You are on page 1of 28

PEMBAHASAN

1. FUROSEMIDE
Termasuk dalam golongan Diuretika kuat digunakan dalam pengobatan edema
paru akibat gagl jantung kiri. Pemberian intravena mengurangi sesak nafas dan prabeban
lebih cepat dari mula kerja diuresisnya. Diuretika ini juga digunakan pada pasien gagal
jantung yang telah berlangsung lama.
Furosemide atau asam 4-kloro-n-furfuril-5-sulfamoil antranilad masih tergolong
derifat sulfonamide. Obat ini merupakan salah satu obat standar untuk pengobatan gagal
jangtung dan edema paru .Bumetanid merupakn derivate asam 3- aminoben-zoat yang
lebih poten dari pada furosemide tetapi dalam hal lain kedua senyawa ini mirip satu
dengan senyawa yang lain. Struktur kimia ke tiga obat ini terlihat di gambar 24-2. Asam
etakrinat termasuk deuretik yang dapat di berikan secara oral maupun parenteral dengan
hasil yang memuaskan.
1.1 FARMAKODINAMIK
Diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit Na +
/ K+/ 2CL- di ansa henle asendens bagian epitel tebal, tempat kerjanya dipermukaan sel
epitel bagian luminal(yang menghadap ke lumen tubuli).pada pemberian secara IV obat
in cenderung meningkatkan aliran darah ginjal tanpa di sertai peningkatan filtrasi
glomerulus.perubahan hemodinamik ginjal ini mengakibatkan menurunnya rearbsorbsi
cairan dan elektrolit di tubuli proximal serta meningkatnya efek awal deuresis.
Peningkatan aliran darah ginjal ini relative hanya berlangsung sebentar. Dengan
berkurang nya cairan ekstra sel akibat deuresis, maka aliran darah ginjal menurun dan hal
ini akan mengakibatkan meningkatnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli proximal.
Hal yang terakhir ini agaknya merupakan suatu mekanisme kompensasi yang membatasi
jumlah zat terlarut jyang mencapai bagian epitel tebal henle asendens,dengan demikian
akan mengurangi deuresis.
Masih di pertentangkan apakah diuretic kuat juga bekerja di tubuli
proximal.furosemide dan bumetanid mempunyai daya hambat enzim karbonik
anhidrase karena keduanya merupakan derivate sulfonamide , seperti juga tiazid dan
asetazolamid,tetapi aktivitasnya terlalu lemah untuk menyebabkan deuresis di tubuli
proximal. Asam etakrinat tidak menghambat anzim karbonik anhidrase.efek duretik kuat

terhadap segmen yang ebih distal dari ansa henle asendens epitel tebal belum dapat di
pastikan, tetapi dari besarnya dari deuresis yang terjadi,diduga obat ini bekerja juga di
segmen tubuli lain.
Diuretic kuat juga menyebabkan meningkatnya ekskresi K+ dan kadar asam urat
plasma,mekanisme nya kemungkinan besar sama dengan tiazid.ekskresi Ca++ dan Mg+
+ juga di tingkatkan sebanding dengan peningkatan ekskresi Na+. berbeda dengan Tiazid,
golongan ini tidak meningkatkan re-abrsopsi Ca++ di tubuli distal. Berdasarkan efek
kalsiuria ini, golongan diuretic kuat di gunakan untuk pengobatan simtomatik
Hiperkalsemia.
Diuretik kuat meningkatkan ekskresi asam yang dapat di titrasi (Titrable acid) dan
ammonia . fenomena yang diduga terjadi karena efeknya di nefron distal ini merupakan
salah satu factor penyebab terjadinya alkalosis metabolic.
Bila mobilisasi cairan edema terlalu cepat, alkalosis metabolic oleh diuretic kuat
ini terutama terjadi akibat penyusutan volume caitran ekstra sel. Sebaliknya pada
penggunaan yang kronik, factor utama penyebab alkalosis adalah besarnya asupan garam
ekskresi H+ dan K+. alkalosis ini sering kali disertai dengan hiponatremia, tetapi
masing2 disebabkan oleh mekanisme yang berbeda.
1.2 FARMAKOKINETIK
Diuretic kuat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan derajat agak berbedabeda. Bioavailabilitas furosemide 65% sedangkan bumetenid hampir 100%. Obat
golongan ini terikat pada protein plasma secara ekstensif ,sehingga tidak di filtrasi di
glomerulus tetapi cepat sekali di sekresi melalui system transport asam organic di tubuli
proksimal. Dengan cara ini obat terakumulasi di cairan tubuli dan mungkin sekali di
tempat kerja di daerah di tempat distal lagi. Probanasid dapat menghambat sekresi
furosemid dan interaksi di antaranya ini hanya terbatas pada tingkat sekkresi tubuli, dan
tidak pada tempat kerja diuretic. Toremit memiliki masa kerja sedikit ebih panjang dari
furosemid.
Kira-kira2/3 dari sama etakrinat yang di berikan secara IV di ekskresi dmelalui
ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dalam senyawa sulfhidril terutama sistein
dan N-Acetil sistein. Sebagian lagi di eksresi melalui hati. Sebagian besar furosemid di
ekskresi dengan cara yang sama, hanya sebagian kecl dalam bentuk glukoronid. Kira-kira
50% bumetanid di ekskresi dalam bentuk asal, selebihnya sebagai metabolic.
1.3 EFEK SAMPING DAN PERHATIAN

Gangguan cairan dan elektrolit. Sebagian efek samping berkaitan dengan


gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, antara lain, hipotensi, hiponatremia,
hipokalemia, hipokloremia, hipokalsemia dan hipomagnesimia.
Ototoksisitas. Asam etakrinat dapat mengakibatkan ketulian sementara maupun
menetap, dan hal ini merupakan efek samping yang serius, ketulian sementara juga dapat
terjadi pada furosemid dan lebih jarang pada bumetanid. Ketulian ini mungkin sekali
disebabkan oleh perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfe. Ototoksisitas
merupakan suatu efek samping unik kelompok obat ini.
Hipotensi . Dapat terjadi karena volume sirkulasi.
Efek metabolic. Seperti diuretic tiazid, diuretic kuat juga dapat menimbulkan
efek samping metabolic berupa hiperuresemia, hiperglikemia, peningkatan kolestrol LDL
dan trigliserida, serta penurunan HDL.
Reaksi alergi. Reaksi alergi umumnya berkaitan dengan struktur molekul yang
menyerupai sulfonamid. Diuretic kuat dan diuretic tiazid dikontraindikasikan pada pasien
dengan riwayat alergi sulfonamide. Asam etakrinat merupakan satu-satunya diuretic kuat
yang tidak termasuk golongan sulfunamid, dan digunakan khususnya untuk pasien yang
alergi terhadap sulfonamide.
Nefritis interstisialis alergik. Furosemid dan tiazid diduga dapat menyebabkan
Nefritis interstisialis alergik yang menyebabkan gagal ginjal reversible.
Berdasarkan efeknya pada janin hewan coba, maka diuretic kuat ini tidak
dianjurkan pada wanita hamil kecuali jika mutlak diperlukan.

1.4 INTERAKSI OBAT


Seperti diuretic tiazid, hipokalemia akibat pemberian diuretic kuat dapat
meningkatkan resiko aritmia pada pasien yang juga mendapat digitalis atau obat anti
aritmia. Pemberian bersama obat yang bersifat mikrotoksik seperti aminoglikosida dan
antikanker sisplatin akan meningkatkan resiko nefrotoksisitas. Probenezid mengurangi
sekresi diuretic kelumen tubulus sehingga efek diuresisnya berkurang.

Diuretic kuat dapat berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui pergeseran
ikatannya dengan protein. Pada penggunaan kronis, diuretic kuat ini dapat menurunkan
klirens litium. Penggunaan bersama dengan sefalosporin dapat meningkatkan
nefrotoksisitas sefalosporin. Anti inflamasi nonsteroid terutama indometasin dan
kortikosteroid melawan kerja furosemid.
1.5 PENGGUNAAN KLINIK
Gagal jantung. Furosemid merupakan obat standar untuk gagal jantung yang
disertai edema dan tanda-tanda bendungan sirkulasi seperti peninggian tekanan vena
juguler, edema paru, edema tungkai, dan asites. Furosemid lebih banyak digunakan
daripada asam etakrinat, karena gangguan saluran cerna yang lebih ringan dan kurva
dosis responnya kurang curam. Untuk edema paru akut diperlukan pemberian secara IV.
Pada keadaan ini perbaikan klinik dicapai karena terjadi perubahan hemodinamik dan
penurunan volume cairan ekstrasel dengan cepat. Sehingga alir balik vena dan curah
ventrikel kanan berkurang.
Edema refrakter. Untuk mengatasi Edema refrakter diuretic kuat biasanya
diberikan bersama diuretic lain misalnya tiazid atau diuretic hemat K+. pemakaian dua
macam obat diuretic kuat secara bersamaan merupakan tindakan yang tidak rasional.
Diuretik kuat juga merupakan obat yang efektif untuk mengatasi asites yang tebal
akibat penyakit sirosis hepatis dan edema akibat gagal ginjal. Sebaiknya diberikan secara
oral, kecuali bila diperlukan dieresis yang segera, maka dapat diberikan secara IV atau
IM. Bila ada nefrosis atau gagal ginjal kronik, maka diperlukan dosis furosemid jauh
lebih besar daripada dosis biasa. Diduga hal ini disebabkan oleh banyaknya protein dalam
cairan tubuli yang akan mengikat furosemid sehingga menghambat dieresis. Selain itu,
pada pasien dengan uremia, sekresi furosemid pada tubuli menurun.
Diuretic kuat juga digunakan pada pasien gagal ginjal akut yang masih awal
(baru terjadi), namun hasilnya tidak konsisten. Diuretic kuat dikontraindikasikan pada
keadaan gagal ginjal yang disertai anuria. Diuretic kuat dapat menurunkan kadar
kalsium plasma pada pasien hiperkalsemia simtomatik dengan cara meningkatkan
eksresi kalsium melalui urin. Bila digunakan untuk tujuan ini, maka perlu pula diberikan
suplemen Na+ dan Cl- untuk menggantikan kehilangan Na+ dan Cl- melalui urin.
1.6 SEDIAAN DAN POSOLOGI
Sediaan dan posologi golongan diuretic kuat dapat dilihat pada table dibawah ini
sebagai berikut :

Obat
Furosemid

Sediaan
Tab 20 dan 40 mg
Injeksi 20 mg/amp 2 ml

Dosis
Efek
10-40 mg oral 2x sehari Diuresis dalam 10(HT)
20 menit, efek
20-80 mg iv, 2-3 x sehari
maksimal 1,5 jam
(CHF) sampai 250-2000 Lama kerja 4-5 jam
mg oral/iv

Torsemid

5-10 mg oral, 1x sehari Onset 10 menit


Efek maksimal 60
(HT),
10-20 mg (CHF), oral menit
Lama kerja 6-8 jam
atau iv dapat naik sampai

Bumetani

Tab. 0,5 dan 1

injeksi 5 mg

Asam

Tab. 25 dan 50

Etakrinat

injeksi 50 mg/amp

200 mg
mg 0,5-2 mg, oral 1-2 x Onset 75-90 menit
Lama kerja 4-5 jam
sehari maksimum
10 mg/hari
mg 50-200 mg/hari
0,5-1 mg/kg BB

2. DIGOXIN
Digoxin digunakan dalam pengobatan melemahnya otot jantung pada penderita
hipertensi dan CHF (Congestive Heart Failure) yaitu volume darah yang dipompa oleh
jantung kecil sehingga tidak mencukupi kebutuhan baik oksigen maupun nutrisi bagi
tubuh). So, berarti obat ini digunkan pad kondisi life threatening (dipakai sepanjang umur
hidup pasien).
Digoxin merupakan contoh obat yang memiliki masalah berkaitan dengan
bioekivalensinya. Sebagai tambahan, theraprutic windows-nya sempit artinya obat ini
sangat poten, dosisnya hanya 0,25 mg/tablet) terus profil dosis responnya yang tajam.
Obat ini termasuk kelas II dalam klasifikasi biofarmasetika yaitu obat dengan
karakteristik kelarutan rendah dan permeabilitas baik sehingga menimbulkan masalah
dalam formulasinya, upaya peningkatan kelarutan digoxin sangat diperlukan, sehingga

perubahan formulasi sangat berpengaruh terhadap bioavaibilitasnya, padahal formulasi


tiap pabrik berbeda-beda so penting sebagai farmasis kita harus mempertimbangkan
bioekivalesinya.
Perbedaan pabrik yang memproduksi tablet digoxin dapat menyebabkan
terjadinya perbedaan bioavaibiltas (karnena absorbsi berbeda) dari digoxin karena raw
material yang digunkan untuk memproduksi dapat berasal dari supplier yang berbeda,
sehingga memungkinkan adanya perbedaan sifat fisikokimianya. Perbadan batch
produksi juga dapat memberikan perbadaan bioavaibilitas dari digoxin. Pabrik yang sama
saja belum tentu tablet digoxin yang diprodukssi bioekivalen kalau bahan bakunya bersal
dari batch yang berbeda.
Perbedaan industri farmasi yang memproduksi tablet digoxin dapat menyebabkan
perbedaan yang signifikan. Oleh karena itu, sebaiknya dhindari apabila akan melakukan
penggantian atau substitusi tablet digosin ke pasien yang sudah stabil pada penggunaan
digoxin dari pabrik tertentu. Karena sangat mungkin kedua produk tersebut bioinekivalen.Apalagi umunya digoxin digunakan pada kondisi life threatening.
Obat dari batch atau lot yang berbeda menandakkan adanya perbedaan dalam hal
formulasi yang memungkinkan terjadinya perbedaan absorpsi, akibatnya berbeda juga
bioavaibilitasnya. Selain theraprutic window yag sempit dan profil dosis responnya
tajam, sifat fisika kimia digoxin juga menyebabkan bioavaibilitasnya sangat dipengaruhi
oleh variabel formulasi dan perubahan konsentrasi obat dalam darah akibat perubahan
dari absorpsinya.
Dari gambaran di atas, maka untuk menyeleksi produk digoxin dari beberapa
pabrik merupakan proses yang krusial sehingga data BA dan BE sangat diperlukan untuk
diketahui. FDA di tahun 1974 menyaratkan BABE comparative sebagai akibat
munculnya kasus pengubahan bahan pengisi fenitoin menggunakan laktosa di Australia ,
yang meningkatkan toksisitas dari fenitoin dan kasus talidomid di Eropa yang
menyebabkan tertogenitas. Ceritanya BABE comparative ini oleh FDA untuk
mengeliminasi masalah bio-inekuivalensi di antara satu produk, makanya perlu sertifikasi
batch.Caranya bagaimana?Tunjukkan aja data uji disoulsinya. Tapi ternyata ada syarat
lain yaitu produk digoxin harus disertai hasil uji BA comparative pakai cross over design
sebagai akibat yang tadi, beda batch meskipun masih satu pabrik memungkinkan terjadi
perbedaan profil BA yang signifikan. Di USA, jika terjadi perubahan formulasi yang

kecil tidak perlu melakukan uji BA apabila sudah memiliki data korelasi in vivo- in vitro
atau SUPAC (Skilll up, Push, Approval, Change).

Gambar obat digoksin

2.1 DESKRIPSI DIGOXIN


Digoxin diperoleh dari daun tumbuhan digitalis (daun-daunan yang dipakai
sebagai obat memperkuat jantung). Digoxin membantu membuat detak jantung lebih kuat
dan dengan irama yang lebih teratur.
Nama & Struktur Kimia : Sinonim : (3, 5 , 12 )-3-[(O-2,6-dideoxy- -Dribo- hexopyranosyl-(1?4)-O-2,6-dideoxy- - D-ribo-hexopyranosyl-(1?4)-2,6-dideoxy -D- ribo-exopyranosyl)oxy]-12,14-dihydroxy-card-20(22)-enolide. C41H64O14.sifat
Fisikokimia : Digoksin merupakan kristal putih tidak berbau. Obat ini praktis tidak larut
dalam air dan dalam eter, sedikit larut dalam alkohol dan dalam kloroform dan sangat
larut dalam piridin.
Keterangan : Digoksin adalah salah satu glikosida jantung (digitalis), suatu
kelompok senyawa yang mempunyai efek khusus pada miokardium.digoksin diekstraksi
dari daunDigitalis lanata
Golongan / Kelas Terapi
Obat Kardiovaskuler
Nama Dagang (FaRgoxin - Lanoxin - Digoksin Sandoz)
2.2 INDIKASI
Gagal jantung, aritmia supraventrikular (terutama atrial fibrilasi).Untuk payah
jantung kongestif, fibrilasi atrium, takikardia atrium proksimal dan flutter atrium.Untuk
mengobati gagal jantung kongestif, juga digunakan untuk mengobati fibrilasi atrial,

gangguan irama jantung pada atrium (serambi bagian atas jantung yang membiarkan
darah mengalir ke jantung).
2.3 KONTRAINDIKASI
Intermittent complete heart block ; Blok AV derajat II ; supraventricular
arrhytmias yang disebabkan oleh Wolff-Parkinson-White Syndrome ; takikardia
ventricular atau fibrilasi ; hypertropic obstructive cardiomyopathy BlokAVtingkat 2dan
blok AVtotal.
Aritmia supra ventrikular yang disebabkan sindroma Wolff - Parkinson - White.
Fibrilasi ventrikel. Hipersensitif terhadap digoksin dan penderita dengan riwayat
intoleransi terhadap preparat digitalis.
Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian Oral, untuk digitalisasi cepat, 1 1,5
mg dalam dosis terbagi, bila tidak diperlukan cepat, 250500 mikrogram sehari (dosis
yang lebih tinggi harus dibagi).\
Dosis pemeliharaan : 62,5 500 microgram sehari (dosis yang lebih tinggi harus
dibagi). disesuaikan dengan fungsi ginjal dan pada atrial fibrilasi , tergantung pada respon
denyut jantung; dosis pemeliharaan biasanya berkisar 125 250 mcg sehari (dosis yang
lebih rendah diberikan pada penderita lanjut usia). Pada kondisi emergensi, loading dose
(dosis muatan) diberikan secara infus intravena , 0,75 1 mg hingga paling sedikit 2 jam,
kemudian dilanjutkan dosis pemeliharaan melalui oral .
Dewasa : Dosis digitalisasi rata-rata 3-6 tablet sehari dalam dosis terbagi. Untuk
digitalisasi cepat dimulai 2 - 3 tablet, diikuti 1 -2 tablet tiap 6-8 jam sampai tercapai
digitalisasi penuh. Untuk digitalisasi lambat dan dosis penunjang 1/2-2 tablet sehari (1/2 1 tablet pada usia lanjut), tergantung pada berat badan dan kecepatan bersihan kreatinin.
Dosis harus dikurangi pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
Anak-anak dibawah 10 tahun :025 mg/kg BB sehari dalam dosis tunggalatau terbagi.
2.4 PERINGATAN DAN PERHATIAN
Dosis lebih rendah pada pasien dengan berat badan rendah.usia lanjut,
hipokalemia dan hipotiroid. Setelah pemberian selama 14 hari, dosis hams diturunkan
dan disesuaikan dengan respon pasien. Hati-hati pemberian pada ibu hamil dan
menyusui.
Hati-hati

pemberian

pada

penderita

gagal

jantung

yang

menyertai

glomerulonefritis akut, karditis berat, gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat,
hipokalsemia, hipomagnesemia, aritmia atrium yang disebabkan keadaan hipermetabolik,
penyakit nodus SA, Sindroma Wolff - Parkinson - White, perikarditis konstriktif kronik,

bayi neonatus dan bayi prematur. Blok AV tidak lengkap pada pasien dengan serangan
Stokes - Adams dapat berianjut menjadi Blok AV lengkap.Jangan digunakan untuk terapi
obesitas atau takikardia sinus, kecuali jika disertai gagal jantung.
Digoksin dapat menimbulkan perubahan ST-T yang pgsitjf semu pada EKG
selama testlatihan.Anoreksia, mual, muntan dan aritmia dapat merupakan gejala penyerta
gagal jantung atau gejala-gejala keracunan digitalis.Bila timbul keracunan digitalis maka
pemberian obat digitalis dandiuretik dihentikan.

2.5 EFEK SAMPING


Biasanya berhubungan dengan dosis yang berlebih, termasuk : anoreksia, mual ,
muntah, diare, nyeri abdomen, gangguan penglihatan, sakit kepala, rasa capek,
mengantuk , bingung, delirium, halusinasi, depresi ; aritmia, heart block ; jarang terjadi
rash, isckemia intestinal ; gynecomastia pada penggunaan jangka panjang ,
trombositopenia.
Dapat terjadi anoreksia, mual, muntah dan sakit kepala. Gejala toksik pada
jantung : kontraksi ventrikel prematur multiform atau unifocal,takikardia ventrikular,
desosiasi AV, aritmia sinus, takikardia atrium dengan berbagai derajat blokAV. Gejala
neurologik : depresi, ngantuk, rasa lemah, letargi, gelisah, vertigo, bingungdan halusinasi
visual.

Gangguan

pada

mata:

midriasis,

fotofobia,

dan

berbagai

gangguan

visus.Ginekomastia, ruam kulit makulopopularatau reaksikulit yang lain.


Efek samping lainya Biasanya berhubungan dengan dosis yang berlebih, termasuk
: anoreksia, mual , muntah, diare, nyeri abdomen, gangguan penglihatan, sakit kepala,
rasa capek, mengantuk , bingung, delirium, halusinasi, depresi ; aritmia, heart block ;
jarang terjadi rash, isckemia intestinal ; gynecomastia pada penggunaan jangka panjang ,
trombositopenia.
Efek samping biasanya dalam kaitan dengan keracunan Digoxin atau kelebihan
dosis dan biasanya Digoxin dapat diterima dengan baik apabila diberikan sesuai dengan
dosis yang direkomendasikan untuk gagal jantung kongestif (CHF).
Keracunan Digoxin: Efek GI (N/V, anoreksia, diare, sakit di bagian perut)
biasanya merupakan tanda-tanda pertama dari keracunan Digoxin; Tanda-tanda lain dari
keracunan Digoxin: Efek CNS (sakit kepala, kelelahan, sakit di bagian wajah, kelemahan,

kepeningan, kebingungan mental); Gangguan penglihatan (mengaburkan penglihatan,


gangguan warna); Racun bisa menyebabkan efek CV yang serius (memperburuk gagal
jantung

(HF),

arrhythmias,

ditemukan

adanya

konduksi).Hipokalemia

bisa

mempengaruhi seseorang pada keracunan Digoxin. Reaksi hipersensitif yang agak jarang
terjadi.

Instruksi khusus:
Dosis rendah Digoxin (62.5 mcg/hari atau 125 mcg setiap hari lainnya) harus
digunakan pada orang yang lebih tua, pasien dengan kerusakan fungsi ginjal atau
pasien dengan massa tubuh rendah (kurus).
Dosis muatan tidak diperlukan pada pasien gagal jantung kongestif (CHF).
Hindari pada pasien dengan kardiomiopati obstruktif kecuali jika ada gagal jantung
akut, pada pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW); tidak boleh
digunakan untuk ventricular arrhythmias.
Gunakan dengan hati-hati pada kasus hambatan jantung parsial, gangguan batang
sinus, miokarditis akut, MI (myocardial infarction) akut, gagal jantung parah, penyakit
pulmonary

akut,

pada

pasien

yang

menjalani

cardioversion

(pertimbangkan

menghentikan cardioversion dalam waktu 1-2 hari sebelum prosedur dilakukan) dan
dengan obat-obatan lain yang bisa menekan fungsi sinus dan fungsi AV nodal (misalnya,
Amiodarone atau beta-blocker).
Hipokalemia, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipoksia, dan hipertiroidisme bisa
mempengaruhi sensitivitas terhadap digoxin.Pengawasan tingkat digoxin hanya
diperlukan jika diduga terjadi keracunan.
2.6 FARMAKOLOGI
Merupakan prototipe glikosida jantung yang berasal dari Digitalis lanata.
Mekanisme Digoksin melalui 2 cara yaitu efek langsung dan efek tidak langsung. Efek
langsung yaitu meningkatkan kekuatan kontraki otot jantung (efek inotropik positif). Hal
ini terjadi berdasarkan penghambatan enzim Na+,K+ -ATPase dan peningkatan arus
masuk ion kalsium ke inta sel. Efek tidak langsung yaitu pengaruh digoksin terhadap
aktivitas saraf otonom dan sensitivitas jantung terhadap neorotransmiter.

FARMAKODINAMIK/FARMAKOKINETIK
Onset of action (waktu onset) : oral : 1-2 jam; IV : 5-30 menit. Peak effect (waktu
efek puncak) : oral : 2-8 jam; IV : 1-4 jam
Durasi : dewasa : 3-4 hari pada kedua sediaan. Absorpsi :melalui difusi pasif pada usus
halus bagian atas, makanan dapat menyebabkan absorpsi mengalami penundaan (delay),
tetapi tidak mempengaruhi jumlah yang diabsorpsi.
Distribusi :
Fungsi ginjal normal : 6-7 L/kg
Gagal ginjal kronik : 4-6 L/kg
Anak-anak : 16 L/kg
Dewasa : 7 L/kg menurun bila terdapat gangguan ginjal
Ikatan obat dengan protein (protein binding) : 30%
Metabolisme : melalui sequential sugar hydrolysis dalam lambung atau melalui reduksi
cincin akton oleh bakteri di intestinal , metabolisme diturunkan dengan adanya gagal
jantung kongestif
Bioavailabilitas:
T eliminasi (half-life elimination) berdasarkan umur, fungsi ginjal dan jantung:
T eliminasi (half-life elimination): parent drug (obat asal ): 38 jam; metabolit:
digoxigenin: 4 jam ; monodigitoxoside : 3 12 jam
Waktu untuk mencapai kadar puncak, serum: oral ~ 1 jam
Ekskresi : urin (50% hingga 70% dalam bentuk obat yang tidak berubah )
Konsentrasi serum digoksin : Gagal jantung kongestif : 0,5 -0,8 ng/ml .Aritmia : 0,8-2
ng/ml
Dewasa :< 0,5 ng/ml, kemungkinan menunjukkan underdigitalization, kecuali jika
terdapat. Hal hal khusus Toksik > 2,5 ng/ml

2.7 MEKANISME KERJA OBAT


Mekanisme kerja
Gagal jantung kongestif: menghambat pompa Na/K ATP0-ase yang bekerja
dengan meningkatkan pertukaran natrium-kalsium intraselular sehingga meningkatkan
kadar kalsium intraseluler dan meningkatkan kontraktilitas. Aritmia supraentrikular :
Secara langsung menekan konduksi AV node sehingga meningkatkan periode refractory

efektif dan menurunkan konduksi kecepatn - efek inotropik positif, meningkatkan vagal
tone, dan menurunkan dan menurunkan kecepatan ventrikular dan aritmia atrial. Atrial
fibrilasi dapat menurunkan sensitifitas dan meningkatkan toleransi pada serum
konsentrasi digoksin yang lebih tinggi.Digoksin merupakan prototipe glikosida jantung
yang berasal dari Digitalis lanata.
Mekanisme kerja digoksin melalui 2 cara, yaitu efek langsung dan tidaklangsung.
Efek langsung yaitu meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung (efek inotropik
positif). Hal ini terjadi berdasarkan penghambatan enzim Na+, K+ -ATPasedan
peningkatan arus masuk ionkalsium keintra sel. Efektidak langsung yaitu pengaruh
digoksin

terhadap

aktivitas

saraf

otonom

dan

sensitivitas

jantung

terhadap

neurotransmiter.
Mekanisme Aksi
Gagal jantung kongestif: menghambat pompa Na/K ATP0-ase yang bekerja
dengan meningkatkan pertukaran natrium-kalsium intraselular sehingga meningkatkan
kadar kalsium intraseluler dan meningkatkan kontraktilitas. Aritmia supraentrikular :
Secara langsung menekan konduksi AV node sehingga meningkatkan periode refractory
efektif dan menurunkan konduksi kecepatn - efek inotropik positif, meningkatkan vagal
tone, dan menurunkan dan menurunkan kecepatan ventrikular dan aritmia atrial. Atrial
fibrilasi dapat menurunkan sensitifitas dan meningkatkan toleransi pada serum
konsentrasi digoksin yang lebih tinggi.
Monitoring penggunaan obat
Kapan mengukur konsentrasi serum digoksin : konsentrasi serum digoksin harus
dimonitor karena digoksin mempunyai rentang terapi yang sempit ; endpoint therapy
sukar ditentukan dan toksisitas digoksin dapat mengancam jiwa. Kadar serum digoksin
harus diukur sedikitnya 4 jam setelah pemberian dosis intravena dan sedikitnya 6 jam
setelah pemberian dosis oral (optimal 12 24 jam setelah pemberian). Terapi awal
(inisiasi): Jika loading dose diberikan: konsentrasi serum digoksin diukur dalam 12 24
jam sesudah pemberian loading dose awal. Kadar yang terukur menunjukkan hubungan
kadar plasma digoksin dan respon. Jika loading dose tidak diberikan : konsentrasi serum
digoksin

ditentukan

setelah

hari

terapi.

Terapi

pemeliharaan

(maintenance ):Konsentrasi harus diukur minimal 4 jam setelah dosis IV dan paling

sedikit 6 jam setelah dosis oral.Konsentrasi serum digoxin harus diukur dalam 5-7
hari(rata-rata waktu steady state) setelah mengalami perubahan dosis. Pemeriksaan
dilanjutkan 7 14 hari setelah perubahan ke dalam dosis pemeliharaan (maintenance)
Catatan : pada pasien dengan end-stage renal disease (gagal ginjal terminal)
diperlukan waktu 15 20 hari untuk mencapai steady state. Sebagai tambahan pasien
yang menerima obat-obat yang dapat menurunkan kalium seperti diuretik, harus
dimonitor kadar kalium, magnesium dan kalsium. Konsentrasi serum digoksin harus
diukur jika terdapat kondisi berikut : Apabila meragukan kepatuhan pasien atau
mengevaluasi timbulnya respon klinik yang jelek pada pengobatan awal.
Interaksi obat
`
Kuinidin, verapamil, amiodarondan propafenon dapat meningkatkan kadar
digitalis. Diuretik, kortikosteroid, dapat menimbulkan hipokalemia, sehingga mudah
terjadi intoksikasi digitalis.Antibiotik tertentu menginaktivasi digoksin melalui
metabolisme bakterial di usus bagian bawah.Propantelin, difenoksilat, meningkatkan
absorpsi digoksin.Antasida, kaolin-peptin,

sulfasalazin, neomisina, kolestiramin,

beberapa obat kanker, menghambat absorpsi digoksin.Simpatomimetik, meningkatkan


resiko aritmia. Beta - bloker, kalsium antagonis, berefek aditif dalam penghambatan
konduksiAV.
Interaksi dengan obat-obat berikut dilaporkan menunjukkan signifikansi klinik
aminoglutetimid, asam aminosalisilat, antasida yang mengandung alumunium, sukralfat,
sulfasalazin, neomycin, ticlopidin.
Dengan Obat Lain :Efek

Cytochrome

P450:

substrat

CYP3A4

(minor):Meningkatkan efek/toksisitas : senyawa beta-blocking (propanolol), verapamil


dan diltiazem mempunyai efek aditif pada denyut jantung. Karvedilol mempunyai efek
tambahan pada denyut jantung dan menghambat metabolisme digoksin. Kadar digoksin
ditingkatkan oleh amiodaron (dosis digoksin diturunkan 50 %), bepridil, siklosporin,
diltiazem, indometasin, itrakonazol, beberapa makrolida (eritromisin, klaritromisin),
metimazol, nitrendipin, propafenon, propiltiourasil, kuinidin dosis digoksin diturunkan 33
% hingga 50 % pada pengobatan awal), tetrasiklin dan verapamil. Moricizine dapat
meningkatkan toksisitas digoksin . Spironolakton dapat mempengaruhi pemeriksaan
digoksin, namun juga dapat meningkatkan kadar digoksin secara langsung.

Pemberian suksinilkolin pada pasien bersamaan dengan digoksindihubungkan


dengan peningkatan risiko aritmia.Jarang terjadi kasus toksisitas akut digoksin yang
berhubungan dengan pemberian kalsium secara parenteral (bolus). Obat-obat berikut
dihubungkan dengan peningkatan kadar darah digoksin yang menunjukkan signifikansi
klinik : famciclovir, flecainid, ibuprofen, fluoxetin, nefazodone, simetidein, famotidin,
ranitidin, omeprazoe, trimethoprim.
Menurunkan efek: Amilorid dan spironolakton dapat menurunkan respon
inotropik digoksin. Kolestiramin, kolestipol, kaolin-pektin, dan metoklopramid dapat
menurunkan absorpsi digoksin. Levothyroxine (dan suplemen tiroid yang lain) dapat
menurunkan kadar digoksin dalam darah. Penicillamine dihubungkan dengan penurunan
kadar digoxin dalam darah.
Interaksi dengan obat-obat berikut dilaporkan menunjukkan signifikansi klinik
aminoglutetimid, asam aminosalisilat, antasida yang mengandung alumunium, sukralfat,
sulfasalazin, neomycin, ticlopidin.
2.8 INTERAKSI MAKANAN DENGAN DIGOXIN
a. Gambaran Umum
Digoxin adalah suatu obat diperoleh dari foxglove [tumbuhan], Digitalis
lanata.Digoxin digunakan terutama untuk meningkatkan kemampuan memompa
(kemampuan kontraksi) jantung dalam keadaan kegagalan jantung/congestive heart
failure (CHF). Obat ini juga digunakan untuk membantu menormalkan beberapa
dysrhythmias ( jenis abnormal denyut jantung).
Obat ini termasuk obat dengan TherapeuticWindow sempit (jarak antara MTC
[Minimum Toxic Concentration] dan MEC [Minimum Effectiv Concentration]
mempunyai jarak yang sempit. Artinya rentang antara kadar dalam darah yang dapat
menimbulkan efek terapi dan yang dapat menimbulkan efek toksik sempit. Sehingga
kadar obat dalam plasma harus tepat agar tidak melebihi batas MTC yang dapat
menimbulkan efek toxic/keracunan). Efek samping pada pemakaian dosis tinggi,
gangguan susunan syaraf pusat: bingung, tidak nafsu makan, disorientasi, gangguan
saluran cerna: mual, muntah dan gangguan ritme jantung. Reaksi alergi kulit seperti
gatal-gatal, biduran dan juga terjadinya ginekomastia (jarang) yaitu membesarnya
payudara pria)mungkin terjadi.
b. Mekanisme Kerja Digoksin

Mekanisme kerja digoxin yaitu dengan menghambat pompa Na-K ATPase yang
menghasilkan peningkatan sodium intracellular yang menyebabkan lemahnya pertukaran
sodim/kalium dan meningkatkan kalsium intracellular.Hal tersebut dapat mningkatkan
penyimpanan kalsium intrasellular di sarcoplasmic reticulum pada otot jantung, dan dapat
meningkatkan cadangan kalsium untuk memperkuat /meningkatkan kontraksi otot.
Digoxin juga dapat dapat menimbulkan vagally mediated slowing of AV conduction dan
meningkatkan atrial ventricular block. Half life digoxin adalah 30-50 jam.
Pasien dengan hipokalemi, second-degree AV block, third-degree AV block, dan pasien
dengan atrial fibrillation dan juga yang menderita penyakit Wolfe-Parkinson-White
syndrome sebaiknya tidak diberikan digoxin. Digoxin diekskresi melalui ginjal, oleh
karena itu, pasien dengan renal insufficiency perlu dimonitor secara ketat.
c. Interaksi Makanan dengan Digoksin dan Reaksinya Terhadap Pengobatan
Secara umum, makanan akan berpengaruh terhadap absorbsi digoxin.
Absorbsi digoxin yang paling baik pada pada sediaan retikulum zat hidro-alkoholik
seperti minuman (beverage).Absorbsi dogoxin dihambat karena adanya makanan dalam
saluran cerna, melambatnya pengosongan lambung dan adanya sindroma malabsorbsi.
Kadar serum puncak digoksin dapt diturunkan jika digunakan bersama dengan
makanan. Makanan yang mengandung serat (fiber) atau makanan yang kaya akan pektin
menurunkan absorpsi oral digoksin.Hindari ephedra (risiko stimulasi kardiak),Hindari
natural licorice (menyebabkan retensi air dan natrium dan meningkatkan hilangnya
kalium dalam tubuh)
1. Interaksi Digoxin dengan suplemen Magnesium (Mg)
Penggunaan Digoxin dapat menurunkan Mg intraseluler dan meningkatkan pengeluaran
Mg dari tubuh melalui urin. Pemberian suplemen Mg akan sangat menguntungkan.
Dianjurkan konsumsi Mg adalah 30-500 mg per hari.Dari makanan, juga dapat
ditingkatkan konsumsinya (tanpa melalui suplemen Mg). Sumber utama Mg adalah
sayuran hijau, serealia tumbuk, biji-bijian dan kacang-kacangan, daging, coklat, susu dan
hasil olahannya.
2. Interaksi Digoxin dengan Potassium (Kalium)
Digoxin mengganggu transport potassium dari darah menuju sel sehingga Digoxin
pada dosis yang cukup tinggi dapat menyebabkan hiperkalemia fatal. Oleh karenanya
pada saat mengkonsumsi/menggunakan Digoxin, hindari konsumsi suplemen
potassium atau makanan yang mengandung potassium dalam jumlah besar seperti

buah (pisang).Sumber utama potassium adalah buah, sayuran dan kacangkacangan.Namun banyak orang mengkonsumsi digoxin menyebabkan diuretic.Pada
kasus tersaebut, peningkatan intake potassium dibutuhkan. Oleh karenanya harus
dikomunikasikan dengan tim kesehatan yang lain.
3. Interaksi Digoxin dengan Calcium(Ca)
Peningkatan Ca dalam plasma dapat meningkatakan toksisitas digoxin. Oleh
karenanya, hindari konsumsi makanan tinggi Ca terutama 2 jam sebelum/sesudah
minum obat ini. Sumber utama Ca adalah susu dan hasil olahannya seperti keju.
4. Interaksi digooksin dengan Makanan Berserat. Serat larut air dalam makanan dapat
menurunkan absorbsi digoxin.
5. Interaksi makanan dengan Herb (tanaman/jamu)
a. Ginseng : mekanisma belum jelas, namun penggunaan bersama menyebabkan
Digoxin kurang berfungsi
b. Teh Jawa : menyebabkan diuretik, jika dikonsumi dalam jumlah besar
mengakibatkan kehilangan potassium melalui urin.
c. GFJ : menginduksi P.Glikogen transporter obat dan menurunkan AUC Digoxin.
Beberapa obat dan makanan yang dapat menurunkan absorbsi Digoxin dalam
tubuh:
Antacid yang mengandung Aluminium atau Magnesium.
Beberapa obat yang menurunkan kolesterol (Cholestyramine [Prevalite Questran]

dan Colestipol [Colestid]).


Metaclopramide (Maxolon, Octamide PFS, Regulan)
Sulfasalazine (Azulfidine)
Beberapa obat antidiare yang mengandung kaolindan pectin
Bulk laxatives (seperti psyllium, Metamucil atau Citrucel)
Makanan tinggi serat (sepert Bran Muffin) atau suplemen (seperti Ensure)
Jika menggunakan beberapa obat diatas atau mengkonsumsi makanan tinggi

serat bersamaan dengan Digoxin maka Digoxin tidak bisa bekerja sewcara
optimal.Menggunakan Digoxin juga harus menghindari konsumsi Black Licorice
(yang mengandung glcyrhizin). Jika dikonsumsi bersama akan lebih mempercepat
kontraksi jantung.
d. Cara Mengatasi Keracunan
Untuk mengatasi keadaan keracunan biasanya dokter memberikan KSR untuk
mencegah terjadinya penurunan kadar kalium dalam darah (hipokalemia). Keadaan
hipokalemia akan meningkatkan kepekaan sel-sel otot jantung terhadap digoxin
sehingga akan meningkatkan toksisitas digoksin. Oleh karena itu pasien juga harus

dikontrol makanannya terutama yang mengandung kalium dengan pengawasan yang


tepat.
2.9 PENGARUH
a. Terhadap Kehamilan : Faktor risiko : C . Tidak diketahui apakah digoksin dapat
membahayakan fetus jika diberikan pada wanita hamil atau mempengaruhi kapasitas
reproduktif. Pemberian digoksin pada wanita hamil hanya jika memang benar
diperlukandan hanya jika keuntungan pada ibu lebih besar daripada resiko yang
ditimbulkan pada fetus.Literatur dari BNF 50 menyebutkan diperlukan penyesuaian
dosis.
b. Terhadap Ibu Menyusui : Hanya sedikit terdapat dalam air susu. Masuk dalam air susu
ibu (dalam jumlah sedikit)/compatible.
c. Terhadap Anak-anak : Bayi yg baru lahir menunjukkan adanya toleransi yg bervariasi
terhadap digoksin. Bayi prematur dan immatur biasanya sensitif terhadap efek digoksin,
dan dosis obat tidak hanya diturunkan tapi harus dosis individualisasi sesuai dgn tingkat
maturitasnya.
Parameter Monitoring
Konsentrasi serum digoksin, denyut jantung, EKG, fungsi ginjal.
Peringatan
Infark jantung baru ; sick sinus syndrome; penyakit tiroid ; dosis dikurangi pada
penderita lanjut usia ; hindari hipokalemia ; hindari pemberian intravena secara cepat
(mual dan risiko arimia); kerusakan ginjal ; kehamilanInformasi Pasien
Jumlah dan frekuensi penggunaan obat tergantung dari beberapa faktor, seperti
kondisi pasien, umur dan berat badan.Bila anda mempunyai pertanyaan yang berkaitan
dengan jumlah dan/ frekuensi pemakaian obat tanyakan pada apoteker atau dokter. Obat
ini harus digunakan secara teratur, biasanya pada waktu yang sama tiap hari dan biasanya
pada pagi hari. Dapat digunakan tanpa makanan.Diperlukan jumlah kalium yang cukup
pada dietnya untuk menurunkan risiko hipokalemia (hipokalemia dapat meningkatkan
risiko toksisitas digoksin).Tes laboratorium diperlukan untuk memonitor terapi.Pastikan
hal ini dilakukan.Jangan menggunakan OTC seperti antasida, obat batuk, obat influenza,
alergi kecuali atas petunjuk dokter atau apoteker.Jangan menghentikan pemakaian obat
ini tanpa berkonsultasi dengan dokter.
Jangan menggunakan obat melebihi jumlah yang telah diresepkan, kecuali atas
anjuran dokter.Kondisi medis awal pasien harus diceritakan pada petugas kesehatan
sebelum menggunakan obat ini. Jangan menggunakan OTC atau obat resep yang lain

tanpa memberitahu dokter yang merawat Jika pasien lupa minum obat, segera mungkin
minum obat setelah ingat. Jika terlewat beberapa jam dan telah mendekati waktu minum
obat berikutnya jangan minum obat dengan dosis ganda, kecuali atas saran dari tenaga
kesehatan. Jika lebih dari satu kali dosis terlewat, hubungi dokter atau apoteker .Obat ini
hanya digunakan oleh pasien yang mendapat resep. Jangan diberikan pada orang lain.
Perubahan fungsi
Dugaan toksisitas digoksin : Pada permulaan pengobatan atau keputusan
menghentikan terapi dengan obat (amiodaron, kuinidin, verapamil) yang mana
berinteraksi dengan digoksin; jika terapi bersama quinidin dimulai, kadar digoxin harus
diukur dalam 24 jam pertama sesudah mulai terapi dengan quinidin, kemudian sesudah 7
14 hari.Adanya perubahan penyakit (hypothyroidism).Denyut dan ritme dimonitor
melalui pemeriksaan secara periodik EKG untuk menilai baik efek terapi maupun tandatanda toksisitas Monitoring dengan ketat ( terutama pasien yang menerima diuretik atau
amphotericin) terhadap penurunan kadar kalium dan magnesium dan peningkatan
kalsium , hal-hal tersebut merupakan pemicu toksisitas digoksin. Ukur fungsi
ginjal.Perhatikan interaksi obat.Obervasi pasien terhadap tanda-tanda toksisitas
nonkardiak, kebingungan dan depresi.

Gambar digoxin 50 mcg per ml

3. ASETAMINOFEN
Pengertian
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara
kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP) .
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal
sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002)
Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah
digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Parasetamol (asetaminofen) mempunyai
daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak
menyebabkan iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993).
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid
sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga
efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai
sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung,
2011).
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan
asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol
tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan
lambung. Sebagai obat antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun
Parasetamol.
Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping yang paling
ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya
digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari
penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan
Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri.
(Sartono 1996)

3.1 STRUKTUR KIMIA PARASETAMOL

Sifat Zat Berkhasiat


Menurut Dirjen POM. (1995), sifat-sifat Parasetamol adalah sebagai berikut:
Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida
Berat Molekul : 151.16
Rumus Empiris : C8H9NO2.
Sifat Fisika
Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.
Kelarutan : larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N; mudah larut dalam etanol.
Jarak lebur : Antara 168 dan 172.
Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum
puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati,
sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi
dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu
hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif
dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus
sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan
dengan sulfhidril dari protein hati.(Lusiana Darsono 2002)

Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan
suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin
tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis
prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat
pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.
(Mahar Mardjono 1971).
Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan siklooksigenase.
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda.
Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat

pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase


perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi
rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang
ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol
menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini
menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi
demam yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian
pula peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik. (Aris 2009).
Indikasi
Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan nyeri
sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan sampai
sedang.(Cranswick 2000)
Kontra Indikasi
Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap
obat ini. (Yulida 2009).
Sediaan dan Posologi
Parasetamol tersedi sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500mg atau sirup yang
mengandung 120mg/5ml. Selain itu Parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi
tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan.
Dosis Paracetamol
Dosis Parasetamol untuk dewasa 300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g per hari,
untuk anak 6-12 tahun: 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6
tahun: 60mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari. .(Mahar Mardjono
1971)
Efek Samping

Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya


berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada
mukosa.
Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian
kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi
enzim G6PD dan adanya metabolit yang abnormal.
Methemoglobinemia dan Sulfhemoglobinemia jarng menimbulkan masalah pada
dosis

terapi,

karena

hanya

kira-kira

1-3%

Hb

diubah

menjadi

met-Hb.

Methemoglobinemia baru merupakan masalah pada takar lajak.


Insidens nefropati analgesik berbanding lurus dengan penggunaan Fenasetin.
Tetapi karena Fenasetin jarang digunakan sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat
sukar disimpulkan. Eksperimen pada hewan coba menunjukkan bahwa gangguan ginjal
lebih mudah terjadi akibat Asetosal daripada Fenasetin. Penggunaan semua jenis
analgesik dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan
nefropati analgetik.
Mekanisme Toksisitas
Pada dosis terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat hepatotoksik,
didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan
diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik
meningkat melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit
tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena
itu pada penanggulangan keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi
sintesa glutation. Dengan proses yang sama Parasetamol juga bersifat nefrotoksik.
Dosis Toksik
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa
berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat
menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis
lebih dari 20g bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat

yang menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena
produksi metabolit meningkat.
Gambaran Klinis
Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 4 stadium :
a. Stadium I (0-24 jam)
Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual, muntah, pucat, berkeringat.
Pada anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat.
b. Stadium II (24-48 jam)
Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghilang dan muncul ikterus,
nyeri perut kanan atas, meningkatnya bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula
gangguan faal ginjal berupa oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.
c. Stadium III ( 72 - 96 jam )
Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul kembali, ikterus dan
terjadi penurunan kesadaran, ensefalopati hepatikum.
d. Stadium IV ( 7- 10 hari)
Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif dapat terjadi
sepsis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian. (Lusiana Darsono
2002)
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan :
a. Adanya riwayat penggunaan obat.
b. Uji kualitatif: sampel diambil dari urin, isi lambung atau residu di tempat kejadian.
Caranya: 0,5ml sampael + 0,5ml HCL pekat, didihkan kemudian dinginkan,
tambahkan 1ml larutan O-Kresol pada 0,2ml hidrolisat, tambahkan 2ml larutan
ammonium hidroksida dan aduk 5 menit, hasil positip timbul warna biru dengan
cepat. Uji ini sangat sensitive
c. Kuantitatif:
Kadar dalam plasma diperiksa dalam 4 jam setelah paparan dan dapat dibuat
normogram untuk memperkirakan beratnya paparan.
d. Pemeriksaan laboratorium:

Elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, transaminase hati dan prothrombin time.


Penanganan
a. Dekontaminasi
Sebelum ke Rumah Sakit:
Dapat diberikan karbon aktif atau sirup ipekak untuk menginduksi muntah pada
anak-anak dengan waktu paparan 30 menit.
Rumah Sakit:
Pemberian karbon aktif, jika terjadi penurunan kesadaran karbon aktif diberikan
melalui pipa nasogastrik. Jika dipilih pemberian metionin sebagai antidotum untuk
menstimulasi glutation, karbon aktif tidak boleh diberikan karena akan mengikat dan
menghambat metionin.
b. Antidotum

N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan Parasetamol. Nasetil-sistein bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan
mening-katkan konjugasi sulfat pada parasetamol. N-asetilsistein sangat efektif
bila diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi metabolit.

Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat aman dan murah tetapi
absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N asetilsistein

Dosis - Cara pemberian N-asetilsistein


a. Bolus 150 mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 % : secara perlahan selama 15 menit,
dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml dextrose 5 % selama 4 jam, kemudian 100
mg/KBB dalam 1000 ml dextrose melalui IV perlahan selama 16 jam berikut.
b. Oral atau pipa nasogatrik
Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi dosis pemeliharaan 70 mg / kg BB
setiap 4jam sebanyak 17 dosis. Pemberian secara oral dapat menyebabkan mual dan
muntah. Jika muntah dapat diberikan metoklopropamid ( 60-70 mg IV pada dewasa).
Larutan N-asetilsistein dapat dilarutkan dalam larutan 5% jus atau air dan diberikan
sebagai cairan yang dingin. Keberhasilan terapi bergantung pada terapi dini, sebelum
metabolit terakumulasi.

4. MYLANTA
ALUMINIUM HIDROKSIDA ( AL (OH)3 ). Rekasi yang terjadi didalam
lambung adalah sebagai berikut :
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masaa kerjanya lebih
panjang.AL (OH)3 bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan dengan obat yang
tidak larut lainnya. AL (OH)3dan sediaan AL lainnya bereaksi dengan fosfat membentuk
aluminium fosfat yang sukar diabsorsi di usus kecil, sehingga eksresi fosfat melalui urin
berkurang sedangkan melalui bertambah. Ion aluminium dapat bereaksi dengan protein
sehingga bersifat astringen.Antasit ini mengasobsi pepsin dan menginaktifasinya.Absorsi
makanan setelah pemberian AL tidak banyak dipengaruhi dan komposisi tinja tidak
berubah.Aluminium juga bersifat demolsen dan absorben.
Efek samping AL (OH)3yang utama ialah konstipasi. Ini dapat diatasi dengan
memberikan antasit garam Mg. mual dan muntah dapat terjadi.Gangguan absorsi fosfat
dapat terjadi sehingga menimbulkan sindrom deplesi fosfat disertai osteomalasia.AL
(OH)3dapat mengurangi absorsi bemacam-macam vitamin dan tetrasiklin. AL (OH) 3lebih
sering menyebabkan konstipasi pada usia lanjut.
Aluminium hidroksida digunakan untuk mengobati tukak peptic, nefrolitiasis
fosfat dan sebagai absorsen pada keracunan.
KALSIUM KARBONAT. Kalsium karbonat merupakan antasit yang efektif
karna mula kerjanya cepat maka kerjanya lama dan daya menetralkan asam nya cukup
tinggi.
Kalsium karbonat dapat menyebabkan konstipasi, mual, muntah, pendarahan
saluran cerna dan disfungsi ginjal dan fenomena acitrebound. Fenomena tersebut bukan
berdasarkan daya netralisasi asam, tetapi merupakan kerja langsung kalsium diantrum
yang mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal yang mengeluarkan HCL (H +)
sebagai akibatnya, sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggi yang akan

mengurangi efek netralisasi obat ini. Efek serius yang dapat terjadi adalah hiperkalsemia,
klasifikasi, metastatic, alkalosis, azotemia, terutama terjadi penggunaan kronik kalsium
karbonat bersama susu dan antasit lain.
Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 dan 1000mg. satu gram
kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam.Dosis yang di anjurkan 1-2gram.
MAGNESIUM HIDROKSIDA (Mg (OH)2). Digunakan untuk katartik dan
antasid.Obat ini praktis tidak larut dan tidak efektif sebelum obat ini bereaksi dengan HCI
membentuk MgCI2. Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi akan tetap berada dalam
lambung dan akan menetralkan HCI dan disekresi belakangan sehingga masa kerja lama.
Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare akibat efak
kataktiknya, sebab magnesium yang larut tidak diabsorsi, tetap berada dalam usus akan
menarik air. Sedian susu magnesium berupa suspense yang berisi 7-8,5%. 1 ml susu
magnesium dapat menetralkan 2,7 mEq asam. Dosisi yang dianjurkan 5-30 ml. bentuk
lain ialah tablet susu magnesium berisi 325 Mg yang dapat menetralkan 11,1 mEq asam.
MAGNESIUM TRISILIKAT. Magnesium trisilikat(Mg2Si3O8nH2O) sebagai
antasid non sistemik bereaksi dalam lambung sebagai berikut :
Silicon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga berfungsi
menutup tukak. Sebanyak 7% silica dari magnesium trisilikat akan diabsorpsi melalui
usus dan diekskeri dalam urin. Silica jel dan magnesium trisilikat merupakan adsorben
yang baik, tidak hanya menabsorpsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan.
Mula kerja magnesium trisilikat lambat, untuk menetralkan 30% HCL 0,1 N diperlukan
waktu 15 menit, sedangkan untuk menetralkan 60% HCL 0,1 N diperlukan waktu 1 jam.
Dosis tinggi magnesium trisilikat menyebabkan diare.Banyak dilaporkan terjadinya batu
silikat setelah penggunaan kronik trisilikat.Ditinjau dari efektifitasnya yang rendah dan
potensinya untuk menimbulkan toksisitas yang khas, kurang beralasan untuk
menggunkana obat ini sebagai antasid.
EFEK SAMPING
Tidak ada antasid yang bebas efek samping, terutama p[ada penggunaan dosis
besar jangka lama. Efek samping yang timbul antara lain :
Sindroma susu alkali. Sindroma ini hanya timbul pada pasien yang memakai
antasida sistemik atau kalsium karbonat dan minum susu dalam jumlah besar untuk
jangka lama.

Batu ginjal,osteomalasia, dan osteoporosis. Aluminium hodroksida dan fosfat


dapat membentuk senyawa yang sukar larut dalam susu halus,sehingga mengurangi
absorpsi fosfat dan diikuti penurunan ekskresi fosfat urin.
Neurotoksisitas. Aluminium yang diabsorpsi dalam jumlah kecil dapat tertimbun
dalam otak, dan didiga mendasari sindroma ensefalopati yang terjadi pada pasien gagal
ginjal kronik dan pasien alzhemer.
Saluran cerna. Penggunaan antasid yang mengandung magnesium dapat
menimbulkan diare dan yang mengandung aluminium menimbulkan obstruksi terutama
berbahaya pada orang tua pendarahan usus.
Asupan natrium. Hampir semua antasid mengandung natrium, sehingga perlu
diperhatikan penggunaannya pada pasien yang harus diet rendah natrium, misalnya pada
penyakit kardiovaskular.
INTERAKSI DENGAN OBAT LAIN. Antasid dapat mengurangi absorpsi berbagai
obat misalnya INH, penisilin, tetrasilin, nitrofurantoid, asam nalidiksat, sulfunamid,
fenilbutazon.Digoxin dan klorpromazin. Antasid sistemik dapat meningkatkan PH urin,
sehingga menurunkan ekskresi amin misalnya kina dan anfetamin serta meninggkatkan
ekskresi salisilat

You might also like