You are on page 1of 10

Anatomi hidung

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali


tentang anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan
diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat
berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007)
2.1.1.1 Embriologi hidung
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari
pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama,
embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung
yang berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian
berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka
(turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus. (Walsh
WE, 2002)
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan
embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga
hidung sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian
pertautan prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan
berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung pembentukan
olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang
hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah posterior
frontonasal dan perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah
maksilaris.(Walsh WE, 2002)
Universitas Sumatera UtaraKetika kehamilan memasuki usia enam minggu,
jaringan mesenkim mulai terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral
hidung dengan struktur yang masih sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu,
tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah konka
(turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu, mulailah terbentuk
sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media. Dan pada saat
yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula ethmoidalis yang
membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris. Pada usia
kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel etmoidalis
anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel
ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan
akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu , dinding lateral hidung
terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh
daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak
baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama
berkembang adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan
sinus frontal. (Walsh WE, 2002)
2.1.1.2 Anatomi hidung luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari
atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi),
3) puncak hidung (hip),4)
Universitas Sumatera Utara

ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung
(os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal
; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago
nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang
disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.
(Soetjipto D & Wardani RS,2007)
2.1.1.3 Anatomi hidung dalam
Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan
rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral
terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka
inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah
antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas
konka media disebut meatus superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007;
Hilger PA,1997)
Universitas Sumatera Utara

2.1.1.3.1 Septum nasi


Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa;
bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine
serta krista sfenoid. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
2.1.1.3.2 Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. . (Ballenger JJ,1994)
Universitas Sumatera Utara

Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh
filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan
kranial konka superior. . (Ballenger JJ,1994)
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari
os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial. . (Ballenger JJ,1994)
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka
media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat

(konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka
media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan
palatum. (Ballenger JJ,1994)
2.1.1.3.3 Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok
sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau
beberapa
Universitas Sumatera Utara

ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di


depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat
bermuaranya sinus sfenoid. (Ballenger JJ,1994)
2.1.1.3.4 Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral
terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum.
Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan
hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk
tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.
Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang
dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan
sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan
sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus
maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid
dan kadang- kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di
depan infundibulum. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
2.1.1.3.5 Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm
di belakang batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
Universitas Sumatera Utara

2.1.1.3.6 Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum.
Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis
palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os
sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus. (Ballenger JJ,1994)
Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris
merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk
piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan
puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.
(Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007 ; Hilger PA,1997)
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus
alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian

inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh


pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium
dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah
mukus yang menghasilkan sel-sel goblet (Sobol SE, 2007).
2.1.1.4 Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka
media dan lamina
Universitas Sumatera Utara

papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus


unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi
dan ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret
yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus
frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut
sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret
dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara
prosesus unsinatus dan konka media (Nizar NW, 2000).
Gambar 2.2 Kompleks Ostio Meatal (Sumber : Nizar NW, 2000)
2.1.1.5 Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis
Universitas Sumatera Utara

interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.


maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan
a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang
cabang a.fasialis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor
yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah
cidera
oleh trauma, sehingga
sering
menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung) terutama
pada anak. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di
hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007)
2.1.1.6 Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang
berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan
sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa

hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris


Universitas Sumatera Utara

dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis


mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Dhingra PL, 2007 ;
Soetjipto D & Wardani RS,2007
2.1.2 Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2)
fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan
mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan
pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
2.2. Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk
Universitas Sumatera Utara

rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat
buah pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus
etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar,
kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri.
Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan
mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui
ostium masing-masing. (Ballenger JJ,1994; Heilger PA, 1997;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian
anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media,
pada atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan
sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai
tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan
sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung
merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah
satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lender yang
segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung. (Ballenger
JJ,1994)
2.2.1 Embriologi sinus paranasal
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin
berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi
ostium sinus. Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4

bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus
etmoid telah ada saat anak lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk
dengan sangat baik dengan dasar agak lebih rendah daripada batas atas
meatus inferior. Setelah usia 7 tahun
Universitas Sumatera Utara

perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat.


Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia
kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8
10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus
ini pada umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun. .
(Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Gambar 2.3. Embriologi Tingkat Perkembangan Sinus Paranasal
2.2.2 Sinus maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang
terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan
pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat
lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat
dewasa. (Lund VJ,1997)
Universitas Sumatera Utara

Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan
ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat
berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan
berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media.
Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah lateral sehingga
terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga
sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan
berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun.
Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia
12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung
dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan
rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen.
Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger
JJ,1994; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke
fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila.
Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila,
dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau
dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus
os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os
lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah
prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku anatomi tubuh manusia,
ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4- 6 mm dan untuk
usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai
Universitas Sumatera Utara

hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu


ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus.
Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya

berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini


mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus. (Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu
premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring
(C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam
rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi
molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadangkadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja.
Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa
sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini
dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan
mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi
orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
(Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.3 Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
Universitas Sumatera Utara

etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun
dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. . (Ballenger
JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang
juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya
tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat
yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm,
dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septumseptum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan
adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari
orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang
terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.4 Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus- sinus lainnya. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Sel-sel etmoid,
mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus superior
dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan
posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian
berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa
pubertas. Pada orang

Universitas Sumatera Utara

dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian


posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume
sinus kira-kira 14 ml. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak
di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus
etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus
medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di
bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang
terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila.
Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
sinusitis maksila. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto
D. 2007)
2.2.5 Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan
evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi.
Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi
mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis posterior
maupun os sfenoid. Sebelum anak
Universitas Sumatera Utara

berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang


sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os
etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan
satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di
tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya.
(Ballenger JJ,1994)
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya
1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding
sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri
media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring,
sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna
(sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons. ( Mangunkusumo E., Soetjipto
D. 2007)
2.2.6 Fisiologi sinus paranasal
Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.
Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga

ini adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat
bahwa suku Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh
karena mereka tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar.
Teori ini dpatahkan oleh Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang
kuat, contohnya singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan
teori dari Proetz, bahwa kerja dari
Universitas Sumatera Utara

sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan
bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat
mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus
paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai
akibat pertumbuhan tulang muka. (Passali ; Lund VJ.1997 ; Mangunkusumo
E., Soetjipto D. 2007)
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
adalah :
(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak
didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. (Mangunkusumo
E., Soetjipto D. 2007)
(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita
dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan
organ-organ yang dilindungi. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)\
Universitas Sumatera Utara

(3) Membantu keseimbangan kepala


Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
ini dianggap tidak bermakna. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(4) Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi
sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator
yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. (Mangunkusumo E.,
Soetjipto D. 2007)
(6) Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena

mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter
%20II.pdf
http://www.scribd.com/doc/153061888/RANGKUMAN-docx
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/2-3-4.pdf

You might also like