Professional Documents
Culture Documents
Dalam literatur antropologi untuk kali pertama istilah Kyai dikenalkan oleh
Clifford Geertz tahun 1960-an lewat karyanya The Javanese Kiyayi. Baginya Kyai
merupakan satu-satunya faktor utama yang menghubungkan wacana ilmu keislaman dari
sumbernya yang asli (Haramayn) untuk selanjutnya memberi arah bagi perkembangan
budaya suatu masyarakat. Dengan kata lain Kyai dianggap sebagai perantara budaya
(Cultural Brokes).
Menurut makna asal dari istilah Kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga
jenis gelar, Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat,
seperti Kyai Garuda Kencana dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di Keraton
Yogya. Kedua, gelar kehormatan untuk orang laki-laki yang sudah tua, arif dan dihormati
oleh komunitas masyarakat dan Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada ahli
agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab
Islam klasik kepada santri, sehingga ia disebut sebagai ahli ilmu-ilmu agama Islam atau
Alim. Demikian keterangan Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren (1983).
Pada pengertian yang terakhir istilah Kyai dapat disamakan dengan istilah
Ulama yaitu ahli-ahli pengetahuan Islam dikalangan umat Islam pada umumnya.
Pengertian tersebut terlihat jelas bila ditinjau dari akar katanya dengan ilm (pengetahuan)
alam (jaga raya) alamah (tanda atau alamat) yang kesannya merujuk pada pengenalan
yang jelas terhadap suatu obyek dan karenanya Allah sendiri disebut Al-Amin karena
pengetahuannya yang amat jelas sehingga terungkap baginya hal-hal yang seperti apapun
demikian menurut Quraish Shihab dalam Mengungkap Tabir Illahi. Pada kategori ini
Kyai atau Ulama adalah pewaris para nabi (Warosa al Anbiya) yaitu meneruskan misi
dan perjuangan para nabi dalam menyampaikan ajaran Allah melalui interpretasi sistemik
atas teks suci ajaran Islam kepada masyarakat dari beberapa disiplin ilmu.
I. Variabel Kyai
Dalam masyarakat Islam Indonesia seseorang dapat memperoleh gelar
Kyai menurut H. Aboe Bakar Atjeh dalam Sejarah hidup K.H.A. Wahid Hasyim
dan Karangan Tersiar 1957 paling tidak ada 4 faktor yaitu 1) pengetahuan, 2)
kesalehan, 3) keturunan, 4) jumlah murid. Sedangkan bagi Vreden Bregt dan De
Baweanners in hun Moederland en in Singapore 1968 yang dikutip dari Karel A.
Kapasitas Keilmuan
Kyai dengan kelebihan pengetahuannya sering dilihat sebagai
orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam,
hingga dengan demikian Kyai dianggap memiliki kedudukan yang tak
terjangkau (Jawa : Langit) yang menarik dari Kyai adalah sisi kelana dari
pencarian ilmu. Karena prinsip ajaran Islam mengajarkan bahwa perjalanan
atau kewajiban mencari ilmu tidak ada akhir. Bagi S. Soebardi dalam Santri
Religions Element as Reflected in the serat Tjentini 1971, tradisi yang
berkembang dalam lingkungan pesantren di Jawa ini barangkali merupakan
hasil aktualisasi kebudayaan antara dorongan orang Jawa untuk mencari
hakekat kehidupan dan kebijaksanaan (Wisdom) dan tradisi Islam. Dimana
berkelana mencari ilmu merupakan ciri utama sistem pendidikan tradisional.
Berikut contoh kehidupan santri kelana di abad 20 sampai menjadi
Kyai tersohor di Indonesia yang dikutip dari Zamakhsyari Dhofier dalam
Tradisi Pesantren 1982 yaitu sosok K.H. Wahab Hasbulloh.
Dilahirkan tahun 1888 Wahab Hasbullah menerima pendidikan
dasar dari ayahnya Habullah (pendiri pesantren tambak beras Jombang) sampai
umur 13 tahun, kemudian melanjutkan ke pesantren langitan Tuban selama 1
tahun. Setelah itu selama 4 tahun berguru pada Kyai Saleh dan Kyai Zainuddin
di Pesantren Mojosari Nganjuk dan mendalami Kitab Fath Al-Muin. 6 bulan
berikutnya pindah ke pesantren cempaka untuk selanjutnya memperdalam Iqra
pada Kyai Ali di Tawangsari (dekat Surabaya). Pengembarannya dilanjutkan di
Pulau Madura tepatnya di pesantren Kadenengan Bangkalan. Disana ia berguru
pada Hadiath Al-Syaikh. Kyai Kholil (tokoh sentral Kyai Jawa-Madura di akhir
abad 19) untuk memperdalam tata bahasa arab dan sastra arab selama 3 tahun,
sebelum ia belajar pada sepupunya K.H. Hasyim Asary di Tebu Ireng Jombang
atas saran Kyai Kholil. Wahab Hasbullah belakjar tafsir Al-Quran, teologi
Islam, tasawuf dibawah bimbingan Kyai Faqhuddin pengasuh pesantren
Branggahan, Kediri selama 1 tahun pengembaraan mencari ilmu rupanya
berakhir di Tebu Ireng Jombang atas didikan K.H. Hasyim Asary dengan
1. Muhammad Rasulullah
Huzail.
23. S. Hajazi
24. S. Mustofa al Azmiri
26. S. Ismail
27. S. Abd. Karim bin Umar al
Badriah Dimyati
2.
Keluarga (Keturunan)
Para Kyai di Jawa menganggap unit keluarga sebagai lembaga yang
paling penting. Secara sosiologis unit keluarga Kyai tidak dapat dianggap
sebagai kelompok terbuka. Karena buatnya perasaan mereka sebagai satu group
dan kuatnya keterikatan mereka kepada prinsip pernikahan Endogamous
Kesalehan (Ortopraksi)
Tugas utama Kyai adalah mengajar dan mendidik santri agar
menguasai nilai-nilai ajaran Islam serta mengejawantahkan dalam kehidupan
sehari-hari. Kyai yang baik hendaknya selalu bersedia memberikan pelajaran,
perintah dan nasehat yang baik kepada umat. Yang terpenting dari karakteristik
kesalehan kyai adalah selalu berusaha dan mempertahankan pada masalah
kesucian rohaniah (Sabar, nrimo, loman akas) sehingga timbul daya kharisma,
daya karomah dan daya berkah. Pada posisi ini Kyai adalah sosok bapak
spiritual bagi umat (139-Arifin).
4.
Jumlah Santri
Biasanya seorang Kyai dianggap cukup representatif apabila Kyai
tersebut mempunyai santri baik yang tetap maupun tidak. Hampir keseluruhan
sebuah pesantren yang dipimpin oleh kyai yang kharisma mempunyai
kecenderungan
mempunyai
santri
yang
banyak,
misal,
Tebu
Ireng
Pola kharismatik yaitu pola kepemimpinan yang mengacu pada figur sentral
yang dianggap oleh komunitas pendukungnya memiliki kekuatan spiritual dari
Tuhan, kelebihan dalam berbagai bidang keilmuan, partisipasi komunitas
dalam mekanisme kepemimpinan kecil dan tidak diatur secara birokratik.
2.
3.
Pola rasional yaitu pola kepemimpinan yang bersifat kolektif dimana tingkat
partisipasi komunitas lebih tinggi, struktur organisasi lebih kompleks, serta
kepemimpinan tidak mengarah pada individu tapi mengarah pada kelembagaan
dan mekanisme kepemimpinan diatur secara managerial.
2.
(2)
Pengantar
Di penghujung abad 20 ini telah ditandai dengan perubahan dasyat dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat. Perubahan yang paling mencolok adalah
perkembangan tehnologi informasi dan sains, sehingga dengan sarana yang tersedia,
kehidupan manusia di dunia semakin transparan dan tanpa batas. Dampak dari perubahan
ini adalah terjadinya demoralisasi. Melemahnya daya responsif masyarakat terhadap
norma-norma baru yang berkembang, mengakibatkan terjadinya krisis moral. Hal ini
ditandai dengan lahirnya budaya permisif (serba boleh) ditengah-tengah masyarakat.
Maraknya hubungan sex bebas (diluar nikah) dikalangan muda-mudi, tingginya
pengkonsumsi obat-obat terlarang (narkoba), meningkatnya angka kriminalitas dan lainlain adalah realitas yang tak terbantahkan.
Fenomena diatas, mencerminkan bahwa di negara yang dikenal religius ini,
telah sungguh-sungguh terjadi degradasi moral. Indikator yang dapat kita tarik dari
berbagai kasus demoralisasi adalah : Pertama, secara teologis pelaku tindakan amoral tidak
lagi merasakan apa yang dia lakukan merupakan tindakan yang dikutuk oleh Tuhan.
Kedua, secara etik, tindakan yang dilakukan ditengah-tengah masyarakat tersebut, sudah
mengabaikan aspek etika entitasnya. Dua indikator jika tidak segera diatasi, tentu bangsa
kita, jauh atau dekat akan menjadi bangsa yang terbelakang (back yard).
Pertanyaan mendasar yang dapat kita kemukakan dari fenomena diatas adalah
mengapa demoralisasi bangsa kita (mayoritas muslim) semakin hari semakin
memprihatinkan ? apakah dan bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi fenomena
tersebut ? Tanpa, menafikkan aspek-aspek lainnya, lemahnya sistem pendidikan di
Indonesia (khususnya pendidikan Islam) adalah penyebab utama yang menarik untuk kita
diskusikan.
kemampuan
guru
menjadi
pendidik
yang
menguasai
aspek-aspek
proses pendidikan. Tanpa menafikkan problematika yang lain, perubahan dari empat hal
tersebut, menjadi dasar perbaikan pendidikan Islam kedepan.
2.
Ranah afektif dalam pendidikan Islam harus mendapatkan perhatian yang serius dan
mendapatkan porsi yang besar dalam pendidikan Islam, disamping ranah
psikomotorik dan kognitif. Sebagai langkah aplikatif penekanan ranah afektif, maka
setiap proses pembelajaran, seharusnya dijelaskan tentang hikmah menjalankan atau
meninggalkan dan atau bahaya meninggalkan atau melaksanakan dengan sentuhan
yang mendalam. Disamping itu juga dalam pembelajaran sejarah Islam diupayakan
untuk dijelaskan hikmah dibalik peristiwa, bukan sekedar rentatan peristiwa.
Misalnya, siswa setelah mengetahui Narkoba, maka selanjutnya siswa diharapkan
memahami tingkat bahayanya atau hikmahnya. Pada aspek inilah siswa memiliki
sikap (penilaian) terhadap narkoba sehingga siswa dapat melakukan penolakan untuk
mengkonsumsi narkoba kapanpun dan dimanapun.
3.
4.
5.
Penggunaan sistem evaluasi yang tepat terutama pada aspek evaluasi afektif.
Evaluasi terhadap sikap ini membutuhkan waktu yang lama, berkesinambungan dan
keseriusan. Pada evaluasi aspek ini, diperlukan kemampuan guru untuk membuat
nilai-nilai dasar dan indikator-indikator dari sebuah sub materi. Pada variabel inilah
fokus penilaian ini dilakukan. Sehingga aspek afektif ini secara tepat dapat dinilai
dan diukur.
ABDURRAHMAN WAHID
tradisionalis
dan
skripturalisme
modernis.
Dia
berusaha
keras
merekonstruksi petunjuk-petunjuk sosial-etis Islam bagi kaum Muslim masa kini melalui
penafsiran ulang yang saksama atas Al-Quran dan Sunnah dalam perspektif historis. Dia
berpendapat bahwa prinsip-prinsip bagi nilai-nilai semacam hak asasi manusia, keadilan
sosial, pemerataan pembangunan, dan demokrasi itu bersifat inheren di dalam Islam.
Dengan demikian, pencarian kaum muslim kontemporer atas nilai-nilai itu bukanlah
kompromi ideologis atau pembauran kultural dengan liberalisme Barat, melainkan suatu
upaya yang sepenuhnya berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Kesibukan ulama tradisional
dengan seluk beluk ritual dan kesibukan Islam modern dengan formalisme legal telah
menghambat ditemukannya kembali prinsip-prinsip ini sehingga meninggalkan umat
muslim dalam keadaan bodoh, terbelakang, dan miskin.
Gus Dur menganggap bahwa dalam tradisionalisme NU terdapat cukup potensi
untuk melakukan pembaruan diri NU. Dinamisme dalam pandangan dunia Syafii NU dan
metodologi yurisprudensinya, menawarkan ruang yang cukup luas untuk melakukan
namun senantiasa penuh humor serta menjalani gaya hidup sederhana dan egaliter. Dia
dianugerahi Hadiah Ramon Magsaysay, Hadiah Nobel Asia, 1993 karena berhasil
membawa organisasi muslim terbesar di Asia Tenggara sebagai kekuatan toleransi Muslim
terbesar di Asia Tenggara sebagai kekuatan toleransi agama, pemerataan pembangunan,
dan demokrasi di Indonesia.
(Setelah Gus Dur menjadi presiden, karya-karyanya-sebagian besar merupakan
kumpulan pemikiranya yang pernah dipublikasikan dipelbagai forum dan media massaserta buku-buku berisi analisis tentang pemikiran Gus Dur pun membanjiri pasar. Beberapa
karya Gus Dur, diantaranya, adalah Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (1997),
Membangun Demokrasi (1999), Tuhan Tidak Perlu Dibela (1999), Gus Dur Menjawab
Perubahan Zaman (1999), Prisma Pemikiran Gus Dur (1999), dan Melawan Melalui
Lelucon (2000)-Red.Mizan).