You are on page 1of 57

AMULET OF SAMARKHAND

Temperatur dalam ruangan menurun drastis. Bunga es terbentuk


di tirai dan mengerak tebal di sekeliling bola lampu di
langit-langit. Pijaran cahaya di tiap bohlam mengecil dan meredup,
sementara lilin-lilin yang berdiri di tiap permukaan
yang tersedia, sumbunya tertiup padam, tampak seperti sekoloni
jamur. Kamar yang sekarang gelap itu dipenuhi asap belerang
yang kuning menyesakkan, di dalam sana bayangan hitam
yang kabur menggeliat dan melintir. Sayup-sayup dari kejauhan
terdengar suara-suara jeritan. Pintu yang menuju anak tangga
tiba-tiba mendapat tekanan kuat. Pintu itu menggembung ke
arah dalam, kayu-kayunya bergemeretak. Suara langkah kaki
yang tak tampak mengentak lantai kayu dan mulut-mulut
yang tidak kasatmata membisikkan kata-kata jahat dari belakang
tempat tidur dan balik meja.
Awan sulfur itu memadat menjadi gumpalan asap tebal yang
memuntahkan sulur-sulur tipis; sulur-sulur itu menjilat-jilat ke
udara seperti lidah sebelum akhirnya menghilang. Gumpalan
asap itu tergantung di atas bagian tengah pentacle, menggelegak
9
Bartimaeus
1
naik menuju langit-langit seperti awan gunung berapi yang
meletus. Hampir tak tampak jeda sedikit pun. Lalu dua mata
kuning yang menatap lurus terbentuk di tengah-tengah asap.
Hei, ini pengalaman pertamanya. Aku ingin menakut-nakutinya.
Dan aku berhasil. Anak laki-laki berambut gelap itu berdiri
di tengah-tengah pentacle-nya. sendiri yang lebih kecil, dipenuhi
berbagai tulisan kuno, satu meter jauhnya dari pentacle besar.
Wajahnya sepucat mayat, tubuhnya gemetar seperti daun mati
yang ditiup angin kencang. Gigi-giginya bergemeletuk karena
dagunya bergetar. Keringat menetes dari alisnya, setiap butir
membeku menjadi es ketika terjatuh melewati udara. Butiranbutiran
keringat itu berderak seperti hujan es batu saat jatuh
ke lantai.
Semua baik dan lancar, tapi memangnya kenapa? Maksudku,
dia tampaknya baru dua belas tahun. Mata besar, pipi cekung.
Tak banyak kepuasan yang didapatkan dari menakut-nakuti
bocah kurus kering.1
Maka aku melayang dan menunggu, berharap anak ini tak
memerlukan waktu lama untuk akhirnya merapalkan mantra
pembebasan. Agar tidak bosan, aku membuat lidah-lidah api
biru menjilati bagian dalam tepi pentacle, seakan mencari jalan
keluar untuk menyergapnya. Itu tipuan, tentu saja. Aku telah
memeriksa dan tanda itu digambar dengan cukup baik. Tak
ada kesalahan mantra di mana pun, sayangnya.
1 Tak semua sepakat denganku soal ini. Beberapa menikmatinya sebagai permainan
yang menyenangkan. Mereka dengan licik mencari cara yang tak terhitung jumlahnya
untuk menyiksa para pemanggil mereka dengan penampakan yang mengerikan.
Biasanya paling tidak kau akan membuat pemanggilmu bermimpi buruk,
tapi kadang kala muslihat ini begitu berhasil sehingga para murid itu biasanya
langsung panik dan melangkah keluar dari lingkaran perlindungan mereka. Itu
berarti semua berjalan lancar?bagi kami. Tapi ini perbuatan yang berisiko. Serin
g
kali para murid itu berlatih dengan baik. Lalu mereka tumbuh dewasa dan membalas
dendam.
10
Akhirnya tampaknya bocah menyedihkan itu mulai memberanikan
diri berbicara. Aku menebak ini dari getaran di

bibirnya yang sepertinya bukan akibat rasa takut semata. Aku


menyingkirkan lidah-lidah api biru, menggantinya dengan bau
busuk.
Anak itu berbicara. Suaranya seperti tercekik.
"Aku memerintahkanmu... untuk... untuk..." Ya ampun,
cepatlah! "M-m-memberitahuku n-namamu."
Begitulah biasanya mereka memulai, para penyihir muda itu.
Ocehan yang tak berarti. Dia sudah tahu, dan aku tahu dia
tahu, namaku; jika tidak, bagaimana mungkin dia bisa memanggilku?
Kau butuh kata-kata yang tepat, tindakan yang
tepat, dan yang paling penting nama yang tepat. Maksudku,
ini kan tidak seperti memanggil taksi?kau tidak bisa mendapatkan
siapa saja jika memanggil.
Aku memilih suara yang dalam dan kental seperti cokelat,
yang bergema dari setiap arah tapi juga seolah tidak dari
mana-mana, yang membuat bulu kuduk di leher orang-orang
yang tak berpengalaman berdiri.
"Bartimaeus."
Aku melihat anak itu menelan ludah dengan susah payah
ketika mendengar namaku. Bagus?berarti dia tidak sepenuhnya
tolol; dia tahu siapa dan apa aku. Dia tahu reputasiku.
Setelah terdiam beberapa saat untuk menelan segumpal
dahak, dia berbicara lagi. "A-aku memerintahkanmu lagi untuk
menjawab. Apakah kau sang B-Bartimaeus yang pada zaman
dahulu dipanggil para penyihir untuk membetulkan tembok
Praha?"
Anak ini benar-benar tukang buang waktu. Siapa lagi kalau
bukan aku? Aku meninggikan volume suara untuk menjawab.
Es yang terbentuk di lampu bohlam bergemeretak seperti gula
yang mengeras menjadi karamel. Di balik tirai yang kotor,
11
kaca jendela berkilau dan bergetar. Tubuh anak itu mendoyong
ke belakang.
"Aku Bartimaeus! Aku Sakhr al-Jinni, N'gorso yang Hebat,
dan sang Ular dari Silver Plumes! Aku membangun kembali
tembok-tembok Uruk, Karnak, dan Praha. Aku berbicara
dengan Solomon. Aku pernah berlari bersama nenek moyang
kerbau-kerbau di padang rumput. Aku menjaga Zimbabwe Tua
hingga hujan batu menghancurkannya dan anjing-anjing
memakan tuan-tuan mereka. Aku Bartimaeus! Aku tak bertuan.
Maka aku memerintahkanmu menjawab sekarang, bocah. Siapa
kau yang berani memanggilku?"
Keren, kan? Plus, semua keterangan itu memang benar sehingga
efeknya lebih kuat. Dan aku melakukannya bukan
hanya untuk menyombongkan diri. Aku berharap anak itu
akan tegertak sehingga menyebutkan namanya, yang akan
memberiku sesuatu yang dapat digunakan jika dia lengah.2
Tapi aku tidak mujur.
"Dengan lingkaran pembatas, ujung-ujung pentacle, dan
rangkaian tulisan kuno, aku tuanmu! Kau akan mematuhi perintahku!"
Ada sesuatu yang amat memuakkan bila mendengar tingkah
menyebalkan ini dilakukan anak tanggung yang penampilannya
acak-acakan, dengan suara melengking konyol pula. Aku
menahan keinginan mengutarakan isi hati dan menyuarakan
jawaban yang biasa. Apa saja asal bisa mempercepat proses
ini.
"Apa keinginanmu?"
Aku mengakui bahwa aku sudah dibuatnya terkesan. Kebanyakan
penyihir yang masih hijau melihat dulu, baru ber2 Aku tak dapat berbuat apa-apa selama berada di dalam lingkaran, tentu saja. Ta

pi
nanti aku akan mendapatkan informasi tentang siapa ia sebenarnya, mencari kelema
han
karakternya, hal-hal di masa lalu yang dapat dieksploitasi. Mereka semua
memilikinya. Atau lebih tepatnya, kalian semua memilikinya.
12
tanya. Mereka memeriksa, mengira-ngira potensi kekuatan
mereka sendiri, tapi terlalu gugup untuk mencobanya. Lagi
pula kau jarang menemukan penyihir bau kencur seperti ini
memanggil makhluk sekaliber aku.
Anak itu berdeham. Inilah saatnya. Ini saat yang dinantinantikannya.
Dia telah memimpikan hal ini selama bertahuntahun,
ketika seharusnya dia berbaring di tempat tidur memikirkan
mobil balap atau cewek. Aku menunggu perintahnya
yang menyedihkan dengan geram. Apa gerangan permintaannya?
Membuat beberapa objek melayang adalah hal yang biasa
mereka minta, atau menggeser benda-benda dari sisi ruangan
yang satu ke sisi yang lain. Mungkin dia menginginkan aku
membuat suatu ilusi. Mungkin akan menyenangkan: ada saja
cara untuk pura-pura salah mengartikan permintaannya dan
membuatnya kesal.3
"Aku memerintahkanmu mencuri Amulet Samarkand dari
rumah Simon Lovelace dan membawanya kepadaku saat aku
memanggilmu besok subuh."
"Apa?"
"Aku memerintahkanmu mencuri?"
"Ya, aku dengar apa katamu." Aku tak bermaksud terdengar
naik pitam. Kelepasan saja, dan nada suaraku yang seram agak
terpeleset juga.
"Pergilah!"
"Tunggu sebehtar!" Aku merasakan sensasi mual di perutku
yang selalu timbul jika ada yang mengusirmu. Seolah ada yang
menyedot isi perutmu dari punggung. Pengusirannya harus
disebutkan tiga kali sebelum dapat membuatmu pergi, jika kau
berkeras tinggal. Biasanya kau tak ingin berlama-lama. Tapi
3 Seorang penyihir pernah menyuruhku menampakkan cinta sejatinya. Aku menampilka
n
bayangan cermin yang kabur.
13
kali ini aku tetap berada di tempatku, berwujud dua mata
yang menyala di dalam asap menggeiegak.
"Kau tahu apa yang kauminta, Nak?"
"Aku tidak akan membicarakan, mendiskusikan, atau tawarmenawar
tentang ini denganmu; tidak juga akan meladeni tekateki,
taruhan, atau permainan kemungkinan; tidak juga?"
"Aku tak berminat mengobrol dengan remaja kerempeng,
percayalah, jadi simpan saja sampah hafalanmu itu. Ada yang
memanfaatkanmu. Siapa?kurasa, mastermu? Pengecut yang
bersembuyi di balik anak kecil." Aku membiarkan asap menipis
sedikit, menampakkan siluetku untuk pertama kali, melayang
redup di balik bayangan. "Jika kau berniat merampok penyihir
sejati dengan memanggilku, berarti kau dua kali bermain api.
Di mana kita? London?"
Anak itu mengangguk. Ya, memang London. Dalam rumah
bobrok di tengah kota. Aku mengamati ruangan dari balik
asap kimia. Langit-langit rendah, kertas pelapis dinding yang
terkelupas; poster pudar di dinding. Poster itu menampakkan
pemandangan suram di Belanda?pilihan aneh untuk ukuran
bocah. Aku mengharapkan melihat poster-poster cewek penyanyi
pop, pemain sepak bola... Kebanyakan penyihir adalah

konformis, bahkan meskipun masih muda.


"Ah, malangnya..." Kubuat suaraku lembut dan sedih. "Dunia
ini kejam dan mereka hanya mengajarimu sedikit."
"Aku tak takut padamu! Aku telah memberikan perintah
dan aku menuntut kau segera pergi!"
Pengusiran kedua. Ususku seakan dilalui mesin penggilas.
Aku merasakan wujudku mulai meredup, berkedip. Anak ini
memiliki kekuatan, walaupun ia masih amat muda.
"Bukan aku yang harus kautakuti; paling tidak, untuk saat
ini. Simon Lovelace akan mendatangimu sendiri jika sadar
amuletnya hilang dicuri. Dia takkan membiarkanmu hidup
hanya karena kau masih belia."
14
"Kau terikat untuk melaksanakan perintahku."
"Memang." Aku menyerah, dia bertekad bulat. Dan amat
bodoh.
Tangannya bergerak. Aku mendengar suku kata pertama
mantra Penjepit Sistematik. la akan menyakitiku.
Aku pergi. Aku tak mau bersusah payah membuat special
effect lagi.
15
2
Saat aku mendarat di tiang lampu jalanan petang itu di
London, hujan deras sedang turun. Nasibku yang buruk. Aku
mengambil wujud burung hitam, jenis yang lincah dengan
paruh kuning terang dan bulu hitam pekat. Dalam beberapa
detik saja aku telah menjadi unggas paling basah kuyup yang
pernah mengepakkan sayap di Hampstead. Sambil menolehkan
kepalaku ke kanan dan ke kiri, aku melihat pohon beech besar.
Dedaunan membusuk di kakinya?pohon itu telah gundul
diterjang angin November?tapi dahan-dahannya yang tumbuh
rapat menawarkan perlindungan dari kebasahan ini. Aku terbang
menghampirinya, melewati bagian atas mobil yang melaju
sendirian di jalan perkotaan yang lebar. Di balik temboktembok
tinggi dan pagar hijau halaman, bagian muka beberapa
vila besar yang putih dan jelek bersinar menembus gelapnya
malam bagaikan wajah mayat.
Well, mungkin suasana hatiku saja yang membuat bangunanbangunan
itu tampak demikian. Ada lima hal yang membuatku
khawatir. Pertama, mulai datangnya rasa sakit samar-samar
16
yang menyertai setiap kali aku mengambil wujud fisik. Aku
dapat merasakannya di tiap helai buluku. Mengubah bentuk
akan melenyapkan rasa sakit untuk sementara, tapi juga mungkin
akan menarik perhatian pada tahap penting perubahan.
Sebelum yakin akan keamanan situasi sekitar, aku harus tetap
menjadi burung.
Masalah kedua adalah cuacanya. Tak perlu penjelasan lebih
lanjut.
Ketiga, aku melupakan batas-batas yang dimiliki wujud
nyata. Ada rasa gatal di sebelah atas paruhku, dan aku terus
berusaha dengan sia-sia menggaruknya dengan sayap. Keempat,
anak itu. Banyak pertanyaan di benakku tentang dirinya. Siapa
dia? Mengapa dia mencari mati? Bagaimana caranya agar aku
dapat membalas dendam padanya sebelum dia mati karena
menyuruhku melakukan tugas ini? Kabar tersiar cepat, dan
sudah dapat dipastikan aku akan mendapat pelecehan karena
berkeliaran atas nama anak bau kencur seperti dia.
Kelima... amiiletnya. Dari segi mana pun amulet itu jimat
ampuh. Aku sama sekali tak dapat menebak apa yang akan

dilakukan anak itu terhadapnya. Dia tak mungkin tahu kekuatan


sejati benda itu. Mungkin ia hanya akan memakainya
sebagai aksesori fashion yang nyentrik. Mungkin mengutil
amulet adalah tren terbaru, seperti mencungkil velg ban mobil
versi penyihir. Bagaimanapun, aku harus mendapatkannya
dulu, dan ini tidak akan mudah, bahkan untukku.
Aku menutup mata burungku dan membuka mata benak,
satu demi satu, masing-masing dalam plane?tingkatan keberadaan?
yang berbeda.1 Aku memandang bolak-balik ke sekitar,
melompat-lompat di dahan untuk mendapatkan peman1 Aku memiliki akses ke tujuh plane, semua secara berurutan. Plane-plane itu sal
ing
menumpuk seperti lapisan roti pastry mille-feuille yang remuk. Tujuh plane sudah
cukup bagi semua makhluk. Mereka yang beroperasi pada lebih dari tujuh plane
hanya berniat pamer.
17
dangan yang optimal. Tak kurang dari tiga vila di sepanjang
jalan itu memiliki proteksi sihir, yang menunjukkan betapa
kayanya area ini. Aku tak memeriksa dua vila yang agak jauh
di ujung jalan sebelah sana; vila yang berada di seberang kedua
vila itulah, yang letaknya di belakang lampu jalan, yang raembuatku
tertarik. Kediaman Simon Lovelace, penyihir.
Plane pertama aman, tapi Simon Lovelace melengkapi plane
kedua dengan jaringan pertahanan?jaringan itu bersinar bagaikan
jaring laba-laba tipis berwarna biru di sepanjang tembok
tinggi. Tapi tidak berhenti di situ saja; jaring itu terus menjalar
ke atas hingga cukup tinggi, melampaui atap rumah putih
yang rendah, dan menurun lagi ke sisi seberang, membentuk
semacam kubah besar yang bersinar.
Boleh juga, tapi aku dapat mengatasinya.
Tak ada apa-apa di plane ketiga dan keempat, tapi pada
plane kelima aku melihat tiga sentry?penjaga gaib?berpatroli
di udara, tepat di balik bibir tembok halaman. Seluruh tubuh
mereka kuning redup, masing-masing memiliki tiga kaki berotot
yang berotasi di tulang rawan mereka. Di atas tulang
rawan itu terdapat setumpuk gumpalan, yang dilengkapi dua
mulut dan beberapa mata yang awas. Makhluk-makhluk itu
melintas tanpa aturan, bolak-balik mengelilingi garis batas pekarangan.
Aku meringkuk di belakang dahan pohon beech
secara refleks, tapi aku tahu mereka tak mungkin dapat melihatku
dari jarak itu. Dalam jarak itu aku hanya tampak sebagai
burung hitam di seluruh tujuh plane. Barulah jika aku
mendekat, mereka bakal dapat melihat menembus ilusiku.
Plane keenam aman. Tapi plane ketujuh... ini aneh. Aku tak
melihat ada apa-apa?rumah, jalan, suasana malam tampak tak
berubah?tapi, sebut ini intuisi jika kau suka, aku yakin ada
sesuatu di sana, mengintai.
Dengan ragu-ragu, aku menggesekkan paruh ke tonjolan di
batang pohon. Seperti yang kuduga, banyak kegiatan sihir
18
berkekuatan tinggi di sini. Aku pernah mendengar tentang
Lovelace. Dia dinilai sebagai penyihir hebat dan master pemberi
tugas yang sulit. Aku beruntung karena tak pernah dipanggil
untuk melayaninya, aku juga tak ingin bermusuhan dengannya
atau para abdinya.
Tapi aku harus mematuhi anak itu.
Burung hitam yang kuyup itu mengudara dari dahan dan
melayang menyeberangi jalan, dengan lincah menghindari pancaran
sinar lampu jalan terdekat. Burung tersebut mendarat di
rumput rimbun di sudut tembok. Empat kantong sampah

hitam diletakkan di sana untuk diambil esok pagi. Si burung


hitam melompat-lompat ke balik kantong-kantong itu. Seekor
kucing yang telah mengawasi burung itu2 dari kejauhan
menunggu beberapa saat hingga burung tersebut muncul
kembali, kehilangan kesabaran, dan berlari mengejar. Di balik
kantong-kantong itu si kucing tak menemukan si burung, baik
hitam maupun warna lain. Tak ada apa-apa di sana selain tikus
tanah yang baru saja menjelma.
2 Dalam dua plane. Kucing memiliki kemampuan itu.
19
3
Aku benci rasa lumpur. Lumpur tak pantas bagi makhluk
udara dan api. Beban tanah yang menyesakkan mengimpitku
dengan kuat setiap kali aku menyentuhnya. Itulah sebabnya
aku begitu pemilih mengenai penjelmaanku. Burung, bagus.
Serangga, bagus. Kelelawar, oke. Semua yang berlari dengan
kecepatan tinggi juga boleh. Penghuni pepohonan lebih bagus
lagi. Makhluk bawah tanah, tidak bagus. Tikus tanah, buruk.
Tapi tak ada gunanya rewel jika kau harus melewati perisai
proteksi. Aku benar saat menebak perisai itu tak' mencakup
bawah tanah. Si tikus tanah menggali liang dalam-dalam, jauh
ke dalam, ke bawah pondasi tembok. Tak ada alarm sihir yang
menyala, walaupun kepalaku terantuk kerikil lima kali.1 Aku
menggali ke arah atas lagi, menggapai permukaan setelah dua
puluh menit mengendus, menggaruk, dan menghadapkan
hidungku yang seperti manik ke arah cacing-cacing gemuk.
Aku menemukan cacing di setiap dua kerukan.
1 Lima kerikil yang berbeda. Bukan kerikil yang sama lima kali. Hanya ingin
memperjelas masalah ini. Karena terkadang kalian umat manusia begitu bebal.
20
Si tikus tanah menjulurkan kepala dengan hati-hati, keluar
dari gundukan tanah kecil yang didorongnya ke permukaan
pekarangan Simon Lovelace yang amat rapi. Tikus itu memandang
sekeliling, memeriksa keadaan. Lampu menyala di
dalam rumah, di lantai dasar. Tirainya tertutup. Lantai-lantai
atas, dalam jarak pandang si tikus tanah, semua gelap. Rentangan
biru tembus pandang sistem keamanan sihir melengkung di
atas. Satu sentry kuning melintas dengan konyol tiga meter di
atas semak-semak. Yang dua lagi mungkin berada di belakang
rumah.
Aku mencoba lagi melihat plane ketujuh. Masih tidak ada
apa-apa, namun masih terasa adanya bahaya yang tak menyenangkan
itu. Oh, well.
Si tikus tanah kembali masuk ke liang dan menggali di
bawah akar-akar rumput menuju rumah. la muncul di petak
bunga persis di bawah jendela terdekat. la berpikir keras. Tak
ada gunanya mempertahankan penyamaran ini, meski ia tergoda
menyusup melalui gudang bawah tanah. Ia harus mencari
metode yang berbeda.
Telinga si tikus tanah yang berbulu menangkap suara gelak
tawa dan gelas-gelas beradu. Suara itu begitu nyaring terdengar,
bergema dari jarak yang dekat. Ventilasi udara, retak dimakan
usia, terpasang di dinding tak lebih dari setengah meter jauhnya.
Ventilasi itu bisa jadi jalan masuk.
Dengan perasaan lega, aku menjelma menjadi lalat.
21
4
Dari balik perlindungan ventilasi udara, aku mengintip dengan
mata multifasetku ke dalam ruang duduk yang ditata
dengan selera agak tradisional. Karper tebal yang terhampar di

lantai, kertas pelapis dinding bergaris-garis yang jelek, benda


kristal mengerikan yang berpura-pura menjadi kandelir, dua
lukisan minyak yang gelap termakan usia, sofa dan dua kursi
malas (juga bergaris-garis), meja kopi rendah yang memuat
baki perak, lalu, di atas baki itu, sebotol anggur merah dan
tak ada gelas. Gelas-gelas itu berada di tangan dua manusia.
Salah satunya wanita. la tampak masih muda (untuk manusia,
yang artinya amat sangat muda) dan mungkin cukup cantik
meski agak berisi. Mata besar, rambut gelap, model bob.
Aku langsung menghafal wajahnya. Aku akan muncul dengan
wujud wanita itu besok ketika kembali mengunjungi si bocah.
Tapi telanjang. Mari kita lihat bagaimana respons wataknya
yang sekeras baja tapi masih begitu hijau itu!1
1 Bagi yang penasaran, aku tak memiliki kesulitan menjelma jadi wanita. Ataupun
22
Tapi saat ini aku lebih tertarik memerhatikan si pria yang
membuat wanita itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Pria
itu jangkung, kurus, tampan, sedikit berkesan kutu buku, dengan
rambut yang licin disisir ke belakang dan dilumuri
minyak rambut berbau tajam. la mengenakan kacamata bundar
kecil dan memiliki bibir lebar dengan gigi-gigi rapi. Rahangnya
kuat. Sesuatu memberitahuku inilah si penyihir, Simon Lovelace.
Apakah karena aura kekuatan dan wibawanya yang tak
dapat dijelaskan? Atau apakah karena gerak tubuhnya yang
mengisyaratkan penguasaan penuh atas seluruh ruangan? Atau
karena imp?setan peliharaan?kecil yang melayang-layang di
atas bahunya (pada plane kedua), dengan waspada memerhatikan
keadaan sekeliling, mengawasi bahaya yang mungkin mengintai?
Aku menggosok-gosokkan kedua kaki depanku dengan kesal.
Aku harus berhati-hati sekali. Imp itu membuat segalanya menjadi
lebih rumit.2
Sayang sekali aku bukan laba-laba. Laba-laba dapat duduk
diam berjam-jam tanpa masalah. Lalat jauh lebih tak bisa
diam. Tapi jika aku berubah di sini, abdi si penyihir pasti akan
merasakannya. Aku harus memaksa tubuh engganku bergerak,
dan mengabaikan rasa sakit yang mulai mendera lagi, kali ini
di dalam lapisan kulit luarku yang keras.
Si penyihir berbicara. Dia nyaris tak melakukan apa-apa
selain itu. Si wanita memandangnya dengan mata bak anjing
pria. Dalam beberapa hal kurasa menjelma menjadi wanita sedikit lebih sulit, tap
i
aku takkan menjelaskannya sekarang. Wanita, pria, tikus tanah, belatung?jika
sudah terbentuk, mereka semua sama, kecuali sedikit variasi dalam kemampuan
kognitif.
2. Jangan salah. Aku tidak takut pada imp itu. Aku dapat meremukkannya tanpa
berpikir dua kali. Tapi dia ada di sana karena dua alasan: loyalitas penuhnya
kepada sang master dan matanya yang tangkas. Dia takkan tertipu penyamaranku
scbagai lalat meski hanya sedetik pun.
23
spaniel lebar dan konyol, penuh kekaguman sehingga aku tergoda
untuk menggigitnya.
"...Akan menjadi acara yang paling menyenangkan,
Amanda. Kau akan menjadi pusat perhatian masyarakat London!
Apakah kau tahu Perdana Menteri sendiri berharap bisa
melihat tanah milikmu? Ya, aku mendengarnya dari sumber
tepercaya. Musuh-musuhku mendesaknya selama bermingguminggu
dengan tuduhan-tuduhan keji, tapi dia tetap berkomitmen
menyelenggarakan konvensi itu di Hall. Jadi kaulihat,
sayangku, aku masih dapat memengaruhinya saat diperlukan.
Kuncinya adalah tahu cara menanganinya, bagaimana mempermainkan

kesombongannya... Jangan bilang siapa-siapa, tapi


sebetulnya dia agak lemah. Spesialisasinya adalah Charm, dan
bahkan sekarang, dia sudah jarang mempergunakannya. Untuk
apa? Dia memiliki pria-pria bersetelan untuk melakukannya...."
Si penyihir mengoceh seperti ini selama beberapa menit,
menyebutkan nama-nama orang penting dengan energi yang
tak ada habisnya. Si wanita meminum anggurnya, mengangguk,
terkesiap, dan berseru terkejut di saat-saat yang tepat,
kian lama kian merapat pada pria itu di sofa. Aku nyaris mendengkur
karena bosan.3
Tiba-tiba si imp menjadi waspada. Kepalanya berputar 180
derajat dan dia menatap pintu di sisi lain ruangan. Makhluk
itu menarik telinga si penyihir perlahan untuk memberi peringatan.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan pelayan
3 Kalau yang mendengarkan percakapan ini manusia, dia mungkin akan ternganga
terkejut. Kisah korupsi dalam Pemerintahan Inggris yang diutarakan si penyihir
sangat mendetail. Tapi aku tidak terkesan. Berhubung pernah melihat banyak
kebudayaan yang jauh lebih hebat runtuh dan menjadi debu, aku tak tertarik
dengan masalah ini. Aku menghabiskan waktu dengan sia-sia untuk berusaha
memperkirakan kekuatan supernatural mana yang kira-kira terikat untuk melayani
Simon Lovelace. Tak ada salahnya mempersiapkan diri.
24
pria berjaket hitam dengan kepala botak masuk dengan sikap
hormat.
"Maaf, Sir, tapi mobil Anda telah siap."
"Terima kasih, Carter. Kami takkan lama."
Pelayan itu keluar. Si penyihir meletakkan kembali gelas
anggurnya (yang masih penuh) ke meja kopi dan meraih
tangan si wanita. Dia mengecup tangan itu dengan sopan santun
pria terhormat. Di balik punggungnya si imp menunjukkan
raut wajah muak.
"Amat menyakitkan bagiku karena kau harus pergi, Amanda,
tapi tugas memanggil. Aku takkan berada di rumah malam ini.
Bolehkah aku menghubungimu lagi? Kita ke teater, besok malam,
mungkin?"
"Akan sangat menyenangkan, Simon."
"Kalau begitu sudah diputuskan. Kawan baikku Makepeace
sedang mempertunjukkan drama baru. Aku akan mendapatkan
tiketnya segera. Sekarang, Carter akan mengantarmu pulang."
Pria, wanita, dan imp keluar, membiarkan pintu terbuka lebar.
Mengikuti mereka, seekor lalat yang waspada perlahan
keluar dari tempat persembunyian dan melayang tanpa suara
melintasi ruangan ke tempat strategis yang dapat memperlihatkan
pemandangan ke seluruh ruang selasar depan. Selama
beberapa menit terdapat aktivitas, mantel-mantel diserahkan,
perintah diberikan, pintu-pintu dibanting tertutup. Lalu si penyihir
meninggalkan kediamannya.
Aku terbang ke selasar. Ruangan itu besar dan dingin, lantainya
dilapisi tegel hitam-putih. Tanaman pakis hijau terang
tumbuh di pot-pot keramik raksasa. Aku terbang mengelilingi
lampu kristal, mendengarkan. Suasana amat hening. Satu-satunya
suara yang terdengar bersumber dari dapur di kejauhan,
dan suara itu cukup wajar?hanya bunyi benturan panci dan
piring lalu beberapa suara sendawa keras, mungkin berasal dari
si juru masak.
25
Aku berdebat dengan diriku sendiri apakah akan mengirimkan
sinyal sihirku dengan hati-hati untuk menemukan artefakartefak
milik si penyihir, tapi memutuskan itu terlalu berisiko.
Makhluk-makhluk sentry di luar mungkin akan menangkap

sinyalnya, itu satu hal, bahkan kalaupun tidak ada penjagaan


lain. Aku, si lalat, harus berburu sendiri.
Semua plane aman. Aku terbang melintasi selasar, lalu?
mengikuti insting?menyusuri tangga ke atas.
Di landasan tangga, koridor yang dilapisi karpet tebal
membentang ke dua arah, setiap dinding digantungi lukisanlukisan
minyak. Aku segera tertarik dengan lorong yang mengarah
ke kanan, karena di tengahnya ada mata-mata. Bagi mata
manusia, itu alarm kebakaran, tapi pada plane yang lain bentuk
aslinya terungkap: katak bermata menonjol tak menyenangkan
yang duduk jungkir balik di langit-langit. Setiap
sekian menit sekali, katak itu melompat di tempatnya, berputar
sedikit. Jika si penyihir kembali, makhluk itu akan membeberkan
segala hal yang telah terjadi.
Aku mengirimkan sihir ringan ke arah katak itu. Asap tebal
yang berminyak muncul dari langit-langit dan mengelilingi si
mata-mata, menghalangi pandangannya. Ketika dia melompat
dan mendengkung kebingungan, aku terbang dengan kecepatan
tinggi melewatinya melintasi lorong menuju pintu di ujung.
Selain terpisah dari pintu-pintu lain di koridor itu, yang satu
ini tak memiliki lubang kunci; di balik cat putih, kayunya
diperkuat dengan lempengan besi. Dua alasan bagus untuk
mencoba pintu ini terlebih dahulu.
Ada celah sempit di bawah pintu itu. Celahnya terlalu sempit
untuk dimasuki serangga, tapi aku toh sudah gatal ingin berubah
wujud. Si lalat menjelma menjadi asap, yang lolos tanpa
terlihat melalui celah di bawah pintu persis sebelum asap yang
meliputi si katak menipis dan menghilang.
Di dalam ruangan aku menjadi anak kecil.
26
Kalau tahu siapa nama murid penyihir itu, aku akan membalas
dendam dengan mengambil wujudnya, hanya untuk
memberi Simon Lovelace petunjuk saat dia menyelidiki pencurian
ini. Tapi tanpa nama, aku tak dapat menguasainya.
Maka aku menjelma menjadi bocah lelaki yang pernah kukenal
dulu, seseorang yang dulu pernah kusayangi. Abunya telah
lama mengalir bersama sungai Nil, maka kejahatanku tak akan
menyakitinya, lagi pula mengingatnya seperti ini membuatku
senang. Kulitnya cokelat, matanya bersinar, tubuhnya mengenakan
jubah putih. Anak lelaki itu melihat sekeliling dengan
gerakan yang biasa dilakukannya dulu, kepalanya sedikit ditelengkan
ke samping.
Ruangan itu tak berjendela. Ada beberapa lemari yang
menempel ke dinding, dipenuhi perlengkapan sihir. Kebanyakan
barang-barang itu tak berguna, hanya cocok untuk aksi
panggung,4 tapi ada beberapa barang yang menarik di sana.
Ada terompet pemanggil yang aku tahu asli, karena melihatnya
saja membuatku mual. Hanya dengan satu tiupan,
segala yang berada dalam kekuasaan sang penyihir akan datang
bersimpuh di kakinya memohon ampun dan mendesak diberi
tugas. Itu instrumen yang jahat serta amat tua dan aku tak
mau dekat-dekat. Di kabinet lain ada mata yang terbuat dari
4 Oh, semua itu memang cukup mengesankan bila kau bukan penyihir. Coba kulihat,
ada bola kristal, cermin pengintai, tengkorak dari makam-makam, persendian
orang-orang suci, tongkat-tongkat perantara sihir yang dirampas dari para shaman
di Siberia, botol-botol berisi darah yang asalnya diragukan, topeng dukun, buaya
yang diawetkan, koleksi tongkat sihir, satu rak jubah untuk segala jenis upacara
,
dan banyak sekali buku tebal tentang sihir yang tampaknya dilapisi kulit manusia
sejak permulaan zaman, tapi kemungkinan telah diproduksi masal minggu lalu

oleh pabrik di Catford. Para penyihir menyukai semua ini; mereka menyukai
segala misteri simsalabim yang meliputi benda-benda itu (dan setengah memercayai
nya,
beberapa dari mereka) dan mereka tergila-gila akan efek yang ditimbulkan
benda-benda tersebut kepada orang-orang yang bukan penyihir. Di balik
semua alasan itu, benda-benda omong kosong ini mengalihkan perhatian orang
pada sumber kekuatan mereka yang sebenarnya: kami.
27
tanah liat. Aku pernah melihat yang seperti itu, di kepala
golem?boneka tanah liat yang bisa dihidupkan dengan sihir.
Aku ingin tahu apakah si bodoh itu mengetahui potensi benda
tersebut. Kemungkinan besar tidak?dia bisa saja mendapatkannya
untuk koleksi benda antiknya setelah perjalanan pesiar ke
Eropa Tengah. Pariwisata penyihir... yang benar saja.5 Well,
kalau mujur, benda itu akan membunuhnya suatu hari nanti.
Dan di sanalah tersimpan Amulet Samarkand. Benda itu
berada di dalam kotaknya sendirian, terlindungi pelapis kaca
dan reputasinya sendiri. Aku melangkah mendekat, menyisir
ketujuh plane, mencari adanya bahaya dan mendapati?well,
tak ada yang sangat jelas sih, tapi di plane ketujuh aku samar
merasa ada yang bergerak. Bukan di sini, tapi dekat. Sebaiknya
aku cepat-cepat.
Amulet itu kecil, warnanya pudar, dan terbuat dari emas
tempaan. Amulet itu tergantung di rantai emas pendek. Di
tengah-tengahnya terdapat batu giok berbentuk oval. Emasnya
dicetak dengan motif timbul yang menggambarkan kuda-kuda
berlari. Kuda adalah harta yang berharga bagi orang-orang Asia
Tengah pembuat amulet itu tiga ribu tahun lalu. Mereka kemudian
menguburnya di dalam makam salah seorang putri
raja mereka. Seorang arkeolog dari Rusia menemukannya pada
tahun 1950-an, dan tak lama setelah itu amulet tersebut dicuri
para penyihir yang menyadari nilainya. Bagaimana amulet itu
berada di tangan Simon Lovelace?siapa persisnya yang ia
bunuh atau tipu untuk mendapatkannya?aku tak tahu.
5 Mereka semua menyukainya?bergerombol naik kereta (atau, karena kebanyakan
dari mereka memiliki banyak uang, menyewa pesawat jet) untuk pergi tur ke
kota-kota sihir kuno. Semua mendesah dan berseru kegirangan melihat situs-situs
terkenal?kuil-kuil, tempat kelahiran penyihir-penyihir terkenal, tempat mereka
menemui ajal dengan mengerikan. Dan mereka semua siap menyambar potonganpotongan
patung atau merampok pasar gelap, berharap mendapatkan barangbarang
sihir yang oke dengan harga miring. Bukan masalah vandalisme terhadap
warisan budaya yang membuatku keberatan. Hanya saja semua itu begitu vulgar.
28
Aku menelengkan kepala lagi, mendengarkan. Hcning di
dalam rumah.
Aku mengangkat tangan ke arah kabinet, tersenyum pada
pantulan bayanganku saat dia mengepalkan tangan.
Lalu aku menurunkan tangan dan menggerakkannya menembus
kaca.
Denyutan energi sihir bergetar pada ketujuh plane. Aku menyambar
amulet itu dan menggantungkannya di leherku. Aku
berbalik dengan cepat. Ruangan masih seperti sebelumnya, tapi
aku dapat merasakan sesuatu di plane ketujuh, bergerak cepat
dan menghampiriku.
Sudah bukan waktunya mengendap-endap lagi.
Ketika berlari menuju pintu, aku menyadari dari ujung
mataku ada portal yang tiba-tiba terbuka di udara kosong. Di
dalam portal itu terdapat kegelapan hitam yang segera tertutup
begitu sesuatu melangkah keluar.
Aku menyerang pintu dengan kepalan tangan anak lelakiku

yang kecil. Pintu itu remuk terbuka seperti kartu remi yang
terlipat. Aku berlari melewatinya tanpa berhenti.
Di koridor, si katak menoleh ke arahku dan membuka mulut.
Gumpalan lendir hijau keluar, yang seketika meluncur
cepat ke arahku, membidik kepalaku. Aku menunduk dan lendir
itu muncrat mengenai dinding di belakangku, menghancurkan
lukisan dan segalanya sampai ke batu bata di baliknya.
Aku melontarkan petir Kompresi ke arah si katak. Bersama
suara koakan penuh penderitaan, dia meletus menjadi gumpalan
kental sebesar kelereng dan terjatuh ke lantai. Aku tak
mengurangi kecepatan. Ketika berlari menyusuri koridor, aku
membuat Perisai pelindung di sekeliling wujud fisikku kalaukalau
ada peluru susulan.
Ternyata ini langkah bijaksana karena detik berikutnya Detonasi
menghantam lantai persis di belakangku. Ledakannya begitu
hebat sehingga membuatku terlontar kepala terlebih da29
hulu ke sudut koridor dan nyaris menembus dinding. Api
hijau menjilat-jilat di sekelilingku, meninggalkan bekas pada
dekorasi koridor seperti jari-jari tangan raksasa.
Aku berjuang bangkit di antara reruntuhan bata yang pecah
dan menoleh ke belakang.
Berdiri di depan pintu yang rusak di ujung koridor, tampak
sesuatu yang berwujud pria yang bertubuh amat tinggi, berkulit
merah terang, dan berkepala serigala.
"Bartimaeus!"
Detonasi melesat lagi melalui koridor. Aku berjungkir balik
di bawahnya, mengincar tangga, dan ketika ledakan hijau itu
menghancurkan sudut dinding, aku berguling-guling menuruni
tangga, menerobos pegangan tangga, dan meluncur sejauh dua
meter ke bawah, menuju lantai hitam-putih, membuat tegelnya
retak lumayan parah.
Aku berdiri dan melihat ke arah pintu depan. Melalui kaca
buram di sebelah pintu, aku dapat melihat sosok kuning besar
salah satu sentry di luar. Makhluk itu diam menunggu, tak
menyadari dia dapat terlihat dari dalam. Aku memutuskan
mencari jalan keluar yang lain. Maka terbuktilah bahwa otak
yang lebih cerdas akan selalu menang melawan otot, kapan
saja!
Omong-omong, aku harus segera kabur. Suara-suara dari
atas menandakan adanya pengejaran.
Aku berlari melintasi beberapa ruangan?perpustakaan,
ruang makan?setiap kali berusaha kabur lewat jendela dan
setiap kali mengurungkan niat ketika salah satu atau lebih dari
makhluk-makhluk kuning itu tampak melayang di luar jendela.
Kebodohan mereka yang membiarkan diri mereka dapat dilihat
hanya dapat diimbangi kesigapanku mengelak dari senjata sihir
macam apa pun yang mereka bawa.
Di belakangku, namaku diteriakkan dengan suara penuh
kemurkaan. Dengan rasa frustrasi yang meningkat, aku mem30
buka pintu berikutnya dan mendapati diriku berada di dapur.
Tak ada lagi pintu yang menuju ke dalam, tapi ada satu yang
membuka ke ruangan yang tampaknya rumah kaca yang menempel
di sisi rumah utama, dipenuhi tumbuhan obat dan
pepohonan. Setelah itu terbentang pekarangan?juga ketiga
prajurit penjaga itu, yang datang meluncur mengitari rumah
dengan kecepatan menakjubkan kaki-kaki mereka yang berputar.
Untuk mencuri waktu, aku memasang Perisai pada
pintu di belakangku. Lalu aku memutar tubuh dan menatap

si juru masak.
Dia duduk bersandar di kursinya dengan kaki di atas meja,
pria itu gemuk dengan raut periang dan wajah merah serta
pisau daging besar di tangannya. Dia tampak tekun sekali memotong
kuku-kukunya dengan pisau itu, menjentikkan setiap
potongan kuku dengan ahli ke udara, yang kemudian
mendarat di perapian di sebelahnya. Sambil melakukan itu, dia
menatapku tak berkedip dengan kedua matanya yang kecil dan
gelap.
Aku resah. Tampaknya dia tidak kebingungan melihat bocah
Mesir berlari masuk ke dapurnya. Aku memeriksa pria itu
pada plane-plane berbeda. Satu sampai enam dia tetap tampak
sama, juru masak gemuk dalam balutan celemek putih. Tapi
pada plane ketujuh...
Oh-oh.
"Bartimaeus."
"Faquarl."
"Apa kabar?"
"Lumayan."
"Lama tidak bertemu."
"Ya. Kurasa."
"Sayang sekali ya?"
"Ya. Well... aku di sini sekarang."
"Kau di sini sekarang, memang."
Nurul Huda Kariem MR. 31 nurulkariem@yahoo.com
Sementara percakapan menyenangkan ini berlangsung, suarasuara
Detonasi bertubi-tubi datang dari balik pintu. Perisaiku
tetap utuh, untungnya. Aku tersenyum sesopan yang kubisa.
"Tampaknya Jabor masih tetap bersemangat seperti biasa."
"Ya, dia masih sama. Hanya saja kupikir dia agak sedikit
lapar, Bartimaeus. Itu satu-satunya perubahan yang kulihat
dalam dirinya. Dia tampaknya tak pernah merasa puas, bahkan
setelah diberi makan. Dan itu amat jarang dilakukan akhirakhir
ini, seperti yang dapat kaubayangkan."
"'Perlakukan dengan kejam, bikin mereka jadi tajam', itu
kata-kata mutiara mastermu, bukan? Tetap saja, dia pasti cukup
berkuasa sehingga dapat memeliharamu dan Jabor sebagai
budaknya."
Si juru masak menyunggingkan senyum tipis dan dengan
jentikan pisaunya dia membuat sepotong kuku melayang berputarputar ke langit-langit. Potongan kuku itu menancap pada
plester pelapis langit-langit dan tetap bercokol di sana.
"Nah, nah, Bertimaeus, kita tak menggunakan kata B itu
dalam perbincangan beradab, bukan? Jabor dan aku hanya menunggu
waktu."
"Tentu saja."
"Omong-omong tentang perbedaan kekuasaan, aku menyadari
kau menghindar untuk berhadapan denganku pada plane
ketujuh. Ini sepertinya kurang sopan. Mungkinkah kau tidak
nyaman dengan wujud asliku?"
"Mual, Faquarl, bukan tak nyaman."6
"Well, sungguh menyenangkan. Omong-omong, aku mengagumi
pilihan wujudmu, Bartimaeus. Pantas sekali. Tapi kulihat
kau agak terbebani dengan sebuah amulet. Mungkin kau mau
berbaik hati melepaskannya dan meletakkannya di meja. Lalu
6 Tampangku juga tidak keren, tapi Faquarl memiliki terlalu banyak tentakel, aku
tak tahan
32
jika kau bersedia menyebutkan nama penyihir yang mempekerjakanmu,
aku mungkin akan mempertimbangkan mengakhiri

pertemuan ini tanpa kejadian fatal."


"Kau baik sekali, tapi kau tahu aku tak dapat melakukan
itu."7
Si juru masak menghunjam meja dengan ujung pisau dagingnya.
"Aku akan berterus terang. Kau bisa dan akan melakukannya.
Tidak ada masalah pribadi, tentu; suatu hari mungkin
kita akan bekerja sama lagi. Tapi sekarang aku pun terikat,
sama seperti dirimu. Aku juga memiliki tugas untuk kuselesaikan.
Maka kita tiba, seperti biasa, pada pertanyaan mengenai
kekuatan. Koreksi jika aku keliru, tapi aku melihat kau tak
memiliki rasa percaya diri seperti biasanya hari ini?jika memilikinya,
kau tentu telah kabur melalui pintu depan, menumpas
para triloid itu saat kau melintas, alih-alih membiarkan
mereka menggiringmu mengelilingi rumah ke arahku."
"Aku hanya mengikuti langkah kakiku."
"Mmm. Mungkin sebaiknya kau berhenti berusaha minggir
ke arah jendela, Bartimaeus. Usahamu yang menyedihkan itu
bahkan akan tampak jelas dengan mata8, lagi pula, para triloid
itu menunggumu di sana. Serahkan amulet itu, kalau tidak
kau akan mendapati Perisai pelindungmu yang bobrok itu tak
akan berguna sama sekali."
Dia berdiri dan mengulurkan tangan. Jeda beberapa saat. Di
belakang Perisai-ku, Detonasi-Detonasi Jabor yang sabar (meski
tak imajinatif) masih terdengar. Pintunya sendiri telah lama
menjadi abu. Di pekarangan, ketiga penjaga melayang-layang,
7 Tidak seluruhnya betul. Aku bisa saja menyerahkan amulet itu dan gagal dalam
tugas. Tapi kemudian, meski aku dapat kabur dari Faquarl, aku masih harus
kembali dengan tangan kosong kepada anak lelaki berwajah pucat itu. Kegagalanku
akan membuatku tunduk padanya, melipatgandakan kekuasaannya, dan entah
bagaimana aku tahu ini bukan ide yang bagus.
8 Aduh.
33
mata mereka tertuju padaku. Aku melihat ke sekeliling ruangan
mencari inspirasi.
"Amuletnya, Bartimaeus."
Aku mengangkat lengan, dan dengan desahan berat yang
agak dramatis, mengambil amulet itu. Lalu aku melompat ke
kiri. Pada detik yang sama aku melepaskan Perisai di pintu.
Faquarl mendecak kesal dan mulai menggerakkan tangan.
Ketika melakukan itu, dia terhantam telak ledakan Detonasi
dahsyat yang datang dari celah terbuka tempat Perisai-ku
tadinya berada. Detonasi itu melontarkannya ke belakang ke
dalam perapian, batu-batu bata runtuh menimpanya.
Aku melesat ke arah rumah kaca persis ketika Jabor masuk
melalui celah terbuka ke dalam dapur. Saat Faquarl bangkit
dari reruntuhan, aku melintasi pekarangan. Ketiga penjaga itu
mengepungku, mata mereka terbuka lebar dan kaki-kaki mereka
berputar. Cakar-cakar mirip sabit muncul dari ujung
gumpalan kaki mereka. Aku merapalkan mantra Iluminasi yang
paling terang. Seluruh pekarangan terang benderang bagaikan
dibanjiri sinar matahari yang meledak. Mata para penjaga itu
terbutakan; mereka mencicit kesakitan. Aku melompati mereka
dan berlari melintasi pekarangan, menghindari peluru-peluru
sihir yang berdesingan dari arah rumah, membakar pepohonan.
Di ujung pekarangan, di antara tumpukan kompos dan mesin
pemotong rumput, aku melompati tembok. Aku menerobos
jaring sihir yang berkisi-kisi, meninggalkan lubang berbentuk
tubuh anak lelaki. Seketika lonceng alarm mulai bergaung di
seluruh halaman.
Aku menjejakkan kaki di trotoar, amulet itu terayun-ayun

dan membentur dadaku. Dari balik tembok aku mendengar


derap langkah kaki. Waktunya berubah wujud.
Burung rajawali Peregrine adalah binatang tercepat dalam
sejarah. Burung itu dapat mencapai kecepatan dua ratus kilo34
meter per jam bila terbang menukik. Jarang yang dapat mencapai
kecepatan ini secara horisontal di atas atap-atap rumah
di London Utara. Beberapa mungkin ragu apakah ini dapat
dilakukan, apalagi sambil membawa amulet berat yang tergantung
di leher. Apa pun yang pernah dikatakan orang, saat
Faquarl dan Jabor menapakkan kaki di jalan belakang Hampstead,
sambil membuat rintangan tak kasatmata yang segera
diterobos mobil van yang melaju kencang, aku sudah tak
tampak di mana-mana.
Aku telah pergi jauh.
35
Lebih penting dari segalanya," kata masternya, "ada satu
fakta yang harus kita tanamkan ke dalam batok kepalamu yang
menyedihkan itu sehingga kau takkan melupakannya di hari
mendatang. Dapatkah kautebak fakta apa itu?"
"Tidak, Sir," kata si anak lelaki.
"Tidak?" Alisnya yang seperti sikat terangkat mengejek. Terpana,
si anak lelaki memerhatikan alis-alis itu menghilang di
balik rambut putih yang berumbai-rumbai. Di sana, nyaris secara
malu-malu, kedua alis itu bersembunyi beberapa saat, sebelum
akhirnya tiba-tiba turun dengan tajam mengerikan.
"Tidak. Kalau begitu..." Si penyihir mencondongkan tubuh
dari kursinya. "Aku akan memberitahumu."
Dengan gerakan lambat yang disengaja, penyihir itu menyatukan
jemarinya sehingga ujung-ujungnya membentuk kubah
melengkung, yang ditudingkannya kepada si anak lelaki.
"Ingat ini" katanya dengan suara lirih. "Demon adalah
makhluk yang amat jahat. Mereka akan melukaimu jika mampu.
Kau mengerti ini?"
36
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's
Si anak lelaki masih memerhatikan alis-alis itu. la tak dapat
mengalihkan perhatian. Sekarang mereka berkerut ke bawah
dengan seram, dua mata panah tajam yang menyatu. Mereka
bergerak dengan tangkas?ke atas, ke bawah, miring, menyudut,
terkadang bersama-sama, terkadang hanya salah satu. Karena
bergerak seolah memiliki kehidupan sendiri, alis-alis itu
menimbulkan rasa tertarik yang aneh pada diri si anak lelaki.
Lagi pula, rasanya jauh lebih baik memerhatikan alis-alis itu
daripada bertemu pandang dengan mata masternya.
Si penyihir terbatuk memberi peringatan. "Kau mengerti?"
"Oh?ya, Sir."
"Well, nah, kau bilang mengerti, dan aku yakin kau
memang bersungguh-sungguh?tapi..." Sebelah alis terangkat
tinggi-tinggi dengan menakjubkan. "Tapi aku belum yakin
betul kau memang benar-benar dan sungguh-sungguh mengerti."
"Oh, ya, Sir; ya, saya mengerti. Demon adalah makhluk
jahat juga keji dan akan melukaimu jika kaubiarkan, Sir." Si
anak lelaki bergerak-gerak gelisah di bantalan yang didudukinya.
Dia amat bersemangat ingin membuktikan telah mendengarkan
dengan tekun. Di luar, sinar matahari musim panas
membakar rerumputan dan trotoar yang panas; van penjual es
krim melintas dengan riang di bawah jendela lima menit lalu.
Tapi hanya seberkas cahaya siang menyilaukan yang dapat menyinari

tepi tirai merah yang berat di dalam ruangan si penyihir;


udara di dalam ruangan pengap dan menyesakkan. Anak
lelaki itu berharap pelajaran akan segera berakhir, agar ia dapat
diperbolehkan pergi.
"Saya telah mendengarkan dengan saksama, Sir," katanya.
Masternya mengangguk. "Apakah kau pernah melihat
demon?" dia bertanya.
"Belum, Sir. Maksud saya, hanya dalam buku."
"Berdiri."
37
Anak lelaki itu berdiri dengan cepat, sebelah kakinya nyaris
tergelincir dari bantalan. la menunggu dengan canggung, kedua
lengan di samping tubuh. Sang master menunjuk pintu
di belakangnya dengan sambil lalu. "Kau tahu ada apa di balik
itu?"
"Ruang kerja Anda, Sir."
"Bagus. Pergilah menuruni tangga dan masuk ke sana. Di
ujung ruangan ada meja kerjaku. Di meja ada kotak. Di dalam
kotak itu ada sepasang kacamata. Pakai kacamata itu dan kembali
ke sini. Mengerti?"
"Ya, Sir."
"Baiklah. Pergilah."
Di bawah tatapan awas masternya, si anak lelaki menghampiri
pintu yang terbuat dari kayu berwarna gelap tanpa dicat,
pada permukaannya tampak banyak alur dan sulur. Dia harus
berusaha keras ketika memutar kenop kuningannya, tapi rasa
dingin kenop itu menyenangkan. Pintu membuka tanpa suara
di engsel-engselnya yang diminyaki, si anak lelaki melewatinya
dan mendapati dirinya berdiri di ujung teratas tangga yang
dilapisi karpet. Dinding-dindingnya dilapisi kertas berbungabunga
dengan elegan. Jendela kecil yang terdapat di
pertengahan tangga memasukkan seberkas cahaya matahari
yang bersahabat.
Anak lelaki itu menuruni tangga dengan hati-hati, satu demi
satu. Keheningan dan cahaya matahari membuatnya tenang
dan menguapkan sebagian rasa takutnya. Karena belum pernah
masuk ke bagian rumah ini, dia tak tahu apa-apa kecuali
dongeng anak-anak yang dapat memenuhi khayalannya tentang
apa saja yang menunggu di dalam ruang kerja sang master.
Bayangan mengerikan tentang buaya-buaya yang diawetkan
dan bola-bola mata di dalam botol meruak ke dalam
pikirannya. Dengan marah dia membuang pikiran itu jauhjauh.
Dia takkan merasa takut.
38
Di kaki tangga ada pintu lagi, mirip dengan yang pertama,
tapi lebih kecil dan bagian tengahnya dihiasi gambar bintang
berujung lima yang dicat merah. Anak lelaki itu memutar
kenop pintu dan mendorong: pintu itu membuka dengan
enggan, tersendat karpet tebal. Ketika celah yang terbuka
cukup lebar, anak lelaki tersebut masuk ke ruang kerja.
Tanpa sadar dia menahan napas ketika masuk; sekarang dia
mengembuskan napas kembali, nyaris dengan rasa kecewa.
Pemandangan di sana sungguh biasa. Ruangan panjang dengan
buku-buku berjejer di sisi-sisinya. Di ujung ruangan ada meja
kerja besar dari kayu dengan bangku empuk berlapis kulit di
belakangnya. Beberapa pena ada di meja, bersama beberapa
carik kertas, komputer tua, kotak metal kecil. Jendela di
seberang ruangan menampakkan pemandangan pohon horse
chestnut yang rimbun dengan daun-daun musim panas. Cahaya
dalam ruangan bersemu kehijauan indah.

Anak lelaki itu melangkah mendekati meja.


Setengah jalan, dia berhenti dan menoleh ke belakang.
Tak ada apa-apa. Namun begitu dia merasa ada yang
aneh... Entah kenapa pintu yang terbuka sedikit, yang dilaluinya
hanya beberapa saat lalu, sekarang memberikan sensasi
tidak nyaman. Dia jadi menyesal karena tidak terpikir untuk
menutupnya.
Dia menggeleng. Tidak perlu. Dia akan melaluinya lagi dalam
beberapa detik.
Empat langkah tergesa-gesa membawanya ke sisi meja. Dia
menoleh lagi. Dia mendengar suara...
Ruangan itu kosong. Anak lelaki itu mendengarkan dengan
kesungguhan kelinci di semak-semak. Tidak, tak ada suara yang
terdengar selain suara lalu lintas samar-samar di kejauhan.
Dengan mata terbuka lebar, napas berat, anak lelaki itu
mengalihkan perhatian ke meja kerja. Kotak metal itu memantulkan
sinar matahari. Dia meraihnya melintasi permukaan
39
kulit meja kerja. Ini sebetulnya tak perlu?dia bisa saja mengitari
meja ke sisi seberangnya dan mengambil kotak tersebut
dengan mudah?tapi sepertinya dia ingin menghemat waktu,
menyambar barang itu, dan keluar. Dia mencondongkan tubuh
di atas meja dan merentangkan tangan, tapi dengan keras kepala
kotak itu tetap berada di luar jangkauan. Anak itu mendorong
tubuhnya ke depan, mengayunkan jari-jarinya dengan
membabi buta. Jemarinya tak dapat mencapai kotak, tapi
lengannya yang menebas-nebas membuat wadah pena terjatuh.
Pena-pena berhamburan di atas lapisan kulit permukaan meja.
Anak lelaki itu merasakan sebutir keringat mengalir dari
ketiaknya. Dengan panik, dia mulai mengumpulkan pena-pena
itu dan menjejalkannya kembali ke dalam wadah.
Terdengar suara terkekeh serak, tepat di belakangnya, di
dalam ruangan.
Dia memutar tubuh dengan cepat, menahan teriakan. Tapi
tak ada apa pun di sana.
Beberapa saat anak lelaki itu menyandarkan punggung pada
meja, lumpuh akibat ketakutan. Lalu sesuatu merasuki
pikirannya. Lupakan pena-pena itu, benaknya seperti berkata.
Kotak itu yang kauinginkan. Dengan lambat, dengan gerakan
yang tak kentara, dia mulai merayap mengitari meja, punggungnya
menghadap jendela, mata menatap ruangan.
Sesuatu mengetuk kaca jendela, dengan ketukan mendesak,
tiga kali. Dia berbalik. Tak ada apa-apa; hanya ada pohon
horse chestnut di balik jendela, bergoyang lembut diterpa angin
musim panas.
Tak ada apa-apa di sana.
Detik itu sebuah pena yang dijatuhkannya menggelinding
dan jatuh dari meja ke karpet. Pergerakan itu tak menimbulkan
suara, tapi dia menangkapnya dari sudut matanya. Pena
yang lain mulai bergoyang maju-mundur?mula-mula per40
lahan, lalu makin cepat. Tiba-tiba pena itu berputar, terpental
ke bagian bawah komputer, dan jatuh melalui sisi meja ke
lantai. Sebuah pena lagi melakukan hal yang sama. Lalu satu
lagi. Secara mengejutkan, semua pena itu menggelinding, menuju
beberapa arah sekaligus, bergulir dengan cepat ke pinggir
meja, bertabrakan, jatuh, mendarat di lantai, terdiam.
Anak lelaki itu menatap. Pena terakhir jatuh.
Dia tak bergerak.
Sesuatu tertawa lirih, persis di telinganya.

Sambil berteriak dia mengibaskan lengan kiri, tapi tak menyentuh


apa-apa. Kibasan lengannya membuatnya berputar
menghadap meja. Kotak itu berada tepat di hadapannya. Dia
menyambarnya tapi lalu langsung menjatuhkannya?besi kotak
itu pasti telah lama terpapar sinar matahari sehingga permukaannya
yang panas menyengat telapak tangan si bocah. Kotak
tersebut membentur permukaan meja dan tutupnya terbuka.
Sepasang kacamata berbingkai tanduk terlempar keluar. Sedetik
kemudian, kacamata itu telah berada di tangannya dan dia
berlari menuju pintu.
Sesuatu mengejarnya. Dia merasakan ada yang melompat di
belakangnya.
Dia hampir berada di pintu; dia dapat melihat tangga di
baliknya yang akan membawanya kepada sang master.
Tapi pintu itu terbanting menutup.
Si anak lelaki mengguncang-guncangkan kenopnya, menggedorgedor kayunya, menggebuk, berteriak memanggil sang
master dengan suara tercekik sambil tersedu, tapi semua itu
tanpa hasil. Sesuatu berbisik di telinganya dan dia tak dapat
menangkap kata-katanya. Dalam kepanikan luar biasa, dia menendang
pintu, tapi dia hanya menyakiti ibu jari kakinya
dalam sepatu bot kecilnya.
Lalu dia berbalik dan menghadap ke ruangan kosong itu.
Suara gemeresik lirih terdengar di sekelilingnya, ketukan-ke41
tukan lembut dan langkah-langkah kaki kecil, seakan karpet,
buku-buku, rak-rak, bahkan langit-langit bergesekan dengan
benda-benda tak kasatmata yang bergerak. Salah satu kerai di
atas kepala anak lelaki itu bergoyang perlahan meski tak ada
angin yang berembus.
Di sela-sela air matanya, di antara rasa takut, anak lelaki itu
menemukan kata-kata untuk diucapkan.
"Stop!" dia berteriak. "Pergi!"
Suara gemeresik, ketukan, dan langkah kaki berhenti seketika.
Ayunan kerai melambat, makin pelan, dan berhenti.
Ruangan amat hening.
Sambil mereguk udara untuk bernapas, anak lelaki itu berdiri
dengan punggung menempel di pintu, mengawasi ruangan.
Tak ada suara yang terdengar.
Lalu dia teringat kacamata yang masih berada dalam genggamannya.
Setelah mampu menembus kabut kengerian yang
meliputinya, dia ingat masternya menyuruhnya mengenakan
kacamata itu sebelum kembali. Mungkin jika dia melakukan
itu, pintu akan terbuka dan dia dapat menaiki tangga menuju
tempat aman.
Dengan jari-jari gemetar dia mengangkat kacamata itu dan
mengenakannya.
Dan melihat kebenaran yang berada di ruangan itu.
Seratus demon kecil memenuhi setiap inci ruang di hadapannya.
Mereka bertumpukan di seluruh ruangan, seperti bijibiji
melon atau kacang dalam kantong, banyak sekali kaki
yang menekan wajah dan siku yang menyikut perut. Mereka
berkerumun begitu rapat sehingga karpet tidak tampak. Melirik
dengan tatapan jahil, mereka berjongkok di atas meja, tergelantung
di lampu serta rak-rak buku, dan melayang-layang di
udara. Beberapa menyeimbangkan diri di hidung-hidung lancip
kawannya atau menggelantung di lengan yang lain. Beberapa
dari mereka memiliki tubuh besar dengan kepala seukuran
42
je'ruk; beberapa lagi kebalikannya. Ada yang memiliki ekor,

sayap, dan tanduk, juga penuh kutil dengan tambahan tangan,


mulut, kaki, dan mata. Terlalu banyak sisik dan rambut serta
hal-hal lain di tempat-tempat yang mustahil. Beberapa memiliki
paruh, yang lain memiliki mulut pengisap, kebanyakan
memiliki gigi. Mereka terdiri atas berbagai warna yang dapat
dibayangkan, kebanyakan dalam kombinasi yang tidak cocok.
Dan mereka semua berusaha keras menjadi amat sangat diam
seakan tengah meyakinkan si anak lelaki bahwa tak ada siapasiapa
di sana. Mereka berusaha sekuat tenaga membeku tak
bergerak, meski ekor dan sayap mereka bergetar dan gemetar
serta mulut-mulut mereka yang tak mau diam berkedutkedut.
Tapi begitu si anak lelaki mengenakan kacamatanya dan melihat
mereka, mereka sadar dia dapat melihat mereka juga.
Lalu, diiringi teriakan-teriakan gembira, mereka merangsek
ke arahnya.
Anak lelaki itu menjerit, terbanting ke pintu lalu meluncur
miring ke lantai. Dia mengangkat tangan untuk melindungi
diri, gerakan ini melontarkan kacamata itu dari hidungnya.
Tak dapat melihat mereka sekarang, dia menutup wajahnya
dan bergelung seperti bola, tercekik suara sayap, sisik, dan
cakar-cakar kecil yang mengerikan di atas, di sekeliling, di sampingnya.
Anak lelaki itu masih berada di sana dua puluh menit kemudian,
ketika masternya masuk untuk menjemputnya dan mengusir
kawanan imp itu. Anak tersebut dibawa ke kamarnya.
Sehari semalam dia tidak makan. Selama seminggu berikutnya
dia tak bersuara dan tak merespons apa-apa, tapi akhirnya berangsurangsur dia kembali dapat berbicara dan melanjutkan
pelajaran.
Masternya tak pernah berkata apa-apa mengenai insiden tersebut,
tapi dia puas akan hasil akhir pelajaran itu?sumur
43
kebencian dan kengerian telah tergali dalam diri muridnya di
ruangan bermandi cahaya itu.
Ini salah satu pengalaman awal Nathaniel. Dia tak pernah
menceritakan kejadian itu kepada orang lain, tapi bayangbayang
yang mengikuti tak pernah meninggalkan hatinya. Dia
berusia enam tahun waktu itu.
44
Masalah dengan benda magis berkekuatan tinggi seperti
Amulet Samarkand adalah benda ini memiliki getaran aura1
sangat jelas yang menarik perhatian, seperti pria bugil di
pemakaman. Aku tahu segera setelah Simon Lovelace diberitahu
tentang pelarianku, dia akan mengirimkan pasukan pencari
untuk menemukan getaran pengkhianat ini, dan lebih lama
aku berada di satu tempat, kemungkinan ketahuan akan
lebih besar. Anak lelaki itu takkan memanggilku hingga
1 Semua makhluk hidup memiliki aura. Bentuk aura seperti awan nimbus berwarna
yang mengelilingi tubuh sang individu dan sebenarnya adalah fenomena visual
yang paling dekat dengan bau-bauan. Aura tampak pada plane pertama, tapi tak
kasatmata bagi kebanyakan manusia. Banyak hewan, seperti kucing, dapat melihatny
a;
jin dan makhluk-makhluk sejenisnya juga. Aura berganti warna tergantung
suasana hati dan merupakan indikasi yang berguna untuk mendeteksi rasa
takut, benci, sedih, dsb. Inilah sebabnya mengapa begitu sulit mengelabui kucing
(atau jin) jika kau bermaksud buruk.
45
subuh,2 maka aku memiliki beberapa jam menggelisahkan yang
harus kulalui dengan selamat.
Apa yang akan dikirimkan Simon Lovelace kepadaku? Kecil
kemungkinan dia dapat menyuruh lebih banyak jin berkekuatan

seperti Faquarl dan Jabor, tapi pasti dia dapat mengerahkan


segerombolan abdi berkekuatan lebih lemah untuk ikut mencari.
Biasanya aku dapat membantai foliot dan sejenisnya dengan
satu cakar di belakang punggung, tapi jika mereka datang
berombongan, dan aku telah lelah, bisa timbul kesulitan.3
Aku terbang dari Hampstead dengan kecepatan tinggi dan
berlindung di bawah naungan atap rumah kosong di tepi
sungai Thames, di sana aku bersolek merapikan bulu-buluku
dan menatap langit. Setelah beberapa waktu, tujuh sphere kecil
berupa sinar merah melintas rendah di langit. Ketika mencapai
pertengahan sungai, mereka berpencar: tiga melanjutkan ke
selatan, dua ke barat, dua ke timur. Aku mendesakkan tubuhku
ke dalam lindungan bayangan atap rumah, tapi tak dapat
2 Sebenarnya lebih mudah segera kembali kepada anak gembel itu agar dapat
terbebas dari amulet ini. Tapi para penyihir selalu berkeras melakukan panggilan
spesifik dalam waktu spesifik. Hal itu meniadakan kemungkinan bagi kami untuk
menangkap basah mereka (besar kemungkinan berakibat fatal) dalam keadaan yang
tak menguntungkan.
3 Bahkan para penyihir pun bingung akan variasi jenis kami yang tak terbatas, ya
ng
berbeda satu sama lain seperti gajah dengan serangga, atau elang dengan amuba.
Meski begitu, bicara secara umum, ada lima tingkatan dasar yang biasanya dapat
kautemukan bekerja melayani penyihir. Mereka adalah, dalam urutan semakin ke
bawah semakin kecil kekuatan dan kedahsyatannya: marid, afrit, jin, foliot, imp.
(Ada berkompi-kompi jenis sprite yang lebih lemah daripada imp, tapi para
penyihir tak buang-buang waktu untuk memanggil mereka. Begitu juga, jauh di
atas kekuatan marid, ada beberapa entitas dengan kekuatan luar biasa; mereka
jarang ditemukan di bumi, karena hanya sedikit penyihir yang berani bahkan
hanya untuk mengungkap nama mereka). Pengetahuan mendetail akan hierarki
ini amat vital bagi penyihir maupun kami, karena keselamatan biasanya tergantung
pada pengetahuan akan keberadaanmu. Contohnya, sebagai spesimen jin yang
amat bagus, aku memperlakukan jin-jin lain dan semua yang berada di tingkat
atasku dengan hormat, tapi foliot dan imp akan kuberikan dengusan.
46
memungkiri amulet itu mengeluarkan getaran ekstra saat
sphere-sphere pemburu itu menghilang di sepanjang sungai. Hal
ini membuatku gelisah; tak lama kemudian aku berangkat menuju
kerangka kayu yang tingginya setengah crane di tepi seberang
sungai, tempat mereka membangun kondominium
mewah pinggir sungai untuk para penyihir ningrat.
Lima menit yang hening berlalu. Air sungai menggelegak
dan berputar di sekitar pancang dermaga yang berlumpur.
Awan berarak melewati bulan. Cahaya hijau memualkan tibatiba
memancar dari jendela-jendela rumah kosong di seberang
sungai. Bayangan-bayangan yang membungkuk berkeliaran di
dalam, mencari-cari. Mereka tak menemukan apa-apa; cahaya
itu membeku dan berubah menjadi kabut bersinar yang melayang
dari jendela dan tertiup pergi. Aku segera terbang ke
selatan, melesat dan meluncur dari jalan ke jalan.
Setengah malam itu aku melanjutkan dansa pelarianku yang
penuh kepanikan melintasi London. Sphere-sphere itu4 berkeliaran
dengan jumlah yang lebih banyak daripada yang kukhawatirkan
(jelas lebih dari satu penyihir yang memanggil
mereka) dan muncul di atasku dalam selang-selang waktu beraturan.
Agar tetap aman aku harus terus bergerak, meski begitu
aku nyaris tertangkap dua kali. Suatu kali aku terbang
mengelilingi blok perkantoran dan hampir bertabrakan dengan
sphere yang datang dari arah berlawanan; sebuah lagi
menghampiriku saat aku meringkuk di pohon birch Green
Park karena terlalu capek. Dalam dua kejadian itu aku berhasil

minggat sebelum bala bantuan mereka datang.


4 Sphere pemburu seperti ini adalah sejenis imp yang lebih kokoh. Mereka memilik
i
cuping telinga besar bersisik dan satu lubang hidung berbulu, yang membuat
mereka amat sensitif pada getaran sihir dan sangat sebal bila terjebak dalam
suara-suara keras atau bau menyengat. Akibatnya sebagian malam itu aku terpaksa
bersembunyi di tengah-tengah Pipa Pembuangan Rotherhithe.
47
Tak lama kemudian aku kelelahan. Menyeret wujud fisikku
terus-menerus membuatku lelah dan mengeluarkan banyak
energi yang berharga. Maka aku merangkai rencana baru?
me'ncari tempat yang bisa meredam getaran Amulet dengan
pancaran getaran sihir lain. Waktunya untuk berbaur dengan
kelompok yang jumlahnya besar, ras yang tak terpunahkan:
dengan kata lain, manusia. Sebegitu putus asanya aku.
Aku terbang kembali ke pusat kota. Bahkan di jam-jam selarut
ini, para turis di Trafalgar Square masih berkeliaran di
kaki Nelson's Column dalam arus keceriaan yang norak, membeli
jimat-jimat diskonan dari kios-kios penjualan resmi yang
diapit dua patung singa. Suara-suara getaran sihir yang menjengkelkan
meruak dari lapangan itu. Tempat yang terbaik
untuk bersembunyi.
Seberkas kilat berbulu menghunjam membelah malam dan
menghilang di celah sempit antara dua kios. Kemudian anak
lelaki Mesir bermata sayu muncul dan menyeruak kerumunan
orang. Dia mengenakan jins baru dan jaket bomber hitam
berlapis di atas t-shirt putihnya; juga sepasang sepatu olahraga
putih besar dengan tali-temali yang terus-menerus lepas. Dia
berbaur dengan kerumunan orang.
Aku merasakan amulet itu membakar dadaku. Pada selang
waktu tertentu amulet itu mengeluarkan panas intens dalam
dua getaran, seperti degup jantung. Aku sungguh-sungguh berharap
getaran itu akan tenggelam di antara sekian banyak aura
di sekitarku.
Kebanyakan piranti sihir di sini adalah untuk pertunjukan,
bukan sungguhan. Plasa itu dipenuhi penjual obat berlisensi
yang menjual jimat-jimat murahan dan perhiasan-perhiasan
48
kecil yang telah disetujui untuk dijual kepada umum.5 Turisturis
dengan mata terbelalak dari Amerika Utara dan Jepang
dengan antusias mengaduk-aduk tumpukan batu multiwarna
dan perhiasan-perhiasan tak berguna, berusaha mengingat batu
kelahiran anggota-anggota keluarga mereka di rumah sementara
para penjual beraksen Cockney yang ceria dengan sabar merayu
mereka. Kalau tak ada sinar lampu kamera, aku mungkin
berada di desa Karnak, Mesir, lagi. Tawar-menawar di manamana,
seruan-seruan gembira menggema, semua orang tersenyum.
Pertunjukan lakon penipuan dan keserakahan.
Namun tak semua barang di lapangan itu tak berguna. Di
sana-sini pria-pria yang berwajah lebih bersungguh-sungguh
berdiri di pintu masuk tenda-tenda kecil yang tertutup. Para
pengunjung dipersilakan masuk satu demi satu. Tampaknya
ada artefak asli yang bernilai di dalamnya, karena tanpa kecuali
pengamat-pengamat kecil berkeliaran di dekat tiap tenda.
Mereka datang dalam berbagai bentuk yang tak mencolok?
kebanyakan burung dara; aku berusaha tidak terlalu dekat,
kalau-kalau mereka lebih awas daripada tampaknya.
Beberapa penyihir berkeliaran di antara kerumunan orang.
Kecil kemungkinan mereka membeli sesuatu dari sini; lebih
mungkin mereka dinas malam di kantor pemerintahan

Whitehall dan sedang keluar mencari angin. Salah satunya


(dalam balutan setelan berkelas) ditemani imp dalam plane
kedua yang mengikuti sambil melompat-lompat; yang lain
5 Yang paling populer adalah potongan kristal yang berfiingsi menebarkan aura pe
rpanjangan
kehidupan. Orang-orang menggantungkan benda itu di leher mereka
untuk nasib baik. Potongan itu tak memiliki kekuatan gaib sama sekali, tapi
kukira dalam satu segi benda itu memang memiliki fungsi proteksi: orang yang
memakainya segera menunjukkan mereka orang-orang tolol yang buta sihir, dan
hasilnya mereka tak diacuhkan berbagai partai penyihir yang saling berseteru. Di
London, keadaannya berbahaya bagi orang yang, walaupun sedikit, pernah mengecap
pendidikan sihir: orang itu bisa jadi berguna dan/atau berbahaya?dan
akibatnya orang itu akan menjadi lawan seimbang bagi penyihir-penyihir lain.
49
(berpenampilan lebih kumuh) hanya mengikuti aroma dupa,
keringat kering, dan lilin wangi.
Polisi juga ada di sana?beberapa petugas biasa dan sepasang
pria berewok dengan air muka tajam dari Polisi Malam, membiarkan
diri mereka terlihat cukup jelas untuk mencegah timbulnya
masalah.
Dan di sekeliling lapangan, lampu-lampu mobil berseliweran,
membawa menteri-menteri dan penyihir-penyihir lain dari kantor
di Parlemen, ke klub mereka di St. James. Aku berada dekat
dengan poros roda kekuasaan besar yang meliputi keseluruhan
kerajaan, dan di sini, jika beruntung, aku akan tetap
tak terdeteksi sampai tiba saatnya dipanggil.
Atau tidak.
Aku berjalan mendekati kios yang tampak amat bobrok dan
mengamati barang dagangannya ketika mendapatkan perasaan
tak enak seperti sedang diawasi. Aku menolehkan kepala sedikit
dan memeriksa kerumunan. Gerombolan orang tak beraturan.
Aku menyisir semua plane. Tak ada bahaya tersembunyi:
kawanan orang dungu, semua membosankan dan
manusiawi. Aku mengarahkan pandangan kembali ke kios dan
tanpa sadar mengambil My Magic Mirror?, sepotong cermin
murahan yang ditempel pada bingkai plastik pink dengan dekorasi
jelek bergambar tongkat sihir, kucing, dan topi penyihir.
Perasaan itu lagi! Aku membalikkan tubuh dengan cepat.
Melalui celah di kerumunan di belakangku, aku melihat penyihir
wanita gemuk pendek, sekelompok anak yang mengerumuni
kios, dan polisi yang mengawasi mereka dengan curiga.
Tampaknya tak seorang pun memerhatikanku. Tapi aku tahu
apa yang kurasakan. Lain kali aku akan siap. Aku berpura-pura
tertarik untuk membeli cermin itu. SALAH SATU OLEHOLEH
TERBAIK DARI LONDON, IBU KOTA SIHIR
DUNIA! teriak label di belakangnya. MADE IN TAIW?
Lalu perasaan itu timbul lagi. Aku berputar lebih cepat dari50
pada kucing dan?sukses! Aku menatap para pengamatku
langsung ke bola mata mereka. Dua dari mereka, anak lelaki
dan anak perempuan, dalam segerombolan anak. Mereka tak
sempat mengalihkan pandangan. Si anak lelaki berusia pertengahan
belasan; jerawat menggempur wajahnya dengan sukses.
Si anak. perempuan lebih muda namun matanya tampak
dingin dan keras. Aku menatap balik. Apa peduliku? Mereka
manusia, mereka tak dapat mengetahui siapa aku sebenarnya.
Biarkan saja mereka memandang.
Setelah beberapa detik mereka menyerah; mereka mengalihkan
pandangan. Aku mengangkat bahu dan mulai melangkah
pergi. Terdengar suara batuk keras si pedagang kios. Aku mengembalikan

My Magic Mirror? dengan hati-hati ke baki,


nyengir, dan melangkah.
Anak-anak itu mengikutiku.
Aku melihat mereka di loket berikutnya, memerhatikan dari
belakang kios gulali. Mereka bergerak bergerombol?mungkin
ada lima atau enam orang, aku tak yakin. Apa mau mereka?
Merampok? Jika begitu, mengapa memilih aku? Banyak kandidat
yang lebih baik, lebih gemuk, lebih kaya. Untuk mengetes,
aku mendekati turis bertubuh kecil dan tampak kaya
raya dengan kamera raksasa dan kacamata tebal. Jika aku ingin
merampok seseorang, turis ini berada paling atas dalam daftarku.
Tapi ketika aku meninggalkannya dan berkelit ke dalam
kerumunan orang, anak-anak itu langsung mengikuti.
Aneh. Dan menjengkelkan. Aku tak ingin berubah dan terbang
pergi; aku terlalu capek. Aku hanya ingin dibiarkan sendirian.
Aku masih memiliki waktu panjang sebelum matahari
terbit.
Aku mempercepat langkah; anak-anak itu juga. Lama sebelum
kami melakukan tiga putaran mengelilingi lapangan,
aku sudah bosan. Dua polisi memerhatikan kami berputarputar
dan pasti akan menghentikan kami sebentar lagi, meski
51
hanya untuk mencegah diri mereka menjadi pusing. Waktunya
untuk pergi. Apa pun yang diincar anak-anak ini, aku tak
ingin menarik perhatian lebih banyak orang.
Ada stasiun kereta bawah tanah dekat-dekat sini. Aku melompatlompat menuruni tangga, melewati begitu saja pintu
masuk ke Underground, dan naik kembali di sisi jalan sebelah
sana, di seberang Central Square. Anak-anak itu menghilang?
mungkin mereka berada dalam kereta bawah tanah. Sekaranglah
kesempatanku. Aku membelok ke salah satu sudut jalan,
melalui toko buku, dan merunduk di gang. Aku menunggu di
sana selama beberapa saat, dalam lindungan bayangan di antara
bak-bak sampah.
Satu-dua mobil melaju melewati ujung gang. Tak ada yang
membuntutiku.
Aku tersenyum simpul. Kupikir aku telah mengelabui mereka.
Aku keliru.
52
Anak lelaki Mesir itu berjalan di sepanjang gang, berbelok
ke kanan beberapa kali dan keluar ke salah satu dari sekian
banyak jalan raya yang mengelilingi Trafalgar Square. Aku
mengkaji ulang rencanaku sambil melangkah.
Lupakan lapangan itu. Terlalu banyak anak menyebalkan
berkeliaran di sana. Tapi mungkin jika aku menemukan tempat
berlindung di dekat-dekat sini, getaran Amulet akan tetap sulit
ditemukan para sphere. Aku dapat meringkuk di balik beberapa
tong sampah hingga pagi. Itu satu-satunya pilihan. Aku terlalu
lelah untuk terbang lagi.
Dan aku ingin berpikir.
Rasa sakit itu mulai lagi, berdenyut-denyut di dada, perut,
tulangku. Tidak sehat untuk terjebak dalam sebuah tubuh selama
ini. Bagaimana manusia dapat menahannya tanpa menjadi
gila, aku tak pernah tahu.1
Aku melangkah menyusuri jalan yang gelap dan dingin,
1 Atau... mungkin itu malah menjelaskan banyak hal.
53
mengamati bayanganku berpindah-pindah melompati celahcelah
segi empat jendela di sepanjang sisi jalan. Bahu si anak
lelaki itu mengerut melawan angin, tangannya terbenam

dalam-dalam di saku jaket. Sepatu olahraganya menggesek beton


jalanan. Postur tubuhnya menggambarkan dengan sempurna
suasana hatiku yang kesal. Seiring langkahku, amulet itu
membentur-bentur dadaku. Jika saja memiliki kuasa, aku akan
segera menariknya dan melemparkannya ke keranjang sampah
terdekat sebelum buru-buru menghilang. Tapi aku terikat pada
perintah anak itu.2 Aku harus terus menjaganya.
Aku mengambil jalan samping menghindari lalu lintas. Kegelapan
total akibat bayangan gedung-gedung tinggi menyelimuti
kedua sisinya, menekanku. Perkotaan membuatku murung,
nyaris seperti bila berada di bawah tanah. London
tempat yang paling buruk?dingin, kelabu, dipenuhi bau-bauan
tajam dan hujan.
Kota ini membuatku merindukan daerah Selatan, karena
gurun pasirnya dan langit birunya yang kosong.
Sebuah gang lagi menuju ke kiri, dipenuhi kardus-kardus
basah dan surat-surat kabar. Secara otomatis aku menyisir
ketujuh plane, tak melihat apa-apa. Gang ini bolehlah. Aku
2 Ada beberapa kasus ketika si makhluk halus mencoba menolak perintah. Pada
salah satu kejadian penting, Asmoral the Resolute diinstruksikan masternya
membunuh sang jin Ianna. Tapi Ianna telah lama menjadi sekutu terdekat Asmoral
dan mereka saling mencintai. Meski masternya terus memberikan perintah tegas
yang semakin kejam, Asmoral menolak berbuat apa-apa. Sayangnya, walaupun
keteguhannya sebanding dengan tantangan yang diberikan kepadanya, inti rohnya
telah terikat pada tarikan perintah sang master yang tak dapat ditolak. Tak lama
kemudian, karena Asmoral tetap pada pendiriannya, dia benar-benar terbelah dua.
Ledakan yang terjadi menghancurkan sang penyihir, istananya, dan lingkungan
perkotaan Baghdad yang mengelilinginya. Setelah kejadian tragis ini, para penyih
ir
belajar untuk berhati-hati dalam memberikan perintah serangan langsung terhadap
makhluk halus pihak lawan (jika lawannya penyihir, itu lain soal). Bagi kami,
kami menghindari konflik yang bersifat prinsipil. Hasilnya, loyalitas di antara
sesama kami hanyalah sementara dan dapat berubah kapan saja. Secara garis besar,
pertemanan adalah strategi.
54
tidak mengacuhkan dua ambang pintu pertama karena alasan
kebersihan. Pintu ketiga kering. Aku duduk di sana.
Sudan waktunya aku memikirkan rangkaian kejadian yang
berlangsung malam ini. Malam ini begitu sibuk. Ada si anak
lelaki berwajah pucat itu, Simon Lovelace, Amulet, Jabor,
Faquarl... Adonan yang cukup mengerikan. Tetap saja, apalah
artinya? Saat matahari terbit aku akan menyerahkan Amulet
dan terbebas dari kekacauan menyedihkan ini selamanya.
Kecuali urusanku dengan anak lelaki itu. Dia akan membayarnya,
mahal. Kau tak dapat menurunkan derajat Bartimaeus
dari Uruk dengan menjadikannya gembel di gang belakang
West End dan berharap dapat selamat. Pertama-tama, aku akan
mencari tahu namanya, lalu?
Tunggu...
Langkah-langkah kaki di gang... Beberapa pasang sepatu bot
datang menghampiri.
Mungkin ini hanya kebetulan. London adalah kota. Orangorang
menggunakannya. Orang-orang menggunakan gang-gang.
Siapa pun yang datang mungkin sedang pulang melalui jalan
pintas.
Menyusuri gang yang sama tempat aku kebetulan bersembunyi.
Aku tak percaya pada yang namanya kebetulan.
Aku merapat pada kegelapan ambang pintu dan membuat
mantra Pelapis Perlindungan di seputar wujudku. Selapis
anyaman benang hitam melindungiku di tempat aku duduk

dalam bayangan, membuatku melebur dengan kegelapan. Aku


menunggu.
Langkah sepatu-sepatu bot itu mendekat. Siapakah itu?
Patroli Polisi Malam? Penyihir-penyihir kaki tangan Simon
Lovelace yang dikirimnya? Mungkin tenyata para sphere itu
berhasil melihatku.
55
Bukan polisi maupun penyihir. Mereka anak-anak dari
Trafalgar Square tadi.
Lima anak lelaki, dipimpin si gadis. Mereka berjalan lambatlambat,
menoleh ke kanan dan ke kiri sambil lalu. Aku merasa
sedikit rileks. Aku tersembunyi dengan baik, dan bahkan jika
tidak pun, tak ada yang perlu ditakuti dari mereka saat ini,
setelah kami berada di luar jarak pandang publik. Patut diakui,
anak-anak lelaki itu bertubuh besar dan tampak menyeramkan,
namun mereka tetap saja anak-anak, dibalut jins dan jaket
kulit. Si gadis mengenakan jaket kulit hitam dan celana panjang
yang berkibar selebar-lebarnya dari lutut ke bawah.
Banyaknya bahan pada celana itu dapat dipakai untuk membuat
sepasang celana lagi bagi orang cebol. Mereka datang
menyusuri gang, menerobos sampah. Aku menyadari sekarang
betapa anehnya keheningan mereka.
Dalam keraguan, aku mengecek kembali seluruh plane. Pada
setiap plane, semua tampak seperti seharusnya. Enam anakanak.
Terlindung di balik lapisan pelindungku, aku menunggu
mereka berlalu.
Si gadis itu memimpin jalan. Dia kini sejajar denganku.
Merasa aman di balik lapisan pelindung, aku menguap.
Salah satu dari anak lelaki menepuk pundak si gadis.
"Di situ," katanya, menunjuk.
"Tangkap," kata si gadis.
Sebelum aku punya kesempatan untuk tersadar dari kekagetan,
tiga anak lelaki yang paling tegap melompat ke ambang
pintu dan menyerangku. Saat mereka menyentuh jalinan
Pelapis Perlindungan, benangnya terkoyak dan menguap menjadi
kehampaan. Sesaat aku terjebak di antara gelombang pasang
yang terdiri atas tekanan bahan-bahan kulit, aftershave
murahan, dan bau badan. Aku diduduki, ditonjok, dan dipukul
di kepala. Aku tergopoh-gopoh berdiri dengan gerakan
canggung memalukan.
56
Lalu aku membuat diriku tegak kembali. Bagaimanapun,
aku kan Bartimaeus.
Gang itu disinari sekilas ledakan panas dan cahaya terang.
Batu bata di ambang pintu tampak seperti habis terbakar di
kompor.
Aku terkejut menyadari anak-anak lelaki itu masih bertahan.
Dua di antara mereka mencengkeram pergelangan tanganku,
sementara yang ketiga melingkarkan kedua lengan di
pinggangku erat-erat.
Aku mengulangi efek yang kubuat dengan tekanan lebih
tinggi. Alarm mobil di jalan sebelah mulai menyala. Kali ini,
kuakui, aku berharap dicengkeram tangan-tahgan gosong tiga
sosok mayat rontok.3
Tapi anak-anak lelaki itu masih di sana, mendenguskan napas
berat dan bertahan seperti maut yang mencengkeram.
Sesuatu yang aneh tengah terjadi di sini.
"Pegang dia kuat-kuat," kata si gadis.
Aku menatapnya, dia menatapku. Dia sedikit lebih tinggi
daripada wujudku sekarang, dengan mata gelap, rambut gelap

panjang. Dua anak lelaki yang lain berdiri di kedua sisinya


seperti pengawal kehormatan berjerawat. Aku menjadi tak
sabaran.
"Apa maumu?" aku bertanya.
"Ada yang melingkar di lehermu." Gadis itu secara mencengangkan
memiliki suara tegas dan berkesan berkuasa untuk
orang semuda dia. Aku menebak umurnya sekitar tiga belas
tahun.
"Kata siapa?"
"Benda itu tampak jelas dalam dua menit terakhir, dungu.
3 Berbeda dari pendapat orang tentang masalah ini, kebanyakan dari kami tak
tertarik untuk menyakiti manusia biasa. Ada beberapa perkecualian, tentu saja,
salah satunya Jabor. Meskipun begitu, bahkan bagi sesosok jin yang ramah
sepertiku, kesabaranku ada batasnya.
57
Terlompat keluar dari balik t-shirt-mu ketika kami menyerangmu.
"Oh. Bisa diterima."
"Serahkan."
"Tidak."
Gadis itu mengangkat bahu. "Maka kami akan mengambilnya.
Ini pemakamanmu."
"Kau tidak sungguh-sungguh tahu siapa aku, bukan?" Aku
mengatakannya sebiasa mungkin, dengan sedikit sentuhan nada
mengancam. "Kau bukan penyihir."
"Memang." Dia menyemburkan kalimat itu.
"Penyihir tahu tidak boleh bermairi-main dengan lawan
seperti aku." Aku sibuk membangun faktor kedahsyatan reputasiku
lagi, walaupun ini cukup sulit dilakukan bila ada seonggok
otot tak berotak mencengkeram pinggangmu.
Gadis itu menyeringai dengan tatapan dingin. "Apakah penyihir
dapat melawan kelicikanmu sehebat kami?"
Dalam hal ini, dia benar juga. Pertama-tama, penyihir takkan
mau mendekatiku, bahkan dalam jarak terdengarnya gonggongan
anjing, tanpa perlindungan hingga ke ujung pedang
dengan mantra dan pentacle. Kemudian dia akan membutuhkan
bantuan imp untuk menemukanku di balik Pelapis Perlindunganku;
dan akhirnya, dia harus memanggil sesosok jin kelas
berat untuk menaklukkanku. Jika dia berani. Tapi gadis ini
beserta kawan-kawan lelakinya telah melakukan semuanya sendiri,
tanpa tampak kerepotan.
Seharusnya aku melontarkan Detonasi berkekuatan penuh
atau sejenisnya, tapi aku terlalu capek untuk melakukan yang
berat-berat. Aku kembali melontarkan ancaman kosong.
Aku tertawa dengan suara mengerikan. "Hah! Aku mempermainkanmu."
"Itu ancaman kosong."
Aku mencoba taktik lain. "Berlawanan dengan kebiasaanku,"
58
aku berkata, "kuakui bahwa aku tertarik. Aku salut akan keberanianmu
menyapaku. Jika kauberitahu aku nama dan tujuanmu,
aku takkan mengambil nyawamu. Bahkan, aku mungkin
dapat membantumu. Aku memiliki banyak kemampuan."
Yang membuatku kecewa, gadis itu malah mengatupkan kedua
tangannya di telinga. "Jangan beri aku kata-kata manismu,
demon!" katanya. "Aku takkan tergoda."
"Tentunya kau tak menginginkan permusuhan dariku," aku
melanjutkan, dengan suara menenangkan. "Persahabatan dariku
lebih disukai."
"Aku tak peduli akan keduanya," kata si gadis, menurunkan
tangannya. "Aku hanya ingin apa pun itu yang melingkar di
lehermu."

"Kau tak bisa mendapatkannya. Tapi kau bisa mendapatkan


perlawanan jika kau mau. Selain kerusakan yang akan timbul
di pihakmu, aku akan memastikan melontarkan sinyal yang
bakal membawa Polisi Malam menyerbu kita seperti setansetan
dari neraka. Kau tidak menginginkan perhatian mereka,
bukan?"
Kalimat itu membuatnya mengernyit sedikit. Aku memanfaatkan
keunggulanku.
"Jangan naif," kataku. "Pikirkanlah. Kau berusaha merampokku
untuk mendapatkan objek berkekuatan besar. Benda ini
milik penyihir kejam. Jika kau berani menyentuhnya saja, dia
akan menemukanmu dan menggantung kulitmu di pintunya."
Entah karena ancamanku atau tuduhan bahwa dia naif yang
membuatnya kesal, gadis itu terpengaruh. Aku dapat melihatnya
dari bibirnya yang cemberut.
Aku mencoba menggerakkan sedikit salah satu sikuku. Anak
lelaki yang memegangnya menggeram dan mengeraskan cengkeramannya
di lenganku.
Suara sirene meraung dari beberapa jalan jauhnya. Si gadis
beserta para bodyguard-nya memandang ujung gang ke arah
59
kegelapan dengan gelisah. Beberapa tetes air hujan turun dari
langit yang tersembunyi.
"Cukup," kata si gadis. Dia melangkah mendekatiku.
"Hati-hati," kataku.
Dia mengulurkan tangan. Saat dia melakukannya, aku membuka
mulut dengan amat sangat perlahan. Lalu dia meraih
rantai yang melingkari leherku.
Dalam sekejap aku menjadi buaya Nil dengan rahang ternganga.
Aku mengatupkan rahang menyambar jari-jarinya.
Gadis itu menjerit dan menarik tangannya lebih cepat daripada
yang kukira dapat dilakukannya. Gigi-gigiku yang siap merobek
hanya terpisah setitik dari kuku-kuku jarinya. Aku mencoba
menggigitnya lagi, meronta-ronta ke kiri dan ke kanan
dalam cengkeraman penangkapku. Gadis itu berteriak, tergelincir,
dan terjatuh di atas tumpukan sampah, menabrak
salah seorang dari kedua pengawalnya hingga terjatuh. Transformasiku
yang tiba-tiba membuat ketiga anak lelaki yang
memegangiku terkejut, terutama yang mencengkeram bagian
tengah tubuhku yang besar dan bersisik. Genggamannya melemah,
namun yang dua lagi masih bertahan. Ekorku yang
panjang dan keras menyabet ke kiri, lalu ke kanan, membuat
kontak memuaskan dengan dua tengkorak keras yang bergemeretak.
Otak mereka, jika mereka memilikinya, terguncang
dengan indah; rahang-rahang mereka mengendur, begitu pula
cengkeraman mereka.
Salah satu dari kedua pengawal si gadis hanya terkejut sebentar.
Dia tersadar, meraih kantong jaketnya, mengeluarkan
benda mengilat.
Saat dia melemparkan benda itu, aku berubah lagi.
Pertukaran cepat dari besar (si buaya) menjadi kecil (rubah)
adalah tindakan pandai, jika aku boleh menyombongkan diri.
Enam lengan yang berjuang menangani tubuh bersisik skala
besar tiba-tiba mendapati diri mereka mencengkeram udara
60
saat seonggok bulu merah kecil dan cakar-cakar yang berputar
terjatuh ke tanah di sela jari-jari mereka yang meraba-raba.
Pada detik yang sama, senjata perak melesat melewati tempat
tadinya leher si buaya berada dan tertancap di daun pintu
besi.

Rubah itu berlari melintasi gang, kaki-kakinya tergelincir di


kerikil yang licin.
Suara peluit yang memekakkan terdengar di depan. Si rubah
mempercepat larinya. Lampu-lampu senter menerangi dan berputarputar di sekitar pintu-pintu dan dinding-dinding bata.
Langkah-langkah kaki berlari mengikuti cahaya senter.
Itu yang kuperlukan. Polisi Malam datang.
Ketika seberkas sinar terayun ke arahku, aku melompat dengan
lincah ke dalam kantong plastik sampah yang terbuka.
Kepala, badan, ekor berbulu?hilang; cahaya itu menyapu melewati
kantong sampah dan berlalu menuju bagian dalam
gang.
Pria-pria berdatangan sekarang, berteriak-teriak, meniup
peluit, berlarian ke arah aku meninggalkan gadis itu beserta
kawan-kawannya. Lalu ada suara geraman, bau yang tajam;
dan sesuatu yang bisa saja anjing besar bergegas mengejar mereka
dalam gelapnya malam.
Suara-suara itu bergema menjauh. Sambil melingkarkan tubuh
dengan nyaman di antara kantong sampah yang mengempis
dan satu kerat botol kosong berbau cuka, si rubah mendengarkan,
kedua telinganya terjulur ke depan. Suara teriakan dan
tiupan peluit melemah dan berbaur, dan bagi si rubah suarasuara
itu seakan bersatu dan menjadi lolongan gelisah.
Kemudian suara-suara itu semakin samar. Gang menjadi hening.
Sendiri di antara bau busuk, si rubah bersembunyi.
Nurul Huda Kariem MR. 61 nurulkariem@yahoo.com
eBook oleh :
Arthur Underwood adalah penyihir kelas menengah yang
bekerja di Kementerian Dalam Negeri. Dia pria penyendiri,
susah diajak bekerja sama. Dia tinggal bersama istrinya,
Martha, di rumah tinggi bergaya Georgia di daerah Highgate.
Mr. Underwood belum pernah memiliki murid, dan ia tak
menginginkannya. Dia cukup bahagia bekerja seorang diri.
Tapi dia tahu cepat atau lambat, seperti penyihir-penyihir lain,
dia akan mendapatkan giliran dan menerima seorang anak dalam
rumahnya.
Benar saja, hal yang tak dapat dihindari itu terjadi: suatu
hari sepucuk surat datang dari Kementerian Tenaga Kerja,
berisi permintaan yang dibencinya itu. Sambil menerima meski
dengan hati dongkol, Mr. Underwood melaksanakan tugas.
Pada sore hari yang telah ditentukan, dia berangkat ke kantor
Kementerian untuk mengambil tanggung jawabnya yang tak
bernama.
Dia menuruni tangga marmer di antara dua tiang granit dan
62
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com
MR. Collection's
a
masuk ke selasar yang bergenia. Selasar itu berupa ruangan luas
tanpa dekorasi; para pekerja kantoran berlalu-lalang dalam diam,
bolak-balik melalui pintu-pintu kayu di tiap sisinya, sepatusepatu
mereka membuat suara berderak di lantai. Di seberang
lorong, dua patung mantan Menteri Tenaga Kerja dibangun
dalam skala besar, ada meja terhimpit di antara dua payung itu,
di atasnya tampak tumpukan tinggi kertas. Mr. Underwood
mendekat. Barulah setelah mencapai meja itu, dia dapat mengintip
melalui gundukan berkas yang berantakan dan melihat
wajah petugas kantor yang kecil dan sedang tersenyum.
"Halo, Sir," kata si petugas.

"Menteri Muda Underwood. Aku ke sini untuk menjemput


murid baruku."
"Ah?ya, Sir. Saya sudah menunggu Anda. Silakan menandatangani
beberapa dokumen ini..." Petugas itu mencari-cari
di tumpukan di dekatnya. "Tak akan makan waktu lama. Lalu
Anda dapat menjemput bocah itu di ruang duduk siang."
"'Bocah'? Dia anak lelaki kalau begitu?"
"Anak lelaki, lima tahun. Amat pandai, jika hasil tesnya
dapat dijadikan penentu. Jelas sedang sedikit sedih sekarang
ini..." Si petugas menemukan berlapis-lapis kertas dan mengambil
pena yang bertengger di telinganya. "Tolong paraf tiap
halaman, tanda tangani di titik-titik yang disediakan..."
Mr. Underwood menggerakkan pena. "Orangtuanya?mereka
telah pergi, kukira?"
"Ya, Sir. Mereka pergi sesegera mungkin. Pasangan yang seperti
biasa: ambil uangnya dan kabur, jika Anda mengerti
maksud saya, Sir. Nyaris tak sempat mengucapkan selamat
tinggal pada bocah itu."
"Dan semua prosedur normal kerahasiaan??"
"Akta kelahirannya telah diambil dan dihancurkan, Sir, dan
dia telah dengan tegas diperintahkan melupakan nama lahirnya
dan tak mengatakannya kepada siapa pun. Dia sekarang secara
63
resmi telah tak ternoda. Anda dapat mulai mengajarnya dari
nol."
"Baiklah." Sambil mendesah, Mr. Underwood membubuhkan
tanda tangan terakhirnya yang seperti cakar ayam dan menyerahkan
dokumen-dokumen itu kembali. "Jika itu sudah
semua, kukira aku harus segera menjemputnya."
Dia menyusuri beberapa koridor sepi dan melalui pintu berpanel
berat menuju ruangan bercat terang yang dipenuhi mainan
untuk menghibur anak-anak yang tak bahagia. Di sana, di
antara kuda-kudaan yang tersenyum lebar dan boneka penyihir
dari plastik yang mengenakan topi kerucut konyol, dia menemukan
anak lelaki berwajah pucat. Anak itu habis menangis,
tapi untungnya telah berhenti. Dua mata merah bengkak
memandangnya tanpa ekspresi. Mr. Underwood berdeham.
"Aku Underwood, mastermu. Kehidupanmu yang sebenarnya
dimulai sekarang. Ikut denganku."
Anak itu menyedot ingus dengan keras. Mr. Underwood
melihat dagu anak itu bergetar, tangisnya hampir meledak.
Dengan rasa tidak suka, dia meraih tangan anak lelaki itu,
menariknya hingga si bocah berdiri, dan menuntunnya keluar
menyusuri koridor-koridor bergema ke mobilnya yang telah
menunggu.
Dalam perjalanan kembali ke Highgate, penyihir itu mencoba
satu-dua kali untuk bercakap-cakap dengannya, tapi balasannya
hanya kebisuan yang diiringi air mata. Mr. Underwood
jadi tidak senang; dengan dengusan frustrasi, dia menyerah
dan menyalakan radio untuk mendengarkan skor pertandingan
kriket. Bocah itu duduk tak bergerak di bangku belakang,
menatap lutut.
Istrinya menyambut mereka di pintu. Dia membawa senampan
biskuit dan segelas cokelat panas yang mengepul, lalu segera
64
menggiring anak lelaki itu ke ruang duduk yang nyaman, di
mana api telah menyala di perapian.
"Kau takkan bisa membuatnya bicara, Martha," Mr. Underwood
menggerutu. "Belum bersuara sama sekali."
"Dan kau heran? Dia ketakutan, anak malang. Serahkan dia

padaku." Mrs. Underwood adalah wanita gemuk yang luar


biasa, berambut amat putih yang dipotong pendek sekali. Dia
menyuruh anak lelaki itu duduk di kursi dekat perapian dan
menawarkan sepotong biskuit. Anak itu tak mengacuhkan
sama sekali.
Setengah jam berlalu. Mrs. Underwood mengoceh ceria
tentang apa saja yang terlintas di kepalanya. Anak lelaki itu
minum sedikit cokelat dan menggigit sepotong kecil biskuit,
tapi selebihnya hanya memandang perapian sambil membisu.
Akhirnya, Mrs. Underwood mengambil keputusan. Dia duduk
di sebelah anak itu dan merangkul pundaknya.
"Nah, Sayang," katanya, "ayo kita buat kesepakatan. Aku
tahu kau telah dilarang menyebutkan namamu kepada siapa
pun, tapi kau dapat membuat pengecualian untukku. Aku tak
dapat mengenalmu dengan baik hanya dengan memanggilmu
'Nak', bukan? Nah, jika kau memberitahuku namamu, aku
akan memberitahumu namaku?dengan kepercayaan penuh.
Bagaimana? Apakah itu anggukan? Baiklah kalau begitu. Aku
Martha. Dan kau adalah...?"
Dengusan kecil, suara yang lebih kecil lagi. "Nathaniel"
"Nama yang indah, Sayang, dan jangan khawatir, aku takkan
memberitahu siapa pun. Kau sudah merasa lebih baik,
bukan? Nah, sekarang, makan sepotong biskuit lagi, Nathaniel,
dan aku akan mengantarmu ke kamarmu."
Setelah anak itu diberi makan, dimandikan, lalu akhirnya dibaringkan
di tempat tidur, Mrs. Underwood melapor kepada
suaminya, yang berada di ruang kerjanya.
65
"Akhirnya dia tertidur," katanya. "Aku takkan kaget jika
anak itu mengalami shock?dan tidak aneh, orangtuanya meninggalkannya
begitu saja. Kupikir sungguh memalukan, merenggut
seorang anak dari rumahnya di usia amat muda."
"Begitulah cara yang dilakukan selama ini, Martha. Para
murid harus datang dari suatu tempat." Si penyihir tetap menundukkan
kepala mempelajari buku di hadapannya, menunjukkan
kesibukan.
Istrinya tak menangkap sindiran itu. "Dia seharusnya diizinkan
tinggal bersama keluarganya," dia terus mengoceh. "Atau
setidaknya bertemu mereka sekali-sekali."
Dengan lagak capek, Mr. Underwood meletakkan buku di
meja. "Kau tahu persis itu mustahil. Nama lahirnya harus dilupakan,
jika tidak, musuh-musuhnya yang akan datang bakal
menggunakannya untuk melukainya. Bagaimana dia bisa melupakan
namanya jika keluarganya terus berhubungan dengannya?
Lagi pula, tak ada yang memaksa orangtuanya berpisah
dengan anak bengal mereka. Mereka tak menginginkannya, itu
faktanya, Martha. Jika tidak, mereka takkan menjawab iklaniklan
itu. Kesepakatannya jelas sekali. Mereka mendapatkan
sejumlah uang pembayaran yang wajar sebagai kompensasi, dia
berkesempatan melayani negaranya pada level tertinggi, dan
negara mendapatkan murid baru. Simpel. Semua orang menang.
Tak ada yang dirugikan."
"Tetap saja..."
"Kesepakatan itu tak merugikan aku, Martha." Mr. Underwood
meraih bukunya.
"Akan mengurangi kekejamannya jika para penyihir diizinkan
melatih anak-anak mereka sendiri"
"Jalan itu akan menimbulkan dinasti-dinasti yang berkompetisi,
aliansi-aliansi keluarga... semua itu akan mengakibatkan
peperangan keturunan. Baca buku sejarahmu, Martha:

lihatlah apa yang terjadi di Italia. Jadi, jangan khawatir me66


ngenai anak itu. Dia masih muda. Dia akan melupakannya
dengan cepat. Sekarang, bagaimana jika kaubuatkan aku makan
malam?"
Rumah penyihir Underwood berupa bangunan yang memberikan
kesan ramping, sederhana, berkelas di jalan itu, namun
memanjang luas ke belakang dengan banyak tangga, koridor,
dan beberapa lantai berbeda. Ada lima tingkat secara keseluruhan:
ruang bawah tanah, dipenuhi rak-rak anggur, berkotakkotak jamur kalengan, dan bertumpuk-tumpuk kaleng
buah kering; lantai dasar, berisi ruang tamu, ruang makan
utama, dapur, dan ruang kaca; dua lantai atas umumnya berisi
kamar mandi, kamar tidur, dan ruang belajar; dan paling atas,
loteng di bawah atap. Di ruangan inilah Nathaniel tidur, di
bawah palang-palang rusuk atap berpelitur yang miring.
Setiap pagi, saat subuh, Nathaniel dibangunkan suara berisik
burung-burung dara dari atap di atasnya. Celah kecil dengan
kaca tembus pandang dipasang di langit-langit. Melalui atap
kaca itu, Nathaniel dapat melihat keluar ke cakrawala langit
London yang kelabu dan disapu hujan. Rumah itu berdiri di
atas bukit dan pemandangannya indah; di hari cerah dia dapat
melihat menara radio Crystal Palace jauh di seberang kota.
Kamar tidurnya dilengkapi perabotan murah dari kayu lapis,
bufet kecil, meja belajar dan kursi, juga lemari buku di sisi
tempat tidur. Setiap minggu Mrs. Underwood meletakkan serumpun
bunga segar dari kebun dalam vas di meja.
Sejak hari pertama yang menyedihkan itu, istri si penyihir
melindungi Nathaniel. Dia menyukai anak itu dan amat baik
terhadapnya. Di dalam rumah yang terlindung, dia sering memanggil
anak itu dengan nama lahirnya, melawan ketidaksetujuan
suaminya.
"Kita bahkan seharusnya tidak mengetahui nama bocah
bengal itu," dia berkata kepada istrinya. "Dilarang! Dia bisa
67
kena bahaya. Saat dia dua belas tahun, saat umurnya telah
cukup, dia akan diberikan nama baru, nama yang dikenal
orang, sebagai penyihir dan pria, sepanjang sisa hidupnya. Sebelum
itu, amat salah jika?"
"Siapa yang akan tahu?" istrinya memprotes. "Tak ada.
Nama itu membuat anak malang itu merasa nyaman."
Mrs. Underwood satu-satunya orang yang menggunakan
nama lahir Nathaniel. Guru-gurunya memanggilnya Underwood,
seperti nama masternya. Masternya sendiri hanya memanggilnya
"Nak".
Membalas kebaikan hatinya, Nathaniel memuja Mrs. Underwood.
Dia mendengarkan setiap kata wanita itu, mematuhi
segala perintahnya.
Pada akhir minggu pertamanya berada di rumah itu, Mrs.
Underwood memberi Nathaniel hadiah.
"Ini untukmu," katanya. "Sudah agak tua dan lusuh, tapi
kukira kau mungkin akan menyukainya."
Benda itu lukisan perahu-perahu yang berlayar di sungai
kecil, dikelilingi tanah berlumpur dan lahan pertanian datar.
Permukaannya telah gelap termakan usia sehingga detail-detailnya
nyaris tak terlihat, namun Nathaniel segera jatuh sayang
pada lukisan tersebut. Dia memerhatikan Mrs. Underwood
menggantungnya di dinding di atas meja belajarnya.
"Kau akan menjadi penyihir, Nathaniel," kata wanita itu,
"dan itu hadiah terbesar yang dapat diperoleh anak laki-laki

atau perempuan. Orangtuamu telah berkorban dengan merelakanmu


menjalani takdir mulia ini. Tidak, jangan menangis,
Sayang. Maka untuk membalasnya kau harus menjadi tegar,
berusaha sekeras yang kau bisa, dan mempelajari segala yang
ditugaskan guru-gurumu. Dengan mengerjakan itu semua, kau
akan memberikan penghormatan kepada orangtua dan dirimu
sendiri. Lihatlah keluar jendela. Berdiri di atas kursi itu. Seka68
rang?lihat ke sebelah sana; kau lihat menara kecil di kejauhan
itu?"
"Yang itu?"
"Bukan, itu gedung perkantoran, Sayang. Yang kecil berwarna
cokelat itu, di sebelah kiri? Itu dia. Itu Gedung Parlemen,
sayangku, tempat seluruh penyihir andal pergi, untuk
memerintah Inggris dan kerajaan kita. Mr. Underwood pergi
ke sana setiap waktu. Dan jika kau bekerja keras dan melakukan
semua yang diperintahkan mastermu, suatu hari nanti kau
akan pergi ke sana juga, dan aku akan merasa bangga, sebangga
dirimu sendiri."
"Ya, Mrs. Underwood." Nathaniel menatap menara itu sampai
matanya terasa sakit, merekam letaknya di kepala. Pergi ke
Parlemen... Suatu hari nanti itu akan terjadi. Dia akan bekerja
keras dan membuat Mrs. Underwood bangga.
Seiring waktu berjalan, dengan tuntunan terus-menerus dari
Mrs. Underwood, rasa rindu Nathaniel mulai memudar. Memori
tentang orangtuanya meredup dan rasa sakit hatinya berangsur
hilang, sehingga dia tak merasakannya lagi. Rutinitas
pekerjaan dan pelajaran yang ketat membantu proses ini: menghabiskan
nyaris seluruh waktunya dan hanya menyisakan sedikit
kesempatan untuk melamun. Di hari-hari kerja, rutinitas
dimulai dengan Mrs. Underwood membangunkan dengan dua
ketukan cepat di pintu kamarnya.
"Teh di luar, di tangga. Mulut, bukan kaki."
Panggilan ini ritual yang berasal dari suatu pagi, ketika, dalam
perjalanan ke kamar mandi di bawah, Nathaniel menghambur
keluar dari kamarnya dalam keadaan kebelet, kakinya
menabrak gelas, dan melontarkan teh panas ke dinding di
dasar tangga. Nodanya masih tampak bertahun-tahun kemudian,
seperti noda percikan darah. Untung masternya tak pernah
mengetahui insiden ini. Dia tak pernah pergi ke loteng.
Setelah membersihkan diri di kamar mandi yang terletak di
69
lantai bawah kamarnya, Nathaniel akan mengenakan kemeja,
celana pendek abu-abu, kaus kaki panjang abu-abu, sepatu
hi tarn resmi dan, jika sedang musim dingin dan udara di dalam
rumah terasa dingin, jumper Irlandia tebal yang dibelikan
Mrs. Underwood. Dia akan menyisir rambut dengan hati-hati
di depan cermin tinggi di kamar mandi, matanya menyapu
bayangan tubuh kurus dan rapi dengan wajah pucat yang
menatapnya dari cermin. Lalu dia turun lewat tangga belakang
menuju dapur, membawa pekerjaan sekolahnya. Sementara
Mrs. Underwood menyiapkan cornflake dan roti panggang, dia
akan berusaha menyelesaikan pekerjaan rumah yang ditinggalkannya
semalam. Mrs. Underwood biasanya membantu sebisanya.
"Azerbaijan? Ibukotanya Baku, kurasa."
"Bakoo?"
"Ya. Lihat di atlasmu. Untuk apa kau mempelajari itu?"
"Mr. Purcell berkata aku harus menguasai Timur Tengah
minggu ini?mempelajari negara-negara dan sebagainya."
"Jangan murung begitu. Roti bakarnya sudah siap. Well,

penting bagimu untuk mempelajari 'sebagainya itu?kau harus


mengetahui latar belakangnya sebelum melanjutkan ke bagianbagian
yang menarik."
"Tapi ini sungguh membosankan"
"Itu yang kau tahu. Aku pernah ke Azerbaijan. Baku kota
kumuh, tapi tempat itu pusat penting untuk mempelajari
afrit."
"Apa itu?"
"Demon yang berasal dari api. Makhluk halus kedua yang
paling kuat. Elemen apinya sangat kuat di pegunungan Azerbaijan.
Itu juga tempat dimulainya keyakinan Zoroastrian;
mereka memuja api kelahiran yang berada dalam setiap makhluk
hidup. Jika kau mencari selai cokelat, ada di belakang
sereal."
"Kapan aku dapat melihat frit?"
70
"Afrit. Tidak dalam waktu dekat, jika kau tahu apa yang
baik untukmu. Sekarang, cepatlah habiskan sarapanmu?Mr.
Purcell menunggu."
Setelah sarapan, Nathaniel akan mengumpulkan buku-buku
pelajarannya dan pergi ke atas ke ruang belajar di lantai pertama,
tempat Mr. Purcell telah menunggu. Gurunya pria muda
berambut pirang yang mulai menipis, yang setiap kali
diratakan dengan sia-sia untuk menyembunyikan kulit kepalanya.
Dia mengenakan setelan abu-abu yang agak kebesaran
dan serangkaian dasi mengerikan berganti-ganti. Nama depannya
Walter. Banyak yang membuatnya gugup, dan berbicara
dengan Mr. Underwood (yang harus dilakukannya sekali-kali)
membuatnya kedutan. Sebagai akibat .sarafnya yang selalu
tegang, dia menumpahkan rasa frustrasi pada Nathaniel. Dia
pria yang terlalu bermoral sehingga tidak bisa bertindak terlalu
brutal pada anak itu, yang merupakan murid kompeten;
sebagai gantinya, biasanya dia? akan cepat membentak jika
Nathaniel berbuat kesalahan, menyalak seperti anjing kecil.
Nathaniel tidak belajar ilmu sihir dari Mr. Purcell. Gurunya
itu tak tahu apa-apa mengenai sihir. Maka dia harus mengajar
pelajaran-pelajaran lain: matematika dasar, bahasa modern
(Prancis, Ceko), geografi, dan sejarah. Pelajaran politik juga
penting.
"Nah sekarang, Underwood muda," Mr. Purcell berkata.
"Apakah tujuan utama pemerintah kita yang mulia?" Nathaniel
menatap kosong. "Ayolah! Ayolah!"
"Memerintah kita, Sir?"
"Melindungi kita. Jangan lupa bahwa negara kita dalam
keadaan perang. Praha masih menguasai dataran sebelah timur
Bohemia, dan kita sedang berjuang menghalangi angkatan
daratnya memasuki wilayah Italia. Sekarang ini adalah masamasa
berbahaya. Para penghasut dan mata-mata berkeliaran di
London. Jika kerajaan kita ingin tetap tegak, pemerintahan
71
yang kuat harus mengaturnya, dan kuat berarti penyihir.
Bayangkan negara ini tanpa mereka! Akan tak terkirakan:
orang-orang biasa akan berkuasa! Kita akan terperosok ke dalam
kekacauan, dan pengambilalihan kekuasaan akan segera
terjadi. Semua yang berada di pihak lawan dan anarki akan
memimpin kita. Inilah hal yang harus menjadi cita-citamu,
Nak. Menjadi bagian dari Pemerintah dan memimpin dengan
terhormat. Ingadah itu."
"Ya, Sir."
"Harga diri adalah kualitas paling penting dalam diri penyihir,"

Mr. Purcell melanjutkan. "Orang yang memiliki kekuatan


besar harus menggunakannya dengan penuh pertimbangan.
Dulu, para penyihir liar pernah berniat menggulingkan kekuasaan:
mereka selalu dikalahkan. Mengapa? Karena penyihir sejati
berjuang dengan kebajikan dan keadilan di sisi mereka."
"Mr. Purcell, apakah Anda penyihir?"
Sang guru meratakan rambut dan mendesah. "Bukan, Underwood.
Aku... tidak terpilih. Tapi aku tetap melaksanakan tugas
sebaik mungkin. Sekarang..."
"Kalau begitu, Anda commoner?orang biasa?"
Mr. Purcell menggebrak meja dengan telapak tangannya.
"Beraninya! Hanya aku yang boleh mengajukan pertanyaan!
Ambil busur derajatmu. Kita akan membahas geometri."
Tak lama setelah berulang tahun kedelapan, kurikulum pelajaran
Nathaniel ditambah. Dia mulai belajar kimia dan fisika,
juga sejarah agama. Dia juga mulai mempelajari beberapa bahasa
penting, termasuk Latin, Aramaic, dan Yahudi.
Segala aktivitas ini membuat Nathaniel sibuk sejak pukul
09.00 hingga saat makan siang pukul 13.00, ketika dia turun
ke dapur sendirian untuk melahap sandwich yang telah disiapkan
Mrs. Underwood dalam bungkus berembun Saran Wrap.
Pada sore hari, jadwal pelajaran Nathaniel bervariasi. Dua
hari seminggu, Nathaniel melanjutkan pelajaran bersama Mr.
72
Purcell. Pada dua sore lain, dia dikawal ke ujung jalan menuju
kolam renang umum, tempat pria gemuk yang bentuk kumisnya
mirip spatbor mobil mengawasi latihan yang melelahkan.
Bersama segerombolan anak basah kuyup lainnya, Nathaniel
harus berenang bolak-balik berkali-kali menggunakan semua
gaya renang yang pernah diciptakan. Dia selalu terlalu malu
atau terlalu lelah untuk berbicara dengan murid renang lain,
dan mereka, merasa Nathaniel bukanlah murid biasa, tak pernah
mendekatinya. Pada usia delapan tahun, Nathaniel telah
dihindari dan dikucilkan.
Pada dua sore yang lain lagi, aktivitas Nathaniel adalah
musik (Kamis) dan menggambar (Sabtu). Nathaniel lebih membenci
musik daripada berenang. Gurunya, Mr. Sindra, adalah
pria gendut lekas marah yang dagunya bergetar jika dia berjalan.
Nathaniel memerhatikan dagu itu dengan saksama: jika
getarannya semakin cepat, itu tanda pasti datangnya kemarahan.
Kemarahan selalu datang disertai depresi. Mr. Sindra nyaris
tak pernah dapat menahan kemurkaannya jika Nathaniel bermain
terlalu cepat, salah membaca not, atau tak berhasil membaca
not tanpa memainkannya, dan hal-hal seperti ini sering
terjadi.
"Bagaimana," Mr. Sindra berteriak, "kau dapat memanggil
lamia jika kau memetik seperti itu? Bagaimana? Keterlaluan!
Kemarikan benda itu!" Dia merampas dengan kasar lyre di
tangan Nathaniel dan memeluk alat musik itu di dadanya yang
Iebar. Lalu, dengan kedua mata terpejam seolah terbuai, dia
mulai memainkannya. Suara melodi yang indah memenuhi
ruang belajar. Jari-jari Mr. Sindra yang pendek dan gemuk
bergerak seperti sosis yang menari di antara senar-senar lyre; di
luar burung-burung berhenti berkicau untuk mendengarkan.
Mata Nathaniel dipenuhi air mata. Memori dari masa lampau
yang jauh melayang-layang bagaikan hantu di depan matanya...
73
"Sekarang kau!" Musik itu berhenti dengan suara mendecit
nyaring. Lyre itu diserahkan kembali kepadanya. Nathaniel
mulai memetik senarnya. Jari-jarinya tergelincir dan bertautan;

di luar bebetapa burung terjatuh dari pohon dalam keadaan


pingsan. Rahang Mr. Sindra gemetar seperti puding tapioka
dingin.
"Dasar idiot! Stop! Apakah kau ingin lamia memangsamu?
Makhluk itu harus dibuat terpesona, bukan murka! Letakkan
instrumen menyedihkan itu. Kita akan mencoba seruling."
Seruling atau lyre, suara nyanyian maupun suara sistrum?
apa pun yang dicoba Nathaniel, usahanya yang sia-sia selalu
berujung kemarahan dan keputusasaan. Jauh berbeda keadaannya
dengan pelajaran menggambar, yang berlangsung dengan
damai dan baik di bawah asuhan gurunya, Ms. Lutyens. Dengan
tubuh langsing dan sifat manis, dia satu-satunya guru
yang dapat diajak Nathaniel bicara dengan bebas. Seperti Mrs.
Underwood, Ms. Lutyens tak memedulikan status Nathaniel
yang "tanpa nama". Dengan percaya diri, dia menanyakan
nama Nathaniel, dan Nathaniel memberitahukannya tanpa berpikir
dua kali.
"Mengapa," Nathaniel pernah bertanya pada suatu sore
musim semi, ketika mereka duduk di ruang belajar sementara
angin sepoi-sepoi bertiup melalui jendela yang terbuka, "mengapa
aku menghabiskan seluruh waktuku untuk meniru pola
ini? Pola ini sulit dan membosankan. Aku lebih memilih menggambar
kebun, atau ruangan ini?atau Anda, Ms. Lutyens."
Ms. Lutyens tertawa. "Menggambar sketsa bagus untuk para
seniman, Nathaniel, atau untuk wanita-wanita muda kaya yang
tak punya pekerjaan lain. Kau takkan menjadi seniman atau
wanita muda kaya, tujuanmu mengangkat pensil sama sekali
berbeda dengan mereka. Kau akan menjadi ahli, ahli gambar
teknis?kau harus dapat meniru segala pola yang kauinginkan,
dengan cepat, dengan percaya diri, dan di atas segalanya, dengan
akurat."
74
Nathaniel memandang muram kertas yang terletak di meja
di antara mereka. Kertas itu menunjukkan gambar rumit daundaun
bersulur, bunga-bunga, dan tanaman rambat, dengan
bentuk-bentuk abstrak terimpit di tengah-tengahnya. Nathaniel
menyalin gambar itu di buku sketsanya dan telah mengerjakannya
selama dua jam tanpa henti. Gambar itu kini setengah
jadi.
"Rasanya tak ada gunanya, itu saja," katanya lirih.
"Bukan tak ada gunanya," jawab Ms. Lutyens. "Coba kulihat
hasil pekerjaanmu. Well, tidak jelek, Nathaniel, sama
sekali tidak jelek, tapi lihat?tidakkah kaupikir kubah menara
ini tampak lebih besar daripada gambar aslinya? Lihat di sini?
Dan kau meninggalkan satu celah pada batang ini?ini kesalahan
yang cukup buruk."
"Hanya kesalahan kecil. Sisanya lumayan, bukan?"
"Bukan itu intinya. Jika kau menyalin pentacle dan meninggalkan
celah di gambarmu, apa yang akan terjadi? Nyawamu
akan menjadi taruhannya. Kau belum ingin mati kan, Nathaniel?"
"Belum."
"Nah. Singkatnya, kau tak boleh membuat kesalahan. Mereka
akan menyerangmu jika itu terjadi." Ms. Lutyens menyandarkan
punggungnya di kursi. "Demi kebaikan, aku harus
menyuruhmu mengulang gambar ini dari awal."
"Ms. Lutyens!"
"Mr. Underwood takkan menerima kurang dari ini." Dia
terdiam sesaat, menimbang-nimbang. "Tapi mendengar seruanmu
itu kupikir tak ada gunanya mengharapkanmu membuat
yang lebih baik pada kali kedua. Kita akan berhenti sampai di

sini hari ini. Bagaimana kalau kau keluar ke kebun saja?


Tampaknya kau butuh udara segar."
Bagi Nathaniel, kebun di rumah itu adalah tempat menyendiri
75
dan beristirahat sementara. Tak ada pelajaran yang diadakan di
kebun. Tempat itu tidak memiliki memori tak menyenangkan.
Kebun itu panjang dan sempit serta dikelilingi tembok tinggi
dari bata merah. Rumpun tanaman mawar merambati tembok
pada musim panas, dan enam pohon apel menebarkan pucuk
bunga putih di sekitar halaman. Dua semak tanaman rhododendron
terentang melebar ke tengah-tengah kebun?di seberang
semak-semak itu ada area tertutup yang terlindung dari pandangan
jendela-jendela di rumah. Di tempat ini rerumputan
tumbuh tinggi dan basah. Pohon horse chestnut dari halaman
sebelah menjulang tinggi, dan bangku dari batu, hijau tertutup
lumut, terletak terlindung di bawah bayangan tembok tinggi.
Di sebelah bangku itu ada patung marmer berbentuk pria
yang memegang seberkas kilat di tangannya. Patung itu mengenakan
jaket model Victoria dan memiliki sepasang cambang
raksasa yang menonjol di kedua pipinya seperti capit kumbang.
Patung itu telah aus termakan cuaca dan ditutupi lapisan tipis
lumut, namun tetap memberikan kesan berkekuatan besar dan
berkuasa. Nathaniel terkagum-kagum padanya dan bahkan berani
bertanya kepada Mrs. Underwood siapa sebetulnya pria
itu, tapi wanita itu hanya tersenyum.
"Tanya mastermu," katanya. "Dia tahu segalanya."
Tapi Nathaniel tidak berani.
Tempat yang nyaman ini, dengan keterkucilannya, bangku
batunya, dan patung penyihir yang tak dikenal, adalah tempat
Nathaniel datang kapan saja dia butuh menimbun keberanian
sebelum memulai pelajaran dengan masternya yang dingin dan
tegas.
76
Saat berusia antara enam sampai delapan tahun, Nathaniel
hanya bertemu masternya sekali seminggu. Pada kesempatankesempatan
itu, setiap Jumat sore, berlangsung ritual besar.
Setelah makan siang, Nathaniel harus pergi ke lantai atas
untuk membersihkan diri dan mengganti kemeja. Lalu, tepat
pada pukul 14.30, dia muncul di pintu ruang duduk
masternya di lantai satu. Dia akan mengetuk pintu tiga kali,
kemudian terdengar suara yang mempersilakannya masuk.
Masternya bersandar di kursi anyaman dekat jendela yang
menghadap ke jalan. Wajahnya biasanya tersembunyi di balik
bayangan. Cahaya yang memancar dari jendela mengitarinya
seperti kabut remang-remang. Saat Nathaniel masuk, tangan
panjang dan kurus akan melambai ke arah tumpukan tinggi
bantalan kursi yang terletak di bangku Oriental di dinding
seberang ruangan. Nathaniel akan mengambil sebuah bantalan
kursi dan meletakkannya di lantai. Kemudian dia duduk,
dengan dada berdebar, mendengarkan dengan saksama agar
77
dapat menangkap setiap nada suara masternya, takut bila ada
yang terlewatkan.
Pada tahun-tahun awal, si penyihir biasanya puas dengan
hanya bertanya mengenai pelajaran-pelajaran anak lelaki itu,
mengundangnya mendiskusikan vektor, aljabar, atau prinsip
probabilitas, memintanya menjabarkan dengan singkat sejarah
Praha atau mengulang, dalam bahasa Prancis, kejadian-kejadian
penting dalam perang Salib. Jawaban-jawabannya nyaris selalu
memuaskan?Nathaniel cepat belajar.

Pada kesempatan-kesempatan langka, sang master menyuruh


Nathaniel berhenti di tengah-tengah jawaban dan dia sendiri
akan berbicara mengenai beberapa objek dan keterbatasan
sihir.
"Penyihir," katanya, "adalah pengguna kekuasaan. Penyihir
melaksanakan keinginannya dan memengaruhi perubahan. Dia
dapat melakukannya dengan motif egois atau demi kebaikan.
Perbuatannya dapat menghasilkan sesuatu yang baik atau
buruk, tapi satu-satunya penyihir buruk adalah yang tidak kompeten.
Apakah definisi inkompetensi, Nak?"
Nathaniel beringsut di bantalan kursinya. "Kehilangan kontrol."
"Benar. Jika penyihir tetap mengontrol setiap kekuatan yang
diperintahkannya untuk bekerja, dia akan tetap?dia akan
tetap apa?"
Nathaniel bergerak maju-mundur. "Eh..."
"Tiga S, Nak, tiga S. Gunakan otakmu."
"Safe?aman, secret?rahasia, strong?kuat, Sir."
"Benar. Apakah rahasia besarnya?"
"Makhluk halus, Sir."
"Demon, Nak. Sebut mereka seperti apa adanya. Apakah
yang tak boleh dilupakan seseorang?"
"Demon adalah makhluk jahat dan akan melukai kita jika
bisa, Sir." Suara Nathaniel bergetar ketika mengucapkan ini.
"Bagus, bagus. Kau memiliki ingatan yang amat tajam, itu
78
pasti. Berhati-hatilah dalam melafalkan kata-katamu?aku dengar
lidahmu terpeleset tadi. Salah melafalkan sebuah suku
kata pada saat yang tidak tepat akan memberi demon kesempatan
yang dicari-carinya."
"Ya, Sir."
"Jadi, demon-lah rahasia besarnya. Para commoner sadar akan
keberadaan mereka dan tahu kita dapat berkomunikasi dengan
mereka?itulah sebabnya mereka takut pada kita! Namun
mereka tak menyadari seluruh kebenarannya, yaitu semua
kekuatan kita berasal dari demon. Tanpa bantuan demon, kita
tak lain hanyalah pesulap murahan dan tukang obat. Satusatunya
kemampuan kita yang terbesar adalah memanggil mereka
dan membuat mereka mematuhi perintah kita. Jika kita
melakukannya dengan benar, mereka hams mematuhi kita. Jika
kita membuat kesalahan sedikit saja, mereka akan menyerang
kita dan mencabik-cabik kita hingga menjadi serpihan. Kita
melangkah pada sehelai benang tipis, Nak. Berapa umurmu
sekarang?"
"Delapan, Sir. Sembilan minggu depan."
"Sembilan? Bagus. Kalau begitu, minggu depan kita akan
mulai mempelajari ilmu sihir yang sesungguhnya. Mr. Purcell
sekarang sibuk memberikan basis pelajaran yang memadai soal
pengetahuan dasar. Setelah ini kita akan bertemu dua kali
seminggu, dan aku akan mulai memperkenalkanmu dengan
dalil sentral orde kita. Meski begitu, hari ini kita akhiri dengan
kau mengulang alfabet Yahudi dan dua belas angka pertamanya.
Lanjutkan."
Di bawah pengawasan master dan para gurunya, pendidikan
Nathaniel maju pesat. Dengan gembira, dia melaporkan
perkembangan pelajaran tiap harinya kepada Mrs. Underwood
dan merasa berbunga-bunga karena dihujani pujian wanita itu.
Pada sore hari, dia akan menatap ke luar jendela kamarnya, ke
79
arah cahaya kuning di kejauhan yang menandakan menara
gedung-gedung Parlemen, dan melamunkan hari saat dia pergi

ke sana sebagai penyihir, sebagai salah satu menteri dalam


pemerintahan yang terhormat.
Dua hari setelah ulang tahunnya yang kesembilan, masternya
muncul di dapur saat dia sarapan.
"Tinggalkan itu dan ikut denganku," kata si penyihir.
Nathaniel mengikutinya menyusuri lorong dan masuk ke
ruangan yang merupakan perpustakaan masternya. Mr. Underwood
berdiri di sebelah rak buku besar yang dipenuhi buku
berbagai ukuran dan warna, mulai dari kamus bersampul kulit
yang tampak antik hingga yang bersampul tipis dan menguning
rapuh dengan simbol-simbol mistis tak beraturan di permukaannya.
"Ini bahan bacaanmu untuk tiga tahun ke depan," kata
masternya, mengetuk-ngetuk permukaan rak buku. "Saat berusia
dua belas tahun, kau sudah harus menghafal seluruh
isinya. Buku-buku ini ditulis dalam bahasa Inggris Pertengahan,
Latin, Ceko, dan Yahudi sebagian besar, walaupun kau juga
akan menemukan yang dalam bahasa Coptic tentang ritual
kematian Mesir. Ada kamus Coptic untuk membantumu membaca.
Terserah padamu bagaimana kau membaca semuanya;
aku tak punya waktu untuk menolongmu. Mr. Purcell akan
membantumu meningkatkan kemampuan bahasamu dengan
cepat. Mengerti?"
"Ya, Sir. Sir?"
"Apa, Nak?"
"Jika saya telah selesai membaca ini semua, Sir, apakah saya
akan mengetahui semua yang diperlukan? Untuk menjadi penyihir,
maksud saya. Tampaknya semua amat banyak."
Masternya mendengus; alisnya naik.
"Lihat ke belakangmu," katanya.
Nathaniel memutar tubuh. Di balik pintu ada rak buku
80
yang menjulang dari lantai hingga langit-langit; dipenuhi ratusan
buku, setiap buku lebih tebal dan lebih berdebu dibandingkan
sebelumnya, jenis buku yang, orang dapat mengetahuinya
tanpa membukanya, berisi tulisan-tulisan kecil dalam
dua kolom di setiap halamannya. Nathaniel menelan ludah.
"Baca semua buku itu;" kata masternya dengan nada kering,
"dan kau mungkin akan berhasil menuju ke suatu tempat. Rak
itu memuat ritual dan mantra yang kauperlukan untuk memanggil
demon tertentu; dan kau bahkan belum akan memulainya
hingga kau berusia remaja, maka singkirkanlah dari
pikiranmu. Rak milikmu"?dia mengetuk-ngetukkan jari di
permukaan kayunya lagi?"memberikan pengetahuan persiapan
dan sudah lebih dari cukup untuk saat ini. Sekarang, ikut
aku."
Mereka melanjutkan berjalan ke ruang belajar yang belum
pernah dikunjungi Nathaniel. Sejumlah besar botol dan tabung
disimpan di sana dalam rak-rak bernoda dan kotor, diisi cairan
berbagai warna. Beberapa botol itu berisi benda-benda yang
melayang-layang di dalamnya. Nathaniel tak dapat memastikan
apakah ketebalan dan bentuk melingkar kaca botol-botol itu
yang menyebabkan benda-benda di dalamnya tampak menyeramkan
dan aneh.
Masternya duduk di bangku tinggi di hadapan meja kerja
kayu sederhana dan memberi tanda agar Nathaniel duduk di
sebelahnya. Dia mendorong kotak tipis di meja. Nathaniel
membukanya. Di dalamnya ada sepasang kacamata kecil. Sepotong
memori samar-samar membuatnya merinding hebat.
"Well, keluarkan benda itu, Nak, dia takkan menggigit.
Begitu. Sekarang lihat aku. Perhatikan mataku; apa yang kaulihat?"

Dengan enggan, Nathaniel melihat. Dia merasa sulit memandang


mata galak berwarna cokelat milik pria tua itu, dan
akibatnya otaknya membeku. Dia tak melihat apa-apa.
81
"Well?"
"Mm, mm... maaf, saya tidak..."
"Lihat di sekitar lingkaran biji mataku?ada sesuatu di
sana?
"Mm..."
"Oh, dasar bodoh!" Masternya berseru frustrasi dan menarik
kulit bawah matanya, menampakkan bagian merah di dalamnya.
"Tak dapatkah kau melihat? Lensa, Nak! Lensa kontak! Di
seputar bagian tengah mataku! Lihat?"
Dengan putus asa, Nathaniel melihat lagi, dan kali ini dia
memang melihat lingkaran samar, tipis seperti garis pensil di
seputar biji mata, menutupinya.
"Ya, Sir," katanya bersemangat. "Ya, saya melihatnya."
"Akhirnya. Baiklah." Masternya duduk santai kembali di
bangku tinggi. "Saat kau berusia dua belas tahun, dua hal penting
akan terjadi. Pertama, kau akan diberi nama baru, yang
akan kaugunakan. Mengapa?"
"Untuk mencegah demon menguasai diri saya dengan cara
mengetahui nama lahir saya, Sir."
"Benar. Penyihir-penyihir lawan akan sama berbahayanya,
tentu saja. Kedua, kau akan menerima sepasang lensa baru,
yang dapat kaupakai setiap saat. Lensa itu akan membantumu
melihat sebagian kecil muslihat para demon. Sebelum itu kau
akan menggunakan kacamata ini, tapi hanya jika disuruh, dan
tak ada alasan membawa kacamata ini keluar dari ruang belajar
ini. Mengerti?"
"Ya, Sir. Bagaimana cara kacamata ini membantu melihat
menembus sesuatu, Sir?"
"Saat demon berubah wujud, mereka dapat menjadi bentuk
apa saja, bukan hanya dalam dunia keberadaan ini, tapi juga
dalam beberapa tingkatan keberadaan?aku akan memberikan
pelajaran mengenai beberapa plane ini segera, jangan bertanya
sekarang. Beberapa demon tingkat tinggi bahkan bisa menjadi
82
tidak kasatmata; kekejaman perilaku mereka tak ada habisnya.
Lensa-lensa itu, dan kacamata itu bagi skala yang lebih kecil,
akan membantumu melihat dalam beberapa plane sekaligus,
memberikan kesempatan bagimu untuk melihat menembus
ilusi mereka. Perhatikan?"
Master Nathaniel meraih rak penuh berisi botol di belakangnya
dan memilih botol kaca besar yang mulutnya ditutup
sumbat dan lilin perekat. Di dalamnya ada cairan garam
kehijauan dan tikus mati, bulu-bulunya cokelat dan berdaging
pucat. Nathaniel mengernyit. Masternya menatapnya.
"Menurutmu ini apa, Nak?" dia bertanya.
83
"Tikus, Sir."
"Jenis apa?"
"Jenis yang berwarna cokelat. Rattus norvegicus, Sir."
"Bagus. Bahasa Latin pula, heh? Bagus sekali. Salah sama
sekali, tapi tetap saja bagus. Ini sama sekali bukan tikus. Pakai
kacamatamu dan lihat lagi."
Nathaniel mengerjakan apa yang disuruh. Kacamata itu terasa
dingin dan berat di hidungnya. Dia memandang melalui kacanya
yang buram, butuh satu atau dua detik untuk menjadi
fokus. Ketika botol itu tampak di depan matanya, Nathaniel

tersentak. Tikus itu telah hilang. Sebagai gantinya tampak


makhluk kecil berwarna hitam dan merah dengan wajah seperti
spons, sayap seperti kumbang, dan perut bagian bawah berbentuk
akordion. Mata makhluk itu terbuka dan ekspresinya
terluka. Nathaniel membuka kacamata dan melihat lagi. Si tikus
cokelat tampak mengambang dalam cairan, seperti acar.
"Astaga," katanya.
Masternya mendengus. "Scarlet Vexation, ditangkap dan dibotolkan
Institut Medis di Lincoln's Inn. Sesosok imp kecil,
tapi terkenal sebagai penebar wabah. Dia hanya dapat berubah
wujud menjadi tikus di plane material. Pada plane-flane lainnya,
wujud aslinya tampak."
"Apakah dia sudah mati, Sir?" tanya Nathaniel.
"Hmm? Mati? Kupikir begitu. Jika tidak, dia pasti akan
marah. Dia telah berada dalam botol itu selama setidaknya
lima puluh tahun?aku mewarisinya dari masterku."
Dia mengembalikan botol itu ke rak. "Kaulihat, Nak," dia
melanjutkan, "bahkan demon yang paling kecil pun kekuatannya
jahat, berbahaya, dan licik. Kita tak boleh melepaskan
kesiagaan walau sebentar saja. Perhatikan ini."
Dari belakang pembakar bunsen, dia mengambil kotak segi
empat dari kaca yang sepertinya tak memiliki tutup. Enam
makhluk kecil berdengung di dalamnya, membentur-bentur
dinding penjara mereka. Dari kejauhan mereka tampak seperti
serangga; setelah melihat dari jarak dekat, Nathaniel menyadari
kaki mereka terlalu banyak untuk ukuran serangga.
"Makhluk-makhluk kecil ini," masternya berkata, "mungkin
wujud demon yang paling rendah. Nyaris tak memiliki inteligensi.
Kau tak memerlukan kacamata untuk melihat wujud asli
mereka. Tapi bahkan mereka ini dapat menimbulkan masalah
jika tak ditangani dengan tepat. Kau lihat sengat berwarna
jingga di bawah ekor mereka? Sengat-sengat itu menimbulkan
bengkak menyakitkan pada tubuh korbannya; jauh lebih buruk
daripada sengatan lebah atau tawon. Mereka menjadi metode
yang dikagumi untuk menghukum seseorang, entah dia pesaing
menyebalkan... atau murid yang tak menurut."
Nathaniel memerhatikan serangga-serangga kecil yang marah
itu membenturkan kepala mereka ke dinding kaca. Dia mengangguk
kuat. "Ya, Sir."
"Makhluk-makhluk kecil yang galak." Masternya menyingkirkan
kotak itu. "Tapi hanya diperlukan kata-kata perintah yang
tepat dan mereka akan mematuhi semua instruksi. Mereka merupakan
demonstrasi, dalam skala terkecil, mengenai prinsip
keahlian kita. Kita memiliki alat-alat berbahaya yang harus kita
84
kontrol. Kini kita akan mulai mempelajari cara melindungi
diri."
Nathaniel segera mengetahui bahwa masih lama sekali baru dia
akan diizinkan menggunakan peralatan-peralatan itu sendiri.
Dia belajar dengan masternya dalam ruangan itu dua kali
seminggu, dan selama berbulan-bulan dia tak melakukan apaapa
selain mencatat. Dia belajar tentang prinsip penggunaan
pentacle dan seni tulisan kuno. Dia mempelajari ritual pensucian
yang benar yang harus diperhatikan penyihir sebelum
mulai memanggil makhluk halus. Dia disuruh mengaduk dan
menumbuk campuran dupa yang akan menarik demon atau
menyingkirkan yang tak diinginkan. Dia memotong-motong
lilin menjadi berbagai ukuran dan mengaturnya menjadi beberapa
pola. Tapi tak sekali pun masternya memanggil sesuatu.
Tak sabar akan kemajuan pelajarannya, di waktu senggangnya

Nathaniel asyik dengan buku-buku di raknya dalam perpustakaan.


Dia membuat Mr. Purcell terkesan karena rasa
laparnya akan pengetahuan. Dia bekerja keras dalam pelajaran
menggambar bersama Ms. Lutyens, menumpahkan kemampuannya
pada pentacle yang dia buat di bawah pandangan tajam
masternya. Dan selama itu, kacamatanya tertimbun debu di
rak dalam ruang belajar.
Ms. Lutyens adalah satu-satunya orang tempat dia menumpahkan
rasa frustrasinya.
"Sabar," wanita itu berkata padanya. "Kesabaran adalah hal
terpenting. Jika terburu-buru, kau akan gagal. Dan kegagalan
amat menyakitkan. Kau harus selalu rileks dan berkonsentrasi
pada pekerjaanmu sekarang. Nah, kalau kau sudah siap, aku
ingin kau membuat gambar itu lagi, tapi kali ini dengan mata
tertutup."
Enam bulan setelah masa pelatihannya, Nathaniel menyaksikan
pemanggilan roh untuk pertama kalinya. Dia amat sebal
85
karena tak diikutsertakan melakukannya. Masternya menggambar
pentacle, termasuk pentacle kedua tempat Nathaniel harus
berdiri di dalamnya. Nathaniel bahkan tak diizinkan menyalakan
lilin dan, yang lebih buruk lagi, dia tak diperkenankan
mengenakan kacamata.
"Bagaimana saya bisa melihat?" dia bertanya, agak terlalu
kasar daripada biasanya bila berbicara dengan masternya; tatapan
masternya dengan mata agak menyipit segera membuatnya
tutup mulut.
Pemanggilan itu berlangsung mengecewakan. Setelah merapalkan
mantra, yang dengan lega didapati Nathaniel bahwa
dia mengerti sebagian besar di antaranya, tampaknya tak terjadi
apa-apa. Angin sepoi-sepoi berembus ke dalam ruang belajar;
selain itu semua hening. Pentacle yang kosong tetap kosong.
Masternya berdiri di dekatnya, mata terpejam, seperti
tertidur. Nathaniel menjadi amat bosan. Tungkainya mulai
sakit. Rupanya demon yang satu ini memutuskan tidak datang.
Mendadak, dia menyadari dengan terkejut bahwa beberapa
lilin di salah satu pojok ruangan telah tumbang. Setumpuk
kertas terbakar, dan apinya menyebar. Nathaniel berseru kaget
dan melangkah...
"Diam di tempat!"
Jantung Nathaniel nyaris berhenti berdetak karena ketakutan.
Dia membeku dengan satu kaki terangkat. Mata masternya
terbuka dan memandangnya tajam dengan tatapan marah. Dengan
suara menggelegar, masternya merapalkan tujuh Kata
Pembebasan. Api di pojok ruangan lenyap, beserta kertas-kertas
yang terbakar; lilin-Iilin itu kembali tegak berdiri dan menyala
dengan tenang. Jantung Nathaniel bagai mengerut di dadanya.
"Melangkah keluar dari lingkaran, ya?" Tak pernah dia mendengar
suara masternya begitu bengis. "Aku telah memberitahumu
bahwa beberapa dari mereka tetap tak terlihat. Mereka ahli
ilusi dan tahu seribu cara untuk mengalihkan perhatian serta
86
membujukmu. Satu langkah lagi dan kau sendiri akan tersambar
api. Pikirkan itu sementara kau kelaparan malam ini.
Pergi ke kamarmu!"
Pemanggilan-pemanggilan berikutnya tak terlalu membuat
depresi. Hanya dituntun indra biasanya, Nathaniel memerhatikan
demon-demon dalam berbagai bentuk yang menipu. Beberapa
muncul dalam wujud binatang yang sehari-hari biasa ditemui?
kucing mengeong, anjing bermata besar, hamster

pincang menyedihkan yang membuat Nathaniel tergoda untuk


mengangkatnya. Burung-burung kecil yang manis melompat
dan mematuk garis tepi lingkaran mereka. Suatu kali, hujan
pucuk bunga apel jatuh dari langit, memenuhi ruangan dengan
keharuman tajam dan membuat Nathaniel mengantuk.
Dia belajar melawan segala jenis bujukan. Beberapa roh tak
kasatmata menyerangnya dengan bau memuakkan yang membuatnya
muntah; yang lain memesonanya dengan bau parfum
yang mengingatkannya akan parfum Ms. Lutyens atau Mrs.
Underwood. Beberapa berusaha menakut-nakutinya dengan
suara-suara mengerikan?dengan suara koyakan, bisikan, dan
seruan-seruan yang tak tertangkap artinya. Dia mendengar
suara-suara aneh memanggil memohon-mohon, mula-mula
bernada tinggi, lalu jatuh menjadi rendah dan makin rendah
sehingga menjadi mirip lonceng pemakaman. Namun dia berhasil
menutup pikiran dari semua ini dan tak pernah sekali
pun tergoda keluar dari lingkaran.
Satu tahun telah lewat sebelum Nathaniel diperkenankan
mengenakan kacamata pada tiap pemanggilan. Sekarang dia
dapat memerhatikan setiap demon dalam wujud asli mereka.
Beberapa, yang sedikit lebih kuat, dapat mempertahankan ilusi
mereka bahkan pada plane-plane lain yang terdeteksi. Terhadap
seluruh persepsi membingungkan ini Nathaniel menyesuaikan
diri dengan tenang dan percaya diri. Pelajaran-pelajarannya
87
mengalami kemajuan pesat, rasa percaya dirinya meningkat.
Dia menjadi lebih tegar, lebih lentur, lebih bertekat untuk
maju. Dia menghabiskan seluruh waktu senggangnya mempelajari
manuskrip-manuskrip baru.
Sang master puas akan kemajuan muridnya dan Nathaniel,
biarpun tak sabar dengan kecepatan tahapan pelajarannya,
amat senang akan apa yang telah dipelajarinya. Mereka memiliki
hubungan yang produktif, biarpun tidak dekat, dan
mungkin akan terus berlanjut seperti itu jika tak ada insiden
mengerikan yang terjadi pada musim panas sebelum ulang
tahun Nathaniel yang kesebelas.
88
Akhirnya, subuh datang juga.
Cahaya pertama yang muncul malu-malu berkelip di langit
timur. Lingkaran cahaya perlahan-lahan muncul dari cakrawala
di atas daerah pelabuhan itu. Aku menyorakinya. Matahari
muncul tepat pada waktunya.
Sepanjang malam tadi terjadi urusan yang melelahkan dan
kadang-kadang memalukan. Aku berulang kali harus mengendapendap, bersembunyi diam-diam, dan kabur, setiap kali
dengan urutan itu, nyaris di seluruh distrik pos di London.
Aku dikasari gadis berusia tiga belas tahun. Aku bersembunyi
di tong sampah. Dan sekarang, untuk menutup segalanya, aku
meringkuk di atap Westminster Abbey, berpura-pura menjadi
patung gargoyle. Keadaan tak mungkin lebih buruk daripada
ini.
Seberkas sinar matahari terbit menimpa bagian pinggir
Amulet, yang tergantung di leherku yang berlumut. Amulet
itu memantulkan sinar matahari, terang bagaikan pantulan
kaca. Otomatis aku mengangkat sebelah cakarku untuk me89
nutupinya, kalau-kalau ada yang mengawasi, tapi aku tak terlalu
khawatir.
Aku meringkuk dalam tong sampah di gang itu selama dua
jam, cukup lama untuk beristirahat, dan bau sayuran busuk

terserap di sekujur tubuhku. Lalu ide cemerlang muncul di


kepalaku untuk menyamar sebagai salah satu patung penghuni
gereja. Di sana aku terlindung ornamen-ornamen sihir yang
melimpah di dalam gedung?ornamen-ornamen itu menutupi
sinyal Amulet.1 Dari sudut pandangku yang menguntungkan,
sekarang aku melihat beberapa sphere di kejauhan, tapi tak ada
yang mendekat. Akhirnya malam berlalu, dan para penyihir
yang memburuku telah lelah. Sphere-sphere yang berkeliaran di
langit meredup dan padam. Ketegangan telah lewat.
Ketika matahari terbit, aku menunggu panggilan dengan
tidak sabar. Anak lelaki itu berkata akan memanggilku saat
subuh, tapi tak diragukan lagi dia akan terus tidur seperti
umumnya remaja malas.
Sementara menunggu, aku menyusun pikiran-pikiranku.
Satu hal yang pasti adalah anak itu telah dikibuli penyihir dewasa,
semacam bayang-bayang pengaruh yang ingin mengalihkan
kesalahan kepada anak itu. Tak sulit menebaknya?tak ada
anak seumurnya yang sanggup memanggilku untuk melaksanakan
tugas sebesar ini sendiri. Kemungkinannya adalah si penyihir
misterius ini ingin menjatuhkan Lovelace dan merebut
kekuatan Amulet. Jika benar, dia mempertaruhkan segalanya.
1 Banyak penyihir besar dari abad kesembilan belas dan kedua puluh dimakamkan
di Westminster Abbey setelah (dan dalam satu atau dua kasus, beberapa saat
sebelum) mereka meninggal. Nyaris semua membawa minimal satu artefak berkekuatan
tinggi ke dalam kubur. Ini lebih daripada sekadar untuk memamerkan
kekayaan dan kekuatan mereka, sekaligus membuat benda-benda tersebut mubazir.
Ini cara untuk dengan licik menghindari benda-benda itu jatuh ke tangan pewaris
mereka?penyihir-penyihir lain tidak mau mengambil benda-benda dari kuburan
tersebut karena takut akan pembalasan dari dunia supernatural.
90
Dilihat dari besarnya jumlah pemburu yang baru saja berhasil
kuhindari, beberapa manusia berpengaruh amat merisaukan
hilangnya amulet ini.
Bahkan jika sendirian, Simon Lovelace adalah masalah menakutkan.
Fakta bahwa dia dapat mempekerjakan (dan mengikat)
Faquarl dan Jabor membuktikan itu. Rasanya anak itu
takkan memiliki kesempatan hidup jika si penyihir menemukannya.
Lalu ada gadis itu, anak non-penyihir yang kawan-kawannya
dapat melawan sihirku dan melihat menembus ilusiku. Beberapa
abad telah berlalu sejak terakhir kali aku berurusan dengan
manusia sejenis mereka, karena itulah menemukan mereka
di London sini membuatku tertarik. Apakah mereka
mengerti atau tidak akibat kekuatan mereka, sulit diketahui.
Si gadis sepertinya tak tahu persis apa amulet ini, hanya bahwa
barang ini cukup berharga untuk dimiliki. Dia pasti tidak
berkomplot dengan Lovelace atau si bocah. Aneh... aku tak
dapat melihat apa sebetulnya kepentingan gadis itu dalam hal
ini.
Oh well, ini takkan menjadi masalahku. Sinar matahari menerpa
atap gereja. Aku mengizinkan sayap-sayapku meregang
sedikit dengan nyamannya.
Pada detik itu, panggilan datang.
Seribu kail pancing seakan menancap pada diriku. Aku ditarik
ke beberapa arah sekaligus. Bertahan terlalu lama akan
merobek inti rohku, tapi aku memang tak ingin berlama-lama.
Aku ingin segera menyerahkan Amulet dan pergi.
Dengan harapan yang menjulang tinggi dalam benakku, aku
mematuhi panggilan itu, menghilang dari atap...
...dan muncul seketika di kamar anak itu. Aku melihat sekeliling.
"Baiklah, apa ini?"

91
eBook oleh
Nurul Huda Kariem MR. MR. Collection's
"Aku memerintahkanmu, Bartimaeus, untuk mengatakan
apakah kau telah melaksanakan tugasmu dengan patuh dan
berhasil?"
"Tentu saja?memangnya menurutmu ini apa, perhiasan
imitasi?" Aku menunjuk dengan cakar gargoyle-ku ke Amulet
yang tergantung di leherku. Amulet itu bergoyang dan berpendar
ditimpa cahaya lilin yang bergetar. "Amulet Samarkand.
Benda ini tadinya milik Simon Lovelace. Sekarang jadi milikmu.
Tak lama akan menjadi milik Simon Lovelace lagi. Ambil
dan nikmatilah konsekuensinya. Aku tadi mau bertanya tentang
pentacle yang kaugambar ini: huruf kuno apa ini? Garis
tambahan ini?"
Anak lelaki itu membusungkan dada. "Pentacle Adelbrand."
Jika aku tidak berpengalaman, aku berani bersumpah dia menyeringai
mengejek, raut wajah yang tak wajar untuk orang
semuda dia.
Pentacle Adelbrand. Itu artinya masalah. Aku berlagak memeriksa
garis-garis berbentuk bintang dan lingkaran itu dengan
dramatis, mencari-cari celah kecil atau garis tidak lurus di
sapuan kapur itu. Lalu aku membaca tulisan-tulisan kuno dan
simbol-simbolnya dengan teliti.
"Aha!" aku mengaum. "Kau salah melafalkan yang ini! Dan
kau tahu apa itu artinya, bukan...?" Aku menekuk tubuhku
seperti kucing yang siap menerkam.
Wajah anak itu berubah menjadi campuran warna putih dan
merah yang menarik; bibir bawahnya bergetar; matanya
melotot. Tampaknya dia sangat ingin melarikan diri, tapi dia
tak melakukannya, maka rencanaku pun berantakan.2 Cepatcepat
dia memeriksa tulisan-tulisan di lantai.
2 Jika penyihir meninggalkan lingkarannya sementara pemanggilan berlangsung,
kuasanya terhadap si korban akan terputus. Aku berharap itu terjadi, maka aku
akan terbebas. Kebetulan, hal itu juga memungkinkan aku melangkah keluar dari
pentacle dan menyerangnya.
92
"Demon bernyali ciut! Pentacle ini rapat?mengikatmu dengan
ketat!"
"Oke, aku bohong." Tubuhku mengerut. Sayap-sayapku yang
terbuat dari batu melipat di bawah punukku. "Kau mau amulet
ini atau tidak?"
"T-taruh di dalam mangkuk itu."
Mangkuk sabun kecil terletak di lantai di antara lingkaran
terluar kedua pentacle. Aku mengambil Amulet dan dengan
rasa lega yang besar melemparkannya dengan santai ke mangkuk.
Anak lelaki itu membungkuk untuk mengambilnya. Dari
ujung mataku aku memerhatikannya dengan saksama?jika
satu kaki, satu jari, keluar dari lingkarannya, aku akan menyergapnya
lebih cepat daripada belalang yang sedang berburu.
Tapi anak itu tahu apa yang harus dilakukan. Dia mengeluarkan
sebatang ranting dari saku jaketnya yang lusuh. Di
ujung ranting itu tertempel kaitan dari kawat yang kelihatannya
mirip penjepit kertas yang bengkok-bengkok. Dengan
beberapa sodokan dan entakan, dia berhasil mengait tepi
mangkuk itu dan menariknya ke dalam lingkarannya. Lalu dia
mengambil rantai amulet itu, sambil mengernyitkan hidung.
"Uh, baunya busuk!"
"Bukan gara-gara aku. Salahkan saja Pipa Pembuangan Rotherhithe.
Jangan, kalau dipikir-pikir lagi, salahkan dirimu

sendiri. Aku menghabiskan sepanjang malam berusaha menghindari


sergapan gara-gara kau. Kau beruntung aku tak menyelam
di sana."
"Kau dikejar-kejar?" Suaranya nyaris terdengar bersemangat.
Emosi yang salah, Nak?cobalah merasa takut.
"Oleh setengah kompi makhluk halus di London." Aku memutar
bola mata batuku dan mengatupkan paruhku yang bertanduk.
"Jangan salah, Nak, mereka akan datang kemari, bermata
kuning dan haus darah, siap membekukmu. Kau akan
tak berdaya, tak memiliki perlindungan untuk melawan ke93
kuatan mereka. Kau hanya punya satu kesempatan; bebaskan
aku dari lingkaran ini dan aku akan membantumu lolos dari
genggaman mereka."3
"Kau pikir aku tolol?"
"Amulet yang berada di tanganmu telah menjawab pertanyaan
itu. Well, tak mengapa. Aku telah melaksanakan perintah,
tugasku selesai. Untuk sisa masa hidupmu yang singkat, selamat
tinggal!" Wujudku meredup, mulai lenyap. Riak-riak
kecil uap mengepul dari lantai seakan hendak menelanku dan
membawaku pergi. Cuma harapan kosong?Pentacle Adelbrand
takkan membiarkan hal itu terjadi.
"Kau tak dapat pergi! Aku memiliki tugas lain untuk engkau."
Lebih daripada segel penahanan baruku yang sekarang,
pernyataan-pernyataan kuno seperti ini membuatku sebal
setengah mati. Engkau, demon bernyali ciut?yang benar saja!
Tak ada yang menggunakan bahasa seperti itu sekarang, dan
sudah tak pernah terdengar sejak dua ratus tahun lalu. Setiap
orang bisa menganggap dia mempelajari ini semua dari buku
kuno.
Tapi ada engkau atau tidak, dia benar. Kebanyakan pentacle
biasa akan mengikatmu pada satu tugas saja. Laksanakan, lalu
kau bebas untuk pergi. Jika si penyihir membutuhkanmu lagi,
dia harus mengulangi dari awal semua ritual tetek-bengek
melelahkan untuk memanggilmu. Tapi Pentacle Adelbrand
mengenyahkan semua kerepotan itu: garis-garis dan mantramantra
tambahannya seperti mengunci pintu dengan kunci
dobel dan menahanmu secara paksa untuk tugas-tugas selanjutnya.
Ini formula sihir yang kompleks dan membutuhkan stamina
serta konsentrasi orang dewasa, dan ini memberiku
amunisi untuk seranganku berikutnya.
3 Yap, dengan menghancurkannya dengan tanganku sendiri sebelum mereka datang.
94
Aku membiarkan uap menipis. "Nah, di mana dia sekarang?"
Anak lelaki itu sibuk membolak-balik Amulet di tangannya
yang pucat. Dia menengadah heran. "Siapa yang di mana?"
"Si bos, mastermu, sang eminence grise, yang berkuasa di
balik takhta. Pria yang menyuruhmu melakukan pencurian ini,
yang memberitahumu apa yang harus kaukatakan dan harus
kaugambar. Pria yang akan berdiri tak tersentuh di balik
bayangan saat jin-jin Lovelace melemparkan mayatmu yang
tercabik-cabik ke atas atap-atap rumah London. Dia bermainmain
dengan sesuatu yang tak kaupahami, memanfaatkan kebodohan
dan kesombongan jiwa mudamu."
Pernyataanku menyakiti hatinya. Bibirnya sedikit mengerut.
"Aku ingin tahu, apa yang dikatakannya kepadamu?" Aku
berkata dengan nada sok berkuasa yang berirama: "Pekerjaan
yang baik sekali, anak muda, kau penyihir kecil terhebat yang
pernah kulihat sejak lama. Katakanlah, apakah kau ingin membangunkan
jin yang kuat? Mau? Well, mari kita lakukan! Kita

juga bisa mempermainkan seseorang?mencuri amulet?"


Anak lelaki itu tertawa. Aku tak menduganya. Aku siap
menghadapi kemarahan yang menyembur atau keputusasaan.
Tapi tidak, dia malah tertawa.
Dia membalik amulet itu untuk terakhir kali, lalu membungkuk
dan meletakkannya kembali ke mangkuk. Itu juga
tak kuduga. Dengan menggunakan ranting berkait tadi, dia
mendorong mangkuk itu kembali ke tempatnya semula di
lantai.
"Apa yang kaulakukan?"
"Mengembalikannya."
"Aku tak menginginkannya."
"Ambil."
95
Aku tak ingin saling melontarkan penghinaan sok sopan
dengan anak dua belas tahun, terutama yang dapat memaksakan
kehendaknya padaku, maka aku meraih keluar dari lingkaranku
dan memungut amulet itu.
"Sekarang apa? Saat Simon Lovelace datang, aku tak mau
mempertahankan benda ini, kau tahu? Aku akan segera mengembalikannya
disertai senyuman dan lambaian. Dan menunjukkan
di balik tirai mana kau bersembunyi sambil gemetar.
Tunggu.
Anak itu mengambil sesuatu dari saku bagian dalam jaketnya
yang kedodoran. Apakah aku sudah menyebutkan bahwa
jaket itu tiga ukuran terlalu besar untuknya? Jaket tersebut
jelas tadinya milik penyihir ceroboh, karena, meskipun telah
dipenuhi tambal sulam, jaket itu masih menunjukkan kerusakan
yang tak diragukan lagi akibat api, darah, dan cakaran
binatang. Aku berharap anak ini memiliki nasib yang sama
dengan pemilik jaket sebelumnya.
Sekarang dia memegang piringan mengilap di tangan kirinya?
cermin pengintai dari perunggu yang digosok hingga
berkilau. Dia mengusapkan tangan kanannya ke permukaan
benda itu beberapa kali dan mulai memandangi besi yang memantul
itu dengan konsentrasi tinggi. Entah imp jenis apa
yang terperangkap di dalamnya, tapi piringan itu segera merespons.
Sebentuk gambar samar mulai menjelma; anak itu
memerhatikannya dengan sungguh-sungguh. Aku terlalu jauh
untuk mengintip bayangan yang tergambar di sana, tapi sementara
anak itu sibuk, aku sendiri melihat-lihat sekeliling.
Kamarnya... aku ingin menemukan petunjuk mengenai identitasnya.
Beberapa surat yang ditujukan kepadanya, mungkin,
atau papan nama di jaketnya. Keduanya pernah menjadi petunjuk
bagiku. Aku tak mencari nama lahirnya, tentu saja?itu
96
harapan yang terlalu tinggi?tapi nama resminya bolehlah
untuk permulaan.4 Tapi aku tak beruntung. Barang yang paling
pribadi, paling intim, paling mengungkapkan siapa dirinya?
meja belajarnya?telah ditutup saksama dengan selembar
kain hitam tebal. Lemari pakaian di pojok kamar tertutup;
bufet sama saja. Ada vas kaca retak berisi bunga segar di antara
tumpukan lilin?sentuhan yang aneh, benda ini. Aku menduga
dia tak meletakkannya sendiri di sana; rupanya ada orang yang
menyukai bocah ini.
Anak itu melambaikan tangannya pada cermin pengintai
dan permukaannya redup. Dia mengembalikan piringan itu ke
sakunya, lalu menatapku tiba-tiba. Uh-oh. Ini dia.
"Bartimaeus," ia mulai, "aku memerintahkanmu membawa
Amulet Samarkand dan menyembunyikannya dalam ruang penyimpanan

benda-benda sihir milik Arthur Underwood, menyembunyikannya


sehingga dia tak dapat menemukannya, dan
melakukan hal ini dengan amat lihai sehingga tak ada seorang
pun, baik itu manusia maupun makhluk halus, dalam plane
ini atau plane-plane lain, dapat melihatmu masuk atau keluar;
aku kemudian memerintahkanmu segera kembali kepadaku,
diam-diam dan tak terlihat, untuk menunggu perintah selanjutnya.
4 Semua penyihir memiliki dua nama, nama resmi mereka dan nama lahir. Nama
lahir adalah yang diberikan orangtua mereka, dan karena nama lahir berhubungan
kuat dengan sifat dasar dan tabiat mereka, nama itu merupakan sumber kekuatan
sekaligus kelemahan mereka. Mereka merahasiakannya dari semua orang, karena
jika musuh mengetahuinya, dia dapat menguasai si pemilik nama, caranya mirip
dengan penyihir yang hanya bisa memanggil jin jika dia mengetahui nama aslinya.
Maka para penyihir menyembunyikan nama lahir mereka dengan hati-hati sekali,
menggantinya dengan nama resmi saat mereka cukup umur. Selalu berguna jika
mengetahui nama resmi penyihir?tapi jauh, jauh lebih menguntungkan jika
mengetahui nama rahasianya.
97
Karena telah mengatakannya dalam satu napas, wajahnya
membiru setelah itu.5 Aku merengut di balik alis batuku.
"Baiklah. Di mana penyihir malang ini tinggal?"
Anak lelaki itu tersenyum tipis. "Di bawah."
5 Sangat dianjurkan bila berurusan dengan entitas halus dan cerdik seperti dirik
u.
Amat biasa jika tarikan napas diartikan sebagai kaliraat yang telah selesai, yan
g
dapat mengubah arti instruksinya atau merabuat kalimat itu raenjadi tak berarti.
Jika kami dapat menyalahartikan sebuah kalimat, kami akan dengan senang hati
melakukannya.
98
Di bawah... Well, memang mengejutkan.
"Menjebak mastermu, ya? Nakal."
"Aku tidak menjebaknya. Aku hanya ingin amulet itu aman,
di balik perlindungan apa pun yang dia miliki. Takkan ada
yang menemukannya di sana." Dia berhenti sebentar. "Tapi
jika mereka menemukannya..."
"Kau akan terbebas dari tuduhan. Taktik khas penyihir. Kau
belajar lebih cepat daripada kebanyakan orang."
"Takkan ada yang menemukannya."
"Begitu menurutmu? Kita lihat saja."
Tetap saja, aku tak dapat melayang-layang di sana bergosip
sepanjang hari. Aku menyelimuti amulet itu dengan mantra,
membuatnya mengecil untuk sementara dalam bentuk sarang
laba-laba yang melayang terbawa angin. Lalu aku melesak melalui
lubang mata kayu pada lempengan papan terdekat, merayap
sebagai asap menembus celah pada lantai, dan dalam
wujud laba-laba merangkak dengan hati-hati keluar dari retakan
langit-langit ruangan yang berada tepat di bawah.
99
a
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's
Ruangan itu kamar mandi kosong. Pintunya terbuka; aku
berlari menuju pintu melalui eternit secepat delapan kaki dapat
membawaku. Sembari jalan, aku menggeleng-gelengkan rahangku
mengingat kekurangajaran anak itu.
Menjebak penyihir lain: itu hal biasa. Sudah lumrah bila
menjadi penyihir, karena berhubungan dengan daerah kekuasaan.
1 Tapi menjebak mastermu sendiri, itu baru luar biasa?bahkan
sungguh unik pada penyihir dua belas tahun. Tentu, setelah

dewasa, para penyihir kadang kala melakukan hal-hal yang


melanggar aturan, tapi tidak saat mereka baru saja memulai;
tidak saat mereka baru saja mempelajari peraturannya.
Bagaimana aku bisa yakin penyihir yang dimaksud adalah
masternya? Well, kecuali praktik yang telah lama dilakukan
sekarang diubah dan murid-murid penyihir dibawa dengan bus
ke sekolah berasrama (nyaris tak mungkin terjadi), tak ada
penjelasan lain. Para penyihir mendekap ilmu pengetahuan
dekat dengan jiwa mereka yang keriput, melindungi kekuatan
dengan tamak seperti orang kikir mendekap emas mereka, dan
mereka hanya akan mewariskannya dengan penuh kehatihatian.
Sejak zaman Median Magi, murid-murid selalu tinggal
sendiri di rumah guru mereka?satu master untuk satu murid,
menerima pelajaran mereka dalam kerahasiaan dan diam-diam.
1 Para penyihir adalah kelompok manusia yang paling licik, dengki, dan pandai
memanipulasi di dunia, bahkan jika dibandingkan pengacara dan kalangan
akademis. Mereka memuja kekuasaan dan berusaha mendapatkannya, juga mencari
setiap kesempatan untuk menyikut pesaing mereka. Menurut perkiraan kasar,
setidaknya delapan puluh persen pemanggilan makhluk halus ada hubungannya
dengan menipu sesama penyihir, atau mempertahankan diri dari hal yang sama.
Kebalikannya, kebanyakan konfrontasi antarmakhluk halus sama sekali bukan
masalah pribadi, hanya karena konfrontasi itu terjadi bukan atas kemauan kami
sendiri. Pada saat itu, misalnya, aku tak membenci Faquarl secara pribadi; well,
sebetulnya itu bohong?aku membencinya, tapi tak lebih membencinya dari
sebelumnya. Lagi pula kebencian di antara kami membutuhkan waktu beberapa
abad, beberapa milenium malah. Para penyihir menganggap percekcokan mereka
sebagai permainan. Namun kami yang harus bersusah-payah.
100
Sejak ziggurat hingga piramid, sejak pohon ek suci hingga
gedung pencakar langit, ribuan tahun telah berlalu namun tak
ada yang berubah.
Maka kesimpulannya: sepertinya untuk melindungi dirinya
sendiri, anak tak tahu terima kasih ini mengambil risiko mengarahkan
kemurkaan penyihir berkuasa ke masternya yang tak
bersalah. Aku amat terkesan. Meskipun dia hams bersekongkol
dengan orang dewasa?beberapa musuh masternya, mungkin?
rencana jahat ini cukup mengagumkan untuk dilakukan seseorang
yang begitu muda.
Aku melangkahkan kedelapan kakiku,berjingkat-jingkat keluar
melalui pintu. Lalu aku melihat masternya.
Aku belum pernah mendengar tentang penyihir ini, Mr.
Arthur Underwood. Aku menduga dia penyihir kelas rendahan,
tukang tipu dan pembual yang tak pernah berani mengganggu
makhluk dengan tingkatan lebih tinggi seperti aku. Benar saja,
saat dia melangkah di bawahku memasuki kamar mandi (aku
keluar di saat yang tepat), penampilannya pantas menjadi penyihir
kelas dua. Penegas pasti dugaan ini bisa dilihat dari
atribut-atribut terkenal sepanjang masa yang ada pada dirinya,
yang oleh manusia lain dikaitkan dengan sihir hebat dan luar
biasa: rambut panjang tak terurus berwarna abu tembakau,
janggut panjang putih yang menjulur ke depan seperti haluan
kapal, dan sepasang alis yang rimbun.2 Aku dapat membayangkan
pria ini mengendap-endap di jalan-jalan London mengenakan
setelan beludru hitam, rambut berkibar dramatis ala
penyihir dalam dongeng di belakangnya. Dia mungkin memiliki
tongkat dengan ujung berhiaskan emas, bahkan mungkin
sehelai jubah gaya. Ya, dia cocok sekali dengan gambaran
2 Penyihir-penyihir kelas bawah mau bersusah payah mempertahankan penampilan
penyihir tradisional seperti ini. Kebalikannya, para penyihir yang benar-benar
hebat malah lebih senang berpenampilan seperti akuntan.

101
itu: amat mengesankan. Kebalikan dari sekarang, terseok-seok
memakai celana piama, menggaruk-garuk bagian tubuh yang
tak pantas disebutkan dan mengepit surat kabar yang terlipat
di ketiak.
"Martha!" Dia berteriak persis sebelum menutup pintu kamar
mandi. Wanita kecil dan bulat keluar dari kamar tidur.
Untungnya, dia berpakaian lengkap.
"Ya, Sayang?"
"Bukannya kau bilang wanita itu sudah membersihkan rumah
kemarin?"
"Ya, memang, Sayang. Kenapa?"
"Karena ada sarang laba-laba kotor tergantung di tengah
langit-langit, dengan laba-laba menjijikkan menempel di sana.
Kotor. Wanita itu harus dipecat."
"Oh, aku melihatnya. Kotor sekali. Jangan khawatir, aku
akan berbicara pada wanita itu. Dan aku akan segera membersihkannya
dengan kemoceng."
Penyihir hebat itu menggerutu dan menutup pintu. Wanita
itu menggeleng dengan raut wajah maklum dan, sambil menggumamkan
lagu riang, menghilang ke lantai bawah. Si labalaba
"menjijikkan" membuat tanda tidak sopan dengan dua
kakinya dan melangkah melintasi langit-langit, menyeret benang
sarang di belakangnya.
Butuh waktu beberapa menit untuk berkeliaran sebelum
akhirnya aku menemukan ruang kerja di bawah undakan pendek.
Dan di sini aku berhenti. Pintunya diberi perlindungan
dari orang-orang tak berkepentingan berupa jampi berbentuk
bintang bersudut lima. Ini rintangan mudah. Bintang itu
tampak dibuat dari cat merah yang mengelupas; meski begitu,
jika pelanggar yang tak sadar membuka pintunya, jebakan itu
akan bereaksi dan cat di pintu itu akan berubah kembali
menjadi wujud aslinya?bola api yang berputar.
Kedengarannya hebat, aku tahu, tapi itu sebenarnya hanya
102
trik dasar. Pelayan rumah yang mau tahu mungkin akan histeris,
tapi Bartimaeus tidak. Aku membuat Perisai di seputar
wujudku dan, sambil menyentuh bagian bawah pintu dengan
cakar kecilku, pintu itu kudorong membuka beberapa sentimeter.
Garis-garis tipis oranye muncul di bagian dalam tepi bintang
bersudut lima itu. Selama sedetik garis-garis itu mengalir bagaikan
sesuatu yang cair, menjalar mengitari bentuk bintang. Lalu
semburan api melesat dari ujung teratas bintang, memantul di
dinding dan menukik ke arahku.
Aku telah siap menghadapi hantaman dengan Perisai-ku,
tapi hantaman itu tak pernah menyentuhku.
Semburan api melewatiku dan mengenai jejak benang sarang
yang kutarik. Dan benang sarang itu menyedotnya, mengisap
api dari bintang itu bagaikan mengisap jus dengan sedotan.
Dalam sekejap semua berakhir. Api itu lenyap. Api menghilang
terisap ke dalam benang sarang, yang tetap dingin seperti semula.
Dengan sedikit terkejut, aku menoleh. Bentuk bintang yang
hangus terpapar pada pintu ruang kerja. Saat aku memerhati_
kan, jampi itu mulai berubah kembali menjadi merah?gambar
bintang tengah mengisi kembali amunisinya untuk dilontarkan
ke pengganggu selanjutnya.
Tiba-tiba aku menyadari apa yang terjadi. Jelas sekali. Amulet
Samarkand melakukan sesuatu yang memang selayaknya
dilakukan amulet-amulet?benda itu melindungi pemakainya.3
Dengan amat baik pula. Amulet itu telah menyerap jampi

3 Amulet adalah jimat pelindung; benda yang menghalau kekuatan jahat. Benda ini
objek pasif dan meskipun dapat mengisap atau memantulkan segala jenis sihir
berbahaya, amulet tak dapat secara aktif dikontrol si pemilik. Maka benda ini
kebalikan dari talisman, yang memiliki kekuatan magis aktif yang dapat digunakan
sesuai kehendak pemiliknya. Tapal kuda adalah amulet (primitif); sepatu bot tuju
h
league (bot ajaib yang bisa membuat pemakainya bergerak sejauh tujuh league
dalam satu langkah) adalah salah satu bentuk talisman.
103
tanpa kesulitan berarti. Oke-oke saja buatku. Aku membuka
Perisai-ku, menyusup ke sela pintu yang terbuka, dan masuk
ke ruang kerja Underwood.
Setelah pintu, aku tak menemukan jebakan lain dalam plane
mana pun, satu lagi tanda bahwa penyihir ini berasal dari kelas
rendahan. (Aku teringat jaringan panjang perlindungan yang
disebarkan Simon Lovelace dan telah kutembus dengan amat
mudah. Jika anak lelaki itu beranggapan amulet ini akan aman
dalam "lindungan" masternya, dia akan mendapati kebalikannya.)
Ruangan itu rapi, meski berdebu, dan berisi antara lain
lemari terkunci yang kuanggap sebagai tempat penyimpanan
harta karun. Aku masuk melalui lubang kunci, menarik benang
sarang di belakangku.
Setelah berada di dalam aku membuat mantra Iluminasi
kecil. Tumpukan benda sihir rongsokan yang menyedihkan
disusun dengan kasih sayang dalam rak kaca tiga susun. Beberapa
dari benda-benda itu, seperti Dompet Tinker, dengan
saku rahasianya yang dapat membuat uang "menghilang", sama
sekali tidak berkekuatan sihir. Membuat perkiraanku yang menyatakan
Underwood sebagai penyihir kelas dua terdengar
melebih-lebihkan. Aku nyaris merasa kasihan pada pria tua
bodoh itu. Demi keselamatannya kuharap Simon Lovelace tak
pernah mampir ke sini.
Ada totem burung Jawa di bagian belakang lemari, paruh
dan bulunya kelabu terselaput debu. Aku menarik benang sarang
di antara dompet dan kaki kelinci era Edward dan meletakkannya
di belakang totem. Bagus. Takkan ada yang menemukannya
di sana kecuali mereka mencari. Akhirnya aku
mengenyahkan mantra dari benang sarang itu, mengembalikan
ukuran dan bentuk amuletnya seperti semula.
Dengan begitu, tugasku selesai. Aku keluar dari lemari dan
ruang kerja tanpa sekali pun cegukan lalu kembali ke lantai
atas.
104
Pada saat inilah dimulai sesuatu yang menarik.
Aku sedang kembali menuju loteng, tentu saja, melalui
langit-langit yang miring di atas tangga, ketika tanpa diduga
anak lelaki itu melewatiku menuju ke bawah. Dia mengikuti
istri si penyihir, wajahnya tampak kesal. Rupanya dia baru saja
dipanggil dari kamarnya.
Aku segera menegakkan tubuh. Ini tak bagus untuknya, dan
aku dapat melihat dari wajahnya bahwa dia pun menyadarinya.
Dia seharusnya tahu aku masih berkeliaran di dekat-dekat sini.
Dia tahu aku akan kembali, bahwa perintah yang dia berikan
adalah untuk segera kembali kepadanya, diam-diam dan tak
terlihat, untuk menunggu perintah selanjutnya. Maka dari itu
dia tahu aku mungkin sedang mengikutinya sekarang, mendengarkan
dan mengamati, mengetahui lebih banyak mengenai
dirinya, dan bahwa dia tak dapat melakukan apa pun sampai
dia kembali berada di kamarnya dan berdiri kembali dalam
pentode.

Singkatnya, dia telah kehilangan kontrol situasi, keadaan


yang berbahaya bagi semua penyihir.
Aku memutar tubuh dan membuntuti mereka dengan bersemangat.
Sesuai dengan yang diperintahkan, tak ada yang
melihat atau mendengarku saat aku merayap mengikuti dari
belakang.
Wanita itu menggiring si anak lelaki ke pintu di lantai
dasar. "Dia di sana, Sayang," katanya.
"Oke," sahut anak itu. Suaranya ramah dan pasrah, tepat
seperti yang kuinginkan.
Mereka masuk, wanita itu terlebih dahulu, anak lelaki itu
kemudian. Pintu tertutup dengan amat cepat sehingga aku hams
dua kali melontarkan benang secara kilat dan mengayunkan
tubuhku melalui celah pintu sebelum tertutup. Pertunjukan
yang canggih?kalau saja ada yang menyaksikannya. Tapi
tidak. Diam-diam dan tak terlihat, itulah aku.
105
Kami berada di dalam ruang makan yang muram. Si penyihir,
Arthur Underwood, duduk sendirian di kepala meja
makan yang berwarna gelap dan mengilat. Cangkir, piring, dan
teko kopi dari perak dalam jangkauannya. Dia masih terbenam
dalam surat kabarnya, yang terletak setengah terlipat di meja.
Ketika si wanita dan anak itu masuk, dia mengangkat surat
kabar, membuka lipatannya, menyentakkan halamannya hingga
terbuka dengan bergemeresak dan melipatnya lagi. Dia tak
menengadahkan kepala.
Wanita itu melangkah mendekati meja. "Arthur, Nathaniel
sudah di sini," katanya.
Si laba-laba telah melangkah ke sudut gelap di atas pintu.
Mendengar kata-kata ini dia tetap tak bergerak, seperti biasanya
laba-laba. Tapi dalam hati dia bersorak.
Nathaniel! Bagus. Itu permulaan.
Aku senang melihat wajah si anak lelaki mengernyit. Matanya
dengan cepat menyapu sekitar, pasti bertanya-tanya apakah
aku ada di sana.
Si penyihir tak memberikan tanda bahwa dia telah mendengar,
tetap terpaku pada surat kabarnya. Istrinya mulai menyusun
ulang rakaian bunga kering yang agak menyedihkan di
rak perapian. Aku segera menebak siapa yang bertanggung
jawab atas vas bunga di kamar anak lelaki itu. Bunga-bunga
mati untuk sang suami, yang segar untuk si murid?menarik
sekali.
Sekali lagi Underwood membuka lipatan koran, membaliknya,
melipatnya lagi, melanjutkan membaca. Anak lelaki itu
berdiri diam menunggu. Karena sekarang aku terbebas dari
lingkaran dan karenanya tak berada dalam kekuasaannya secara
langsung, aku berkesempatan mempelajarinya dengan lebih
baik. Dia telah (tentu saja) menanggalkan jaket compangcampingnya
dan sekarang mengenakan celana panjang serta
jumper abu-abu. Rambutnya dibasahi dan disisir rapi ke
106
belakang. Seberkas kertas dikepit di lengannya. Dia menjelma
menjadi anak patuh.
Dia tak memiliki tanda yang jelas?tak ada tahi lalat, keanehan,
tak ada bekas luka. Rambutnya gelap dan lurus, wajahnya
cenderung kecut. Kulitnya pucat sekali. Jika dilihat sambil
lalu, dia biasa-biasa saja. Tapi dari pengamatanku yang lebih
bijaksana dan saksama, ada hal lain yang dapat dilihat: mata
yang cerdas dan penuh perhitungan; jari-jemari yang mengetukngetuk tak sabat di kertas-kertas yang dikepitnya; yang

terpenting adalah raut wajah yang berhati-hati sehingga dengan


halus dapat berubah ke ekspresi apa pun yang orang lain harapkan.
Saat ini dia menunjukkan wajah patuh dan penuh perhatian
yang akan membuat orang-orang tua tersanjung. Tapi
secara terus-menerus matanya menyapu seluruh ruangan, mencariku.
Aku akan mempermudah usahanya. Ketika dia melihat ke
arahku, aku berlari-lari kecil di tempat, melambaikan beberapa
lengan, menggotang-goyangkan perutku dengan ceria. Dia langsung
melihatku, wajahnya menjadi semakin pucat, menggigit
bibirnya. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa terhadapku tanpa
membongkar rahasianya.
Di pertengahan tarianku, Underwood tiba-tiba menggerutu
sebal dan memukulkan punggung tangannya pada surat kabar
yang dibacanya. "Lihat ini, Martha," katanya. "Makepiece
memenuhi teater lagi dengan omong-kosong dari timurnya.
Angsa-angsa Arabia... Aku bertanya padamu, pernahkah kau
mendengar rongsokan sentimental seperti ini? Tapi tetap saja
karcisnya terjual habis hingga akhir Januari! Ajaib sekali."
"Sudah habis? Oh, Arthur, tadinya aku mau pergi..."
"Dan aku mengutip: '...ketika misionaris muda yang baik
hati dari Chiswick jatuh cinta pada sesosok jin berkulit sawo
matang...'?bukan hanya roman picisan tapi juga amat berbahaya.
Menyebarkan informasi yang salah pada masyarakat."
107
"Oh, Arthur..."
"Kau pernah melihat jin, Martha. Pernahkah kau melihat
yang 'bermata sayu sehingga dapat melumerkan hatimu'? Melumerkan
wajahmu, lebih mungkin."
"Aku yakin kau benar, Arthur."
"Makepiece harusnya lebih tahu. Memalukan. Aku akan melakukan
sesuatu, tapi dia terlalu dekat dengan Perdana Menten.
"Ya, Sayang. Apa kau ingin tambah kopi, Sayang?"
"Tidak. P.M. harusnya membantu Departemen Dalam
Negeri tempat aku bekerja, daripada buang-buang waktu untuk
bersosialisasi. Empat pencurian lagi, Martha, empat di minggu
terakhir. Yang dicuri barang-barang berharga pula. Kukatakan
padamu, kita akan menuju kehancuran." Sambil berkata begitu,
Underwood mengangkat kumisnya secara ahli dengan satu
tangan dan menyelipkan bibir cangkir di antaranya. Dia minum
lama dan berisik. "Martha, ini sudah dingin. Ambilkan
aku kopi lagi."
Dengan patuh sang istri bergegas menjalankan perintah.
Ketika dia keluar, si penyihir melemparkan surat kabarnya dan
akhirnya sudi menyadari bahwa muridnya ada di sana.
Pria tua itu menggerutu. "So. Kau di sini ya?"
Berlawanan dengan rasa cemasnya, suara anak lelaki itu mantap.
"Ya, Sir. Anda memanggil saya, Sir."
"Memang. Nah, aku telah berbicara pada guru-gurumu, dan
terkecuali Mr. Sindra, semua memberikan laporan yang memuaskan."
Dia mengangkat tangan untuk menghentikan anak
lelaki itu menyemburkan kata-kata terima kasih. "Hanya Tuhan
yang tahu, kau sebetulnya tak berhak mendapatkan itu semua
setelah perbuatanmu tahun lalu. Meski begitu, biarpun memiliki
kekurangan-kekurangan tertentu, yang telah kutegaskan
padamu berulang kali, kau membuat kemajuan dengan dalil
108
pokoknya. Maka"?jeda yang dramatis?"kurasa waktunya telah
tepat bagimu untuk melaksanakan pemanggilan rohmu
yang pertama."
Dia mengatakan kalimat terakhir itu dengan nada lambat

bergaung yang tentunya disengaja agar si anak lelaki dipenuhi


perasaan kagum. Tapi Nathaniel, dengan senang aku sekarang
memanggilnya begitu, pikirannya tengah bercabang. Ada labalaba
dalam benaknya.
Underwood menyadari kegelisahan anak itu. Si penyihir mengetukngetuk meja dengan tidak sabar untuk mendapatkan
perhatian muridnya.
"Dengarkan aku, Nak!" katanya. "Jika prospek pemanggilan
roh saja membuatmu resah, kau sama sekali takkan menjadi
penyihir, bahkan tidak juga sekarang. Penyihir yang memiliki
persiapan matang tak takut pada apa pun. Kau mengerti?"
Anak lelaki itu tersadar, memusatkan perhatian pada masternya.
"Ya, Sir; tentu saja, Sir."
"Lagi pula, aku akan terus bersamamu selama pemanggilan
berlangsung, dalam lingkaran tambahan. Aku akan mempersiapkan
selusin mantra pelindung dan banyak bubuk rosemary.
Kita akan mulai dengan demon tingkat rendah, sesosok imp
natterjack muda.4 Jika sukses, kita akan melanjutkan ke
mouler."5
Ini dapat menjadi ukuran betapa tak perhatiannya si penyihir
sehingga dia tak menyadari adanya kilatan pandangan
menghina yang memancar dari mata si anak lelaki. Dia hanya
mendengar jawabannya yang bersemangat. "Ya, Sir. Saya sangat
menantikannya, Sir."
"Bagus sekali. Kau sudah mendapatkan lensa kontakmu?"
4 Imp natterjack muda: makhluk tidak menarik yang memiliki kesamaan sifat dengan
jenis katak yang membosankan.
5 Mouler. bahkan lebih tidak menarik daripada imp natterjack, jika itu mungkin.
109
"Ya, Sir. Lensanya datang minggu lalu."
"Bagus. Maka tinggal satu persiapan lagi yang harus kita
lakukan, dan itu adalah..."
"Apakah itu bunyi bel pintu, Sir?"
"Jangan menyelaku, Nak. Berani sekali kau. Persiapan nomor
satu, yang akan kutahan jika kau lancang lagi, adalah
memilih nama resmimu. Kita akan mengaturnya sore ini. Bawa
Loew's Nominative Almanac kepadaku dari perpustakaan setelah
makan siang dan kita akan memilih nama untukmu bersamasama."
"Ya, Sir."
Bahu anak itu merosot; suaranya nyaris tak terdengar. Dia
tak perlu melihatku melompat-lompat di sarangku untuk
mengetahui bahwa aku telah mendengar dan mengerti.
Nathaniel bukan hanya nama resminya! Itu nama aslinya!
Anak tolol itu memanggilku sebelum membuang nama lahirnya.
Dan sekarang aku tahu!
Underwood bergeser di kursinya. "Well, apa yang kautunggu,
Nak? Ini bukan waktunya untuk bengong?kau punya waktu
beberapa jam untuk belajar sebelum makan siang. Pergi
sana."
"Ya, Sir. Terima kasih, Sir."
Anak lelaki itu bergerak tanpa semangat ke pintu. Sambil
mengertakkan rahang dengan bahagia, aku menyusulnya seraya
membuat salto ekstraspesial ke belakang dengan tendangan
oktal.
Aku punya kesempatan membalasnya sekarang. Keadaan
menjadi agak seimbang. la tahu namaku, aku tahu namanya.
la memiliki enam tahun pengalaman, aku punya 5.010.
Perbandingan yang menguntungkan.
Aku mengikutinya naik tangga. Dia melangkah dengan lambat
sekarang, menyeret setiap langkahnya.

110
Ayolah, ayolah! Kembali ke pentacle-mu. Aku menyusulnya,
antusias untuk segera memulai kompetisi.
Oh, dadu benar-benar ada di genggaman makhluk berkaki
delapan sekarang.
111
Suatu hari di musim panas, ketika Nathaniel berusia sepuluh
tahun, dia duduk bersama gurunya di bangku batu
taman, membuat sketsa pohon horse chestnut di balik tembok.
Sinar matahari menerpa batu bata merah. Kucing abu-abu
putih duduk berselonjor di tembok, menggoyang-goyangkan
ekor perlahan ke kanan dan ke kiri. Angin sepoi-sepoi
menggerakkan dedaunan di pohon dan membawa semerbak
bau semak rhododendron dari seberang halaman. Lumut yang
menyelimuti patung pria yang memegang berkas kilat bersinar
keemasan ditimpa cahaya kuning matahari. Serangga-serangga
berdengung.
Hari itu semua berubah.
"Sabar, Nathaniel."
"Anda sering mengatakan itu, Ms. Lutyens."
"Dan aku yakin aku akan mengatakannya lagi. Kau terlalu
gelisah. Itu kelemahanmu yang terbesar."
Nathaniel menggambar garis-garis bayangan dengan kesal.
"Tapi ini sungguh mengesalkan!" serunya. "Dia tak pernah
112
a
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's
membiarkanku mencoba apa pun! Aku hanya diperbolehkan
mempersiapkan lilin, dupa, dan hal-hal lain yang dapat kulakukan
sambil tidur jungkir balik! Aku bahkan tak diizinkan
berbicara dengan mereka."
"Tindakan yang tepat," Ms. Lutyens berkata tegas. "Ingat,
aku hanya ingin kau membuat bayangan halus. Bukan garisgaris
tegas."
"Konyol." Nathaniel cemberut. "Dia tak menyadari kemampuanku.
Aku telah membaca semua bukunya, dan..."
"Semuanya?"
"Well, semua yang ada di rak buku kecilnya, dan dia berkata
semua itu akan membuatku sibuk sampai usia dua belas tahun.
Aku bahkan belum sebelas tahun, Ms. Lutyens. Maksudku,
aku telah menguasai Mantra Pengarahan dan Penguasaan, sebagian
besar; aku bisa memberikan perintah pada jin, jika dia
memanggilnya untukku. Tapi dia bahkan tak pernah membiarkan
aku mencoba."
"Aku tak tahu mana yang lebih menjengkelkan, Nathaniel?
bualanmu atau sifat pemarahmu. Kau harus berhenti mengkhawatirkan
apa yang belum kaumiliki dan menikmati apa
yang telah kaudapatkan sekarang. Taman ini, misalnya. Aku
amat senang kau mengusulkan kita belajar di sini hari ini."
"Aku selalu datang ke sini jika dapat. Tempat ini membantuku
berpikir."
"Aku tak heran. Tempat ini nyaman, tersembunyi... dan
sedikit sekali tempat seperti ini di London, maka bersyukurlah."
"Dia menemaniku." Yang dimaksud Nathaniel patungnya.
"Aku menyukainya, meskipun aku tak tahu siapa dia."
"Dia?" Ms. Lutyens menengadah dari buku sketsanya, tapi
sambil tetap menggambar. "Oh, itu gampang. Dia Gladstone."
"Siapa?"
113

"Gladstone. Pastinya kau tahu. Apakah Mr. Purcell tak


mengajarimu sejarah modern?"
"Kami membahas politik kontemporer."
"Terlalu modern. Gladstone meninggal dunia lebih dari seratus
tahun lalu. Dia pahlawan besar di masanya. Mungkin
ada ribuan patung dengan wujudnya, ditegakkan di seluruh
penjuru negeri. Memang pantas, dilihat dari sudut pandangmu.
Kau berutang padanya."
Nathaniel bingung. "Mengapa?"
"Dia satu-satunya penyihir terhebat yang pernah menjadi
perdana menteri. Dia memerintah selama tiga puluh tahun
pada masa Victoria dan membuat partai-partai penyihir yang
berseteru berada dalam kuasa pemerintah. Kau tentu telah
mendengar duelnya dengan si penyihir Disraeli di Westminster
Green? Belum? Kau harus melihat lokasinya. Bekas hangus di
dindingnya masih dipamerkan. Gladstone terkenal akan
energinya yang besar dan keteguhannya saat keadaan tidak
menguntungkan. Dia tak pernah mengubah tekadnya, bahkan
ketika keadaan menjadi buruk."
"Astaga." Nathaniel menatap wajah tegas yang memandang
dari balik lapisan lumut. Tangan batunya menggenggam berkas
kilat dengan longgar, penuh percaya diri, siap melontar.
"Mengapa dia berduel, Ms. Lutyens?"
"Kurasa Disraeli melontarkan komentar kurang sopan pada
kawan wanita Gladstone. Itu kesalahan besar. Gladstone tak
pernah membiarkan siapa pun menghina harga dirinya, atau
teman-temannya. Dia amat berkuasa dan siap menantang siapa
saja yang berani menghinanya." Ms. Lutyens meniup serpihan
arang dari sketsanya dan mengangkatnya untuk diperiksa di
bawah sinar matahari.
"Gladstone berbuat lebih banyak daripada siapa pun untuk
membuat London menjadi pusat sihir terkemuka. Pada zaman
itu Praha masih merupakan kota terkuat di dunia, tapi masa114
nya sudah lama lewat; kota itu sudah tua dan mengalami kemunduran,
para penyihirnya juga saling cekcok di antara
perkampungan kumuh. Gladstone memberikan ide-ide baru,
proyek-proyek baru. Dia menarik banyak penyihir asing ke sini
dengan menyediakan barang-barang antik tertentu. London
menjadi kota tujuan. Dan masih seperti itu, untuk baik dan
buruknya. Seperti yang kukatakan, kau harus bersyukur."
Nathaniel memandang Ms. Lutyens. "Apa maksud Anda
dengan, 'Untuk baik dan buruknya?' Apa yang buruk?"
Ms. Lutyens mengerutkan bibir. "Sistem pemerintahan sekarang
amat menguntungkan pihak penyihir dan beberapa
orang yang berada di sekitar mereka. Kurang menguntungkan
bagi yang lainnya. Sekarang?coba kulihat hasil sketsamu."
Nada suara gurunya membuat Nathaniel naik darah. Pelajaranpelajarannya bersama Mr. Purcell melintas di kepalanya.
"Anda tak boleh berbicara seperti itu tentang Pemerintah,"
katanya. "Tanpa penyihir, negeri ini tak memiliki perlindungan!
Para commoner akan berkuasa dan negara akan tumbang. Para
penyihir mengorbankan nyawa mereka demi menjaga keamanan
negeri ini! Anda harus mengingat itu, Ms. Lutyens."
Bahkan di telinganya sendiri, suaranya terdengar histeris.
"Aku yakin jika kau besar nanti kau akan memberikan
banyak pengorbanan penting, Nathaniel." Suara Ms. Lutyens
terdengar lebih tajam daripada biasanya. "Tapi kenyataannya
tak semua negara memiliki penyihir. Banyak yang berjalan baik
tanpa mereka."

"Anda tampaknya tahu segalanya."


"Untuk ukuran guru menggambar yang sederhana? Apakah
kudengar nada terkejut di suaramu?"
"Well, Anda hanya commoner?" Nathaniel segera berhenti,
wajahnya bersemu merah. "Maaf, aku tak bermaksud?"
"Benar sekali," Ms. Lutyens berkata singkat. "Aku memang
commoner. Tapi bukan cuma para penyihir yang memiliki ilmu
115
pengetahuan, kau tahu. Jauh dari itu. Lagi pula, pengetahuan
dan kecerdasan adalah hal yang berbeda sama sekali. Suatu
hari nanti kau akan mengetahuinya."
Selama beberapa menit mereka menyibukkan diri dengan
kertas dan pena tanpa berbicara. Kucing yang berada di tembok
mengibaskan kaki dengan malas ke lebah yang terbang
berputar-putar. Akhirnya Nathaniel memecahkan kesunyian.
"Apakah Anda pernah ingin menjadi penyihir, Ms. Lutyens?"
dia bertanya, dengan suara lirih.
Ms. Lutyens tertawa kering. "Aku tak mendapatkan kehormatan
itu," katanya. "Tidak, aku hanya guru seni, dan bahagia
karenanya."
Nathaniel mencoba lagi. "Apa yang Anda lakukan bila tak
berada di sini? Maksudku bila tak bersamaku."
"Aku bersama murid-murid lain, tentunya. Apa yang kaukira?
aku akan pulang ke rumah dan bersantai? Aku khawatir
Mr. Underwood tak memberiku cukup upah untuk bersantai.
Aku harus bekerja."
"Oh." Tak pernah terpikirkan oleh Nathaniel bahwa Ms.
Lutyens mungkin memiliki murid-murid lain. Kenyataan ini
membuat perutnya terasa melilit.
Mungkin Ms. Lutyens merasakannya; setelah terdiam sebentar
dia berbicara lagi dengan nada yang tak lagi terdengar
dingin. "Lagi pula," katanya, "aku amat menunggu-nunggu
waktu mengajarku di sini. Salah satu yang membuat pekerjaan
mengajarku selama seminggu menjadi lebih ceria. Kau teman
berbincang yang baik, meskipun kau masih condong terburuburu
dan menganggap dirimu tahu segalanya. Maka cerialah
dan coba kulihat kemajuanmu menggambar pohon itu."
Berlanjut ke pembahasan santai mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan seni, perbincangan mereka kembali berjalan
dengan damai, tapi tak lama setelah itu, pelajaran terhenti ka116
rena kehadiran Mrs. Underwood yang tak diduga-duga, tampaknya
dia kebingungan.
"Nathaniel!" serunya. "Di situ kau rupanya!"
Ms. Lutyens dan Nathaniel berdiri dengan hormat. "Aku
telah mencarimu ke mana-mana, Sayang," kata Mrs. Underwood,
terengah-engah. "Kupikir kau berada di kelas..."
"Saya amat menyesal, Mrs. Underwood," kata Ms. Lutyens.
"Hari amat cerah?"
"Oh, tak apa-apa. Tak masalah sama sekali. Hanya saja
suamiku membutuhkan Nathaniel segera. Dia kedatangan
tamu, dan ingin memperkenalkan mereka padanya."
"Nah, betul, kan?" Ms. Lutyens berkata lirih ketika mereka
bergegas melintasi halaman. "Mr. Underwood tak mengabaikanmu
sama sekali. Dia pasti amat puas padamu sehingga
ingin memperkenalkanmu kepada penyihir-penyihir lain. Dia
akan memamerkanmu!"
Nathaniel tersenyum lemah, tapi tak berkata apa-apa. Membayangkan
akan bertemu dengan penyihir-penyihir lain membuat
perutnya terasa mual. Selama bertahun-tahun berada di

rumah itu, tak pernah sekali pun dia diizinkan bertemu


kolega-kolega profesional masternya, yang sekali-sekali
berkunjung. Dia selalu diusir ke kamarnya, atau dikurung di
lantai atas bersama guru-gurunya. Ini perkembangan baru yang
menggairahkan, walau agak menakutkan. Dia membayangkan
ruangan yang dipenuhi pria-pria tinggi berkuasa dengan sikap
mengancam, melotot memandangnya, dengan janggut-janggut
mereka yang rimbun dan jubah-jubah mereka yang berkibar.
Lututnya gemetar karena gugup.
"Mereka ada di ruang tamu," Mrs. Underwood berkata saat
mereka memasuki dapur. "Coba lihat dirimu..." Dia membasahi
salah satu jarinya dan cepat-cepat menghapus noda
pensil dari sisi kening Nathaniel. "Amat layak. Baiklah, masuklah
ke sana."
117
Ruangan itu memang penuh; dugaan Nathaniel benar untuk
yang satu ini. Ruangan itu hangat karena suhu tubuh, bau teh,
dan usaha untuk bercakap-cakap sopan. Tapi saat Nathaniel
menutup pintu dan beringsut ke sudut untuk menempati satusatunya
ruang yang kosong, di bawah lindungan lemari
pajangan, bayangannya yang megah mengenai sekelompok pria
hebat telah menguap.
Mereka sama sekali tak berpenampilan seperti itu.
Tak ada jubah. Hanya ada sedikit janggut bagus, tapi tak
ada yang semenakjubkan janggut masternya sendiri. Kebanyakan
dari para pria itu mengenakan setelan kusut dengan dasi
yang lebih kusut lagi; hanya beberapa yang berani menambah_
kan beberapa aksesori, seperti rompi dalam abu-abu atau
saputangan yang muncul di saku atas jas. Semua mengenakan
sepatu hitam mengilat. Nathaniel merasa tersesat ke dalam
pesta kantor pengurus pekuburan. Tak ada di antara mereka
yang mirip Gladstone, dalam kekuatan atau sikap. Beberapa di
antara mereka pendek, yang lain tampak ketus dan tua, lebih
dari satu condong gempal. Mereka saling berbicara dengan
serius, menghirup teh dan menggigit biskuit kering, dan tak
ada yang meninggikan suara mereka lebih dari sekadar gumaman
setuju.
Nathaniel amat kecewa. Dia memasukkan tangannya ke
saku dan mendesah dalam-dalam.
Masternya beringsut di tengah kerumunan, menjabat tangan
dan mengeluarkan suara tawa yang terdengar seperti salakan
pendek aneh setiap kali tamunya mengatakan sesuatu yang
dikiranya bermaksud melucu. Matanya melihat Nathaniel, dia
melambaikan tangan memanggil anak itu; Nathaniel menyelinap
di antara piring teh dan perut gendut seseorang dan
menghampiri masternya.
118
* * *
"Ini dia anaknya," penyihir itu berkata dengan suara kasar,
menepuk pundak Nathaniel dengan gerakan canggung. Tiga
pria menunduk menatapnya. Salah satunya sudah tua, berambut
putih, dengan wajah merah seperti tomat terjemur
matahari dan dipenuhi kerutan-kerutan kecil. Yang seorang lagi
bertubuh gemuk, dengan mata yang selalu berair, di usia pertengahan;
kulitnya tampak dingin dan lembap, seperti ikan
yang terkapar di meja tukang ikan. Pria yang ketiga jauh lebih
muda dan lebih tampan, dengan rambut tersisir licin ke belakang,
kacamata bundar, dan gigi-gigi putih rapi bersinar sebesar
tuts xylophone. Nathaniel balik memandang mereka tanpa
bersuara.

"Sepertinya biasa saja," kata si pria lembap. Dia menyedot


hidung dan menelan sesuatu.
"Dia lamban soal belajar," kata master Nathaniel, tangannya
masih menepuk-nepuk pundak Nathaniel dengan sikap tak
acuh yang menandakan ketidaknyamanannya.
"Lamban ya?" kata si pria tua. Aksennya amat kental sehingga
Nathaniel nyaris tak mengerti apa yang dikatakannya.
"Ya, beberapa anak lelaki memang begitu. Kau harus tabah."
"Kau memukulnya?" tanya si lembap lagi.
119
"Tidak bijaksana. Pukulan akan mendorong daya ingatnya."
"Berapa umurmu, Nak?" pria yang lebih muda bertanya.
"Sepuluh, Sir," Nathaniel menjawab sopan. "Sebelas bulan
Nov..."
"Masih dua tahun lagi sebelum dia berguna bagimu, Underwood."
Pria muda itu memotong kalimat Nathaniel seakan
anak itu tak ada di sana. "Banyak memakan dana, kukira."
"Apa, untuk tempat tidur dan makan? Tentu."
"Aku bertaruh dia juga makan seperti cerpelai."
"Rakus ya?" ucap si pria tua. Dia mengangguk dengan menyesal.
"Beberapa anak lelaki memang begitu."
"Jarang"
Nathaniel mendengarkan dengan kemarahan yang nyaris tak
tertahankan. "Saya tidak rakus, Sir," katanya dengan suara yang
paling sopan. Mata si pria tua itu meliriknya, lalu memandang
ke arah lain seakan dia tak mendengarnya; tapi tangan masternya
menekan pundaknya kuat-kuat.
"Well, Nak; kau harus kembali ke pelajaranmu," katanya.
"Pergilah."
Nathaniel amat senang dapat pergi dari sana, tapi saat dia
mulai beranjak, pria muda berkacamata itu mengangkat sebelah
tangan.
"Lidahmu tajam rupanya," katanya. "Tak takut pada orang
yang lebih tua darimu."
Nathaniel tak berkata apa-apa.
"Mungkin kau berpikir kami tidak lebih baik darimu?"
Pria itu berbicara dengan santai, tapi ketajaman suaranya
amat jelas terdengar. Nathaniel segera mengetahui sebenarnya
bukan dirinyalah yang menjadi pusat sasaran dan pria muda
itu menantang masternya melalui dirinya. la merasa seharusnya
menjawab, tapi pertanyaan itu membuatnya bingung harus
menjawab ya atau tidak.
Pria muda itu menyalahartikan sikap Nathaniel yang hanya
diam. "Dia pikir dia terlalu baik untuk berbicara dengan kita
sekarang!" katanya kepada kawan-kawannya dan menyeringai.
Si pria lembap tertawa terkekeh-kekeh sambil menutup
mulut dengan tangan dan si pria tua berwajah merah menggelenggeleng. "Ck ck," katanya.
"Pergilah, Nak," Master Nathaniel berkata lagi.
"Tunggu, Underwood," si pria muda berkata, tersenyum lebar.
"Sebelum dia pergi, coba kita lihat apa saja yang telah
kauajarkan kepada anjing kecilmu ini. Akan amat menyenangkan.
Kemari, Nak."
Nathaniel menatap masternya, yang tak membalas tatapannya.
Dengan lambat dan enggan dia mendekati kelompok itu
120
Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya
di EBOOK CENTER http://jowo.jw.lt

You might also like