You are on page 1of 5

28

Buletin
Teknik Pertanian Vol. 15, No. 1, 2010: 28-32

Heny Yusrini: Teknik pengujian kadar aflatoksin B1 pada jagung menggunakan kit ELISA

TEKNIK PENGUJIAN KADAR AFLATOKSIN B1 PADA JAGUNG MENGGUNAKAN KIT ELISA


Heny Yusrini
Teknisi Litkayasa Nonkelas pada Balai Besar Penelitian Veteriner
Jalan R.E. Martadinata No. 30, Kotak Pos 52, Bogor 16114, Telp. (0251) 8334456, Faks. (0251) 8336425, E-mail: balitvet@indo.net.id

agung merupakan salah satu komponen penting dalam


pakan ternak. Keperluan jagung untuk pakan dan industri
pangan lebih besar dibanding untuk konsumsi langsung.
Kebutuhan jagung untuk pakan diproyeksikan meningkat
dari 3,34 juta ton pada tahun 2005 menjadi 4,90 juta ton pada
tahun 2010 (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Pertanian 2007).
Komposisi jagung pada pakan ternak mencapai 60%.
Oleh karena itu, penggunaan jagung yang berkualitas baik
sangat penting untuk menghasilkan pakan yang bermutu
baik. Masalah yang sering timbul dalam pemanfaatan jagung
sebagai bahan pangan maupun pakan adalah kontaminasi
senyawa aflatoksin. Senyawa ini dihasilkan oleh kapang
Aspergilus flavus yang umumnya tumbuh pada jagung yang
berkadar air tinggi (>15%) akibat cara penyimpanan yang
kurang benar (Rachmawati 2004).
Secara kasat mata, kandungan aflatoksin pada jagung
dapat terlihat pada biji maupun tongkol yang berwarna semu
ungu sampai ungu, dan bila dilihat pada lampu florescens,
warna ungu tersebut akan berpendar. Namun, cara tersebut
hanya dapat digunakan bila kandungan aflatoksin pada
jagung sudah tinggi. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 2000), kadar aflatoksin maksimal pada jagung
untuk pakan adalah 50 ppb (part per billion).
Untuk mengetahui kadar aflatoksin pada jagung secara
tepat, diperlukan metode yang terstandar, antara lain Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Metode ELISA dapat
dipilih sebagai metode skrining karena dapat menganalisis
sampel jagung secara cepat, sensitif, dan relatif murah
(Stanker dan Beier 1995). Balai Besar Penelitian Veteriner
(Bbalitvet) telah berhasil mengembangkan perangkat analisis
aflatoksin metode ELISA berupa kit yang berisi pereaksi
analisis dilengkapi dengan program pengolah data (Rachmawati 2005). Percobaan bertujuan untuk mengetahui teknik
pengujian aflatoksin pada jagung dengan kit ELISA.

BAHAN DAN METODE


Percobaan dilaksanakan di laboratorium toksikologi Bbalitvet,
Bogor, pada bulan Juni sampai November 2008. Kegiatan

pengujian diawali dengan pengumpulan sampel jagung dari


bagian diagnostik Bbalitvet dengan sampel jagung berasal
dari pasaran. Selanjutnya, sampel dianalisis untuk
mengetahui kadar aflatoksinnya.
Bahan yang digunakan untuk pengujian kadar aflatoksin
adalah sampel jagung, bahan untuk ekstraksi sampel yaitu
metanol 60%, dan bahan untuk analisis aflatoksin yaitu
perangkat kit ELISA yang terdiri atas seri standar aflatoksin
B1 (AFB1) 0,12 ppb sampai dengan 30 ppb, plat pencampur,
plat yang sudah dilapis antibodi (coated antibody plate),
konjugat AFB1 HRPO pekat (1/100), pengencer konjugat
larutan BSA/PBS, substrat A (bufer asetat), substrat B
(tetrametilbenzidin/DMSO), dan larutan penghenti H 2SO 4
1,25 M. Peralatan yang digunakan yaitu pipet mikro 1-10 l,
40-200 l, dan 200-1.000 l, multichannel pipet 40-300 l,
reservoir, tisu, pipet tip, effendorf, rak tabung, timbangan,
plat pencampur, pengocok, sentrifuse, dan ELISA reader.
Bagan alir analisis aflatoksin menggunakan kit ELISA
yang dilakukan di laboratorium Bbalitvet dapat dilihat pada
Gambar 1.

Cara Kerja
Preparasi Sampel
Sampel yang berupa biji jagung digiling dengan menggunakan penggiling Retsel Muhle dan disaring dengan
saringan 0,75 mesh, kemudian diambil subsampel.
Preparasi Ekstrak Sampel
Untuk mengekstrak sampel, dibuat 100 ml metanol 60%
dengan cara mencampur 60 ml metanol pa dengan 40 ml
akuades. Selanjutnya, ditimbang 25 g sampel jagung lalu
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, dan ditambahkan
50 ml metanol 60% lalu digoyang selama 30 menit. Campuran
lalu disentrifuse pada 3.000 rpm selama 15 menit. Larutan
yang jernih diambil untuk digunakan sebagai bahan analisis.
Plat mikro, baik plat pencampur maupun plat berlapis
antibodi terdiri atas lubang-lubang (sumur), lubang ke bawah

29

Heny Yusrini: Teknik pengujian kadar aflatoksin B1 pada jagung menggunakan kit ELISA

mulai dari A sampai H, ke samping mulai dari No 1 sampai 12,


sehingga jumlahnya 96 lubang. Untuk memudahkan pelaksanaan analisis, dibuat sketsa Bagan I dan II sebagai acuan,
(Tabel 1 dan 2)..

Dalam plat pencampuran


t

100 l larutan standar AFB1 atau ekstrak sampel


t

+ 100 l AFB1-HRPO (konjugat)

Preparasi Konjugat Encer

Kocok
Pipet 75 l

Untuk keperluan analisis, konjugat yang digunakan adalah


konjugat encer, dibuat dengan menambahkan 25 l konjugat
pekat yang tersedia ke dalam setiap ml pengencer konjugat
atau 200 l ke dalam 8 ml pengencer konjugat (BSA/PBS 1%).

75 l

Dimasukkan ke dalam lubang pada plat berlapis antibodi


t

Inkubasi selama 5 menit

Preparasi Larutan Substrat

Plat dicuci dengan akuades 3 kali

Untuk pengembangan warna pada mikroplat sebelum tahap


penambahan substrat, ke dalam botol berisi larutan substrat
A masing-masing 11 ml ditambahkan 330 l larutan substrat
B (tetrametilbenzidin/dalam DMSO). Tahapan kerjanya
adalah sebagai berikut:

+ Substrat TMB, biarkan 10 menit


t

+ Larutan penghenti reaksi (50 l), berubah warna kuning

Semua bahan dikondisikan pada suhu kamar. Pada plat

Baca pada ELISA reader (450 nm)

pencampuran, dilakukan pencampuran antara standar


AFB1 dan konjugat encer serta ekstrak sampel dan
konjugat encer.

Gambar 1. Bagan alir analisis aflatoksin menggunakan kit


ELISA, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008

Tabel 1. Bagan I: Posisi standar AFB1 dan sampel pada plat pencampur, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008
Sumur

A
B
C
D
E
F
G
H

100
100
100
100
100
100
100
100

l standar 0 + 100 l std 0


l standar 1 (30 ppb) + konjugat
l standar 2 (10 ppb) + konjugat
l standar 3 (3,30 ppb) + konjugat
l standar 4 (1,10 ppb) + konjugat
l standar 5 (0,37 ppb) + konjugat
l standar 6 (0,12 ppb) + konjugat
l standar 0 + konjugat

100
100
100
100
100
100
100
100

l
l
l
l
l
l
l
l

ekstrak
ekstrak
ekstrak
ekstrak
ekstrak
ekstrak
ekstrak
ekstrak

sampel
sampel
sampel
sampel
sampel
sampel
sampel
sampel

1
2
3
4
5
6
7
8

+
+
+
+
+
+
+
+

konjugat
konjugat
konjugat
konjugat
konjugat
konjugat
konjugat
konjugat

Tabel 2. Bagan II: Posisi standar AFB1 dan sampel pada plat berlapis antibodi, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008
Sumur
A
B
C
D
E
F
G
H

Blanko
Std. 30 ppb
Std. 10 ppb
Std. 3,30 ppb
Std. 1,10 ppb
Std. 0,37 ppb
Std. 0,12 ppb
Kontrol

Blanko
Std. 30 ppb
Std. 10 ppb
Std. 3,30 ppb
Std. 3,30 ppb
Std. 0,37 ppb
Std. 0,12 ppb
Kontrol

Spl 1
Spl 2
Spl 3
Spl 4
Spl 5
Spl 6
Spl 7
Spl 8

Spl 1
Spl 2
Spl 3
Spl 4
Spl 5
Spl 6
Spl 7
Spl 8

Spl 9
Spl 10
Spl 11
Spl 12
Spl 13
Spl 14
Spl 15
Spl 16

Blanko (standar 0): tidak ada konjugat


Spl 1 = sampel no. 1 kode J1 dan seterusnya
Baris ke 11-12: diisi dengan deret standar kembali
Std = standar

6
Spl 9
Spl 10
Spl 11
Spl 12
Spl 13
Spl 14
Spl 15
Spl 16

7
Spl
Spl
Spl
Spl
Spl
Spl
Spl
Spl

8
17
18
19
20
21
22
23
24

Spl
Spl
Spl
Spl
Spl
Spl
Spl
Spl

9
17
18
19
20
21
22
23
24

Spl
Spl
Spl
Spl

10
25
26
27
28

Spl
Spl
Spl
Spl

25
26
27
28

11

12

Blanko
Std. 30 ppb
Std. 10 ppb
Std. 3,30 ppb
Std. 1,10 ppb
Std. 0,37 ppb
Std. 0,12 ppb
Kontrol

Blanko
Std. 30 ppb
Std. 10 ppb
Std. 3,30 ppb
Std. 3,30 ppb
Std. 0,37 ppb
Std. 0,12 ppb
Kontrol

30

Heny Yusrini: Teknik pengujian kadar aflatoksin B1 pada jagung menggunakan kit ELISA

Larutan standar 0 dipipet 100 l lalu dimasukkan ke dalam


sumur deret A 1 (untuk blanko) dan 100 l pada sumur H
1 (untuk kontrol). Selanjutnya dimasukkan standar AFB1,
dimulai pada konsentrasi terkecil agar dapat menggunakan
pipet tip yang sama.

konsentrasi AFB1 pada sampel, warna yang terbentuk


makin pudar.

Tambahkan 50 l

larutan penghenti, warna larutan pada


plat mikro berubah menjadi kuning. Intensitas warna dibaca
pada ELISA reader (450 nm).

Larutan standar 6 (0,12 ppb) dipipet 100 l ke dalam sumur


deret G 1, 100 l larutan standar 5 (0,37 ppb) ke dalam sumur
deret F1, 100 l larutan standar 4 (1,10 ppb) ke dalam sumur
deret E1, 100 l larutan standar 3 (3,30 ppb) ke dalam sumur
deret D1, 100 l larutan standar 2 (10 ppb) ke dalam sumur
deret C1, dan 100 l larutan standar 1 (30 ppb) ke dalam
sumur deret B1.
Untuk ekstrak sampel jagung, tahapan kerjanya adalah
sebagai berikut:

Ekstrak sampel 1 dipipet 100 l lalu dimasukkan ke dalam


sumur A2, selanjutnya ekstrak sampel 2 ke dalam sumur B
2, dan seterusnya. Pipet tip diganti untuk setiap sampel.

Larutan konjugat encer AFB1 HRPO 100 l ditambahkan


ke dalam deret sumur 1 (B-H), kecuali sumur A1 (untuk
blanko, standar 0 tidak ditambah konjugat), dan ke dalam
sumur yang berisi ekstrak sampel (A2 sampai H2, A3 sampai
H3, dan seterusnya). Ke dalam sumur A1 ditambahkan lagi
100 l standar 0.
Ke dalam plat yang terlapis antibodi, cara kerjanya
adalah sebagai berikut:

Dengan menggunakan multichannel pipet, dilakukan


pencampuran standar dan konjugat atau ekstrak sampel
dan konjugat, dipipet dan keluarkan kembali dalam lubang
yang sama sebanyak empat kali, kemudian dipindahkan
sebanyak 75 l larutan yang telah dicampur dalam plat
pencampur ke dalam plat yang sudah dilapis antibodi
sumur A1 sampai H1, dilakukan dua kali untuk duplikatnya
(A2 sampai H2).

Untuk sampel, 75 l

larutan sampel ekstrak (A2-H2) yang


sudah dicampur dengan konjugat dimasukkan ke dalam plat
pencampuran lalu dimasukkan ke dalam sumur plat yang
terlapis antibodi A3 sampai H3, dilakukan duplikatnya (A4H4), dan seterusnya. Setelah selesai lalu diinkubasi dan
biarkan selama 5 menit.

Larutan dibuang dan plat dicuci tiga kali dengan air.


Larutan substrat disiapkan dengan mencampurkan substrat B (330 l ) ke dalam satu botol larutan substrat A (11
ml). Selanjutnya, ditambahkan 100 l larutan substrat yang
sudah dicampur (substrat A + substrat B) dan dibiarkan
10 menit. Pada tahap ini akan terbentuk warna hijau; makin
tinggi konsentrasi AFB1 pada plat mikro atau makin tinggi

Pencatatan Data
Pembacaan plat mikro pada ELISA reader diperoleh nilai
serapan warna (optical density, OD atau absorban, A) untuk
masing-masing sumur ( blanko standar, standar, dan sampel).
Selanjutnya dihitung nilai persentase inhibisinya untuk
masing-masing standar dan sampel dengan rumus sebagai
berikut:
{1 - (A standar - A blanko standar)}
% inhibisi standar = x 100
A kontrol - A blanko standar
{1 - (A sampel - A blanko standar)}
% inhibisi sampel = x 100
A kontrol - A blanko standar
Persentase inhibisi standar dan sampel dihitung dengan
program yang disediakan dan kurva kalibrasi standar, yaitu
plot antara persen inhibisi standar versus log konsentrasi
AFB1 akan muncul. Selanjutnya, dengan memasukkan nilai
OD yang diperoleh ke dalam program pengolahan data yang
disiapkan dapat diketahui konsentrasi sampel.
Jika persentase inhibisi sampel yang diperoleh lebih
besar dari persentase inhibisi standar 10-30 ppb, berarti
sampel mengandung AFB1 tinggi. Jika persentase inhibisi
negatif berarti sampel tidak mengandung aflatoksin (AFB1
di bawah limit deteksi, < 0,30 ppb)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 3 menyajikan hasil pembacaan seri standar AFB1 dari
konsentrasi tinggi (30 ppb) (B1,2 dan B11,12) sampai rendah
(0,12 ppb) (G1,2 dan G11,12). Pembacaan dilakukan duplo
(dua kali), yaitu untuk kolom 1 dan 2, sedangkan untuk kolom
selanjutnya (kolom 3-10) adalah hasil pembacaan OD sampel,
sedangkan kolom 11 dan 12 untuk OD standar. Nilai OD yang
diperoleh dirata-ratakan seperti disajikan pada Tabel 4.
Selanjutnya persen inhibisi dihitung berdasarkan rumus
(sudah disediakan dalam program) dan hasilnya disajikan
pada Tabel 5. Kadar AFB1 pada sampel jagung dapat
diketahui dengan mengacu pada kalibrasi standar pada
Gambar 2 untuk sampel J1- J16 dan kalibrasi standar (Gambar
3) untuk sampel J17-J28.

31

Heny Yusrini: Teknik pengujian kadar aflatoksin B1 pada jagung menggunakan kit ELISA
Tabel 3. Hasil pembacaan optical density (OD) sampel jagung pada ELISA reader, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008
Kolom

Sumur
A
B
C
D
E
F
G
H

10

11

12

0,085
0,179
0,274
0,369
0,438
0,536
0,557
0,602

0,080
0,175
0,225
0,369
0,432
0,489
0,564
0,601

0,432
0,391
0,207
0,579
0,379
0,192
0,166
0,167

0,783
0,469
0,186
0,555
0,609
0,194
0,159
0,197

0,196
0,219
0,245
0,661
0,703
0,416
0,474
0,170

0,186
0,184
0,196
0,391
0,572
0,681
0,561
0,148

0,367
0,460
0,502
0,389
0,077
0,077
0,310
0,561

0,370
0,467
0,470
0,376
0,079
0,079
0,316
0,424

0,075
0,074
0,075
0,280

0,080
0,074
0,080
0,348

0,076
0,103
0,148
0,193
0,341
0,408
0,460
0,574

0,075
0,114
0,163
0,230
0,341
0,399
0,432
0,587

Kolom 1 dan 2 serta kolom 7 dan 8 adalah nilai OD standar AFB1, dari A std 0 (blanko), B std 30 ppb, C 10 ppb, D 3,30 ppb, E 1,10 ppb, F 0,37
ppb, G 0,12 ppb, dan H kontrol positif
Kolom 3-6 dan kolom 9-12 adalah nilai OD sampel jagung masing-masing dianalisis duplo (3, 4), (5, 6), (9, 10), dan (11, 12)

Tabel 4. Rata-rata nilai optical density (OD) standar aflatoksin B1 (AFB1) dan sampel jagung, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008
Standar AFBI
Std 0
30 ppb
10 ppb
3,30 ppb
1,10 ppb
0,37 ppb
0,12 ppb
Kontrol

OD

Sampel

OD

Sampel

OD

Sampel

OD

Sampel

OD

Standar AFB1

OD

0,085
0,177
0,250
0,369
0,435
0,513
0,561
0,602

J1
J2
J3
J4
J5
J6
J7
J8

0,608
0,430
0,197
0,567
0,494
0,193
0,163
0,182

J9
J10
J11
J12
J13
J14
J15
J16

0,191
0,202
0,221
0,526
0,638
0,548
0,518
0,519

J17
J18
J19
J20
J21
J22
J23
J24

0,369
0,464
0,486
0,383
0,078
0,078
0,313
0,493

J25
J26
J27
J28

0,078
0,074
0,078
0,314

Std 0
30 ppb
10 ppb
3,30 ppb
1,10 ppb
0,37 ppb
0,12 ppb
Kontrol

0,076
0,109
0,156
0,212
0,341
0,404
0,446
0,581

Tabel 5. Persen inhibisi standar aflatoksin B1 (AFB1) dan sampel jagung, laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008
Standar AFB1
30
10
3,30
1,10
0,37
0,12

% inhibisi

Sampel

% inhibisi

Sampel

% inhibisi

Sampel

% inhibisi

Sampel

% inhibisi

70,6
58,5
38,7
27,7
14,8
6,8

J1
J2
J3
J4
J5
J6
J7
J8

-1
28,5
67,3
5,7
17,9
67,9
73,0
69,7

J9
J10
J11
J12
J13
J14
J15
J16

68,2
66,5
63,3
12,6
-6,0
8,8
14,0
73,6

J17
J18
J19
J20
J21
J22
J23
J24

36,5
20,2
16,3
34,1
86,6
86,6
46,1
15,2

J25
J26
J27
J28

86,6
87,3
86,6
45,9

% inhibisi
100

% inhibisi

30
10
3,30
1,10
0,37
0,12

81,3
73,2
63,6
41,3
30,5
23,2

% inhibisi
100

y = 12,95Ln(x) + 26,508
R 2 = 0,9916

80

Standar

y = 12,145Ln(x) + 43.396
R2 = 0,9682

80

60

60

40

40

20

20

0
0

10

100

Aflatoksin B1 (ng/ml)
Gambar 2. Kalibrasi standar aflatoksin B1 (AFB1) untuk
menghitung kadar AFB1 pada sampel jagung (J1-J16),
laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008

10

100

Aflatoksin B1 (ng/ml)
Gambar 3. Kalibrasi standar aflatoksin B1 (AFB1) untuk
menghitung kadar AFB1 pada sampel jagung (J17-J28),
laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008

32

Heny Yusrini: Teknik pengujian kadar aflatoksin B1 pada jagung menggunakan kit ELISA

Hasil analisis kadar AFB1 pada sampel jagung disajikan


pada Tabel 6. Berdasarkan data pada Tabel 6 diketahui bahwa
8 dari 28 sampel jagung (28,60%) yang dianalisis mengandung AFB1 dengan kadar di atas baku mutu yang
dipersyaratkan SNI 2000, yaitu kadar AFB1 > 50 ppb. Kadar
AFB1 yang tinggi pada jagung akan berpengaruh terhadap
kualitas pakan yang dihasilkan. Oleh karena itu, diperlukan
tindakan untuk mengamankan produksi pakan dengan
kualitas yang baik, terutama dengan kadar AFB1 rendah
sesuai dengan yang dipersyaratkan SNI. Upaya yang dapat
dilakukan meliputi pengeringan dan penyimpanan yang tepat
untuk mendapatkan kadar air jagung yang aman. Syarat mutu
kadar air jagung dalam SNI 2000 adalah 5-14%.

Tabel 6. Kadar aflatoksin B1 (AFB1) pada sampel jagung,


laboratorium Bbalitvet, Bogor, 2008
Sampel
J1
J2
J3
J4
J5
J6
J7
J8
J9
J10
J11
J12
J13
J14
J15
J16
J17
J18
J19
J20
J21
J22
J23
J24
J25
J26
J27
J28

Kadar AFB1
(ppb)
tt
2,3
46,8
0,4
1,0
48,9
72,4
56,4
50,2
43,9
34,4
0,7
tt
0,5
0,8
75,7
1,1
0,3
0,2
0,9
> 60
> 60
2,5
0,2
> 60
> 60
> 60
2,5

tt = tidak terdeteksi (kadar AFB1 < limit deteksi yaitu < 0,30 ppb)

KESIMPULAN DAN SARAN


Sebanyak 8 sampel dari 28 sampel jagung yang dianalisis
(28,60%) mengandung aflatoksin B1 melebihi standar
berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 2000).
Sebaiknya kontrol kualitas jagung dari kontaminan aflatoksin
dapat dibakukan secara rutin sebagai tindakan antisipasi
untuk menghasilkan pakan berkualitas baik, bebas dari
aflatoksin, atau mengandung aflatoksinnya maksimal 50 ppb,
sesuai acuan dalam SNI.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sri Rachmawati, BSc, MSc, peneliti pada Kelti Toksikologi Balai Besar
Penelitian Veteriner, atas bantuan perangkat kit ELISA untuk
analisis aflatoksin serta bimbingannya.

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.
2007. Teknologi pascapanen jagung untuk penanggulangan
aflatoksin dalam upaya peningkatan daya saing dan pendapatan
petani. Makalah disampaikan pada Aflatoksin Forum II,
Yogyakarta, Juli 2009.
Rachmawati, S. 2004. Uji banding antarlaboratorium, pengujian
ELISA kit aflatoksin. Laporan hasil kegiatan kerja sama antara
Balai Penelitian Veteriner dengan PT Sinta Prima Feedmill, PT
Sierad Tbk, Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, dan Balai
Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional IV. hlm. 2-9.
Rachmawati, S. 2005. Aflatoksin pada pakan di Indonesia:
Persyaratan kadar dan peraturan perundang-undangannya.
Wartazoa 4(1): 26-35.
SNI (Standard National Indonesia). 2000. Maximum Residue Limit
for Microbial and Chemical Contamination in Animal Product.
National Standardization Agency, Jakarta, Indonesia.
Stanker, L.H. and R.C. Beier. 1995. Introduction to immunoassay
for residue analysis: Concept, formats and applications in
immunoassays for residue analysis. p. 12-22. In. ELISA
Workshop. Simple Test for Monitoring Mycotoxins and
Pestisides in Produce. Postharvest Technology Institute. Ho
Chi Minh City, Vietnam, 15-17 November 1999. University of
Sydney.

You might also like