Professional Documents
Culture Documents
SKENARIO 2
Oleh:
TUTORIAL H
Gama Wisnu Sanjaya
(142010101022)
Ryan Ravi Is S
(142010101045)
(142010101008)
(142010101073)
(142010101068)
Nur Ulfiatus S
(142010101039)
Novia Adhitama
(142010101016)
Nurul Furqooniyah
(142010101024)
(142010101026)
(142010101080)
Nourma Sabila
(142010101046)
(142010101151)
(142010101159)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
SKENARIO 2
Nyeri Perut
1. Skenario
Seorang perempuan usia 44 tahun dibawa ke UGD RS dengan keluhan nyeri
perut sejak tiga hari yang lalu. Nyeri tersebut terus menetap disertai anoreksia, mual,
muntah
dan, lemas. Dari pemeriksaan fisik didapatkan ikterik, nyeri lokal pada
abdomen kuadran kanan atas, dan Murphy sign yang positif. Dokter curiga adanya
infeksi pada kandung empedu, lalu menyarankan pemeriksaan laboratorium darah
lengkap, bilirubin serum, fosfatase alkali, transaminase dan amilase.
Dari keterangan pasien ternyata ayah pasien pernah menderita penyakit dengan
gejala yang serupa. Saat itu usia ayahnya 50 tahun, mengeluh nyeri perut kanan
atas sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit, memberat sejak 1 minggu sebelum
MRS. Nyeri dirasakan terus menerus, berkurang bila penderita membungkuk.
Keluhan disertai panas badan, mual namun tidak muntah dan adanya benjolan di
2. Klarifikasi Istilah
3. Rumusan Masalah
4. Analisis Masalah
LEARNING OBJECTIVE
I.
II.
Biokimia Heme
Patologi
a. Kolesistitis
b. Kolesistolitiasis
c. Koledokolitiasis
d. Pankreatitis
e. Ca Pankreas
f. Hepatitis A
g. Hepatitis B
h. Hepatitis C
i. Leptospirosis
j. Abses Hepar
k. Empiema dan Hidrops kandung empedu
PEMBAHASAN
I. Biokimia Heme
melalui urin. Dan sebagian urobilinogen akan kembai ke kantung empedu untuk
masuk ke dalam siklus enterohepatik.
II. Kolesistitis
Definisi
Merupakan peradangan pada vesica fellea yang dapat disebabkan oleh
obstruksi kandung empedu, yang disesrtai nyeri tekan abdomen kuadran kanan
atas, dan demam. 90% disebabkan oleh obstruksi disebut kolesistitis kalkulus, dan
10% disebabkan oleh selain obstruksi disebut akalkulus. Berdasarkan onsetnya
dibagi menjadi kolesistitis akut dan kronis.
Patofisiologi
a. Kolesistitis kalkulus
Obstruksi pada kandung empedu oleh batu empedu akan menyebabkan
distensi pada kandung empedu maupun saluran empedu yang terusumbat.
Dengan adanya distensi ini maka aliran darah dan drainase limfatik pada
kandung empedu menurun, dapat menyebabkan iskemik di daerah tersebut.
Iskemik ini memicu reaksi peradangan, bisa disertai dengan deskuamasi sel
dan peningkatan produksi mukus, yang membuat obstruksi semakin tebal.
Pemberian makanan secara parenteral juga dapat menyebabkan stasis empedu
karena dengan tidak adanya asupan nutrisi secara oral, maka hormon CCK
yang berfungsi untuk merangsang kandung empedu untuk berkontraksi
menjadi tidak ada.
b. Kolesistitis akalkulus
Pasien dengan dehidrasi dan demam dapat pula menyebabkan iskemik,
endotoksin dapat menyebabkan respon kontraktilitas menurun terhadap CCK.
Manifestasi Klinis
a. Gejala local
1. Nyeri tekan kuadran kanan atas,menjalar hingga ke daerah skapula,
Murphy sign positif.
2. Perut terasa penuh
3. Nausea, Emesis
a. Gejala sistemik
1. Demam
2. Leukositosis
3. Peningkatan C-Reactive Protein
Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
Pada penderita kolesistitis ditemukan riwayart nyeri hebat kuadran kanan atas
dan bertahan beberapa jam. Ditemukan Murphys Sign positif.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Terjadi leukositosis, peningkatan CRP, dan pada 15% pasien terjadi
peningkatan SGPT, SGOT, dan alkali phospatase.
c. Pemeriksaan Pencitraan
Dapat
dilakukan
pemeriksaan
dengan
menggunakan
USG,
dengan
a. Emphiema
Terjadi proliferasi bakteri pada obstruksi, demam meningkat secara
progresif.
b. Ileus batu kandung empedu
c. Kolesistitis emfisematous
Pada 1% kasus ditemukan adanya udara di kandung empedu akibat invasi
organiseme penghasil gas, seperti E. Coli, Klebsiella sp.
d. Pankreatitis dan sepsis.
III. Kolesistolitiasis
Definisi
Kolesistolitiasis yaitu adanya batu di dalam kandung empedu yang
biasanya disertai proses inflamasi. Kolesistolitiasis atau batu kandung empedu
adalah suatu gabungan beberapa unsure yang membentuk suatu material mirip
batu yang terbentuk di dalam kandung empedu dan duktus sistikus.
Epidemiologi
Insidensi Kolesistolitiasis di Negara barat adalah 20% dan banyak
menyerang orang dewasadan lanjut usia. Di Negara barat, 90% batu empedu
adalah batu kolesterol. Sebaliknya di Asia timur lebih banyak batu pigmen
daripada batu kolesterol.
Di Negara barat batu empedu banyak ditemukan mulai pada usia muda di bawah
30 tahun. meskipun usia rata-rata tersering ialah 40-50 tahun. Pada usia 60 tahun,
insidensi batu empedu meningkat. Jumlah penderita perempuan lebih banyak
daripada laki laki karena jumlah estrogen yang lebih tinggi dimana estrogen yang
tinggi dapat meningkatkan reseptor lipoprotein hepatic sehingga meningkatkan
uptake kolesterol oleh hepar dan menurunkan sekresi garam empedu.
Manifestasi Klinik
1. kolik bilier.
Tertanamnya batu dalam leher kandung empedu diduga menyebabkan
spasme kandung empedu, yang akan menyebabkan kolik bilier. Jika batu
jatuh ke belakang, kandung empedu didaerah kosong dan nyeri berhenti,
dan jika batu tetap berada di leher kandung empedu akan terjadi nyeri
yang terus menerus.
2. nyeri akut episodik akibat kolesistitis akut
3. dyspepsia
4. mual dan muntah
5. ikterus
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda toksemia, kuadran
kanan atas abdomen secara klasik ditemukan Murphys sign. Pada kasus yang
lebih lanjut dapat diraba massa inflamasi akibat pembengkakan kandung empedu
yang dikelilingi oleh omentum yang melekat.
Adanya ikterus menunjukkan koledokolitiasis, walaupun kemungkinan Mirizzis
syndrome, yaitu akibat kandung empedu yang membengkak, akibat adanya
kompresi dari kandung yang disebabkan oleh batu ke duktus koledokus .Kolik
bilier dapat memberikan gejala yang sama dengan kolesistitis tetapi biasanya tidak
terpengaruh dengan gerakan dan hanya berlangsung beberapa jam saja. Hal ini
sering dipicu oleh makanan berlemak tetapi akan sembuh spontan.
Pemeriksaan Laboratorium
Prognosis
Komplikasi yang serius dan kematian terkait tindakan operasi sendiri
sangat jarang. Tingkat mortilitas operasi sekitar 0,1% pada penderita di bawah 50
tahun dan sekitar 0,5% pada penderita di atas 50 tahun. Tindakan operasi dapat
meringankan gejala batu empedu sebesar 95% dan batu empedu dapat timbul
kembali.
IV. Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis)
Koledokolitiasis mengacu pada adanya satu atau lebih batu empedu di
duktus biliaris komunis (common bile duct). Biasanya, ini terjadi ketika batu
empedu melewati dari kandung empedu ke dalam duktus biliaris komunis.
Sebuah batu empedu di duktus biliaris komunis dapat mempengaruhi distal di
ampula vater, titik di mana saluran empedu dan saluran pankreas bergabung
sebelum ke duodenum. Obstruksi aliran empedu oleh batu di titik kritis ini dapat
menyebabkan sakit perut dan ikterus.
Gambar Koledolitiasis
Epidemiologi
Gam
bar kanan adalah batu kolesterol dan kiri adalah batu pigmen coklat
3. Batu saluran empedu
Sering dihubungkan dengan divertikula duodenum didaerah vateri. Ada
dugaan bahwa kelainan anatomi atau pengisian divertikula oleh makanan akan
menyebabkan obstruksi intermiten duktus koledokus dan bendungan ini
memudahkan timbulnya infeksi dan pembentukan batu.
Gejala Klinis
Penderita batu saluran empedu sering mempunyai gejala-gejala kronis dan akut.
GEJALA AKUT
TANDA :
1.
2.
GEJALA KRONIS
TANDA:
Biasanya tak tampak gambaran pada
abdomen
Kadang terdapat nyeri di kwadran
kanan atas
4.
1.
Ikterus ringan
GEJALA:
GEJALA:
menetap
2.
3.
Febris (38,5C)
3.
4.
Flatulensi
5.
Eruktasi (bersendawa)
Pemeriksaan penunjang
Tes laboratorium :
1. Leukosit : 12.000 - 15.000 /iu (N : 5000 - 10.000 iu).
2. Bilirubin : meningkat ringan, (N : < 0,4 mg/dl).
3. Amilase serum meningkat.( N: 17 - 115 unit/100ml).
4. USG : menunjukkan adanya bendungan /hambatan , hal ini karena adanya
batu empedu dan distensi saluran empedu
prosedur diagnostik)
5. Endoscopic Retrograde choledocho pancreaticography (ERCP), bertujuan
untuk melihat kandung empedu, tiga cabang saluran empedu melalui ductus
duodenum.
6. MRCP telah menggantikan ERCP sebagai standar emas untuk diagnosis
choledocholithiasis, mampu mencapai sensitivitas dan spesifisitas yang
sama (mendekati 100%) tanpa radiasi ionisasi, kontras intravena, atau
tingkat komplikasi yang melekat dalam ERCP. Cacat mengisi terlihat dalam
pohon bilier pada tipis T2 cross-sectional pencitraan tertimbang. Perawatan
harus diambil untuk tidak menggunakan lembaran tebal untuk diagnosis
volume rata-rata dapat mengaburkan batu-batu kecil. Namun, jika diagnosis
telah dijamin dengan ultrasound atau CT, tidak ada nilai tambah dari
MRCP, dan langkah selanjutnya adalah ERCP terapeutik.
7. CT Scan : menunjukkan gellbalder pada cysti, dilatasi pada saluran empedu,
obstruksi/obstruksi joundice.
8 .Foto Abdomen :Gambaran radiopaque (perkapuran ) galstones, pengapuran
pada saluran atau pembesaran pada gallblader.
Pengobatan dan Prognosis
Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) dengan sfingterektomi
adalah pengobatan pilihan untuk choledocholithiasis, namun dikaitkan dengan
tingkat komplikasi dari 5,8-24%. Dimana komplikasi dari penggunaan ERCP
dengan sfingterektomi adalah pankreatitis
V. Pankreatitis Akut
Definisi
Pankreatitis adalah keadaan dimana terjadi inflamasi atau peradangan pada
pankreas yang menyebabkan aktivasi enzim-enzim pankreas di dalam sel-sel
pankreas dan menyebabkan kerudakan jaringan. Pankreatitis akut dapat di
diagnosis apabila memenuhi 2 dari 3 kriteria berikut: (1) nyeri hebat di abdomen
daerah epigastrium dengan onset akut serta menjalar ke punggung, (2) kenaikan
kadar amilase dan lipase >3 kali lipat dari normal, dan (3) terdapat gambaran
karakteristik pankreatitis akut pada CT Scan, MRI, atau USG transabdominal.
(Kapita Selekta)
Klasifikasi
Pankreatitis Akut
Pankreatitis akut adalah inflamasi pada pankreas yang terjadi akibat
proses tercernanya organ ini oleh enzim-enzimnya sendiri. Maksudnya
secara normal pankreas dilindungi oleh enzim-enzim dingestinya sendiri
tapi karena terjadi kerusakan bisa mengakibatkan organ ini tercerna oleh
enzim sehingga terjadi inflamasi.
Pankreatitis akut terdiri dari dua spektrum:
Pankreatitis Intersisial
Nekrosis Pankreatitis
Terjadinya nekrosis pada parenkim pankreas, jaringan peripankreas, atau
keduanya. Paling sering nekrosis mencakup keduanya. Angka mortalitas
pada nekrosis pankreas lebih tinggi dari pankreatitis intersisial. Nekrosis
dapat bersifat padat atau likuifaksi, dapat steril maupun terinfeksi.
Pankreatitis Kronik
Pankreatitis kronik merupakan kelainan inflamasi yang ditandai oleh
kehancuran anatomis dan fungsional yang progresif pada pancreas.
Etiologi
1. Pankreastitis Akut
Pankreastitis akut atau inflamasipada pankreas terjadi akibat proses
tercernanya organ ini oleh enzim-enzimnya sendiri, khususnya oleh tripsin.
Penderita batu empedu dapat mengalami pankreastitis. Batu empedu memasuki
duktus koledokus dan terperangkap dalam saluran inipada daerah ampula vater,
menyumbat aliran getah pankreas atau menyebabkan aliran balik getah empedu
dari duktus koledokus ke dalam duktus pankreastikus dan dengan demikian akan
mengaktifkan enzim-enzim yang kuat dalam pankreas.
Kebiasaan mengkonsumsi alcohol dalam waktu lama merupakan penyebab
umum pankreastitis akut, tetapi pasien biasanya sudah menderita pankreastitis
kronik yang tidak terdiagnosis sebelum pankrestitis akut terjadi.
2. Pankreastitis Kronik
Konsumsi alcohol pada masyarakat barat dan malnutrisi yang terdapat
diseluruh dunia merupakan penyebab utama pankreatitis kronik.
Konsumsi alcohol dalam waktu lama menyebabkan hiper sekresi protein
dalam skret pancreas. Akibatnya akan terbentuk sumbat protein dan batu (kalkuli)
dalam duktus pankreastikus. Alcohol juga memiliki efek toksik yang langsung
pada sel-sel pancreas.
Patofisiologi
Dalam keadaan normal pankreas terlindung dari efek enzimatik enzim
digestinya sendiri. Enzim ini disintesis sebagai zimogen yang inaktif dan
diaktivasi dengan pemecahan rantai peptid secara enzimatik. Enzim proteoloitik
(tripsin, kemotripsin, karboksipeptidase, elastase) dan fospolipase Termasuk
dalam kelompok ini. Enzim digestif yang lain seperti amilase dan lipase disintesis
dalam bentuk inaktif, disimpan dalam bentuk in aktif dan disimpan dalam butir
zimogen sehingga terisolasi oleh membran fosfolipid didalam sel asinin
Selain itu terdapat inhibitor didalam jaringan pankreas. Cairan pankreas dan
serum sehinggga dapat mengaktifasi protoase yang diaktifasi terlalu dini. Dalam
proses aktifasi enzim didalam pankreas peran penting terletak pada tripsin yang
mengaktifasi semu zimogen pankreas yang terlihat dalam yang terlihat dalam
proses auto digesti (kemotripzinogen, proelastase, fosfolipase A).
Hanya lipase yang aktif yang tidak tergantung pada tripsin. Aktifasi
zimogen
secara
normal
dimulai
dari
enterokinase
di
duodenum.
Ini
pankreatikus juga menimbulkan rasa sakit. Secara khas rasa sakit timbul pada
bagian tengah ulu hati. Awitannya sering bersifat akut dan terjadi 24 jam hingga
48 jam setelah makan atau mengkonsumsi minuman keras, rasa sakit ini dapat
bersifat menyebar dan sulit ditentukan lokasinya. Umumnya rasa sakit bertambah
parah setelah makan dan tidak dapat diredakan dengan pemberian antacid. Rasa
sakit dapat disertai dengan distensi abdomen yang dapat diraba tapi batasannya
tidak jelas. Dan dengan penurunan peristaltik. Rasa sakit yang disebabkan oleh
pankreatitis sering disertai dengan muntah.
Mual dan muntah umumnya dijumpai pada pankreatitis akut. Muntah
biasanya berasal dari isi lambung, tetapi juga mengandung getah empedu, gejala
parah, ikterus, konfusi, dan agitasi dapat terjadi. Hipotensi yang terjadi bersifat
khas dan mencerminkan keadaan hipovolema serta syok yang disebabkan oleh
kehilangan sebagian besar cairan yang kaya akan protein karena cairan ini
mengalir ke dalam jaringan dan rongga peritoneum. Pasien dapat mengalami
takikardi sianosis dan kulit yang dingin serta basah disamping gejala hipotensi.
Gagal ginjal akut sering dijumpai pada keadaan ini.
2. Pankreastitis Kronik
Nyeri yang hebat di daerah abdomen bagian atas dan punggung disertai
muntah. Penurunan berat badan merupakan masalah utama pada pankreatitis
kronik. Lebih dari 75% pasien mengalami penurunan berat badan yang bermakna
yang biasanya disebabkan oleh penurunan asupan makanan akibat anoreksia atau
perasaan takut bahwa makan akan memicu serangan berikutnya.
Malabsorbsi terjadi kemudian pada penyakit tersebut ketika fungsi pancreas
masih terisi 10%. Akibatnya, proses pencernaan bahan makanan, khususnya
protein dan lemak, akan terganggu.
Defekasi menjadi sering dan feses menjadi berbuih serta berbau busuk karena
gangguan pencernaan lemak. Keadaan ini dinamakan steatore. Dengan berlanjut
proses penyakit. Klasifikasi pada kelenjar pancreas dan terbentuknya batu kalsium
di dalam saluran kelenjar dapat terjadi.
Patogenesis
Apabila terjadi ketidakseimbangan dan proses regulasi, terjadi aktivasi prematur
enzim pankreas yang bersifat destruktif. Penggunaan alkohol, batu empedu, dan
pertama kali ditemukan. Tumor dapat meluas hingga ruang retroperitoneum dan
menginfiltrasi saraf di sekitarnya, dan kadang kadang menginvasi limpa,
adrenal, kolumna vertebralis, kolon transversus, dan lambung. Hati sering
membesar akibat endapan ,etastatik. Terjadi metastatis terutama ke paru dan
tulang.
Gambaran Klinis
Karsinoma di pancreas biasanya asimtomatik sapai perluasannya mengenai
struktur lain. Saat tumor mengikis jaringan lunak di posterior dan mengenai serat
saraf barulah timbul nyeri. Terdapat icterus obstruktif. Flebotrombosis yang
muncul spontan dan sering disebut tromboflebitis migratorik yang sering
ditemukan pada korpus dan kauda.
VII. Hepatitis A
Definisi
Virus Hepatitis adalah proses peradangan difus pada sel hati. Hepatitis A
adalah hepatitis yang disebabkan oleh infeksi Hepatitis A Virus. Infeksi virus
hepatitis A dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi, diantaranya adalah
hepatitis fulminant, autoimun hepatitis, kolestatik hepatitis, hepatitis relaps, dan
sindroma pasca hepatitis (sindroma kelelahan kronik). Hepatitis A tidak pernah
menyebabkan penyakit hati kronik.
Etiologi
Virus Hepatitis A disebabkan oleh hepatitis A virus. Virus ini termasuk
virus RNA, serat tunggal, dengan berat molekul 2,25-2,28 x 106 dalton, simetri
ikosahedral, diameter 27-32 nm dan tidak mempunyai selubung. Mempunyai
protein terminal VPg pada ujung 5nya dan poli(A) pada ujung 3nya. Panjang
genom HAV: 7500-8000 pasang basa. Hepatitis A virus dapat diklasifikasikan
dalam famili picornavirus dan genus hepatovirus.
hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang
dirawat yaitu berkisar dari 39,8-68,3%. Incidence rate dari hepatitis per 10.000 12
populasi sering kali berfluktuasi selama beberapa tahun silam. Suatu studi di
Jakarta melaporkan bahwa anti-HAV kadang kadang ditemukan pada bayi baru
lahir, dan ditemukan pada 20% bayi. Angka prevalensi ini terus meningkat pada
usia di atas 20 tahun. Di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010, KLB hepatitis A
terjadi di 2 desa dengan jumlah penderita sebanyak 32 orang dengan attack rate
sebesar 1,35%, kondisi ini mengalami peningkatan dimana pada tahun 2009 kasus
hepatitis A menyerang pada satu desa. Sementara di Kota Semarang selama tahun
2011 tidak di temukan KLB hepatitis A. Pada tahun 2013, kasus hepatitis di Kota
Semarang meningkat tajam. Menurut Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang,
ada 47 kasus hepatitis yang diketahui hingga bulan Agustus tahun 2013.
Patogenesis
Virus HAV didapat melalui transmisi fecal-oral; setelah itu orofaring dan
traktus gastrointestinal merupakan situs virus ber-replikasi. Virus HAV kemudian
di transport menuju hepar yang merupakan situs primer replikasi, dimana
pelepasan virus menuju empedu terjadi yang disusul dengan transportasi virus
menuju usus dan feses. Viremia singkat terjadi mendahului munculnya virus
didalam feses dan hepar. Pada individu yang terinfeksi HAV, konsentrasi terbesar
virus yang di ekskresi kedalam feses terjadi pada 2 minggu sebelum onset ikterus,
dan akan menurun setelah ikterus jelas terlihat. Anak-anak dan bayi dapat terus
mengeluarkan virus selama 4-5 bulan setelah onset dari gejala klinis. Berikut ini
merupakan ilustrasi dari patogenesis hepatitis A.
dengan
peningkatan
relatif
dari
sel
CD4+
virus-specific
berhubungan dengan perkembangan sistem imun yang masih belum matur pada
individu yang lebih muda, menyebabkan respon imun yang lebih ringan dan
berlanjut kepada manifestasi penyakit yang lebih ringan. Dengan dimulainya onset
dari gejala klinis, antibodi IgM dan IgG antiHAV dapat terdeteksi. Pada hepatitis
A akut, kehadiran IgM anti-HAV terdeteksi 3 minggu setelah paparan, titer IgM
anti-HAV akan terus meningkat selama 4-6 minggu, lalu akan terus turun sampai
level yang tidak terdeteksi dalam waktu 6 bulan infeksi. IgA dan IgG anti-HAV
dapat dideteksi dalam beberapa hari setelah timbulnya gejala. Antibodi IgG akan
bertahan selama bertahun-tahun setelah infeksi dan memberikan imunitas seumur
hidup. Pada masa penyembuhan, regenerasi sel hepatosit terjadi. Jaringan
hepatosit yang rusak biasanya pulih dalam 8-12 minggu.
yang dapat menimbulkan kematian hanya dalam beberapa hari. Gejala hepatitis
akut terbagi dalam 4 tahap yaitu fase inkubasi, fase prodromal (pra ikterik), fase
ikterus, dan fase konvalesen (penyembuhan).
Fase Inkubasi.
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau
ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis. Panjang fase ini
tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar
dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini. Pada hepatitis A fase inkubasi
dapat berlangsung selama 14-50 hari, dengan rata-rata 28-30 hari. Fase Prodromal
(pra ikterik).
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala
ikterus. Awitannya dapat singkat atau insidious ditandai dengan malaise umum,
nyeri otot, nyeri sendi, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anorexia. Mual
muntah dan anoreksia berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap.
Demam derajat rendah umunya terjadi pada hepatitis A akut. Nyeri abdomen
biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang
diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolesistitis.
Fase Ikterus. Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul
bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi.
Setelah tibul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan
terjadi perbaikan klinis yang nyata.
Fase konvalesen (penyembuhan). Diawali dengan menghilangnya ikterus
dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada.
Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan akut
biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis 17
dan laboratorium lengkap terjadi dalam 9 minggu. Pada 5-10% kasus perjalanan
klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1 % yang menjadi fulminan.
Diagnosis
Untuk menegakan diagnosis HAV diperlukan beberapa pemeriksaan.
Pemeriksaan tersebut antara lain adalah:
A. Pemeriksaan Klinis
assay
didapatkan
spesifisitas
dalam
penurunan nafsu makan, mual, muntah, sakit perut, urin gelap, feses berwarna
abu-abu, nyeri sendi dan ikterus.
Diagnosis
Infeksi HCV akut biasanya tanpa gejala, beberapa orang tidak terdiagnosis
selama fase akut dan berkembang menjadi infeksi HCV kronis.
Infeksi HCV didiagnosis pada 2 langkah:
1. Skrining untuk antibodi anti-HCV dengan tes serologi mengidentifikasi
orang-orang yang telah terinfeksi virus.
2. Jika tes ini positif untuk antibodi anti-HCV, tes asam nukleat untuk HCV
RNA diperlukan untuk mengkonfirmasi infeksi HCV kronis karena sekitar
15-45% dari orang yang terinfeksi HCV secara spontan bersih dari infeksi
oleh respon kekebalan yang kuat tanpa perlu pengobatan. Meski tak lagi
terinfeksi, mereka masih akan menguji positif untuk antibodi anti-HCV.
Setelah seseorang telah didiagnosis dengan infeksi hepatitis C kronis, mereka
harus memiliki penilaian tingkat kerusakan hati (fibrosis dan sirosis). Hal ini
dapat dilakukan dengan biopsi hati atau melalui berbagai tes non-invasif.
Selain itu, orang-orang ini harus melakukan tes laboratorium untuk
mengidentifikasi genotipe hepatitis C regangan. Ada 6 genotipe HCV dan mereka
merespon secara berbeda terhadap pengobatan. Selain itu, adalah mungkin bagi
seseorang untuk terinfeksi dengan lebih dari satu genotipe. Tingkat kerusakan hati
dan virus genotipe yang digunakan untuk memandu pengobatan dan manajemen
penyakit.
Tatalaksana
Tujuan pengobatan adalah mengeliminasi virus dan mencegah progresitivitas
penyakit menjadi sirosis maupun karsinnoma hepatoselular. Saat ini rekomendasi
FDA adalah pengobatan dengan interferon dan ribavirin. Interferon dapat
menormalkan tes hatii, memperbaiki peradangan dan menurunkan replikasi virus
HCV.
X. Leptospirosis
DEFINISI
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia
maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira patogen dan digolongkan
sebagai zoonosis. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever,
slime fever, swamp fever, autumnal fever, infektious jaundice, field fever, cane
cutter fever, canicola fever, nanukayami fever, 7-day fever dan lain-lain.
ETIOLOGI
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu
mikroorganisme spirocheata. Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua
spesies yaitu L.interrogans yang patogen dan L. biflexa yang hidup bebas (non
patogen atau saprofit). Spesies L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup
dan serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya.
Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23.
Beberapa serovar L.interrogans yang dapat menginfeksi manusia di antaranya
adalah L. Icterohaemorrhagiae, L.manhao L. Javanica, L. bufonis, L.
copenhageni, dan lain-lain. Serovar yang paling sering menginfeksi manusia ialah
L. icterohaemorrhagiae dengan reservoir tikus, L. canicola dengan reservoir
anjing, L. pomona dengan reservoir sapi dan babi.
Kuman leptospira bersifat aquatic micro-organism dan slow-growing
anaerobes, bentuknya berpilin seperti spiral, tipis, organisme yang dapat bergerak
cepat dengan kait di ujungnya dan 2 flagella periplasmik yang dapat menembus ke
jaringan. Panjangnya 6-20 m dan lebar 0,1 m ( lihat gambar 1). Kuman ini
sangat halus tapi dapat dilihat dengan mikroskop lapangan gelap dan pewarnaan
perak.
Kuman leptospira dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan.
Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat
mati. Kuman leptospira hidup dan berkembang biak di tubuh hewan. Semua
hewan bisa terjangkiti. Paling banyak tikus dan hewan pengerat lainnya, selain
hewan ternak. Hewan piaraan, dan hewan liar pun dapat terjangkit.
Gambar 1. Leptospira
IV. PENULARAN
Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. Penularan
langsung dapat terjadi melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain yang
mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu; dari hewan ke
manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan; dan dari manusia ke manusia
meskipun jarang
genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang telah tercemar
urin binatang yang terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika terdapat luka /
erosi pada kulit atau selaput lendir. Terpapar lama pada genangan air yang
terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospira.
Oleh karena leptospira diekskresi melalui urin dan dapat bertahan hidup
berbulan-bulan , maka air memegang peranan penting sebagai alat transmisi.
V. PATOGENESIS
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman
leptospira masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada
kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus,
bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum
air yang terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan penetrasi kuman
leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air saat banjir.
Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam
lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak firulen
gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah
setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di
darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan
serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan penyakit.
Kuman leptospira
dan
hipovolemia.
Hipovolemia
akibat
dehidrasi
dan
perubahan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau
sel darah didalam parenkim hati .(1)
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan
abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik,
termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver
abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini
merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400
SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)
ETIOLOGI
D.1 Abses Hati Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit
non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang
dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi
Entamoeba histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga
diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen.
Bervariasinya virulensi berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda
berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati. (2)
organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif bergerak dan bentuk prakista
yang merupakan bentuk antara kedua stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk
motil yang biasanya hidup komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan
cara membelah diri menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob
dan hanya perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini
tidak penting untuk penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau enzim
pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um yang
berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar sangat aktif
bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase
dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan. Bentuk
tropozoit ini akan mati dalam suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri
tropozoit akan membentuk kista sebelum keluar ke tinja. (2,9)
Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan berperan
dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan, tahan asam
lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4 inti merupakan
bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke manusia lainnya. Kista
berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding kaku. Pembentukan kista ini
dipercepat dengan berkurangnya bahan makanan atau perubahan osmolaritas
media. (2,9)
D.2 Abses Hati Piogenik
Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci,
anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium,
staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus,
actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella
melitensis, dan fungal. Organisme penyebab yang paling sering ditemukan adalah
E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan
spesies dari bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ). Staphylococcus
aureus biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki penyakit
granuloma yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan sebagai penyebabnya
adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hati piogenik
adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui :
infeksi
intra
abdominal
seperti
divertikulitis,
empedu.
Obstruksi
bilier
ekstrahepatik
choledocholithiasis,
tumor
jinak
dan
ganas
atau
pascaoperasi striktur.
5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan
cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses
piogenik.
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada
orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan
diabetes atau kanker metastatik. (1,7,10,11)
PATOGENESIS
E.1 Abses Hepar Amebik
Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik
melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada
orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan
melalui seks oral ataupun anal. (11,12)
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan
penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen
usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai
oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit
yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi
patogen dengan mensekresi enzim cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan
(2,8,12,13)
A. GAMBARAN KLINIS
F.1 Abses Hepar Amebik (2,8,9,13,)
Gejala :
a. Demam internitten ( 38-40 oC)
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar
hingga bahu kanan dan daerah skapula
c. Anoreksia
d. Nausea
e. Vomitus
f. Keringat malam
g. Berat badan menurun
h. Batuk
i. Pembengkakan perut kanan atas
j. Ikterus
k. Buang air besar berdarah
l. Kadang ditemukan riwayat diare
m. Kadang terjadi cegukan (hiccup)
Kelainan fisis :
a. Ikterus
b. Temperatur naik
c. Malnutrisi
d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai
komplikasi
e. Nyeri perut kanan atas
f. Fluktuasi
F.2 Abses hati piogenik (1,2,8,15)
Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang
lebih berat dari abses hati amuba.
Keluhan :
a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang
disertai menggigil
b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke
depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
c. Mual dan muntah
d. Berkeringat malam
e. Malaise dan kelelahan
f. Berat badan menurun
g. Berkurangnya nafsu makan
h. Anoreksia
Pemeriksaan fisis :
a. Hepatomegali
b. Nyeri tekan perut kanan
c. Ikterus, namun jarang terjadi
d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
e. Buang air besar berwarna seperti kapur
f. Buang air kecil berwarna gelap
g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
B.
DIAGNOSIS
G.1 Abses hati amebik (2,9)
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
H.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan
hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada
pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,623,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L,
SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang
didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang,
leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan
ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan
adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal
infeksi. Ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain
hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA.
Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus
penderita abses hepar. (2,7,9)
Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses
lainnya terdapat pada segmen VII dan VIII.(8)
D.
PENATALAKSANAAN
I.1 Abses hati amebik (2,12,14,17)
1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk
amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang
paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap
logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3
x 750 mg per hari selama 5 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 3550 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole
lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800
mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari
dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan
untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari
atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10
hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan
kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan
pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal
ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150
mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari
selama 20 hari.
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di
atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada
ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi.
Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur
atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi
campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda
perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan
berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis
susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah
diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi
mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami
infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila
usaha
dekompresi
perkutan
tidak
berhasil
Laparoskopi
juga
atau
kombinasi
klindamisin-
Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Alih bahasa oleh Brahm U.
Pendit.2012. Jakarta:EGC
Pearce Evelyn C. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT
Gramedia
Robbins, dan kumar. 1995. Patologi Fakultas kedoteran Universitas Aerlangga,
Edisi 4. Jakarta:EGC.
Kadek Hartini, D. A. (2013). Karakteristik Enterokolitis Nekrotikans Pada
Neonatus Yang Dirawat Di Rsup Sanglah. Denpasar: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar.
Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI 1990, Jakarta, P:
586-588.
2.
Daftar Pustaka