You are on page 1of 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Baja
Baja pada dasarnya adalah paduan besi-karbon.
Selain terdiri dari besi dan karbon baja biasanya juga
mengandung sejumlah unsur lain, baja ini memiliki kadar
karbon yang kurang dari 2%. Ada yang unsurnya ditekan
serendah mungkin ataupun justru malah ditambahkan agar
memperoleh suatu sifat tertentu. Menurut komposisinya baja
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu baja karbon dan baja
paduan. Baja karbon (biasanya juga disebut sebagai plain
carbon steel, baja biasa, atau straight carbon steels) dapat
didefinisikan sebagai baja yang hanya mengandung sejumlah
residu dari elemen selain dari karbon, kecuali mereka (seperti
silicon dan aluminium) yang ditambahkan untuk deoksidasi
dan mereka (seperti mangan dan cerium) ditambahkan untuk
menetralkan efek merusak dari residu sulfur. Sedangkan baja
paduan adalah paduan dari besi dengan tambahan dari satu
atau lebih dari elemen-elemen seperti karbon, mg, silicon,
nikel, krom, molybdenum, dan vanadium. Baja paduan
memiliki lingkup yang luas seperti low-alloy steels, stainless
steels, heat-resistant steels, dan baja perkakas. Beberapa baja
paduan seperti austenitic stainless steels tidak mengandung
penambahan karbon yang disengaja. Silicon ketika diperlukan
ditambahkan sebagai deoxidizer pada molten steel. Nikel
memberikan kekuatan dan bantuan pada pengerasan baja
melalui quenching dan tempering dalam perlakuan panas.
II.2 Stainless steel
Stainless steels adalah baja paduan dengan minimum
11% Cr; ini adalah angka yang sangat penting yang

dibutuhkan untuk membuat lapisan pasif dari kromium-oksida


untuk mencegah berkaratnya permukaan. Beberapa grade
stainless steel dibuat berdasarkan permintaan yang spesifik
yang bergantung pada kondisi lingkungan dengan maksud
untuk melindungi material. Untuk tujuan ini, elemen-elemen
lain juga ditambahkan pada baja. Nikel, tembaga, titanium,
aluminium, silikon, molybdenum, niobium, nitrogen sulfur,
dan selenium adalah yang umum digunakan untuk mencapai
grade tertentu. Stainless steel bisa diklasifikasikan menjadi
empat, martensitic, feritik, austenitic stainless steel dan
duplex.
III.3 Austenitic Stainless Steel
Austenitic stainless steel adalah jenis yang paling
banyak dalam lingkup stainless steel. Baja ini memiliki Cr
dalam rentang 16% sampai dengan 26%; nikel dalam rentang
3.35% sampai dengan 37%; paduan elemen lainya seperti
karbon dengan rentang 0.03% sampai dengan 0.25% dan Mo,
Niobium, Ti, dan tantalum adalah tambahan yang bersifat
special, biasanya digunakan untuk meningkatkan sifat
tertentu. Stainless steels bersifat tidak magnetic dan dapat
dikeraskan dengan cara cold working. Bagaimanapun mereka
tidak dapat dikeraskan dengan heat treatment. Mereka
memiliki low temperature ductility yang bagus. Beberapa
grade seperti 310 memiliki kualitas yang bagus untuk
menengah sampai temperature tinggi. Austenitic stainless
steel biasanya tahan terhadap shock resistant dan tidak mudah
untuk di machine
Kekuatan dari austenitic stainless steel sangat dapat
dibandingkan dengan mild carbon steel. Memiliki tipikal
dengan yield strength antara 200-275 Mpa. Elongasi diukur
dalam rentang 40%-60%. Grade seri 200 dari baja memiliki

yield strength yang lebih baik saat dalam kondisi di anneal.


Ketahanan korosi dari baja ini sangat bagus dalam
kebanyakan macam lingkungan.

II.4 UNS S31254


6 Mo (UNS S31254) adalah super austenitic stainless
steel dengan level Mo dan N yang tinggi, memberikan
resistensi yang tinggi terhadap pitting dan crevice corrosion
sebagaimana kekuatannya dapat dibandingkan dengan
conventional austenitic stainless steel corrosion seperti 316L.
paduan dapat memberikan ketahanan terhadap stress corrosion
cracking yang dapat membuat tube diberi perlakuan cold
forming dan dapat digunakan tanpa adanya keperluan untuk
re-anneal sampai 120oC. material ini memiliki impact strength
yang bagus pada temperature kamar dan oryogenio
temperature Umumnya material ini digunakan untuk
penanganan system air laut, desalinasi dari plant equipment,
flue gas desulphurization, chemical processing. 6Mo memiliki
spesifikasi sebagai berikut:

Tabel 2.1 Komposisi Kimia 6Mo


%C
0.020

%Si
0.80

%Mn
1.00

%P
0.030

%S
0.0010

%Cr
20

%Ni
18

%
6.1

Adapun sifat mekanik dari 6Mo adalah sebagai berikut:


Tabel 2.2 sifat mekanik 6Mo, Metric units pada temperature
20oC
Tensile
Strength
Rp 0.2
Rp. 1.0
Rm
mm
MPa
MPa
MPa
<5
310
340
675-850
>5
310
340
655-850
Untuk temperature tinggi dapat ditunjukkan dengan kurva
antara temperature dan kekuatan dari material tersebut
Wall Thickness

Proof Strength

Gambar 2.1 Kurva Strength vs Temperature pada material 6Mo

Dari kurva tersbut menunjukkan bahwa dengan naiknya


temperature pada beban/tekanan yang sama akan mengurangi
strength dari material tersebut

Elongation
Ab)
%
35
35

A2
%
35
35

II.5 Reverse Osmosis


Osmosis adalah pergrakan dari molekul pelarut
melalui membrane permeable, dari daerah yang memiliki
solute yang berkonsentrasi tinggi, dengan harapan sama
solute-nya pada dua sisi. Pergerakan dari pelarut dari yang
konsentrasi rendah menuju yang lebih tinggi, sehingga larutan
cenderung mengurangi perbedaan konsentrasi. Ketika
membrane semipermeable memisahkan dua larutan, air selalu
berdifusi dari larutan yang memiliki osmotic potential yang
lebih rendah menuju yang lebih tinggi. Pergerakan air ini yang
melalui membrane dapat disebut osmosis. Sedangkan reverse
osmosis adalah tekanan yang diberikan kepada proses osmosis
sehingga air dapat terkena gaya dan bergerak melalui
membrane. RO ini adalah teknik pemisahan yang digunakan
untuk mengkonsentrasikan atau memurnikan fluida tanpa
perubahan fasa. Proses reverse osmosis dapat dilihat pada
gambar dibawah ini:

Gambar 2.2 Gambar saat air dipisahkan membrane permeable, (a) gambar
saat terhadinya osmosis, (b) proses terjadinya reverse osmosis saat
diberinya pressure sehingga air bergerak melalui membrane

II.6 Korosi
II.6.1 Definisi Korosi
Korosi dapat diartikan sebagai suatu perusakan
suatu material karena bereaksi dengan lingkungannya.

Reaksi ini menghasilkan oksida logam, sulfida logam


atau hasil reaksi lain. Menurut jenis reaksinya, korosi
dapat digolongkan sebagai korosi kimia dan korosi
elektrokimia Korosi kimia terjadi secara murni reaksi
kimia tanpa adanya cairan elektrolit, biasanya terjadi
pada suhu yang relatif tinggi, atau dalam lingkungan
udara yang kering. Sebaliknnya, korosi elektrokimia
biasanya terjadi di lingkungan yang basah, pada
temperatur yang relatif rendah, dengan berbagai bentuk
korosi yang berbeda, mengikuti mekanisme elektrokimia
yaitu terjadinya reaksi oksidasi (reaksi anodik) dan
reakksi reduksi (reaksi katodik). (Sulistijono,1999 )
Berdasarkan National Association of Corrosion
Engineers (NACE) International, korosi didefinisikan
sebagai kerusakan bahan, biasanya logam, terjadi
karena reaksi antara logam dengan lingkungannya.
II.6.2 Sel Korosi Basah
Dalam sel korosi basah sederhana seperti pada
gambar 2.1 terdapat beberapa komponen penting
daalam sel ini, diantaranya adalah :
a. Anoda Anoda terkorosi dengan melepaskan
elektron atom logam netral untuk membentuk ion-ion.
Ion ion ini kemungkinan tetap ada pada larutan atau
bisa membentuk hasil korosi yang tidak larut. Anoda
biasanya menjadi anoda korban untuk melindungi
logam yang ingin diproteksi.
b. Katoda Katoda tidak terkorosi atau logam yang
ingin dilindungi.

c. Elektrolit Isitilah ini biasanya dihubungkan


dengan larutan, tentunya larutan yang dapat
menghantarkan listrik.
d. Hubungan Listrik Anoda dan katoda harus
terdapat kontak listrik agar arus dalam sel korosi dapat
mengalir. Jika anoda dan katoda merupakan bagian
logam yang sama, tidak diperlukan hubungan secara
fisik.

Gambar 2.3 Sel Elektrolit Sederhana

II.6.3 Jenis-jenis Korosi


Ada Sembilan jenis korosi yang umumnya logam dapat
terkena, yaitu
1. Uniform corrosion
Uniform corrosion adalah salah satu entuk
korosi yang paling umum yang terjadi pada
logam. Umumnya korosi ini adalah
pengurangan massa logam akibat dari
chemical attack atau pecahnya metallic

component menjadi metallic ions. Akibat dari


pecahnya metallic compent maka permukaan
logam terjadi pengikisan secara merata
sehingga ketebalan logam berkurang.
2. Intergranular corrosion
Intergranular corrosion atau korosi batas butir
adalah korosi yang terlokalisisr. Hal ini
biasanya menyerang batas butir. Ada atau
tidaknya korosi ini dapat diamati dari batas
butirnya, apabila ada akan menyebabkan
pengurangan dari kekuatan dan keuletan.

Gambar

2.4

Korosi batas butir

3. Galvanic corrosion
Korosi yang umumnya disebut sebagai
dissimilar metal corrosion. Ketika dua logam
secara elektrik tersambung dan ditempatkan
dlam larutan konduktif, maka muncul beda
potensial. Beda potensial ini memberikan

driving force untuk pemecahan dari material


yang kurang mulia (yang lebih negative),
sehingga logam yang potensialnya lebih
negative akan mengalami korosi.
4. Crevice corrosion
Crevice corrosion atau korosi sumuran adalah
korosi yang terlokalisir yang terjadi di atau
berdekatan pada suatu celah yang dibentuk
dari kontak metal-to-metal-to-non metal. Ini
adalah hasil dari perbedaan konsentrasi
oksigen antara didalam celah dan di daerah
sekitarnya

Gambar 2.5 Crevice corrosion

5. Pitting
Pitting corrosion adalah korosi yang
terlokalisir dengan ciri-ciri tingginya logam yang
hilang secara local. Dalam kasus yang parah,
tampak sebagai lubang yang dalam dan kecil.
Secara mekanisme awalnya terjadi lubang adalah
dengan rusaknya lapisan pasif/protektif pada
permukaan logam. Factor utama yang menyebabkan
dan mempercepat terjadinya pitting adalah kontak
elektrik antara logam yang berbeda, hal ini akan
menyebabkan terjadinya beda potensial dan akan
terjadi korosi seperti halnya galvanic corrosion.

Gambar 2.6
Pitting corrosion
6. Erosion corrosion
Erosion corrosion adalah korosi yang terjadi akibat
dari gaya mekanik. Korosi erosi dipengaruhi oleh

kecepatan, turbulensi, tubrukan, temperature,


adanya padatan yang tertahan, adanya kavitasi.

Gambar 2.7 Erosion Corrosion


7. Stress corrosion cracking
SCC dapat didefinisikan sebagai kegagalan dari
paduan dengan cracking ketika terekspos pada
lingkungan tertentu dan adanya static tensile stress.
Ini adalah gabungan antara korosi dengan tegangan.
Biasanya berbentuk retakan retakan yang tidak
mudah dilihat, terbentuk diperukaan logam dan
berusaha merambat kedalam.

Gambar 2.8 Stress Corrosion Cracking


8. Biological corrosion
Kondisi korosif yang berkembang karena adanya
mikroorganisme hidup sebagai pengaruh mereka
terhadap reaksi anodic dan katodik. Aktifitas
metabolic ini dapat secara langsung maupun tidak
dapat menyebabkan penurunan kualitas logam.
9. Selective leaching
Ketika satu elemen dari paduan dihilangkan dengan
cara korosi maka proses tersebut dapat disebut
sebagai selective leaching, atau dealloying.
(Philips A.,2007)

You might also like