You are on page 1of 15

ENSIKLOPEDIA AL-TARBIYAH

Dalam literatur antropologi untuk kali pertama istilah Kyai dikenalkan oleh
Clifford Geertz tahun 1960-an lewat karyanya The Javanese Kiyayi. Baginya Kyai
merupakan satu-satunya faktor utama yang menghubungkan wacana ilmu keislaman dari
sumbernya yang asli (Haramayn) untuk selanjutnya memberi arah bagi perkembangan
budaya suatu masyarakat. Dengan kata lain Kyai dianggap sebagai perantara budaya
(Cultural Brokes).
Menurut makna asal dari istilah Kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga
jenis gelar, Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat,
seperti Kyai Garuda Kencana dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di Keraton
Yogya. Kedua, gelar kehormatan untuk orang laki-laki yang sudah tua, arif dan dihormati
oleh komunitas masyarakat dan Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada ahli
agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab
Islam klasik kepada santri, sehingga ia disebut sebagai ahli ilmu-ilmu agama Islam atau
Alim. Demikian keterangan Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren (1983).
Pada pengertian yang terakhir istilah Kyai dapat disamakan dengan istilah
Ulama yaitu ahli-ahli pengetahuan Islam dikalangan umat Islam pada umumnya.
Pengertian tersebut terlihat jelas bila ditinjau dari akar katanya dengan ilm (pengetahuan)
alam (jaga raya) alamah (tanda atau alamat) yang kesannya merujuk pada pengenalan
yang jelas terhadap suatu obyek dan karenanya Allah sendiri disebut Al-Amin karena
pengetahuannya yang amat jelas sehingga terungkap baginya hal-hal yang seperti apapun
demikian menurut Quraish Shihab dalam Mengungkap Tabir Illahi. Pada kategori ini
Kyai atau Ulama adalah pewaris para nabi (Warosa al Anbiya) yaitu meneruskan misi
dan perjuangan para nabi dalam menyampaikan ajaran Allah melalui interpretasi sistemik
atas teks suci ajaran Islam kepada masyarakat dari beberapa disiplin ilmu.

I. Variabel Kyai
Dalam masyarakat Islam Indonesia seseorang dapat memperoleh gelar
Kyai menurut H. Aboe Bakar Atjeh dalam Sejarah hidup K.H.A. Wahid Hasyim
dan Karangan Tersiar 1957 paling tidak ada 4 faktor yaitu 1) pengetahuan, 2)
kesalehan, 3) keturunan, 4) jumlah murid. Sedangkan bagi Vreden Bregt dan De
Baweanners in hun Moederland en in Singapore 1968 yang dikutip dari Karel A.

Steenbrink dalam Pesantren, Madrasah, Seklah 1986, juga menyebut 4 faktor


yaitu : 1) keturunan (seorang Kyai besar mempunyai silsilah yang cukup panjang), 2)
pengetahuan agamanya, 3) jumlah murid, 4) cara pengabdian pada masyarakat. Karel
A. Steenbrink sendiri menambahkan satu faktor yaitu sebagai pesantren wahyu antara
manusia dengan tuhannya. Berikut penjelasannya.
1.

Kapasitas Keilmuan
Kyai dengan kelebihan pengetahuannya sering dilihat sebagai
orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam,
hingga dengan demikian Kyai dianggap memiliki kedudukan yang tak
terjangkau (Jawa : Langit) yang menarik dari Kyai adalah sisi kelana dari
pencarian ilmu. Karena prinsip ajaran Islam mengajarkan bahwa perjalanan
atau kewajiban mencari ilmu tidak ada akhir. Bagi S. Soebardi dalam Santri
Religions Element as Reflected in the serat Tjentini 1971, tradisi yang
berkembang dalam lingkungan pesantren di Jawa ini barangkali merupakan
hasil aktualisasi kebudayaan antara dorongan orang Jawa untuk mencari
hakekat kehidupan dan kebijaksanaan (Wisdom) dan tradisi Islam. Dimana
berkelana mencari ilmu merupakan ciri utama sistem pendidikan tradisional.
Berikut contoh kehidupan santri kelana di abad 20 sampai menjadi
Kyai tersohor di Indonesia yang dikutip dari Zamakhsyari Dhofier dalam
Tradisi Pesantren 1982 yaitu sosok K.H. Wahab Hasbulloh.
Dilahirkan tahun 1888 Wahab Hasbullah menerima pendidikan
dasar dari ayahnya Habullah (pendiri pesantren tambak beras Jombang) sampai
umur 13 tahun, kemudian melanjutkan ke pesantren langitan Tuban selama 1
tahun. Setelah itu selama 4 tahun berguru pada Kyai Saleh dan Kyai Zainuddin
di Pesantren Mojosari Nganjuk dan mendalami Kitab Fath Al-Muin. 6 bulan
berikutnya pindah ke pesantren cempaka untuk selanjutnya memperdalam Iqra
pada Kyai Ali di Tawangsari (dekat Surabaya). Pengembarannya dilanjutkan di
Pulau Madura tepatnya di pesantren Kadenengan Bangkalan. Disana ia berguru
pada Hadiath Al-Syaikh. Kyai Kholil (tokoh sentral Kyai Jawa-Madura di akhir
abad 19) untuk memperdalam tata bahasa arab dan sastra arab selama 3 tahun,
sebelum ia belajar pada sepupunya K.H. Hasyim Asary di Tebu Ireng Jombang
atas saran Kyai Kholil. Wahab Hasbullah belakjar tafsir Al-Quran, teologi
Islam, tasawuf dibawah bimbingan Kyai Faqhuddin pengasuh pesantren
Branggahan, Kediri selama 1 tahun pengembaraan mencari ilmu rupanya
berakhir di Tebu Ireng Jombang atas didikan K.H. Hasyim Asary dengan

didikan Hadrat Al-Syaikh itulah Wahab Hisbullah kemudian mendapat gelar


Kyai.
Kapasitas keilmuan Kyai dapat juga dilihat dari Intelektual
chaing atau rantai intelektual atau Sanad, dengan proses sanad Kyai akan
memiliki status dan kemasyhuran dan dengan proses sanad, akan mendapat
keabsahan (authenticity) ilmu dan jaminan yang dimiliki sebagai seorang yang
diakui sebagai murid Kyai tertentu (ternama) dapat ia buktikan melalui mata
rantai transmisi yang ditulis rapi dan disahkan oleh sejumlah Kyai yang
seangkatan dengan dirinya. Berikut contoh transmisi ilmu tajwid yang dimiliki
oleh K.H. Munawir Krapyak, Yogyakarta, yang diterangkan dari Syekh Abdul
Karim bin Umar Al-Badri Al-Dimyati dalam Spesifikasi qirarah Imam Asyim
(Tajwid Al-Quran Versi Imam Asyim) sampai pada Rasulullah SAW .
Tabel I

Sanad Qiroah Imam Ashim dengan Siapa K.H. Munawir menelusuri


mata rantai keahlian dalam ilmu Tajwid.

1. Muhammad Rasulullah

11. Al Imam Abil Hasan bin21. S. Sulthan al Muzahi al

2. Ali Bin Zain bin Tsabit Usman bin Affan


Ubay bin Krab

3. Abd. Al Rohman Al Salma


4. Al Imam Ashim
5. Al Imam Hafsah
6. Ubaid Ibnu Al Sabbagh
7. Syaikh Abil Abbas Al Ashnani
8. Abil Hasan Tohir
9. Al Hafidz Abi Amar Al Dani
10. Ibnu Dawud Sulaiman Bin Najah

Huzail.

12. Al Imam Abu Qosim Al


Satibi

13. Al Imam Abi Hasan bin


Musa al Abbasi

14. Al Imam Abiabdillah al


Misri al Shafii

Suja bin Salim bin Ali al


Misri Muhammad bin
Khaliq

22. S. Ali bin Sulaiman al


mansuri

23. S. Hajazi
24. S. Mustofa al Azmiri

15. Shaikh Muhamad ibnu al25. S. Ahmad al Rashidi


Jazari

16. Shaikh Ahmad Sayuthi


17. Shaikh Zakariah al Ansori
18. Nawirudin al Tablawi

26. S. Ismail
27. S. Abd. Karim bin Umar al
Badriah Dimyati

28. Kyai Munawir

19. S. Tahazah al Zamani


20. S. Saifudin bin athoillah al
fadali
Sumber 2 Dhofier

2.

Keluarga (Keturunan)
Para Kyai di Jawa menganggap unit keluarga sebagai lembaga yang
paling penting. Secara sosiologis unit keluarga Kyai tidak dapat dianggap
sebagai kelompok terbuka. Karena buatnya perasaan mereka sebagai satu group
dan kuatnya keterikatan mereka kepada prinsip pernikahan Endogamous

antar sesama keluarga. Organisasi kekerabatan yang biasa di kembangkan


dengan istilah Bani dengan memasukkan semua kerabat yang disetujui
bersama sebagai titik tolak (ancestor focus) kekerabatan.
Fungsi bani tidak hanya melestarikan keharmonisan dan
keakraban hubungan kekerabatan dengan jumlah anggota kerabat yang lebih
luas tetapi juga untuk melestarikan perkawinan yang bersifat Endogamonis
(perkawinan antar kerabat). Dari sisi kekerabatan ini biasanya keluarga telah
menyiapkan keturunan laki-laki untuk dinobatkan sebagai Kyai dengan gelar
Gus. Berikut hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis A. PP. Komaruddin
Bringat Gresik; penelusuran geneologis Kyai Pemangku Pondok yaitu
K.H.R. Ahmad Muhamad Al-Hanad terdapat dalam pokok ancestor focusnya,
yaitu, dari pihak ibu silsilahnya berfocus pada Sunan Ampel Surabaya, sedang
dari pihak ayahnya berfocus pada Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir / Sultan
Pajang).
Ahmad M.A. bin Sholeh bin Aminah binti Moh. Nawawi bin
Rosiyah binti Harun bin Qomarudin bin Samidun bin Nyai Jonah binti Kyai
Dento bin Kyai Jamali bin Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya Pajang).
Ahmad M.A. bin Khodijah binti Ismail bin Mohm Nawawi bin
Rosiyah bin Harun bin Hafsoh binti Abu Hafsah nin Nyai Sholihah binti Kyai
Abdul Qohar bin Dawud bin Kyai Muhammad bin Nyai Panyuran binti Syayid
Muhamad bin Nyai Ageng Panjuran binti R. Rahmad (Sunan Ampel).
3.

Kesalehan (Ortopraksi)
Tugas utama Kyai adalah mengajar dan mendidik santri agar
menguasai nilai-nilai ajaran Islam serta mengejawantahkan dalam kehidupan
sehari-hari. Kyai yang baik hendaknya selalu bersedia memberikan pelajaran,
perintah dan nasehat yang baik kepada umat. Yang terpenting dari karakteristik
kesalehan kyai adalah selalu berusaha dan mempertahankan pada masalah
kesucian rohaniah (Sabar, nrimo, loman akas) sehingga timbul daya kharisma,
daya karomah dan daya berkah. Pada posisi ini Kyai adalah sosok bapak
spiritual bagi umat (139-Arifin).

4.

Jumlah Santri
Biasanya seorang Kyai dianggap cukup representatif apabila Kyai
tersebut mempunyai santri baik yang tetap maupun tidak. Hampir keseluruhan
sebuah pesantren yang dipimpin oleh kyai yang kharisma mempunyai

kecenderungan

mempunyai

santri

yang

banyak,

misal,

Tebu

Ireng

dimpimpin ........ Tambak Beras dipimpin oleh .....dan lain sebagainya.

II. Kepemimpinan Kyai


Menurut Drs. K.H. Muhammad Tholhah Hasan (Mantan Menteri) dalam
kata sambutan pada buku Karya Imrom Arifin yang berjudul Kepemimpinan Kyai
berkenaan dengan kepemimpinan Kyai, mantan Rektor Unisma dan Menteri Agama
RI mengemukakan bahwa kepemimpinan Kyai umumnya tampil dalam empat
kategori yakni, Pertama, pemimpin masyarakat (Community Leader) jika tampil
sebagai pemimpin organisasi masyarakat atau organisasi politik. Kedua, pemimpin
keilmuan (Intellectual Leader) dalam kapasitasnya sebagai guru agama, pemberi
fatwa, rujukan hukum. Ketiga, pemimpin kerohanian (Spiritual Leader) apabila
memimpin kegiatan peribadatan menjadi mursyid Thoriqit, menjadi panutan moral
dan Keempat, pemimpin administrasi, jika berperan sebagai penanggung jawab
lembaga pendidikan, pesantren dan badan kemasyarakatan lainnya.
Tentang kepemimpinan Kyai, Dr. Imron Arifin dalam penelitian di PP.
Tebu Ireng Jombang menyimpulkan dalam dua kategori yaitu :

Pola Pemimpin Kyai


1.

Pola kharismatik yaitu pola kepemimpinan yang mengacu pada figur sentral
yang dianggap oleh komunitas pendukungnya memiliki kekuatan spiritual dari
Tuhan, kelebihan dalam berbagai bidang keilmuan, partisipasi komunitas
dalam mekanisme kepemimpinan kecil dan tidak diatur secara birokratik.

2.

Pola Tradisional yaitu suatu pola kepemimpinan yang membutuhkan legitimasi


formal komunitas pendukungnya dengan cara mencari kaitan genealogi dari
pola kepemimpinan kharismatik yang sudah ada sebelumnya. Pencarian kaitan
genealogi disini bersifat mitologi, kecenderungan lanjutan dari pola tradisional
adalah sifat religius-feodal atau upaya pewarisan fakta secara turun temurun
yang diformat dengan pengabsahan dari nilai religius.

3.

Pola rasional yaitu pola kepemimpinan yang bersifat kolektif dimana tingkat
partisipasi komunitas lebih tinggi, struktur organisasi lebih kompleks, serta
kepemimpinan tidak mengarah pada individu tapi mengarah pada kelembagaan
dan mekanisme kepemimpinan diatur secara managerial.

Gaya Kepemimpinan Kyai


1.

Gaya Religius-Paternalistik yaitu suatu pola interaksi dimana hubungan antara


Kyai dengan para santri serta para bawahan didasarkan oleh nilai-nilai
keagamaan yang disandarkan pada gaya kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW. Kyai dianggap sebagai bapak yang mempunyai hak untuk mengayomi
dan mengarahkan sesuai dengan nilai religi yang dianutnya oleh karenanya
Kyai dianggap sebagai bapak, guru pimpin religius, pewaris nabi yang wajib
dipercaya, dipatuhi dan dijadikan figur idola keteladanan.

2.

Gaya Persuasif-Paternalistik yaitu gaya kepemimpinan yang mendekati


komunitas secara persuasif dengan jalan menjual ide. Dengan demikian peran
Kyai tidak lagi sentral karena adanya partisipasi dari komponen-komponen
(kelompok) yang ikut membantu tugas-tugas Kyai.

III.Tipologi Kyai di Jawa


Dari pertumbuhan dan perkembangan Kyai atau Ulama di Jawa
menurut Adaby Darban dalam makalah yang berjudul Ulama di Jawa dalam
Perspektif Sejarah dikategorikan dalam 4 tipologi yaitu :
Pertama, Golongan Kyai atau ulama yang merangkap sebagai penguasa
pusat pemerintahan. Termasuk dalam tipe ini adalah Sunan Giri, Sunan Gunung Jati
di Cirebon, pemimpin-pemimpin itu mempunyai reputasi tinggi dalam bidang
keagamaan, politik kenegaraan dan otoritas sebagai pentasbih para sultan di Jawa
sebelum Mataram Islam.
Kedua, Golongan Kyai atau ulama yang masih berdarah bangsawan. Hal
ini dapat terjadi, karena sering para bangsawan ataupun raja mengawinkan putranya
dengan ulama atau keluarga ulama yang tergolong dalam tipe ini diantaranya Ki
Ageng Pandu Arang, Sayid Kalkun, Panembahan Rama (masih keturunan
Penembahan Senopati Raja Mataram Pertama).
Ketiga, Golongan Kyai atau ulama sebagai alat birokrasi kerajaan,
golongan ini bertugas pada upacara keagamaan kraton, keluarga raja, penasehat raja,
urusan tempat ibadah dan makam. Disamping itu juga bertugas sebagai pemimpin
lembaga yang memberi fatwa tentang hukum-hukum agama. Istilah lain dari tipe ini
adalah Abdi Dalem Pametakan, Abdi dalem Kaji, Abdi dalem Suronoto dan lain-lain.
Keempat, Golongan Kyai atau ulama desa dan tidak berhubungan dengan
birokrasi. Golongan ini lebih akrab dan dekat dengan rakyat, serta dihormati
masyarakat sebagai elit religius.

IV. Kyai dan Masalah Kebangsaan


Citra dan peran Kyai dalam gerak dinamika bangsa dapat dirujuk dalam
beberapa penampilan pertama, sebagai pembimbing rohani bangsa, kedua,
penampung dan perumus aspirasi masyarakat dan ketiga, sebagai pemimpin dan
pengarah gerakan masyarakat,. Demikian menurut K.H. Talchah Hasan. Selanjutnya
kita akan mengalisanya dalam konteks kebangsaan yang lebih luas.
(1)

Sebagai Pembimbing Rohani Bangsa


Hampir sepanjang hidupnya, para Kyai memimpin aktivitas
keagamaan. Dengan kelebihan pengetahuan agamanya, disamping integritas
moral dan kepribadiannya, para Kyai itu selalu dipandang sebagai orang-orang
yang memahami sifat-sifat keluruhan, memberikan teladan sikap laku yang
terpuji dan sebagai idola keutuhan moral. Mereka tampak sangat akrab dengan
masyarakat, mereka lebih banyak berkomunikasi dari hati ke hati, memberikan
teladan hidup secara visual. Dengan bahasa agama suara mereka lebih cepat
dan gampang didengar oleh masyarakat.
Kesederhanaan pola hidupnya dan sikap kemasyarakatannya yang
aspiratif, menampilkan peran Kyai sebagai pembimbing yang banyak berhasil.
Hal demikian dapat dilihat juga pada peran Kyai untuk menjadikan idiom
agama sebagai motivator perjuangan bangsa disamping sebagai simbol-simbol
gerakannya. Pesantren-pesantren telah ikut mengukir sejarah kebangkitan
bangsa, menjadi pusat-pusat pembangkit kesadaran bernegara.
Prediket Kyai berhubungan dengan gelar kerohanian menampilkan
sosok Kyai sebagai pemangku masjid di Madrosah, sebagai pengajar dan
pendidik serta sebagai ahli dan penguasa hukum Islam. Otoritas kerohanian
dalam pandangan Mantred Ziemex dalam Pesantren dalam Perubahan Sosial
(1986) sosok Kyai mempunyai kecakapan yang kuat dan pancaran kepribadian
dapat menggerakkan massa, yang bersimpati padanya. Akan memberi peran
strategis sebagai pelopor dan pembangun peradaban. Bahkan Throho Throkoji
dalam Kyai dan Perubahan Sosial (1987) Kyai mempunyai otoritas sebagai
penasehat rohani dengan perangkat kemampuan dan citra yang akan
menciptakan interaksi yang tepat bagi masyarakat seperti terurai dibawah ini.
Seorang yang mempunyai kharisma......masyarakat (hal 16
catatan) Imron Arifin.

(2)

Sebagai penampung dan perumus aspirasi masyarakat

Pada saat pemerintahan kolonial Belanda mengadakan dichotomi


yang ekstrim antara wakil kekuasaan kolonial dengan wakil agama, disusul
dengan proses pembirokrasian Islam, disatu fihak para penghulu ditugasi
mengurusi segala macam kegiatan agama yang ada kaitanya dengan kekuasaan
kolonial, maka dilain fihak para Kyai sebagai ahli agama menjadi intelektual
desa yang bebas, tidak diberi hak untuk mencampuri urusan-urusan kekuasaan,
para Kyai hanya menjalankan fungsinya sebagai pembimbing masyarakat.
Dengan begitu dapat dimaklumi, bahwa segala keluhan dan ketidakpuasan
masyarakat khususnya yang ada di pedesaan menjadi tersalur kepada para
Kyai. Dalam kedudukan para Kyai seperti itu, tidak aneh jika pada hampir
setiap terjadi protes agraris zaman kolonial, para Kyai tampil sebagai
pemimpin mereka, Kyai telah berfungsi sebagai perumus aspirasi masyarakat.
Oleh karena itu banyaknya perlawanan rakyat yang dimpimpin para
ulama, sebagai contoh (hal 354) Darban.
Dalam lingkup internasional, dapat ditelusuri dari terbentuknya
komite Hijaz cikal bakal berdirinya NU klangan tradisional tahun 1926 di
Surabaya sebagai wujud kekecewaan atas konggres Islam IV Yogya tahun 1925
dan ke V di Bandung yang didominasi oleh golongan modernis.

DEMORALISASI DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM


Oleh : Drs. Hidayat, M.Si

Pengantar
Di penghujung abad 20 ini telah ditandai dengan perubahan dasyat dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat. Perubahan yang paling mencolok adalah
perkembangan tehnologi informasi dan sains, sehingga dengan sarana yang tersedia,
kehidupan manusia di dunia semakin transparan dan tanpa batas. Dampak dari perubahan
ini adalah terjadinya demoralisasi. Melemahnya daya responsif masyarakat terhadap
norma-norma baru yang berkembang, mengakibatkan terjadinya krisis moral. Hal ini
ditandai dengan lahirnya budaya permisif (serba boleh) ditengah-tengah masyarakat.
Maraknya hubungan sex bebas (diluar nikah) dikalangan muda-mudi, tingginya
pengkonsumsi obat-obat terlarang (narkoba), meningkatnya angka kriminalitas dan lainlain adalah realitas yang tak terbantahkan.
Fenomena diatas, mencerminkan bahwa di negara yang dikenal religius ini,
telah sungguh-sungguh terjadi degradasi moral. Indikator yang dapat kita tarik dari
berbagai kasus demoralisasi adalah : Pertama, secara teologis pelaku tindakan amoral tidak
lagi merasakan apa yang dia lakukan merupakan tindakan yang dikutuk oleh Tuhan.
Kedua, secara etik, tindakan yang dilakukan ditengah-tengah masyarakat tersebut, sudah
mengabaikan aspek etika entitasnya. Dua indikator jika tidak segera diatasi, tentu bangsa
kita, jauh atau dekat akan menjadi bangsa yang terbelakang (back yard).
Pertanyaan mendasar yang dapat kita kemukakan dari fenomena diatas adalah
mengapa demoralisasi bangsa kita (mayoritas muslim) semakin hari semakin
memprihatinkan ? apakah dan bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi fenomena
tersebut ? Tanpa, menafikkan aspek-aspek lainnya, lemahnya sistem pendidikan di
Indonesia (khususnya pendidikan Islam) adalah penyebab utama yang menarik untuk kita
diskusikan.

Problematika Pendidikan Islam di Indonesia


Pendidikan adalah sarana efektif untuk melakukan perubahan perilaku terhadap
kultur dan perilaku masyarakat. Menurut Al-Attas (Guru Besar Universitas Kebangsaan
Malaysia) bahwa pendidikan Islam identik dengan Tadib yang mencakup unsur ilmu,
pengajaran dan bimbingan. Hal ini berarti pendidikan Islam sebagai sarana pembentukan
profil manusia yang beradab dan mandiri. Sebagaimana hadits nabi : Addabani Robbi, Fa
ahsana Tadibi (Tuhan telah mendidik (Muhammad) dan dengan demikian menjadikan
pendidikan terbaik). Dari perspektif dasar ini, tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya
konsep pendidikan Islam selalu mengutamakan aspek keseimbangan antara kepentingan
pisik (materi), tetapi juga aspek pengetahuan (knowledge) dan sikap (afektif).
Secara jujur kita akui pendidikan agama kita selama ini tidak pernah
melahirkan manusia agamis. Bukan hanya menerima pengetahuan tentang sholat, puasa,
zakat, tetapi juga kita melakukan ibadah-ibadah ritual tersebut. Realitasnya penindasan,
korupsi, pengguna narkoba, sek bebas, dan perilaku amoral lainnya semakin hari semakin
meningkat. Perilaku keagamaan selama ini sekadar menjadi aktifitas formalistik dan belum
menyentuh pada aspek kultur (kebesaran baragama). Agama tidak lebur dalam kehidupan
sehari-hari, komunikatif dan berkembang menyertai pergaulan hidup. Tetapi sebaliknya,
agama menjadi amat jauh dengan realitas sosial.
Secara sederhana problem pendidikan Islam dapat kita rumuskan sebagai
berikut :
Pertama, pendidikan selama ini masih bersifat doktriner dan ideologis. Hal ini
berakibat rendahnya daya kritis siswa. Padahal sesungguhnya sikap kritis tersebut
merupakan dasar bagi lahirnya daya kreatif siswa. Hal ini diperparah oleh penggunaan
metode yang tidak tepat. Kedua, kurikulum pendidikan agama kita selama ini, cenderung
hanya terkonsentrasi pada masalah-masalah intelektual (kecerdasan) dan ketrampilan
(skill), tetapi mengabaikan aspek-aspek sikap (afektif). Padahal pada aspek afektif inilah
menjadi dasar terbentuknya profil individu yang memiliki daya untuk mempersepsi dan
menilai obyek yang positif dan negatif dengan cara memihak atau mendukung. Ketiga,
lemahnya aspek profesionalitas dan mentalitas guru-guru agama. Aspek profesional
menyangkut

kemampuan

guru

menjadi

pendidik

yang

menguasai

aspek-aspek

metodologis, penguasaan materi, kedisiplinan, dan lain-lain. Sedangkan aspek mental


adalah kesiapan guru untuk bersikap jujur, tekun, sopan, menjadi tauladan (Guru : Di gugu
dan ditiru). Hal ini penting untuk diperhatikan. Sebab, salah satu aspek terpenting dalam
transformasi pendidikan adalah Guru. Keempat, adanya penggunaan sistem evaluasi yang
seringkali tidak memiliki relevansi dengan sasaran evalusi. Selama ini penilaian terhadap
aspek afektif kurang mendapatkan perhatian yang serius dari guru. Penilaian dan
pengukuran yang tidak tepat, tidak akan menjadi feed back (umpan balik) yang baik dalam

proses pendidikan. Tanpa menafikkan problematika yang lain, perubahan dari empat hal
tersebut, menjadi dasar perbaikan pendidikan Islam kedepan.

Reorientasi dan Revitalisasi Pendidikan Islam


Demiralisasi bangsa Indonesia sangat terkait dengan problematika Islam itu
sendiri. Hal ini diperlukan adanya Reorientasi dan Revitalisasi Pendidikan Islam agar
pendidikan Islam dapat berfungsi sebagai : (a) Pengembangan dan peningkatan keimanan
dan ketaqwaan terhadap Allah SWT, (b) Sumber nilai, yaitu pedoman hidup bagi siswa
untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Reorientasi dan revitalisasi pendidikan Islam
ini meliputi :
1.

Mengubah pengajaran yang bersifat doktriner dan ideologis, menjadi pendidikan


yang bersifat dialogis. Oleh karena itu, diperlukan pola didik yang lebih komunikatif.
Yaitu menampatkan siswa bukan sebagai objek yang mesti menerima doktrin dan
dogma, melainkan menempatkan sebagai khalayak aktif dengan menumbuhkan
tradisi argumentasi yang kritis, sehingga siswa memiliki keterlibatan dengan
pengatahuan yang dipelajari, sehingga menjadi lebur dalam etika atau realitas sosial,
yang memiliki automaticly dalam perilaku kehidupan siswa sehari-harinya.

2.

Ranah afektif dalam pendidikan Islam harus mendapatkan perhatian yang serius dan
mendapatkan porsi yang besar dalam pendidikan Islam, disamping ranah
psikomotorik dan kognitif. Sebagai langkah aplikatif penekanan ranah afektif, maka
setiap proses pembelajaran, seharusnya dijelaskan tentang hikmah menjalankan atau
meninggalkan dan atau bahaya meninggalkan atau melaksanakan dengan sentuhan
yang mendalam. Disamping itu juga dalam pembelajaran sejarah Islam diupayakan
untuk dijelaskan hikmah dibalik peristiwa, bukan sekedar rentatan peristiwa.
Misalnya, siswa setelah mengetahui Narkoba, maka selanjutnya siswa diharapkan
memahami tingkat bahayanya atau hikmahnya. Pada aspek inilah siswa memiliki
sikap (penilaian) terhadap narkoba sehingga siswa dapat melakukan penolakan untuk
mengkonsumsi narkoba kapanpun dan dimanapun.

3.

Peningkatan profesionalisme dan mentalitas guru-guru pendidikan agama Islam. Hal


ini dapat dimulai dari rekrutmen guru-guru agama secara benar dan terbuka,
program-program peningkatan kualitas dan mental guru-guru agama, dan juga
peningkatan kesejahteraan guru-guru agama. Sehingga guru agama benar-benar dapat
menjalankan secara maksimal (profesional), terutama mulai persiapan mengajar,
proses sampai dengan evaluasi belajar.

4.

Dalam mendukung program tersebut, maka diperlukan peningkatan anggaran subsidi


pendidikan dari pemerintah, terutama pos untuk kepentingan kesejahteraan guru-guru
agama swasta.

5.

Penggunaan sistem evaluasi yang tepat terutama pada aspek evaluasi afektif.
Evaluasi terhadap sikap ini membutuhkan waktu yang lama, berkesinambungan dan
keseriusan. Pada evaluasi aspek ini, diperlukan kemampuan guru untuk membuat
nilai-nilai dasar dan indikator-indikator dari sebuah sub materi. Pada variabel inilah
fokus penilaian ini dilakukan. Sehingga aspek afektif ini secara tepat dapat dinilai
dan diukur.

ABDURRAHMAN WAHID

ABDURRAHMAN WAHID (1.1940) adalah seorang pemikir, penulis, dan


politisi Islam Indonesia. Dia merupakan salah satu pemimpin intelektual Muslim yang
paling berpengaruh di Indonesia dewasa ini. Dia juga merupakan seorang kolumnis
terkenal masalah budaya, sosial dan politik yang mendorong kontribusi Islam pada
pluralisme, keadilan sosial dan demokrasi. Dia adalah mantan Ketua Umum Tanfidziyah
(Dewan Eksekutif) Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi ulama tradisional dengan 30
juta pendukung, sebagian besar adalah penduduk pedesaan. Secara luas dia dipanggil Gus
Dur; Gus adalah penggilan hormat bagi anak laki-laki dari keluarga kiai Jawa terhormat,
sedangkan Dur adalah penggalan dari Abdurrahman.
(Persis seperti namanya,tulis majalah Tempo (25-31 Oktober 1999),
Abdurrahman Ad-Dakhil (Sang Pendobrak) Wahid memang betul-betul mendobrak
segala yang berkembang selama ini. Dobrakan meminjam istilah Tempo-Gur Dur, terjadi
pada Rabu lewat tengah hari, 20 Oktober 1999. Gus Dur menjadi Presiden Keempat
Republik Indonesia, setelah sukses meraup 373 suara dan mengalahkan perolehan
saingannya, Megawati, dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang hanya
meraup 313 suara. Proses pemilihan presiden keempat tersebut juga merupakan pemilihan
presiden yang paling demokratis dibandingkan dengan pemilihan presiden sebelumnyaRed Mizan).
Gus Dur lahir pada 1940 di Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Kakeknya
adalah Hasyim Asary (1871-1947), seorang ulama besar Mazhab Syafii, yang mendirikan
pesantren Tebu Ireng pada 1899 dan mendirikan NU pada 1926, sebagai federasi dari para

pemimpin pesantren. Ayahnya adalah Wahid Hasyim (1914-1953), seorang pemimpin NU


dan pernah menjabat Menteri Agama Republik Indonesia. Ibunya, Shalihah, adalah putri
Bisri Syansuri, pemimpin Pesantren Tambak Beras Jombang, dan salah seorang pendiri
NU.
Meskipun berlatar belakang pesantren, Gus Dur menerima pendidikan dasarnya
di sekolah rakyat di Jakarta (1947-1953), melanjutkan ke sekolah menengah umum di
Yogyakarta, dan lulus pada 1956. Kemudian dia belajar di Pesantren Tegalrejo (1956-1958)
dan Pesantren Tambak Beras (1958-1963). Sejak 1963 hingga 1970, dia pergi keluar negeri
untuk belajar di Departemen Kajian Lanjut Bahasa Arab dan Islam, Universitas Al-Azhar,
Kairo dan Fakultas Sastra, Universitas Baghdad. Sekembalinya ke Indonesia, dia mulamula menjadi dosen dan kemudian menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin, Universitas
Hasyim Asyari, Jombang, dari 1972 hingga 1974. Dia bekerja sebagai sekretaris di
Pesantren Tebu Ireng dari 1974 hingga 1979.
Pada akhir 1970-an Gus Dur dikenal luas diluar lingkungan pesantren karena
kontribusinya pada jurnal dan surat kabar utama. Dia berpartisipasi aktif dalam sejumlah
seminar, simposium dan konferensi tentang pembangunan nasional. Melalui berbagai
kesempatan inilah, dia menarik perhatian publik pada peran pesantren sebagai agen
pembangunan komunitas pedesaan dan pengembangan masyarakat demokratis di tingkat
rakyat kebanyakan. Dia juga dikenal sebagai juru bicara Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) di Indonesia, yang di dalamnya pesantren-pesantren yang mempunyai orientasi
pembangunan, mendapatkan peran penting.
Gur Dur mewakili kecenderungan neomodernisme di kalangan generasi baru
intelektual Muslim di Indonesia. Dia memperjuangkan kebebasan komunitas muslim dari
batasan-batasan

tradisionalis

dan

skripturalisme

modernis.

Dia

berusaha

keras

merekonstruksi petunjuk-petunjuk sosial-etis Islam bagi kaum Muslim masa kini melalui
penafsiran ulang yang saksama atas Al-Quran dan Sunnah dalam perspektif historis. Dia
berpendapat bahwa prinsip-prinsip bagi nilai-nilai semacam hak asasi manusia, keadilan
sosial, pemerataan pembangunan, dan demokrasi itu bersifat inheren di dalam Islam.
Dengan demikian, pencarian kaum muslim kontemporer atas nilai-nilai itu bukanlah
kompromi ideologis atau pembauran kultural dengan liberalisme Barat, melainkan suatu
upaya yang sepenuhnya berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Kesibukan ulama tradisional
dengan seluk beluk ritual dan kesibukan Islam modern dengan formalisme legal telah
menghambat ditemukannya kembali prinsip-prinsip ini sehingga meninggalkan umat
muslim dalam keadaan bodoh, terbelakang, dan miskin.
Gus Dur menganggap bahwa dalam tradisionalisme NU terdapat cukup potensi
untuk melakukan pembaruan diri NU. Dinamisme dalam pandangan dunia Syafii NU dan
metodologi yurisprudensinya, menawarkan ruang yang cukup luas untuk melakukan

adaptasi dengan situasi-situasi baru. Dia memasuki jajaran kepemimpinan nasional NU


pada 1979, mula-mula sebagai Sekretaris Muda Syuriyah (Dewan Konsultatif Ulama).
Pada Muktamar NU 1984, dia terpilih menjadi Ketua Umum Tanfidziyah untuk periode
1984-1989, dan terpilih lagi pada 1989 untuk periode lima tahun berikutnya.
Sejak 1984, Gus Dur bekerja sama dengan Ahmad Siddiq, ketua baru Syuriyah,
memulai perubahan haluan NU dengan berani. Di bawah kepemimpinan mereka NU
menerima falsafah dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi, dan menegaskan
kembali kesetiaan pada rezim yang berkuasa. NU menarik diri dari politik, memutuskan
hubungannya dengan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), sebuah koalisi empat partai
Islam. NU memutuskan untuk kembali ke identitas asalnya sebagai gerakan sosial, religius
dan pendidikan serta mengerahkan energinya untuk menyejahterakan penduduk pedesaan
yang berada dibawah pengaruhnya, dan mengonsolidasikan dan merasionalisasikan
organisasi.
Gus Dur tidak mau Indonesia menjadi negara sekular; tetapi dia juga
menentang keras bentuk fundamentalisme Islam yang mengklaim Islam sebagai jalan
hidup komprehensif yang lebih unggul dari pada rezim-rezim sekular yang ada. Dia yakin
bahwa Islam, sebagai agama wahyu, tidak boleh diturunkan derajatnya ke tatanan setingkat
ideologi buatan manusia, tetapi harus dianggap sebagai sumber abadi inspirasi moral dan
etis bagi kaum muslim di setiap rezim. Dalam pluralisme Pancasila Indonesiam baik Islam
maupun agama lain tidak boleh bertentangan dengan negara atau agama lainnya. Dalam
praktik, dia mendirikan Forum Demokrasi pada 1991 sebagai koalisi antar agama, sebagian
besar dengan cendekiawan Kristen, yang dimaksudkan sebagai gerakan untuk
mengimbangi kecenderungan eksklusifisme yang terjadi di kalangan umat muslim
belakangan ini.
Pada 23 Juli 1998, di Jakarta Gus Dur mendeklarasikan Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) dengan Ketua Umumnya Matori Abdul Jalil. Dalam pendeklarasianya, Gus
Dur mengatakan bahwa PKB ditujukan untuk menjawab dua permasalahan, yaitu agar NU
tidak berpolitik praktis, seperti telah digariskan pada Muktamar ke-27 NU pada 1984, di
Situbondo, Jawa Timur, dan sekaligus memberikan wadah bagi aspirasi politik sekitar 40
juta warga NU. Selain Gus Dur, pendiri PKB ini adalah tokoh-tokoh NU, seperti K.H.
Mustofa Bisri dan K.H. Ilyas Ruchiyat-Red. Mizan).
Gus Dur lebih merupakan seorang intelektual independen dari pada seorang
sarjana Islam konvensional atau fungsionaris. Dia banyak membaca buku sejarah, filsafat,
dan sastra dalam bahasa Arab dan Inggris, disamping literatur dalam bahasa Indonesia, dan
mempunyai banyak kawan di kalangan akademisi, penulis, dan seniman. Dia juga seorang
yang mudah bergaul dengan berbagai kalangan, baik asing maupun pribumi. Dia tajam
dalam mengkritik dan berani dalam berbeda pendapat, sering mengundang kontroversi,

namun senantiasa penuh humor serta menjalani gaya hidup sederhana dan egaliter. Dia
dianugerahi Hadiah Ramon Magsaysay, Hadiah Nobel Asia, 1993 karena berhasil
membawa organisasi muslim terbesar di Asia Tenggara sebagai kekuatan toleransi Muslim
terbesar di Asia Tenggara sebagai kekuatan toleransi agama, pemerataan pembangunan,
dan demokrasi di Indonesia.
(Setelah Gus Dur menjadi presiden, karya-karyanya-sebagian besar merupakan
kumpulan pemikiranya yang pernah dipublikasikan dipelbagai forum dan media massaserta buku-buku berisi analisis tentang pemikiran Gus Dur pun membanjiri pasar. Beberapa
karya Gus Dur, diantaranya, adalah Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (1997),
Membangun Demokrasi (1999), Tuhan Tidak Perlu Dibela (1999), Gus Dur Menjawab
Perubahan Zaman (1999), Prisma Pemikiran Gus Dur (1999), dan Melawan Melalui
Lelucon (2000)-Red.Mizan).

You might also like