You are on page 1of 24

LAPORAN KASUS MODUL 7

(BEDAH MINOR DAN ILMU KEGAWATDARURATAN GIGI DAN MULUT)

Alveolektomi
Diajukan untuk memenuhi syarat dalam melengkapi
Kepaniteraan Klinik pada Modul 7

Oleh:
MARGARETA RIZWIS SUKMADEWI
10100701100030

Dosen Pembimbing : drg. Andries Pascawinata, MDSc., Sp. BM.

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PAD AN G
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Illahi Rabbi, atas kehendak dan
ketetapan- Nya telah melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulisan laporan
kasus ALVEOLEKTOMI untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan kepanitraan klinik modul 7 (bedah minor dan kegawat daruratan
gigi dan mulut) dapat diselesaikan.
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari, bahwa semua
proses yang telah dilalui tidak lepas dari bimbingan Drg. Andries Pascawinata,
MDSc., Sp. BM. selaku dosen pembimbing, bantuan, dan dorongan yang telah
diberikan berbagai pihak lainnya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu.
Penulis juga menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna
sebagaimana mestinya, baik dari segi ilmiah maupun dari segi tata bahasanya,
karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah semuanya penulis serahkan dan
mudah- mudahan laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Padang, Agustus 2016

Margareta Rizwis.S

LAPORAN KASUS ALVEOLEKTOMI


Data Pasien
Nama pasien

Syamsiar

No Rekam Medis :

040821

Umur

74 tahun

Jenis Kelamin

Perempuan

Alamat

Anak Air RT 002/015

Pekerjaan

Ibu rumah tangga

Agama

Islam

Status

Sudah menikah

Hari/Tanggal
Senin,
10

agustus

Kasus
Eksostosis
region 43

Tindakan yang
dilakukan
1. Anamnesa
2. Pemeriksaan klinis

Operator
Margareta.R
(10100701100030)

2015

Padang, Agustus 2016


Pembimbing

(drg. Andries Pascawinata, MDSc., Sp. BM.)

MODUL 7
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG

HALAMAN PENGESAHAN
Telah didiskusikan dan dipresentasikan Laporan Kasus Alveolektomi guna
melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik pada Modul 7.

Padang,

Agustus 2016

Disetujui Oleh
Dosen Pembimbing

(drg. Andries Pascawinata, MDSc., Sp. BM )

BAB I
PENDAHULUAN

Berbagai tindakan di kedokteran gigi memerlukan tindakan bedah minor


sebagai persiapan untuk dilakukan tindakan selanjutnya. Salah satunya adalah
bedah preprostetik. Bedah preprostetik merupakan tindakan bedah minor yang
dilakukan sebelum pemasangan atau pembuatan protesa. Pada kasus tertentu,
sebelum pembuatan protesa perlu dilakukan alveolektomi agar plat protesa dapat
menempel dengan baik (Ayu, 2012).
Kebanyakan pasien sesudah pencabutan gigi tidak membutuhkan tindakan
bedah sebelum pembuatan protesa. Pada mereka dapat dibuatkan protesa yang
cocok, asal pada waktu pencabutan giginya telah sekaligus dibuang tulang-tulang
yang tajam dan tulang-tulang yang menonjol. Processus alveolaris yang tidak rata
dapat disebabkan oleh karena pencabutan gigi yang banyak dan terdapat
perbedaan waktu antara pencabutan gigi-gigi. Juga dapat disebabkan oleh karena
adanya septum interdental yang tinggi. Tetapi keadaan ini dapat hilang apabila
kita cukup lama menunggu yaitu sampai 6 bulan (Tjiptono dkk, 1998).
Penonjolan tulang dalam rongga mulut banyak ditemukan, salah satunya
disebut dengan eksostosis. Eksostosis merupakan tonjolan tulang yang terlokalisir
yang berasal dari plat kortikal. Eksostosis tidak menimbulkan rasa sakit, tetapi
pada keadaan tertentu yaitu bila eksostosis membesar akan menimbulkan
gangguan, terutama untuk konstruksi gigi tiruan dan juga pasien yang terganggu
fungsi bicaranya karena terhalang oleh eksostosis tersebut. Oleh karena itu
eksostosis harus disingkirkan (Shafer et all, 1974; Pederson, 2012).

Alveolektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk


mengurangi atau memotong tulang alveolar yang menonjol karena dapat
mengganggu pemasangan protesa. Tidak semua pasien yang ingin memasang
protesa perlu dilakukan alveolektomi, oleh karena itu perlu diketahui berbagai
indikasi dan kontraindikasi dilakukannya alveolektomi. Selain itu prosedur
pembedahan alveolektomi merupakan poin penting yang perlu diketahui seorang
dokter gigi. Dengan mengetahui prosedur pembedahan yang benar dan tepat
menghindari berbagai komplikasi yang mungkin terjadi. Medikasi yang
diperlukan selama proses alveolektomi juga penting untuk diketahui agar dapat
menghindari kondisi kegawat daruratan dan mempercepat penyembuhan luka
bedah (Ayu, 2012).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Eksostosis
Eksostosis adalah pembesaran tulang terlokalisasi, non-neoplastis yang
berasal dari tulang kortikal, bentuknya bisa membulat dan tajam. Penyebab
exostosis belum diketahui tetapi juga dapat disebabkan oleh peradangan kronik
dan dapat juga disebabkan oleh adanya proses resorbsi tulang pada usia lanjut
yang terjadi secara fisiologis dan tidak teratur. Sehingga didapatkan sisa tulang
resorbsi yang tajam dan mungkin ada yang tumpul. Proses pencabutan multiple
juga dapat menimbulkan eksostosis yang tajam. Pemeriksaan eksostosis dengan
melakukan palpasi, bila ada eksostosis yang tajam, sakit, dan mengganggu fungsi
gigi tiruan maka dilakukan tindakan pembedahan alveolektomi (Banjar, 2002;
Hasnida, 2008).
2.2 Alveolektomi
2.2.1

Defenisi
Alveolektomi adalah suatu tindakan bedah untuk membuang prosesus

alveolaris, baik sebagian maupun seluruhnya. Adapun pembuangan seluruh


prosesus alveolaris yang lebih dikenal sebagai alveolektomi diindikasikan pada
rahang yang diradiasi sehubungan dengan perawatan neoplasma yang ganas.
Karena itu penggunaan istilah alveolektomi yang biasa digunakan tidak benar,
tetapi karena sering digunakan maka istilah ini dapat diterima. Alveolektomi
sebagian bertujuan untuk mempersiapkan alveolar ridge sehingga dapat menerima
gigi tiruan. Tindakan ini meliputi pembuangan undercut atau cortical plate yang
tajam;

mengurangi

ketidakteraturan

menghilangkan eksostosis (Aditya, 1999).

puncak

ridge

atau

elongasi,

dan

Syarat - syarat yang harus dipenuhi pada tindakan alveolektomi (Tjiptono


dkk, 1998) :
1. Pengambilan tulang tidak boleh terlalu banyak dan sedapat mungkin
mempertahankan tulang kortikal, sebab bila tulang kortikal terlalu
banyak diambil dapat mempercepat terjadinya resorbsi tulang alveolar
tersebut.
2. Bagian tulang pendukung gigi tiruan cukup banyak yang tinggal.
3. Kondisi pasien baik.
2.2.2

Indikasi dan Kontraindikasi Alveolektomi


Menurut Ayu (2012) indikasi dan kontraindikasi alveolektomi adalah

sebagai berikut:
Indikasi :
a. Pada intra oral tampak tonjolan tulang tajam pada prosesus alveolaris
setelah pencabutan gigi.
b. Adanya tonjolan pada prosesus alveolaris yang terasa sakit apabila ditekan
akibat proses pencabutan gigi.
c. Tuberositas yang dapat mengganggu retensi dan stabilisasi gigi tiruan.
d. Penghilangan interseptal bone disease.
Kontraindikasi :
a. Tulang kortikal yang tipis.
b. Pasien dengan penyakit sistemik.
c. Periostitis.
d. Periodontitis, merupakan penyakit periodontal
mengakibatkan kehilangan tulang.

yang

parah, yang

2.3 Prinsip Bedah Mulut


Studi epidemiologi menunjukkan bahwa persiapan pasien sebelum
pembedahan yang tidak memadai, dapat menjadi faktor penyebab utama kematian
perioperatif anestetik primer. Oleh karena itu persiapan pasien sebelum dilakukan
pembedahan secara baik merupakan hal penting yang tidak dapat diabaikan
(Kasim dan Riawan, 2007).
Menurut Tjiptono, dkk (1998) dan Pederson (2012), prinsip untuk dapat
melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya adalah sebagai berikut :
1. Diagnosa yang tepat
Tanpa mengetahui diagnosa yang tepat, kita tidak akan dapat mengadakan
terapi yang baik, walaupun ada berbagai macam cara pengobatan tetapi diagnosa
yang tepat hanya satu. Diagnosa yang tepat diperoleh dari pemeriksaan subjektif,
pemeriksaan objektif, dan pemeriksaan penunjang yang tepat.
2. Rencana perawatan
Setiap rencana perawatan disusun dengan sedemikian rupa sehingga
meliputi

keadaan

lokal, kesehatan umum dan sosial ekonomi dari pasien.

Rencana perawatan tidak terlepas dari pada perawatan pasca bedah. Dari
anamnesa perawatan ini akan keluar empat macam hasil yang akan dilakukan
yaitu :
a. Observasi (diamati selanjutnya).
b. Perawatan konservatif (dirawat secara konservatif dengan pengobatan
saja).
c. Pembedahan (diambil tindakan operasi).
d. Konsultasi (dikirim ke sejawat yang lebih ahli untuk ditindak lebih
lanjut).
3. Perawatan secara pembedahan
Pada tindakan operasi harus diikuti syarat-syarat sebagai berikut :
a. Asepsis

Prinsip asepsis telah diakui dalam ilmu bedah mulut. Dengan bantuan
antibiotik, anestetikum yang tepat, dan keseimbangan cairan yang baik, maka
prosedur-prosedur bedah mulut telah banyak mengalami kemajuan. Kasus yang
fatal, sekarang telah dapat dikerjakan dengan baik. Tetapi ini saja belum cukup,
harus

disertai

dengan

tindakan

asepsis.

Asepsis

adalah

menghindari

mikroorganisme pathogen. Secara praktis, merupakan suatu teknik yang


digunakan untuk memberantas semua jenis organisme.
b. Atraumatic-surgery
Syarat-syarat yang tidak kalah pentingnya yaitu membuat trauma sekecil
mungkin. Bekerja harus hati-hati dan dengan gerakan yang pasti. Tindakan yang
tidak hati-hati akan menyebabkan terjadinya laserasi mukosa atau memudahkan
terjadinya infeksi dan memperlambat penyembuhan. Alat-alat seperti scalpel,
jarum suntik, jarum jahit haruslah tajam karena apabila jarum dan scalpel tumpul
maka akan memperbesar trauma
c. Memenuhi tata kerja yang teratur
Bekerja menurut tata kerja yang teratur yaitu cara kerja yang sistematis,
agar dapat mancapai hasil yang maksimal dengan mengeluarkan tenaga sekecil
mungkin. Cara kerja ini berbeda untuk setiap operasi atau tindakan bedah mulut.
4. Perawatan pasca bedah
Perawatan pasca bedah atau perawatan sesudah operasi yang baik akan
mencegah terjadinya komplikasi sesudah operasi.

2.4 Prinsip Pembuatan Flap


Disain flep yang diperlukan pada suatu pembedahan adalah ditentukan
oleh penilaian operator dan tujuan pembedahan. Dalam menentukan disain flep,
perlu dipertimbangkan kebutuhan akan akses ke permukaan gigi dan tulang

alveolar, dan posisi flep yang dikehendaki pada waktu penjahitan (Daliemunthe,
2006).
Bentuk dari flap sangat mempengaruhi dalam keberhasilan pembedahan,
dimana ada 3 macam bentuk flap yang dapat dibuat dan dibuat tergantung dari
daerah operasi dan besar lesi yang akan diambil yaitu :
a. Semiluner
b. Trapesium
c. Segitiga
Ketiga bentuk ini dapat dibuat tergantung dari pada daerah operasi dan besar
bagian yang akan diambil. Apabila tepi gingiva dari pada gigi termasuk dalam
daerah flap, maka harus diinsisi dan tidak boleh diangkat begitu saja. Untuk
melepaskan flap harus dengan gerakan yang halus. Pekerjaan yang tidak rapi akan
menimbulkan trauma dan akan menyebabkan penyembuhan yang lama dan tidak
sempurna, dengan cara bekerja yang atraumatik akan dapat mempertahankan
aliran darah dari flap, sehingga flap tetap hidup dan baik terhindar dari terjadinya
nekrose.
Hal-hal yang perlu diketahui dalam pembuatan flap :
a. Penyembuhan dari flap tidak tergantung dari besarnya tetapi tergantung dari
pada bagaimana membuatnya dan bagaimana kita bekerja.
b. Pada waktu melakukan insisi serta pada waktu pembukaan flap, harus
diperhatikan

jangan

sampai

merusak

nervus,

oleh

karena

dapat

menyebabkan terjadinya rasa kebas, biru serta paralise.


c. Insisi pada jaringan lunak, misalnya mukosa pipi, lidah, palatum mole, atau
dasar mulut tidak boleh tegak lurus (Tjiptono dkk, 1998).
Syarat dalam pembuatan desain flap adalah :
a. Basis lebih lebar dibandingkan tepi bebasnya (insisi tambahan harus
serong).
b. Mempertahankan suplai darah (insisi sejajar dengan pembuluh darah untuk
memberikan vaskularisasi).
c. Hindari retraksi flap yang terlalu lama.

d. Hindari ketegangan dalam penjahitan,

jahitan yang berlebih atau

keduanya
e. Persyarafan : desain diusahakan menghindari saraf yang terletak di dalam
(terutama nervus mentalis)
f. Pendukung : tempatkan tepi sedemikian rupa sehingga terletak di atas
tulang (lebih kurang 3-4 mm dari tepi tulang yang rusak)
g. Ukuran : ukuran flap seharusnya lebih besar dan jangan terlalu kecil serta
jangan diperluas berlebihan
h. Ketebalan : untuk flap mukoperiostal, periostum diambil secara
menyeluruh jangan sampai terkoyak dan pada waktu mengangkat flap
jangan sampai sobek (Pedersen, 2012).

2.5 Penjahitan
2.5.1 Benang Jahit
Benang jahit dibagi menjadi dua yaitu yang bisa diabsorbsi dan yang tidak
bisa diabsorbsi. Secara umum, jahitan yang terletak pada permukaan luar tubuh
menggunakan bahan non-absorbsi, sedangkan yang terletak dibawah kulit
menggunakan yang dapat diabsorbsi. Tipe bahan non-absorbsi yang menonjol
adalah sutera, katun, nilon, dan baja tahan karat (kawat). Gut adalah bahan standar
untuk tipe absorbsi. Benang polyglycolic acid yang dapat di absorbsi juga tersedia
dan digunakan secara luas, durasinya lebih lama dari pada gut. Benang jahit
tersedia dalam keadaan steril dengan jarum yang melekat (swaged atau armed).
Benang sutera hitam tersedia dalam bentuk kering sedangkan gut dibungkus
didalam genangan alkohol untuk mempertahankan kualitasnya. Jarum yang ideal
untuk pencabutan intra oral adalah 3/8 lingkaran dengan cutting edge terbalik
(Pedersen, 2012).
2.5.2 Teknik Jahitan
Prinsip-prinsip jahitan adalah (Pedersen, 2012):

1. Needle holder memegang jarum pada 2/3 jarak dari ujung ke pangkal
jarum.
2. Tidak mengikat terlalu kencang.
3. Jahitan dimulai dari posterior ke anterior (dari jauh ke dekat), dari jaringan
yang tidak melekat ke jaringan cekat.
4. Makin sedikit jahitan dan makin kecil trauma akan menimbulkan reaksi
jaringan yang semakin minimal.
Beberapa teknik jahitan yang sering digunakan dalam bedah mulut adalah
(Lodra, 2014) :
1. Simple interupted suture
Terbanyak digunakan karena sederhana dan mudah. Tiap jahitan disimpul
sendiri. Dapat dilakukan pada kulit atau bagian tubuh lainnya, dan cocok untuk
daerah yang banyak bergerak karean tiap jahitan saling menunjang satu dengan
lainnya. Jahitan terputus (interupted suture), tiap-tiap simpul berdiri sendiri.
Secara kosmetik benang kasar/besar atau tegang pada saat menyimpulnya akan
memberikan bekas yang kurang bagus, yaitu seperti gambaran lipan.
Keuntungan teknik ini yaitu dapat dilepas satu per satu. Apabila terjadi
hematom atau infeksi dapat dilakukan drainase darah tanpa harus melepaskan
seluruh jahitan. Namun membutuhkan waktu yang lebih banyak.

2. Simple continous suture


Jahitan ini sangat sederhana, sama dengan kita menjelujur baju. Biasanya
menghasilkan hasil kosmetik yang baik, tidak disarankan penggunaannya pada
jaringan ikat yang longgar. Biasanya teknik jahitan ini digunakan untuk daerah
operasi yang panjang. Keuntungannnya lebih cepat dalam pengerjaannya, lebih
kuat, pembagian tekanan lebih rata dibandingkan dengan teknik interrupted.

Kerugian teknik penjahitan ini apabila satu benang rapuh atau terlepas, maka
seluruh jahitan akan terbuka. Juga beresiko tinggi untuk infeksi selama pelepasan
jahitan karena jika jahitan tidak diangkat satu persatu dapat menyebabkan
pengumpulan cairan sehingga membutuhkan drainase.

3. Interlocking suture
Jahitan kontiniu dengan mengaitkan benang pada jahitan sebelumnya,
biasa sering dipakai pada jahitan peritoneum. Merupakan variasi jahitan jelujur
biasa.

4. Horizontal matrees suture


Jahitan dengan melakukan penusukan seperti simpul, sebelum disimpul
dilanjutkan dengan penusukan sejajar sejauh 1 cm dari tusukan pertama.
Memberikan hasil jahitan yang kuat.

5. Vertical matrees suture

Jahitan dengan menjahit secara mendalam dibawah luka kemudian


dilanjutkan dengan menjahit tepi-tepi luka. Biasanya menghasilkan penyembuhan
luka yang cepat karena di dekatkannya tepi-tepi luka oleh jahitan ini.

2.6 Komplikasi Alveolektomi


Setiap tindakan bedah yang dilakukan selalu ada kemungkinan
untuk terjadikomplikasi, begitu pula pada tindakan alveolektomi.
Beberapa komplikasi yang dapat muncul pasca alveolektomi antara lain
(Ayu, 2012) :
a. Rasa sakit dan ketidaknyamanan
Rasa sakit dan tidak nyaman muncul pada waktu kembalinya sensasi (saat
kerja obat anestesi telah usai). Oleh karena itu, analgetik diperlukan untuk
mengontrol rasa sakit dan tidak nyaman setelah operasi dilakukan.
b. Pembengkakan yang berlebihan
Pembengkakan mencapai puncaknya kurang lebih 24 jam sesudah
pembedahan. Pembengkakan dapat bertahan 1 minggu. Aplikasi dingin dilakukan
pada daerah yang dilakukan pembedahan.
c. Pendarahan

Waktu tindakan pembedahan dilakukan banyaknya atau besarnya


pembuluh darah yang terkena. Penanganan :
1. Secara tekanan : dengan menggunakan kain kasa atau tampon.
2. Secara biologis : bila pemakaian tampon padat atau kasa tidak bisa
menghentikan pendarahan maka dapat dipakai obat-obatan seperti adrenalin.
3. Pengikatan atau penjahitan : bila pendarahan disebabkan karena terputusnya
pembuluh darah yang besar, maka pembuluh darah tersebut diikat dengan
menggunakan cat gut atau benang absorbel dan bila pendarahan disebabkan
karena terbukanya jahitan operasi maka kita melakukan penjahitan kembali.
4. Hemostat : digunakan untuk menjepit pembuluh darah.
d. Laserasi mukosa
Ginggiva terjepit pada saat pencabutan, mukosa sudut mulut luka karena
terlalu lebar membuka mulut. Penanganan yang dilakukan operator harus bekerja
dengan baik dan benar.
e. Hematoma
Hematoma terjadi akibat adanya hemorrhage kapiler yang berkepanjangan.
Pada hematoma, darah berakumulasi di dalam jaringan tanpa bisa keluar dari luka
yang tertutup maupun flap yang telah dijahit. Terapi untuk hematoma adalah
dengan aplikasi dingin 24 jam pertama, lalu diikuti dengan aplikasi panas. Kadang
pemberian antibiotik dianjurkan untuk mencegah supurasi dari hematoma, dan
analgetik untuk mengurangi rasa sakitnya (Fragiskos, 2007).
f. Infeksi
Didasarkan atas potensi penyebaran dari infeksi

bakterium atau

keduanya. Pencabutan dan pembedahan yang mengalami infeksi akut yaitu


perikoronitis atau abses. Penatalaksanaannya adalah dengan memberikan obat
antibiotik seperti penisilin.
Untuk meminimalisir komplikasi pasca bedah, diberikan instruksi ke
pasien pasca bedah yaitu (Ismardianita, 2013) :
1. Istirahat yang cukup. Istirahat yang cukup dapat mempercepat proses
penyembuhan luka.

2. Untuk sementara pasien dianjurkan untuk tidak memakan-makanan yang keras


dan merangsang.
3. Pasien harus memakan - makanan yang lunak dan lembut terutama pada hari
pertama pasca pembedahan. Pasien tidak boleh memakan - makanan yang
panas karena dapat terjadinya pendarahan. Pasien baru boleh makan beberapa
jam setelah pembedahan agar tidak mengganggu dan jangan mengunyah pada
sisi yang dilakukan pembedahan.
4. Banyak meminum air putih agar terhindar dari dehidrasi.
5. Pasien harus selalu menjaga kebersihan mulut, gigi disikat secara rutin dan
diiringi dengan penggunaan obat kumur.
6. Untuk mengurangi rasa sakit pasien diberi obat analgetik.
7. Untuk mempercepat masa penyembuhan pasein diberikan vitamin c.
8. Pasein tidak boleh merokok, karena dapat meningkatkan insiden terjadinya
pendarahan dan dry socket.

BAB III
LAPORAN KASUS

Seorang pasien perempuan berusia 74 tahun datang ke RSGMP


Baiturrahmah dengan keluhan ingin membuat gigi tiruan penuh pada rahang atas
dan bawah. Dari anamnesa diketahui pasien telah melakukan pencabutan gigi
multiple dan terakhir pencabutan 1 tahun yang lalu. Pasien juga menyangkal
memiliki kelainan penyakit sistemik dan alergi obat tertentu. Pemeriksaan ekstra
oral tekanan darah pasien 120/90 mmHg, pernapasan 20 kali/menit, nadi 80
kali/menit, lymphnode tidak teraba. Pada hari pertama datang, pasien dirujuk ke
bagian prosthodonti untuk memeriksakan apakah pembuatan gigi tiruan bisa
dilakukan atau tidak. Pada pemeriksaan intraoral terlihat adanya penonjolan
tulang tepatnya di ridge alveolar dan gingiva sedikit berwarna merah pada regio
gigi 43. Sewaktu di palpasi adanya rasa sakit, runcing dan tajam. Berdasarkan
hasil pemeriksaan pasien didiagnosis eksostosis pada ridge alveolar regio gigi 43,
yang dapat mengganggu pada pembuatan gigi tiruan.
3.1 Data Pasien
Nama

Syamsiar

Umur

74 tahun

Jenis Kelamin :

Perempuan

Alamat

Anak Air RT 002/015

Pekerjaan

Ibu rumah tangga

Agama

Islam

Status

Sudah Menikah

3.2 Foto Pasien

3.3 Alat dan Bahan

Alat :
a. Alat standar
b. Handle blade
c. Raspatorium
d. Bone file
e. Blade no 15
f. Gunting bedah
g. Benang + jarum jahit
h. Needle holder
i. Low speed ( mikromotor )
j. Bur tulang
k. Knabel tang
Bahan :
a. Pehacaine
b. Povidon iodine
c. NaOcl 0,9 %
d. Tampon, kasa, kapas
e. Alkohol

3.4 Prosedur Kerja


1. Dudukan pasien didental unit, operator menjelaskan kepada pasien tentang
prosedur perawatan secara singkat serta membimbing pasien dalam
mengisi informed consent.
2. Asepsis dilakukan baik kepada operator maupun pasien
a. Operator : mencuci tangan, membuka perhiasan dan aksesoris tangan
yang dipakai, memakai handscone dan masker.
b. Pasien : asepsis ekstra oral dengan menggunakan alkohol diolesi
melingkari bibir dengan searah jarum jam, dan intra oral dengan
menggunakan larutan antiseptik (povidon iodine) yaitu pada daerah
kerja.

3. Lakukan infiltrasi anastesi, kemudian lakukan pengecekan dengan


menggunakan ujung sonde apakah anastesi sudah berjalan atau belum.
4. Lakukan bleeding point pada daerah yang akan dilakukan insisi dengan
bentuk flap trapesium.
5. Buka perlekatan flap dengan menggunakan raspatorium dan dilakukan
identifikasi penonjolan tulang yang runcing yang akan diambil.
6. Buang penonjolan tulang alveolar yang runcing tersebut dengan bur atau
dengan knabel tang.
7. Raba bagian tulang yang masih tajam dan dihaluskan dengan dengan
menggunakan bone file, setelah dihaluskan lakukan irigasi dengan larutan
NaOCl 0,9 %.
8. Kembalikan flap seperti semula kemudian dilakukan suturing dengan
interrupted suture.
9. Instruksi pasca bedah dan medikasi kemudian pasien dipulangkan dan
diberi obat. Perlu menginstruksikan pasien untuk :
1. Jangan berkumur-kumur.
2. Jangan makan minum yang panas selama minimal 2 jam.
3. Jangan mengunyah di sebelah tempat operasi.
4. Kompres luka dengan air es.
RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT YAYASAN
PENDIDIKAN BAITURRAHMAH
Izin Dinkes : PPK.03.2186 V.2009
Jl.Raya By Pass KM 15 Aie Pacah Padang.
Telp.0751-463871
Dokter
: drg. Andries P., MDSc., Sp. BM.
Tanggal
: Agustus 2016
R/

Amoxicillin tab 500 mg No. X


S3dd tab I P.C

R/

Cataflam tab 50 mg No.X


S3dd tab I P.C

R/
No.V

Asam Mefenamat tab 500 mg


Sprn max 3 dd tab 1 P.C

10. Pasien Pro


kontrol: Syamsiar
seminggu kemudian. Pada saat kontrol dilakukan
Umu

: 74 Tahun

pemeriksaan kembali, seperti tekanan darah pasien didapatkan mmHg.

Pro
Umur

: Yuni Marlis
: 33 tahun

Pada pemeriksaan Kalor (-), Rubor (-), Dolor (-), dan Tumor (-).
Kemudian dilakukan pembukaan jahitan pada pasien tersebut.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Alveolektomi merupakan pengurangan tulang alveolar dengan berbagai
indikasi untuk mengatasi atau mencegah perlukaan. Dalam pengurangan tulang
alveolar perlu ketelitian agar tidak terlalu berlebihan dan justru mengakibatkan
komplikasi.
4.2 Saran
Operator harus teliti dalam pengurangan tulang alveolar dan harus tepat
dalam mengambil keputusan untuk melakukan tindakan alveolektomi.

DAFTAR PUSTAKA
Aditya, G. 1999. Alveoloplasti Sebagai Tindakan Bedah Preprostodontik. Jurnal
Kedokteran Trisakti Vol. 18. No (1); Jakarta.
Ayu, F.D. 2012. Alveolektomi. Makalah. FKG Universitas Padjajaran; Bandung.
Banjar, Guntur., 2002. Alveolektomi Setelah Ekstraksi Multipel. Skripsi. FKG
Universitas Sumatera Utara.; Medan.
Daliemunthe, S.H. 2006. Terapi Periodontal. Universitas Sumatera Utara: Medan.
Ragiskos D.F. 2007. Oral Surgery. Springer: Eropa.
Hasnida. 2008. Eksostosis. Skripsi. FKG Universitas Baiturrahmah; Padang.
Ismardianita, E., 2013. Eksodonsia. FKG Universitas Baiturrahmah: Padang.
Kasim, A. dan Riawan, L. 2007. Materi Kuliah Bedah Dento Alveolar. FKG
Universitas Padjajaran: Bandung.
Lodra, E.H. 2014. Pemulihan Sistem Stomatognatik III (Ilmu Bedah Mulut). FKG
Universitas Brawijaya: Malang.

Pedersen, G.W., 2012. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. EGC: Jakarta.
Peterson, L.J., Ellis, E., Hupp, J.R., and Tucker, M.R. 1998. Oral and
Maxillofacial Surgery Ed. 3. Mosby: Philadelphia London.
Tjiptono, T.R., Harahap, S., Arnus, S., dan Osmani, S. 1998. Ilmu Bedah Mulut
Edisi: II. Cahaya Sukma: Medan.

You might also like