunnya kualitas lingkungan perairan di pulau Pari
menyebabkan penurunan produksi, namun diperkirakan beberapa lokasi masih
mampu menunjang perkembangan budidaya rumput laut tersebut.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan
pengkajian usaha budidaya rumput laut di lokasi budidaya sebelah barat yang
merupakan perairan terbuka (luar gobah) dan utara yang merupakan perairan

tertutup (gobah), apakah masih mampu menghasilkan produksi yang diharapkan.


Alur pikir pendekatan masalah disajikan pada gambar 1.

Tujuan dan Manfaat


Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pertumbuhan dan kandungan
karaginan dari rumput laut K. alvarezii pada kondisi terkena penyakit ice ice di
lokasi budidaya sebelah barat yang merupakan perairan terbuka (luar gobah) dan
utara yang merupakan perairan tertutup (gobah) pulau Pari.
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi dasar dalam upaya
penanggulangan penyakit ice ice untuk pengembangan budidaya rumput laut
K. alvarezii di masa yang akan datang.

Hipotesis
Produksi dan kualitas hasil budidaya rumput laut K. Alvarezii yang
dibudidayakan akan lebih baik di lokasi budidaya sebelah barat (luar gobah)
daripada di sebelah utara (gobah) pulau Pari walaupun terkena penyakit ice ice.

Unsur Hara

Intensitas

Produksi
Primer

Unsur
Hara

Laju
Pertumbuhan
Rumput Laut

Suhu
Keropos
Z<G

Rumput Laut
Oksigen
Intensitas
Serangan
Arus

Tingkat
perkembangan
bakteri

Biomassa

Bakteri
Ice ice

Gambar 1 Alur pikir pendekatan masalah.

Produksi
Rumput
Laut

TINJAUAN PUSTAKA

Rumput Laut K. alvarezii


Jenis dan habitat
Rumput laut K. alvarezii bila diklasifikasikan berdasarkan pigmentasi
termasuk jenis alga merah (Rhodophyceae). Ganggang merah yang hidup di laut
dan tergolong dalam Thallophyta ini tidak memperlihatkan perbedaan akar,
batang dan daun seperti tanaman tingkat tinggi. Keseluruhan tanaman merupakan
batang yang dikenal sebagai thallus. Berdasarkan pada bentuk dan anatomi serta
karakter biokimia, dimana derivat kappa carageenan yang lebih dominan dari pada
iota dan beta carageenan yang ditemukan oleh seorang ahli dari Filipina bernama
alvarez, maka nama ilmiah dari E. cottonii berubah menjadi K. alvareezii
(Atmadja et al. 1996 & Silva et al. 1996). Kappaphycus merupakan jenis rumput
laut yang banyak dicari untuk kepentingan industri makanan, obat - obatan dan
kosmetika di dunia karena mengandung zat karaginan yang merupakan bahan
campuran (additives).

Kadar karaginan dalam setiap species Kappaphycus

berkisar anatara 54%-73% sedangkan di Indonesia berkisar antara 61,5%-67,5%.


Sistimatika klasifikasi botani menurut Dawes (1981), Bold dan Wynne
(1985), Lewis et al. (1987) & Kadi dan Atmadja (1988) adalah sebagai berikut :
Devisi : Rhodophyta
Kelas

: Rhodophyceae

Ordo

: Gigartinales

Family
Genus

: Solieriaceae
: Kappaphycus

Species : Kappaphycus alvarezii


Ciri umum dari genus Kappaphycus : thallus atau kerangka tubuh bulat
silindris, berduri tidak teratur dan melingkari thalus, duri-duri pada thallus runcing
memanjang dan agak jarang, permukaan thallus licin, warna hijau kekuningan,
abu-abu dan merah. Tinggi tanaman dapat mencapai 40 cm, cabang tidak
beraturan tumbuh di bagian yang muda maupun yang tua dan diameter thallus
kearah ujung sedikit lebih kecil dibandingkan dengan pangkalnya (Doty, 1973).

Kappaphycus tumbuh pada daerah yang selalu terendam air (subtidal) atau
pada daerah surut (intertidal). Jenis ini sangat baik tumbuh pada daerah terumbu
karang (coral reef), sebab pada daerah inilah terdapat beberapa syarat untuk
pertumbuhan yaitu kedalaman perairan, cahaya, subsrat dan pergerakan air.
Selanjutnya Lobban dan Harison (1994) mengatakan bahwa alga tersebut tumbuh
dengan baik pada perairan terbuka dengan tingkat pergerakan arus yang tinggi. Di
alam bebas Kappaphycus tumbuh dan berkembang dengan baik pada salinitas
yang tinggi.

Komposisi kimia
Komposisi kimia rumput laut sebagian besar terdiri dari karbohidrat, juga
mengandung protein, lemak dan mineral (Hansen et al. 1981).

Karbohidrat

merupakan komponen terbesar, terutama sebagai dinding sel dan sebagai jaringan
intraseluler. Menurut Kuntoro (1985) dalam Suryaningrum (1988) rumput laut
mengandung air 12,95-27,50%, protein 1,60-10,00%, karbohidrat 32,25-63,2%,
lemak 4,50-11,00%, serat kasar 3,00-11,40% dan abu 11,50-23%. Komposisi
kimia menurut Soegiarto dan Sulistijo (1985) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia rumput laut K. alvareezii.
Komponen
Kadar air (%)
Protein (%)
Karbohidrat (%)
Lemak (%)
Serat kasar (%)
Abu (%)
Mineral Ca (ppm)
Mineral Fe (ppm)
Mineral Pb (ppm)
Thiamin (mg/100g)
Riboflavin (mg/100g)
Vitamin C (mg/100g)
Karaginan (%)

Kandungan (% berat kering)


13,90
2,67
0,27
5,70
0,90
17,09
29,92
0,12
0,04
0,14
2,70
12,00
61,52

Team Rumput Laut BPPT dan Pusat Pengembangan Teknologi Pangan IPB (Soegiarto dan Sulistijo, 1985).

Kandungan kimiawi rumput laut umumnya yang tertinggi adalah


karbohidrat sekitar 60-80%, mineral 10-14%, sedangkan lemak dan proteinnya

rendah hanya 1-2% saja. Selanjutnya dilaporkan juga kandungan vitamin seperti
vitamin A, B1, B2, B6, B12 dan C serta mengandung mineral seperti kalium,
kalsium, pospat, natrium, zat besi dan iodium (Araksi et al. 1984 dalam
Anggadireja et al. 1996). Rumput laut merupakan sumber koloid untuk agar-agar,
karaginan, algin, laminarin, fukoidin dll. Durant and Sanford (1970) membagi
koloid menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang bernilai ekonomis tinggi yaitu
agar-agar, karaginan, algin dan ekonomis rendah yaitu laminarin, fukoidin dan
lainnya. Menurut Wei and Chin (1983) secara kimia karaginan mirip dengan
agar-agar, hanya karaginan mempunyai kandungan abu tinggi dan memerlukan
konsentrasi tinggi untuk membentuk larutan kental. Selajutnya menurut Food
chemical codex USA (1974) dalam Suryaningrum (1988) membedakan agar-agar
dan karaginan berdasarkan kandungan sulfatnya dimana karaginan minimal
mengandung 18% sedangkan agar-agar hanya mengandung sulfat sekitar 3-4%.

Budidaya K. alvarezii
Usaha budidaya terhadap beberapa jenis rumput laut telah berhasil
dikembangkan di beberapa negara.

Di Indonesia baru jenis Eucheuma dan

Gracilaria saja yang dapat dibudidayakan. Percobaan budidaya rumput laut di


Indonesia pertama kali dilakukan oleh Soerjodinoto (1968) dari LON-LIPI
terhadap rumput laut jenis Eucheuma di perairan gugusan pulau Pari Kepulauan
Seribu (pulau Tikus) dengan menggunakan rakit dan substrat batu karang.
Kemudian sejak tahun 1974 LON-LIPI melanjutkan percobaan budidaya rumput
laut jenis Eucheuma di pulau Pari dengan mengikat bibit rumput laut pada tali
nilon dikerangka rakit bambu dan kerangka lepas dasar seperti yang telah
dilakukan di Philipina (Sulistijo 2002).
Kajian kriteria lokasi budidaya rumput laut dari segi kondisi tata letak dan
kualitas perairan sangat berperan dalam pencapaian hasil usaha budidaya rumput
laut. Indriani dan Sumiarsih (1999) mengatakan untuk memperoleh hasil yang
memuaskan dari usaha budidaya rumput laut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai
dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut sebagai berikut, (1) lokasi
budidaya harus bebas dari pengaruh angin topan, (2) tidak mengalami fluktuasi
salinitas yang besar, (3) mengandung makanan untuk pertumbuhan, (4) perairan

harus bebas dari predator dan pencemaran industri maupun rumah tangga, (5)
lokasi harus mudah dijangkau.
Secara rinci Atmadja et al.(1996) mengadakan klasifikasi penilaian lokasi
untuk budidaya hayati rumput laut K. alvareezii dengan kriteria baik dan cukup
baik (Tabel 2).
Tabel 2 Klasifikasi kriteria lokasi budidaya rumput laut K. alvareezii
Parameter
Keterlindungan
Arus (gerakan air)
Dasar perairan
pH
Kecerahan
Salinitas
Cemaran
Hewan herbivora
Kemudahan
Tenaga kerja

Kriteria baik
Terlindung
20 - 30 cm/detik
Pasir berbatu
7-9
Lebih dari 5 m
32 - 34 permil
Tidak ada
Tidak ada
Mudah dijangkau
Banyak

Kriteria cukup baik


Agak terlindung
30 - 40 cm/detik
Pasir berlumpur
6-9
3-5m
28 - 32 permil
Ada sedikit
Ikan dan bulu babi
Cukup mudah
Cukup

Sumber : Atmadja et al. (1996)

Selanjutnya dikatakan Sulistijo (1996) kondisi ekologis yang meliputi


parameter lingkungan fisika, kimia dan biologi sangat menentukan keberhasilan
usaha budidaya.
Parameter fisika antara lain : sarana budidaya dan tanaman terhindar dari
angin, dasar terdiri dari potongan karang mati bercampur dengan karang pasir,
kedalaman pada sistim tali rawe sekitar 200 cm, suhu berkisaran 27-30 oC,
kenaikan temptatur membuat rumput laut menjadi pucat kekuningan dan tidak
sehat, kondisi air jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 meter termasuk
cukup baik dan kecepatan arus yang baik adalah sekitar 20-30 cm/detik.
Parameter kimia antara lain : Salinitas berkisar antara 28-34 o/oo dengan
nilai optimum 32 o/oo, pH berkisar antara 6-9 dengan kisaran optimum adalah 7,5 8,0, sedangkan pH untuk Kappaphycus adalah 7 - 9 dengan kisaran optimum 7,3 8,2, kisaran nitrat 1,0 - 3,2 mg/l dan pospat antara 0,021 - 0,10 mg/l (Zatnika &
Angkasa 1994). Sementara hasil penelitian Ngangi et al. (1998) mendapatkan
pertumbuhan yang baik di desa Serey, Minahasa mempunyai kisaran nitrat 1,2 1,3 mg/l dan pospat 0,03 - 0,06 mg/l.

Parameter biologi antara lain rumput laut atau algae yang dibudidayakan
tidak terlepas dari pengaruh biologi perairan seperti hama dan penyakit. Salah
satu fungsi ekologi dari rumput laut dimana areal komonitas rumput laut dijadikan
spowning area dan nursery area oleh organisme laut yang dapat menjadi hama.
Hama rumput laut umumnya adalah organisme laut yang memangsa rumput laut
sehingga akan menimbulkan kerusakkan fisik terhadap thallus, dimana thallus
akan mudah terkelupas, patah ataupun habis dimakan hama.
Hama penyerang rumput laut dibagi menjadi dua menurut ukuran hama,
yaitu hama mikro merupakan organisme laut yang umumnya mempunyai panjang
kurang dari 2 cm dan hama makro yang terdapat dilokasi budidaya dan sudah
dalam bentuk ukuran besar atau dewasa. Hama mikro hidup menumpang pada
thallus rumput laut, misalnya larva bulu babi (Tripneustes sp.) yang bersifat
planktonik, melayang-layang di dalam air dan kemudian menempel pada tanaman
rumput laut. Beberapa hama makro yang sering dijumpai pada budidaya rumput
laut adalah ikan Beronang (Siganus sp.) bintang laut (Protoreaster nodosus), bulu
babi (Diademasetosum sp.), bulu babi duri pendek (Tripneustes sp.), Penyu Hijau
(Chelonia mydas), dan ikan Kerapu (Epinephellus sp.) (Ditjen Perikanan 2004).
Tumbuhan penempel dalam koloni yang cukup besar akan mengganggu
pertumbuhan rumput laut. Tumbuhan penempel tersebut antara lain adalah
Hipnea, Dictyota, Acanthopora, Laurensia, Padina, Amphiroa dan filamen seperti
Chaetomorpha, Lyngbya dan symploca (Atmadja dan Sulistijo 1977).

Metode budidaya
Metode yang akan digunakan tergantung pada kondisi lingkungan (lahan)
yang kita gunakan. Metode budidaya rumput laut dapat dilakukan dengan tiga
macam metode berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan yaitu :
(1) lepas dasar, (2) lepas dasar dan (3) metode rakit apung. Dari ketiga metode
tersebut yang sudah direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Perikanan (1997)
adalah metode lepas dasar dan metode rakit apung. Selanjutnya dikatakan metode
budidaya rumput laut jenis Eucheuma sp yang sudah memasyarakat di Indonesia
adalah :

10

1. Metode lepas dasar (off bottom method)


K. alvarezii yang ditanam dengan menggunakan metode lepas dasar biasanya
untuk dasar perairan karang berpasir tidak berlumpur tujuannya untuk
menancapkan patok atau pancang. Kedalaman air sekitar 30-50 cm pada
waktu surut terendah dan arus yang cukup baik. Bila ditinjau dari segi biaya
lebih murah dan kualitas rumput laut yang dihasilkan relatif baik tetapi
pertumbuhan tanaman lebih kecil.
2. Metode rakit apung
Metode ini menggunakan sebuah rakit apung dan agar rakit tidak hanyut
terbawa arus digunakan jangkar di dasar perairan. Secara teknis metode rakit
apung ini dianggap lebih aman, terutma dari ancaman kekeringan karena
pasang surut air laut. Soegiarto et al. (1978) mengatakan dengan metode rakit
apung tanaman cepat tumbuh dan akan menjadi sepuluh kali lipat dari berat
semula dalam waktu 4-6 minggu.

Di wilayah Kepulauan Seribu metode

apung dimodifikasi dengan menggunakan tali nylon sebagai pengganti bambu


sehingga dapat menghemat biaya untuk pembuatan kerangka rakit bambu.

Penyediaan bibit dan pemeliharaan


Hasil panenan budidaya rumput laut baik kualitas maupun kuantitas
ditentukan dari bibit yang digunakan, sehingga kegiatan penyediaan bibit dari
alam maupun dari hasil budidaya perlu direncanakan. Dalam penyediaan bibit
perlu diperhatikan sumber perolehan, cara penyimpanan dan pengangkutan bibit
serta mutu yang baik dan tersedia dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan
petani. Aslan (1998) mengatakan untuk keberhasilan budidaya Eucheuma perlu
diperhatikan kesehatan dari bibit tersebut dengan ciri-ciri bila dipegang terasa
elastis, bercabang yang banyak dengan ujungnya berwarna kuning kemerahmerahan dan mempunyai batang yang tebal. Dijelaskan lagi oleh Sulistijo (2002)
bahwa rumpun yang baik adalah yang bercabang banyak dan rimbun, tidak
terdapat penyakit bercak putih dan mulus tanpa ada cacat terkelupas.

Bibit

rumput laut yang terpilih tidak lebih dari 24 jam penyimpanan di tempat kering
dan harus terlindung dari sinar matahari juga cemaran (terutama minyak), tidak
boleh direndam air laut dalam wadah, penyimpanan yang baik adalah di laut

11

dalam jaring agar sirkulasi air terjaga sementara. Bibit yang diperoleh adalah
bagian ujung tanaman (jaringan muda) umumnya memberikan pertumbuhan yang
baik dan hasil panenan mengandung karaginan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan bibit dari sisa hasil panen atau tanaman tua (Indriani dan Sumiarsih 1999).
Saat yang baik untuk penebaran maupun penanaman bibit adalah pada saat
cuaca teduh (tidak mendung) dan yang paling baik adalah pagi hari atau sore hari
menjelang malam (Aslan 1998). Penanaman dengan sistem rakit ukuran 5 x 2 m
dengan jarak tanam 25 cm dibutuhkan bibit 8 kg sedangkan sistem tali rawe tiap
100 m tali rentang dengan jarak tanam 50 cm diperlukan bibit minimal 20 kg
(Sulistijo 2002). Selanjutnya dijelaskan bibit yang baik dan sehat pada lokasi
yang sesuai akan memberikan pertumbuhan yang baik, yang dapat diukur dengan
laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan 3-5% per hari selama waktu penanaman
memberikan indikasi pertumbuhan rumput laut yang baik.

Seminggu setelah

penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik
melalui pengawasan yang teratur dan kontinyu. Bila kondisi perairan kurang baik,
seperti ombak yang keras, angin serta suasana perairan yang dipengaruhi musim
hujan atau kemarau, maka perlu pengawasan 2-3 hari sekali, sedangkan hal lain
yang penting diperhatikan adalah menghadapi serangan predator dan penyakit
(Aslan 1998).

Masa pemeliharaan rumput laut sampai saat panen apabila

menggunakan metode lepas dasar berkisar antara 1,5-2,0 bulan dan bahwa
pemanenan dilakukan bila rumput laut telah nencapai sekitar 4 kali berat awal
(Kolang et al. 1996).

Pasca panen
Rumput laut dapat dipanen dengan dua cara yaitu secara parsial dan total.
Pemanenan rumput laut secara parsial dilakukan dengan cara memisahkan
cabang-cabang dari tanaman induknya dan selanjutnya digunakan kembali untuk
penanaman berikutnya. Sedangkan pemanenan secara total dengan cara
mengangkat semua rumpun tanaman secara keseluruhan dan kemudian tanaman
yang muda (thallus bagian ujung) dipilih kembali untuk dijadikan bibit dan bagian
pangkalnya dikeringan (Anonymous 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa cara
pertama lebih mudah, tetapi kecepatan tumbuh bibit yang berasal dari tanaman

12

induk lebih rendah dibandingkan dengan tanaman muda seperti pada pemanenan
total, kelebihan cara kedua selain kecepatan tumbuh bibit lebih tinggi juga
karaginan yang dikandungnya lebih tinggi.
Penanganan hasil panen yang tepat sangat penting karena pengaruh
langsung terhadap mutu dan harga penjualan di pasaran. Beberapa langkah yang
perlu dilakukan dalam proses pengeringan hasil panen adalah : (1) setelah
penimbangan berat basah kemudian ditebar untuk dikeringkan diatas para-para,
(2) setelah 2-3 hari rumput laut yang sudah cukup kering kemudian dicuci, (3)
pencucian dilakukan dengan air laut selama 5 menit, (4) dijemur kembali selama
0,5-1 hari, (5) selalu ditutupi pada malam hari atau pada saat hujan (6) Setelah
benar-benar kering dimasukkan ke dalam karung dan ditimbang, siap untuk
dipasarkan.

Penyakit Pada Tanaman Rumput Laut


Penyakit tumbuhan
Semangun (1996) menjelaskan penyakit tumbuhan bila ditinjau dari sudut
biologi adalah sebagai penyimpangan dari sifat normal yang menyebabkan bagian
tubuh tidak dapat melakukan kegiatan fisiologi yang biasa, sementara dari sudut
ekonomi penyakit adalah ketidak mampuan tumbuhan untuk memberikan hasil
yang cukup, baik kuantitas maupun kualitas.

Jasad renik (mikroba) tidak

langsung menjadi penyebab suatu penyakit, tapi keadaan luar telah melemahkan
tumbuhan lebih dulu, sehingga jasad dapat masuk atau juga oleh penyebabpenyebab yang bekerja terus menerus dalam waktu yang lama. Penyakit hanya
akan terjadi jika terdapat tumbuhan yang rentan, patogen yang virulen, dan
lingkungan yang sesuai. Penyakit tidak akan terjadi jika patogen yang virulen
bertemu dengn bagian tubuh yang rentan, tetapi lingkungan tidak mendukung.
Lingkungan seperti kelembaban, suhu, sinar matahari dan unsur hara sangat
mempengaruhi proses tersebut.
Pada kondisi yang mendukung, penyebab penyakit akan berkembang dan
mengadakan penetrasi masuk ke dalam jaringan membentuk toksin yang merusak
sel-sel tumbuhan.

Kondisi ini menyebabkan interaksi antara parasit dengan

tumbuhan inang yang disebut infeksi, tetapi sebaliknya jika parasit mengadakan

13

penetrasi pada badan tumbuhan yang tidak rentan, maka infeksi tidak akan terjadi.
Interaksi antara parasit dan tumbuhan inang terlihat dengan adanya gejala
penyakit dan biasanya gejala penyakit akan segera tampak setelah terjadinya
infeksi.

Penyakit ice ice


Penyakit pada tanaman rumput laut pertama kali diketahui pada thun 1974
di Filipina dengan gejala yang dilaporkan adanya bercak pada thallus yang
terinfeksi selanjutnya berwarna putih dan mati kemudian hancur. Penyakit ini
menyerang Eucheuma spp. terutama disebabkan oleh adanya perubahan
lingkungan arus, suhu, kecerahan, dll. di lokasi budidaya dan berjalan dalam
waktu yang cukup lama. Penyakit pada rumput laut ini terjadi di daerah-daerah
dengan kecerahan tinggi dan dikenal sebagai ice ice dengan gejala timbulnya
bercak-bercak pada sebagian thallus, lama kelamaan akan kehilangan warna
sampai menjadi putih dan terputus (Anonymous 2004). Bila dikaitkan dengan
penyakit tumbuhan, maka penyakit ice ice pada tanaman rumput laut terjadi
karena infeksi mikroba pada saat tanaman menjadi rentan. Kondisi ini disebabkan
karena adanya perubahan lingkungan yang ekstrim dan tidak dapat ditolirir,
sehingga tanaman menjadi lemah (tidak sehat).

Rumput laut yang terkena

penyakit ice ice ini sebelumnya memperlihatkan adanya gejala pertumbuhan yang
lambat, permukaan thallus menjadi kasar dan pucat.
Sebagaimana tentang

"Aging effect" pada rumput laut yang ditandai

dengan penurunan pertumbuhan per satuan waktu. Tanda - tanda ini nampak
sebulan atau beberapa waktu setelah penanaman yang ditandai dengan cabang
cabang tanaman sedikit, keseluruhan tanaman menjadi pucat dan permukaan
thallus menjadi kasar.

Bila keadaan ini terus berlanjut, maka akan terjadi

kekeroposan thallus sebagai ciri dari penyakit ice ice yang mengakibatkan
kegagalan panen. Bercak putih (ice ice) merupakan penyakit yang timbul pada
musim laut tenang dan arus lemah diikuti dengan musim panas yang dapat
merusak areal tanaman sampai mencapi 60-80% dan lamanya 1-2 bulan (Sulistijo
2002).

14

Infeksi mikroba penyebab penyakit ice ice sudah menjalar pada lokasi
perairan budidaya di pulau Pari, sehingga semua tanaman rumput laut yang
dibudidayakan di pulau Pari terkena penyakit ice ice dan menurunkan harga
dipasaran. Terjadinya penyakit dipengaruhi oleh berkembangnya jenis rumput
laut lain yang menempel atau epifit, ini didahului dengan rendahnya unsur hara
diperairan karena dengan berkembangnya rumput laut jenis lain akan
mengakibatkan penurunan unsur hara yang diperlukan oleh pertumbuhan
Kappaphycus (Direktorat Jederal Perikanan 1992). Sampai saat ini belum ada
metoda yang dapat diterapkan untuk mengendalikan penyakit ice ice tetapi untuk
mengurangi kerugian, maka tanaman harus dipanen sesegera mungkin kalau
penyakit telah berjangkit.

Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan

memonitor adanya perubahan-perubahan lingkungan, terutama pada saat


terjadinya perubahan lingkungan disamping itu dilakukan penurunan posisi
tanaman lebih dalam untuk mengurangi penetrasi cahaya sinar matahari
(Direktorat Jenderal Perikanan 2004).
Penelitian terhadap bakteri yang menyebabkan penyakit pada K.
alvarezii ini pernah dilakukan oleh Laboratorium mikrobiologi P2O - LIPI dan
hasilnya diduga ada 8 jenis bakteri yang menimbulkan penyakit ice ice, namun
patogenitas bakteri tersebut belum diketahui. Kemudian dilanjutkan dengan
penelitian uji patogenitas dari 8 jenis bakteri tersebut yang hasilnya
menunjukkan hanya 5 bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ice ice. Lima
bakteri tersebut adalah Pseudomonas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens.
Vibrio granii, Bacillus cereus dan Vibrio agarliquefaciens. Sementara bakteri
Pseudomonas gelatica,

Pseudomonas icthyodermis dan Bacillus megaterium

tidak memiliki patogenitas, sehingga tidak menyebabkan gejala penyakit ice


ice. Hasil uji patogenitas terhadap kelima bakteri tersebut dilanjutkan dan
ditemukan bakteri yang memiliki daya patogenitas tertinggi adalah Vibrio
agarliquefaciens (Nasution 2005). Sampai sekarang belum ditemukan cara
untuk membasmi penyakit ice-ice, namun upaya yang dilakukan adalah
berhenti menanam pada saat musim penyakit, sehingga dalam budidaya perlu
pemantauan lingkungan perairan dan memperhatikan musim dimana budidaya
harus dihentikan untuk sementara.

15

Karaginan Rumput Laut


Mutu rumput laut erat kaitannya dalam menentukan tingkat harga di
pasaran. Menurut Doty (1987) kualitas rumput laut di Indonesia masih rendah,
sehingga jumlah produksi yang dapat diterima masih terbatas karena rendahnya
kualitas rumput laut tersebut. Selanjutnya membagi kualitas rumput laut menjadi
2 golongan yaitu kualitas standar dan rendah. Kualitas standar apabila mempunyai
berat kering bersih 70% dan penyusutan karaginan rumput laut bersih 40% serta
kekuatan gelnya 1,00, sedangkan kualitas rendah apabila berat kering bersih
hanya 60%, penyusutan karaginan bersih 30% dan kekuatan gel 0,60. Pengolahan
Kappaphycus menjadi karaginan dalam skala besar, sampai sekarang baru bisa
ditangani oleh Amerika Serikat, Denmark dan Perancis sedangkan skala kecil oleh
Jepang, Spanyol, Korea, India dan Filipina Chapman and Chapman (1980).
Kandungan karaginan rumput laut jenis Eucheuma sp berkisar antara 54,0-72,8%
di Tanzania dan di Indonesia berkisar antara 61,5-67,5. Karaginan pertama kali
diekstrasi dari Chondrus crispus pada tahun 1844 oleh Schmidt, tetapi produk
secara komersial baru dimulai tahun 1973.

Mutu dan penggunaan karaginan


Standar mutu karaginan yang diakui, telah dikeluarkan oleh Fao (Food
Agriculture Organication), FCC (Food Chemical Codex) dan EEC (European
Economic Community) (Sanderson 1981). Karaginan merupakan hidrokoloid dari
rumput laut yang paling penting dalam produk pangan karena sifat karaginan yang
dapat berfungsi sebagai stabilisator, pengental, pembentuk gel, pengemulsi,
pengikat, pencegah kristalisassi dan penggumpal (Glickman 1983). Pada industri
pangan karaginan digunakan dalam industri susu, minuman , roti, kembang gula,
pengalengan, makanan diet, makanan bayi (Chapman and Chapman 1980). Di
luar bidang pangan karaginan banyak digunakan sebagai bahan pembantu dalam
industri kosmetik, pasta gigi, obat-obatan, keramik, tekstil, cat, penyegar ruangan
dan lain-lain (Guiseley et al. 1980).

16

Strutur kimia dan sifat-sifat karaginan


Menurut Reen (1986) kappa- karaginan dihasilkan oleh rumput laut
jenis E u c h e u m a c o t t o n i i , sedangkan iota-karaginan dihasilkan oleh
E u c h e u m a s p i n o s u m G u i s e l e y et al. (1980) membedakan struktur kappa
dan

lambda-karaginan

berdasarkan

kandungan

3,6-anhydrogalaktosa

dan

kandungan sulfat. Lebih lanjut Zabik and Aldrich (1968) menyatakan bahwa
lambda-karaginan mengandung sedikit 3,6-anhydrogalaktosa dan banyak sulfat.
Identifikasi jenis karaginan dilakukan dengan menggunakan sinar infra merah
untuk mengetahui gugus fungsional.

Identifikasi dilakukan dengan sidik jari

(finger print) yaitu dibandingkan dengan spektrum standar yang dibuat pada
kondisi yang sama dan identifikasi gugus fungsional dan mencocokkan dengan
tabel. Doty (1987) membedakan Kappa

dan iota-karaginan berdasarkan

kandungan sulfatnya pada kappa mengandung sulfat kurang dari 28%,


sedangkan pada iota lebih dari 30%.
Sifat-sifat karaginan meliputi kelarutan, viscositas, pembentukan gel,
dan reaksi karaginan dengan protein.

kelarutan karaginan di dalam air

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, adanya ion, tipe ion yang
berhubungan dengan polimer, adanya senyawa organik yang larut dalam air,
garam dan tipe ion (Tawle 1973).

Kappa-karaginan larut dalam larutan

garam natrium, iota-karaginan larut dalam air panas dan lambda-karaginan


larut dalam air dingin tanpa dipengaruhi adanya ion (Glickman 1964).
Menurut Smith et al. (1955) kelarutan karaginan dipengaruhi oleh adanya
gugus 3,6 anhydrogalaktosa dan gugus ester sulfat. Lambda karaginan tidak
mempunyai gugus 3,6-anhydrogalaktosa, sehingga larut dalam air dingin,
sedangkan kappa sebaliknya.

Semua karaginan larut dalam susu panas,

sedangkan dalam susu dingin lambda-karaginan mempunyai kelarutan yang


tinggi. Kelarutan pada susu ini disebabkan karena ketidak pekaan terhadap
ion kalium dan kalsium serta tingginya kandungan sulfat (Glickman 1969).
Gula-gula seperti misalnya sukrosa atau dektrose pada konsentrasi jenuh
menghambat kelarutan karaginan.

Kappa- dan lambda-karaginan larut

dalam larutan gula jenuh dalam keadaan panas, sedangkan iota-karaginan

17

sukar larut jika dibandingkan dengan kedua karaginan tersebut di atas


(Tawle 1973).

Kekentalan dan pembentukan gel


Larutan karaginan bersifat kental dan kekentalannya dipengaruhi
oleh konsentrasi, temperatur, tipe karaginan, berat molekul dan ion logam
yang ikut terlarut (Towle 1973). Selanjutnya dikatakan kekentalan
karaginan naik secara logaritmik jika konsentrasi larutan karaginan
meningkat,

sebaliknya

dengan

bertambahnya

temperatur

kekentalan

karaginan semakin berkurang dan perubahan ini bersifat eksponensial.


Perubahan tersebut akan bersifat reversible apabila pemanasan dilakukan
pada kondosi optimum kestabilan karaginan yaitu pH 9 dengan pemanasan
tidak terlalu lama.

Karaginan dapat membentuk gel secara reversible,

artinya membentuk gel pada saat pendinginan dan mencair kembali jika
dipanaskan.
Menurut Rees (1969) pembentukan gel pada karaginan disebabkan
terjadinya perubahan susunan molekul yaitu perubahan bentuk molekul
koloid karaginan yang lurus menjadi bentuk tiga dimensi. Kondisi gel pada
karaginan dapat bervariasi dari keras, rapuh, lunak dan elastis. Tekstur ini
tergantung beberapa variabel antara lain sifat karaginan, konsentrasi, tipe ion
yang ada, adanya larutan lain dan adanya hidrokoloid lain yang tidak
membeku (Towle 1973).

Menurut Sharma (1981) pembentukan gel pada

karaginan dipengaruhi oleh adanya ion logam. Kappa dan iota- karaginan
tidak membentuk gel dengan ion Na, tetapi dengan ion kalium, calsium dan
amonium. Kappa-karaginan dengan ion kalium membentuk gel yang kaku,
sedangkan ion-karaginan membentuk gel yang elastis dengan adanya ion
calsium (Guiseley et al. 1980).

18

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di kawasan budidaya pulau Pari Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Gambar 2).

Lokasi

penelitian yang dipakai untuk penanaman rumput laut K. alvarezii yaitu lokasi
budidaya barat (luar gobah) dan lokasi budidaya utara (gobah) pulau Pari.
Penelitian mulai dari minggu pertama bulan Mei sampai dengan akhir bulan Juni
2005 untuk pengumpulan data lapangan dan dilanjutkan dengan analisis
laboratorium selama 1 bulan.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian pulau Pari Kepulauan Seribu.

19

Metode Pemeliharaan
Metode yang digunakan adalah metode rakit apung. Metode rakit apung
adalah penanaman yang dilakukan di permukaan air dengan menggunakan rakit
yang mengikuti gerakan naik turunnya air. Metode ini digunakan pada dasar
perairan yang keras, karena sukar untuk menancapkan pancang. Keuntungan dari
metode ini adalah pemangsaan oleh biota dasar dapat dikurangi karena tanaman
berada di atas jangkauan predator dan pencahayaan yang diterima lebih besar
untuk proses metabolisme dan pertumbuhan tanaman lebih baik.

Disain rakit
Penelitian ini menggunakan 10 buah rakit, berukuran masing - masing 120
x 120 cm dari bahan bambu sebagai kerangka tempat penanaman rumput laut.
Penghubung antar bambu digunakan tali nilon Polyethylen (P.E). Bahan-bahan
yang digunakan adalah potongan bambu berdiameter 10 cm yang dirangkai
dengan menggunakan tali nilon berdiameter 8 mm. Tali nilon berdiameter 4 mm
dianyam (tali ris) pada rakit dengan jarak anyam 30 cm. Pelampung botol plastik
dipasang pada ke empat sudut rakit sebagai penahan di permukaan, jerigen atau
gabus dengan bendera sebagai pelampung induk dipasang pada saat penebaran
dan pemberat (jangkar) dipasang pada tiap rakit dengan menggunakan tali nilon
berdiameter 9 mm (Gambar 3).
Rumput laut yang dijadikan benih adalah bagian ujung tallus (yang masih
muda) dari lokasi budidaya pulau Tikus yang ditimbang dengan bobot masingmasing ikatan 125 g dan diikat pada anyaman tali ris dengan bantuan tali rafia.
Tiap rakit diperlukan 16 ikatan bibit rumput laut (2 kg), sehingga total bobot bibit
yang diperlukan untuk penanaman pada 10 buah rakit adalah 20 kg rumput laut K.
alvareezii. Disain rakit dan pengikatan benih rumput laut dilakukan di darat.

Penanaman benih
Sepuluh buah rakit ditebar pada kedalaman 30 cm di bawah permukaan air
yaitu 5 buah rakit di lokasi budidaya sebelah barat dan 5 buah rakit di lokasi
budidaya sebelah utara pada kedalaman laut 4 - 6 meter. Hasil yang diperoleh
diharapkan dapat diketahui parameter yang mempengaruhi pertumbuhan dan

20

kandungan karaginan dari dua lokasi yang berbeda saat rumput laut terkena
penyakit ice ice sebagai imformasi untuk pengembangan budidaya rumput laut
K. alvarezii selanjutnya.

Gambar 3 Disain rakit dan pemasangan bibit rumput laut.


Pengamatan Lingkungan Perairan
Pengamatan lingkungan perairan dilakukan setiap minggu pada siang hari
pukul 11.30 WIB bersamaan dengan pengamatan tanaman uji.

Pengamatan

dilakukan sebanyak 8 kali selama penelitian. Parameter lingkungan perairan yang


diamati meliputi parameter fisika, kimia dan biologi.

Parameter fisika yang

diamati adalah suhu, arus, kecerahan yang diukur langsung di lapangan (in situ).
Suhu

diukur

dengan

menggunakan

thermometer,

arus

diukur

dengan

menggunakan stopwacth gabus dan tali, kecerahan diukur dengan menggunakan


Secchidisc. Parameter kimia yang diamati adalah salinitas oksigen terlarut (DO),
pH, nitrat, nitrit, amonia, total pospat dan ortho pospat. Salinitas diukur dengan
menggunakan hand refraktometer, DO diukur dengan menggunakan titrasi (in
situ), pH diukur dengan menggunakan pH meter dan, nitrat, nitrit, amonia, total
pospat dan ortho pospat diukur dengan menggunakan Spektrofotometer.

21

Pengambilan air contoh untuk pengamatan pH, nitrat, nitrit, amonia, total pospat
dan ortho pospat dengan menggunakan botol plastik berwarna putih berukuran
250 ml. Sebelum dianalisis air contoh terlebih dulu disimpan pada suhu rendah
dalam peti es. Selajutnya air contoh di bawa ke laboratorium Produktivitas dan
Lingkungan Perairan (ProLing) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Waktu perjalanan dari lokasi penelitian ke laboratorium Proling kurang lebih 7
jam.
Parameter biologi berupa biota pengganggu dan sampah diamati secara
visual. Pengukuran parameter lingkungan fisika, kimia dan biologi dirincikan
pada Tebel 3.
Tabel 3 Parameter, alat dan satuan pengukuran
Parameter
FISIKA
Suhu
Kecepatan arus
Kecerahan
KIMIA
Oksigen terlarut
Salinitas
pH
NO2-N
NH3-N
Total pospat
Ortho pospat
BIOLOGI
Biota pengganggu
Sampah

Alat

Satuan

Termometer
Tali benda terapung
dan stopwatch
Secchi disc, dan tali

Botol BOD
Hand refraktometer
pH meter
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Spektrofotometer

mg/l
0
/00

cm/detik
M

mg/l
mg/l
mg/l
mg/l

(visual)
(visual)

Teknik Pengamatan
Karakteristik pertumbuhan diamati dengan penimbangan bobot tanaman
satu ikatan untuk mengetahui pertambahan bobot. Pengamatan terhadap tanaman
dilakukan sekali setiap minggu pada kedua lokasi budidaya bersamaan dengan
pengukuran parameter lingkungan sampai minggu kedelapan (hari tanam kelima
puluh enam). Air contoh diambil pada kedua lokasi budidaya masing-masing 5
titik sampel di permukaan air dekat rakit rumput laut. Pengukuran bobot tanaman
menggunakan alat timbangan plastik 2 kg dengan ketelitian 0,1 g. Setiap rakit

22

diambil sampel sebanyak 2 ikat secara acak, sehingga tiap lokasi penanaman
diambil 10 ikatan rumput laut untuk pemantauan pertumbuhan. Pengambilan
sampel dengan memanen total yaitu mengangkat dua ikatan tanaman pada
masing-masing rakit dan ditimbang sebagai data bobot basah kemudian dilakukan
penjemuran + 3 hari. Agar hasilnya berkualitas tinggi rumput laut dijemur di atas
para-para dan tidak boleh ditumpuk. Rumput laut yang akan diambil karaginannya
tidak boleh terkena air tawar (dapat merusaknya) karena air tawar akan melarutkan
karaginan.

Rumput laut yang telah kering ditimbang dengan menggunakan

timbangan digital untuk mendapatkan data bobot kering (bobot kering angin).

Kualitas Rumput Laut


Kualitas rumput laut yang diamati meliputi kandungan karaginan, kadar air
dan abu. Sampel rumput laut yang telah dikeringkan dengan penjemuran pada sinar
matahari di bawah ke Laboratorium untuk dianalisis. Pada penelitian ini sampel
dianalisis di Laboratorium Kimia Pusat Pengembangan Teknologi Pangan Institut
Pertanian Bogor.
Penentuan konsentrasi karaginan rumput laut dinyatakan dalam persentase
bobot karaginan terhadap bobot kering rumput laut mengikuti metode Ainswort dan
Blanshard (1980) dan Furia (1981). Prosedur analisis sebagai berikut :
Algae K. alvareezii dicuci dan dibersihkan dari pasir, kotoran dan bahanbahan asing lainnya. Algae dikeringkan dalam oven pada suhu 100 C selama 2
jam, setelah kering diblender hingga halus kemudian diayak untuk memisahkan
bagian yang kasar dan yang halus (Gambar 4). Tepung yang dihasilkan diambil 1
g untuk direbus (diekstraksi) dengan air panas (85 - 95 C) dalam suasana agak
basa dengan pH 8 - 9 selama 4 jam. Ekstrasi alga kemudian disaring melalui
penyaring selulosa dalam kertas saring berlipat. Hasil yang diperoleh kemudian
dipekatkan dengan cara pemanasan menjadi 50 ml. Isopropanol ditambahkan (
15 ml) dan dibiarkan semalam. Hasil ekstrak ini kemudian disaring dengan kain
putih tipis lalu tambahkan isopropanol 96% ( 15 ml) kemudian dimasukkan
kedalam wadah kecil yang telah ditimbang sebelumnya. Selanjutnya dikeringkan
dalam oven pada suhu 100 C selama 2 jam, lalu ditimbang dengan menggunakan

23

timbangan analitik. Berat hasil penimbangan dikurangi dengan berat wadah pada
waktu kosong, maka di peroleh berat karaginan bersih (g).

Gambar 4 Bagan alir analisis karaginan.


Berat kering angin adalah bobot produk rumput laut setelah dikeringkan
dengan penjemuran pada sinar matahari. Kadar air dari rumput laut kering angin
dianalisis untuk penentuan kadar air yang dilakukan dengan pengeringan dalam
oven selama 12 jam dengan suhu 100 C. Penentuan kadar abu dilakukan dengan
proses pembakaran dari rumput laut kering angin dengan menggunakan alat oven
pada suhu 600 C selama 1 hari.

24

Analisis Data
1 Analisis pertumbuhan akan dilihat secara partumbuhan parsial yaitu
pertumbuhan yang dilihat antar waktu yang dinyatakan menurut (Affandi et al.
2002) dengan rumus sebagai berikut :
a. Pertumbuhan mutlak = Wt1 Wt0
b. Pertumbuhan relatif

Wt 1 Wt 0
x 100%
Wt 0

Dimana : Wt = Pertumbuhan pada waktu t


Wt0 = Pertumbuhan pada waktu awal
2 Analisis kualitas rumput laut meliputi kandungan karaginan, kadar air dan
kadar abu. Untuk mendapatkan persentase karaginan dihitung menurut
(Ainsworth and Blanshard 1980) dengan rumus sebagai berikut :
berat karaginan
x 100%
berat sampel algae

Karaginan =

Untuk mendapatkan presentase kadar air dan kadar abu dihitung menurut
(Patadjai 1993) dengan rumus sebagai berikut:

Kadar air =

kehilangan bobot
x 100%
berat contoh

Kadar abu =

Bobot abu
x 100%
berat contoh

Hasil olahan data disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.


3 Untuk melihat perbedaan parameter di lokasi budidaya sebelah barat dan utara
dilakukan uji beda dengan menggunakan uji t student (Bengen 2000).
Hipotesis
Ho = tidak terdapat perbedaan nyata antara lokasi barat dan utara
H1 = terdapat perbedaan nyata antara lokasi barat dan utara
Rumus t - hitung sebagai berikut :

dimana, x 1 = rata-rata contoh 1, x 2 = rata-rata contoh 2,


s1 = simpangan baku contoh 1, s2 = simpangan baku contoh 2

25

Kaidah keputusan :
t hit < ttab ( = 0,05), n1+ n2-2, terima Ho
t hit > ttab ( = 0,05), n1+ n2-2, tolak Ho
4 Untuk melihat karakterisrik kedua lokasi budidaya digunakan analisis PCA
dengan menggunakan sover EXTAT versi 06.
5

Untuk analisis hubungan pertumbuhan dan karaginan dengan unsur hara


menggunakan analisis regresi ganda. Hasil analisis diuji dengan analisis ragam
(Anova) untuk melihat beda nyata pada taraf (P<0,05) dengan bantuan
program komputer Statistical Software Minitab versi 13.

Untuk analisis hubungan kandungan karaginan dengan waktu pengamatan


digunakan regresi kuadratik dan linear.

26

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Wilayah Penelitian


Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan daerah tingkat II di
Propinsi DKI Jakarta yang baru dibentuk melalui UU No. 34 tahun1999 dan PP
No. 55 tahun 2001. Wilayah kepulauan Seribu adalah sebuah kecamatan yang
ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten Administratif dengan 2 kecamatan dan
6 kelurahan. Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau kecil di perairan
laut sebelah utara DKI Jakarta. Luas Kepulauan Seribu (daratan dan perairan)
6 997,50 km2 sekitar 10 kali luas daratan Propinsi DKI Jakarta dengan luas 864,59
ha dan jumlah pulau sebanyak 110 buah.
Keadaan angin di Kepulauan Seribu terbagi menjadi angin musim barat
(Desember-Maret) dan angin musim timur (Juni-September). Musim pancaroba
terjadi pada April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim
barat bervariasi antara 7-20 knot bertiup dari barat laut dan musim timur
kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot bertiup dari timur laut. Musim hujan
biasanya terjadi antara bulan Nopember - April dengan hari hujan rata-rata 20
hari/bulan dan curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari. Musim kemarau
berlangsung antara bulan Mei-Oktober yang kadang-kadang masih terdapat hujan
antara 4-10 hari per bulan dan curah hujan terkecil terjadi pada bulan Agustus.
Laju pertambahan penduduk rata-rata 2,92% per tahun dengan laju pertumbuhan
pada periode 1998-1999 cukup tinggi yaitu 5,65%.

Pertambahan penduduk

dibeberapa pulau diantaranya pulau Pari cukup tinggi karena didorong oleh
aktivitas perekonomian (Bapeda DKI 2001).
Dalam pembagian kelurahan, pulau Pari termasuk kecamatan Kepulauan
Seribu selatan yang terdiri dari 10 buah pulau. Lokasi penelitian berada pada
pulau Pari sekitar 35 km ( 3,5-5 jam ) dari Jakarta. Transportasi laut yang
terdekat adalah melalui Rawasaban (Tangerang) 1,5-2 jam perjalanan
menggunakan kapal motor.

Pada musim barat dan musim timur terjadi

pergerakan arus dari timur ke barat, sehingga membawa banyak kotoran (sampahsampah) dari darat yang membahayakan kelangsungan organisme perairan.
Penelitian tentang karang diperoleh hasil bahwa sebagian karang mengalami stress

27

akibat kondisi perairan yang kurang mendukung bersamaan dengan kematian


masal algae laut yang menjadi sumber penghasilan utama nelayan pulau Pari
(Johan 2001). Perairan yang bersifat open access terjadi dalam penentuan lokasi
budidaya rumput laut yang dilakukan dengan cara mematok sendiri oleh petani.
Kondisi ini mengakibatkan semakin padat lahan budidaya, sehingga banyak
sampah yang masuk dan tertahan pada lahan maupun tanaman budidaya. Akibat
dari padatnya lokasi perairan dengan tanaman rumput laut, sehingga jalur
transportasi keluar masuk pulau Pari pun mengalami kesulitan.
Jumlah pembudidaya dan produksi pada tahun 1997 berjumlah 164 orang
dengan produksi 642 ton, sedangkan tahun 1998 jumlah pembudidaya 876 orang
dengan produksi 3.432 ton. Beberapa tahun ini rumput laut K. alvarezii
merupakan sumber penghasilan utama dari masyarakat kepulauan Seribu mulai
memperlihatkan infeksi penyakit yang cukup serius terutama di pulau Pari,
sehingga kegiatan budidaya mulai terhenti. Kondisi ini perlu diperhatikan untuk
pengembangan budidaya rumput laut dimasa yang akan datang, sehingga
budidaya rumput laut K. Alvarezii di pulau Pari dapat
berkesinambungan.

dilakukan secara

28

Kondisi Lingkungan Perairan


Kehidupan rumput laut atau algae dalam kehidupannya tidak terlepas dari
pengaruh faktor dalam maupun faktor dari luar. Gambaran tentang biofisik air laut
penting diketahui karena dapat mempengaruhi perkembangan rumput laut. Faktor
luar yang mempengaruhi perkembangan rumput laut adalah faktor fisika, kimia
dan biologi perairan.
Hasil pengukuran dan pemantauan parameter kualitas air di lokasi
budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari selama penelitian dan parameter ideal
dirincikan pada Tabel 4 dan Lampiran 1 & 2.
Tabel 4 Perbandingan parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah
barat dan utara pulau Pari dengan parameter ideal.

Parameter

Satuan

Barat

Utara

Ideal

Sumber Pustaka

Arus

cm/dtk

2,50-5,56

1,62-2,14

20 - 30

Kecerahan

2,25-2,52

2,15-2,25

1,5 - 5

Suhu

27-30

30-31

27 - 29

8,0-8,4

7,1-7,4

7-9

Salinitas

ppm

31,2-32,8

31,3-32,5

32 34

Oksigen
terlarut
Nitrat

mg/l

3,96-6,96

3,90-4,86

4,8 - 6,2

Atmadja et al.
(1996)
Direktorat Jenderal
Perikanan (1997)
Mubarak dan
Wahyuni (1981)
Zatnika
(1988)
Atmadja et al.
(1996)
Zatnika (1988)

mg/l
mg/l

0,1097 0,1114
0,00410,0054

1,0 - 3,2

Orthopospat

0,152 0,272
0,0060 0,0080

pH

0,021 0,10

Zatnika &
Angkasa, 1994)
Zatnika &
Angkasa (1994)

Faktor fisika
Arus
Kecepatan arus merupakan faktor penentu lama waktu keberadaan
substansi gas, unsur hara terlarut dan padatan partikel berada pada suatu habitat
dan kolom air. Kecepatan arus secara tidak langsung menjadi penentu suplai unsur
hara, pembersih / pengangkut padatan partikel yang dapat menempel pada rumput
laut dan mengatasi kenaikan tempratur air laut yang tajam.

29

Kecepatan arus di lokasi barat berkisar antara 2,50-5,56 cm/det dengan ratarata 4,5 cm/det dan standar deviasi 1,20, sedangkan lokasi budidaya utara
kecepatan arus berkisar antara 1,62-2,14 cm/det dengan rata-rata 1,88 cm/det dan
standar deviasi 0,179. kecepatan arus di lokasi barat mulai minggu kesatu sampai
minggu keempat hampir sama dengan kecepatan arus + 5 cm/det kemudian
menurun sampai minggu kedelapan. Kecepatan arus di lokasi utara dari minggu
kesatu sampai minggu kedelapan terus terjadi penurunan yaitu dari 2,10 cm/det

Kec Arus (cm/det)

menjadi 1,66 cm/det (Gambar 5 Lampiran 1 & 2).

Barat
Utara

7
6
5
4
3
2
1
0
0

Waktu pengamatan (minggu)

Gambar 5 Rata-rata kecepatan arus di lokasi budidaya sebelah


barat dan utara pulau Pari.
Secara statistik kecepatan arus di kedua lokasi berbeda sangat nyata.
(Lampiran 3). Kondisi arus di kedua lokasi budidaya selama pemeliharaan tidak
memenuhi kriteria budidaya, sehingga kondisi rumput laut berada pada kondisi
tidak sehat. Menurut Admadja et al. (1996) kecepatan arus yang baik untuk
budidaya K. alvarezii adalah 20-30 cm/det. Kondisi arus di kedua lokasi tidak
memenuhi kriteria lahan budidaya, namun lokasi budidaya di sebelah barat lebih
baik dari lokasi budidaya sebelah utara.

Kecerahan
Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor penting untuk
pertumbuhan algae, sebab rendahnya kecerahan mengakibatkan cahaya matahari
yang masuk ke dalam perairan berkurang. Intensitas sinar yang diterima secara
sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis, tetapi

30

sebaliknya adanya cahaya matahari yang berlebihan mengakibatkan tanaman


menjadi putih, karena hilangnya protein. Kecerahan di lokasi budidaya barat
berkisar antara 2,25-2,52 m dengan rata-rata 2,34 m dan standar deviasi 0,102,
sedangkan di lokasi budidaya utara berkisar antara 2,15-2,25 m dengan rata-rata
2,23 m dan standar deviasi 0,035 (Gambar 6 Lampiran 1 & 2).

barat
Utara

Kecerahan (m)

1
0

w aktu pengamatan (minggu)

Gambar 6 Rata-rata kecerahan di lokasi budidaya sebelah


barat dan utara pulau Pari
Kecerahan perairan di lokasi barat dan utara secara statistik berbeda sangat
nyata (Lampiran 3), dimana kecerahan tertinggi di lokasi budidaya barat.
Kecerahan pada lokasi barat dari minggu kesatu sampai minggu kelima
berfluktuasi kemudian stabil.

Kecerahan di lokasi utara dari minggu kesatu

sampai minggu kedelapan dapat dikatakan stabil. Tingkat kecerahan di kedua


lokasi masih di atas 1,5 m dan bila dibandingkan dengan kriteria kesesuaian lahan
budidaya, maka tergolong cukup baik. Berdasarkan pemantauan, lokasi budidaya
barat tergolong lebih baik dari lokasi utara karena masih terdapat kondisi air yang
jernih. Hal ini didukung oleh Direktorat Jenderal Perikanan (1997) bahwa kondisi
air yang jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 m cukup baik bagi
pertumbuhan rumput laut dan yang terbaik adalah 5 m ke atas.

Suhu
Rumput laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim
pada rumput laut yang tidak dapat berfungsi pada suhu yang terlalu dingin
maupun terlalu panas Dawes (1981). Suhu perairan mempengaruhi laju

31

fotosintesis dan dapat merusak enzim serta membran sel yang bersifat labil
terhadap suhu yang tinggi. Pada suhu yang rendah, membran protein dan lemak
dapat mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal didalam sel,
sehingga mempengaruhi kehidupan rumput laut, seperti kehilangan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, fotosintesis dan respieasi (Laning,
1990).
Kisaran suhu di lokasi budidaya sebelah barat berkisar antara 27-30 C
dengan rata-rata 28,6 C dan standar deviasi 1,59, sedangkan suhu di lokasi utara
berkisar antara 30-31 C dengan rata-rata 30,2 C dan standar deviasi 0,67
(Gambar 7 Lampiran 1 & 2).

Barat
utara

34

Suhu ( oC)

33
32
31
30
29
28
27
26
0

2
3
4
5
6
7
Waktu pengamatan (minggu)

Gambar 7 Rata-rata suhu perairan di lokasi budidaya


sebelah barat dan utara pulau Pari
Secara statistik suhu di kedua lokasi budidaya berbeda sangat nyata
(Lampiran 3). Suhu di lokasi barat pada minggu kesatu sampai minggu kelima
berkisar antara 27 - 28 C dan meningkat pada minggu keenam sampai minggu
kedelapan menjadi 30 C. Suhu di lokasi utara pada minggu kesatu sampai
minggu kedelapan mempunyai kisaran suhu yang tinggi yaitu 30 - 31 C. Kisaran
suhu di lokasi barat masih cukup baik bagi peruntukan budidaya Eucheuma
dengan kisaran. Hal ini didukung oleh Mubarak dan Wahyuni (1981) bahwa
kisaran suhu antara 27-29 C memberikan laju pertumbuhan Eucheuma, rata-rata
di atas 5%. Kisaran suhu di lokasi utara yang cukup tinggi antara 30-31 C sangat
berpengaruh terhadap perkembangan tanaman uji.

Perbedaan suhu di kedua

lokasi diduga karena letak lokasi dimana lokasi barat agak terbuka yaitu

32

berhadapan dengan laut lepas. Sementara di lokasi utara (gobah) agak tertutup
karena terhalang oleh pulau, sehingga lokasi barat lebih baik daripada lokasi utara.
Hal ini didukung oleh Nontji (1993) bahwa di gobah (lagoon) yang terperangkap
dijumpai suhu yang panas dan apabila air surut pada siang hari kadang-kadang
bisa mencapai 35 C. Suhu perairan yang tinggi akan mengakibatkan thallus
rumput laut pucat kekuning- kuningan yang menyebabkan rumput laut tidak sehat
dan inilah salah satu kondisi bisa terinfeksi bakteri ice ice (Sulistijo 1996).

Faktor kimia
pH
pH merupakan faktor penting dalam kehidupan rumput laut diantara
faktor-faktor lingkungan lainnya. Setiap organisme mempunyai toleransi tertentu
terhadap pH, sama halnya dengan rumput laut yang memerlukan kondisi pH
perairan yang khas untuk kehidupannya. Nilai pH di lokasi barat berkisar antara
8,0-8,4 dengan rata-rata 8,2, dan standar deviasi 0,1455, sedangkan di lokasi utara
berkisar antara 7,1-7,4 dengan rata-rata 7,3 dan standar deviasi 0,0807 (Gambar 8
Lampiran 1 & 2). Kadar pH selama masa pemeliharaan di kedua lokasi budidaya
tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman uji. Menurut Chapman (1962) hampir
seluruh algae menyukai kisaran pH 6,8-9,6, sehingga pH bukanlah masalah bagi
pertumbuhannya. pH yang baik bagi kehidupan dan pertumbuhan Eucheuma sp.
berkisar antara 7-9 dengan kisaran optimum 7,3-8,2. (Zatnika 1988).
Barat
utara

pH

8
7
6
0

Waktu pengamatan (minggu)

Gambar 8 Rata-rata pH di lokasi budidaya sebelah barat


dan utara pulau Pari.

33

Oksigen terlarut
Oksigen dihasillkan dari tanaman rumput laut dan menjadi kelanjutan
kehidupan biota perairan karena dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air,
termasuk bakteri untuk respirasi. Fitoplankton juga membantu menambah jumlah
kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari sebagai hasil
dari proses fotosintesis. Proses pertukaran oksigen antara udara dan laut
dipengaruhi oleh difusi, pergantian air yang ada

di permukaan

dan oleh

gelembung udara yang terjadi pada saat turbulensi (Sijabat 1973 in Kusdi 2005).
Kandungan oksigen terlarut di lokasi budidaya barat berkisar antara 3,966,96 mg/l dengan rata-rata 5,59 mg/l dan standar deviasi 0,10, sedangkan di lokasi
budidaya sebelah utara kisaran oksigen terlarut antara 3,90-4,86 mg/l dengan ratarata 4,63 mg/l dan standar deviasi 0,03 (Gambar 9 Lampiran 1 & 2). Perbedaan
kandungan oksigen kedua lokasi tersebut secara statistik berbeda nyata. Oksigen
terlarut di lokasi barat dari minggu kesatu sampai minggu keempat berkisar antara
6,52-6,78 mg/l kemudian menurun pada minggu kelima sampai minggu kedelapan
dengan kisaran 3,96-4,5 mg/l. Kandungan oksigen terlarut di lokasi utara pada
minggu kesatu sampai minggu kedelapan tidak ada perbedaan yang menyolok dari
rata-rata 4,6 mg/l. Perbedaan oksigen pada kedua lokasi budidaya ini diduga
karena gerakan air di lokasi utara sangat rendah, sehingga lokasi budidaya barat
masih lebih baik. Hal ini diacu dengan pernyataan Zatnika (1988) bahwa oksigen
terlarut untuk lahan budidaya berkisar antara 4,8 - 6,2 mg/l (Tabel 4).

Barat
Utara

O ksigen terlarut (mg/l)

8
7
6
5
4
3
2
1
0
0

Waktu pengamatan (minggu)

Gambar 9 Rata-rata kandungan oksigen terlarut di lokasi budidaya


sebelah barat dan utara pulau Pari.

34

Peranan unsur hara


Unsur hara (N dan P) diperlukan diperlukan rumput laut untuk pertmbuhan,
reproduksi dan pembentukan cadangan makanan berupa kandungan zat-zat
organik seperti karbohidrat, protein dan lemak. Masuknya unsur hara ke dalam
jaringan tubuh rumput laut melalui proses difusi pada seluruh bagian permukaan
tubuh rumput laut. Bila difusi makin banyak akan mempercepat proses
metabolisme, sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan. Apabila perairan
mengalami kekurangan unsur hara, maka akan mengakibatkan pertumbuhan
rumput laut lambat dan tidak sehat.

Hal ini sangat nampak pada kegiatan

budidaya di perairan pulau Pari.

Nitrogen
NO3-, NO2- dan NH3
Konsentrasi nitrat, nitrit dan amonia di lokasi budidaya barat berturut-turut
berkisar antara 0,152-0,272 mg/l dengan rata-rata 0,1998, nitrit 0,0102-0,0113
mg/l dengan rata - rata 0,0105 dan amonia 0,1706-0,1821 mg/l dengan rata-rata
0,1772 mg/l, sedangkan lokasi budidaya utara berkisar antara 0,1097-0,1114 mg/l
dengan rata-rata 0,1105 mg/l, nitrit 0,0108-0,0110 mg/l dengan rata-rata 0,0109,
dan amonia 0,1714-0,1814 mg/l dengan rata-rata 0,1802. Konsentarasi nitrat di
lokasi budidaya barat berfluktuasi dan tertinggi pada minggu ketiga yaitu 0,27
mg/l kemudian menurun sampai minggu kedelapan yaitu 0,170, sedangkan
konsentrasi nitrat di lokasi budidaya utara selama masa pemeliharaan dari minggu
kesatu sampai minggu kedelapan lebih rendah dan relatif sama (Gambar 10
Lampiran 1 dan 2). Rata - rata konsentrasi nitrat di kedua lokasi budidaya rendah
sekali bila dibandingkan dengan konsentrasi yang ideal 1,0 - 3,2 (Tabel 4), namun
lokasi budidaya sebelah barat masih lebih baik daripada lokasi budidaya sebelah
utara.

35

Barat
Utara

Barat
Utara

0.3

0.2

N itr it ( m g /l)

N itrat (m g/l)

0.25

0.15
0.1
0.05

0.014
0.011
0.008
0.005
0

0
0

2
3
4
5
6
7
w aktu pengamatan (minggu)

Barat
Utara

0.195
Amonia (mg/l)

Waktu pengamatan (minggu)

0.185
0.175
0.165
0.155
0

Waktu pengamatan (mg/l)

Gambar 10 Rata-rata nitrat, nitrit dan amonia di lokasi


budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.

Pospat
Total pospat dan ortho pospat
Pospat merupakan unsur penting bagi semua aspek kehidupan terutama
berfungsi dalam transformasi energi metabolik yang perannya tidak dapat
digantikan oleh unsur lain (Kuhl 1974). Unsur P di perairan terdapat dalam
senyawaan pospat dalam bentuk organik dan anorganik, namun hanya ortho
pospat yang terlarut dalam air dan dapat langsung digunakan oleh organisme
nabati (Haryadi et al. 1992).
Kandungan total pospat di lokasi budidaya sebelah barat berkisar antara
0,116-0,136 mg/l dengan rata- rata 0,1225 dan lokasi budidaya sebelah utara
berkisar antara 0,0056-0,0062 mg/l dengan rata-rata 0,0060. Ortho pospat di
lokasi budidaya barat berkisar antara 0,0060-0,0080 mg/l dengan rata-rata 0,0074
dan lokasi utara 0,0041-0,0054 mg/l

dengan rata-rata 0,0049 (Gambar 11

Lampiran 1 dan 2). Secara statistik kandungan orhto pospat di kedua lokasi
budidaya berbeda nyata. Kandungan orhto pospat berada pada konsentrasi sangat
rendah bila dibandingkan dengan konsentrasi ortho pospat yang ideal (Tabel 4).
namun di lokasi budidaya barat masih lebih baik daripada lokasi budidaya sebelah
utara.

36

Kekurangan pospat akan lebih kritis bagi tanaman akuatik termasuk


tanaman algae dibandingkan dengan kekurangan nitrogen di perairan karena
walaupun ketersediaan pospat sering melimpah dalam bentuk berbagai senyawa
pospat namun hanya dalam bentuk ortho pospat (PO4) yang dapat dimanfaatkan
langsung oleh tanaman akuatik.

Gambar 11 Rata-rata kandungan total pospat dan ortho pospat di lokasi


budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.

Faktor biologi
Algae yang dibudidayakan tidak terlepas dari pengaruh biologi perairan
seperti predator, pencemaran dan penyakit. Fungsi ekologis dari rumput laut
sebagai pendukung kehidupan akuatik di laut yaitu sebagai makanan dan
pelindung binatang akuatik selalu mempengaruhi persporaan rumput laut.
Binatang-binatang ini pada awalnya hanya memakan tumbuhan penempel di
sekitar tanaman tetapi kemudian memakan Kappaphycus.

Saat pengamatan

dilakukan, banyak ditemukan benih ikan baronang dan algae penempel di kedua
lokasi penelitian barat dan utara hal ini diduga sedang terjadi musim pemijahan
ikan baronang di perairan pulau Pari. kepulauan Seribu pada bulan Mei dan
Oktober-Nopember merupakan musim ikan baronang dalam jumlah besar yang
dapat merugikan nelayan rumput laut ( Sulistijo 2002).
Selain predator ikan, ada juga tumbuhan yang menjadi pesaing bagi
pertumbuhan K. alvarezii dan tumbuh pada rakit penelitian.

Di samping itu

tumbuhan penempel seperti tunikata yang menutupi thallus rumput laut akan
menyerap nutrisi dan menghalangi proses fotosintesis. Gangguan ini dapat
mengakibatkan tanaman menjadi tidak sehat dan dengan mudah terinfeksi bakteri
penyebab ice ice pada bagian yang tertutup total oleh koloni tunikata.

37

Tumbuhan penempel di lokasi barat mulai kelihatan pada minggu ketiga,


sedangkan ikan baronang yang memakan thallus mulai menyerang pada minggu
kelima. Kondisi tanaman uji menunjukkan adanya serbuk putih pada luka bekas
gigitan ikan dan mulai menjalar ke bagian thallus sekitar bekas gigitan karena
infeksi bakteri ice ice (Gambar 12).

Gambar 12 Luka bekas gigitan ikan pada tanaman uji.


Sementara di lokasi utara mulai dari minggu kedua sudah banyak terdapat
tumbuhan penempel dan luka bekas gigitan ikan pada tanaman uji serta sampah
disekitar rakit (Gambar 13).

Gambar 13 Kotoran dan algae penempel pada tanaman uji


Perbedaan tingkat keberhasilan di kedua lokasi budidaya diduga karena
pengaruh dari kondisi kualitas lingkungan budidaya, sehingga tanaman di lokasi
barat masih ada pernambahan bobot sedangkan pada lokasi utara tidak ada
pernambahan bobot. Tumbuhan pengganggu dan sampah di kedua lokasi berupa
limbah rumah tangga seperti plastik, dedaunan dan ranting yang menyangkut pada
rakit penelitian di lokasi budidaya ( gambar 14).

38

Gambar 14 Sampah dan tumbuhan pengganggu di lokasi budidaya sebelah


barat dan utara pulau Pari
Secara historis lahan budidaya rumput laut di pulau Pari lebih efisien
dibanding lahan budidaya di gugusan pulau Pari.

Namun dari parameter-

parameter kualitas lingkungan yang diamati selama masa pemeliharaan diacu


dengan hasil pengukuran biofisik kualitas perairan dari penelitian IPB (1997)
menunjukkan kualitas lingkungan perairan semakin menurun hampir tidak sesuai
untuk lahan budidaya (Tabel 4).
Tabel 5 Perbandingan kualitas perairan di pulau Pari tahun 1997 dan 2002

Parameter

Satuan

Tahun 1997

Tahun 2002

Fisika
a. Arus
b. Suhu

cm/det
C

10
29

< 10
30-32

Kimia
a. pH
b. Salinitas
c. Nitrat
d.Phosphat
e.Timah hitam (Tb)

mg/l
mg/l
mg/l

7
32
0.003
0.007
0.005

8-8.03
30
0.001-0.002
0.001-0.006
0.012-0.027

banyak
sedang

sedang
banyak

tidak ada

ada/tinggi

Biologi
a. Komunitas makro alga
b. Hewan-herbivor
Lingkungan
c.Pencemaran
Sumber: Besweni (2002)

39

Analisis Komponen Utama


Analisis komponen utama dilakukan untuk menggambarkan korelasi
karakteristik fisika - kimia perairan pada setiap stasiun pengamatan. Terlihat
bahwa informasi penting terpusat pada tiga sumbu utama (Fl, F2 dan F3) baik di
lokasi budidaya sebelah barat maupun utara. Di lokasi budidaya sebelah barat
masing-masing sumbu mempunyai kontribusi sebesar 56,34%, 16,12% dan
12,91% dari total ragam sebesar 85% (Lampiran 9B). Sedangkan di lokasi
budidaya sebelah utara masing-masing sumbu (F1, F2 dan F3) mempunyai
kontribusi sebesar 44,87%, 20,80% dan 14,62% dari total ragam sebesar 80,28%,
(Lampiran 10B).
Korelasi antar variabel terlihat bahwa di lokasi budidaya sebelah barat
variabel berperan utama membentuk sumbu F1 adalah oksigen terlarut dan arus
dengan kontribusi sebesar 14,03% dan 13,50%, variabel ortho-pospat berperan
utama dalam membentuk sumbu F2 dengan kontribusi sebesar 39,63% dan
variabel kecerahan dan total fosfat berperan utama dalam membentuk sumbu F3
(Lampiran 9C).
Hasil korelasi antar variabel terlihat bahwa di lokasi budidaya sebelah
utara variabel berperan utama dalam membentuk sumbu F1 adalah suhu dengan
kontribusi sebesar 15,24%, dan F2 adalah total pospat, nitrat dan kecerahan
dengan kontribusi sebesar 29,4%, 23,20% dan 20,27%. (Lampiran 10C). Uraian
di atas dapat dinyatakan bahwa kualitas lingkungan fisika kimia di sebelah barat
dicirikan oleh arus dan oksigen. Lokasi budidaya utara dicirikan oleh suhu,
kecerahan, nitrat dan total pospat.

Pertumbuhan Rumput Laut


Perkembangan biomassa
Pertumbuhan rumput laut seperti halnya pertumbuhan algae akan
mengikuti pola pertumbuhan logistik (ekperimen maksimal) yaitu pada mulanya
meningkat linear sampai tingkat maksimal mendekati plateau. Pertumbuhan
rumput laut K. alvarezii yang diamati selama 8 minggu di kedua lokasi budidaya
barat dan utara pulau Pari memperlihatkan dua tahap pembentukan biomassa yaitu
tahap pertama (minggu 1-4) dan tahap kedua (minggu 5-8). Pertumbuhan rumput

40

laut ditentukan oleh faktor kecerahan, temperatur, unsur hara (N dan P) dan
keadaan biomassa. Bobot basah yang dihasilkan merupakan suatu produksi
pembentukan biomassa yang ditentukan oleh laju pertumbuhan (G) x bobot

biomassa ( B ). Apabila keadaan biomassa rumput laut mengalalami tekanan

lingkungan, maka kondisi biomassa dalam keadaan rentang terhadap penyakit.


Kondisi seperti ini mengakibatkan rumput laut terkena penyakit ice ice
(pengkroposan), sehingga produksi rumput laut ditentukan oleh laju pertumbuhan

(G) x laju pengkroposan (z) dan ( B ). Pada tahap awal G > z (minggu 1 - 4),
sehingga masih terdapat pertumbuhan biomassa. Apabila pengkroposan
meningkat maka G < z (minggu 5 - 8) mengakibatkan pembentukan biomassa
menurun. Sehubungan dengan proses laju pertumbuhan, maka penanaman rumput
laut dengan bobot awal yang sama di kedua lokasi budidaya (125 g) menunjukkan
karakter pertumbuhan yang tidak normal. Lokasi budidaya barat masih terlihat
adanya pertambahan bobot, namun pertumbuhan yang semestinya dalam keadaan
pesat mendadak menurun setelah mencapai puncak pada minggu keempat
Lokasi budidaya barat pertumbuhan biomassa dari minggu kesatu sampai
minggu keempat meningkat dari 125 ke 206,3g dan mengikuti pola hubungan
linear yaitu Y = 28,15x + 91,3 ; R2 = 0,88 (gambar 15). Laju pertumbuhan dari
minggu pertama sampai minggu keempat sebesar 28,15 g/minggu.
y = -20.64x + 291.66
R2 = 0.9708

250

R2 = 0.8823
Bobot basah (g)

Bobot basah (g)

y = 28.15x + 91.3

250
200
150
100
50

200
150
100
50

0
1

Waktu pengamatan (minggu)

0
5

Waktu pengamatan (m inggu)

Gambar 15 Pertubuhan rumput laut minggu ke 1- 4 dan minggu


ke 5-8 di lokasi budidaya barat pulau Pari.
Selanjutnya dari minggu kelima sampai minggu kedelapan terjadi
penurunan biomassa dari 206,3 ke130,6g serta mengikuti pola hubungan linear

41

yaitu Y = - 20,64x + 291,66 ; R2 = 0,97 (Gambar 15). Laju pengkroposan mulai


dari minggu kelima sampai minggu kedelapan sebesar -20,64g / minggu.
Pembentukan biomassa setelah minggu kelima lebih didominasi oleh
penurunan bobot basah karena meningkatnya infeksi bakteri penyebab penyakit

ice ice, sehingga faktor produksi, kecerahan, tempratur dan unsur hara menjadi
tereliminir.
Pembentukan biomassa pada tahap pertama sampai tahap kedua
memberikan indikasi laju pertumbuhan lebih kecil dari laju pengkroposan,
sehingga terjadi penurunan biomassa (biomassa mengalami pengkroposan). Pada
tahap pertama (minggu ke1-4) terjadi penurunan yang mendatar dari 125 ke
89,97g dan mengikuti pola hubungan linear yaitu Y = -9.8x + 127,7 ; R2 = 0,93
(gambar17). Pada tahap kedua (minggu ke5-8) terus mengalami penurunan yang
tajam dari 71,5 ke 31,3g dan mengikuti pola hubungan linear Y = -14,48x +

y = -9.8x + 127.7
R2 = 0.9288

140
120
100
80
60
40
20
1

Waktu pengam atan (m inggu)

Bobot basah (g)

Bobot basah (g)

153,52 ; R2 = 0,99 (gambar 17).


y = -14.48x + 153.52
R2 = 0.9934

90
70
50
30
10
5

Waktu pengam atan (m inggu)

Gambar 17 Laju pengkroposan rumput laut tahap pertama (a)


dan kedua (b) di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari.
Persamaan tersebut memberikan indikasi bahwa laju pengkroposan
semakin meningkat yaitu pada minggu pertama sampai minggu keempat -9,8g /
minggu meningkat pada minggu kelima sampai kedelapan menjadi -14,48g /
minggu. Keadaan tersebut diperkirakan karena meningkatnya aktivitas bakteri
penyebab penyakit ice ice.
Keterkaitan hubungan pembentukan biomassa dengan unsur hara dan atau
pengkroposan dengan faktor lingkungan akan dibahas pada hubungan laju
pertumbuhan dengan unsur hara dan laju degradasi dengan kualitas lingkungan
perairan.

42

Kondisi rumput laut di lokasi budidaya sebelah barat maupun utara dari
hasil pemantauan memberikan indikasi bahwa rumput laut mengalami stress. Bila
dikaitkan dengan ilmu pemyakit tumbuhan, maka tanaman uji dalam kondisi
lemah / rentan terhadap penyakit. Hal ini dipermudah dengan keadaan lingkungan
yang mendukung patogen, sehingga tanaman dengan cepat terinfeksi bakteri
penyebab penyakit ice ice. Secara biologi tanaman tidak mampu melakukan
kegiatan fisiologinya secara normal, sehingga tidak mampu berkembang dan
secara ekonomi tanaman tidak mampu memberikan hasil yang cukup, baik
kuantitas maupun kualitasnya.
Secara umum bobot basah rumput laut pada kondisi yang normal dari
waktu ke waktu terus mengalami peningkatan dan secara nyata dimulai pada
minggu kedua sampai minggu ketuju bersamaan dengan meningkatnya kandungan
karaginan. Hal ini didukung oleh Salisbury dan Ross (1992) bahwa pada jaringan
muda rumput laut, aktivitas sel diarahkan untuk pertumbuhan yaitu melakukan
pembelahan dan pembesaran sel.
Perbedaan tingkat keberhasilan ini diduga karena posisi kedua lokasi
budidaya, dimana lokasi budidaya barat yang merupakan perairan terbuka (berada
diluar gobah buka) yang masih mendapat gerakan air, sedangkan di lokasi
budidaya utara yang merupakan perairan tertutup (berada di gobah) yang kurang
mendapat gerakan air, sehingga pasokan nutrien yang diperlukan tidak terpenuhi.
Pada musim barat 2005 terjadinya gagal panen, akibat sebagian besar hasil
budidaya terkena penyakit ice ice diikuti kualitas produk yang tidak dapat
diterima oleh pasaran. Dapat dijelaskan tentang permsalahan tersebut bahwa
akibat pengaruh musim yang mempengaruhi faktor-faktor ekologis seperti
intensitas cahaya, suhu air, unsur hara, sehingga mempengaruhi hasil panen.
Diantara pengaruh yang ditimbulkan adalah "Aging effect" yang ditandai dengan
perubahan morfologi yaitu tanaman menjadi kurus, percabangan sedikit,
permukaan thallus menjadi kasar (Gambar 18). Kondisi ini dapat pulih apabila
tidak ada komplikasi yang berkelanjutan, jika keadaan ini terus berlanjut maka
terjadi pertumbuhan yang lambat karena sel-sel tanaman tidak dapat berfungsi
dengan baik (DirJen. Perikanan 1997). Kondisi ini diperburuk dengan adanya

43

gigitan ikan yang membuat jalan masuk bakteri ke bagian jaringan dalam,
sehingga infeksi bakteri penyebab ice ice lebih cepat.

Gambar 18 Permukaan thallus rumput laut yang kasar.


Penyakit rumput laut muncul karena adanya substansi pelindung intraseluler
pada saat rumput laut mengalami tekanan lingkungan, sehingga menyebabkan
kegagalan panen. Penyakit ice ice terjadi oleh pengaruh beberapa jenis rumput
laut lain yang menempel, rendahnya unsur hara di perairan dan oleh biota air
starfish (Trono 1992, Lobban dan Harison 1994). Penyakit yang timbul pada
musim panas dan arus lemah ini ditandai dengan warna pucat pada tanaman
secara keseluruhan kemudian hilang warna pada cabang-cabang dan akhirnya
menjadi keputih-putihan. Jaringan tanaman pada bagian yang terkena penyakit
menjadi lunak dan hancur, sedangkan bagian cabang yang terinfeksi akan retak
dan putus jatuh ke laut, sehingga mengakibatkan kehilangan bobot tanaman
(Gambar 19).

Gambar 19 Rumput laut yang terkena penyakit di lokasi budidaya sebelah


barat dan utara pulau Pari
(a) Bagian ujung tanaman K. alvarezii yang terkena penyakit
(b) bagian cabang tanaman yang terkena penyakit

44

Tanaman budidaya akan lebih cepat terinfeksi apabila terdapat banyak bekas
luka karena akan menjadi jalan masuk bagi bakteri patogen. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan infeksi bakteri penyebab penyakit ice ice pada thallus
dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu terinfeksi pada luka bekas pemotongan
(stek untuk bibit), luka akibat gigitan ikan, luka akibat ikatan bibit terlalu erat dan
masuk melalui pori-pori thallus (Gambar 20).

d
c
Gambar 20 beberapa cara terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice.
:

(a) bekas pemotongan (stek untuk bibit)


(b) luka akibat gigitan ikan
(c) luka karena ikatan bibit terlalu erat
(d) masuk melalui pori-pori thallus

45

Pertumbuhan parsial
Pertumbuhan parsial rumput laut adalah pertubuhan yang terjadi antar waktu
tertentu dan dinyatakan dalam bentuk pertumbuhan mutlak, relatif dan sesaat
(tabel 6).
Tabel 6 Pertumbuhan mutlak, relatif dan sesaat rumput laut di sebelah barat
dan utara pulau Pari

Minggu

Barat

Utara

Mutlak (g)

Relatif (%)

Mutlak (g)

Relatif (%)

1,84

1.472

-11

-9.040

8,21

6.473

-2

-2.111

21,15

15.661

-12

-8.805

50,10

32.074

-12

-11.626

-15,60

-7.562

-18

-20.290

-10,20

-5.349

-13

-18.321

-30,30

-16.787

-14

-24.486

-19,60

-13.049

-12

-29.025

Pertumbuhan parsial rumput laut di lokasi budidaya barat dari minggu


pertama sampai minggu keempat semakin meningkat dengan pertumbuhan
mutlaknya 1,84 50,10g, relatifnya 1.472 32,074%. Pada minggu pertama
sampai minggu keempat masih terdapat pertumbuhan parsial yang didukung oleh
kecerahan, suhu, unsur hara dan kondisi biomassa. Pertumbuhan rumput laut
tersebut ternyata tidak berlanjut mengikuti pola pertumbuhan logistik (normal)
seperti hasil penelitian Kusdi (2005) (Gambar 21).

Gambar 21 Pertumbuhan rumput laut normal di lokasi


budidaya Halmahera (Kusdi 2005).

46

Sementara mulai minggu kelima sampai minggu kedelapan kondisi


biomass mengalami pengkroposan karena telah terinfeksi bakteri penyebab
penyakit ice ice. Laju pengkroposan biomassa melampaui laju pertumbuhan
rumput laut, sehingga pertumbuhan parsial berubah menjadi menurun.
Penurunan/pengkroposan mutlak rumput laut berkisar antara -10,20 -30,30g,
relatif -7,562 -16,787%. Pertumbuhan parsial yang bersifat negatif (terjadi
pengkroposan), maka total biomassa rumput laut cenderung semakin menurun.
Pertumbuhan parsial di lokasi budidaya utara dari minggu pertama sampai
minggu keempat cenderung negatif dengan pertumbuhan mutlak berkisar antara
-2 -12g, relatif -09,040 -11,626%. Pertumbuhan negatif terus berlanjut dari
minggu kelima sapai kedelapan.

Pertumbuhan parsial mutlak berkisar antara

-12 -18g, relatif -18,321 -29,025%. Degradasi biomassa rumput laut tersebut
terindikasi dari warna thallus yang pucat secara keseluruhan kemudian hilang
warna dan akhirnya menjadi keputih-putihan. Jaringan tanaman pada bagian yang
terkena penyakit menjadi lunak dan hancur. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa pertumbuhan rumput laut pada akhirnya merupakan
perpaduan antara laju pembentukan biomassa dan laju pengkroposan. Biomassa
rumput laut di lokasi budidaya barat dari minggu pertama sampai keempat laju
pertumbuhannya masih lebih besar dari laju pengkroposan. Sebaliknya minggu
kelima sampai minggu kedelapan di lokasi barat dan atau lokasi utara
memperlihatkan laju pengkroposan lebih besar dari laju pembentukan biomassa.
Hal ini terjadi sebagai akibat infeksi bakteri ice ice

semakin meningkat.

Hubungan antara laju pertumbuhan dengan unsur hara(nitrat, ortho pospat) serta
laju pengkroposan dengan suhu, arus dan tempratur akan dibahas pada topik
selanjutnya.

Hubungan laju pertumbuhan dengan unsur hara


Untuk melihat hubungan laju pertumbuhan rumput laut dengan unsur hara
dilakukan analisis regresi berganda. Hasil analisis regresi berganda terhadap laju
pertumbuhan dengan unsur hara di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari pada
minggu pertama sampai minggu keempat ternyata memenuhi persamaan regresi
ganda y = -281 + 1551 nitrat + 14596 ortho pospat dengan nilai koefisien

47

determinasi R = 83%. Hasil uji variance diperoleh P-value lebih kecil dari (0,05)
berati regresi tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan variabel-variabel
terikat yang berpengaruh terhadap variabel bebas atau dapat dikatakan nitrat dan
ortho pospat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan. Nilai koefisien masingmasing variabel menunjukkan bahwa variabel x yang berpengaruh terhadap y
adalah nitrat sebesar 0,001 (P<0,05) dan ortho pospat 0,001 ((P<0,05) (Lampiran
11). Dengan demikian disimpulkan bahwa hasil analisis tersebut terindikasi
bahwa ketersediaan unsur hara (nitrat dan ortho pospat) secara interaksi bersama
menentukan laju pertumbuhan.

Hubungan degradasi dengan suhu,arus dan oksigen terlarut


Seperti telah dijelaskan diatas, maka di lokasi budidaya barat dan utara
telah terjadi pengkriposan biomassa yaitu di lokasi barat di minggu ke5 sampai
ke8 dan lokasi barat di minggu ke1 sampai minggu ke8. Hubungan degradasi /
pengkroposan biomassa dengan suhu, arus dan oksigen terlarut ternyata
memenuhi persamaan regresi ganda. Persamaan regresinya sebagai berikut :
Lokasi budidaya barat minggu ke5-ke8 y = 1852-10 oksigen-7,79 arus 34,7
suhu dengan R = 98,9%, lokasi budidaya utara minggu ke1-ke4 y = -981 + 19,3
suhu + 4,74 arus +8,52 oksigen dengan R = 98,2%, dan minggu ke5-ke8 y = 1489 + 45,1 suhu + 25,3 arus 6,14 oksigen dengan R = 99%. Hasil uji variance
(Lampiran 12) dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa ketiga variabel yaitu
suhu, arus dan oksigen terlarut berpengaruh terhadap laju pengkroposan biomassa.
Dari nilai koefisien masing-masing suhu, arus dan oksigen memberikan indikasi
bahwa ketiga faktor lingkungan tersebut secara langsung berperan terhadap
intensitas perkembangan bakteri ice ice dalam pengrusakan biomassa rumput laut.
Kecepatan arus berperan terhadap lama waktu penempelan dan penyebaran yang
mengkontaminasi keseluruhan biomassa rumput laut. Suhu dan oksigen terlarut
berperan terhadap perkembangan populasi bakteri penyebab ice ice dalam
mendegradasi biomassa rumput laut.

Hal ini didukung oleh Sulistijo (2002)

bahwa penyakit ice ice timbul pada musim laut tenang dan arus lemah diikuti
dengan suhu perairan yang tinggi.

Tingkat degradasi biomassa rumput laut

mencerminkan tingkat perkembangan populasi dan intensitas pengkroposan

48

rumput laut.

Dari uraian tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa laju

pertumbuhan biomassa rumput laut di lokasi budidaya barat dari minggu ke1-ke4
ditentukan oleh keberadaan nitrat dan ortho pospat, sedangkan laju degradasi /
pengkroposan di lokasi budidaya barat minggu ke5-k8 dan di utara minggu ke1-k8
ditentukan oleh faktor suhu,arus dan oksigen terlarut memicu perkembangan
populasi bakteri dalam menginfeksi dan mendegradasi biomassa rumput laut.

Produksi Bobot Kering


Bobot kering rumput laut didapat dari pengeringan terhadap rumput laut
basah dengan cara penjemuran pada sinar matahari. Pengeringan ini bertujuan
untuk menurunkan kadar air rumput laut basah + 90% menjadi rumput laut kering
dengan kadar air + 20% ( Suryaningrum 1988). Menurut Noor (1991) kadar air
rumput laut segar berkisar antara 85 - 90%. Lokasi budidaya barat dari minggu
kesatu sampai minggu keempat penyusutan berkurang dari 95,20% sampai dengan
93,34%, sedangkan pada minggu kelima sampai kedelapan penyusutannya tetap
yaitu 91% ( Tabel 7). Lokasi budidaya utara dari minggu pertama sampai minggu
kedelapan nilai penyusutan terus berkurang. Kondisi ini terjadi di lokasi budidaya
utara karena hilangnya bagian-bagian rumput laut dan diganti dengan tunas baru.
Tabel 7 Bobot dan penyusutan K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah
barat dan utara pulau Pari.

Pengamatan
(munggu)

Bobot (g)

0
1

126,8

113,7

6,1

5,88

95,28

94,83

135,1

111,3

7,1

5,89

95,19

94,71

156,2

101,5

10,4

5,9

94,74

94,19

206,3

89,7

17,3

5,91

93,34

93,41

190,7

71,5

16

5,92

91,61

91,72

178,5

58,4

14,6

5,93

91,61

89,85

150,2

44,1

11,2

5,94

91,82

86,53

130,6

31,3

9,2

5,95

92,54

80,99

Sumber : Hasil penelitian yang diolah

kering
Barat
Utara
5,9
6,15

Penyusutan (%)

Basah
Barat
Utara
125
125

Barat
95,20

Utara
95,08

49

Tanaman uji yang terkena penyakit akan hancur dan putus juga ujungujung thallus yang dimakan ikan, sehingga akan tumbuh tunas yang baru.
Mengacu dari kondisi tanaman uji, maka bobot kering tanaman yang diperoleh
tidak dipengaruhi oleh lama penanaman karena tanaman selalu berada pada
kondisi tanaman muda. Menurut Dawes (1974) berat kering tumbuhan muda
lebih rendah daripada tumbuhan tua. Jaringan rumput laut yang lebih tua dapat
mengakumulasi deposit garam-garam yang menyebabkan unsur keringnya
semakin tinggi (Simpson et al. 1978).
.

Kandungan Karaginan
Proses panen baik berdasarkan waktu atau bobot tidak menjamin mutu
rumput laut, tetapi mutu rumput laut ditentukan oleh mutu bibit dan kualitas
perairan. Satari (1998) melalui penelitiannya dengan variasi waktu pemeliharaan

K. alvarezii dari minggu kesatu sampai minggu keenam tidak mendapatkan


perbedaan yang berarti terhadap kandungan karaginan.

Rahardjo (2000)

mendapatkan panen yang baik dengan biomassa dan kandungan karaginan


tertinggi pada waktu pemeliharaan selama 6 minggu di lokasi pulau Tidung
Kepulauan Seribu.
Kandungan karaginan K. alvarezii di lokasi budidya sebelah barat pulau
Pari mengalami peningkatan sampai minggu keempat.

Pada minggu kesatu

kandungan karaginan 9,46% terus meningkat dan mencapai puncak di minggu


keempat dengan persentase 16,77% kemudian menurun di minggu kelima
seterusnya sampai minggu kedelapan hingga mencapai kandungan karaginan
terendah 4,51%. Kandungan karaginan di lokasi budidaya sebelah utara mulai
minggu kesatu sampai minggu kedelapan tidak ada peningkatan kandungan
karaginan, tetapi sebaliknya terus mengalami penurunan hingga mencapai
kandungan karaginan terendah sebesar 1,23% (Gambar 22 dan Lampiran 8).
Pola kandungan karaginan yang diperoleh pada penelitian di kedua lokasi
budidaya barat dan utara tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya.
Kandungan karaginan K. Alvarezii cenderung mengalami peningkatan menurut
lama penanaman dan kualitas terbaik kandungan karaginan maximum dicapai
pada usia 35 hari atau minggu kelima (Kusdi 2004). Selanjutnya Sulistijo (1994)

50

menyatakan waktu pemeliharaan 45 hari kandungan karaginan mencapai


maximum yaitu 52.70% dan kadar air 24.42%.
Kandungan karaginan di kedua lokasi budidaya secara statistik berbeda
sangat nyata (Lampiran 6), namun perbedaan ini tidak memperlihatkan kualitas
yang baik sesuai standar kualitas K. Alvarezii untuk diterima pasaran dalam
maupun luar negeri. Menurut Soegiarto et al. (1978) bahwa standar kualitas

Eucheuma untuk dipasarkan dalam dan luar negeri kandungan karaginan 25%.
Kandungan karaginan dari tanaman uji di kedua lokasi sangat rendah disebabkan
karena penyakit ice ice. Thallus rumput laut yang sudah terkena penyakit akan
keropos dan hancur kemudian akan digantikan dengan tunas-tunas yang baru,
sehingga lama pemeliharaan tidak berpengaruh terhadap kandungan karaginan.
Perbedaan kandungan keraginan pada kedua lokasi tersebut diduga karena
perbedaan kualitas lingkungan masing-masing. Mukti (1987) menyatakan
persentase kandungan karaginan dalam rumput laut karaginofit berkaitan langsung
dengan kondisi lingkungan yaitu lingkungan fisika, kimiawi dan biologi juga
kondisi lingkungan tempat tumbuhnya karaginofit tersebut.
Barat
utara

Karaginan (% )

20
15
10
5
0
0

Waktu pengamatan(minggu)

Gambar 22 Rata-rata kandungan karaginan di lokasi budidaya


sebelah barat dan utara pulau Pari.

Kadar Air
Kadar air pada rumput laut merupakan komponen kimia penting yang
berhubungan dengan mutu rumput laut. Kadar air yang dimaksud adalah besarnya
persentase kadar air persatuan bobot kering angin produk rumput laut. Kadar air
yang cukup tinggi akan menyebabkan menurunnya kualitas karaginan yang
dihasilkan.

Dalam perdagangan, kadar air rumput laut kering untuk industri

51

pangan dan farmasi yang memenuhi syarat mutu dari Departemen Perdagangan
adalah maximum 32% (Soegiarto et al. 1978).
Secara statistik kadar air di lokasi budidaya berbeda nyata (Lampiran 6).
Kadar air rata-rata di lokasi budidaya sebelah barat sebesar 20,70%, maksimum
22,83% dan minimum19,10%, Sedangkan kadar air rata-rata di lokasi budidaya
utara sebesar 21,76%, maksimum 23,82% dan minimum 20,08%. Namun kadar
air setelah pengeringan di laboratorium dengan vacum dryer di peroleh nilai
persentase yang masih memenuhi standar pemasaran (Gambar 23).
barat

Kadar air (%)

30

utara

25
20
15
10
5
0
0

Waktu (minggu)

Gambar 23 Rata-rata kadar air di lokasi budidaya sebelah barat


dan utara pulau Pari

Kadar Abu
Kualitas hasil panen rumput laut ditentukan pula oleh persentase kadar abu
karena kadar abu yang relatif tinggi akan menyebabkan rendahnya kualitas hasil
panen.

Nilai kadar abu diperoleh setelah dilakukan proses pembakaran atau

pengabuan dalam alat pembakaran (tanur). Bagian jaringan rumput laut berupa
serat dan bahan-bahan yang mengandung karbon serta beberapa mineral tersisa
menjadi abu setelah proses pembakaran, sedangkan bahan lainnya habis menguap
saat pembakaran. Kadar abu dalam tanaman rumput laut ditentukan oleh bahan
penyusun jaringan dimana semakin tinggi bahan serat dan senyawa-senyawa yang
mengandung karbon dalam jaringan, maka semakin tinggi pula kadar abu yang
dihasilkan saat pembakaran.
Menurut Hirao (1971) bahwa kadar abu pada rumput laut berkisar antara
15 - 40%. Kadar abu di kedua lokasi budidaya cukup tinggi yaitu di lokasi
budidya sebelah barat pulau Pari kadar abu rata-rata sebesar 20,30%, maksimum

52

22,3% dan minimum 16,9%. Sementara di lokasi budidaya sebelah utara kadar
abu rata-rata sebesar 22,78%, maksimum 26,23% dan minimum 10,64%. Kadar
abu di kedua lokasi budidaya sebelah barat dan utara secara statistik berbeda nyata
(Lampiran 6). Kadar abu berbeda dikedua lokasi disebabkan karena tanaman uji
yang dibudidayakan di kedua lokasi budidaya banyak terdapat alga penempel dan
kotoran-kotoran. Persentase kadar abu yang cukup tinggi ini juga menunjukkan
besarnya kandungan mineral pada rumput laut yang tidak terbakar selama
pengabuan. Kadar abu terutama terdiri dari garam natrium yang berasal dari air
laut yang menempel pada thallus rumput laut yang terjadi pada proses
pengeringan.
Kadar abu rumput laut bersih dari Eucheuma cottonii yang dilaporkan oleh
BPPT adalah 17,09%. Sementara kadar abu yang diperoleh di lokasi budidaya
sebelah barat adalah 20,30% dan kadar abu di lokasi budidaya sebelah utara
adalah 22,78%. Kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini bila dibandingkan
dengan hasil yang diperoleh BPPT sebasar 17,09%, maka selisihnya adalah garam
dan kontaminan lain yaitu pada lokasi barat 3,21% dan lokasi utara 5,69%.
(Gambar 24).
barat

Kadar abu (%)

30

utara

25
20
15
10
5
0
0

Waktu (minggu)

Gambar 24 Rata-rata kadar abu di lokasi budidaya sebelah


barat dan utara pulau Pari.

Hubungan Karaginan dengan Unsur Hara


Hasil regresi ganda menunjukkan adanya hubungan antara karaginan
dengan unsur hara di lokasi budidaya sebelah barat yang dijelaskan dengan nilai
determinasi sebesar 84,6% dan sangat nyata (p<0,05) dengan (Fhit. sebesar 9,17>
F

tab.

sebesar 5,48). Data hasil analisis regresi berganda kandungan karaginan

53

dengan unsur hara di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari diperoleh
persamaan sebagai berikut
Karaginan = 21,7+39,2 nitrat +4321 ortho pospat -276 amonia.
Persamaan tersebut menggambarkan bahwa terdapat satu atau lebih parameter
yang berpengaruh terhadap peningkatan dan penurunan karaginan. Variabel unsur
hara yang berpengaruh terhadap karaginan adalah nitrat, ortho-pospat dan amonia.
Koefisien variasi masing-masing variabel menunjukkan bahwa variabel x
yang berpengaruh terhadap nilai Y adalah ortho pospat yang dapat dijelaskan
dengan 0,020 (P<0,5), sedangkan nitrat dan amonia masing-masing 0,130 dan
0,801 (P>0.05). Tabel nilai koefisien menunjukkan bahwa nitrat dan amonia tidak
nyata (p>0,05) yang berarti bahwa nitrat dan amonia bukan merupakan faktor
pembatas terhadap peningkatan kandungan karaginan (lampiran 12).
Hasil regresi ganda menunjukkan adanya hubungan karaginan dengan unsur
hara di lokasi budidaya sebelah utara yang dijelaskan dengan nilai determinasi
sebesar 79,6% dan sangat nyata (p<0,05) dengan ( Fhit. sebesar 6,52 > Ftab. sebesar
5,48). Data hasil analisis regresi berganda kandungan karaginan dengan unsur
hara diperoleh persamaan sebagai berikut :
Karaginan = -149+252 Nitrat +6049 ortho pospat +527 amonia.
Persamaan tersebut menunjukkan terdapat satu atau lebih parameter yang
berpengaruh terhadap peningkatan karaginan.
Koefisien variasi masing-masing variabel menunjukkan bahwa variabel x
yang berpengaruh terhadap nilai Y adalah ortho pospat yang dapat dijelaskan
dengan 0,007 (P<0,5), sedangkan nitrat dan amonia masing-masing 0,780 dan
0,943 (P>0.05). Tabel nilai koefisien menunjukkan bahwa nitrat dan amonia tidak
nyata (p>0,05) yang berarti bahwa nitrat dan amonia bukan merupakan faktor
pembatas terhadap peningkatan kandungan karaginan (lampiran 13).
Dengan demikian disimpulkan bahwa variabel yang sangat berpengaruh
terhadap kandungan karaginan rumput laut di kedua lokasi budidaya adalah ortho
pospat. Kisaran ortho-pospat yang diperoleh di kedua lokasi budidaya sangat
rendah, namun lokasi budidaya sebelah barat lebih baik, sehingga masih terjadi
penambahan peningkatan kandungan karaginan.

54

Hubungan Karaginan dengan Waktu Pengamatan


Analisis

regresi

hubungan

kandungan

karaginan

dengan

waktu

pengamatan pada lokasi budidaya sebelah barat menunjukkan pola hubungan


kuadratik (Gambar 25), dengan persamaan sebagai berikut :
Y = 0.5268 x2+4.1581 x+6.1873, R2 = 0.7587.
Hal ini menunjukkan bahwa penambahan waktu pengamatan diikuti
dengan peningkatan kandungan karaginan sampai batas tertentu kemudian
cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu. Penurunan kandungan
karaginan ini disebebkan karena perubahan kondisi perairan yang terlihat mulai
dari minggu ke lima pada masa pengamatan. Hal ini sesuai dengan Kusdi (2004)
bahwa hubungan waktu pengamatan dengan kandungan karaginan di semua
perlakuan interaksi asal thallus dan bobot bibit berbentuk pola hubungan
kuadratik. Semakin lama waktu pengamatan maka semakin tinggi kandungan
karaginan sampai batas tertentu.

Karaginan (%)

y = -0.5268x + 4.1581x + 6.1873

18
16
14

R = 0.7587

12
10
8
6
4
2
0
0

Waktu pengamatan (minggu)

Gambar 25 Hubungan karaginan dengan waktu pengamatan


di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari.
Hasil penelitian pada minggu keempat merupakan batas terjadinya
penambahan kandungan karaginan sedangkan pada minggu selajutnya terjadi
penurunan kandungan karaginan yang disebabkan kondisi lingkungan perairan
yang tidak mendukung. Terjadinya penurunan kandungan karaginan pada minggu
kelima sampai minggu kedelapan ini akibat terkena penyakit ice ice yang merusak
struktur jaringan dalam dimana terdapat kadungan karaginan.

55

y = -1.0615x + 8.9238

10

Karaginan (%)

R = 0.948
8
6
4
2
0
0

10

Waktu pengamatan (minggu)

Gambar 26 Hubungan kandungan keraginan dengan waktu pengamatan


di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari.
Analisis regresi hubungan kandungan karaginan pada lokasi budidaya
sebelah utara memberikan gambaran pola hubungan linier (Gambar 26), dengan
persamaan sebagai berikut :
Y = 8.92380.5268x, r = 0.948%.
Hal ini menunjukan bahwa bertambahnya waktu pengamatan diikuti
penurunan kandungan karaginan.

56

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
1

Kualitas air di lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii sebelah barat yang
merupakan perairan terbuka di minggu pertama sampai minggu keempat
masih memenuhi kreteria untuk budidaya rumput laut. dan menurun pada
minggu kelima sampai minggu kedelapan. Sedangkan di lokasi sebelah utara
pulau Pari yang merupakan perairan tertutup, kualitas air buruk dari minggu
pertama sampai minggu kedelapan.

Pertumbuhan Rumput laut K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat (luar


gobah) dan utara (gobah) pulau Pari tidak memenuhi pola pertumbuhan
logistik normal mencapai biomassa maksimal.

Lokasi budidaya sebelah barat dari minggu ke1-ke4 masih mengalami


pertumbuhan yang dipengaruhi oleh nitrat dan ortho pospat, Selanjutnya
mulai minggu ke5-ke8 mengalami pengkroposan, sementara lokasi budidaya
sebelah utara dari minggu k1-k8 biomassa rumput laut langsung mengalami
pengkroposan.

Pengkroposan biomassa rumput laut di lokasi budidaya

sebelah barat dan utara pulau Pari dipengruhi oleh suhu, arus dan oksigen
terlarut.
4

Karaginan sebagai indikasi kualitas rumput laut sebagai produk akhir di lokasi
budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari selalu mengalami penurunan.

Saran
1

Perlu adanya penelitian terhadap karakteristik biofisik perairan selama


beberapa tahun untuk mendapatkan data yang lebih akurat terhadap budidaya
rumput laut K. alvarezii di pulau Pari.

Agar penyakit ice ice tidak meluas atau berkembang, maka kegiatan budidaya
dihentikan selama kualitas air memburuk dan dilakukan penanaman bila
kondisi perairan kembali mendukung usaha budidaya.

57

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto dan Liviawaty. 1993. Budidaya Rumput


Pengelolaannya.Penerbit Bharatara, Jakarta.

Laut

dan

Cara

Ainsworth PA. and Blanshard JMV. 1980. Effect of Thermal Processing on


Structure and Rheological of Carrageenan/Carob Gum Gels. Journal of
Texture Studies 11 (149).
Anggadiredja J, S Irawati, dan Kusmiyati. 1996. Potensi dan Manfaat
Rumput Laut Indonesia dalam Bidang Farmasi. Seminar Nasional
Industri Rumput Laut. Jakarta. p. 49-62.
Anggoro S. 1994. Petunjuk Teknis Budidaya Laut. Direktorat Bina Sumber
Hayati. Departemen Pertanian, Jakarta.
Anonimous. 1990.
Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Puslitbang
Perikanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jakarta.
Aslan LM. 1998. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius, Jakarta.
Atmadja WS, A Kadi, Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis
Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta.
Atmadja WS dan Sulistijo. 1977. Usaha Pemanfaatan Bibit Stek Alga Laut
Euchema spinosum (L) J. AGRADH di Pulau-pulau Seribu Untuk
Dibudidayakan. Dalam: Teluk Jakarta, Sumberdaya, Sifat-sifat
Oseanologis Serta Permasalahannya. Editor: M. Hutomo, K
Romimohtarto dan Burhanudin. LON LIPI, Jakarta: hal 433-449.
Bapeda Propinsi DKI Jakarta 2001. Pengelolaan Laut Lestari. Lembaga
Penelitian ITB. Jakarta.
Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisa Data Biofisika
Sumberdaya Pesisir. PKSPL IPB Bogor.
Besweni. 2002. Kajian Ekologi Ekonomi Pengembangan Budidaya Rumput
Laut DI Kepulauan Seribu (STUDI KASUS DI GUGUSAN P. Pari).
Thesis IPB. Bogor.
Bold HC, and MJ Wynne. 1985. Introduction to Alggae Structure and
Reproduction. 2nd ed. Englewood Cliffs NJ: Prentice-Hal, 706 pp.
Chapman VJ. 1962. The Algae. Mc McMillan and Co Ltd. London. 383-411.
Chapman V J. and DJ Chapman. 1980. Seaweeds and Their Uses. Third Edition.
Chapman and Hall, London. N.Y.

58

-----------1987. The Production And Use of Eucheuma In Case Studies of Seven


Commercial Seaweed Resources. M.S. Doty. J.F. Coddy and B.Santelices
(Eds). FAO Fisheries Technical Paper 281.
Dawes C J, A C Matheieson and D. P. Chenney, 1974. Ecological Studies of
Floridean Eucheuma (Rhodophyta, Gigartinales. I. Seasonal Growth and
Reproduction. Bull. Mar. Sci., 24 : 235 273.
Dawes CJ. 1981. Marine Botany. John Wiley and Sons University of South
Florida. New York. 268 p.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1992. Suatu Tinjauan Tentang Teknologi
Produksi Jenis Rumput Laut Tropis yang Bernilai Ekonomis. 43 hal.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1997. Pedoman Teknis Pemilihan Lokasi
Budidaya Rumput Laut. Ditjen Perikanan. Jakarta. 20 hal.
Direktorat Jenderal Perikanan. 2004. Hama dan Penyakit Rumput Laut.
Doty MS. 1971. Measurement of Water Movement in References to Benthic
Algae Growth. Bot Mar. XIV; 32-35.
------------- 1973. Eucheuma Farming for Carrageenan. Univ. Hawai Sea Grant
Report. UNIHI SEAGRANT-AR 73-02: 21.
Durant NW and FR Sanford. 1970. Fhycocoloids. Berau of Commercial Fisheries
Div. of Publ. Washington.
Eidman HM. 1991. Studi Efektivitas Bibit Algae Laut (Rumput Laut), Salah Satu
Upaya peningkatan Produksi Budidaya Algae Laut (Eucheuma sp).
Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan. IPB.
Emor DW. 1993. Peranan Unsur N dan P Bagi Pertumbuhan Rumput Laut di
Perairan Pantai. Karya llmiah. Fakultas Perikanan-Universitas Sam
Ratulangi, Manado.
Furia TE. 1964. Food Hydrocollooids. Vol 1. CRS Press Inc. Boca Raton
Florida.
_______ 1981. Hand Book of Food Addives. 2nd. ed. Vol 1. CRC Pres. Florida.
308.
Glickman M. 1969. Gum Technology in the Food Industry. Academic
Press, New York.
Guiseley KB, NF Stanley and F.M. Whitehouse. 1980. Carrageenan. Hand Book
of Water Soluble Gums and Resins. R.L. Davids on (ed). Mc Grow Hill
Book Company.N. Y. Toronto, London.

59

Hansen JE, FE Fackard and WT Doyle. 1981. Marine Culture of Red Seaweeds.
A. California Sea Grant. College Program Publ.
Haryadi S, INN Suryadiputra dan Widigdo. 1992. Limnologi. Penuntun
Praktikum dan Analisa Kualitas Air. Fakultas Perikanan IPB, Bogor
Hirao S. 1971. Seaweed in Untilization of Marine Products. In Okada, M., S.
Hirao, E, Naguchi, T, T. Suzuki and M. Yokoseki (Eds). Overseas
Tecnical Cooperation Agency Govermment of Japang. Tokyo.
Hunter WD. 1970 Aquatic Productivity. MacMillan Publ. Co. Inc. New York.
320 p.
Hutabarat J. 1995. Workshop Budidaya Laut: Evaluasi Kondisi Bio
Hydrography dalam Penentuan Lokasi Budidaya Laut, Jepara.
Ilahude AG dan Liasaputra. 1980. Sebaran Normal Parameter Hidrologi di Teluk
Jakarta, Pengkajian Fisika, Kimia dan Geologi Tahun 1975 1979.
LON LIPI Jakarta.
Indriani H dan E Sumiarsih. 1999. Budidaya, Pengelolaan dan Pemasaran
Rumput Laut. PT. Penebar Swadaya, Depok. IPB (1997).
Ismail A. 1982. Penelitian Adaptif Peningkatan Mutu Rumput Karagenopit
dengan Pencucian Alkali. Instalasi Penelitian dan Pengkajian
Teknologi Pertanian. Jakarta. 14 hal.Laut.
Johan O. 2001. Tingkat Keberhasilan Transplantasi Karang Batu pada
Lokasi yang berbeda di Gugus Pulau Pari Kabupaten Pulau Seribu.
Tesis Program Studi Ilmu Kelautan. Program Pascasarjana IPB. Bogor
Kadi A dan WS Atmadja. 1988. Rumput Laut (Algae) Jenis, Reproduksi,
Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. PPPO LIPI Jakarta.
Kastoro. 1977. Hasil-Hasil pengamatan hidrologi di perairan sekitar Pulau
Lancang. Jakarta.
Kolang M, X Lalu, dan H Korah. 1996. Panduan Budidaya dan Pengolahan
Rumput Laut. Dinas Perikanan Sulawesi Utara, Manado.
Kuhl A. 1974. Phosphorus. L1 W. D. P. Stewart (Ed.). Algae Physiology
and Biochemstry. Botanical Monographs. Vol. 10. Blackwell
Scientific Publications, Oxford, London, Edinburgh, Melbourne.
p:G36-654.
Kusdi HIK. 2004. Kajian Pertumbuhan, Produksi Rumput Laut Eucheuma cotoni
dan Kandungan Karaginan di Perairan Maluku Utara. Tesis Program Studi
Ilmu Perairan. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

60

Lewis SM, JN Norris and RB Searles 1987. The Regulation of Morphological


Plasticity on Tropical Reef Algae by Herbivor, Ecology 68 pp.
Lobban CS, PJ Harison. 1994. Seaweed Ecology and Physiology. Cambridge
Univ. Press New York.
Luning

K. 1990.
Seaweed; Their Environment, Biogeography and
Ecophysiology. A Wiley Interscience Publication. John Wiley and Sons.
Inc. New York.

Moore AB. 1958. Marine Ecology. John Wiley and Sons, Inc. NY, 493p.
Morris I. 1974. Nitrogen Asimilation and Protein Synthetis. P:583-609. In
W.D.P. Stewart (Ed). Algal Physiologi and biochemisty. Botanical
Monographs. Vol 10. Blackwell Scientific Publication. Oxford, London,
Edinburgh. Melboume.
Mubarak H dan I Wahyuni. 1981. Percobaan Budidaya Rumput Laut di Perairan
Lorok, Pacitan dan Kemungkinan Pengembangannya. Bull. Pen.
Perikanan, I(2) : 157-166.
Mukti ED.1987. Ekstraksi Analisa Sifat Fisika Kimia Karaginan dari
Rumput Laut Laut Jenis Eucheuma cottonii. Fateta IPB Bogor.
Nasution MH 2005. Patogenitas Beberapa Isolat Bakteri Terhadap Rumput
Laut Kappaphycus alvarezii Asal Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakrata. Jakarta.
Ngangi ELA. 2001. Kajian Intensifikasi dan Analisis Finansial Usaha Budidaya
Rumput Laut Kappaphycus alvarezii di Desa Bentenan-Tumbak
Kecamatan Belang Propinsi Sulawesi Utara. . Tesis Program Studi Ilmu
Kelautan. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Ngangi ELA, Jusuf dan JD Kusen. 1998. Faktor Lingkungan Budidaya Rumput
Laut di Desa Serey Kecamatan Likupang Minahasa. Laporan Penelitian
Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Nontji 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Noor DZ 1991. Pengaruh Senyawa Hidroksida dan Usia Tanam Terhadap
Kualitas Bahan Baku Rumput Laut. Prosesing Temu Karya Ilmiah Pasca
Panen Rumput Laut. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jakarta.
Patadjai RS. 1993. Pengaruh Pupuk TSP Pertumbuhan dan Kualitas Rumput
Laut Gracilaria gigas Harv. Tesis Program Studi Ilmu Perairan. Program
Pascasarjana IPB. Bogor.

61

Rahardjo A. 2000. Semarak Rumput Laut di Pulau Tidung. Trubus No. 364. Ed.
Maret 200. Thn XXX. Yayasan Sosial Tani Membangun. Jakarta.
Rees DA.1969. Structure Confirmation and Mechanism in the Formation of
Polysaccharide Gels and Net Works. In Advance Carbohydrat
Chemistry. Biochemistry, Edinburg
Scottl and 24: 279-282
Reen DW. 1986. Uses of Marine Algae in Biotechnology and Industry.
Workshop on Marine Algae Biotechnology. Summary Report.
National Academic Press, Washington D.C.
Salisbury FB dan CW Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan Diah, RL
dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung: 584 hal.
Sanderson GR. 1981. Phylosaccharides in Foods. Food Technology 35 (7) :
50.
Satari R. 1998. Kandungan Karaginan Eucheuma pada Berbagai Usia Panen.
Peranan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Budidya Sumberdaya
Perikanan Sebagai Perwujudan Konsep Benua Maritim Indonesia.
Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II. Desember 1997. Ujung
Pandang.
Sediadi dan Budihardjo U. 2000. Rumput Laut: Komoditas Unggulan. PT.
Gramedia Indonesia. Jakarta.
Semangun H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mada. 754 hal.
Sharma SC. 1981. Gum and Hidrocolloids in Oil Water Emultions. Food
Technology. 5 (1) : 59.
Silva PC. 1979. The Binthic Algae Flora of Central San Francisco Bay. In San
Francisco Bay. The Urbanized Estuary (pp 287-345). San Francisco
Academy of Sceincer.
Silva PC, Basson PW and Moe RL. 1996. Cataloque of the Benthic
Marine Algae of the India Ocean. Univ. Of California Press.
Simpson FJ, AC Neish, PF Shacklock and DR Robon. 1978. The Cultivation of
Chondrus Crispus Effect of pH and Growth and Production of
Carrageenan. Botanica Marina 21:229-235.
Smith DF, AN Hiiel and AS Fenin. 1955. Studies on Heterogenity of
Carrageenan. Can. J. Chem. 30 . 1352 1260.
Soegiarto A dan Sulistio 1985. Produksi dan Budidaya Rumput Laut di
Indonesia. LON-LIPI Jakarta.

62

Soegiarto A., WS Atmadja, Sulistijo dan H. Mubarak. 1978. Rumput Laut


(Algae): Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayanya. LON-LIPI,
Jakarta.
Soerjodinoto. 1968. Masalah Kultivasi Eucheuma di Pseudo Atol pulau Pari.
Dit. Hidral. Jakarta.
Strickland dan Parson 1968. A Practical Handbook of Seawater Analysis. 2nd ed.
Fish . Res. Bd . Canada Bull. 167, 310 pp [4.7.1,5.2,6.3].
Suharsono. 1986. Permasalahan dan Pengelolaan Trumbu Karang di Indonesia.
Jurnalisti. Program Rehabilitasi dan Pengelaan Trumbu Karang. Jakarta.
Sulistijo. 1994. The Harfest Quality of alvarezzi Culture by Floating Method in
Pari Island North Jakarta. Research and Development Center for
Oceanology Indonesia Institut of Science. Jakarta.
--------- 1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut di Indonesia. Dalam.
Pengenalan Jenis-Jensi Runput Laut. Puslitbang Oseanologi LIPI.
Jakarta. Hal 120-151.
--------- 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di
Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Akuakultur
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Jakarta.
Supit SD. 1989. Karakteristik Pertumbuhan dan Kadungan Keragenan Rumput
Laut Eucheuma alvarezii yang Berwarna Abu-abu, Coklat dan Hijau yang
Ditanam di goba Labangan Pasir P. Pari. Skripsi Fakultas Pertanian IPB.
Bogor. 100 hal.
Suryaningrum TD. 1988. Kajian Sifat - Sifat Mutu Komoditi Rumput Laut
Budidaya Jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Thesis IPB.
Bogor.
Syret PJ. 1962. Nitrogen assimilation in: R. A. Levin and Phisiology and
Biochemisty of Alge. Academik Press, New York, N. Y. 171 188.
Towle GA. 1973. Carrageenan In Industrial Gums. R.L. Wistler and Be. Miller.
S.N. (eds) Academic Press. London.
Trono GC. 1992. Suatu Tinjauan Tentang Tehnologi Produksi Jenis Rumput
Laut Tropis yang Bernilai Ekonomis. Dirjen Perikanan Jakarta.
Trono GC, Trorino dan F.G. Fortes 1988. Philippine Seaweeds. National Book
Stone Inc. Manila.

63

Uyenco F, LS Sanmiel and GS Jacinto. 1981. The Ice ice Problem in Seaweed
Farming. Proc. International Seaweed Syimposium 10 : 625-630.
Wei FL and WY Chin. 1983. Seaweed of Singapore. Singapore University. Press
National. University of Singapore.
Winarno F G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta.
Zabil ME and J Ridrich. 1968. Gel Strenght of Kappa-Carrageenan as Affected
by Cation. J. Food Sci : 12 : 91 - 97.
Zatnika A. 1988. Prospek Pengembangan Rumput Laut di Indonesia Dalam
Seminar Laut Nasional II. Kantor Menteri Negara KLH, Laboratorium
Ilmu-ilmu Kelautan UI IPB dan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia
(ISOI).
Zatnika A dan Angkasa WI. 1994. Teknologi Budidaya Rumput Laut. Makalah
pada Seminar Pekan Akuakultur V.tim Rumput Laut BPP Teknologi
Jakarta. Jakarta.

65

Lampiran 1 Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari
Parameter
kualitas air
Suhu (C)
Salinitas ()
Arus (cm/dtk)
Oksigen terlarut (mg/l)
Kecerahan (m)
pH
Nitrat (mg/l)
Nitrit (mg/l)
Amonia (mg/l)
Total-P (mg/l)
Ortho-P (mg/l)

0
27,4
31,2
5,18
6,96
2,3
8,0
0,172
0,0102
0,1706
0,126
0,0070

1
27,6
31,6
5,38
6,76
2,52
8,0
0,208
0,0106
0,1726
0,116
0,0060

Nilai parameter kualitas air pada minggu ke


2
3
4
5
6
27,2
27
29
29,2
30
31,6
31,8
31,8
31,4
32
5,2
5,56
5,14
2,5
2,88
6,74
6,8
6,52
4,5
4,02
2,3
2,3
2,25
2,52
2,25
8,1
8,3
8,1
8,2
8,3
0,194
0,272
0,240
0,208
0,182
0,01032 0,0097
0,0094
0,0112
0,01098
0,1721
0,1736
0,1803
0,1803
0,1821
0,121
0,122
0,125
0,136
0,1193
0,0080
0,0070
0,0090
0,0080
0,0070

7
30
31,6
3,24
4,08
2,3
8,4
0,152
0,01118
0,1811
0,118
0,0080

8
31
32,8
3,1
3,96
2,3
8,2
0,170
0,0113
0,1821
0,1190
0,0070

Rata-rata
28,71
31,76
4,24
5,59
2,34
8,18
0,1998
0,0105
0,1772
0,1225
0,0074

66

Lampiran 2 Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari

Parameter
kualitas air

Nilai parameter kualitas air pada minggu ke


2
3
4
5
6

Rata-rata
7

Suhu (C)

30,0

30,2

30,4

30,4

30,4

30,2

31,2

31,2

31,0

30,56

Salinitas ()
Arus (cm/dtk)
Oksigen terlarut (mg/l)
Kecerahan (m)

31,3
1,96
4,70
2,15

31,4
2,10
4,86
2,25

31,4
2,14
4,80
2,24

31,9
1,94
4,82
2,21

31,9
1,90
4,74
2,25

31,6
1,94
4,58
2,21

31,9
1,74
4,68
2,25

31,8
1,62
4,58
2,25

32,5
1,66
3,90
2,25

31,74
1,89
4,63
2,23

pH
Nitrat (mg/l)
Nitrit (mg/l)
Amonia (mg/l)

7,3
0,1104
0,0108
0,1714

7,4
0,1114
0,0108
0,1814

7,3
0,1113
0,0109
0,1812

7,3
0,1097
0,0108
0,1813

7,1
0,1098
0,0110
0,1812

7,2
0,1099
0,0109
0,1814

7,2
0,1109
0,0110
0,1813

7,2
0,1099
0,0108
0,1814

7,3
0,1111
0,0108
0,1813

7,3
0,1105
0,0109
0,1802

Total-P (mg/l)
Ortho-P (mg/l)

0,0059
0,0053

0,0062
0,0054

0,0061
0,0053

0,0056
0,0052

0,0059
0,0049

0,0059
0,0046

0,0061
0,0048

0,0061
0,0047

0,0059
0,0041

0,0060
0,0049

67

Lampiran 3 Hasil uji t terhadap parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah
barat dan utara pulau Pari periode Mei sampai Juni 2005.
Parameter
Arus
Kecerahan
Suhu
pH
Salinitas
DO
Nitrat
Ortho-P
Amonia
Nitrit
Total-P
Ket

t-hit
44,7051
3,9675
4,5900
17,5856
11,5742
31,4133
0,1212
20,3814
3,1229
0,0004
0,1938

** = sangat nyata
tn = tidak nyata

Hasil Uji
t-tab 95%
1,7500
1,7500
1,7500
1,7500
1,7500
1,7500
1,7500
1,7500
1,7500
1,7500
1,7500

99%
2,9200
2,9200
2,9200
2,9200
2,9200
2,9200
2,9200
2,9200
2,9200
2,9200
2,9200

Simpulan
**
**
**
**
**
**
tn
**
**
tn
tn

68

Lmpiran 4 Hasil pengukuran bobot basah K. alvarezii di lokasi budidaya


sebelah barat pulau Pari
Ulangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jumlah
Rata-rata

0
1
125 127,4
125 126,3
125 125,5
125 126,5
125 125,8
125
127
125 126,5
125 126,8
125 130,3
125 126,3
1250 1268,4
125 126,84

Pengamatan (minggu)
2
3
4
5
135,5 155,5 206,3 192,5
134,5 154,3 204,9 190,4
132,5 152,9
200 185,3
133,5 155,9 208,5
195
132,5 146,9 186,4 159,8
138,9 163,5 220,5 208,9
137,8 157,6
209 196,4
133,5 153,5 203,7 188,6
137,9 162,6 215,9 196,5
133,9 159,3 207,8 193,6
1350,5 1562 2063 1907
135,05 156,2 206,3 190,7

6
184,5
182,3
174,3
185,2
139,7
197,6
187,5
178,4
189,5
186
1805
180,5

7
153,5
146,8
143,7
154,5
105,8
176,8
157,6
151,8
157,6
153,9
1502
150,2

8
134,5
127,2
126,7
138,1
130,6
128,6
128,8
132,2
127,7
131,6
1306
130,6

69

Lampiran 5 Hasil pengukuran bobot basah K. alvarezii setiap minggu di lokasi


budidaya sebelah utara pulau Pari.
Ulangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Total
Rata-rata

0
125
125
125
125
125
125
125
125
125
125
1250
125

1
115,7
116,4
114,7
114,5
115,5
114,7
111,0
103,5
114,6
116,4
1137
113,7

Pengamatan (minggu)
2
3
4
5
114,6 108,7 99,9 82,5
114,9 109,0 100,0 85,5
112,9 100,9 87,8 68,3
112,7 102,5 91,5 74,5
113,5 104,5 93,9 76,5
111,7 100,7 85,7 71,0
105,5 97,6 77,5 48,0
98,8 78,8 65,8 46,7
113,6 105,7 96,7 80,2
114,8 106,6 98,2 81,8
1113 1015 897
715
111,3 101,5 89,7 71,5

6
69,5
74,5
50,5
60,4
61,7
53,9
39,3
35,5
68,7
70,0
584
58,4

7
53,9
56,4
39,9
47,9
49,0
43,5
22,5
20,3
50,8
56,8
441
44,1

8
41,7
43,9
26,9
32,5
35,5
28,7
12,9
10,5
37,9
42,5
313
31,3

70

Lampiran 6 Hasil uji t terhadap bobot basah, Kandungan karaginan, kadar air
dan kadar abu di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari
periode Mei sampai Juni 2005.
Bobot basah
(Minguan)
1
2
3
4
5
6
7
8
Ket

99%
2,55
2,55
2,55
2,55
2,55
2,55
2,55
2,55

Simpulan
**
**
**
**
**
**
**
*

** = sangat nyata
* = nyata

Parameter
Karaginan
Kadar abu
Kadar air
Ket

t-hit
6,54
7,13
7,27
8,18
6,36
5,42
4,52
2,30

JHasil Uji
t-tab 95%
2,10
2,10
2,10
2,10
2,10
2,10
2,10
2,10

t-hit
26,28
63,96
120,42

** = sangat nyata

Hasil Uji
t-tab 95%
1,75
1,75
1,75

99%
2,92
2,92
2,92

Simpulan
**
**
**

71

Lampiran 8 Kandungan karaginan, kadar air dan kadar abu di lokasi budidaya
sebelah barat (a) dan utara (b) pulau Pari
(a)
Pengamatan
(minggu)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Rata-rata
(b)
Pengamatan
(minggu)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Rata-rata

125,0
126,8
135,1
156,2
206,3
190,7
180,5
150,2
130,6
155,7

Kandungan
Karaginan (%)
8,5
8,6
9,2
13,2
16,8
13,8
13,7
9,6
4,5
10,9

Kadar Air
(%)
20,2
22,6
22,8
20,8
19,1
19,9
20,6
21,2
21,4
21,0

Kadar Abu
(%)
17,8
16,9
19,8
20,2
21,2
21,2
22,3
21,5
21,6
20,3

Bobot basah
(g)
125
113,7
111,3
101,5
89,7
71,5
58,4
44,1
31,3
82,94

Kandungan
Karaginan (%)
8,52
7,99
7,25
6,9
3,9
3,1
1,89
1,32
1,23
4,68

Kadar
Air (%)
20,1
23,82
23,78
20,88
22,26
23,24
23,24
21,12
20,08
22,06

Kadar
Abu (%)
16,99
20,23
20,1
21,21
23
25,54
25,55
26,23
26,21
22,78

Bobot basah (g)

72

Lampiran 9 Hasil analisis komponen utama lokasi budidaya sebelah barat


pulau Pari
A. Korelasi antara variabel dengan sumbu utama
F1
Suhu (C)
Salinitas ()
Arus (cm/dtk)
Oksigen terlarut (mg/l)
Kecerahan (m)
pH
Nitrat (mg/l)
Nitrit (mg/l)
Amonia (mg/l)
Total-P (mg/l)
Ortho-P (mg/l)

F2
-0,954
-0,923
0,955
0,974
0,096
-0,702
0,513
-0,768
-0,915
0,006
-0,194

F3
0,105
0,153
0,193
0,126
-0,441
0,199
0,482
-0,568
0,276
0,437
0,875

-0,091
0,264
-0,083
-0,055
0,808
-0,255
0,215
0,188
0,030
0,803
0,068

B. Akar ciri representasi ragam pada sumbu utama


Nilai
1
2
3
4
5
6
7
8

Akar Ciri
6,76
1,93
1,55
0,92
0,45
0,27
0,07
0,05

%Total ragam
56,34
16,12
12,91
7,66
3,74
2,22
0,57
0,45

Kumulatif %
56
72
85
93
97
99
100
100

C. Kontribusi antara variabel pada sumbu utama


Variabel
Suhu (C)
Salinitas ()
Arus (cm/dtk)
Oksigen terlarut (mg/l)
Kecerahan (m)
pH
Nitrat (mg/l)
Nitrit (mg/l)
Amonia (mg/l)
Total-P (mg/l)
Ortho-P (mg/l)
.

F1
13,47
12,60
13,50
14,03
0,14
7,28
3,89
8,73
12,38
0,00
0,55

F2
0,57
1,20
1,92
0,82
10,06
2,04
12,03
16,66
3,94
9,89
39,63

F3
0,53
4,51
0,44
0,20
42,16
4,19
2,98
2,28
0,06
41,61
0,30

73

D. Sebaran kualitas air (F1 x F2) dan Korelasi antara Variabel (F1 x F3) di
lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari

Variables (axis F1 and F2: 71 %)


1,5

-- axis F2 (17 %) -->

Ortho-P

0,5

Total-P

Amoniak

Nitrat

(mg/l)
Salinitas
pH
Suhu

Arus
DO

0
Kec

-0,5

Nitrit

-1

-1,5
-1,5

-1

-0,5

0,5

1,5

-- axis F1 (53 %) -->

Variables (axis F1 and F3: 67 %)


1,5

-- axis F3 (14 %) -->

Kec
Total-P
0,5
Salinitas
Nitrit
Amoniak
(mg/l)
Suhu
pH

Nitrat
Ortho-P

DO
Arus

-0,5

-1

-1,5
-1,5

-1

-0,5

0,5

-- axis F1 (53 %) -->

1,5

74

Lampiran 10

Hasil analisis komponen utama lokasi budidaya sebelah utara


pulau Par i

A. Korelasi antara variabel dengan sumbu utama


Parameter
Suhu (C)
Salinitas ()
Arus (cm/dtk)
Oksigen terlarut (mg/l)
Kecerahan (m)
pH
Nitrat (mg/l)
Nitrit (mg/l)
Amonia (mg/l)
Total-P (mg/l)
Ortho-P (mg/l)

F1
0,906
-0,526
-0,855
-0,673
0,603
-0,718
-0,122
0,234
0,629
-0,023
-0,887

F2
0,328
0,191
0,230
0,224
0,711
0,372
0,761
0,205
0,451
0,857
0,208

F3
-0,099
0,343
0,083
0,564
0,186
-0,555
-0,540
0,720
0,324
-0,037
0,201

B Akar ciri representasi ragam pada sumbu utama


Nilai
1
2
3
4
5
6
7
8

%Total Ragam
44,87
20,80
14,62
8,22
6,07
4,53
0,71
0,19

Kumulatif %
44,87
65,66
80,28
88,50
94,57
99,10
99,81
100,00

C Kontribusi antara variabel pada sumbu utama


Parameter
Suhu (C)
Salinitas ()
Arus (cm/dtk)
Oksigen terlarut (mg/l)
Kecerahan (m)
pH
Nitrat (mg/l)
Nitrit (mg/l)
Amonia (mg/l)
Total-P (mg/l)
Ortho-P (mg/l)

F1
15,240
5,142
13,562
8,406
6,758
9,570
0,275
1,018
7,360
0,010
14,622

F2
4,313
1,466
2,115
2,018
20,273
5,544
23,209
1,681
8,149
29,406
1,737

F3
0,557
6,693
0,393
18,140
1,969
17,547
16,603
29,576
5,987
0,079
2,307

75

D. Sebaran kua litas air (F1 x F2) dan (F1 x F3) di lokasi budidaya sebelah utara
pulau Pari.

Variables (axis F1 and F2: 66 %)


1,5

-- axis F2 (21 %) -->

Total-P
Nitrat

Kec
Amoniak
(mg/l)
Suhu

0,5
pH
ArusDOSalinitas
Ortho-P

Nitrit

-0,5

-1

-1,5
-1,5

-1

-0,5

0,5

1,5

-- axis F1 (45 %) -->

Variables (axis F1 and F3: 59 %)


1,5

-- axis F3 (15 %) -->

Nitrit
DO

0,5

Amoniak
(mg/l)
Kec

Salinitas
Ortho-P
Arus

Total-P

-0,5

Suhu

Nitrat

pH

-1

-1,5
-1,5

-1

-0,5

0,5

-- axis F1 (45 %) -->

1,5

76

Lampiran 12 Analysis of Variance hubungan pertumbuhan dengan unsur hara


(nitrat, ortho pospat) minggu ke1-ke4, dengan suhu, arus dan oksigen
terlarut minggu ke5-ke8 di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari
(minggu ke1-ke4)
Source
DF
Regression
2
Residual
5
Total
7
R-Sq = 83%
Predictor
Constant
Nitrat
Ortho-P

Coef
-281,23
1550,9
14596

SS
7194,6
5 311,1
7505,6

SE Coef
48,44
233,0
2179

MS
3597,3
62,2

T
-5,81
6,66
6,70

F
57,82

P
0,000

P
0,002
0,001
0,001

Persamaan Regresi :
BB = - 281 + 1551 nitrat + 14596 ortho-P

(minggu ke5-ke8)
Source
Regression
Residual
Total
R-Sq = 98,9%
Predictor
Constant
Suhu
Oksigen
Arus

DF
3
4
7

Coef
1852,3
-34,691
-10,019
-7,7888

SS
4839,2
55,7
4894,9

SE Coef
166,7
3,800
1,477
0,8601

MS
1613,1
13,9

T
11,11
-9,13
-6,78
-9,06

Persamaan Regresi :
BB = 1852 - 10 Oksigen - 7,79 Arus - 34,7 Suhu

F
115,89

P
0,000
0,001
0,002
0,001

P
0,000

77

Lampiran 12 Analysis of Variance hubungan pertumbuhan dengan suhu, arus


dan oksigen di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari (minggu ke1-ke4)
dan (minggu ke5-ke8)

(Minggu 1 - 4)
Source
Regression
Residual
Total
R-Sq = 98,2%
Predictor
Constant
Suhu
Arus
Oksigen

DF
3
4
7

Coef
-980,7
19,279
4,7419
8,524

SS
317,30
5,94
323,24

MS
105,77
1,48

SE Coef
318,2
8,329
0,5211
1,733

T
-3,08
2,31
9,10
4,92

F
71,27

P
0,001

P
0,037
0,042
0,001
0,008

Persamaan Regresi :
BB = -981 + 19,3 suhu + 4,74 arus + 8,52 oksigen

(Minggu 5 - 8)
Source
Regression
Residual
Total
R-Sq = 99%
Predictor
Constant
Suhu
Oksigen
Arus

DF
3
4
7

Coef
-1489,2
45,10
-6,143
25,335

SS
1786,84
18,49
1805,33

MS
595,61
4,62

SE Coef
307
10,63
1,993
3,938

T
-4,85
4,24
-3,08
6,43

Persamaan Regresi :
BB = -1489 + 45,1 suhu + 25,3 arus - 6,14 oksigen

F
128,83

P
0,008
0,013
0,037
0,003

P
0,000

78

Lampiran 13 Analysis of Variance hubungan karaginan dengan unsur hara di


lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari
Barat
Source
Regression
Residual Error
Total
R-Sq = 84.6%
Predictor
Constant
Nitrat
Ortho-P
Amonia

Utara
Source
Regression
Residual Error
Total
R-Sq = 79.6%
Predictor
Constant
Nitrat
Ortho-P
Amonia

DF
3
5
8

Coef
21.67
39.22
4321
-276.1

DF
3
5
8

Coef
-149
252.5
6049
527

SS
103.055
18.731
121.786

MS
34.352
3.746

SE Coef
32.60
21.64
1283
204.1

SS
53.581
13.696
67.277

SE Coef
1293
856.1
1391
7060

F
9.17

T
0.66
1.81
3.37
-1.35

MS
17.860
2.739

T
-0.11
0.29
4.35
0.07

P
0.018

P
0.536
0.130
0.020
0.234

F
6.52

P
0.035

P
0.913
0.780
0.007
0.943

You might also like