Professional Documents
Culture Documents
Alveolektomi
Diajukan untuk memenuhi syarat dalam melengkapi
Kepaniteraan Klinik pada Modul 7
Oleh:
MARGARETA RIZWIS SUKMADEWI
10100701100030
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Illahi Rabbi, atas kehendak dan
ketetapan- Nya telah melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulisan laporan
kasus ALVEOLEKTOMI untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan kepanitraan klinik modul 7 (bedah minor dan kegawat daruratan
gigi dan mulut) dapat diselesaikan.
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari, bahwa semua
proses yang telah dilalui tidak lepas dari bimbingan Drg. Andries Pascawinata,
MDSc., Sp. BM. selaku dosen pembimbing, bantuan, dan dorongan yang telah
diberikan berbagai pihak lainnya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu.
Penulis juga menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna
sebagaimana mestinya, baik dari segi ilmiah maupun dari segi tata bahasanya,
karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah semuanya penulis serahkan dan
mudah- mudahan laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Margareta Rizwis.S
Syamsiar
No Rekam Medis :
040821
Umur
74 tahun
Jenis Kelamin
Perempuan
Alamat
Pekerjaan
Agama
Islam
Status
Sudah menikah
Hari/Tanggal
Senin,
10
agustus
Kasus
Eksostosis
region 43
Tindakan yang
dilakukan
1. Anamnesa
2. Pemeriksaan klinis
Operator
Margareta.R
(10100701100030)
2015
MODUL 7
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
HALAMAN PENGESAHAN
Telah didiskusikan dan dipresentasikan Laporan Kasus Alveolektomi guna
melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik pada Modul 7.
Padang,
Agustus 2016
Disetujui Oleh
Dosen Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Eksostosis
Eksostosis adalah pembesaran tulang terlokalisasi, non-neoplastis yang
berasal dari tulang kortikal, bentuknya bisa membulat dan tajam. Penyebab
exostosis belum diketahui tetapi juga dapat disebabkan oleh peradangan kronik
dan dapat juga disebabkan oleh adanya proses resorbsi tulang pada usia lanjut
yang terjadi secara fisiologis dan tidak teratur. Sehingga didapatkan sisa tulang
resorbsi yang tajam dan mungkin ada yang tumpul. Proses pencabutan multiple
juga dapat menimbulkan eksostosis yang tajam. Pemeriksaan eksostosis dengan
melakukan palpasi, bila ada eksostosis yang tajam, sakit, dan mengganggu fungsi
gigi tiruan maka dilakukan tindakan pembedahan alveolektomi (Banjar, 2002;
Hasnida, 2008).
2.2 Alveolektomi
2.2.1
Defenisi
Alveolektomi adalah suatu tindakan bedah untuk membuang prosesus
mengurangi
ketidakteraturan
puncak
ridge
atau
elongasi,
dan
sebagai berikut:
Indikasi :
a. Pada intra oral tampak tonjolan tulang tajam pada prosesus alveolaris
setelah pencabutan gigi.
b. Adanya tonjolan pada prosesus alveolaris yang terasa sakit apabila ditekan
akibat proses pencabutan gigi.
c. Tuberositas yang dapat mengganggu retensi dan stabilisasi gigi tiruan.
d. Penghilangan interseptal bone disease.
Kontraindikasi :
a. Tulang kortikal yang tipis.
b. Pasien dengan penyakit sistemik.
c. Periostitis.
d. Periodontitis, merupakan penyakit periodontal
mengakibatkan kehilangan tulang.
yang
parah, yang
keadaan
Rencana perawatan tidak terlepas dari pada perawatan pasca bedah. Dari
anamnesa perawatan ini akan keluar empat macam hasil yang akan dilakukan
yaitu :
a. Observasi (diamati selanjutnya).
b. Perawatan konservatif (dirawat secara konservatif dengan pengobatan
saja).
c. Pembedahan (diambil tindakan operasi).
d. Konsultasi (dikirim ke sejawat yang lebih ahli untuk ditindak lebih
lanjut).
3. Perawatan secara pembedahan
Pada tindakan operasi harus diikuti syarat-syarat sebagai berikut :
a. Asepsis
Prinsip asepsis telah diakui dalam ilmu bedah mulut. Dengan bantuan
antibiotik, anestetikum yang tepat, dan keseimbangan cairan yang baik, maka
prosedur-prosedur bedah mulut telah banyak mengalami kemajuan. Kasus yang
fatal, sekarang telah dapat dikerjakan dengan baik. Tetapi ini saja belum cukup,
harus
disertai
dengan
tindakan
asepsis.
Asepsis
adalah
menghindari
alveolar, dan posisi flep yang dikehendaki pada waktu penjahitan (Daliemunthe,
2006).
Bentuk dari flap sangat mempengaruhi dalam keberhasilan pembedahan,
dimana ada 3 macam bentuk flap yang dapat dibuat dan dibuat tergantung dari
daerah operasi dan besar lesi yang akan diambil yaitu :
a. Semiluner
b. Trapesium
c. Segitiga
Ketiga bentuk ini dapat dibuat tergantung dari pada daerah operasi dan besar
bagian yang akan diambil. Apabila tepi gingiva dari pada gigi termasuk dalam
daerah flap, maka harus diinsisi dan tidak boleh diangkat begitu saja. Untuk
melepaskan flap harus dengan gerakan yang halus. Pekerjaan yang tidak rapi akan
menimbulkan trauma dan akan menyebabkan penyembuhan yang lama dan tidak
sempurna, dengan cara bekerja yang atraumatik akan dapat mempertahankan
aliran darah dari flap, sehingga flap tetap hidup dan baik terhindar dari terjadinya
nekrose.
Hal-hal yang perlu diketahui dalam pembuatan flap :
a. Penyembuhan dari flap tidak tergantung dari besarnya tetapi tergantung dari
pada bagaimana membuatnya dan bagaimana kita bekerja.
b. Pada waktu melakukan insisi serta pada waktu pembukaan flap, harus
diperhatikan
jangan
sampai
merusak
nervus,
oleh
karena
dapat
keduanya
e. Persyarafan : desain diusahakan menghindari saraf yang terletak di dalam
(terutama nervus mentalis)
f. Pendukung : tempatkan tepi sedemikian rupa sehingga terletak di atas
tulang (lebih kurang 3-4 mm dari tepi tulang yang rusak)
g. Ukuran : ukuran flap seharusnya lebih besar dan jangan terlalu kecil serta
jangan diperluas berlebihan
h. Ketebalan : untuk flap mukoperiostal, periostum diambil secara
menyeluruh jangan sampai terkoyak dan pada waktu mengangkat flap
jangan sampai sobek (Pedersen, 2012).
2.5 Penjahitan
2.5.1 Benang Jahit
Benang jahit dibagi menjadi dua yaitu yang bisa diabsorbsi dan yang tidak
bisa diabsorbsi. Secara umum, jahitan yang terletak pada permukaan luar tubuh
menggunakan bahan non-absorbsi, sedangkan yang terletak dibawah kulit
menggunakan yang dapat diabsorbsi. Tipe bahan non-absorbsi yang menonjol
adalah sutera, katun, nilon, dan baja tahan karat (kawat). Gut adalah bahan standar
untuk tipe absorbsi. Benang polyglycolic acid yang dapat di absorbsi juga tersedia
dan digunakan secara luas, durasinya lebih lama dari pada gut. Benang jahit
tersedia dalam keadaan steril dengan jarum yang melekat (swaged atau armed).
Benang sutera hitam tersedia dalam bentuk kering sedangkan gut dibungkus
didalam genangan alkohol untuk mempertahankan kualitasnya. Jarum yang ideal
untuk pencabutan intra oral adalah 3/8 lingkaran dengan cutting edge terbalik
(Pedersen, 2012).
2.5.2 Teknik Jahitan
Prinsip-prinsip jahitan adalah (Pedersen, 2012):
1. Needle holder memegang jarum pada 2/3 jarak dari ujung ke pangkal
jarum.
2. Tidak mengikat terlalu kencang.
3. Jahitan dimulai dari posterior ke anterior (dari jauh ke dekat), dari jaringan
yang tidak melekat ke jaringan cekat.
4. Makin sedikit jahitan dan makin kecil trauma akan menimbulkan reaksi
jaringan yang semakin minimal.
Beberapa teknik jahitan yang sering digunakan dalam bedah mulut adalah
(Lodra, 2014) :
1. Simple interupted suture
Terbanyak digunakan karena sederhana dan mudah. Tiap jahitan disimpul
sendiri. Dapat dilakukan pada kulit atau bagian tubuh lainnya, dan cocok untuk
daerah yang banyak bergerak karean tiap jahitan saling menunjang satu dengan
lainnya. Jahitan terputus (interupted suture), tiap-tiap simpul berdiri sendiri.
Secara kosmetik benang kasar/besar atau tegang pada saat menyimpulnya akan
memberikan bekas yang kurang bagus, yaitu seperti gambaran lipan.
Keuntungan teknik ini yaitu dapat dilepas satu per satu. Apabila terjadi
hematom atau infeksi dapat dilakukan drainase darah tanpa harus melepaskan
seluruh jahitan. Namun membutuhkan waktu yang lebih banyak.
Kerugian teknik penjahitan ini apabila satu benang rapuh atau terlepas, maka
seluruh jahitan akan terbuka. Juga beresiko tinggi untuk infeksi selama pelepasan
jahitan karena jika jahitan tidak diangkat satu persatu dapat menyebabkan
pengumpulan cairan sehingga membutuhkan drainase.
3. Interlocking suture
Jahitan kontiniu dengan mengaitkan benang pada jahitan sebelumnya,
biasa sering dipakai pada jahitan peritoneum. Merupakan variasi jahitan jelujur
biasa.
bakterium atau
BAB III
LAPORAN KASUS
Syamsiar
Umur
74 tahun
Jenis Kelamin :
Perempuan
Alamat
Pekerjaan
Agama
Islam
Status
Sudah Menikah
Alat :
a. Alat standar
b. Handle blade
c. Raspatorium
d. Bone file
e. Blade no 15
f. Gunting bedah
g. Benang + jarum jahit
h. Needle holder
i. Low speed ( mikromotor )
j. Bur tulang
k. Knabel tang
Bahan :
a. Pehacaine
b. Povidon iodine
c. NaOcl 0,9 %
d. Tampon, kasa, kapas
e. Alkohol
R/
R/
No.V
: 74 Tahun
Pro
Umur
: Yuni Marlis
: 33 tahun
Pada pemeriksaan Kalor (-), Rubor (-), Dolor (-), dan Tumor (-).
Kemudian dilakukan pembukaan jahitan pada pasien tersebut.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Alveolektomi merupakan pengurangan tulang alveolar dengan berbagai
indikasi untuk mengatasi atau mencegah perlukaan. Dalam pengurangan tulang
alveolar perlu ketelitian agar tidak terlalu berlebihan dan justru mengakibatkan
komplikasi.
4.2 Saran
Operator harus teliti dalam pengurangan tulang alveolar dan harus tepat
dalam mengambil keputusan untuk melakukan tindakan alveolektomi.
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, G. 1999. Alveoloplasti Sebagai Tindakan Bedah Preprostodontik. Jurnal
Kedokteran Trisakti Vol. 18. No (1); Jakarta.
Ayu, F.D. 2012. Alveolektomi. Makalah. FKG Universitas Padjajaran; Bandung.
Banjar, Guntur., 2002. Alveolektomi Setelah Ekstraksi Multipel. Skripsi. FKG
Universitas Sumatera Utara.; Medan.
Daliemunthe, S.H. 2006. Terapi Periodontal. Universitas Sumatera Utara: Medan.
Ragiskos D.F. 2007. Oral Surgery. Springer: Eropa.
Hasnida. 2008. Eksostosis. Skripsi. FKG Universitas Baiturrahmah; Padang.
Ismardianita, E., 2013. Eksodonsia. FKG Universitas Baiturrahmah: Padang.
Kasim, A. dan Riawan, L. 2007. Materi Kuliah Bedah Dento Alveolar. FKG
Universitas Padjajaran: Bandung.
Lodra, E.H. 2014. Pemulihan Sistem Stomatognatik III (Ilmu Bedah Mulut). FKG
Universitas Brawijaya: Malang.
Pedersen, G.W., 2012. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. EGC: Jakarta.
Peterson, L.J., Ellis, E., Hupp, J.R., and Tucker, M.R. 1998. Oral and
Maxillofacial Surgery Ed. 3. Mosby: Philadelphia London.
Tjiptono, T.R., Harahap, S., Arnus, S., dan Osmani, S. 1998. Ilmu Bedah Mulut
Edisi: II. Cahaya Sukma: Medan.