Professional Documents
Culture Documents
ASUHAN KEPERAWATAN
DIARE PADA ANAK DI RUANG MELATI
RSUD DR. R. KOESMA TUBAN
Oleh:
DWI ANISA RAHMA
NIM: P27820511011
JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
SURABAYA
2014
ABSTRAK
ASUHAN KEPERAWATAN DIARE PADA ANAK
DI RUANG MELATI RSUD DR. R. KOESMA TUBAN
Oleh : Dwi Anisa Rahma
P27820511011
Diare dapat didefinisikan sebagai peningkatan pengeluaran tinja dengan
konsistensi lebih lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3
kali dalam 24 jam. Dalam referensi lain disebutkan bahwa definisi diare untuk
bayi dan anak-anak adalah pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata
pengeluaran tinja normal pada bayi sebesar 5-10 g/kg/24 jam. Diare umumnya
dibagi menjadi diare akut dan diare yang berkepanjangan (kronis dan/atau
persisten) (juffrie, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Asuhan
Keperawatan Diare pada anak di Ruang Melati RSUD Dr. R Koesma Tuban.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian studi kasus keperawatan
adalah desain asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Unit analisis yang
digunakan dalam penelitian keperawatan adalah pada pasien anak dengan diare.
Adapun unit analisis yang akan diteliti berjumlah dua pasien.
Hasil penelitian menunjukkan munculnya diagnose keperawatan pada kedua
pasien, yaitu defisit volume cairan. Penyusunan intervensi disesuaikan dengan
teori. Pada implementasi yang paling diutamakan yaitu pemberian serta monitor
pemberian cairan intravena. Evaluasi yang didapatkan dari kedua pasien yaitu
terpenuhinya kebutuhan rehidrasi terhadap pasien dengan diare.
Pemberian tindakan keperawatan pada anak dengan diare harus disesuaikan
dengan keadaan anak saat ini. Hal ini berpengaruh terhadap kesembuhan anak
serta menghindari terjadinya resiko infeksi akibat adanya penanganan yang
kurang tepat. Kolaborasi dengan keluarga sangat dibutuhkan untuk pencegahan
dini jika terjadi diare berulang.
ABSTRACT
Nursing Care on Children with Diarrhea in Melati Room at RSUD dr. R
Koesma Tuban
By : Dwi Anisa Rahma
P27820511011
Diarrhea can be defined as an increase in spending by the consistency of the
stool softer or more liquid than usual, and occurs at least 3 times in 24 hours. In
other references mentioned that the definition of diarrhea for infants and children
are spending stool> 10 g / kg / 24 h, while the average expenditure of normal
stools in infants of 5-10 g / kg / 24 hours. Diarrhea is generally divided into acute
diarrhea and continued diarrhea (chronic and / persistent) (juffrie, 2010). This
study aims to determine the Nursing diarrhea in children in Melati room at RSUD
dr. R Koesma Tuban.
The study design used in this case study was nursing care design which
included assessment, nursing diagnosis, planning, implementation, and evaluation.
The unit of analysis used in this study were two pediatric patients with diarrhea.
The results showed the emergence of nursing diagnosis on the two patients,
it was the fluid volume deficit. Preparation of interventions suited to the theory. In
the implementation, the most preferred thing were giving and monitor the
administration of intravenous fluids. Evaluation obtained from those patients was
the fulfilled the needs of rehydration for patients with diarrhea
Provision of nursing care on children with diarrhea should be tailored to the
child's current condition. This affects the child's healing and to avoid the risk of
infection due to improper handling. Collaboration with families is needed for
early intervention in case of recurrent diarrhea.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diare dapat didefinisikan sebagai peningkatan pengeluaran tinja dengan
konsistensi lebih lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3
kali dalam 24 jam. Dalam referensi lain disebutkan bahwa definisi diare untuk
bayi dan anak-anak adalah pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata
pengeluaran tinja normal pada bayi sebesar 5-10 g/kg/24 jam. Diare umumnya
dibagi menjadi diare akut dan diare yang berkepanjangan (kronis dan/atau
persisten) (juffrie, 2010).
Salah satu langkah dalam pencapaian target MDGs (Goal ke-4) adalah
menurunkan kematian anak menjadi 2/3 bagian per 1000 penduduk (6,6%) dari
tahun 1990 sampai pada 2015. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT), Study Mortalitas dan Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun
diketahui bahwa diare masih menjadi penyebab utama kematian balita di
Indonesia. Penyebab utama kematian akibat diare adalah tata laksana yang tidak
tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk menurunkan kematian
karena diare, maka perlu dilakukan tata laksana yang cepat dan tepat (Kementrian
Kesehatan RI, 2011).
Menurut data United Nations Children's Fund (UNICEF) dan World Health
Organization (WHO) pada 2009, diare merupakan penyebab kematian nomor 2
pada balita di dunia, nomor 3 pada bayi, dan nomor 5 bagi segala umur. Data
UNICEF memberitakan bahwa 1,5 juta anak meninggal dunia setiap tahunnya
karena diare. Berdasarkan data yang diperoleh dari survei morbiditas yang
dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan pada tahun 2010 adalah
sejumlah 411 per 1000 penduduk (Kementrian Kesehatan RI, 2011).
Pada tahun 2010 angka kesakitan diare (semua umur) secara nasional
sebesar 41/1000 penduduk, sedangkan angka kesakitan Provinsi Jawa Timur 3
tahun terakhir, yaitu tahun 2009 sebesar 16/1000 penduduk, tahun
sebesar
2010
2011).
Menurut data yang diperoleh dari RSUD Dr. R. Koesma Tuban pada tahun
2011, penderita penyakit diare pada anak sebesar 385 orang. Kemudian pada
tahun 2012 sebesar 177 orang, tahun 2013 sebesar 146 orang penderita diare pada
anak (RSUD Dr. R. Koesma Tuban, 2013).
Berdasarkan data diatas dapat dijelaskan bahwa masih banyaknya angka
kejadian penyakit diare pada anak di Rumah Sakit Umum Dr. R Koesma Tuban
dalam tahun 2013 sampai pada bulan September yaitu sebesar 20,62%, sehingga
hal tersebut dapat dijadikan sebagai fokus permasalahan dalam melakukan
penelitian.
Resiko penyakit diare dapat dikurangi dengan menjaga hygiene yang baik.
Cuci tangan dan tindakan isolasi dilakukan untuk mencegah peletusan infeksi.
Pemberian ASI membatasi kejadian infeksi pada bayi yang bersangkutan.
Pemberian vaksin rotavirus pentavalen telah dilakukan di Amerika Serikat, dan
vaksin monovalent di Meksiko, tanpa ada efek samping berupa intususepsi,
berbeda dengan vaksin trivalent yang ditarik dari peredaran pada tahun 1998 di
Amerika Serikat karena menimbulkan intususepsi dalam waktu 1-4 hari setelah
vaksinasi (Widagdo, 2011).
Selain itu perawat sebagai bagian dari tim kesehatan dituntut mampu
mengatasi masalah yang dihadapi klien dengan penyakit diare melalui pemberian
asuhan keperawatan secara kompretensif dan professional dengan melalui
pendekatan proses keperawatan. Kompretensif artinya memberikan asuhan
keperawatan secara menyeluruh baik melalui Bio, Psiko, Sosio, Spiritual dalam
bentuk promotif, preventif, kuratif, serta rehabilitative, yaitu berupa penyuluhan
kesehatan, antara lain : menggunakan air bersih (tanda-tanda air bersih adalah 3
tidak, yaitu tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa), memasak air sampai
mendidih sebelum diminum untuk mematikan sebagian besar kuman penyakit,
mencuci tangan dengan sabun pada waktu sebelum makan, sesuadah makan dan
sesudah buang air besar (BAB), menggunakan jamban yang sehat, serta
membuang tinja bayi dan anak dengan benar (Widoyono, 2008).
METODE PENELITIAN
digunakan terkait program kegiatan, karakteristik dan hasil yang telah dicapai.
Dari seluruh data yang telah terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisa secara
deskriptif untuk kemudian disimpulkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Pengkajian
Dalam tinjauan kasus anak I berjenis kelamin perempuan dan anak B
berjenis kelamin laki-laki. Usia anak I dan anak B sama-sama 1,5 tahun.
Pada saat dilakukan pengkajian, ibu anak I mengatakan bahwa anaknya BAB
cair 7 kali/hari dengan disertai darah dan lendir. Sedangkan pada anak B ibu
mengatakan bahwa BAB cair 5 s/d 6 kali/hari dengan disertai lendir. Hal ini
sesuai dengan teori menurut Mansjoer (2000) yang menyebutkan bahwa diare
merupakan defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan atau tanpa darah
dan/atau lendir dalam tinja. Jadi, dari kedua pasien tersebut dapat dikatakan
diare karena pada kedua pasien tersebut sama-sama mengalami BAB cair
lebih dari tiga kali dalam sehari. Namun yang membedakan dari keduanya
yaitu pada pasien 1 yaitu anak I, BAB yang dialami disertai dengan
keluarnya darah. Sedangkan pada pasien kedua yaitu anak B, BAB yang
dialami tanpa disertai dengan keluarnya darah.
Pada anak I, ibu menyebutkan bahwa badan anaknya panas serta nafsu
makan anaknya menurun. Sebelum dibawa ke rumah sakit anak I muntah,
namun ketika dilakukan pengkajian anak I sudah tidak muntah namun masih
tetap tidak mau makan. BAB dengan konsistensi cair dengan disertai lendir
dan darah. Sedangkan pada anak B ibu mengatakan bahwa anak BAB
dengan konsistensi cair disertai dengan lendir, badan panas, mual, sudah 3
kali muntah, serta anak mengalami kejang. Hal tersebut sesuai dengan teori
menurut Widoyono (2008) yang menyebutkan bahwa gejala umum dari diare
adalah BAB cair atau lembek, muntah, dan demam. Namun pada anak I
ditemukan gejala spesifik dari diare yaitu disertai dengan adanya darah. Hal
ini dikarenakan diare yang diderita anak I merupakan Desentri. Dimana
salah satu tanda dari desentri merupakan adanya pengeluaran BAB cair yang
disertai dengan adanya darah dan lendir.
Pada pemeriksaan
adanya tanda dan gejala dehidrasi ringan sedang yang meliputi kesadaran
menurun (somnolen), GCS 2 3 3, mata sedikit cowong, mukosa bibir kering,
denyut nadi 128 x/menit, suhu 38,5 oC, CRT <2 detik, akral kulit dingin,
terdapat ketegangan pada bagian dinding perut, genggaman tangan lemah.
Hal tersebut sesuai dengan tabel penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR
tahun 2003, yaitu :
Tabel penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003
Simptom
Kesadaran
Denyut
Jantung
Kualitas nadi
Pernapasan
Mata
Air mata
Mulut dan lidah
Cubitan kulit
Capillary refill
Extremitas
Kencing
Dehidrasi ringan
sedang, kehilangan BB
3%-9%
Normal, lelah,
gelisah, irritable
Normal meningkat
Normal
Normal
Normal
Ada
Basah
Segera kembali
Normal
Hangat
Normal
Normal melemah
Normal cepat
Sedikit cowong
Berkurang
Kering
Kembali < 2 detik
Memanjang
Dingin
Berkurang
Dehidrasi Berat
Kehilangan BB > 9%
Apathis, letargi, tidak
sadar.
Takikardi,
bradikardia
pada kasus berat
Lemah, kecil, tidak teraba
Dalam
Sangat cowong
Tidak ada
Sangat kering
Kembali > 2 detik
Memanjang, minimal
Dingin, mottled, sianotik
Minimal
pasien dengan diare ditemukan adanya perubahan tanda vital yaitu nadi dan
pernapasan cepat, fontanela (ubun-ubun) cekung pada bayi serta membrane
mukosa kering, peningkatan bising usus, kram abdomen, serta adanya
tenensmus, kerusakan turgor kulit, dan membrane mukosa kering.
b. Diagnosa Keperawatan
Dari data yang ditemukan pada kedua pasien dapat dirumuskan diagnose,
yaitu :
Tabel perbandingan diagnose keperawatan pasien 1 dan pasien 2
Pasien 1 (Anak I)
Pasien 2 (Anak B)
1. Defisit
volume
cairan 1. Defisit
volume
cairan
berhubungan dengan pengeluaran
berhubungan dengan pengeluaran
melalui gastrointestinal
melalui gastrointestinal
2. Perubahan nutrisi kurang dari 2. Kerusakan
integritas
kulit
kebutuhan berhubungan dengan
berhubungan
dengan
iritasi
kehilangan melalui diare dan
sekunder terhadap seringnya
intake yang tidak adekuat.
buang air besar.
3. Cemas
berhubungan
dengan
kurangnya pengetahuan orang tua
tentang proses penyakit.
4. Resiko
terjadi
kejang
berhubungan dengan peningkatan
suhu tubuh.
Dari tabel diatas dapat diketahui ada 1 diagnosa yang sama dari kedua
pasien, yaitu defisit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran melalui
gastrointestinal. Menurut Wongs, dkk (2001) yang dikutip oleh Wijayaningsih
(2013) rencana asuhan keperawatan pada gastroenteritis adalah sebagai
berikut : defisit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran melewati
gastrointestinal (buang air besar dan muntah) yang berlebihan, perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kehilangan melalui diare
dan intake yang tidak adekuat, risiko penularan infeksi berhubungan dengan
mikroorganisme yang menginvasi saluran gastrointestinal, kerusakan integritas
kulit berhubungan dengan iritasi sekunder terhadap seringnya buang air besar,
cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan orang tua tentang proses
penyakit, resiko terjadi kejang berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh.
Diagnosa yang muncul pada pasien 1 (anak I) sesuai dengan teori
menurut Wongs, dkk (2001) yang dikutip oleh Wijayaningsih (2013) yaitu
diagnose 1 : Defisit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran melalui
gastrointestinal (buang air besar dan muntah) yang ditandai dengan data
subyektif, ibu mengatakan bahwa anak I BAB cair 7 kali/hari disertai
dengan adanya darah dan lendir, dan pada data objektif keadaan umum :
lemah, terpasang infus Kaen 3B 10 tpm, membrane mukosa kulit kering,
mukosa bibir kering, anak rewel, pemeriksaan tanda-tanda vital: N : 100
x/menit; S : 37 OC. Dan diagnose 2 : perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan kehilangan melalui diare dan intake yang tidak adekuat
yang ditandai dengan data subyektif, Ibu mengatakan bahwa anak I tidak
mau makan. Saat berada di rumah sakit, anak I hanya mau makan buah yang
disediakan dari rumah sakit. Anak I tidak mau memakan makanan yang
disediakan dari rumah sakit. Minum susu formula hanya 3-4 botol per hari,
dan pada data objektif ditemukan adanya penurunan berat badan yaitu BB
sebelum sakit : 9500 gr, BB saat sakit : 9300 gr, warna rambut pirang,
distribusi rambut sedikit dan tipis, makanan dari rumah sakit asih utuh, dan
susu formula masih terdapat setengah botol. Sedangkan pada pasien yang ke 2
(anak B), diagnose yang muncul juga sesuai dengan teori menurut Wongs,
dkk (2001) yang dikutip oleh Wijayaningsih (2013) yaitu diagnose 1 : Defisit
volume cairan
(buang air besar dan muntah) yang ditandai dengan data subyektif, Ibu
mengatakan BAB cair disertai dengan lendir tanpa ampas dan berwarna kuning
5 s/d 6 kali per hari. Ibu mengatakan bahwa pasien sudah 3 kali muntah, dan
pada data objektif ditemukan keadaan umum : lemah, kesadaran : Somnolen ;
GCS : 2 3 3, terpasang infus NaCl 12 tpm, warna konjungtiva pucat, warna
kulit pucat, pemeriksaan penunjang (Hb 10,9), mata sedikit cowong, membrane
mukosa kulit kering, akral kulit dingin, mukosa bibir kering, anak rewel,
pemeriksaan tanda-tanda vital: N : 128 x/menit; S : 38,5 oC. Diagnosa 2 :
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi sekunder terhadap
seringnya buang air besar yang ditandai dengan data subyektif, Ibu
mengatakan terdapat iritasi di sekitar anus dan alat vital anak B. Ibu sudah
memberikan salep yang dibeli di apotik, dan pada data objektif ditemukan
adanya luka iritasi pada sekitar alat vital dan anus, kulit berwarna kemerahan,
terpasang kateter pada bagian alat vital dan pampers dibiarkan terbuka.
Diagnosa 3 : Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan orang tua
tentang proses penyakit yang ditandai dengan data subyektif, Ibu mengatakan
tidak mengetahui apa penyebab penyakit anak B, dan pada data objektif
terdiri dari ketika ditanya mengenai penyebab penyakit yang diderita anak B
ibu mengatakan tidak tahu, ibu menangis ketika bertanya mengenai keadaan
anaknya dan ibu banyak bertanya apakah penyakit anaknya dapat
disembuhkan. Dan yang terakhir yaitu diagnose 4 : Resiko terjadi kejang
berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan data
subyektif, Ibu mengatakan bahwa badan anak B
intervensi keperawatan
volume
cairan
berhubungan
dengan
pengeluaran
melewati
gastrointestinal (buang air besar dan muntah) yang berlebihan. Dengan tujuan
24 jam. Selain itu dalam pembuatan kriteria hasil, ada beberapa kriteria hasil
yang terdapat dalam teori tidak disertakan dalam kriteria hasil yang terdapat
dalam kasus, hal ini dikarenakan dalam pembuatan tujuan keperawatan serta
kriteria hasilnya disesuaikan dengan kondisi pasien saat ini.
d. Implementasi Keperawatan
Implementasi pada kedua pasien masing-masing dilakukan selama 3 hari.
Pada pasien 1 (anakI) yaitu pada tanggal 24 Februari 2014 sampai dengan
tanggal 26 Februari 2014, sedangkan pada pasien 2 (anak B) yaitu pada
tanggal 13 Maret 2014 sampai dengan tanggal 15 Maret 2014. Implementasi
dilakukan sesuai dengan diagnose yang telah dirumuskan pada masing-masing
pasien.
Tabel Implementasi Pasien 1 (Anak I) pada tanggal 27 Februari 2014
Hari/Tanggal/Jam Diagnosa
Implementasi
Paraf
27 Februari 2014
14.00
1
1. Mengobservasi tanda-tanda
vital, turgor kulit, membrane
mukosa dan status mental
tiap empat jam atau sesuai
indikasi.
14.30
2. Memberikan dan memonitor
pemberian cairan intravena.
15.00
3. Memberikan
injeksi
cefotaxime 300 mg per iv,
metronidazole 70 mg per
infus.
15.15
Paraf
15 Maret 2014
11.00
1. Mengobservasi tanda-tanda
vital, turgor kulit, membrane
mukosa dan status mental
tiap empat jam atau sesuai
indikasi.
2. Memberikan dan memonitor
pemberian cairan intravena
(infus Kaen 3B12 tpm)
3. Memberikan
injeksi
Ceftriaxone 750 mg per iv.
11.10
11.15
11.20
11.30
11.35
11.40
11.42
11.45
11.50
12.10
12.15
12.17
12.30
pemeriksaan fisik yang dilakukan pada anak B ditemukan adanya tanda dan
gejala dehidrasi ringan sedang yang meliputi kesadaran menurun (somnolen),
GCS 2 3 ,3 mata sedikit cekung, mukosa bibir kering, denyut nadi 128 x/menit,
suhu 38,5 oC, CRT <2 detik, akral kulit dingin, terdapat ketegangan pada
bagian dinding perut, genggaman tangan lemah. Sedangkan pada anak I
tidak ditemukan adanya tanda tanda dehidrasi, pada pemeriksaan fisik
kesadaran compos mentis, denyut nadi 100 x/menit, suhu 37 oC, mata tidak
cekung, mukosa bibir kering, terdapat ketegangan pada bagian dinding perut,
turgor kulit baik, akral kulit hangat.
2. Diagnosa keperawatan pada pasien 1, anak I ditemukan 2 diagnosa
keperawatan, yaitu : Defisit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran
melalui gastrointestinal dan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan kehilangan melalui diare dan intake yang tidak adekuat.
Sedangkan pada pasien 2, anak B ditemukan 4 diagnosa keperawatan yaitu :
Defisit
volume
cairan
berhubungan
dengan
pengeluaran
melalui