You are on page 1of 12

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/296672519

SISTEM PANASBUMI: KOMPONEN DAN


KLASIFIKASINYA [Bagian dari Proposal
Pengajuan Tugas Akhir]
Chapter March 2016

CITATIONS

READS

205

1 author:
Saefudin Juhri
Gadjah Mada University
3 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE

Available from: Saefudin Juhri


Retrieved on: 08 September 2016

SISTEM PANASBUMI:
KOMPONEN DAN KLASIFIKASINYA
[Bagian dari Proposal Pengajuan Tugas Akhir]

III.1. Komponen Sistem Panasbumi


Menurut Goff & Janik (2000) komponen sistem panasbumi yang lengkap terdiri
dari tiga komponen utama, yaitu adanya batua reservoar yang permeable, adanya air
yang membawa panas, dan sumber panas itu sendiri. Komponen-komponen tersebut
saling berkaitan dan membentuk sistem yang mampu mengantarkan energi panas dari
bawah permukaan hingga ke permukaan bumi. Sistem ini bekerja dengan mekanisme
konduksi dan konveksi (Hochstein & Brown, 2000).
III.1.1. Sumber panas
Sumber panas dari suatu sistem hidrotermal umumnya berupa tubuh intrusi
magma. Namun ada juga sumber panas hidrotermal yang bukan berasal dari batuan
beku. Panas dapat dihasilkan dari peristiwa uplift basement rock yang masih panas,
atau bisa juga berasal dari sirkulasi air tanah dalam yang mengalami pemanasan
akibat adanya perlipatan atau patahan. Perbedaan sumber panas ini akan berimplikasi
pada perbedaan suhu reservoar panasbumi secara umum, juga akan berimplikasi pada
perbedaan sistem panasbumi.
III.1.2. Batuan reservoar

Batuan reservoar adalah batuan yang dapat menyimpan dan meloloskan air
dalam jumlah yang signifikan karena memiliki porositas dan permeabilitas yang
cukup baik. Keduanya sangat berpengaruh terhadap kecepatan sirkulasi fluida.
Batuan reservoar juga sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dari fluida
hidrotermal. Sebab fluida hidrotermal akan mengalami reaksi dengan batuan reservoar
yang akan mengubah kimiawi dari fluida tersebut. Nicholson (1993) menjelaskan
bahwa batuan vulkanik, sedimen klastik, dan batuan karbonat umumnya akan
menghasilkan fluida hidrotermal dengan karakter kimia yang dapat dibedakan satu
dengan yang lainnya.
III.1.3. Fluida
Nicholson (1993) menyebutkan ada 4 (empat) macam asal fluida fluida
panasbumi, yaitu: (1) air meteorik atau air permukaan, yaitu air yang berasal dari
presipitasi atmosferik atau hujan, yang mengalami sirkulasi dalam hingga beberapa
kilometer. (2) Air formasi atau connate water yang merupakan air meteorik yang
terperangkap dalam formasi batuan sedimen dalam kurun waktu yang lama. Air
connate mengalami interaksi yang intensif dengan batuan yang menyebabkan air ini
menjadi lebih saline. (3) Air metamorfik yang berasal dari modifikasi khusus dari air
connate yang berasal dari rekristalisasi mineral hydrous menjadi mineral yang kurang
hydrous selama proses metamorfisme batuan. (4) Air magmatik, Ellis & Mahon (1977)
membagi fluida magmatik menjadi dua jenis, yaitu air magmatik yang berasal dari

magma namun pernah menjadi bagian dari air meteorik dan air juvenile yang belum
pernah menjadi bagian dari meteorik.
III.2. Klasifikasi Sistem Panasbumi
Terdapat berbagai klasifikasi sistem panasbumi yang diajukan oleh berbagai
peneliti. Umumnya pembagian klasifikasi sistem panasbumi didasarkan pada
beberapa aspek seperti asal fluida, suhu fluida di reservoar dan jenis sumber panas.
III.2.1. Asal fluida
Pembagian berdasarkan asal fluida ini disampaikan oleh Ellis & Mahon (1977).
Mereka membagi sistem panasbumi menjadi cyclic system dan storage system.
1. Cyclic system yaitu apabila suatu fluida hidrotermal berasal dari air
meteorik yang mengalami infiltrasi dan masuk jauh ke bawah permukaan,
kemudian terpanaskan, dan bergerak naik ke permukaan sebagai fluida panas. Pada
sistem ini, air meteorik mengalami recharge dari hujan dan infiltrasi, sehingga
siklus sistem berjalan terus menerus.
2. Storage System terbentuk apabila air tersimpan pada batuan dalam skala
waktu geologi yang cukup lama dan terpanaskan secara insitu, baik sebagai fluida
dalam formasi maupun sebagai air dari proses hidrasi pada mineral. Storage system
ini dibagi berdasarkan host atau batuan tempat tersimpannya fluida tersebut,
menjadi: (1) Sedimentary basin system dimana fluida diperoleh saat sedimen
terendapkan. Salinitas pada air yang dihasilkan oleh air formasi ini umumnya lebih
tinggi dibanding salinitas pada air magmatik. Selain itu, air yang berasal dari air

laut ini juga akan mengakibatkan komponen ion klorida pada air formasi yang
mengalami pemanasan akan meningkat. (2) Metamorphic system dimana air
berasal dari pelepasan H2O saat proses metamorfisme batuan sedimen asal laut
berjalan (White et al, 1973 dalam Ellis & Mahon, 1997).
III.2.2. Suhu reservoar
Terdapat beberapa standar yang berbeda dalam menentukan klasifikasi
berdasarkan suhu reservoar ini. Goff & Janik (2000) dan Nicholson (1993)
mengklasifikasikan suhu reservoar <150C sebagai sistem bertemperatur rendah,
sedangkan reservoar dengan suhu 150C diklasifikasikan sebagai sistem bersuhu
rendah. Nicholson (1993) membagi lagi sistem bersuhu tinggi menjadi liquid
dominated dan vapor dominated sistem berdasarkan fase fluida yang dominan pada
batuan reservoar (lihat gambar III.1 dan III.2).

Gambar III.1. Konseptual model untuk sistem panasbumi yang didominasi oleh fase cair atau liquid
dominated system (Nicholson, 1993)

Gambar III.2. Konseptual model untuk sistem panasbumi yang didominasi oleh fase gas vapor
dominated system (Nicholson, 1993)

Sedangkan Hochstein & Browne (2000) membagi sistem panasbumi menjadi


tiga yaitu suhu rendah, sedang (intermediate) dan tinggi. Sistem bersuhu rendah
memiliki temperatur reservoar <125C, sistem bersuhu sedang memiliki rentang
temperatur reservoar antara 125 - 225C, sedangkan sistem bersuhu tinggi memiliki
suhu reservaor >225C.
III.2.3. Jenis sumber panas
Secara umum terdapat dua jenis heat source yang dikenal dalam sistem
panasbumi seperti yang dipaparkan Nicholson (1993), yaitu volcanogenic dan
non-volcanogenic. Perbedaan penyebutan sistem yang merujuk pada sistem yang
sama antara lain, Ellis & Mahon (1977) menyebutnya sebagai high-T system
associated with recent volcanic dan high-T system in tectonically active non-volcanic
area. Serta Goff & Janik (2000) yang menyebutnya sebagai young volcanic model dan
tectonic model.

1. Volcanogenic System
Volcanogenic system adalah sistem hidrotermal yang sumber panasnya berasal
dari aktivitas magma. Intrusi magma yang bersifat andesitik, umumnya membentuk
geometri intrusi dengan diameter kecil namun secara vertikal dekat dengan
permukaan. Sedangkan magma yang bersifat asam, umumnya memiliki tubuh yang
berdiameter lebar, namun secara vertikal jauh di bawah permukaan.
Hochstein & Browne (2000) membagi sistem volcanogenic berrelief tinggi
menjadi tiga sistem berdasarkan fase fluida di reservoar. Yaitu liquid dominated
system (Gambar III.3), yang terbentuk jika permeabilitas batuan di reservoar tinggi,
sedangkan permeabilitas batuan di recharge area sedang. Natural two-phase system
(Gambar III.5), terjadi jika permeabilitas di reservoar maupun di recharge area
sedang. Serta vapor dominated system apabila permeabilitas batuan reservoar tinggi,
namun permeabilitas batuan sekitar rendah.

Gambar III.3. Model konseptual untuk sistem panasbumi liquid dominated berrelief tinggi menurut
Hochstein & Browne (2000)

Sistem volcanogenic berrelief rendah umumnya terbentuk pada magma yang


bersifat asam, yang menghasilkan erupsi eksplosif sehingga membentuk kaldera yang
luas (Gambar III.1). Selain itu, sistem volcanogenic juga dapat dihasilkan oleh proses
rifting pada batas antar lempeng yang saling menjauh (Gambar III.6). Pada setting
tektonik ini, magma yang terbentuk umumnya bersifat basaltic, fluida hidrotermal
berasal dari magma serta infiltrasi dari punggungan di sisi rift.
Sistem volcanogenic tidak selamanya menghasilkan suhu yang tinggi, pada
beberapa sistem seperti di Horohoro dan Atiamuri, Selandia Baru yang merupakan
sistem vulkanik namun bersuhu sedang (Hochstein & Browne, 2000).
2. Non-volcanogenic system
Non-volcanogenic system ialah sistem hidrotermal yang sumber panasnya tidak
berkaitan dengan aktivitas vulkanisme. Nicholson (1993) menjelaskan bahwa panas
pada sistem ini dapat dihasilkan dari peristiwa uplift basement rock yang masih panas,
atau bisa juga berasal dari sirkulasi air tanah dalam yang mengalami pemanasan
akibat adanya perlipatan atau patahan, serta adanya panas residual pada batuan beku
pluton. Sistem ini dapat menghasilkan fluida dengan temperatur tinggi hingga rendah.

Gambar III.4. Model konseptual yang sudah disederhanakan untuk sistem panasbumi yang memiliki
dua fase fluida pada reservoarnya (natural two-phase system) menurut Hochstein &
Browne (2000)

Gambar III.5. Model konseptual untuk sistem panasbumi yang fluidanya didominasi oleh fase gas
(vapor dominated system) di komples gunungapi relief tinggi, dimana terdapat lapisan
kondensat pada bagian atas dari reservoar menurut Hochstein & Browne (2000).

Sistem yang berkaitan dengan batuan beku intrusif umumnya berada pada
setting tektonik di batas antar lempeng. Hochstein dan Browne (2000) menjelaskan
beberapa setting tektonik yang berkaitan dengan sistem panasbumi ini yaitu kolisi
antar lempeng dan zona fracture. Pada setting tektonik kolisi, suhu yang terbentuk

Gambar III.6. Model konseptual untuk sistem panasbumi di daerah rifting kerak benua. Model dibuat
berdasarkan pada sistem danau di Tanzania utara, Kenya dan Ethiopia (Hochstein &
Browne, 2000)

pada reservoar bervariasi dari tinggi hingga rendah. Umumnya anomali panas
dihasilkan dari batuan kerak yang panas akibat aktivitas kolisi tersebut. Sedangkan
pada fracture zone system (Gambar III.8), fluida berasal dari air meteorik yang
mengalami sirkulasi hingga ke bagian dalam dan berkontak dengan batuan intrusi
seperti granit yang masih memiliki panas. Fluida tersebut kemudian bergerak naik
melewati zona fracture yang memberikan permeabilitas tinggi sehingga air mempu
bergerak naik ke permukaan.
Goff & Janik (2000) menjelaskan adanya tectonic model yang merupakan
konseptual model dari sistem geotermal yang terletak di lingkungan tektonik ekstensi
(Gambar III.9). Pada zona ekstensi, seperti pada zona rifting, terjadi penipisan kerak
akibat adanya stretching pada kerak yang saling menjauh. Penipisan ini
mengakibatkan batuan mantel menjadi lebih dekat ke permukaan yang menghasilkan
gradien temperatur yang lebih besar serta adanya anomali aliran panas pada

zona-zona sesar turun. Adanya sirkulasi dalam yang menuju graben menjadi suplai
fluida yang akan terpanaskan dan terakumulasi pada reservoar, kemudian bergerak ke
permukaan melewati zona permeabel dari sesar-sesar tersebut.

Gambar III.7. Model konseptual untuk sistem panasbumi yang berkaitan dengan batuan beku intrusif
pada zona fracture menurut Hochstein & Browne (2000)

Gambar III.8. Model konseptual untuk sistem panasbumi akibat setting tektonik menurut Hochstein &
Browne (2000)

Nicholson (1993) memberikan contoh lain sistem panasbumi yang tidak berkaitan
langsung dengan proses magmatisme yang disebut geopressured system. Panas pada
sistem ini dihasilkan oleh tekanan bebatuan itu sendiri. Sistem ini umumnya memiliki
suhu yang rendah. Pada sistem ini air yang berkontribusi umumnya berupa connate

water yang terperangkap dalam batuan sedimen sehingga menghasilkan fluida yang
bersifat klorida dan sangat saline atau disebut brine water.

You might also like