Professional Documents
Culture Documents
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan
otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali
lebih lama dari normal). Myasthenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang.
Kelemahan otot yang parah yang disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah
komplikasi lain, termasuk kesulitan
bicaracadel, kelopak mata murung dan kabur atau penglihatan ganda. Myasthenia gravis
dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para
wanita, yaitu wanita berusia antara 20 dan 40 tahun. Pada laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan
jarang terjadi selama masa kanak-kanak. Miastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun,
perbandingan antara wanita dan pria yang menderita penyakit ini adalah 3:1. Tingkatan usia
yang kedua yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria dewasa yang lebih tua.
Kematian dari penyakit Miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan,
tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif untuk pertahanan sehingga
komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan lebih baik.
Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini. Sekitar
65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar thymus, dan
sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma
adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki
antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang
berhubungan dengan pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang
ini bisa memerlukan pengobatan berbeda. Pada 40% orang dengan myasthenia gravis, otot
mata terlebih dahulu terkena, tetapi 85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang,
hanya otot-otot mata yang terkena, tetapi pada kebanyakan orang, kemudian seluruh tubuh
terkena, kesulitan berbicara dan menelan dan kelemahan pada lengan dan kaki yang sering
terjadi. Pegangan tangan bisa berubah-ubah antara lemah dan normal. Otot leher bisa menjadi
lemah. Sensasi tidak terpengaruh.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana konsep miastenia gravis?
2. Bagaimana konsep proses keperawatan pada miastenia gravis?
1.3 Tujuan penulisan
1. Menjelaskan konsep dan proses keperawatan miastenia gravis.
2. Mengetahui asuhan keperawatan pada miastenia gravis
1.5 Manfaat penulisan
1. Mahasiswa mampu dan mengerti tentang miastenia gravis
2. Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien miastenia gravis
BAB 2
Tinjauan Teoritis
2.1 Definisi
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis
adalah gangguang yang memengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang
kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan
otot yang parah dan satu-satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya
terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20
kali lebih lama dari normal). (Price dan Wilson, 1995).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya
terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf kranial. Serangan
dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada wanita antara 15-35 tahun dan
pada pria sampai 40 tahun.
2.2 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi
pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung
akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan
asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah
dan Ach dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan
ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada
membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan
demikian terjadilah kontraksi otot.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang
merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan
ekstraselular secara difusi (Newton, 2008). Terminal presinaptik mengandung vesikel yang
didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal
namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam
keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)
(Howard, 2008; Newton, 2008).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam
terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel
asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan
asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps
dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik
2.4 Patofisisologi
Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medulla spinalis dan
batang otak mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya
dalam bentuk saraf-saraf spinal dan cranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf
bercabang banyak sekali dan mampu merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka. Gabungan
antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang dipersarafi dinamakan unit mototrik.
Meskipun setiap neuron mototrik mempersarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot
dipersarafi oleh hanya satu neuron motorik. Daerah khusus yang merupakan tempat
pertemuan antara saraf motorik dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular atau hubungan
neuromuscular. Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot
yang terdiri dari tiga komponen dasar: unsur presinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps
yang mempunyai lebar sekitar 200. Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan
vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis
dan disimpan dalam akson terminal (bouton). Membran plasma akson terminal disebut
membran presinaps. Unsur postsinaps terdiri dari membrane postsinaps atau lempeng akhir
motorik serabut otot. Membran postsinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau
sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps dimana akson terminal menonjol masuk
ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan (celah-celah subneural) yang sangat
menambah luas permukaan. Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan
mampu menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan potensial
aksi otot. Pada membrane postsinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan
asetil kolin yaitu asetil kolinesterase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara
membran presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam zat gelatin, dan melalui
gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromukular, maka membrane akson
terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetil kolin akan dilepaskan dalam celah
sinaps. Asetil kolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetil kolin
pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap
natrium maupun kalium pada membran postsinaps. Influks ion natrium danp engeluaran ion
kalium secara tiba-tiba menyababkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial
lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam
membrane otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema.
Potensial ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah
transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase. Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari
cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada Miastenia gravis, konduksi neuromuskular
terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang mungkin dikarenakan cedera
autoimun. Pada klien dengan Miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak
normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis
beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi
pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten.
Ptosis
Diplobia
Otot mimik
2)
Otot-otot lidah
Suara nasal, regurgitasi nasal
Kesulitan dalam mengunyah
Kelemahan rahang yang berat dapat menyebabkan rahang terbuka
Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan batuk dan tercekik saat minum
Otot-otot leher
Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot ekstensor
3)
4)
KLASIFIKASI
KELOMPOK
KLINIS
I Hanya menyerang otot otot okular, disertai ptosis dan
MIASTENIA
UMUM Awitan bertahap dan sering disertai gejala gejala okular, lalu
SEDANG
MIASTENIA
UMUM
1. Fulminan akut:
BERAT
Lanjut :
Tes exercise untuk otot ekstremitas, dengn mempertahankan posisi saat mengangkat kaki
dengan sudut 45 pada posisi tidur telentang 3 menit, atau duduk-berdiri 20-30 kali. Jalan
diatas tumit atau jari 30 langkah, tes tidur-bangkit 5-10 kali
4) Tes tensilon (edrophonium chloride)
Suntikkan tensilon 10 mg (1 ml) i.v, secara bertahap. Mula-mula 2 mg apabila perbaikan (-)
dlm 45 dtk, berikan 3 mg lagi bila perbaikan (-), berikan 5 mg lagi. Efek tensilon akan
berakhir 4-5 menit
Efek samping : ventrikel fibrilasi dan henti jantung
5) Tes kolinergik
6) Tes Prostigmin (neostigmin):
Injeksi prostigmin 1,5 mg im,
dapat ditambahkan atropin untuk mengurangi efek muskariniknya seperti nausea, vomitus,
berkeringat. Perbaikan terjadi pada 10-15 menit, mencapai puncak dalam 30 menit, berakhir
dalam 2-3 jam
7)
Pemeriksaan EMNG:
Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat penurunan amplitudo (decrement respons) > 10%
antara stimulasi I dan V. MG ringan penurunan mencapai 50%, MG sedang sampai berat
dapat sampai 80%
8) Pemeriksaan antibodi AChR
Antibodi AChR ditemukan pada 85-90% penderita MG generalisata, &0% MG okular. Kadar
ini tidak berkorelasi dengan beratnya penyakit
9) Evaluasi Timus
Sekitar 75% penderita MG didapatkan timus yang abnormal, terbanyak berupa hiperplasia,
sedangkan15% timoma. Adanya timoma dapat dilihat dengan CT scan mediastinum, tetapi
pada timus hiperplasia hasil CT sering normal
10) Pengobatan
Mestinon
Antikolinesterase: menghambat destruksi Ach
Piridostigmin bromide (Mestinon, Regonol). Dosis awal 30-60 mg tiap 6-8 jam atau setiap 3-4
jam. Dosis optimal bervariasi tigkat kebutuhan mulai 30-120 mg setiap 4 jam. Bila > 120 mg
tiap 3 jam dapat menimbulkan Krisis Kolinergik (G/ : dispneu, miosis, lakrimasi,
hipersalivasi, emesis, diare
Neostigmin Bromide (Prostigmin). Kerja lebih pendek. Dosis 15 mg tiap 3-4 jam
Kortikosteroid: Mulai dosis rendah (12-50 mg prednison) dinaikkan pelan-pelan sampai
respon optimal (maksimal 50-60 mg prednison). Dosis dipertahankan sampai perbaikan
mencapai plateau (biasanya 6-12 bulan), turunkan dosis sangat pelan-pelan sampai dosis
pemeliharaan minimal. Awasi efek samping obat
Imunosupresan
Obat: azathiprine 1-2,5 mg/minggu Biasanya dipakai bersama prednisone
Obat lain: Cyclosporine, Cyclophosphamide, Mycophenolate mofetil
Intravenous Imunoglobulin
Pada MG berat
Plasmapharesis
Pada MG berat untuk menghilangkan atau menurunkan antibodi yang beredar dalam serum
penderita
2.7 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang ditetapkan
oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selam 10 jam agar dapat
bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka
juga harus menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya.
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi Miastenia
gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase
(asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama
pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang
ringan. Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi
imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan
dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat
digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti
memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan.
1. Periode istirahat yang sering selama siang hari menghemat kekuatan.
2. Obat antikolinesterase diberikan untuk memperpanjang waktu paruh asetilkolin di taut
neuro moskular. Obat harus diberikan sesuai jadwal seetiap hari untuk mencegah
keletihan dan kolaps otot.
3. Obat anti inflamasi digunakan untuk membatasi serangan autoimun.
4. Krisis miastenik dapat diatasi dengan obat tambahan,dan bantuan pernapasan jika
perlu.
5. Krisis kolinergik diatasi dengan atropin (penyekat asetilkolin) dan bantuan
pernapasan,sampai gejala hilang. Terapi antikolinesisterase ditunda sampaikadar
toksik obatb diatasi.
6. Krisis miastenia dan krisis kolinergik terjadi dengan cara yang sama,namun diatasi
secara berbeda. Pemberian tensilon dilakukan untuk membedakan dua gangguan
tersebut.
2.8 Komplikasi
Krisis miasthenic merupakan suatu kasus kegawatdaruratan yang terjadi bila otot
yang mengendalikan pernapasan menjadi sangat lemah. Kondisi ini dapat menyebabkan
gagal pernapasan akut dan pasien seringkali membutuhkan respirator untuk membantu
pernapasan selama krisis berlangsung. Komplikasi lain yang dapat timbul termasuk tersedak,
aspirasi makanan, dan pneumonia. Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien
termasuk riwayat penyakit sebelumnya (misal, infeksi virus pada pernapasan), pasca operasi,
pemakaian kortikosteroid yang ditappering secara cepat, aktivitas berlebih (terutama pada
cuaca yang panas), kehamilan, dan stress emosional.
1.
2.
3.
4.
5.
Gagal nafas
Disfagia
Krisis miastenik
Krisis cholinergic
Komplikasi sekunder dari terapi obat
Penggunaan steroid yang lama:
Osteoporosis, katarak, hiperglikem
Gastritis, penyakit peptic ulcer
Pneumocystis carinii
2.9 Prognosis
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari pada orang
dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama otototot tubuh bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada otot-otot mata, 20%
mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami
atrofi otot. Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian
berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan 20% antaranya mengalami remisi. Remisi
spontan pada awal penyakit terjadi pada 10% Miastenia gravis.
BAB 3
Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Miastenia Gravis
3.1 Pengkajian
1. Identitas klien yang meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, dann status
2. Keluhan utama: kelemahan otot
3. Riwayat kesehatan: diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi
klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial
setelah istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh
kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat ada jatuhnya
kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang
kelemahan otot.
4. Pemeriksaan fisik:
B1(breathing): dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut, kelemahan otot
diafragma
B2(bleeding): hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
B3(brain): kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi okular, jatuhnya mata atau
dipoblia
B4(bladder): menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat
berkemih
B5(bowel): kesulitan mengunyah-menelan, disfagia, dan peristaltik usus turun, hipersalivasi,
hipersekresi
B6(bone): gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot yang berlebih
3.2 Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
2. Gangguan persepsi sensori bd ptosis, dipoblia
Rasionalisasi
Untuk klien dengan penurunan kapasitas
ventilasi, perawat mengkaji frekuensi
pernapasan, kedalaman, dan bunyi nafas,
pantau hasil tes fungsi paru-paru tidal,
kapasitas vital, kekuatan inspirasi), dengan
interval yang sering dalam mendeteksi
masalah pau-paru, sebelum perubahan
kadar gas darah arteri dan sebelum tampak
gejala klinik.
Dengan
mengkaji
kualitas,
frekuensi,
dan
kedalaman
pernapasan, kita dapatmengetahui
sejauh mana perubahan kondisi
klien.
bisa maksimal
4. Observasi
(nadi,RR)
tanda-tanda
vital
Peningkatan
RR
dan
takikardi
merupakan
indikasi
penurunan fungsi paru
adanya
Rasional
memfokuskan
perhatian
klien,
Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan
melindungi diri dari cedera.
Intervensi
Rasionalisasi
Rasionalisasi
Intervensi
1. Kaji komunikasi verbal klien.
Rasionalisasi
Teknik
untuk
dapat
meningkatkan
Untuk
kenyamanan
yang
berhubungan
dengan
mampuan komunikasi
ketidak
Mengurangi
kebingungan
atau
Mengkaji
kemampuan
verbal
Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang
akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi
Rasionalisasi
Menentukan
bantuan
individual
Menghidupkan kembali
perasaan
kemandirian
dan
membantu
perkembangan harga diri serta
mempengaruhi proses rehabilitasi
Dapat
memfasilitasi
perubahan
peran
yang
penting
perkembangan perasaan
untuk
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan
otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan. Myasthenia gravis dapat mempengaruhi
orang-orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para wanita sehingga kita
sebagai perawat harus bisa menentukan diagnosa keperawatan terhadap pasien dengan
myastenia gravis serta perlu melakukan beberapa tindakan dan asuhan kepada pasien dengan
masalah tersebut.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia
gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan
produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Gejala klinis miastenia gravis antara
lain; Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis, Kelemahan otot penderita semakin lama
akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot
wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan
dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul
kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran
menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain
itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://books.google.co.id/asuhan+keperawatan+miastenia+gravis
http://www.scribd.com/doc/32307115/Miastenia-Gravis-By-Susilo-Eko-Putra
http://copyaskep.wordpress.com/2011/09/13/asuhan-keperawatan-pasien-dengan myastheniagravis/
http://www.scribd.com/doc/76131269/Asuhan-Keperawatan-Myasthenia-Gravis
http://apps.um-surabaya.ac.id/jurnal/files/disk1/1/umsurabaya-1912-fahrunnurr-5-1mengenal-a.pdf
Diposkan 27th April 2013 oleh Kembar
0
Tambahkan komentar
menarik
Klasik
Kartu Lipat
Majalah
Mozaik
Bilah Sisi
Cuplikan
Kronologis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan
otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali
lebih lama dari normal). Myasthenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang.
Kelemahan otot yang parah yang disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah
komplikasi lain, termasuk kesulitan
bicaracadel, kelopak mata murung dan kabur atau penglihatan ganda. Myasthenia gravis
dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para
wanita, yaitu wanita berusia antara 20 dan 40 tahun. Pada laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan
jarang terjadi selama masa kanak-kanak. Miastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun,
perbandingan antara wanita dan pria yang menderita penyakit ini adalah 3:1. Tingkatan usia
yang kedua yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria dewasa yang lebih tua.
Kematian dari penyakit Miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan,
tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif untuk pertahanan sehingga
komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan lebih baik.
Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini. Sekitar
65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar thymus, dan
sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma
adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki
antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang
berhubungan dengan pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang
ini bisa memerlukan pengobatan berbeda. Pada 40% orang dengan myasthenia gravis, otot
mata terlebih dahulu terkena, tetapi 85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang,
hanya otot-otot mata yang terkena, tetapi pada kebanyakan orang, kemudian seluruh tubuh
terkena, kesulitan berbicara dan menelan dan kelemahan pada lengan dan kaki yang sering
terjadi. Pegangan tangan bisa berubah-ubah antara lemah dan normal. Otot leher bisa menjadi
lemah. Sensasi tidak terpengaruh.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana konsep miastenia gravis?
2. Bagaimana konsep proses keperawatan pada miastenia gravis?
1.3 Tujuan penulisan
1. Menjelaskan konsep dan proses keperawatan miastenia gravis.
2. Mengetahui asuhan keperawatan pada miastenia gravis
1.5 Manfaat penulisan
1. Mahasiswa mampu dan mengerti tentang miastenia gravis
2. Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien miastenia gravis
BAB 2
Tinjauan Teoritis
2.1 Definisi
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis
adalah gangguang yang memengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang
kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan
otot yang parah dan satu-satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya
terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20
kali lebih lama dari normal). (Price dan Wilson, 1995).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya
terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf kranial. Serangan
dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada wanita antara 15-35 tahun dan
pada pria sampai 40 tahun.
2.2 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi
pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung
akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan
asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah
dan Ach dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan
ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada
membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan
demikian terjadilah kontraksi otot.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang
merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan
ekstraselular secara difusi (Newton, 2008). Terminal presinaptik mengandung vesikel yang
didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal
namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam
keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)
(Howard, 2008; Newton, 2008).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam
terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel
asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan
asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps
dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik
2.4 Patofisisologi
Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medulla spinalis dan
batang otak mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya
dalam bentuk saraf-saraf spinal dan cranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf
bercabang banyak sekali dan mampu merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka. Gabungan
antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang dipersarafi dinamakan unit mototrik.
Meskipun setiap neuron mototrik mempersarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot
dipersarafi oleh hanya satu neuron motorik. Daerah khusus yang merupakan tempat
pertemuan antara saraf motorik dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular atau hubungan
neuromuscular. Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot
yang terdiri dari tiga komponen dasar: unsur presinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps
yang mempunyai lebar sekitar 200. Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan
vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis
dan disimpan dalam akson terminal (bouton). Membran plasma akson terminal disebut
membran presinaps. Unsur postsinaps terdiri dari membrane postsinaps atau lempeng akhir
motorik serabut otot. Membran postsinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau
sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps dimana akson terminal menonjol masuk
ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan (celah-celah subneural) yang sangat
menambah luas permukaan. Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan
mampu menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan potensial
aksi otot. Pada membrane postsinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan
asetil kolin yaitu asetil kolinesterase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara
membran presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam zat gelatin, dan melalui
gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromukular, maka membrane akson
terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetil kolin akan dilepaskan dalam celah
sinaps. Asetil kolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetil kolin
pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap
natrium maupun kalium pada membran postsinaps. Influks ion natrium danp engeluaran ion
kalium secara tiba-tiba menyababkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial
lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam
membrane otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema.
Potensial ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah
transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase. Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari
cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada Miastenia gravis, konduksi neuromuskular
terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang mungkin dikarenakan cedera
autoimun. Pada klien dengan Miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak
normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis
beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi
pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten.
Ptosis
Diplobia
Otot mimik
2)
Otot-otot lidah
Suara nasal, regurgitasi nasal
3)
4)
KLASIFIKASI
KELOMPOK
KLINIS
I Hanya menyerang otot otot okular, disertai ptosis dan
MIASTENIA
UMUM Awitan bertahap dan sering disertai gejala gejala okular, lalu
SEDANG
MIASTENIA
BERAT
UMUM
1. Fulminan akut:
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot otot rangka dan
bulbar dan mulai terserangnya otot otot pernapasan.
Lanjut :
Menatap tanpa kedip pada suatu benda yang terletak diatas bidang kedua mata selama 30
dettk, akan terjadi ptosis
Melirik ke samping terus menerus akan terjadi diplopia
Menghitung atau membaca keras2 selama 3 menit akan terjadi kelemahan pita suara apabila
suara hilang
Tes untuk otot leher dengan mengangkat kepala selama 1 menit dalam posisi berbaring
Tes exercise untuk otot ekstremitas, dengn mempertahankan posisi saat mengangkat kaki
dengan sudut 45 pada posisi tidur telentang 3 menit, atau duduk-berdiri 20-30 kali. Jalan
diatas tumit atau jari 30 langkah, tes tidur-bangkit 5-10 kali
4) Tes tensilon (edrophonium chloride)
Suntikkan tensilon 10 mg (1 ml) i.v, secara bertahap. Mula-mula 2 mg apabila perbaikan (-)
dlm 45 dtk, berikan 3 mg lagi bila perbaikan (-), berikan 5 mg lagi. Efek tensilon akan
berakhir 4-5 menit
Efek samping : ventrikel fibrilasi dan henti jantung
5) Tes kolinergik
6) Tes Prostigmin (neostigmin):
Injeksi prostigmin 1,5 mg im,
dapat ditambahkan atropin untuk mengurangi efek muskariniknya seperti nausea, vomitus,
berkeringat. Perbaikan terjadi pada 10-15 menit, mencapai puncak dalam 30 menit, berakhir
dalam 2-3 jam
7)
Pemeriksaan EMNG:
Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat penurunan amplitudo (decrement respons) > 10%
antara stimulasi I dan V. MG ringan penurunan mencapai 50%, MG sedang sampai berat
dapat sampai 80%
8) Pemeriksaan antibodi AChR
Antibodi AChR ditemukan pada 85-90% penderita MG generalisata, &0% MG okular. Kadar
ini tidak berkorelasi dengan beratnya penyakit
9) Evaluasi Timus
Sekitar 75% penderita MG didapatkan timus yang abnormal, terbanyak berupa hiperplasia,
sedangkan15% timoma. Adanya timoma dapat dilihat dengan CT scan mediastinum, tetapi
pada timus hiperplasia hasil CT sering normal
10) Pengobatan
Mestinon
Antikolinesterase: menghambat destruksi Ach
Piridostigmin bromide (Mestinon, Regonol). Dosis awal 30-60 mg tiap 6-8 jam atau setiap 3-4
jam. Dosis optimal bervariasi tigkat kebutuhan mulai 30-120 mg setiap 4 jam. Bila > 120 mg
tiap 3 jam dapat menimbulkan Krisis Kolinergik (G/ : dispneu, miosis, lakrimasi,
hipersalivasi, emesis, diare
Neostigmin Bromide (Prostigmin). Kerja lebih pendek. Dosis 15 mg tiap 3-4 jam
Kortikosteroid: Mulai dosis rendah (12-50 mg prednison) dinaikkan pelan-pelan sampai
respon optimal (maksimal 50-60 mg prednison). Dosis dipertahankan sampai perbaikan
mencapai plateau (biasanya 6-12 bulan), turunkan dosis sangat pelan-pelan sampai dosis
pemeliharaan minimal. Awasi efek samping obat
Imunosupresan
Obat: azathiprine 1-2,5 mg/minggu Biasanya dipakai bersama prednisone
Obat lain: Cyclosporine, Cyclophosphamide, Mycophenolate mofetil
Intravenous Imunoglobulin
Pada MG berat
Plasmapharesis
Pada MG berat untuk menghilangkan atau menurunkan antibodi yang beredar dalam serum
penderita
2.7 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang ditetapkan
oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selam 10 jam agar dapat
bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka
juga harus menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya.
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi Miastenia
gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase
(asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama
pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang
ringan. Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi
imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan
dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat
digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti
memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan.
1. Periode istirahat yang sering selama siang hari menghemat kekuatan.
Gagal nafas
Disfagia
Krisis miastenik
Krisis cholinergic
Komplikasi sekunder dari terapi obat
Penggunaan steroid yang lama:
Osteoporosis, katarak, hiperglikem
Gastritis, penyakit peptic ulcer
Pneumocystis carinii
2.9 Prognosis
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari pada orang
dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama otototot tubuh bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada otot-otot mata, 20%
mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami
atrofi otot. Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian
berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan 20% antaranya mengalami remisi. Remisi
spontan pada awal penyakit terjadi pada 10% Miastenia gravis.
BAB 3
Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Miastenia Gravis
3.1 Pengkajian
1. Identitas klien yang meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, dann status
2. Keluhan utama: kelemahan otot
3. Riwayat kesehatan: diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi
klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial
setelah istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh
kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat ada jatuhnya
kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang
kelemahan otot.
4. Pemeriksaan fisik:
B1(breathing): dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut, kelemahan otot
diafragma
B2(bleeding): hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
B3(brain): kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi okular, jatuhnya mata atau
dipoblia
B4(bladder): menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat
berkemih
B5(bowel): kesulitan mengunyah-menelan, disfagia, dan peristaltik usus turun, hipersalivasi,
hipersekresi
B6(bone): gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot yang berlebih
Rasionalisasi
Untuk klien dengan penurunan kapasitas
ventilasi, perawat mengkaji frekuensi
pernapasan, kedalaman, dan bunyi nafas,
pantau hasil tes fungsi paru-paru tidal,
kapasitas vital, kekuatan inspirasi), dengan
interval yang sering dalam mendeteksi
masalah pau-paru, sebelum perubahan
kadar gas darah arteri dan sebelum tampak
gejala klinik.
Dengan
mengkaji
kualitas,
frekuensi,
dan
kedalaman
pernapasan, kita dapatmengetahui
4. Observasi
(nadi,RR)
tanda-tanda
vital
Peningkatan
RR
dan
takikardi
merupakan
indikasi
penurunan fungsi paru
adanya
Rasional
memfokuskan
perhatian
klien,
Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan
melindungi diri dari cedera.
Intervensi
Rasionalisasi
Kriteria hasil:
Rasionalisasi
Intervensi
1. Kaji komunikasi verbal klien.
Rasionalisasi
Teknik
untuk
dapat
meningkatkan
Untuk
kenyamanan
yang
berhubungan
dengan
mampuan komunikasi
ketidak
Mengurangi
kebingungan
atau
Mengkaji
kemampuan
verbal
Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang
akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi
Rasionalisasi
Menentukan
bantuan
individual
Menghidupkan kembali
perasaan
kemandirian
dan
membantu
perkembangan harga diri serta
mempengaruhi proses rehabilitasi
Dapat
memfasilitasi
perubahan
peran
yang
penting
perkembangan perasaan
untuk
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan
otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan. Myasthenia gravis dapat mempengaruhi
orang-orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para wanita sehingga kita
sebagai perawat harus bisa menentukan diagnosa keperawatan terhadap pasien dengan
myastenia gravis serta perlu melakukan beberapa tindakan dan asuhan kepada pasien dengan
masalah tersebut.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia
gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan
produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Gejala klinis miastenia gravis antara
lain; Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis, Kelemahan otot penderita semakin lama
akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot
wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan
dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul
kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran
menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain
itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://books.google.co.id/asuhan+keperawatan+miastenia+gravis
http://www.scribd.com/doc/32307115/Miastenia-Gravis-By-Susilo-Eko-Putra
http://copyaskep.wordpress.com/2011/09/13/asuhan-keperawatan-pasien-dengan myastheniagravis/
http://www.scribd.com/doc/76131269/Asuhan-Keperawatan-Myasthenia-Gravis
http://apps.um-surabaya.ac.id/jurnal/files/disk1/1/umsurabaya-1912-fahrunnurr-5-1mengenal-a.pdf
Diposkan 27th April 2013 oleh