You are on page 1of 46

REFERAT

STASE PEDIATRI
GIZI BURUK
RSUD R. Syamsudin SH., Sukabumi

Oleh:
GHAIDA AMANI
NIDM: 2012730047

PEMBIMBING:
dr. Rini Sulviani, Sp.A, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN


UNIVERSTAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016

Daftar Isi
DAFTAR ISI......................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................2
1. Latar Belakang Masalah........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................4
1.1. Definisi...........................................................................................................4
1.2. Klasifikasi.......................................................................................................4
1.3. Epidemiologi...................................................................................................8
1.4. Etiologi...........................................................................................................8
1.5. Patogenesis....................................................................................................11
1.6. Manifestasi Klinis.........................................................................................14
1.7. Diagnosis......................................................................................................19
1.8. Penatalaksanaan............................................................................................20
1.9. Pencegahan...................................................................................................41
1.10........................................................................................................Komplikasi
1.11...........................................................................................................Prognosis
BAB III KESIMPULAN.................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................45

43
43

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Malnutrisi energi protein (MEP) merupakan salah satu dari empat masalah gizi utama
di Indonesia. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak di bawah umur 5 tahun (balita) serta
pada ibu hamil dan meyusui. Berdasarkan SUSENAS 2002, 26% balita menderita gizi
kurang dan gizi buruk, dan 8% balita menderita gizi buruk. Pada MEP ditemukan berbagai
macam keadaan patologis, tergantung pada berat ringannya kelainan 1. Pada riskesdas 2007,
angka tersebut turun menjadi 13% balita gizi kurang dan 5,4% gizi buruk. Sedangkan pada
riskesdas 2013 terjadi peningkatan menjadi 5,7% balita gizi kurang dan 13,9% gizi buruk2.
Malnutrisi adalah suatu keadaan defisiensi, kelebihan atau ketidakseimbangan
protein energi dan nutrien lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi pada tubuh 3.
Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi dan protein, MEP diklasifikasikan
menjadi MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang) dan MEP derajat berat (gizi buruk) 1.
Secara umum malnutrisi terbagi atas dua bagian yaitu undernutrisi dan overnutrisi.
Undernutrisi atau keadaan defisiensi terdiri dari marasmus, kwashiorkor, serta marasmik
kwashiorkor.
Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di dunia,
terutama di negara-negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan
Amerika Selatan. Salah satu klasifikasi dari gizi buruk adalah marasmik-kwashiorkor. Di
seluruh dunia, diperkirakan terdapat 825 juta orang yang menderita gizi buruk pada tahun
20002002, dan 815 juta diantaranya hidup di negara berkembang. Prevalensi yang tinggi
terdapat pada anak-anak di bawah umur 5 tahun (balita). Prevalensi balita yang mengalami
gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan laporan provinsi selama tahun 2013
terdapat 96.113 jumlah gizi buruk dan kurang atau 19,6% dengan 2 provinsi terbanyak yaitu
Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat2,3.
Diperkirakan masih ada 4,5 juta balita dengan gizi buruk dan kurang yang belum
terdeteksi. Untuk menjaring balita dengan gizi buruk dan kurang dapat dilakukan melalui
kegiatan penimbangan rutin di posyandu. Pada tahun 2007 didapatkan hasil 45,4% balita
dengan gizi buruk dan kurang dan terjadi peningkatan di tahun 2010 menjadi 49,4%,
sedangkan pada tahun 2013 jumlah balita dengan gizi buruk dan kurang melalui
2

penimbangan mengalami penurunan menjadi 44,6%. Namun, jumlah ini diperkirakan masih
ada 12 juta balita yang tidak terdeteksi mengalami gizi buruk atau kurang tersembunyi di
antara balita yang tidak ditimbang tersebut2.
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut saling
berkaitan. Secara langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu anak kurang mendapat
asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama dan anak menderita penyakit infeksi. Anak
yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena
adanya gangguan penyerapan akibat penyakit infeksi. Secara tidak langsung penyebab
terjadinya gizi buruk yaitu tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh
kurang memadai, dan sanitasi / kesehatan lingkungan kurang baik, serta akses pelayanan
kesehatan terbatas. Akar masalah tersebut berkaitan erat dengan rendahnya tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan dan kemiskinan keluarga4.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala klinis
(marasmus, kwashiorkor, marasmus kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit
infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), tuberculosis (TB), serta
penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54% angka kesakitan pada
balita disebabkan karena gizi buruk, 19% diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5%
malaria, dan 32% penyebab lainnya5.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.

Definisi
Malnutrisi Energi Protein atau Kekurangan Energi Protein (KEP) dibagi menjadi
marasmus, kwashiorkor dan marasmik-kwashiorkor. Marasmus adalah keadaan gizi buruk
yang ditandai dengan tampak sangat kurus, iga gambang, perut cekung, wajah seperti orang
tua dan kulit keriput. Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema
seluruh tubuh terutama di punggung kaki, wajah membulat dan sembab, perut buncit, otot
mengecil, pandangan mata sayu dan rambut tipis/kemerahan. Marasmik-kwashiorkor adalah
keadaan gizi buruk dengan tanda-tanda gabungan dari marasmus dan kwashiorkor3.
Sedangkan menurut Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit Departemen Kesehatan
RI 2003 marasmik-kwashiorkor adalah gizi buruk dengan gambaran klinik yang merupakan
campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus dengan BB/U < 60 % baku
median WHO-NHCS disertai edema yang tidak mencolok6.
.

2.

Klasifikasi
Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP,
klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai berikut
1. Klasifikasi berdasarkan Baku Median WHO-NCHS7

Klasifikasi KEP
BB/U
BB/TB
Ringan
70-80%
80-90%
Sedang
60-70%
70-80%
Berat
<60%
<70%
Tabel 1. Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NHCHS7

2.

Klasifikasi Menurut Departemen Kesehatan RI


Klasifikasi malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan (TB),
dan umur menurut Depkes RI adalah sebagai berikut:7

BB/TB
TB/U
Mild
80-9-%
90-94%
Moderate
70-79%
85-89%
Severe
<70%
<85%
Tabel 2. Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI7
3.

Klasifikasi Menurut Gomez (1956)


Klasifikasi ini berdasarkan berat badan individu dibandingkan dengan berat badan
yang diharapkan pada anak sehat seumur7.

Derajat KEP

Berat badan % dari


baku*
0 (normal)
90%
1 (ringan)
89-75%
2 (sedang)
74-60%
3 (berat)
<60%
Tabel 3. Klasifikasi KEP menurut Gomez7

4.

Klasifikasi Menurut McLaren (1967)


McLaren mengklasifikasikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut tipenya.
Gejala klinis edema disertai dermatosis, perubahan pada rambut, dan pembesaran
hati diberi nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar albumin atau total protein
serum7.

Gejala Klinis/Laboratoris
Edema
Dermatosis
Edema disertai dermatosis
Perubahan pada rambut
Hepatomegali
Albumin serum atau protein total serum/g %
<1,00
<3,25
1,00-1,49
3,25-3,99
1,50-1,99
4,00-4,74
2,00-2,49
4,75-5,49
2,50-2,99
5,50-6,24
3,00-3,49
6,25-6,99
3,50-3,99
7,00-7,74
>4,00
>7,75
5

Angka
3
2
6
1
1
7
6
5
4
3
2
1
0

Tabel 4. Klasifikasi KEP menurut McLaren7


Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap
penderita:
0-3 angka

= marasmus

4-8 angka

= marasmic-kwashiorkor

9-15 angka

= kwashiorkor

Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalahan jika dibandingkan dengan cara


Wellcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan bantuan
laboratorium.
5.

Klasifikasi Menurut Wellcome Trust Party (1970)


Cara klasifikasi ini dapat dipraktekkan dengan mudah, namun jika cara ini
diterapkan pada penderita yang sudah beberapa hari dirawat dan mendapat
pengobatan diet, maka akan dapat dibuat diagnose yang salah. Seperti pada
penderita kwashiorkor (edema, berat >60%, gejala klinis khas kwashiorkor yang
lain) yang sudah dirawat selama satu minggu, edema pada tubuh pasien sudah tidak
terlihat lagi dan berat badan bisa turun sampai 60%, dengan gejala yang seperti itu
akan didiagnosis sebagai penderita marasmus7.

Edema
Berat Badan %
dari Baku
Tidak Ada
Ada
>60%
Gizi kurang
kwashiorkor
<60%
Marasmus
Marasmik-kwashiorkor
Tabel 5. Klasifikasi KEP menurut Wellcome Trust Party7
6.

Klasifikasi Menurut Waterlow (1973)


Waterlow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan menahun.
Waterlow berpendapat bahwa defisit berat terhadap tinggi mencerminkan gangguan
gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting (kurus kering). Sedangkan defisit
tinggi menurut umur merupakan akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama atau
kronis. Akibatnya laju tinggi badan akan terganggu, hingga anak akan menjadi
pendek (stunting) untuk seusianya7.

Gangguan Derajat
Stunting (BB/U)
Wasting (BB/TB)
0
>95%
>90%
1
95-90%
90-80%
2
89-85%
80-70%
3
<85%
<70%
Tabel 6. Klasifikasi KEP menurut Waterlow7

7.

Klasifikasi Menurut Jelliff


Jelliffe mengklasifikasikan malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB)
menurut umur (U) sebagai berikut:7
Kategori
BB/U (% baku)
KEP I
90 80
KEP II
80 70
KEP III
70 60
KEP IV
<60
Tabel 7. Klasifikasi KEP menurut Jelliffe7

3.

Epidemiologi
Pada 20102012, FAO memperkirakan sekitar 870 juta orang dari 7,1 miliar
penduduk dunia atau 1 dari delapan orang penduduk dunia menderita gizi buruk. Sebagian
besar (sebanyak 852 juta) di antaranya tinggal di negara-negara berkembang.
Anak-anak merupakan penderita gizi buruk terbesar di seluruh dunia. Dilihat dari
segi wilayah, lebih dari 70 persen kasus gizi buruk pada anak didominasi Asia, sedangkan 26
persen di Afrika dan 4 persen di Amerika Latin serta Karibia.
Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak-anak di bawah umur 5 tahun (balita).
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan laporan
provinsi selama tahun 2013 terdapat 96.113 jumlah gizi buruk dan kurang atau 19,6%
dengan 2 provinsi terbanyak yaitu Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat2,3.

4.

Etiologi
UNICEF (1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro sebagai salah satu
strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Dalam kerangka tersebut ditunjukkan
bahwa masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh8:
1. Penyebab langsung
7

Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya
gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit.
Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat
menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan,
maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.
2. Penyebab tidak langsung
Ada 3 penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu :

Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diharapkan


mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam
jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya.

Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan mayarakat diharapkan
dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh
kembang dengan baik baik fisik, mental dan sosial.

Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistim pelayanan kesehatan


yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan
kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan.
Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan

keterampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan,


makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan maka akan
makin banyak keluarga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan.
3. Pokok masalah di masyarakat
Kurangnya pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber daya
masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor langsung maupun tidak langsung.
4. Akar Masalah
Kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga serta kurangnya pemanfaatan sumber
daya masyarakat terkait dengan meningkatnya pengangguran, inflasi dan kemiskinan
yang disebabkan oleh krisis ekonomi, politik dan keresahan sosial yang menimpa
Indonesia sejak tahun 1997. Keadaan tersebut telah memicu munculnya kasus-kasus gizi
buruk akibat kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga yang tidak memadai.

B
Bagan 1. Etiologi Gizi Buruk

Hasil penelitian Erledis Simanjuntak menunjukkan bahwa banyak faktor resiko


terjadinya KEP pada balita diantaranya: penyakit infeksi, jenis kelamin, umur, berat badan
lahir rendah, tidak diberi ASI eksklusif, imunisasi tidak lengkap, nomor urut anak, pekerjaan
ayah dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah, ibu pekerja, tingkat pendidikan orang tua
yang rendah, jumlah anggota keluarga yang besar dan lain- lain.9
Hal ini berarti bahwa penyebab terjadinya KEP pada balita adalah sebagai berikut:

Penyakit Infeksi

Tingkat Pendapatan Orang Tua yang rendah

Konsumsi Energi yang kurang

Perolehan Imunisasi yang kurang

Konsumsi Protein yang kurang

Kunjungan Ibu ke Posyandu, hal ini berkaitan dengan pengetahuan ibu.


10

Selain itu besarnya masalah gizi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor
penting, yaitu karena ketidaktahuan serta karena bagitu lekatnya tradisi dan kebiasaan yang
mengakar di masyarakat khususnya dibidang makanan, cara pengolahan makanan, dan cara
penyajian serta menu masyarakat kita dengan segala tabu-tabunya. Salah satu penyebab
malnutrisi (kurang gizi) diantaranya karena faktor ekonomi yaitu daya beli yang rendah dari
para keluarga yang kurang mampu. Nampaknya ada hubungan yang erat antara pendapatan
keluarga dan status gizi anak-anaknya. Pengetahuan ibu juga merupakan salah satu faktor
terjadinya kurang gizi pada balita, karena masih banyak orang yang beranggapan bahwa
bila anaknya sudah kenyang berarti kebutuhan mereka terhadap gizi sudah terpenuhi.9
5.

Patogenesis
Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan
makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan pembakaran
cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein dengan melalui proses
katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi) maka kebutuhan akan protein akan
meningkat, sehingga dapat menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini
terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD (-2SD--3SD), maka terjadilah kwashiorkor
(malnutrisi akut / decompensated malnutrition). Pada kondisi ini penting peranan radikal
bebas dan anti oksidan. Bila stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3 SD,
maka akan terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat
teradaptasi

sampai dibawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik (malnutrisikronik /

compensated malnutrition). Dengan demikian pada KEP dapat terjadi: gangguan


pertumbuhan, atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin,
penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim.11
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara penyakit
marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup mengandung protein dan
juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian, di samping
menurunnya berat badan di bawah 60% dari normal, memperlihatkan tanda-tanda
kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi
terlihat pula. Pada KEP terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuhnya, seperti jumlah
dan distribusi cairan, lemak, mineral, dan protein, terutama protein otot.12,13
Kurangnya protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai asam amino
essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin, sehingga terjadi hipoalbuminemia dan
11

edema. Anak dengan marasmus kwashiorkor juga sering menderita infeksi multipel, seperti
tuberkulosis dan gastroenteritis. Infeksi akan mengalihakan penggunaan asam amino ke
sintesis protein fase akut, yang semakin memperparah berkurangnya sintesis albumin di
hepar. Penghancuran jaringan akan semakin lanjut untuk memenuhi kebutuhan energi,
memungkinkan sintesis glukosa dan metabolit essensial lainnya seperti asam amino.
Kurangnya kalori dalam diet akan meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar
insulin. Hal ini akan menyebabkan atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit.
Pada awalnya, kelaina ini merupakan proses fisiologis. Untuk kelangsungan hidup, jaringan
tubuh memerlukan energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yang diberikan, jika hal ini
tidak terpenuhi maka harus didapat dari tubuh sendiri sehingga cadangan protein digunakan
juga untuk memenuhi kebutuhan energi. Tubuh akan mengandung lebih banyak cairan
sebagai akibat menghilangnya lemak dan otot sehingga tampak edema.12,13

12

Bagan 2. Patogenesis Marasmik-Kwashiorkor


6.

Manifestasi Klinis
13

Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS disertai edema yang tidak
mencolok. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk
pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan <
60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,
kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.
Penampilan muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seperti orang tua.
Anak terlihat sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian besar lemak dan ototototnya, iga gambang, bokong baggy pant, perut cekung, wajah bulat sembab. Perubahan
mental adalah anak mudah menangis, walapun setelah mendapat makan karena anak masih
merasa lapar. Kesadaran yang menurun (apati) terdapat pada penderita marasmus yang berat.
Kelainan pada kulit tubuh yaitu kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor
disebabkankehilangan banyak lemak di bawah kulit serta otot-ototnya. Kelainan pada rambut
kepala walaupun tidak sering seperti pada penderita

kwashiorkor, adakalanya tampak

rambut yang kering, tipis dan mudah rontok. Lemak subkutan menghilang hingga turgor
kulit mengurang. Otot-otot atrofis, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas. Pada saluran
pencernaan, penderita marasmus lebih sering menderita diare atau konstipasi. Tidak jarang
terdapat bradikardi, dan pada umumnya tekanan darah penderita lebih rendah dibandingkan
dengan anak sehat seumur. Terdapat pula frekuensi pernafasan yang mengurang dan
ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah. Selain itu anak mudah terjangkit infeksi
yang umumnya kronis berulang akibat defisiensi imunologik.7
Gejala klinis kwashiorkor yaitu penampilannya seperti anak yang gemuk (sugar
baby) bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun
dibagian tubuh lainnya, terutama di pantatnya terlihat adanya atrofi. Pertumbuhan terganggu,
berat badan dibawah 80% dari baku Harvard persentil 50 walaupun terdapat edema, begitu
pula tinggi badannya terutama jika KEP sudah berlangsung lama. Perubahan mental sangat
mencolok. Pada umumnya mereka banyak menangis, dan pada stadium lanjut bahkan sangat
apatis. Perbaikan kelainan mental tersebut menandakan suksesnya pengobatan. Edema baik
yang ringan maupun berat ditemukan pada sebagian besar penderita kwashiorkor. Walaupun
jarang, asites dapat mengiringi edema. Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah
dan berbaring terus-menerus, walaupun sebelum menderita penyakit demikian sudah dapat
14

berjalan-jalan. Gejala saluran pencernaan merupakan gejala penting. Pada anoreksia yang
berat penderita menolak segala macam makanan, hingga adakalanya makanan hanya dapat
diberikan melalui sonde lambung. Diare tampak pada sebagian besar penderita, dengan feses
yang cair dan mengandung banyak asam laktat karena mengurangnya produksi laktase dan
enzim disacharidase lain. Adakalanya diare demikian disebabkan pula oleh cacing dan
parasit lain.Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya (texture) maupun
warnanya. Sangat khas bagi penderita kwashiorkor ialah rambut yang mudah dicabut.
Misalnya tarikan ringan di daerah temporal menghasilkan tercabutnya seberkas rambut tanpa
reaksi si penderita. Pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala yang
kusam, kering, halus, jarang, dan berubah warnanya. Warna rambut yang hitam menjadi
merah, coklat kelabu, maupun putih. Rambut aslipun menunjukkan perubahan demikian,
akan tetapi tidak demikian dengan rambut matanya yang justru memanjang. Perubahan kulit
yang oleh Williams, dokter wanita pertama yang melaporkan adanya penyakit kwashiorkor,
diberi namacrazy pavement dermatosis merupakan kelainan kulit yang khas bagi penyakit
kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut dimulai dengan titik-titik merah menyerupai petechie,
berpadu menjadi bercak yang lambat laun menghitam. Setelah bercak hitam mengelupas,
maka terdapat bagianbagian yang merah dikelilingi oleh batas-batas yang masih hitam.
Bagian tubuh yang sering membasah dikarenakan keringat atau air kencing, dan yang terusmenerus mendapat tekanan merupakan predeleksi crazy pavement dermatosis, seperti di
punggung, pantat, sekitar vulva, dan sebagainya. Perubahan kulit lainpun dapat ditemui,
seperti kulit yang kering dengan garis kulit yang mendalam, luka yang mendalam tanpa
tanda-tanda inflamasi. Kadang-kadang pada kasus yang sangat lanjut ditemui petechie tanpa
trombositopenia dengan prognosis yang buruk bagi si penderita.7

Gambar 1. Crazy Pavement Dermatosis

15

Hati yang membesar merupakan gejala yang sering ditemukan. Kadang-kadang batas
hati terdapat setinggi pusar. Hati yang membesar dengan mudah dapat dirabah dan terasa
kenyal pada rabaan dengan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam. Sediaan hati
demikian jika dilihat dibawah mikroskop menunjukkan, bahwa banyak sel hati terisi dengan
lemak. Pada kwashiorkor yang relatif ringan infiltrasi lemak itu terdapat terutama di segi tiga
Kirnan, lebih berat penyakitnya lebih banyak sel hati yang terisi dengan lemak, sedangkan
pada yang sangat berat perlemakan terdapat pada hampir semua sel hati. Adakalanya terlihat
juga adanya fibrinosis dan nekrosis hati. Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita
demikian. Bilamana kwashiorkor disertai oleh penyakit lain, terutama ankylostomiasis, maka
dapat dijumpai anemia yang berat. Jenis anemia pada kwashiorkor bermacam-macam, seperti
normositik normokrom, mikrositik hipokrom, makrositik hiperkrom, dan sebagainya.
Perbedaan macam anemia pada kwashiorkor dapat dijelaskan oleh kekurangan berbagai
faktor yang mengiringi kekurangan protein, seperti zat besi, asam folik, vitamin B12, vitamin
C, tembaga, insufisiensi hormon, dan sebagainya. Macam anemia yang terjadi menunjukkan
faktor mana yang lebih dominan. Pada pemeriksaan sumsum tulang sering-sering ditemukan
mengurangnya sel sistem eripoitik. Hipoplasia atau aplasia sumsum tulang demikian
disebabkan terutama oleh kekurangan protein dan infeksi menahun.7
Tabel 8. Manifestasi klinis pada Marasmus-kwashiorkor
Marasmus

Pertumbuhan berkurang atau

berhenti
Terlihat sangat kurus
Penampilan wajah seperti
orangtua
Perubahan mental
Cengeng
Kulit kering, dingin,

mengendor, keriput
Lemak subkutan menghilang

hingga turgor kulit berkurang


Otot atrofi sehingga kontur

tulang terlihat jelas


Vena superfisialis tampak jelas

Kwshiorkor

Perubahan mental sampai apatis


Anemia
Perubahan warna dan tekstur

rambut, mudah dicabut / rontok


Gangguan sistem gastrointestinal
Pembesaran hati
Perubahan kulit
Atrofi otot
Edema simetris pada kedua
punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh.

16

Ubun ubun besar cekung


tulang pipi dan dagu kelihatan
menonjol

mata tampak besar dan dalam


Kadang terdapat bradikardi
Tekanan darah lebih rendah
dibandingkan anak sebaya
*Manifestasi klinis dari marasmic-kwashiorkor merupakan campuran gejala marasmus
dan kwashiorkor
a. Marasmus4
Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut:
- Pemasukan kalori yang tidak cukup. Marasmus terjadi akibat masukan kalori yang
sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari
-

ketidaktahuan orang tua si anak.


Kebiasaan makan yang tidak tepat. Seperti mereka yang mempunyai hubungan

orang tua anak terganggu.


Kelainan metabolik. Misalnya: renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,

galactosemia, lactose intolerance.


Malformasi kongenital. Misalnya:

penyakit

jantung

bawaan,

penyakit

Hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis, micrognathia, stenosis pilorus,


-

hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas.


Malformasi kongenital. Misalnya: penyakit jantung

bawaan,

penyakit

Hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis, micrognathia, stenosis pilorus,


hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas.

b. Kwarshiorkor6
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang
berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan kwashiorkor antara lain.
1. Pola makan
Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh
dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak
17

semua makanan mengandung protein/ asam amino yang memadai. Bayi yang masih
menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya, namun
bagi yang tidak memperoleh ASI protein dari sumber-sumber lain (susu, telur, keju,
tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai
keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama
pada masa peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
2. Faktor social
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial
dan politik tidak stabil ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan
tertentu dan sudah berlangsung turun-turun dapat menjadi hal yang menyebabkan
terjadinya kwashiorkor.
3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana
ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.
4. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi.
Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP,
walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.
c. Marasmic-kwashiorkor7
Penyebab marasmic kwashiorkor dapat dibagi menjadi dua penyebab yaitu
malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi primer adalah keadaan kurang gizi
yang disebabkan oleh asupan protein maupun energi yang tidak adekuat. Malnutrisi
sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena kebutuhan yang meningkat, menurunnya
absorbsi dan/atau peningkatan kehilangan protein maupun energi dari tubuh.

18

Gambar 2. Perbedaan marasmus dan kwarshiorkor


7.

Diagnosis
Diagnosis untuk marasmus-kwashiorkor dapat ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis,
pemeriksaan penunjang, dan antropometrik.14,15
1. Manifestasi klinis: anamnesis (terutama anamnesis makanan, tumbuh kembang, serta
penyakit yang pernah diderita) dan pemeriksaan fisik. Manifestasi yang umumnya timbul
adalah gagal tumbuh kembang. Di samping itu terdapat pula satu atau lebih manifestasi
klinis marasmus dan kwashiorkor lainnya.
2. Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan laboratorium darah tepi yaitu Hb memperlihatkan
anemia ringan sampai sedang. Pada pemeriksaan faal hepar, kadar albumin serum sedikit
menurun. Kadar elektrolit seperti Kalium dan Magnesium rendah, bahkan K mungkin
sangat rendah, sedangkan kadar Natrium, Zinc, dan Cuprum bisa normal atau menurun.
Kadar glukosa darah umumnya rendah, asam lemak bebas normal atau meninggi, nilai lipoprotein dapat rendah ataupun tinggi, dan kolesterol serum rendah. Kadar asam amino
esensial plasma menurun. Kadar hormon insulin umumnya menurun, tetapi hormon
pertumbuhan dapar normal, rendah, maupun tinggi. Pada biopsi hati hanya tampak
19

perlemakan yang ringan, jarang dijumpai kasus dengan perlemakan yang berat. Pada
pemeriksaan radiologi tulang tampak pertumbuhan tulang yang terlambat dan terdapat
osteoporosis ringan.
3. Antropometrik: ukuran yang sering dipakai adalah berat badan, panjang/tinggi badan,
lingkar kepala, lingkar lengan atas, dan lipaan kulit. Diagnosis ditegakkan dengan adanya
data antropometrik untuk perbandingan seperti BB/U (berat badan menurut umur), TB/U
(tinggi badan menurut umur), LLA/U (lingkar lengan atas menurut umur), BB/TB (berat
badan menurut tinggi badan), LLA/TB (lingkar lengan atas menurut tinggi badan). Dari
pemeriksaan antropometrik dapat diklasifikasikan menurut Wellcome Trust Party,
klasifikasi menurut Waterlow, klasifikasi Jelliffe, dan klasifikasi berdasarkan WHO dan
Depkes RI.
8.

Penatalaksanaan
1. Tatalaksana Umum
Menurut buku saku who pelayanan kesehatan anak di rumah di rumah sakit,
penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 2 fase yaitu: fase
stabilisasi dan fase rehabilitasi.16

Bagan 3. Tatalaksana anak gizi buruk (10 langkah)


a. Hipoglikemia
Semua anak dengan gizi buruk beresiko hipoglikemia (<3 mmol/L atau
<54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi buruk harus diberi makanan atau larutan
glukosa/gula pasir 10% segera setelah masuk rumah sakit. Pemberian makan
yang sering sangat penting dilakukan pada anak gizi buruk.
20

Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa kadar gula


darag, maka semua anak gizi buruk harus dianggap menderita hipoglikemia dan
segera ditangani sesuai panduan.
Tatalaksana

Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya

memungkinkan.
Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat berikan 50 ml
larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml air)

secara oral atau melalui NGT.


Lanjutkan pemberian F-75 setiap 2-3 jam,siang dan malam selama minimal

dua hari.
Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal pemberian

F-75.
Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara
intravena (bolus) sebanyak 5ml/kgBB, atau larutan glukosa/larutan gula

pasir 50 ml dengan NGT.


Beri antibiotik

Pemantauan
Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah

setelah 30 menit.
Jika kadar gula darah < 3 mmo;/L (54 m/dL), ulangi pemberian larutan

glukosa atau gula 10%.


Jika suhu rektal <35.50 C atau bila kesadaran memburuk, mungkin
hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula
darah dan tangani sesuai keadaan (hipoglikemia atau hipotermia).

Pencegahan
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam. Mulai sesegera mungkin atau jika
perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur 2-3 jam
siang malam.
b. Hipotermia
Diagnosis: Suku aksilar <35.50 C
Tatalaksana
21

Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).
Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan
selimut hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada
anak) atau lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada atau
perut ibunya (dari kulit ke kulit: metode kanguru). Bila menggunakan lampu

listrik, letakkan lampu pijar 40 W dengan jarak 50 cm dari tubuh anak.


Beri antibiotik sesuai pedoman.

Pemantauan

Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36.5
C atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah
jam.Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36.5 C.

Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada
malam hari

Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia

Pencegahan

Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas

angin dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut.


Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur tetap

kering.
Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya: sewaktu dan setelah mandi,

atau selama pemeriksaan medis)


Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap hangat, terutama

di malam hari
Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin,
sepanjang hari, siang dan malam.

c. Dehidrasi
Diagnosis
Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi yang
berlebihan mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi buruk. Hal ini
disebabkan oleh sulitnya menentukan status dehidrasi secara tepat pada anak
dengan gizi buruk, hanya dengan menggunakan gejala klinis saja. Anak gizi
22

buruk dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak jelas, anggap dehidrasi
ringan.
Catatan: hipovolemia dapat terjadi bersamaan dengan adanya edema.
Tatalaksana
Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat

dengan syok.
Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat
dibanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
o beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama
o setelah 2 jam, berikan ReSoMal 510 ml/kgBB/jam berselang-seling
dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam.
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja
yang keluar dan apakah anak muntah.
Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) yang biasa digunakan
mempunyai kadar natrium tinggi dan kadar kalium rendah; cairan yang
lebih tepat adalah ReSoMal (lihat resep di bawah).

Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam


Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th: 50-100

ml setiap buang air besar, usia 1 th: 100-200 ml setiap buang air besar.
Resep ReSoMal
ReSoMal mengandung 37.5 mmol Na, 40 mmol K, dan 3 mmol Mg per liter

*2.6 g NaCl; 2.9 g trisodium citrate dihydrate, 1.5 g KCl, 13.5 g


glukosa dalam 1L
**Lihat halaman 201 untuk resep larutan mineral-mix.
Bila larutan mineral-mix tidak tersedia, sebagai pengganti ReSoMal dapat dibuat
larutan sebagai berikut:

23

Oleh karena larutan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu, maka dapat
diberikan makanan yang merupakan sumber mineral tersebut. Dapat pula
diberikan MgSO4 40% IM 1 x/hari dengan dosis 0.3 ml/kg BB, maksimum 2
ml/hari.

d. Gangguan keseimbangan elektrolit


Pemantauan

24

Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap


setengah jam selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam
berikutnya. Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat berbahaya
dan bisa mengakibatkan gagal jantung dan kematian.
Periksalah:
frekuensi napas
frekuensi nadi
frekuensi miksi dan jumlah produksi urin
frekuensi buang air besar dan muntah
Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan
mulai ada diuresis. Kembalinya air mata, mulut basah; cekung mata dan fontanel
berkurang serta turgor kulit membaik merupakan tanda membaiknya hidrasi,
tetapi anak gizi buruk seringkali tidak memperlihatkan tanda tersebut walaupun
rehidrasi penuh telah terjadi, sehingga sangat penting untuk memantau berat
badan.
Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat
5x/menit

dan

frekuensi

nadi

15x/menit),

hentikan

pemberian

cairan/ReSoMal segera dan lakukan penilaian ulang setelah 1 jam.


Pencegahan
Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan pada
anak dengan gizi baik (lihat Rencana Terapi A pada halaman 147), kecuali
penggunaan cairan ReSoMal sebagai pengganti larutan oralit standar.
Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI

Pemberian F-75 sesegera mungkin


Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.
Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan magnesium

yang mungkin membutuhkan waktu 2 minggu atau lebih untuk memperbaikinya.


Terdapat kelebihan natrium total dalam tubuh, walaupun kadar natrium serum
mungkin rendah. Edema dapat diakibatkan oleh keadaan ini. Jangan obati edema
dengan diuretikum.
Pemberian natrium berlebihan dapat menyebabkan kematian.
Tatalaksana

25

Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan Magnesium,


yang sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix yang ditambahkan ke

dalam F-75, F-100 atau ReSoMal


Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi
Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl).

e. Infeksi
Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam,
seringkali tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering terjadi.
Oleh karena itu, anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi
saat mereka datang ke rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik.
Hipoglikemia dan hipotermia merupakan tanda infeksi berat.
Tatalaksana
Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:

Antibiotik spektrum luas

Vaksin campak jika anak berumur 6 bulan dan belum pernah


mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah diberi
vaksin sebelum berumur 9 bulan. Tunda imunisasi jika anak syok.
Pilihan antibiotik spektrum luas

Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri Kotrimoksazol

per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB setiap 12 jam selama 5 hari


Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat letargis
atau tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi, beri:
o Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari), dilanjutkan
dengan Amoksisilin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hari)
ATAU, jika tidak tersedia amoksisilin, beri Ampisilin per oral (50
mg/kgBB setiap 6 jam selama 5 hari) sehingga total selama 7 hari,
DITAMBAH:
o Gentamisin (7.5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari.
Catatan: Jika anak anuria/oliguria, tunda pemberian gentamisin dosis ke-2
sampai ada diuresis untuk mencegah efek samping/toksik gentamisin

26

Jika anak tidak membaik dalam waktu 48 jam, tambahkan Kloramfenikol


(25 mg/kgBB IM/IV setiap 8 jam) selama 5 hari.

f. Defisiensi zat gizi mikro


Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan dan
obati dengan Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10 hari.
Jika ditemukan infeksi spesifik lainnya (seperti pneumonia, tuberkulosis,
malaria, disentri, infeksi kulit atau jaringan lunak), beri antibiotik yang sesuai.
Beri obat antimalaria bila pada apusan darah tepi ditemukan parasit malaria.
Walaupun tuberkulosis merupakan penyakit yang umum terdapat, obat anti
tuberkulosis hanya diberikan bila anak terbukti atau sangat diduga menderita
tuberkulosis.
Pengobatan terhadap parasit cacing
Jika terdapat bukti adanya infestasi cacing, beri mebendazol (100 mg/kgBB)
selama 3 hari atau albendazol (20 mg/kgBB dosis tunggal). Beri mebendazol
setelah 7 hari perawatan, walaupun belum terbukti adanya infestasi cacing.
Pemantauan
Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotik di atas, lanjutkan
pengobatan sampai seluruhnya 10 hari penuh. Jika nafsu makan belum membaik,
lakukan penilaian ulang menyeluruh pada anak.
Defisiensi zat gizi mikro
Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
Meskipun sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal, tetapi
tunggu sampai anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah
berat badannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat
besi dapat memperparah infeksi
Tatalaksana
Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu:

Multivitamin
Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
27

Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi)
Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah diberikan

sebelum dirujuk), dengan dosis seperti di bawah ini:


Umur
< 6 bulan
6-12 bulan
1-5 tahun

Dosis (IU)
50.000 (1/2 kapsul biru)
100.000 (1 kapsul biru)
200.000 (1 kapsul merah)

Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan
15.
g. Pemberian makanan awal (initial refeeding)
Pada fase awal, pemberian makan (formula) harus diberikan secara hatihati sebab keadaan fisiologis anak masih rapuh.
Tatalaksana
Sifat utama yang menonjol dari pemberian makan awal adalah:

Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas maupun

rendah laktosa
Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral
Energi: 100 kkal/kgBB/hari
Protein: 1-1.5 g/kgBB/hari
Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100 ml/kgBB/hari)

Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlah F-75
yang ditentukan harus dipenuhi. (lihat bawah)

Hari ke:
1-2
3-5
6 dst

Frekuensi
Setiap 2 jam
Setiap 3 jam
Setiap 4 jam

Volume/kgBB/pemberian
11 ml
16 ml
22 ml

28

Volume/kgBB/hari
130 ml
130 ml
130 ml

Pada anak dengan nafsu makan baik dan tanpa edema, jadwal di atas dapat
dipercepat menjadi 2-3 hari.
Formula awal F-75 sesuai resep dan jadwal makan dibuat untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi.
Pada F-75 yang berbahan serealia, sebagian gula diganti dengan tepung beras
atau maizena sehingga lebih menguntungkan karena mempunyai osmolaritas
yang lebih rendah, tetapi perlu dimasak dulu. Formula ini baik bagi anak gizi
buruk dengan diare persisten.
Terdapat 2 macam tabel petunjuk pemberian F-75 yaitu untuk gizi buruk tanpa
edema dan dengan edema berat (+++).
Jumlah F-75 per kali makan (130 ml/kg/hari) untuk anak tanpa dehidrasi

Jumlah F-75 per kali makan (100 ml/kg/hari) untuk anak dengan edema berat

29

30

Jika jumlah petugas terbatas, beri prioritas untuk pemberian makan setiap
2 jam hanya pada kasus yang keadaan klinisnya paling berat, dan bila terpaksa
upayakan paling tidak tiap 3 jam pada fase permulaan. Libatkan dan ajari orang
tua atau penunggu pasien.
Pemberian makan sepanjang malam hari sangat penting agar anak tidak
terlalu lama tanpa pemberian makan (puasa dapat meningkatkan risiko
kematian).
Apabila pemberian makanan per oral pada fase awal tidak mencapai
kebutuhan minimal (80 kkal/kgBB/hari), berikan sisanya melalui NGT. Jangan
melebihi 100 kkal/kgBB/hari pada fase awal ini.
Pada cuaca yang sangat panas dan anak berkeringat banyak maka anak
perlu mendapat ekstra air/cairan.
Pemantauan
Pantau dan catat setiap hari:
Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan
Muntah
Frekuensi defekasi dan konsistensi feses
Berat badan.
h. Tumbuh kejar
Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah:
Kembalinya nafsu makan
Edema minimal atau hilang.
Tatalaksana
Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula tumbuhkejar (F-100) (fase transisi):
Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75

selama 2 hari berturutan.


Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian
sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Biasanya hal
ini terjadi ketika pemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari. Dapat
pula digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang dimodifikasi

sehingga kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan F-100.


Setelah transisi bertahap, beri anak:
31

o pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai


kemampuan anak)
o energi: 150-220 kkal/kgBB/hari
o protein: 4-6 g/kgBB/hari.
Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi pastikan anak
sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak mengandung cukup
energi untuk menunjang tumbuh-kejar. Makanan-terapeutik-siap-saji (ready to
use therapeutic food = RUTF) yang mengandung energi sebanyak 500
kkal/sachet 92 g dapat digunakan pada fase rehabilitasi.

Tumbuh kejar
Petunjuk pemberian F-100 untuk anak gizi buruk fase rehabilitasi (minimum 150
ml/kg/hari)

32

33

Pemantauan
Hindari terjadinya gagal jantung. Amati gejala dini gagal jantung (nadi cepat
dan napas cepat). Jika nadi maupun frekuensi napas meningkat (pernapasan naik
5x/menit dan nadi naik 25x/menit), dan kenaikan ini menetap selama 2 kali
pemeriksaan dengan jarak 4 jam berturut-turut, maka hal ini merupakan tanda
bahaya (cari penyebabnya).
Lakukan segera:
kurangi volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24 jam
kemudian, tingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:
-

115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya

130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya


selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml sebagaimana
dijelaskan sebelumnya.
atasi penyebab.

Penilaian kemajuan
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah tahap
transisi dan mendapat F-100:

Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan
Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/hari

Jika kenaikan berat badan:

kurang (< 5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang lengkap


sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan terpenuhi, atau

mungkin ada infeksi yan tidak terdeteksi.


baik (> 10 g/kgBB/hari).

i. Stimulasi sensoris dan emosional

34

Stimulasi sensorik dan emosional


Lakukan:
ungkapan kasih sayang
lingkungan yang ceria
terapi bermain terstruktur selama 1530 menit per hari
aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi makan,
memandikan, bermain)
Malnutrisi pada bayi < 6 bulan
Malnutrisi pada bayi < 6 bulan lebih jarang dibanding pada anak yang lebih tua.
Kemungkinan penyebab organik atau gagal tumbuh harus dipertimbangkan,
sehingga dapat diberikan penanganan yang sesuai. Jika ternyata termasuk gizi
buruk, prinsip dasar tatalaksana gizi buruk dapat diterapkan pada kelompok
umur ini. Walaupun demikian, bayi muda ini kurang mampu mengekskresikan
garam dan urea melalui urin, terutama pada cuaca panas.
Oleh karena itu pada fase stabilisasi, urutan pilihan diet adalah:
ASI (jika tersedia dalam jumlah cukup)
Susu formula bayi (starting formula)
Pada fase rehabilitasi, dapat digunakan F-100 yang diencerkan (tambahan air
pada formula di halaman 209 menjadi 1500 ml, bukan 1000 ml).

Penanganan kondisi penyerta


1. masalah pada mata

35

Jika anak mempunyai gejala defisiensi vitamin A, lakukan hal seperti


dibawah ini.
Gejala
Hanya bercak bitot saja (tidak ada
gejala mata yang lain)
Nanah atau peradangan

Tindakan
Tidak memerlukan obat tetes mata

Beri tetes mata kloramfenikol atau


tetrasiklin (1%)
Kekeruhan pada kornea
tetes mata kloramfenikol 0.25%-1%
Ulkus kornea
atau tetes tetrasiklin (1%); 1 tetes,
4x sehari; selama 7-10 hari
tetes mata atropine (1%); 1 tetes, 3x
sehari, selama 3-5 hari
jika perlu kedua jenis obat tetes mata
tersebut dapat diberikan secara
bersamaan
Jangan menggunakan sediaan yang berbentuk salep
Gunakan kasa penutup mata yang dibasahi larutan garam normal
Gantilah kasa setiap hari.
Beri vitamin A
Catatan:
Anak dengan defisiensi vitamin A seringkali fotofobia sehingga selalu
menutup matanya. Penting untuk memeriksa mata dengan Hati-hati untuk
menghindari ruptur kornea.
2. anemia berat
transfusi darah diperlukan jika:
Hb 46 g/dl dan anak mengalami gangguan pernapasan atau tanda gagal
jantung.
Pada anak gizi buruk, transfusi harus diberikan secara lebih lambat dan
dalam volume lebih kecil dibanding anak sehat. Beri:

Darah utuh (Whole Blood), 10 ml/kgBB secara lambat selama 3 jam,


Furosemid, 1 mg/kg IV pada saat transfusi dimulai.

36

Bila terdapat gejala gagaI jantung, berikan komponen sel darah merah
(packed red cells) 10 ml/kgBB. Anak dengan kwashiorkor mengalami
redistribusi cairan sehingga terjadi penurunan Hb yang nyata dan tidak
membutuhkan transfusi.
Hentikan semua pemberian cairan lewat oral/NGT selama anak ditransfusi.
Monitor frekuensi nadi dan pernapasan setiap 15 menit selama transfusi.
Jika terjadi peningkatan (frekuensi napas meningkat 5x/menit atau nadi
25x/menit), perlambat transfusi.
Catatan: Jika Hb tetap rendah setelah transfusi, jangan ulangi transfusi
dalam 4 hari.
3. Lesi kulit kwashiorkor
Defisiensi seng (Zn); sering terjadi pada anak dengan kwashiorkor dan
kulitnya akan membaik secara cepat dengan pemberian suplementasi seng.
Sebagai tambahan:
Kompres daerah luka dengan larutan Kalium permanganat (PK;

KMnO4) 0.01% selama 10 menit/hari.


Bubuhi salep/krim (seng dengan minyak kastor, tulle gras) pada daerah
yang kasar, dan bubuhi gentian violet (atau jika tersedia, salep nistatin)
pada lesi kulit yang pecah-pecah.

Hindari penggunaan popok-sekali-pakai agar daerah perineum tetap

kering.
4. Diare persisten
Tatalaksana
Giardiasis dan kerusakan mukosa usus
Jika mungkin, lakukan pemeriksaan mikroskopis atas spesimen feses.
Jika ditemukan kista atau trofozoit dari Giardia lamblia, beri
Metronidazol 7.5 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari).

Intoleransi laktosa
Diare jarang disebabkan oleh intoleransi laktosa saja. Tatalaksana
intoleransi laktosa hanya diberikan jika diare terus menerus ini

37

menghambat perbaikan secara umum. Perlu diingat bahwa F-75 sudah


merupakan formula rendah laktosa.
Pada kasus tertentu:

ganti formula dengan yoghurt atau susu formula bebas laktosa


pada fase rehabilitasi, formula yang mengandung susu diberikan
kembalisecara bertahap.
Diare osmotik
Diare osmotik perlu diduga jika diare makin memburuk pada pemberian F75 yang hiperosmolar dan akan berhenti jika kandungan gula dan
osmolaritasnya dikurangi.

Pada kasus seperti ini gunakan F-75 berbahan dasar serealia dengan

osmolaritas yang lebih rendah


Berikan F-100 untuk tumbuh kejar secara bertahap.

Tuberkulosis
Jika anak diduga kuat menderita tuberkulosis, lakukan:

tes Mantoux (walaupun seringkali negatif palsu)


foto toraks, bila mungkin

j. Pemulangan dan tindak lanjut


Bila telah tercapai BB/TB > -2 SD (setara dengan >80%) dapat dianggap
anak telah sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak
berperawakan pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus
tetap dilanjutkan di rumah.
Berikan contoh kepada orang tua:
Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat gizi serta frekuensi

pemberian makan yang sering.


Terapi bermain yang terstruktur

Sarankan:

Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan


38

Mengikuti program pemberian vitamin A (Februari dan Agustus)

Pemulangan sebelum sembuh total


Anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk kambuh.
Waktu untuk pemulangan harus mempertimbangkan manfaat dan faktor risiko.
Faktor sosial juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan perawatan
lanjutan melalui rawat jalan untuk menyelesaikan fase rehabilitasi serta untuk
mencegah kekambuhan.
Beberapa pertimbangan agar perawatan di rumah berhasil:
Anak seharusnya:

telah menyelesaikan pengobatan antibiotic


mempunyai nafsu makan baik
menunjukkan kenaikan berat badan yang baik
edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang.

Ibu atau pengasuh seharusnya:

mempunyai waktu untuk mengasuh anak


memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis,jumlah

dan frekuensi)
mempunyai sumber daya untuk memberi makan anak. Jika tidak
mungkin,nasihati tentang dukungan yang tersedia.

Penting untuk mempersiapkan orang tua dalam hal perawatan di rumah. Hal ini
mencakup:

Pemberian makanan seimbang dengan bahan lokal yang terjangkau


Pemberian makanan minimal 5 kali sehari termasuk makanan selingan
(snacks) tinggi kalori di antara waktu makan (misalnya susu, pisang, roti,

biskuit). Bila ada, RUTF dapat diberikan pada anak di atas 6 bulan
Bantu dan bujuk anak untuk menghabiskan makanannya
Beri anak makanan tersendiri/terpisah, sehingga asupan makan anak dapat
dicek
Beri suplemen mikronutrien dan elektrolit
ASI diteruskan sebagai tambahan.

Tindak lanjut bagi anak yang pulang sebelum sembuh


39

Jika anak dipulangkan lebih awal, buatlah rencana untuk tindak lanjut sampai
anak sembuh:

Hubungi unit rawat jalan, pusat rehabilitasi gizi, klinik kesehatan local

untuk melakukan supervisi dan pendampingan.


Anak harus ditimbang secara teratur setiap minggu. Jika ada kegagalan
kenaikan berat badan dalam waktu 2 minggu berturut-turut atau terjadi
penurunan berat badan, anak harus dirujuk kembali ke rumah sakit.

9.

Pencegahan KEP
Prevalensi KEP ringan seperti pendek dan kurus kering adalah 40-50 % sementara
KEP berat mencapai 5-10 % pada negara yang sedang berkembang. Jika kasus KEP ini bisa
dideteksi awal dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan serta langkah yang tepat
maka KEP berat dapat dicegah dengan mudah. Tidaklah bijaksana jika hanya mengobati
malnutrisi berat yang datang ke sarana layanan kesehatan. Seolah-olah seperti fenomena
gunung es. Oleh karena itu diperlukan pendekatan kepada masyarakat terutama masyarakat
level ekonomi menengah ke bawah. Di bawah ini adalah beberapa pendekatan penanganan
nutrisi yang bisa dilakukan di masyatakat:
1. Penganekaragaman makanan dan pendidikan gizi
Pendekatan ini difokuskan kepada pendidikan ibu/pengasuh terhadap
pentingnya makanan seimbang melalui penganekaragaman makanan. Ini juga
ditujukan agar ibu bisa mengolah bahan makanan dari kebun dan hasil pertanian.
Pendidikan gizi ini berfokus pada:

Mengubah pola pikir ibu yang salah tentang pemberian makan dan proses
menyusui, serta paparan sinar matahari, yang sering dipengaruhi oleh budaya
dan kepercayaan yang keliru.

Memperbaiki kesalahan pembagian jatah makanan di rumah antaranggota


keluarga yang dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.

Menumbuhkan kesadaran terhadap status gizi anak serta penanganan praktis


dan tepat jika terjadi gangguang status gizi pada anak.

Pentingnya ASI eksklusif.

Meningkatkan higiene (hygiene personal, makanan, dan lingkungan).

Pentingnya imunisasi.
40

Pentingnya menanam buah-buahan dan sayur-sayuran yang bisa dikonsumsi


oleh anggota kelarga di pekarangan rumah.

Pentingnya memantau pertumbuhan anak dengan membawanya ke pusat


pelayanan kesehatan.

2.

Pendekatan ekonomi
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan komunitas target
sebagai solusi terhadap masalah gizi mereka. Beberapa metode yang bisa digunakan
adalah:

Food for work


Menawarkan sejumlah pekerjaan kepada masyarakat miskin atau yang
membutuhkan dan membayarnya dengan makanan.

Food subsidy
Metode ini berupa pemberian makanan jadi atau bahan makanan oleh
pemerintah.

Income generating project


Metode ini telah dipraktikkan di beberapa daerah di Ethiopia dengan
menggunakan cara mengumpulkan dana dari masyarakat untuk dibelikan
makanan. Metode ini melibatkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

10. Komplikasi
Pada anak dengan gizi buruk dapat ditemukan penyakit penyerta antara lain:
Masalah pada mata
Anemia berat
Lesi kulit pada kwashiorkor
Diare persisten (giardiasis dan kerusakan mukosa usus, intoleransi laktosa, diare
osmotik)
Penyakit penyerta yang dapat terjadi pada obesitas adalah antara lain:
-

Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler


41

Diabetes Mellitus tipe-2

Obstruktive sleep apnea

Gangguan ortopedik

Pseudotumor serebri

11. Prognosis
Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian sering
disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara kematian karena
infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari stadium saat pengobatan
mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya pengobatan adekuat, bila
penyakitnya progesif kematian tidak dapat dihindari, mungkin disebabkan perubahan
yang irrever-sibel dari set-sel tubuh akibat under nutrition maupun overnutrition.

42

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di dunia,
terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Salah satu
klasifikasi dari gizi buruk adalah tipe marasmik-kwashiorkor, yang diakibatkan
defisiensi protein berat dan pemasukan kalori yang sedikit atau tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan gizi.
Manifestasi klinis marasmik-kwashiorkor yang sering ditemui antara lain
hambatan pertumbuhan, hilangnya jaringan lemak bawah kulit, atrofi otot, perubahan
tekstur dan warna rambut, kulit kering dan memperlihatkan alur yang tegas dalam,
pembesaran hati, anemia, anoreksia, edema, dan lain-lain.
Diagnosis marasmik-kwashiorkor ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
(gejala klinis dan abnormalitas pada pemeriksaan antropometrik) dan laboratorium yang
memperlihatkan penurunan kadar albumin, kolesterol, glukosa, gangguan keseimbangan
elektrolit, hemoglobin, serta defisiensi mikronutrien yang penting bagi tubuh.
3.2. Saran
Diperlukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik dan penunjang yang tepat
sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan marasmik-kwashiorkor secara optimal.
Penanganan penyakit ini harus dilakukan dengan tepat dalam waktu sedini mungkin
untuk mencegah komplikasi yang menurunkan kualitas hidup bahkan kematian.

43

DAFTAR PUSTAKA
1. Pudjiadi, Antonius H., Hegar, Badriul., Handryastuti, Setyo., dkk.
Pelayanan Medis IDAI.
2. InfoDATIN
Situasi

dan

Analisis

2009. Pedoman
Gizi

dari

http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-gizi.pdf
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk.
Departemen Kesehatan RI, 2008.
4. Muller O, Krawinkel M. Malnutrition and Health in Developing Countries. CMAJ 173:27986
5. Perkembangan Penanggulangan Gizi Buruk Di Indonesia Tahun 2005. Diakses dari
http://www.gizi.net/busung-apar/Laporan%20Gizi%20Buruk%20sampai%20Des2005Final.pdf tanggal 3 Maret 2011.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen
Kesehatan RI, 2007.
7. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Glosarium Data dan Informasi
Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. 2006.
8. Pudjiadi, S. Penyakit KEP (Kurang Energi Protein). Dalam Ilmu Gizi Klinis pada Anak.
Edisi 4 2000. Hal 97-190.
9. Admin.Program
Perbaikan

Gizi

Makro.

Diakses

dari

http://www.gizi.net/kebijakangizi/download/GIZI%20MAKRO.doc, 2004.
10. Simanjuntak,E. Faktor Resiko Kurang Energi Protein Pada Balita Di Kota Medan. Diakses
dari

http://library.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?

option=com_journalreview&id=3197&task=view, 2008.
11. Marizza, Nofelia.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kurang Energi Protein
(KEP)

Pada

Balita

Di

URJ

RSU

Dr.

Soetomo

Surabaya.

http://ojs.lib.unair.ac.id/index. php/bprsuds/article/view/1439/1438.
12. Boerhan
H,
Roedi.
Kurang
Energi
Protein

Diakses

(KEP).

dari

Diakses

dari:http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-rswg255.htm.
13. Heird, WC. Food Insecurity, Hunger, and Undernutrition In Nelson Textbook of Pediatrics,
19th ed. P. 167-73. Philadelphia: Sauders Elsevier.
14. Shetty, P. Malnutrition and Undernutrition. Medicine, 2006. 34:524-29.

44

15. Gulden, MHN. Malnutrition. In Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2004.
USA: Taylor and Franchis. P.489-523.
16. World Health Organization. Gizi Buruk. Dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit. 2009. Hal 193-222.

45

You might also like