Professional Documents
Culture Documents
Batasan
Batasan hipoglikemia pada neonatus masih kontroversi. Salah satu batasan yang paling
banyak dipakai adalah kadar glukosa plasma < 2,6 mmol/l atau < 45 mg/dl untuk neonatus
cukup bulan maupun neonatus kurang bulan.
Etiologi
a. Cadangan energi kurang
b. Pemakaian energi meningkat
c. Gangguan mobilisasi glukosa
ad. A. Cadangan energi kurang, terdapat pada:
1. Bayi prematur
2. Bayi kecil untuk masa kehamilan / wasted infants
3. Stressed infants; seperti infeksi atau hipoksia. Dalam keadaan hipoksia
pembentukan energi tidak efisien. Normal 1 gram glukosa menghasilkan 38 ATP
sedangkan dalam keadaan hipoksia hanya 2 ATP.
4. Bayi dengan kerusakan hepar / gangguan hepar seperti hepatitis sering mempunyai
cadangan glikogen yang rendah sehingga tidak ada cadangan energi
yang
dapat diubah menjadi glukosa.
Ad. B. Peningkatan kebutuhan energi
1. Bayi dengan distres pernapasan
2. Bayi hipotermi; untuk mempertahankan suhu tubuh diperlukan banyak energi dari
glukosa dan lemak coklat
3. Bayi dari ibu diabetes melitus; sebelum lahir terbiasa mendapat glukosa tinggi
sehingga membuat janin obesitas dan merangsang pankreas janin untuk sekresi
insulin ekstra, saat lahir penyediaan glukosa terhenti sedangkan produksi insulin
tetap sehingga terjadi hipoglikemia.
4. Bayi besar untuk masa kehamilan.
5. Bayi dengan polisitemia
6. Hiperinsulinism, islet cell dysplasia, Sindrom Beckwith Wiedemann.
7. Pasca transfusi tukar
Ad. C. Gangguan mobilisasi glukosa
1. Inborn errors of metabolism.
2. Defisiensi endokrin seperti : GH, kortisol,epinefrin,
3. Ibu mendapat pengobatan propanolol (mencegah glikogenolisis dengan
menghambat rangsangan saraf simpatik, mencegah peningkatan asam
lemak bebas dan asam laktat sesudah aktifitas dengan cara menghambat
epinefrin ).
Gambaran klinis
1 Asimtomatik
2 Simtomatik dengan gejala tidak spesifik:
- Depresi fungsi otak: letargis, hipotonik, malas minum, menangis lemah,
apnea, sianosis, refleks moro (-), dan hipotermi.
- Over stimulation dari otak: jittery, menangis suara tinggi (high pitched cry),
a fixed stare and fisting, pergerakan bola mata abnormal dan kejang
- Aktivasi sistem saraf otonom dan pengeluaran adrenalin: keringat yang
berlebihan, palpitasi, pucat, lemah, lapar, tremor, mual dan muntah.
Diagnosis
Bayi dengan risiko hipoglikemia dan bayi dengan gejala klinik yang mungkin disebabkan
hipoglikemia dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, dan disebut hipoglikemia jika
hasilnya < 45 mg/dl
Tatalaksana (lihat bagan)
Komplikasi
Jika kadar glukosa darah rendah, otak tidak menerima glukosa cukup dan tidak dapat
menghasilkan energi untuk metabolisme. Sel otak dapat mengalami kerusakan dan pada
akhirnya terjadi palsi serebral, retardasi mental atau kematian
Pencegahan
1. Identifikasi bayi risiko tinggi hipoglikemia.
2. Pantau kadar glukosa darah dengan reagen strips
5 Bila tidak ada kontraindikasi oral, segera diberikan minum susu (sebaiknya tidak
diberikan clear feed atau dekstrosa karena hanya mengandung energi rendah.
(Lihat bagan tatalaksana hipoglikemia)
6 Cegah hipotermia
7 Bayi dirawat gabung agar cepat mendapat ASI.
Prognosis
Tergantung berat dan lama hipoglikemia. Prognosis buruk jika terdapat gejala klinik,
khususnya kejang.
Kepustakaan
1. Hypoglycemia. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE,
penyunting. Neonatology: Management, procedure, on-call problems disease,
drugs, edisi ke-4. New York: Lange Medical Book/Mc Graw-Hill,1999:247-251
2. Staff of the RWH Division of Neonatal Services. Network division of neonatal
services Royal Womens Hospital site guide for neonatal fellow and hospital
medical officers.
4. Cornblath, Marvin, Hawdon, Jane,William, anthony, et all. Controversies
regarding definition of neonatal hypoglycemia: Suggested operational thresholds.
AAP 2000;105: 1141-1145.
5. Wilker RE.Hypoglycemia and hyperglycemia. Manual of neonatal care.IV
ed.Lippincott Williams & Wilkins .1998: 545 - 550.
6. Wood DL. Glucose control and hypoglycemia .Perinatal education
programme.Manual II newborn care.1996 : 1-10.
7. Perlman M, Kirpalani HM, Moore AM. Hypoglycemia. Metabolic
disorders.Residents handbook of neonatology II ed.1999:312 314.
GD 25 mg/dL
Hipoglikemia berat
GD < 45 mg/dL
GD ulang (1 jam)
GD < 36 mg/dL
GD 36 - < 45 mg/dL
Dekstrosa *, cara :
volume sampai maks
100
mL/kg/hari
(hari
pertama), atau
Konsentrasi : vena
perifer
maks.
12,5%;
umbilikal dapat mencapai
GD ulang (1 jam)
GD 45 mg/dL
Ulang GD tiap 2 4 jam, 15 menit sebelum jadwal minum berikut, sampai 2x berturut-turut
Hitung Glucose Index rate (GIR) : 6 8 mg/kgBB/mnt untuk mencapai kadar gula darah maksimal, dapat
dinaikkan sampai 10 15 mg/kgBB/menit
TETANUS NEONATORUM
Batasan
Adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai dengan
gangguan kesadaran.
Etiologi
Clostridium tetani, suatu bakteri gram positif, anaerob dan mampu membentuk spora.
Biasanya terjadi akibat infeksi tali pusat, disebabkan oleh pertolongan persalinan atau
perawatan puntung tali pusat yang tidak steril pada ibu dengan status imunisasi tetanus
yang tidak adekuat.
Gambaran klinis
Gejala klinis timbul setelah toksin mencapai susunan saraf. Masa inkubasi umumnya
berkisar antara 3-10 hari. Trismus akibat spasme otot masseter ditemukan pada lebih dari
separuh penderita, diikuti kekakuan otot leher, kesulitan memenlan dan mulut mencucu
seperti mulut ikan. Spasme otot punggung dan otot perut. Spasme dapat terjadi spontan
atau terhadap rangsangan dengan frekwensi yang bervariasi. Kesadaran masih intak.
Diagnosis
Anamnesis, meliputi:
- penolong persalinan apakah tenaga medis/paramedis/non medis/dukun bayi telah
mendapat pelatihan atau belum
- alat yang dipkai memotong tali pusat
- ramuan apa yang dibubuhkan pada perawtan tali pusat
- status imunisasi TT ibu sebelum dan selama kehamilan
- sejak kapan byi tidak dapat menetek (incubation period)
- berapa lama selang waktu antara gejala gejala tidak dapat menetek dengan gejala
spasme pertma (peroid of onset)
Pemeriksaan fisik
- kesadaran intak
- trismus
- kekakuan otot leher, punggung, perut
- mulut mencucu seperti mulut ikan
- kejang
Tata laksana
1. Eradikasi kuman
- Tali pusat dibersihkan dengan alkohol 70% atau povidon iodine
- Antibiotika, lini pertama dipakai Penisillin Prokain 50.000-100.000
Unit/kgBB/hari, single dose, selama 10 hari
- Antibiotika lini kedua, sefotaksim 50 mg/kgBB/kali, 2 kali sehari, selama 10 hari.
Terapi suportif
pemberian oksigen
pembersihan jalan nafas
keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori
5. Imunisasi
- Diberikan imunisasi Tetanus toksoid sesuai dengan jadwal imunisasi diberikan
pada saat penderita pulang
Komplikasi
- sepsis
- atelektasis
- aspirasi pnemonia
- bronkopnemonia
- stenosis trakea/subglotis akibat pemasangan ETT lama
Prognosis
- Prognosis buruk bila : masa inkubai pendek (< 7 hari), interval antara timbulnya
gejala dengan awitan pendek ( < 3 hari), lamanya spasme berlangsung.
Pencegahan
- Pemberian imunisasi TT pada ibu hahil
- Peningkatan pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan TIGA BERSIH
(bersih tangan penolong persalinan, bersih alat pemotong tali pusat, bersih alas
tempat bersalin)
- Promosi perawatan tali pusat yang benar
Kepustakaan
1. Ismoedijanto. Tetanus. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS,
penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis, edisi I.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002.h.344-456.
2. Volve JJ. Tetanus neonatorum. Dalam: Volve JJ, penyunting. Neurology of the
newborn, edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders, 2001.h.803-5.
3. Klein JO. Bacterial sepsis and meningitis. Dalam: Remington JS, Klein JO, ed.
Infectious diseases of the fetus and newborn infant. Edisi ke-5. Philadelphia: WB
Saunders, 2001.h.943-998.
4. Cole FS. Other specific bacterial infections. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, ed.
Averys diseases of the newborn. Edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders Company,
1998.h.513-9.
Diagnosis
Sesuai gambaran klinis dan lab
Tata laksana
1. Oksigenasi : head box, CPAP, ventilator
2. Antibiotika : diberikan kombinasi Ampisilin dengan Gentamisin sampai dengan
terbukti tidak ada infeksi
- Ampisilin:
Umur 0-7 hari: 100 mg/kgBB/hari, IV, IM dibagi 2 dosis
Umur > 7 hari: 100 mg/kg BB/hari, IV, IM dibagi 3-4 dosis
- Gentamisin
Dosis 2,5 mg/kgBB/dosis, IV, IM, diberikan:
< 7 hari:
- umur kehamilan < 28 minggu diberikan setiap 36 jam
- umur kehamilan 28 32 minggu, diberikan setiap 24 jam
- umur > 32 minggu diberikan setiap 18 jam
umur > 7 hari
- umur kehamilan < 28 minggu, diberikan setiap 24 jam
- umur 28-32 minggu diberikan setiap 18 jam
- umur kehamilan > 32 minggu diberikan setiap 12 jam
- cukup bulan diberikan setiap 8 jam
3. Nutrisi : sesuai dengan kebutuhan (lihat nutrisi)
Prognosis
Self limited, biasanya berlangsung 2-5 hari, dan tidak ada gangguan fungsi paru.
Kepustakaan
1. Hagedorn MIE, Gardner SL, Abman SH. Respiratory diseases. Dalam: Merenstein
GB, Gardner SL, ed. Handbook of neonatal intensive care. Edisi ke-5. St Louis:
Mosby, 2002.h.485-575.
2. Martin RJ, Sosenko I, Bancalari E. Respiratory problems. Dalam: Klaus MH,
Fanarof AA, ed. Care of the high risk neonate. Edisi ke-5. Philadelphia: WB
Saunders Company, 2001.h.243-276.
3. Gomella T. Transient tachypnea of the newborn. Dalam: Gomella TL, Cunningham
MD, Eyal FG, Zenk KE, ed. Neonatology management, procedures, on-call
problems, diseases and drugs. Edisi ke-5. New York: Lange medical
books/McGraw-Hill, 2004,h.547-552.
4. Louis NA. Transient tachypnea of the newborn. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, ed. Manual of neonatal care, edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2004.h.383-5.
10
11
Photo thorak :
- Gambaran retikulogranuler (ground-glass appearance)
- Air bronchogram perifir
Diagnosis
Sesuai gejala klinis dan laboratorium
Tata laksana
1. Surfaktan
2. Antibiotika : Ampisilin + gentamisin, sampai terbukti tidak ada infeksi
Ampisilin:
Umur 0-7 hari: 100 mg/kgBB/hari, IV, IM dibagi 2 dosis
Umur > 7 hari: 100 mg/kg BB/hari, IV, IM dibagi 3-4 dosis
Gentamisin
Dosis 2,5 mg/kgBB/dosis, IV, IM, diberikan:
< 7 hari:
umur kehamilan < 28 minggu diberikan setiap 36 jam
umur kehamilan 28 32 minggu, diberikan setiap 24 jam
umur > 32 minggu diberikan setiap 18 jam
umur > 7 hari
umur kehamilan < 28 minggu, diberikan setiap 24 jam
umur 28-32 minggu diberikan setiap 18 jam
umur kehamilan > 32 minggu diberikan setiap 12 jam
cukup bulan diberikan setiap 8 jam
3. Suportif
- Oksigen
- Nutrisi
Pencegahan
Pada ibu, umur kehamilan 24-34 minggu diberikan kortikosteroid, dapat diberikan:
- Betametason 12 mg IM diberikan 2 kali interval 24 jam, atau
- Deksametason 6 mg IM, 4 dosis interval 12 jam
12
Kepustakaan
1. Hagedorn MIE, Gardner SL, Abman SH. Respiratory diseases. Dalam: Merenstein
GB, Gardner SL, Ed. Handbook of neonatal intensive care, edisi ke-5. St Louis:
Mosby, 2002.h.485-575.
2. Martin RJ, Sosenko I, Bancalari E. Respiratory problems. Dalam: Klaus MH,
Fanarof AA, ed. Care of the high risk neonate. Edisi ke-5. Philadelphia: WB
Saunders Company, 2001.h.243-276.
3. Banny-Mohammed F. Hyaline membrane disease (Respiratory distress syndrome).
Dalam: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE Neonatology
management, procedures, on-call problems, diseases and drugs, edisi ke-5.New
York: Lange medical books/McGraw-Hill, 2004,h.539-543.
4. Stark AR, Honrubia D. Respiratory distress syndrome. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, ed. Manual of neonatal care, edisi ke-5. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2004.h.341-8.
13
14
Kepustakaan
1. Hagedorn MIE, Gardner SL, Abman SH. Respiratory diseases. Dalam: Merenstein
GB, Gardner SL, Ed. Handbook of neonatal intensive care, edisi ke-5. St Louis:
Mosby, 2002.h.485-575.
2. Martin RJ, Sosenko I, Bancalari E. Respiratory problems. Dalam: Klaus MH,
Fanarof AA, ed. Care of the high risk neonate. Edisi ke-5. Philadelphia: WB
Saunders Company, 2001.h.243-276.
3
Hachey W. Meconium aspiration. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG,
Zenk KE Neonatology management, procedures, on-call problems, diseases and
drugs, edisi ke-5.New York: Lange medical books/McGraw-Hill, 2004,h.543-547.
Lee JS, Stark AR. Meconium aspiration. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark
AR, ed. Manual of neonatal care, edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2004.h.402-6.
15
Batasan
Bayi tidak bernafas 20 detik atau diikuti oleh bradikardia ( denyut jantung < 100
x/menit) dan / atau sianosis (saturasi oksigen < 80%)
Etiologi
Prematuritas pusat nafas
Patofisiologi
1. Imaturitas pusat nafas
- Neuron-neuron pada Central pattern generator mielinisasi kurang, jumlah
dendrit dan hubungan sinaps kurang kemampuan untuk menyokong ventilatory
drive kurang.
- Neurotransmiter kurang
2. Respon kemoreseptor terhadap peningkatan CO2 rendah
Pada bayi prematur respon terhadap peningkatan CO2 rendah kontrol pernafasan
abnormal
Gambaran klinis
- Apnea biasanya terjadi pada 1-2 hari setelah lahir, jika tidak terjadi dalam 7 hari
pertama biasanya tidak terjadi apnea
- Menghilang umur kehamilan 37 minggu
- Semakin rendah umur kehamilan kejadian semakin sering dan berat
- Pada bayi prematur yang lebih tua, apnea biasanya membaik sendiri / dengan
stimulasi ringan
- Diantara episode apnea pasien sadar dan aktif
- Apnea dapat dicetuskan oleh: suhu lingkungan yang ekstrim, pleksi leher,
manipulasi yang berlebihan terutama pada traktur rsepiratorius seperti suction,
pemasangan NGT, LP
Diagnosis
Bayi prematur, tidak bernafas 20 detik atau diikuti dengan bradikardia, dan atau sianosis
Tatalaksana
Tata laksana meliputi :
1. Non farmakologi
- Prone posisi
- Stimulasi taktil
- Peningkatan FiO2
- CPAP melalui: nasal prong, nasofaringeal tube, face mask
- Ventilator
16
2. Farmakologi
Obat golongan metil xanthin, diberikan sampai umur kehamilan 37 minggu atau
jika bebas apnea selama 7 hari
- Aminofilin loading dose : 6 mg/kgBB, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
diberikan 24 jam setelah loading dose untuk bayi dengan BB < 1 kg, atau 12 jam
setelah loading dose untuk bayi BB > 1 kg.
Dosis pemeliharaan:
- minggu 1 : 2,5 mg/kgBB/dosis setiap 12 jam
- minggu 2 : 3 mg/kgBB/dosis, setiap 12 jam
- > minggu 2 : 4 mg/kg BB/dosis, setiap 12 jam
Dilarutkan menjadi 5 mg/ml, diberikan dalam waktu lebih dari 20 menit secara IV
Monitor
Semua bayi kurang bulan dan neonatus dengan riwayat apnea / bradikardia seharusnya
diawasi selama minimal 7 hari setelah kejadian apnea
Kepustakaan
1. Hagedorn MIE, Gardner SL, Abman SH. Respiratory diseases. Dalam: Merenstein
GB, Gardner SL, Ed. Handbook of neonatal intensive care, edisi ke-5. St Louis:
Mosby, 2002.h.485-575.
2. Attar MA, McIntosh NA. Disorders of respiratory control. Dalam: Donn MS, ed.
Michigan manual of neonatal intensive care, edisi ke-3. Philadelphia: Hanley &
Belfus, 2003.h.235-241.
3. Martin RJ, Sosenko I, Bancalari E. Respiratory problems. Dalam: Klaus MH,
Fanarof AA, ed. Care of the high risk neonate. Edisi ke-5. Philadelphia: WB
Saunders Company, 2001.h.243-276.
4. Ballard A. Apnea and periodic breathing. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD,
Eyal FG, Zenk KE Neonatology management, procedures, on-call problems,
diseases and drugs, edisi ke-5.New York: Lange medical books/McGraw-Hill,
2004,h.530-4.
5. Stark AR. Apnea. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, ed. Manual of
neonatal care, edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2004.h.388393.
17
PNEMONIA NEONATAL
Batasan
Suatu infeksi paru yang terjadi perinatal / pasca natal, dikelompokkan menjadi:
1. Kongenital pnemonia
- Disebut juga early onset pnemonia ( pada umur 3 hari pertama)
- Penularan trasplasenta
2. Post amnionitis pnemonia
- Penularan dari flora vagina secara ascending
- Predisposisi : persalinan prematur, ketuban pecah sebelum persalinan,
persalinan memanjang dengan dilatasi servik, pemeriksaan obstetri yang sering
3. Transnatal pnemonia:
- Tidak ada bukti korioamnionitis atau infeksi pada ibu
- Onset lambat
- Proses infeksi selalu terjadi pada paru-paru
- Penyebab terbanyak Group B Streptokokus
4. Nosokomial pnemonia
- Didapat selama perawatan di rumah sakit, dengan faktor predisposisi : BBL <
1500 gram, dirawat lama, penyakit dasar berat, prosedur unvasif banyak,
overcrowding, ratio perawat/pasien rendah, peralatan ventilator terkontaminasi,
kebersihan petugas kurang
Insiden
1% pada bayi cukup bulan, 10% pada bayi kurang bulan. Kejadian meningkat pada
neonatus yang dirawat di NICU
Etiologi
1.Bakteri : Group B Streptokokus, Stap.aureus,Stapilokokus epidermidis, E coli,
Pseudomonas, Serratia marcescens, Klebsiella
2. Virus : RSV, adenovirus, enterovirus, CMV
3. Jamur : Candida
Patofisiologi
1. Transplasenta
Kuman/agent melalui plasenta hematogen paru-paru janin pnemonia
(kongenital pnemonia) / early onset pnemonia
2. Ascending infeksi
Kuman/agent dari flora vagina ascending menyebar ke chorionic plate
amnionitis aspirasi paru pnemonia
3. Transnatal
18
Gambaran klinis
- Ada riwayat takikardia janin
- Skor APGAR rendah
- Segera setelah lahir terjadi distres nafas
- Takikardia
- Perfusi perifir kurang
- Letargi
- Tidak mau minum
- Distensi abdomen
- Suhu tidak stabil
- Asidosis metabolik
- DIC
Laboratorium
- Analisa cairan lambung setelah lahir,
bila leukosit (+) menunjukkan adanya inflamasi amnion risiko pnemonia tinggi
Pengecatan gram, bila bakteri (+) berarti janin menelan flora vagina resiko infeksi
- kultur darah bila (+) kuman penyebab
- LP
- Photo thorax infiltrat (+)
Tata laksana
1. Antibiotika
Sebelum hasil kultur ada : Ampisilin + Gentamisin
- Ampisilin:
Umur 0-7 hari: 100 mg/kgBB/hari, IV, IM dibagi 2 dosis
Umur > 7 hari: 100 mg/kg BB/hari, IV, IM dibagi 3-4 dosis
- Gentamisin
Dosis 2,5 mg/kgBB/dosis, IV, IM, diberikan:
< 7 hari:
umur kehamilan < 28 minggu diberikan setiap 36 jam
umur kehamilan 28 32 minggu, diberikan setiap 24 jam
umur > 32 minggu diberikan setiap 18 jam
umur > 7 hari
umur kehamilan < 28 minggu, diberikan setiap 24 jam
umur 28-32 minggu diberikan setiap 18 jam
umur kehamilan > 32 minggu diberikan setiap 12 jam
cukup bulan diberikan setiap 8 jam
Setelah ada kultur sesuaikan dengan resistensi dan sensitivitasnya
Prognosis
Kematian 20-40%
19
Kepustakaan
1. Hagedorn MIE, Gardner SL, Abman SH. Respiratory diseases. Dalam: Merenstein
GB, Gardner SL, Ed. Handbook of neonatal intensive care, edisi ke-5. St Louis:
Mosby, 2002.h.485-575.
2. Hansen T, Corbet A. Neonatal pnemonias. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, ed.
Averys diseases of the newborn. Edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders Company,
1998.h.648-660.
3. Barnett ED, Klein JO. Bacterial ionfections of the respiratory tract. Dalam:
Remington JS, Klein JO, ed. Infectious diseases of the fetus and newborn infant,
edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders Company, 2001.h.999-1018.
20
Faktor ibu
Penurunan aliran darah uteroplasenta
Malnutrisi
Kehamilan ganda
Obat-obatan : alkohol, rokok, heroin, kokain
Hipoksia maternal
Lain-lain: ibu perawakan pendek, kawin muda, interval kehamilan pendek, BB
waktu hamil rendah, grande multipara
3. Faktor plasenta
- Insufisiensi plasenta
- Kelainan anatomi: infark multiple, trombosis pembuluh darah umbilikus,
hemangioma
Diagnosis
1. Tentukan umur kehamilan, dapat dari : HPHT, ukuran uterus, USG
2. Penilaian terhadap bayi BB rendah tidak sesuai dengan umur kehamilan
3. Pemeriksaan fisik
- Bayi tampak kurus
- Kulit mengelupas, jaringan subkutan sedikit
- Abdomen skapoid
- Kepala tampak lebih besar (jenis asimetris)
- Ponderal index < 10 persentil
21
Laboratorium
- Periksa kadar gula darah setiap 2-4 jam sampai dengan normal dan stabil
- DL ( hematokrit biasanya meningkat, trombosit menurun)
Tata laksana
1. Minum segera mungkin (bila tidak ada kontra indikasi),
- bila oral tidak mungkin diberikan parenteral dan perlahan-lahan diperkenalkan
enteral,
- hindari peningkatan minum yang cepat,
- gunakan ASI (kalau memungkinkan)
2. Hindari hipotermi monitor suhu, bila perlu rawat dalam inkubator
3. Cegah hipoglikemia
Komplikasi
1. Hipoksia : asfiksia perinatal, hipertensi pulmonal persisten, RDS, aspirasi
mekonium
2. Hipotermia
3. gangguan metabolik : hipoglikemia, hiperglikemia, hipokalsemia
4. Gangguan hematologi: hiperviskositas dan polisitemia
5. Imunitas menurun
Kepustakaan
1. Sohl B, Moore TR. Abnormalitas of fetal growth. Dalam: Taeusch HW, Ballard
RA, ed. Averys diseases of the newborn. Edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders
Company, 1998.h.90-101.
2. Southgate WM, Pittard W. Classification and physical examination of the newborn
infant. Dalam: Klaus MH, Fanaroff AA, ed. Care of the high-risk neonate. Edisi ke5. Philadelphia: WB Saunders Company, 2001.h.100-129.
3. Desai NS. Intrauterine growth retardation (Small for gestational age infnt). Dalam:
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE Neonatology management,
procedures, on-call problems, diseases and drugs, edisi ke-5.New York: Lange
medical books/McGraw-Hill, 2004,h.469-475.
4. Lee KG, Cloherty JP. Identifying the high-risk newborn and evaluating gestational
age, prematurity, postmaturity, large for gestational age, and small for gestational
age infants. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, ed. Manual of neonatal
care, edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2004.h.42-56.
5. Mupanemunda RH, Watkinson M. Intrauterin growth restriction. Dalam: Key
topics in neonatology.Oxford: Bios scientific publishers, 1999.h.165-9.
22
23
Kepustakaan
1. Sohl B, Moore TR. Abnormalitas of fetal growth. Dalam: Taeusch HW, Ballard
RA, ed. Averys diseases of the newborn. Edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders
Company, 1998.h.90-101.
2. Southgate WM, Pittard W. Classification and physical examination of the newborn
infant. Dalam: Klaus MH, Fanaroff AA, ed. Care of the high-risk neonate. Edisi ke5. Philadelphia: WB Saunders Company, 2001.h.100-129.
3. Lee KG, Cloherty JP. Identifying the high-risk newborn and evaluating gestational
age, prematurity, postmaturity, large for gestational age, and small for gestational
age infants. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, ed. Manual of neonatal
care, edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2004.h.42-56.
24
25
Kepustakaan
1. Mupanemunda RH, Watkinson M. Bleeding disorders. Dalam: Key topics in
neonatology.Oxford: Bios scientific publishers, 1999.h.25-8.
2. Pipe SW. Coagulopathies. Dalam: Donn SM, rd. Michigan manual of neonatal
intensive care. Edisi ke-3. Philadelphia: Hanley & Belfus, 2003.h.324-7.
3. Goorin AM, Neufeld E. Bleeding. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR,
ed. Manual of neonatal care, edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2004.h.468-474.
26
ANEMIA NEONATUS
Batasan
Bayi cukup bulan, kadar Hb < 13,5 gram/dl; Hematokit < 42%
Bayi kurang bulan, kadar Hb < 12 g/dl; Hematokrit < 38%
Etiologi dan patofisiologi
Anemia pada bayi baru lahir akibat 1 dari 3 proses, yaitu:
1. Perdarahan atau kehilangan darah (penyebab terbanyak)
- Periode antepartum: kehilangan integritas plasenta, anomali tali pusat, twin-twin
transfusi
- Periode intrapartum: perdarahan feto-maternal, seksio sesaria, ruptur tali pusat
- Periode neonatal: perdarahan tertutup (caput succedaneum, sefal hematum,
perdarahan intra kranial, perdarahan organ visceral); defek kromosum (defisiensi
faktor koagulasi kongenital, consumption coagulopaty seperti sepsis, defisiensi
vitamin K, trombositopenia), iatrogenik
2. Proses hemolitik
3. Produksi eritrosit berkurang (hipoplastik anemia), pada:
- Infeksi
- Efek obat-obatan
- Leukemia kongenital
- Anemia aplastik
Gambaran klinis
Gejala dan tanda anemia pada neonatus:
1. Gejala akut: hipotensi, hipoksemia, takipnea, takikardia, syok, sianosis, perfusi
buruk, asidosis
2. Kronis : pucat, asidosis metabolik, pertumbuhan buruk, gagal jantung kongestif,
distres nafas, hepatosplenomegali
Tatalaksana
Tansfusi darah
Transfusi sel darah merah (PRC)
Indikasi:
1. Hb 12 g/dl (HCT < 36%) pada 24 jam pertama
2. Transfusi tukar pada penyakit hemolitik bayi baru lahir
3. Kehilangan darah komulatif dalam minggu pertama > 10% volume darah
4. Kehilangan darah akut > 10% volume darah
5. Neonatus dengan perawatan intensif, bila Hb 12 g/dl
6. Bayi ketergantungan oksigen kronis, bila Hb 11 g/dl
7. Pasien stabil, dengan late anemia, bila Hb 7 g/dl
27
Transfusi trombosit
Indikasi:
1. Neonatus prematur atau aterm dengan perdarahan, bila jumlah trombosit 50 x 109/L
2. Bayi prematur atau aterm sakit tanpa perdarahan, bila jumlah trombosit 30 x 109/L
3. Bayi prematur atau aterm yang stabil tanpa perdarahan, bila trombosit 20 x 109/L
Volume trombosit yang ditransfusikan: 10-20 ml/kg BB
Transfusi Fresh Frozen Plasma
Indikasi
1. DIC
2. Perdarahan akibat defisiensi vitamin K
3. Defisiensi faktor-faktor pembekuan kongenital
Volume FFP yang diberikan 10-20 ml/kgBB
Kepustakaan
1. Pipe SW, Butch SH. Anemia. Dalam: Donn SM, ed. Michigan manual of neonatal
intensive care. Edisi ke-3. Philadelphia: Hanley & Belfus, 2003.h.317-320.
2. Mupanemunda KH, Watkinson M. Anaemia. Dalam: Key topics in neonatology.
Oxford: Bios scientific publishers, 1999.h.9-12.
3. Goorin AM, Neufeld E. Bleeding. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR,
ed. Manual of neonatal care, edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2004.h.468-474.
28
Batasan
Serangan kejang yang terjadi pada masa neonatus (sampai dengan umur 1 bulan)
Insiden
1,5 14 / 1000 kelahirn hidup
Etiologi
- Hipoksik Iskemia Ensefalopati (HIE) (50-60%)
- Perdarahan intrakranial (10%)
- Infeksi intrakranial (5-10%)
- Defek perkembangan (5-10%)
- Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, hiponatremia,
hipernaremia, gangguan metabolisme asam amino dan asam organik,
ketergantungan piridoksin, , dll
- Idiopatik
Patofisiologi
1. Kegagalan pompa Na-K akibat dari penurunan ATP
2. Kelebihan neurotransmiter eksitasi
3. Kekurangan neurotransmiter inhibisi
4. Perubahan permeabilitas membran sel neuron
Gambaran Klinis
Manifestasi klinis terbanyak adalah kejang fokal. Manifestasi klinis kejang pada neonatus
yaitu:
1. Klonik fokal
- kontraksi ritmis otot-otot tungkai, muka, dan batang tubuh
- fokal, multifokal, dapat dihentikan dengan peregangan
- simultan pada kedua sisi tubuh
2. Tonik fokal
- kekakuan asimetris pada batang tubuh, satu tungkai, deviasi mata
- diprovokasi dengan stimulasi atau dihentikan dengan peregangan
3. Mioklonik
- kontraksi mendadak (cepat) secara acak, berulang atau tidak berulang pada otot
tungkai, muka dan badan
- umum, fokal, fragmental, dapat diprovokasi dengan stimulasi
4. spasme
- kekakuan pada otot pleksor, ekstensor atau keduanya
- berkelompok
5. Tonik umum
- mengenai otot fleksor, ekstensor atau keduanya
- kekakuan secara simetris pada batang tubuh, leher dan tungkai
29
6.
-
Diagnosis
1. Anamnesis
- riwayat keluarga
- riwayat minum obat-obatan pada waktu ibu hamil
- Riwayat persalinan
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum dan khusus neurologi
3.
-
Tata laksana
1. Oksigenasi yang baik
2. Atasi kejang (lihat bagan). Lama pemberian anti kejang tergantung: Hasil
pemeriksaan neurologi, penyebab kejang, dan pemeriksaan EEG.
3. cari etiologi segera mungkin.
Kepustakaan
1. Ismael S. Kejang pada bayi baru lahir. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S.
Penyunting. Buku ajar neurologi Anak. Jakarta: TDAI, 1999.h.253-73.
2. Neonatal seizure. Intensive and special care nurseries clinician-s handbook. The
Royak Womans Hospital 2004.h.138-9.
3. Volve JJ. Neonatal seizures. Dalam: Neurology of the newborn. Edisi ke-4.
Philadelphia: WB Saunders, 2001.h.427-55.
4. Kuban KCK, Filoano J. Neonatal seizures. Dalam: Cloherty JP, Stark AR,
penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott William
& Wilkins
30
Kejang (-)
Kejang (+)
Kejang (-)
Kejang (+)
Kejang (-)
A4 dan B4
Kombinasi fenobarbital, Fenitoin
rumatan dan diazepam drip
Kejang (+)
dosis
NICU
Knock down
** Bila tersedia dapat dipertimbangkan obat antikonvulsan lini ketiga lainnya, yaitu
Clonazepam (Rivotril ) loading dose 0,1 0,25 mg, 8 jam kemudian dilanjutkan dosis rumatan 0,01
mg/kgBB/kali diberikan tiap 8 jam
31
Asfiksia neonatorum
Batasan
Adalah suatu keadaan dimana bayi baru lahir yang tidak bernafas secara spontan, teratur
dan adekuat.
Etiologi
Asfiksia neonatorum dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Faktor neonatus : lanjutan asfiksia intra partum; aspirasi cairan amnion, darah,
mekonium, dan muntahan; imaturitas paru; kelainan jantung bawaan dan paru;
anemia pada fetus; retardasi pertumbuhan intra uterin; kehamilan lewat waktu;
infeksi fetus.
- Faktor ibu : hipoksia ibu karena anemia berat, penyakit paru kronis; menurunnya
aliran darah dari ibu ke fetus pada hipotensi karena perdarahan, preeklamsia,
eklamsia, diabetis melitus; obat anastesi yang berlebihan pada ibu.
- Faktor plasenta : infark dan perdarahan plasenta
Patofisiologi
Pada penderita asfiksia, akan terjadi:
- Menurunnya kadar PaO2 tubuh
- Meningkatnya PCO2
- Menurunnya PH darah
- Dipakainya sumber glikogen tubuh
- Gangguan sirkulasi darah
Keadaan tersebut akan mempengaruhi fungsi sel tubuh tergantung dari berat dan lamanya
asfiksia. Gangguan fungsi dapat bersifat reversibel atau menetap, sehingga menimbulkan
komplikasi, gejala sisa ataupun kematian.
Gambaran klinis
Secara klinis, bayi baru lahir mengalmi asfiksia menunjukkan gejala:
- pernafasan terganggu (distres pernafasan)
- bradikardia
- refleks lemah
- tonus otot menurun
- warna kulit biru atau pucat
Diagnosis
Diagnosis asfiksia dapat ditegakkan dengan menentukan nilai APGAR 1, 5, 10, dan 15
menit
32
Nilai APGAR
APGAR
Tanda
Nilai
1
Tubuh merah,
ekstremitas biru
< 100 x/mnt
Menyeringai/geraka
n sedikit
Fleksi ekstremitas
lemah
Tidak teratur,
dangkal
Merah seluruh
tubuh
> 100 x/mnt
Batuk, bersin,
menangis kuat
Gerakan aktif
Appearance
Warna kulit
Biru/pucat
Pulse
Grimace
Frek. Jantung
Refleks
Tidak ada
Tidak ada
Activity
Tonus otot
Lunglai
Respiration
Nafas
Tidak ada
Menangis
kuat, terautr
33
34
Bersih dari
mekonium ?
Bernapas atau
menangis ?
Cukup bulan ?
- berikan kehangatan1
- bersihkan jalan napas
(bila perlu)
30 detik
Warna kulit
kemerahan ?
Berikan kehangatan1
Posisikan,2 bersihkan jalan napas
Keringkan, rangsang,3 posisikan lagi
Beri oksigen (bila perlu)4
30 detik
Perawatan
Ya rutin
an
Bernapas
FJ>100 &
kemerahan
Suportif
Berikan VTP5
.
Apnea atau frek.
jantung (FJ)
Perawatan Lanjut
<100
Bernapas
FJ>100 &
kemerahan
Berikan epinefrin6
Kepustakaan
1. IDAI-Perinasia, UKK-Perinatologi. Panduan resusitasi neonatus, Juni 2002.
2. Hegyi T, Carbone T, Anwar M, Ostfeld B, Hiat M, Koons A, et al. The Apgar score
and its components in the premature infant. Pediatrics 1998;101:77-81.
35
3. Niermeyer S, Clarke SB. Delivery room care. Dalam: Merenstein GB, Gardner SL,
Ed. Handbook of neonatal intensive care. Edisi ke-5. St Lois: Mosby, 2002.h. 4669.
4. Indarso F. Dampak jangka panjang bayi asfiksia. Dalam: Firmansyah A,
Sastroasmoro S, Trihono PP, Pujiadi A, Tridjaja B, Mulya A, Kusumowardhani B,
dkk, Ed. Buku Naskah Lengkap Konika XII. Jakarta:Ikatan Dokter Anak Indonesia
Pusat, 1999. h. 547-557.
5. Volve JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy: Biochemical and Physiological
aspects. Dalam: Neurology of the newborn. Edisi ke-4. Philadelphia: W.B.
Saunders company, 2001. h. 217-276.
36
37
Etiologi
Bakteri penyebab SNAD umumnya berasal dari traktus genitalia maternal. Berbagai jenis
bakteri dapat ditemukan di dalam traktus genitalia maternal, namun hanya beberapa yang
sering menyebabkan infeksi pada neonatus, sedangkan pada ibu tidak menyebabkan
penyakit. Bakteri penyebab SNAL umumnya merupakan bakteri yang berasal dari rumah
sakit
(nosokomial)
seperti
Staphylococcus
coagulase-negatif,
Enterococcus
dan
38
dilepaskan ke sirkulasi akan mengaktivasi berbagai sitokin yang berperan sebagai mediator
proinflamasi, sehingga timbul respon fisiologis tubuh yaitu :
(1)aktivasi sistem
Perubahan tonus
Kelainan pada kulit : perfusi perifir buruk, sianosis, mottling, pucat, petikie, rash,
ikterus, sklerema
39
Pendekatan klinis
Pendekatan diagnosis dapat dilihat pada algoritme tatalaksana sepsis neonatorum
Faktor risiko sepsis neonatorum
Faktor risiko mayor
Ketuban pecah > 24 jam
Ibu demam saat intrapartum suhu > 38 C
Korioamnionitis
Denyut jantung janin menetap > 160x/menit
Ketuban berbau
Faktor risiko minor
Ketuban pecah > 12 jam
Ibu demam saat intrapartum suhu > 37,5 C
Nilai Apgar rendah ( menit ke-1 < 5 , menit ke-5 < 7 )
Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram
Usia gestasi < 37 minggu
Kehamilan ganda
Keputihan yang tidak diobati*
Infeksi Saluran Kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan (SEPTIC MARKER)
1
2
3
1 hari
0,16
3 hari
0,12
7 hari
0,12
14 hari
0,12
1 bulan
0,12
40
teknik pemeriksaan sulit dan perlu biaya tinggi sehingga masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.
Saat ini telah dikembangkan metode Latex Particle Agglutination (LPA) dan
Countercurrent immunoelectrophoresis(CIE) untuk pemeriksaan terhadap Streptococcus
grup B dan E. coli. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan bila hasil kultur negatif atau
dikhawatirkan negatif karena pemberian antibiotika maternal intrapartum.
Urine
Urine dikumpulkan secara pungsi buli-buli. Dicurigai adanya infeksi bila :
-
Cairan serebrospinal
Diduga adanya meningitis bila terdapat :
-
Foto thorax
Dikerjakan untuk melihat kemungkinan adanya pnemonia
Kultur
Darah, cairan serebrospinal, urine dan feses
Tatalaksana
Pemilihan antibiotika untuk terapi inisial mengacu pada jenis kuman penyebab tersering
dan pola resistensi kuman di masing-masing pusat kesehatan.
Sebagai initial terapi digunakan cefotaxime, dengan dosis:
-
41
segera setelah didapatkan hasil kultur darah maka jenis antibiotika disesuaikan dengan
kuman penyebab dan pola resistensinya.
Lama pemberian antibiotika :
-
Bila no. 1 sulit didapat, dapat diganti amphotericin B dosis 0,25mg/kg/hari sampai
dengan maksimal 1mg/kg/hari.
Tatalaksana non-konvensional
Imunoglobulin intravena
Imunoglobulin intravena untuk profilaksis maupun terapi SNAD saat ini belum
bdianjurkan untuk diberikan secara rutin. Banyak penelitian mengenai hal ini
menggunakan jumlah sampel yang kecil, dan belum ada sediaan imunoglobulin yang
spesifik. Beberapa efek samping dan komplikasi telah dilaporkan seperti
infeksi,
hemolisis dan supresi kekebalan tubuh pada pemberian imunoglobulin hiperimun. Pada
kondisi-kondisi tertentu seperti sepsis yang berat atau infeksi berulang pada neonatus
kurang bulan, ada peneliti yang menganjurkan pemberian imunoglobulin intravena dengan
dosis 500-1000 mg/kg/kali setiap dua minggu.
Transfusi FFP ( Fresh Frozen Plasma )
FFP mengandung antibodi, komplemen, dan protein lain seperti C-reactive protein dan
fibronectin. Antibodi bayi baru lahir terbatas pada spesifikasi yang dihasilkan oleh ibunya,
tidak termasuk antibodi protektif terhadap patogen tertentu. FFP mengandung antibodi
protektif, namun dalam dosis 10 mL/kg, jumlah antibodi tidak adekuat untuk mencapai
42
kadar proteksi pada tubuh bayi. Pada pemberian secara kontinu ( seperti 10 mL/kg setiap
12 jam ) maka kadar proteksi dapat tercapai.
Transfusi sel darah putih
Transfusi sel darah putih sebagai terapi ajuvan pada SNAD dan infeksi neonatal umumnya
masih dalam tahap uji coba dan belum dianjurkan penggunaannya. Hanya beberapa pusat
kesehatan di Amerika Serikat yang mampu mengisolasi granulosit untuk sediaan transfusi.
Transfusi granulosit juga potensial mempunyai komplikasi seperti infeksi dan reaksi
transfusi, di samping biaya tinggi dan teknik pembuatan yang sulit.
Pemberian G-CSF dan GM-CSF
Akhir-akhir ini banyak peneliti mempelajari colony-stimulating factor, yaitu suatu protein
spesifik yang penting untuk proliferasi dan differensiasi sel progenitor granulosit serta
mempengaruhi fungsi granulosit matang. Saat ini terdapat 2 jenis protein tersebut yang
banyak diteliti berkaitan dengan infeksi pada neonatus, yakni granulocyte stimulating
factor (G-CSF) dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Suatu
penelitian melaporkan peningkatan jumlah neutrofil absolut, eosinofil, monosit,limfosit
dan trombosit dengan pemberian GM-CSF rekombinan pada neonatus yang sepsis. Namun
demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji efektivitas terapi ini.
Transfusi tukar
Secara teoritis, transfusi tukar dengan menggunakan whole blood segar pada sepsis
neonatorum bertujuan (1) mengeluarkan/mengurangi toksin atau produk bakteri serta
mediator-mediator penyebab sepsis (2) memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan
meningkatkan kapasitas oksigen dalam darah dan (3) memperbaiki sistem imun dengan
adanya tambahan neutrofil dan berbagai antibodi yang mungkin terkandung dalam darah
donor. Transfusi tukar juga mempunyai beberapa kelemahan seperti kesulitan teknik
pelaksanaan, potensial infeksi dan reaksi transfusi. Belum ada penelitian berskala besar
untuk menguji efikasi dan keamanannya sehingga transfusi tukar tidak dianjurkan sebagai
terapi sepsis secara umum maupun SNAD.
Kortikosteroid
43
kematian dapat
meningkat. Gejala sisa neurologis timbul pada 15-30% neonatus dengan meningitis.
Kepustakaan :
1
4
5
6
8
9
Infectious Diseases. Dalam: Gomella TL, Cunnigham MD, Eyal FG, Zenk KE,
penyunting. Neonatology : Management, procedures, on call problems, diseases,
drugs. Lange Medical Book/McGraw-Hill, edisi ke-4;1999: 408-440.
Guerina NG. Bacterial and fungal infections. Dalam : Cloherty JP, Stark AR,
penyunting. Manual of neonatal care. Philadelphia : Lippincot Williams and
Wilkins, 1998,h.271-300
Pourcyrous M, Bada HS, Korones SB, Baselski V, Wong SP. Significance of serial
C-reactive protein responses in neonatal infection and other disorders. Pediatrics
1993; 92:431-5
Bone RC. The sepsis syndrome : definition and general approach to management.
Clin Chest Med 1996; 17:175-80
Powell KR. Sepsis and shock. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Philadelphia : WB Saunders, 2000.h.747-51
Smith JB. Bacterial and fungal infection of the neonate. Dalam : Pomerance JJ,
Richardson CJ, penyunting. Neonatology for the clinician. Connecticut : Appleton
& Lange, 1993.h.185-200
Llorens XS, McCracken GH. Clinical pharmacology of antibacterial agents.
Dalam : Remington JS, Klein JO, penyunting. Infectious disesase of the fetus and
newborn infant. Philadelphia : WB Saunders,1995.h. 1287-1326
Wasserman RL. Nonconventional therapies for neonatal sepsis. Journal of
Infectious Disease; 1983: 421 423.
The Royal Womens Hospital; Intensive and Spesial Care Nurseries. Clinicians
Handbook. February 2003.h.166
44
Keterangan :
* Septic Markers :
-
Jumlah leukosit
Jumlah trombosit
CRP
IT Ratio
45
Pungsi lumbal : hanya dikerjakan pada SNAL atau pada SNAD dengan hasil kultur
darah ( + )
Foto Rntgen dada : pada neonatatus dengan gejala sindrom gawat napas
Ikterus neonatorum
46
Batasan
Ikterus adalah warna kuning di kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan
bilirubin dalam serum. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi
bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin
bila kadar bilirubin tidak dikendalikan.
Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:
1
Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg/dL atau lebih setiap 24 jam
infeksi
hipoglikemia, hiperkarbia
hiperosmolaritas darah
Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau >14 hari
pada NKB)
Gambaran klinis
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa.
Di samping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
1
dehidrasi
asupan kalorinya tidak adekuat (misalnya, kurang minum, muntah-muntah)
pucat
sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. ketidakcocokan golongan
darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular
47
trauma lahir
bruising, sefalhematoma, perdarahan tertutup lainnya
pletorik
polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong
tali pusat, bayi KMK
petekie
sering berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
mikrosefali, korioretinitis
sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
hepatosplenomegali
omfalitis
10 hipotiroidisme
11 massa abdominal kanan
atas sering berkaitan dengan duktus koledokus
12 feses dempul disertai urine warna coklat tua
pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke bagian
hepatologi
Pemeriksaan penunjang
Sejumlah pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada hiperbilirubinemia patologik
adalah:
1
Kadar bilirubin serum (total). Kadar bilirubin serum direk dianjurkan untuk
diperiksa, bila dijumpai bayi kuning dengan usia > 10 hari dan atau dicurigai
adanya suatu kolestasis.
Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi
eritrosit dan hitung retikulosit.
Penentuan golongan darah dan faktor Rh dari ibu dan bayi. Bayi yang berasal dari
ibu dengan Rh negatif harus dilakukan pemeriksaan golongan darah, faktor Rh, uji
Coombs pada saat bayi dilahirkan, kadar hemoglobin dan bilirubin tali pusat juga
diperiksa (Normal bila Hb >14mg/dl dan bilirubin tali pusat < 4mg/dl).
48
Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati (dapat dilanjutkan dengan USG
hati, sintigrafi sistem hepatobiliar), uji fungsi tiroid, uji urine terhadap galaktosemia
Bila secara klinis dicurigai sepsis , lakukan pemeriksaan kultur darah, urine ,
IT ratio dan pemeriksaan C reaktif protein (CRP); lihat Bab tentang sepsis.
Diagnosis banding
Anjuran pemeriksaan
Hari ke-1
Hari ke-2
Infeksi
Keadaan-keadaan seperti hari ke1, tetapi baru timbul kemudian
Fisologis
Minum ASI
Infeksi bakteri/virus
Anemia hemolitik
Galaktosemia
Hipotiroidisme
Obat-obatan
Sindrom Lucey-Driscoll
Fibrosis kistik
Penyakit Gilbert
Ikterus obstruktif
49
Tata laksana
Mengingat keterbatasan sarana laboratorium dan sumber daya manusia, Divisi Perinatologi
Departemen IKA FKUI/RSCM pernah memberlakukan tata laksana bayi kuning sbb :
1. Pertimbangkan terapi sinar pada :
* NCB SMK sehat
* NKB sehat
<24
25-48
49-72
>72
Pertimbangkan
terapi sinar
Terapi sinar
(mg/dl)
--->9
>12
>15
--->20
>25
>25
--->12
>15
>17
--->25
>30
>30
Keterangan:
Pada keadaan ikterus patologis, angka-angka di atas harus dimodifikasi dan pada
umumnya tata laksana bersifat lebih agresif. Yang dimaksud dengan ikterus patologik
adalah ikterus klinis yang terjadi pada bayi usia kurang dari 24 jam, dengan/atau
peningkatan kadar bilirubin lebih besar dari 5 mg/dL/hari, dengan/atau hemolisis, dan lainlain.
50
BL <1500 g
Kadar bilirubin (mg/dL)
BL 1500-2000 g
Kadar bilirubin (mg/dL)
BL >2000 g
Kadar bilirubin (mg/dL)
<24
25-48
49-72
>72
RT: >4
>5
>7
>8
RT: >4
>7
>8
>9
>5
>8
>10
>12
Keterangan:
BL= berat lahir
RT= bayi prematur risiko tinggi, dengan batas paling rendah dari BL dan kadar bilirubin,
batas paling rendah berikutnya dari BL, dan batas usia paling rendah berikutnya.
51
Transfusi tukar
Usia (jam)
BL <1500 g
Kadar bilirubin (mg/dL)
BL 1500-2000 g
Kadar bilirubin (mg/dL)
BL >2000 g
Kadar bilirubin (mg/dL)
<24
25-48
49-72
>72
>10-15
>10-15
>10-15
>15
>15
>15
>16
>17
>15-18
>15-18
>17-18
>18-20
Staff of the RWH Division of Neonatal Services. Network division of neonatal services
Royal Womens Hospital site guide for neonatal fellow and hospital medical officers
AAP Guideline. Pediatrics 1994;94:558-65.
Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, ed. Manual of neonatal care. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2004.h.185-221.
Gilmore MM. Hyperbilirbinemia, indirect (Unconjugated hyperbilirubinemia). Dalam:
Gomella TL, Cunningham MD, Eyel FG, Zenk KE. Neonatology management,
procedures, on call problems, diseases, and drugs, edisi ke-5. New York: Lange
medical books/McGraw Hill, 2004.h.247-253.
52
TRANSFUSI TUKAR ( TT )
Adalah suatu rangkaian tindakan mengeluarkan darah pasien dan memasukkan darah donor
untuk mengurangi kadar serum bilirubin atau kadar hematokrit yang tinggi atau mengurangi
konsentrasi toksin-2 dalam aliran darah pasien.
Indikasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
53
54
Aliquot ( ml )
20
15
10
5
13
Memilih salah satu metode TT yang bisa dilakukan dengan beberapa cara sbb
( lihat gambar skematik di halaman terakhir ) :
Tehnik-tehnik alternatif :
1 Mengeluarkan melalui kateter A. Umbilikalis dan memasukkan melalui
vena perifer.
2 Metode push pull melalui kateter A. Umbilikalis.
3 Metode push pull melalui kateter V. Umbilikalis. Bila tidak
memungkinkan memasukkan kateter kedalam V. Umbilikalis, TT bisa
dilakukan melalui vena sentral pada fossa antecubiti / kedalam V.
Femoralis melalui V. Saphenous. Lokasinya 1 cm dibawah lig.
Inguinalis dan medial dari A. Femoralis, masukkan kateter sedalam 5
cm.
4 Mengeluarkan melalui arteri perifer ( radialis / tibialis posterior )
dengan memakai ukuran 24 angiocath, dan memasukkan melalui vena
perifer pada ektremitas sisi yang lain.
Jangan menggunakan A. brachialis dan A. Femoralis karena adanya
resiko kehilangan sirkulasi ke esktrimitas.
Asisten membuat kolom-2 pada selembar kertas, untuk mencatat identitas pasien,
waktu mulai dan selesai dilakukan TT serta jumlah
darah dan nomor-2 frekwensi aliquot darah yang dikeluarkan dan dimasukkan,
serta waktu dan kapan rencana diberikan larutan Ca glukonat dan heparin encer
selama TT.
55
Radiant warmer.
Peralatan untuk bantuan pernafasan dan resusitasi ( O2 / suction ). Alat-2 dan obat-2
yg dibutuhkan untuk resusitasi harus tersedia.
Peralatan monitor untuk denyut jantung, tekanan darah, kecepatan pernafasan, suhu,
PaO2, PaCO2 dan SaO2.
Monitor EKG bila ada.
Peralatan untuk pemasangan kateter Arteri / Vena Umbilikalis.
Nampan / tray steril / disposable untuk TT.
Selang lambung 5 F / 6 F untuk mengosongkan lambung sebelum memulai TT.
Ca glukonat 10 %( 100 mg/ml )
Heparin encer ( 5 U/ ml yaitu dg mencampurkan 500 unit heparin ( 0,1 cc ) kedalam
100 cc NaCl 0,9 % )
Semprit steril 20 ml 2 buah ( untuk mengeluarkan dan memasukkan darah )
Steril 3 way stopcock 2 buah
Sarung tangan steril 2 buah
Semprit 5 ml / 10 ml steril 2 buah, untuk Ca gluconas 10% dan Heparin encer
Kateter umbilikalis 1 buah ( bila tidak ada bisa menggunakan selang lambung no 5
F ), sediakan 2 buah bila memakai tehnik isovolumetric 2 volume exchange, 1
dimasukkan ke Vena dan 1 lagi untuk arteri umbilikalis.
Nier-bekken ( 2 buah ), serta botol plastik bekas infus untuk menampung darah yg
dibuang
Infus set 2 buah.
Darah harus dihangatkan ke suhu 37 C. Penggunaan pemanas air tidak dianjurkan,
sebab darah yg terlalu hangat menjadi hemolisis.
Pada polisitemia diperlukan larutan NaCl 0,9 % 500 cc / 5 % albumin dalam 0,9 %
NaCl sebagai pengganti cairan untuk mengobati hiperviskositas.
56
Bayi diletakkan dibawah radiant warmer pada posisi supine, lengan dan
tungkai diikat tapi jangan terlalu ketat, Semua ekstremitas harus terlihat
untuk memonitor komplikasi vaskular.
Alat monitor tanda-2 vital, O2 Saturasi dipasang dan hasilnya diawasi ( bayi
jangan sampai hipotermi dan sianosis).
Bila perlu beri O2.
Peralatan dan obat-2 resusitasi serta iv line sudah siap.
Cuci tangan dan pakai gaun serta sarung tangan steril.
Bersihkan tali pusat dan daerah perut sekitarnya dengan lidi kapas steril yang
sudah diberi betadin 2 3 kali. Lalu pasang duk lubang steril.
Bila tali pusat masih segar, potong horizontal diatas dinding perut
Pasang kateter vena umbilikalis, difiksasi dan pastikan posisi dgn foto
rontgen abdomen. Ambil sampel darah 10 15 cc untuk pemeriksaan
laboratorium.
Jika akan melakukan isovolumetric exchange, maka kateter arteri umbilikal
harus juga dipasang dan dikonfirmasi dg foto rontgen abdomen.
Persiapan alat-2 :
a Pada tempat infus/ memasukkan darah :
Hubungkan kateter V. Umbilikalis ke selang infus yang menempel pada
kantong darah dan pasang 3 way stopcock sesuai dgn arahnya pada
nampan transfusi.
b. Pada tempat penarikan darah :
57
10 Irigasi kateter dan semprit untuk dibilas dengan lar. heparin encer se
tiap 5 menit untuk mencegah pembekuan.
11 Goyangkan kantong darah donor setiap 10 15 menit untuk mencegah pengendapan eritrosit, agar kadar hematokrit yang dimasukkan merata.
12 Pelan-2 masukkan 1 ml Calsium glukonat setiap kali sudah mema
sukkan 100 ml darah donor.
13 Bila hasil monitor tanda-tanda vital dan kondisi pasien memburuk, se
gera hentikan TT.
14 Bila TT sudah selesai, jahitan melingkar dengan benang silk harus
ditempatkan sekeliling vena, sisa benang harus ditinggalkan. Untuk
memudahkan TT berikutnya. Lalu sambungkan kateter ke cairan intra vena
dgn kecepatan yang sesuai, untuk mempersiapkan bila TT perlu diulang
dalam 12 24 jam. Bila ternyata tidak diperlukan, kateter boleh dilepas.
2
58
Pemeriksaan laboratorium :
a
b
c
d
Foto terapy:
Mulai / dipasang lagi fototerapi sesudah TT untuk gangguan-2 dengan kadar
bilirubin yang tinggi.
Remedication :
Antibiotik atau antikonvulsan harus diberikan lagi. Untuk digoksin tak perlu
diberikan lagi.Minimal 2,4 % digoksin hilang, tetapi 32,4 % theophyllin
mungkin hilang selama 2-volume exchange transfusion.
Antibiotika profilaksis :
59
Komplikasi vaskular :
Bekuan / emboli udara, spasme arteri pd ekstremitas bawah, thrombosis,
renovaskular hipertensi dan infark dari organ-2 mayor
Koagulopati :
Merupakan hasil dari trombositopenia
atau berkurangnya faktor-2
koagulasi.Trombosit bisa turun sampai > 50 % sesudah 2-volume exchange
transfusion.
Gangguan elektrolit :
Hiperkalemia dan hipokalsemia , sehingga dapat terjadi aritmia dan tetani.
Hipoglikemia :
Khususnya pada bayi-2 dari Ibu DM dan erythroblastosis fetalis.
Metabolik asidosis :
Dari darah donor yg sudah disimpan ( karena beban asam ) , lebih jarang terjadi pd
darah dgn antikoagulan sitrat ( CPD ).
Metabolik alkalosis :
Bisa terjadi karena terlambatnya pembersihan pengawet sitrat dari darah donor oleh
hati.
10 Perdarahan intrakranial.
60
61
KETIDAKCOCOKAN
INCOMPATIBILITY)
SISTIM
GOLONGAN
DARAH
ABO
(ABO
Batasan
Suatu anemia hemolitik autoimun yang terjadi oleh karena ketidakcocokan golongan darah
sistim ABO antara ibu dengan bayi. Umumnya bayi dengan golongan darah A / B
sedangkan ibu O.
Insiden
Etiologi
Ketidakcocokan golongan darah bayi dengan ibu
Patofisiologi
Gambaran klinis
- Kuning dalam 24 jam pertama
- Pucat
- Pembesaran hepar, lien ( jarang)
Laboratorium
- Ibu golongan darah O, bayi A / B
- Retikulosit meningkat
- Direct coomb test positif
- Bilirubin indirek meningkat
Tata laksana
- Photo terapi
- Transfusi tukar
Prognosis : baik
62
63
Gejala
yang
paling
sering
ditemukan
adalah
distres
pernapasan,
hepatosplenomegali dan demam.8 Gejala lain seperti prematuritas, berat lahir rendah,
toleransi minum yang buruk, letargi, kejang, ikterus, limfadenopati, lesi kulit, dan cairan
pada telinga juga dilaporkan
64
____________________________________________________________________________________________________________
Distres pernapasan
44
76
38
65
Demam
33
57
Limfadenopati
19
33
18
31
Letargi
16
30
Distensi abdomen
15
26
Gagal tumbuh
15
15
Ruam kulit
Funduskopi abnormal
Ikterus
Kejang
BAB berdarah
Asites
____________________________________________________________________________________________________________
Dikutip dari Abughali N, Annable W, Kumar M. Congenital Tuberculosis. Pediatr Infect Dis J, 1994;13:738-41
Pemeriksaan penunjang
Uji tuberkulin pada neonatus sering negatif karena penyakit berat atau sistem imun
neonatus yang masih imatur. Pemeriksaan BTA dan biakan kuman dapat menunjukkan
hasil positif dari bilasan lambung, cairan telinga, serta biopsi hati, kelenjar getah bening,
dan sumsum tulang.9 Gambaran foto toraks neonatus dengan TB sering menunjukkan
kelainan. Sebagian besar terdapat gambaran milier, namun dapat pula ditemukan infiltrat
paru dan pembesaran kelenjar getah bening hilus. Beberapa neonatus yang memiliki
gambaran foto yang normal dapat berkembang menjadi abnormal bersamaan dengan
progresivitas penyakit.5,9 Pada pemeriksaan ultrasonografi abdomen dapat ditemukan
pembesaran dan lesi fokal pada hati dan limpa, ekogenisitas yang heterogen, pembesaran
KGB multipel serta cairan debris peritoneum.10 Gambaran histopatologi plasenta dapat
ditemukan granuloma kaseosa dengan BTA.6,8,14 Adanya tuberkel pada plasenta belum
dapat memastikan bahwa bayi menderita TB kongenital, karena tuberkel pada plasenta
dapat utuh (tidak pecah).
65
66
terapi TB selama 1 bulan (usia 1 bulan) lakukan pemeriksaan uji tuberkulin. Namun pada
neonatus dengan gejala klinis TB dan didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan
penunjang (foto toraks, PA plasenta dan mikrobiologi darah v.umbilikalis) maka dapat
langsung diobati selama 6 bulan tanpa pemerikaan uji tuberkulin.
Apabila pada usia 1 bulan uji tuberkulin positif maka diagnosisnya TB dan
diberikan terapi TB selama 6 bulan disertai pemeriksaan foto toraks dan bilas lambung.
Namun bila hasil uji tuberkulin negatif diagnosisnya masih mungkin TB karena faktor
imunitas yang imatur pada neonatus.9 Dalam hal ini terapi TB diteruskan disertai
pemeriksaan tuberkulin pada usia 3 bulan. Apabila hasil uji tuberkulin pada usia 3 bulan
positif maka diagnosisnya TB dan diberikan terapi TB selama 6 bulan. Namun apabila
hasilnya negatif maka diagnosisnya bukan TB dan terapi TB dihentikan.
Selain mendapat terapi TB, pemberian nutrisi harus adekuat. Bayi dipisahkan
selama minimal 2 minggu pemberian terapi TB pada ibu, namun ASI tetap dapat diberikan.
Kandungan OAT di dalam ASI pada ibu yang mendapat terapi TB hanya dalam jumlah
yang kecil dan tidak berpotensi menimbulkan infeksi pada bayi. 1,2,7,9 Selain itu pemantauan
peningkatan berat badan, tanda vital, dan keluhan lain harus dilakukan dengan ketat.5
Bila neonatus lahir dari ibu TB aktif namun pemeriksaan klinis dan penunjang
dalam batas normal, maka neonatus tetap berpotensi untuk terinfeksi M.tuberculosis. Tata
laksana awal adalah pemberian profilaksis primer INH dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari
selama 1 bulan kemudian dilakukan uji tuberkulin untuk mengetahui apakah pasien telah
terinfeksi.4,5,9,15
Bila setelah 1 bulan uji tuberkulin positif maka diagnosis TB dapat ditegakkan dan
diberikan terapi TB selama 6 bulan disertai pemeriksaan foto toraks dan bilas lambung. 9,15
Namun bila setelah 1 bulan uji tuberkulin negatif maka pemberian profilaksis primer INH
diteruskan sampai 3 bulan kemudian dilakukan uji tuberkulin untuk mengetahui apakah
pasien telah terinfeksi. Bila setelah 3 bulan uji tuberkulin tetap negatif, dan telah
dibuktikan tidak ada sumber penularan lagi maka profilaksis primer INH dapat dihentikan.
Namun bila positif, harus dinilai klinis dan pemeriksaan penunjang. Bila terdapat kelainan
maka didiagnosis TB dan diberikan terapi TB selama 6 bulan. 9,15 Apabila pemeriksaan
tidak mendukung TB, maka diberikan profilaksis sekunder selama 6-12 bulan. 9,15
67
Pemberian BCG hanya dapat dilakukan apabila bayi belum terinfeksi M.tuberculosis yaitu
pada saat 3 bulan dan uji tuberkulin negatif.4,9
Tatalaksana terhadap lingkungan meliputi lingkungan keluarga. Harus dicari
adanya sumber penularan atau keluarga lain yang tertular melalui pemeriksaan klinis,
laboratorium maupun radiologis.2,9
Prognosis
Prognosis TB kongenital biasanya lebih buruk dari TB didapat pasca natal.
Komplikasi TB pada neonatus adalah DIC, meningitis, gagal napas, perforasi usus dan
syok sepsis.12,16-20 Hampir 50 % TB kongenital dilaporkan meninggal, meskipun dengan
penanganan yang intensif. Hal ini disebabkan karena keterlambatan diagnosis dan
komplikasi.7,8 Oleh karena itu deteksi dini ibu dan neonatus dengan TB serta penanganan
yang baik pada neonatus sangat penting untuk memperkecil angka kematian TB pada
neonatus.
68
Diagnosis dan tata laksana neonatus dari ibu hamil dengan tuberkulosis aktif.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM 2004
EVALUASI
AWAL
PARTUS 2)
Evaluasi klinis 3)
DOSIS
Profilaksis TB
INH: 5-10mg/kg/hr
Terapi TB
INH: 5-10 mg/kg/hr
Klinis TB (+)
Pemeriksaan penunjang
normal
DK/TB perinatal
DK/Kontak TB (+)
Terapi TB
Tuberkulin (-)
Tuberkulin (+)
DK/Kontak TB(+)
DK/TB
Profilaksis Primer
Terapi TB 6 bulan
Lengkapi :
Tuberkulin (-)
EVALUASI
1 BULAN
Uji Tuberkulin
Foto toraks,
DK/TB
Terapi TB
Diteruskan
69
Tuberkulin
EVALUASI
3 BULAN
Uji Tuberkulin
(+) Bila indurasi 10 mm
(-) Bila indurasi < 10 mm
2)
3)
4)
4)
Tuberkulin (+)
Tuberkulin (-)
DK/Bukan TB
(-)
Sumber
penularan (-)
Stop
Profilaksis
Imunisasi
BCG
Tuberkulin(
+)
DK/TB
Terapi TB 6 bulan
b. Bila Klinis (-)
DK/Infeksi TB
tanpa sakit
Terapi TB
6 bulan
Stop terapi TB
Buktikan diagnosis TB pada ibu secara klinis, radiologis dan mikrobiologis. Bila ibu telah didiagnosis TB aktif maka diobati
dengan OAT.
Bayi dipisahkan sampai dengan minimal 2 minggu pemberian OAT pada ibu, namun ASI tetap dapat diberikan.
Lakukan pemeriksaan plasenta (PA, makroskopik & mikroskopik), darah v.umbilikalis (Mikrobiologi=BTA & biakan TB).
Klinis: Prematuritas, berat lahir rendah, distres pernapasan, hepato-splenomegali, demam, letargi, toleransi minum buruk,
gagal tumbuh, distensi abdomen.
Bila klinis sesuai sepsis bakterialis dapat diberikan terapi kombinasi.
Bila pada evaluasi klinis terdapat limfadenopati, lesi kulit atau ear discharge lakukan pemeriksaan mikrobiologi dan/atau PA.
Bila dalam perjalanan klinis terdapat hepatomegali lakukan pemeriksaan USG abdomen, jika ditemukan kompleks primer
lanjutkan dengan biopsi hati.
Imunisasi BCG sebaiknya tidak diberikan sebelum usia 3 bulan
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis paru. Dalam Konferensi Kerja VIII Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Jakarta. November 1998
3.
Suwondo A. Tuberkulosis paru pada kehamilan. Dalam: Suwondo A, Nelwan RHH, Kurniawan L, Utji R.
Penyunting Simposium Penanggulangan Infeksi dalam Kehamilan. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 1991.h.49-57
4.
Rahajoe NN. Tatalaksana Bayi dari Ibu Pengidap Tuberkulosis. Dalam: Marwoto W, Rachimhadhi T, Pusponegoro
TS. Penyunting Penanganan terpadu Infeksi Perinatal. Jakarta Balai Penerbit FKUI.1996:12-6
5.
Starke JR, Munoz F. Tuberculosis In: Behrman. Nelson Textbook of Pediatrics. 16th ed. Philadelphia. WB Saunders
Company, 2000.h.886-97
6.
7.
Adis International Editors. Managing pregnant women with tuberculosis. J Paed, Obstet Gynaecol 1997;Jan/Feb:258
8.
9.
Starke JR. Tuberculosis an old disease but a new threat to the mother, fetus and neonate. In Stoll BJ, Weisman LE.
eds. Clinics in Perinatology. Philadelphia. WB Saunders Company, 1997.h.107-23
10. Akinbami LJ, Selby DM, Slonim AD. Hepatosplenomegaly and pulmonary infiltrates in an Infant. J Pediatr
2001;139:124-9
70
11. Damian RF, Arredondo-Garcia. Pregnancy and tuberculosis: Influence of treatment on perinatal Outcome. Am J
Perinatol 1998;15:303-5
12. Mazade MA, Evans EM, Starke JR. Congenital tuberculosis presenting as sepsis syndrome: Case report and review
of the literature. Pediatr Infect Dis J 2001;20:439-42
13. Pejham S, Altman R, Li KL. Congenital tuberculosis with facial nerve palsy. Pediatr Infect Dis J, 2002;21:1085-6
14. Wise GJ, Marella VK. Genitourinary manifestation of tuberculosis. Urol Clin North Am 2003;30:111-21
15. AAP
2000 Red Book: Report of committee on infectious Disease. 25th ed. American Academy of
Pediatrics, 2000.h.594-613
16. Hamadeh MA, Glassroth J. Tuberculosis and pregnancy. Hougen TJ. Digitalis use in children: an Chest
1992;101:1114-20
17. Anuntaseree W, Suntotnlohanakul S, Mintarnun W. Disseminated tuberculosis in a 2-months-old infant.Pediatr
Pulmonol 1992;13:255-8
18. Foo AL, Tan KK, Chay OM. Congenital tuberculosis. Tubercle and lung dis 1993;74:59-61
19. Vucicevic Z, Suskovic T, Ferencic Z, A female patient with tuberculosis polyseroritis and congenital tuberculosis in
her newborn child. Tubercle and lung dis 1995:76:460-2
20. Agrawal RL, Rehman H. Congenital military tuberculosis with intestinal perforations. Tubercle and lung dis
1995;76:468-9
TOXOPLASMOSIS
71
Batasan
Infeksi intrauterin yang idsebabkan oleh Toxoplasmosis gondii
Insiden
1/1000-1/10.000 kelahiran
Etiologi
Toxoplasma gondii
Faktor risiko
- kontak dengan feses kucing
- susu yang tidak dipasteurisasi
- kontak dengan daging (babi) yang tidak dimasak
- prematur
Patofisiologi
Organisme oocyst diekskresikan dalam feses kucing makanan terkontaminasi
kotoran kucing yang mengandung oocyst mukosa saluran cerna sporozoit
sirkulasi takizoit plasenta hematogen fetus
Transmisi terjadi pada:
- 17 % trimester I menyebabkan abortus, lahir mati, penyakit berat dan
teratogenik
- 25% trimester II subklinis
- 65% trimester III subklinis
Gambaran klinis
Trias toxoplasmosis (hidrosefalus obstruktif, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis)
Gejala lain yang sering ada: anemia, panas, muntah, kuning, kejang, hipotermi,
perdarahan, diare,hepatosplenomegali, limfadenopati, katarak, glaukoma, rash,
pneumonitis, eosinofilia, hiperbilirubinemia direk, abnormal pada CSF (protein meningkat)
Kasus subklinis sering terjadi lihat tes serologi
Diagnosis
- anamnesis faktor risiko
- sesusi dengan gambaran klinis
- Laboratorium
- Isolasi organisme dari dari cairan / jaringan tubuh seperti darah, plasenta
- Cairan serebrospinalis : santokrom, pleositosis (mononuklear), protein meningkat
- Pencitraan
- USG / CT skan kepala : kalsifikasi intrakranial
- Photo tulang kepala (Long bone film) abnormal : garis kalsifikasi
ireguler pada epifiseal plate tanpa reaksi periosteal
- Pemeriksaan mata : koreoretinitis
72
Serologi:
o Antibodi IgM spesifik toxoplasma
Positif dalam 1-2 minggu dari infeksi, menetap beberapa bulan (1-3 bulan),
kemudian menghilang.
Bila titer IgM tinggi diikuti oleh peningkatan titer IgG spesifik > 1 : 512
infeksi akut.
o Antibodi IgA ditemukan > 95% pada infeksi akut
o Antibodi IgE spesifik toxoplasma ditemukan pada hampir semua wanita
yang serokonversi selama hamil
o Antibodi IgG terbentuk setelah infeksi berlangsung selama 2-3 bulan, titer
meningkat, mencapai puncaknya dalam 1 bulan, kemudian menurun
perlahan-lahan tetapi menetap seumur hidup dalam konsentrasi yang rendah
Diagnosis perinatal
- PCR, sample dari cairan amnion
- D5-IgM EIA dan ISAGA mendeteksi Ig M toxoplasma > 75-80% bayi dengan
infeksi kongenital
Tata laksana
RUBELLA
Batasan
Infeksi virus rubela yang menyebabkan infeksi kronis intrauterin dan kerusakan
perkembangan fetus
Insiden
Etiologi
Patofisiologi
Maternal viremia infeksi plasenta infeksi fetus dapat terjadi : resorbsi fetus,
abortus spontan, lahir mati, infeksi fetus multi sistim, anomali kongenital,
Manusia merupakan satu-satunya host
Masa inkubasi sampai dengan 18 hari setelah kontak
Gambaran klinis
1 efek teratogenik
- pertumbuhan janin terhambat, penyakit jantung kongenital (PDA, PS),
gangguan pendengaran neurosensoris, katarak/glaukoma, purpura neonatal,
kelainan kulit
2 Gejala sistemik
Adenitis, hepatitis, kuning, anemia, trombositopenia, hepatosplenomegali,
miokarditis, ensefalitis, meningitis, pnemonia
73
Gejala yang muncul kemudian (late), dimana saat lahir normal, kemudian
terjadi gangguan.
Discrasias imunologis, gangguan pendengaran, autism, DM, penyakit tiroid,
sindroma otak : SSPE
Laboratorium
1. Kultur : swab nasofaring, urine, hapusan konjungtiva, cairan serebrospinal
2. Pemeriksaan caoran serebrospinalis : sesuai dengan gambaran ensefalitis
3. Serologi : antibodi Ig M dan Ig G spesifik rubella
4. Radiologi
- Photo tulang panjang : radiolusen
- Photo metafiseal : osteoporosis metafise oleh karena virus menghambat mitosis selsel pembentuk tulang
Tata laksana
Tidak ada pengobatan spesifik
Pencegahan
Imunisasi rubela umur 12 bulan atau lebih
74
SITOMEGALOVIRUS
Batasan
Infeksi kongenital yang disebabkan oleh sitomegalovirus
Insiden
0,5-1,5% dari seluruh kelahiran hidup
Etiologi
Sitomegalovirus, suatu DNA virus termasuk kelompok Herpes virus
Faktor risiko
1. ibu sosial ekonomi rendah
2. ibu penyalahgunaan obat
3. ibu seksual aktif
Patofisiologi
Virus sitomegalo, ditularkan melalui cairan : saliva, air mata, semen, urine, servical, darah,
ASI, plasenta fetus target organ : otak, hepar, mata, paru, ginjal
Bila infeksi primer terjadi selama hamil, kemungkinan virus ditularkan ke bayi sekitar 35%
Gambaran klinis
1. Subklinis (10 kali dari klinis positif)
2. Gejala klasik
- pertumbuhan janin terhambat
- hepatosplenomegali
- kuning
- purpura
- koreoritinitis
- gangguan pendengaran sensorineural
- pneumonitis
- gangguan otak: mikrosefali, kalsifikasi di subepindemal
3. Skuelae (late)
- Retardasi mental
- Gangguan belajar
- Gangguan pendengaran
Laboratorium
1. Darah : trombositopenia, anemia hemolitik
2. LFT : peningkatan kadar transaminase hepar, kadar bilirubin direk meningkat
(hiperbilirubinemia hari pertama)
3. Kultur : dapat diambil dari urine, saliva, darah (gold standard) positif dalam 4872 jam
4. serologi
75
76
HERPES SIMPLEKS
Batasan
Infeksi virus Herpes simpleks pada neonatus
Insiden
1/1000-1/3000 kelahiran
Etiologi
Virus Herpes simpleks
Faktor risiko
- ibu sosial ekonomi rendah
- seksual aktif
Pathofisiologi
Infeksi virus dapat melalui:
- intra uterin
- intra partum (80%)
- post natal
Gambaran klinis
- Masa inkubasi 2-20 hari
- Gejala klinis meliputi gejala lokal dan sistemik
- Gejala lokal : dapat mengenai kulit, rongga mulut berupa suatu vesikel sampai
bula. Pada mata berupa keratokonjungtivitis, koreoretinitis. Gejala lokal ini
merupakan 40% dari herpes neonatal.
- Gejala sistemik : anoreksia, muntah, letargi, panas, kuning, purpura, rash, apnea,
perdarahan sampai syok, ensefalitis. Herpes simpleks sistemik prognosisnya buruk
dan skuelae jangka panjang (+).
Laboratorium
1. Kultur virus dari konjungtiva, tenggorokan, urin, nasofaring, cairan serebrospinal
2. Sitologi, dari vesikel dengan pengecatan Giemza dan Wrigh ditemukan Giant cell
dan eosinofilic (Tzanck cell) sensitifitas 50%
3. Serologi : HSV IgM tidak membantu
4. PCR HSV DNA sensitivitas 100%
5. ELISA monoklonal anti HSV antibodi 80-90% sensitif
6. LP, dikerjakan pada semua tersangka terdapat peningkatan eritrosit dan leukosit
7. CT skan kepala, dicari adanya kelainan pada CNS
77
Tata laksana
1. Antepartum
- Jika tida terdapat lesi pada vagina pada saat persalinan, persalinan dapat
dilaksanakan pervagina
- Bila klinis positif gejala infeksi HSV, persalinan dilaksanakan SC
2. Neonatal
- Isolasi
- Asiklovir : 60 mg/kgBB/hari selama 21 hari
- ASI tetap diberikan dengan catatan : ibu mencuci tangan yang baik sebelum
menyusui, bila ibu dengan herpes orolabialis memakai masker dan jangan mencium
bayi.
78
Krioterapi
Laser terapi
Prognosis
90% stadium I dan II mengalami regresi spontan
79
80