You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga
disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau
organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru.
Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang
dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis,
pengobatan, pencegahan serta TB dengan keadaan khusus.
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa
sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis,
dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama
TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang
tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab
tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di
negara maju. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di
Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar
140.000 orang per tahun.
Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit
didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya
mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti
overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment.
Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa
dengan sputum basil tahan asam positif sehingga penanggulangan TB ditekankan
pada pengobatan pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB anak kurang
diperhatikan.

1.2 Batasan Masalah


Referat

ini

membahas

mengenai

patogenesis,

diagnosis

dan

penatalaksanaan TB pada anak.


1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan TB pada anak.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.

BAB II
2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga
disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau
organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Bila
kuman TB menyerang otak dan sistem saraf pusat, akan menyebabkan meningitis
TB. Bila kuman TB menginfeksi hampir seluruh organ tubuh, seperti ginjal,
jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut TB milier atau TB
ekstrapulmoner.
Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita
oleh anak <15 tahun. Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki
kontak yang signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada
tahap ini test tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika
seseorang menghirup droplet nuclei Mycobacterium tuberculosis dan kuman
tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan paru dan jaringan limfoid
sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya terdapat
granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta
didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit
TB jika terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran
kelainan rontgen toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita
tuberkulosis.
TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB).
Ketika penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan
kuman TB atau basil ke udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan
menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil
Tahan Asam) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang
lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB.
Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi sakit TB. Kuman
TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan
membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem
3

kekebalan tubuh seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi


lebih besar. Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat
secara lengkap dan teratur.
2.2 Epidemiologi
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa
sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis,
dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama
TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang
tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab
tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di
negara maju.
Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (1983-1993)
didapatkan 171 kasus TB anak usia <15 tahun. Diperkirakan jumlah kasus TB
anak per tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Di Negara berkembang, TB pada
anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara
maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%.
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di
Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar
140.000 orang per tahun. Jumlah seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat
Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penyandang
TB. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi
<12 bulan didapatkan 16,5%.
Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB
maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi
faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit. Faktor
risiko terjadinya infeksi TB antara lain anak yang terpajan dengan orang dewasa
dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan
yang tidak sehat dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti
perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.
Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Berikut ini
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi
4

sakit TB. Faktor risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir,
malnutrisi, keadaan imunokompromais, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik.
2.3 Etiologi
Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang
merupakan patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari
Mycobacterium yang paling umum menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis,
M. Bovis, M. Africanum, M. Microti dan M. Canetti. Dari kelima jenis ini M.
Tuberkulosis merupakan penyebab paling penting dari penyakit tuberkulosis pada
manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu varian humanus, bovinum dan
avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi manusia M. Tuberkulosis
varian humanus.
M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak
berkapsul, nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah, serta
memiliki ukuran panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6 mikrometer. M.
Tuberkulosis tumbuh optimal pada suhu 37-410C dan merupakan bakteri aerob
obligat yang berkembang biak secara optimal pada jaringan yang mengandung
banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel yang kaya akan lipid menjadikan
basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan komplemen. Sebagian
besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan
arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan terhadap asam sehingga disebut
BTA dan kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh karena
ketahanannya terhadap asam, M. Tuberkulosis dapat membentuk kompleks yang
stabil antara asam mikolat pada dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan
golongan aryl methan seperti carbolfuchsin, auramine dan rhodamin. Kuman ini
dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah karena kuman dalam
keadaan dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali.
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam
sitoplasma makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid.
Kuman ini bersifat aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi
jaringan yang tinggi mengandung oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini
5

adalah bagian apikal paru karena tekanan O2 pada apikal lebih tinggi dari pada
tempat lainnya.
M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning
telur dan glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara
lambat, dengan waktu generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari
media sintetik yang solid membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji
sensitivitas terhadap obat membutuhkan tambahan waktu 4 minggu. Sementara
itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3 minggu dengan
menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas
terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari.
2.4 PATOGENESIS
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 m), kuman TB dalam droplet nuklei yang
terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi
pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk
lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi
disaluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi
6

TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. 6 Pada saat
terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem
imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian
kecil kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera
dimusnakan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas).
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal
pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,
sehingga bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme
ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami
inflamsi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa
kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi.
7

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat


terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.
Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan
kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti
otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut
tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang
di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat
mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun
pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga
bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB
endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB
pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering
terjadi pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi
TB pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis
sistem skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi
dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis
ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.

8
Gambar 3.1. Patogenesis tuberkulosis

Perjalanan alamiah
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan,
sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender
terjadinya TB di berbagai organ.

Gambar 3.2. Kalender perjalanan penyakit TB primer

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin


biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada
awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema
nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi.
Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung
dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.
Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi
pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama,
yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB
terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian
karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis.
BAB III
DIAGNOSIS
4.1 Manifestasi klinis
Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat
bervariasi dan bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara
keduanya.Faktor kuman bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya,
sedangkan faktor penjamu bergantung pada usia dan kompetensi imun serta
kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.
Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu.
Tanda dan gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan
sedangkan pada kelompok dengan rentang umur diantaranya menunjukkan
clinically silent dissease.
4.1.1. Manifestasi sistemik

10

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik
karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa
manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu:
1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang
dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan
demam pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus.
2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan
dengan penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik
pertumbuhan.
3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan
tidak naik dengan adekuat (failure to thrive).
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya
multipel.
5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi
pada anak bukan merupakan gejala utama.
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
4.1.2. Manifestasi Spesifik Paru.
TB Asimptomatis
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang
diasosiasikan dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin positif tanpa
gejala klinis dan manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran
nodus limfe di rongga dada, walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadangkadang, demam subfebris ditemukan pada onset penyakit. Sekiranya anak
berkontak dengan individu dengan TB menular yg tes tuberkulin positif, diagnosis
TB asimptomatis harus segera disingkirkan setelah rontgen foto thorak dan
pemeriksaan fisik yang teliti.
TB Paru Primer
Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis dan
limfadenitis regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah daerah adenitis
yang relatif besar berbanding lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak

11

berlangsung secara predominan dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas
paratrakeal sering dinilai paling terafeksi.
Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan
terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis.
Apabila nodus limfe membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan
hiperinflasi dan berlanjut kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit
ini mirip penyakit yang disebabkan oleh aspirasi benda asing. Atelektasis
segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi bersamaan.
Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan
diameter saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang paling
sering adalah batuk non produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya
obstruksi bronkus dengan tanda adanya air trapping dan gejala wheezing jarang
dikeluhkan.
TB Paru Progresif
TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru primer.
Kompleks primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak mengalami kalsifikasi
membesar dengan stabil membentuk caseous centre yang kemudiannya meleleh
ke dalam broncus adjacent membentuk kavitas primer. Likuifikasi ini
berhubungan dengan besarnya jumlah basil TB, merupakan faktor yang
menyebabkan seorang anak dapat mentransmisikan M. tuberkulosis kepada
individu lainnya. Dapat terjadi diseminasi lanjut basil tuberkel ke lobus lain dan
ke seluruh paru. Gambaran klinis pada penyakit ini adalah bronkopneumonia
dengan demam tinggi, batuk sedang sampai berat, keringat malam, dullness pada
perkusi, rales, dan penurunan bunyi nafas.
TB Paru Kronis/Reaktivasi
Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat
jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak
yang mempunyai strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada
anak dengan diagnosis TB yang lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan
pada remaja berbanding anak dengan gambaran radiologis mirip pada orang
dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan kavitas. Anak dengan

12

penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise, penurunan berat


badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri dada dan hemoptisis.
Efusi pleura
Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau
digeneralisir, unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak
kurang dari 2 tahun dan hampir tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun.
Onset dari pleurisy berlangsung cepat mirip pneumonia bakteri, dengan gambaran
klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan penurunan bunyi nafas.
Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung beberapa minggu.
4.2 Pemeriksaan penunjang
4.2.1. Uji tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang
telah terinfeksi TB, maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan.
Uji tuberkulin cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23
2TU secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang
timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai
negatif.
Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi

10 mm

dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian


besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan
oleh imunisasi BCG atau infeksi M. atipik. Pada anak balita yang telah
mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan uji tuberkulin positif,
kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin
disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya

15 mm sangat

mungkin karena infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan


uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada
keadaan imunokompromais atau pada pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan
radiologis hasil positif yang digunakan
13

5mm.

4.2.2. Uji interferon


Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen
tertentu, diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut
telah tersensitisasi dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan
interferon gamma yang kemudian di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini
hingga saat ini belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.
4.2.3. Radiologi
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
Konsolidasi segmental/lobar
Milier
Kalsifikasi dengan infiltrat
Atelektasis
Kavitas
Efusi pleura
Tuberkuloma
4.2.4. Serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB,
mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi,
hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat
membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.
4.2.5. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan
mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan
kuman M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR.
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit
mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas
lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada
kultur hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter
spesimen. Saat ini PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum
digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.
4.2.6. Patologi Anatomik
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya
kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit.
Granuloma tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis
14

kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia


langhans.
Untuk

memudahkan

diagnosis

TB

paru

pada

anak,

IDAI

merekomendasiskan diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu


pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.
Parameter

Kontak TB

Tidak jelas

Laporan

BTA(+)

keluarga (BTA
negatif
Uji Tuberkulin

Negatif

atau

tidak jelas)
-

Positif ( 10 mm
atau 5 mm pada
keadaan

Berat

badan

/ -

Status Gizi

imunosupresi)
gizi -

BB/TB < 90%

Klinis

atau

buruk

BB/U < 80%

atau BB/TB <


70%
atau BB/U <

Demam

tanpa -

sebab yang jelas


Batuk
Pembesaran
kelenjar

koli,

aksila, inguinal
Pembengkakan
tulang

falang
Foto Thorak

3 minggu
1 cm, jumlah

> 1, tidak nyeri


-

sendi

panggul,

2 minggu

60%
-

Ada
pembengkakan

lutut,
Normal/kelainan Gambaran
tidak jelas

sugestif TB

15

Catatan:

Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.

Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.

Berat badan dinilai saat datang.

Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.

Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal


dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan
infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam
skor karena diperlakukan secara khusus.

Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak,


maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.

Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG ( 7
hari) harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan
merupakan alat diagnostik.

Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor 6, (skor maksimal


13).

Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks,
dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan
penurunan kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas,
pasien harus di rawat inap di RS.

16

Gambar 4.1 Bagan skrining tuberkulosis

BAB IV
PENATALAKSANAAN
5.1. Obat TB yang Digunakan
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R),
isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin
dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid,
etambutol, dan streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah paraaminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide,
ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin,
amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.
Isoniazid

17

Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang


sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik
terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman,
dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan
pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang
(adverse reaction) yang sangat rendah.
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah
5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali
pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300
mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak
stabi, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam
darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling
sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Anak-anak
mengeliminasi

isoniazid lebih

cepat daripada

orang dewasa, sehingga

memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada
air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah
plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien
dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian
besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar
transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan
menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar
transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan
hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila
ada gejala dan tanda klinis.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat
18

dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem


gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum
puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral
dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali
pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis rifampisin
tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.
Distribusinya sama dengan isoniazid.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang
kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum,
dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping
rifampisin

adalah

gangguan

gastrointestinal

(mual

dan

muntah),

dan

hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan


kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersamaan
isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara
menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari.
Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan
kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa
obat,

termasuk

kuinidin,

siklosporin,

digoksin,

teofiin,

kloramfenikol,

kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian


kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai digunakan untuk
anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan
menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum
bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan
diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai
dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum
puncak 45 g/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif
karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang timbul
akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman
19

pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami


efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada
anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya
adalah

hepatotoksisitas,

anoreksia,

dan

iritasi

saluran

cerna.

Reaksi

hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk


tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan
makanan.
Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada
mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap
obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25
gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam.
Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi
dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu
tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada
keadaan meningitis.
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan
etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan
buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak
yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang
terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya
pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada
anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya
tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
20

pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase


intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular
dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50
g/ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik
pada jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan
utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap
isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi
pada nervus kranialis VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran
dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal
jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati
dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf
pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.

Nama Obat

Dosis harian

Dosis maksimal

Efek Samping

(mg/kgBB/hari)

(mg/hari)

Isoniazid

5-15*

300

Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

Rifampisin**

10-20

600

Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,


trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid

15-30

2000

Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

Etambutol

15-20

1250

Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang,


buta warna merah-hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin

15-40

1000

Ototoksis, nefrotoksik

Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh


melebihi 10 mg/kgBB/hari.
21

**

Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi
dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu
jam sebelum makan.
Gambar 5.1. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya

5.1.1 Panduan Obat TB


Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga
macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase
lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk
membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang,
selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada anak setiap hari,
bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi
ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan
setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada
anak adalah panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif
diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan
hanya diberikan rifampisin dan isoniazid.
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti
milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif
diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan
etambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan
isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB
milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB
diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam
tida dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah
2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu.

22

2 Bulan

6 Bulan

9 Bulan

12 Bulan

Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid

Etambutol
Streptomisin
Prednison

Gambar 5.2. Paduan Obat Antituberkulosis


5.1.2 Evaluasi hasil pengobatan

Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan


setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada
anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan
LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau
membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan,
misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan
nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka pengobatan
dilanjutkan.
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan
secara rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti
TB milier, efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto
rontgen toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan,
sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto rontgen toraks dilakukan
setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila
pada awal pengobatan nilainya tinggi.
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan
tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan
evaluasi lebih lanjut mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi
23

adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya


pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang
lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi
evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat,
kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi.
Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat
dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu
dilakukan secara rutin.
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu
subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan
dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya
kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi
menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda bermakna dengan
pengobatan 6 bulan
5.1.3 Evaluasi efek samping pengobatan
OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang
cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek
samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak
melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15
mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan
Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat
Transaminase (SGPT) hingga 5 kali tanpa gejala atau 3 kali batas normal (40
U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta
peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun yang disertai
dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati
yang terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak
membutuhkan perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan
enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi
spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan 5 kali tanpa gejala,
24

atau 3 kali batas normal disertai dengan gejala memerlukan penghentian


rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi mengingat
pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya
penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, isoniazid dan
rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan
dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.
Apabila peningkatan enzim transaminase 5 kali tanpa gejala atau 3 kali
batas normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian
kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT
diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya
dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang
dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan
laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada
pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (fulldose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.

5.1.4 Putus obat


Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama 2
minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi
klinis saat pasien datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan
berapa lama obat telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan
selanjutnya.
5.1.5 Multi Drug Resistance (MDR) TB
Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten
terhadap dua atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan
rifampisin. Kecurigaan adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada
perbaikan

dengan

pengobatan.

Manajemen

TB

semakin

sulit

dengan

meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada beberapa


penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat tunggal,
penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang
tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat.

25

Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji


kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB
tinggi. Akan tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus
meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah
di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut
WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5 %,
sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi
directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya
1,6% saja.
5.2. Nonmedikamentosa
5.2.1 Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan
obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan
dalam menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps
dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah
dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed
treatment). Directly observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang
telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan
TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB
dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen
yaitu sebagai berikut :

Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.

Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.

Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan


langsung oleh pengawas minum obat (PMO).

Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan


evaluasi program penanggulangan TB.

5.2.2 Sumber penularan dan case finding


26

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari
sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber
penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan
anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan
radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan
sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di
sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak
disekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB
(pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.
5.2.3 Aspek edukasi dan sosial ekonomi
Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena
pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu
yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan
juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin,
dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan
medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan
kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak
tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada
orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali
pada TB berat.
5.3 Pencegahan
5.3.1 Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Gurin) diberikan pada usia sebelum 2
bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara
intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan
lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda
baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji

27

tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan


dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian
vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%.
Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan
spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap
terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di
klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG.
Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak
dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif
aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering
ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan
insidens

0,1-1%.

Kontraindikasi

imunisasi

BCG

adalah

kondisi

imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal
tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat badan
optimal.
5.3.2 Kemoprofilaksis
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan
kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya

infeksi

TB,

sedangkan

kemoprofilaksis

sekunder

mencegah

berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan


isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis
ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA
sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada akhir bulan
ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan
sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif),
maka INH profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi
status TB pasien. Jika didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah
dihentikan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk
evaluasi lebih lanjut.

28

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi


belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan
radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi
hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang
menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh
anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili,
varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan
kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam
kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis
sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan
terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai respon dan efek samping obat.

BAB V
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

6.1 Komplikasi
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis,
penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang
dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang
besar untuk menderita tuberkulosis. Kemungkinan terjadinya gangguan jalan
nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada pasien dengan pelebaran
mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.
6.2 Prognosis

29

Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman
sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa
yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya.
Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten
terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan
komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya
meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan
rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam
menjalanin pengobatan.
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin,
angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT
(terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB
milier. Tanpa terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai
100%.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru,
sehingga disebut dengan Pulmonary TB. Tetapi kuman TB juga bisa
menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih
berbahaya dari pulmonary TB.

30

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik
karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain.
Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam
lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, berat badan
turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan ,anoreksia
dengan failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang
tidak sakit dan biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu, diare
persisten serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji tuberculin, interferon,


radiologi, tes serologi, mikrobiologi dan pemeriksaan patologi anatomi.

Untuk memudahkan diagnosis dapat digunakan sistem skoring TB

Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif
dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau
lebih). Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin
(R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S).
Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah
dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.

Komplikasi yang dapat terjadi adalah Limfadenitis, meningitis,


osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke ginjal, mata,
telinga tengah dan kulit dapat terjadi.

7.2 Saran

Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB menyebabkan tingginya biaya


pengobatan yang diperlukan. Oleh karena itu, pencegahan infeksi TB
merupakan salah satu upaya penting yang harus dilakukan. Pencegahan ini
dilakukan dengan pengendalian berbagai faktor resiko infeksi TB.

Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, diperlukan usaha penyegaran


kembali tentang TB anak, khususnya bagi dokter umum maupun dokter
anak yang sering menangani kasus TB anak.
31

BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
Hardiono, dkk. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Ed.I. 2004. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Setyanto Budi,D., 2008.
Buku Ajar Respirologi Anak Ed.1
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta WHO Indonesia. 2008.
Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat
Pertama

di

Kabupaten/Kota.

Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

32

Alih

bahasa:

Tim

Adaptasi

Sudoyo W. Aru, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed ke


Jakarta:P us at P enerbitan Ilmu P enyak it D alam F ak ultas K ed
okteran U niver s ita s Indonesia, 2009; h. 988-92. Latief A, dkk.
Diagnosis Fisis Pada Anak. Ed ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto, 2003;
h.70
Disadur

w w w . TBCIndonesia.or.id.23

Agustus

2012.5 . S a m e e r

W a g l e . S ep 2, 2008.
Kapita Selekta Kedokteran. Ed ke-3. Jilid II. Jakarta: Fakultas Kedokteran
UI, 2000; h. 459-69.8.
Rudolph M. Abraham, Hoffman E. I. Julian, Rudolph D. Colin.
Buku Ajar Pediatri. Vol.2. Ed ke-20. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 2006.9.
Beh rma n E. Richard, K liegma n Rober t, Arvin M . Ann. Ilmu
K es eh ata n

Anak. Edisi ke-15 Vol. 2. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC, 2010.


Mubin Halim A. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis
dan Terapi.Ed ke-2. Jakarta: EGC, 2007; h. 230-3

33

You might also like