You are on page 1of 29

Refrat

ASPEK GENETIK DIABETES MELITUS TIPE 2

Oleh:
Christian Andrew Darian Sianipar

04054821618096

Pembimbing:
dr. Yulianto Kusnadi, Sp.PD, K-EMD
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016

HALAMAN PENGESAHAN

Refrat

Judul
ASPEK GENETIK DIABETES MELITUS TIPE 2

Oleh:
Christian Andrew Darian Sianipar
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Palembang,

Juni 2016

dr. Yulianto Kusnadi, Sp.PD, K-EMD

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan, yang telah melimpahkan berkat dan
karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan refrat yang berjudul ASPEK
GENETIK DIABETES MELITUS TIPE 2. Refrat ini merupakan salah satu
syarat mengikuti ujian pada Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Yulianto Kusnadi,
Sp.PD, K-EMD selaku pembimbing dalam penulisan refrat ini, serta kepada semua
pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam refrat ini. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberi ilmu
dan manfaat bagi yang membacanya.

Penyusun

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................
ii
KATA PENGANTAR........................................................................................................
iii
DAFTAR ISI......................................................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................
3
BAB III KESIMPULAN...................................................................................................
22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
23

BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) tipe 2merupakan tipe diabetes terbanyak di dunia sekitar
9095% (ADA, 2015). Menurut World Health Organization (2014), prevalensi
diabetes melitus secara global mencapai sekitar 9% pada kelompok umur lebih dari
18 tahun. Di Indonesia, prevalensi diabetes melitus sekitar 8,7% pada kelompok umur
lebih dari 18 tahun. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI (2014),
prevalensi penduduk yang didiagnosis menderita dan diduga menderita diabetes
melitus di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2013 sekitar 1,3% pada kelompok
umur lebih dari 15 tahun. Komplikasi-komplikasi diabetes melitus tipe 2 yang dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas, antara lain, krisis hiperglikemia,
hipoglikemia, neuropati, nefropati, retinopati, kaki diabetik, dan penyakit
kardiovaskular(Markum dan Galastri, 2004).
Telah lama diketahui bahwa diabetes mellitus tipe 2 memiliki komponen genetik
yang

diturunkan. Studi keluarga menunjukkan bahwa relatif derajat satu dari

individual yang memiliki diabetes melitus tipe 2 kira-kira memiliki resiko tiga kali
lebih besar untuk mengembangkan penyakit ini dibandingkan individual tanpa
riwayat keluarga yang positif.Telah didapatkan juga bahwa tingkat konkordansi
penyakit ini pada bayi kembar monozigot, yang memiliki rentang 70-90%, lebih
tinggi dibandingkan pada bayi kembar dizigot.Data-data tersebut memberikan dasar
dan bukti yang kuat mengenai adanya peran genetik yang signifikan pada penyakit
ini.
Ada lebih dari 50 kandidat gen untuk diabetes mellitus tipe 2 yang diteliti pada
populasi yang berbeda-beda di seluruh dunia. Kandidat-kandidat gen ini dipilih
karena mereka diduga memiliki peran pada fungsi sel beta pancreas, aksi insulin
ataupun metabolism glukosa dan kondisi-kondisi metabolik lainnya

yang

meningkatkan risiko diabetes tipe 2 (seperti metabolisme lipid atau yang


berhubungan dengan intake dan penggunaan energi).Namun, hasil yang didapatkan

untuk semua kandidat gen masih kontroversial.Hal ini dapat disebabkan karena
kecilnya ukuran sampel yang diteliti, perbedaan kerentanan diabetes tipe 2 pada tiap
etnis, variasi faktor lingkungan serta interaksi gen dan lingkungan yang berbedabeda.Beberapa kandidat gen yang dianggap signifikan adalah PPAR, ABCC8,
KCNJ11 danCALPN10 (WHO, 2014).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi
Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit metabolik menahun yang terjadi pada
onset umur 50 tahun dan 60 tahun dengan berkurangnya insulin, resistensi insulin,
atau keduanya (ADA, 2014; Dorland, 2006).
2.1.2 Epidemiologi
Diabetes melitus tipe 2 merupakan tipe diabetes terbanyak di dunia sekitar 90
95% (ADA, 2015). Menurut World Health Organization (2014), prevalensi
diabetes melitus secara global sekitar 9% pada kelompok umur lebih dari 18 tahun.
Prevalensi diabetes melitus di Amerika Serikat pada tahun 2012 mencapai 29,1 juta
orang atau 9,3% dari populasi Amerika Serikat (CDC, 2014). Di Indonesia,
prevalensi diabetes melitus sekitar 8,7% pada kelompok umur lebih dari 18 tahun.
Pada tahun 2000, jumlah pasien diabetes di Indonesia sekitar 8.426.000 orang.
Jumlah ini akan bertambah menjadi 21.257.000 orang pada tahun 2030 (WHO,
2014).
2.1.3 Etiologi
Diabetes melitus tipe 2 dapat terjadi akibat dari resistensi insulin yang
dominan bersama dengan gangguan sekresi insulin atau sebaliknya (Powers, 2008;
PERKENI,

2015).

Penyebab

resistensi

insulin

adalah

obesitas,

kelebihan

glukokortikoid, kelebihan hormon pertumbuhan, policystic ovary syndrome,


kehamilan, mutasi reseptor insulin, dan mutasi PPAR-
Activator Receptor) (Ozougwu dkk, 2013).

(Peroxisome Proliferator

2.1.4 Faktor Resiko


Faktor risiko diabetes melitus tipe 2 dapat dibagi menjadi faktor risiko
biologis yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko tambahan yang dapat
dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, antara lain usia di atas 40
tahun riwayat diabetes melitus pada keluarga. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi,
antara lain dislipidemia,hipertensi, kebiasaan merokok, obesitas, diet tidak seimbang,
dan kurangnya aktivitas fisik (ADA, 2015; Kemenkes RI, 2014).
2.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi diabetes melitus tipe 2 terjadi dalam beberapa mekanisme, yaitu
gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, produksi glukosa hepar berlebihan, dan
metabolisme lemak yang abnormal.
1. Metabolisme Lemak yang Abnormal
Obesitas merupakan salah satu penyebab DM tipe 2. Meningkatnya massa
adiposit menyebabkan sirkulasi free fatty acid (FFA) dan produk sel lemak lain
meningkat. Adiposit mensekresikan beberapa produk biologis seperti FFA, leptin,
TNF alfa, resistin, adiponektin, dan retinol binding protein 4. Peningkatan FFA dan
adipokin menyebabkan resistensi insulin di otot skeletal dan hepar. Free fatty acid
menggangu penggunaan glukosa di otot skeletal, menggangu fungsi sel Beta, dan
meningkatkan glukosa di hepar. Selain itu, produk adiposit dan adipokin
menyebabkan inflamasi yang ditandai dengan meningkatnya IL-6 dan C-reactive
protein. Pada orang obesitas, produksi adiponektin berkurang. Adiponektin berperan
dalam meningkatkan sensitivitas insulin (Powers, 2008).
2. Gangguan Sekresi dan Resistensi Insulin
Obesitas dan riwayat keluarga diabetes melitus (genetik) dapat menyebabkan
terjadinya resistensi insulin. Resistensi insulin yang terjadi meningkatkan sekresi
insulin. Gangguan sekresi insulin dapat disebabkan karena defek genetik yang
menyebabkan gagalnya sel Beta. Penyandang DM tipe 2 yang lama dapat ditemukan
adanya deposit fibrilar amiloid di sel Beta. Selain genetik, faktor lingkungan juga ikut

berperan negatif pada fungsi islet. Hiperglikemia kronis menganggu fungsi islet dan
memperparah hiperglikemia. Kontrol glikemik yang baik berhubungan dengan
peningkatan fungsi islet. Selain itu, peningkatan asam lemak bebas dan diet lemak
dapat memperparah fungsi islet (Powers, 2008).
3. Meningkatnya Produksi Glukosa Hepar dan Lipid
Resistensi insulin di hati menandakan gagalnya hiperinsulinemia untuk menekan
glukoneogenesis dimana terjadi penurunan penyimpanan glikogen oleh hati pada fase
postprandial. Peningkatan produksi glukosa hepar terjadi di awal diabetes setelah
terjadi gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin di otot skeletal. Sebagai hasil
dari resistensi insulin di jaringan adiposa dan obesitas, terjadi peningkatan FFA keluar
dari adiposit, dan peningkatan sintesis lemak (VLDL atau very low density
lipoprotein dan trigliserida) di hepatosit. Penyimpanan lemak yang berlebih di hepar
dapat menjadi nonalcoholic fatty liver disease dan didapatkan tes fungsi hepar yang
abnormal. Jadi, dapat ditemukan dislipidemia pada DM tipe 2 dimana terjadi
peningkatan trigliserida, berkurangnya high-density lipoprotein (HDL), dan
meningkatnya partikel small dense low-density lipoprotein (LDL) (Powers, 2008).
2.1.6 Manifestasi Klinik
Gejala-gejala klasik yang biasanya terjadi pada penyandang DM adalah
poliuria, poliphagia, polidipsi, dan penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas.
Selain itu, gejala tambahan lain yang juga bisa terjadi pada penyandang DM adalah
lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulvae pada wanita (PERKENI, 2015).
2.1.7 Diagnosis
Seseorang didiagnosis menderita diabetes melitus jika mengalami keluhan
diabetes dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah yang abnormal. Keluhan diabetes
terdiri dari dua, yaitu keluhan klasik dan keluhan lain. Yang termasuk keluhan klasik
adalah poliuria, polifagia, polidipsi, dan penurunan berat badan yang tidak jelas

sebabnya. Sedangkan, yang termasuk keluhan lain adalah lemah badan, kesemutan,
gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
(PERKENI, 2015).
Diagnosis DM dapat ditegakkan jika memenuhi salah satu kriteria dari empat
kriteria yang direkomendasikan, antara lain glukosa plasma puasa lebih dari sama
dengan 126 mg/dl, hasil pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) lebih dari
sama dengan 200 mg/dl, pasien dengan gejala klasik DM yang memiliki hasil
pemeriksaan glukosa plasma sewaktu lebih dari 200 mg/dl, dan kadar A1c lebih dari
sama dengan 6,5% jika dilakukan sesuai baku standarisasi (ADA, 2015; PERKENI,
2015).
2.1.8 Penatalaksanaan
Pasien DM tipe 2 perlu ditangani dengan tatalaksana yang benar dan
sistematik.Tatalaksana DM tipe 2 dapat dilakukan dengan edukasi, terapi gizi medis,
latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Pertama, edukasi yang penting bagi
penyandang DM tipe 2 adalah pentingnya perubahan pola gaya hidup dan perilaku
sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan
khusus.

Kedua,

terapi

gizi

medis

penting

bagi

penyandang

diabetes

melitus.Penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam


hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.Komposisi makanan yang
dianjurkan terdiri dari karbohidrat 4565%, protein 1020%, dan lemak 2025%
dari jumlah kebutuhan kalori. Makanan yang baik adalah mengandung serat yang
tinggi (sayuran dan buah), sukrosa tidak melebihi 5% kebutuhan energi, membatasi
makanan lemak jenuh dan trans seperti daging berlemak dan susu. Sedangkan,
batasan asupan nutrisi yang lain adalah natrium kurang dari 2300 mg per hari. Ketiga,
pengelolaan DM tipe 2 yang baik adalah melakukan latihan jasmani secara teratur (3

4 kali dalam seminggu selama 30 menit).Hal ini untuk menurunkan berat badan
dan memperbaiki sensitivitas insulin.Keempat, pengobatan DM tipe 2 dapat
dilakukan dengan memberi golongan obat hipoglikemia oral (OHO) atau suntik
insulin.Pemilihan obat hipoglikemia oral pada lini pertama menggunakan metformin
sebagai obat monoterapi. Selanjutnya, jika tidak mencapai kadar glukosa optimal,
pemilihan obat hipoglikemia diganti menjadi lini kedua, yaitu kombinasi obat
metformin dengan golongan OHO lain (ADA, 2014; PERKENI, 2015).

Gambar 1.Terapi Antihiperglikemik pada DM Tipe 2.


Sumber: American Diabetes Association. 2014. Standards of Medical
Care in Diabetes 2014. Diabetes Care. 37(1): 27.

2.1.9 Komplikasi
Secara umum, komplikasi diabetes dapat dibagi menjadi dua, yaitu
komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.Komplikasi makrovaskular
yang dapat terjadi adalah berbagai penyakit kardiovaskular.Sedangkan,
komplikasi

yang

dapat

terjadi

adalah

nefropati,

retinopati,

dan

neuropati.Komplikasi diabetes melitus juga dapat mengakibatkan komplikasi


pada ekstremitas bawah atau kaki diabetik (Fowler, 2011).Selain itu, diabetes
juga dapat mengakibatkan komplikasi akut berupa ketoasidosis diabetik
(Powers, 2008).
2.1.10 Prognosis
Prognosis DM tipe 2 tergantung dari kontrol glikemik, pola hidup, dan
perilaku hidup sehat. Kontrol glikemik yang baik adalah menjaga kadar HbA1c di
bawah 7,0%. Jika tidak ditatalaksana dengan baik, penyandang DM tipe 2 dapat
mengalami komplikasi DM (Powers, 2008; PERKENI, 2015; ADA, 2015). Menurut
Kemenkes RI (2014), komplikasi yang biasanya terjadi di RSCM adalah 54%
neuropati diabetik, 33,4% retinopati diabetik, 26,5% nefropati diabetik, dan 8,9%
kaki diabetik.

2.2 Aspek Genetik Diabetes Melitus tipe 2


2.2.1 Gen-gen terkait Diabetes Melitus tipe 2
World Health Organization (WHO) dalam laporannya pada tahun 2014,
menyatakan bahwa menurut analisis mereka terdapat empat kandidat gen yang
berbeda yang dianggap memiliki implikasi terbesar dalam perjalanan penyakit
diabetes melitus tipe 2, yakni PPAR, ABCC8, KCNJ11 dan CALPN10.

Tabel 1. Kandidat Gen terkait Diabetes Melitus tipe 2


Sumber: World Health Organization (WHO), 2014
Beberapa gen yang telah disebutkan di atas merupakan target dari obat yang
secara rutin digunakan untuk pengobatan diabetes melitus tipe 2. Hal tersebut
membuat adanya implikasi farmakogenetik untuk mempertahankan control gula
darah yang baik. Respon terhadap terapi hipoglikemik mungkin berkaitan dengan
genotip yang dimiliki oleh seorang individu. Oleh karena itu, uji genetik tidak hanya
akan membantu untuk menentukan siapa yang memiliki risiko tinggi untuk
mengembangkan penyakit diabetes melitus tipe 2, tetapi juga bermanfaat untuk
menentukan regimen terapinya.
Makalah ini akan berfokus pada gen Peroxisome Proliferator-activated
Receptor- (PPAR).
2.2.1.1 Peroxisome Proliferator-activated Receptor- (PPAR)
Gen ini telah dipelajari secara ekstensif karena perannya yang penting pada
adiposit dan metabolisme lipid. Gen ini juga merupakan sebuah target obat
hipoglikemik yang dikenal sebagai thiazolidinedion. Satu bentuk dari gen

PPARmenurunkan sensitivitas insulin dan meningkatkan risiko diabetes tipe 2


beberapa kali lipat. Varian ini sangat sering ditemukan pada kebanyakan populasi
dunia.Setidaknya 98% orang Eropa membawa setidaknya satu alel Pro dalam susunan
gennya.Oleh karena itu, gen varian ini cenderung berkontribusi terhadap kejadian
diabetes tipe 2, khususnya pada Kaukasian (WHO, 2014).
2.2.1.2 ATP Binding Cassette, subfamily C, member 8(ABCC8) dan Potassium
Channel, Inwardly Rectifying, subfamily J, member 11 (KCNJ11)
Gen ABCC8 mengode subunit high-affinity sulfonylurea receptor (SUR1)
yang bertautan dengan subunit Kir6.2 yang dikode oleh gen KCNJ11. Kedua gen ini
adalah bagian dari kanal potassium sensitive ATP, yang memiliki peran penting untuk
mengatur pelepasan hormone insulin dan glucagon di sel beta pancreas. Mutasi pada
salah satu gen dapat mempengaruhi aktivitas kanal potassium dan sekresi insulin,
yang akhirnya akan berujung pada perkembangan penyakit diabetes melitus tipe 2.
Hal yang menarik adalah gen ABCC8 dan KCNJ11 hanya terpisah 4.5 kb satu sama
lain, dan tidak jauh dari gen INS. Varian dari gen-gen ini yakni KCNJ11 (Lys) dan
ABCC8 (Ala) telah ditemukan memiliki hubungan dengan diabetes melitus tipe 2 dan
kelainan terkait diabetes lainnya. Karena dekatnya lokasi gen-gen ini, studi saat ini
berfokus pada evaluasi apakah gen-gen ini bekerja sama atau independen satu sama
lain dalam meningkatkan kerentanan individu terhadap diabetes melitus tipe 2 (WHO,
2014).
2.2.1.3 Calpain 10 (CAPN10)
Gen CAPN10 mengode sebuah protease sistein intraseluler tergantung
kalsium yang dihasilkan di seluruh tubuh. Sebuah haplotype yang awalnya dikaitkan
dengan diabetes melitus tipe 2 adalah mutasi intronik pada posisi 43 dari basa A
menjadi G, yang didapatkan berkaitan dengan transkripsi CAPN10. Dua buah
polimorfisme asam amino (Thr504Ala dan Phe200Thr) juga telah didapatkan
berhubungan dengan risiko diabetes tipe 2.Namun, telah dipaparkan bahwa

1
0

polimorfisme coding dan non-coding tidak mempengaruhi risiko diabetes melitus tipe
2 secara independen.Studi fisiologis menemukan bahwa variasi pada aktivitas calpain
10 mempengaruhi sekresi insulin, sehingga memodulasi kerentanan terhadap diabetes
tipe 2. Studi dari grup etnis yang berbeda mengindikasikan bahwa kontribusi gen ini
terhadap peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2 mungkin lebih signifikan pada
populasi Meksiko-Amerika dibanding populasi Kaukasian (WHO, 2014).
2.2.2 Peroxisome Proliferator-activated Receptor (PPAR)
2.2.2.1 Definisi, Klasifikasi dan Ligan Peroxisome Proliferator-activated
Receptor (PPAR)
Peroxisome proliferator-activated receptor(PPAR) adalah faktor transkripsi
yang diaktivasi oleh ligan yang mengatur gen dengan peran penting pada proses
diferensiasi sel dan berbagai proses metabolik, khususnya homeostasis lipid dan
glukosa. Secara molekular, PPAR adalah suatu reseptor inti sel. Setelah berinteraksi
dengan ligan spesifik, reseptor akan bertranslokasi ke dalam nukleus, dimana akan
terjadi perubahan struktur hingga dapat memodulasi transkripsi gen (Blaschke, 2006).
PPAR memiliki tiga isoform, yaitu PPAR, PPAR/ dan PPAR. Ketiga
isotope ini berbeda satu sama lain secara distribusi jaringan, spesifisitas ligand an
peran fisiologisnya. Masing-masing memiliki aktivitas yang independen satu sama
lainnya, mengaktivasi atau menekan gen yang berbeda dengan sedikit tumpang tindih
pada aktivitasnya. Tiap isoform berpartisipasi dalam homeostasis lipid dan regulasi
glukosa.PPAR banyak diekspresikan pada jaringan dengan aktivitas metabolic yang
tinggi, seperti hati, jantung, otot rangka, mukosa intestinal dan jaringan adipose
coklat. PPAR berimplikasi pada metabolisme asam lemak dan aktivasinya akan
menurunkan kadar lipid tubuh. PPAR diekspresikan pada jaringan adiposa putih dan
coklat, intestin besar dan limpa.Namun ekspresinya ditemukan paling banyak pada
adiposit dan hal tersebut memiliki peran penting dalam pengaturan adipogenesis,
keseimbangan energi dan biosintesis lipid.PPAR juga berpartisipas dalam
metabolisme lipoprotein dan sensitivitas insulin.Isoform yang terakhir dan yang

1
1

paling sedikit dipelajari adalah PPAR/. PPAR/ sebenarnya diekspresikan di


semua jaringan, namun paling banyak ditemukan di hati, intestin, ginjal, jaringan
adiposa abdominal dan otot rangka. Reseptor ini berpartisipasi dalam proses oksidasi
asam lemak, yang utamanya terjadi di otot rangka dan otot jantung, mengatur
konsentrasi kolesterol darah dan kadar glukosa.
Banyak agonis alami dan sintetik dari PPAR digunakan dalam terapi
gangguan glukosa dan lipid.PPAR melakukan aktivitas yang berbeda-beda, dengan
menggunakan ligan endogen yang diproduksi dari jalur metabolik asam lemak;
sehingga PPAR disebut sebagai sensor lipid.Agonis PPAR memiliki karakteristik dan
spesifisitas yang berbeda-beda untuk tiap isotipenya, berbeda secara absorpsi dan
distribusi serta berbeda secara profil ekspresi gen, sehingga berujung kepada keadaan
klinis yang berbeda pula.PPAR memiliki karakteristik yang khas untuk sebuah
reseptor inti sel, yakni ruang untuk pertautan ligannya yang bisa 3-4 kali lebih besar
dari reseptor inti sel lainnya.Oleh karena itu, PPAR memiliki kemampuan untuk
mengakomodasi dan mengikat asam lipofilik alami maupun sintetik yang bervariasi,
termasuk asam lemak esensial. Asam lemak ini bertindak sebagai agonis PPAR yang
pada gilirannya akan mentranskrip gen yang berperan dalam homeostasis lipid dan
glukosa. Tidak hanya asam lemak esensial, eikosanoid juga merupakan ligan untuk
PPAR.Walaupun demikian, keduanya harus ada dalam konsentrasi yang relatif tinggi
untuk dapat mengaktivasi PPAR. Ligan sintetik yang sering digunakan dalam praktek
klinis adalah fibrat untuk terapi kondisi dyslipidemia dan thiazolidinedione untuk
terapi diabetes melitus (Grygiel-Grniak, 2014).
2.2.2.2 Fisiologi Peroxisome Proliferator-activated Receptor (PPAR)
PPAR memiliki struktur yang sama dengan reseptor inti sel lainnya. PPAR
memiliki sebuah ujung NH2 dengan domain transaktivasi yang independen ligan (AF1), diikuti dengan sebuah domain yang dapat mengikat DNA (terdiri dari dua jari
zinc) dan pada ujung COOH terdapat domain ligan dan dimerisasi serta sebuah
domain aktivasi yang tergantung ligan (AF-2) (P. Ferre, 2004).

1
2

Gambar 2. Struktur Dasar PPAR


Sumber: P. Ferre, 2004
PPAR berikatan dengan sebuah region pada DNA yang disebut dengan
peroxisome proliferator response element(PPRE) sebagai sebuah heterodimer obligat
dengan 9-cis-retinoic acid receptor (RXR).PPAR tidak bisa berikatan dengan PPRE
sebagai monomer. Ketika ikatan antara PPAR dan PPRE terjadi, modulasi tranksripsi
gen terkait akan terjadi.
Lemak pada mamalia dapat dibentuk secara endogen, dengan menggunakan
lipid, karbohidrat atau asam amino.Namun sumber utama lemak pada mamalia adalah
absorpsi langsungnya dari sumber diet. Setelah terjadi absorpsi dari lumen usus oleh
sel-sel vili intestinal, yang pada awalnya akan membutuhkan hidrolisis trigliserida di
lumen dan reesterifikasi sel epitel, lipid kemudian akan ditransport ke sirkulasi umum
melalui limfe sebagai kilomikron yang komposisi utamanya adalah trigliserida,
kolesterol dan lipoprotein. Sebuah enzim ekstraseluler, lipoprotein lipase, yang
terletak pada permukaan sel endotel vaskular, menghidrolisis komponen trigliserid
dari kilomikron, sehingga mengantarkan asam lemak ke target sel. Sisa-sisa

1
3

kilomikron, yang kaya akan kolesterol, masuk ke dalam hepatosit lewat proses
endositosis atau seletah hidrolisis oleh lipase hepar. Asam lemak lain yang ada dalam
peredaran darah sifatnya tidak teresterifikasi dan kebanyakan berikatan dengan
albumin serum. Asam lemak ini kebanyakan berasal dari jaringan adiposa dimana
mereka dilepaskan ke peredaran saat ada stimulasi lipolisis, seperti yang dicetuskan
oleh efek enzim katekolamin atau glukagon.Nasib dari asam lemak dalam hepar
sangatlah dependen terhadap status energi dari organisme itu sendiri.Jalur
reesterifikasi, yang berujung pada pelepasan trigliserida ke dalam sirkulasi sistemik
dalam bentuk very low density lipoprotein (VLDL), terjadi utamanya pada saat
karbohidrat dan asam lemak sangat banyak.Konten asam lemak dari VLDL diambil
oleh jaringan adiposa untuk penyimpanan. Sebaliknya, ketika kadar asam lemak
plasma tinggi dan karbohidrat rendah, jalur oksidatif berakibat pada produksi dan
sekresi badan keton yang fungsinya adalah sebagai bahan makanan otak, otot, ginjal
dan organ perifer lainnya saat aktivitas berat, kelaparan atau pada kondisi gangguan
metabolik lainnya. Oleh karena itu, hepar dapat mengontrol kadar dari tiga bentuk
lemak yang bersirkulasi, yakni asam lemak yang tidak diesterifikasi, trigliserid dan
badan keton dengan memodulasi laju uptake asam lemak, esterifikasi menjadi
trigliserida dan proses oksidasi. Jaringan adiposa merupakan situs lain yang memiliki
peran penting dalam jalur regulasi dan cross-talk hormonal homeostasis metabolisme
lipid. Beberapa target gen PPAR yang terkait pada jalur-jalur yang telah disebutkan,
mulai dari vili intestinal sampai ke adiposit, telah diidentifikasi (Desvergne dan
Wahli, 1999).

1
4

Tabel 2. Target Gen PPAR yang Telah Diidentifikasi


Sumber: Desvergne dan Wahli, 1999

2.2.2.3 Polimorfisme Pro12Ala Gen Peroxisome Proliferator-activated Receptor2 (PPAR2)


Gen PPAR terletak pada kromosom 3p25. Sejumlah varian genetik pada gen
PPAR telah diidentifikasi. Beberapa diantaranya adalah mutasi dengan pertambahan
fungsi (Pro115Gln) yang diasosiasikan dengan obesitas tapi tidak dengan resistensi
insulin, dua mutasi dengan hilangnya fungsi (Val290Met dan Pro467Leu) yang
dilaporkan terjadi pada individu dengan resistensi insulin sangat berat namun
memiliki berat badan yang normal, mutasi yang sifatnya silent (CAC478CAT) dan
polimorfisme yang sangat prevalen yakni Pro12Ala. Polimorfisme Pro12Ala gen
PPAR adalah hasil dari mutasi missense CCA menjadi GCA pada kodon ke-12 ekson
B gen PPAR. Ekson ini mengode residu NH2 terminal yang menjadi karakteristik
isoform PPAR2 spesifik adiposit (M. Stumvoll dan H. Haring, 2002).

1
5

Gambar 3. Variasi Genetik PPAR


Sumber: M. Stumvoll dan H. Haring, 2002
Pada suatu penelitian sebelumnya, telah dibuktikan bahwa varian Ala dari
PPAR ini akan menyebabkan kurangnya pertautan reseptor ini dengan PPARresponsive DNA elements. Selain itu, berkurangnya transkripsi untuk gen-gen spesifik
(lipoprotein lipase dan acyl-CoA oksidase) juga dilaporkan pada sel-sel yang
mengekspresikan PPAR varian Ala dibandingkan dengan protein wild-typenya.Studi
ini secara jelas mengindikasikan berkurangnya aktivitas transkripsional dari PPAR
ketika terjadi pertukaran asam amino Pro menjadi Ala pada urutan asam amino ke-12
(M. Stumvoll dan H. Haring, 2002). Alel Ala12, yang menyebabkan penurunan
aktivitas transkripsi PPAR2, diasosiasikan dengan peningkatan sensitivitas
insulin.Data dari model murin mendukung temuan ini. Pada tikus yang memiliki gen
heterozigot untuk alel Pro12Ala terjadi pencegahan hipertrofi adiposit, peningkatan
pembakaran asam lemak dan berkurangnya lipogenesis yang ujungnya akan
meningkatkan sensitivitas insulin dengan penambahan efek hipoglikemik dan supresi
produksi glukosa. Tidak hanya itu, tikus-tikus ini juga menunjukkan kadar gula darah

1
6

puasa yang lebih rendah dan peningkatan kadar serum adiponektin dan leptin
(Ghoussaini et al., 2005).
Telah didapatkan juga bukti yang menyatakan bahwa alel Ala12
meningkatkan tingkat aktivitas insulin pada penekanan proses lipolisis sehingga
terjadi penurunan kadar FFA.Pada individu dengan alel ini, agen yang dapat
mengaktivasi PPAR telah didemonstrasikan dapat menginduksi diferensiasi
preadiposit menjadi adiposit kecil, dan pada adiposit kecil lipolisis lebih sensitif
insulin dibandingkan pada adiposit besar.Boden et al. melaporkan bahwa
berkurangnya ketersediaan FFA dalam aliran darah akan menyebabkan otot rangka
untuk lebih banyak mengutilisasi glukosa dan heparakan menekan efek
gluconeogenesis dengan lebih efisien pada stimulasi insulin. Selain itu, terjadi alterasi
pada distribusi lemak, dimana lemak akan lebih didistribusikan pada jaringan
subkutan dibandingkan pada organ viseral, sebagai hasil dari polimorfisme ini. Oleh
karena jaringan adiposa viseral secara metabolik lebih berbahaya, alel Ala diduga
memiliki efek protektif pada sindroma metabolik (M. Stumvoll dan H. Haring, 2002).
Selain asam lemak, jaringan adiposa juga melepaskan sejumlah hormon
peptida yang mempengaruhi sensitivitas insulin, termasuk diantaranya adalah tumor
necrosis factor alfa (TNF alfa), resistin dan adiponektin.Walaupun bukti bahwa TNF
alfa dan resistin memiliki efek desensitisasi insulin pada manusia masih kurang kuat,
konsentrasi

adiponektin

jelas

berkorelasi

positif

dengan

sensitivitas

insulin.Adiponektin menurun seiring dengan bertambah buruknya toleransi glukosa


dan meningkat setelah ada penurunan berat badan. Studi lain juga memaparkan
bahwa administrasi intravena adiponektin rekombinan terhadap model tikus dengan
resistensi insulin mengembalikan sensitivitas insulin normalnya. Oleh karena ketiga
peptida ini transkripsinya diregulasi oleh PPAR, salah satunya dapat memperantarai
efek polimorfisme Pro12Ala pada gen ini terhadap sensitivitas insulin(M. Stumvoll
dan H. Haring, 2002).

1
7

2.2.2.4 Dampak Polimorfisme Pro12Ala Gen Peroxisome Proliferator-activated


Receptor-2 (PPAR2) terhadap Obesitas
Hasil yang kontroversial ditemukan pada studi-studi yang menghubungkan
polimorfisme gen ini dengan kejadian obesitas. M. Mato et al. pada tahun 2016
melaporkan hasil penelitiannya mengenai hubungan antara polimorfisme Pro12Ala
gen PPAR2 dan obesitas pada populasi Kamerun dengan total sampel sebesar 120
orang. Pada populasi studi ini didapatkan absennya alel Ala12. Hasil ini konsisten
dengan temuan-temuan sebelumnya dimana alel Ala12 umumnya tidak ditemukan
atau jarang sekali pada populasi Afrika hitam tipikal. Hasil yang tidak signifikan
ditemukan sehingga diimplikasikan polimorfisme gen ini tidak berhubungan dengan
kejadian obesitas pada populasi studi ini. Hasil yang bertentangan ditemukan pada
studi dengan tema yang sama di negara Brazil dan Indonesia. Mattevi et al. pada
tahun 2007 mempublikasikan hasil studinya yang meneliti hubungan polimorfisme
gen PPAR2 dengan obesitas pada populasi negara Brazil. Total sampel yang
digunakan sebanyak 335 yang berdomisili di negara Brazil dengan garis keturunan
Eropa. Hasil yang didapatkan adalah adanya hubungan yang signifikan antara alel
Ala12 polimorfisme gen ini terhadap obesitas. Namun, hal ini hanya diobservasi pada
sampel dengan jenis kelamin laki-laki saja. Pada perempuan hasil yang serupa tidak
didapatkan. Diduga gen PPAR2 memiliki efek spesifik gender yang berkontribusi
terhadap kerentanan seseorang terhadap obesitas. Penelitian dengan tema yang sama
juga dilaporkan oleh Danawati et al pada tahun 2005. Ditemukan hubungan yang
lemah antara polimorfisme gen ini dengan kejadian obesitas. Studi ini dilakukan pada
540 orang jawa asli di negara Indonesia.
2.2.3 Angiotensin Converting Enzyme (ACE)
2.2.2.1 Definisi dan Fisiologi Angiotensin Converting Enzyme (ACE)
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) adalah suatu enzim utama yang
mempunyai fungsi regulasi keseimbangan sistem kinin-kalikrein dan reninangiotensin. ACE, atau yang dikenal juga dengan kininase II, memiliki fungsi

1
8

degradasi bradikinin. Bradikinin sendiri menyebabkan kontraksi otot polos,


vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, stimulasi saraf perifer dan serat
saraf C, dan peningkatan sekresi mukus. Pada ginjal, bradikinin menyebabkan
pembuangan natrium lewat urin, dimana efek ini merupakan hasil interaksi langsung
bradikinin dengan tubulus ginjal.
Sistem renin-angiotensin adalah suatu sistem yang memainkan peranan
penting dalam fungsional jantung dan pembuluh darah. ACE merupakan enzim yang
dikeluarkan oleh paru-paru yang berfungsi untuk mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II. Efek angiotensin II diatur oleh 2 reseptor, yaitu reseptor angiotensin II
tipe I (AT1) dan reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Reseptor angiotensin II tersebar
diseluruh tubuh, tetapi densitas tiap organ berbeda-beda. Reseptor AT2 terutama
didapatkan pada otak dan kelenjar adrenal. Angiotensin II memediasi sebagian besar
efek biologis melalui reseptor angiotensin II tipe I (AT1). Angiotensin II memiliki
efek vasokonstriktor yang disebabkan oleh efek langsungnya pada otot vaskular dan
stimulasi sistem saraf simpatis. Angiotensin II juga menyebabkan retensi natrium dan
cairan.
2.2.2.2 Polimorfisme Gen Angiotensin Converting Enzyme (ACE) I/D
Polimorfisme adalah variasi sekuens DNA yang terjadi pada suatu
populasi. Polimorfisme tidak hanya melibatkan satu jenis alel, setidaknya ada dua
atau tiga jenis alel yang berbeda. Dapat dikatakan polimorfisme, jika frekuensi alel
tersebut satu persen atau lebih pada populasi (Twyman, 2003).
Gen ACE berlokasi di kromosom 17q23, mempunyai panjang 21 kilobasa,
terdiri dari 26 ekson dan 25 intron. Polimorfisme ACE terjadi pada intron ke 16, yang
terdiri dari insersi dan delesi dengan panjang insersi atau delesi 287 bp urutan Alu,
dengan tiga genotip : insersi (II), insersi/delesi (I/D) dan delesi (DD).
Di beberapa gen, insersi elemen Alu akan menyebabkan proses splicing
alternatif sehingga terjadi eksonisasi (terbentuknya ekson kriptik). Eksonisasi dapat
membuat transkrip mRNA menjadi lebih panjang, namun efek pemanjangan tersebut

1
9

tidak selalu terjadi pada saat translasi menjadi produk protein. Bahkan, eksonisasi
bisa menyebabkan dihasilkannya premature termination codon (PTC), sehingga
terjadi pemendekan produk protein.
ACE terdiri dari dua protein domain, yakni C-domain dan N-domain. Tiap
bagian memiliki satu situs aktif yang bekerja independen satu sama lain. Kedua
bagian aktif ini memiliki afinitas tersendiri untuk substrat tertentu. GnRH cenderung
untuk diproses oleh N-domain. N-acetyl-Ser-Asp-Lys-Pro juga eksklusif dipotong
pada domain ini. Namun, Angiotensin I diproses dengan lebih baik oleh C-domain
(Fuchs et al., 2008).
Insersi elemen Alu bisa mengakibatkan pemendekan produk protein ACE
sehingga terjadi hilangnya bagian aktif di C-domain. Oleh karena itu, ACE dengan
alel I memiliki aktivitas katalitik yang lebih rendah dari ACE yang memiliki alel D.
Pemendekan protein ini juga memiliki dampak pada struktur 3D protein ACE
(Purwaningroom et al., 2015).
Rigat et al menemukan keterkaitan antara polimorfisme gen ACE dengan
level ACE plasma; subjek dengan polimorfisme delesi (DD) mempunyai level ACE
plasma lebih tinggi dari subjek dengan polimorfisme insersi (II), dan subjek dengan
heterozigot (I/D) mempunyai kadar ACE plasma yang intermediate.

2.2.2.2 Polimorfisme Gen ACE I/D dengan Diabetes Melitus tipe 2


Beberapa studi telah menunjukkan bahwa inhibisi sistem renin-angiotensin
(RAS) diasosiasikan dengan penurunan insidensi diabetes melitus tipe 2. Kebanyakan
studi ini dilakukan pada pasien yang memiliki penyakit hipertensi dengan prevalensi
resistensi insulin yang tinggi. Data ini telah memberikan suatu dasar kemungkinan
interaksi antara RAS dengan metabolisme glukosa.
ACE merupakan enzim utama pada sistem renin-angiotensin, yang
memodulasi sintesis angiotensin II dan inaktivasi bradikinin. Mekanisme mengapa
sensitivitas insulin dapat berbeda dengan genotipe ACE yang berbeda yang kurang
dimengerti. Efek hemodinamik dari angiotensin II mungkin berkontribusi terhadap

2
0

berkurangnya perfusi darah terhadap otot rangka sehingga menurunkan utilisasi


glukosa. Selain itu, pada level selular, angiotensin II menginduksi perubahan pada
kaskade signaling insulin dengan menstimulasi fosforilasi serin dan stres oksidatif.
Studi hewan menunjukkan bahwa komposisi serat otot rangka memiliki hubungan
dengan resistensi insulin dan modulasi aktivitas ACE dapat mengubah rasio dari serat
otot tipe 1. Mutan heterozigot dengan penurunan aktivitas ACE dilaporkan memiliki
pembuluh kapiler yang lebih banyak di sekitar serat otot rangka dibandingkan sampel
tikus dengan genotip wild-type normal, sehingga mendukung argumen efek aktivitas
ACE pada densitas kapiler otot yang mungkin mempengaruhi uptake glukosa lokal.
Pada manusia, alel I telah didapatkan berhubungan dengan peningkatan persentasi
serat otot slow-twitch tipe 1 pada otot rangka yang memberikan bukti bahwa genotipe
ACE juga memiliki dampak pada struktur dan metabolisme otot (Bonnet, 2008).
Hasil yang berbeda-beda mengenai hubungan polimorfisme gen ACE I/D
terhadap diabetes melitus tipe 2 masih kontroversial. Sebuah studi case control yang
dilakukan pada populasi negara Brazil, dengan sampel kasus sebanyak 228 pasien
dmt2 dan kontrol sebanyak 183 pasien tanpa dmt2, melaporkan tidak adanya
hubungan yang signifikan (Wollinger, 2015). Hasil yang sama didapatkan dalam
sebuah studi dengan tema yang sama tetapi dilakukan pada populasi Gujarati. Studi
ini memiliki sampel kasus sebanyak 36 pasien dmt2 dan 36 kontrol (Doshi, 2015).
Namun suatu studi dengan total sampel sebesar 1286 partisipan, dimana partisipan
melewati suatu tes toleransi glukosa oral, menunjukkan adanya penurunan sekresi
insulin saat dilakukan uji TTGO. Studi ini menyimpulkan polimorfisme gen ACE I/D
memiliki asosiasi terhadap sensitivitas seluruh tubuh terhadap insulin dan gangguan
toleransi glukosa pada orang sehat (Bonnet, 2008).

2
1

BAB III
KESIMPULAN
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang fenotipnya sangat
tergantung pada interaksi genetik dan faktor lingkungan. Dari segi genetik, penyakit
ini juga memiliki banyak kandidat gen yang diduga memiliki peranan penting
terhadap kejadian DM. Salah satu diantaranya adalah gen Peroxisome Proliferatoractivated Receptor- (PPAR).
Gen untuk Peroxisome Proliferator-activated Receptor- (PPAR) terdapat
pada kromosom 3p25. Varian pada gen ini sudah banyak ditemukan, termasuk
diantaranya adalah polimorfisme Pro12Ala dimana terjadi mutasi missense yang
menyebabkan perubahan asam amino penyusunnya pada urutan ke-12. Alel Ala12
pada polimorfisme ini diduga memiliki peran protektif pada penyakit DM karena
efeknya yang dapat meningkatkan sensitivitas insulin lewat penekanan proses
lipolisis, penekanan glukoneogenesis dan peningkatan utilisasi glukosa oleh sel-sel
otot.Alel Ala12 juga dapat menyebabkan efek redistribusi lemak ke jaringan subkutan
dibandingkan viseral.
Gen ini juga memiliki dampak yang signifikan terhadap terapi DM oleh
karena PPAR merupakan suatu target untuk agen antidiabetik oral yang sering
digunakan yakni golongan thiazolidinedione. Diharapkan akan ada agen-agen
antidiabetik oral lainnya yang dapat memanfaatkan efek dari PPAR yang sangat luas
pada metabolisme lipid, lemak dan glukosa.

2
2

DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013.
Riset Kesehatan Dasar 2013, Jakarta hal. 83-87.
Danawati, C. W., M. Nagata, H. Moriyama, K. Hara, H. Yasuda, M. Nakayama, R.
Kotani, K. Yamada, M. Sakata, M. Kurohara, P. Wiyono, H. Asdie, M. Sakaue,
H. Taniguchi, K. Yokono. 2005. A Possible Association of Pro12Ala
Polymorphism in Peroxisome Proliferator-activated Receptor Gamma 2 Gene
with Obesity in Native Javanese in Indonesia. Diabetes/Metabolism Research
and Reviews. 21(5): 465-469.
Desvergne, Beatrice dan Walter wahli. 1999. Peroxisome Proliferator-activated
Receptors: Nuclear Control of Metabolism. Endocrine Society. 20(5): 649-688.
Ferre, Pascal. 2004. The Biology of Peroxisome Proliferator-activated Receptors.
Diabetes. 53supp1: s43-s50.
Fuchs, Sebastien, H. D. Xiao, C. Hubert, A. Michaud, D. J. Campbell, J
W. Adams, M. R. Capecchi, P. Corvol dan K. E. Bernstein. 2008.
Angiotensin-Converting Enzyme C-Terminal Catalytic Domain Is
the Main Site of Angiotensin I Cleavage In Vivo. Hypertension
American Heart Association Journal. 51: 267-274.
Grygiel-Gorniak, Bogna. 2014. Peroxisome Proliferator-activated Receptors and their
Ligands: Nutritional and Clinical Implications - a Review. Nutrition Journal.
13:17.
Mattevi, V. S., V. M. Zembrzuki, M. H. Hutz. 2007. Effects of a PPARG gene variant
on obesity characteristics in Brazil. Brazilian Journal of Medical and Biological
Research. 40: 927-932.
M. Mato, Edith Pascale, P. E. Pokam-Fosso, B. Atogho-Tiedeu, J. J. N. Noubiap, M.
Evehe, R. Djokam-Dadjeu, O. S. Donfack, E. N. Ngwa, M. Guewo-Fokeng, W.
F. Mbacham, E. Sobngwi, J. C. Mbanya. 2016. Biomed Central Obesity. 3:26.
Purwaningroom, Dian L., M. Saifurrohman, Widodo, J. F. Putri, dan M. Lukitasari.
2015. Alteration of Splicing Pattern on Angiotensin-Converting Enzyme Gene
Due To the Insertion of Alu elements. International Journal for Computational
Biology (IJCB). 4: 53-58.
Rigat, Brigitte, C. Hubert, P. Corvol dan F. Soubrier. 1992. Nucleic Acid Research.
PCR Detection Of The Insertion/Deletion Polymorphism of The Human
Angiotensin Converting Enzyme Gene (DCP1) (Dipeptidyl Carboxypeptidase
1). 20 (6): 1433.
Stumvoll, Michael dan Hans Haring. 2002. The Peroxisome Proliferator-activated
Receptor Gamma 2 Pro12Ala Polymorpshism. Diabetes. 51: 2341-2347.
Twyman, Richard. 2003. Mutation or Polymorphism. The Human Genome.
(http://genome.wellcome.ac.uk/doc_WTD020780.html. Diakses 21 Agustus
2015).

2
3

Yamauchi, Toshimasa, J. Kamon, H. Waki, K. Murakami, K. Motojima, K. Komeda,


T. Ide, N. Kubota, Y. Terauchi, K. Tobe, H. Miki, A. Tsuchida, Y. Akanuma, R.
Nagai, S. Kimura, T. Kadowaki. 2001. The Mechanism by which Both
Heterozygous Peroxisome Proliferator-activated Receptor Gamma Deficiency
and PPAR Gamma Agonists Improve Insulin Resistance. The American Society
for Biochemistry and Molecular Biology, Inc. 276(44): 41245-41254.

2
4

You might also like