You are on page 1of 8

KOMPAS.

com / IRA RACHMAWATI Warga Grajagan melakukan orasi di gedung DPRD


Banyuwangi menuntut pembebasan dua warganya dan penyelesaian kasus sengketa tanah.

BAB I

Berita Terkait

Nihil Solusi, Konflik Agraria Dikhawatirkan Meluas

Tangani Konflik Agraria, Kementerian ATR/BPN Gelar Forum Kajian

Pemerintah Tak Menjamin Konflik Agraria Bisa Tuntas

Sepanjang 2015, Tercatat 252 Konflik Agraria Belum Diselesaikan

Konflik Agraria Terbanyak Terjadi di Sektor Perkebunan dan Infrastruktur

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak masa transisi pemerintahan baru, publik berharap pada
komitmen politik reforma dan penyelesaian konflik agraria melalui peningkatan Badan
Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau BPN
(ATR/BPN).
Namun, setelah setahun berjalan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla belum menunjukkan
komitmen tersebut.
Bila ditilik dari jumlah konflik agraria, posisi pertama ditempati oleh sektor perkebunan
sebesar 127 konflik dan disusul sektor infrastruktur sebanyak 70 konflik.
Dari total area konflik agraria seluas 400.430,00 hektar, area konflik paling luas pada 2015
berada di sektor perkebunan dan sektor kehutanan.

"Area konflik di sektor perkebunan, yakni seluas 302.526 hektar. Disusul oleh sektor
kehutanan seluas 52.176 hektar," ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA) Iwan Nurdin di Jakarta, Selasa (5/1/2016).
Posisi selanjutnya diduduki pertambangan 21.127 hektar, pesisir-kelautan 11.231 hektar,
infrastruktur 10.603 hektar, sektor lain-lain seluas 1.827 hektar dan terakhir sektor pertanian
seluas 940 hektar.
Meningkatnya kecenderungan konflik agraria di sektor perkebunan, menunjukkan bahwa
perluasan lahan dan operasi perkebunan skala besar di Indonesia semakin meluas.
Dalam 5-10 tahun ke depan komoditas kelapa sawit akan terus menimbulkan krisis agraria
yang semakin parah.
Kelangkaan lahan di negara-negara maju untuk ekspansi perkebunan skala besar dan
kebutuhan global atas pasokan kelapa sawit telah menjadikan lndonesia sebagai sasaran
utama para pemodal asing dan domestik.
Indonesia akan "dipaksa" untuk terus mengembangkan perkebunan dan industri pengolahan
kelapa sawit.
Berdasarkan laporan data konflik agraria KPA dengan pembagian 34 provinsi, enam besar
provinsi "penyumbang" konflik agraria adalah Riau sebanyak 36 konflik (14,4 persen), dan
Jawa Timur 34 konflik (13,6 persen)
Kemudian Sumatera Selatan 23 konflik (9,2 persen), Sulawesi Tenggara 16 konflik (6,4
persen), Jawa Barat dan Sumatera Utara 15 konflik (masing-masing 6 persen) serta Lampung
12 konflik (4,8 persen).
"Daerah-daerah ini mengalami perluasan di sektor perkebunan, yang kita ketahui dilakukan
para oknum dengan cara keji, yaitu membakar lahan," jelas Iwan.
Ia menambahkan, dalam upaya penyelesaian, pemerintah diharapkan tidak melakukan
pendekatan hukum formal, karena tidak akan ketemu substansinya.
Di satu sisi, pemerintah memfasilitasi pengusaha dalam skala besar dengan hukum tumpang
tindih.
Iwan mengibaratkan, perusahaan diminta untuk meningkatkan produksinya namun perluasan
perkebunan jika dilakukan sesuai pertaturan akan mahal.
Beralasan musim panas, perusahaan mengekspansi lahan secara murah meriah yaitu dengan
membakarnya

http://properti.kompas.com/read/2016/01/06/061504721/Area.Konflik.Agraria.Terluas.di.Sek
tor.Perkebunan.dan.Kehutanan

BAB II lesaian Konflik Agraria Wajib Jadi


Prioritas Jokowi-JK

BAB III
Penyelesaian Konflik Agraria Wajib Jadi
Prioritas Jokowi-JK
Konflik agraria yang merebak adalah tanda utama dari kebutuhan untuk segera
dilaksanakannya Pembaruan Agraria, karena konflik yang terjadi selalu disebabkan oleh
alasan-alasan ketimpangan pemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria
atau yang disebut ketimpangan struktur agraria. Soal ketimpangan struktur agraria ini,
menjadi persoalan utama yang belum terselesaikan bahkan terus meningkat sepanjang
kekuasaan SBY selama sepuluh tahun terakhir.
Karakter sengketa dan konflik agrarian yang dimaksud adalah: a) Bersifat kronis, massif dan
meluas; berdimensi hukum, sosial, politik dan ekonomi; b) Merupakan konflik agrarian
structural, dimana kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penguasaan dan penggunaan tanah
serta pengelolaan SDA menjadi penyebab utama; c) Penerbitan ijin-ijin usaha penggunaan
tanah dan pengelolaan SDA tidak menghormati keberagaman hukum yang menjadi dasar dari
hak tenurial masyarakat; d) Terjadi pelanggaran HAM.
Dalam bidang Kehutanan misalnya, melalui UU 41/1999 tentang Kehutanan, pemerintah
telah menunjuk secara sepihak luas kawasan hutan adalah 136,94 juta hektar atau 69 persen
wilayah Indonesia. Dari sisi pengusahaan kawasan hutan, terjadi ketimpangan yang sangat
besar. Menurut data Kemenhut, luas HTI hingga kini mencapai 9,39 juta hektare dan dikelola
oleh 262 unit perusahaan dengan izin hingga 100 tahun. Selain itu, luas HPH di Indonesia

21,49 juta hektar yang dikelola oleh 303 perusahaan HPH saja. Bandingkan dengan izin
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631.628 hektar.
Di bidang perkebunan hal yang sama pun terjadi, sedikitnya 9.4 juta hektar tanah telah
diberikan kepada 600 perusahaan perkebunan sawit saja. Tidak berhenti disitu, pengadaan
tanah bagi perusahaan pangan juga terus terjadi, baru-baru ini pemerintah mengeluarkan izin
2 juta hektar tanah di Merauke kepada hanya 41 perusahaan saja melalui proyek Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Selain itu, hal serupa terjadi pada pertambangan, 64,2 juta hektar tanah (33,7% daratan) telah
diberikan izin kepada perusahaan pertambangan mineral dan batubara. Angka ini belum
termasuk luas konsesi pertambangan minyak dan gas. Luasan total lahan untuk Izin Usaha
Pertambangan (IUP) mencapai 41,750,107 Ha, Kontrak Karya (KK) total luasan
22,764,619.07 Ha dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
seluas 7,908,807.80 Ha.
Padahal, sedikitnya terdapat 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia,
terdapat 6,1 juta RTP di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan pertanian sama sekali dan 5
juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata
pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi dengan kata lain saat ini terdapat sekitar 32 juta
jiwa petani Indonesia adalah buruh tani dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten.

Konflik dan Korban Konflik Agraria di Masa SBY


Sepanjang sepuluh tahun kekuasaan SBY (2004 -2014), telah terjadi 1.391 konflik agraria di
seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektar, dimana
terdapat lebih dari 926.700 kepala keluarga harus menghadapi ketidakadilan agraria dan
konflik berkepanjangan.
Masalah sektoralisme kebijakan dan kelembagaan dalam hal pengelolaan sumber-sumber
agraria menjadi penyumbang konflik-konflik yang terjadi. Berdasarkan sektor, maka konflik
agraria yang terjadi di sektor perkebunan sebanyak 536 konflik, bidang infrastruktur 515
konflik, sektor kehutanan 140 konflik, sektor tambang 90 konflik, sektor pertanian 23
konflik, pesisir-kelautan 6 konflik dan lain-lain.
Ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang tengah berkonflik, tindakan
intimidasi dan kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan
militer dalam penanganan konflik agraria yang melibatkan kelompok masyarakat petani dan
komunitas adat telah mengakibatkan 1.354 orang ditahan, 553 mengalami luka-luka, 110
tertembak peluru aparat, serta tewasnya 70 orang di wilayah-wilayah konflik tersebut
selama periode 20042014. Bahkan, sebagaimana disebutkan di atas, dalam sepuluh tahun
terakhir ini (20042014) grafik kejadian konflik agraria di tanah air terus menunjukkan
peningkatan.

Penganganan Konflik Agraria di Masa Pemerintahan SBY

Ada beberapa lembaga yang mencoba menangani konflik agraria yang terjadi selama ini,
yaitu BPN-RI, Kementerian Kehutanan, Komnas HAM, Komisi Ombudsman dan DPR RI.
Jika dilihat dari proses penanganan konflik di BPN, menurut Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional (Perkaban) No.3/2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan
Kasus Pertanahan, masyarakat harus melaporkan kasus pertanahan baik di kantor, kanwil atau
BPN pusat dan website BPN dalam bentuk tertulis. Selanjutnya BPN akan memproses
pengaduan masyarakat tersebut selama 3 bulan atau diperpanjang oleh kebijakan pejabat
BPN.
Dari pengalaman yang ada, maka proses penanganan kasus konflik agraria oleh BPN tidak
dapat berjalan maksimal dikarenakan: (1) Persoalan pertanahan yang ada sebagian besar
disebabkan oleh pihak BPN sendiri akibat keputusan-keputusannya, sehingga sulit
diselesaikan oleh lembaga ini; (2) Cara pandang dalam menyelesaikan kasus sangat
formalistic; dan (3) Kewenangan BPN sangat terbatas jika kasus melibatkan banyak aktor
kelambagaan pemerintah lainnya.
Di DPR, rakyat bisa melaporkan konflik-konflik pertanahan di Komisi II, khususnya Panja
Pertanahan. Pengalaman dalam melaporkan kasus pertanahan di DPR selama ini adalah;
anggota DPR dan Panja Pertanahan di DPR memerlukan waktu yang lama dalam memahami,
membahas dan meninjau lokasi konflik. Selain itu, rekomendasi DPR dalam konflik
pertanahan tidak mengikat untuk diselesaikan oleh pemerintah. Bahkan, banyak rekomendasi
DPR sesungguhnya diabaikan oleh BPN dan lembaga pemerintah lainnya tanpa implikasi
apapun.
Nasib serupa juga dialami oleh Komnas HAM dan Komisi Ombudsman sebagai lembaga
yang paling sering dilaporkan rakyat dalam kasus-kasus pertanahan. Sayangnya, rekomendasi
yang diberikan oleh lembaga ini sama nasibnya dengan rekomendasi yang dikeluarkan DPR.
Pada konflik di kawasan kehutanan, terdapat dua tempat di kehutanan yang dapat menangani
konflik tanah di kawasan hutan, yaitu Steering Committee (SC) Konflik pada Dewan
Kehutanan Nasional (DKN) dan Tim Resolusi Konflik yang dibentuk oleh Menteri
Kehutanan. Dewan Kehutanan Nasional adalah lembaga yang berisi para pemangku
kepentingan di wilayah kehutanan yang berisi pemerintah, NGO, masyarakat, pengusaha dan
para pakar yang dipilih dalam Kongres Kehutanan yang dilakukan pemerintah melalui
Kemenhut.
Stering Committee Konflik di DKN, menerima aduan masyarakat atas konflik di wilayah
kehutanan. DKN kemudian memberikan rekomendasi penyelesaian kepada menteri
kehutanan atas kasus yang mereka tangani. Sementara, Tim Resolusi Konflik pertanahan
yang dibentuk oleh Kemenhut sampai sekarang belum pernah terdengar menyelesaikan
konflik di kawasan kehutanan.
Dengan melihat berbagai institusi yang ada, fakta dan pengalaman mereka dalam
menyelesaikan konflik melalui institusi tersebut, bisa dikatakan bahwa konflik agraria yang
terjadi sesungguhnya tidak dapat diselesaikan, baik oleh pemerintah maupun DPR.

Kerugian Akibat Konflik

Badan Pertanahan Nasional (BPN) menghitung bahwa persoalan konflik agraria telah
menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Luas tanah produktif obyek sengketa
yang tidak dapat dimanfaatkan atau tidak digunakan secara optimal seluas 607.886 hektar
atau seluas 6.078.860.000 m2.
Secara ekonomi, nilai tanah yang menjadi obyek sengketa, jika kita hitung dengan NJOP
tanah terendah (Rp.15.000), maka kerugian Negara telah mencapai Rp. 91,1829 Triliun. Nilai
tersebut, menurut BPN, jika dihitung dengan mempergunakan rumus periode pembungaan
selama 5 tahun dengan tingkat bunga rata-rata pertahun adalah 10 %, maka diperoleh nilai
ekonomi tanah yang hilang sebesar Rp.146,804 Triliun.

Jawaban atas Konflik Agraria dan Strategi Penyelesainnya


Tak lama setelah reformasi 1998, Komnas HAM bersama KPA, Walhi dan sejumlah
organisasi masyarakat sipil lainnya mengusulkan pembentukan Komisi Nasional untuk
Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), akan tetapi tawaran dan peluang strategi
penyelesaian konflik ini tidak diambil oleh pemerintahan di masa itu. Pada hari ini, KNuPKA
atau dengan nama lain masih relevan dan penting untuk diinisiasi kembali.
Karakter sengketa dan konflik agraria serta kelemahan-kelemahan dalam mekanisme dan
prosedur hukum yang tersedia saat ini menyiratkan perlunya dikembangkan lembaga
penyelesaian konflik agraria untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang masih/sedang
terjadi secara tuntas dengan berpegang pada prinsip-prinsip keadilan di masa transisi
(transitional justice principles).
Untuk itu, dengan melihat fakta kebuntuan penyelesaian konflik agraria di tanah air selama
ini, maka Pemerintahan Jokowi-JK perlu segera membentuk sebuah badan/lembaga khusus
yang bersifat adhoc untuk menyelesaikan konflik agraria secara menyeluruh. Lembaga ini,
agar bersifat mengingat bagi semua pihak/instansi terkait harus di bawah kepemimpinan
Presiden secara langsung. Fungsi utama lembaga khusus ini adalah untuk memulihkan hakhak korban konflik agraria yang telah terjadi di masa lalu dan saat ini, sekaligus untuk
mencegah terjadinya konflik agraria di masa yang akan datang.

Dasar Hukum dan Prinsip Kerja


Dasar hukum penyelesaian konflik agraria melalui pembentukan lembaga penyelesaian
konflik agraria adalah: 1) UUD 1945 (hasil amandemen ke-4); 2) TAP MPR RI No. IX/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumbedaya Alam yang Berkelanjutan: 3) UU
No. 39/1999 tentang HAM; dan 4) Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012.
Sedangkan prinsip utama pembentukan lembaga ini adalah seagai berikut:
(a) Lembaga penyelesaian konflik agraria ini sifatnya kelembagaan ad hoc dengan masa
kerja terbatas, dan berwenang mencari solusi dan memutuskan perkara-perkara (kasus)
sengketa agraria dalam yang terjadi dalam rentang waktu tertentu (mis: sejak masa Orba

hingga ditetapkannya keberadaan kelembagaan tersebut). Karena itu, secara sederhana dapat
disebut juga lembaga ini adalah lembaga penyelesaian konflik agraria masa lalu.
(b) Untuk selanjutnya, guna menyelesaikan sengketa-sengketa agraria yang terjadi setelah
dibentuknya lembaga khusus penyelesaian sengketa/konflik agrarian di atas, perlu dibentuk
lembaga peradilan agraria, dalam bentuk Pengadilan Khusus Agraria, sebagai satu kamar
peradilan tersendiri di dalam lingkungan peradilan umum.

Persiapan Pembentukan dan Kewenangan


Sebagai langkah percepatan dan persiapan pembentukan lembaga khusus ini maka diperlukan
beberapa tahap penting, tahap pertama, Presiden segera mengeluarkan Peraturan Presiden
(Perpres) Pembentukan Lembaga Khusus Penyelesaian Konflik Agraria. Tahap ke dua,
mempersiapakan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan pembentukkan institusi ini dalam
jangka waktu 2014 2015. Tahap ke tiga, Setelah terbentuk, lembaga ini mulai bekerja, yang
diawali dengan proses registrasi konflik dan konsolidasi data-data kasus konflik agraria yang
terjadi di masa lalu dan saat ini, yang diperkirakan mulai berjalan pertengahan 2015 2016.
Sebagai lembaga yang menangani konflik agraria, sekaligus menjadi bagian dari persiapan
prasyarat pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia, wewenang lembaga ini adalah sebagai
berikut:
1. Mendaftar dan membuka registrasi konflik (menerima aduan dari masyarakat secara
kolektif), termasuk melakukan konsolidasi data dari instansi lain;
2. Memberkas, memverifikasi dan melakukan klasifika data-data kasus yang masuk atau
yang diadukan;
3. Membuat dan menyampaikan rekomendasi penyelesaian kasus-kasus konflik agraria
tersebut kepada para pihak yang terlibat di dalam konflik, dan bersifat mengikat
semua pihak;
4. Memfasilitasi penyelesaian konflik melalui proses yang melibatkan semua pihak;
5. Melakukan sosialisasi, koordinasi dan kerjasama dengan badan-badan pemerintah
maupun non-pemerintah dalam rangka pencapaian penyelesaian konflik agraria; dan
Kerangka umum penyelesaian sengketa/konflik agraria harus diletakan dalam
bingkai/kerangka Reforma Agraria sebagai upaya menyeluruh untuk menyelesaikan akar-akar
pokok dari konflik agraria yang selama ini berkembang, yakni: a) Memberikan pengakuan
dan kepastian hukum terhadap penguasaan tanah-tanah oleh penduduk setempat dengan
mengabaikan sejumlah kenyataan formal yang sekarang melekat/berlaku padanya; b)
Mencegah konsentrasi penguasaan tanah secara berlebihan oleh seseorang/sekelompok orang;
dan c) Merombak struktur agraria yang timpang (:mengurangi jumlah kelompok masyarakat
yang tidak memiliki tanah atau memiliki tanah sangat sempit, tetapi sangat membutuhkan
tanah untuk keberlangsungan hidup keluarganya).
Demikian siaran pers ini disusun untuk menjadi perhatian semua pihak.

Jakarta, 9 September 2014

Hormat Kami,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
http://www.walhi.or.id/penyelesaian-konflik-agraria-wajib-jadi-prioritas-jokowi-jk.html

You might also like