You are on page 1of 34

UJIAN AKHIR SEMESTER

Penataan Ruang Kota Skala Mikro Dalam Upaya


Penanggulangan Kemacetan Lalu Lintas di Kawasan Kota
Case:
Simpang Dago, Bandung

RK 6211 RANCANG KOTA BERKELANJUTAN


Dosen:
Ir. Budi Faisal, MAUD, MLA, PhD

Disusun Oleh :
Hajar Suwantoro - 256 07 004
Irfandi - 256 07 005

PROGRAM MAGISTER RANCANG KOTA


SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN
KEBIJAKAN (SAPPK)
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2008

Rancang Kota
RK - 6211

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

Berkelanjutan

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

..................................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN .............................................................................................
1.1. Latar Belakang ............................................................................... ......
1.2. Perumusan Masalah .............................................................................
1.3. Tujuan ....................................................................................................
1.4. Ruang Lingkup Pembahasan .................................................................
1.5. Metodologi ...........................................................................................

1
1
2
3
3
3

BAB II

TINJAUAN KAWASAN STUDI .........................................................................


2.1. Gambaran Umum Kawasan Studi ........................................................
2.2. Karakteristik Aktivitas ...........................................................................
2.3. Kondisi Jalan dan Jalur Pedestrian .......................................................
2.4. Hasil Pengamatan ...............................................................................

5
5
6
6
7

BAB III KAJIAN TEORI ................................................................................................


3.1. Elemen Perancangan Kota ....................................................................
3.2. Ruang Jalan ...........................................................................................
3.3. Sistem Jaringan Transportasi di Perkotaan ..........................................
3.4. Dimensi Sosial Ruang Publik .................................................................
3.5. Kajian Teori The Great Streets .............................................................
3.6. Kajian Peraturan dan Perundang-Undangan .......................................

12
12
14
15
17
17
21

BAB IV PEMBAHASAN ...............................................................................................


4.1. Analisis Mikro (Lingkup Kawasan Studi) ..............................................
4.2. Usulan Rekomendasi ..........................................................................

24
24
26

BAB V KESIMPULAN .................................................................................................

30

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................

31

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

ii

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang

Kota sebagaimana dikonsepkan oleh Aidan Southall merupakan media pemusatan


bagi manusia, kehidupan sosialnya, fasilitas fisik, sumber daya, informasi, kekuasaan, inovasi,
serta ide kemajuan yang membentuk sebuah sistem kompleks. Sistem tersebut kemudian
dibentuk secara fisik melalui adanya bangunan, ruang-ruang luar, jalan dan elemen struktur
kota lainnya yang akhirnya membentuk karakter visual kota. Namun, seperti yang disebutkan
Markus Zahn, kota adalah sesuatu yang komples dan rumit. Banyak aspek dan faktor yang
mempengaruhi suatu ruang kota.
Kondisi lingkungan perkotaan memiliki peranan yang penting dalam menghadirkan
kualitas kehidupan yang baik. Pada lingkungan ini orang melangsungkan kehidupannya
dengan berbagai ragam aktivitas. Pada lingkungan perkotaan ternyata banyak
permasalahan-permasalahan yang muncul, yang menyebabkan kualitas lingkungan
perkotaan mengalami penurunan. Salah satu permasalahan yang terjadi sampai saat ini
adalah kemacetan lalu lintas di lingkungan perkotaan.
Berkaitan dengan kemacetan di lingkungan perkotaan, di Kota Bandung juga telah
mengalami hal tersebut. Kemacetan lalu lintas telah menimbulkan berbagai kerugian, baik
berupa kerugian finansial maupun kerugian degradasi kualitas lingkungan. Masalah-masalah
berkaitan dengan kemacetan di Kota Bandung antara lain: Pertama, masalah kemacetan
yang luar biasa, di mana paling sedikit terdapat 30-40 titik-titik kemacetan. Saking banyaknya
kemacetan ini, sampai-sampai sudah muncul opini yang pejoratif Bandung Lautan Macet.
Menurut Pakar transportasi dari jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi
Bandung Prof Dr Ir Kusbiantoro, Bandung memang tergolong kota paling macet jika
dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia. Kemacetan lalu lintas di Bandung
sudah mencapai taraf yang sangat merugikan. Akibat kemacetan lalu lintas di Bandung, kota
ini membuang uang menjadi sia-sia senilai Rp. 2,5 milyar perhari atau hampir Rp. 900 milyar
pertahun. Kerugian sebesar itu akibat penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor yang
tidak efisien. Kemacetan mengakibatkan waktu tempuh kendaraan bermotor semakin lama,
artinya semakin banyak bahan bakar yang digunakan untuk mencapai suatu jarak tertentu.
(Prof. DR. Ir. Ofyar Tamin, MSc, pertemuan yang diselenggarakan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup di Jakarta 15 Maret 2007). Kedua, masalah polusi udara yang sudah
melewati ambang batas, yang mengakibatkan udara menjadi panas dan tidak sejuk lagi.
Menurut banyak pakar lingkungan, hal ini makin diperparah karena Kota Bandung berada
dalam kondisi cekungan yang menjadikan pada malam hari partikel polutan mengendap ke
bawah, sementara pada siang hari menguap tapi tidak seluruhnya terangkat. Ketiga,
Menurunnya kondisi infrastruktur jalan sebagai penopang perekonomian wilayah. Di Kota
Bandung dari 1.130 km jalan, terdapat 300 km (26%) dengan kondisi rusak.
Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

Kemacetan pada ruang jalan dalam lingkup mikro juga disebabkan oleh munculnya
kegiatan ekonomi pada ruang tersebut. Tingginya aglomerasi ekonomi tidak hanya
berdampak pada pemanfaatan ruang yang intensif saja, tetapi juga sudah meluas sampai
kepada pemakaian jalur pedestrian dan badan jalan, karena mahalnya nilai lahan dan
ketatnya persaingan bisnis. Hal ini lama-kelamaan sudah menjadi fenomena yang wajar di
kota-kota besar, termasuk Bandung apabila ada kegiatan ekonomi yangmengambil badan
jalan dan pedestrian (ruang publik) sebagai pasar ekonominya.
Dalam perspektif perencanaan transportasi, tentu saja fenomena ini sangat
merugikan dan berdampak negatif bagi perencanaan yang lebih besar. Tingginya friksi dalam
sistem jaringan jalan mengakibatkan seringnya terjadi persoalan kemacetan di berbagai
tempat dan menghasilkan deadlock dalam solusinya. Semakin banyaknya fenomena
pemakaian badan-badan jalan dan jalur pedestrian yang dipakai untuk mengakomodasi
kegiatan ekonomi, membuat keberadaannya semakin eksis dan established seiring dengan
semakin tingginya investasi yang sudah mereka tanamkan.
Berkaitan dengan kerugian-kerugian akibat kemacetan dan permasalahan dalam
lingkup mikro kawasan karena faktor ekonomi ini dalam menimbulkan kemacetan, maka
masalah kemacetan lalu lintas perlu ditanggulangi secara komprehensif dan integral yang
mencakup aspek-aspek perkotaan skala makro dan skala mikro. Penanganan kemacetan
dalam skala makro berkaitan dengan perencanaan sistem sirkulasi yang baik, manajemen
sistem lalu lintas, teknologi transportasi, infrastruktur transportasi dan jalan, dan keterkaitan
sistem trasnportasi dengan pengembangan tata ruang.
Penataan ruang skala mikro dapat memberikan kontribusi bagi penanggulangan
kemacetan lalu lintas di suatu distrik atau kawasan kota. Di Kota Bandung sendiri telah
mencapai 30-40 titik-titik kemacetan. Titik-titik kemacetan ini umumnya terjadi pada koridor
komersial yang bangkitan aktivitas kawasannya/distriknya oleh pedagang informal. Sasaran
model pendekatan ini adalah penataan elemen-elemen ruang kota pada koridor komersial
yang selama ini menjadi salah satu faktor utama kemacetan lalu lintas di kawasan yang
bersangkutan. Elemen-elemen tersebut meliputi penataan ruas jalan dan jalur pedestrian
yang digunakan oleh pedagang informal. Permasalahan seperti ini salah satunya dapat dilihat
di Simpang Dago, Bandung.
1.2.

Perumusan Masalah

Kemacetan lalu lintas pada suatu kawasan kota-kota besar termasuk Kota Bandung
tidak hanya disebabkan oleh semakin banyaknya kendaraan yang melalui jalan, sistem dan
managemen transportasi yang tidak tepat dan ketepatan penataan sistem trasnportasi
dalam kaitannya dengan tata ruang, akan tetapi juga diakibatkan oleh bangkitan aktivitas
yang berbasis ekonomi pada badan jalan tersebut dan ini menjadi fenomena yang sedang
berlangsung sekarang pada kota-kota besar di Indonesia. Salah satu aktivitas ekonomi yang
terjadi pada ruang publik ini adalah semakin banyaknya pedagang informal seperti PKL dan
Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

warung tenda yang mengais rezeki untuk kehidupan mereka. Akhirnya ruang publik ini (jalan
dan pedestrian) menjadi arena perebutan ruang kehidupan. Kondisi ini dapat menyebabkan
lalu lintas pada ruang publik ini menjadi macet dan trotoar jalan (jalur pedestrian) tidak dapat
dimanfaatkan oleh pejalan kaki.
Kondisi ekonomi telah memaksa mereka untuk menggunakan ruang-ruang ini untuk
dapat eksis dan menjalani kehidupan, tetapi kondisi ini mengganggu aktivitas pihak lain yang
menggunakan ruang publik ini sehingga ruang ini menjadi ajang konflik. Kondisi ini perlu
penyelesaian yang arif dan bijaksana sehingga konflik ini dapat di minimalkan. Tindakat nyata
yang dapat dilakukan pada area ini adalah penataan ruang jalan dan dan pedestrian yang
dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan tersebut.
1.3.

Tujuan

Tujuan dari kajian ini adalah untuk memberikan usulan penataan ruang koridor jalan
berkaitan dengan kemacetan arus lalu lintas yang diakibatkan oleh pedagang informal yang
membutuhkan ruang untuk eksistensi kehidupannya dan sekaligus menghadirkan citra ruang
kota yang baik dan manusiawi.
1.4.

Ruang Lingkup Pembahasan

Studi kajian ini mengambil lokasi Kawasan Simpang Dago dengan bangkitan aktifitas
kawasan berupa pedagang informal pada badan jalan dan pedestrian serta Pasar Simpang
Dago. Dalam lingkup yang luas, Simpang Dago merupakan titik yang rawan macet karena
merupakan jalan yang menghubungkan wilayah Bandung Utara dengan Wilayah Bandung
Selatan, sehingga jalur ini sangat padat dengan kendaraan yang dapat menyebabkan
kemacetan.
Dalam lingkup mikronya sendiri kawasan ini tetap macet yang disebabkan oleh
pengguna ruang publik berupa jalan dan pedestrian oleh pedagang informal yang secara
tidak langsung menghidupkan kawasan ini. Hal inilah yang melatar belakangi pemilihan
Simpang Dago sebagai objek kajian dalam makalah ini. Ruang lingkup pembahasan adalah
kajian penataan ruang sirkulasi dalam hal ini jalan dan pedestrian yang banyak digunakan
oleh pedagang informal sehingga menyebabkan ketidanyamanan pada ruang ini.
1.5.

Metodologi

Metode pendekatan yang akan digunakan dalam studi ini melalui beberapa tahapan
sebagai berikut :
a) Studi Kepustakaan
Pengumpulan data (teori) berupa studi literatur buku-buku yang berkaitan dengan
topik dan berbagai informasi dari media seperti internet.
b) Survei lapangan
Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

Dilakukan untuk memperoleh data primer dan sekunder tentang keadaan lingkungan
kawasan studi, melalui wawancara, survei visual dengan menggunakan foto untuk
memperoleh gambaran keadaan lingkungan untuk mendapatkan gambaran secara
nyata, lengkap dan detail tentang daerah studi.
c) Survei Instansional
Survei instansional dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder dari instansi yang
terkait.
d) Analisis
Metode analisis yang dilakukan adalah metode analisis deskripsi eksplanatif
berdasarkan data (teori) dan informasi yang diperoleh.

BAB 2
TINJAUAN KAWASAN STUDI

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

Rancang Kota
RK - 6211

2.1.

Berkelanjutan

Gambaran Umum Kawasan Studi

Kawasan Simpang Dago merupakan salah satu kawasan di Kota Bandung bagian utara
yang memiliki letak strategis akibat perkembanan kota yang begitu pesat. Topografi Kota
Bandung bagian utara yang berbentuk bukit dan lembah menjadikan Kawasan Pasar Simpang
Dago sebagai penghubung wilayah bagian utara dan timur kawasan dengan pusat kota.
Pasar Simpang Dago merupakan daya tarik ekonomi tradisional yang melayani
kawasan Dago, Sadang Serang, Dipati Ukur dan sekitarnya. Keberadaan beberapa perguruan
tinggi diantaranya ITB dan Universitas Pajajaran (Jl Dipati Ukur) juga menjadikan kawasan ini
sebagai pusat pelayanan segala kebutuhan masyarakat khususnya mahasiswa. Pergerakan
lalu lintas, konsentrasi massa dan daya tarik ekonomi memicu berkumpulnya kegiatankegiatan sektor informal diantaranya pedagang kaki lima, tukang becak dan tukang ojek.
Penggunaan ruang yang tersedia untuk publik diantaranya trotoar oleh sektor informal
berakibat pada penggunaan badan jalan diluar peruntukannya.
Kemacetan di Kawasan Simpang Dago merupakan salah satu permasalahan di Kota
Bandung. Keberadaan berbagai macam aktivitas yaitu pasar tradisional, pertokoan,
pedagang informal serta terminal bayangan menjadikan permasalahan kawasan ini sangat
kompleks yang akhirnya menyebabkan kemacetan dan ketidaknyamanan pada kawasan ini.

Gambar 2.1. Area Studi


(Sumber: Hasil Olahan Pribadi, Mei 2008)

Gambar 2.2. Suasana Koridor Jalan Simpang Dago


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, Mei 2008)

Dalam studi ini, wilayah pengamatan dibatasi pada penggal Jalan Ir. H. Juanda
(Simpang Dago) diantara perempatan (lampu merah) Jalan Dipati Ukur-Jalan Siliwangi,
sampai dengan pertigaan menuju Jalan Tubagus Ismail sepanjang 270 meter yang terdiri
dari dua arah (utara-selatan dan selatan-utara). Untuk mengetahui karakteristik kawasan,
maka dibagi menjadi 2 (dua) kelompok karakteristik yaitu aktivitas dan prasarana.
2.2.

Karakteristik Aktivitas

Kegiatan yang mendominasi di Kawasan Pasar Simpang Dago adalah perdagangan


dan transportasi. Bangunan pada ruas jalan ini terdiri dari bangunan perdagangan (pasar
Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

tradisional, pertokoan, swalayan 24 jam dan restoran McDonald), kantor (PLN, notaris, dan
Pusat Litbang Sumber Daya Air) dan bangunan hunian. Bangunan di tepi ruas jalan selatanutara (kiri) mempunyai KDB lebih rendah dibanding ruas jalan utara-selatan (kanan).
Berdasarkan observasi, aktivitas yang berlangsung di kawasan ini dapat dilihat pada Tabel
2.1.
Tabel 2.1. Aktivitas Perdagangan di Kawasan Simpang Dago
No.

Tipe

Lokasi

Waktu (WIB)

1.

Pedagang
Informal

Trotoar depan Pasar

Pk. 03.00 10.00

Sayuran, ikan, daging

Sebagian badan jalan


jl. Ir. H. Juanda ruas
utara-selatan (kanan)
dan Jl. Tb. Ismail
Sepanjang kedua sisi
Jl. Ir. H. Juanda ruasn
selatan-utara
(kiri)
dan
utara-selatan
(kanan) pada trotoar
dan sebagian badan
jalan

Pk. 03.00 08.00

Sayuran, ikan, daging, makanan,


minuman

Pk. 05.00 10.00

Bangunan Pasar
Lapak di ruas jalan
dalam pasar
Bangunan toko di
perempatan/simpang
Dago
Bangunan pertokoan
sisi kanan (utaraselatan)
Jl.
Ir.H.
Juanda
dan
Jl.Tb.Ismail

Pk. 06.00 12.00


Pk. 06.00 12.00

Makanan, minuman, buahbuahan


Pakaian, sandal, sepatu, tas,
mainan
anak,
VCD-DVD,
peralatan rumah tangga, servis
kunci, servis sol sepatu, buahbuahan.
Makanan, minuman
Beras, sayur, alat rumah tangga,
ikan, daging

2.

Pasar

3.

Pertokoan

4.

Pk. 07.00 21.00

Pk. 16.00 23.00

Jenis Dagangan

24 jam

Makanan dan minuman siap saji,


toko swalayan.

Pk. 06.00 23.00

Pakaian, tas, fotocopy, warnet,


voucher HP, elektronik, buku dan
majalah,
bahan
bangunan,
perhiasan, mas, arloji, beras, alat
rumah tangga, ikan, daging dan
fotografi

(Sumber: Hasil Pengamatan, Mei 2008)

2.3.

Kondisi Jalan dan Jalur Pedestrian

Jalan Ir. H. Juanda merupakan jalan kolektor primer yang menghubungkan wilayah
pusat kota dan Dago di Bandung Utara. Lebar geometrik jalan Ir. H. Juanda yang diamati
bervariasi antara 22 - 26 meter dengan bentuk sempit diatas (pertigaan dengan jalan Tubagus
Ismail) dan melebar di bawah (perempatan dengan jalan Dipati Ukur Jalan Siliwangi). Jalan
Ir. H. Juanda terdiri dari dua jalur dan masing masing terdapat dua lajur kecuali di depan
Pasar Simpang Dago terdiri dari 3 lajur. Kedua sisi jalan terdapat trotoar dengan lebar 2 m
yang terpagar dengan spesifikasi berbeda. Pagar trotoar jalur selatan-utara (kiri) mempunyai
tinggi 40 cm dengan bentuk memanjang sepanjang jalan. Sedangkan pada jalur utara-selatan,
pagar setinggi 150 cm dengan bentuk berseling 2 meter pagar 1 meter tanpa pagar. Jalan
Ir. H. Juanda diperkeras dengan hotmix dan berada kondisi baik. Jalan ini melayani berbagai
moda angkutan dengan dominasi kendaraan pribadi saat jam sibuk. Banyaknya kepentingan
Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

Gambar 2.3. Potongan A-A, di sekitar pertemuan Jl. Ir. H. Juanda

B
B

didengan
jalan tersebut
menyebabkan
kecepatan
kendaraan sangat rendah sekitar 10 - 20
Jl. Dipati Ukur
dan Jl. Siliwangi,
tepat rata-rata
di depan kantor
km/jam
(peak
hours)
dengan
aliran
yang
tersendat-sendat
akibat pengaruh tanda lampu lalunotaries
lintas
di perempatan
Jl.Ir. H.Mei
Juanda
(Sumber:
Hasil Olahan Pribadi,
2008) Jl. Dipati Ukur Jl. Siliwangi.

Gambar 2.4. Potongan B-B, di sekitar pertemuan Jl. Ir. H. Juanda


dengan Jl. Tubagus Ismail dengan lebar total 23 meter.
(Sumber: Hasil Olahan Pribadi, Mei 2008)

Gambar 2.5. Peta Situasi Simpang Dago


(Sumber: Diolah dari www.googleearth.com, Mei 2008)

2.4.

Hasil Pengamatan

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

Metode pengamatan yang dilakukan adalah dengan metode visual observation yang
digunakan untuk mengetahui kondisi dan permasalahan yang terjadi di kawasan Simpang
Dago, adapun permasalahan yang teramati adalah sebagai berikut:
1) Tata Guna Lahan
Berdasarkan hasil pengamatan, tata guna lahan pada kawasan ini adalah multifungsi
(mixed use), yang terdiri dari:
a) Fungsi kawasan sebagai kawasan komersial yang bercampur: pertokoan retail
dengan berbagai komoditi, pasar swalayan 24 jam, restoran cepat saji, pasar
tradisional dan pedagang informal. Komoditi yang dijual kerap sejenis sehingga
terjadi persaingan antar pedagang.
b) Pedagang informal tidak terakomodasi secara legal.
c) Terdapat beberapa permukiman menengah keatas bercampur dengan
perkantoran.

Gambar 2.6. Keragaman Fungsi Kegiatan Pada Simpang Dago


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, Mei 2008)

2)

Infrastruktur dan Arsitektural


Kondisi infrastruktur dan arsitektur kawasan Simpang Dago terlihat tidak tertata
dengan baik. Beberapa temuan dari hasil pengamatan pada kawasan Simpang Dago
ini adalah:
a) Bangunan pada Simpang Dago merupakan perpaduan bangunan pertokoan dan
lapak pedagang informal dengan prasarana kurang baik.
b) Fasade bangunan permukiman tertutup secara masif baik dengan tanaman
pagar maupun pagar dinding yang tinggi, membuat pedagang informal nyaman
menggelar dagangan di trotoar dan badan jalan depannya.
c) Penempatan tumpukan sampah dan gerobaknya yang tersebar di beberapa titik
badan jalan Ir. H. Juanda yang mengurangi lebar efektif jalan.

Gambar 2.7. Kondisi Infrastruktur dan Arsitektur Pada Simpang Dago


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, Mei 2008)

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

Rancang Kota
RK - 6211

3)

Berkelanjutan

Sirkulasi Kendaraan
Beberapa kondisi sirkulasi kendaraan pada kawasan Simpang Dago berdasarkan
hasil pengamatan dalah sebagai berikut:
a) Pada saat peak hour (jam sibuk) selalu terjadi kemacetan lalu lintas.
b) Beberapa moda kendaraan umum (angkot, ojek dan becak) menunggu
penumpang di badan jalan yang berakibat pada menyempitnya badan efektif
jalan.
c) Kendaraan umum berhenti di sembarang tempat, sehingga menimbulkan
kemacetan lalu lintas.
d) Adanya Lampu lalu-lintas dan beberapa titik keluar kendaraan (dari
perkantoran dan pertokoan) disekitarnya yang menghambat laju kendaraan
sehingga kemacetan terjadi.

Gambar 2.8. Kondisi Sirkulasi Kendaraan Pada Simpang Dago


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, Mei 2008)

4)

Parkir
Masalah perparkiran merupakan salah satu hal utama yang menyebabkan
kemacetan pada Simpang Dago, data yang diperoleh adalah sebagai berikut:
a) Parkir kendaraan roda empat, roda dua di sepanjang tepi jalan mengganggu
kelancaran lalu lintas.
b) Pintu keluar parkir pertokoan tepat di lokasi perempatan jalan (Jl. Ir H Juanda
Jl. Dipati Ukur Jl. Siliwangi).
c) Tidak ada lahan khusus parkir bagi pengunjung pasar yang terpisah dengan
badan jalan.

Gambar 2.9. Kondisi Perparkiran Pada Simpang Dago


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, Mei 2008)

5)

Sirkulasi Pejalan Kaki


Beberapa permasalahan yang ditemukan berkaitan dengan sirkulasi pejalan kaki:

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

a) Pejalan kaki menyeberang jalan tidak pada zebra cross sehingga tidak teratur
dan mengganggu kelancaran lalu-lintas.
b) Trotoar yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki menjadi tempat
berjualan pedagang informal sehingga pejalan kaki menggunakan badan jalan
untuk aksesnya.
c) Terdapat pagar di pembatas trotoar dan badan jalan yang digunakan pedagang
informal untuk menaruh barang dagangan mempersempit gerak pejalan kaki di
trotoar.
d) Terdapat kendaraan (mobil dan motor) parkir di trotoar mempersempit ruang
gerak pejalan kaki.
e) Terdapat fasilitas telephon umum yang menutupi sebagian besar ruang pejalan
kaki di trotoar.

Gambar 2.10. Aktivitas Sirkulasi Pejalan Kaki Pada Simpang Dago


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, Mei 2008)

6)

Vegetasi
Kondisi penghijauan pada kawasan studi (Simpang Dago) dalah sebagai berikut:
a. Jalur hijau berupa peneduh jalan kurang. Tanaman peneduh yang ada dijadikan
sebagai pusat pemberhentian kendaraan dan menunggu kendaraan.
b. Pot tanaman semak dan berbunga yang besar ditempatkan di trotoar banyak
memakan ruang gerak pejalan kaki.

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

10

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

Gambar 2.11. Kondisi Tata Hijau Pada Simpang Dago


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, Mei 2008)

7)

Pedagang Informal
Diluar lokasi pasar, PKL berjualan menempati trotoar dan badan jalan di sepanjang
depan Pasar Simpang Dago baik ruas kiri (selatan-utara) maupun kanan (utaraselatan) terutama disaat jam sibuk (disaat pagi,sore dan malam hari).

Gambar 2.12. Kondisi Pedagang Informal Pada Simpang Dago


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, Mei 2008)

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

11

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

BAB 3
KAJIAN TEORI

3.1.

Elemen Perancangan Kota


Elemen perancangan kota menurut Hamid Shirvani (1985) menentukan delapan
elemen urban design yaitu tata guna lahan (land use), bentuk bangunan dan massa bangunan
(building form and massing), sirkulasi dan ruang parkir (circulation and parking), ruang
terbuka (open space), jalan pedestrian (pedestrian ways), kegiatan pendukung (activity
support), penanda (signage), konservasi (conservation).
a) Tata Guna Lahan (Land use)
Land use merupakan merupakan salah satu elemen kunci dalam perancangan kota,
untuk menentukkan perencanaan dua dimensional, yang kemudian akan menentukan
ruang tiga dimensional. Pada prinsipnya pengertian land use adalah pengaturan
penggunaan lahan lahan untuk menentukan pilihan yang terbaik dalam mengalokasikan
fungsi tertentu, sehingga secara umum dapat memberikan gambaran keseluruhan
bagaimana daerah-daerah pada suatu kawasan tersebut seharusnya berfungsi.
b) Bentuk dan Massa Bangunan (Building Form & Massing)
Bentuk dan massa bangunan harus memperhatikan ketinggian bangunan (height),
besaran bangunan (bulk), koefisien lantai dasar (FAR), building coverage, garis sempadan
bangunan (street-line setbacks), ragam (style), skala, material, tekstur,dan warna.
c)

Sirkulasi dan Parkir (Circulation & Parking)


Masalah sirkulasi kota merupakan persoalan yang membutuhkan pemikiran
mendasar antara prasarana jalan yang tersedia, bentuk struktur kota, fasilitas pelayanan
umum yang berpengaruh terhadap padatnya kegiatan dan masalah jumlah kendaraan
bermotor yang semakin meningkat, disamping itu perilaku masyarakat kota yang
memanfaatkan jalan tersebut. Tiga prinsip utama dalam menangani sirkulasi yaitu jalan
seharusnya didesain menjadi ruang terbuka yang memiliki pemandangan yang baik,
jalan harus dapat memberi petunjuk orientasi bagi para pengendara dan dapat
menciptakan lingkungan yang dapat dibaca dan diperlukan kerjasama antara sektor
publik, swasta dan pemerintah.
Parkir juga merupakan masalah besar dalam urban design. Parkir memiliki dua efek
langsung terhadap lingkungan yaitu menghidupkan aktivitas komersil dan pengaruh

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

12

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

terhadap visual kota. Ada banyak cara menangani parkir, misalnya dengan membuat
gedung tempat parkir kota, dimana lantai dasar untuk retail dan ruang parkir di lantai
atasnya. Multiple use program, memaksimalkan ruang parkir dengan memanfaatkan
perbedaan waktu penggunaan, misalnya pada siang hari untuk parkir kantor sedang
malam hari untuk parkir retail, komersil. Package plan parking, membangun distrik
tempat parkir karyawan oleh beberapa perusahaan secara bersama. Membangun
tempat parkir di periperial kota, untuk menampung parkir para komuter yang tinggal di
suburban.
d)

Ruang Terbuka (Open Space)


Ruang terbuka bisa menyangkut semua landscape, elemen keras (hardscape, yang
meliputi jalan, pedestrian ways, dll.), taman dan ruang rekreasi di kawasan kota. Elemenelemen ruang terbuka juga menyangkut lapangan hijau, ruang terbuka hijau kota,
pohon-pohon, pagar, tanaman, air, penerangan, paving, kios-kios, tempat-tempat
sampah, air minum, sculpture, jam dsb.

e) Jalan Pedestrian (Pedestrian Ways)


Perencanaan pedestrian ways di kawasan kota sering dilupakan. Padahal
pedestrian ways merupakan elemen penting dalam perancangan kota, karena tidak
hanya lagi berorientasi pada keindahan semata, akan tetapi juga masalah kenyamanan
dengan didukung oleh kegiatan pedagang eceran yang dapat memperkuat kehidupan
ruang kota yang ada. Sistem pedestrian ways yang baik akan mengurangi keterikatan
terhadap kendaraan di kawasan pusat kota, meningkatkan pejalan kaki, mempertinggi
kualitas lingkungan melalui system perancangan yang manusiawi, menciptakan
pedagang kaki lima dan juga menjaga kualitas udara di kawasan kota.
f)

Kegiatan Pendukung (Activity Support)


Activity support adalah semua fungsi bangunan dan aktivitas yang menghidupkan
urban space (ruang publik) suatu kawasan kota. Aktivitas dan ruang fisik selalu memilikii
keterkaitan satu dengan yang lain. Bentuk, lokasi dan karakter suatu kawasan yang
nemiliki ciri khusus akan berpengaruh pula terhadap fungsi, penggunaan lahan dan
kegiatannya. Activity support tidak hanya menyediakan jalan pedestrian atau plaza,
tetapi juga mempertimbangkan fungsi utama dan penggunaan elemen-elemen kota
yang dapat menggerakkan aktivitas

g)

Penanda (Signage)
Signage merupakan elemen visual yang semakin penting dalam perancangan kota.
Penggunaan signage harus merefleksikan karakter kawasan, jarak dan ukuran tandatanda harus memadai dan diatur sedemikian rupa agar menjamin jarak penglihatan dan
menghindari kapadatan dan kekacauan, penggunaan signage harus harmonis dengan

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

13

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

bangunan arsitektur disekitar lokasi tersebut , pembatasan tanda-tanda dengan lampu


hias, kecuali penggunaan khusus di seperti theater dan tempat pertunjukkan,
pembatasan signage yang berukuran besar yang mendominir vistas kota. Signage juga
harus mempertimbangkan unsur estetika atau visual yang menitikberatkan pada
kesederhanaan. Kemudian dibedakan antara signage komersial dengan nonkomersial,
waktu pemasangan (duration of display) yang biasanya berkaitan dengan pengumumam,
obral dan standar perawatan.
h) Konservasi (Conservation)
Konservasi harus dikaitkan dengan konteks kota, konservasi harus harmonis
dengan lingkungan sekitarnya. Konservasi menurut Burra Charter 1981 dapat berupa
preservasi, restorasi (rehabilitasi), rekonstruksi, adaptasi dan demolisi.

3.2.

Ruang Jalan

Ruang secara sah sudah menjadi ruang publik, tanpa jalan tidak akan ada kota. Jalan
berfungsi sebagai akses menuju ruang-ruang privat, stuktur komunitas, mendukung
kehidupan kota. Jalan harus dirancang dengan mempertimbangkan keamanan, kesehatan
dan lalu lintas. Jalan juga harus memiliki kelengkapan seperti pedestrianways, street furniture
dan soft landscaping.
a) Street Furniture
Street furniture termasuk dalam hard landscape elemen, dapat disebut juga
floorscape. Jenis-jenis street furniture yaitu gardu telepon umum, lampu penerangan,
bangku, tanaman, rambu lalu lintas, papan penunjuk, CCTV kamera, gardu polisi,
bollards, dinding pembatas, pagar, air mancur, halte bus, patung, monumen, dll. Public
art juga termasuk salah satu bentuk street furniture. Dalam meningkatkan identitas dan
karakter, kualitas dan pengaturan street furniture adalah indikator utama dari kualitas
urban space. Menurut buku Glasgow City Centre Public Realm, Stategy and Guidelines,
Gillespies (1995) terdapat enam prinsip umum mengatur street furniture, yaitu:
1) Rancangan street furniture yang sederhana
2) Dimungkinkan untuk menyatukan elemen kedalam unit tunggal
3) Membuang street furniture yang terlalu memakan tempat
4) Mempertimbangkan street furniture sebagai bagian dari kota, disesuaikan
dengan kualitas lingkungan membantu memberikan identitas yang terpadu
5) Posisi street furniture harus dapat membentuk dan mensketsa ruang
6) Lokasi street furniture tidak boleh menghalangi pedestrian, kendaraan dan
pergerakan.

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

14

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

b) Soft landscaping
Soft landscaping merupakan penentu elemen dalam membentuk karakter dan
identitas kota, misalnya pohon ek akan berbeda karakternya dengan pohon cemara.
Pohon dan vegetasi yang lain dapat mengekspresikan perubahan musim. Landscaping
juga punya peran estetika yang penting yaitu lingkungan yang berlainan menjadi lekat
dan berstruktur. English Heritage menyarankan delapan strategi dalam landscaping,
yaitu:
1) Penampilan: untuk menghormati dalam kontek sejarah dan pembeda ciri local
2) Menghargai material yang cocok dan kombinasi penampilannya
3) Desainnya harud tahan lama dan mudah dalam perawatan
4) Pembersihan: dapat dengan mudah disapu, dicuci, dan pembersihan khusus dari
permen karet dan coretan.
5) Menghindari kekacauan, dengan menjaga penanda untuk meminimalkan dan
menggunakan pos yang tersedia dilingkungan atau alat perdindingan
6) Memperhatikan pejalan kaki: memberikan atmosfer dan penanda arah yang jelas
7) Memperhatikan orang penyandang cacat: untuk keamanan, kenyamanan,
menghilangkan rintangan
8) Lalu lintas: memperhatikan transportasi umum, pemakai sepeda, kenyamanan
dan keamanan pejalan kaki yang menyeberang jalan.

3.3.

Sistem Jaringan Transportasi di Perkotaan

Jaringan transportasi di perkotaan terjadi sebagai interaksi antara transpor, tata guna
lahan (land use), populasi (jumlah penduduk) dan kegiatan ekonomi di suatu wilayah
perkotaan (urban area). Transportasi sangat berhubungan dengan adanya bangkitan
ekonomi di suatu daerah perkotaan, guna memacu perekonomian setempat, untuk
menciptakan lapangan kerja, dan untuk menggerakkan kembali suatu daerah. Namun dalam
kenyataan, hubungan tersebut masih sangat tidak jelas
Konsep transportasi adalah adanya pergerakan berupa perjalanan (trip) dari asal
(origin) sampai ke tujuan (destination). Asal (origin) dapat berupa rumah (home), sehingga
perjalanan yang dilakukan disebut home base trip, menuju kepada tujuan berupa kegiatan
yang akan dilakukan, seperti kegiatan sosial (sekolah, olah raga, keluarga, dan sebagainya)
dan kegiatan usaha (bekerja, berdagang, dan sebagainya).
Menurut Kusbiantoro (1993), Dalam perencanaan transportasi, setidaknya ada tiga
sistem yang saling terkait yang mempengaruhi sistem transportasi tersebut, yaitu sistem
kegiatan (land use), sistem jaringan (jalan), dan sistem pergerakan (arus). Interaksi ketiga
sistem tersebut berdampak pada sistem lingkungan, sehingga ketiga sistem tersebut harus
diatur.

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

15

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

Gambar 3.1. Sistem Transportasi


(Sumber: Kusbianto, 1993)

Sistem kegiatan sebagai salah satu bagian dari sistem transportasi sangat terkait
dengan kegiatan-kegiatan yang terjadi pada jalur transportasi. Kegiatan yang dilakukan oleh
orang yang juga terjadi pada jalur sirkulasi dapat dibedakan dalam dua macam kegiatan
pokok, yaitu:
1. Kegiatan usaha, yang merupakan kegiatan harian (daily activity), dan dibagi dalam:
kegiatan dasar (basic activity) dan kegiatan jasa (services activity)
2. Kegiatan sosial, yang merupakan kegiatan berkala (periodic activity).
Dalam pergerakan perjalanan dari kawasan asal asal (origin) ke kawasan tujuan
(destination) terdapat aliran barang (flow of goods) dan aliran jasa (flow of services). Aliran
barang umumnya mencakup wilayah (regional), sedangkan aliran jasa lebih banyak
berlangsung di dalam kota. Kegiatan-kegiatan ini tentunya akan mengganggu arus lalu lintas
kendaraan, jika menggunakan ruang sirkulasi untuk kegiatan-kegiatan tersebut.
Dalam kasus ruang jalan, sebenarnya seperti halnya jalan-jalan yang lainnya sudah
ada pengaturan yang jelas, baik dari Pemerintah pusat melalui UU No. 38 Tahun 2004 tentang
Jalan, dan diperjelas dengan Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2006 tentang Jalan, serta
Ketetapan Peraturan Daerah dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), maupun
Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK), dan Rencana Tata Letak Bangunan dan Lingkungan
(RTBL), yang mengatur pemisahan hak atas jalan dan bangunan di pinggirannya. Pemisahan
tersebut dinamakan dengan RUMIJA (Ruang Milik Jalan). Sehingga ketika merancang suatu
jalan, maka fungsi-fungsi ikutan terhadap jalan, seperti drainase, trotoar, dan pepohonan
sudah diakomodasi dalam RUMIJA tersebut.
Tetapi, kembali lagi Perencanaan tansportasi tidak dapat berdiri sendiri karena
sebagai derived demand maka harus ada irisan (kesesuaian) dengan rencana sektoral lainnya
yang bersinggungan dalam daerah tersebut. Selain itu, di dalam perencanaan transportasi
itu sendiri juga banyak sistem yang harus diatur sehingga harus sistemik dan akomodatif
terhadap elemen-elemen di dalamnya (lihat gambar 3.1).

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

16

Rancang Kota
RK - 6211

3.4.

Berkelanjutan

Dimensi Sosial Ruang Publik

Hubungan antara manusia (society) dan lingkungannya (space) sangat penting dalam
urban design. Perlu dipahami bahwa arsitektur dan lingkungan fisik mempengaruhi
kebiasaan hidup manusia begitu pula sebaliknya, manusia sangat aktif sehingga dapat
mempengaruhi dan mengubah lingkungan. Menurut Jan Gehl (1996) dengan desain dalam
batas waktu, iklim dan social sangat mungkin mempengaruhi berapa banyak orang yang
menggunakan ruang publik, berapa lama mereka beraktivitas dan aktivitas apa yang
dilakukan. Kegiatan diluar dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu :
a. Necessary activity: kegiatan wajib (misalnya, sekolah, bekerja, belanja, menunggu bus
dll.) Pelakunya tidak punya pilihan, kejadiannya biasa dipengaruhi oleh keadaan fisik.
b. Optional activity: kegiatan yang sengaja dilakukan,bila waktu dan tempat cocok
(misalnya, jalan-jalan sambil menghirup udara segar, berhenti untuk minum kopi di
street cafe, melihat orang-orang, dll.)
c. Social activity: kegiatan yang bergantung pada orang lain di dalam ruang public
(misalnya, menyapa orang, mengobrol, aktivitas komunal, kontak pasif seperti melihat
dan mendengar orang lain).
Dalam kualitas public space yang lebih tinggi, necessary activity mempunyai frekuensi
yang sama, walaupun orang mempunyai waktu yang lama untuk melakukanya, tetapi yang
paling penting dalam rentang yang luas optional/ social activity juga terjadi.
3.5.

Kajian Teori The Great Streets

Menurut Allan B. Jacobs dalam buku Great Streets, 2001, McGraw-Hill, ada beberapa
persyaratan jalan yang dapat menciptakan kualitas lingkungan perkotaan yang baik, yaitu:
a) Places for people to walk with some leisure
Kesenangan yang dapat dirasakan saat berjalan kaki adalah saat pejalan kaki dapat
bertatap muka dengan pejalan kaki lain, dan merasakan pengalaman ruang (dengan
melihat lingkungan kota secara langsung dari dekat), dengan rasa aman dan melangkah
dengan nyaman. Rasa aman tersebut dapat dimunculkan, misalnya dengan pemisahan
pejalan kaki dari kendaraan dengan perdu yang diselingi pohon-pohon dengan jarak
yang dekat, peninggian trotoar, dan pengadaan perdu di tempat-tempat parkir. Tetapi
pada jalan yang sempit dan ramai, ketiadaan pemisahan secara fisik antara jalar pejalan
kaki dan kendaraan, misalnya tanpa perdu, pun dapat menjadi solusi yang baik, biarkan
mobil dan orang bercampur.

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

17

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

Gambar 3.2. Tempat-tempat yang Memberikan Kesenangan Bagi Pejalan Kaki


(Sumber: www.flickr.com)

b) Physical comfort
Kenyamanan fisik yang dimaksud antara lain kehangatan dan sinar matahari saat cuaca
dingin (kecuali di kota-kota di Alaska), kesejukan saat cuaca panas, dan perlindungan dari
angin.

Gambar 3.3. Ruang-ruang Sirkulasi yang Memberikan Kenyamanan Fisik Bagi Penggunanya
(Sumber: www.flickr.com & www.pps.org)

c) Definition
Jalan yang baik memiliki definisi, batas-batas yang membentuk tepi jalan dan
memisahkannya dari fasade bangunan. Jalan didefinisikan dalam dua cara: vertikal
(berhubungan dengan ketinggian bangunan, dinding, atau pepohonan), dan horizontal
(berhubungan dengan panjang dan jarak antar fungsi/aktivitas di jalan). Untuk kedua
ujung jalan, definisi jalan yang baik adalah secara vertikal dan horizontal. Unsur-unsur
pendefinisi antara lain lantai, bangunan, dinding, dan pepohonan.

Gambar 3.4. Ruang Sirkulasi Jalan dan Jalur pedestrian yang Terdefinisi Dengan Adanya Bentukan
Fisik Kegiatan Komersial
(Sumber: www.flickr.com)

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

18

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

d) Qualities that engage the eyes


Jalan yang baik menyediakan karakter fisik yang menarik untuk dilihat. Hal ini dapat
dicapai antara lain dengan fasade bangunan yang bervariasi dan bertekstur,
penanda/yang menarik namun tetap berorientasi, pepohonan, dan lampu-lampu di saat
malam hari.

Gambar 3.5. Ruang Sirkulasi Jalan dan Jalur pedestrian yang Memperlihatkan Kualitas Visual Yang
Baik dengan Adanya Elemen-elemen Pendukung di Sisinya
(Sumber: www.flickr.com)

e) Transparency
Jalan yang baik kualitas transparansi di mana area publik dan semi publik/privat (seperti
bangunan) bertemu. Transparansi yang dimaksud adalah di mana seseorang dapat
melihat atau menebak apa yang berada di balik apapun yang mendefinisikan jalan. Hal
ini dapat diwujudkan misalnya dengan pintu-pintu dan jendela-jendela bangunan yang
terbuat dari kaca, atau pengadaan zona transisi antara jalan dengan pintu bangunan
(yaitu zona yang memundurkan jendela pajang atau ruang pajang).

Gambar 3.6. Bangunan-bangunan di Sekitar Ruang Sirkulasi Jalan dan Jalur Pedestrian yang Lantai
Satunya Terbuka
(Sumber: www.flickr.com)

f) Complementarity
Pada jalan yang baik, bangunan-bangunannya sejalan dan senada, tidak sama tetapi
saling menghormati. Hal ini terlihat dari ketinggian bangunan dan fasadenya. Usia
bangunan dan langgamnya tidak harus serupa, tetapi lebih kepada rangkaian karakter
Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

19

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

antar bangunan pada khususnya, dan karakter jalan pada umumnya. Hal ini bisa
diwujudkan, misalnya, melalui material, warna, garis sempadan bangunan, ukuran
bangunan, bukaan-bukaan dan detil-detilnya: jalan masuk, jendela, teras, teritisan, dan
garis jatuhnya bayangan.

Gambar 3.7. Bangunan-bangunan di Sekitar Ruang Sirkulasi Jalan dan Jalur Pedestrian Memiliki
Karakter yang Saling Mendukung
(Sumber: www.flickr.com)

g) Maintenance
Perawatan fisik jalan juga salah satu syarat jalan yang baik, yaitu perawatan pepohonan,
bangunan, dan elemen-elemen jalan. Perawatan ini hendaknya memperhatikan faktor
kebersihan dan fungsional serta penggunaan material yang mudah untuk dirawat.

Gambar 3.8. Ruang Sirkulasi Jalan dan Jalur Pedestrian Mudah Dalam Perawatannya
(Sumber: www.flickr.com)

h) Quality of construction and design


Syarat yang terakhir ini berhubungan dengan pengerjaan (workmanship), material, dan
cara bagaimana orang menggunakan material dalam desain.

Gambar 3.8. Desain Ruang Sirkulasi Jalan dan Jalur Pedestrian Yang Berkualitas dan Menarik
(Sumber: www.flickr.com)

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

20

Rancang Kota
RK - 6211

3.6.

Berkelanjutan

Kajian Peraturan dan Perundang-Undangan

Jalan adalah sarana infrastruktur vital yang menunjang aktivitas dan mobilitas
kegiatan perekonomian masyarakat umum. Baik jalan dalam lingkungan perdesaan di daerah
terpencil hingga jalan tol (jalan bebas hambatan) di ibukota Negara. Sehingga Pemerintah
Pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum membuat peraturan, untuk penyelenggaraan
jalan tersebut perlu diatur oleh Undang-Undang, dalam hal ini UU No 38 Tahun 2004 tentang
Jalan, dan diperjelas dengan Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2006 tentang Jalan, karena
Undang-Undang No 13 Tahun 1980 tentang Jalan ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1980 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3168 ) tidak
sesuai lagi sebagai landasan hukum pengaturan tentang jalan.
Dalam PP No 34 Tahun 2006 tentang Jalan, dijelaskan bahwa jalan adalah sarana
transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah,
di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan
air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Dan jalan umum adalah jalan yang
diperuntukkan bagi lalu lintas umum, yang membentuk suatu Sistem Jaringan Jalan yang
merupakan satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat
pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu
hubungan hierarki.
a) Status Jalan Umum
Untuk jalan umum, menurut statusnya dikelompokkan atas: (1) Jalan Nasional,
(2) Jalan Provinsi, (3) Jalan Kabupaten, (4) Jalan Kota, dan (5) Jalan Desa. Berdasarkan
status tersebut di atas, Jalan Nasional yang pengelolaannya langsung di bawah tanggung
jawab Departemen Pekerjaan Umum (Bina Marga) Pemerintah Pusat, terdiri atas: (a)
Jalan arteri primer, (b) Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota
provinsi, (c) Jalan tol, dan (d) Jalan strategis nasional. Sedangkan Jalan Provinsi yang
pengelolaannya di bawah tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga
Pemerintah Provinsi, terdiri atas: (a) Jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota
provinsi dengan ibukota kabupaten atau kota, (b) Jalan kolektor primer yang
menghubungkan antar ibukota kabupaten atau kota, (c) Jalan strategis provinsi, dan (d)
Jalan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta (khusus untuk provinsi DKI Jakarta).
Jalan Kabupaten yang pengelolaannya di bawah tanggung jawab Dinas Pekerjaan
Umum Bina Marga Pemerintah Kabupaten, terdiri atas: (a) Jalan kolektor primer yang
tidak termasuk jalan nasional dan jalan provinsi, (b) jalan lokal primer yang
menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, ibukota kabupaten
dengan pusat desa, antar ibukota kecamatan, ibukota kecamatan dengan desa, dan
antar desa, (c) Jalan sekunder yang yang tidak termasuk jalan provinsi dan jalan sekunder
dalam kota, dan (d) Jalan strategis kabupaten. Jalan kota yang pengelolaannya menjadi
tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga atau Tata Kota Pemerintah Kota
Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

21

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

adalah jalan umum pada jaringan sekunder di dalam. Dan untuk jalan desa, adalah jalan
lingkungan primer dan jalan lokal primer yang tidak termasuk jalan kabupaten di dalam
kawasan perdesaan dan merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan
dan/atau antar pemukiman dalam desa.
b) Ruang Manfaat Jalan, Ruang Milik Jalan & Ruang Pengawasan Jalan
Pasal 34 PP No 34 Tahun 2006 tentang Jalan memuat Ruang Manfaat Jalan yang
meliputi: badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Dimana ruang
sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu yang ditetapkan
oleh penyelenggara jalan (dalam hal ini Pemerintah) yang berpedoman dengan
peraturan yang berlaku. Ruang Manfaat Jalan tersebut biasanya digunakan untuk
median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng,
ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong (box culvert), perlengkapan
jalan, dan bangunan pelengkap lainnya. Sehingga setiap orang yang merupakan Warga
Negara Indonesia dilarang memanfaatkan Ruang Manfaat Jalan yang dapat
mengganggu fungsi jalan sebagai sarana fasilitas umum.
Ruang Milik Jalan, sesuai dengan Pasal 40 PP No 34 Tahun 2006 tentang Jalan
paling sedikit memiliki lebar sebagai berikut: (a) Jalan bebas hambatan 30 meter, (b)
Jalan raya 25 meter, (c) Jalan sedang 15 meter, dan (d) Jalan kecil 11 meter. Ruang Milik
Jalan tersebut diberi tanda yang sudah ditetapkan oleh penyelenggara jalan yang diatur
dalam Peraturan Menteri yang dikeluarkan oleh Menteri Pekerjaan Umum. Apabila
terjadi gangguan dan hambatan terhadap ruang milik jalan, maka penyelenggara jalan
(pemerintah) wajib segera mengambil tindakan untuk kepentingan pengguna jalan yang
diatur dengan suatu hak tertentu sesuai dengan perundang-undangan.
Di dalam Pasal 44 PP No 34 Tahun 2006 tentang Jalan, mengenai Ruang
Pengawasan Jalan dijelaskan sebagai ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang
penggunaannya ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan. Ruang Pengawasan
Jalan tersebut diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan
konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan. Dalam hal Ruang Milik Jalan tidak cukup
luas, lebar Ruang Pengawasan Jalan ditentukan dari tepi badan jalan paling sedikit
dengan ukuran sebagai berikut: (a) Jalan arteri primer 15 meter, (b) Jalan kolektor primer
10 meter, (c) Jalan lokal primer 7 meter, (d) Jalan lingkungan primer 5 meter, (e) Jalan
arteri sekunder 15 meter, (f) Jalan kolektor sekunder 5 meter, (g) Jalan lokal sekunder 3
meter, (h) Jalan lingkungan sekunder 2 meter, dan (i) Jembatan 100 meter ke arah hilir
dan hulu.

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

22

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

Gambar 3.2. Dimensi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan & ruang
pengawasan jalan.
(Sumber: PP No. 34 Tentang Jalan, 2006)

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

23

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

BAB 4
PEMBAHASAN
4.1. Analisis Mikro (Lingkup Kawasan Studi)
Jalan merupakan objek strategis yang dapat meningkatkan hajat hidup orang banyak
karena memiliki peran penting dalam transportasi barang dan jasa. Adanya akses dan
mobilitas barang dan jasa, dapat meningkatkan perekonomian, perdagangan, industri,
manufaktur, dan sosial budaya dalam suatu wilayah regional dan nasional. Sehingga perlu
diusahakan peningkatan kualitas jalan dan transportasi yang baik agar dapat membantu
memperlancar hubungan dan mempercepat lalu lintas perputaran roda ekonomi di daerah
pedesaan yang jauh terisolasi dengan daerah lain yang lebih maju.
Kawasan pasar tradisional di sekitar perempatan Jl. Ir. H. Juanda dengan Jl. Siliwangi
dan Jl. Dipati Ukur, atau lebih dikenal sebagai Simpang Dago, merupakan salah satu kawasan
tersibuk dan terpadat di Bandung Utara, terutama aktivitas perdagangannya. Pasar
tradisional di sisi Timur jalan yang semestinya berada di lokasi yang lebih ke dalam (menjauh
dari badan jalan), pada saat tertentu, terutama pagi hari selalu meluas ke badan jalan,
sehingga jalan yang tadinya mampu dilewati tiga jalur kenderaan, praktis hanya mampu
dilewat satu jalur kenderaan. Belum lagi aktivitas perdagangan informal yang menempati
ruang pedestrian dan sebagian badan jalan. Meskipun sudah berbagai usaha dilakukan untuk
menertibkan dan mengelola kawasan ini, misalnya dengan pembuatan pagar besi, tetapi
malah justru merusak kualitas visual pada kawasan.
Demikian juga di sisi Barat, PKL dan pedagang informal mendominasi ruang pedestrian
dan sebagian badan jalan. Tidak tersedianya ruang khusus untuk parkir kenderaan, tidak
adanya tempat khusus untuk angkot menunggu, menaikkan dan menurunkan penumpang,
serta tidak jelasnya deliniasi antara tiap area (PKL, pedestrian, parkir, shelter angkot dan
badan jalan), menimbulkan kesemrawutan dan perebutan ruang-ruang yang ada. Berikut
akan dijelaskan identifikasi berbagai isu dan persoalan di dalam lingkup kawasan, serta
kemungkinan solusi desain yang dapat diterapkan.
Tabel 4.1. Isue dan Persoalan Dan Usulan Solusi Desain Kawasan Simpang Dago
Isu dan Persoalan

Solusi Desain

Angkot
menunggu,
menurunkan
dan
menaikkan penumpang menggunakan badan
jalan
2. Kenderaan bermotor roda dua dan roda empat
serta becak, parkir sembarangan dengan
menggunakan badan jalan
3. PKL/pedagang informal mendominasi trotoar,
sehingga parkir dan pejalan terpaksa
menggunakan badan jalan
4. Deliniasi area PKL, parkir, ruang jalan dan
pedestrian
tidak
jelas,
sehingga
membahayakan pengguna jalan

Menempatkan shelter angkot di kedua sisi jalan


untuk menaikkan dan menurunkan penumpang agar
tidak mengganggu sirkulasi
Penyediaan parkir bersama (public space on private
property) yang dikelola oleh masyarakat agar saling
menguntungkan
Parkir on-street dikedua sisi jalan yang dirancang
dekat dengan PKL, berselingan, sehingga tidak
mengganggu pedestrian
Membuat deliniasi dengan material dan elemen
lansekap yang dirancang baik, selain fungsional juga
memberi kualitas visual

1.

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

24

Rancang Kota
RK - 6211

5. PKL berorientasi ke jalan (pada sisi Timur). Pada


sisi Barat, sebagian PKL sudah berorientasi ke
pedestrian

Berkelanjutan

PKL dirancang menarik dan berorientasi ke


pedestrian, sehingga tidak mengganggu sirkulasi
pada jalan

(Sumber: Analisis Pribadi, Mei 2008)

a) Identifikasi Persoalan yang Menyebabkan Perebutan Ruang pada Jalan Ir. H.


Juanda, Simpang Dago

Gambar 4.1. Identifikasi Persoalan Pada Koridor Jalan Simpang Dago


(Sumber: Hasil Olahan Pribadi, Mei 2008)

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

25

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

4.2. Usulan Rekomendasi


Hal yang perlu digarisbawahi dalam perencanaan sistem transportasi pada Kawasan
Simpang Dago ini adalah tidak selamanya rencana jalan yang dibuat sesuai dengan
perkembangan kota sekarang dan di masa depan. Jalan Ir. H. Juanda (Simpang Dago) yang
seharusnya menjadi jalan penghubung antara Bandung Utara dengan Bandung Selatan,
sekarang sudah menjadi kawasan transit bahkan persinggahan untuk orang makan (siang dan
malam) dan berbelanja, dan kemudian sekarang ini menjadi food court road. Fenomena
khusus inilah yang harus ditangkap dan diberikan penataan yang tersendiri (case by case)
agar masalah terpecahkan.
Hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan sebelum menata kawasan ini, antara lain:
1) Ada beberapa elemen pengguna Jalan Ir. H. Juanda (Simpang Dago) yang saling
bersinggungan di sini, seperti pedestrian vs pedagang kaki lima, transit angkot
(ngetem) vs arus pergerakandan dan perparkiran vs arus pergerakan.
2) Perbedaan volume dan karakteristik pengunjung Jalan Ir. H. Juanda (Simpang Dago)
pada siang dan malam hari. Pada siang hari, prioritas adalah efisiensi waktu,
sedangkan malam hari adalah kenyamanan.
Dengan tujuan untuk mengoptimalkan efisiensi transportasi Jalan Ir. H. Juanda
(Simpang Dago) dan kepentingan transportasi secara makro, maka ada beberapa program
yang dapat dilaksanakan pada kawasan ini adalah:
a) Rekomendasi Subsatansi
Rekomendasi substansi yaitu terkait dengan penataan ulang fisik kawasan
Simpang Dago. Penataan yang dilakukan meliputi pemisahan hak antara trotoar/jalur
pedestrian, badan jalan, pemilik toko, pemilik bangunan (lingkup pribadi), dan pedagang
informal.

Gambar 4.2. Ide Penataan Koridor Jalan Simpang Dago di Sisi Timur (Bangunan Pertokoan dan
Bangunan Pasar)
(Sumber: Hasil Analsis Pribadi, Mei 2006)

Pembuatan trotor dibuat di antara bangunan toko (pada sisi pasar) dan pedagang
kaki lima, sehingga toko dan pedagang informal hadap-hadapan dan sebaiknya sebagai
pembatas antara pedagang informal dan jalan diberikan pepohonan, sehingga batasan

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

26

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

Damija menjadi jelas. Pepohonan juga menjadi elemen peneduh untuk kawasan dan
sekaligus memberikan kualitas visual yang lebih menarik.
Dengan ada kebijakan ini, maka pihak yang dikorbankan adalah perpakiran, dan
sebaiknya tidak diperkenankan untuk parkir di jalan tersebut. Dalam jangka pendek,
mungkin dapat diterapkan parkir progresif.
Walaupun pun mengundang kontra karena pendapatan Pemda dari Pakir
menjadi menurun, tetapi rasionalitas rekomendasi ini juga sangat logis. Karena dengan
panjang ruas jalan yang tidak panjang, ditambah bangunan komersialnya tidak memang
sesuai untuk karakteristik pejalan kaki, maka sangat wajar jika elemen transportasi para
pengguna Jalan Sabang dan pejalan kaki yang diutamakan.
Warung Tenda (pedagang informal)

Median Jalan

Jalan

Jalur Pedestrian

Kantor dan rumah

Pepohonan

Gambar 4.3. Ide Penataan Koridor Jalan Simpang Dago di Sisi Barat (Bangunan Perkantoran dan
Rumah Pribadi)
(Sumber: Hasil Analsis Pribadi, Mei 2006)

Penataan pada sisi Timur Koridor Jalan Ir. H. Juanda (Simpang Dago) adalah
sebagai berikut (Gambar 4.3):
1) Pedestrian di perluas 1,8 meter
2) Pedestrian di buat dengan konsep universal design sehingga aksesible untuk
penyandang cacat.
3) Pedestrian dilengkapi dengan pepohonan sebagai peneduh dan juga sebagai
pembatas untuk perletakan warung tenda dan gerobak.
4) Warung tenda (pedagang informal) ditata dengan menggunakan tenda yang
berukuran standar (2 x 4 meter) dan juga gerobak yang standar.
5) Warna warung tenda dan gerobak bervariasi untuk menampilkan kesan estetis
bagi kawasan Simpang Dago.
6) Warung tenda dibalik arah orientasinya ke jalur pejalan kaki, sehingga aktivitas jual
beli berorientasi ke jalur pedestrian dan sekaligus menghidupkan jalur pedestrian
untuk digunakan oleh pejalan kaki. Hal ini dilakukan untuk kelancaran lalu lintas,
Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

27

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

yang diakibatkan oleh tidak adanya orang yang berjalan di badan jalan dan
kendaraan yang parkir di badan jalan untuk membeli makanan.
7) Kendaraan roda 4 sendiri disediakan area parkir (lihat Gambar 4.4.) dan parkir
kendaraan roda dua ditempatkan di antara ruang antar tenda dengan tenda (ruang
yang ada peneduh pepohonannya).
Melalui hasil analisis secara makro dan mikro, juga berdasarkan kajian teori,
peraturan dan kaji banding, berikut diusulkan sebuah gagasan rancangan kawasan yang
secara kualitatif mampu mengurangi beban jalan pada kawasan Simpang Dago, dapat
dilihat pada Gambar 4.3

b) Rekomendasi Teknis
Rekomendasi teknis terkait dengan yaitu pembentukan kelompok kerja (pokja)
yang bertugas sebagai task force untuk menangani khusus masalah-masalah food court
road, sehingga dari perencanaan, implementasi, dan kontrolnya dapat dikelola oleh
Pokja tersebut. Elemen pokja tersebut harus melibatkan seluruh kepentingan, yang
diketuai oleh Dinas Tata Kota, dengan anggotanya seperti: Dispenda, Dishub, Dis Bina
Marga, Asosiasi Pemilik bangunan Jl. Ir. Juanda (Simpang Dago), Asosiasi Pedagang
Informal, dan YLKI.

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

28

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

Gambar 4.3. Usulan Design Koridor Komersial Jl. Ir. Juanda (Kawasan Simpang Dago) dalam Usaha
Mengurangi Dampak Perebutan Ruang Jalan Yang Menyebabkan Kemacetan Lalu Lintas dalam
lIngkup Mikro
(Sumber: Hasil Analsis Pribadi, Mei 2006)

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

29

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

BAB 5
KESIMPULAN

Pelajaran berharga yang dapat diambil dari kasus Jalan Ir. H. Juanda (Simpang Dago) ini
adalah suatu jalan yang kawasan sekitarnya diisi oleh kawasan perkantoran dan pasar tidak
hanya menarik orang untuk melakukan perjalanan transportasi ke sana, tetapi juga
mendatangkan orang untuk beraglomerasi secara ekonomi di sana. Hal inilah yang sering
dilupakan dalam merencanakan dan merancang suatu jalan.
Terkait dengan hal tersebut, kawasan-kawasan seperti ini perlu penataan untuk
menghadirkan kualitas lingkungan yang baik dengan penataan lingkup mikro, melalui
penataan kembali fisik kawasan Simpang Dago. Penataan yang dilakukan meliputi pemisahan
hak antara trotoar/jalur pedestrian, badan jalan, pemilik toko, pemilik bangunan (lingkup
pribadi), dan pedagang informal.
Untuk mengurangi kemacetan lalu lintas, orientasi aktivitas pedagang informal di
arahkan ke jalur pedestrian dan kondisi ini sekaligus mengaktivkan jalur pedestrian dan
mengurangi aktivitas pejalan kaki pada badan jalan dan kendaraan bermotor yang parkir di
badan jalan sehingga mengurangi lebar efektif badan jalan yang merupakan salah satu
penyebab kemacetan.
Rekomendasi yang saling terkait, adalah untuk meminimalisasi persoalan Jalan Ir. H. Juanda
(Simpang Dago) dan juga untuk jalan-jalan lain yang serupa, maka dalam peraturan daerah
untuk menentukan desain jalan harus ada perubahan dalam komponen pembentuknya.
Perencanaan RUMIJA juga harus memasukkan ruang bagi sektor informal agar ketika terjadi
aglomerasi ekonomi di kawasan tersebut, sudah bisa diantisipasi.

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

30

Rancang Kota
RK - 6211

Berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA

Adrianto, Joko dalam artikel; Trotoar sebagai Area Perebutan Ruang Kehidupan, Studi Kasus
Di Kawasan Kebun Raya Bogor Jawa Barat.
Badan Prerencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat, 2007. Rencana Sistem Transportasi Kota
Bandung.
Budihardjo, Eko & Joko Sujarto, 2005. Kota Berkelanjutan, Penerbit Alumni Bandung
Carmona, Heath, Oc, Tiesdell. Public Spaces Urban Spaces The Dimensions of Urban Design.
2003: Oxford, Architectureal Press.
Djokomono, Imam. 2004.
Ruang Publik Kota, Pedagang Kaki Lima Dan Publik
Transportation. 1st Internasional seminar, National Symposium, Exhibition and
Workshop in Urban Design, Yogyakarta 2004.
Direktorat Penataan Ruang Wilayah Tengah Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Departemen Pekerjaan Umum, 2005. Executive Summary: Penanganan Isu-Isu
Strategis Kawasan Cekungan Bandung.
Jacobs, Alan, 1993. Great Streets, Massachusett, MIT Press.
Newmanet all, 1998. Sustainability and Cities, Island Press.
Panduan Kriteria SUT, 2005. Pedoman Kriteria Transportasi Berkelanjutan.
Sirvani, Hamid, 1988. The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold Company Inc, New
York.
Sukarto, Haryono, 2006. Pemilihan Model Transportasi di DKI Jakarta dengan Analisis
Kebijakan Proses Hirarki Analitik, Jurnal Teknik Sipil Universitas Pelita Harapan.
Tamir, Ofyzar, 1998. Perencanaan Transportasi, ITB Bandung.
Watson et all. Time Saver Standards for Urban Design. 2003: New York. Mc Graw and Hill.
Williams, et all, 2000. Achieving Sustainable Urban Form, Taylor & Francis Groups, London and
New York.
Yuyun Yunia Ismawati dalml URDI, 2006. Buku 2 Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia
dalam Abad 21; Pengalaman Pembangunan Perkotaan di Indonesia, Urban and
Regional Development Institute.
Zahnd, Markus, 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu; Teori Perancangan Kota dan
Penerapannya, Penerbit KKanisius.
www.togarsilaban.com
Silaban, Togar, 2007.Artikel; Bandung Membuang Sia-sia Rp. 2,5 milyar perhari.
www.arifhidayat.com
Arif, 2006, artikel; PKl, Aset atau Permasalahan Kota Bandung.
www.beritaiptek.com
Bambang Setia Budi, 2005 Artikel Iptek - Bidang Tata Kota, Perumahan dan Permukiman;
Mendesak "Grand Design" Kota Bandung.

Hajar Suwantoro 256 07 004 | Irfandi - 256 07 005

31

You might also like