You are on page 1of 38

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 54 TAHUN


DENGAN CHF DAN ATRIAL FIBRILASI

Oleh:
Hadi Waluyo

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP Dr. KARIADI SEMARANG
2016

DAFTAR MASALAH
N

Masalah Aktif

Tanggal

o
1

AF NVR

11/5/2016

CHF NYHA III

11/5/2016

Masalah Inaktif

Tanggal

BAB I
LAPORAN KASUS
1. Identitas Penderita
Nama

: Tn. Jupri

Umur

: 54 tahun

Alamat

: Pangidisan, Winong, Pati

Pekerjaan

: PegawaiSwasta

Ruang

: Geriatri Dasar

Nomor CM

: C585283

Masuk RS

: 11-5-2016

2. Subyektif:
A. KeluhanUtama
Sesak saat aktivitas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak yang selalu dirasakan ketika pasien
sedang beraktivitas, ketika pasien jalan 100 meter. Sesak disangkal saat
melakukan pekerjaan rumah ringan . Sesak dimalam hari dan tidur dengan bantal
yang tinggi disangkal. Keluhan sesak sudah dirasakan sekitar kurun waktu satu
tahun belakangan, sebelumnya pasien hanya berobat kontrol ke poli penyakit
dalam dan di diagnosa sebagai CHF. Selain itu, pasien juga merasakan mudah
kelelahan bila melakukan aktivitas rumah.
Keluhan nyeri dada (+) jika melakukan aktivitas berat atau stress,
Keluhan berdebar-debar (+). Riwayat bengkak pada kedua tungkai disangkal.
BAK dan BAB tidak ada keluhan
Riwayat kelemahan anggota gerak badan disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit jantung (+)
Riwayat merokok disangkal.
Riwayat Hipertensi disangkal.
Riwayat DM dan hiperlipidemia disangkal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan serupa disangkal.
Kelainan jantung pada keluarga disangkal.
3. Objektif:
Status generalis
Kesadaran

: compos mentis

Keadaanumum

: tampak sakit sedang

Keadaangizi

: baik

TekananDarah

: 120/60 mmHg

Frekuensinadi

: 98 x/ menit, irreguler, isi cukup.

Frekuensinafas

: 24x/menit, torakoabdominal, kedalaman cukup

Suhu

: 36,5oC

Kepala

: CA -/- SI -/-

Leher

: JVPR+3, KGB tidak teraba, tiroidtidak teraba.

Jantung
Inspeksi

: iktus kordis tak tampak.

Palpasi

: iktus kordis terabapada SIC VI, 2 cm lateral linea mid


klavicula.

Perkusi

: batas jantung kanan di SIC VI 2cm lateral linea sternalis


dekstra
Batas jantung kiri di SIC VI 2 cm lateral linea mid
klavikula sinistra,
Pinggang jantung di SIC III linea parasternal kiri.
Kesan cardiomegaly (+)

Auskultasi

: BJ I-II irreguler,terdengar murmur gr 3/6, sistolik, lokasi


apeks menjalar aksila

Paru

Abdomen

Inspeksi

: hemitoraks simetris statis dinamis.

Palpasi

: ekspansi dada simetris, fremitus kanan = kiri.

Perkusi

: sonor/sonor.

Auskultasi

: vesikuler +/+, RBB -/-, wheezing /.

Inspeksi

: datar

Palpasi

: supel, NT (-)

Perkusi

: timpani, shifting dullness (-)

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Ekstremitas : akral hangat, edema /, CRT < 2


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
PEMERIKSAAN
Hematologi
PTT
PTTK
APTT
INR
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
MCH
MCV
MCHC
Leukosit
Trombosit
KIMIA KLINIK
Glukosa sewaktu
Ureum
Kreatinin
Elektrolit
Natrium
Kalium
Chlorida
Calcium
Magnesium

HASIL

NILAI NORMAL

11,1 detik
30,6 detik
32,5 detik
2,5

9,4-11,3detik
23,4-36,8 detik
25,5-42,1 detik

11/05/2016
15.9
47.1
5.08
31.4
92.6
33.9
7.14
191
11/05/2016
91
21
1.4

SATUAN
gr%
%
Juta/mmk
Pg
fL
gr/dL
ribu/mmk
ribu/mmk
SATUAN
mg/dL
mg/dL
mg/dL

NILAI NORMAL
12.00 15.00
35.0 47.0
3.90 5.60
27.00 32.00
76.00 96.00
29.00 36.00
4.00 11.00
150.0 400.0
NILAI NORMAL
74 106
15 39
0.60 1.30

145
3.5
113
2.1
0.80

mmol/L
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mmol/L

136 145
3.5 5.1
98 107
2.12 2.52
0.70 0.99

X-Foto Thorax
Kesan : Cardiomegali, LVH
EKG
Interpretasi
Irama

: fibrilasi

Frekuensi
Segm. ST

: 68 x/menit
: Isoelektrik

Axis

: normoaxis

Gel T : T inverted (-), TTall (-)

QRS complex : 0,08 detik, S di V1/V2 + R di V5/V6< 35


Gel P

: sulitdinilai

Zonatransisi

PR interval

: sulitdinilai

Lain-lain

: VES (+) couplet

Kesan

: AFNVR, dengan VES couplet

: V3

4. PROBLEM
1. AF NVR
2. CHF
5. RENCANA PEMECAHAN MASALAH
Problem 1. AF NVR
Assesmen : Komplikasi: tromboemboli
Initial Plan
Dx : Echocardiografi
Rx :
Infus RL 10 tetes per menit
Heparin syring pump 4000 unit bolus dan maintanance 750 unit / jam
Bisoprolol 2,5 mg/24 jam p.o
Diet biasa 1700 kkal
Mx : Nadi, PTT/K/12 jam, EKG/12jam, INR/3 hari
Ex :Menjelaskan kepada keluarga tentang perlunya pemeriksaan echocardiografi
untuk mengetahui adanya resiko emboli
Problem 2. CHF NYHA III
Assasement

: Diagnosis Anatomi : RVH, LAH


Diagnosis Etiologi

: PJH, PJI, VHD

Diagnosis Fungsi

: Fungsi sistolik dan diastolik, LVEF

Dx : Echokardiografi
Rx :

Posisi duduk
O2 3 liter/ menit
Infus RL 10 tpm
SP Cordaron 150 mg habis dalam 6 jam.
Cordaron 100 mg / 12 jam p.o
Simarc 2 mg/24 jam p.o
Spironolacton 25mg/24 jam p.o
KSR 600 mg/8jam p.o
Captopril 6,25 mg/8jam p.o

Diet lunak 1700 kkal

Mx : Tekanan darah, nadi, RR, balance cairan, keluhan sesak.


Ex : Menjelaskan tentang penyakit dan terapi yang diberikan
CATATAN KEMAJUAN
Problem 1. AF NVR
12 Mei 2016
S

: Sesak dan berdebar-debar

:
TekananDarah

: 120/70 mmHg

Frekuensinadi

: 98 x/ menit, irreguler, isi cukup.

Frekuensinafas

: 24x/menit, torakoabdominal, kedalaman cukup

Suhu

: 36,5oC

EKG

Interpretasi
Irama

: fibrilasi

Frekuensi

: 140 x/menit

Segm. ST

Axis

: normoaxis

Gel T : T inverted (-), TTall (-)

: Isoelektrik

QRS complex : 0,08detik, S di V1/V2 + R di V5/V6< 35


Gel P

: sulitdinilai

PR interval

: sulitdinilai

Lain-lain

: VES (+)

Kesan

: AFRVR, dengan VES occasional

: AFRVR, dengan VES occasional

Zonatransisi

: V3

Plan

Dx

: Echocardiografi

Tx

Cordaron100 mg / 12 jam p.o

Simarc 2 mg/24 jam p.o

Spironolacton 25mg/24 jam p.o

SP Heparin bolus 750 unit/jam

KSR 600 mg/8jam p.o

Bisoprolol 2,5 mg/24 jam p.o

Captopril 6,25 mg/8jam po

Mx : Cek PPT/PPTK/12jam
13 Mei 2016

: Sesak dan berdebar-debar

TekananDarah : 120/60 mmHg


Frekuensinadi

: 98 x/ menit, irreguler, isi cukup.

Frekuensinafas

: 22x/menit, torakoabdominal, kedalaman cukup

Suhu

: 36,5oC

Interpretasi
Irama

: fibrilasi

Frekuensi

: 86 x/menit

Segm. ST

: Isoelektrik

Axis

: normoaxis

Gel T : T inverted (-), TTall (-)

QRS complex : 0,08detik, S di V1/V2 + R di V5/V6 < 35


Gel P

: sulitdinilai

PR interval

: sulitdinilai

Lain-lain

: VES (+)

Kesan

: AFNVR, dengan occasional VES

Plan

Dx

: Echocardiografi

Tx

Mx

Cordaron 100 mg / 12 jam p.o

Simarc 2 mg/24 jam p.o

Spironolacton 25mg/24 jam p.o

SP Heparin bolus 750 unit/jam

KSR 600 mg/8jam p.o

Bisoprolol 2,5 mg/24 jam p.o

Captopril 6,25 mg/8jam p.o


: Cek PPT/PPTK/12jam

Zonatransisi

: V3

Echocardiografi 13 Mei 2016

Katup-katup:
AoV : 3 kuspis, AR trivial
MV : MR moderate ecrestriksi PML (Carpentiertipe III), vc 0,4 cm
TV
: TR mild, vc 0,2 cm, TR max PG 21 mmHg, TR vmax 2,3 m/s
PV
: PR mild
PH
: unlikely PH (RVSP 31 mmHg, RAP 10 mmHg)

KESIMPULAN:

LVH (+) eksentrik

Fungsisistolik LV global menurundengan LVEF 35%, terdapat regional wall motion


abnormalities

MR moderate, TR mild, PR mild

Plan

Dx

: Echocardiografi

Tx

Mx

Cordaron 100 mg / 12 jam p.o

Simarc 2 mg/24 jam p.o

Spironolacton 25mg/24 jam p.o

SP Heparin bolus 750 unit/jam

KSR 600 mg/8jam p.o

Bisoprolol 2,5 mg/24 jam p.o


: Cek PPT/PPTK/12jam

PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan utama sesak saat aktivitas (dyspneu on effort)
yang dirasakan dalam setahun belakangan. Dari keluhan utama tersebut kita dapat
berpikir kemungkinan diagnosis mengarah kepada kelainan pada jantung mulai dari
yang paling sering ditemukan yaitu gagal jantung kongestif (CHF) dan penyakit
jantung koroner (CAD). Sesak pada onset yang lama dan kronis tidak
menggambarkan CAD yang umumnya onset akut dan disertai nyeri dada khas
angina, sedangkan pada pasien ini tidak demikian. Namun tidak menutup
kemungkinan terdapat riwayat dari CAD. Pada pasien ini masih dimungkinkan
diagnosa CHF mengingat adanya dyspneu on effort, namun disangkal adanya gejala
pendukung seperti paroxysmal nocturnal dyspneu (PND), orthostatic dyspneu (OD).
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan vena jugular,
adanya kesan cardiomegali, tidak adanya tanda dari edema pulmo (ronkhi basah
basal paru) yang mungkin berasal dari CHF.
Namun pada pemeriksaan pasien ditemukan irama nadi yang irregular yang
menandakan kemungkinan adanya aritmia jantung (dikonfirmasikan melalui EKG).
Pada auskultasi jantung terdengar adanya bising jantung pada area apex jantung,
yaitu area mitral. Bising jantung terdengar pada fase sistolik pada area apex dengan
kualitas low pitched sound. Bising jantung fase diastolik pada area mitral bisa jadi
menunjukkan adanya mitral valve stenosis. Adanya aritmia dan kelainan katup
jantung bisa jadi merupakan penyebab gejala pada pasien tersebut, karena aritmia
dan kelainan katup juga dapat menurunkan fungsi sistolik/diastolik jantung. Jadi
pada pasien ini kelainan jantung tidak murni hanya CHF.
Dari EKG dikonfirmasikan adanya aritmia dengan assessment EKG meliputi
adanya irama atrial fibrilasi dengan respon ventrikel 60-110x/m. Pada EKG tidak
terlihat gelombang P normal dan jarak RR interval yang irregular, mengarahkan
pada AF. Setelah melihat adanya kemungkinan gangguan katup dan aritmia pada
pasien, dilakukan anamnesis tambahan untuk risiko terjadinya stroke akibat
thromboemboli meliputi adanya riwayat kelemahan anggota gerak.
Pasien ini didiagnosa kerja sebagai CHF e.c IHD, dan AF RVR dengan VES
couplet.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Cardiac Arrythmia
Fungsi jantung normal tergantung kepada aliran impuls listrik melalui
jantung yang berjalan secara terkoordinasi. Irama jantung yang abnormal
dikatakan sebagai aritmia (juga dapat dikatakan disritmia). Presentasi klinis dari
aritmia beragam mencakup palpitasi ringan sampai dengan gejala berat dari low
cardiac output dan kematian. Oleh karena itu, pemahaman terhadap aritmia
jantung sangat penting bagi praktisi klinis sehari-hari.
Dikatakan irama jantung normal adalah bila heart rate 60-100x/m,
impuls listrik berasal dari SA nodal dan impuls berjalan dalam jalur konduksi
normal dengan kecepatan yang normal. Irama jantung yang lambat abnormal
dikatakan sebagai bradikardia atau bradiaritmia. Sementara irama cepat
dikatakan

takikardia

atau

takiaritmia.

Takikardia

dikatakan

sebagai

supraventricular takikardia bila mencakup atrium dan AV nodal.


Gangguan irama jantung dapat dihasilkan dari perubahan pembentukan
impuls, konduksi impuls, ataupun keduanya.
Gambar 1.1 Aritmia akibat perubahan dari pembentukan dan/atau
konduksi impuls.

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Perubahan pembentukan impuls dapat terjadi akibat peningkatan automatisasi


dan triggered activity.
Automatisasi adalah kemampuan sel untuk mendepolarisasikan sel itu
sendiri hingga threshold voltage dalam sifat yang ritmis dan berulang, sehingga
potensial aksi spontan terbentuk. Walaupun sel atrium dan ventrikel tidak
memiliki kemampuan tersebut dalam kondisi normal, beberapa sel dalam sistem
konduksi khusus memiliki automatisasi alami dan sehingga dinamakan sebagai
pacemaker cells. Sistem konduksi tersebut meliputi sinoatrial (SA) nodal,
atrioventricular (AV) nodal, dan sistem konduksi ventrikel yang terdiri dari
bundle of His, bundle branches, dan serabut Purkinje. Pada keadaan patologis,
sel jantung diluar sistem konduksi menjadi dapat memiliki kemampuan
automatisasi tersebut. Berikut adalah kurva yang menunjukkan terjadinya
potensial aksi pada sel pacemaker.
Gambar 1.2 Potensial aksi pada sel pacemaker.

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Peningkatan automatisasi pada SA nodal salah satunya dapat diakibatkan oleh


rangsangan epinefrin melalui reseptor beta adrenergik. Rangsangan tersebut
mengakibatkan ion Ca lebih banyak yang masuk ke dalam sel sehingga threshold
menjadi lebih cepat tercapai. Hal ini juga menyebabkan SA nodal mencetuskan
impuls lebih frequent dari normal. Sementara, penurunan automatisasi dapat
diakibatkan oleh rangsang kolinergik yang ditunjukan pada gambar berikut.
Gambar 1.3 Efek stimulasi beta adrenergik dan cholinergic pada
pergerakan ion kalsium dalam sel myocard.

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Perubahan pembentukan impuls lainnya adalah triggered activity. Pada


kondisi tertentu, potensial aksi dapat mencetuskan depolarisasi abnormal yang
menyebabkan extra heart beat atau rapid aritmia. Proses tersebut dapat terjadi
ketika potensial aksi pertama menuju ketidakseimbangan ion pada membran sel,
yang dikenal sebagai aafterdepolarizations. Ada dua tipe afterdepolarization,
yaitu early afterdepolarization (EAD) yang muncul pada fase repolarisasi, dan
delayed afterdepolarization (DAD) yang muncul seketika setelah peristiwa
repolarisasi berakhir. Salah satu yang dapat mencetuskan afterdepolarization
adalah pada kasus iskemia jantung. Iskemia yang terjadi pada sel ventrikel dapat
menyebabkan membran sel tercederai sehingga menyebabkan penumpukan sel

kation kalsium intraselular dan menyebabkan membran sel tidak dapat


mengalami resting state.
Gambar 1.4 Early afterdepolarization dan Delayed afterdepolarization.

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Selain dari perubahan pembentukan impuls, adalah perubahan konduksi


impuls yang meliputi peristiwa reentry. Pada irama reentry, impuls listrik
bersirkulasi berulang-ulang kali pada jalur reentry, dan kembali mendepolarisasi
area jantung tersebut.
Gambar 1.5 Mekanisme reentry

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Gambar 1.5 di atas menjelaskan bahwa bila konduksi yang melalui jalur
retrograde adalah lambat, maka impuls mencapai point x setelah jalur
recovered. Pada kondisi tersebut, impuls dapat mengeksitasi kembali jalur dan
lingkaran reentry terbentuk.Pada kondisi normal, impuls yang melewati lintasan
multipe dan akan saling menetralkan. Bila terdapat unidirectional block,
impuls tidak akan melewati lintasan dari arah anterograde tapi bisa melewati
lintasan dari arah retrograde dengan kecepatan yang lebih rendah, akibatnya
lintasan telah menyelesaikan repolarisasinya sehingga impuls dari lintasan
dapat melalui lintasan . Terjadilah sirkuit reentry.
Selain reentry, perubahan konduksi impuls dapat berupa conduction block.
Conduction block pada sistem konduksi meliputi AV nodal atau sistem HisPurkinje menyebabkan hantaran impuls normal dari SA nodal ke daerah distal
tidak normal.
Pada makalah ini hanya dibahas mengenai Atrial Fibrillasi yang
merupakan salah satu gangguan irama jantung cepat yang disebabkan oleh
peningkatan automatisitas dan/atau peristiwa reentry. Gangguan irama jantung
lainnya tidak dibahas dalam makalah ini.
2.2

PembahasanAtrial Fibrillasi
Atrial fibrillasi (AF) adalahgangguan irama jantung yang paling sering
ditemukan, dan prevalensinya meningkat seiring usia populasi.Walaupun sering
terkait dengan penyakit jantung lainnya, AF terkadang muncul pada pasien tanpa
keluhan jantung tertentu. Gangguan hemodinamik dan kejadian tromboemboli
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.

Tabel 1.1 Definisi pada tiap klasifikasi Atrial Fibrilasi (AF).

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation: Executive Summary

AF adalah supraventrikular aritmia yang ditandai dengan tidak


terkontrolnya aktivasi atrium diikuti dengan menurunnya aktivitas mekanik
atrial. Pada EKG dapat terlihat gelombang P normal

menghilang dan

digantikan oleh gelombang fibrilasi yang bervariasi ukuran, bentuk, dan waktu
munculnya serta berhubungan dengan respon ventrikel ireguler apabila
konduksi AV intak. Peningkatanfrekuensidenyutjantung pada AF sebesar350650

x/menit,

sehingga

menyebabkantidakefektifnya

mekanikataupompadarahjantung.
Gambar 1.6 Gambaran EKG pada atrial fibrillasi.

proses

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Atrial fibrilasi diklasifikasikan menurut kejadian episodenya. Ketika


pasien mengalami dua episode atau lebih, AF dikatakan rekuren. Ketika sudah
diterminasi, AF rekuren dikatakan paroksismal, dan apabila AF terus
berlangsung maka dikatakan persisten. Bila terapi farmakologis dan cardioversi
tidak dapat merubah irama AF, maka dikatakan AF persistent, dan umumnya
menuju kepada AF permanen. Definisi pada tiap klasifikasi terdapat pada Tabel
1.1. tersebutdi atas.
2.3

Patofisiologi (Mekanisme) Atrial Fibrilasi


Teori yang melandasi terjadinya AF mencakup proses peningkatan
automatisitas pada 1 atau beberapa foci yang terdepolarisasi cepat, dan reentry
yang melibatkan 1 atau beberapa sirkuit. Foci yang tercetus secara cepat dan
terlokasi pada 1 atau lebih tempat pada v.pulmonalis superior dapat
menimbulkan AF pada pasien tertentu. Foci juga bisa terdapat pada atrium kanan
dan jarang sekali pada vena cava superior atau sinus coronarius. Ablasi pada foci
tersebut dapat menjadi tindakan kuratif pada beberapa pasien.
Proses yang abnormal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai macam
hal mencakup kelainan struktural maupun elektrikal (fungsional), seperti yang
digambarkan dalam bagan tersebut dibawah. Kelainan struktural dapat
diakibatkan oleh proses fibrosis (atrial remodelling), iskemia, infiltrasi pada
atrial myocard (pada amyloidosis, sarcoidosis, hemochromatosis), dilatasi
atrium, dan hipertrofi atrium. Sementara itu kelainan fungsional salah satunya
adalah akibat dari peningkatan automatisitas ataupun kondisi dimana aliran
kation pada sel jantung abnormal.

Gambar 1.7 Bagan mekanisme atrial fibrillasi.

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation: Executive Summary

AV nodal merupakan suatu faktor yang dapat membatasi konduksi


selama AF. AV nodal terlokasi pada anterior dari trigonum Koch, yang

dikelilingi oleh sel transisional. Terdapat 2 jalur impuls dari atrium ke AV nodal
yaitu dari posterior melalui crista terminalis dan dari anterior melalui septum
interatrial. Pada suatu kasus bisa jadi terdapat jalur aksesori (mis.pada sindroma
WPW), yang merupakan serabut otot yang menghubungkan atrium dan ventrikel
dan mempunyai kapasitas untuk konduksi cepat. Konduksi melalui jalur aksesori
selama AF berlangsung dapat menyebabkan very rapid ventricular response dan
dapat berakibat fatal. Obat-obatan seperti digitalis, calcium channel antagonist,
dan beta-blocker umumnya diberikan untuk memperlambat konduksi pada AV
nodal selama AF, namun tidak menghentikan aliran impuls yang melalui jalur
aksesori, sehingga dapat meningkatkan konduksi dan menyebabkan hipotensi
ataupun cardiac arrest.
Gambar 1.8 Trigonum Koch

Pada AF, ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi fungsi hemodinamik,


yaitu : hilangnya aktivitas mekanik atrial yang sinkron, respon ventrikular yang
irregular, dan nadi yang sangat cepat. Respon ventrikular yang cepat dapat
menurunkan cardiac output, sehingga dapat terjadi hipotensi dan kongesti

pulmo. Hilangnya aktivitas mekanik atrial yang sinkron dapat menyebabkan


darah menjadi stasis di atrium, sehingga meningkatkan risiko thrombus, yang
merupakan penyebab penting dari kejadian stroke. Thrombus yang terkait
dengan AF seringkali berasal dari left atrial appendage (LAA). Namun karena
patofisiologi dari thromboembolisme pada pasien AF belum dapat dijelaskan
secara pasti, maka mekanisme yang menghubungkan faktor risiko stroke
iskemik pada AF juga belum dapat secara lengkap dijabarkan.
Oleh karena itu, fokus tatalaksana pada AF adalah pada tiga aspek, yaitu:
(1) ventricular rate control, (2) mengembalikan ke irama sinus, dan (3) penilaian
kebutuhan antikoagulan untuk mencegah thromboembolisme.
2.4

Evaluasi Klinis dan Diagnosis


Presentasi klinis dari AF tidak selalu simptomatik, bisa jadi
asimptomatik, walaupun pada satu pasien yang sama. Gejala bervariasi dari
ventricular rate, status fungsional jantung, durasi AF, maupun persepsi
individual pasien. Disritmia dapat terjadi pada pertama kali dengan komplikasi
emboli ataupun eksaserbasi dari gagal jantung. Seringkali pasien dijumpai
datang dengan keluhan palpitasi, nyeri dada, sesak napas, kelelahan/ fatigue,
ataupun lightheadedness. Sinkop merupakan komplikasi yang sangat jarang
namun serius yang umumnya mengindikasikan disfungsi sinus nodal, valvular
aortic stenosis, HCM, cerebrovascular disease, atau adanya jalur aksesori pada
AV nodal.
Evaluasi inisial untuk pasien yang suspek ataupun terbukti AF meliputi
penentuan karakteristik pola aritmia (apakah paroksismal atau persisten),
penentuan penyebab aritmia, dan penentuan faktor cardiac serta extracardiac.
Pada pemeriksaan fisik dapat dicurigai AF bila adanya nadi irregular, pulsasi
vena jugular yang irregular, dan variasi kerasnya suara bunyi suara jantung satu
(S1). Untuk mendiagnosis AF diperlukan rekam jantung (EKG). Jika episode
frekuen, dapat dipasang 24 jam Holter monitor. Pada kasus AF pada EKG dapat
ditemukan irama AF, heart rate 350-650x/m, tidak adanya gelombang P dan
digantikan oleh gelombang fibrillasi, interval RR yang irregular, bisa juga

disertai dengan gambaran bundle branch block, old myocard infarct, atrial
arrythmia lainnya.
Selain

itu

pemeriksaan

penunjang

dapat

meliputi

pemeriksaan

laboratorium, foto rontgen thorax, transthoracic echocardiogram, exercise


testing.

2.5

Terapi AF
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa fokus tatalaksana pada
AF adalah pada ventricular rate control, mengembalikan ke irama sinus, dan
penilaian kebutuhan antikoagulan untuk mencegah thromboembolisme.
Mengembalikan irama sinus
Alasan yang mendasari kepentingan untuk mengembalikan dan menjaga
irama sinus pada pasien AF adalah untuk meredakan gejala, mencegah
embolisme, dan sebagai upaya pencegahan cardiomyopathy. Cardioversi sering
dilakukan untuk mengembalikan irama sinus pada pasien persistent AF.
Kebutuhan akan cardioversi bisa jadi immediate, yaitu ketika aritmia tersebut
merupakan faktor utama penyebab gagal jantung akut, hipotensi, atau
perburukan angina pectoris pada pasien CAD. Meskipun begitu, tindakan
cardioversi memiliki risiko thromboembolisme kecuali antikoagulasi profilaksis
telah diberikan secara inisial sebelum prosedur, dan risiko paling tinggi
terjadinya thromboembolisme adalah pada aritmia >48 jam.
Cardioversi dapat dicapai dengan pemberian obat-obatan ataupun
electrical shock. Pemberian obat-obatan umumnya dilakukan sebelum electrical
cardioversion menjadi prosedur standar. Perkembangan obat-obat baru telah
meningkatkan popularitas pharmacological cardioversion, walaupun ada

beberapa
kerugiannya
seperti risiko terjadinya drug-induced torsade de pointes
Tabel 1.2 Evaluasi klinis
inisial pada
pasien AF
ventricular tachycardia atau aritmia serius lainnya. Pharmacological
Tabel 1.3 Pemeriksaan penunjang pada pasien AF
cardioversion masih kurang efektif bila dibandingkan dengan electrical
cardioversion, namun pada electrical cardioversion diperlukan sedasi atau
anestesia,

sementara

pharmacological

cardioversion

tidak.

Risiko

thromboembolisme atau stroke pada kedua metode cardioversi tersebut tidak


berbeda bermakna, sehingga rekomendasi pemberian antikoagulan adalah sama
untuk keduanya.
Pharmacological cardioversion paling efektif diberikan pada 7 hari
setelah onset AF. Kebanyakan pasien mengalami paroksismal AF, dan sebagian
besar mengalami spontaneous cardioversion dalam 24 48 jam. Namun hal
tersebut kecil kemungkinan terjadi pada AF yang telah berlangsung lebih dari 7
hari. Dosis, rute, dan kecepatan pemberian obat antiaritmia mempengaruhi
efficacy. Cardioversi secara farmakologis meliputi pemberian antiaritmia kelas
IA, IC, atau III(Tabel 1.3 dan 1.4).

Tabel 1.3 Klasifikasi obat antiaritmia.

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Electrical cardioversion meliputi pemberian electrical shock yang


tersinkronasi dengan aktivitas intrinsik jantung, sehingga stimulasi listrik tidak
terjadi pada fase vulnerable dari siklus jantung. Keberhasilan cardioversi pada

AF bergantung pada penyakit jantung yang mendasari dan densitas arus listrik
yang diberikan. Densitas arus listrik tersebut

tergantung kepada voltase

defibrillator, output waveform, ukuran dan posisi electrode paddles, dan


impedansi

transthorakal.

Kebutuhan

energi

lebih

rendah

dan

tingkat

keberhasilan lebih tinggi pada posisi paddle anterior-posterior (sternum dan left
scapular), dibandingkan dengan anterior-lateral (ventricular apex dan right
infraclavicular).

Tabel 1.4 Agen antiaritmia untuk mempertahankan irama sinus.

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation: Executive Summary

Cardioversi dilakukan pada pasien yang dipuasakan dan dalam


pemberian anesthesia short acting yang adekuat. Inisial shock 100 J seringkali
terlalu rendah dan inisial energi 200 J atau lebih direkomendasikan untuk
electrical cardioversion pada pasien AF. Energi yang lebih kecil juga dapat
diberikan pada arus listrik dengan biphasic waveform, dibandingkan dengan
monophasic waveform. Irama sinus dapat dikembalikan dengan direct-current
cardioversion, namun tingkat relaps tinggi kecuali obat antiaritmia diberikan
bersamaan. Risiko electrical cardioversion adalah kejadian emboli dan aritmia.
Ventricular rate control
Alternatif untuk menjaga irama sinus pada pasien dengan paroksismal
atau persisten AF adalah dengan mengontrol ventricular rate. Ventricular rate
umumnya dianggap terkontrol bila ventricular response antara 60 hingga 80 x/m
saat istirahat, dan 90 hingga 115 x/m saat exercise. Terapi dengan kronotropik
negatif didasari oleh tujuan depresi konduksi melalui AV nodal. Sinus
bradikardia dan heart block dapat muncul pada pasien usia tua, sebagai efek
yang tidak diinginkan dari terapi farmakologis dengan beta-blocker, digitalis,
ataupun CCB. Pada pasien bradikardia dengan gejala diperlukan permanent
pacing. AV nodal ablasi dan implantasi permanent pacemaker sangat efektif
untuk memperbaiki gejala pada apasien AF dengan gejala terkait rapid
ventricular rate yang tidak dapat dikendalikan dengan obat antiaritmia ataupun
agen kronotropik negatif.

Tabel 1.5 Terapi farmakologis untuk rate control pada AF

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation: Executive Summary

Pencegahan thromboembolisme
Faktor

risiko

independent

terjadinya

thromboembolisme

pada

nonvalvular AF termasuk gagal jantung, hipertensi, usia tua, dan diabetes


mellitus. Pada pemeriksaan penunjang transthoracic echocardiography (TTE)
kita dapat menghitung diameter atrium kiri (LA) serta menilai adanya disfungsi
ventrikel kiri (LV) sebagai prediktor dari kejadian iskemia. Pemeriksaan
transesophageal echocardiography (TEE) lebihs sensitif dan spesifik untuk
mendeteksi thrombus pada LA dan LAA, dibandingkan dengan TTE. Adanya
thrombus pada LA/LAA merupakan kontraindikasi dari tindakan elective
cardioversion pada AF. Tidak terdeteksinya thrombus tidak menjamin tidak
terjadinya thromboembolisme setelah cardioversi jika pasien tidak diberikan
terapi antikoagulan.
Target dari pemberian antikoagulan mempertimbangkan keseimbangan
dari pencegahan stroke iskemia dan menghindari komplikasi perdarahan. Sangat
penting untuk memberikan antikoagulan dgn target adekuasi terendah untuk
meminimalisasi risiko perdarahan, terutama pada pasien usia tua pada AF.
Proteksi maksimum untuk stroke iskemia pada AF dapat dicapai pada
international normalized ratio (INR) 2 sampai 3.

Pasien dengan nonvalvular AF, direkomendasikan untuk dilakukan


penilaian CHA2DS2-VASc score, seperti pada tabel di bawah.
Tabel 1.6 Penilaian faktor risiko terjadinya stroke pada AF

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation: Executive Summary

Pada pasien nonvalvular AF dengan riwayat stroke, transient ischemic


attack (TIA), atau skor CHA2DS2-VASc 2, pemberian oral antikoagulan
direkomendasikan, dengan pilihannya adalah warfarin (INR 2 hingga 3) (Level
of Evidence : A). Pada pasien yang diberikan warfarin, INR harus dipantau
setiap minggu selama inisiasi terapi antitrombotik dan minimal setiap bulan jika
INR terpantau stabil. Pada pasien nonvalvular AF dengan INR tak terkontrol
walaupun dengan pemberian warfarin, direkomendasikan untuk pemberian
direct thrombin atau factor Xa inhibitor (dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban)
dengan evaluasi fungsi ginjal sebelumnya dan dilakukan evaluasi ulang
berikutnya.

Pada pasien nonvalvular AF dengan skor CHA2DS2-VASc 2, dan


terdapat end-stage chronic kidney disease (CKD) (creatinine clearance
<15mL/min) atau dalam pengobatan dengan hemodialisa, warfarin tetap
diberikan sebagai oral antikoagulan (INR 2 hingga 3).
2.6

Agen Antiaritmia
Obat antiaritmia merupakan salah satu golongan obat yang berbahaya
karena potensial efek sampingnya yang serius. Dengan demikian pemahaman
menyeluruh mengenai mekanisme aksi, indikasi, dan toksisitas sangat penting.
Obat antiaritmia terbagi menjadi 4 kelompok besar berdasarkan
mekanisme aksinya.
1.

ClassI : menghambat kanal sodium cepat yang bertanggungjawab


pada fase 0 depolarisasi. Class I dibagi menjadi 3 subtipe
berdasarkan derajat kemampuan memblokade kanal sodium dan
efeknya terhadap durasi potensial aksi.

2.

Class II : beta-adrenergic receptor antagonist (beta-blocker)

3.

Class III : menghambat kanal potassium yang bertanggungjawab


pada fase repolarisasi, sehingga memperpanjang potensial aksi
dengan sedikit efek pada peningkatan fase 0 depolarisasi.

4.

Class IV : menghambat L-type kanal kalsium.

Terlepas

dari

penggolongan

antiaritmia

tersebut,

tujuan

utama

pemberiannya adalah untuk menghentikan mekanisme takiaritmia, yaitu


peningkatan automatisitas, reentry, dan triggered activity.
Pada kasus aritmia akibat peningkatan automatisitas, terapi ditujukan
untuk menurunkan slope dari fase 4 diastolic depolarization, dan/atau
memperpanjang masa refrakter.
Obat antiaritmia yang menginhibisi irama reentrant dengan mekanisme
yang berbeda. Terbentuknya reentrant adalah bila pada salah satu area jantung
terdapat unidirectional block atau slow conduction. Irama reentrant dapat
bertahan bila lamanya waktu yang dibutuhkan impuls untuk propogasi
mengelilingi sirkuit melebihi masa refrakternya. Jika impuls yang kembali ke
area myocardium yang telah terdepolarisasi sebelumnya namun belum mencapai
masa recover, maka jaringan tersebut tidak akan terstimulasi kembali, sirkuit

tidak akan terbentuk. Oleh karena itu, strategi untuk menghentikan reentry
adalah dengan memperpanjang masa refrakter myocard. Selain dari itu, untuk
menghentikan reentry bisa juga dengan mengganggu propagasi impuls pada
jalur lambat sirkuit reentry, yaitu dengan memblokade kanal sodium yang
bertanggung jawab untuk fase 0 depolarisasi. Dengan demikian blokade tersebut
menghentikan konduksi impuls pada aliran balik jalur lambat dan memutuskan
aliran sirkuit reentry.
Gambar 1.9 Mekanisme agen antiaritmia dalam inhibisi reentry

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Eliminasi tipe ketiga dari takiaritmia, triggered activity, adalah dengan


menekan early dan delayed afterdepolarization.
Agen antiaritmia yang ideal adalah yang dapat menekan foci ektopik dan
menghambat sirkuit reentrant tanpa mempengaruhi jalur konduksi normal.
Namun yang disayangkan adalah ketika konsentrasi obat antiaritmia melebihi
rentang terapeutiknya yang sempit, bahkan aktivitas listrik normal dapat
tersupresi. Beberapa obat antiaritmia memang memiliki potensi untuk memicu
gangguan irama (dinamakan efek proaritmik). Contohnya adalah, ketika obat
antiaritmia

memperpanjang

potensial

aksi

dan

menginduksi

early

afterdepolarization, menghasilkan triggered-type aritmia, seperti torsade de


pointes. Drug induced proaritmia seringkali muncul pada pasien dengan

disfungsi LV atau pada pasien dengan pemanjangan interval QT (suatu tanda


bahwa potensial aksi sudah prolonged sebelumnya).
2.7

Kesimpulan
Atrial fibrilasi adalah takiaritmia atrial yang ditandai dengan tidak
terkontrolnya aktivasi atrium dengan konsekuensi gangguan fungsi mekanis
atrium. Klasifikasi dari atrial fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu AF
deteksi pertama, paroksismal AF, persisten AF dan kronik/permanen AF.
Mekanisme AF terdiri dari proses, yaitu peningkatan automatisitas dan
reentry. Mekanisme ini sangat berhubungan dengan bentuk klinis AF, lokasi
pencetus, dan kelainan fungsional, struktur, dan otonom yang mendasari
progresivitas AF.
Terjadinya AF menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung, yaitu
hilangnya koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidakteraturan respon
ventrikel dan ketidakteraturan denyut jantung serta komplikasi tromboemboli
yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Diagnosis AF ditegakkan dari klinis dan EKG.
Sasaran

utama

pada

penatalaksanaan

AF

adalah

mengontrol

ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan


menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboembolisme.

ALUR PIKIR

Seorang laki-laki 54 tahun, dengan keluhan utama sesak saat beraktivitas,


berdebar-debar, nyeri dada, nadi 98 x/mnt irreguler, JVPR+3, batas jantung kiri
melebar, BJ I-II irreguler,terdengar murmur gr 3/6, sistolik, lokasi apeks menjalar
aksila, x-foto thorax : cardiomegali, LVH, EKG : AF NVR dengan VES couplet.

ECHO:
LVH (+) eksentrik

CHF NYHA III


AF NVR
e.c IHD

DAFTAR PUSTAKA
1. A Report of the American College of Cardiology/ American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines and the European Society of Cardiology
Committee for Practice Guidelines and Policy Conferences (Committee to
Develop Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation).
2001. ACC/AHA/ESC Guidelines for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation : Executive Summary. Journal of the American College of
Cardiology Vol 38, No.4
2. A Report of the American College of Cardiology/ American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines and Heart Rythm Society. 2014.
ACC/AHA/ESC Guidelines for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation : Executive Summary. Journal of the American College of
Cardiology Vol 64, No.21.
3. Lilly, L.S. 2011. Pathophysiology of Heart Disease A Collaborative Project of
Medical Students and Faculty 5th ed. Lippincott & Wilkins.

You might also like