Professional Documents
Culture Documents
BAB I
Berita Terkait
JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak masa transisi pemerintahan baru, publik berharap pada
komitmen politik reforma dan penyelesaian konflik agraria melalui peningkatan Badan
Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau BPN
(ATR/BPN).
Namun, setelah setahun berjalan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla belum menunjukkan
komitmen tersebut.
Bila ditilik dari jumlah konflik agraria, posisi pertama ditempati oleh sektor perkebunan
sebesar 127 konflik dan disusul sektor infrastruktur sebanyak 70 konflik.
Dari total area konflik agraria seluas 400.430,00 hektar, area konflik paling luas pada 2015
berada di sektor perkebunan dan sektor kehutanan.
"Area konflik di sektor perkebunan, yakni seluas 302.526 hektar. Disusul oleh sektor
kehutanan seluas 52.176 hektar," ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA) Iwan Nurdin di Jakarta, Selasa (5/1/2016).
Posisi selanjutnya diduduki pertambangan 21.127 hektar, pesisir-kelautan 11.231 hektar,
infrastruktur 10.603 hektar, sektor lain-lain seluas 1.827 hektar dan terakhir sektor pertanian
seluas 940 hektar.
Meningkatnya kecenderungan konflik agraria di sektor perkebunan, menunjukkan bahwa
perluasan lahan dan operasi perkebunan skala besar di Indonesia semakin meluas.
Dalam 5-10 tahun ke depan komoditas kelapa sawit akan terus menimbulkan krisis agraria
yang semakin parah.
Kelangkaan lahan di negara-negara maju untuk ekspansi perkebunan skala besar dan
kebutuhan global atas pasokan kelapa sawit telah menjadikan lndonesia sebagai sasaran
utama para pemodal asing dan domestik.
Indonesia akan "dipaksa" untuk terus mengembangkan perkebunan dan industri pengolahan
kelapa sawit.
Berdasarkan laporan data konflik agraria KPA dengan pembagian 34 provinsi, enam besar
provinsi "penyumbang" konflik agraria adalah Riau sebanyak 36 konflik (14,4 persen), dan
Jawa Timur 34 konflik (13,6 persen)
Kemudian Sumatera Selatan 23 konflik (9,2 persen), Sulawesi Tenggara 16 konflik (6,4
persen), Jawa Barat dan Sumatera Utara 15 konflik (masing-masing 6 persen) serta Lampung
12 konflik (4,8 persen).
"Daerah-daerah ini mengalami perluasan di sektor perkebunan, yang kita ketahui dilakukan
para oknum dengan cara keji, yaitu membakar lahan," jelas Iwan.
Ia menambahkan, dalam upaya penyelesaian, pemerintah diharapkan tidak melakukan
pendekatan hukum formal, karena tidak akan ketemu substansinya.
Di satu sisi, pemerintah memfasilitasi pengusaha dalam skala besar dengan hukum tumpang
tindih.
Iwan mengibaratkan, perusahaan diminta untuk meningkatkan produksinya namun perluasan
perkebunan jika dilakukan sesuai pertaturan akan mahal.
Beralasan musim panas, perusahaan mengekspansi lahan secara murah meriah yaitu dengan
membakarnya
http://properti.kompas.com/read/2016/01/06/061504721/Area.Konflik.Agraria.Terluas.di.Sek
tor.Perkebunan.dan.Kehutanan
BAB III
Penyelesaian Konflik Agraria Wajib Jadi
Prioritas Jokowi-JK
Konflik agraria yang merebak adalah tanda utama dari kebutuhan untuk segera
dilaksanakannya Pembaruan Agraria, karena konflik yang terjadi selalu disebabkan oleh
alasan-alasan ketimpangan pemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria
atau yang disebut ketimpangan struktur agraria. Soal ketimpangan struktur agraria ini,
menjadi persoalan utama yang belum terselesaikan bahkan terus meningkat sepanjang
kekuasaan SBY selama sepuluh tahun terakhir.
Karakter sengketa dan konflik agrarian yang dimaksud adalah: a) Bersifat kronis, massif dan
meluas; berdimensi hukum, sosial, politik dan ekonomi; b) Merupakan konflik agrarian
structural, dimana kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penguasaan dan penggunaan tanah
serta pengelolaan SDA menjadi penyebab utama; c) Penerbitan ijin-ijin usaha penggunaan
tanah dan pengelolaan SDA tidak menghormati keberagaman hukum yang menjadi dasar dari
hak tenurial masyarakat; d) Terjadi pelanggaran HAM.
Dalam bidang Kehutanan misalnya, melalui UU 41/1999 tentang Kehutanan, pemerintah
telah menunjuk secara sepihak luas kawasan hutan adalah 136,94 juta hektar atau 69 persen
wilayah Indonesia. Dari sisi pengusahaan kawasan hutan, terjadi ketimpangan yang sangat
besar. Menurut data Kemenhut, luas HTI hingga kini mencapai 9,39 juta hektare dan dikelola
oleh 262 unit perusahaan dengan izin hingga 100 tahun. Selain itu, luas HPH di Indonesia
21,49 juta hektar yang dikelola oleh 303 perusahaan HPH saja. Bandingkan dengan izin
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631.628 hektar.
Di bidang perkebunan hal yang sama pun terjadi, sedikitnya 9.4 juta hektar tanah telah
diberikan kepada 600 perusahaan perkebunan sawit saja. Tidak berhenti disitu, pengadaan
tanah bagi perusahaan pangan juga terus terjadi, baru-baru ini pemerintah mengeluarkan izin
2 juta hektar tanah di Merauke kepada hanya 41 perusahaan saja melalui proyek Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Selain itu, hal serupa terjadi pada pertambangan, 64,2 juta hektar tanah (33,7% daratan) telah
diberikan izin kepada perusahaan pertambangan mineral dan batubara. Angka ini belum
termasuk luas konsesi pertambangan minyak dan gas. Luasan total lahan untuk Izin Usaha
Pertambangan (IUP) mencapai 41,750,107 Ha, Kontrak Karya (KK) total luasan
22,764,619.07 Ha dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
seluas 7,908,807.80 Ha.
Padahal, sedikitnya terdapat 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia,
terdapat 6,1 juta RTP di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan pertanian sama sekali dan 5
juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata
pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi dengan kata lain saat ini terdapat sekitar 32 juta
jiwa petani Indonesia adalah buruh tani dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten.
Ada beberapa lembaga yang mencoba menangani konflik agraria yang terjadi selama ini,
yaitu BPN-RI, Kementerian Kehutanan, Komnas HAM, Komisi Ombudsman dan DPR RI.
Jika dilihat dari proses penanganan konflik di BPN, menurut Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional (Perkaban) No.3/2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan
Kasus Pertanahan, masyarakat harus melaporkan kasus pertanahan baik di kantor, kanwil atau
BPN pusat dan website BPN dalam bentuk tertulis. Selanjutnya BPN akan memproses
pengaduan masyarakat tersebut selama 3 bulan atau diperpanjang oleh kebijakan pejabat
BPN.
Dari pengalaman yang ada, maka proses penanganan kasus konflik agraria oleh BPN tidak
dapat berjalan maksimal dikarenakan: (1) Persoalan pertanahan yang ada sebagian besar
disebabkan oleh pihak BPN sendiri akibat keputusan-keputusannya, sehingga sulit
diselesaikan oleh lembaga ini; (2) Cara pandang dalam menyelesaikan kasus sangat
formalistic; dan (3) Kewenangan BPN sangat terbatas jika kasus melibatkan banyak aktor
kelambagaan pemerintah lainnya.
Di DPR, rakyat bisa melaporkan konflik-konflik pertanahan di Komisi II, khususnya Panja
Pertanahan. Pengalaman dalam melaporkan kasus pertanahan di DPR selama ini adalah;
anggota DPR dan Panja Pertanahan di DPR memerlukan waktu yang lama dalam memahami,
membahas dan meninjau lokasi konflik. Selain itu, rekomendasi DPR dalam konflik
pertanahan tidak mengikat untuk diselesaikan oleh pemerintah. Bahkan, banyak rekomendasi
DPR sesungguhnya diabaikan oleh BPN dan lembaga pemerintah lainnya tanpa implikasi
apapun.
Nasib serupa juga dialami oleh Komnas HAM dan Komisi Ombudsman sebagai lembaga
yang paling sering dilaporkan rakyat dalam kasus-kasus pertanahan. Sayangnya, rekomendasi
yang diberikan oleh lembaga ini sama nasibnya dengan rekomendasi yang dikeluarkan DPR.
Pada konflik di kawasan kehutanan, terdapat dua tempat di kehutanan yang dapat menangani
konflik tanah di kawasan hutan, yaitu Steering Committee (SC) Konflik pada Dewan
Kehutanan Nasional (DKN) dan Tim Resolusi Konflik yang dibentuk oleh Menteri
Kehutanan. Dewan Kehutanan Nasional adalah lembaga yang berisi para pemangku
kepentingan di wilayah kehutanan yang berisi pemerintah, NGO, masyarakat, pengusaha dan
para pakar yang dipilih dalam Kongres Kehutanan yang dilakukan pemerintah melalui
Kemenhut.
Stering Committee Konflik di DKN, menerima aduan masyarakat atas konflik di wilayah
kehutanan. DKN kemudian memberikan rekomendasi penyelesaian kepada menteri
kehutanan atas kasus yang mereka tangani. Sementara, Tim Resolusi Konflik pertanahan
yang dibentuk oleh Kemenhut sampai sekarang belum pernah terdengar menyelesaikan
konflik di kawasan kehutanan.
Dengan melihat berbagai institusi yang ada, fakta dan pengalaman mereka dalam
menyelesaikan konflik melalui institusi tersebut, bisa dikatakan bahwa konflik agraria yang
terjadi sesungguhnya tidak dapat diselesaikan, baik oleh pemerintah maupun DPR.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menghitung bahwa persoalan konflik agraria telah
menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Luas tanah produktif obyek sengketa
yang tidak dapat dimanfaatkan atau tidak digunakan secara optimal seluas 607.886 hektar
atau seluas 6.078.860.000 m2.
Secara ekonomi, nilai tanah yang menjadi obyek sengketa, jika kita hitung dengan NJOP
tanah terendah (Rp.15.000), maka kerugian Negara telah mencapai Rp. 91,1829 Triliun. Nilai
tersebut, menurut BPN, jika dihitung dengan mempergunakan rumus periode pembungaan
selama 5 tahun dengan tingkat bunga rata-rata pertahun adalah 10 %, maka diperoleh nilai
ekonomi tanah yang hilang sebesar Rp.146,804 Triliun.
hingga ditetapkannya keberadaan kelembagaan tersebut). Karena itu, secara sederhana dapat
disebut juga lembaga ini adalah lembaga penyelesaian konflik agraria masa lalu.
(b) Untuk selanjutnya, guna menyelesaikan sengketa-sengketa agraria yang terjadi setelah
dibentuknya lembaga khusus penyelesaian sengketa/konflik agrarian di atas, perlu dibentuk
lembaga peradilan agraria, dalam bentuk Pengadilan Khusus Agraria, sebagai satu kamar
peradilan tersendiri di dalam lingkungan peradilan umum.
Hormat Kami,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
http://www.walhi.or.id/penyelesaian-konflik-agraria-wajib-jadi-prioritas-jokowi-jk.html