You are on page 1of 5

Obat Anti-inflamasi Nonsteroid, Part 1

Lanjutan dari Dismenore, Part 1


II.2 Obat Anti-inflamasi Nonsteroid
II.2.1 Jenis Obat Anti-inflamasi Nonsteroid
Obat anti-inflamasi nonstreoid (OAINS) merupakan kelompok obat yang paling banyak
dikonsumsi di seluruh dunia untuk mendapatkan efek analgetika, antipiretika, dan antiinflamasi.9 OAINS merupakan pengobatan dasar untuk mengatasi peradangan-peradangan di
dalam dan sekitar sendi seperti lumbago, artralgia, osteoartritis, artritis reumatoid, dan gout
artritis. Disamping itu, OAINS juga banyak pada penyakit-penyakit non-rematik, seperti
kolik empedu dan saluran kemih, trombosis serebri, infark miokardium, dan dismenorea.
OAINS merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat
berbeda secara kimia. Walaupun demikian, obat-obat ini mempunyai banyak persamaan
dalam efek terapi maupun efek samping.15 Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena
itu OAINS sering juga disebut sebagai obat-obat mirip aspirin (aspirin-like drug). Aspirinlike drugs dibagi dalam lima golongan, yaitu:
1. Salisilat dan salisilamid, derivatnya yaitu asetosal (aspirin), salisilamid, diflunisal
2. Para aminofenol, derivatnya yaitu asetaminofen dan fenasetin
3. Pirazolon, derivatnya yaitu antipirin (fenazon), aminopirin (amidopirin), fenilbutazon
dan turunannya
4. Antirematik nonsteroid dan analgetik lainnya, yaitu asam mefenamat dan
meklofenamat, ketoprofen, ibuprofen, naproksen, indometasin, piroksikam, dan
glafenin
5. Obat pirai, dibagi menjadi dua, yaitu (1) obat yang menghentikan proses inflamasi
akut, misalnya kolkisin, fenilbutazon, oksifenbutazon, dan (2) obat yang
mempengaruhi kadar asam urat, misalnya probenesid, alupurinol, dan sulfinpirazon.
Sedangkan menurut waktu paruhnya, OAINS dibedakan menjadi:
1. AINS dengan waktu paruh pendek (3-5 jam), yaitu aspirin, asam flufenamat, asam
meklofenamat, asam mefenamat, asam niflumat, asam tiaprofenamat, diklofenak,
indometasin, karprofen, ibuprofen, dan ketoprofen.
2. AINS dengan waktu paruh sedang (5-9 jam), yaitu fenbufen dan piroprofen.
3. AINS dengan waktu paruh tengah (kira-kira 12 jam), yaitu diflunisal dan naproksen.
4. AINS dengan waktu paruh panjang (24-45 jam), yaitu piroksikam dan tenoksikam.

5. AINS dengan waktu paruh sangat panjang (lebih dari 60 jam), yaitu fenilbutazon dan
oksifenbutazon.
KLASIFIKASI KIMIAWI OBAT ANTI-INFLAMASI NONSTEROID
Nonselective Cyclooxygenase Inhibitors

Derivat asam salisilat: aspirin, natrium salisilat, salsalat, diflunisal, cholin magnesium
trisalisilat, sulfasalazine, olsalazine

Derivat para-aminofenol: asetaminofen

Asam asetat indol dan inden: indometasin, sulindak

Asam heteroaryl asetat: tolmetin, diklofenak, ketorolak

Asam arylpropionat: ibuprofen, naproksen, flurbiprofen, ketoprofen, fenoprofen,


oxaprozin

Asam antranilat (fenamat): asam mefenamat, asam meklofenamat

Asam enolat: oksikam (piroksikam, meloksikam)

Alkanon: nabumeton

Selective Cyclooxygenase II inhibitors

Diaryl-subtiuted furanones: rofecoxib

Diaryl-subtituted pyrazoles: celecoxib

Asam asetat indol: etodolac

Sulfonanilid: nimesulid

Sumber: Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of Therapeutics, 10th ed, 2001
II.2.2 Aspek Farmakodinamik Obat Anti-inflamasi Nonsteroid
Semua OAINS atau aspirin-like drugs bersifat antipiretik, analgesik, dan anti-inflamasi.
A. Efek Analgesik
Sebagai analgesik, OAINS hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai
sedang, misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia, dismenorea dan juga efektif terhadap nyeri
yang berkaitan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan. Efek analgesiknya jauh lebih lemah
daripada efek analgesik opioat, tetapi OAINS tidak menimbulkan ketagihan dan tidak
menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Untuk menimbulkan efek analgesik,
OAINS bekerja pada hipotalamus, menghambat pembentukan prostaglandin ditempat

terjadinya radang, dan mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik
atau kimiawi.
B. Efek Antipiretik
Temperatur tubuh secara normal diregulasi oleh hipotalamus. Demam terjadi bila terdapat
gangguan pada sistem thermostat hipotalamus. Sebagai antipiretik, OAINS akan
menurunkan suhu badan hanya dalam keadaan demam. Penurunan suhu badan berhubungan
dengan peningkatan pengeluaran panas karena pelebaran pembuluh darah superfisial.
Antipiresis mungkin disertai dengan pembentukan banyak keringat. Demam yang menyertai
infeksi dianggap timbul akibat dua mekanisme kerja, yaitu pembentukan prostaglandin di
dalam susunan syaraf pusat sebagai respon terhadap bakteri pirogen dan adanya efek
interleukin-1 pada hipotalamus. Aspirin dan OAINS lainnya menghambat baik pirogen yang
diinduksi oleh pembentukan prostaglandin maupun respon susunan syaraf pusat terhadap
interleukin-1 sehingga dapat mengatur kembali thermostat di hipotalamus dan
memudahkan pelepasan panas dengan jalan vasodilatasi.
C. Efek Anti-inflamasi
Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak.
Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin, serotonin,
bradikinin, prostaglandin dan lainnya yang menimbulkan reaksi radang berupa panas, nyeri,
merah, bengkak, dan disertai gangguan fungsi. Kebanyakan OAINS lebih dimanfaatkan pada
pengobatan muskuloskeletal seperti artritis rheumatoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa.
Namun, OAINS hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan
penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki, atau mencegah kerusakan
jaringan pada kelainan muskuloskeletal.
Meskipun semua OAINS memiliki sifat analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi, namun
terdapat perbedaan aktivitas di antara obat-obat tersebut. Salisilat khususnya aspirin adalah
analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi yang sangat luas digunakan. Selain sebagai prototip
OAINS, obat ini merupakan standar dalam menilai OAINS lain. OAINS golongan para
aminofenol efek analgesik dan antipiretiknya sama dengan golongan salisilat, namun efek
anti-inflamasinya sangat lemah sehingga tidak digunakan untuk anti rematik seperti salisilat.
Golongan pirazolon memiliki sifat analgesik dan antipiretik yang lemah, namun efek antiinflamasinya sama dengan salisilat.
II.2.3 Efek Samping Obat Anti-inflamasi Nonsteroid
Selain menimbulkan efek terapi yang sama, OAINS juga memiliki efek samping yang serupa.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik yang
kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna.15 Mekanisme
kerusakan pada lambung oleh OAINS terjadi melalui berbagai mekanisme. OAINS
menimbulkan iritasi yang bersifat lokal yang mengakibatkan terjadinya difusi kembali asam
lambung ke dalam mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan. Selain itu OAINS juga
menghambat sintesa prostaglandin yang merupakan salah satu aspek pertahanan mukosa
lambung disamping mukus, bikarbonat, resistensi mukosa, dan aliran darah mukosa. Dengan
terhambatnya pembentukan prostaglandin, maka akan terjadi gangguan barier mukosa
lambung, berkurangnya sekresi mukus dan bikarbonat, berkurangnya aliran darah mukosa,
dan terhambatnya proses regenerasi epitel mukosa lambung sehingga tukak lambung akan
mudah terjadi.10 Indometasin, sulindak, dan natrium mefenamat mempunyai resirkulasi
enterohepatik yang luas, yang menambah pemaparan obat-obat ini dan meningkatkan

toksisitas gastrointestinalnya. Selain itu, indometasin juga dilaporkan dapat mengakibatkan


iritasi setempat langsung yang dapat mengakibatkan perforasi. Penelitian lain menunjukkan
bahwa OAINS yang menyebabkan kerusakan mukosa paling minimal adalah sulindak,
aspirin enteric coated, diflunisal, dan ibuprofen.20 Gejala yang diakibatkan oleh OAINS
antara lain dispepsia, nyeri epigastrium, indigesti, heart burn, nausea, vomitus, dan diare.
Prostaglandin E2 (PGE2) dan I2 (PGI2) yang dibentuk dalam glomerulus mempunyai
pengaruh terutama pada aliran darah dan tingkat filtrasi glomerulus. PGI1 yang diproduksi
pada arteriol ginjal juga mengatur aliran darah ginjal. Penghambatan biosintesis
prostaglandin di ginjal, terutama PGE2, oleh OAINS menyebabkan penurunan aliran darah
ginjal. Pada orang normal, dengan hidrasi yang cukup dan ginjal yang normal, gangguan ini
tidak banyak mempengaruhi fungsi ginjal karena PGE2 dan PGI2 tidak memegang peranan
penting dalam pengendalian fungsi ginjal. Tetapi pada penderita hipovolemia, sirosis hepatis
yang disertai asites, dan penderita gagal jantung, PGE2 dan PGI2 menjadi penting untuk
mempertahankan fungsi ginjal. Sehingga bila OAINS diberikan, akan terjadi penurunan
kecepatan filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal bahkan dapat pula terjadi gagal ginjal.
Penghambatan enzim siklooksigenase dapat menyebabkan terjadinya hiperkalemia. Hal ini
sering sekali terjadi pada penderita diabetes mellitus, insufisiensi ginjal, dan penderita yang
menggunakan -blocker dan ACE-inhibitor atau diuretika yang menjaga kalium (potassium
sparing). Selain itu, penggunaan OAINS dapat menimbulkan reaksi idiosinkrasi yang disertai
proteinuria yang masif dan nefritis interstitial yang akut.
Efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit dengan akibat perpanjangan waktu
perdarahan. Ketika perdarahan, trombosit yang beredar dalam sirkulasi darah mengalami
adhesi dan agregasi. Trombosit ini kemudian menyumbat dengan endotel yang rusak dengan
cepat sehingga perdarahan terhenti. Agregasi trombosit disebabkan oleh adanya tromboksan
A2 (TXA2). TXA2, sama seperti prostaglandin, disintesis dari asam arachidonat dengan
bantuan enzim siklooksigenase. OAINS bekerja menghambat enzim siklooksigenase. Aspirin
mengasetilasi Cox I (serin 529) dan Cox II (serin 512) sehingga sintesis prostaglandin dan
TXA2 terhambat. Dengan terhambatnya TXA2, maka proses trombogenesis terganggu, dan
akibatnya agregasi trombosit tidak terjadi. Jadi, efek antikoagulan trombosit yang memanjang
pada penggunaan aspirin atau OAINS lainnya disebabkan oleh adanya asetilasi
siklooksigenase trombosit yang irreversibel (oleh aspirin) maupun reversibel (oleh OAINS
lainnya). Proses ini menetap selama trombosit masih terpapar OAINS dalam konsentrasi yang
cukup tinggi.
Dengan menggunakan meta analisis, dapat diketahui bahwa OAINS dapat meningkatkan
tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure) sebanyak kurang lebih 5 mmHg. OAINS
paling kuat mengantagonis efek antihipertensi -blocker dan ACE-inhibitor, sedangkan
terhadap efek antihipertensi vasodilator atau diuretik efeknya paling lemah. OAINS yang
paling kuat menimbulkan efek meningkatkan tekanan darah ialah piroksikam.
OAINS juga dapat menyebabkan reaksi kulit seperti erupsi morbiliform yang ringan, reaksireaksi obat yang menetap, reaksi-reaksi fotosensitifitas, erupsi-erupsi vesikobulosa, serum
sickness, dan eritroderma exofoliatif. Hampir semua OAINS dapat menyebabkan urtikaria
terutama pada pasien yang sensitif dengan aspirin. Menurut studi oleh Akademi Dermatologi
di Amerika pada tahun 1984, OAINS yang paling sedikit menimbulkan gangguan kulit adalah
piroksikam, zomepirac, sulindak, natrium meklofenamat, dan benaxoprofen.

Pada sistem syaraf pusat, OAINS dapat menyebabkan gangguan seperti, depresi, konvulsi,
nyeri kepala, rasa lelah, halusinasi, reaksi depersonalisasi, kejang, dan sinkope. Pada
penderita usia lanjut yang menggunakan naproksen atau ibuprofen telah dilaporkan
mengalami disfungsi kognitif, kehilangan personalitas, pelupa, depresi, insomnia, iritasi, rasa
ringan kepala, hingga paranoid.20 Pada beberapa orang dapat terjadi reaksi hipersensitifitas
berupa rinitis vasomotor, oedem angioneurotik, urtikaria luas, asma bronkiale, hipotensi
hingga syok.

You might also like