You are on page 1of 11

PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit yang akut dan fatal yang disebabkan oleh eksotoksin
Clostridium tetani yang ditandai dengan kekakuan umum dan spasme otot-otot skeletal. Carle
dan Rattone pada tahun 1884 adalah orang yang pertama kali melakukan percobaan dengan
menginjeksikan pus dari orang yang terinfeksi tetanus pada binatang. Pada tahun yang sama,
Nicolaier menginjeksikan beberapa contoh tanah pada binatang. Pada tahun 1889, Kitasato
mengisolasi organisme dari individu yang terinfeksi tetanus dan menyatakan bahwa apabila
organisme tersebut diinjeksikan pada binatang, hal tersebut dapat menimbulkan penyakit dan
dilaporkan bahwa toksin yang dihasilkan dapat dinetralisir oleh antibodi spesifik. Pada tahun
1897, Nocard mendemonstrasikan efek proteksi dari pemberian antitoksin secara pasif dan
imunisasi pasif pada manusia yang dulu digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan pada
Perang Dunia ke I. Metode menginaktifasi toksin tetanus dengan foemaldehid dikembangkan
oleh Ramon pada awal 1920 yang kemudian berkembang menjadi toksoid tetanus oleh
Descombey pada 1924 dan digunakan secara luas pada Perang Dunia II.1
ETIOLOGI
Clostridium tetani adalah bakteri gram positif membentuk spora pada ujungnya
sehingga berbentuk seperti genderang, obligat anaerob, dapat bergerak dengan menggunakan
flagela. Organisme tersebut tidak tahan panas dan tidak dapat bertahan pada lingkungan
dengan oksigen namun sporanya resisten terhadap panas, kekeringan dan antiseptik dan dapat
bertahan pada autoklaf pada suhu 249.8F (121C) selama 10-15 menit. Biasa ditemukan di
lingkungan

sekitar

contohnya

pada

pasir,

tanah

(terutama

tanah

di

daerah

peternakan/pertanian), debu dan saluran cerna serta feces binatang seperti kuda, domba,
anjing, tikus, dan ayam. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara
fisik dan biologik. Pada kondisi lingkungan yang sesuai, spora dapat berubah menjadi bentuk
vegetatif yang menghasilkan dua eksotoksin yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Fungsi dari
tetanolisin

belum

diketahui.

Sedangkan

tetanospasmin

adalah

neurotoksin

yang

mengakibatkan tetanus.1,2,3
EPIDEMIOLOGI
Tetanus terjadi di berbagai negara terutama negara berkembang. Angka kejadiannya
bervariasi, tetanus neonatorum atau tetanus umbilicalis adalah bentuk yang tersering dijumpai
dan setiap tahunnya mengakibatkan kira-kira 500.000 bayi meninggal dunia. Dilaporkan di
1

AS setiap tahun terdapat 50 kasus tetanus pada bayi dan anak, dan dari 15 kasus tetanus
ternyata 80% diantaranya adalah tidak mendapat imunisasi dengan alasan religi dan filosofi.
Di Indonesia sendiri kasus tetanus neonatorum dari tahun 2007-2011 menyebabkan kematian
bayi sekitar 50-60%.2,4 Di bagian Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156
kasus tetanus pada tahun 1999-2000 dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian
retrospektif tahun 2003 Oktober 2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan
mortalitas 47%.5
Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak dan
sebagainya sehingga resiko penyakit tetanus di daerah peternakan sangat besar. Pada
dasarnya tetanus adalah penyakit akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologi (spora).
Tempat masuk kuman C. tetani tidak selalu diketahui dengan pasti, namun dapat diduga
melalui:3
1. Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang
luas.
2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan tali pusat dengan kotoran
binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama
masuknya spora pada puntung tali pusat yang sering menyebabkan tetanus
neonatorum.3

PATOGENESIS
Basil tetanus yang berbentuk spora masuk ke tubuh melalui luka dan kadang hampir
tidak telihat. Kuman berubah menjadi bentuk vegetatif kemudian menghasilkan toksin.
Peristiwa tersebut memerlukan potensial oksidasi-reduksi yang rendah dan paling baik terjadi
pada luka tusuk, luka remuk, dan luka bakar. Pencemaran dengan kotoran, tanah atau pupuk
menyebabkan inokulum organisme yang hebat, tetapi dengan keberadaan C. tetani yang
didapatkan dimana saja maka setiap luka dapat tercemar.2, 6
Basil pada luka primer berproliferasi dan mengeluarkan toksin. Toksin adalah suatu
protein terdiri dari rantai berat (100 kd) dan rantai ringan (50 kd) yang dihubungkan dengan
ikatan disulfida. Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi
2

melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui pembuluh limfe dan
darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya
terlibat. 2,5,6
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction
menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom
yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat.
Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase memecah vesicleassociated
membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal.
Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini
mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah
pelepasan glisin dan -amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor
neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik
sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus
dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini
merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya
pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin
di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan
hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar
katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan
tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.7

PATOLOGI
Tetanus tidak menimbulkan perubahan morfologi yang khas. Berbagai lesi dapat
terjadi akibat spasme hebat, seperti perdarahan dalam otot atau ruptur otot rangka dan fraktur
kompresi korpus vertebra.6

MANIFESTASI KLINIK
Masa inkubasi tetanus adalah antara 3-21 (rata-rata 8 hari). Masa inkubasi yang lebih
singkat dikatakan berhubungan dengan resiko kematian yang lebih tinggi. Pada tetanus
neonatorum, gejala biasanya muncul mulai 4-14 hari setelah lahir, rata-rata 7 hari.1

Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot,
dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih dahulu pada
kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak pada lebih dari 90%
kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan
otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan
disfagia. Peningkatan tonus otot-otot trunkal mengakibatkan opistotonus. Kelompok otot
yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak
simetris. Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot masetter) sehingga sukar membuka
mulut. Pada neonatus kekakuan ini menyebabkan mulut mecucut seperti mulut ikan sehingga
bayi tidak dapat menetek. Secara klinis, untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan
mulut diukur setiap hari. Risus sardonicus terjadi akibat kekakuan otot mimik, sehingga
tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah.
Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher,
otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh
melengkung seperti busur. Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus
fisik, visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat terjadi
segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest. Pernapasan
juga dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada, selama spasme yang
memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa
fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian paling
sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan membersihkan
sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi selama minggu
pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas
masih terjadi sampai beberapa minggu lagi. 3,5,7
Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme otot tidak
terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah spasme dan
berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis biasanya dominan menyebabkan
periode vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan
peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan episode hipotensi,
bradikardia dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom lain meliputi salivasi,
berkeringat, meningkatnya sekresibronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus. Pada
keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas spasme paroksismal kadang
cukup untuk mengakibatkan ruptur otot spontan dan hematoma intramuskular. Fraktur
4

kompresi atau subluksasi vertebra dapat terjadi, biasanya pada vertebrathorakalis. 5 Gagal
ginjal akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi,
rhabdomiolisis karena spasme, dan gangguan otonom. Komplikasi lain meliputi atelektasis,
penumonia aspirasi, ulkus peptikum, retensi urine, infeksi traktus urinarius, ulkus dekubitus,
thrombosis vena dan thromboemboli.5
Pada temuan klinis didapatkan 3 bentuk tetanus, yaitu tetanus lokal, tetanus sefalik,
dan tetanus umum. Tetanus lokal adalah bentuk tetanus yang masih jarang, hal ini ditandai
dengan adanya kontraksi. Kontraksi otot tersebut mungkin bertahan beberapa minggu
sebelum akhirnya berkurang. Sekitar 1% dari kasus tetanus lokal adalah kasus yang fatal.
Tetanus sefalik adalah bentuk tetanus yang paling jarang, ditandai dengan adanya trismus dan
paralisis dari 1 saraf otak, biasanya munculnya disertai dengan otitis media. Secara klinik
dapat juga ditemukan retraksi kelopak mata, deviasi arah bola mata, risus sardonicus, spasme
otot lidah dan faring. Tipe yang paling sering ditemui (sekitar 80%) adalah tetanus umum.
Tanda pertama dari tetanus adalah trismus atau lock jaw lalu diikuti kaku pada bagian leher
dan kesulitan menelan serta rigiditas abdomen. Gejala lain meliputi suhu tubuh yang
meningkat, berkeringat dan peningkatan tekanan darah. Spasme otot muncul dalam beberapa
menit. Spasme otot berlangsung selama 3-4 minggu. Penyembuhan total mungkin
memerlukan waktu beberapa bulan. Tetanus neonatorum adalah bentuk dari tetanus umum
yang muncul pada bayi baru lahir. Tetanus neonatorum terjadi pada bayi baru lahir yang tidak
memiliki imunitas pasif. Infeksi tetanus biasanya muncul karena tali pusat yang dipotong
secara kurang steril. Faktor resiko lain adalah kurangnya higienitas saat pada perawatan tali
pusat serta rendahnya edukasi pada ibu me genai perawatan tali pusat.1,2,8
DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan
temuan saat pemeriksaan. Keluhan utama yang lazim adalah kejang, anak tidak bisa
membuka mulut, tidak dapat makan (kesulitan mengunyah dan menelan) atau bayi tidak
dapat menyusu. Kejang timbul/ menjadi lebih kuat terkait dengan adanya rangsangan berupa
suara, sinar dan perabaan. Anak belum / tidak lengkap mendapat imunisasi tetanus (DPT)
atau ibu tidak mendapatkan suntikan tetanus toksoid pra kehamilan. Temuan fisis adalah anak
sadar, kejang tonik atau klonik, risus sardonicus, trismus, kaku kuduk, opistotonus,
ekstremitas spastik, otot perut kaku. Kemungkinan dapat ditemukan tempat masuk (port of
entry) dari C. tetani yaitu luka, infeksi telinga gigitan binatang dan perawatan tali pusat yang
tisak aseptik (pada tetanus nepnatorum). Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula,
5

dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang
lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula)
dan hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada
hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif ).
Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka
sangat sulit (hanya 30% positif), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfi
rmasi.4 Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat adalah
meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia temporomandibular
yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani hipokalsemia, histeri, encefalitis,
terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan rabies.2,5
Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus. Skala yang diusulkan Ablett adalah yang
paling banyak digunakan. Ablett membagi pasien menjadi 4 kategori berdasarkan intensitas
spame serta keterlibatan sistem pernafasan dan sistem otonom.7
Tabel 1 Severitas Tetanus Berdasarkan Klasifikasi Ablett
Grade 1 (ringan)
Trismus ringan, spasitas menyeluruh, tidak ada yang membahayakan
respirasi, tidak ada spasme, tidak ada disfagia
Grade 2 (sedang)
Trismus sedang, rigiditas, spasme singkat, disfagia ringan,
keterlibatan respirasi sedang, frekuensi pernapasan > 30
Grade 3 (berat)
Trismus berat, rigiditas menyeluruh, spasme memanjang, disfagia
berat, serangan apneu, denyut nadi > 120, frekuensi pernapasan > 40
Grade 4 (sangat berat)
Grade 3 dengan ketidakstabilan otonom berat
Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang tersedia.
Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas
yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya sedikit penelitian jangka panjang
pada pasien yang berhasil selamat. Pemulihan tetanus cenderung lambat namun sering
sembuh sempurna, beberapa pasien mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang
menetap dan gangguan keseimbangan, berbicara, dan memori. Dukungan psikologis
sebaiknya tidak dilupakan.5

KOMPLIKASI
Laringospasme dan / atau spasme dari otot pernafasan dapat menyebabkan gangguan
nafas. Fraktur tulang belakang atau tulang panjang dapat terjadi disebabkan oleh kontraksi
terus menerus dan kejang. Hiperaktivitas saraf otonom dapat menyebabkan hipertensi dan /
atau gangguan irama jantung. Pada perawatan pasien jangka lama di rumah sakit dapat
menyebabkan infeksi noskomial. Infeksi sekunder dapat berupa sepsis yang terjadi karena
penggunaan kateter, hospital-acquired pneumonia, dan ulkus dekubitus. Emboli pulmonal
adalah masalah yang biasa ditemukan pada lansia. Aspirasi pneumonia adalah komplikasi
yang sering ditemukan (50-70% pada otopsi).1
TATALAKSANA
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber
tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang
(suportif), perawatan luka (bila ada), dan mencegah kekambuhan. Semua kasus tetanus
dirawat di rumah sakit dan ditempatkan di ruang isolasi dan tidak boleh ada rangsangan
berasal dari suara, cahaya, sentuhan, dan lain-lain.5
Membuang Sumber Tetanospasmin
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk mengurangi
muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut. Antibiotika diberikan untuk
mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus secara klinis adalah
minimal. Pada penelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa
pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB
dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif
mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan
penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap
penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).
Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G
100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus
tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis
terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).5
Menetralisasi toksin
Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan.
Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan
7

intramuskuler dengan dosis total 3.000- 10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan
diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG. Rekomendasi
British National Formulary adalah 5.000- 10.000 unit intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah
500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan secara infiltrasi di tempat
sekitar luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin
cepat pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat
hipersensitivitas

terhadap

imunoglobulin

atau

komponen

human

immunoglobulin

sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka digunakan ATS dengan
dosis 100.000- 200.000 unit diberikan 50.000 unit intramuskular dan 50.000 unit intravena
pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada
hari kedua dan ketiga. Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi
immunisasi aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak
memiliki kekebalan.5
Terapi Suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang telah
terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU agar bisa
diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang
dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang.
Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus diberikan,
pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai penuntun terapi.5
Penanganan spasme otot dan kekakuan otot ditangani secara efektif dengan obat
sedatif. Benzodiazepin adalah lini pertama pengobatan, baik diazepam ataupun midazolam
dapat digunakan.7 Untuk dewasa, diberikan diazepam intravena dengan kenaikan 5 mg atau
lorazepam dengan kenaikan 2 mg, titrasi digunakan untuk mengontrol kekakuan otot tanpa
peggunaan sedatif berlebihan dan hipoventilasi (untuk anak-anak, dimulai dengan dosis 0.10.2 mg/kg setiap 2-6 jam, titrasi dapat dinaikkan jika diperlukan). Magnesium sulfat dapat
digunakan sendiri atau sebagai kombinasi dengan benzodiazepin untuk mengontrol spasme
dan disfungsi otonom: 5 mg (atau 75 mg/kgBB) intravena loading dose, lalu 2-3 gram per
jam sampai spasme otot dapat terkontrol. Untuk mencegah overdosis, monitor refleks patela.
Jika dijumpai arefleksia maka dosis harus diturunkan. Selain itu dapat pula digunakan
dantrolene (1-2 mg/kgBB intravena atau peroral setiap 4 jam), barbiturat, lebih dipilih yang
short-acting (100-150 mg setiap 1-4 jam pada dewasa, 6-10 mg/kgBB pada anak-anak,
8

dengan jalan apapun), dan chlorpromazine (50-150 mg secara intramuscular setiap 4-8 jam
pada dewasa, 4-12 mg secara intramuskular setiap 4-8 jam pada anak).9
Untuk mengontrol disfungsi otonom dapat digunakan magnesium sulfat atau atropin.
bloker seperti propanolol dulu digunakan namun karena menimbulkan hipotensi dan
kematian mendadak, hanya esnmalol yang belakangan direkomendasikan.9
Obat yang digunakan untuk mengurangi spasme dan berefek sedasi dapat
menimbulkan distres respirasi sehingga jalan nafas harus selalu dikontrol, dapat
menggunakan ventilasi mekanik bila tersedia. Jika tidak tersedia maka pasien harus dimonitor
secara hati-hati dan pemberian obat harus disesuaikan agar memberikan efek maksimal dalam
menekan spasme dan disfungsi ototnom namun menghindari terjadinya gagal nafas. Jika
spasme, termasuk spasme laring menghambat atau mengancam ventilasi adekuat, ventilasi
mekanik direkomendasikan jika memungkinkan. Trakeostomi disarankan karena endotrakeal
tube dapat memicu timbulnya spasme dan mengganggu jalan nafas. Pemberian cairan dan
nutrisi secara adekuat harus dilakukan mengingat spasme tetanus mengakibatkan metabolic
demand yang tinggi dan catabolic state. Pemberian nutrisi yang baik akan meningkatkan
survival rate.9

VAKSINASI TETANUS
Menanggapi inisiatif global untuk mengeliminasi tetanus neonatorum, Indonesia
mengadopsi tiga pendekatan imunisasi untuk memberikan perlindungan terhadap tetanus bagi
ibu dan bayinya.4
Jangka pendek: dosis Tetanus Toxoid (TT) untuk ibu hamil diberikan pada imunisasi rutin
saat pelayanan antenatal, dan TT dosis calon pengantin diberikan pada perempuan yang mau
atau baru menikah.
Jangka panjang: 3 dosis vaksin Difteri Pertusis Tetanus (DPT3) diberikan pada bayi
melalui imunisasi rutin, satu dosis ulangan/penguat vaksin Tetanus dalam bentuk vaksin
Difteri Tetanus (DT) diberikan kepada siswa kelas satu sekolah dasar, dan satu dosis
ulangan/penguat vaksin Tetanus dalam bentuk vaksin Td diberikan kepada siswa kelas 2 dan
3. Karena cakupan DPT3 telah 70% sejak 1996, dan cakupan anak masuk sekolah dasar
telah > 90% untuk anak perempuan dan anak laki-laki sejak tahun 1990, strategi ini
memberikan perlindungan tetanus untuk seluruh penduduk sampai usia dewasa muda ( 20
tahun).

Strategi jangka panjang ETN (Eliminasi Tetanus Neonatorum) telah dilakukan melalui
pelayanan dasar pada bayi serta BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah). Namun dengan
hanya mengandalkan strategi ini kelompok yang terlindungi hanya usia dibawah 16 tahun
sehingga pencapaian ETN akan menjadi lama. Untuk itu diperlukan akselerasi (percepatan)
imunisasi TT WUS khususnya di wilayah risiko tinggi sebagai strategi jangka pendek.
Akselerasi: tiga putaran imunisasi tambahan dengan sasaran wanita usia subur (15-39
tahun) di daerah dimana cakupan imunisasi TT dan persalinan bersih rendah. Pelaksanaan
komponen ini dimulai tahun 1996 dengan tiga putaran imunisasi tambahan di 105 dari 324
kabupaten yang diidentifikasi sebagai daerah berisiko tinggi untuk TN5.
Pemilihan strategi akselerasi di Indonesia telah diakui oleh UNICEF sebagai alternatif
utama pencapaian ETN. Oleh sebab itu UNICEF bersedia membantu kegiatan operasionalnya
di daerah risiko tinggi. Guna mewujudkan kegiatan ini sangat diperlukan perencanaan yang
seksama sehingga tidak ada satupun daerah risiko tinggi yang tertinggal untuk diintervensi.
Pemberian imunisasi TT sebanyak 5 dosis dengan minimal interval tertentu telah menjadi
target yang harus dipenuhi. Diyakini bahwa dengan telah makin baiknya akses pelayanan
kesehatan, rata-rata setiap WUS telah memperoleh imunisasi minimal 3 kali. Dengan
demikian output yang ingin dicapai adalah melengkapi setiap WUS memperoleh 5 dosis serta
mengurangi proporsi WUS yang masih memiliki status TT kurang dari 3.4

10

DAFTAR PUSTAKA
1. CDC. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases, 2015. MMWR
2015. 13: 341-51.
2. Widagdo. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Infeksi pada Anak. Jakarta: CV Sagung
Seto; 2011.
3. Soedarma S, Gama H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Infeksi dan Pediatri Tropis.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. p 322-29.
4. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Eliminasi Tetanus Maternal dan
Neonatal (MNTE) di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2012
5. Laksmi NKS. Penatalaksanaan Tetanus. CDK-222 vol 41 no 11.. 2014.
6. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku Ajar Pediatri. Jakarta: EGC; 2006. p
686-88.
7. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are & pain. Vol. 6
No.

3.

[Internet].

2006

[cited

2013

Oct

20].

Available

from:

http://www.ceaccp.oxfordjournals.org content/6/4/164.3.full.pdf
8. Gomes AP, de freitas BAC, Rodrigues DC, da Silveira GL, Tavares W, SiqueiraBatista R. Clostridium tetani infection in newborn infants: a tetanus neonatorum
review. Rev Bras Ter Intensiva. 2011; 23(4): 484-91.
9. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian
emergencies. WHO Tech Note. [Internet]. 2010 [cited 2013 Oct 20]. Available at:
http://www.whqlibdoc. who.int/hq/2010/WHO_HSE_GAR_DCE_2010.2_eng.pdf.

11

You might also like